
2 minute read
editorial
GAGAL PAHAM SEKOLAH INKLUSI
Ilustrasi: Mar’a
Advertisement
Berangkat dari temuan pada pemberitaan di media lokal tentang ditunjuknya 36 Sekolah Inklusi di Kota Pontianak pada tahun 2021, tentu menjadi angin segar. Pasalnya Edi Rusdi Kamtono, Walikota Pontianak mengatakan sekolah yang ditunjuk telah siap menerima peserta didik dengan disabilitas. Jika ditotalkan dengan jumlah sekolah inklusi di tahun sebelumnya, kini Pontianak sudah memiliki 42 Sekolah Inklusi.
Tapi dalam perjalanannya, justru menemukan banyak hambatan dalam penyelenggaran pendidikan yang inklusi bagi anak penyandang disabilitas di Kota Pontianak ini. Dari fasilitas Sekolah yang belum ramah disabilitas, persoalan data, hingga keterlibatan pihak yang ditunjuk dalam Peraturan Walikota (Perwa) Pontianak nomor 8 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Pontianak.
Lantaran, benarkah sekolah inklusi sudah ‘siap’ menerima peserta didik dengan disabilitas seperti yang dikatakan oleh Walikota Pontianak?
Pada akhirnya Perwa ini memaksakan diri untuk menjadi sekolah inklusi karena ketidaksiapan fasilitas dan kemampuan sekolah. Akibatnya, yang diterima hanya disabilitas tertentu saja.
Keberadaan jumlah sekolah yang banyak dengan jumlah peserta didik yang diterima pun dirasa tak sebanding. Tanpa komitmen yang kuat dari semua pihak, pendidikan inklusif tak akan terwujud.
Pemahaman tentang Sekolah Inklusi pun menjadi pertanyaan, dalam Perwa tersebut menyatakan bahwa Sekolah Inklusi adalah sekolah regular yang menyelenggarakan Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelaianan DAN memiliki potensi kercerdasan dan/atau bakat istimewa dalam lingkungan pendidikan atau pembelajaran secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Artinya Perwa tersebut membentuk batasan hanya menerima peserta didik disabilitas yang memiliki kecerdasan dan bakat tertentu saja.
Padahal menurut Anita Woolfok, seorang psikolog khusus pendidikan anak asal Amerika menyebutkan bahwa Pendidikan inklusi berarti pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, atau kondisi lainnya. Pendidikan yang merdeka tak membatasi pada apapun.
Tapi perlu diakui bahwa menciptakan pendidikan inklusif pun tidak semudah membalikan telapak tangan, upaya menghadirkan Sekolah Inklusi perlu diapresiasi, walau pemerintah juga harus segera berbenah terutama soal lingkungan kota yang inklusif, karena tindakan dan karakter inklusif jelas tidak cukup bisa dihasilkan dari sistem pendidikan berbasis kelas semata.
Sikap inklusif harus ditumbuhkan melalui proses yang berkesinambungan dan tanpa lelah. Proses itu, sebagian harus diasah di lapangan. Karena pendidikan Inklusif tidak hanya memerlukan fasilitas yang ramah disabilitas saja, tapi juga lingkungan yang menghargai perbedaan. Maka sembari melengkapi fasilitas yang masih minim ini, kota yang ramah disabilitas pun harus dicapai. Jika tidak, bayangkan jika lingkungan tak mendukung, sekolah inklusi tidak akan menjadi solusi, justru menjadi masalah baru bagi peserta didik dengan disabilitas yang terlanjur ditempatkan sendirian di dalam kelas bersama peserta didik non-disabilitas lainnya.
Menjadi pekerjaan rumah yang besar. Lagi-lagi upaya ini harus diapresiasi, tapi sembari menyiapkan Sekolah Inklusi pula, pemerintah kota harus mengeratkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi untuk pendidikan khusus atau segregasi. Jika Sekolah inklusi belum menjadi solusi mujarab, maka membenahi Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi sangat penting, mengingat wewenang SLB berada dibawah Pemerintahan Provinsi. Dimana saat ini tercatat Pontianak hanya memiliki 5 SLB yang seluruhnya berstatus swasta, Itu pun belum tersedia pula SLB A yang khusus untuk tuna netra dan SLB D untuk tuna daksa.[]