Haluan Mahasiswa 1 2022

Page 1

Februari 2022

HALUAN MAHASISWA Edisi I

Jejak Rancu BEM UNJ Cerpen:

Kepergianku Duniamu

Amankah Gedung G bagi Perempuan?

HALUAN MAHASISWA

1


Sapa Redaksi Salam hangat dari LPM Didaktika! Selamat menempuh semester 116 hanya untuk yang membaca. Kalau mau juga, makanya baca. Haluan Mahasiswa edisi eh pertama apa kedua sih? Terserah edisi berapa, yang penting ini terbit di Maret 2022. Wah, awal semester memang menjanjikan segala hal baru. Mata kuliah baru, dosen pengampu baru, untuk itu seharusnya disambut dengan semangat yang baru. Semangat nggak? Semangat dong. Serangkaian hal yang menurut kita semua pelik, ada di sini. Kamu baru tahu saja, atau baru tahu banget? Beberapa berita sudah kami sajikan khusus untuk kamu, iya kamu. Beberapa di antaranya mungkin sudah kamu liat di cover, tapi sebenarnya, ada apa sih di kampus kita? Kamu bisa lihat di daftar isi, ayo jangan malas membaca, membaca itu berarti membuka jendela dunia—bukan, bukan maksudnya kamu mengintip dari jendela, tapi maksudnya ketika satu jendela terbuka di ruang pikiran yang tak memiliki pintu, maka kamu bisa lompat dari jendela, maka pikiranmu jadi lebih bebas (please, jangan mikir jendela lantai 2, tapi jendela lantai dasar yang dekat lantai aja). Dengan membuka Haluan Mahasiswa ini, niscaya kamu akan menemukan persona dari Universitas Negeri Jakarta yang ditunjukkan oleh teman-teman di dapur redaksi. Oh iya, kami juga berterima kasih kepada para informan dan responden yang telah melancarkan liputan kami untuk Haluan Mahasiswa ini.

So, what are you waiting for? Selamat membaca, happy reading, Fröhliches lesen.

Lpmdidaktikaunj@gmail.com @lpmdidaktika

@lpmdidaktika

www.didaktikaunj.com

Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Kampus A UNJ Jl. Rawamangun Muka, RT.11/RW.14, Rawamangun, Pulo Gadung 2

LPM DIDAKTIKA


DAFTAR ISI Pimimpin redaksi Hastomo Dwi Putra Redaktur pelaksana Namira Pratiwi Tata letak dan ilustrasi Arrneto Bayliss Wibowo Ezra Hanif Ananda Ayudia reporter Namira Pratiwi Shanaz Valiza Rachma Asyifa Irchami Adella Zahra Addina Nur Latifah Syifa Nabila Siti Nuraini Devita Sari Ezra Hanif Laila Nuraini Fitri Adinda Rizki Meilani Putri Ananda Ayudia Muhammad Bintang Muhammad Ragil Firdaus Arrneto Bayliss Wibowo Zahra Pramuningtyas Editor Ahnmad Qori Hastomo Dwi Putra Vamellia Bella Izam Komaruzzaman Riyasy Asbabur Yoga Alfauzan Sekar Tri Widati Sonia Renata

Demokrasi Puro-Puro Menyelisik Rasa Inferioritas Melalui Psikologi Individual Resensi Buku Pangeran Cilik

Terdapat Indikasi Kecurangan Pemira, KPU Pusat Tak Berkutik

4-6

Tidak Dapat Mengajukan Ubah Golongan UKT, Mahasiswa Baru Terbebani

7-9

Dalam Bayang-Bayang Senioritas: Pelanggengan Kekerasan Simbolik Dalam Wujud PKKMB dan PKMP

11-14

Bukti Diskriminasi KIP-K di UNJ: Molornya Jadwal Isi KRS

15-17

Minimnya Jumlah CCTV dan Petugas Keamanan Kampus UNJ Di Tengah Maraknya Kasus Pencurian

18-20

Amankah Gedung G Bagi Perempuan?

21-23

Jejak Rancu BEM UNJ

24-28

Maunya Keringanan, Eh Dapetnya Pengangsuran

29-31

Kebebasan Berpikir dan Berpendapat Demi Kampus yang Demokratis

32-35

36-38 39-41

Kepergianku Duniamu

42-47

Lara

48-51

Puisi dan Anekdot

52-55

HALUAN MAHASISWA

3


B E RI T A I

Terdapat Indikasi Kecurangan PEMIRA, KPU Pusat tak Berkutik Indikasi kecurangan pada Pemira Januari lalu, KPU Pusat hanya bisa menyayangkan.

J

anuari menjadi bulan sibuk bagi mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), utamanya bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilihan Raya (Pemira) calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di tingkat Program Studi (Prodi), fakultas, dan universitas. Semua orang diriuhkan dengan perayaan pesta demokrasi UNJ. Seperti tahun lalu, Pemira kali ini menggunakan Si Kora sebagai platform pemungutan suara. Namun, mahasiswa Pendidikan Sejarah menggunakan Google Form sebagai metode pemilihan ketua dan wakil ketua BEM Pendidikan Sejarah. Hal ini merupakan imbas dari adanya laporan kecurangan dalam sistem pemungutan suara Si Kora di Prodi tersebut. Kecurangan tersebut dialami oleh mahasiswa yang belum mengganti kata sandi Sistem Informasi Akademik (Siakad)-nya. Sebab,

4

LPM DIDAKTIKA

akun Siakad dibutuhkan untuk masuk ke dalam Si Kora. Awalnya, pihak kampus menjadikan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) sebagai nama pengguna dan kata sandi Siakad mahasiswa baru. Kendati demikian, mahasiswa juga diberi kebebasan untuk mengganti kata sandinya. Agus (-red), salah satu korban kecurangan menjelaskan, ketua angkatan sudah menghimbau untuk mengganti kata sandi Siakad. Hal ini guna menghindari peretasan akun Si Kora untuk kepentingan politik dalam konteks Pemira. "Saat saya masuk ke akun Si Kora, di laman-nya ada tulisan kalau saya sudah menggunakan hak pilih," terang Agus. Kelalaian mahasiswa baru tersebut dimanfaatkan oleh pelaku kecurangan. Anehnya, pelaku bisa mengetahui akun mahasiswa yang belum mengganti kata sandinya.


Memasukkan sembarang NIM ke dalam Si Kora tentu membutuhkan waktu lama. Pasalnya, total surat suara dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terbilang cukup banyak, sekitar 12.157 dari 25.000 mahasiswa. Berdasarkan data yang diterima KPU Pendidikan Sejarah, 50 dari 200-an pemilih di Prodi tersebut melaporkan bahwa akun mereka telah diretas. Saat masuk ke Si Kora, mereka mendapati tulisan “Terima kasih telah menggunakan hak suaramu." “Setengah angkatan 2021 dipakai hak suaranya. Sebanyak 50 suara dilaporkan dari total 200-an surat suara yang masuk ke KPU Pendidikan Sejarah,” ujar salah seorang anggota KPU Pendidikan Sejarah. Selain dari mahasiswa Pendidikan Sejarah, kami juga menerima laporan kecurangan serupa dari mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah korban kecurangan Pemira bisa saja melebihi laporan dari narasumber kami. Menanggapi fenomena ini, Dodi selaku Ketua KPU Pusat mengatakan pihak KPU telah berusaha melacak keberadaan peretas akun tersebut, namun berakhir tanpa menghasilkan apapun. MenurutHALUAN MAHASISWA

5


nya, peretas menggunakan Virtual Private Network (VPN) sehingga lokasinya tidak dapat ditemukan. Dodi menambahkan, KPU enggan melacak siapa calon ketua BEM yang dipilih oleh pelaku kecurangan Pemira. KPU tidak ingin menuduh calon ketua BEM tanpa ada bukti kuat yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemira. KPU juga telah menindaklanjuti laporan dengan meminta korban kecurangan mengulangi proses pemilihan di Si Kora. Setelah mengganti kata sandi Siakad, pelapor dipersilakan masuk ke Si Kora untuk menggunakan hak suaranya. Namun, KPU Prodi Pendidikan Sejarah tidak mendapatkan informasi mengenai prosedur tersebut. Tindak lanjut dari kasus kecurangan ini adalah pemungutan suara melalui Google Form. Hal ini dikonfirmasi oleh anggota KPU Pendidikan Sejarah, “keputusan untuk menggunakan Google Form ini dikarenakan tidak adanya informasi lebih lanjut dari (KPU) pusat. Bersamaan dengan itu, waktu pemungutan suara sudah selesai dan hampir berbenturan dengan agenda pengumuman hasil perolehan suara masing-masing kandidat.” 6

LPM DIDAKTIKA

“Keputusan untuk menggunakan Google Form ini dikarenakan tidak adanya informasi lebih lanjut dari pusat. Bersamaan dengan itu, waktu pemungutan suara sudah selesai dan hampir berbenturan dengan agenda pengumuman hasil perolehan suara masing-masing kandidat.”

Kendati demikian, Dodi hanya menyayangkan tindakan yang diambil oleh KPU Pendidikan Sejarah. “Sangat disayangkan infonya tidak sampai ke KPU Pusat. Padahal dari Pusat pun mencoba membangun komunikasi yang baik sedari awal dengan teman-teman Prodi,” pungkas Dodi.

Penulis: Ragil Firdaus Editor : Asbabur Riyasy


Tak Dapat Mengajukan Ubah Golongan UKT, Mahasiswa Baru Terbebani Kebijakan perubahan golongan UKT dinilai tidak adil karena hanya mahasiswa semester tiga keatas yang dapat mengajukan.

M

HALUAN MAHASISWA

7

BERI TA I I

enanggapi kondisi pandemi Covid-19, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menerbitkan Surat Keputusan (SK) Rektor UNJ nomor 737/UN39/TM.01.03/2020. Dalam SK tersebut, terdapat ketentuan yang mengatur tentang perubahan golongan. Salah satunya adalah mahasiswa telah menempuh tiga semester perkuliahan. Padahal, ketentuan ini tentu memberatkan mahasiswa baru. Seperti yang dialami oleh Cara, mahasiswa Pendidikan Fisika 2021, dengan nominal UKT tujuh juta rupiah, ia mengaku sangat keberatan karena tidak sebanding dengan perekonomian keluarga. Ia mengatakan pendapatan ibunya berkurang sejak pandemi Covid-19, ditambah adi-


knya yang masih bersekolah. Oleh karena itu, Cara mengajukan pengurangan UKT, tetapi hanya mendapat pengangsuran UKT. Ia pun menolaknya karena ia harus membayar angsuran yang masih tersisa di semester berikutnya. Perjuangannya tidak sampai di situ. Ia juga mengajukan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) pada semester satu. Tetapi, pengajuannya ditolak. Pada semester dua, ia memutuskan untuk mengajukannya kembali. Ia berharap kebijakan perubahan golongan UKT dapat berlaku bagi seluruh mahasiswa karena kesulitan ekonomi bisa dirasakan oleh siapa pun. Berbeda dengan Cara, mahasiswa lain berinisial B dari Program Studi (Prodi) yang sama memilih untuk meneriman pengangsuran. Bagi mahasiswa yang tak ingin namanya disebutkan dengan alasan privasi ini, golongan VIII dengan nominal sembilan juta rupiah dinilai cukup memberatkan. Mendapat pengangsuran UKT, ujar B, tidak meringankan beban keluarganya. Karena, adiknya masih menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD). Menurut penuturannya, pihak kampus belum melakukan sosialisasi kepada mahasiswa bahwa 8

LPM DIDAKTIKA

perubahan golongan UKT baru bisa diajukan ketika semester tiga. Ia berharap, pihak kampus dapat memberikan alasan yang jelas mengenai hal ini, agar mahasiswa baru bisa mengetahui latar belakang adanya kebijakan tersebut. Selain itu, Rifqy, mahasiswa Pendidikan Sejarah angkatan 2021 mengaku memilih UKT golongan VI dengan nominal lima juta rupiah karena ibunya yang berstatus PNS. Namun, ketika ibunya pensiun pada Oktober lalu, hanya ayahnya saja yang bekerja sebagai ojek online. Hal ini membuat keadaan ekonomi keluarga Rifqy terasa sulit, ditambah adiknya yang masih bersekolah.


Rifqy juga menjelaskan, ia tidak bisa mengajukan keringanan UKT di semester dua karena di kelurahan, ibunya masih berstatus bekerja. Walau begitu, ia tetap ingin mengajukan banding UKT di semester tiga dan berharap kebijakan ini dapat diajukan meski berstatus mahasiswa baru. Fauzi, staf Wakil Rektor II membenarkan bahwa mahasiswa baru tidak bisa mengajukan perubahan golongan UKT, sebelum semester tiga. Fauzi beralasan, “karena dia sudah merasakan semester satu dan dua.” Ia berdalih, kebijakan keringanan yang diterapkan sudah

merujuk pada Permendikbud nomor 25 tahun 2020 Pasal 9 ayat (4) huruf (c). Pihak UNJ hanya membuat Standar Operasional Prosedur. Menurutnya, jika ada ketidakadilan bagi mahasiswa baru, maka hal tersebut dikembalikan kepada pihak kementerian. Fauzi mempersilakan, “bagi mahasiswa baru untuk mengajukan empat keringanan yang lain, seperti pengurangan, pembebasan sementara, pengangsuran, dan penundaan UKT,” ujarnya. Penulis: Devita Sari Adinda Rizki Editor : Hastomo Dwi Putra HALUAN MAHASISWA

9


B E RI T A I I I

Dalam Bayang-bayang Senioritas: Pelanggengan Kekerasan Simbolik dalam Wujud PKKMB dan PKMP

Pada pelaksanaan PKKMB dan PKMP tahun ajaran 2021/2022 kemarin, kejadian senioritas masih menimpa mahasiswa baru. Sayangnya, hal ini masih kerap terjadi sehingga membentuk apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai habitus.

M

ahasiswa baru UNJ tentu akrab dengan sebutan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi (PKMP). Sebutan ini merujuk pada kegiatan di UNJ yang ditujukan kepada mahasiswa baru. Dalam laman resmi UNJ, PKKMB bertujuan untuk mengenalkan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Sedangkan PKMP, merupakan program kerja BEM tingkat Prodi untuk melatih kepemimpinan mahasiswa baru. Namun, kegiatan-kegiatan tersebut justru menciptakan momok tersendiri bagi mahasiswa baru yang mengikutinya. Pasalnya, masih terdapat budaya senioritas dalam kegiatan tersebut, meskipun dilakukan secara daring. Marzela Zalianti, mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab 2021 ber-

10 LPM DIDAKTIKA

pendapat bahwa pihak pelaksana, yakni BEM Prodi-nya, tidak menoleransi perbedaan perangkat dan kondisi jaringan yang dialami peserta ketika masa PKMP. Menurut Marzela, hal ini sangat memberatkan mahasiswa. Marzela menceritakan bahwa dirinya tidak diizinkan mematikan kamera oleh panitia meskipun jaringan internetnya buruk. BEMP pun memberikan solusi untuk mencari tempat lain agar jaringannya lebih baik. Puncaknya ketika hari terakhir PKMP, ia sudah enggan untuk izin kepada panitia, karena sudah tahu jawaban yang akan diterimanya seperti apa. Tak sampai disitu, ia juga dimarahi oleh panitia karena tidak mengonfirmasi bahwa dirinya adalah ketua angkatan sementara. Menurutnya, konfirmasi seperti itu tidak perlu dilakukan karena ia ha-


nya menjalankan tugasnya untuk sementara dan bukan ketua angkatan tetap. Kejadian tersebut pun berdampak kepada Marzela. Ia merasa takut apabila harus berinteraksi dengan BEMP di berbagai situasi. “Sampai sekarang, ada rasa ketidaknyamanan dan ketakutan tersendiri kalau harus bertemu dengan mereka di berbagai kegiatan. Apabila saya ingin mengikuti kegiatan tetapi mereka ada di dalam kegiatan tersebut, saya lebih memilih untuk tidak mengikuti,” ujarnya. Ketua BEMP Pendidikan Bahasa Arab, Akmalludin Thahir pun angkat bicara terkait kejadian tersebut. Ia mengatakan, BEMP membentuk divisi K3 yang berfungsi menegakkan kedisiplinan mahasiswa baru ketika PKKMB dan PKMP. Lanjutnya, apabila ada yang melanggar, maka divisi K3 berhak menegur. Tetapi, Akmal juga merasa perlu adanya evaluasi kepada seluruh panitia, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Selanjutnya, apabila mahasiswa yang merasa dirugikan ingin membicarakan lebih lanjut maka bisa di diskusikan ke pihak terkait. “Jikalau narasumber merasa ada hal-hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut, silakan langsung menghubungi pihak terkait, supaya dapat

diselesaikan baik-baik dan permasalahan ini dapat selesai,” ujarnya. Setali tiga uang dengan Marzela, Abraham Leonardo, mahasiswa Sastra Indonesia 2021 mengalami kejadian tidak mengenakan yang dilakukan oleh BEMP. Menurut penuturannya, ketika tengah mengutarakan gagasan di forum antara BEMP dan angkatan 2021 terkait pengurangan tugas pra-PKMP, percakapannya dipotong oleh salah satu anggota BEMP. Baginya, kejadian tersebut merupakan bentuk senioritas yang terjadi karena adanya dominasi atas dasar pengalaman. HALUAN MAHASISWA

11


Rivaldo selaku Ketua BEMP Sastra Indonesia menanggapi bahwa pemotongan pembicaraan dinilai sebagai hal yang tidak baik. Tetapi karena bentuk forum saat itu adalah diskusi, maka menurutnya pemotongan pembicaraan merupakan tindakan yang tidak bisa dibendung. “Saya tidak membenarkan hal itu (pemotongan saat mengutarakan pendapat) namun memang tidak bisa dipungkiri hal tersebut dapat terjadi di diskusi,” tuturnya. Selain itu, Rivaldo menjelaskan bahwa pemotongan pembicaraan tersebut bisa saja karena faktor jaringan internet, kurangnya peran moderator, dan materi yang repetitif. 12 LPM DIDAKTIKA

Senioritas dan Kekerasan Simbolik Umumnya senioritas seringkali digambarkan sebagai tindakan kekerasan oleh orang yang mempunyai umur dan pengalaman lebih, didalam sebuah lembaga pendidikan ataupun perkantoran. Menurut Siswoyo dalam Lupakan Senioritas (2010), senioritas merupakan keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, usia, dan tingkatan yang diperoleh dari lamanya bekerja atau bersekolah. Pemberian keistimewaan tersebut, terjadi kepada yang lebih tua dikarenakan karakter orang berpengalaman


secara umur biasanya lebih bijak dan berwawasan luas. Kata senior yang ditambah dengan imbuhan-itas memberikan makna yang merujuk kepada perbuatan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Rinaldi yang berjudul Etika Senioritas (Studi Kasus Kekerasan Simbolik pada Latihan dasar Kepemimpinan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar) menjelaskan bahwa senioritas sering diartikan sebagai perbuatan kekerasan, bukan mengacu kepada status yang diperoleh seseorang karena faktor umur dan pengalaman. Umumnya di lingkungan kampus, kekerasan dalam senioritas memiliki bentuk yang dapat dikenali. Irsyad Ridho, dosen Sastra Indonesia UNJ berpendapat bahwa budaya senioritas yang ada di kampus merupakan bentuk dari kekerasan simbolik. Bentuk ini terus dilestarikan, karena cara-cara yang tertanam dilakukan secara tidak sadar seperti, di keluarga, sekolah dan organisasi. Seharusnya lingkungan kampus sadar akan hal tersebut karena, kampus sendiri merupakan tempat masyarakat akademis yang diharapkan bersikap

rasional dan egaliter (setara). “Kekerasan simbolik masih terus dilestarikan karena kita terbiasa dididik dalam budaya semacam itu. Kampus seharusnya menyadari hal tersebut, sebab kita adalah masyarakat akademis yang diharapkan paling rasional dan bersikap egaliter,” pungkasnya. Pernyataan ini didukung oleh Nanang Martono dalam buku Kekerasan Simbolik di Se-

kolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Pierre Bourdieu. Dalam

bukunya, Nanang menjelaskan bagaimana kekerasan simbolik di sekolah dapat terjadi dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Seorang filsuf, sosiolog, dan antropolog Perancis pada abad-20. Dalam buku tersebut, kekerasan simbolik bisa melekat di setiap tindakan dan kesadaran individual melalui cara-cara non fisik. Dengan kata lain, kekerasan simbolik bisa berwujud tindakan yang lemah lembut dan tidak terlihat atau bahkan tidak dikenali sebagai kekerasan. Sebagai contoh, kekerasan simbolik bisa eksis sampai sekarang karena bekerja di bawah alam sadar seperti di keluarga, sekolah atau organisasi. HALUAN MAHASISWA 13


“Kekerasan simbolik masih terus dilestarikan karena kita terbiasa dididik dalam budaya semacam itu. Kampus seharusnya menyadari hal tersebut, sebab kita adalah masyarakat akademis yang diharapkan paling rasional dan bersikap egaliter.” Dalam jurnal penelitian Rina Oktavia Kekerasan Sim-

bolik: Studi Relasi Pendidik dan Peserta Didik, Bordieu mem-

berikan dua contoh mekanisme yang berdampak pada pewajaran tindakan kekerasan simbolik. Pertama, Eufemisasi yaitu berupa perintah, pemberian bonus, kepercayaan dan larangan. Bentuk Eufemisasi bertujuan agar penerima mampu melakukan sesuatu yang diperintahkan tanpa adanya tawar menawar. Kata ‘’perintah’’ dalam Eufemisasi menggambarkan betapa penerima tidak memiliki alternatif lain selain harus menyelesaikan tugas yang telah diberikan tanpa perlu adanya afirmasi. Kedua, sensorisasi, yaitu paksaan kepada subjek yang bertujuan untuk segera menyelesaikan atau menjalankan tugas 14 LPM DIDAKTIKA

yang telah diberikan. Sensorisasi tidak akan bisa terlepas dari peranan bahasa yang begitu sentral dalam mekanisme kekuasaan, dominasi, dan menyembunyikan maksud sebenarnya dari sebuah tindakan. Kedua mekanisme tersebut melahirkan normalisasi standar yang Bourdieu sebut sebagai habitus. Cara kerja habitus yaitu menggunakan pemaksaan untuk menciptakan penerimaan, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas bawah atau minoritas tidak perlu dijalankan. Sebagai contoh, di dalam lingkungan kampus, habitus memunculkan standar bahwa tindakan diluar kedisiplinan saat masa pengenalan kampus haruslah dihapuskan, agar mahasiswa baru tertib dan mudah diatur. Selain itu, masa pengenalan kampus merupakan sistem mengikat sehingga dengan terpaksa, mahasiswa baru harus menaati, menjalani dan melakukan praktik terkait standar kedisiplinan yang sudah ditetapkan oleh pihak penyelenggara. Penulis: Arrneto Bayliss Wibowo Editor : Hastomo Dwi Putra


Bukti Diskriminasi KIP-K di UNJ: Molornya Jadwal Isi KRS Berbeda dengan universitas lain, keterlambatan pengisian KRS seakan sudah menjadi tradisi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Solusi yang diberikan hanya sebatas penambahan waktu bukannya persamaan waktu.

P

BERI TA I V

engisian Kartu Rencana Studi (KRS) semester 116 ini berlangsung sejak Senin (17/1/2022) hingga (28/1/2022). Namun, bagi mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan Bidikmisi, tidak dapat mengisi KRS sesuai jadwal tersebut. KRS ini tentu menjadi hal yang krusial bagi para mahasiswa dalam satu semester. Hal ini dikarenakan KRS merupakan bukti bahwa mahasiswa tersebut aktif dalam perkuliahan dan merencanakan pembelajaran pada semester tersebut. Beberapa mata kuliah, khususnya Mata Kuliah Umum (MKU) memiliki keterbatasan kuota. Imbas dari hal ini adalah mahasiswa harus mencari dosen lain yang sekiranya HALUAN MAHASISWA 15


bersedia untuk mengampu mata kuliah yang seharusnya mereka ambil. Belum lagi, ketika laman Sistem Informasi Akademik (Siakad) sempat sulit diakses mahasiswa selama sebelas hari pada Jum’at sampai Senin (21-31/1/2022) lalu. Achmad Fauzi, selaku Staff Pengembang WR II Bidang Administrasi Umum dan Keuangan, menjelaskan terkait keterlambatan pengisian KRS tersebut. “KIP-K itu kan dibiayai oleh negara, kita juga menunggu kepastian dari pemerintah pusat untuk kejelasan apakah mahasiswa ini (UKT-nya) dibayarkan atau enggak,” ujarnya. Ia juga menambahkan pengisisan KRS bagi penerima KIP-K dan Bidikmisi baru dapat dibuka apabila pihak Wakil Rektor III sudah mendapat kepastian terkait mahasiswa yang akan dibiayai. “Sampai sekarang pengisian KRS itu masih dibuka,” tambahnya. Jika KRS untuk mahasiswa KIP-K dan Bidikmisi dibuka sesuai jadwal, lanjutnya, pihak kampus harus memiliki keberanian untuk membiayai mahasiswa KIP-K dan Bidikmisi untuk sementara. Sebab, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)yang dialokasikan khusus untuk membiayai mereka, baru turun sekitar Februari. Sementara, Forum Bidikmi16 LPM DIDAKTIKA

si (FBM) UNJ tidak angkat bicara mengenai permasalahan terkait KRS mahasiswa penerima KIP-K. Hal ini disebabkan karena FBM tidak memegang penuh permasalahan KRS. Salah satu penerima KIP-K, Ann yang datang dari Fakultas Bahasa dan Seni menyampaikan keresahannya mengenai masa pengisian KRS yang terlalu singkat. “Waktu pengisian KRS biasanya hanya sebentar,” ujarnya. Dengan kata lain, mahasiswa pemegang KIP-K dan Bidikmisi harus sabar menunggu hingga tanda merah bertuliskan "Anda belum membayar uang kuliah tunggal semester ini" hilang. Hal tersebut juga dialami oleh Amalia Kairani, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial. Menurutnya, sinkronisasi antara Siakad dengan data pembayaran bank dinilai sedikit lama. “Sampai saat ini, kalau ada yang terlambat masih ditangani. Tetapi tidak cepat. Biasanya hanya ditambah waktu pengisiannya saja,” ujar Amalia. Selain itu, Amalia juga mendapat informasi dari pengurus FBM, bahwa UPT lebih mengedepankan mahasiswa non-bidikmisi dan beasiswa lainnya yang tidak ditanggung oleh pemerintah pusat. Hal yang berbeda dirasakan


penerima beasiswa KIP-K dan Bidikmisi universitas lain. Ajeng Noverla Winda misalnya, mahasisiswi penerima beasiswa KIP-K Universitas Sriwijaya. Ia mengungkapkan bahwa di kampusnya tidak ada perbedaan dalam engisian KRS antara penerima KIP-K dan yang bukan. “KRS di kampus saya sama kok, tidak ada perbedaan antara yang bayar langsung dan KIP-K. Kalau di kampus saya itu KRS-nya dipaket, jadi dipastikan semua dapat,” pungkasnya. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Rizky Akbar Raferi

sebagai penerima KIP-K dari Universitas Airlangga. “Kita isi KRS bareng, dijadwalkan tiap fakultas. Sebelumnya juga diberi daftar mata kuliah yang dapat diambil oleh mahasiswa,” jelasnya. Kabar serupa datang dari Salsha Mida, salah satu mahasiswa Universitas Jambi. Ia mengatakan bahwa universitasnya memberikan kesamaan waktu pengisian KRS bagi mahasiswa penerima KIP-K dan Bidikmisi. Penulis: Namira Pratiwi Editor : Yoga Alfauzan HALUAN MAHASISWA 17


B E RI T A V

Minimnya jumlah CCTV dan Petugas Keamanan Kampus UNJ di tengah maraknya kasus pencurian Ketika antara ada tidaknya keamanan di kampus, tangan-tangan nakal masih saja seenaknya mengambil barang yang bukan haknya

BERITA V

P

encurian motor kembali terjadi di parkiran belakang Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang terletak di Jalan Pemuda, Jumat (18/01/2022) lalu. Wahyu, mahasiswa Pendidikan Jasmani 2019 yang menjadi korban pencurian motor tersebut, diketahui sudah melapor pada satpam UNJ dan melihat rekaman CCTV. Namun setelah dilihat, CCTV di area motornya hilang, tepatnya di depan papan panjat tebing, tidak menangkap gambar secara jelas. “Saya sempat cek CCTV, tapi jaraknya jauh. Itu yang berfungsi letaknya di sekitaran daerah fotocopy, yang ada pohon-pohonnya. Jadi kurang jelas tangkapan gambarnya,” ujarnya. Dengan adanya kejadian tersebut, Wahyu berharap perlu adanya peningkatan keamanan di area kampus, dengan menambahkan pe-

18 LPM DIDAKTIKA

tugas keamanan, jika peningkatan keamanan dari CCTV tidak maksimal. Permasalahan CCTV ini ternyata sudah ada sejak lama. Sekitar Oktober 2019 lalu, terjadi juga kasus pencurian motor di parkiran belakang UNJ. Tetapi, jejak rekamannya tidak ditemukan karena CCTV di hari kehilangan tersebut tidak aktif. “Pas kehilangan, saya langsung dibantu buat cek CCTV. Anehnya saat dicek, rekamannya tidak ada. Padahal di hari sebelumnya, Jumat dan Sabtu malam itu rekamannya ada,” terang Mei, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) angkatan 2018, salah satu korban kehilangan motor . Tidak berhenti sampai disitu, tim Didaktika mengecek sendiri


ruang pantau CCTV UNJ. Ternyata, terdapat CCTV yang tertutup ranting pohon, sehingga hanya menangkap gambar yang kurang jelas. Didi, selaku Komandan Satpam UNJ mengakui bahwa CCTV di UNJ sering mengalami kendala, akibat putus jaringan, terkena petir, dan kabel yang putus. Apalagi, CCTV yang ada di parkiran belakang UNJ hanya ada dua unit saja. Pihak keamanan pun sempat mengajukan perbaikan kepada birokrat kampus. Tetapi, pembaruan ini tetap tidak menyelesaikan masalah pencurian di parkiran. Pasalnya, menurut Didi, CCTV yang baru acap kali eror ataupun jaringan yang terputus secara tiba-tiba. Pembaharuan CCTV ini menggunakan sistem tanpa kabel. Tetapi menurut Didi, CCTV dengan sistem tanpa kabel ini justru lebih

sering eror daripada CCTV dengan sistem lama. “Tidak tahu mengapa diberikan CCTV yang baru, itu juga yang aktif sekarang hanya 8 seluruh kampus,” tambah Didi. Selain CCTV, Didi juga mempersoalkan minimnya jumlah Satpam di UNJ. Di kampus A yang mencakup sembilan fakultas, menurut Didi sangatlah luas. Sedangkan petugas satpam di kampus A hanya berjumlah 15 orang. Itupun letak penjagaannya masih di area pintu depan dan belakang kampus saja. Didi mengatakan, setidaknya 120 satpam dibutuhkan kampus, sehingga penempatannya cukup maksimal. “Seharusnya setiap Gedung kampus dijaga satpam. Tapi mau

“Pas kehilangan, saya langsung dibantu buat cek CCTV. Anehnya saat dicek. Rekamannya tidak ada, dihari sebelumnya jumat dan sabtu malem itu ada.” HALUAN MAHASISWA 19


Ruang kontrol CCTV UNJ gimana lagi, yang daftar sedikit tapi pensiun jalan terus,” ujar Didi. Kendati demikian, Didi juga berharap agar mahasiswa bisa diajak kerja sama dalam menciptakan kampus yang aman dari pencurian, seperti pemeriksaan STNK ketika keluar dari kampus. “Karena kita kan sifatnya membantu, jadi mahasiswa harus mau kalau diperiksa,” 20 LPM DIDAKTIKA

tambahnya Wartawan Didaktika sempat meminta keterangan Shandy selaku Staf Wakil Rektor III. Namun, ia tidak memberi tanggapan terkait CCTV. Penulis: Addina Nur Latifah Editor : Sekar Tri Widati


Amankah Gedung G bagi Perempuan?

Survei menunjukkan masih ada perempuan yang merasa tidak aman berada di Gedung G.

P

Sehubungan dengan hal tersebut, LPM Didaktika mengadakan survei tentang Budaya Kesetaraan,

Ruang Aman dan Nyaman bagi Perempuan di Gedung G UNJ. Survei

ini dimaksudkan untuk menilai apakah Gedung G dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mahasiswi yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa (Ormawa). Survei ini hanya ditujukan kepada mahasiswi yang tergabung dalam Ormawa UNJ. Gedung G merupakan sekretariat dari 21 Ormawa di HALUAN MAHASISWA 21

BERI TA V I

eraturan Rektor Universitas Negeri Jakarta No. 7 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Jakarta Pasal 2 huruf (b) berisi tentang pentingnya menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, saling menghormati, saling menjaga, bermartabat, setara, insklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di lingkungan Dosen, Mahasiswa, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus maupun masyarakat umum.


UNJ.

Kuni, mahasiswi prodi Ilmu Komunikasi 2021, berkomentar bahwa ia merasa tidak nyaman karena keadaan toilet yang bercampur dengan laki-laki, ditambah kunci pintu toilet yang rusak. “Keadaan toilet harus jadi perhatian penghuni Gedung G untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ucap Kuni. Serupa dengan Kuni, Salsadillah mahasiswi Pendidikan Vokasional KesejahAlasan mahasiswi merasa ti- teraan Keluarga dak aman berada di Gedung 2021 mengataG ialah pintu toilet yang ru- kan, “Sering ada sak, merasa diperhatikan petugas kebersiholeh sejumlah laki-laki di an yang duduk di depan sekretariat, dan bebe- depan toilet, tapi rapa barang yang dicuri di pintu rusak dan dibiarkan terbumushola. ka. Saya risih.”

Kami melakukan dua kali survei. Survei pertama dibuka pada 19 sampai 20 Februari 2022 dan diisi sebanyak 30 mahasiswi. Dalam survei pertama ini, ditemukan sebanyak 2 mahasiswi yang merasa sangat aman, 17 mahasiswi merasa aman, 10 merasa kadang-kadang aman, dan 1 mahasiswi merasa tidak aman. Alasan mahasiswi merasa tidak aman berada di Gedung G ialah pintu toilet yang rusak, merasa diperhatikan oleh sejumlah laki-laki di depan sekretariat, dan beberapa barang yang dicuri di mushola Gedung G. Disusul survei kedua yang dibuka pada 20 hingga 22 Februari 2022. Dari 38 responden, 3 mahasiswi menyatakan sangat nyaman, 24 menyatakan nyaman, 11 menyatakan kadang-kadang nyaman. Mahasiswi yang memilih opsi kadang-kadang nyaman memiliki alasan serupa dengan temuan di survei pertama, yaitu mengenai kondisi toilet perempuan yang digabung dengan laki-laki, dan keberatan dengan suasana gaduh Gedung G pada malam hari. 22 LPM DIDAKTIKA

Baik Salsadillah maupun Kuni berharap pintu segera diperbaiki. Selain itu, survei kedua juga menunjukkan terdapat 1 mahasiswi yang merasa diremehkan karena ia adalah seorang perempuan, 2 mahasiswi merasa tidak nyaman dengan lelucon mengenai bagian tubuh tertentu, serta 2 mahasiswa lainnya pernah mengalami pelecehan seksual di lingkungan gedung G. Salah satu responden mengungkapkan, “waktu itu aku mengalami catcalling di lantai dua Ge-


dung G. Sayangnya aku tidak tahu pasti siapa yang melakukannya dan organisasi mana yang diikutinya.” Ia juga menyebutkan bahwa kejadian yang sama dialami temannya ketika tengah berjualan untuk dana usaha acara di Gedung G. Survei kedua juga mencari tahu mengenai pertimbangan gender dalam menduduki jabatan di organisasi. Hasilnya menampilkan 14 mahasiswi menyatakan adanya pertimbangan dalam kedudukan jabatan di organisasi berdasarkan gender. Salah satu responden menuliskan tanggapan bahwa di dalam organisasi yang diikutinya mempertimbangkan dirinya sebagai perempuan dalam aspek tanggung jawab, penugasan, dan resiko. Menurutnya, aspek tanggung jawab, penugasan, dan resiko dimaksud ialah jabatan yang berkaitan dengan pengamanan dan bertugas untuk mengatur massa, mencegah keributan atau tugas yang membutuhkan tenaga ekstra yang biasanya dibebankan untuk laki-laki. “Hal ini menjadi pertimbangan karena khawatir kalau perempuan yang bertugas menjadi pengamanan, dapat dilecehkan oleh oknum massa atau sebagainya,” tambahnya. Syaima Mufida, mahasiswi Bahasa Arab 2017 berpendapat

bahwa semua individu punya hak yang sama untuk berperan dan berpendapat dalam organisasi, terlepas gender apapun. “Menurut saya, kita bisa memaksimalkan kemampuan kita sebagai perempuan di dalam organisasi,” pungkasnya. Penulis: Ananda Ayudia Editor : Vamellia Bella

HALUAN MAHASISWA 23


UT A MA

Jejak Rancu BEM UNJ Ditutup rapat hingga menjadi rahasia umum. Inilah sejumlah persepsi dan kritik mahasiswa terhadap BEM UNJ.

P

eralihan kepemimpinan dalam struktur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terus dilancarkan tiap tahun. Sayangnya, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi mengenai kinerja BEM UNJ. Hal ini kemudian mengundang persepsi yang sedemikian rupa dari beberapa mahasiswa. Zuriel Arya, Ketua Angkatan Fakultas Teknik 2021 menilai kinerja BEM UNJ belum ada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa. Zuriel menceritakan perihal ketidakmampuan BEM UNJ untuk menyatukan suara di tingkat fakultas. Seperti masalah Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) untuk mahasiswa baru, gerakan di tingkat fakultas lebih menginginkan penghapusan SPU dibanding-

24 LPM DIDAKTIKA

kan saran BEM UNJ yang menginginkan agar mahasiswa tidak takut memilih nol rupiah. Zuriel juga menyinggung terkait dominasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada BEM UNJ. Hal ini, menurut Zuriel membangun kesan bahwa UNJ adalah kampus yang didominasi oleh golongan tertentu. Menurut Zuriel, hal ini tidak memberikan kesempatan yang sama bagi mahasiswa untuk bisa memasuki organisasi tersebut. “Kita adalah mahasiswa, berpikir kritis serta berorganisasi dalam ranah politik, semua golongan seharusnya bisa masuk,” terang Zuriel. Organisasi ekstra kampus seperti PMII, HMI, GMNI, dan KAMMI, juga memiliki citra buruk dalam internal BEM UNJ. Zuriel mengatakan hal tersebut karena politik kampus yang unik, yaitu kampus "syar’i" berkedok umum. Padahal, ada baiknya BEM UNJ lebih bersikap


inklusif, sehingga tidak monoton. Seperti kampus-kampus lain yang merangkul berbagai organisasi ekstra kampus. Meski demikian, Zuriel berharap agar kedepannya BEM UNJ tidak bersifat eksklusif. Hal ini, lanjutnya, dapat dilakukan dengan membuat wadah atau forum aspirasi untuk seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. “Tujuannya agar memiliki perspektif baru, dan keterlibatan lembaga atau organisasi lainnya seimbang,” ujarnya. Senada dengan pernyataan Zuriel, menurut penelitian Setara Institute berjudul Wacana dan

Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila, memang

memungkinkan adanya kelompok Islam militan ekslusif. Wacana dan gerakan keagamaan eksklusif yang berkembang di kalangan mahasiswa dan politik organisasi kemahasiswaan, merembet ke dalam politik kampus pada umumnya. Sebab, hal ini memunculkan peluang untuk mendapatkan kekuasaan, atau apa yang disebut oleh jurnal tersebut sebagai structural opportunity. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bagaimana kelompok Islam ekslusif ini menentukan kaderisasi di kalangan mahasiswa

dan menentukan eksistensi dan kekuatan jaringan mereka di kampus. Kekuatan-kekuatan jejaring politik tersebut kemudian bekerja aktif dalam ragam momentum politik internal kampus seperti pemilihan Ketua Jurusan. Kelompok atau satu golongan yang hanya dirangkul oleh BEM UNJ akhirnya memiliki pengaruh yang signifikan dalam sistem organisasi politik tersebut. Diva Salsabila, Mahasiswa Sosiologi Angkatan 2020 pun mengupas satu persatu keresahannya. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian Diva adalah terkait Forum Perempuan UNJ yang berada di bawah pengaruh BEM UNJ. Arah politik dan golongan yang hanya dirangkul oleh BEM UNJ membuat sistem di dalamnya bersifat patriarkis. Menurut Diva, Forum Perempuan malah melekatkan perempuan dengan hal-hal yang domestik, bukan menuju kesetaraan gender atau masalah-masalah perempuan di kampus, misalnya, isu kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ia menegaskan, sikap Forum Perempuan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi indikasi HALUAN MAHASISWA 25


yang memperkuat opininya. Sebab, Forum Perempuan berada di bawah pengaruh BEM UNJ yang menolak Permendikbud tersebut. “Forum Perempuan tidak mengedukasi pentingnya Permendikbud Nomor 30, masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus,” ujar Diva Selain tentang kekerasan seksual, Diva turut menyoroti program-program yang tidak inovatif, seperti Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Baru (PKMP) dan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Ia menjelaskan, hampir dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut tidak bermakna. “Penugasan yang diberikan tidak mengenalkan mahasiswa dengan kampusnya. Selain itu materi kepemimpinan juga tidak terlalu bermanfaat,” jelasnya. Diva juga mengamati advokasi dari BEM UNJ yang bisu, tidak inklusif dan pincang. Tanggapan tersebut diambil dari pengamatannya terhadap bantuan keringanan mahasiswa selama pandemi, keringanan UKT, dan bantuan kuota internet. Menurut Diva, BEM UNJ gagal mengakomodir suara mahasiswa, khususnya masalah biaya perkuliahan. Padahal, setiap awal 26 LPM DIDAKTIKA

semester BEM UNJ telah mendata mahasiswa yang membutuhkan bantuan UKT. Menurut pengamatan Diva, BEM UNJ hanya terus mendata di setiap semester, tetapi mereka seperti sama sekali tidak memanfaatkan data yang lama. Diva juga memberikan kritiknya terhadap isu-isu kampus yang lambat disuarakan BEM UNJ. Seperti misalnya isu kantin kampus yang sepi dikarenakan pandemi. BEM UNJ, selain menyuarakan isu mahasiswa juga seharusnya tanggap menyuarakan masyarakat kampus. Sayangnya, justru yang menginisiasi pertama kali adalah BEM Fakultas, bukannya BEM UNJ. Representasi Persepsi Mahasiswa dalam Survei Keresahan-keresahan yang diutarakan oleh Zuriel dan Diva hanyalah sebagian. Berdasarkan survei yang disebarkan oleh Tim Didaktika pada pertengahan Februari 2022 lalu, hanya 56 persen dari 72 mahasiswa yang mengetahui siapakah ketua BEM UNJ 2022. Hal itu mengindikasikan banyak mahasiswa yang tidak tertarik dengan aktivitas politik yang digaungkan oleh BEM UNJ. Mahasiswa yang mengisi partisipasi terhadap program/kegiatan BEM UNJ terdapat 32.3% tidak


pernah mengikuti program/kegiatan BEM UNJ, 28.1% pernah berpartisipasi, 12,5% sering mengikuti, dan 27.1% jarang. Survei tersebut merepresentasikan banyak mahasiswa yang tidak tertarik dengan program/ kegiatan BEM UNJ. Pengaruh PEMIRA terhadap Kinerja BEM UNJ, sebanyak 64% mahasiswa mengisi tidak berpengaruh dan 31% berpengaruh. Selain itu, mahasiswa yang tidak berpartisipasi pada PEMIRA sebanyak 44% dan yang berpartisipasi terdapat 53%. Sementara itu, Ridwan Nurrahman, Wakil Ketua BEM UNJ periode 2022-2023 menanggapi

terkait kritik-kritik yang dilontarkan. Menurutnya, kritik tersebut lebih baik diberikan kepada pengurus BEM UNJ periode sebelumnya. Ia pun enggan menanggapi hasil survei Didaktika, dengan dalih data tersebut tidak representatif. Data lama mahasiswa yang kurang dimanfaatkan oleh BEM UNJ ditanggapi oleh Ridwan. Hal itu, sebab ekonomi setiap orang berbeda-beda dan terus berubah. Sehingga data tersebut harus tetap diperbaharui. Misal, yang semester sebelumnya tidak mengajukan bantuan, mungkin saja di semester selanjutnya ingin mengajukan bantuan. Ia pun menyanggah terkait keeksklusifan BEM UNJ. Menurutnya, BEM UNJ juga membutuhkan saran atau masukan dari berbagai perspektif agar bisa menghasilkan keputusan yang lebih baik. Beberapa kali juga BEM UNJ membuka konsolidasi dari berbagai gerakan di tingkat fakultas, dan elemen-elemen lain. Seperti pada 2020 lalu, terdapat Geram UNJ (Gerakan Keresahan Mahasiswa UNJ). “Artinya, BEM UNJ juga telah melakukan gerakan bersama dengan yang lain.” Ketiadaan suara terkati Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 oleh Forum Perempuan, tutur RidHALUAN MAHASISWA 27


Fachry Azkary, mahasiswa Pendidikan Sejarah 2019 juga angkat bicara mengenai eksistensi BEM UNJ saat ini. Pandangan politiknya terhadap BEM UNJ membuatnya memilih golput (golongan putih) pada saat PEMIRA (Pemilihan Raya) yang baru-baru ini digelar. Menurut Fachry, sosialisasi mengenai calon-calon yang menjadi kandidat tidak merata, atau mungkin tidak ada. Tiba-tiba, namanama calon kandidat terpampang di media sosial Instagram KPUUNJ saat PEMIRA baru akan digelar. Mahasiswa seolah-olah diarahkan untuk memilih tanpa mengenal calon kandidat. Selain itu, peran BEM UNJ yang dimitoskan sebagai ‘penyambung lidah mahasiswa’ atau ‘wadah bagi mahasiswa’ tidak dirasakannya. Apa yang seharusnya dikerjakan oleh BEM UNJ tidak berjalan semestinya. Fachry menegaskan, eksistensi BEM UNJ hanyalah simbol yang terus hidup dari makna para mahasiswa. “Tanpa makna yang disematkan, mereka bukanlah apa-apa.” Kata Fachry yang juga menjabat sebagai ketua Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA).

wan, disebabkan oleh adanya alur koordinasi dengan aliansi BEM SI. BEM UNJ yang dikatakan oleh beberapa mahasiswa didominasi oleh golongan tertentu, menurut Ridwan, BEM UNJ telah memberikan kesempatan kepada siapapun untuk menjadi pengurus BEM UNJ dengan prosedur dan mekanisme seleksi berupa pendaftaran, wawancara, dan lain-lain. Kemudian akan dirapatkan oleh pimpinan BEM UNJ siapa saja mahasiswa yang masuk, dan sebagai- Penulis: Siti Nuraini Editor : Ahmad Qori nya. 28 LPM DIDAKTIKA


MAunya keringanan, 'EH..' dapetnya pengangsuran Tingginya angka penolakan dan pembelokan pengajuan keringanan menjadi masalah bagi mahasiswa. Kampus beralasan keadaan ekonomi nasional sudah membaik.

U

berbeda. Seperti slip gaji, surat keterangan terdampak pandemi dan beberapa keringanan wajib mencantumkan syarat surat kematian dari pihak yang membiayai mahasiswa. Dalam prosesnya, kebanyakan mahasiswa mengalami kesulitan mengurus berkas di RT, RW dan Kelurahan. Tidak semua instansi terkait, memberikan kemudahan dalam pengurusan berkas. "Iya, diminta dari kampus dua berkas dipisah. Namun, saat dibawa ke kelurahan hanya dibuatkan satu surat saja, padahal seHALUAN MAHASISWA 29

BERI T A I V

niversitas Negeri Jakarta (UNJ) mengeluarkan, Surat Keputusan Rektor Nomor 737/ UN39/TM.01.03/2020 tentang teknis pengajuan permohonan perubahan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Terdapat 5 jenis keringanan pembayaran biaya kuliah yang berupa pembebasan, pengurangan, pengangsuran, perubahan golongan dan penundaan pembayaran.Pengajuan keringanan dibuka dari tanggal 2--7 Januari 2022. Setiap jenis keringanan memiliki syarat dan ketentuan yang


mua persyaratan harus lengkap." Ujar Melsa Sabila Farza mahasiswi Prodi Pendidikan Biologi 2021. Berselang dua pekan, tepatnya 19 Januari 2022. UNJ mengeluarkan surat keputusan bagi mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT. Banyak mahasiswa yang ditolak pengajuan keringanannya. Serta sebagian lagi, diputuskan diubah jenis pengajuannya secara sepihak oleh pihak kampus. Seperti yang terjadi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), dari total 302 mahasiswa yang mengajukan keringanan. Sebanyak 189 mahasiswa di belokan jenis pengajuannya dan 53 sisanya ditolak. Hal serupa turut terjadi di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Dari 542 pengajuan keringanan hanya 394 dikabulkan permintannya oleh pihak kampus. Kemudian di Fakultas Ekonomi. 359 mahasiswa terdata mengajukan. Tetapi dalam SK hanya 331 yang dikabulkan. Beberapa mahasiswa mengeluhkan kejadian ini. Sebab, merasa sudah melengkapi berkas keringanan namun, hasilnya malah ditolak dan dibelokkan secara sepihak. “Memang jika dibandingkan dengan dua tahun lalu di awal pandemi. Tahun ini banyak yang 30 LPM DIDAKTIKA

ditolak dan di belokan pengajuan keringanannya.“ Ungkap Nabil Ketua divisi Advokasi BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Nabil melanjutkan, ia dan beberapa temannya dari tim Advokasi BEM FMIPA turut mencoba menegosiasikan tentang keputusan keringanan UKT yang banyak di belokan dan ditolak. Namun, pihak Fakultas semakin hari malah menutup pintu negosiasi. Senada dengan Nabil, Adrian Ketua Angkatan Pendidikan Biologi 2021. Menjelaskan, banyak keluhan dari mahasiswa setelah hasil penetapan keringan diputuskan. Khususnya di angkatannya sendiri. “Angkatan 2021 dibanting ke pengangsuran semua. Padahal yang diajukan berbeda-beda." Terang Adrian kepada Tim Didaktika. Achmad Fauzi selaku staff Wakil Rektor II bidang Umum dan Keuangan, saat ditemui di kantornya. Menjelaskan, keringanan UKT yang dibuka untuk semester ini diperketat dalam tahap verifikasi, dibanding semester sebelumnya. "Pandemi sudah melandai sehingga kondisi perekonomian sudah membaik. Maka dari itu, banyak yang akhirnya dibelokkan dan ditolak pengajuannya." Jelas Fauzi. Pernyataan Fauzi terkait


alasan pembelokan dan penolakan keringanan oleh UNJ. Ditanggapi beberapa mahasiswa yang merasa diberatkan. Apalagi menurut mereka sektor perekonomian belum sepenuhnya membaik. Salah satunya Shofi Aulia Izzati dari Prodi Pendidikan Biologi 2021. Dirinya merasa tidak semua sektor ekonomi sudah berjalan dengan normal dan baik. Sebab, perusahaan tempat ayahnya bekerja masih, mengalami dampak yang cukup besar karena pandemi. Seperti PHK sepihak dan pemotongan gaji. Senada dengannya, Melsa pun merasa tidak semua keluarga mengalami perbaikan ekonomi bulan Januari lalu. Bahkan, ia merasa keluarganya dari awal pandemi, belum mengalami per-

baikan ekonomi secara signifikan. Cantika, mahasiswi Pendidikan Biologi 2021 asal Surabaya. Turut merasa terbebani dengan keputusan kampus. Terlebih, dirinya seorang perantauan yang saat ini indekos di Rawamangun. Cantika mengajukan jenis keringanan pengurangan 50%. Uang tersebut rencananya akan dialokasikan untuk biaya kos dan sehari-hari di Jakarta. Namun, keputusan kampus justru menolak pengajuannya dan mengalihkannya ke jenis pengangsuran. “Bingung, padahal berkasnya sudah sesuai tetapi malah di belokan dan tidak dikabulkan sesuai yang dipinta,“ ujar Cantika. Penulis: Zahra Pramuningtyas Editor : Izam Komaruzaman HALUAN MAHASISWA 31


WAWANC ARA K HU S US

KEBEBASAN BERPIKIR DAN BERPENDAPAT DEMI KAMPUS YANG DEMOKRATIS

S

udah menjadi keharusan dari universitas untuk menjamin kebebasan berpikir, berpendapat, serta berpartisipasi di dalam segala kegiatan akademik. Hal ini didukung oleh Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 8 Ayat (1) yang berbunyi, “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Sayangnya, terdapat banyak fenomena–fenomena yang menunjukkan adanya penggerusan terhadap demokrasi kampus, seperti kontroversi yang melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mengkritik Jokowi lewat poster bertuliskan ‘Jokowi King of Lip Service’. Selain itu, 18 anggota Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) dipecat oleh pihak kampus terkait penerbitan sebuah cerpen berjudul ‘Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku’. Kasus lainnya yakni kriminalisasi yang dialami

32 LPM DIDAKTIKA

dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Saiful Mahdi terkait kritiknya terhadap kebijakan kampus. Kasus-kasus tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Apakah dengan adanya kasus-kasus tersebut menandakan bahwa demokrasi kampus terancam? Apa itu demokratisasi kampus, dan bagaimana seharusnya demokratisasi kampus itu direalisasikan? Kali ini, Didaktika berkesempatan untuk membahas persoalan ini bersama salah satu dosen Sosiologi Politik UNJ, yaitu Ubedilah Badrun atau akrab dipanggil Ubed via Zoom Meeting pada Minggu (20/02/22). Ubed menjelaskan bahwa secara etimologis, demokratisasi adalah satu proses menumbuhkan demokrasi dengan memberikan ruang yang luas. Dalam konteks universitas, lembaga-lembaga di dalam kampus harus memberi ruang bagi proses demokrasi. Hal ini dapat terlaksana dengan memberikan ruang partisipasi yang luas bagi civitas akademika dalam menentukan


langkah-langkah yang akan dijalankan universitas. Ia menambahkan, ciri utama dari demokrasi kampus adalah kemerdekaan berpikir bagi setiap civitas akademika untuk menjalankan fungsinya sebagai bagian dari universitas. “Jadi ada kemerdekaan berpikir, ada kemerdekaan menyampaikan aspirasi, ada kemerdekaan untuk menyampaikan ide-ide perubahan, ada kemerdekaan untuk terlibat dalam menyusun langkah-langkah kampus ke depan,” ucap Ubed yang juga menjadi anggota Aliansi Dosen UNJ. Ubed menuturkan, setidaknya ada empat hal penting yang menjadi tolak ukur kampus yang demokratis. Pertama, adanya budaya demokrasi yang tumbuh di dalam kampus. Ia menjelaskan, budaya demokrasi

Ubedillah Badrun

bisa dilihat dari produksi kebebasan berpikirnya serta langkah-langkah dari kemerdekaan berpendapat di dalam kampus, kemudian di kampus itu tumbuh subur satu budaya akademik yang merdeka. Kedua, kampus menjamin adanya kebebasan berpendapat untuk siapapun. Ia menambahkan, jika adanya kebebasan sipil menjadi indikator demokrasi secara umum, maka dalam lingkup kampus yang demokratis, terdapat kebebasan sivitas akademika yang dijamin oleh kampus untuk berpikir merdeka. Ketiga, ada proses dari kampus untuk mendengar aspirasi sivitas akademika, bahkan mendengar aspirasi publik, seperti orang tua mahasiswa. Menurutnya, kampus adalah institusi terhormat yang merupakan magistorum et scholarium atau “komunitas guru dan akademisi”. Tambahnya lagi, kampus harus siap membuka meja pikirannya untuk diperdebatkan, dikritik, diberi masukan, termasuk oleh masyarakat, orang tua mahasiswa, dan lainlain. Keempat, selain membuka partisipasi, kampus harus bersikap transparan. Kampus yang demokratis bisa dilihat dari keterbukaan kampus dalam melibatkan civitas akademika untuk merumuskan kebijakan–kebijakan. Ubed menamHALUAN MAHASISWA 33


bahkan, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kampus juga harus bisa diterima secara rasional oleh khalayak umum dan civitas akademika. Lanjutnya, ia mengatakan bahwa substansi dari demokrasi adalah kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, dan partisipasi dari setiap orang yang berjalan secara setara. Dalam demokrasi, tutur Ubed, ada kesetaraan dan tidak ada pola subordinasi di dalam kampus. “Karena kampus bukan perusahaan, kampus juga bukan lembaga militer, kampus itu bukan alat negara yang dijadikan sebagai instrument untuk mengekang kebebasan,” ucapnya. Kemerdekaan berpikir menjadi salah satu syarat untuk menghadirkan kekuatan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan, temuan dan inovasi baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, hanya dapat tercapai dengan adanya kemerdekaan berpikir di kampus. “Kampus yang tidak demokratis, pasti ilmu pengetahuannya mandek,” tegasnya. Selanjutnya, Ubed berbicara mengenai peran serta fungsi dosen dan mahasiswa dalam menuju kampus yang demokratis. Menurutnya, dosen dan mahasiswa memiliki peran dan fungsi yang sudah tercan34 LPM DIDAKTIKA

tum di dalam Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sayangnya, penafsiran dari Tri Dharma, bagi Ubed, bersifat kaku. Ia mencontohkan, pengabdian kepada masyarakat, menurutnya, hanya sekedar formalitas saja, yaitu ketika dosen bersama mahasiswa datang ke desa-desa untuk memberikan pelatihan. Seharusnya, bentuk dari pengabdian kepada masyarakat yang otentik adalah kedekatan dosen dan mahasiswa bersama rakyat. “Kalau di tengah-tengah masyarakat, dosen atau mahasiswa cicing wae, diem aja, tidak bergaul dengan masyarakat, tidak ada aktivitas di tengah masyarakat. Itu aneh, dia tidak menjalankan fungsi Tri Dharma,” ucapnya. Ia ingin agar tafsir terhadap Tri Dharma bergeser ke arah yang lebih progresif untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya advokasi, pembelaan, memperjuangkan hak-hak rakyat, menyampaikan kebenaran, serta menyampaikan aspirasi rakyat. Tafsir yang tidak progresif, menurut Ubed, mengakibatkan gagalnya kampus menumbuhkan critical thinking. Padahal, yang menjadi bagian terpenting dari substansi universitas adalah menumbuhkan


“Karena kampus bukan perusahaan, kampus juga bukan lembaga militer, kampus itu bukan alat negara yang dijadikan sebagai instrument untuk mengekang kebebasan,” ucapnya.

yang harus dibenahi terkait dengan demokrasi kampus. Pertama, cara berpikir elit kampus untuk menempatkan pikiran rasional agar diletakkan di meja perdebatan yang sehat. Sebab, hal semacam itu sangat penting dalam menciptakan kampus yang demokratis. Kedua, budaya organisasi kampus harus dibenahi. Artinya, struktur birokrasi harus mempunyai semangat demokrasi, yaitu melayani secara partisipatif dan berkolaborasi dengan mahasiswa dan dosen. Selain itu, perlu adanya transparansi sejelas-jelasnya dalam menjalankan budaya organisasi, sehingga terciptanya ruang dialog yang terbuka. Terakhir, Ubed berpesan agar dosen dan mahasiswa untuk tidak takut menyuarakan demokrasi, tidak takut menyuarakan kebenaran, dan untuk tidak takut untuk berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, dosen dan mahasiswa harus berani membangun budaya demokrasi yang rasional, merdeka, dan independen. “Jadi, dosen dan mahasiswa juga mempunyai peran dalam membangun budaya demokrasi yang sehat,” pungkasnya.

kemampuan bepikir tingkat tinggi. Jika pikiran kritis dapat tumbuh secara sehat maka akan tercipta kampus yang demokratis. “Jika kita ingin mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih kreatif dan inovatif, maka demokrasi harus dijaga dan kemerdekaan kampus harus dirawat,” tegasnya. Demokrasi Kampus Hari Ini Ubed juga turut mengomentari situasi demokrasi di UNJ. Menurutnya, demokrasi di UNJ berangsur membaik dengan adanya ruang yang lebih merdeka meskipun sempat memburuk selama beberapa dekade sebelumnya. “Meskipun sempat beberapa waktu lalu saya dilaporkan polisi, seperti rektor sebelumnya. Tapi itu sudah berlalu. Sekarang nampaknya UNJ sudah lebih bagus dalam memberi ruang kemerdekaan pada dosen dan mahasiswa,” pungkasnya. Terakhir, Ubed menambah- Penulis: Ezra Hanif kan setidaknya ada beberapa hal Editor : Ahmad Qori

HALUAN MAHASISWA 35


OPINI

Demokrasi 'Puro-puro'

U

Oleh: Nugroho Taufiq Yusron*

niversitas Negeri Jakarta (UNJ) bulan Januari lalu baru saja menyelesaikan ajang pesta demokrasinya yang disebut Pemilu Raya (Pemira) dengan melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua BEM Universitas, BEM Fakultas, hingga BEM Prodi (Program Studi). Pemira dianggap menjadi gambaran sistem demokrasi dalam kehidupan kampus. Sistem Demokrasi secara teoritis diartikan sebagai cara untuk melaksanakan kekuasaan dengan selalu berasas pada kepentingan masyarakat yang tercakup di dalam sistem pemerintahan tersebut. Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Oleh karena itu, untuk menerapkan pemerintahan yang bersumber dari rakyat diadakan suatu pemilihan di mana rakyat yang menjadi bagian dalam masyarakat tersebut ikut terlibat pada pemilihan. Pemira di UNJ dilaksanakan setiap satu tahun guna meregenerasi struktur sebelumnya menjadi struktur yang baru. Di masa pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai, dalam dua tahun terakhir Pemira dilaksanakan secara online melalui

36 LPM DIDAKTIKA

Si Kora dengan menggunakan akun Siakad mahasiswa. Mengacu ke UUD 1945 Pasal 22E ayat 1, pemilihan umum atau pemilu harus menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun faktanya, tidak semua pemilihan bersifat demokratis. Sebab, pemilihan yang demokratis bukan sekedar ritual memilih pemimpin belaka, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif, berkala, inklusif dan definitif dalam menentukan kepemimpinan. Pemira UNJ yang diklaim sebagai miniaturnya pemilu ternyata terindikasi adanya kecurangan. Jika dilihat dari segi historisnya, berdasarkan riset dari Didaktika kecurangan-kecurangan sudah ada dalam Pemira tahun-tahun sebelumnya. Tetapi mengapa kecurangan seolah menjadi hal yang lumrah? Baru dalam lingkup kampus saja pemilihan yang demokratis sulit sekali diwujudkan. Pemilihan yang mengharuskan masuk melalui akun Siakad, di mana banyak mahasiswa 2021 belum mengubah kata sandinya, menjadi celah bagi oknum tak berwenang memakai akun mahasiswa demi memenangkan paslon terten-


tu. Hal ini disebabkan akun Siakad dialami mahasiswa angkatan 2018 mahasiswa yang belum mengganti dari Fakultas Ilmu Sosial, di mana kata sandinya masih menggunakan akunnya sudah digunakan untuk Nomor Induk Mahasiswa (NIM). hak pilih. Sehingga, cukup dengan mengeUntuk mengatasi penyalahtahui NIM mahasiswa yang ber- gunaan hak suara ini, KPU pusat sangkutan oknum tak berwenang memfasilitasi keluhan mahasistersebut mampu wa melalui P3S di mengambil hak mana mahasiswa suara mahasisyang merasa hak suaranya disawa. Termasuk lahgunakan bisa penulis sendiri melapor ke P3S. ketika mencoba P3S tingkat prodi masuk ke akun Si menampung keKora, penulis tiluhan-keluhan madak dapat memihasiswa terhadap lih paslon karena pemira baru kemudianggap sudah dian melaporkanmenggunakan nya ke P3S pusat. hak pilih. KesakSetelah itu, mahasian dari petugas siswa yang belum KPU Pendidikmengganti kata an Sejarah pun sandi siakad dihamembenarkan ruskan mengubahbahwasanya banya. Setelah login nyak terjadi pekembali, P3S akan retasan di akun menghapus daSi Kora yang tabase mahasiswa rata-rata adalah yang merasa hak mahasiswa angpilihnya disalahgukatan 2021 yang nakan. Sehingga, belum mengganti kata sandinya. mahasiswa yang bersangkutan meMenurutnya, ada 50 suara yang hi- miliki akses kembali untuk melakulang dari total 200 suara. Laporan kan pemilihan. mengenai peretasan ternyata juga Mengenai oknum tak beweHALUAN MAHASISWA 37


nang, KPU tidak mampu menelusuri pihak mana yang melakukan kecurangan pencurian hak suara. Mereka beralasan tidak mempunyai bukti konkrit untuk melacak salah satu kandidat. Oleh karena itu, KPU lebih berfokus terhadap peretas yang faktanya mereka tidak mampu mengusut secara dalam karena peretas menggunakan VPN sehingga tidak dapat dilacak. Sehingga, siapa oknum tak berwenang yang melakukan kecurangan hak suara pemira tak terusut secara tuntas. Toh BEM

universitas, fakultas, maupun prodi sekarang sudah mengesahkan ketua dan wakil ketuanya masing-masing. Pemira yang dilaksanakan kemarin tidak menggambarkan pemilihan yang demokratis, karena calon-calon yang seharusnya bersaing secara kompetitif justru memanfaatkan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) mahasiswa yang belum mengganti kata sandi siakadnya. Selain itu, penghitungan suara yang seharusnya inklusif melupakan hak suara mahasiswa yang memilih untuk tidak memilih. Pada rilis penghitungan suara KPU tidak dicantumkan berapa jumlah pemilih yang tidak memilih. Bagaimana ingin mencantumkan jika mereka tidak mengetahui jumlah konkritnya akibat ketidakmampuan KPU mengusut tuntas oknum tak berwenang yang melakukan kecurangan. Akhirnya, Pemira yang dikatakan sebagai pesta demokrasinya mahasiswa hanya sebuah demokrasi puro-puro yang dilaksanakan setiap tahun.

*Penulis merupakan Kepala Divisi Pendidikan Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA)

38 LPM DIDAKTIKA


Menyelisik Rasa Inferioritas Melalui Psikologi Individual Sewaktu kecil, pemikiran kita akan sama seperti Pangeran Cilik. Merasa heran dengan sifat orang dewasa dan menganggap mereka membosankan. “Orang-orang dewasa memang amat ganjil sekali.” - Pangeran Cilik (hlm. 53)

K

Chamber-Loir dengan judul Pangeran Cilik. Jika, dilihat dari judul dan ilustrasi gambar, novel ini seperti buku cerita anak. Sejatinya cocok pula dikonsumsi orang dewasa. Pangeran cilik menyajikan kisah menyerupai sindiran untuk orang dewasa yang luput memaknai hidup, cinta, tanggungjawab. Setelah mengakhiri bacaan, kita akan sadar bahwasanya banyak hal penting kita lewatkan. Karena lebih sibuk mencari pengakuan. Cerita ini diawali kisah masa kecil seorang pria yang menyebut dirinya sebagai “Aku.” Saat itu, si tokoh menggambar seekor ular sanca yang menelan gajah dalam perutnya. Sanca itu bewarna coklat dengan bagian perutnya terlihat seperti gundukan tidak rata. Pria tersebut dengan bangga, menunjukkan gambarnya pada orang dewasa. Akan tetapi, orang HALUAN MAHASISWA 39

RESENSI B U K U

etika beranjak dewasa, kita takut akan banyak hal, di antaranya takut berbeda dari orang lain, takut diremehkan, dan takut tak dihormati. Hal tersebut membuat kita selalu membohongi diri sendiri. Akibatnya, saat dewasa kita menilai sesuatu dengan sebelah mata dan hanya menghormati orang yang memiliki pengetahuan serta ambisi besar. Berbeda dengan anak-anak, mereka tidak berambisi mencari pengakuan. Mereka hanya ingin bermain, dikelilingi teman dan bersenang-senang. Seringkali, kita menganggap dongeng hanyalah bacaan pengantar tidur. Namun, buku Le Petit Prince karangan Antoine de Saint-Exuperi menawarkan hal lain. Novel ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Henri


Judul Novel : Le Petit Prince Nama Penulis : Antoine de Saint-Exupry Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Kesepuluh Tahun Terbit : Juli 2018 ISBN : 9786020323411

dewasa itu berkata “Mengapa harus takut pada topi?” Kemudian, menyuruhnya belajar ilmu pengetahuan dibanding menggambar. Karenanya, tokoh "Aku" memutuskan untuk menjadi pilot setelah dewasa. Si "Aku" benar-benar menjadi pilot saat dewasa. Suatu hari, pesawatnya mogok di Gurun Sahara. Di sana, ia bertemu Pangeran Cilik dan meminta sang pilot untuk menggambar domba. Pangeran Cilik membutuhkan domba untuk memakan tanaman baobab. Jika tidak, planet itu akan tertutup tanaman tersebut. Pangeran Cilik mendatangi beberapa planet untuk mencari kesibukan dan pengalaman. Lewat petualangannya di beberapa planet, dia menemukan berbagai macam sifat orang dewasa. Seperti keegoisan, kesombongan, keputusasaan, ketamakan, dan ketaatan. Hal tersebut, membuatnya keheranan. 40 LPM DIDAKTIKA

Kejadian yang dialaminya barusan, mirip dengan pengalaman kita sewaktu kecil. Tepatnya, merasa heran dengan sifat orang dewasa dan menganggap mereka membosankan. “Orang-orang dewasa memang amat ganjil sekali.” (hlm. 53) Sebelum bertemu sang pilot, Pangeran Cilik bertemu sekumpulan mawar merah dan seekor rubah di bumi. Dia berhasil menjinakkan hewan buas tersebut dan melewati hari-hari dengannya. Setelah itu, Pangeran Cilik bertemu kembali dengan rubah untuk berpamitan. Serta, memberi tahu rahasia bahwa hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Terpenting bukan yang tidak tampak di mata. Perjuangan Manusia Menjadi Superior Kebanyakan orang dewasa


cenderung memiliki sifat tamak, egois, dan sombong. Persis si pilot, dulu ia merasa orang dewasa menjemukan. Karena, harus diberi penjelasan mengenai gambarnya. Naasnya, dia malah mengikuti saran orang lain dan melupakan kegemaran menggambar. Lantas, mengapa begitu? Hal tersebut dijelaskan melalui Teori Psikologi Individual oleh Alfred Adler. Teorinya memandang bahwa setiap orang memiliki tujuan untuk mencapai kesempurnaan diri. Menurut konsep utama Psikologi Individual, manusia selalu memiliki perasaan inferior atau rendah diri. Sehingga selama hidupnya mereka akan diarahkan oleh kebutuhan untuk mengatasi perasaan ini. Manusia pada masa anakanak memiliki fisik yang lemah dan dimanjakan oleh orang sekitar. Jika, diabaikan dapat menyebabkan mereka tidak mampu mengatasi perasaan inferior. Karena selalu merasa adanya diskriminasi, tidak menjadi pusat pehatian, dan ditolak di lingkungannya. Cara mengatasi perasaan inferior dapat dilakukan dengan mencapai superioritas atau kesempurnaan. Untuk menggapainya manusia mengembangkan pola prilaku atau gaya hidup yang berlaku di lingkungan sekitarnya.

Akan tetapi Adler menambahkan, gaya hidup tidak ditentukan oleh kita. Orang bebas dan berhak memilih. Namun, sesuatu ketika menjadigaya hidup akan sulit diubah. Karena akan menjadi kebiasaan individu. Perasaan inferior berlebihan menyebabkan dampak negatif bagi manusia. Mereka akan melakukan apa pun demi mencapai kesempurnaan, terlebih untuk keperluan pribadi. Contohnya, seorang pebisnis sekaligus konten kreator, Indra Kenz yang melakukan kejahatan berupa penipuan melalui aplikasi Binomo. Ia berpikir, bahwa statusnya sebagai pebisnis dan dikenal banyak orang akan menjadikannya superior dan sempurna. Akhirnya, ia berani menipu banyak orang hanya demi keuntungan pribadi. Sekarang kebanyakan orang dewasa rela mati-matian mengejar kesempurnaan. Salah satunya, dengan menjalani gaya hidup masyarakat pada umumnya sebab, enggan dicap berbeda. Bagi mereka, menjadi berbeda merupakan suatu keanehan. Sebab berbeda dapat bermuara pada pengucilan dan tidak dihormati. Penulis: Adinda Rizki Editor : Sekar Tri HALUAN MAHASISWA 41


C E RP E N

Kepergianku Duniamu

M

Oleh: Syifa Nabila

atahari pongah berdiri saat ini, mengeluarkan cahaya dan rasa panas tanpa ampun menjilati kulit setiap insan di bawahnya. Mungkin aku salah satunya. Tubuh terasa terbakar akibat sinar matahari, keringat bercucuran melewati pelipis. Bersamaan dengan tangan kananku yang ditarik sepanjang jalan pulang dari sekolah ke rumah. Nyatanya semua hal tersebut menjadi perpaduan sempurna, untuk menjadi tontonan orang-orang. Sudah kucoba menyembunyikan serapih mungkin nilai ulangan harian Bahasa Inggris, tepatnya kemarin dibagikan ibu guru. Namun, benar kata orang, mata elang pun kalah jika harus melawan kejelian ibu dalam mencari barang. Setelah diberitahu bapak pemilik warung depan rumah yang anaknya berada satu kelas denganku. Ibu secara spontan mulai mencari kertas nilai milikku. Setelah kertasnya ketemu, ibu langsung menyusulku ke sekolah. Sambil tangan kanannya memegang erat kertas nilai itu, dia masuk ke dalam ruang kelas. Spontan,

42 LPM DIDAKTIKA

tangan kirinya menarik lenganku secara paksa untuk dibawa keluar. Tadi, sempat wali kelasku menghentikan kegaduhan ibu di sekolah. Tetapi, ibu dengan lantang menjawab “Jangan ikut campur!” “Ini urusan saya dengan anak saya!” Bahkan, ibu sampai mendorong wali kelasku sampai terbentur tembok. Selain beliau, tak ada lagi seorang pun yang berani menahannya. Setelahnya, disinilah aku. Seorang anak laki-laki kelas 12, dengan perawakan yang tidak tegap dan berkulit gelap. Tengah ditarik oleh tangan kanan milik seorang perempuan berperawakan mirip denganku, yaitu ibu. Jadilah sebuah tontonan gratis orang-orang, ditambah bisikan-bisikan mencibir merambati indra pendengaran kami berdua. Tanpa sedikitpun perlawanan, diriku ditarik melewati tiga kali belokkan dan satu lapangan. Hingga tibalah kami di rumah, ibu yang sedang kesetanan memukul kepalaku dengan botol kaca bekas alkohol.


Darah meluncur perlahan dari pelipisku, beradu cepat dengan keringat sisa-sisa perjalanan tadi. Tak lupa Ibu dengan terburu-buru menutup dan mengunci pintu. Kemudian, ibu berbalik menatapku. Menaruh seluruh atensinya padaku yang masih meringis sambil memegangi kepala. “Bahasa Inggris begini saja kamu tidak bisa!” Ibu berteriak sambil memukulku. Aku sudah hafal perangai ibu. Satu pukulan tidak memuaskan naf-

sunya untuk membunuhku. Benar saja, dia kembali memukul punggungku dengan gagang sapu yang entah kapan, tiba digenggamannya. “Ibu, ARRGHH! Hentikan. Kumohon…,” rengekku. Ibu tak menghiraukannya. Bahkan menjadi lebih brutal daripada sebelumnya. Sedangkan aku hanya bisa meringkuk menahan segala rasa sakit, sambil sesekali mengaduh dan meringis. Gagang sapu sampai tak terhitung banyaknya mengenai tubuhHALUAN MAHASISWA 43


CERITA PENDEK

ku, nyatanya tak sebanding dengan ucapan ibu. “Anak tak berguna! Bodoh! Jelek! Menjijikan! Bikin malu!” begitu katanya. “Gara-gara kau ibu jadi kesusahan! Ibu menderita! Kau menghancurkan duniaku!” Terus-menerus kalimat kebencian yang sama keluar secara berulang dari mulutnya. Sembari meracau tidak jelas dan tidak nyambung dengan masalah nilai yang ku dapatkan. Hingga akhirnya ibu kehabisan tenaga, bersamaan sebuah pukulan terakhir dilayangkannya padaku. Kini, ibu terduduk di lantai kelelahan sembari mengucap, “Maaf … maafkan ibu … Ibu hilang kendali.” Ibu bergumam meminta maaf. Namun, terdengar seperti tengah membacakan mantra. Dengan sisa kekuatan dan tubuh yang gemetar, kutatap netranya yang menatap kosong ke arahku. Kutatap lamat, ada keriput bermunculan di beberapa titik wajahnya. Kasihan, kasihan sekali ibu. Tiba-tiba ibu tersadar, netranya tak lagi menatap kosong ke arahku. Berganti menjadi tatapan welas asih seakan tanpa celah kebencian sedikitpun. “Andra….” Ia memanggil. Aku tak berani menjawab, Secuil rasa ingin menjawab panggilnya terhenti di ujung mulutku 44 LPM DIDAKTIKA

yang bergetar. “Maafkan ibu.” Ucapnya sekali lagi. Ia menghapus jarak di antara kami. Tangannya terulur dan memegang erat pundakku. Kurasakan dengan jelas tangannya gemetar. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang tanpa keraguan sedikitpun padaku. Ibu berkata, “Andra… harus bisa Bahasa Inggris, ya?” “Biar bisa jadi anak sukses. Biar bisa bantu ibu untuk cari ayahmu ke Amerika sana, ya?” Tangannya digerakkan untuk mengusap kepalaku. “Ayah, ya?” gumamku dalam hati. Setiap mendengar kata “ayah” aku tak yakin bagaimana harus bereaksi. Aku tak membencinya, namun juga tak menyayanginya. Maksudku, bukankah kita tidak bisa memiliki rasa pada sesuatu yang tak pernah kita miliki dari awal? Pernah suatu ketika, seorang tukang sayur keliling bergibah ria dengan ibu-ibu tetangga yang lain. Aku yang saat itu baru kelas 1 SMP dan hendak berangkat ke sekolah tak sengaja menangkap obrolan mereka. Katanya, “dulu ibuku pelacur dan aku hasil dari perbuatan terse-


but.”

Terkejut? Marah? Tentu saja. Aku merasa dibohongi olehnya. Ibu bilang padaku bahwa ayah hanya sedang menyelesaikan urusannya di luar negeri. Kendati demikian, tak ada keberanian yang mencuak dalam hatiku untuk bisa marah pada ibu. “Andra….” Ibu memanggilku. Aku tersadar dari lamunan. Sedikit tersentak, saat ibu memelukku sambil tangannya menepuk halus punggungku. Kepala ibu bersender pada pundakku yang tak tegap. Aku menjawab, “Ya, bu.” “Seandainya aku tak melahirkanmu ke dunia, apakah dia akan terus menemaniku dan tak pergi bersama wanita lain? Apakah itu akan lebih baik untuk kita berdua?” Aku tak mendengar jelas suara ibu. Ucapannya terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur. Ibu berbicara lumayan panjang. Namun setidaknya kalimat itulah yang mampu tertangkap telingaku. “Ibu bilang apa?” tanyaku untuk memastikan. Ibu mengangkat kepalanya. Kusorot netranya yang lelah dan kembali menunjukan kekosongan. “Tidak ada. Kamu masuk kamar sana,” perintah ibu. Kepalaku masih mencerna

kalimat ibu saat memelukku, perlahan aku beranjak dari hadapan ibu. Mengangkat tubuh yang berat sembari memegangi kening yang masih mengeluarkan cairan merah walaupun sedikit. Aku langsung menjatuhkan tubuhku sesampainya di kamar. Ruangan berukuran sempit dan hanya memiliki tempat untuk satu kasur lipat, satu lemari baju, dan satu meja kecil dari kayu hasil buah tanganku. Satu hal yang ingin kukatakan dengan jujur pada diriku sendiri adalah aku sakit. “Aku sakit dipukuli ibu.” “Aku sakit saat tahu bahwa kehadiranku merusak dunia ibu.” “Aku juga sakit melihat ibu menderita karenaku.” Paling kusakiti adalah ketika tahu, bahwa aku tak memiliki kesempatan sedikitpun untuk merubah hal tersebut. Terbesit satu hal dalam kepalaku mengenai pelajaran di sekolah saat itu. Bu guru pernah berucap, “Anak itu seperti suatu dunia baru bagi seorang ibu. Ibu bertugas untuk mengeskplor dunia itu dan menemukan berlian berharga dalam pribadi anak tersebut. Kalian mungkin tak akan paham sekarang, tetapi nanti ketika kalian besar dan menjadi orang tua, kalian pasti akan merasakannya.” HALUAN MAHASISWA 45


Aku terkekeh. Namun, air mata juga bercucuran menyusul kekehan tersebut. Mulai saat ini, aku tak akan memercayai perkataan yang keluar dari mulut bu guru. Sebab nyatanya, dunia yang ibu guru bilang adalah luka bagi ibuku. Ibuku juga tidak menemukan berlian berharga dalam diriku yang hanya sebuah sampah tanpa diinginkan siapapun. Bahkan, diriku sendiri tak menginginkannya. Aku memeluk lututku dan meringkuk membiarkan semua ganjalan di hatiku tertarik keluar, bersamaan dengan air mata dan darah. Sesekali terkecap rasa asin dari air mata, serta rasa besi berkarat yang kurasakan dari darah di sudut bibirku. Benar kata orang, iblis selalu hadir menggodamu untuk tertarik masuk neraka pada saat titik terendahmu. Seperti orang kesetanan, tetiba aku mengabaikan rasa sakit dan darah yang bercucuran. Aku merangkak mendekati meja belajar dan mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kutulis beberapa kalimat di sana. Setelahnya, kuintip suatu benda mengkilat di balik kasur lipat. Aku berteriak kencang saat benda mengkilat itu kugoreskan tepat di leherku. Selanjutnya, seperti kehilangan akal, kugoreskan ber46 LPM DIDAKTIKA

kali-kali benda tersebut tepat diatas pergelangan tanganku. Darah kembali bercucuran dan bau amis memenuhi ruangan yang besarnya tak seberapa. Sayup-sayup kudengar ibu menggedor pintu kamar dan berteriak memanggil namaku. “Aku lelah.” “Rasanya ingin menutup mata sebentar.” Sepertinya, itu menjadi tutupan mata terakhirku karena setelahnya. Aku tak lagi ingin membuka mata. Seperti itu bunyi pesannya. Detektif Bagas melipat kertas lecek dan memasukannya dalam plastik klip dengan label “barang bukti” di bagian depannya. Matanya menyorot sinis pada seorang ibu yang tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Ibu tersebut diduga melakukan kekerasan pada anak kandungnya sejak dilahirkan. Tangannya diborgol, di samping kanan kirinya berjaga polisi yang siaga mengamankan. Laporan didapat dari salah satu tetangganya yang mendengar jeritan berkali-kali dari dalam rumah tersangka. Katanya, jeritan itu kerap kali didengar, hanya saja teriakan pada hari ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Saksi-saksi mulai membuka mulut dan saling bercuap-cuap mengenai perangai


tersangka terhadap anaknya sehari-hari. “Kasihan sekali anak ini,” ucap Detektif Brian, salah satu Rekan Detektif Bagas. Ia berjongkok sambil memperhatikan mayat di hadapannya. Mayat seorang anak laki-laki yang masih memakai seragam sekolah dengan bordiran nama ‘Andra Melviandra’ tergeletak mengenaskan di atas kubangan darah dan beberapa luka sayatan yang mencuat di sekitar tubuhnya. “Ia benar-benar menulis surat tentang hari ini?” tanyanya. Detektif Bagas yang mendengar rekannya bertanya hanya menjawab dengan anggukkan. “Ini.” Disodorkan barang bukti tersebut kepada rekannya. Detektif Brian menerima barang tersebut. Ketika hendak membukanya, salah satu anggota tim forensik menghampiri mereka dan berkata, “Kami menemukan secarik kertas lagi.” Sembari menyodorkan satu helai kertas yang sama leceknya dengan kertas sebelumnya. Di sana juga dituliskan sebuah pesan dengan bentuk tulisan yang sama. Pesan yang sama-sama ditulis oleh anak ini. Begitu pikir Detektif Bagas. Isi pesannya diawali dengan bunyi, “Ibu, maaf.”

Seseorang berkata padaku bahwa dunianya seorang ibu adalah sang anak. Sedangkan seorang ibu adalah surga bagi sang anak. Bukankah itu hal yang indah? Aku berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan hal itu. Aku ingin menjadi duniamu dan kuingin kau menjadi surgaku. Namun, aku tidak bisa. Maaf, karena aku bukan anak laki-laki yang kuat. Maaf tidak bisa membawamu bertemu seseorang yang kau sebut sebagai ayahku walau ku tak tahu bagimana rupanya. Maaf aku menghancurkan duniamu. Maaf aku tidak bisa menjadi duniamu. Maaf kehadiranku membuatmu kesulitan. Maaf…. Setelah ini, mari kita cari dunia kita masing-masing. Ibu dengan dunia yang ibu lihat dengan mata terbuka. Aku dengan duniaku yang aku lihat dengan mata tertutup. Saat ini ku ambil satu keputusan yang tak mungkin aku sesali. Jika kehadiranku merusak duniamu, maka izinkan kepergianku memberikan dunia baru untukmu. Tolong hidup dengan baik, bu. Aku mencintaimu. “Sungguh mengenaskan….,” gumam Detektif Brian.

HALUAN MAHASISWA 47


C E RPE N

CERITA PENDEK

LARA Oleh: Adella Zahra

A

nak cewe jam segini masih aja tidur.” Terdengar omelan seorang wanita berkepala lima dibarengi dengan siraman kepada sang anak perempuan yang masih tertidur. “Iya ini bangun,” ucap sang anak. Lara adalah nama panggilanku. Aku adalah anak perempuan yang disiram itu dan yang menyiramku adalah orang yang melahirkan aku ke dunia yang kejam ini. Mungkin bagi kalian itu terlihat jahat, tetapi tidak bagiku, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan yang aku dapatkan setiap hari. “Lara cepat, mau sekolah ngga sih!? Lelet banget jadi orang tuh!” Terdengar suara teriakan yang sangat aku kenali “Iya ini udah siap,” ujar aku sambil terburu-buruterburu-buru. Namun saat aku keluar rumah, sayang seribu sayang mobil yang dia gunakan sudah tidak ada dan lagi-lagi aku harus menggunakan angkutan umum, padahal jarak rumahku ke sekolah memakan waktu sampai 30 menit, belum lagi kalau terjebak macet. Sedangkan

48 LPM DIDAKTIKA

sekarang sudah pukul 07.25. Selama diperjalanan rasanya aku ingin menangis kala mengingat semua perlakuan mereka yang begitu jahat kepadaku. Mereka bahkan tidak pantas dianggap keluarga. Akhirnya aku tiba di sekolah pada pukul 07.35 dan peraturan disekolah aku kalau ada yang telat maka baru bisa masuk kelas pada saat jam pelajaran ke 2, yaitu 15 menit lagi. Jam istirahat pertama sudah bunyi, aku dan temenku memutuskan untuk istirahat di taman sekolah yang cukup sepi saat istirahat pertama. “Sekarang apa lagi yang bikin lu telat?” ucap Lala memecah keheningan diantara kita “Ya kaya biasa,” jawab aku sambil terkekeh kecil diakhirannya, terdengar helaan nafas berat dari Lala sahabat aku 4 tahun belakangan ini. “Lu ga capek apa hidup sama mereka? Tinggal sama gue dan bunda gue aja yuk! Bunda pasti ga akan keberatan sama hadirnya elu,” tanya dia yang sepertinya sudah muak sama segala tingkah laku keluargaku. Aku enggan untuk menjawab itu karena dia sudah terlalu sering berkata seperti itu dan aku yakin dia udah tau jawaban atas pertanya-


an yang dia berikan itu. Keheningan kembali melanda hingga jam istirahat selesai dan kita kembali melanjutkan pelajaran hari itu. Hari terus berjalan, mereka terus menciptakan luka, baik secara fisik maupun mental. Aku ingin bercerita kepada Lala tentang semua yang aku alami belakangan ini, tapi aku merasa terlalu sering merepotkannya. Setiap bangun tidur hingga tidur lagi mereka terus menghina ku, aku sudah mulai muak dengan semua ini. Aku ingin menyerah saja, namun aku ingat bahwa aku masih memiliki Lala dan bunda yang sangat sayang dan peduli denganku. Hingga suatu hari aku bertengkar hebat dengan Mamah, karena aku sudah capek menyimpan segala keluh kesahku. “Aku mau adil, aku mau Mamah perlakuin aku kaya Mamah memperlakukan ke anak Mamah yang lain,” sautku berusaha menahan emosi “Kamu itu ga pantes dibaikin, karena nanti bakal ngelunjak, dikasarin aja kamu ngelunjak apalagi dibaikin? Jangan mimpi!” sautnya yang membuat hatiku sangat sakit. “Aku harus apa biar Mamah sayang sama aku?” tanyaku. “Mati, karena dengan itu ba-

kal bikin keluarga ini menjadi damai tanpa benalu kaya kamu,” ucapnya kala itu yang bikin aku merasa jadi manusia paling tidak diinginkan. Aku tak bisa menahan emosi ku lagi, lantas aku memilih pergi ke kamar mandi untuk kembali melukai diriku dibawah guyuran air. Hari itu aku memutuskan untuk mengajak Lala bertemu, dan sekarang kami sedang di taman yang cukup sepi di tengah siang hari. “La elu tau ga sih artinya sayang tapi benci dalam waktu yang bersamaan?” tanyaku. “Gue sayang mereka La, sayang banget malah. Tapi gue juga benci mereka La, mereka jahat sama gue. Mereka mau gue mati La, gue mau pergi dari mereka biar mereka bisa seneng,” lanjutku mencurahkan segala rasa yang aku pendam “Lu tau caranya?” tanya Lala dengan santai. “Mati La, caranya cuma gue harus mati.” “Dengerin gue dulu bisa? Caranya itu elu harus jadi orang sukses. Kalau lu sukses, lu bisa kasih apa yang mereka mau trus lu bisa pergi dari tempat itu dan hidup bahagia dengan orang-orang yang sayang sama elu,” jawabnya dengan nada yang selalu terdengar begitu menenangkan. Setelah itu kita kembali diseHALUAN MAHASISWA 49


limuti keheningan. Karena tak ingin terlalu lama berdiam diri dengan pikiran, akhirnya kita memutuskan untuk pergi bermain ke Time Zone, melakukan photobooth, dan makan ke tempat makan bakso favorit kita. Di perjalanan pulang setelah makan bakso, kita pun mampir sebentar ke pantai untuk melihat matahari terbenam yang kebetulan saat itu terlihat sangat indah. Saat sedang tenggelam dengan pikiran masing-masing, terlintas sebuah pertanyaan di benakku, “La tiba-tiba gue kepikiran, kalau gue pergi ninggalin mereka, kirakira mereka akan kehilangan dan menyesal ngga ya La? Atau malah bahagia ya?” “Apasi ucapannya, ga suka banget gue. Dah yuk pulang aja!” ajak Lala yang langsung berdiri meninggalkan aku dan berjalan ke arah motor untuk segera pulang. Sekarang matahari sudah sepenuhnya tenggelam dan tergantikan dengan langit gelap tanpa bintang dan bulan. Aku dan Lala sudah sampai di depan pagar rumah Lala setelah hari panjang yang kita lalui hari itu. “Kalau kangen gue jangan nangis ya, tinggal dateng ke rumah gue aja. Jangan lupa bahagia selalu ya Lala” ujarku saat sudah ingin pergi. 50 LPM DIDAKTIKA

“Iya, lu juga bahagia selalu yaaa. Lara mau pelukkkk!” ucap lala sambil buka tangan. “Sini-sini, setelah ini gue bakal bahagia kok La,” ucapku lalu kembali turun dari motornya untuk memeluk orang terbaik dalam hidupku. “Hari ini gue bahagia banget La, gue mau bilang gue sayang banget sama lu dan makasih banyak buat selama ini ya La, kalau ngga ada elu ga ada gue bisa bertahan atau ngga. Dah ya gue lepas peluknya gue mau pulang nih.” Aku langsung melepaskan pelukannya, Lala tidak membalas apa-apa. “Bagus banget, masih inget pulang? Pergi ngga bilang, pulang udah malem. Mau jadi apa?” sambut mamah saat aku baru sampai depan pintu rumah. “Maaf,” ujar aku sambil menunduk kepala. “Maaf, maaf, ngga ada gunanya, dasar anak ngga berguna,” ujarnya sambil langsung jambak rambutku. Malam itu sangat panjang, karena hukuman yang diberikan. Mulai dari dibenturkan kepala ketembok, disabet dengan cambuk, serta makian kasar tiada henti yang memekikan di telinga. “Kamu ini ngga malu sama tetangga? Kerjaannya ribut terus


sama anak sendiri. Ngga kasihan sama anaknya?” ucap Papah. Lucu sekali aku mendengar dia membela ku, biasanya juga dia yang sering menghancurkan aku. “Kamu bela dia? Anak itu emang pantesnya mati saja. Bikin kelurga kita berantakan dan ribut setiap harinya, nyesel aku ngelahirinnya, ngga ada yang bisa dibanggakan dari dirinya,” ucap Mamah. aku terlalu lelah menghadapi semua ini, hingga aku memutuskan untuk menghampiri mereka. “Kalian bisa ngga sih jadi kaya keluarga yang lain!? Aku capek.” Ujar ku dengan nada tinggi dan sedikit melirih di akhirnya. “Bisa kalau kamu udah mati nanti!” balas mamah dengan nada tinggi juga, itu membuat adek dan kakak ku keluar menghampiri kita bertiga. “Oke kalau itu yang mamah mau,” setelah berkata seperti itu, aku memutuskan untuk ke dapur dan mengambil pisau, lalu kembali kehadapan mereka Di depan mereka aku menyayat nadi ku sendiri, di depan pembuat luka dalam takdir ku kali ini. “Puas kalian lihat adek gue nyerah!?” sayup-sayup terdengar suara abang yang sepertinya di telpon oleh adek atau kakakku untuk datang.

“Puas. Memang sudah seharusnya dia mati,” ujar mamah tanpa ada rasa bersalah. “Lara tolong bertahan ya, kita ke rumah sakit sekarang. Abis ini kamu tinggal sama abang, maaf abang selama ini cuek sama kamu,” ujar abang. “Abang ga usah minta maaf ya, meski abang ngga bikin aku bahagia, tapi abang juga ngga bikin aku sakit, jadi abang ngga salah. Abang maaf ya aku ga sekuat abang dalam melawan mereka,” ujar ku yang saat itu masih memiliki sedikit kesadaran. Aku masih mampu melihat raut wajah mereka, di mana hanya abang saja yang menangis. Sedangkan mamah terlihat puas dengan keputusan yang ku ambil, sedangakan ayah, adek, dan kakakku hanya diam. “Lala, Bunda maaf ya aku menyerah.” Setelahnya gelap mulai menghampiri, waktu ku di dunia telah usai. Semesta terima kasih untuk rasa sakit dan sedikit bumbu kebahagiaannya. Mari bertemu kembali di kehidupan berikutnya dengan rasa yang lebih baik.

HALUAN MAHASISWA 51


PUI S I

Tirai Kabut Oleh: Muhammad Bintang Terik ibu kota, memanggang penghuninya Bising kelakson menjerit, saling beradu merayu Parau suara kondektur bus, teriak hingga serak Ramai tapi sepi Di sudut ini ku diam Di sudut ini ku lawan Di sudut ini kucoba berdamai dengan keadaan..... Kemelut mendera Saat ku terbuai euforia dunia Kucoba tuk terus berkelit Namun semakin terhimpit dan terjepit… Pada siapa ku bertanya Ketika pilu mulai menyapa Pada siapa ku mengadu Ketika ego meragu Seketika… Akupun tersadar Ada ibu disisiku Keramatku… Penguatku…

52 LPM DIDAKTIKA

Kan kujaga dia Hingga akhir dunia Ayo bergandeng tangan Sibak tirai kabut Yang menggelayut Biar peluh ini jadi saksi Cerita hidup yang hakiki Tentang kerasnya hidup Hingga memaksaku Terdampar tertahan Berteman seonggok harapan Yang kuyakini Kan jadi kenyataan


Kantong Penyelundupan Oleh: Laila Nuraini Fitri

uatu pagi, Akmal menghampiri bapaknya yang sedang duduk santai di teras. Di sebelahnya ada kopi yang masih hangat juga gorengan yang sudah disiapkan bunda. Akmal mengernyit heran, melirik bapaknya yang kini tengah menggenggam koran, mengomentari penyelundupan uang yang dilakukan pemerintah. "Sekarang jamannya udah beda. Makin lama, orang makin gila harta. Kalau nanti kamu gede, jangan begitu, Mal." Akmal terheran-heran, "Emangnya nggak boleh ya pak nyelundupin uang?" Pak Salman tersentak, "Loh iya, nggak boleh. Itu namanya perbuatan tercela, apalagi sampai merugikan negara." "Kalau nyimpen uang di kantong, itu bukannya penyelundupan juga ya pak? Berarti bapak selama ini nyelundupin uang?" tanya Akmal. "Bapak masukin uang ke kantong biar nggak jatuh Mal. Bukan karena nyelundupin uang," Jelas pak Salman. "Tapi kata temen Akmal, bapak pernah tilang temen Akmal. Terus uangnya bapak masukin kantong, bukannya itu penyelundupan ya pak?" Dengan wajah memerah, Pak Salman melotot menatap Akmal. Tenggorokannya terasa panas, pisang yang dimakannya tersangkut.

HALUAN MAHASISWA 53

ANEKDOT

S


Gara-gara Tikus Oleh: Rachma Asyifa Irchami

S

uatu hari di sebuah kelas seorang guru sedang mengajar IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Guru pun bertanya pada muridnya. Guru: Menurut kalian, binatang apa yang paling berbahaya? Murid 1: Ular bu, soalnya berbisa, ada racunnya Murid 2: Singa bu, karena bisa makan hewan lain bahkan manusia. Guru: Betul, bagus. Ada lagi? Murid 3: Tikus bu, Guru: Loh kok tikus? Murid 3: Kalau tikus-tikus di kantor-kantor berbahaya, Bu. Selain makan hewan lain atau manusia, mereka bisa makan uang manusia, Bu. Sudah begitu makannya juga tidak sedikit, tapi bisa berentet. Makanya kan sering dicari-cari polisi. Jadi tikus bahaya, Bu. Seisi kelas tertawa. Guru: “Benar juga kamu.

GAJI DARI HP

D

Oleh: ShanazValiza

i siang hari yang panas, terdapat seorang pria yang sedang bermain game sambil berbaring di atas sofa di ruang tamu rumahnya. Tatapan matanya tidak lepas dari ponsel yang sedang dimainkannya. Kemudian, datanglah seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah yang lusuh. Anak itu habis bermain bola, karena itu bajunya lepek oleh keringat. Anak itu mendekati pria yang sedang ‘sibuk’ tersebut. “Ayah di rumah lagi? Ayah kapan kerjanya?” ucap anak tersebut.

54 LPM DIDAKTIKA


Pria yang dipanggil ayah pun menoleh ke arah anak tersebut, “Ayah sekarang kerjanya pakai handphone, Dek. Jadi ga perlu berangkat kerja lagi,” jawab Ayah. Anak yang masih tidak mengerti pun bertanya kembali, “Terus nanti dapat uangnya dari mana? Emangnya uang bisa keluar dari handphone ya, Yah? Aku perhatiin dari kemarin, Ayah cuma main game aja.” Ayah yang kesal karena kegiatannya diganggu pun menjawab dengan nada sedikit ketus, “Ya bisa lah. Ayah bisa kok nanti dapat banyak uang dari handphone ini. Kamu masih kecil, ga akan ngerti. Udah sana main saja ke luar!” Anak tersebut pun senang bukan main karena diizinkan bermain ke luar. Biasanya, ibunya akan melarangnya main bola di siang hari, tetapi sekarang ibunya sedang tidak ada di rumah. “Kalo gitu aku pergi main ya, Yah. Tapi aku minta uang dong buat jajan es,” ujarnya dengan penuh semangat. Ayah yang kesal pun menjawab kembali dengan agak ketus, “Ah jajan mulu kamu! Ayah lagi ga ada uang. Main ya main aja, ga perlu jajan segala.” Anak itu pun tidak mau mengalah dan masih bersikeras meminta uang kepada ayahnya, “Tapi tadi Ayah bilang, Ayah punya banyak uang! Ayah tukang bohong!” Ayah pun menjawab, “Apa-apaan sih kamu?! Uang Ayah tuh ada di handphone semua!” Kemudian si anak pun membalasnya dengan muka yang cemberut, “Ya intinya sekarang Ayah bisa kasih aku uang kan?” Ayah hanya terdiam mendengar perkataan anaknya.

HALUAN MAHASISWA 55


56 LPM DIDAKTIKA


Articles inside

Anekdot: GAJI DARI HP

2min
pages 54-55

Anekdot: Gara-gara Tikus

1min
page 54

Anekdot: Kantong Penyelundupan

1min
page 53

Puisi: Tirai Kabut

1min
page 52

Cerpen: Lara

7min
pages 48-51

Kepergianku Duniamu

8min
pages 42-47

Menyelisik Rasa Inferioritas Melalui Psikologi Individual

4min
pages 39-41

Demokrasi 'Puro-puro'

4min
pages 36-38

KEBEBASAN BERPIKIR DAN BERPENDAPAT DEMI KAMPUS YANG DEMOKRATIS

5min
pages 32-35

Maunya Keringanan, 'EH..' Dapetnya Pengangsuran

3min
pages 29-31

Jejak Rancu BEM UNJ

6min
pages 24-28

Amankah Gedung G bagi Perempuan?

3min
pages 21-23

Minimnya jumlah CCTV dan Petugas Keamanan Kampus UNJ di tengah maraknya kasus pencurian

3min
pages 18-20

Bukti Diskriminasi KIP-K di UNJ: Molornya Jadwal Isi KRS

3min
pages 15-17

Dalam Bayang-bayang Senioritas: Pelanggengan Kekerasan Simbolik dalam Wujud PKKMB dan PKMP

6min
pages 10-14

Tak Dapat Mengajukan Ubah Golongan UKT, Mahasiswa Baru Terbebani

3min
pages 7-9

Terdapat Indikasi Kecurangan PEMIRA, KPU Pusat tak Berkutik

3min
pages 4-6
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.