6 minute read

resensi

Next Article
ilmiah

ilmiah

BURUH, TANI, DAN PEMBERONTAKAN

Oleh: Daniel Simanjuntak

Advertisement

Sedikit cerita dalam menemukan buku ini, saya sibuk menjadi pengangguran dan ingin mencari bacaan ringan yang dapat menghilangkan rasa bosan ini. Jadi saya datang ke rumah teman saya, sebut saja namanya Miun. Nah, di rumah Miun ini saya menemukan lemari yang dipenuhi buku-buku. Saya pun mulai melihat-lihat buku −lebih tepatnya membongkar lemari itu. Mata saya langsung tertuju pada buku yang berukuran agak kecil dengan warna biru muda dengan ilustrasi orang-orang yang sedang meminggul sebuah peti.

Singkat cerita, karena mengira buku ini bacaan yang ringan karena buku ini juga lumayan tipis, tak sampai seratus halaman, saya langsung meminjam buku ini untuk sementara. Tetapi setelah membaca habis buku ini, perkiraan saya salah. Buku yang berisi kumpulan cerita pendek ini merangkum sebuah isu yang menarik di dalamnya; Sebuah pergerakan buruh dan petani. “Pemberontakan di Pelabuhan” karya Alexandru Sahia membawa saya kedalam situasi tahun 1930-an di Uni Soviet. Cerpen-cerpen yang terangkum dalam buku yang diterjemahkan Koesalah Soebagyo Toer ini memang berlatar di tahun itu, dimana di masa itu pergerakan politik kiri dan juga revolusi industri kedua sedang kencang-kencangnya. Alexandru pun membuka tirai kemelaratan kaum buruh di masa itu.

“Tapi kegembiraan apa yang dibawanya untuk kita? Kegembiraan apakah, sekalipun sehari bukan hanya keluar satu, melainkan seratus ribu? Perut kaum buruh tetap lapar. Sekalipun orang-orang lain makan.” (Pabrik yang bernyawa, hal 43.)

Ilustrasi: Mar`a

Hujan Juni, Sebuah Perjuangan Ibu

Hujan Juni menceritakan tentang Petre dan Ana, sepasang suami istri yang merupakan petani miskin yang sedang menunggu kelahiran anak ke delapan mereka sembari bekerja di ladang. Ana, sang istri yang sedang hamil besar saat itu tetap membantu suaminya di ladang mereka karena kebutuhan sembilan mulut yang harus diberi makan, belum lagi dengan yang di kandung oleh Ana saat itu. Bahkan, diakhir cerita, kandungan Ana yang ternyata sudah memasuki usia melahirkan pada saat itu terpaksa melahirkan sendirian di atas gerobak jerami di ujung ladang mereka.

Situasi tegang bercampur haru sangat terasa dalam cerita ini, dimana Ana tanpa bantuan siapa pun terpaksa melahirkan anak kembar ketika sedang istirahat bekerja. Belum lagi perjuangan mereka pulang kerumah dalam kondisi badai yang hebat. Ketegangan terjadi ketika kain yang digunakan Ana untuk membungkus bayinya mulai basah terkena hujan dan Ana dengan tangisnya memeriksa bayinya masih bernapas atau tidak.

Dalam cerpen pertama dalam buku ini, saya melihat kepiawaian Alexandru dalam melukis sebuah suasana di dalam tulisan. Walaupun saya yakin hal ini juga berkat keahlian Koesalah Toer dalam menerjemahkan tulisan ini kedalam bahasa Indonesia. Saya dapat merasakan suasana pertanian di sore hari dan yang digambarkan Alexandru dengan apik. Tak lupa pula dengan detail-detail yang diciptakan membuat karya ini semakin “dalam”.

Pemberontakan di Pelabuhan yang Bernyawa

Sebenarnya sub judul diatas menggabungkan antara judul cerpen Pemberontakan di Pelabuhan dan cerpen Pabrik yang Bernyawa. Alasannya sederhana, karena kedua cerpen ini memiliki topik yang sama, yaitu pemberontakan buruh.

Dalam Pemberontakan di Pelabuhan, Alexandru menceritakan tentang kematian Galaciuc, seorang buruh di Pelabuhan yang tewas karena runtuhnya jembatan di tempat kerjanya. Oleh karena kejadian itu, serikat buruh berinisiatif melakukan pemakaman terhadap buruh yang dihormati karena kebaikannya itu. Namun, situasi panas mulai terjadi karena perusahaan tidak memberikan apa apa kepada keluarga Galaciuc, bahkan tidak memperbolehkan mereka memakamkan Galaciuc karena hal itu akan mengurangi jam kerja mereka.

Serikat buruh pun tak merisaukan pernyataan perusahaan tersebut dan bersikeras untuk melakukan pemakaman teman mereka. Bahkan sudah lama mereka tidak memanggil pendeta untuk ikut memakamkan buruh-buruh yang telah meninggal karena takut pendeta akan memberitahukan hal itu kepada penguasa-penguasa pelabuhan.

Namun, ketika mereka berjalan menuju tanah pemakaman melalui jalur yang tak diketahui banyak orang, mereka dihadang oleh pasukan bersenjata yang menghalau mereka untuk menguburkan Galaciuc. Tak dapat dielak, kerusuhan pun terjadi dan mayat Galaciuc berada di tengah pertempuran antara buruh dengan aparat. Galaciuc, hingga saat kematiannya pun tak mendapat hak yang layak untuk dirinya.

Masuk ke dalam cerita Pabrik yang Bernyawa, pemberontakan tetap menjadi inti cerita ini. Kali ini pemberontakan terjadi karena Bozan, seorang buruh di perusahaan pembuat kereta api mengalami kecelakaan dalam kerja dan mengharuskan ia untuk kehilangan kaki kanannya. Tentu saja dengan kehilangan kaki, ia tak bisa bekerja lagi dan perusahaan tidak mau memberikan kaki palsu untuk Bozan. Merasa ketidakadilan yang terjadi, para buruh di perusahaan itu berencana melakukan pemogokan kerja sampai Bozan dapat memiliki kaki palsu sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan.

Rencana pemogokan kerja pun tercium oleh perusahaan, dan lagi lagi, seperti cerita sebelumnya, perusahaan mengirimkan aparat untuk memaksa mereka kembali bekerja. Kekacauan pun terjadi dan aparat tidak segan-segan menarik pelatuk dari laras panjangnya. Cerita pun diakhiri dengan kematian Bozan dalam kekacauan tersebut.

Alexandru membuat sebuah lakon yang terasa dramatis dengan pembabakan cerita yang runut dan enak dibaca. Tak sedikit pula kutipan-kutipan menarik ketika membaca kedua cerita ini. Alexandru pun dapat membuat suasana patriotis dalam ceritanya. Menurut saya hal ini karena permasalahan dalam cerita dapat dibayangkan secara nyata dan masih sering terjadi saat ini, bahkan setelah hampir seratus tahun cerita ini ditulis. Walau cerita ini dapat dikatakan fiksi, tapi saya mendapati masih banyak Bozan atau pun Galaciuc diluar sana yang masih belum mendapatkan haknya yang layak sebagai buruh.

Matinya Seorang Rekrut, Sebuah Keberimbangan yang Dimiliki Alexandru

Menurut saya, dalam empat cerita yang terangkum dalam buku ini, Alexandru menaruh fokus pada ketidakadilan dan buruknya sistem pada masa itu yang mengorbankan hak-hak para kaum proletar. Walaupun dalam cerita Pemberontakan di Pelabuhan dan Pabrik yang Bernyawa yang telah dibahas sebelumnya menaruh pihak bersenjata sebagai antagonis, dalam cerita ini Alexandru mengangkat sisi lainnya dari mereka.

Cerpen yang menjadi cerita terakhir di buku ini menceritakan tentang nasib Serdici, seorang prajurit yang meninggal karena sakit selama masa pelatihannya. Alexandru menceritakan betapa buruknya menjadi serdadu rekrutan di masa itu, mulai dari makanan dan tempat istirahat yang tak layak, dan juga pelatihan fisik yang lebih cocok dikatakan penyiksaan. Serdici, yang kala itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit militer karena sakit yang parah dianggap sebuah kemewahan oleh teman-temann-

mimbar resensi ya. Hal itu dikarenakan Serdici mendapatkan tempat tidur yang nyaman, makanan yang layak, dan tentu saja dapat menghindari latihan militer yang keras. Tetapi sebenarnya penyakit Serdici pun didapat karena pola hidup yang tidak layak yang ia dapatkan selama di barak. Cerita ini semakin terasa sedih karena terdapat surat yang selalu dikirimkan Ibu Serdici padanya. Bahkan dalam surat itu ibu Serdici sudah mengetahui betapa buruknya menjadi serdadu dan menyuruh Serdici untuk kembali ke kampung halaman sebelum nasib buruk menimpanya. Namun semuanya terlambat. Serdici telah menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Mungkin saya sudah menceritakan tentang gaya tulisan yang digunakan oleh Alexandru dalam cerita-ceritanya. Sama seperti ketiga cerita lainnya, gaya yang dipakai Alexandru masih sama dan enak untuk dibaca. Jika dapat menyimpulkan, walaupun agaknya saya kurang berkapasitas untuk itu, saya merasa bahwa tulisan Alexandru Sahia membuat sebuah cerita dengan isu yang kompleks menjadi mudah dipahami tanpa menghilangkan esensi dari kompleksitas tersebut.

Penutup

Ketika membaca semua cerita di buku ini, saya mendapatkan sebuah pandangan menarik dari penulis yang lahir pada Oktober 1908 ini. Menurut saya, tulisan-tulisan Alexandru mengadung sebuah nilai penting dari arti perjuangan dan arti sebenarnya dari kemerdekaan. Ia menaruh keyakinan pada tulisannya, dimana ia menitikberatkan pada ketidakadilan sistem yang terjadi pada masa itu dan harapan untuk menghilangkannya. Sebuah cita-cita untuk bebas dari perbudakan tersirat dari tiap-tiap tulisannya di dalam buku ini.

Tak lupa pula yang membuat cerita-cerita ini semakin dapat dinikmati adalah Koesalah Toer, dimana beliau adalah seorang penerjemah yang sudah diakui oleh dunia. Terbukti ketika Koesalah Toer mendapat penghargaan Pushkin Award dari Presiden Rusia, Vladimir Putin pada 2016 lalu dimana penghargaan tersebut hanya diterima oleh orang yang sudah berkancah di bidang penerjemahan dalam kurun waktu tiga puluh tahun lebih.

Terlepas dari itu semua, saya merasa buku ini sangat bagus untuk dibaca, terutama jika anda adalah tipe orang yang sangat menyukai sastra lama. Tak hanya itu, buku ini juga dapat memberikan persepsi lain dari kenyataan yang terlihat mata selama ini karena praktek ketidakadilan dan perbudakan masih saja terjadi sampai detik ini []

Identitas Buku Buku ini berisi empat cerita pendek didalamnya, antara Hujan Juni, Pemberontakan di Pelabuhan, Pabrik yang Bernyawa, dan Matinya Seorang Rekrut. Rasanya kurang afdol jika resensi ini tidak membahas satu persatu cerpen karya penulis Rumania ini.

Judul: Pemberontakan Di Pelabuhan

Penulis: Alexandru Sahia

Penerjemah: Koesalah Toer

Penerbit: Pataba Press

Tahun Terbit: 2017

Halaman: 98 Halaman

Kategori: Cerpen

ISBN: 978-602-61940-0-8

This article is from: