FRI VOL XX/09 2025

Page 1


FOODREVIEW INDONESIA

Menjawab Tantangan

Industri Rempah dan

Herbal Indonesia

Menuju Pasar Global

REMPAH dan HERBAL sebagai

Ingridien Fungsional

RAMUAN REMPAH & HERBAL

TRADISIONAL INDONESIA: Basis Inovasi

Minuman Fungsional

REMPAH

& HERBAL INDONESIA: Warisan Tradisi, Inspirasi Inovasi

Rempah dan Herbal Indonesia: Warisan Tradisi, Inspirasi Inovasi

Bagi bangsa Indonesia, rempah dan herbal lebih dari sekadar bumbu untuk pengolahan pangan. Tidak hanya berperan sebagai ingredient untuk menambah flavor, rasa, dan aroma khas pangan, sejak lama rempah dan herbal juga digunakan untuk mengawetkan makanan, bahkan sebagai obat untuk menjaga kesehatan.

Karenanya, sejak berabad-abad lalu, rempah dan herbal Indonesia telah menjadi komoditas berharga yang diperebutkan dunia. Perdagangan ini memicu penjelajahan, konflik, sekaligus perubahan geopolitik global. Bisa dikatakan, rempah dan herbal telah menjadi bagian dari identitas bangsa, warisan, sekaligus faktor penentu perjalanan sejarah Indonesia.

Salah satu kisah paling dramatis adalah pala dari Kepulauan Banda. Dalam Perjanjian Breda (1667), untuk mengakhiri perang Inggris–Belanda, sebuah pulau kecil penghasil pala yang sangat berharga ditukar Belanda dengan sebuah pulau yang luasnya 15 hingga 20 kali lebih besar di Amerika, yang kini dikenal sebagai Manhattan. Peristiwa ini menggambarkan betapa besar nilai rempah bagi dunia.

Rempah dan herbal telah lama menyatu dalam budaya pangan masyarakat Indonesia. Hampir setiap masakan daerah memanfaatkan rempah dan herbal. Kunyit, misalnya, digunakan untuk memberi warna emas pada nasi kuning dan jamu. Jahe menghangatkan tubuh dalam wedang jahe, sementara lengkuas dan serai menghadirkan aroma khas pada rendang dan soto. Rempah dan herbal juga hadir dalam upacara budaya, ritual kepercayaan, hingga pengobatan tradisional. Salah satu warisan yang bertahan hingga kini adalah jamu, ramuan tradisional yang bukan hanya simbol kearifan lokal, tetapi juga bukti kemampuan leluhur bangsa dalam mengolah kekayaan alam untuk menjaga kesehatan.

Sains modern kini semakin memperkuat warisan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa kunyit mengandung kurkuminoid yang bersifat antiinflamasi dan antioksidan; jahe mengandung gingerol yang efektif mengurangi nyeri dan mual; sementara cengkeh mengandung eugenol yang bersifat antimikroba. Dengan validasi ilmiah ini, jamu dan ramuan herbal tradisional Indonesia tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga relevan dengan tren kesehatan global.

Di era modern, warisan tradisi rempah dan herbal telah

menjadi sumber inspirasi inovasi. Tumbuhnya kesadaran global akan gaya hidup sehat dan penghargaan terhadap bahan alami mendorong lahirnya industri pangan fungsional berbasis rempah dan herbal. Di sinilah ilmu dan teknologi pangan memainkan peran strategis: meneliti, mengembangkan, dan memastikan produk khas Indonesia mampu bersaing di pasar global. Inovasi menjadi kunci, melalui pendekatan seperti formulasi, fermentasi, enkapsulasi, dan nanoemulsi untuk meningkatkan ketersediaan hayati serta efektivitas senyawa aktifnya, disertai perkembangan teknologi pengemasan. Lagi-lagi, ini membuktikan bagaimana warisan tradisi dapat berpadu dengan inovasi ilmiah demi menjawab kebutuhan industri modern.

Peran dan komitmen pemerintah juga sangat diperlukan untuk mendukung sinergi antara tradisi dan industri melalui berbagai program. Salah satunya adalah Indonesia Spice Up the World (ISUTW), yang sejak 2021 menjadi payung promosi kuliner dan rempah Indonesia di kancah global. Sebagai kelanjutannya, pemerintah meluncurkan program S’RASA (Rasa Rempah Indonesia) yang berfokus pada gastrodiplomasi. Semua ini menegaskan bahwa rempah bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan modal besar untuk masa depan. Tantangannya adalah bagaimana mengelola potensi rempah secara berkelanjutan, berbasis riset, dan terintegrasi dengan strategi pembangunan industri nasional.

FOODREVIEW Indonesia edisi September 2025 hadir menyajikan pemikiran mengenai tema besar rempah dan herbal sebagai warisan tradisi dan sekaligus inspirasi inovasi bagi Pertiwi. Rempah adalah identitas, kekuatan, sekaligus peluang strategis bagi bangsa Indonesia. Semoga sajian FoodReview Indonesia kali ini dapat memicu upaya membangun daya saing rempah dan herbal serta produk pangan Indonesia.

Purwiyatno Hariyadi https://phariyadi.foodreview.co.id/

daftar isi

VOL. XX No. 9 September 2025

OVERVIEW

Extracellular Vesicles:

32

PERSPEKTIF

22

Menjawab Tantangan Industri Rempah dan Herbal Indonesia

Menuju Pasar Global

Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pemimpin global dalam produksi rempah-rempah, dan telah menjadi pemasok utama dunia selama berabad-abad.

40

Ingridien Pangan Fungsional Berbasis

Rempah dan Herbal

Sejak dahulu, rempah dan herbal telah diakui sebagai bahan baku andal dalam menciptakan cita rasa yang kuat dan khas pada produk pangan. Popularitasnya kini semakin meningkat pesat, seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat global akan pentingnya hidup sehat.

50

Rempah dan Herbal sebagai Ingridien Fungsional

Ramuan Rempah & Herbal Tradisional

Indonesia: Basis Inovasi Minuman Fungsional

ASOSIASI

58 GAPMMI Apresiasi

PGN dan Pemerintah atas Normalisasi Pasokan Gas Industri

Pemimpin Umum: Suseno Hadi Purnomo | Pemimpin Redaksi: Purwiyatno Hariyadi | Wakil Pemimpin Redaksi: Nuri Andarwulan Redaktur Pelaksana: Himma Ellisa | Pemimpin Perusahaan: Pratomodjati | Wakil Pemimpin Perusahaan: Hindah Muaris

Staf Redaksi: Fitria Bunga Yunita | Sales, Advertising & Activities: Tissa Eritha

Digital Marketing: Fetty Fatimah | Business Development: Andang Setiadi | Desain & layout: Yanu Indaryanto

IT dan Website: Gugun Hendi Gunawan | Keuangan: Kartini, Padmawati Zainab

Penerbit: PT Media Pangan Indonesia

Alamat PT Media Pangan Indonesia: Jl Binamarga II No. 23, Baranangsiang, Bogor Timur 16143 Telepon: (0251) 8372333, (0251) 8322732 | +62 811 1190 039 | Fax: (0251) 8375754

Website: www.foodreview.co.id | E-mail: redaksi@foodreview.co.id, marketing@foodreview.co.id ISSN: 1907-1280

INGRIDIEN

60

56

Inovasi Produk Berbahan Matcha untuk Generasi Z

Matcha, minuman tradisional Jepang, telah bertransformasi menjadi fenomena global yang merambah berbagai lapisan masyarakat.

Bubuk Daun Kelor: Ingridien Potensial Pangan Fungsional

KEAMANAN DAN MUTU

Antimikroba

80

Rempah & Herbal: Menjaga Keamanan & Keawetan Pangan

Dalam upaya menjaga mutu dan memperpanjang masa simpan produk pangan, penggunaan bahan pengawet menjadi salah satu solusi. Bahan antimikroba adalah zat tambahan yang berfungsi mencegah atau menghambat kerusakan akibat aktivitas mikroba.

Redaksi menerima tulisan atau berita seputar teknologi dan industri pangan. Artikel sebaiknya disertai dengan foto pendukungnya dikirim via email redaksi atau pos. Redaksi berhak menyunting naskah sejauh tidak mengubah isinya. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan menarik.

Paket Koleksi Cetak Majalah FoodReview Indonesia

Dear FoodReview Indonesia, Saya sudah berlangganan majalah FoodReview Indonesia secara digital di Pustaka Pangan. Namun, saya masih ingin melengkapi edisi cetak dari Majalah FoodReview Indonesia. Mohon info edisi mana saja yang tersedia cetak dan ketersediannya. Terima kasih.

Vania

Jakarta

Jawab:

Terima kasih atas ketertarikannya untuk mengoleksi majalah kami. Untuk versi cetak masih bisa didapatkan melalui lokapasar kami seperti Shopee & Tokopedia. Silakan ketik ‘Majalah FoodReview’ pada kolom pencarian. Sedangkan untuk ketersediaan edisi-edisi tertentu silakan menghubungi tim distribusi kami di +62 811 1190 039.

Penambahan Saldo Pustaka Pangan

Kepada FoodReview Indonesia

Bagaimana cara melakukan pengisian saldo khusus untuk pembelian majalah edisi satuan di Pustaka Pangan? Terima kasih.

Welda Bogor

Jawab:

Setelah berhasil membuat akun atau melakukan registrasi, silakan masuk ke akun Anda. Akses menu “My Account” dan lanjutkan dengan memilih opsi “Top Up” yang tertera. Selanjutnya, pilih metode pembayaran yang diinginkan dan tentukan jumlah saldo yang akan diisi, seperti Rp20.000, Rp40.000, atau nominal lain sesuai kebutuhan Anda untuk pembelian majalah edisi satuan. Setelah proses pembayaran berhasil diselesaikan, mohon segera hubungi layanan pelanggan FoodReview melalui WhatsApp di nomor +628111190039 dengan menyertakan bukti transfer agar saldo Anda dapat segera kami proses. Terima kasih.

Format Artikel FoodReview Indonesia

Kepada FoodReview Indonesia

Mohon informasinya, bagaimana cara berkontribusi artikel untuk majalah FoodReview Indonesia dan apa saja syarat dan ketentuannya. Terima kasih.

Fadli

Purwokerto

Jawab:

Kami menerima artikel dalam lingkup ilmu dan teknologi pangan dengan minimum panjang artikel

3 halaman (9,000 karakter), dengan Cambria 12 spasi 1,5. Untuk keperluan tata letak dan penyuntingan, kami akan melakukan perubahan tanpa mengubah makna dan isi. Artikel yang ditulis kami harapkan disertai dengan nama penulis, lengkap dengan lembaga/perusahaan/ asosiasi tempat penulis beraktivitas. Jika dipandang perlu, artikel bisa juga diberi tambahan daftar referensi -maksimal 5 sumber pustaka. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan menarik.

KIRIMKAN KOMENTAR atau pertanyaan Anda ke Forum FOODREVIEW INDONESIA

Jl Binamarga II No. 23, Baranangsiang, Bogor Timur 16143 atau melalui whatsapp: +62 811-1190-039, email redaksi@foodreview.co.id Cantumkan nama lengkap, alamat dan nomor telepon Anda. Semua surat yang masuk akan diedit terlebih dulu dengan tanpa mengubah maknanya.

Majalah cetak edisi 2016-2020 masih bisa diperoleh melalui loka pasar kami seperti Shopee (Media Pangan Indonesia) & Tokopedia (Toko Kulinologi). Silakan ketik ‘Majalah FoodReview’ pada kolom pencarian. Sedangkan untuk ketersediaan edisi-edisi tertentu silakan menghubungi 0811 1190 039.

https://linktr.ee/foodreview.co.id

Ekspor Pangan Tembus ke Afrika

Industri pangan dinilai memiliki potensi besar karena didukung oleh ketersediaan sumber daya alam melimpah, kapasitas produksi kompetitif, serta permintaan domestik yang terus meningkat. Menteri

Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa industri pangan adalah subsektor manufaktur yang konsisten memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

“Industri pangan tumbuh sebesar 6,15% pada triwulan II Tahun 2025, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,1%,” kata Menperin dalam keterangan Siaran Pers (30/8).

Pada periode yang sama, industri pangan berkontribusi sebesar 41% terhadap PDB industri pengolahan nonmigas, menjadikannya subsektor dengan sumbangsih paling tinggi. “Sektor pangan telah menjadi motor utama pertumbuhan industri pengolahan nonmigas. Selain mendominasi pangsa pasar industri, sektor ini juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar serta berperan penting dalam mendorong ekspor,” ungkap Menperin.

Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika juga menyampaikan kinerja gemilang dari industri pangan. Hingga Mei 2025, ekspor sektor ini mencapai USD18,59 miliar (termasuk minyak kelapa sawit).

Dari angka tersbut, neraca perdagangan sektor pangan surplus sebesar USD13,14 miliar. Putu mengemukakan apresiasi kepada PT Universal Robina Corporation (URC) Indonesia selaku produsen produk pangan ringan, yang melakukan pelepasan ekspor ke Ivory Coast Pantai Gading, Afrika dari Cikarang Dry Port, Kamis (28/8). Pelepasan ekspor 10 truk kontainer berisi produk pangan ringan ini turut disaksikan oleh Panitia Kerja Daya Saing Industri Komisi VII DPR RI. “Kami menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh kepada PT URC Indonesia atas kinerjanya mengekspor produk biskuit dan pangan ringan ke negara-negara di Afrika. Langkah ini menjadi contoh penting bagi upaya perluasan pangsa pasar produk Indonesia dan menekankan pentingnya menjaga daya saing industri domestik agar mampu bersaing secara global,” paparnya.

Putu berharap, peningkatan aktivitas ekspor tersebut semakin bertambah ke depannya dan dapat menginspirasi lebih banyak pelaku industri manufaktur di Indonesia agar memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menjalankan usahanya. “Hal ini sejalan dengan tekad pemerintah untuk terus menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui penerbitan berbagai program dan kebijakan yang strategis, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuhnya. Fri-35

To advertise & be a seminar sponsor, contact us and book your 2025 schedule : Ms. Tissa Eritha - tissa@foodreview.co.id Mr. Andang Setiadi - andang@foodreview.co.id

https://linktr.ee/foodreview.co.id

Teknologi Iradiasi untuk Komoditas Cabai dan Bawang

Penyelenggaraan cadangan pangan merupakan instrumen strategis untuk menjamin ketersediaan pangan nasional, terutama saat menghadapi defisit pasokan, gejolak harga, atau kondisi darurat. Dalam konteks ini, aspek umur simpan komoditas menjadi faktor penentu. Untuk memperkuat cadangan pangan, Badan Pangan Nasional (NFA) menjalin koordinasi bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengkaji potensi kerja sama dalam perpanjangan masa simpan pangan segar, khususnya komoditas cabai dan bawang. Kolaborasi ini merupakan implementasi dari nota kesepahaman antara kedua belah pihak terkait penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil inovasi di bidang pangan.

Menurut Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan NFA,

Yusra Egayanti inisiatif ini tidak hanya berfokus pada ketersediaan, tetapi juga bertujuan untuk menyediakan pangan yang bergizi, bermutu, dan aman bagi masyarakat. Lebih lanjut, Yusra menegaskan bahwa teknologi iradiasi dapat menjadi solusi ideal untuk memperpanjang umur simpan pangan segar, khususnya untuk dua komoditas prioritas tersebut yang dikenal memiliki masa simpan relatif pendek dan mudah rusak. Ia juga menyebutkan bahwa penggunaan iradiasi telah mendapat legitimasi luas dari Codex Committee, badan penyusun standar internasional, yang menunjukkan kredibilitasnya. Dalam diskusi ini, sejumlah pakar dan industri pengguna teknologi iradiasi turut dilibatkan untuk memastikan kajian yang dihasilkan tersusun secara komprehensif. Fri-35

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno

Hariyadi, Msc

Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknologi

Pertanian, IPB University & SEAFAST Center, IPB University

Registration:

5th November 2025 Wednesday

13.00-16.00 WIB

Fundamentals of Heat Processing in Food Industr y

Applications of Advanced Heating Technologies in Food Processing

Challenges and Future Trends: Optimizing Energ y Consumption in Food Processing

S’RASA: Gastrodiplomasi Indonesia Melalui Rempah dan Rasa

S’RASA merupakan program promosi kuliner Indonesia yang kaya rempah dan rasa untuk pasar luar negeri. Program ini menghadirkan makanan Indonesia dengan identitas, cerita, dan warisan budaya Indonesia di restoran-restoran Indonesia di berbagai negara. Program ini merupakan babak baru dari program Indonesia Spice Up The World (ISUTW) yang berakhir pada 2024.

Sebagai tahap awal, uji coba (pilot project) S’RASA akan dihadirkan di restoran yang berlokasi di lima kota dunia, yakni Tokyo, Jepang; Sydney, Australia; Amsterdam, Belanda; London, Inggris; dan New York, Amerika Serikat. Restoran serta pemasok bumbu dan rempah yang terlibat akan dipilih melalui seleksi terbuka oleh profesional di bidang kuliner.

“S’RASA menjadi jembatan diplomasi kuliner Indonesia. Dengan hadirnya restoran Indonesia di luar negeri, kita

dapat memperkenalkan Indonesia. Melalui pengalaman mencicipi hidangan, dapat mendorong masyarakat mancanegara agar tertarik mengenal budaya Indonesia secara langsung,”kata Menteri Perdagangan Budi Santoso. Selain mempromosikan kuliner, S’RASA merupakan langkah untuk mendorong ekspor produk Indonesia lewat rempahrempah, bahan baku, dan produk Indonesia.

“Salah satu kontribusi yang bisa kita lakukan untuk menyongsong Indonesia maju 2045 adalah meningkatkan ekspor. Melalui S’RASA, kita ikut membuka jalan bagi produk Indonesia lainnya, seperti bahan baku, bumbu, kemasan, hingga peralatan untuk ikut masuk ke pasar global sehingga dapat memperluas pasar produk Indonesia di kancah dunia,”ungkap Mendag Busan.

Peluncuran Program Rasa Rempah Indonesia atau S’RASA dilakukan bersama oleh Menteri Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri, Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf) Teuku Riefky Harsya, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha C. Nasir, serta Deputi Bidang Usaha Menengah Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Bagus Rachman. Peluncuran ini dilakukan di Skydeck Sarinah, Thamrin, Jakarta, pada Kamis, (28/8). Fri-35

Balancing Health and Taste: The Future of Sweet Innovation

As regulations, health trends, and consumer preferences continue to evolve, the importance of taste modulation is increasing. But keeping ahead of the curve isn’t easy.

IFF’s FLAVORFIT™ technologies offer a breakthrough solution by expertly balancing sweetness, mouthfeel, and masking off-notes to deliver delightful taste experiences without compromise.

Across 50 countries, including Singapore, Indonesia, and Thailand, manufacturers are reformulating to meet evolving health standards while elevating flavor profiles that resonate with diverse consumer palates.

Up to 33% of Indonesians cite “too much sugar” as a key reason for avoiding beverages[1] , highlighting the urgency for better-for-you innovation that doesn’t sacrifice taste.

These advancements empower brands to meet regulatory demands and rising consumer expectations with confidence, creativity, and precision, making sweet innovation not just possible, but powerful.

¹ IFF Beverage Landscape Study, Indonesia, 2025

FoodReview Indonesia In-Depth Seminar

Optimizing Texture in Food Products: Ingredients, Sensory, and Regulatory Insights

Tekstur produk telah lama diakui bukan hanya sebagai karakteristik sensorik, melainkan salah satu pilar utama yang menentukan penerimaan dan loyalitas konsumen. Mencapai profil tekstur yang ideal— baik itu kerenyahan, kelembutan, atau kekentalan—menuntut pendekatan holistik yang melampaui sekadar pemilihan bahan baku. Kebutuhan untuk menciptakan karakteristik unik inilah yang mendorong pesatnya inovasi dalam penggunaan bahan baku baru, atau yang dikenal sebagai novel food, di industri pangan global.

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) berperan sentral dalam mengawal proses ini melalui regulasi yang ketat dan terstruktur. Secara prinsip, novel food di Indonesia dikategorikan sebagai jenis pangan baru, dan pengkajiannya termasuk dalam mekanisme pengkajian bahan baku. Regulasi yang menjadi

acuan utama saat ini adalah Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Perubahan Kategori Pangan dan Perubahan Bahan Baku.

Jika sebuah bahan baku belum tercantum dalam peraturan tersebut, atau telah diizinkan oleh Badan POM namun belum memiliki data keamanan yang memadai, maka wajib dilakukan pengkajian untuk memastikan keamanannya. Proses ini mengacu pada Pedoman Pengkajian Bahan Baku Pangan (2020) yang dikeluarkan oleh Badan POM. Dalam konteks pengawasan ini, Badan POM menekankan bahwa bahan baku adalah komponen yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Karenanya, kajian keamanan adalah langkah mutlak yang diperlukan.

“Kajian keamanan bahan baku sangat diperlukan untuk perlindungan masyarakat. Data yang dibutuhkan

untuk pengkajian mencakup identifikasi, karakteristik, kajian keamanan, dan jumlah penggunaannya dalam pangan olahan. Ini merupakan langkah

fundamental untuk memastikan setiap bahan baru yang masuk ke pasar aman bagi konsumen,“ ujar

Direktur Standardisasi Pangan

Olahan, Direktorat Standardisasi Pangan

Olahan Badan POM RI, Dra. Dwiana Andayani, Apt. dalam FoodReview

Indonesia In-Depth Seminar – Optimizing Texture in Food Products: Ingredients, Sensory, and Regulatory Insights pada 14 Agustus 2025 di IPB International Convention Center, Bogor.

Badan POM telah menetapkan skema pengkajian bahan baku pangan yang terperinci. Prosesnya meliputi empat tahapan utama:

1. Identifikasi dan Karakterisasi

Bahan Baku: Tahap ini mencakup pengumpulan informasi dasar seperti nama ilmiah/nama kimia, bagian yang digunakan, dan komposisi.

Karakterisasi bahan baku diperoleh melalui data sifat fisika-kimia, kandungan kimia, dan hasil analisis.

2. Kajian Keamanan: Keamanan bahan baku ditetapkan berdasarkan data historis penggunaan sebagai pangan, data toksisitas, serta regulasi dari negara lain (seperti Codex Standard, regulasi Uni Eropa tentang novel food, dan USFDA). Jurnal penelitian juga menjadi acuan penting.

3. Penggunaan pada Pangan Olahan: Informasi mengenai jumlah bahan baku yang akan digunakan, jenis pangan olahan, dan cara

Dra. Dwiana Andayani, Apt., Direktur Standardisasi Pangan Olahan, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan Badan POM RI

penggunaannya harus disampaikan.

4. Penetapan Rekomendasi: Rekomendasi akhir ditetapkan setelah mempertimbangkan hasil kajian keamanan dan kelaziman penggunaan bahan baku tersebut sebagai pangan.

Peran tekstur pada produk pangan

Dalam kesempatan yang sama, Senior Scientist SEAFAST Center, IPB University, Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc., menunjukkan bahwa optimalisasi tekstur pangan adalah disiplin ilmu yang membutuhkan pemahaman mendalam dan holistik. "Tekstur adalah suatu karakteristik sensori yang dapat diukur dengan uji sensori. Membuat produk yang teksturnya sesuai adalah suatu sains,“ tuturnya. Menurut ISO Standar 5492 (1992), tekstur tidak hanya sekadar rasa, melainkan keseluruhan karakteristik mekanikal, geometrikal, dan permukaan produk yang dapat dideteksi melalui berbagai indra. Ini

mencakup reseptor visual (seperti intensitas warna buah), auditorial (seperti suara renyah atau kriuk saat mengunyah), dan fisikal atau taktil yang dirasakan di dalam dan luar mulut (seperti kekerasan, kekenyalan, atau kekentalan). Karakteristik sensori ini sangat dinamis, sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan secara langsung memengaruhi proses dari menggigit, mengunyah, hingga menelan.

Keterkaitan tekstur dengan kesehatan terlihat jelas dalam kasus dysphagia, yaitu kondisi kesulitan menelan yang menekankan pentingnya profil tekstur yang tepat untuk keamanan pangan. Untuk mengukur kompleksitas ini secara objektif, sains pangan menggunakan metode instrumental canggih yang mensimulasikan interaksi antara makanan dan mulut. Ini termasuk Compression untuk mengukur ketahanan bahan pangan seperti mie spaghetti, Backward Extrusion yang mengukur konsistensi dan kemampuan ekstrusi produk, hingga Texture Profile Analysis

(TPA) yang mensimulasikan dua gigitan untuk secara akurat menjelaskan karakteristik tekstur.

Karakteristik tekstur pangan sangat dipengaruhi oleh komponen di dalamnya, dan pengembangannya dapat berbasis pada Karbohidrat, Lemak/ Minyak, atau Protein. Komponen karbohidrat, khususnya hidrokoloid, sangat vital karena kemampuannya mengikat air dan membentuk gel. Sumbernya pun beragam, mulai dari eksudat pohon seperti Arabic gum, tepung biji seperti Guar gum, ekstrak rumput laut seperti Agar dan Carrageenan, hingga hasil fermentasi seperti Xanthan dan Dextran. Sementara itu, sifat fisik lemak dan minyak ditentukan oleh struktur molekulnya: lemak padat (jenuh) memiliki molekul tersusun kompak, sedangkan minyak cair (tidak jenuh) memiliki molekul yang tidak tersusun kompak. Dalam ranah protein, perannya sangat krusial dalam gelasi, di mana molekul protein seperti miosin akan mengalami proses denaturasi (unfolding) dan agregasi, diikuti paparan gugusan hidrofobik dan sulfhidril, untuk membentuk struktur 3-Dimensi yang memberikan tekstur gel. Di antara protein, kolagen memegang peran sentral dalam proses ini. Kolagen memiliki struktur dasar triple helix yang terdiri dari tiga rantai polipeptida. Ketika diolah, kolagen akan membentuk gelatin, yang dikenal luas karena kemampuannya membentuk gel yang kuat dan elastis. Dengan absennya enzim protease, kepekaan termal kolagen memberikan dasar yang ideal

untuk pembentukan gel protein yang berkualitas tinggi. Dengan demikian, membuat tekstur pangan yang optimal adalah perpaduan antara pengetahuan mendalam tentang fungsionalitas bahan dan pengukuran ilmiah yang presisi, memastikan produk akhir tidak hanya aman, tetapi juga unggul dari sudut pandang sensoris.

Kolagen untuk tekstur produk pangan

Kolagen sapi, sebagai bahan baku yang berasal dari kulit sapi yang telah tersertifikasi aman untuk konsumsi, diekstrak dari lapisan dermis. Seluruh proses produksinya, mulai dari peternakan hingga pabrik Novapron, dijaga ketat melalui sistem ketertelusuran yang terintegrasi, memastikan bahan baku yang digunakan memiliki kualitas tertinggi. Kolagen memiliki beberapa jenis yang dibedakan berdasarkan tingkat hidrolisisnya, yang menentukan fungsionalitasnya: native collagen mampu membentuk gel yang stabil, gelatin membentuk gel yang dapat kembali cair, sementara hydrolyzed collagen tidak membentuk gel sama sekali. "Kolagen memiliki komposisi hidrofobik (prolin dan glisin) dan hidrofilik (hidroksiprolin) yang memberikannya kemampuan untuk mengikat air dan lemak,” ujar Thalita Obara, Ph.D., R&D Manager Novapron, Brazil.

Lebih lanjut, ia menjelaskan sifat fungsionalitas kolagen yang secara spesifik diaplikasikan dalam produkproduk Novapro® untuk memenuhi

Thalita Obara, Ph.D., R&D Manager Novapron, Brazil

kebutuhan industri. Contohnya, Novapro® Fiber, dengan kandungan protein minimal 98% dan hidrasi tipikal 1:6, diformulasikan khusus untuk produk daging giling seperti hamburger. Penggunaannya terbukti efektif dalam meningkatkan hasil akhir (yield) produk, mengurangi penyusutan (shrinkage) selama proses masak, dan menjaga kelembaban alami daging, sehingga menghasilkan tekstur dan kejuian yang lebih baik. Sementara itu, Novapro® Powder digunakan secara luas pada produk emulsi dan produk yang disuntikkan (injected products) seperti sosis. Dengan hidrasi tipikal 1:10, bubuk ini mampu secara signifikan mengurangi kehilangan cairan saat proses pemasakan, menyatukan tekstur, dan meningkatkan kualitas sensori pada potongan daging ekonomis.

Bahkan, ada juga varian Novapro® CS yang mengombinasikan fungsionalitas protein hewani dan nabati untuk keuntungan tambahan. Untuk mencapai performa terbaik, kolagen harus ditambahkan ke dalam adonan daging

terlebih dahulu sebelum mencampurkan bahan-bahan lain, memastikan interaksinya dengan protein miofibril dapat meningkatkan daya ikat tanpa perlu bahan kimia sintetis. Manfaat kolagen ini telah terbukti secara ilmiah dan praktis. Sebagai protein alami dan non-alergenik, kolagen meningkatkan stabilitas produk beku-cair (freezethaw stability) dan memperpanjang umur simpannya. Kemampuannya untuk menstabilkan emulsi lemak dan mengikat air secara efektif menghasilkan produk yang lebih juicy, tekstur yang lebih baik, dan kemampuan untuk mempertahankan bentuk serta mudah diiris (sliceability). Aplikasi praktisnya pun sangat beragam, mulai dari nugget ayam untuk meningkatkan tekstur dan mengurangi penyusutan, bakso dan sosis untuk rasa yang lebih juicy dan tekstur yang lebih baik, hingga hamburger untuk mengurangi penyusutan berat selama proses masak. Dengan berbagai keunggulan ini, kolagen menawarkan solusi yang komprehensif, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi operasional, tetapi juga untuk memenuhi ekspektasi konsumen yang terus berkembang.

Tekstur pada produk daging

Tekstur memainkan peran penting dalam penerimaan dan preferensi konsumen, bahkan beberapa studi menunjukkan bahwa 68% konsumen— terutama dari kalangan milenial— mengatakan tekstur secara signifikan memengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk pangan. “Tekstur

adalah salah satu parameter yang paling penting dalam produk pangan dan juga menjadi bagian dari pengalaman makan yang sangat penting, apalagi untuk produk daging,” ungkap Dr. Ing. Dase Hunaefi, M.Food.St, dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University. Preferensi tekstur itu sendiri dibentuk oleh norma budaya, kebiasaan makan, dan ekspektasi visual. Contohnya, konsumen di Amerika sering kali menyukai makanan yang renyah, lembut, dan juicy, sementara konsumen Jepang menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap berbagai jenis kerenyahan. Meski demikian, pemahaman ilmiah tentang preferensi tekstur masih terbatas dan sangat individual.

Untuk mengatasi kompleksitas ini, ada dua pendekatan utama untuk mengukur tekstur: metode instrumental dan evaluasi sensori. Metode instrumental adalah pengukuran objektif yang dilakukan oleh mesin, seperti Texture Profile Analysis yang mengukur kekerasan, kekenyalan, dan kohesivitas; rheometer dan penetrometer yang mengukur gaya atau deformasi; serta acoustic sensor yang mendeteksi suara renyah saat dikunyah. Di sisi lain, evaluasi sensori adalah metode subjektif yang melibatkan panelis terlatih atau konsumen. Ada berbagai teknik, termasuk Descriptive Analysis untuk mendeskripsikan dan mengukur atribut tekstur, Time-Intensity Analysis untuk melihat bagaimana tekstur berubah seiring waktu di dalam mulut, dan skala

Dr. Ing. Dase Hunaefi, M.Food.St, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University

Just-About-Right (JAR) yang berpusat pada konsumen untuk menilai apakah suatu atribut terlalu sedikit, pas, atau terlalu banyak. Tes lain seperti CheckAll-That-Apply (CATA) dan uji peringkat serta penilaian juga umum digunakan untuk mengevaluasi tekstur.

Penilaian tekstur diterapkan pada

berbagai kategori pangan: pada camilan, yang dievaluasi adalah kerenyahan; pada produk susu, kelembutan dan kekentalan; pada daging, keempukan, kejuian, dan serat; serta pada produk roti, remah dan kelembapan. Tekstur pangan dipengaruhi oleh tiga faktor utama: komposisi bahan baku (kandungan pati, lemak, dan protein), kondisi pemrosesan (seperti ekstrusi, pemanggangan, dan pembekuan), serta penyimpanan (misalnya migrasi kelembaban yang menyebabkan produk menjadi tidak renyah atau basi). Dengan demikian, memahami dan mengendalikan tekstur adalah suatu keharusan bagi para pelaku industri untuk memastikan produk yang memenuhi ekspektasi konsumen dan unggul di pasar. Fri-35

INFO GAPMMI

Made in Indonesia Run 2025

� GAPMMI mendukung kegiatan Made in Indonesia Run 2025, yang diadakan oleh Kementerian Perindustrian, yaitu acara lari yang diselenggarakan pada 10 Agustus 2025 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara ini merupakan kampanye untuk mendukung produk lokal, mendorong semangat patriotisme, dan mengapresiasi karya anak bangsa.

� MarkPlus mengundang Ketua Umum GAPMMI Adhi S. Lukman beserta pengurus dan anggota GAPMMI dalam acara makan siang bersama Hermawan Kartajaya, diikuti tour dari Philip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya, serta diskusi tren industri makanan dan minuman bersama tim MarkPlus, Inc. & MarkPlus Institute (11/08).

� Wakil Ketua GAPMMI Bidang Organisasi, Ketenagakerjaan, dan Hubungan Antar Lembaga, Aldo Omar menghadiri acara diseminasi dan validasi hasil pemetaan keterampilan prioritas untuk Pengembangan program Upskilling Proyek Green Jobs for Social Inclusion and Sustainable Transformation (GESIT), yang

Ketum GAPMMI beserta pengurus & anggota menghadiri undangan MarkPlus

diadakan oleh Bappenas dan GIZ (11/08).

� Komite GAPMMI Bidang Regulasi Teknis Makanan Minuman Widya Herminingsih hadir mewakili GAPMMI dalam kegiatan IndonesiaMalaysia Halal Trade Roundtable 2025, yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan MIFC Leadership Council di Jakarta (12/08).

� Ketua GAPMMI Bidang Keberlanjutan dan Dampak Sosial Arief Susanto hadir memberikan sambutan dalam acara “Kolaborasi GAPMMI dan GRASP 2030: Mengubah Tantangan Isu Susut dan Sisa Pangan Menjadi Peluang

Bisnis melalui Aksi Kolaboratif”, yang diadakan oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) menggandeng GAPMMI melalui inisiatif GRASP 2030 (Gotong Royong Atasi Susut dan Sisa Pangan di 2030)(14/08).

� Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menggelar kegiatan

Pekan Olahraga, Budaya, dan Karya (Porya) Festival 2025. GAPMMI turut mendukung penuh kegiatan ini, di mana Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman turut hadir mendampingi

Menperin Agus Gumiwang

Kartasasmita dalam acara ini.

� Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di bawah koordinasi Wakil

Ketua Umum Bidang Pengembangan Ekspor akan mendampingi

Kementerian Perdagangan dan

Kementerian Ketenagakerjaan dalam misi dagang ke total 8 (delapan) negara di Eropa diantaranya yaitu

Belanda, Jerman, Swiss, Austria, Romania, Slovakia, Hungaria, dan Turki pada tanggal 14 – 30 September 2025. Misi dagang ini bertujuan memperluas akses pasar serta memperkenalkan potensi produk dan tenaga kerja Indonesia di kawasan Eropa.

� Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyelenggarakan penghargaan Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025, sebuah ajang apresiasi bagi pelaku industri, lembaga sertifikasi, auditor, dan pemerintah daerah yang berkomitmen pada praktik industri hijau, meliputi transformasi menuju keberlanjutan, efisiensi energi, dan inovasi ramah lingkungan. Beberapa anggota GAPMMI, antara lain PT Amerta Indah Otsuka, PT Torabika Eka Semesta (Mayora Group), dan PT Sarihusada Generasi Mahardhika Pabrik Prambanan, mendapat penghargaan tersebut (20/08).

� GAPMMI menunjukkan dukungannya

terhadap perkembangan infrastruktur rantai dingin di Indonesia dengan berpartisipasi dalam Indonesia Cold Chain Infrastructure Summit 2025. Dalam acara tersebut, Betsy Monoarfa hadir mewakili GAPMMI sebagai salah satu narasumber.

� Ketua GAPMMI Bidang Pengembangan dan Pembinaan IKM, Irwan S. Widjaja hadir memenuhi undangan owner dari Sagolicious, sekaligus Komite GAPMMI Bidang Pengembangan dan Pembinaan IKM, Jenny Widjaja dalam Acara Forum

Dinner & Business Matching dengan Feihuang Group.

� Pameran Bali Interfood yang ke-6 tahun 2025 berlangsung pada 10-12 September diikuti 110 peserta dari 17 negara dan puluhan UMKM dihadiri sekitar 15 ribu pengunjung. GAPMMI berpartisipasi dengan menampilkan berbagai produk unggulan dari UMKM lokal terbaik, mulai dari olahan almond dan mete, minuman kesehatan, bumbu dapur, madu, hingga camilan lezat dan aneka cokelat

� Ketua GAPMMI Bidang Kebijakan

Publik, Johan Muliawan didampingi anggota komite Kebijakan Publik, BHami Setiyawan, menghadap Ketua Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) dalam rangka menjalin silaturahmi serta perkenalan lebih lanjut di kantor KADI, Gedung Kemendag (10/09). Pada pertemuan antara KADI dan GAPMMI, disepakati bahwa KADI akan memberikan asistensi dan sosialisasi mengenai tindakan anti-dumping untuk membantu industri makanan dan minuman di Indonesia. Fri-27

Menjawab Tantangan

Industri Rempah dan Herbal Indonesia Menuju Pasar Global

Oleh Purwiyatno Hariyadi

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian & SEAFAST CENTER, IPB University

Spices are a dried seed, fruit, root, bark, berry, bud, or vegetable substance used primarily for flavoring or coloring.

Culinary herbs are distinguished from vegetables because, like spices, they are used in small amounts to provide flavor rather than substance to food. They may be annual, biennial, or perennial plants

GLOSSARY OF TERMS FOR SCH STANDARDS

Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pemimpin global dalam produksi rempah-rempah, dan telah menjadi pemasok utama dunia selama berabad-abad. Terkenal sebagai “surga rempah-rempah” berkat iklim tropis, tanah subur, dan suhu udara yang sesuai, Indonesia menghasilkan beragam komoditas vital seperti cengkeh, lada, kayu manis, dan pala. Potensi nilai ekspor rempah dan herbal Indonesia cukup besar. Pada tahun 2019 misalnya, menurut Kementerian Perdagangan nilai ekspor ini mencapai sebesar US$643,4 juta, dengan pasar Amerika Serikat menjadi importir terbesar. Aryani et al (2025) melaporkan bahwa salah satu rempah utama dalam ekspor Indonesia adalah biji pala, dengan rata-rata ekspor ke beberapa negara mencapai 19.807

ton atau setara dengan sekitar US$114 juta per tahun. Namun demikian, industri rempah dan herbal Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam memenuhi standar keamanan dan mutu yang ketat di pasar internasional.

Rempah dan herbal

Istilah rempah, atau rempah-rempah (spices) dan herbal (herbs) umumnya digunakan secara bergantian. Namun demikian, kedua istilah memiliki perbedaan mendasar yang penting dalam industri pangan.

Menurut definisi dari Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH), rempah adalah “buah kering, biji, akar, kulit kayu, beri, kuncup, atau bahan sayuran yang terutama digunakan sebagai penyedap rasa atau pewarna”.

Sementara itu, herbal didefinisikan sebagai “berbeda dari sayuran karena, seperti rempah, keduanya digunakan dalam jumlah kecil dan memberikan rasa daripada substansi pada makanan”. Secara umum umum, UNIDO dan FAO (2005) menyatakan bahwa, perbedaan rempah dan herbal dapat dijelaskan sebagai berikut:

� Rempah (Spices) diperoleh dari bagian tanaman non-daun, seperti akar, bunga, buah, biji, atau kulit kayu. Rempah berasal dari iklim hangat dan tropis, seringkali lebih kuat dan lebih beraroma daripada herbal, sehingga digunakan dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa rempah juga berfungsi sebagai pengawet. Contoh rempah termasuk kayu manis (dari kulit kayu), jahe (dari akar), dan pala (dari biji).

� Herbal (Herbs) diperoleh dari daun tanaman herba (non-kayu).

Herbal biasanya digunakan untuk menambah rasa gurih dalam masakan dan beberapa dapat memiliki nilai sebagai obat.

Herbal banyak berasal dari iklim sedang, seperti Italia, Prancis, dan Inggris, serta seringkali digunakan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan rempah. Menariknya, beberapa tanaman dapat menghasilkan baik herbal maupun rempah. Sebagai contoh, tanaman Coriandrum sativum menghasilkan daun ketumbar (herba) dan biji ketumbar (rempah).

Untuk tujuan standardisasi, Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH) mengelompokkan 116 rempah dan herbal yang telah diidentifikasi ke dalam delapan kategori utama berdasarkan bagian tanaman tempat mereka berasal (CCSCH 2021). Pengelompokan ini bertujuan untuk menyederhanakan penyusunan standar, tetapi juga sangat membantu dalam pemahaman dan karakterisasi setiap komoditas rempah dan herbal. Delapan kelompok tersebut adalah:

1. Buah-buahan dan beri kering (dried fruits and berries). Contohnya seperti lada (hitam, putih) dan paprika.

2. Akar, rimpang, dan umbi kering (dried roots, rhizomes, and bulbs). Contohnya adalah jahe, kunyit, lengkuas, kencur, dan bawang putih.

3. Biji kering (dried seeds). Contohnya termasuk biji ketumbar, jintan, adas, kapulaga, dan biji pala (nutmeg).

4. Bagian bunga kering (dried floral parts). Contohnya adalah cengkeh dan bunga lawang (star anise).

5. Kulit batang kering (dried bark). Contohnya termasuk kayu manis dan kulit kayu masoyi.

6. Daun kering (dried leaves). Contohnya adalah daun salam, daun mint, peterseli, dan daun basil.

7. Herbal (Herbs). Contohnya meliputi kemangi, seledri, oregano, thyme, dan rosemary.

8. Lain-lain (Miscellaneous). Kategori ini untuk rempah dan herbal yang tidak masuk ke dalam salah satu kategori spesifik di atas (no 1 s/d 7). Contohnya vanili (dari buah

polong yang dikeringkan) dan safron (dari stigma bunga saffron).

Tantangan keamanan dan mutu rempah dan herbal Indonesia

Dari pengelompokan dan contohcontoh rempah dan herbal di atas, Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa. Tidak hanya potensi sumber daya biologisnya, tetapi juga potensi budaya, baik budaya pangan maupun budaya obat. Namun demikian, sampai saat ini pengembangan industri rempah dan herbal di Indonesia masih menemui tantangan. Sebagaimana disebutkan di depan, Indonesia memang mempunyai sejarah panjang sebagai pemimpin global dalam produksi rempahrempah. Namun, saat ini nyatanya justru mendapatkan banyak hambatan untuk dapat mengakses pasar, karena

masalah keamanan dan mutu. Menjawab tantangan untuk mengatasimasalah ini merupakan langkah sangat penting untuk mengamankan posisi Indonesia lebih kuat dalam rantai pasokan global. Hambatan utama bagi ekspor rempah dan herbal Indonesia adalah masalah kontaminasi, khususnya oleh jamur Aspergillus spp yang memproduksi aflatoksin. Iklim tropis negara ini, dengan panas dan kelembapan yang tinggi, menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan jamur yang menghasilkan racun aflatoksin berbahaya, pada beberapa rempah dan herbal, khususnya pada komoditas utama Indonesia, biji pala.

Praktik tradisional, seperti pengeringan di udara terbuka, atau bahkan di permukaan tanah, akan memperburuk risiko kontaminasi. Hal ini dapat berujung pada penolakan oleh negara pengimpor yang memiliki batas residu maksimum (MRL) mikotoksin sangat ketat. Data dari Rapid Allert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa menunjukkan bahwa masalah ini merupakan kendala nyata dalam perdagangan (EU RASFF 2021-2025

; Tabel 1). Secara khusus, rempah utama yang tercatat dalam notifikasi dan penolakan ini adalah pala (nutmeg). Indonesia telah mengalami serangkaian kasus non-compliance (ketidakpatuhan pada standar) ini sejak lama. Hal ini menyebabkan EU, sejak pertengahan 2022, menerapkan laju pengujian atau kontrol sampel yang lebih ketat, mencapai 30% sampel untuk setiap pengiriman pala asal Indonesia. Kontrol yang lebih ketat ini menyebabkan peningkatan jumlah batch yang tidak sesuai dengan regulasi selama periode 2022-2023 (Aryani et al. 2025). Masalah utama yang dicatat berulang kali adalah kontaminasi oleh mikotoksin, seperti aflatoksin dan ochratoxin A, sebagaimana terlihat pada Tabel.

Menuju untuk cita-cita

Indonesia Spice Up the Word

Dengan program Indonesia Spice Up the World, Indonesia bercita-cita untuk “membumbui” dunia dengan rempah dan herbal khas Indonesia. Namun, data pada Tabel 1 jelas menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam

Tabel 1. Notifikasi dan Penolakan Produk Rempah dan Herbal Indonesia oleh EU RASFF (2021-2025).

Produk Tahun Jenis Notifikasi Bahaya

Black pepper 2021 Alert Aflatoxin B1

Cassia Korintji 2021 Alert Chlorpyrifos

Nutmeg 2021 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2021 Border rejection Ochratoxin A

Nutmeg 2021 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2022 Border rejection Aflatoxin total

Nutmeg 2022 Border rejection Aflatoxin total

Nutmeg 2022 Border rejection Aflatoxin total

Nutmeg 2023 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2023 Border rejection Aflatoxin total

Nutmeg 2023 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg (ground) 2023 Border rejection Ochratoxin A

Nutmeg 2023 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2023 Border rejection Aflatoxin B1

Cinnamon (ground) 2024 Alert Chlorpyrifos, unauthorised substance

Nutmeg 2024 Alert Ochratoxin A

Nutmeg 2024 Border rejection Aflatoxin B1

Nutmeg 2024 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2024 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2024 Border rejection Aflatoxin B1, aflatoxin total”

Nutmeg 2024 Border rejection Ochratoxin A

Nutmeg 2024 Border rejection Ochratoxin A

Nutmeg 2024 Information Ochratoxin A

Cinnamon (ground) 2024 Information Bacillus cereus

Lime leaves 2025 Alert Chlorpyrifos

Cloves (whole) 2025 Alert Chlorpyrifos

“Nutmeg (shrivels, broken)” 2025 Border rejection Aflatoxin total”

ekosistem rempah dan herbal di Indonesia.

Penanganan Pascapanen. Secara khusus, penanganan pascapanen jelas perlu diperbaiki. Banyak metode penanganan pascapanen tradisional yang umum digunakan, tidak memenuhi standar kualitas modern. Praktik umum mengeringkan rempah dan herbal di lapangan terbuka, atau bahkan langsung di atas permukaan tanah, tidak hanya menimbulkan risiko kontaminasi jamur dan menghasilkan mikotoksin tetapi juga menyebabkan kadar air yang tidak konsisten, yang memengaruhi daya simpan dan kualitas. Terutama di lingkungan yang basah dan lembap, penanganan pascapanen yang melibatkan sistem pengeringan yang efisien dan efektif untuk memastikan produk yang aman dan bermutu, sangat diperlukan.

Perlu Upaya Standardisasi dan Pelatihan. Mengingat banyaknya petani skala kecil dengan praktik penanganan dan pengolahan yang beragam, maka

hal ini mengakibatkan variasi mutu produk yang juga beragam. Tidak hanya beragam dari satu panen ke panen berikutnya, tetapi juga di antara petani yang berbeda. Karena itu, pemerintah perlu mengupayakan standardisasi praktik penanganan dan pengolahan rempah dan herbal, khusus untuk pala -misalnya. Terkait dengan hal ini, karena para petani kecil umumnya mempunyai akses yang terbatas terhadap pendidikan teknis, maka perlu dilakukan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan penanganan dan pengolahan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu yang lebih baik. Codex Alimentarius Commission, sebagai organisasi standar internasional, melalui Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH) telah mengembangkan standar teknis untuk berbagai rempah-rempah (Tabel 2). Standar ini dikembangkan dengan tujuan untuk menjamin keamanan dan sebagai pedoman untuk meningkatkan mutu rempah dan herbal yang diperdagangkan secara global.

Tabel 2. Berbagai Standar CODEX untuk Rempah dan Herbal

Nomor Standar Judul Standar Tahun Modifikasi terkahir

CXS 326-2017 Standard for Black, White and Green Peppers 2022

CXS 327-2017 Standard for Cumin 2022

CXS 328-2017 Standard for Dried Thyme 2022

CXS 342-2021 Standard for Dried Oregano 2022

CXS 343-2021

Standard for dried roots, rhizomes and bulbs: Dried or dehydrated ginger 2022

CXS 344-2021 Standard for dried floral parts: Cloves 2022

CXS 345-2021 Standard for Dried Basil 2022

CXS 347-2019 Standard for dried or dehydrated garlic 2022

CXS 351-2022 Standard for dried floral parts –saffron 2022

CXS 352-2022 Standard for Dried Seeds – Nutmeg 2022

CXS 353-2022

CXS 357-2024

CXS 358-2024

CXS 359-2024

Standard for Dried or Dehydrated Chilli Pepper and Paprika 2022

Standard for spices derived from dried or dehydrated fruits and berries – Small cardamom 2024

Standard for spices derived from dried or dehydrated fruits and berries - Allspice, juniper berry and star anise 2024

Standard for dried or dehydrated roots, rhizomes and bulbs – Turmeric 2024

Sumber: (https://www.fao.org/fao-who-codexalimentarius/committees/committee/related-standards/en/?committee=CCSCH )

Pemerintah perlu mensosialisasikan berbagai standar tersebut, khususnya untuk standar pala (CXS 352-2022).

Komitmen bersama

Keamanan rempah dan herbal adalah suatu keharusan. Namun untuk memenangkan persaingan global hal itu saja tidak cukup. Selain harus aman, pasar global juga menginginkan rantai pasokan rempah dan herbal yang jelas dan dapat diverifikasi. Menyadari bahwa industri rempah dan herbal Indonesia sangat terfragmentasi, melibatkan banyak petani kecil dan perantara, maka aspek ketertelusuran dan transparansi dalam rantai pasokan ini menjadi tantangan tersendiri. Jika tidak diatasi, hal ini akan terus menjadi hambatan serius, bahkan dapat merusak kepercayaan, dan menyulitkan eksportir untuk memenuhi permintaan

internasional.

Untuk menjawab tantangan ini dan mengembangkan potensi ekspor secara penuh, diperlukan upaya terpadu dan komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan. Untuk ini, pemerintah perlu mempertimbangkan modernisasi teknologi. Adopsi teknologi sangat penting untuk mitigasi risiko kontaminasi. Hal ini mencakup penerapan lingkungan terkontrol dan pengering mekanis untuk memastikan kadar air yang seragam dan mencegah pertumbuhan Aspergllus spp. Berinvestasi dalam fasilitas penyimpanan dan pemrosesan modern dengan kendali kebersihan yang ketat juga dapat mengurangi kontaminasi mikroba dan kimia. Selain itu, metode sterilisasi efektif seperti penggunaan gelombang mikro dan iradiasi gamma dapat dipilih sebagai solusi unggulan

untuk pemastian keamanan dan perpanjangan masa simpan. Di sisi lain, pemerintah perlu pula mengembangkan kebijakan insentif dan suportif yang mendorong petani dapat mengadopsi praktik yang lebih baik dan memenuhi standar keamanan.

Secara umum, pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu membangun ekosistem kolaboratif. Misalnya, dengan menciptakan platform digital bersama untuk ketertelusuran, semua pihak dapat berkolaborasi untuk membangun rantai pasokan yang transparan dan dapat dilacak, dari petani hingga pembeli akhir. Keterbukaan ini tidak hanya menguntungkan seluruh pihak dalam rantai pasokan tetapi juga membangun kepercayaan yang mendalam dengan pembeli internasional. Melalui

komitmen bersama yang kuat, industri rempah Indonesia dapat bertransformasi, memastikan produknya tidak hanya beraroma khas, tetapi juga dapat diandalkan, aman, berdaya saing global, dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang handal bagi masyarakat.

Kesimpulan

Rempah dan herbal Indonesia telah terbukti mempunyai nilai ekonomi dan budaya yang tinggi. Keduanya telah menjadi warisan yang dapat menjadi modal inovasi industri dan ekonomi masa kini dan masa depan. Namun, semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan industri harus secara proaktif memastikan rempah dan herbal, tidak hanya aman, tetapi juga sesuai dengan standar mutu dan ketertelusuran, berdaya saing global, sehingga mampu “membumbui” dunia.

Referensi

Kementerian Perdagangan. 2020. Export News: Spices Export Performance amid Covid-19 Pandemic. (November 2020)

UNIDO dan FAO. Herbs, spices and essential oils: Postharvest operations in developing countries. (2005)

EU RASFF (Sistem Peringatan Cepat untuk Makanan dan Pakan). https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window/ screen/search

CCSH (Codex Committee on Spices and Culinary Herbs), 2021. Discussion Paper on Grouping SCH (Spices and Culinary Herbs). (April 2021)

CCSCH Information document. GLOSSARY OF TERMS FOR SCH STANDARDS-INF_CCSCH_e. (Available at https://www.fao.org/fao-who-codexalimentarius/ committees/committee/related-informationdocuments/en/?committee=CCSCH )

Aryani, et al. 2025. Strategy to minimize the risk of rejection due to mycotoxin contamination: case for Indonesian nutmeg. BIO Web of Conferences 169 , 02004 (2025) https://doi.org/10.1051/ bioconf/202516902004

EXTRACELLULAR VESICLES:

Ingridien Pangan Fungsional Berbasis Rempah dan Herbal

Oleh C. Hanny Wijaya

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan, IPB University

Sejak dahulu, rempah dan herbal telah diakui sebagai bahan baku andal dalam menciptakan cita rasa yang kuat dan khas pada produk pangan. Popularitasnya kini semakin meningkat pesat, seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat global akan pentingnya hidup sehat. Hal ini menjadikan rempah dan herbal tidak hanya dipandang sebagai penambah rasa, tetapi juga sebagai sumber komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh.

Keunggulan fisiologis dari kandungan komponen bioaktif dalam rempah dan herbal dianggap mampu membantu menjaga kesehatan tubuh. Oleh karena itu, rempah dan herbal sangat berpotensi sebagai ingridien pangan fungsional. Tantangan terbesar dalam mengaplikasikannya dalam produk pangan adalah mengharmoniskan aspek sensoris cita rasa dengan kemampuan bioktif yang diharapkan. Jumlah senyawa bioaktif yang diperlukan untuk mencapai efikasi kesehatan sering kali tidak sejalan dengan cita rasa yang ditimbulkan. Memodifikasi bentuk

ekstrak rempah dan herbal target dalam bentuk Extracellular Vesicles (EVs) dampak membantu mengatasi kendala tersebut.

Apa itu Extracellular Vesicles (EVs)?

Extracellular Vesicles atau sering disingkat sebagai EVs adalah sekelompok senyawa berbeda dengan ukuran nano 20-500 nm, terikat dalam membran lipida lapis ganda, diekskresikan oleh sel ke lingkungan di luar sel. EVs dapat memiliki rute biogenesis yang berbeda-beda (RiveroPino et al., 2024). Ekskresi sel ini

memainkan peran penting dalam komunikasi intraselular, juga berperan dalam berbagai proses fisiologis dan patologi. EVs memiliki beragam molekul berkapasitas informasi tinggi , termasuk protein, lipida dan asam nukleat (RNAs), juga miRNAs penting yang dapat dikirimkan ke sel penerima, dan mempengaruhi perilaku serta fungsi sel tersebut.

EVs ditemukan pada semua mahkluk hidup. Pada manusia EVs berperan luas dalam berbagai proses biologis, mulai dari modulasi imunitas hingga pencetus kanker. EVs juga dilaporkan turut serta dalam interaksi antara mikroba patogen dengan inangnya hewan atau tanaman. Ulasan terkini terkait EVs banyak menyoroti perannya dalam komunikasi (intra-dan interspesifik) antar sel-sel

hidup dalam berbagai konteks (Colombo et al., 2014).

EVs dapat diproduksi dari/oleh berbagai jenis tipe sel dan jalur sel yang berbeda. EVs diklasifikasikan ke dalam beberapa sub-tipe seperti eksosom, microvesciles, dan apoptotic body, yang berbeda dalam biogenesis, ukuran dan kargonya.

Belakangan ini, EVs, terutama eksosom, banyak mendapat perhatian sebagai penanda diagnostik dan perangkat terapeutik yang potensial. EVs dapat digunakan sebagai sarana pengiriman obat (drug delivery), bertindak sebagai penanda biologis untuk berbagai penyakit, dan berperan secara revolusioner dalam berbagai pengobatan, terutama untuk mengatasi gangguan pada syaraf (neurologial disorder).

Potensi EVs sebagai ingridien

pangan fungsional

Ada beberapa alasan mengapa EVs berpotensi sebagai bahan pangan fungsional, diantaranya: (i) produksi EVs tersebar di semua domain kehidupan (ii) laporan tentang berbagai peran/ fungsi EVs terus bertambah, terutama terkait dengan kemampuannya sebagai komunikator biologis yang unggul, (iii) studi terkait EVs, menjadi penting untuk memahami proses biologis dan sebagai alat diagnostik dan pengobatan pada dunia pengetahuan biomedis yang diharapkan, tentunya juga dapat berperan sebagai pencegahan melalui pangan fungsional, (iv) peran unik EVs dalam ranah bioteknologi menarik perhatian, terutama terkait dengan fermentasi.

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa sumber EVs sangat beragam. EVs dapat diperoleh tidak

hanya dari sumber hewani seperti susu, tetapi juga dari tanaman dan jasad renik (mikroba) yang tersedia melimpah. Pemanfaat EVs tanaman dan mikroba, selain lebih mudah dalam penanganan terutama terkait dengan segi legalitas serta juga lebih kompetitif secara ekonomis. EVs dari tanaman yang banyak dieksplorasi saat ini adalah Plant Derived Exosome-like Nanoparticles yang disingkat PDEN.

Pemanfaatan EVs dari bawang putih sebagai antimikroba dalam pangan dan potensinya sebagai pengawet telah dilaporkan oleh Zhu et al (2025). Penelaahan EVs dari tanaman pangan sudah banyak dilaporkan, diantaranya anggur, tomat wortel, anggur, lemon, gandum, bluberi, stroberi, acerola, kelapa, brokoli termasuk rempah seperti jahe dan herbal seperti ginseng dan teh (Fan et al., 2022). Di Indonesia, penelitian terhadap takokak dan jahe

menunjukan keunggulan EVs yang dihasilkan baik sebagai antiinflamasi dan antikanker. EVs bengkuang juga dilaporkan bermanfaat dalam dunia kosmetik.

Geliat pemanfaatan EVs dalam dunia pangan seakan tak tebendung akhirakhir ini. Seperti yang diulas oleh RiveroPino et al (2024) yang menunjukkan bahwa peluang EVs pangan sebagai

pengendali imunomodulator tebuka lebar.

Aplikasi EVs rempah dan herbal

Sensoris cita rasa yang kuat merupakan kekhasan dari rempah dan herbal. Penambahannya ke dalam produk pangan umumnya berpaku

pada cita rasa yang ditimbulkan dan diinginkan, yang umumnya tidak diperlukan penambahan dalam jumlah banyak. Hal ini menjadi tantangan tersendiri ketika kita juga menginginkan memperoleh kemampuan fisiologis aktifnya, yang biasanya memerlukan jumlah yang lebih banyak. Pemanfaatan rempah dan herbal sebagai ingridien pangan fungsional seringkali terkendala

oleh fenomena ini. Penggunaan sesuai kapasitas fisiologis aktifnya, maka secara sensoris tidak ramah bagi konsumen. Di satu sisi apabila digunakan sesuai dengan mutu sensorisnya maka kemampuan fungsional fisiologis aktifnya tidak tercapai.

Pendekatan dengan menggunakan EVs membuka peluang baru untuk memperoleh khasiat sekaligus mutu sensoris yang bersahabat. Penggunaan EVs pada beberapa studi menunjukan diperolehnya efikasi yang lebih tepat sasaran dan tidak mengorbankan mutu sensorisnya.

Uji coba penggunaan EVs jahe dalam produk permen keras berflavor kayu putih dapat memberi solusi kendala sensori yang beradu ketika ekstrak kasar dari jahe digunakan untuk meningkatkan kemampuan antioksidannya. Pemanfaatan EVs jahe pada konsentrasi yang tepat ternyata mampu mengurangi dampak sensori, bahkan dapat meningkatkan penerimaan sensori, sekaligus memberikan kapasitas antioksidan in vitro berlipat secara sangat nyata. Akan sangat menarik untuk menganalisis lebih lanjut kapasitas fisiologisnya secara selular mengingat EVs memiliki kapasitas selular yang menjanjikan.

Contoh lain adalah penggunaan EVs sebagai “pembawa” (senyawa kendara-courrier) rempah seperti yang diperlihatkan oleh Liu et al (2025). Pada penelitian pembuatan minuman jeruk yang diperkaya dengan polifenol dari kunyit yaitu kukurmin ini menunjukkan bahwa perlakuan

EVs dapat memberikan kelarutan yang tinggi, stabilitas dan bioasesabilitas setelah enkapsulasi. Disimpulkan bahwa EVs jeruk menunjukkan hasil yang lebih memuaskan dalam penyampaian kukurmin sehingga memiliki kemampuan antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan minuman yang tidak diberikan perlakuan, dengan tidak mengorbankan mutu sensorisnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan EVs sebagai pembawa nano (nanocarrier) adalah metode yang menjanjikan dalam menciptakan pangan fungsional berbasis tanaman.

Tren mendatang

Studi-studi terkait EVs saat ini memperlihatkan hasil-hasil yang menjajikan bahwa teknik isolasi EVs terutama pada tanaman dapat memberi banyak terobosan baru bagi pengembangan ingridien fungsional alami. Perkembangan uji lanjut untuk produksi EVs yang stabil dengan biaya yang efektif, disamping uji coba pada manusia yang menunjukkan keamanan dan kemampuan fisioloig aktif bagi

kesehatan yang mumpuni menarik untuk terus dicermati. Pendekatan teknik dengan EVs ini tentunya sangat bermanfaat mengingat Indonesia kaya akan rempah dan herbal yang menjajikan khasiatnya.

Referensi:

Rivero-Pino, F, Marquez-Paradas, E,-de la Paz, S.M (2024) Food-derived vesicles as immunomodulatory drivers: Current knowledge, gaps, and perspectives. Food Chemistry 457: 140168

Colombo, M., Raposo, G. and Thery, C. (2014) Biogenesis, Secretion, and Intercellular Interactions of Exosomes and Other Extracellular Vesicles. Annual Review of Cell and Developmental Biology, 30, 255289.

Zhu, C., Ke, X, Gu, Y, , Wang, C., Lin S. , Qian, Y. Cheng , Jiale, Chen, Y. , Xu, L., Chen, Z. (2025). Antimicrobial properties and preservation potential of Allium sativum L-derived extracellular vesicle-like particles for food applications. Food Chemistry 484: 144419

Fan S-J, Chen J-Y, Tang C-H, Zhao Q-Y, Zhang J-M and Qin Y-C (2022) Edible plant extracellular vesicles: An emerging tool for bioactive delivery. Front. Immunol. 13:1028418.

Liu,H, Liu,J, Ji, S, Peng, S, Zhou, L, Liu, W. (2025), “ Effects of orange variety on the physiochemical properties of self-secretory extracellular vesicle and its application potential as nutrient-rich beverage Food Research International 219:116972

Rempah dan herbal sebagai Ingridien Fungsional

Oleh Widya Dwi Rukmi Putri Departemen Ilmu Pangan dan Bioteknologi

CoE Umbi dan Rimpang

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Ketua PATPI Cabang Malang

Saat ini, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan pribadi dan pencegahan penyakit terus meningkat tajam. Seiring dengan tingginya prevalensi penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk lebih memperhatikan pola makan dan memilih produk yang tidak hanya bernilai gizi, tetapi juga memiliki manfaat kesehatan tambahan.

Fenomena global dunia menunjukkan bahwa industri pangan fungsional dan nutrasetikal berbasis rempah dan herbal mengalami pertumbuhan pesat dalam dekade ini. Perubahan ini dipicu oleh pergeseran gaya hidup menuju pola makan yang lebih menyehatkan, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, dan kesadaran akan pentingnya pencegahan penyakit sejak dini. Salah satu tren utama konsumen di berbagai negara adalah mengurangi atau menghindari konsumsi bahan kimia sintetis, termasuk bahan tambahan pangan buatan dan obat-obatan berbahan kimia. Sebagai gantinya, konsumen beralih pada sumber alami yang dianggap lebih aman,

ramah lingkungan, dan selaras dengan prinsip clean label—yaitu produk yang menggunakan bahan sederhana, dapat dikenali, dan minim proses industri yang berat.

Produk rempah dan herbal menjadi pilihan utama karena dianggap berasal dari sumber alam, memiliki risiko efek samping lebih rendah, serta khasiatnya telah dikenal secara tradisional di berbagai budaya. Meningkatnya akses terhadap informasi ilmiah juga membuat masyarakat lebih memahami bukti-bukti kesehatan dari penggunaan rempah dan herbal, baik sebagai pencegahan maupun sebagai terapi pendukung. Secara umum, produk rempah dan herbal didefinisikan sebagai produk

yang mengandung bahan aktif alami yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman, seperti akar, rimpang, daun, bunga, biji, atau buah, yang digunakan untuk tujuan kesehatan. Produk ini dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk, seperti minuman, suplemen, pangan olahan, atau digunakan secara topikal. Perpaduan antara pengetahuan tradisional dan hasil penelitian modern semakin memperkuat posisi produk rempah dan herbal sebagai bagian penting dari pangan fungsional di pasar global.

Komponen kimia dan senyawa bioaktif pada rempah dan herbal

Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat besar, menjadikannya salah satu pusat keanekaragaman rempah dan tanaman obat terbesar di dunia. Posisi ini diperkuat oleh peran

Indonesia sebagai produsen utama berbagai komoditas rempah dan herbal seperti cengkih, kayu manis, dan pala di pasar global. Rempah-rempah dan rimpang seperti kunyit, jahe, temulawak, serta tanaman obat seperti sambiloto, kumis kucing, dan moringa telah lama digunakan dalam tradisi pengobatan dan kuliner Nusantara. Dalam konteks

modern, bahan-bahan ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional, didukung oleh bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat kesehatannya.

Pangan fungsional berbasis rempah dan herbal memanfaatkan komponen bioaktif yang terbukti secara ilmiah memiliki efek fisiologis positif. Tabel 1 yang disajikan menggambarkan ragam komoditas rempah dan herbal Indonesia beserta komponen bioaktif kunci dan efek kesehatannya. Senyawa-senyawa seperti kurkuminoid pada kunyit, gingerols pada jahe, cinnamaldehyde pada kayu manis, dan eugenol pada cengkih merupakan contoh metabolit sekunder yang berperan penting dalam aktivitas fisiologis tubuh. Banyak senyawa bioaktif memiliki sifat antioksidan, yang mampu menetralkan radikal bebas dan mencegah kerusakan sel; antiinflamasi, yang mengurangi respons peradangan; serta imunomodulator, yang membantu menyeimbangkan sistem kekebalan Tabel 1.

Keunikan dari komoditas rempah dan herbal Indonesia adalah keragaman senyawa bioaktifnya dengan mekanisme kerja yang saling melengkapi. Sebagai contoh gingerol pada jahe terbukti mendukung kesehatan lambung dan

Tabel 1. Komoditas Rempah dan Herbal Indonesia, Komponen Bioaktif dan Efek Kesehatan

Komoditas (Bagian) Komponen Bioaktif Efek terhadap Kesehatan

Kunyit (Curcuma longa)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza)

Kurkuminoid (kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin)

Kurkuminoid, Xanthorrhizol

Jahe (Zingiber officinale) Gingerol, shogaol

Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Cengkih (Syzygium aromaticum)

Serai Wangi (Cymbopogon citratus)

Jinten Hitam (Nigella sativa)

Rosela (Hibiscus sabdariffa)

Kumis kucing (Orthosiphon stamineus)

Sambiloto (Andrographis paniculata)

Kelor (Moringa oleifera)

Polifenol, flavonoid, kumarin, asam sinamat, dan sinamaldehida

Eugenol, flavonoid, fenol, tanin, dan saponin

Citral, Flavonoid

Timokuinon, alkaloid, saponin, sterol (seperti β-sitosterol), dan flavonoid

Antosianin, asam klorogenat

Asam rosmarinat, Sinensetin

Andrografolida dan flavonoid

Polifenol, isotiosianat

Antiinflamasi, antimikroba, antioksidan dan meningkatkan fungsi pencernaan

Perbaikan profil metabolik dan pencernaan, berperan sebagai hepatoprotektor

Mengurangi nyeri osteoartritis, antiinflamasi, mengurangi rasa mual

Antioksidan, antiinflamasi, mengontrol kadar gula darah,

Antioksidan, antiinflamasi, peredam nyeri, dan antimikroba

Menurunkan tekanan darah memberikan efek menenangkan

Antioksidan, perbaikan profil glikemik dan lipid dalam darah

Antihipertensi, perbaikan profil lipid, antioksidan

Diuretik, pencegahan batu ginjal

Mengurangi gejala infeksi saluran pernapasan (ISPA)

Menurunkan kadar glukosa, lipid dan tekanan darah

mengurangi rasa mual, sementara antosianin pada rosela efektif membantu menurunkan tekanan darah. Variasi komponen bioaktif ini memberikan peluang luas bagi pengembangan produk pangan fungsional yang tidak hanya menonjolkan satu manfaat, tetapi juga menggabungkan efek sinergis untuk kesehatan secara menyeluruh.

Komoditas rempah dan herbal juga mengandung zat gizi makro dan zat gizi mikro yang berkontribusi terhadap kesehatan. Zat gizi makro seperti karbohidrat kompleks, serat pangan, serta protein nabati dalam jumlah tertentu berperan dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan, mendukung kontrol glikemik, dan membantu rasa kenyang lebih lama. Serat pangan larut, misalnya, dapat mengurangi penyerapan kolesterol

dan menstabilkan kadar gula darah, sementara serat tidak larut berfungsi mempertahankan kesehatan usus.

Di sisi lain, zat gizi mikro seperti vitamin (vitamin C, vitamin A, vitamin E, vitamin B kompleks) dan mineral (kalium, magnesium, kalsium, zat besi, seng, selenium) juga terkandung dalam berbagai rempah dan herbal. Misalnya, daun moringa kaya akan vitamin A dan zat besi yang penting untuk fungsi penglihatan dan pembentukan hemoglobin; jahe mengandung magnesium dan mangan yang mendukung fungsi enzimatik; sedangkan rosela mengandung vitamin C yang berperan dalam sintesis kolagen dan fungsi imun. Keberadaan komponen makro dan zat gizi mikro ini melengkapi manfaat senyawa bioaktif, sehingga efek kesehatan dari konsumsi

komoditas rempah dan herbal bersifat multifaktorial, yaitu memadukan peran gizi esensial dengan mekanisme biologis dari metabolit sekunder. Dengan demikian, pengembangan pangan fungsional berbasis rempah dan herbal perlu mempertimbangkan sinergi antara kandungan gizi dan komponen bioaktifnya untuk menghasilkan manfaat kesehatan yang optimal.

Teknologi pengolahan rempah dan herbal

Kemajuan teknologi pengolahan memungkinkan peningkatan ketersediaan senyawa bioaktif dan mempertahankan stabilitasnya selama penyimpanan. Salah satu tantangan utama dalam pemanfaatan komponen bioaktif rempah dan herbal untuk pangan fungsional adalah masalah

bioavailabilitas. Banyak senyawa bioaktif secara alami terikat pada matriks kompleks dalam bahan pangan, misalnya pada dinding sel tanaman, kompleks protein–polifenol, atau terikat pada serat pangan. Ikatan ini dapat membatasi pelepasan senyawa tersebut selama proses pencernaan, sehingga jumlah yang benar-benar tersedia untuk diserap tubuh menjadi jauh lebih rendah daripada kandungan totalnya. Selain itu, beberapa senyawa bioaktif bersifat lipofilik (larut dalam lemak) atau memiliki stabilitas rendah terhadap panas, cahaya, atau pH lambung, yang dapat menyebabkan degradasi sebelum memiliki peran dalam tubuh. Faktor metabolisme di usus dan hati juga dapat mengubah bentuk aktif senyawa tersebut menjadi metabolit yang kurang efektif. Untuk mengatasi

tantangan tersebut, berbagai teknologi pengolahan pangan dapat diaplikasikan guna meningkatkan bioavailabilitas sekaligus mencegah kerusakan senyawa bioaktifnya, antara lain seperti pada Tabel 2.

� Pengolahan termal atau dengan melakukan pra-gelatinisasi: efek panas dan menyebabkan struktur jaringan menjadi lebih lemah atau terbuka (sebagai contoh pati mengalami gelatinisasi), sehingga senyawa bioaktif tidak terikat pada matriks yang kompleks.

� Fermentasi: memanfaatkan mikroorganisme untuk memecah dinding sel tanaman dan menghidrolisis ikatan senyawa bioaktif dari matriksnya, sehingga

menjadi lebih mudah diserap tubuh saat dikonsumsi. Fermentasi sekaligus dapat memberikan efek positif terhadap karakteristik komoditas rempah dan herbal yang cenderung memiliki rasa getir dan aroma yang kurang enak.

� Enkapsulasi: Melindungi senyawa aktif dengan lapisan lipid, protein, atau polisakarida untuk meningkatkan stabilitas dan mengontrol pelepasan dalam saluran cerna.

� Teknologi nano (nanoemulsi, nanokapsul, nanopartikel): Memperkecil ukuran partikel senyawa aktif untuk meningkatkan kelarutan dan penyerapan.

Tabel 2. Teknologi Pengolahan untuk Meningkatkan Bioavailabilitas

Senyawa Bioaktif Rempah dan Herbal

Rempah/Herbal Karakteristik senyawa bioaktif

Kunyit (Curcuma longa)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza)

Jahe (Zingiber officinale)

Lipofilik, kelarutan rendah, terdegradasi karena asam lambung

Teknologi pengolahan yang dapat diterapkan

Fermentasi kombucha, nanoemulsi, koformulasi dengan piperin

Efek terhadap Bioavailabilitas Produk Pangan Fungsional

Memecah ikatan kurkumin dari matriks sel, meningkatkan kelarutan, memperlambat metabolisme sehingga penyerapan meningkat

Rosela (Hibiscus sabdariffa)

Terikat matriks, degradasi panas

Fermentasi mikroba, mikroenkapsulasi

Tidak stabil terhadap panas & oksidasi

Pengeringan suhu terkendali, enkapsulasi spray drying

Degradasi warna dan aktivitas biologis akibat panas serta cahaya

Nanoenkapsulasi dengan polisakarida/ protein, pengeringan beku

Meningkatkan pelepasan senyawa aktif, melindungi dari degradasi selama proses

Mempertahankan struktur gingerols, memperpanjang umur simpan, meningkatkan stabilitas

Melindungi antosianin, meningkatkan kelarutan dalam minuman, mempertahankan warna dan potensi antioksidan

Minuman kombucha kunyit, kapsul kurkumin nanoemulsi

Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Volatilitas tinggi, degradasi selama penyimpanan

Cengkeh (Syzygium aromaticum)

Serai Wangi (Cymbopogon citratus)

Volatilitas tinggi, mudah mengalami oksidasi

Mudah teroksidasi dan menguap

Nigella (Nigella sativa) Sensitif terhadap oksidasi

Mikroenkapsulasi lemak/protein

Enkapsulasi siklodekstrin, pengeringan beku

Nanoemulsi minyak atsiri, enkapsulasi spray drying

Mikroenkapsulasi dengan gum arab / maltodekstrin

Mengurangi kehilangan senyawa aromatik, menjaga kestabilan senyawa aktif

Mengikat molekul volatil untuk mencegah penguapan, mempertahankan aktivitas antimikroba

Meningkatkan kelarutan citral, mengurangi degradasi oksidatif

Melindungi thymoquinone dari kerusakan oksidatif, mempertahankan potensi biologis

Minuman herbal temulawak, serbuk temulawak instan

Serbuk jahe instan, permen jahe herbal

Teh herbal hibiskus, minuman serbuk instan hibiskus

Teh kayu manis, bubuk kayu manis siap saji

Minyak cengkih kapsul, bubuk cengkih instan

Minuman serai wangi, permen herbal serai

Kapsul nigella, serbuk minuman nigella

Dengan kombinasi pendekatan ini, pangan fungsional berbasis rempah dan herbal dapat diformulasikan tidak hanya dengan kandungan senyawa bioaktif yang tinggi, tetapi juga dengan bioavailabilitas optimal, sehingga manfaat kesehatannya benar-benar dapat dirasakan oleh konsumen.

Peluang dan tantangan produk pangan fungsional berbasis rempah dan herbal

Produk pangan fungsional berbasis rempah dan herbal berpotensi berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan konsumen terhadap pangan yang mendukung kesehatan dan pencegahan penyakit. Keanekaragaman hayati Indonesia menyediakan sumber bahan baku yang unik dan bernilai jual tinggi, yang dapat diposisikan sebagai produk khas dengan diferensiasi pasar yang kuat. Dukungan riset yang terus berkembang membuka jalan untuk menciptakan formulasi inovatif, baik dari sisi efektivitas maupun bentuk penyajian, sehingga daya tarik konsumen dapat diperluas.

Di sisi lain, pengembangan produk ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti

perlunya jaminan mutu dan konsistensi komposisi, pembuktian klaim kesehatan yang berbasis uji ilmiah, serta strategi keberlanjutan rantai pasok. Adaptasi terhadap regulasi internasional, termasuk standar keamanan pangan dan pelabelan, menjadi aspek penting agar produk mampu bersaing di pasar global. Dengan pengelolaan sumber daya yang terencana, inovasi teknologi yang tepat sasaran, dan kolaborasi lintas sektor, peluang besar ini dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi industri pangan fungsional herbal Indonesia.

Referensi:

Eneojo, O., Emeje, M. 2024. Herbs and spices-based value addition for nutritional and healthy living.. https://doi.org/10.5772/intechopen.1004345

Muhammad, D.R.A., Dewettinck., K. 2017. Cinnamon and its derivatives as potential ingredient in functional food—a review. international journal of food properties, 1-27.

Putri, W.D.R dan Fibrianto, K. 2018. Rempah Untuk Pangan dan Kesehatan, UB Press

Zubaidah E., Dea E.C., Sujuti H. (2022). Physicochemical and microbiological characteristics of kombucha based on various concentration of Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza). Biocatalysis and Agricultural Biotechnology, 44, 102467.

RAMUAN REMPAH & HERBAL TRADISIONAL INDONESIA:

Basis Inovasi Minuman Fungsional

Oleh Eni Harmayani

Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Dalam beberapa dekade terakhir, tren hidup sehat semakin menguat. Konsumen tidak lagi sekadar mencari makanan dan minuman untuk mengenyangkan atau menghilangkan dahaga, tetapi juga untuk mendukung kesehatan, mencegah penyakit, bahkan meningkatkan kualitas hidup. Pergeseran ini telah mempopulerkan konsep pangan fungsional (functional food), terutama minuman fungsional (functional beverages) yang konsumsinya kini semakin mendominasi tren hidup sehat.

Di berbagai belahan dunia, pasar minuman fungsional tumbuh pesat. Data dari Grand View Research (2024) menyebutkan bahwa nilai pasar global minuman fungsional diperkirakan mencapai lebih dari USD 149,75 miliar pada tahun 2024 dan

diproyeksikan mencapai USD 248,51 miliar pada tahun 2030, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 8,9% dari tahun 2025 hingga 2030. Tren plant-based lifestyle, clean label, dan natural wellness memperkuat kebutuhan akan minuman fungsional

berbasis bahan alami. Lebih lanjut, meningkatnya biaya pengobatan, tren ke arah pencegahan penyakit, dan kecenderungan gaya hidup sehat menjadi faktor pendorong kebutuhan akan pangan fungsional. Indonesia memiliki ratusan jenis minuman tradisional yang merupakan modal budaya dan biodiversitas yang sangat besar. Jauh sebelum istilah “minuman fungsional” populer, masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi jamu dan aneka minuman tradisional berbahan rempah dan herbal. Dari jamu kunyit asam, beras kencur, wedang jahe di Jawa, bajigur di Sunda, sekoteng di Betawi, hingga sarabba di Makassar—semuanya tidak sekadar pelepas dahaga, tetapi juga

dipercaya menyehatkan tubuh. Minuman tradisional tersebut dikonsumsi sebagai bagian dari diet sehari-hari dan merupakan warisan budaya yang menghubungkan rasa, ritual dan keyakinan akan khasiat tanaman lokal. Pertanyaannya, bagaimana minuman tradisional ini bisa bertransformasi menjadi produk minuman fungsional modern yang tidak hanya diterima oleh semua kalangan khusunya generasi muda di Indonesia, tetapi juga mampu bersaing di pasar global?

Ragam minuman tradisional Nusantara

Minuman tradisional Indonesia merupakan bagian penting dari kekayaan budaya Nusantara yang

diwariskan secara turun-temurun. Setiap minuman memiliki asal-usul dan keunikan tersendiri yang mencerminkan tradisi serta kekayaan alam daerahnya masing-masing. Murdijati-Gardjito dkk. (2024) berhasil mendokumentasikan lebih dari 150 ragam minuman tradisional dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari Jawa, Bali, NTB, NTT, Maluku, Papua, Sulawesi dan Kalimantan beserta kebiasaan minum masyarakat Indonesia. Beragam minuman tradisional tersebut dapat diklasifikasikan minuman segar berbasis buah, minuman hangat rempah, minuman seduhan, minuman fermentasi tradisional hingga jamu. Banyak diantaranya kaya antioksidan, fitonutrien, dan senyawa aromatik dengan potensi fungsional. Jamu adalah identitas kultural Indonesia sekaligus bentuk pengetahuan kesehatan yang diwariskan lintas generasi. Ratusan spesies tanaman obat dan rempah telah dimanfaatkan untuk pembuatan jamu, mencerminkan kekayaan biodiversitas Nusantara. Fungsi kesehatan jamu dibedakan menjadi ramuan untuk perawatan kesehatan sehari-hari (preventif) dan pengobatan keluhan tertentu (kuratif). Minum jamu adalah bagian dari siklus kehidupan, mulai kehamilan, persalinan, hingga perawatan kecantikan (Murdijati-Gardjito dkk., 2021).

Setiap jenis minuman ini dapat dinikmati dalam tiga cara, yaitu dihidangkan panas, dinikmati dalam suhu kamar, maupun dikonsumsi dingin. Wedang jahe, contohnya, biasa dinikmati

dalam kondisi panas dan dikenal di berbagai daerah sebagai minuman penghangat dengan cita rasa yang khas dari jahe segar. Di Jawa Barat, bajigur menjadi favorit dengan perpaduan santan dan gula aren yang manis dan gurih, biasanya dinikmati panas-panas saat cuaca dingin. Sementara kunyit asam sering dikonsumsi pada suhu kamar ataupun ditambah es batu sebagai minuman penyegar dan tradisi kesehatan oleh banyak masyarakat di Pulau Jawa.

Minuman tradisional Indonesia kerap disajikan dalam berbagai acara bersama keluarga ataupun teman, sehingga tidak hanya berfungsi sebagai minuman, tetapi juga sebagai sarana mempererat

tali sosial dan menjaga tradisi lokal. Dengan nilai budaya yang kuat dan keberagaman rasa yang ditawarkan, minuman tradisional Indonesia memiliki potensi besar untuk terus dilestarikan dan dikembangkan, termasuk dalam bentuk inovasi minuman fungsional yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Beberapa contoh jamu dan minuman rempah dan herbal yang telah bertransformasi menjadi produk modern dan siap konsumsi, sehingga lebih praktis dan menarik bagi generasi muda misalnya: minuman kunyit asam ready to drink; temulawak instan, sparkling beras kencur, bajigur dan bandrek instan, bir pletok dalam

botol/kaleng.

Komponen

bioaktif dan fungsi

fisiologis

Menurut Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutraseutikal Indonesia (P3FNI), pangan fungsional adalah pangan (segar/olahan) yang mengandung komponen yang bermanfaat untuk meningkatkan fungsi fisiologis tertentu, dan/atau mengurangi risiko sakit yang dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah, harus menunjukkan manfaatnya dengan jumlah yang biasa dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehari-hari. Beberapa komponen bioaktif yang banyak diteliti

dalam minuman rempah dan herbal

Indonesia antara lain kurkumin dari kunyit (Curcuma longa L.), xanthorrizol dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb), gingerol/shogaol dari jahe (Zingiber officinale) dan ethyl cinnamate dari kencur (Kaempferia galana).

Kurkumin dikenal luas sebagai agen antiinflamasi, antidiabetes, antitumor, hepatoprotektif, dan antioksidan, sehingga relevan untuk kondisi kronis terkait peradangan dan stres oksidatif.

Kurkumin mempunyai bioavailabilitas yang rendah sehingga banyak dilakukan inovasi pada sistem pembawanya seperti liposom, misel, nanopartikel untuk meningkatkan penyerapan dan

efektivitasnya. Namun dalam konteks jamu sebagai minuman fungsional dikenal istilah “soft but powerful” yang berarti menjaga keseimbangan secara perlahan, bertahap dan menyeluruh pada tubuh tanpa menimbulkan efek samping berlebihan.

Temulawak menyumbang senyawa seperti xanthorrizol yang menunjukkan aktivitas anti-inflamasi, antimikrobia, hepatoprotektif, bahkan anti kanker. Ini menjadikan temulawak kandidat menarik untuk minuman fungsional yang menargetkan kesehatan hati, pencernaan, atau inflamasi.

Jahe mengandung gingerol/shogaol yang menunjukkan aktivitas antiinflamasi, anti-oksidan yang kuat dan immunomodulator. Kencur mengandung berbagai komponen bioaktif khususnya ethyl cinnamate dan p-methoxycinnamat yang bermanfaat sebagai anti-inflamasi, anti oksidan, anti-tumor antibakteri dan antiangiogenesis. Jahe, kencur dan rempah lain mempengaruh fungsi fisiologis pencernaan, mengurangi mual, mempercepat pengosongan lambung dan meredakan spasme gastrointestinal serta menyediakan efek anti-inflamasi ringan yang mendukung penggunaan tradisionalnya sebagai minuman fungsional untuk pencernaan dan penguat stamina.

Sejumlah penelitian di Indonesia telah memperkuat dasar manfaat jamu. Penelitian oleh A’yunin et al. (2019) menunjukkan bahwa variasi formulasi jamu kunyit asam dengan sari jeruk nipis/daun sirih meningkatkan kandungan flavonoid & kurkumin serta

aktivitas antioksidan. Kiptiyah et al. (2017) menemukan bahwa pengolahan panas (blanching, pasteurisasi) pada minuman beras kencur mengurangi jumlah mikroba dan meningkatkan kandungan fenolik, flavonoid, serta aktivitas antioksidan.

Kajian Susilawati dkk. (2022) terhadap 30 pustaka ilmiah dari tahun 2011 hingga 2021 mengidentifikasi 37 ramuan rempah dan herbal peningkat daya tahan tubuh di Indonesia. Tanaman yang paling sering digunakan, antara lain: kunyit, jahe, sereh, temulawak, kayu manis, meniran, jeruk nipis, dan pegagan. Ramuan-ramuan ini bisa dibuat dengan cara sederhana yaitu dengan merebus bahan-bahan segar seperti jahe, kunyit, dan sereh dalam air, lalu minum selagi hangat. Tambahan madu atau jeruk nipis bisa meningkatkan rasa sekaligus khasiatnya.

Transformasi jamu &

minuman rempah dan herbal menjadi minuman fungsional

Jamu dan minuman tradisional berbahan rempah dan herbal Indonesia kini tak lagi dipandang hanya sebagai ramuan warisan leluhur. Keduanya telah bertransformasi menjadi bagian dari industri pangan fungsional— produk minuman yang tidak hanya menyegarkan, namun juga memberikan manfaat kesehatan.

Transformasi ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat. Namun, proses perubahan ini tentunya bukan tanpa

tantangan. Banyak senyawa bioaktif dalam jamu dan minuman rempah dan herbal yang bersifat mudah rusak dan tidak tahan lama dalam penyimpanan. Selain itu, konsumen modern juga semakin menuntut adanya klaim kesehatan yang terbukti secara ilmiah. Agar jamu dan minuman rempah dan herbal benar-benar dapat diakui sebagai minuman fungsional, diperlukan beberapa langkah penting yaitu: validasi ilmiah terhadap manfaat kesehatannya, melalui riset dan uji klinis; standardisasi bahan baku dan proses produksi agar

produk lebih konsisten dan aman; modernisasi bentuk dan penyajian— misalnya jamu dalam bentuk minuman ready-to-drink; kepatuhan terhadap regulasi dan sertifikasi dari lembaga terkait; serta edukasi konsumen dan rebranding, dengan mempromosikan minuman fungsional sebagai bagian dari gaya hidup sehat modern. Selain itu, diperlukan juga inovasi dan diversifikasi produk, serta responsif terhadap tren pasar global, seperti produk ramah lingkungan. Dengan strategi yang tepat, jamu dan minuman rempah dan

herbal Indonesia berpotensi menjadi bintang baru dalam industri minuman fungsional dunia.

Kesimpulan

Minuman tradisional termasuk jamu dan minuman rempah dan herbal adalah warisan budaya yang menyimpan potensi besar sebagai minuman fungsional modern. Dengan dukungan riset ilmiah, teknologi pangan, inovasi produk, serta strategi pemasaran yang tepat, jamu tidak hanya bisa bertahan sebagai warisan, tetapi juga berkembang menjadi bagian dari industri global yang bernilai tinggi.

Transformasi ini bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan menjadikannya relevan dengan zaman. Dari botol jamu gendong hingga kaleng minuman fungsional di rak supermarket dunia, perjalanan jamu dan minuman rempah dan herbal adalah kisah tentang bagaimana warisan leluhur bisa menjadi masa depan kesehatan global.

Referensi:

A’yunin, N.A.Q., Santoso, U., & Harmayani, E. 2019. Kajian kualitas dan aktivitas antioksidan berbagai formula minuman jamu kunyit asam. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, 23(1), 37–48.

Kiptiyah, S.Y., Harmayani, E., & Santoso, U. 2017. Study of microbiological quality and antioxidant activity beras kencur drink with heating process. Indonesian Food and Nutrition Progress, 14(2), 91–100.

Murdijati-Gardjito, Santoso, U., Harmayani, E. 2024. Ragam Minuman Khas Indonesia. CV. Andi Offset. Yogyakarta

Murdijati-Gardjito, Harmayani, E., Suharjono, K.I. 2021. Jamu. Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa, Asli Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Susilawati, Y., Putriana, N.A., & Zakariya, S.A. 2022. Review: Ramuan Herbal Indonesia sebagai Peningkat Daya Tahan Tubuh. Jurnal Jamu Indonesia, 7(1), 31–49.

Gabungan Produsen

Makanan Minuman Indonesia

GAPMMI Apresiasi PGN dan Pemerintah atas

Normalisasi Pasokan Gas Industri

Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyampaikan apresiasi dan terima kasih setinggi-tingginya kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan Pemerintah Republik Indonesia atas kebijakan normalisasi pasokan gas bumi untuk industri pangan. Normalisasi ini sangat penting untuk mendukung stabilitas dan keberlangsungan operasional serta produksi anggota GAPMMI.

Sebelumnya, PGN memberlakukan pengendalian pemakaian gas yang diterapkan pada Agustus 2025, sehingga industri pangan mengalami keterbatasan pasokan gas yang berdampak pada kegiatan produksi. Namun, per tanggal 23 Agustus 2025, PGN telah mengumumkan bahwa pasokan gas telah kembali normal, memungkinkan para pelaku industri untuk kembali berproduksi secara optimal.

Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman, menyampaikan bahwa kebijakan normalisasi pasokan gas ini mencerminkan komitmen kuat Pemerintah dan PGN dalam menjaga iklim investasi dan keberlangsungan industri nasional. “Kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah,

khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PGN yang telah bekerja keras memastikan pasokan gas kembali stabil, dan secara khusus kepada Kementerian Perindustrian selaku pembina sektor industri, yang selalu mengayomi dan memfasilitasi permasalahan yang dialami sektor industri. Langkah ini sangat membantu para pelaku industri pangan dalam menjaga produksi dan memenuhi kebutuhan pasar,” ujar Adhi.

GAPMMI juga mengucapkan selamat atas suksesnya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PGN. Kami berharap, kepemimpinan baru dapat memimpin PGN menghadapi tantangan ekonomi dan energi, serta melanjutkan komitmen menjamin pasokan gas bagi seluruh pelanggan.

Adhi menambahkan bahwa ketersediaan energi yang stabil dan terjangkau merupakan kunci utama dalam menjaga daya saing industri, terutama di tengah tantangan ekonomi global. Dengan normalisasi pasokan gas ini, GAPMMI berharap industri pangan dapat terus berkembang, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi lebih besar bagi perekonomian nasional. Fri-27

INFO GAPMMI

Johan Muliawan, perwakilan GAPMMI menghadiri Rapat konsultasi KPPU

� Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tengah melakukan penelitian mengenai situasi ketenagakerjaan di Indonesia, mengurai berbagai permasalahan di dalamnya, serta melihat sejauh mana implikasinya terhadap kondisi sosial ekonomi serta daya saing Indonesia. Oleh karena itu, CSIS mengadakan FGD dengan tema “Memetakan Sumber Permasalahan Penciptaan Lapangan Kerja Berkualitas di Indonesia” (08/08). Wakil Ketua GAPMMI Bidang

Organisasi, Ketenagakerjaan, dan Hubungan Antar Lembaga, Aldo Omar turut hadir dalam diskusi ini, dan menyampaikan apa yang menjadi pandangan GAPMMI terhadap hal ini.

� KPPU mengadakan rapat konsultasi dalam rangka penelitian “Modernisasi Kebijakan Persaingan Untuk Daya Saing” dengan menggandeng PROSPERA (Australia Indonesia

Partnership for Economic Development, yaitu sebuah kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia yang bertujuan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia

yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif), serta mengundang pelaku usaha di sektor digital, manufaktur dan ritel, di Jakarta (08/08). Ketua GAPMMI Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga, Johan Muliawan hadir memenuhi undangan ini. Diskusi membahas isu-isu persaingan usaha di enam sektor strategis (ekonomi digital, manufaktur, perdagangan ritel, konstruksi, pangan, dan energi) dengan fokus pada identifikasi praktik yang berpotensi menghambat persaingan sehat, seperti dominasi pelaku besar, hambatan masuk pasar, dan ketimpangan akses terhadap teknologi atau distribusi. Fri-27

ITS Office Tower Lt. 8 Unit 16, Nifarro Park

Jl. Raya Pasar Minggu KM. 18, Jakarta Selatan 12510

Telp/Fax. (021) 29517511; Mobile. 08119322626/27

Hp. 08156720614

Email: gapmmi@cbn.net.id

Website: www.gapmmi.id

Sekretariat GAPMMI
Aldo Omar turut hadir dalam FGD yang digelar CSIS

Inovasi Produk Berbahan Matcha untuk Generasi Z

Oleh Sri Raharjo

Pusat Studi Pangan dan Gizi, Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada

Matcha, minuman tradisional Jepang, telah bertransformasi menjadi fenomena global yang merambah berbagai lapisan masyarakat. Popularitas matcha yang meluas ini dapat menjadi model pengembangan rempah dan herbal Indonesia di tingkat global. Matcha, dalam bentuk serbuk hijau cerah ini tidak hanya menghiasi kedai-kedai kopi ternama, tetapi juga menjadi bahan utama dalam berbagai produk pangan, dari late yang creamy hingga hidangan penutup yang lezat. Namun, di balik popularitasnya yang mendunia, matcha juga menyimpan warisan budaya serta profil gizi mengesankan yang membedakannya dari teh hijau biasa.

Matcha adalah bentuk khusus

dari teh hijau yang berasal

dari Jepang, dibuat dengan menggiling daun teh menjadi bubuk halus. Kata “matcha” sendiri berasal dari bahasa Jepang: “ma” yang berarti “digiling” atau “halus”, dan “cha” yang berarti “teh”. Berbeda dengan teh celup atau teh daun longgar yang diseduh, matcha sebenarnya adalah suspensi bubuk daun teh dalam air, yang berarti Anda mengonsumsi seluruh daunnya.

Perbedaan mendasar antara matcha dan

teh hijau biasa terletak pada tiga aspek utama yaitu metode budi daya, proses produksi, dan cara konsumsi.

Proses produksi matcha

• Penaungan (Shading): Proses produksi matcha dimulai sekitar 3-4 minggu sebelum panen, ketika tanaman teh ditutupi dengan jaring hitam atau kanopi khusus untuk mengurangi paparan sinar matahari hingga 90%. Teknik naungan ini, yang dikenal sebagai “tana” atau “jikakise”,

merupakan langkah kritis yang membedakan matcha dari teh hijau biasa. Penaungan menciptakan stres fisiologis pada tanaman teh, yang merespons dengan meningkatkan produksi klorofil untuk menangkap lebih banyak cahaya yang tersedia. Hal ini tidak hanya memberikan matcha warna hijau yang cerah tetapi juga mengubah metabolisme tanaman. Produksi L-theanine, asam amino yang bertanggung jawab atas rasa umami matcha, ditingkatkan sementara konversi L-theanine menjadi katekin (yang memberikan rasa pahit) diperlambat.

• Pemanenan: Daun matcha dipanen dengan hati-hati, biasanya pada musim semi (antara April dan Mei di Jepang), ketika daun muda paling beraroma. Panen pertama (“ichibancha”) dianggap yang terbaik, menghasilkan matcha dengan rasa paling halus dan kompleks. Beberapa perkebunan juga melakukan panen kedua (“nibancha”) dan ketiga (“sanbancha”), meskipun kualitasnya umumnya lebih rendah. Pemetikan dilakukan secara selektif, dengan hanya mengambil tunas muda dan dua daun teratas. Metode panen bervariasi dari panen tradisional dengan tangan hingga panen mekanis, dengan matcha kelas tertinggi biasanya dipanen dengan tangan untuk memastikan kualitas terbaik.

• Pengukusan: Segera setelah panen, daun matcha dikukus selama 20-45 detik pada suhu sekitar 95°C. Proses

pengukusan ini menginaktivasi enzim oksidatif, menghentikan fermentasi dan mempertahankan warna hijau cerah serta komponen bioaktif daun teh. Metode pengukusan adalah karakteristik dari teh hijau Jepang (disebut “sencha”), berbeda dengan metode penggorengan yang digunakan dalam produksi teh hijau China.

• Pengeringan dan Penyortiran: Setelah dikukus, daun dikeringkan dengan hati-hati menggunakan berbagai metode termasuk pengeringan udara panas, pengeringan vakum, atau pengeringan microwave. Pengeringan vakum microwave dianggap paling efisien, mempertahankan lebih banyak senyawa volatil dan antioksidan. Daun kering yang dihasilkan, disebut “aracha” (teh kasar), kemudian disortir untuk menghilangkan batang, vena, dan partikel yang tidak diinginkan lainnya. Proses penyortiran menghasilkan “tencha”, bahan baku untuk matcha. Tencha yang berkualitas tinggi memiliki warna hijau cerah, tekstur rapuh, dan aroma segar.

• Penggilingan: Langkah terakhir dan paling kritis adalah penggilingan tencha menjadi bubuk halus menggunakan penggiling batu granit tradisional. Penggilingan yang tepat membutuhkan keahlian dan kesabaran, karena panas yang berlebihan dapat merusak rasa dan zat gizi matcha. Penggiling batu berputar lambat, memastikan bahwa suhu tetap rendah dan partikel yang dihasilkan sangat halus. Matcha berkualitas tinggi digiling menjadi partikel berukuran 5-10 mikrometer

- cukup halus untuk membentuk suspensi stabil dalam air tanpa mengendap. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menghasilkan 30 gram matcha, yang menjelaskan mengapa matcha asli berkualitas tinggi memiliki harga yang premium.

Komposisi kimia matcha

Matcha mengandung sejumlah senyawa bioaktif yang menarik, banyak diantaranya dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada teh hijau biasa. Komposisi dan konsentrasinya bervariasi berdasarkan faktorfaktor seperti kultivar tanaman, kondisi tumbuh, waktu panen, dan metode pengolahan.

» Katekin dan Polifenol: Katekin, subkelompok polifenol, adalah komponen bioaktif paling terkenal dalam matcha. Kandungan paling penting adalah epigallocatechin gallate (EGCG), yang membentuk sekitar 50-60% dari total katekin dalam matcha. Studi oleh Koláčková et al. (2020) melaporkan bahwa matcha mengandung EGCG dalam kisaran 13,15-86,76 mg/g, jauh lebih tinggi daripada teh hijau biasa. Katekin lainnya termasuk epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG), epicatechin (EC), gallocatechin (GC), dan catechin (C).

Secara kolektif, senyawa-senyawa ini bertanggung jawab atas banyak manfaat kesehatan matcha, termasuk aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan antikanker.

» Asam Amino: Matcha kaya akan asam amino bebas, dengan L-theanine sebagai yang paling menonjol. Theanine, yang membentuk sekitar 1-2% dari berat kering matcha, bertanggung jawab atas rasa umami yang khas dan efek relaksasi. Unno et al. (2018) melaporkan kandungan theanine dalam matcha dari pasar Jepang berkisar antara 7,25-40,62 mg/g, sementara sampel dari luar Jepang menunjukkan variasi yang lebih besar (0,32-27,09 mg/g).

Asam amino lainnya termasuk asam glutamat, arginin, dan GABA (gammaaminobutyric acid), yang semuanya berkontribusi pada profil rasa dan

efek neurologis matcha.

» Kafein: Matcha mengandung kafein alami dalam konsentrasi yang signifikan, biasanya antara 14,4-50,16 mg/g menurut berbagai penelitian. Senyawa yang membedakan matcha dari sumber kafein lainnya adalah adanya L-theanine, yang memodulasi efek kafein dengan mempromosikan relaksasi tanpa kantuk - sering digambarkan sebagai “ketenangan waspada”.

» Klorofil: Karena proses naungan, matcha mengandung kadar klorofil yang tinggi - pigmen hijau yang bertanggung jawab atas fotosintesis. Koláčková et al. (2020) melaporkan kadar klorofil-a 2733,33 μg/g dan klorofil-b 1467,50 μg/g dalam matcha. Klorofil tidak hanya memberikan warna hijau yang cerah

tetapi juga memiliki sifat detoksifikasi dan antioksidan.

» Vitamin dan Mineral: Matcha mengandung berbagai vitamin, termasuk vitamin C (1,35-1,53 mg/g), vitamin E, dan vitamin B kompleks. Mineral seperti kalium, kalsium, magnesium, mangan, dan seng juga hadir dalam jumlah yang signifikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa matcha juga dapat mengandung logam berat seperti merkuri, meskipun biasanya di bawah batas keamanan yang ditetapkan.

» Senyawa Volatil: Senyawa aromatik seperti pentanal, heptanal, dan 2-butanon berkontribusi pada profil aroma kompleks matcha. Senyawasenyawa ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tumbuh dan proses produksi.

Penting untuk diketahui bahwa komposisi kimia matcha sangat bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti tingkatan kualitas (ceremonial vs. culinary), asal geografis, musim panen, metode pemrosesan, dan kondisi penyimpanan. Adanya variabilitas ini menekankan pentingnya standardisasi dan kontrol kualitas dalam industri matcha.

Matcha dan fungsi kognitif

Penelitian pada manusia mengeksplorasi efek matcha terhadap memori, fungsi otak, dan fokus. Sebuah studi terkini (Baba et al., 2021b) menemukan bahwa konsumsi 2,07 gram matcha sehari (mengandung theanine, katekin, dan kafein) selama dua minggu

secara signifikan mengurangi waktu reaksi dan meningkatkan pengenalan emosi. Namun, matcha tidak mengurangi kelelahan atau meningkatkan konsentrasi dan tingkat energi. Studi lain dari kelompok peneliti yang sama (Baba et al., 2021a) membandingkan matcha dengan kafein. Kafein menunjukkan peningkatan perhatian akut setelah dosis tunggal, yang menjelaskan efek serupa dari matcha. Namun, konsumsi matcha secara terus-menerus (12 minggu) meningkatkan performa di bawah tekanan lebih baik daripada kafein, menunjukkan efek anti-stres jangka panjang untuk mempertahankan atau meningkatkan perhatian. Penelitian oleh Unno et al. (2018) menunjukkan bahwa konsumsi 3 gram matcha sehari selama 15 hari mengurangi kecemasan dan stres fisiologis yang diukur melalui skala kecemasan dan kadar amilase saliva.

Sebuah uji acak terkendali (RCT) oleh Sakurai et al. (2020) pada lansia sehat yang mengonsumsi 3 gram matcha selama 12 minggu menemukan peningkatan fungsi bahasa hanya pada

peserta wanita. Peneliti menghubungkan ini dengan ketahanan kognitif wanita yang lebih tinggi dan kemungkinan interaksi dengan vitamin K. Perlu dicatat bahwa sebagian besar penelitian dilakukan di Jepang di mana konsumsi teh hijau sudah biasa, sehingga hasilnya mungkin berbeda pada populasi yang tidak terbiasa. Sebuah studi di Belanda (Dietz et al., 2017) justru menemukan sedikit bukti efek akut matcha terhadap kognisi 60 menit setelah konsumsi, diduga karena waktu pengukuran yang mungkin terlalu awal sebelum senyawa bioaktif mencapai puncak konsentrasi dalam darah.

Secara keseluruhan, bukti menunjukkan potensi manfaat matcha untuk fungsi kognitif baik secara

akut maupun jangka panjang, tetapi studi masih terbatas, heterogen, dan diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan beragam.

Matcha dan kesehatan kardiometabolik

Salah satu alasan utama popularitas matcha adalah manfaat kesehatannya, termasuk potensinya bagi kesehatan kardio-metabolik. Penyakit kardiometabolik meliputi diabetes tipe 2, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Beberapa penelitian pada hewan, khususnya tikus yang diberi diet tinggi lemak, menunjukkan hasil yang konsisten. Konsumsi matcha dengan dosis rendah hingga sedang dapat

mencegah kenaikan berat badan (Xu et al., 2016). Pada dosis sedang hingga tinggi, matcha secara signifikan menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida, dan LDL (kolesterol “jahat”), sekaligus meningkatkan HDL (kolesterol “baik”). Selain itu, matcha juga membantu menurunkan kadar gula darah, meskipun tidak selalu kembali ke tingkat normal. Dari segi fungsi hati, matcha mencegah akumulasi lemak di hati dan menjaga fungsi hati tetap normal. Analisis transkriptomik menunjukkan peningkatan enzim detoksifikasi dan penurunan protein terkait penumpukan lemak. Matcha juga meningkatkan level enzim antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx), yang menunjukkan manfaatnya dalam melawan stres oksidatif. Menariknya, serat atau residu tidak larut dalam matcha juga berperan penting dalam memberikan manfaat ini, yang menyoroti pentingnya konsumsi matcha secara utuh.

Minuman matcha telah bergeser dari produk niche menjadi arus utama, didorong oleh beberapa faktor kunci. Pertama, matcha dipromosikan sebagai minuman kaya antioksidan (EGCG), L-theanine yang memberikan relaksasi tanpa kantuk, serta energi yang lebih stabil dibandingkan kopi berkat kombinasi kafein dan L-theanine. Hal ini sesuai dengan tren konsumen modern yang mencari minuman fungsional. Kedua, rasa earthy, umami, dan sedikit pahit dari matcha dianggap premium dan berbeda, menarik bagi konsumen

yang mencari pengalaman rasa baru. Ketiga, matcha sangat fleksibel dan dapat diolah menjadi berbagai macam minuman, mulai dari matcha latte tradisional, matcha espresso, smoothie, hingga minuman kekinian dengan berbagai topping. Keempat, warna hijau cerah alami matcha sangat “instagrammable,” menjadikannya alat pemasaran yang sangat kuat di era media sosial.

Respon Generasi Z terhadap matcha

Minuman berbasis matcha telah mengalami peningkatan popularitas yang signifikan secara global dalam beberapa tahun terakhir, tidak hanya karena rasanya yang unik tetapi juga karena persepsi akan manfaat kesehatannya. Generasi Z, yaitu kelompok yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, muncul sebagai segmen konsumen kunci yang mendorong pertumbuhan pasar ini. Penerimaan Generasi Z terhadap matcha sangat positif, didorong oleh faktor kesehatan, kesadaran lingkungan, estetika media sosial, dan fleksibilitas produk. Konsumsi kelompok ini cenderung rutin, yakni mingguan hingga bulanan, dan sangat selaras dengan nilai-nilai serta gaya hidup yang digital, sadar kesehatan, dan berpengalaman.

Generasi Z tidak hanya mengonsumsi matcha, tetapi juga mengadopsinya sebagai bagian dari identitas gaya hidup. Penerimaan ini didorong oleh keselarasan matcha dengan nilai-nilai inti Generasi Z, seperti kesadaran akan

kesehatan mental dan fisik. Gen Z sangat tertarik pada klaim bahwa L-theanine dalam matcha dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan fokus, yang relevan dengan tekanan akademis dan sosial. Selain itu, sebagai generasi yang sangat peduli lingkungan dan keberlanjutan, Gen Z lebih memilih merek yang menerapkan praktik berkelanjutan, seperti kemasan ramah lingkungan dan sumber bahan yang etis. Matcha, terutama yang berasal dari perkebunan organik, sering dipasarkan dengan nilai-nilai ini. Gen Z juga menghargai transparansi dalam sumber bahan dan proses produksi, sehingga merek matcha yang bercerita tentang asal-usul, proses penggilingan tradisional, dan manfaat kesehatan yang terdokumentasi lebih mudah mendapatkan kepercayaan.

Pengaruh media sosial dan komunitas digital juga sangat signifikan. Tagar #matcha memiliki miliaran views di aplikasi TikTok, dipenuhi dengan konten tentang “matcha routines,” resep DIY, dan ulasan produk. Estetika warna hijau yang konsisten menciptakan identitas merek yang kuat secara daring. Gen Z sangat dipengaruhi oleh rekomendasi dari pemengaruh yang diikuti dan teman sebaya. Sebuah tren matcha yang viral di TikTok dapat langsung mendorong permintaan secara signifikan. Selain itu, Gen Z menikmati kemampuan untuk mempersonalisasi minuman matcha mereka, seperti memilih tingkat kemanisan, jenis susu (sering kali berbasis nabati seperti oat atau almond

milk), serta menambahkan rasa atau topping. Hal ini memenuhi keinginan mereka untuk ekspresi diri dan kontrol atas apa yang mereka konsumsi.

Data dari berbagai laporan pasar dan survei konsumen menunjukkan bahwa konsumsi Generasi Z terhadap minuman matcha cenderung mingguan hingga bulanan, bukan harian seperti konsumen kopi berat. Matcha sering dikonsumsi dalam konteks sosial, seperti menongkrong di kafe, sebagai bagian dari rutinitas pagi untuk fokus, atau sebagai “hadiah” atau pendorong energi di sore hari. Banyak dari Gen Z mengadopsi matcha sebagai alternatif

yang lebih menyehatkan atau dengan “rasa yang lebih baik” dibandingkan kopi atau minuman energi. Sebuah survei oleh Piper Sandler pada akhir 2023 yang menyurvei ribuan remaja AS menempatkan matcha sebagai tren makanan dan minuman yang sedang naik daun, menunjukkan penetrasi dan frekuensi yang meningkat di kalangan demografi ini. Meskipun kopi masih mendominasi, pertumbuhan matcha sangat mencengangkan.

Kesesuaian matcha dengan gaya hidup Generasi Z hampir sempurna. Matcha dipersepsikan sebagai pilihan menyehatkan dan berfungsi, yang selaras dengan keinginan Gen Z akan produk yang bermanfaat bagi kesejahteraan. Aspek “instagrammable” matcha memenuhi kebutuhan Gen Z untuk membuat dan berbagi konten, di mana membeli matcha latte bukan hanya tentang konsumsi, tetapi juga tentang pengalaman dan ekspresi diri secara daring. Gen Z lebih menghargai pengalaman daripada kepemilikan material, sehingga pergi ke kafe khusus matcha atau membuat ritual matcha sendiri di rumah dianggap sebagai pengalaman yang berharga. Selain itu, ketersediaan banyak pilihan susu nabati membuat minuman matcha sangat inklusif bagi vegan, intoleran laktosa, atau sekadar ingin menjelajahi pilihan makanan berbasis nabati. Dengan demikian, matcha tidak hanya menjadi minuman, tetapi juga bagian dari identitas dan gaya hidup Generasi Z.

Kesimpulan

Bukti dari studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa konsumsi matcha berpotensi memberikan manfaat bagi fungsi kognitif (seperti memori, perhatian, dan anti-stres) serta kesehatan kardio-metabolik (seperti regulasi gula darah, lipid, dan berat badan). Mekanisme utamanya didukung oleh kerja sinergis dari senyawa bioaktifnya, terutama EGCG, theanine, kafein, dan serat. Namun, penelitian pada manusia masih terbatas dan diperlukan studi lebih lanjut untuk mengonfirmasi temuan ini dan menentukan dosis optimal. Penerimaan konsumen, khususnya dari Generasi Z, terhadap minuman berbasis matcha sangatlah kuat dan positif. Daya tariknya melampaui sekadar tren rasa dan merambah ke area yang selaras dengan nilai inti Gen Z: kesehatan holistik, keberlanjutan, ekspresi diri digital, dan pengalaman. Meskipun frekuensi konsumsinya mungkin tidak setinggi kopi, matcha telah memantapkan dirinya sebagai pilihan minuman premium yang disengaja dan bermakna dalam portofolio konsumsi Gen Z. Pertumbuhan pasar ini diproyeksikan akan terus berlanjut seiring dengan inovasi produk dan pemasaran yang terus menerus berbicara kepada nilainilai generasi muda ini.

Referensi: http://foodreview.co.id/pdf/Referensi%20Artikel%20 Matcha.pdf

BUBUK DAUN KELOR:

Ingridien Potensial Pangan Fungsional

Oleh Teti Estiasih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Brawijaya

Tanaman kelor (Moringa oleifera), yang dijuluki sebagai "the miracle tree", telah lama dikenal akan ketahanannya di daerah kering dan kemampuannya menjadi sumber gizi vital. Namun, belakangan ini, popularitasnya melesat seiring terungkapnya beragam khasiat bubuk daun kelor bagi kesehatan. Di luar penggunaannya dalam pengobatan tradisional, bubuk daun kelor kini menjadi sorotan utama dalam industri pangan modern berkat profil zat gizinya yang mengesankan dan potensi fungsionalnya.

Di Indonesia dan banyak negara, kelor lazim digunakan untuk pengobatan tradisional, dan sebagian memanfaatkan kelor untuk mengatasi gizi buruk. Daun kelor secara tradisional digunakan dalam berbagai obat tradisional seperti ekstrak daunnya untuk menyembuhkan konjungtivitis; daun segar juga diresepkan untuk penderita anemia, serta untuk ibu hamil dan menyusui dapat meningkatkan produksi ASI. Jus yang diperoleh dari daunnya digunakan untuk menormalkan tekanan darah dan kadar glukosa darah. Di antara bagian pohon kelor, daun kelor adalah yang paling banyak dimanfaatkan dan diungkap khasiat kesehatannya secara ilmiah. Penambahan daun kelor ke dalam produk pangan umumnya dalam bentuk bubuk karena memudahkan formulasi dan penanganan. Pasar dunia bubuk daun kelor terus tumbuh diproyeksikan mencapai omzet lebih dari 14 juta USD pada tahun 2028. Pertumbuhan pasar global bubuk daun kelor disebabkan khasiat kesehatan daun kelor dan peningkatan kesadaran akan pentingnya pangan yang menyehatkan. Penelitian yang banyak dilakukan untuk khasiat kesehatan daun kelor adalah dalam bentuk ekstrak. Walaupun penelitian khasiat bubuk daun kelor terbatas, tetapi bubuk daun kelor terbukti

secara ilmiah bersifat antidiabetes, antikolesterol dan antidislipidemia, antikanker, antioksidan, antiinflamasi, dan antihipertensi. Zat gizi dalam daun kelor yang menonjol adalah kandungan protein, susunan asam amino yang baik, dan tinggi vitamin C dan α-tokoferol. Protein dalam bubuk daun kelor dapat berubah menjadi peptida bioaktif dalam pencernaan yang mempunyai kemampuan menghambat enzim pengkonversi angiotensin yang berperan dalam peningkatan tekanan darah. Pro-vitamin A dalam bentuk ß-karoten cukup tinggi pada bubuk daun kelor, selain itu, kaya mineral seperti kalsium, potasium, dan zat besi.

Salah satu upaya untuk menghasilkan pangan fungsional adalah dengan menggunakan bahan-bahan yang mengandung senyawa bioaktif yang

bermanfaat bagi kesehatan. Cara lain untuk menghasilkan pangan fungsional adalah dengan fermentasi yang menghasilkan senyawa bioaktif, atau fortifikasi dengan ekstrak senyawa bioaktif. Salah satu bahan yang secara historis diyakini memiliki manfaat bagi kesehatan adalah bubuk daun kelor. Bubuk daun kelor merupakan sumber bahan fungsional yang berharga termasuk protein, vitamin, mineral, dan fitonutrien seperti karotenoid, tokoferol, polifenol, flavonoid, alkaloid, dan tanin. Secara umum, penambahan berbagai bagian kelor ke dalam produk-produk seperti roti, kue kering, camilan, dan minuman, meningkatkan profil nutrisi produk (protein, asam amino esensial, mineral, dan serat).

Bubuk daun kelor merupakan alternatif pengganti susu dan telur,

serta membantu para vegan/vegetarian untuk mengonsumsi kandungan protein yang sama. Dalam produk susu dan daging, tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan antimikroba. Pada setiap produk pangan, penambahan konsentrasi tinggi menyebabkan warna kehijauan, rasa herbal, dan perubahan sifat mekanis (tekstur, kekerasan, kekenyalan, volume, dan kekenyalan), yang berdampak negatif pada penerimaan produk akhir.

Sifat fungsional

bubuk daun kelor

Sifat fungsional merupakan sifat ingridien pangan yang dibutuhkan dalam suatu produk pangan selama proses pengolahan. Bubuk daun kelor mempunyai kadar pati yang rendah sehingga ketika dipanaskan menunjukkan viskositas yang rendah. Bubuk daun kelor mempunyai stabilitas terhadap pengadukan. Suhu gelatinisasi yang rendah menyebabkan bubuk ini akan cepat matang ketika dipanaskan. Keuntungan bubuk daun kelor adalah kemampuan retrogradasi yang rendah sehingga tidak menyebabkan produk yang diformulasinya menjadi keras. Akan tetapi kendala penggunaannya dalam formulasi pangan adalah kelarutannya yang rendah serta kemampuan pengikatan air yang rendah, bahkan lebih rendah dari kemampuan pengikatan minyak. Hal ini yang menyebabkan penambahan bubuk daun kelor pada produk pangan menyebabkan produk tidak terhidrasi dan menjadi “seret” ketika ditelan. Salah

satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut dan meningkatkan kelarutan, bubuk daun kelor digiling sangat halus sampai 120 mesh atau dibuat menjadi bubuk instan yang mudah larut. Kendala lain formulasi bubuk daun kelor pada produk pangan adalah pada kadar yang tinggi menyebabkan perubahan sifat sensori menjadi agak getir dan after taste pahit.

Formulasi bubuk daun kelor pada produk pangan

Bubuk daun kelor berpotensi besar menjadi ingridien dalam berbagai produk pangan. Penambahan bubuk daun kelor menyebabkan nilai gizi dan fungsional kesehatan produk meningkat. Tingkat penambahan yang sesuai untuk bubuk daun kelor pada produk pangan bergantung pada jenis produk.

Penambahan bubuk daun kelor pada tingkat yang tepat memberikan rasa dan flavor seperti matcha dan memberikan flavor creamy pada produk-produk tertentu seperti biskuit dan kukis. Akan tetapi, jika terlalu tinggi efeknya menyebabkan sifat organoleptik produk menurun dan perubahan karateristik produk. Tingkat penggunaan bubuk daun kelor dan dampaknya pada produk bakeri dapat dilihat Tabel 1.

Formulasi bubuk daun kelor pada produk pangan menyebabkan peningkatan kadar protein, mineral, serat, dan aktivitas antioksidan.

Penambahan bubuk daun kelor akan meningkatkan nilai gizi, meningkatkan kontribusi zat gizi makro dan mikro, termasuk protein, serat, vitamin dan

Tabel 1. Formulasi bubuk daun kelor pada produk bakeri (Ariani et al., 2023)

Jenis produk Tingkat fortifikasi (%)

Roti 2,5, 5, 7,5

Roti dan cake 10, 20, 30, 50

Cookies 5, 10

Cookies 0, 10, 20, 30, 50

Brownies 0, 5, 10

Roti 5, 10, 15, 20

Rice Crackers 1, 2, 5

Roti 1, 2, 3, 4, 5

mineral. Selain itu, formulasi bubuk daun kelor selain memiliki tujuan gizi, dapat memberikan manfaat lain bagi produk, seperti peningkatan daya cerna, peningkatan stabilitas adonan,

Hasil

Roti tepung terigu yang difortifikasi dengan bubuk daun kelor memiliki peningkatan nilai gizi (protein, serat, dan mineral)

Roti dengan 10% dan kue dengan 20% bubuk daun kelor memiliki protein, zat besi, dan kalsium yang lebih tinggi.

Formula terbaik adalah fortifikasi dengan kadar serbuk daun kelor 10%.

Formula terbaik adalah yang difortifikasi dengan serbuk daun kelor tingkat 10%

Hal ini meningkatkan karakteristik fisikokimia dan meningkatkan kadar abu serta menurunkan kadar lipid dibandingkan dengan kontrol.

Fortifikasi pada roti meningkatkan gizi protein, abu dan mineral tetapi kandungan karbohidrat menurun. Daya terima menurun dengan meningkatnya fortifikasi. Daya terima terbaik adalah tingkat fortifikasi 5 dan 10%.

Fortifikasi 1 dan 2% menghasilkan kadar karoten, vitamin C dan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Skor sensoris sebanding dengan kontrol bahkan pada akhir penyimpanan.

Komposisi gizi protein, abu, serat, mineral, dan karoten meningkat. Daya terima menurun ketika tingkat fortifikasi meningkat. Fortifikasi memengaruhi atribut fisik dan sensori roti.

kapasitas antioksidan dan pengawetan. Produk biskuit yang difortifikasi bubuk daun dapat mencegah anemia pada ibu hamil dengan indikator peningkatan hemoglobin akibat asupan zat besi dan

zink dari bubuk daun kelor. Tortilla yang ditambah bubuk daun kelor memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dan meningkatkan kandungan total fenolik, asam oleat, protein, lipid, sehingga menjadi camilan dengan kualitas gizi yang lebih baik. Senyawa fitokimia yang berperan terhadap kesehatan dari daun kelor berkontribusi pada produk yang diformulasinya. Bubuk daun kelor mengandung serat tinggi dan rendah lemak sehingga sesuai untuk diformulasikan pada produk makanan rendah kalori.

Senyawa bioaktif bubuk daun kelor berperan dalam memberikan efek positif terhadap kesehatan produk yang diformulasinya. Bubuk daun kelor terbukti mempunyai kemampuan menurunkan kadar kolesterol, gula, dan tekanan darah tikus percobaan. Roti yang diformulasi bubuk daun kelor 10% ternyata juga mampu menurunkan kadar gula darah pada kondisi hiperglikemia.

Produk bakeri

Bubuk daun kelor digunakan untuk memperkuat adonan roti dan substitusi bubuk daun kelor dapat

menjadi alternatif untuk roti bebas gluten. Penambahan bubbuk daun kelor meningkatkan kadar mineral, protein, fenol, dan nutrisi lainnya. Fortifikasi ini juga menyebabkan penurunan kadar air dan memperpanjang masa simpan. Tingkat fortifikasi bubuk daun kelor berkisar 1–15%. Fortifikasi roti dengan bubuk daun kelor 5% menunjukkan sifat fisik yang sama seperti volume dan warna kulit seperti kontrol. Warna merupakan atribut sensoris yang penting. Penurunan sifat sensoris akibat fortifikasi bubuk daun kelor adalah warna remah dan kulit serta penurunan volume dibandingkan roti tanpa fortifikasi.

Produk biskuit

Biskuit bebas gluten diproduksi dengan mengganti campuran tepung bebas gluten komersial dengan bubuk daun kelor. Penambahan bubuk daun kelor memberikan kontribusi terhadap peningkatan kandungan protein dan serat, sekaligus menurunkan kandungan pati, bahkan pada tingkat substitusi bubuk daun kelor terendah (yaitu 5 g/100 g). Penambahan bubuk daun kelor

menyebabkan perubahan warna, dan kekerasan tekstur, serta sifat pemastaan pati dalam biskuit, seperti viskositas lebih rendah, peningkatan kekuatan pembengkakan granula pati, dan retrogradasi yang lebih rendah. Bubuk daun kelor menyebabkan daya cerna pati meninggkat. Tingkat penambahan bubuk daun kelor yang terbaik untuk biskuit adalah 10%.

Pangan ringan (snack)

Untuk mengetahui pengaruh penambahan bubuk daun kelor pada pangan ringan, Zungu et al. (2020) menambahkan campuran tepung (50% tepung terigu dan tepung maizena 50%) dengan 0% (kontrol), 1, 3, dan 5% (b/b) bubuk daun kelor. Bubuk daun kelor berpengaruh terhadap warna, berubah dari cokelat muda (kontrol) menjadi hijau tua kecokelatan, yang mungkin disebabkan klorofil dari bubuk daun kelor. Semakin tinggi tingkat penambahan bubuk daun kelor,

konsistensi produk menurun sehingga produk lebih rapuh. Formulasi bubuk daun kelor 1% masih dapat diterima secara sensoris. Tingkat penambahan ini meningkatkan kandungan mineral Ca, Mg, K, dan Fe. Pangan ringan yang diperkaya bubuk daun kelor dapat menjadi kandidat untuk meningkatkan kualitas pangan dan gizi anak dari masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan malagizi.

Kukis

Penggunaan bubuk daun kelor sebagai ingridien kukis menyebabkan profil nilai gizi yang lebih baik yaitu lebih tinggi protein, serat, Fe, Ca, dan Mg,. Kukis dengan penambahan bubuk daun kelor 5,0% menunjukkan perbedaan sensoris dibandingkan kukis tanpa penambahan, sedangkan tingkat penambahan bubuk daun kelor 10 dan 15% menyebabkan penurunan akseptabilitas.

Pasta

Rocchetti et al. (2020) menggantikan gandum durum dengan bubuk daun kelor pada kadar 5, 10, dan 15 g/100g (b/b) untuk formulasi pasta segar. Pasta yang difortifikasi memiliki 152 senyawa fenolik dengan kandungan tertinggi adalah formulasi bubuk daun kelor 15%. Substitusi gandum durum dengan bubuk daun kelor menurunkan jenis pati yang mudah dicerna sehingga memperlambat peningkatan kadar gula darah. Akan tetapi kadar pati resisten mengalami penurunan.

Produk olahan daging

Bubuk daun kelor dapat digunnkan sebagai pengawet nonsintetik pada olahan daging, karena menghambat oksidasi lipid dan perkembangbiakan mikroorganisme. Tingkat penambahan bubuk daun kelor sedang (0,2 dan

0,4%) tidak mempengaruhi atribut sensoris daging giling yang disimpan dan menghambat oksidasi lipid. Bubuk daun kelor dapat digunakan sebagai antioksidan alami untuk memperpanjang umur simpan kofta. Penambahan bubuk daun kelor pada patty ayam menyebabkan penurunan pertumbuhan mikroba dan menghambat ketengikan oksidatif patty. Penambahan bubuk daun kelor pada konsentrasi hingga 50 g/kg tidak mempengaruhi sifat sensoris dan penerimaan keseluruhan patty ayam.

Produk fermentasi susu

Di antara berbagai formulasi yoghurt yang ditambah bubuk daun kelor, tingkat penambahan 0,5% mempunyai nilai organoleptik paling baik. Tingkat penambahan yang lebih tinggi menyebabkan rasa pahit. Penambahan

bubuk daun kelor mempengaruhi total padatan, protein, laktosa, pH, keasaman, kandungan abu dan kalsium yoghurt, dan tidak berpengaruh terhadap kadar lemak. Akan tetapi waktu setting/ pembentukan gel berkurang. Bubuk daun kelor yang ditambahkan pada pembuatan kefir mempunyai pengaruh yang baik yaitu peningkatan keasaman dan penurunan pH. Tingkat penambahan bubuk daun kelor yang terbaik adalah 2%.

Kendala formulasi bubuk

daun kelor

Ketika ditambahkan pada produk pangan, bubuk daun kelor memberikan banyak efek menguntungkan. Kendala formulasi bubuk daun kelor ke dalam produk pangan umumnya terkait dengan karakteristik sensoris produk yang difortifikasi terutama dari warna dan rasa. Semakin meningkat konsentrasi bubuk daun kelor, rasa pahit semakin meningkat. Sebenarnya minimum persentase bubuk daun kelor untuk peningkatan signifikan dalam nilai gizi adalah 10%, akan tetapi pada tingkat tersebut dengan penerimaan menjadi lebih rendah. Bubuk daun kelor dapat menimbulkan sensoris yang tidak diinginkan pada produk yang diperkaya, penelitian untuk setiap produk diperlukan untuk menentukan tingkat penambahan bubuk daun kelor yang sesuai. Tingkat penambahan ini juga perlu memberikan efek menguntungkan, dengan tetap mempertahankan penerimaan produk.

Keamanan dan toksisitas

bubuk daun kelor

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian oral bubuk daun kelor hingga 2000 mg/kg tidak menunjukkan perubahan tanda klinis atau patologi dan LD50 lebih besar dari 2000 mg/ kg. Penelitian lain menunjukkan bahwa jika tikus mengonsumsi rata-rata 15–20 g pakan per hari, bahkan pada dosis rendah 25% dari pakan, dosis harian bubuk daun kelor akan menjadi sekitar 15–20 g bubuk daun kelor per kilogram untuk tikus dewasa, yang akan setara

dengan 195–260 g untuk manusia seberat 80 kg. Penelitian keamanan penggunaan bubuk daun kelor sebagai suplemen dilakukan dnegan pemberian bubuk bubuk daun kelor sebanyak 20% dan 14% dari massa tubuh selama 5 minggu dan menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap metabolit darah, glikogen hati, dan lipid.

Referensi

Ariani LA, Estiasih T, SunarharumWB, Khatib A. 2023. Potential of moringa (Moringa oleifera) leaf powder for functional food ingredients: A review. Czech Journal of Food Sciences 41(1): 8–20. https://doi. org/10.17221/221/2022-CJFS.

Estiasih Y, Wijayanti N. 2024. Keajaiban Kelor: Khasiat Dan Potensinya Sebagai Suplemen dan Ingredien Pangan. MNC Publishing, Malang.

Rocchetti G, Rizzi C, Pasini G, Lucini L, Giuberti G, Simonato B. 2020. Effect of Moringa oleifera L. leaf powder addition on the phenolic bioaccessibility and on in vitro starch digestibility of durum wheat fresh pasta. Foods 9(5): 628. https://doi.org/10.3390/ foods9050628.

Trigo C, Castelló ML, Ortolá MD, 2023. Potentiality of Moringa oleifera as a nutritive ingredient in different food matrices. Plant Foods for Human Nutrition 78:25–37. https://doi.org/10.1007/s11130-022-01023-9.

Zungu N, Van Onselen A, Kolanisi U, Siwela M. 2020. Assessing the nutritional composition and consumer acceptability of Moringa oleifera leaf powder (MOLP)based snacks for improving food and nutrition security of children. South African Journal of Botany 129: 283290. https://doi.org/10.1016/j.sajb.2019.07.048

ANTIMIKROBA REMPAH & HERBAL:

Menjaga Keamanan & Keawetan Pangan

Oleh Winiati P. Rahayu

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan; Fakultas Teknologi Pertanian dan SEAFAST Center, IPB University Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia

Dalam upaya menjaga mutu dan memperpanjang masa simpan produk pangan, penggunaan bahan pengawet menjadi salah satu solusi. Bahan antimikroba adalah zat tambahan yang berfungsi mencegah atau menghambat kerusakan akibat aktivitas mikroba. Antimikroba dapat berupa sintetik—seperti asam sorbat dan asam benzoat—maupun alami. Rempah dan herbal menawarkan solusi yang unik dan multifungsi sebagai antimikroba alami. Selain memberikan aroma dan cita rasa khas, rempah dan herbal juga terbukti memiliki sifat antimikroba dan antioksidan yang menjadikannya alternatif pengawet alami yang potensial.

Perpanjangan masa simpan dapat dilakukan dengan cara penanganan yang baik (good practices), ataupun dengan cara pengolahan. Dalam Upaya memperpanjang masa simpan tersebut, terkadang dibutuhkan bahan pengawet. Bahan pengawet merupakan bahan

tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian akibat mikroba. Penggunaannya adalah untuk mengawetkan pangan yang memiliki sifat mudah rusak. Bahan

pengawet dapat dijumpai dalam bentuk pengawet sintetik dan alami. Pengawet sintetik contohnya asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, sulfit yang dihasilkan dari proses di industri. Di sisi lain, pengawet alami dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan dan memiliki jenis yang sangat banyak. Pengawet alami dari tumbuhan antara lain yang berasal dari rempah-rempah (rempah). Rempah adalah tanaman atau bagian dari tanaman yang dapat berupa kulit, bunga, buah, akar, daun, rimpang, biji, umbi, pucuk daun, maupun bagian lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian, kosmetika, dan produk industri lainnya. Selain berfungsi sebagai bahan pemberi citarasa (flavoring agent), rempah juga banyak yang mempunyai sifat antimikroba dan antioksidan. Efek penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah bersifat khas. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan dan jenis senyawa antimikroba dalam setiap rempah dan herbal.

Jenis antimikroba dari rempah

Komponen antimikroba dari rempah dapat berasal dari minyak atsiri atau komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya, sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman atau oleoresin. Oleoresin adalah suatu

gugusan kimiawi yang terdapat dalam tanaman yang terdiri dari minyak atsiri, resin organik larut, dan bahan lainnya yang terdapat di dalam rempah dan juga asam lemak nonvolatil, terutama golongan fenolik dan terpenoid dalam minyak atsiri. Minyak atsiri adalah campuran berbagai senyawa seperti alkohol, aldehida, fenol, dan ester yang terkandung di dalamnya yang mudah menguap. Minyak atsiri yang mengandung senyawa dengan gugus aldehida atau fenol, seperti sinamat aldehida, sitral, carvacrol, eugenol atau timol sebagai komponen utama menunjukkan aktivitas antibakteri yang tinggi.

Beberapa jenis rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba antara lain berasal dari berbagai jenis umbi (bawang putih, bawang merah), rimpang (kunyit, jahe, bangle, lengkuas, kencur), daun (salam), kulit (kayumanis, kayu mesoyi, dan kedawung), bunga

(kecombrang), buah (andaliman, antarasa, cabe merah, pala, dan sotul), dan biji (pala, picung/kluwak, jintan).

Proses ekstraksi komponen antimikroba dari rempah

Komponen bioaktif termasuk minyak atsiri dapat diekstrak dari tanaman dengan proses distilasi uap, distilasi uap dan air, cold processing, dan ekstraksi pelarut. Cara ekstraksinya dapat menggunakan teknik maserasi, refluks, Soxhlet, perkolasi, enfluerasi, atau ekstraksi super kritis. Teknik maserasi, refluks, Soxhlet, perkolasi biasa digunakan namun dengan rendemen hasil ekstraksi yang relatif rendah. Enfluerasi adalah ekstraksi minyak atsiri menggunakan lemak dan tanpa pemanasan, dan digunakan untuk ekstraksi bahan yang sensitif, mahal dan tidak stabil secara termal. Ekstraksi super kritis adalah ekstraksi yang memanfaatkan sifat unik fluida

Tabel 1. Senyawa antimikroba yang terdapat pada rempah

Jenis rempah Nama latin

Senyawa/komponen anti mikroba

Bawang putih Allium sativum Alilsulfonil-alilsulfida, acrolein, alisin, alinin

Bawang merah Allium cepa

Sistein sulfoksida, quercetin, glikosida quercetin, flavonoid

Kunyit Curcuma domestica Kukurmin, feladren, gingerol, cineol

Jahe Zingiber officinalae Zingeron, shagaol, gingerol

Bangle Zingiber cassumunar Terpenoid, fenol, flavonoid

Kencur Kaempferia galanga Saponin, fenol, flavonoid, minyak atsiri

Lengkuas Alpina galangal Cineol. pinene, camphor, metil sinamat

Temu kunci Boesenbergia rotunda Monoterpene, seskuiterpen

Salam Syzygium polyanthum Cineol. Eugenol, pinene, tanin

Beluntas Plucheacea folium Benzil alcohol, benzil asetat, eugenol

Kecombrang Etlingera elatior Steroid, terpenoid, alkaloid, glikosida

Cabai Solanum frutescens Vanililamida, kapsaisin

Jinten Cuminum cyminum L Limonen, asetaldehida,dihidrokarbon

Pala Myristica fragrans Eugenol, terpineol, terpene, safrol

Sotul Sandoricum koetjape Asam bryononat

Picung Pangium edule. Tanin

Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC Limonen, geraniol, citronellol

Kayu manis Cinnamon burmannii Sinamat aldehida, eugenol, feladren

Mesoyi Cryptocarya massoia Sinamat aldehida, safrol

Kedawung Parkia timorian Steroid, triterpenoid, saponin

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

superkritis yang berada di atas titik kritis (suhu dan tekanan) untuk melarutkan komponen yang diinginkan. Pelarut yang biasa digunakan pada ekstraksi super kritis adalah CO2 yang relatif murah dan tidak meninggalkan residu. Pada berbagai jenis ekstraksi tersebut, jenis pelarut harus dipilih dengan tepat agar rendemen yang dihasilkan memadai, dan komponen bioaktifnya tertarik dengan baik. Bergantung dari sifat senyawa yang akan diekstrak, maka dapat digunakan pelarut yang bersifat polar, semipolar, dan nonpolar, terutama dipilih dari jenis yang nontoksik.

Antimikroba rempah untuk

keawetan dan keamanan pangan

Antimikroba dalam rempah dapat diaplikasikan untuk pengawet pangan dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung rempah tersebut digunakan sebagai bumbu masakan dan ditambahkan dalam masakan sehari hari. Pengaplikasian rempah sebagai pengawet pangan didasarkan karena selain dapat menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan patogen pangan, penggunaan rempah juga umumnya telah digunakan sebagai salah satu pelengkap bumbu masakan. Bumbu masakan umumnya mengandung beberapa rempah yang dapat bersifat mengawetkan pangan terutama bila kadar airnya tidak tinggi. Komponen yang bersifat antimikroba biasanya juga bersifat sebagai antioksidan sehingga

mencegah pangan dari ketengikan akibat proses oksidasi. Praktik sehari-hari penggunaan rempah sebagai pengawet dapat dilihat pada pembuatan masakan pepes, gulai atau rendang. Biji pala dan kayu manis diaplikasikan pada pengawetan kue karena mempunyai senyawa aldehid yang bersifat sebagai pengawet selain memberikan cita rasa yang sedap. Selain pemanfatannya sebagai pengawet pangan, bahan seperti picung juga dapat dimanfaatkan untuk ditambahkan pada bahan pembersih tangan pekerja di industri pangan karena efektivitas kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yang banyak terdapat pada kulit tangan pekerja.

Cara lainnya adalah dengan membalurkan rempah tersebut dalam bentuk tunggal atau campuran pada bahan pangan yang akan diawetkan. Praktik yang sudah pernah dilakukan adalah membalur ikan kembung dengan bubuk lengkuas untuk memperpanjang masa simpannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan lengkuas dapat memperlambat kerusakan ikan. Kombinasi bubuk lengkuas 2,5 % dan garam 5% dapat mempertahankan kesegaran ikan sampai hari ke-7 dibandingkan

kontrol (hanya garam 5%) yang hanya bertahan 5 hari pada suhu 4°C dengan pembaluran bubuk lengkuas sebanyak dua kali.

Cara tidak langsung adalah dengan menggunakan ekstrak rempah tersebut, dan ditambahkan pada pangan yang akan diawetkan. Akhir-akhir ini banyak senyawa antimikroba yang ditambahkan pada senyawa kemasan pangan. Penambahan tersebut dapat dilakukan dengan menempelkan bahan yang mengandung antimikroba di bagian dalam kemasan atau membentuk lapisan dalam yang mengandung antimikroba. Cara lain adalah dengan menggabungkan senyawa antimikroba tersebut dengan matrik polimer pembentuk kemasan. Polimer yang dapat digunakan misalnya adalah polivinil alkohol (PVA), polietilen desitas rendah (LDPE), etilen vinil alkohol (EVOH) yang merupakan polimer sintetik. Polimer sintetik banyak digunakan karena polimer alami yang tersusun dari protein dan bahan berbasis

polisakarida umumnya lebih mudah terurai. Penambahan bahan plastisizer seperti gliserol, polietilen glikol, dan sorbitol, dapat mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas sehingga kemasan lebih kuat. Film-film yang diproduksi oleh polimer dengan tambahan minyak atsiri yang mempunyai aktivitas antimikroba menunjukkan efek sinergis ketika digunakan. Kemasan dengan sifat antimikroba ini sudah tersedia secara komersial dan digunakan untuk menjaga keawetan dan keamanan pangan dari berbagai produk seperti roti, daging, bahan berbasis susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Referensi

Mawaddah R, Nurjanah S, Rahayu WP. 2008. Kajian hasil riset potensi antimikroba alami dan aplikasinya dalam bahan pangan di Pusat Informasi Teknologi PertanianFATETA IPB. IPB University

Rejeki KS, Candra KP, Saragih B. 2024. Karakteristik rempah dan tantangannya dalam pengembangan bumbu basah instan: sebuah review singkat. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 16(2): 1019

To advertise & be a webinar contact us and book your 2024

To advertise & be a webinar sponsor, contact us and book your 2024 schedule :

To advertise & be a webinar sponsor, contact us and book your 2025 schedule :

Ms. Tissa Eritha - tissa@foodreview.co.id

Ms. Tissa Eritha - tissa@foodreview.co.id

Ms. Tissa Eritha - tissa@foodreview.co.id

Mr. Andang Setiadi - andang@foodreview.co.id

Mr. Andang Setiadi - andang@foodreview.co.id

Mr. Andang Setiadi - andang@foodreview.co.id

MINI DIREKTORI

PT REL-ION STERILIZATION SERVICES

Eliminasi Bakteri Patogen, Sterilisasi, Polimerisasi

021-88363728, 021-8836 3729 021-88321246

yayuk@rel-ion.co.id

www.rel-ion.com

GNT Group B.V.

EXBERRY® is the leading brand of Coloring Foods for the food and beverage industry. Coloring Foods are made from fruits, vegetables, and edible plants using a physical manufacturing process processed with water.

+65 6659 4180

info-singapore@gnt-group.com

www.exberry.com

PT Alfascale Indonesia

Sole Agent and Service Center of OHAUS in Indonesia. At Alfascale, we offer OHAUS products and provide calibration, maintenance, repairs, and expert support to ensure lasting precision.

(021) 45841415

marketing@alfascale.co.id

https://www.qode.bio/alfascaleid/ home

PT. Mitra Kualitas Abadi (Catalyst Consulting) Training, Consulting, Assesment/audit, Mystery Shopping Provider 021-3952 4220

+62 813-8250-7245

info@catalystconsulting.id www.catalystconsulting.id Catalyst Consulting consulting.catalyst Catalyst Consulting

IFF

We create superior flavor, fragrance, food ingredient, and bioscience solutions rooted in science, inspired by nature and perfected through expertise and passion.

+65 9845 7580

https://www.iff.com

https://www.instagram.com/iffinc

https://www.linkedin.com/company/ iff/

http://www.youtube.com/@IFF

PT. Brenntag

We are your food and nutrition partner for innovative and sustainable solutions

Graha Pratama Building, 17th Floor, Jl. M.T. Haryono Kav. 15 12810 Jakarta Selatan Indonesia

brenntag.com

BENEO Asia Pacific Pte. Ltd.

+65-6778-8300

contact@beneo.com

10 Science Park Road #03-21 / 22 / 23 / 24 117684 Singapore

PT KH ROBERTS INDONESIA

At KH Roberts, we leverage our deep expertise in flavour science and strong understanding of consumers’ needs to craft future flavours that deliver delight to consumers around the world.

021 87900778 / 021 89700723

info.id@kh-roberts.com

www.kh-roberts.com

https://www.linkedin.com/company/kh-roberts/

Eriez Australia

Established in 1942, Eriez is a global leader in separation technologies. Our commitment to innovation has positioned us as a driving market force in several key technology areas, including magnetic separation, metal detection and material handling equipment.

+613 8401 7400

www.eriez.com

INSPIRE FOOD BUSINESS

Fresh Food

(Meat & Plant Origin)

Sektor pangan segar, baik yang berasal dari hewani maupun nabati, telah menjadi salah satu prioritas utama dalam industri pangan global. Peningkatan permintaan ini didorong oleh kesadaran konsumen akan pentingnya zat gizi, keamanan, dan preferensi terhadap produk minim olahan. Namun, karakteristik produk segar yang rentan terhadap kerusakan menghadirkan tantangan signifikan, terutama terkait dengan masa simpan, manajemen rantai pasok dingin, dan jaminan kualitas. Tantangan ini justru membuka peluang besar bagi inovasi, khususnya dalam pengembangan teknologi pengawetan alami dan pengemasan cerdas. Oleh karena itu, riset dan implementasi solusi yang efektif sangat diperlukan bagi industri. FoodReview Indonesia edisi mendatang akan membahas topik ini untuk mendukung pelaku industri dalam menjawab tuntutan pasar yang terus berkembang.

Pemasangan iklan, pengiriman tulisan atau berita seputar teknologi dan industri pangan, silakan hubungi:

FOODREVIEW INDONESIA

telepon (0251) 8372333 | +62 811 1190 039

email: redaksi@foodreview.co.id & marketing@foodreview.co.id

Cantumkan nama lengkap, alamat, email dan nomor telepon Anda.

AGENDA PANGAN

SEPTEMBER

17 - 19

September 2025

Fi Asia Thailand

Queen Sirikit National Convention Center (QSNCC), Bangkok

OKTOBER

21 - 24

Oktober 2025

ALLPack Indonesia

JIEXPO, Kemayoran Jakarta

NOVEMBER

5 - 7

November 2025

12 - 15

November 2025

HEATECH Indonesia

JIEXPO, Kemayoran Jakarta

SIAL InterFood Indonesia

JIEXPO, Kemayoran Jakarta

If you have a friend or colleague who would be interested in receiving FoodReview Indonesia, please feel free to share the latest issue, and our special digital subscription offer with them today.

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.