
4 minute read
kampus
Foto: Ifdal
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting bagi perkembangan Sumber Daya Manusia, sebab pendidikan merupakan wahana yang digunakan untuk membebaskan seseorang dari keterbelakangan. Pendidikan pun diyakini mampu menanamkan kapasitas baru bagi semua kalangan, termasuk kelompok disabilitas. Upaya tersebut telah diterapkan dengan lahirnya berbagai regulasi yang menerapkan pendidikan inklusi di segala jenjangnya, tak terkecuali dunia perkuliahan.
Advertisement
“
Seuntai Harapan
Menuju Kampus Inklusi
Oleh: Monica Ediesca dan Yosi Rima Riana
Namun sayangnya, ruang inklusivitas yang digadangkan dapat menjadi sistem pendidikan berkeadilan tanpa diskriminasi ini menuai banyak hambatan dalam pengimplementasiannya.
Merujuk pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi (Menristek) dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017, dijelaskan bahwa pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus di perguruan tinggi diterapkan guna meningkatkan mutu pendidikan dari berbagai latar belakang. Tidak melulu tentang pembangunan fasilitas yang ramah disabilitas, pada Pasal 11 Ayat 1 ditegaskan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi kependidikan wajib memasukkan materi, kajian, pokok, bahasan, atau mata kuliah pendidikan inklusi dalam kurikulumnya. Pada Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2016, secara garis besar dijelaskan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, jenjang, serta mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Menindaklanjuti hal itu, di implementasikanlah regulasi tersebut oleh beberapa universitas yang telah terverifikasi menjadi universitas ramah disabilitas, dinilai dari fasilitas, layanan, dan pengajarannya. Universitas tersebut diantaranya adalah Universitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Indonesia. Namun sayangnya, seuntai harapan akan dunia pendidikan yang inklusi itu belum terlaksana dengan maksimal oleh Universitas Tanjungpura (Untan).
Hal tersebut pun disampaikan oleh Ahdha Sartika, Relawan Juru Bahasa Isyarat (JBI) Pontianak ketika menceritakan pengalamannya menemani Ade Muhammad Fahrizan saat ingin melakukan tes masuk Untan jalur mandiri. Walau Ade merupakan seorang penyandang tuna rungu, tak menyurutkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan. Namun saat hari pendaftaran tiba, Ade sedikit memiliki kesulitan saat ingin berkomunikasi kepada panitia penyelenggara karena mereka tidak mengetahui apa yang sedang ia bicarakan.
Setelah melakukan komunikasi melalui pesan yang dituliskan Ade di kertas, panitia mengerti bahwa kehadiran Ade ialah ingin mempertanyakan apakah calon peserta disabilitas diperbolehkan untuk mengikuti ujian mandiri atau tidak, menimbang formulir pendaftaran ujian tersebut tidak memberikan kolom penyandang disabilitas. Dengan keterbatasan panitia untuk mengerti bahasa isyarat yang Ade lontarkan dan tidak adanya tenaga kerja di Untan yang dapat memahaminya, Ade diperbolehkan mengikuti ujian tersebut dengan catatan ada seseorang yang dapat mendampinginya.
“Saat itu diarahkan, kalau Ade ini bisa mengikuti ujian mandiri di Untan jika ada yang mendampingi. Akhirnya saya yang menemani walau secara keseluruhan semua bulir pertanyaan itu Ade semua yang menjawab, menimbang Ade adalah penyandang disabilitas tuna rungu yang masih bisa membaca dengan lancar,” ceritanya (30/7/2022).
Bagi Tika, Ade merupakan salah satu kisah yang menggambarkan ketidaksiapan sebuah universitas dalam mengimplementasikan pendidikan ramah disabilitas. Menurutnya, ruang inklusi tersebut mencakup segala aspek, salah satunya dapat dimulai dengan menghadirkan layanan publik yang dapat berinteraksi langsung dengan seseorang penyandang disabilitas. Tak hanya itu, Tika juga menganggap terdapat beberapa hal yang menurutnya keliru apabila ingin menciptakan pendidikan inklusi.
“Kalau mau menciptakan ruang inklusi, yang wajib belajar bahasa isyarat atau mengerti teman-teman disabilitas bukan hanya pengajar, karena pasti akan keteteran. Kalau mau inklusi, ya semua (read - siswa dan masyarakat di lingkungan pendidikan) diwajibkan dapat berbahasa isyarat,” tegasnya.
Menilik dari kasus Untan, Tika menambahkan agar instansi pendidikan tidak mengelompokkan antara seorang penyandang disabilitas dan non-disabilitas, namun yang terpenting adalah mendukung akses yang dapat digunakan oleh siapapun, baik fasilitas maupun pendidikan.
Adapun Ade, calon peserta yang mendaftar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Untan ini mengatakan bahwa ini adalah kali keduanya mencoba mendaftar universitas. Walau memiliki latar belakang penyandang disabilitas, ia tidak ingin menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan berkembang.
Namun nasib baik belum berpihak padanya. Meski hasil menyatakan bahwa ia tidak lolos untuk masuk perguruan tinggi Untan melalui jalur ujian mandiri, Ade mencoba mendaftar ujian masuk jalur alokasi dengan mengambil Prodi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Untan, atau Universitas Terbuka (UT) yang menurut penuturannya lebih ramah akses perkuliahannya karena dilakukan secara daring.
“Alasan saya mau ambil politik, karena saya ingin mengubah dan menegakan regulasi yang ada agar selalu ramah terhadap kelompok siapapun. Khusus untuk teman disabilitas, saya ingin menginspirasi untuk terus mengutamakan pendidikan selama itu semua masih bisa diusahakan,” ujar Ade menggunakan bahasa isyarat, yang diterjemahkan oleh Tika.
Perlu Digencarkannya Pendidikan Inklusi
Di tengah wawancara bersama Tika, hadir Figo Auril yang merupakan Ketua West Borneo Deaf Community (WBDC) menghampiri kami. Sambil melemparkan segaris senyuman, Figo mulai memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa isyarat. Lentik jari dan raut wajahnya yang ekspresif, menularkan semangat untuk kami mendengarkan rentetan cerita yang akan ia bagikan.
Laki-laki berusia 19 tahun ini merupakan penyandang tuna rungu, lulusan SMALB Pontianak yang saat ini belum berkesempatan melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas. Hal tersebut bukan tanpa alasan, Figo mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan izin dari orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya karena khawatir bahwa akses yang diberikan oleh pihak universitas kepada anaknya.
“Mama saya ga percaya karena di sana ga ada akses JBI, takutnya nanti saya bingung dan kesusahan,” ungkap Figo menggunakan bahasa isyarat, yang diterjemahkan oleh Tika.
Fenomena tersebut pun dijelaskan oleh Tika yang mengatakan bahwa kekhawatiran ini dikarenakan sikap pesimis orangtua dengan keterbatasan akses komunikasi di lingkungan pendidikan, atau cemas apabila anaknya tidak akan diterima di lingkungan pergaulan.
“Kebanyakan pendidikan tinggi atau orang tua itu cemas duluan kalau ada siswa penyandang disabilitas, udah pusing mikirin tenaga pengajar. Padahal mereka tidak memerlukan guru khusus, cukup dilengkapi pendamping saja. Terlebih banyak dari mereka yang tidak ingin membuka diri, padahal yang paling penting adalah pendekatan dan membuka akses itu,” tambahnya.
Dipenghujung wawancara, besar harapan Tika agar pendidikan Indonesia dapat menggaungkan kembali tujuan awal regulasi inklusi dalam membentuk sebuah lingkungan yang baik, agar pemuda penerus bangsa seperti Ade, Figo, maupun teman-teman disabilitas lainnya dapat menerima layanan publik dan mengenyam pendidikan dengan semestinya.[]
