
2 minute read
Harus Turunkan Ego!
GERGAJI - Kalangan dewan mengkritisi perbedaan pengelolaan antara BRT Trans Semarang dengan Trans Jateng. Belum sinerginya kedua layanan moda transportasi massal pemerintah tersebut, hanya ada di Kota Semarang, Jateng.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Jateng, Hadi Santoso mengatakan, model dua pengelolaan BRT Pemprov dan Pemkot sebagaimana yang ada di Semarang, merupakan satu-satunya di Indonesia. Adapun di daerah lain, pengelolaannya sudah jadi satu.
Advertisement
Ia mencontohkan di Jawa
Timur, hanya ada BRT yang dikelola Pemkot Surabaya, sementara Pemprov Jatim tidak mengelola. Hal yang sama ada di Palembang. Sementara di Yogyakarta, BRT di kelola oleh Pemprov, yang trayeknya menyeluruh di kabupaten/kota sekitar.
Karenanya, Hadi Santoso meminta Pemkot Semarang maupun Pemprov Jateng, menurunkan ego masing-masing dalam pengelolaan transportasi massal ini. Toh, katanya, tujuan utamanya memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat.
Hadi mendorong kedua pemerintahan untuk segera merealisasikan kesepahaman pengelolaan tiket dan shelter. Sehingga, ke depannya penumpang tak harus berganti shelter saat akan berganti BRT dari provinsi ke Pemkot atau sebaliknya. Untuk meningkatkan pendapatan, katanya, okupansi penumpang bisa didongkrak melalui penambahan koridor baru. Dari sisi iklan maupun layanan tambahan dalam bus, seperti penyediaan minuman ringan, juga bisa digarap kedepannya. ‘’Secara umum, banyak warga yang memanfaatkan layana BRT Trans Jateng Koridor I SemarangBawen. Terutama penumpang dari Semarang dengan tujuan Yogyakarta,’’ ungkapnya.
■ Subsidi Dia menambahkan, tingkat okupansi BRT Trans Jateng Koridor I Semarang-Bawen mencapai 3.000 penumpang per hari. Jika rata-rata jumlah itu bertahan sampai akhir tahun, maka pendapatan yang diproleh dari penjualan tiket mencapai Rp 2,8 miliar. Masih ada selisih, dari total subsidi yang di- alokasikan Pemprov tahun ini Rp 5,4 miliar. Angka okupansi itu masih bisa terus dinaikkan. Syaratnya, harus ada peningkatan pelayanan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah konektivitas BRT milik Pemprov dengan BRT milik Pemkot Semarang. Saat ini, koneksi terkendala persoalan selter.
BRT milik Pemprov tidak bisa berhenti di semua shelter milik BRT Pemkot, karena alasan kepadatan jadwal kedatangan BRT Pemkot.
‘’Harus segera diselesaikan adalah koneksi BRT Pemkot dengan Pemprov. Meski belum bisa satu tiket untuk tahun ini, yang penting ada sinergitas rute keduanya,’’ kata Hadi, Senin (17/7).
Untuk persoalan tiket, lanjutnya, penjadi pekerjaan rumah berikutnya yang harus diselesaikan kedua pemerintah. Sementara itu, Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang, Suharsono mengatakan, moda transportasi umum pemerintah idealnya berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga bisa fokus mengelola dengan profesional. Adapun dinas, fokus sebagai regulator atau mengatur transportasi secara umum.
‘’Apalagi sekarang ada BRT Trans Jateng yang berada di ba- wah pengelolaan Dishub Jateng. Jika berada di bawah pengelolaan BUMD, tentu lebih mudah mensinergiskan keberadaan BRT tersebut. Pemprov dan pemkot tinggal membuat perjanjian pengelolaan bersama dalam wadah BUMD,’’ sambungnya.
Sementara itu Kasi Operasional Balai Transportasi Jateng Dishub Jateng, Joko Setiawan mengatakan, langkah awal pengintegrasian rute adalah mengembalikan posisi shelter seperti semula sebelum dipindah. Shelter portabel akan dipasang di Elisabeth, Balaikota, dan Stasiun Tawang.
‘’Posisi shelter portabel akan berdekatan dengan shelter yang sudah ada untuk BRT milik Pemkot. Jadi penumpang yang akan pindah rute, tinggal geser sedikit,’’ kata Joko.
Untuk pengadaan dan pemasangan diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 1-2 bulan. Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Pemkot Semarang untuk penentuan lokasi shelter.
Untuk pengintegrasian tiket, jelasnya, belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. ‘’Kalau seragam harganya belum. Yang penting bisa terintegrasi rutenya dulu,’’ ungkap Joko.■ SM Network/H81,K18-die