Salam Redaksi
Salam hangat dari dapur
redaksi LPM Didaktika!
Setelah sekian bulan
tak menerbitkan Haluan, terlebih dahulu kami ucapkan
terima kasih kepada kawankawan pembaca yang masih
setia menunggu terbitnya
Haluan Kami. LPM Didaktika
kali ini kembali menerbitkan
salah satu produk andalannya, yaitu Haluan Mahasiswa.
Haluan Mahasiswa
ini berusaha mengungkap
berbagai persoalan penting
dan menarik seputar kampus
tercinta, Universitas Negeri
Jakarta dengan harapan
dapat mencerdaskan dan mencerahkan pembaca.
Terutama bagi Warga UNJ
agar berpikir kritis dan
aktif melakukan perubahan
guna perbaikan di kampus pendidikan.
Selamat membaca dan
semoga Haluan Mahasiswa ini bermanfaat bagi para pembaca.
Susunan Redaksi
Pembimbing:
Dr. Saifur Rohman, M.Hum
Pemimpin Umum: Sonia Renata
Bendahara Umum: Laila Fitri
Pemimpin Redaksi:
Izam Komaruzaman
Redaktur Pelaksana:
Andreas Handy
Sirkulasi & Pemasaran:
Adam Farhan
Tim Redaksi:
Andreas Handy, Syiva Khairinnisa,
Adam Farhan, M. Waliddun Salim, Annisa Innayatullah, Syarifah
‘Arasy, Safta Sa, Fatin Riza, Anna
Abellina, Machika Salsabila, Aprilia Pramu, M. Ridwan Tri.
Editor:
Siti, Riyas, Ragil, Syifa, Adinda, Zahra, Arrneto, Devita, Sonia.
Desain dan Tata Letak: Nayya, Ica, Safta.
1 Berita Utama Liputan Khusus Berita Opini Puisi Cerita Pendek Resensi Potret 38 2-4 5-6 7-20 21-23 24-25 26-33 34-37
BERITA UTAMA
Polemik Satu Kesatuan KTM
Dengan ATM
Kebijakan satu kesatuan KTM dengan ATM BNI Taplus Muda yang berbayar memberatkan mahasiswa baru.
Bank
Negara Indonesia (BNI) cabang UNJ
menginformasikan pengambilan
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM)
melalui surat pemberitahuan nomor
RWM20-10/0011/2023 UNJ
pada Kamis (19/01). Dalam surat
tersebut, tidak ada himbauan untuk
membawa uang ketika mengambil KTM mahasiswa baru.
Sementara itu, pada saat
mengambil KTM, beberapa
mahasiswa mengaku KTM
berbayar. Salah satunya mahasiswa
Prodi Sastra Indonesia 2022, Lia mengaku keberatan terkait sistem pengambilan KTM yang dibarengi ATM BNI Taplus Muda. Lia mengungkapkan ketika mengambil KTM, ia diharuskan menyetor uang sebesar Rp. 100.000,00.
Nantinya, uang sebesar Rp90.000,00, akan masuk ke saldo rekening BNI Taplus Muda.
Terpotong biaya administrasi sebesar Rp10.000,00.
“Uang Rp100.000
termasuk nominal yang besar bagi
2
kebanyakan mahasiswa, apalagi
kebutuhan mahasiswa cukup
banyak, kan?” tutur Lia
Senada, mahasiswa Prodi
Pendidikan Sejarah 2022 Vidi Arif, mengungkapkan pengambilan
KTM sekaligus kartu ATM BNI
Taplus Muda sangat minim
sosialisasi. Vidi pun harus menguras
dompetnya lebih dalam. Baginya, sekalipun sisa saldo bisa diambil, tetapi ia tetap merugi sebab telah terpotong biaya administrasi.
“Jika mahasiswa keberatan
mengenai pengambilan kartu ATM
lalu menguras saldo di rekening
ATM tersebut, mereka sudah rugi
untuk sesuatu yang mereka tak inginkan,” ucap Vidi.
gratis kepada mahasiswa.
“KTM itu benar-benar
gratis yang bayar itu mungkin
ATM,” ucap Tri pada Rabu (22/02).
Diketahui kebijakan KTM
tahun 2022 berbeda dengan tahuntahun sebelumnya. Perwakilan BNI
Rawamangun, Henri menjelaskan
bahwa bank yang mengelola KTM
UNJ angkatan 2022 hanya BNI, tak seperti tahun terdahulu yang
dikelola bersama bank lain.
Hal barusan sebab tahun
2022 UNJ ingin bekerja sama hanya
dengan satu bank dalam pengelolaan
KTM untuk mempermudah koordinasi. Oleh karenanya
sejumlah bank, termasuk BNI
berkompetisi dengan memberikan penawaran terbaik kepada UNJ.
Hasilnya, BNI terpilih sebagai satusatunya bank pengelola KTM yang
bekerja sama dengan UNJ.
Saat dikonfirmasi, Kepala
Biro Akademik dan Hubungan
Masyarakat (Bakhum) UNJ, Tri
Suparmiyati mengatakan bahwa
KTM angkatan 2022 tak berbayar.
Sedari dahulu dan juga sekarang, ia
menyatakan KTM diberikan secara
Namun, hal tersebut turut merubah sistem KTM berdasarkan pada kesepakatan antara BNI dengan UNJ. Henri mengatakan, BNI menanggung seluruhnya beban pembuatan KTM, kemudian membuatkan rekening mahasiswa
berupa kartu ATM BNI Taplus Muda. Sehingga, mahasiswa mendapat dua kartu.
Kartu pertama merupakan
KTM yang bermodel tapcash, dapat digunakan untuk transaksi. Kedua,
3
kartu ATM BNI Taplus Muda yang dibebankan biaya administrasi setiap bulannya.
Henri kemudian menuturkan alasan dibalik
pembuatan ATM untuk mahasiswa, yaitu agar mahasiswa melek perbankan. Karenanya dibuatkan rekening sesuai kriteria mahasiswa, yaitu BNI Taplus Muda.
“Dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) menyarankan sosialisasi pada generasi muda untuk mengenal perbankan. Maka mahasiswa kita buatkan rekening sesuai kriteria untuk anak muda, namanya BNI Taplus Muda,” ujar Henri.
Pemimpin BNI UNJ
Lilis mengutarakan dalam ATM
BNI Taplus Muda terdapat biaya administrasi sebesar Rp5.000,00 per bulan. Menyoal adanya mahasiswa yang dikenakan biaya administrasi sebesar Rp10.000,00, menurutnya rekening mahasiswa tersebut sudah dibukakan dua bulan sebelumnya.
Kemudian Lilis
mengungkapkan bahwa waktu pembuatan rekening berbedabeda. Oleh karena itu, dapat diartikan berbeda-beda juga biaya administrasi ketika mahasiswa mengambil ATM.
“Waktu rekening dibentuk
berbeda-beda sebab terkendala data. Setelah data kita terima langsung kita proses,” jelas Lilis.
Sementara, Divisi
Institutional Banking BNI, Eci mengatakan antara KTM dan ATM BNI Taplus Muda merupakan satu kesatuan. Sehingga mahasiswa wajib mengambil keduanya.
“Karena sudah satu kesatuan dan kemudian kalau mau top up KTM tak bisa di bank lain, hanya BNI,” ucap Eci.
Sementara itu, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah 2022, Achmad Firdaus malah mempertanyakan nasib mahasiswa yang sebelumnya sudah mempunyai rekening. Menurutnya mahasiswa jadi terbebani oleh dua biaya administrasi. Seharusnya, lanjut Achmad, pembuatan kartu ATM dibuatkan untuk mahasiswa yang minat saja.
“Tujuannya memang mulia untuk membuat mahasiswa melek perbankan. Namun, jika mahasiswa sudah melek perbankan dan sudah memiliki tabungan atau rekening di bank lain bagaimana? Ini kan jadi double pengeluaran untuk biaya administrasi, “ ujar Achmad.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Siti Nuraini
4
Masalah Ekonomi Masih Jadi Penghalang
Pendidikan
Ketidakstabilan ekonomi dan simpang siur informasi keringanan UKT, membuat Salimah terpaksa putus kuliah.
Suara
bising kendaraan lewat menghiasi sambungan telepon
kami dengan Salimah. Di sela
kesibukannya membantu menjaga
toko obat milik keluarga, tidak
banyak yang tahu dia terpaksa putus
kuliah karena masalah keuangan.
Salimah diterima kuliah
jurusan Pendidikan Bahasa Jerman
lewat jalur Penmaba UNJ. Setelah
proses administrasi di Siukat selesai, ia mendapatkan UKT golongan III
dengan besar Rp 3.700.000 per semesternya. Awalnya hal ini tidak
menjadi masalah besar, namun setelah ayahnya di-PHK semuanya berubah.
Salimah terpaksa mengakhiri studinya tahun lalu.
Kesulitan membayar UKT adalah penyebab utamanya. Ketika masih
aktif berkuliah segala kebutuhan finansial hanya mengandalkan penghasilan dari ayahnya. Awal semester satu, Salimah mengaku sang Ayah masih menyanggupi bayaran kuliah.
“Waktu semester satu, Ayah gue masih bisa bayar UKT dan segala macemnya. Pas bayar juga sempet ngutang, cuma, kan, dulu masih bisa lunasin. Tapi waktu akhir tahun kemaren pas pandemi reda, Ayah gue kena PHK,” ucap Salimah.
Dia menambahkan, sebelum
Ayahnya terkena PHK, beliau sudah memiliki firasat akan dikeluarkan dari perusahaan. Sehingga Ayah
Salimah memilih menyisihkan uang untuk mendirikan toko obat bersama Bude-nya.
5
Liputan Khusus
“Bude sama Ayah gue sama-sama urunan modal buat bikin toko obat,” pungkasnya.
Benar saja, Ayah
Salimah terkena PHK. Ekonomi
keluarganya terguncang. Toko
obat yang dirintis sebelumnya
menjadi sumber pencaharian utama
keluarganya. Kondisi ini membuat
Salimah berpikir ulang untuk
meneruskan kuliahnya. Ditambah ia memiliki kakak dan yang masih
membutuhkan biaya pendidikan.
Bukannya menerima begitu saja keterbatasan ekonominya.
Salimah sebetulnya pernah
memperjuangkan mimpi untuk
terus berkuliah. Terhitung ia pernah
mencoba mengajukan keringanan
UKT. Sayangnya, Salimah tidak
mendapat banyak informasi terkait hal tersebut.
“Gue nggak tau persis
sistem buat ngajuin keringanan
UKT ini kayak gimana karena
simpang siur. Gue baru tau kalo
diminta buat masukin transkrip
IPK, padahal gue masih semester satu,” keluhnya.
Saat pengumuman
pengajuan keringanan UKT
tiba, Salimah tidak menemukan
namanya di antara mahasiswa yang
menerima bantuan. Ia langsung
menghubungi salah seorang dosen
Pembimbing Akademik-nya. Dosen
tersebut sekadar menyarankan
Salimah untuk menghadap WR II
bersama orang tuanya.
Salimah menuruti saran sang dosen. Ia bersama Ayah-nya datang menghadap ke WR II. Akan tetapi, ketika tiba di depan gedung
Rektorat, langkah kaki Salimah
terasa berat. Ia pesimis, sebab tidak
ada jaminan sama sekali, alasan dirinya mengajukan keringanan
UKT akan diterima oleh birokrasi kampus.
Tak ingin kecewa, Salimah mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk meyakinkan orang tuanya, bahwa keputusan untuk berhenti kuliah harus diambil. Salimah mengikhlaskan semuanya.
Keputusan ini semata ingin memprioritaskan adik-adiknya. Setelahnya dia membuat surat pengunduran diri, guna kebutuhan administrasi kepada pihak kampus.
“Gue gak enak sama orang tua kalo harus bayar UKT karena biaya sekolah adek-adek gue masih ditanggung mereka. Jadi, yaudah lah…” helanya.
Salimah berharap dapat melanjutkan kuliahnya dan mendapatkan beasiswa agar tidak membebani orang tuanya.
Penulis: Syiva Khairinnisa
Editor: Asbabur Riyasy
6
Kewajiban Beli Buku Memberatkan
Mahasiswa
Beberapa Prodi menerapkan kewajiban membeli buku dengan harga yang memberatkan mahasiswa. Padahal seharusnya biaya pembelian buku sudah tercakup dalam uang kuliah tunggal (UKT).
Mahasiswa
memiliki
keterkaitan yang erat
dengan buku sebagai penunjang pembelajaran di kelas. Namun, beberapa Prodi mewajibkan
mahasiswa untuk membeli buku
dengan harga selangit.
Seperti yang terjadi di Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Sosial (FIS) mahasiswa diwajibkan
membeli buku bahasa Arab seharga Rp200.000. Sedangkan di Prodi Pendidikan Bahasa Jerman (PBJ), diwajibkan membeli buku
minimal dua buah. Dengan harga paling murah dibanderol seharga Rp300.000.
“Setiap semesternya diharuskan membeli buku
pelajaran bahasa Jerman yang
jumlahnya lebih dari satu, jadi kami harus menyisihkan uang
kisaran Rp600.000 untuk membeli dua buku Bahasa Jerman,” terang mahasiswi Prodi PBJ Naja.
Mahasiswi dari Prodi PAI, Iris Agripina Zen menuturkan
mahalnya harga buku bahasa Arab kerap kali membuat mahasiswa
7
Berita
pusing. Dikarenakan transisi
jadwal perkuliahan beralih ke arah
pembelajaran dua arah, daring dan luring.
“Tentunya memberatkan ya, apalagi jadwal perkuliahan
sudah mulai banyak yang offline, jadi banyak mengeluarkan biaya
operasional kuliah juga,” ucap Irish pada Senin (13/2).
Iris juga berucap, harga
tinggi itu membebani mahasiswa dengan ekonomi rendah. Khususnya yang tidak mendapatkan beasiswa.
Sehingga terpaksa memutar otak untuk bisa membeli buku penunjang perkuliahan tersebut.
Sementara Koordinator
Prodi PBJ, Ellychristina Hutubessy pada Selasa (21/2), berdalih
pembelian buku tersebut sangat penting untuk mendukung proses
pembelajaran Bahasa Jerman.
Karena tiap-tiap mahasiswa dalam proses belajar Bahasa Jerman
harus merujuk ke dalam buku ajar
tersebut. Di dalam buku ajar itu
pula terdapat pedoman gramatikal
kebahasaan beserta latihan soal.
Dirinya juga menjelaskan
bahwa tidak ada kucuran dana dari
pihak kampus perihal pembelian
buku pembelajaran di Prodi PBJ.
Sehingga dosen PBJ terpaksa
mewajibkan mahasiswanya untuk
membeli buku. Ia juga menuturkan,
bila mana tidak diwajibkan untuk
pembelian buku, maka pihak Prodi akan kesulitan dalam pembiayaan buku dan kegiatan belajar.
Senada, Dekan FIS
Sarkadi turut buka suara terkait
fenomena kewajiban membeli buku yang menimpa mahasiswa.
Ia menuturkan bahwa biaya UKT
mahasiswa tidak termasuk ke
dalam wacana pihak kampus untuk
pembelian buku.
pengadaan fasilitas buku, mahasiswa kuliah dengan
dosen itu ada biayanya.
Semisal buku dibebankan
dari UKT, mahasiswa yang
dapat UKT golongan 1 hanya
dapat beli 2 buku saja,” ucap
Sarkadi pada Selasa (21/2).
8
“UKT tidak ada untuk
Dekan FIS
Prof. Dr. Sarkadi, M.Si.
Sementara itu, berbeda
dari pernyataan Sarkadi, Wakil
Rektor (WR) II Bidang Umum
dan Keuangan, Agus Dudung pada
Kamis (23/2), mengatakan bahwa
perihal pembelian buku seharusnya
sudah ditangani pihak fakultas.
Karena tiap-tiap fakultas yang
ada di UNJ telah diberikan biaya
operasionalnya masing-masing.
operasional lainnya dapat diganti dengan pembelian
buku. Pihak kampus kan sudah memberi biaya
operasional kepada seluruh
fakultas. Ya sudah, tinggal masukan biaya pembelian
buku, karena UKT untuk semua jenis pembelajaran,” tegas Agus.
Menelisik lebih jauh, biaya
pembelian buku seharusnya sudah
termasuk ke dalam Biaya Kuliah
Tunggal (BKT). BKT merupakan
rumusan untuk menetapkan
keseluruhan biaya operasional
mahasiswa di satu Prodi per tahun. Perhitungan BKT tersebut
akan turun menjadi UKT dan digolongkan menurut kemampuan orang tua mahasiswa.
Regulasi mengenai
BKT telah termaktub dalam
Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Permendikbud)
No.25 Tahun 2020 mengenai
Standar Satuan Biaya Operasional
Perguruan Tinggi (SSBOPT).
Permendikbud tersebut
menjadi landasan perhitungan
BKT. Regulasi perhitungan BKT terbagi menjadi Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung (BTL). BL melingkupi biaya operasional yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Prodi, dan dihitung serta ditetapkan berdasarkan perencanaan kurikulum Prodi.
BL terdiri atas 4 jenis kegiatan penunjang perkuliahan: 1. Kegiatan kelas, 2. Kegiatan laboratorium, bengkel, dan lapangan; 3. Kegiatan tugas akhir/ skripsi, dan 4. Bimbingan konseling dan kemahasiswaan.
Sehingga, pembelian buku seharusnya sudah diwadahi oleh
kegiatan kelas, yang telah termasuk ke dalam hitung-hitungan BL.
Hendaknya, mahasiswa tidak lagi
dibebani oleh biaya lainnya, karena UKT telah mencakup seluruh kebutuhan kelas.
Penulis: Adam Farhan
Editor: Ragil Firdaus
9
“Sebetulnya biaya
Demi Bayar UKT, Mahasiswa Terpaksa
Patungan
Minimnya Informasi keringanan UKT memaksa mahasiswa Sastra Indonesia mencari cara untuk membayar, seperti patungan.
Uang
Kuliah Tunggal (UKT)
Semester 118 kembali dibuka
mulai tanggal 2 Januari - 19 Januari 2023. Tercatat perpanjangan masa pembayaran dua kali dilakukan.
Pertama, hingga 26 Januari, kedua, hingga 3 Februari. Di semester 118
juga, informasi keringanan UKT
seolah terpendam dan tidak sampai ke mahasiswa secara umum.
Sebagaimana yang dialami
oleh mahasiswa Prodi Sastra
Indonesia Angkatan 2022, Annisa
menyatakan dirinya tidak mendapat informasi keringanan hingga masa penutupan pembayaran UKT.
Annisa menjelaskan bahwa ia kesulitan dalam pembayaran UKT miliknya di semester ini. Ia memiliki
Golongan UKT III dengan nominal Rp 4.600.000. Hingga mendekati masa penutupan pembayaran, ia mengaku masih kekurangan uang sebesar satu juta rupiah.
Menyikapi hal ini, ia pun mencoba mencari informasi soal
keringanan UKT kepada ketua
angkatan. Namun, ketua angkatan pun tidak bisa menjawab persoalan
keringanan UKT ini karena tidak adanya informasi yang memadai. Ia
baru mengetahui perihal keringanan UKT setelah pengumuman resmi dari kampus di grup angkatannya.
“Soal (mahasiswa)
udah pada ngajuin keringanan dan ternyata tanggalnya
telah ditutup,’’ ujar Annisa. Ketua Angkatan Putri Prodi Sastra Indonesia, Reyna mengatakan bahwa ia tidak mendapat kejelasan soal informasi keringanan UKT.
Bahkan, setelah menanyakannya dari pihak advokasi BEM Prodi Sastra Indonesia, Reyna masih tidak mendapat informasi apapun.
10
Selanjutnya, merasa takut
akan Annisa yang berpotensi
mangkir karena tidak mampu
membayar UKT tepat waktu, ia pun
memiliki inisiatif untuk berembuk
bersama tiap ketua kelas Prodi
Sastra Indonesia angkatan 2022.
Hasil dari diskusi itu akhirnya
membuahkan kesepakatan bahwa
untuk membantu membayar
UKT Annisa, akan menggunakan
uang patungan angkatan maupun
kelas prodi Sastra Indonesia.
“Melihat kondisi dia
yang lagi susah banget, gua
ngerasa punya tanggung jawab
untuk bantu,” ujar Reyna.
Salah satu Ketua Kelas prodi Sastra Indonesia, Albar mengatakan
bahwa ia prihatin dengan adanya
kasus ini. Menurutnya, saat Annisa
meminta pertolongan kepada ketua
angkatan dan ketua kelas. Hal itu
menandakan Annisa sudah putus asa dan tidak tahu lagi ingin meminta
pertolongan kepada siapa lagi.
Selain itu ia merasa prihatin karena kampus tidak memberi kejelasan informasi soal keringanan UKT.
“Jarang ada yang mau minta tolong ke ketua angkatan dan ketua
kelas tentang hal sensitif kaya
masalah keuangan,” pungkasnya.
Ketua Angkatan Putra
prodi Sastra Indonesia, Gian,
berpendapat bahwa pihak Fakultas
Bahasa dan Seni (FBS), Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM)
FBS, hingga BEM prodi Sastra Indonesia kurang terbuka dan solutif terhadap mahasiswa yang terkendala kesulitan ekonomi. Karena berdasarkan
pengamatannya terdapat perbedaan terhadap keterbukaan informasi dengan fakultas atau prodi lain, seperti Fakultas Ekonomi.
“‘Karena kebetulan gua dapet broadcast (Informasi keringanan
UKT Fakultas Ekonomi) informasinya,’’ tutup Gian.
Advokasi BEM prodi Sastra Indonesia, Rarindra membenarkan perihal informasi keringanan UKT yang tidak bisa disebar kepada mahasiswa secara umum. Hal itu karena adanya himbauan terhadap advokasi prodi dari advokasi fakultas untuk tidak membuka masa pelaporan pengajuan keringanan
UKT, maupun informasi jenis keringanan UKT secara masif. Rarindra menjelaskan bahwa keringanan UKT masih sama seperti semester yang lalu, namun terdapat perbedaan yaitu pelaksanaannya tidak lagi dimasifkan dan lebih diperketat, hanya untuk mahasiswa yang terdampak bencana alam, orang tua yang membiayai
11
meninggal, pensiun ataupun
kecelakaan, yang hanya terdata
maksimal selama tiga bulan.
“Aku juga kemarin mau
sebarin gitu ke grup masing-masing
angkatan, tapi udah dilarang keras sama advokasi fakultas,” jawabnya.
Menanggapi hal ini, Wakil
Dekan II Bidang Umum dan Keuangan Fakultas Bahasa
dan Seni (FBS), Krisanjaya
menyatakan bahwa keringanan
UKT masih tetap ada. Hanya saja
bersifat personal dan tidak dibuka
secara terjadwal. Ia menyatakan bahwa mahasiswa diharapkan
untuk mengajukan permohonan keringanan secara mandiri, dengan syarat-syarat yang diperketat.
Ia menambahkan, tidak
dijadwalkannya proses pengajuan
keringanan UKT disebabkan oleh
berakhirnya masa pandemi, yang menyebabkan sudah dibukanya
kembali lapangan pekerjaan dan membaiknya kondisi ekonomi mahasiswa. Krisanjaya juga
mengatakan bahwa persoalan UKT
adalah tanggung jawab mahasiswa, sementara kampus berperan sebagai penyedia layanan pendidikan.
“Pandemi sudah menjadi sahabat, ada tapi tidak menjadi penghambat. Sehingga tidak ada
lagi penjadwalan keringanan
UKT,” jawab Krisanjaya.
Penulis: M. Waliduddin Salim
Editor: Syifa Nabila
12
Terjadinya Maladministrasi dan Keterpaksaan Mahasiswa dalam Program
MBKM
Mahasiswa Prodi Pendidikan Khusus merasa keberatan tidak diberikan hak untuk menolak program pertukaran mahasiswa. Hal ini diperparah dengan ketidaksesuaian alur pelaksanaan administrasinya.
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
Universitas Negeri Jakarta
(UNJ) melakukan kerjasama
program Merdeka Belajar Kampus
Merdeka (MBKM) dengan FIP
Universitas Negeri Padang (UNP)
pada semester 118. Salah satu
program MBKM, yaitu pertukaran
pelajar mengalami permasalahan
pada Prodi Pendidikan Khusus
(PKH) 2021. Pasalnya, satu kelas
didaftarkan tanpa persetujuan mahasiswa untuk mengikuti program ini.
bahwa satu kelasnya didaftarkan secara tiba-tiba. Ia sempat menolak mengikuti program tersebut, tetapi pihak prodi mengatakan satu kelasnya diwajibkan. Menurutnya, pihak prodi seharusnya memberikan pilihan untuk mahasiswa.
ingin ikut pertukaran mahasiswa atau tidak.
Saya dan mahasiswa lainnya ingin mengundurkan diri, tetapi tidak bisa karena tidak ada pilihan lain,” ungkapnya.
Senada, Novia Ramadhanti juga merasa terpaksa mengikuti program pertukaran pelajar.
Hal tersebut membuat mahasiswa merasa terpaksa dalam
menjalankan program, salah
satunya Aisyi Oriell. Ia menjelaskan
Baginya, tidak seharusnya pihak Prodi mendaftarkan secara sepihak karena mahasiswa berhak untuk memilih.
13
“Tidak dikasih pilihan
“Saya pribadi tidak senang dan merasa terpaksa karena
didaftarkan program pertukaran
mahasiswa tanpa ditanya kesediaan kami di awal,” keluhnya.
Kendati demikian, Marja
Koorprodi PKH mengaku bahwa
ia memang sengaja tidak memberi
hak mahasiswa untuk memilih ikut program pertukaran mahasiswa atau tidak. Baginya, lebih baik
jika langsung dipilih satu kelas
agar pihak prodi bisa cepat dalam mengonversi data-data mahasiswa.
Senada, Hartini Nara
Koordinator MBKM Prodi PKH pun menjelaskan memang sengaja
langsung memilih mahasiswa untuk
didaftarkan program pertukaran pelajar. Ia merasa jika semua kelas diikutkan itu akan sulit dalam mendata nilai mata kuliah.
Maladministrasi dalam Program
Pertukaran Pelajar
Berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Rektor Nomor
638/UN39/TM.00.00/2020
Tahun 2020 tentang Pedoman
Implementasi Merdeka Belajar, UNJ memberikan alur pelaksanaan program pertukaran pelajar. Salah satu alur tersebut, tertulis bahwa pihak UNJ harus memberikan surat pernyataan kesungguhan mengikuti program tersebut kepada mahasiswa. Namun, pada Prodi
Pendidikan Khusus mahasiswa tidak diberikan surat pernyataan apa pun.
Novia mengaku bahwa ia tidak mendapatkan surat pernyataan kesungguhan dari pihak prodi. Oleh karenanya, ia merasa kebingungan dengan alur pelaksanaan program pertukaran pelajar.
“Saya tidak mendapatkan surat apa-apa. Semua terjadi secara mendadak dan jujur saya menjadi kebingungan dengan alur pelaksanaan program ini,” ujarnya. Selain itu, Asilah Isnaniah Ketua Kelas PKH juga menjelaskan jika pihak prodi tidak memberikan surat pernyataan kesungguhan.
Ia hanya diminta Koorprodi PKH mendata nama dan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) teman sekelasnya untuk didaftarkan
14
“Jika kelas lain ikut program pertukaran mahasiswa, administrasi prodi akan ribet. Oleh karenanya, kami putuskan satu kelas saja yang dapat mengikuti program ini,” pungkasnya.
program tersebut. Hal itu menurut Asilah dilakukan secara terburuburu.
“Gak ada formulir persetujuan, tiba-tiba Koorprodi panggil aku dan menjelaskan soal program MBKM. Aku
kaget karena kelasku langsung dipilih untuk ikut pertukaran mahasiswa,” jelasnya.
Menanggapi hal ini, Marja menjelaskan bahwa ia memang tidak memberikan surat pernyataan
kesungguhan agar memudahkan proses administrasi. Menurutnya, memberikan surat tersebut kepada mahasiswa hanya akan memperlambat proses pertukaran pelajar.
“Memang kami tidak memberikan surat pernyataan
kesungguhan biar mudah mengelola administrasinya,” pungkasnya.
Kendati demikian, Tim
Didaktika tidak mendapat informasi
dari pihak Dekan FIP mengenai maladministrasi ini. Pada saat ingin
ingin diwawancarai, ia menolak untuk memberikan keterangan lebih lanjut.
Penulis: Annisa Inayatullah
Editor: Adinda Rizky
15
Sempitnya Musala Halimun Mengganggu
Aktivitas Ibadah Mahasiswa
Musala FPPsi yang berukuran 6x4 meter persegi tak cukup menampung mahasiswa psikologi. Akibatnya, mahasiswa merasakan ketidaknyamanan dalam menjalankan aktivitas ibadah.
Musala
Fakultas Pendidikan
Psikologi (FPPsi) Universitas
Negeri Jakarta memiliki luas sebesar 6x4 meter persegi. Ukurannya yang kecil tidak memadai untuk
menampung mahasiswa yang ingin beribadah. Imbasnya, saat memasuki waktu salat mahasiswa
harus antre baik untuk mengambil air wudu ataupun salat.
Survei yang dilakukan Tim
Didaktika terkait kondisi musala
Halimun, menunjukkan hampir seluruh responden (97 persen)
berpendapat musala berukuran kecil, dan dapat menimbulkan masalah. Lebih dari setengah responden mengaku (67 persen), telah merasakan akibat dari ukuran
musala yang tidak memadai.
Mahasiswa FPPsi, Salma mengaku pernah terlambat mengikuti kelas karena kondisi musala Halimun sangat ramai. Ia menjelaskan saat selesai salat, dosen pengajar telah memasuki kelas.
Masalah lain dirasakan oleh
Mayla Haza, dia mengatakan tidak adanya area wudu tertutup
untuk perempuan membuatnya merasa kesulitan. Selain itu, Mayla mengaku tidak adanya pemisahan antara pintu masuk yang berbeda antara laki-laki dan perempuan juga membuat was-was wudunya batal.
“Masalah yang ditimbulkan itu karena areanya terbuka dan dilalui oleh lawan jenis sehingga rentan untuk bersentuhan sesudah
mengambil wudu,” ungkap Mayla.
Hampir mirip dengan
keduanya, Dewinta turut mengeluhkan kondisi musala yang sempit membuatnya merasakan pengap. Ia memberi saran kepada pihak
fakultas untuk melakukan renovasi
16
atau relokasi guna membuat ruang ibadah FPPsi menjadi lebih layak.
“Kalau tidak bisa dilakukan pembesaran, sebaiknya dilakukan relokasi terlebih dahulu atau
direnovasi. Musala diberi lebih banyak jendela dan lampu serta warna cat temboknya dibuat lebih terang,” anjur Dewinta.
Menanggapi banyaknya keluhan terkait kondisi
musala yang tidak layak, WD
II FPPsi, Ratna Dyah Suryaratri mengatakan pihak fakultas sebenarnya sudah menyadari kekurangan itu. Ia mengungkapkan musala
Halimun belum menjadi prioritas pembangunan fakultas saat ini. Mengingat ada kondisi lain yang diutamakan oleh pihak fakultas, yaitu perbaikan toilet dan pemerataan aliran listrik.
“Hal ini sudah menjadi perhatian dari kami.
Kedepannya akan coba
diperbaiki berdasarkan
prioritas,” ujar Ratna saat diwawancarai Tim Didaktika, Selasa (28/2).
Senada dengan Ratna, Dekan FPPsi Yufiarti menyatakan musala Halimun memang tidak
madai untuk menampung seluruh mahasiswa psikologi. Menurutnya, peluasan musala tidak memungkinkan untuk dilakukan.
“Kalau diadakan peluasan musala Halimun, maka tidak hanya musala yang dirobohkan, tetapi seluruh bangunan gedung akan turut dihancurkan mengingat struktur bangunan musala yang tergabung dengan gedung fakultas,“ ucap Yufiarti.
Ratna menjelaskan hingga saat ini pihak fakultas belum pernah mengajukan rancangan peluasan musala ke pihak universitas. Sebabnya, pihak fakultas sedang berusaha memperluaskan ruang dosen, pembangunan ruang kelas baru, dan fasilitas umum bagi mahasiswa.
Terakhir, Ratna mengatakan saat ini sedang mempertimbangkan saran adanya pemindahan lokasi musala Halimun. Baginya hal ini akan diusahakan untuk dibahas, sembari pihak fakultas merancang pengaturan lebih lanjut guna kebutuhan relokasi.
“Terima kasih atas usulannya, nanti bisa
dipertimbangkan dan saya rasa bisa segera untuk di eksekusi,” tutup Ratna.
Penulis: Syarifah ‘Arasy B.
Editor: Zahra Pramuningtyas
17
Mahasiswa FMIPA Bertanya-Tanya, Penggunaan Lift GHA bagi Mahasiswa
Hanya Pada Lantai Tertentu Saja
Lift di Gedung Hasyim Asy’arie tidak boleh digunakan untuk naik ke lantai 2-4. Hal ini membebankan mahasiswa untuk beraktifitas.
18
Gedung
KH Hasyim Asy’arie (GHA) dirancang memiliki
10 lantai. GHA difasilitasi
dengan tiga lift; dua lift utama
dan satu lift darurat. Sayangnya, ketiga lift tersebut dilarang
digunakan oleh mahasiswa
untuk naik ke lantai 2-4 yang merupakan tempat ruang kelas.
Salah satu Mahasiswa
Fisika, Nia mengungkapkan
ketiga lift di GHA hanya boleh
digunakan untuk naik ke lantai
5-10. Ia sendiri tidak mengetahui
mengapa lift tersebut tidak bisa
dipakai ke lantai 2-4.
naik lift tuh lantai 2-4
aja, untuk 5-10 boleh sepertinya. Lantai 5-10 itu
sendiri ruangan semacam korprodi, dekanat, dan lab. Jadi mungkin
dibolehin karena untuk
mendahulukan yang
akan ke lantai 5-10,” ujarnya, Selasa (21/2).
pelarangan yang dilakukan pihak fakultas membuatnya tidak merasakan fasilitas gedung secara
utuh. Baginya sudah seharusnya semua fasilitas bisa dirasakan oleh seluruh mahasiswa FMIPA.
Ia menganjurkan agar tombol lift utama untuk ke lantai 2-4 diaktifkan kembali.
Selain Nia, mahasiswa
Fisika lain, Rafi, mengaku
Keresahan serupa turut dirasakan Farah, ia merasa dirugikan karena ada fasilitas yang dibatasi. Farah menganggap alasan pentupan lift yang dimaksudkan untuk
kesehatan atau kebugaran tidak logis. Dia menganjurkan kepada fakultas untuk menggunakan sistem
berkala ketika ingin menaiki lift. Lalu mahasiswa pendidikan
Kimia 2021, Faida berharap ketiga lift dapat digunakan di semua
19
“Bayar UKT mahal, tapi fasilitas sangat dibatasi,” keluhnya.
“Setauku ngga boleh
lantai. Karena menggunakan tangga menguras banyak energi, serta mengurangi efesiensi waktu perkuliahan. Jadinya banyak mahasiswa tidak fokus belajar. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan dalam perkuliahhan. Jika memang lift utama pada lantai tertentu tidak boleh digunakan, seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu. Menanggapi banyaknya keluhan dari mahasiswa, Wakil Dekan
II FMIPA Bidang Umum dan Keuangan, Sudarwanto justru balik mempertanyakan mahasiswa yang komplain. Ia menilai banyak yang salah paham soal pelarangan ini.
“Sebenarnya bukan dilarang, tapi
dianjurkan lewat tangga untuk ke
lantai 2-4. Lagipula, masih ada satu lift, lift
darurat yang tidak
ditutup lantai 2-4nya.
Lalu, jika kondisi
mahasiswa sedang
tidak sehat boleh
menggunakan lift
darurat ke lantai 2-4,”
jelasnya, Rabu (1/3).
Sudarwoto melanjutkan tujuan pelarangan ini sebenarnya sederhana. Ia bermaksud agar mahasiswa lebih sehat dan aktif bergerak ketika menaiki tangga.
Tujuan Sudarwanto sederhana, supaya mahasiswa sehat dan bergerak dengan naik tangga. Baginya mengajak mahasiswa hidup sehat merupakan sebuah kewajiban, salah bila dibiarkan.
Terakhir, Sudarwoto mengungkapkan sebenarnya tombol lift untuk ke lantai 2-4 dapat dibuka kembali. Ia menambahkan pada bulan Desember lalu, tombol tersebut pernah diaktifkan selam tiga minggu.
“Tidak ada 5 menit untuk membuka tombol lift utama. Tetapi saya cuma membayangkan mahasiswa MIPA jadi gemukgemuk semua karena tidak ada yang bergerak,” tutupnya.
Penulis: Safta Sa
Editor: Asbabur Riyasy
20
“Saya ingin mahasiswa bergerak, jangan mager,” jelasnya.
Musik Noise dan Perlawanannya
Terhadap Dominasi Musik Pop
Di tengah gencarnya dominasi Pop hari ini, genre Noise mencoba menghancurkan standar bermusik di masyarakat.
Ketika sedang menyetel radio atau
membuka platform musik seperti
Spotify, tentu genre musik yang
paling sering didengar adalah
Pop. Musik Pop sendiri sudah
melekat di masyarakat, bahkan
bisa memunculkan ekspresi
tertentu ketika mendengarkannya, seolah-olah terwakili. Semisal
ketika mendengarkan musisi Pop
Indonesia, Tulus, yang erat kaitannya
dengan masalah percintaan, banyak masyarakat menyukainya.
Sayangnya menurut
kritikus musik dan sastrawan
Indonesia, Remy Sylado, musik
beraliran Pop sendiri digambarkan
hanya duplikasi remeh soal isu percintaan. Seolah-olah tidak ada yang bisa dibahas selain cinta.
Contohnya, kesamaan alunan piano atau petikan gitar dengan kunci melakonlis di berbagai lagu Pop.
Belum lagi bicara soal liriknya, terdapat banyak sekali kesamaan yang membahas masalah cinta. Sebagai contoh, lirik lagu
Menyesal karya Yovie Widianto “Bila cinta tak lagi untukku//Bila hati tak lagi padaku//Mengapa dia yang harus merebut dirimu?” Atau pun dalam lagu Sial yang dinyanyikan
Mahalini “Andai ku tahu semua akan sia-sia//Takkan kuterima cinta sesaatmu//Bagaimana dengan aku terlanjur mencintaimu?”
Kentaranya persamaan dan duplikasi tersebut merupakan
strategi industri musik yakni efisiensi. Sisi eksplorasi dalam
21
Opini
Sumber: Borishheavyrocks.com
seni diabaikan supaya produksi musik cepat. Selain itu juga, sokongan pembacaan pasar
membuat masyarakat seakanakan mengihwahli relevansi lagulagu yang beredar dari industri musik. Sederhananya, industri musik berhasil menciptakan
masyarakat yang terwakilkan.
Bersamaan dengan efisiensi dan membaca pasar, penyebaran
musik Pop juga berperan sebagai
faktor terbesar industri musik.
Kalau dulu hanya radio sebagai
celah promosi industri musik lewat
pembelian lisensi untuk pemutaran
lagu. Sekarang, internet dengan
segala tetek bengek algoritmanya
merajai laju promosi industri musik.
Umpamanya, industri musik
menjejali barang dagangannya
lewat aplikasi media sosial
seperti Youtube, Tiktok, hingga
Instagram kita. Pada akhirnya, industri musik dapat meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya
lewat kemiskinan kreatifitas seni.
Kelompok Penentang
Dampak paling krusial
dari industri musik adalah
membentuk nilai-nilai dan norma
masyarakat. Masyarakat menilai
genre Pop adalah musik yang
paling enak di dengar secara
objektif, selain itu tidak. Tak ayal,
berbagai kelompok pun bertikai memperebutkan genre mana yang paling rasional untuk di dengar.
Genre Noise hadir dengan mengabaikan seluruh standar norma soal musik di masyarakat, yang mewujudkan diri berupa suara kebisingan yang menusuk telinga. Dari detik pertama musik diputar, tidak ada alunan nada atau lirik-lirik nyanyian yang berarti, melainkan
raungan-raungan distorsi efek pedal gitar dan eksperimentasi instrumen yang bukan alat musik. Bahkan
dalam beberapa penampilan, turut menghadirkan lemparanlemparan kursi ke arah penonton, hingga merangseknya buldoser ke area konser. Musisi macam Merzbow, Incapacitans, hingga Hantarash, yang terkenal dalam kancah skena musik Noise ini.
Musik Noise membuang mentah-mentah nilai musik yang dianggap masyarakat sekarang. Melalui musik Noise, tidak ada batasan-batasan untuk bermusik. Dengan membuang standar lama soal musik, genre
Noise menghadirkan suatu hal yang asing dan bersifat kacau.
Jika biasanya musik Pop
selalu berkutat dalam paradigma
sistem permusikan tradisional barat, yaitu nada-nada do-re-mifa-sol dan akor-akor major-minor,
22
genre Noise melempar itu semua kedalam tong sampah. Mereka menggantinya dengan suarasuara atonal yang dihasilkan dari manipulasi mesin-mesin analog.
Pembangkangan terhadap tradisi
musik umum ini menjadi sebuah
simbol perlawanan terhadap
dominasi oleh musik Pop dan
norma-norma umum di masyarakat.
Selain secara simbolis
mengkritisi sistem musik yang mapan, aksi-aksi panggung
genre Noise terbilang aneh dan berbahaya. Seperti melempari
penonton dengan tinja ataupun
daging hasil mutilasi kucing yang dilakukan di atas panggung.
Mereka secara lantang memberi jari tengah ke pada konsep kewajaran
dan akal sehat. Seperti yang hadir di Indonesia, kolektif Jogja Noise
Bombing, adalah sebuah wadah yang melancarkan aksi-aksi musik
Noise di sembarang tempat umum secara anarkistik. Tak jarang
penampilan mereka diusir oleh
warga atau keamanan setempat.
Akhirnya, seni dan musik turut berperan secara menyenangkan menjadi medium
penghancuran dan pendobrakan
nilai-nilai, baik moral maupun
estetis di masyarakat. Manusia pada hakikatnya sebagai binatang, tentu memiliki hawa nafsu yang
haus akan kebebasan. Hawa nafsu ini tentu memerlukan penyaluran.
Penyaluran itu terdapat dalam
Musik Noise yang menghadirkan sarana kebebasan dengan raungan dan mengocok-kocok instrumen seenak jidat, menentang kungkungan kenormalan.
Hal ini sejalan dengan gerakan-gerakan pendahulunya yang kental dengan perlawanan
terhadap kebiasaan yang mendominasi di masyarakat. Seperti gerakan dadaisme di eropa setelah
Perang Dunia Pertama yang muak akan kapitalisme dan perang yang terjadi di masyarakat. Begitupun, sub-culture Punk musik dan fesyen yang lahir di Inggris sebagai bentuk kejemuan atas kemapanan.
Musik Noise, walaupun tidak bisa dinikmati oleh sebagian orang, pada akhirnya menunjukan eksistensi perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dalam masyarakat bukanlah sebuah hal yang ajeg.
Musik genre Noise menghadirkan perubahan radikal yang mendorong batas-batas seni dan nilai di dalam masyarakat umum.
Penulis: M. Waliddudin Salim
Editor: Arrneto
23
Sang Inang
Penulis: Anna Abellina Matulessy
Rembulan terbang menyinari sang malam
Hembusan angin mengecup raga sang inang
Petikan gitar di tiap sudut ruang
Kini menjadi hening jang riuh, dan sepi jang berteriak ramai
Rindu jang tak pernah terobati
Rindu jang memberatkan saat gelap menyapa
Hingga mati rasa menjadi akhir segalanya
Tuhanku
Oh, Tuhanku
Ulurkan tanganmu kepada sang inang
Titipkan rasa rindu sang inang untuk tuannya
Bukankah kau pemiliki rasa, oh Tuhanku
Bukankah kau tempat kembali, oh Tuhanku
Sampaikan kepadanya rasa rinduku
Betapa rindunya sang inang kepada tuannya
24
Puisi
Sepuluh Ribu Kebaikan
Penulis: Machika Salsabilla F
Aku seringkali bertanya-tanya
Kamu ini terbuat dari apa?
Dari kepingan cinta ayah pada anak
nya, mungkinkah?
Dari amin di tiap doa doa sehabis subuh, benarkah?
Sebab semua orang setuju, Bahwa kamu diramu dari sepuluh ribu
kata baik yang ada di dunia
Maka semakin aku menyusurimu, Semakin dadaku bergemuruh mencinta
Meski derasnya ombak mengurai
karang di bawah lautan
Meski tiap tiap suara berubah
menjadi senyap
Meski bulan murung dan redup sinarnya
Kamu tetaplah angin yang damaikan
seluruh riak
25
Sumber: Pinterest.comco
Kebebasan yang Abadi
Namaku Niskala Airena Lestari, orang-orang kerap menyapaku Kala. Aku seorang mahasiswa yang merantau ke kota orang. Bagiku, kuliah di luar kota adalah sebuah tiket bebas untuk aku yang hidup di bawah bayangan Kelana Cantika Lestari, Kakakku.
Libur semester telah tiba, aku memilih untuk tidak pulang karena pasti akan ditanya oleh Papa “Niskala kenapa liburan kamu tidak pulang, Nak?” Atau “Niskala kenapa Indeks Semestermu ini cuma segini?” Maka, untuk menghindari itu semua aku memilih memblokir kontak mereka sejenak.
“Kala, kamu harusnya malu karena kakakmu lebih pintar dan masuk perguruan tinggi favorit.”
“Kala, cobalah bergaul agar kamu memiliki teman yang banyak -seperti Kelana.”
“Kala, kok bisa indeks
semester 2 kemarin tidak mencapai 3,5? Kelana waktu semester 2 indeks semesternya 3,9 lho. Nyaris sempurna.”
Aku duduk termenung, sekeras apapun berusaha aku tidak bisa sama dengan Kelana. Sebenarnya aku pun merindukan mereka, ingin menceritakan semua hal yang kualami selama jauh dari rumah. Namun, ketika kalimatkalimat menuntut yang mereka lontarkan melintas dibenakku, rasa rindu itu lenyap.
“Kal? Lagi ngapain kamu?” Sebuah sapaan ringan membuyarkan lamunanku.
“Engga papa kok, lagi duduk aja.”
Ia turut duduk disampingku.
Namanya Kalandra, teman sekelasku yang selalu menanyakan apakah aku baik-baik saja atau tidak. Kami duduk dalam keheningan hingga
26
Cerpen
seekor kupu-kupu yang terbang bebas berhasil mengalihkan fokusku.
“Bahkan aku iri pada seekor kupu-kupu itu. Ia bebas tidak seperti diriku,” batinku.
“Besok ada rapat buat event, Kal. Kamu ikutan kan?” tanya Andra.
“Kala?”
“Oh iya, aku ikut kok. Sorry Ndra, enggak fokus tadi.”
Aku menatap Andra dengan mata yang sudah berkaca-kaca sontak membuatnya heran.
“Tahu enggak Ndra, rasanya capek. Aku kira menyibukkan diri bisa jadi pelarian buatku untuk sejenak melupakan tuntutan orang tua, tapi ternyata itu enggak ngaruh,” keluhku dengan suara bergetar.
Aku terdiam saat mendapati tatapan Andra yang duduk di sebelahku, seharusnya tidak kuceritakan itu padanya.
“Kal, Aku tau kamu capek. Tapi mau sampai kapan kamu terus lari? Semua yang kamu rasain itu valid. Tapi kamu juga enggak bisa terus lari dari masalah yang ada. Bilang ke Papa dan Mama kalau kamu itu bukan Kelana.” Ucapnya sembari mengusap air mataku.
Aku mencoba mencerna perkataan Andra, Ia benar. Aku
seharusnya angkat bicara dengan semua hal ini, bukan malah menghindar.
“Apapun respon kedua orang tua kamu nanti, aku bakalan ada buat kamu. Semangat, dan jangan menyerah.” Ujarnya sembari memegang pundakku.
“Makasih Ndra, nanti Aku coba.”
“Kalo gitu, jadi ikut rapat event enggak nih?”
“Ikut deh, lagian bosen juga di kost.”
“Oke deh, see you Kal!” Ujarnya sambil beranjak pergi.
Ponselku berdenting, aku mengernyit heran membaca notifikasi yang memperlihatkan sebuah nomor asing. ”Nomer siapa ini?” Batinku. Setelah Aku membuka chatnya ternyata itu Kelana dengan nomor barunya.
“Pulang Kal, kamu kenapa ngeblokir semua nomor orang rumah?” Begitu isi pesan Kelana.
Aku terbisu untuk beberapa saat, hingga panggilan masuk dari Kelana menyadarkanku. Sebuah bentakan pun langsung terdengar.
“Kala! Kalo enggak pulang atau ada kegiatan bilang dong, semua orang rumah panik kamu enggak ada kabar, telfon kami semuanya kamu blokir. Mau kamu apa?! Dituruti untuk kuliah jauh
27
malah jadi pembangkang! Saya
enggak mau tau kamu harus pulang
ma—” aku memutuskan panggilan
ketika yang terdengar adalah suara
Papa.
Tangisku pecah di keheningan taman kampus sore hari. Hingga pesan dari Kelana
kembali muncul. Ia mengirimkan
tiket pesawat pulang ke Jakarta
untuk nanti malam.
Mungkin yang dibilang
Andra benar, aku tidak seharusnya
lari dari masalah ini. Segera aku
menuju kost untuk berkemas
pulang. Di perjalanan aku juga
memesan tiket untuk kembali ke
Surabaya dini hari nanti karena aku
tidak mau berlama-lama di sana.
Setelah menempuh
perjalanan satu setengah jam
akhirnya aku sampai di tempat yang
katanya rumah. Aku memasuki
ruang keluarga, dan ternyata semua
orang sudah menungguku.
Papa beranjak dari
duduknya menghampiriku.
Tanpa sepatah kata, tamparan
Papa mendarat mulus di pipiku.
Kelana dan Mama hanya terpaku
menyaksikan kejadian tadi.
Dengan bibir yang bergetar
aku berkata, “Papa tau enggak
kenapa Kala males pulang? Kenapa
Kala mau kuliah jauh dari kalian?
Tau enggak kalau Kala selalu mati-
matian belajar demi dapet nilai yang
bagus supaya Papa senang? Kala
terpaksa ambil jurusan Ekonomi
sama kaya Kak Kelana?”
Semua orang di ruangan
itu terbisu. “Kala capek kalau terus
disamakan dengan Kelana! Kala
juga mau bebas, bahkan Kala iri sama kupu-kupu yang terbang
bebas. Kala mau mengejar mimpi
Kala bukan hanya jadi bayangan
Kak Kelana.”
“Sudah pintar melawan ya Kamu! Papa bolehin kamu kuliah
jauh agar kamu mandiri, jadi anak yang berguna bukan menjadi pembangkang! Kupu-kupu yang
kamu irikan tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak punya aturan!”
Wajah Papa merah padam. Satu tamparan kembali lolos dari tangannya. Kali ini aku tertunduk lemas di lantai. Mama dan Kelana
beranjak untuk memelukku sembari berulang kali mengucapkan kata maaf.
Dering telepon dari Andra pun menghentikan tangis kami. Aku melepaskan pelukan mereka dan keluar untuk mengangkat telepon dari Andra.
“Kal? Besok kamu jadi datang kan?” tanya Andra.
“Iya, jadi kok ini sebentar lagi aku balik ke Surabaya. Ada urusan dulu makanya pulang
28
mendadak.” terangku
“Oke Kal, kamu landing jam berapa? Aku jemput ya Kal. Aku tau kamu lagi enggak baikbaik aja. Suaramu terdengar habis nangis.”
“Aku landing sekitar jam satu Ndra, maaf ngerepotin ya,” jawabku sebelum mengakhiri telepon.
Aku kembali ke ruangan itu. Menatap sendu semua orang yang ada di sana. Mama pun menghampiriku.
“Maafin Mama Kala, maaf karena enggak pernah mendengar kamu. Jangan hiraukan semua tuntutan Papa Nak. Pergi dan kepakkan sayapmu. Mama akan selalu mendukung keputusanmu.”
“Iya Ma, sekarang Kala juga harus balik ke Surabaya. Terima kasih karena kali ini mendengarkan Kala.” Kataku seraya memeluk Mama dan Kelana.
“Kala sayang kalian.”
Aku pergi ke bandara untuk kembali ke Surabaya. Perjalanan menuju bandara dipenuhi tangisku. Sesampainya di bandara aku bergegas menuju Pesawat.
Saat mulai mengudara tak beberapa lama pramugari menyiarkan pengumuman setelah sebelumnya pesawat mengalami turbulensi.
“Mohon perhatiannya,
penumpang Water Link nomor penerbangan 5017A tujuan Jakarta. Harap tenang. Kami atas nama kru mengarahkan kepada para penumpang untuk tetap berdoa dan tidak meninggalkan kursi Anda.” Ucap pramugari di pengeras suara.
Tak lama guncangan hebat menghantam pesawat. Aku hanya bisa memejamkan mata seraya berdoa, “Tuhan, jika ini memang akhirku tolong sampaikan maaf untuk Andra karena membuatnya menunggu di bandara, sampaikan pula maafku pada Papa karena sudah membangkang dan katakan juga bahwa aku menyayangi keluargaku.” Batinku.
Mungkin ini jawaban untuk keinginanku agar bisa bebas pergi kemanapun. Kebebasan yang abadi.
Sumber: Depositphotos
Penulis : Aprilia Pramu Dhita
29
Rahasia Kecil
Aku merasa bahagia. Pulang dari
tujuh harian meninggalnya Pak
Lurah dengan membawa satu
sisir pisang kepok untuk si Kacer dan Kenari. Apalagi di perjalanan
melihat Aditya—anakku—bermain
gobak sodor di lapangan bulu tangkis bersama teman-temannya.
Dengan gesit, Aditya melewati dua penjaga dan masuk ke dalam garis finis. Selagi menunggu Aditya pulang, aku memberikan makan si Kacer dan Kenari. Satu jam
kemudian Aditya pulang dengan
rambut dan baju yang basah oleh
keringat. Betapa senangnya ia
melihat bungkus pecel ayam di meja
makan. Sebelum tidur ia bercerita
bahwa tak sabar ingin bertemu
dengan temannya besok di sekolah.
Mendengar itu aku tersenyum dan
menuntunnya membaca doa tidur. Entah mengapa dalam benakku timbul sebuah perasaan yang kurang mengenakkan. Namun, aku mencoba menyanggah perasaan itu karena tidak ada waktu. Pagi buta, aku harus pergi berbelanja bahanbahan untuk berdagang bakso.
Aku berumur lima tahun ketika orang tuaku diambil pada tengah malam. Sebenarnya, saat itu aku belum mengerti maksud “diambil” karena dengar kata “meninggal” saja aku belum mengerti.
Jendela kamarku
menghadap langsung ke sebuah tanah lapang tempat anak-anak bermain. Sore bermain bola dan malam bermain batu tujuh.
Terlihat begitu menyenangkan.
30
Namun, semenjak kedua orang tuaku diambil pada tengah malam.
Semuanya berubah. Aku tidak lagi diizinkan oleh teman-temanku ikut bermain. Teman-temanku menyebut aku keturunan “kafir” dan tetanggaku menuduh orang tuaku adalah pengkhianat. Dalam kekalutan aku bertanya kepada diriku sendiri.
Kemana perginya orang tuaku? Mengapa orang-orang membenciku? Membenci orang tuaku? Membenci keluargaku?
Apa karena orang tuaku meninggalkanku dan tidak pernah kembali?
“Aku benci Ayah dan Ibu! Karena mereka tidak pernah kembali, aku selalu dihina oleh teman-temanku.” Kakek memelukku dengan ikut menangis tersedu-sedu.
Kakekku bercerita bahwa orang tuaku itu seniman. Ayah adalah anggota Lekra dan ibu seorang penari di Gerwani. Aku
tidak tahu Lekra, yang aku tahu
hanya paklik Rajimin—adik dari
ayah. Dan aku tidak tahu Gerwani, aku tahunya bude Warni—kakak
dari ibu. Mendengar cerita itu
hanya membuat kubenci kepada mereka semua. Paklik Rajimin, Bude Warni, dan lain-lain.
Menginjak usia remaja, aku
tumbuh dengan keterasingan dan kepercayaan diri yang rendah. Aku tidak bersekolah dan tidak punya teman sebaya untuk bercerita.
Melihat aku yang kesepian. Paklik Rajimin membawaku ke Jakarta. Ia mempunyai kenalan yang memberikanku pekerjaan
sebagai kuli bangunan. Di Jakarta, aku jadi mengetahui kalau dunia itu sangat luas. Ternyata masih banyak orang baik dan orang jahat juga lebih banyak. Di Jakarta, aku selalu-selalu berpindah daerah tergantung di mana proyek yang harus kukerjakan.
Beberapa tahun di Jakarta, aku mendapatkan pekerjaan tetap menjadi satpam di daerah Blok M. Mendapatkan pekerjaan tetap dan gaji bulanan ternyata sangat menyenangkan. Tidak lupa kukirimi sebagian kecil gajiku ke Paklik Rajimin. Meskipun hanya menjadi satpam, rasa percaya diriku tumbuh. Aku mulai berkenalan dengan banyak orang dan bertemu seorang lelaki bernama Supri. Ia mengajakku bergabung ke sebuah komunitas bernama Presisi. Menurutnya kata ‘presisi’ itu berarti ketepatan. Ia juga menjelaskan presisi adalah ukuran seberapa dekat serangkaian pengukuran satu sama lain. Aku hanya mengangukanguk saja walaupun sebenarnya
31
aku tidak mengerti. Aku tahunya kata ‘prei’ yang berarti libur dan kata ‘sisi’ yang mungkin berarti letak. Apakah komunitas ini berarti letak libur? Aku yang tidak pernah sekolah, bingung sendiri mengartikan kata ‘presisi’.
Setelah bergabung dengan Komunitas Presisi, aku mendapatkan banyak teman yang mempunyai masalah keterasingan.
Jono—si kutu buku—mempunyai teman imajiner. Aku sering melihatnya berbicara dan tertawa sendiri di pojok ruangan. Ia juga bercerita tentang teman imajinasinya yang bernama Sri, membisikkan dirinya untuk melakukan bunuh diri. Untung saja, Supri mampu membuat Jono kembali berpikir secara logis.
Lalu ada Timan—si gitaris—yang tidak bisa tidur karena suara bising yang mengganggu kepalanya. Ia sendiri pun tidak tahu suara itu dari datangnya mana. Dari luar atau dari dalam dirinya sendiri.
Suara-suara itulah yang kemudian membantunya meciptakan melodi yang indah dalam gitarnya.
Supri dan Jono akhirnya menjadi sahabat, sekaligus teman curhatku. Supri selalu memberikan
solusi terbaik saat aku dan Jono mempunyai masalah. Begitupun
Jono yang sangat nyaman dijadikan
tempat untuk bersandar. Akhirnya semua persoalan dalam hidupku, aku ceritakan pada mereka. Namun, ada satu hal yang belum sempat kuceritakan. Ketika ingin
kupaparkan, Supri telah menikah dengan perempuan Amerika dan menetap di sana. Begitu juga
Jono yang melajutkan studinya ke Australia. Ada perasaan sungkan untuk menghubungi lewat telepon.
Mungkin karena aku hanyalah seorang satpam yang tidak berpendidikan.
Sebenarnya masih ada banyak teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki. Namun, aku rasa cukup. Di Komunitas Presisi juga ada seorang perempuan. Namanya Surti, dua tahun usianya lebih tua dariku. Orang tuanya juga tak pernah kembalikan ke rumah setelah “diambil” tengah malam. Karena persamaan nasib, aku menjadi sering mengobrol dengannya dan akhirnya kita pun menjalin hubungan asmara.
Di toilet umum, aku sudah begitu akrab dengan bau pesing, bau karat air keran, dan sampah bekas sampo. Ketika keluar dari toilet, aku langsung menuju musala
terdekat karena azan subuh sudah berkumandang.
Selesai salam, perasaan yang kurang mengenakkan datang
32
menghampiriku. Aku pun mencoba meraba-raba perasaan itu dan
seketika kenangan masa laluku sudah merayap-rayap di hati dan pikiranku.
Aku membayangkan seisi
kamarku yang juga bekas kamar orang tuaku. Ada lemari baju, meja belajar, lampu teplok, dan gitar. Semenjak umur tujuh tahun aku mulai menggambar wajah
ibuku dengan perubahan detailnya di setiap tahunnya. Di umur
sepuluh tahun aku mulai diajarkan
membaca, menulis, dan bermain
gitar dengan pamanku. “Bob Dylan pun belajar main gitar pada umur
sepuluh tahun,” ujar pamanku
dengan penuh semangat.
Setelah lancar membaca, aku mulai membaca buku dan jurnal yang kutemukan di tempat
penyimpaan beras. Banyak yang
tidakku baca karena berbahasa
Inggris. Dari buku dan jurnal yang
berbahasa Inggris aku melihat
berbagai nama-nama orang, seperti Marx, Engels, Lenin, Rosa
Luxemberg, Eduard Berstein, August Bebel, nama-nama yang
asing di kuping. Kalau Suparno, Sunarto, Subekto adalah nama
warga di kampungku. Sedangkan, buku dan jurnal berbahasa
Indonesia aku suka membaca
tentang Semaoen dan Tan Malaka.
“Amin.”
“Amin.”
“Amin.”
Orang sibuk berdoa, pikiranku malah merayap ke masa lalu. Di penghujung doa, bayangan wajah Ibu dengan setiap detailnya merayap ke raut muka Surti. Gambar wajah yang sering kuajak bicara kalau aku rindu. Wajah ibu tenggelam. Timbul wajah Jono yang mengingatkanku pada lemari bajuku yang sering kutumpah dengan isi hatiku yang kacau. Lalu timbul wajah Supri yang mengingatkanku pada meja belajar dan lampu teplok. Supri yang selalu memberikan solusi-solusi terbaiknya.
“Shallallahu ‘ala Muhammad.” Dalam hatiku aku berjanji akan menceritakan cerita ini kepada istriku, kecuali tentang Surti. Karena aku hanya akan menceritakan hubungan asmaraku dengan Surti pada Timan.
Aku bangkit. Lalu berjalan menuju tempat penggilingan bakso.
Penulis: Ridwan Tri Wibowo
33
Resensi
Meluasnya Kesadaran Kritis Bangsa
Judul Buku : Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912 – 1926
Judul Asli : An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926
Penulis : Takashi Shiraishi
Penerjemah : Hilmar Farid
Penerbit/Tahun Terbit : Pustaka Utama Grafiti
Tahun Terbit / Cetakan : 1997 / Cetakan I
Jumlah Halaman : 504 hlm
34
Takashi Shiraishi dalam buku
Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat Jawa 1912 – 1926
menjelaskan secara mendalam mengenai makna, penyebab, dan dinamika dari pergerakan di Hindia.
Cikal-bakal pergerakan bermula saat Belanda mendirikan banyak perkebunan tanaman ekspor di Vorstenlanden (wilayah bekas
Kerajaan Mataram Islam) di abad-
19. Guna menghantarkan hasil perkebunan, Belanda membuat jalur kereta api yang meningkatkan pendapatan industrinya.
Seiring bergulirnya waktu, di abad-20, Belanda menerapkan
Politik Etis dengan memberikan pendidikan bergaya Barat. Namun, Belanda tidak sekadar bermaksud untuk memberikan kesejahteraan dan kemajuan bumiputera. Pihak
Belanda bertujuan agar produksi tenaga kerja yang dibutuhkan negara dan usaha swasta Belanda berjalan.
Selain politik etis, Belanda
juga merubah struktur sosial secara radikal, bertujuan untuk tata kelola corak produksi yang rasional dan efisien. Semisal, praktik corak pertanian “Kebekelan”
masyarakat feodal Jawa dihapus oleh pemerintah kolonial karena mandeknya pertumbuhan produksi. Rakyat yang menolak hal tersebut
kemudian memanaskan konflik dengan pemerintah dan pemilik modal.
Di tengah maraknya konflik vertikal di Vorstenlanden, generasi bumiputra yang terpelajar yaitu
“Kaum Muda” menunjukkan taringnya dengan mengadvokasi kaum bumiputra. Kaum Muda
membekali diri dengan pemikiran yang cemerlang karena mendapat pendidikan gaya Barat. Mereka meluaskan konsep kebangsaan ke seluruh Hindia Belanda yang tadinya terbatas pada satu wilayah.
Dinamika Pergerakan
Gerakan pertama yang dilakukan bumiputera terpelajar adalah menuangkan pokok pikiran perjuangannya lewat surat kabar. Sembari menyebarkan surat kabar, jurnalis bumiputra membidani kelahiran organisasi perjuangan awal seperti Budi Utomo (BU), Sarekat Islam (SI), dan Indische Partij (IP).
BU–kebanyakan diisi
aristokrat Jawa–memiliki surat kabar Dharmo kondo yang beraliran pendidikan dan kebudayaan. SI mempunyai surat kabar dengan corak keislaman yang kental, yaitu
Oetoesan Hindia. IP bergerak dengan surat kabar De Express yang diisi oleh Douwes Dekker,
35
Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat.
Dengan ragam corak
pemikiran surat kabar, semangat yang digaungkan oleh beberapa
tokoh pun berbeda. Tjokroaminoto
ingin memajukan bumiputera
dengan setia kepada pemerintah
kolonial. Lain halnya dengan Tjipto
dan Marco, bersikap serampang
menyuarakan situasi sosial di Hindia Belanda.
Akhir dari pergerakan era
surat kabar terjadi ketika serikat
buruh dan petani bersatu pada tahun
1917 sampai 1920. Mereka mulai
bertindak dengan melakukan aksi
pemogokan yang mengguncang
stabilitas ekonomi Hindia Belanda.
Dalam rentan waktu ini juga, Sneevliet dan Semaoen sedang
gencar-gencarnya mengorganisir
massa untuk membangun partai komunis.
Tidak diam saja, Gubernur
Hindia Belanda yang baru kala
itu Jenderal Dirk Fock mulai
bersikap reaksioner terhadap
berbagai partai, terutama SI yang
mulai menganut aliran komunis.
Alhasil, ide pendisiplinan partai
yang diusulkan oleh Soewardi
Soerjaningrat pun dilakukan. SI
terbagi menjadi PSI (Partai Sarekat
Islam) dan PKI (Partai Komunis
Indonesia), menandakan zaman
partai di Hindia dimulai.
Zaman ini ditandai oleh
PKI yang menguasai panggung
pergerakan. Sebab, hanya PKI yang masih melakukan aksi pemogokan.
Namun karena pemerintah Belanda
tidak menyukai komunis sejak awal, serangkaian pergerakan PKI sangat ditekan pemerintah. Nahas, perjuangan PKI harus selesai di tahun 1926 karena gagalnya pemberontakan.
Corak Kemunculan Gerakan
Hari Ini
Di akhir, Takashi Shiraishi mendefinisikan pergerakan sebagai suatu proses “penerjemahan” dan “pencomotan” yang kompleks dan dinamis. Para tokoh yang bergelut saat itu menerapkan macam-macam ide dari luar seperti komunisme, Vergadering dan lainnya yang berimbas pada tersebarnya kesadaran kritis di kalangan rakyat. Rakyat menjadi memiliki kesadaran untuk mau mengubah keadaan yang menindas mereka.
Melihat sekarang, keadaan serupa pun terjadi. Ide-ide dari luar bisa didapat dengan mudah karena kekayaan arus teknologi dan gencarnya globalisasi. Semisal di berbagai sosial media. Dengan disediakannya kolom komentar,
36
gagasan para pengguna sosial media dapat terus berpusar. Selayaknya
vergardering di zaman dahulu, kesadaran kritis dapat timbul
dengan adanya kolom komentar yang membuat pengguna sosial
Sumber: Merdeka.com
media terpancing untuk bertanya. Beberapa waktu lalu contohnya, seorang Ibu membawa
poster bertuliskan “Tolong, anakku
butuh ganja medis” di kawasan
car free day (CFD) Jakarta. Sebab
sang Ibu melakukan hal tersebut
didorong oleh buruknya kesehatan si anak yang mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak.
Fenomena tersebut kemudian ramai di media sosial karena salah
satu orang mengunggah foto ibu dan anak tersebut. Dampaknya, masyarakat mulai sadar sisi lain
ganja yang tidak hanya sekadar
narkotika, melainkan bisa untuk medis. Berbagai suara masyarakat
yang riuh di sosial media terkait
legalisasi ganja pun terdengar hingga DPR, Menteri Kesehatan,
Sumber: Kompas.com
MK, dan Wakil Presiden. Sampai sekarang, desakan ganja sebagai obat pun masih terus diriset kelayakannya.
Walau terdapat beberapa kekurangan seperti adanya istilahistilah asing yang tidak dimasukkan dalam daftar istilah. Buku ini sangat penting untuk dibaca guna mengetahui secara dalam mengenai sejarah zaman pergerakan sebab penulis menampilkan situasi sosial, budaya dan politik yang terjadi pada masa itu.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Arrneto
37
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta berdiskusi mengenai Uang Kuliah
Tunggal (UKT) yang mahal di Perguruan Tinggi.
38 Potret