9 minute read

humaniora

Next Article
kampus

kampus

REDAM API, HAPUS RESIDU

Oleh: Mar`atushsholihah

Advertisement

Residu kerusuhan etnis yang terjadi berulang kali antara 1967 hingga 2001 di Kalimantan Barat nyatanya tidak mudah hilang. Meski begitu, hal lain tercipta di organisasi-organisasi Pemadam Kebakaran di Pontianak. Mereka berkembang tidak hanya sebagai pemadam api, tapi juga menciptakan keharmonisan dari beragam status sosial dan identitas yang ada. Para relawan kemanusiaan ini menjadi miniatur bagaimana keberagaman di Kota Pontianak seharusnya.

Dari seberang Sungai Kapuas, merah api menyala dengan laju melalap gudang dan rumah pengasapan karet milik NV Djung Nyan Sung, material yang mudah terbakar membuat api senantiasa merembet ke rumah pemukiman warga hingga nyaris menghanguskan seluruh Parit Madin, Korlap BPK Tritura

Pekong, sebuah perkampungan di pinggir Sungai Kapuas pada 1947.

“Mudah sekali api itu menyebar ke kanan kiri, pemadam api dari pemerintah jauh mau ke sini, sedang Siantan kawasan industri yang banyak ruko nya, mudah sekali menyebar kalau

Foto: Mar`a

ada kebakaran,” ujar Aldo saat ditemui pada Kamis (19/05/22), sambil menunjuk bangunan rumah toko di depan posko Badan Pemadam Api Siantan (BPAS), yang menjadi salah satu bangunan yang pernah mengalami kebakaran besar. Aldo merupakan Koordinator Lapangan BPAS.

Karenanya pada 1948, Than Khie Ho bersama beberapa rekannya pun mendirikan Badan Pemadam Kebakaran Api Seberang, mulanya dinamai demikian sebab lokasinya di Pontianak Utara yang sering disebut masyarakat Kota Pontianak sebagai daerah “Seberang”.

Dengan modal urunan masyarakat sekitar, sebesar dua puluh ribu rupiah mampu membeli dua unit mesin pompa air bekas yang hingga kini masih dirawat bahkan digunakan jika ada kebakaran yang besar.

Bangunan lawas dengan material kayu menunjukan usia BPAS pula, hampir keseluruhan ruangan bernuansa biru, membuatnya kontras dengan warna mobil pemadam kebakaran yang merah menyala.

Hingga saat ini BPAS memiliki 3 posko pemadam kebakaran, BPAS Unit I di Jalan Selat Baru, BPAS Unit II dan Unit III di Jalan Khatulistiwa,. Ketiganya berada di Pontianak Utara.

Sejak awal datang, Posko BPAS Unit II nampak sepi, tak terlihat seorang pun selain Aldo dan satpam yang berjaga di Foto para pendiri BPAS Foto: Mar`a

depan. Karena sepinya, deru kendaraan dan terompet penjual bakpao babi dapat terdengar dengan jelas. Pasalnya para relawan tidak selalu berada di posko, kesiagaan mengandalkan komunikasi radio ataupun pesan singkat, sebab pekerjaan yang mengharuskan mereka siaga dari jarak jauh. Puluhan relawan yang terjaring pun merupakan penduduk sekitar.

“Kami tidak hanya memadamkan api, tapi juga membantu kalau ada pohon tumbang, kehilangan anak, ketumpahan solar, puting beliung, tugas pemadam kebakaran itu banyak,” ujar Aldo.

Kami lalu berkeliling dan menuju lantai dua, letak foto-foto, meja-meja pertemuan, dan tower pemancar radio berada. Di lantai dua posko, terpajang rapi foto keluarga BPAS juga dokumentasi berbagai situasi saat memadamkan kebakaran. Para damkar itu berseragam biru dengan helm sebagai pelindung kepala.

“Seragam kita ini bukan seragam safety untuk damkar, kalau seragam yang safety itu ada yang anti api anti bara, kalau kita cuma seragam biasa hanya untuk identitas,” tunjuk Aldo ke salah satu foto yang terpajang.

Dari sisi kiri ruangan, kami berpindah pada sisi dinding yang lain, tempat bingkat foto paling besar tergantung. Foto keluarga besar BPAS.

“Mayoritas anggota adalah Tionghoa, ada sebagian kecil dari Madura dan Melayu,” jari Aldo menunjuk foto di dinding bagian atas tersebut.

Tapi bagi Aldo keberagaman bukan hanya soal ada tidaknya atau sedikit banyaknya beragam suku dalam satu yayasan damkar, tapi ini soal kerjasama dari damkar yang satu ke damkar yang lainnya.

“Waktu lebaran Idul Fitri kemaren, kami orang Tionghoa yang lebih senggang ini yang siaga, begitupun kalau kami Imlek, sebaliknya, damkar yang isinya orang Madura dan Melayu lebih siaga,” katanya.

Kiprah BPAS mengamankan warga dalam berbagai situasi mendesak menginspirasi para pegiat sosial di Pontianak. Organisasi serupa pun bermunculan tahun kemudian. Saat ini ada 47 pemadam swasta di Pontianak yang tercatat dengan prinsip kerelawanan yang sama. Salah satunya terletak di jalan Tritura, Tanjung Hilir. Dengan nama yang sama, yaitu Badan Pemadam Kebakaran (BPK) Tritura. Hampir semua relawannya beretnis Madura.

Madin sang koordinator lapangan (korlap) duduk di teras rumahnya lengkap dengan seragam dan HT (Handy Talkie) digenggamnya saat dikunjungi pada Kamis (30/06/22), usai bekerja beginilah rutinitas Madin, tak bisa jauh dari radio yang diletakan di ruang tamunya.

“Ini itu istri kedua saya,” ujarnya sambil menunjuk susunan benda berbentuk kotak itu, lalu HT yang tadinya ia genggam, diletakkan di sana. Antena menjulang ke atas atap, sesekali berbunyi ‘kresek’ pertanda radio dinyalakan, dan memang begitu, dua puluh empat jam radio tak pernah beristirahat.

Tepatnya pada 2014, Madin dan rekannya berinisiatif mendirikan Badan Pemadam Kebakaran untuk menjaga daerah Tanjung Hilir dan sekitarnya dari kebakaran yang besar karena jarak pemadam kebakaran yang jauh kerap kali membuat kebakaran yang besar.

Di samping itu Madin ingin menepis stigma terhadap etnis Madura akibat konflik etnis yang melibatkan orang-orang Madura di Kalimantan Barat dan menyisakan stigma dan pelabelan terhadap etnis Madura yang berwatak keras dan tidak dapat bersosialisasi dengan baik.

“Salah satu alasan kamek, terutama di Tanjung Hilir ini kan orang Madura semua, kami sampai dijuluki sebagai kota Texas karena katanya kalau orang lewat sini banyak yang dicegat, padahal tidak ada, saya kan dari lahir di sini,” ujarnya yang disusul dengan penjelasan bahwa yang ia maksud kota Texas adalah kota yang berisi para penjahat.

Usaha Madin dan relawan lainnya yang terdiri dari sekitar 50 orang ini pun ditunjukan dalam pertemuan-pertemuan dengan yayasan pemadam kebakaran lainnya, misalnya pada saat upacara mereka menggunakan peci hitam untuk menunjukan identitas sebagai etnis Madura, tentu dengan tujuan yang ia sebutkan sebelumnya.

Teringat di kepala Madin kebakaran pada tahun 2017 lalu, saat kebakaran besar terjadi di Jalan Gadjah Mada tepat di malam Imlek, kebakaran itu menurunkan banyak damkar, terlebih lokasi yang jauh dari sumber air membuat unit tangki air datang silih berganti. Dalam kondisi itu kerjasama tim dan antar unit pemadam kebakaran harus solid. Madin memandu tim nya dengan bahasa Madura,

begitupun damkar yang beretnis Tionghoa, tak jarang mereka menggunakan bahasa Cina.

“Sampai biasanya itu mengerti apa yang mereka perintahkan dalam bahasa Cina,” ujarnya.

Cerita Madin berhenti disana, ia mengajak kami ke posko BPK Tritura yang tak jauh dari kediamannya, sekitar seratus meter kami tiba di garasi yang berdiri sendiri diantara rumah warga, garasi itu hanya memuat 1 unit mobil damkar, sisa ruang diisi kursi panjang. Satu mobil lainnya diletak-

kan di rumah salah satu relawan karena tempat yang tak cukup besar.

Beragamnya kisah keberagaman dari para relawan damkar ini juga ditemui di pemadam terbesar di Pontianak, yaitu Yayasan Pemadam Kebakaran Panca Bhakti di Jalan Letjend Suprapto, Pontianak Selatan.

Situasi sedang rusuh kala itu, Edi Efendi pada Senin (04/07/22) bercerita ada dua relawan beretnis Madura dan Dayak yang maju paling depan saat Panca Bhakti diminta polisi untuk terlibat dalam Pasukan Anti Huru-hara dalam membubarkan kerumunan dua etnis, yaitu Madura dan Melayu yang rusuh saat konflik suku 1998 di Kalimantan Barat.

Edi yang saat itu menjadi korlap mengatur siasat agar etnis yang berkonflik (Dayak, Madura, dan Melayu) berada di barisan paling belakang agar tidak terjadi kesalahpahaman.

“Tapi dua orang ini yang bersuku Madura dan Dayak maju paling depan, mukanya ditutup pakai helm ini, saya bilang ‘mundur!’, tapi mereka bilang tidak apa-apa yang penting masa bubar

dan mereka pakai helm jadi tidak ketahuan,” cerita laki-laki berusia 56 tahun yang telah menjadi relawan sejak ia dibangku sekolah ini disusul tawa mengenang masa itu.

Edi mengajak kami ke ruang sekretariat, tempat segala arsip dan penghargaan disimpan. Semakin masuk kedalam posko damkar ini, nuansa oriental semakin kental karena adanya bunga sakura imitasi di sudut ruangan, juga panggung sisa perayaan Imlek yang masih terpasang di sisi kiri gedung. Terlihat penghargaan dari Gema Takbir berada diantara penghargaan lainnya.

“Apapun kegiatannya, kami turut memeriahkan, seperti memasang photo booth di halaman depan saat idul fitri juga kami lakukan,” kisahnya. Dari tempat kami berdiri terlihat papan sisa photo booth Idul Fitri yang Edi maksud. Tak hanya turut memeriahkan saja, jika setiap Imlek bingkisan diberikan kepada relawan yang beretnis Tionghoa, maka begitu pula saat Idul Fitri kepada relawan yang merayakan.

“Di sini ada Katolik, Kristen, Buddha, Islam, Konghucu, ada semua, sedangkan Tionghoa sekitar 80 persen, sisanya ada Dayak dan Madura. Mereka kalau ketemu ya suku itu dijadikan bahan candaan karena saking akrabnya,” kata Edi yang kemudian menegaskan bahwa iklim ini terbentuk sebab kerja kerelawanan damkar adalah kerja kebhinekaan.

Bagaimana Mereka Bertahan

“Rata rata kebakaran sekarang itu gak pernah besar lagi, karena saking banyaknya pemadam kebakaran, itu paling besar itu tahunnya pak jokowi berkunjung ke sini, di pasar tengah (kebakarannya),” Edi bercerita yang disusul cerita oleh satu orang rekan lainnya. Usai mendengar cerita tentang kebakaran terbesar di sepuluh tahun terakhir ini, Edi membawa kami berkeliling, melihat garasi mobil pemadam kebakaran yang terparkir rapi, di kanan-kiri garasi tergantung baju damkar lengkap dengan sepatu dan helm.

Dengan anggota lebih dari 200 relawan, Panca Bakti adalah pemadam kebakaran yang memiliki perlengkapan keamanan terlengkap, jingga, coklat susu, dari biru tua, semua seragam itu tersusun rapi di garasi dan di ruang sekretariat.

“Ini yang udah lama, dipakai buat latihan, kalau turun lapangan kita pakai seragam yang baru,” ujarnya menunjuk manekin dengan baju damkar berwarna biru tua.

Satu baju lengkap dengan sepatu, helm dan tabung oksigen seberat 30 hingga 40 kilogram. Selain baju damkar yang lengkap, Panca Bhakti juga memiliki unit mobil damkar yang lengkap pula, yakni dua unit tangki tempur, dua unit mobil suplai, satu unit mobil peralatan, satu unit mobil tangga, satu unit ambulan, satu unit mobil pick up.

Semua perlengkapan dan operasional diberikan oleh dona-

Edi Bercerita seraya menunjukan perlengkapan pemadam kebakaran milik Panca Bhakti Foto: Mar`a

tur tetap maupun dari jalinan kerjasama. Disamping itu beberapa mobil juga pernah disumbangkan ke beberapa yayasan pemadam kebakaran di Kota Pontianak dan sekitarnya.

“Sebelumnya banyak yang sudah disumbangkan, misalnya ke Siaga, Punggur ada satu unit, Jeruju juga satu unit, Kakap, terus Segedong, dan Jungkat,” lanjut Edi seraya menunjukkan isi mobil damkar.

Namun hanya Panca Bhakti yang cukup beruntung, damkar swasta lain di Kota Pontianak tidak memiliki perlengkapan yang aman dari api dan bara saat bertugas, untuk keperluan operasional pun perlu banyak cara agar tetap bertahan. Seperti bahan bakar misalnya.

“Kami pernah mengadakan iuran kepada warga di sekitar Jalan Tritura sebesar 5000 rupiah per rumah, yang kami pungut tiap bulan, tapi akhirnya tidak berlanjut karena dikomplain oleh beberapa orang. Ya sekarang kami buat proposal dan lain-lain, itu biar kami bisa jalan. Ya minimal buat beli bahan bakar lah,” ini cerita Madin dari Tritura.

Lain Tritura, lain pula BPAS, Korlap BPAS, Aldo mengungkapkan semakin kesini, donatur tak sebanyak seperti dahulu, lahan sumbangan donatur di belakang posko BPAS pun disewakan untuk biaya operasional BPAS. Sisanya, sumbangan masyarakat sekitar.

“Di sana menjual berbagai jenis makanan halal dan non halal, yang menyewa pun kebanyakan dari relawan BPAS sendiri,” ujar Aldo.

Walau begitu, prinsip kerelawanan damkar swasta ini tak pernah luntur sejak kapan berdiri, tak bergaji, pun harus selalu siaga dua puluh empat jam setiap radio berbunyi dan sirine memanggil. Militansi ini rupanya dibarengi dengan keberagaman yang kental. []

This article is from: