
1-2
5-6 3-4

7-8 9-10 11-12










Desa Sukasari terletak pada Kecamatan Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia, tepatnya di bagian Barat dari Waduk Jatiluhur. Kecamatan Sukasari berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor, KabupatenCianjur,danKabupatenPurwakartayangberjarak sekitar 100 km dan dapat ditempuh selama empat jam menggunakan sepeda motor dari Kota Bandung. Desa Sukasari merupakan desa paling ujung dari Kecamatan Sukasari dan juga tergolong desa yang berkembang dengan IDM yang rendah yakni 0,5049. Untuk tingkat pendidikan, mayoritas masyarakat Sukasari hanya mencapai SD dan SMP karena keterbatasan fasilitas pendidikan. Meskipun demikian, Desa Sukasari memiliki potensi alam yang melimpah mulai dari dataran tinggi yang terdapat Curug Cimata Indung hingga dataran yang lebih rendah terdapat Waduk Jatiluhur.
Bentang sawah yang luas tidak selalu menerjemahkan kalau masyarakat Sukasari sepenuhnya bekerja sebagai petani. Sebaliknya, masyarakat Sukasari memiliki beragam mata pencaharian mengikuti banyaknya potensi alam yang ada pada sekitar wilayah Sukasari, itulah yang membuat Desa Sukasari terlihat memiliki banyak
keberagaman. Masyarakat Sukasari memiliki banyak kebiasaan unik yang berdampak baik bagi lingkungan dan jugarasakekeluargaandarimasyarakatitusendiriseperti gotong royong jumat bersih, sholawat keliling dan lain-lain.
Suburnya tanah di pedesaan Sukasari yang membuat Desa
Sukasari dikelilingi oleh tanaman-tanaman yang asri tak terkecuali pohon kopi. Tanaman Kopi yang tersebar melimpah di sekitar Desa
Sukasari menjadi suatu potensi usaha yang dapat dimanfaatkan lalu dikembangkan oleh masyarakat Sukasari. Indung Kopi contohnya, merupakan merek kopi siap seduh berjenis kopi robusta yang dibuat oleh Pa Komar dan istrinya. Penggunaan nama Indung pada label diambil dari nama Curug Cimata Indung dan “indung” yang berarti Ibu dalam bahasa Sunda. Sesuai dengan namanya Indung Kopi, Pa Komar dan Bu Emay mengolah kopi dari awal hingga akhir menggunakan kasih cinta dan penuh rasa sayang layaknya seorang Ibu kepada anaknya.
Proses pengolahan kopi robusta ini diawali dari pemilihan biji kopi yang berkualitas di kebun kopi pribadi Pa Komar. Selanjutnya, kopi yang sudah dipilih akan difermentasi menggunakan air dalam sebuah kantong plastik selama 1-2 minggu. Proses fermentasi ini guna menciptakan rasa yang bold dan kopi yang harum. Semakin lamanya proses fermentasi akan menentukan seberapa asam kopi nantinya.Selesaiprosesfermentasi,kopiakandijemurselamabeberapa hari agar kopi kering dan siap untuk ke tahap selanjutnya. Selanjutnya proses pemanggangan sampai pada suhu 150 derajat celcius untuk mendapatkan warna terang-gelap dari biji kopi yang juga mempengaruhi tekstur serta rasa pahit saat kopi disuruput. Pa Komar
melakukan proses grinding menggunakan mesin semi modern yang sayangnya sudah tiga kali mengganti mesin karena rusak. Keterbatasan dalam proses grinding untuk mendapatkan tekstur yang halus tidak mempengaruhi rasa kopi yang tetap lezat, karena dari awal hingga akhir Pa Komar dan Bu Emay melakukannya dengan penuh rasa. Dengan bantuan Bu Emay, proses pembungkusan setelah proses grinding akan lebih efisien di kala Pa Komar sedang me-roasting biji kopi.
Indung Kopi ini hanya menjual satu jenis kopi yaitu robusta dan memiliki dua jenis ukuran yaitu 75 gram yang dijual seharga 20.000 dan 100 gram yang dijual seharga 25.000. Distribusi Indung Kopi
sudahsampaikeKotaKarawangdanjugaKabupatenPurwakarta.Pa Komar pun berencana akan bekerja sama dengan temannya untuk membuat kedai kopi di sekitar Sukasari agar usaha kopi ini makin
dikenal serta menaikan kembali wisata Curug Cimata Indung yang
namanya diadaptasi kepada kopi ini. Indung Kopi pun sudah dapat dipesan oleh teman-teman yang ingin menikmati kopi Pa Komar melalui marketplace online Shopee. Akan tetapi, pendistribusian online masih terkendala oleh masalah transportasi dan juga teknologi yang dimiliki oleh Pa Komar.
Itulah yang diucap Bu Emay saat menceritakan nelayan yang tersesat dalam genangan habitat eceng gondok di Waduk Jatiluhur. Habitat eceng gondok yang seperti berkumpul menyebabkan perahu dari nelayan akan tersangkut pada akar dan juga daun dari eceng gondok yang menjalar. gondok merupakan jenis tanaman yang dapat bertumbuh cepat sehingga jika tidak pengendalian akan sangat merugikan nelayan dan juga ikan. Eceng gondok yang kendali dapat menghambat masuknya cahaya matahari ke dalam air sehingga garuhi juga ekosistem ikan di dalamnya.
Selain kekurangan serta kerugian yang diciptakan oleh eceng gondok bagi lingkungan, eceng gondok pun memiliki keindahan dari visualnya serta sangat bermanfaat bagi masyarakat Sukasari. Eceng gondok ini dapat diolah menjadi sebuah kerajinan tangan yang juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Sukasari. Produk-produk yang dihasilkan berupa topi, tempat tissue, tas, dan lain-lain sesuai keinginan dari konsumen yang sumber eceng gondoknya berasal dari Waduk Jatiluhur yang tepatnya pada bagian barat dari Desa Sukasari.
Bu Ijah adalah seorang yang lihai dalam masalah anyam menganyam eceng gondok ini, dan beliau adalah teman dari Bu Emay. Bu Ijah tidaklah mengambil eceng gondok sendiri, tetapi beliau membelinya dari seseorang di Waduk Jatiluhurnya langsung. Bu Ijah dapat menerima pesanan khusus konsumen yang biasanya adalah pengunjung yang datang ke Desa Sukasari. Bu Ijah pun sering kali senantiasa dalam mengajari pengunjung untuk dapat membuat produknya sendiri menggunakan teknik anyam eceng gondok ini. Seperti kelompok kami yang diberi workshop oleh Bu Ijah, dan Bu Emay untuk membuat sebuah topi koboi dan tutup tissue yang sekaligus menjadi cinderamata yang kami dapatkan. Usaha yang dijalani oleh Bu Ijah dan teman-temannya ini merupakan suatu program patriot desa yang dibina oleh Pak Indra.
pembuatan kerajinan eceng gondok ini berawal dari pengambilan eceng habitatnya di Waduk Jatiluhur, lalu eceng gondok akan melalui proses yang akan dilakukan beberapa hari hingga benar-benar kering. kering, eceng gondok akan dijual dengan harga 10.000 per ikatnya berisi sekitar 50-100 batang. Eceng gondok perlu melalui proses penggilingan atau pemipihan lalu eceng gondok siap dianyam dan dijadikan kerajinan. Setelah produk sudah terbentuk, akan melalui proses terakhir yaitu pelapisan varnish, produk akan terlihat lebih terang dan tahan air yang membuat produk tahan lama. Harga produk kerajinan eceng gondok sendiri beragam sesuai dari kesulitannya, untuk tas rata-rata berkisar di harga 150.000, dompet 60.000, dan topi 100.000
Dewasa ini di zaman modern membuat individu makin tergantung kepada teknologi dan membuat sifat egosentris tiap individu semakin besar, terlebih pada wilayah perkotaan di Indonesia yang membuat budaya Indonesia asli seperti gotong royong dan budaya silaturahmi ke tetangga sudah makin memudar. Pudarnya budaya gotong royong yang disebabkan perkembangan zaman tidak berpengaruh pada kebanyakan wilayah rural. Desa Sukasari salah satu wilayah rural yang tidak terpengaruh budaya buruk dari teknologi meskipun ponsel pintar dan juga akses internet serta wifi sudah tersebar ke beberapa titik di Desa Sukasari.
Masyarakat Desa Sukasari memiliki kegiatan gotong royong bernama Jumat Bersih yang bertujuan membersihkanwilayahsepanjangjalanKampungCisaat. Kegiatan Jumat Bersih ini dilakukan sejak pukul 7 pagi hingga sepanjang jalan bersih sekitar jam 12 siang. Masing-masing masyarakat melakukan berbagai cara untuk berkontribusi, ada yang memotong rumput, menyapu, dan mengumpulkan sampah ke dalam plastik. Mayoritas masyarakat Sukasari yang mengikuti kegiatan ini adalah ibu-ibu.
Perihal rasa kekeluargaan, masyarakat desalah yangjadijuaranya.Posisirumahyangsalingberdekatan, segala kebutuhan hidup utama saling bantu membantu, dan masih minimnya pengaruh teknologi pada keseharian mereka membuat masyarakat Desa Sukasari saling mengenal dekat satu sama lain. Selain kegiatan Jumat Bersih,kegiatansholawatkelilingadalahcontohkegiatan yang dapat mempererat tali kekeluargaan melalui silaturahmi berlandaskan rohani. Sholawat keliling dilakukan tiap malam jumat, dan selalu berpindah tempat pada setiap minggunya. Sehingga seluruh rumah di Desa Sukasari pernah dikunjungi oleh tetangganya. Sebagian darimasyarakatyangmengikutikegiataninipunmerupakan masyarakat yang mengikuti organisasi sosial bernama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang berusia antara 16-20 tahun. Sesuai pepatah “Tak kenal maka tak sayang”, masyarakat Desa Sukasari saling memiliki perhatian sesama tetangganya layaknya keluarga sendiri karena sudah mengenal secara menyeluruh melalui kegiatan-kegiatan seperti di atas.
Sekitar 2 km ke arah utara dari Desa Sukasari terdapat destinasi yang diunggulkan berupa curug. Curug adalah air terjun dalam bahasa Sunda, ya memang sebagianbesarnama-namayangadadiSukasarimenggunakan bahasa Sunda yang menjadi bahasa utama sehari-hari. Curug ini dinamakan Curug Cimata Indung yang berarti “Air terjun mata air ibu” juga menjadi salah satu nilai jual dari Desa Sukasari karena keindahannya. Sayangnya, dampak dari pandemi COVID-19 membuat Curug Cimata Indung tutup dan sepi pengunjung hingga saat ini, padahal curug ini dahulu merupakan salah satu destinasiunggulandansebagaisumbermatapencaharian masyarakat melalui peminjaman alat-alat seperti pelampung, toilet, tiket masuk, dan lain-lain.
Dalam perjalanan menuju Curug, kami ditemani olehanakdancucunyakeluargaPakKomaryangbernama Julaeha. Medan perjalanan cenderung mudah dengansepanjangperjalanansudahmenggunakanjalan cor meskipun beberapa saat akan terasa sangat sulit karena medan nanjak yang berlumut sehingga perlu berhati-hati. Kami merasa sedikit kesulitan saat dihadapi dengan rintangan tersebut sedangkan anak dan cucu Pak Komar dengan mudahnya melewati segala hambatan, mungkin karena sudah terbiasa menuju curug yang juga dijadikannya tempat main bersama teman-teman desanya. Sepanjang jalan menuju curug,
Waduk Jatiluhur yang terletak di bagian Barat Desa Sukasari ini merupakan Waduk terbesar di Indonesia yang tentunya memiliki pemandangan yang indah dengan dikelilingi oleh daratan-dataran tinggi. Waduk Jatiluhur merupakan jalur transportasi satu-satunya saat Desa Sukasari masih belum memiliki akses darat menuju kota-kota di sekitar. “Sampe-sampe bisa 2-3 jam,” ucap Pa Komar yang menceritakan sedikit sejarah yang dialami beliau tentang Waduk Jatiluhur ini. Sejarahnya, waduk Jatiluhur ini dibuat saat masa kepresidenan Ir. Soekarno tepatnya pada tahun 1957 dan diresmikan 10 tahun kemudian yakni pada tahun 1967 oleh Presiden Soeharto. Waduk ini menenggelamkan 4 desa dan 11 desa yang tergenang air sebagian.
Selain pemandangannya yang indah, waduk ini pun memiliki banyak manfaat bagi masyarakat sekitarnya, yakni tempat budidaya ikan, budidaya eceng gondok, sebagai perairan desa, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Salah satunya manfaat yang kami kunjungi pada waduk ini adalah tambak ikan yang menghasilkan ikan-ikan segar yang nantinya akan didistribusikan hingga ke luar kota. Pa Uto mengantar kami semua menggunakan perahunya menuju tambak ikan milik temannya yang bernama Pa Isop. Tambak Pa Isop terletak di tengah waduk diantara perkumpulan tambak ikan lainnya sehingga terlihat seperti komplek tambak ikan. Tambak ikan ini mengapung di atas waduk menggunakan gentong dan juga bambu sebagai struktur pembantunya. Ikan-ikan yang Pa Isop budidayakan sebagian besar merupakan ikan Mas, Nila, dan Patin yang masing-masing ikan memiliki waktu tertentu untuk sampai ke tahap siap panen. Diperlukan waktu 4-6 bulan untuk ikan Nila, 2-3 bulan untuk ikan Mas, dan 6-7 bulan untuk ikan patin. Biasanya Pa Isop memberi makan ikannya 2-3 kali dalam sehari tergantung kepada jumlah ikan pada setiap kotak dan seberapa besar ikan yang ada. Kedalaman jaring keramba milik Pa Isop ini sedalam 5 meter, sedangkan kedalaman waduk mencapai 20 meter lebih.
Waduk Jatiluhur pun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan juga pengunjung untuk dapat memancing ikan sendiri. Pemerintah pun mendukung keberlangsungan budidaya ikan di Waduk Jatiluhur ini dengan menebar bibit agar ekosistem di dalam waduk dapat bertumbuh serta berkembang. Sayangnya, masih ada beberapa warga lokal yang menggunakan pemancingan dengan cara listrik. Alih-alih mendapatkan ikan yang banyak, hal tersebut dapat memperburuk ekosistem ikan di sekitarnya.