5 minute read

Bekerja di Bidang Lingkungan, Apa Sudah Benar-Benar Hijau?

Namun, selalu ada dua sisi mata uang kan? Di balik semua program dan kegiatan yang telah dilakukan. Beberapa kendala masih menjadi makanan sehari-hari Krishna dan timmya. Krishna menjelaskan perjuangan yang dihadapinya adalah untuk menyebarkan kesadaran tentang hidup berkelanjutan dan betapa jauh lebih menguntungkan dan menyenangkan dibandingkan dengan hidup konvensional.

Selain itu, penggalangan dana menjadi salah satu tantangan dalam mengembangan komunitas ini. Menurutnya kesadaran mengenai gaya hidup berkelanjutan membuat kerja-kerja yang Ia lakukan tidak berjalan mulus.

Advertisement

"Pada akhirnya bagian terbaik dari menjalankan komunitas adalah tidak melakukannya sendiri, bertemu teman baik dan menjalin hubungan, sambil belajar menumbuhkan sumber pangan segar yang sehat, ” tutup Krishna.

Nevy Widya Pangestika dan Harun Arrasyid

“Makanya, setelah lulus, aku memantapkan hati buat kerja yang memang langsung bergerak bersama masyarakat. Dari sanalah aku memilih untuk kerja di LSM yang fokusnya di edukasi lingkungan hidup, karena kebetulan aku juga ingin bergerak di tanah kelahiranku sendiri, Bali, ” Kata Rani mantap kala tim Act Global bertanya kenapa ingin bekerja di bidang lingkungan dan keberlanjutan.

Bernama lengkap Ni Nyoman Oktaria Asmarani. Menyelesaikan studinya di jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Bidang kuliah yang Ia ambil ternyata tidak serta-merta membuat dirinya berdiam dan hanya membaca buku-buku di kampusnya saja. Menurutnya hal tersebut tidak cukup.

“Aku bisanya cuma menulis isu yang berkaitan dengan alam, tapi dari kacamata yang sifatnya filosofis. Lama-lama kusadari, ternyata itu enggak cukup, ” jelasnya.

Semasa kuliah, Rani menyadari bahwa dirinya juga mulai tertarik ke isu lingkungan. Ia membaca banyak literatur mengenai isuisu keberlanjutan, ekonomi sirkular dan sebagainya. Ia bercerita bahwa dirinya tak segan-segan untuk ikut berdiskusi bersama kawan-kawan di bangku kuliah mengenai topik ini.

“Ya, jadinya makin membuka mataku bahwa urgen buat kita untuk bergerak untuk keberlanjutan kita, ” jelas Rani.

Menyelesaikan kuliahnya secara tepat waktu, Rani kembali ke kota kelahirannya, Denpasar. Setelah mengumpulkan banyak ilmu dari kota pelajar, Rani mantap untuk mulai mengawali karirnya di bidang yang terkait dengan lingkungan. Bulan November 2019, Rani bergabung dan bekerja sebagai Environmental Educator di ROLE Foundation, salah satu LSM di Bali yang berfokus dalam bidang lingkungan. Sehari-hari, dirinya bertanggung jawab untuk menjadi pengajar dan memberi pelatihan lingkungan. Dirinya juga ditugaskan untuk memimpin tour interaktif di sekitar ZeroWaste Center. Namun, berselang beberapa bulan, dirinya dipindah tugaskan menjadi manager di ZeroWaste Center. Dan sejak tahun lalu, Rani menjadi Project Manager di Merah Putih Hijau (MPH), sebuah yayasan yang bergerak di bidang pengelolaan sampah terpadu. 31

Sedikit membahas mengenai MPH, Rani menjelaskan bahwa pengelolaan sampah terpadu yang digerakan oleh organisasi ini dijalankan atau dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat desa. MPH sendiri mulai bergerak sejak tahun 2016. Rani mengatakan, tujuan MPH adalah untuk bersama-sama dengan warga desa membangun, mengelola dan mengembangkan infrastruktur pengelolaan material organik dan non-organik di lingkungan tempat tinggal mereka.

“Program MPH bertujuan untuk menciptakan kemandirian masyarakat dalam mengelola sampah/material sisa konsumsi rumah tangga. Ke depan, Merah Putih Hijau memiliki visi untuk dapat menaikkan tingkat daur ulang material hingga 90% di setiap desa. Sejauh ini ada 14 desa yang tim kecil MPH dampingi di Bali, dan kami berupaya untuk terus berkembang secara jumlah dan kualitas, ” jelas Rani.

Kembali ke Rani, hingga hari ini dirinya telah bekerja menjadi Project Manager di MPH selama 11 bulan. Menurutnya, secara personal dirinya perlu untuk belajar terus menerus mengenai lingkungan. Rani mengatakan edukasi lingkungan hidup dengan tujuan mengubah perilaku seseorang tampaknya tidak mudah. Dirinya menyadari bahwa Ia harus tetap berusaha kritis melihat rantai-rantai permasalahan ini yang tidak hanya bisa diselesaikan dari perubahan perilaku individu.

“Di luar dari itu, memenuhkan hati rasanya jika aku

bisa bermanfaat buat masyarakat. Walaupun mungkin tidak terlihat besar skalanya, kerja bersama ibu-ibu di desa saja sudah bikin aku senang sekali, ” jelas perempuan asal Denpasar ini.

Act Global mencoba menyinggung mengenai pekerjaan yang Rani geluti sering disematkan sebagai green jobs atau pekerjaan hijau atau pekerjaan ramah lingkungan. Namun, dirinya mengembalikan pertanyaan tersebut kepada kami.

“Memangnya, apa itu Pekerjaan hijau? Apakah semua pekerjaan dengan embel-embel penyelamatan lingkungan itu bisa disebut dengan pekerjaan hijau? Bagaimana dengan pelaku yang melakukan “pekerjaan hijau” tapi justru di-backup oleh korporasi-korporasi yang justru menghancurkan lingkungan itu sendiri? Batasnya ada dimana?” tanyanya.

Rani kemudian menjelaskan bahwa realitanya cukup banyak pekerjaan dengan embel-embel penyelamatan lingkungan. Berdasarkan kaca mata awamnya juga, ia melihat bahwa mulai banyak yang tertarik di sektor ini.

“Tapi ya itu, motif tiap orang yang bekerja atau tiap lembaga yang mempekerjakan itu bisa jadi berbeda-beda. Ada yang memang ingin melakukan pekerjaan yang demi bumi, ada yang memang bersikap demi bumi tapi justru melanggengkan sistem oligarki atau agenda dari korporasi-korporasi besar yang melakukan greenwashing. Semuanya tergantung ke diri sendiri saja, karena dilema kerja di aktivisme atau nonprofit memang selalu ada. Tinggal seberapa besar diri mau berkomitmen sekaligus berkompromi, ” jelasnya.

Rani sendiri menggarisbawahi bahwa memang penting untuk menyuarakan dan bergerak di bidang keberlanjutan. Namun ia merasa, tindakan yang dilakukan tidak boleh naif. Rani mengatakan, tindakan-tindakan yang didasari oleh kesadaran ekologis pun tidak serta merta dilakukan hanya untuk bumi itu sendiri.

“Ada antroposentrisme yang masih tertinggal di sana. Ya, kita mau bumi terus ada untuk keberlangsungan manusia juga, kan? Ini masih perlu dikritisi lagi, dan perdebatannya masih panjang. Motif antroposentris saja menurutku sudah cukup layak digunakan buat jadi alasan kita melakukan sesuatu yang lebih dalam krisis ini, apalagi motif yang berusaha beranjak dari antroposentrisme itu sendiri, ” terangnya.

Terlepas dari pandangannya mengenai potensi pekerjaan ramah lingkungan, Rani setuju bahwa bumi merupakan satu-satunya planet yang masih bisa menopang kehidupan manusia. Oleh karenanya, dirinya meyakini bahwa memberikan suara yang lebih pada isu keberlanjutan dan pekerjaan ramah lingkungan menjadi suatu keniscayaan.

“Kalau saja kesadaran itu ada, kupikir mestinya tiap orang secara otomatis akan memikirkan kembali tindakan-tindakan yang dilakukan, pilihan-pilihan yang dipilih, termasuk tergerak untuk bekerja di sektor ini (pekerjaan ramah lingkungan), ” papar Rani.

Untuk mengakhiri obrolan kami, Act Global bertanya kepada Rani perihal pendapat yang mengatakan bahwa gaya hidup berkelanjutan itu lebih mahal. Rani kemudian menjelaskan,

“Gaya hidup berkelanjutan itu sangat bisa buat jadi Rp 0, lho. Ingat, prinsip sederhana soal sampah itu ada 3R (walaupun ada banyak yang menambahkan jadi 5R, 6R): reduce, reuse, recycle. Itu dulu deh yang diterapkan. Orang prinsip pertama aja sudah “mengurangi” lho, artinya kan bukan untuk menambah konsumsi lagi. Kurangi yang bisa dikurangi, gunakan yang bisa digunakan, daur ulang yang bisa didaur ulang. Kalau memang harus atau mau beli sesuatu, baik yang ramah lingkungan atau tidak, pastikan bahwa memang kita tidak punya alternatif lagi selain membeli barang itu (rethink). Gaya hidup yang berkelanjutan yang tidak mengharuskan kita menaikkan tingkat konsumsi sudah diterapkan dan diwariskan turun temurun oleh generasigenerasi sebelum kita. Kita cuma perlu menengok kembali warisan itu, dan menyesuaikannya dengan konteks kehidupan kita sekarang.

Harun Arrasyid 34

This article is from: