5 minute read

Adaptasi Kebiasaan Baru Kendalikan Transmisi Covid-19

Next Article
Prestasi Mahasiswa

Prestasi Mahasiswa

dr. Joko Murdiyanto Sp.An., MPH.

“Bencana itu terbagi menjadi dua, ada bencana alam dan ada bencana non-alam. Pandemi Covid-19 merupakan bencana non-alam. Jika bencana alam itu terlihat (katakanlah) musuhnya. Sedangkan bencana non-alam, ini tidak terlihat. Selain itu, bencana alam relatif terkonsentrasi sedangkan bencana non-alam bisa sporadis,” ujar dr. Joko Murdiyanto Sp.An., MPH membuka wawancara di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Jumat (17/7).

Advertisement

Lebih lanjut, dokter yang tergabung sebagai tim kesehatan Muhammadiyah dan BNPB di beberapa bencana alam ini melihat perbedaan itu akan membuat perlakuan, bantuan yang diberikan, atau pun manajemennya berbeda pula. dr. Joko memberikan contoh pada saat gempa di Bantul. Menurutnya meskipun daerah Yogyakarta lain juga terkena namun yang paling terdampak tetap di Bantul. Sehingga daerah-daerah yang tidak terlalu terdampak bisa membantu. Sedangkan pada kasus Covid-19, masing-masing dari daerah berusaha akan dirinya sendiri dan bagaimana mereka mengelola dirinya.

“Oleh karena itu jika Indonesia agak kewalahan, saya kira ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara dunia pun juga begitu,” tambahnya.

Bersama Reporter Warta PTM, Dokter Spesialis Anestesi & Reanimasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus Kaprodi Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi UNISA ini memaparkan lebih detail mengenai Covid-19 dan adaptasi kebiasaan baru.

Apa yang dimaksud dengan New Normal?

Menurut KMK N0 328/2020, new normal adalah perubahan pola hidup pada situasi pandemi Covid-19. New normal adalah kebijakan membuka kembali aktifitas ekonomi, sosial, dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan standar (protokol) kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Saya pribadi melihat tidak seluruh orang dapat memahami penggunaan istilah new normal dengan benar. Sehingga yang terjadi karena dianggap normal maka normal seperti dulu sebelum Covid-19. Padahal new normal itu sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kenormalan baru. Jika dulu tidak pernah pakai masker, sekarang pakai masker. Dulu jarang cuci tangan, sekarang rajin cuci tangan. Dulu bisa berjabat tangan, sekarang untuk sementara dihindari. Dulu shaf di masjid rapat, sekarang berjarak (physical distancing). Itu merupakan kebiasaan-kebiasaan baru.

Saya lebih cenderung ke istilah yang baru kemarin diluncurkan yaitu AKB atau Adaptasi Kebiasaan Baru.

Kebiasaan baru itu harus diadaptasi, tidak bisa tidak. Saya saja yang hampir setiap hari di kamar operasi dan harus pakai masker rasanya tidak nyaman. Apalagi orang yang pekerjaannya di luar atau harus beraktivitas segala macam. Tentu tidak terbiasa. Maka harus merubah perilaku, merubah kebiasaan. Jika tidak ada perubahan dalam kebiasaan ini, jangan heran kalau pandemi ini tidak akan selesai.

Mengapa bisa begitu?

Karena pandemi ini disebabkan oleh partikel yang namanya virus. Virus itu partikel, kecil tidak kasat mata. Tapi begitu dia masuk ke inangnya atau host, dia bisa mereplikasi. Ada pendapat ahli bahwa itu bukan makhluk hidup. Itu partikel, tapi begitu partikel itu masuk ke sel mukosa hidung, mulut, tenggorokan, maka dia dapat berkembang luar biasa. Apalagi bagi orang yang daya tahan tubuhnya lemah.

Penularan Covid-19 melalui droplet atau percikan. Bukan melalui airborne atau udara. WHO belum melaporkan bahwa Covid-19 ini airborne. Namun ada beberapa penelitian yang masih debatable bahwa virus Covid-19 dapat bertahan di udara selama 8 jam. Sehingga logis jika salah satu pencegahannya dengan masker.

Jika saya menggunakan masker, maka pada saat saya bernapas atau bersin, partikel dapat tersaring di masker. Kemudian jika ada orang yang berjarak 1,5 meter dari saya dan menggunakan masker juga, maka droplet saya yang sudah tersaring masker hampir tidak akan sampai di orang tersebut karena terpisah jarak dan juga terlindungi oleh maskernya sendiri.

Apakah ada kriteria tertentu agar AKB dapat diterapkan?

Ada enam syarat yang ditentukan oleh WHO. (1) Transmisi terkendali. Jika kemarin sudah zona hijau lalu sekarang menjadi merah, maka tidak bisa dilakukan karena belum terkendali. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa transmisi virus Corona sudah dapat dikendalikan.

(2) Kesiapan rumah sakit. Rumah sakit atau sistem kesehatan tersedia untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien Covid-19. Dalam situasi pandemi, terdapat 3C, yaitu cooperation, coordination, dan collaboration. Sehingga ketika ada pasien terkonfirmasi Covid-19, maka rumah sakit harus koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama dengan pihak lain, sebagai contoh kecamatan. Maka harus dilaporkan agar segera bisa dilacak keluarga, riwayat bepergian, dan lain-lain. Jika pelacakan tidak terselesaikan dapat menyebar ke mana-mana. Kemudian mengenai rumah sakit rujukan dan non rujukan. Bagaimana ketersediaan tempat tidurnya, ventilator, dokter, tenaga kesehatan, dan lain sebagainya.

(3) Risiko penularan terkendali. Risiko penularan wabah sudah terkendali terutama di tempat dengan kerentanan tinggi, seperti pada kerumunan. Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kerumunan. Physical distancing merupakan solusi yang tepat untuk ini. Jika kita menghindari kerumunan, insyaallah akan terhindar. Penularan rentan terjadi pada orang usia lanjut dan orang dengan komorbid. Komorbid adalah penyakit penyerta. Ia memang mempunyai riwayat-riwayat seperti hipertensi, asma, cuci ginjal, penyakit-penyakit yang daya tahan tubuhnya lemah seperti HIV AIDS, dan juga orang-orang yang sedang kemoterapi.

(4) Langkah pencegahan. Apakah langkah pencegahan di masyarakat sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya.

(5) Mencegah kasus impor. Kasus Yogyakarta itu hampir sebagian besar kasus impor. Ada yang datang dari Bandung, Surabaya, halaqah yang di Gowa, atau dari Bogor. Apakah kita bisa mencegah? Karena tadi itu, sebabnya tidak jelas. Apalagi jika sudah sampai pada orang yang sebetulnya dia punya virus tapi daya tahan tubuhnya bagus. Dia bisa menularkan tanpa disadari.

(6) Partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat diharapkan. Hal ini dikarenakan kebiasaan-kebiasaan baru tadi itu hampir tidak pernah dikerjakan sebelum ada pandemi.

Bagaimana urgensi penerapan AKB di Perguruan Tinggi (PT)?

Kalau kita bicara di konteks perguruan tinggi. PT merupakan tempat berkumpulnya orang. Sedangkan penyakit ini merupakan penyakit kerumunan. Saat mahasiswa baru dikumpulkan, kegiatan belajar mengajar, praktik di laboratorium, itu merupakan kegiatan-kegiatan yang harus mengumpulkan orang. Di situlah potensi terjadi penularan.

Namun hingga saat ini tidak ada yang bisa menentukan dengan pasti bahwa Covid ini kapan berakhirnya. Sehingga tentu, PT juga harus menata diri, mengelola diri agar bisa tetap hidup. Bagaimanapun PT sangat tergantung dengan mahasiswa. Hidup matinya PT berdasarkan seberapa banyak mahasiswanya. Ini yang PT harus pikirkan.

Saya kira semua PT sudah punya tim task force. Penting memiliki tim task force untuk melihat perkembangan Covid-19 di luaran kemudian memperkirakan apakah KBM bisa berjalan atau tidak. Jika berjalan apakah akan dilaksanakan daring, campuran, ataukah tatap muka.

Pemberlakuan AKB di PT itu sangat tergantung juga dengan kebiasaan semua orang. Jika kebiasaan masyarakat di daerah kampus itu berada masih seperti dulu, jangan harap kegiatan kampus itu bisa segera berjalan. Hal ini dikarenakan kehidupan kampus berasal dari masyarakat sekitarnya. Misalnya, kondisi UMY itu akan bergantung dari kelurahan sekitarnya.

Jadi PT harus dapat menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat sekitarnya. Katakanlah UMY, UNISA, PGRI, UGM, UNY, dan semua PT di Yogyakarta melakukan hal tersebut, maka niscaya se-DIY akan aman. [] GTA

This article is from: