6 minute read

Jejak Rancu BEM UNJ

Ditutup rapat hingga menjadi rahasia umum. Inilah sejumlah persepsi dan kritik mahasiswa terhadap BEM UNJ.

Peralihan kepemimpinan dalam struktur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terus dilancarkan tiap tahun. Sayangnya, tidak ada perubahan signifikan yang terjadi mengenai kinerja BEM UNJ. Hal ini kemudian mengundang persepsi yang sedemikian rupa dari beberapa mahasiswa.

Advertisement

Zuriel Arya, Ketua Angkatan Fakultas Teknik 2021 menilai kinerja BEM UNJ belum ada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa.

Zuriel menceritakan perihal ketidakmampuan BEM UNJ untuk menyatukan suara di tingkat fakultas. Seperti masalah Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) untuk mahasiswa baru, gerakan di tingkat fakultas lebih menginginkan penghapusan SPU dibandingkan saran BEM UNJ yang menginginkan agar mahasiswa tidak takut memilih nol rupiah.

Zuriel juga menyinggung terkait dominasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada BEM UNJ. Hal ini, menurut Zuriel membangun kesan bahwa UNJ adalah kampus yang didominasi oleh golongan tertentu. Menurut Zuriel, hal ini tidak memberikan kesempatan yang sama bagi mahasiswa untuk bisa memasuki organisasi tersebut.

“Kita adalah mahasiswa, berpikir kritis serta berorganisasi dalam ranah politik, semua golongan seharusnya bisa masuk,” terang Zuriel.

Organisasi ekstra kampus seperti PMII, HMI, GMNI, dan KAMMI, juga memiliki citra buruk dalam internal BEM UNJ. Zuriel mengatakan hal tersebut karena politik kampus yang unik, yaitu kampus "syar’i" berkedok umum. Padahal, ada baiknya BEM UNJ lebih bersikap inklusif, sehingga tidak monoton. dan menentukan eksistensi dan kekuatan

Seperti kampus-kampus lain yang merangkul berbagai organisasi ekstra kampus.

Meski demikian, Zuriel berharap agar kedepannya BEM UNJ tidak bersifat eksklusif. Hal ini, lanjutnya, dapat dilakukan dengan membuat wadah atau forum aspirasi untuk seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. “Tujuannya agar memiliki perspektif baru, dan keterlibatan lembaga atau organisasi lainnya seimbang,” ujarnya.

Senada dengan pernyataan Zuriel, menurut penelitian Setara Institute berjudul Wacana dan menjadi perhatian Diva adalah ter- Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila, memang memungkinkan Islam militan ekslusif.

Wacana dan gerakan keagamaan eksklusif yang berkembang di kalangan mahasiswa dan politik organisasi kemahasiswaan, merembet ke dalam politik kampus pada umumnya. Sebab, hal ini memunculkan peluang untuk mendapatkan kekuasaan, atau apa yang disebut oleh jurnal tersebut sebagai structural opportunity.

Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bagaimana kelompok Islam ekslusif ini menentukan kaderisasi di kalangan mahasiswa dan menentukan eksistensi dan kekuatan jaringan mereka di kampus. Kekuatan-kekuatan jejaring politik tersebut kemudian bekerja aktif dalam ragam momentum politik internal kampus seperti pemilihan Ketua Jurusan.

Kelompok atau satu golongan yang hanya dirangkul oleh BEM UNJ akhirnya memiliki pengaruh yang signifikan dalam sistem organisasi politik tersebut. Diva Salsabila, Mahasiswa Sosiologi Angkatan 2020 pun mengupas satu persatu keresahannya.

Salah satu fenomena yang menjadi perhatian Diva adalah terkait Forum Perempuan UNJ yang berada di bawah pengaruh BEM UNJ. Arah politik dan golongan yang hanya dirangkul oleh BEM UNJ membuat sistem di dalamnya bersifat patriarkis. Menurut Diva, Forum Perempuan malah melekatkan perempuan dengan hal-hal yang domestik, bukan menuju kesetaraan gender atau masalah-masalah perempuan di kampus, misalnya, isu kekerasan seksual di lingkungan kampus

Ia menegaskan, sikap Forum Perempuan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi indikasi yang memperkuat opininya. Sebab, Forum Perempuan berada di bawah pengaruh BEM UNJ yang menolak Permendikbud tersebut.

“Forum Perempuan tidak mengedukasi pentingnya Permendikbud Nomor 30, masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus,” ujar Diva

Selain tentang kekerasan seksual, Diva turut menyoroti program-program yang tidak inovatif, seperti Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Baru (PKMP) dan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Ia menjelaskan, hampir dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut tidak bermakna.

“Penugasan yang diberikan tidak mengenalkan mahasiswa dengan kampusnya. Selain itu materi kepemimpinan juga tidak terlalu bermanfaat,” jelasnya.

Diva juga mengamati advokasi dari BEM UNJ yang bisu, tidak inklusif dan pincang. Tanggapan tersebut diambil dari pengamatannya terhadap bantuan keringanan mahasiswa selama pandemi, keringanan UKT, dan bantuan kuota internet.

Menurut Diva, BEM UNJ gagal mengakomodir suara mahasiswa, khususnya masalah biaya perkuliahan. Padahal, setiap awal semester BEM UNJ telah mendata mahasiswa yang membutuhkan bantuan UKT. Menurut pengamatan Diva, BEM UNJ hanya terus mendata di setiap semester, tetapi mereka seperti sama sekali tidak memanfaatkan data yang lama.

Diva juga memberikan kritiknya terhadap isu-isu kampus yang lambat disuarakan BEM UNJ. Seperti misalnya isu kantin kampus yang sepi dikarenakan pandemi. BEM UNJ, selain menyuarakan isu mahasiswa juga seharusnya tanggap menyuarakan masyarakat kampus. Sayangnya, justru yang menginisiasi pertama kali adalah BEM Fakultas, bukannya BEM UNJ.

Representasi Persepsi Mahasiswa dalam Survei

Keresahan-keresahan yang diutarakan oleh Zuriel dan Diva hanyalah sebagian. Berdasarkan survei yang disebarkan oleh Tim Didaktika pada pertengahan Februari 2022 lalu, hanya 56 persen dari 72 mahasiswa yang mengetahui siapakah ketua BEM UNJ 2022. Hal itu mengindikasikan banyak mahasiswa yang tidak tertarik dengan aktivitas politik yang digaungkan oleh BEM UNJ.

Mahasiswa yang mengisi partisipasi terhadap program/kegiatan BEM UNJ terdapat 32.3% tidak pernah mengikuti program/kegiatan BEM UNJ, 28.1% pernah berpartisipasi, 12,5% sering mengikuti, dan 27.1% jarang. Survei tersebut merepresentasikan banyak mahasiswa yang tidak tertarik dengan program/ kegiatan BEM UNJ.

Pengaruh PEMIRA terhadap Kinerja BEM UNJ, sebanyak 64% mahasiswa mengisi tidak berpengaruh dan 31% berpengaruh. Selain itu, mahasiswa yang tidak berpartisipasi pada PEMIRA sebanyak 44% dan yang berpartisipasi terdapat 53%.

Sementara itu, Ridwan Nurrahman, Wakil Ketua BEM UNJ periode 2022-2023 menanggapi terkait kritik-kritik yang dilontarkan. Menurutnya, kritik tersebut lebih baik diberikan kepada pengurus BEM UNJ periode sebelumnya. Ia pun enggan menanggapi hasil survei Didaktika, dengan dalih data tersebut tidak representatif.

Data lama mahasiswa yang kurang dimanfaatkan oleh BEM UNJ ditanggapi oleh Ridwan. Hal itu, sebab ekonomi setiap orang berbeda-beda dan terus berubah. Sehingga data tersebut harus tetap diperbaharui. Misal, yang semester sebelumnya tidak mengajukan bantuan, mungkin saja di semester selanjutnya ingin mengajukan bantuan.

Ia pun menyanggah terkait keeksklusifan BEM UNJ. Menurutnya, BEM UNJ juga membutuhkan saran atau masukan dari berbagai perspektif agar bisa menghasilkan keputusan yang lebih baik. Beberapa kali juga BEM UNJ membuka konsolidasi dari berbagai gerakan di tingkat fakultas, dan elemen-elemen lain. Seperti pada 2020 lalu, terdapat Geram UNJ (Gerakan Keresahan Mahasiswa UNJ).

“Artinya, BEM UNJ juga telah melakukan gerakan bersama dengan yang lain.”

Ketiadaan suara terkati Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 oleh Forum Perempuan, tutur Ridwan, disebabkan oleh adanya alur koordinasi dengan aliansi BEM SI.

BEM UNJ yang dikatakan oleh beberapa mahasiswa didominasi oleh golongan tertentu, menurut Ridwan, BEM UNJ telah memberikan kesempatan kepada siapapun untuk menjadi pengurus BEM UNJ dengan prosedur dan mekanisme seleksi berupa pendaftaran, wawancara, dan lain-lain. Kemudian akan dirapatkan oleh pimpinan BEM UNJ siapa saja mahasiswa yang masuk, dan sebagainya.

Fachry Azkary, mahasiswa Pendidikan Sejarah 2019 juga angkat bicara mengenai eksistensi BEM UNJ saat ini. Pandangan politiknya terhadap BEM UNJ membuatnya memilih golput (golongan putih) pada saat PEMIRA (Pemilihan Raya) yang baru-baru ini digelar.

Menurut Fachry, sosialisasi mengenai calon-calon yang menjadi kandidat tidak merata, atau mungkin tidak ada. Tiba-tiba, namanama calon kandidat terpampang di media sosial Instagram KPUUNJ saat PEMIRA baru akan digelar. Mahasiswa seolah-olah diarahkan untuk memilih tanpa mengenal calon kandidat.

Selain itu, peran BEM UNJ yang dimitoskan sebagai ‘penyambung lidah mahasiswa’ atau ‘wadah bagi mahasiswa’ tidak dirasakannya. Apa yang seharusnya dikerjakan oleh BEM UNJ tidak berjalan semestinya. Fachry menegaskan, eksistensi BEM UNJ hanyalah simbol yang terus hidup dari makna para mahasiswa.

“Tanpa makna yang disematkan, mereka bukanlah apa-apa.” Kata Fachry yang juga menjabat sebagai ketua Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA).

Penulis: Siti Nuraini Editor : Ahmad Qori

This article is from: