
2 minute read
5.2.12 Kondisi Sosial Budaya
upah sehingga pendapatan yang diperoleh laki-laki dan perempuan setara tanpa pembedaan berdasarkan gender.
5.2.12 Kondisi Sosial Budaya
Advertisement
5.2.11.1 Nilai Adat Istiadat dan Budaya
Kabupaten Sintang terdiri dari multietnik yang didominasi oleh suku Melayu, Dayak Seberuang, dan Tionghoa. Menurut Putri (2013), ketiga etnik tersebut memiliki pola permukiman berbeda yang dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial, dan kebudayaan. Etnik Melayu cenderung tinggal di dataran banjir, pinggiran sungai, dan jalan dengan pola permukiman tersebar tidak merata (random pattern). Pola ini disebabkan oleh guna lahan hutan, tempat tinggal yang dulu berupa ladang berpindah berubah menjadi menetap, dan banyaknya tradisi yang berhubungan dengan sungai. Etnik Dayak Seberuang cenderung tinggal di dataran rawa dan daerah pedalaman (Kecamatan Sepauk dan Tempunak) dengan pola permukiman tersebar merata (dispersed pattern). Pola ini disebabkan oleh ketergantungan hidup dengan hasil hutan, tempat tinggal yang dulu berupa ladang berpindah berubah menjadi menetap, mayoritas bekerja sebagai penggarap ladang atau petani, dan tradisi sekaligus kepercayaan leluhur. Etnik Tionghoa cenderung tinggal di tempat yang strategis secara ekonomi seperti dekat pasar dengan pola pemukiman berkelompok (cluster pattern). Pola ini disebabkan oleh tempat tinggal yang bersifat mengelompok dengan etniknya dan mayoritas merupakan pendatang yang bekerja sebagai pedagang. Menurut hasil wawancara dengan pemerintah setempat, antar etnik saling terbuka dan menjaga sehingga mempercepat proses pembangunan di Kabupaten. Walaupun begitu masih terdapat konflik berbau SARA seperti perebutan lahan perkebunan dan sengketa lahan (Putri, 2013).
Kabupaten Sintang memiliki budaya yang kental dikarenakan multietnik, atau terdiri dari berbagai suku. Berbagai budaya pula yang diterapkan warga Kabupaten Sintang, yakni Kee’rja banyau atau yang 100risten100100a sebut gotong royong. Kee’rja banyau ini merupakan aktivitas sosial yang dilakukan secara bersama-sama sehingga dapat memupuk jiwa kesatuan, persatuan, juga solidaritas antar warga Kabupaten Sintang yang
menjalankan. Selain Kee’rja banyau, gunting rambut bagi bayi yang baru lahir juga masih menjadi adat dan dilaksanakan di Kabupaten Sintang. Upacara Gunting Rambut yang dilakukan oleh masyarakat Melayu penganut agama Islam di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat ditandai dengan pencukuran rambut bayi yang baru lahir. Upacara ini bertujuan untuk membuang kesialan, mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi bayi yang baru dilahirkan. Penyelenggaraan upacara ini lazimnya mereka lakukan setelah bayi menginjak usia 40 hari (Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, 2018). Adanya kultur tersebut menyatukan masyarakat Kabupaten Sintang, memiliki identitas kuat melalui tradisi yang tetap terus dipertahankan. Selain itu terdapat budaya Tenun Ikat Sintang. Masyarakat Dayak Sintang mempunyai kepandaian untuk menenun yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Para 101riste Dayak melakukan kegiatan ini di sela sela waktu istirahat setelah berladang. Namun perkembangan budaya ikat tenun tidak mengalami peningkatan tetapi justru hampir punah. Disamping para perajin kurang berminat untuk menenun, daya saing tenun ikat rendah di .pasaran (Nurcahyani, 2018). Rumah Betang (Rumah Pajang) di Kabupaten Sintang juga cukup terkenal, bukan hanya menjadi cagar budaya, tetapi beberapa Rumah Betang dijadikan homestay. Pada kondisi alam Kabupaten Sintang yang dilewati oleh sungai besar, warganya memiliki budaya yang masih bergantung pada sungai. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya warga yang masih menggunakan sungai sebagai sarana mobililasi utama menggunakan perahu. Selain itu, masih terdapat juga warga Kabupaten Sintang yang menggunakan jamban di sungai.
5.2.11.2 Agama dan Kepercayaan