
6 minute read
Dalam Bayang-bayang Senioritas: Pelanggengan Kekerasan Simbolik dalam Wujud PKKMB dan PKMP
Pada pelaksanaan PKKMB dan PKMP tahun ajaran 2021/2022 kemarin, kejadian senioritas masih menimpa mahasiswa baru. Sayangnya, hal ini masih kerap terjadi sehingga membentuk apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai habitus.
Mahasiswa baru UNJ tentu akrab dengan sebutan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi (PKMP). Sebutan ini merujuk pada kegiatan di UNJ yang ditujukan kepada mahasiswa baru.
Advertisement
Dalam laman resmi UNJ, PK- KMB bertujuan untuk mengenalkan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Sedangkan PKMP, merupakan program kerja BEM tingkat Prodi untuk melatih kepemimpinan mahasiswa baru.
Namun, kegiatan-kegiatan tersebut justru menciptakan momok tersendiri bagi mahasiswa baru yang mengikutinya. Pasalnya, masih terdapat budaya senioritas dalam kegiatan tersebut, meskipun dilakukan secara daring.
Marzela Zalianti, mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab 2021 berpendapat bahwa pihak pelaksana, yakni BEM Prodi-nya, tidak menoleransi perbedaan perangkat dan kondisi jaringan yang dialami peserta ketika masa PKMP. Menurut Marzela, hal ini sangat memberatkan mahasiswa.
Marzela menceritakan bahwa dirinya tidak diizinkan mematikan kamera oleh panitia meskipun jaringan internetnya buruk. BEMP pun memberikan solusi untuk mencari tempat lain agar jaringannya lebih baik. Puncaknya ketika hari terakhir PKMP, ia sudah enggan untuk izin kepada panitia, karena sudah tahu jawaban yang akan diterimanya seperti apa.
Tak sampai disitu, ia juga dimarahi oleh panitia karena tidak mengonfirmasi bahwa dirinya adalah ketua angkatan sementara. Menurutnya, konfirmasi seperti itu tidak perlu dilakukan karena ia hanya menjalankan tugasnya untuk sementara dan bukan ketua angkatan tetap.
Kejadian tersebut pun berdampak kepada Marzela. Ia merasa takut apabila harus berinteraksi dengan BEMP di berbagai situasi. “Sampai sekarang, ada rasa ketidaknyamanan dan ketakutan tersendiri kalau harus bertemu dengan mereka di berbagai kegiatan. Apabila saya ingin mengikuti kegiatan tetapi mereka ada di dalam kegiatan tersebut, saya lebih memilih untuk tidak mengikuti,” ujarnya.
Ketua BEMP Pendidikan Bahasa Arab, Akmalludin Thahir pun angkat bicara terkait kejadian tersebut. Ia mengatakan, BEMP membentuk divisi K3 yang berfungsi menegakkan kedisiplinan mahasiswa baru ketika PKKMB dan PKMP. Lanjutnya, apabila ada yang melanggar, maka divisi K3 berhak menegur. Tetapi, Akmal juga merasa perlu adanya evaluasi kepada seluruh panitia, agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Selanjutnya, apabila mahasiswa yang merasa dirugikan ingin membicarakan lebih lanjut maka bisa di diskusikan ke pihak terkait. “Jikalau narasumber merasa ada hal-hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut, silakan langsung menghubungi pihak terkait, supaya dapat diselesaikan baik-baik dan permasalahan ini dapat selesai,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Marzela, Abraham Leonardo, mahasiswa Sastra Indonesia 2021 mengalami kejadian tidak mengenakan yang dilakukan oleh BEMP.
Menurut penuturannya, ketika tengah mengutarakan gagasan di forum antara BEMP dan angkatan 2021 terkait pengurangan tugas pra-PKMP, percakapannya dipotong oleh salah satu anggota BEMP. Baginya, kejadian tersebut merupakan bentuk senioritas yang terjadi karena adanya dominasi atas dasar pengalaman.
Rivaldo selaku Ketua BEMP Sastra Indonesia menanggapi bahwa pemotongan pembicaraan dinilai sebagai hal yang tidak baik. Tetapi karena bentuk forum saat itu adalah diskusi, maka menurutnya pemotongan pembicaraan merupakan tindakan yang tidak bisa dibendung. “Saya tidak membenarkan hal itu (pemotongan saat mengutarakan pendapat) namun memang tidak bisa dipungkiri hal tersebut dapat terjadi di diskusi,” tuturnya.
Selain itu, Rivaldo menjelaskan bahwa pemotongan pembicaraan tersebut bisa saja karena faktor jaringan internet, kurangnya peran moderator, dan materi yang repetitif.
Senioritas dan Kekerasan Simbolik
Umumnya senioritas seringkali digambarkan sebagai tindakan kekerasan oleh orang yang mempunyai umur dan pengalaman lebih, didalam sebuah lembaga pendidikan ataupun perkantoran.
Menurut Siswoyo dalam Lupakan Senioritas (2010), senioritas merupakan keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, usia, dan tingkatan yang diperoleh dari lamanya bekerja atau bersekolah. Pemberian keistimewaan tersebut, terjadi kepada yang lebih tua dikarenakan karakter orang berpengalaman secara umur biasanya lebih bijak dan berwawasan luas.
Kata senior yang ditambah dengan imbuhan-itas memberikan makna yang merujuk kepada perbuatan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Rinaldi yang berjudul Etika Senioritas (Studi Kasus Kekerasan Simbolik pada Latihan dasar Kepemimpinan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar) menjelaskan bahwa senioritas sering diartikan sebagai perbuatan kekerasan, bukan mengacu kepada status yang diperoleh seseorang karena faktor umur dan pengalaman.
Umumnya di lingkungan kampus, kekerasan dalam senioritas memiliki bentuk yang dapat dikenali. Irsyad Ridho, dosen Sastra Indonesia UNJ berpendapat bahwa budaya senioritas yang ada di kampus merupakan bentuk dari kekerasan simbolik. Bentuk ini terus dilestarikan, karena cara-cara yang tertanam dilakukan secara tidak sadar seperti, di keluarga, sekolah dan organisasi.
Seharusnya lingkungan kampus sadar akan hal tersebut karena, kampus sendiri merupakan tempat masyarakat akademis yang diharapkan bersikap rasional dan egaliter (setara).
“Kekerasan simbolik masih terus dilestarikan karena kita terbiasa dididik dalam budaya semacam itu. Kampus seharusnya menyadari hal tersebut, sebab kita adalah masyarakat akademis yang diharapkan paling rasional dan bersikap egaliter,” pungkasnya.
Pernyataan ini didukung oleh Nanang Martono dalam buku Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Pierre Bourdieu. Dalam bukunya, Nanang menjelaskan bagaimana kekerasan simbolik di sekolah dapat terjadi dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Seorang filsuf, sosiolog, dan antropolog Perancis pada abad-20. Dalam buku tersebut, kekerasan simbolik bisa melekat di setiap tindakan dan kesadaran individual melalui cara-cara non fisik.
Dengan kata lain, kekerasan simbolik bisa berwujud tindakan yang lemah lembut dan tidak terlihat atau bahkan tidak dikenali sebagai kekerasan. Sebagai contoh, kekerasan simbolik bisa eksis sampai sekarang karena bekerja di bawah alam sadar seperti di keluarga, sekolah atau organisasi.
Dalam jurnal penelitian Rina Oktavia Kekerasan Simbolik: Studi Relasi Pendidik dan Peserta Didik, Bordieu memberikan dua contoh mekanisme yang berdampak pada pewajaran tindakan kekerasan simbolik.
Pertama, Eufemisasi yaitu berupa perintah, pemberian bonus, kepercayaan dan larangan. Bentuk Eufemisasi bertujuan agar penerima mampu melakukan sesuatu yang diperintahkan tanpa adanya tawar menawar. Kata ‘’perintah’’ dalam Eufemisasi menggambarkan betapa penerima tidak memiliki alternatif lain selain harus menyelesaikan tugas yang telah diberikan tanpa perlu adanya afirmasi.
Kedua, sensorisasi, yaitu paksaan kepada subjek yang bertujuan untuk segera menyelesaikan atau menjalankan tugas yang telah diberikan. Sensorisasi tidak akan bisa terlepas dari peranan bahasa yang begitu sentral dalam mekanisme kekuasaan, dominasi, dan menyembunyikan maksud sebenarnya dari sebuah tindakan.
Kedua mekanisme tersebut melahirkan normalisasi standar yang Bourdieu sebut sebagai habitus.
Cara kerja habitus yaitu menggunakan pemaksaan untuk menciptakan penerimaan, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas bawah atau minoritas tidak perlu dijalankan.
Sebagai contoh, di dalam lingkungan kampus, habitus memunculkan standar bahwa tindakan diluar kedisiplinan saat masa pengenalan kampus haruslah dihapuskan, agar mahasiswa baru tertib dan mudah diatur.
Selain itu, masa pengenalan kampus merupakan sistem mengikat sehingga dengan terpaksa, mahasiswa baru harus menaati, menjalani dan melakukan praktik terkait standar kedisiplinan yang sudah ditetapkan oleh pihak penyelenggara.
Penulis: Arrneto Bayliss Wibowo Editor : Hastomo Dwi Putra