13 minute read

utama

Next Article
resensi

resensi

LATAH KELOLA SEKOLAH INKLUSI

Oleh: Mar`atushsholihah

Advertisement

Salah satu peserta didik dengan disabilitas sedang bicara dengan gurunya. Foto: Mar’a

42 Sekolah dari tingkat TK-PAUD, SD dan SMP telah ditunjuk menjadi Sekolah Inklusi oleh Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono. Tapi program yang baik ini tidak sesempurna kelihatannya, persoalan data, anggaran, dan ketidak siapan ditemui di sekolah-sekolah.

Sejak tahun 2020, untuk menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menunjuk enam sekolah sebagai sekolah percontohan atau pilot project dalam pelaksanaan Sekolah inklusi, diantaranya PAUD Terpadu Pontianak Barat dan TK Jalan Selayar Pontianak Selatan, SDN 06 dan SDN 34 Pontianak Selatan serta SMPN 2 Pontianak Selatan dan SMPN 23 Pontianak Selatan. Kebijakan ini dilanjutkan dengan pengesahan Peraturan Walikota (Perwa) Pontianak Nomor 85 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Pontianak.

Merujuk Perwa No 85 Tahun 2020, Sekolah Inklusi adalah sekolah reguler pada satuan Pendidikan usia dini, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah yang menyelenggarakan Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan / atau bakat istimewa dalam lingkungan pendidikan atau pembelajaran secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pemerintah Kota (Pemkot) berhak menunjuk sekolah negeri maupun swasta sebagai sekolah inklusi di tingkat PAUD hingga SMP. Pemkot juga berkewajiban menjamin tersedianya sarana dan prasarana serta aksesibilitas pendidikan inklusif, termasuk pembiayaan, serta peningkatan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah yang telah ditetapkan. Pemkot juga

harus memfasilitasi kerjasama kepada berbagai jaringan seperti pusat sumber dan berbagai pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan sekolah inklusi ini.

Setiap anak dengan disabilitas yang diterima di sekolah inklusi didampingi oleh Guru Pembimbing Khusus atau GPK dalam kegiatan belajar anak serta berkoordinasi dengan Pusat Sumber Pendidikan Inklusi untuk membantu monitoring dan evaluasi. Sumber Pendidikan Inklusif di Kota Pontianak yang telah ditunjuk yakni Unit Pelaksana Teknis Layanan Disabilitas dan Asesmen Center (UPT LDAC), Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Provinsi Kalimantan Barat, dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Asih Pontianak. Namun dalam Keputusan Walikota Nomor 260 / Disdikbud / Tahun 2022 hanya menyebutkan UPT LDAC. Hingga kini total terdapat 42 penyelenggara Sekolah Inklusi di Pontianak dan setidaknya 83 guru sebagai Guru Pendamping Khusus (GPK).

Salah satu sekolah Inklusi adalah SDN 31 Pontianak Barat. Sekolah ini ditunjuk pada 2022 dan kini telah menerima 1 Peserta Didik Penyandang Disabilitas (PDPD) bernama Abdurrazak. Ina Andika, satu dari dua GPK menceritakan mulanya terdapat beberapa wali murid mendaftarkan anaknya yang kebutuhan khusus di SDN 31 Pontianak Barat, namun selain Abdurrazak tak ada yang diterima lagi, pasalnya hanya Abdurrazak yang memiliki surat rekomendasi dari UPT LDAC.

“Kemarin itu ada sekitar 3 atau 4 orang tua yang daftar ke sini karena dia beranggapan sekolah ini sekolah inklusi jadi bisa

Foto: Mar’a Ina, salah satu GPK di Sekolah Inklusi SD Negeri 31 Pontianak

anaknya masuk di sini, tapi orang tua tersebut tidak ke LDAC, jadi kita sarankan ke sana dulu,” cerita Ina yang kemudian disusul isak tangis kecil saat ditemui di ruangannya (28/7/22).

Ina mengaku tidak tega untuk menolak siswa tersebut, tapi Ina pun tidak memiliki cara lain. Fasilitas sekolah yang tidak

mendukung dan ketiadaan pengalaman menjadi GPK tentu menjadi pertimbangan pihak UPT LDAC.

“Dari LDAC kesini dulu, meninjau kondisi sekolah kami, ya seperti jalan untuk kursi roda kan belum ada, jadi anak yang tuna daksa itu belum bisa masuk ke sini, ya seperti Abdurrazak saja yang bisa kami tangani itu yang direkomendasikan,” ujarnya seraya menyeka air matanya dengan tisu.

Usai kelas berakhir, Ina menenteng beberapa buku yang ia gunakan saat mengajar, di antaranya terselip ‘Diary Abdurrazak’ yang ia tulis sendiri. Di buku diary ini lah, Ina menjelaskan perkembangan Abdurrazak dari hari ke hari dan dalam tiga bulan akan menjadi bahan pelaporan progress kepada LDAC.

Ina tak sendiri, ada Erna Triana yang juga ditunjuk sebagai GPK di SD 31 Pontianak. Kedua guru ini bertanggungjawab sebagai wali kelas di kelas 1 dan 2, tujuannya agar pendampingan terhadap ABK lebih mudah.

“Karena kan Abdurrazak ini masih kelas satu, jadi yang awalnya saya adalah wali kelas 5, diturunkan ke kelas 1, supaya lebih mudah mendampingi Abdurrazak, sedangkan Bu Erna di kelas 2, jadi ketika Abdurrazak naik kelas 2, ada Bu Erna di sana, saya menyambut siswa ABK yang baru lagi di kelas 1,” jelas Ina. Abdurrazak merupakan ABK dengan hambatan perkembangan intelektual.

Tak ada kesulitan bagi Ina mengajar Abdurrazak, walau begitu ada keresahan dari Ina kedepan jika hanya GPK yang ditunjuk yang dapat mendampingi siswa ABK saja. menurutnya ketika sekolah tersebut telah dinobatkan menjadi sekolah Inklusi maka seluruh guru di dalamnya harus inklusi pula.

“Bagaimana kalau nanti siswanya lebih dari dua, sedang kami hanya berdua, jadi kalau sekolah itu sudah ditunjuk sebagai sekolah inklusi ya semua gurunya harus mampu mengajar ABK, jadi yang ikut pelatihan kalau bisa ya semua guru, jadi semua guru bertanggungjawab untuk ini,” tegasnya.

Fasilitas tangga landai/ramp SMP Negeri 02 Pontianak

Foto: Mar’a

Tak banyak hal yang berbeda dengan SD 31 Pontianak Barat, di tingkat TK, tepatnya TK Negeri Pembina Pontianak Barat juga belum ada fasilitas yang ramah disabilitas. Di TK ini hanya ada satu orang GPK, yakni Anggreiny Afna Yulanda atau akrab disapa Anggi.

“Kita nggak ada persiapan untuk anak-anak disabilitas. Sedangkan saya sendiri ini orang kantor, jadi sebenarnya ngga ngajar, saya ngajar kalau gurunya berhalangan, saya yang gantikan,” jelas Anggi (29/7/22). Walau begitu, TK Negeri Terpadu sudah menerima satu orang ABK tanpa surat rekomendasi UPT LDAC.

“Dia daftar dan diterima karena kan kita nggak bisa nolak. Emang di sini kita nggak bisa nolak (jika ada yang mendaftar),” jelas Anggi. Adit adalah anak yang dimaksud Anggi. Adit di diagnosis autisme.

Mastianti, Ibu Adit menceritakan bahwa ia tidak ngetahui perihal surat rekomendasi dari LDAC sebagai persyaratan pendaftaran. “Waktu itu terapi selama 8 bulan gratis di Autis Center, setelahnya harus daftar ulang lagi dan nunggu daftar tunggu lagi karena kuotanya terbatas dan harus bergantian dengan anak-anak lainnya yang mau diterapi. Karena Adit saya lihat bisa di sekolah kan, jadi saya coba sekolahkan saja,” cerita Mastianti, Ibu Adit.

SMP Negeri 2 Pontianak Selatan yang merupakan satu dari 6 pilot project sekolah inklusi memang memiliki fasilitas sarana dan prasarana lebih baik. Dengan gedung baru pasca renovasi besar, ia memiliki akses kursi roda, toilet duduk dan dua buah kursi roda. Sekolah ini telah menerima sebanyak 3 ABK sejak tahun 2021.

Meski begitu, Muhardi sebagai GPK mengaku tidak bisa selalu mendampingi ketiga siswa disabilitas yang ada karena tugas utamanya adalah sebagai guru agama Islam. “Kita di

sini hanyalah guru pendamping, karena kan kita guru mapel yang ditugaskan untuk mendampingi anak-anak, karena secara keilmuan kita belum siap, semua Guru Mapel lah yang lebih banyak porsinya menghadapi ABK ini,” cerita Muhardi (27/7/22).

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai GPK, Muhardi mengaku terbantu oleh guru-guru mata pelajaran yang hampir semuanya telah mendapatkan Bimbingan Teknis (Bimtek) sekolah inklusi. Bimtek tersebut diadakan oleh SMP Negeri 2 secara internal dengan pembicara dari UPT LDAC.

“Sekolah menghadirkan semua guru di sini untuk ikut semacam Bimtek, dengan narasumber dari LDAC. Dihadirkan semua guru, agar semua guru tahu tentang proses asesmen maupun proses pembelajaran untuk anak ABK, cara buat RPP segala macam,” jelas Muhardi, setelahnya ia segera masuk ke ruang kelas melanjutkan mengajar saat bel berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai.

LDAC Menjadi Wadah Seleksi ABK yang Ingin Bersekolah

Program Sekolah Inklusif menempatkan UPT LDAC sebagai bagian penting. Ia juga sebagai satu-satunya sumber pendidikan inklusi yang melakukan monitoring dan evaluasi secara langsung, tugasnya dimulai dari meningkatkan kapasitas GPK, evaluasi hingga merekomendasikan siswa ABK untuk diterima di sekolah terkait. UPT LDAC juga menjadi gerbang pertama untuk menentukan apakah seorang ABK dapat bersekolah di sekolah inklusi atau tidak.

Dalam program Sekolah Inklusi, UPT LDAC melakukan asesmen pada ABK guna mengetahui tingkat kemampuan ABK. Hasil dari asesmen berupa rekomendasi tertulis dan tidak tertulis. Bagi siswa yang dinyatakan mampu mengikuti sekolah inklusi, maka mendapatkan

Autis Center kini menjadi UPT LDAC Foto: Mar’a

surat rekomendasi, jika dinyatakan tidak dapat mengikuti sekolah inklusi maka rekomendasi tidak tertulis ke SLB ataupun ke layanan terapi. Surat rekomendasi itu kemudian dilampirkan saat pendaftaran sekolah inklusi atau PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).

Sejak PPDB Tahun Ajaran 2021/2022 hingga PPDB Tahun Ajar 2022/2023, UPT LDAC hanya melakukan assessment pada 31 calon peserta didik penyandang disabilitas (PDPD)/ABK. Pada 2021, 11 ABK diasesmen dan 4 ABK direkomendasikan ke TK Inklusi, 1 ke SD inklusi dan 3 ke SMP Inklusi. Sementara 3 ABK masuk kategori lain-lain. Pada 2022, 5 orang direkomendasikan ke SD Inklusi, 2 orang ke SMP inklusi sementara 4 orang ke SLB, 5 orang diterapi dan 4 masuk ke lain-lain.

“Karena kita di sini menyeleksi menyesuaikan dengan kemampuan GPK yang ada di sekolah,” jelas Yulian saat ditemui di ruangannya (26/7/22).

Pada tahun 2020, awal ditunjuknya 6 sekolah inklusi, UPT LDAC hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada anak penyandang disabilitas tuna daksa, di tahun 2022 beberapa ABK dengan keterbelakangan mental ataupun lambat belajar dapat diterima jika dalam kondisi yang tidak terlalu parah.

Selain mempetimbangkan kemampuan GPK dan ketersediaan sarana dan prasarana, setiap sekolah inklusi hanya memiliki hanya memiliki kuota penerimaan sebanyak 2% untuk PDPD dari keseluruhan pendaftar, 2% ini termasuk dalam kelompok afirmasi.

Namun jika sekolah inklusi sudah terlanjur menerima PDPD tanpa melewati UPT LDAC maka sekolah harus memberikan surat pengantar untuk dilakukannya asesmen dan pendampingan. “Memberi surat pengantar kepada anak yang bersangkutan untuk bisa diasesmen dulu ke sini,” tegas Yulian.

Namun menurut Yulian, Kasubag TU UPT LDAC, ia menyadari tak semua sekolah sudah dikatakan siap, hal ini yang membuat UPT LDAC tidak banyak memberikan surat rekomendasi, sehingga dalam satu tahun, PDPD yang direkomendasikan tidak mencapai angka 10 orang.

“Terus terang ada beberapa sekolah yang tidak cukup syaratnya. Tapi ya mau ndak maulah karena kita ditugaskan oleh Dinas, kita jalankan dulu programnya, minimal SDM-nya dulu yang kita siapkan, dilatih melalui Bimtek (Bimbingan Teknis) beberapa hari, dilanjutkan lagi dengan OJT (On Job Training),” tuturnya. Sejauh ini Bimtek dan OJT dilakukan satu kali dalam setiap periode tahun ajar semenjak diterbitkannya Perwa.

Yulian juga menjelaskan, penunjukan GPK dari unsur guru kelas dan mata pelajaran di sekolah masing-masing dikarenakan Pontianak belum memiliki Guru dengan lulusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) yang dapat ditugaskan secara khusus menjadi GPK, oleh karena itu Yulian berkata UPT LDAC tidak serta merta melepas GPK yang sudah dipilih begitu saja usai Bimtek dan OJT. Semua GPK didampingi secara langsung oleh UPT LDAC.

“Kita agak berbeda dengan ketentuan yang secara nasional atau contoh dari PLDPI (Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi) di Solo misalnya. Di sana GPK diangkat dalam formasi. Kalau dia sebagai pegawai dia diangkat dalam formasi sebagai Guru Pendamping Khusus nama nomenklatur jabatannya. Tapi itu dengan latar belakang pendidikan minimal S1 PLB. Sementara guru-guru kita di sini tidak bisa. Jadinya mereka hanya sebagai tugas tambahan,”

Sekolah Inklusi hanya untuk ABK “Tertentu”

Penunjukan 36 sekolah pada tahun 2021 pasca ditunjuknya 6 sekolah pilot project membuat total Sekolah Inklusi Per TA 2022/2023 sebanyak 42 institusi dari Kelompok Bermain, TK, SD hingga SMP. Penunjukkan 36 sekolah dilakukan untuk memudahkan akses ABK dan dianggap sudah siap menerima ABK.

Menurut Kepala Seksi Pembinaan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Pontianak, Hermawan Eko Wibowo, adanya sistem zonasi pula yang menjadi alasan penunjukkan 36 sekolah tersebut.

“Dilihat dari lokasi sekolah dan jalanannya yang mudah diakses, jadi ada upaya untuk mendekatkan lokasi sekolah inklusi secara merata, karena saat ini juga sudah ada sistem zonasi,” katanya saat ditemui di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak pada Rabu (10/8/22).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Pontianak. Sebaran sekolah inklusi di Pontianak yaitu di Kecamatan Pontianak Timur 5 sekolah, Pontianak Kota 9 sekolah,

Foto: Mar’a

Pontianak Tenggara 6 sekolah, Pontianak Barat 7 sekolah, Pontianak Selatan 14 sekolah, sementara di kecamatan terbesar yaitu Pontianak Utara, hanya 7 sekolah inklusi.

Menanggapi hal ini, Hermawan mengatakan bahwa Sekolah Inklusi ini hanya untuk kelompok ABK tertentu saja, sehingga tidak semua ABK yang tercatat di Dinas Sosial Kota Pontianak maupun Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong dapat mengikuti pendidikan inklusif, karena spesifikasi setiap data yang berbeda.

“Pendidikan Inklusi di tempat kita ini Pendidikan Inklusi tertentu, misalnya ABK memiliki cacat fisik tetapi dalam penerimaan pembelajaran ini masih bisa kita tangani, karena perlu juga guru pendamping, sedangkan guru-guru pendamping untuk anak anak inklusi ini kan kita masih terbatas,” jelasnya.

Di Kota Pontianak menurut Data dari Dinas Sosial Kota Pontianak, Anak Berkebutuhan Khusus semua jenis usia 0-15 tahun sebanyak 82 ABK. Angka ini merupakan angka total ABK yang ada di Pontianak baik yang bersekolah maupun tidak bersekolah. Namun angka tersebut dinilai tidak menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Hal ini dikarenakan gap yang besar jika dibandingkan dengan data siswa SLB di Kota Pontianak tahun ajaran 2022/2023 sebesar 519 peserta didik yang terdiri dari 334 laki-laki dan 185 Perempuan. Data peserta didik SLB tersebut diambil dari Data Pokok Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendi-

dikan Menengah, Kemendikbud Ristek.

Hermawan menambahkan, dalam proses pengembangan sekolah inklusi ini juga menyesuaikan kebutuhan siswa yang telah diterima di setiap sekolah. Tak semua sekolah dapat dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung ABK secara bersamaan. Saat ini berfokus pada kelengkapan fasilitas gedung seperti tangga landai dan kamar mandi.

“Sebelum ditunjuk (sebagai sekolah inklusi) kita sudah merencanakan bahwa setiap merehab dan membangun sekolah baru, maka kita mewajibkan adanya ramp (tangga landai) dan kamar mandi yang bisa untuk kursi roda, dan itu pelan-pelan karena tidak mungkin sekaligus kita rehab semua karena kita juga butuh pendanaan yang cukup besar,” jelasnya. Sedangkan pengadaan fasilitas seperti kursi roda tidak menjadi fokus utama.

“Ada seperti di SMP 2 itu sudah punya kursi roda bantuan dari PKK, tapi kita tidak fokus ke sana,” katanya.

Bicara soal anggaran, GPK yang ditunjuk dalam Surat Keputusan Wali Kota tidak mendapatkan insentif tambahan dikarenakan Sekolah Inklusi tertentu ini hanya menerima siswa yang masih dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga tidak memerlukan penanganan yang intens.

“Karena kita juga inklusi tertentu, inklusi yang masih bisa mengikuti pelajaran, jadi sebenarnya tidak ada spesifik guru yang menangani, tapi yang ada guru yang ikut membantu untuk siswa inklusi ini. Kita masih dalam jangkauan bahwa mereka ini seperti siswa pada umumnya, ya mungkin setiap guru bisa menghandle,” terangnya.

Hermawan menyamakan tugas GPK seperti tugas Wali kelas yang merupakan bagian dari tugas pokok guru, tidak bisa dibedakan.

“Karena itu juga masuk ke dalam tugas pokok, ga bisa kita bicarakan soal anggaran ini karena sensitif,” Pungkasya.

Namun saat dikonfirmasi kepada Walikota Pontianak, Edi mengatakan GPK telah memiliki insentif khusus. “Terkait guru pendamping ini ada insentifnya, sama hal nya dengan insentif tambahan yang lain, harusnya sudah (diberikan) sama seperti yang lain. Nanti saya cek lagi,” ucapnya melalui wawancara eksklusif pada Kamis (11/8/22) di Kantor Walikota Pontianak.

Dalam Perwa nomor 85 tahun 2021 menyebutkan Rumah Sakit Jiwa Sungai Bangkong Provinsi Kalimantan Barat yang sekarang telah menjadi UPT Klinik Utama Provinsi Kalimantan Barat dan SLB Dharma Asih sebagai sumber pendidikan sekolah inklusi, bersama dengan UPT LDAC.

Namun setelah dikonfirmasi, UPT Klinik Utama dan SLB Dharma Asih tidak mengetahui adanya Perwa tersebut begitupun keterlibatan mereka didalamnya. Menurut Hermawan, Sekolah Inklusi masih bisa ditangani oleh UPT LDAC sehingga belum melibatkan dua sumber pendidikan lainnya.

Kami menemui Suyanti, Kepala Sekolah SMP Dharma Asih bagian B yang dikhususkan untuk tuna rungu. Suyanti mengaku belum adanya sosialisasi terkait hal tersebut.

“Tapi ya kita mendukung adanya perwako itu, siapapun yang memerlukan informasi, instansi manapun, sekolah mana pun, jika memerlukan pendampingan bahasa isyaratnya ya bisa. Tapi sejauh ini untuk sekolah inklusi ini belum ada, barangkali di sana sudah tertangani dengan baik dan itu tidak apa,” katanya saat ditemui di ruangannya pada Rabu (3/8/22).

Yosephina, Kasubag TU UPT Klinik Utama Provinsi Kalimantan Barat berharap agar melibatkan UPT Klinik Utama dalam pertemuan mengenai pembahasan sekolah Inklusi tersebut.

“Mungkin kedepannya kalau kita juga dilibatkan dalam perwako ini, sebaiknya kalau ada

Perlu Meningkatkan Koordinasi dan Perbaikan Data

This article is from: