
4 minute read
sastra
HARUSKAH AKU MENJADI MANUSIA ?
Oleh: Zulfikar Suardi
Advertisement
Hiruk-pikuk suasana jalan siang itu, ban mobil yang dibakar, massa yang memblokade jalan, ditambah dengan terik matahari menyengat tubuh membawa dua pemuda berteduh di bawahku. Sekilas aku sudah tahu apa yang terjadi, aksi demonstrasi dengan dalih “menyampaikan aspirasi” masyarakat. “Semoga aksi kita ini bisa didengar oleh pemerintah, agar tuntutan yang kita suarakan melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat” ucap seorang pemuda dengan wajah tersenyum puas. “Aku bangga bisa mewakili suara dan keresahan masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah” ucap pemuda satunya sambil menyedot es teh yang dimasukkan ke dalam plastik.
Tidak henti-hentinya Aku mendengar ucapan seperti itu. Jujur saja, selama 50 tahun terakhir, aku sudah mendengar ucapan serupa setiap kali aksi demonstrasi terjadi. Aku senang, aku terharu, dan kadang aku berpikir aku ingin menjadi manusia seperti mereka. Dengan misi yang mulia, untuk memperjuangkan nasib rakyat. Tapi dalam 10 atau 20 tahun kemudian, kuperhatikan mereka, hanya kekecewaan yang kudapat. Ucapan yang pernah mereka katakan dengan bangga sangat gampang dilupakannya ketika sudah menyangkut masalah perut. Tentunya mengurus hidup sendiri lebih utama dibanding mengurus hidup orang lain. “Keputusanku untuk tidak menjadi manusia memang sudah benar” batinku.
*** Sudah menjadi takdirku untuk merasakan kesakitan yang hebat dalam proses penuaan. Aku menolak untuk menjadi tua, warna kuning cerah dan bentuk yang indahku membuat manusia terpukau. Aku tidak ingin menua hanya untuk menjadi terbuang, rapuh dan dihembuskan angin. Setiap kali proses itu terulang, ingatanku tentang kehidupan manusia yang penuh kemunafikan terus terlintas melalui seeds ball ku. Aku adalah dandelion, dandelion tua yang siap diterbangkan angin untuk lagi-lagi menjelajahi kehidupan manusia. Angin menerbangkanku menyusuri kehidupan manusia. Aku melihat banyak hal tentang perbuatan manusia. Melihat kemunafikan para pejabat yang hanya peduli dengan perutnya. Melihat bagaimana manusia mengumpat satu sama lain. Melihat bagaimana manusia menari-nari diatas penderitaan sesamanya. Manusia memang makhluk yang sombong, memiliki kelebihan sedikit saja membuat mereka menindas yang lain. Hal yang paling menyesakkan adalah melihat manusia yang otaknya hanya dipenuhi selangkangan. Berani berbuat, tapi tak berani bertanggungjawab. Sesak melihat calon penerusnya terbunuh di dalam perut atau mati bersama ibunya. Sementara yang lainnya sibuk mengulangi fase
yang serupa. Aku takut, sungguh takut menjadi manusia. aku takut akan terlahir dengan kekurangan fisik yang akan membuatku ditindas dan dijauhi. Aku takut apabila menjadi manusia yang serakah. Menjadi manusia yang hanya peduli dengan diri sendiri. Takut untuk menjadi sosok yang aku sangat benci. *** Perjalananku berakhir, tibalah saatnya aku menjalani hidupku yang baru, Aku ingin menjadi pohon. Menjadi pohon yang selalu punya manfaat. Yah, itulah keputusanku. Keputusan yang nantinya akan aku sesali. Ketika aku masih menjadi pohon kecil, aku tidak berdaya. Tidak ada yang memperhatikanku. Aku hanya berharap air hujan yang bisa menyiramiku. Aku hanya berharap manusia dengan tidak sengaja menyingkirkan batu yang menindih batangku. Aku menyesal, hingga mataku terbuka. Tidak semua manusia busuk, manusia juga ada yang baik. Ketika aku masih menjadi pohon yang kecil dan tak berdaya, seorang pria menolongku. Merawatku dan memberiku kasih sayang. Tidak hanya padaku saja, tapi dengan semua makhluk. Saat itu, aku
hanya bisa memohon. Aku ingin menjadi manusia sepertinya. Sosok yang sangat mulia. Tapi apa daya, semua sudah terlambat. Aku sudah memilih jalanku.
*** Tahun berlalu begitu cepat, aku semakin tumbuh dengan lebat. Tajukku menjadi peneduh bagi siapapun yang ingin berlindung dari teriknya matahari. Walaupun begitu, aku tetap menyesal, aku masih ingin menjadi manusia seperti dia yang telah menolongku. Aku pasti bisa menjadi sepertinya.
Entah apa yang terjadi padanya, tetapi sudah cukup lama aku tidak melihatnya lagi. Tetapi, hal yang mengejutkan terjadi. Dia mendatangi aku. Datang dengan bentuk yang berbeda. Tubuhnya transparan, bahkan menembus kendaraan yang melewatinya, Mungkinkah dia sudah tiada? Dia kemudian menghampiriku. Memulai pembicaraan denganku. “Senang rasanya bisa hidup. Banyak hal yang bisa aku lakukan” ungkapnya “Kau, kau mengajakku berbicara?” tanyaku “Yah, siapa lagi kalau bukan kamu. Aku bisa merasakan jiwamu” Percakapan panjang terjadi antara kita berdua. Tak terasa, sudah sebulan lebih kita berbicara berdua. Aku semakin menyesali keputusanku. Kenapa aku tidak menjalani hidup sepertinya. “Jangan sedih, keputusanmu sudah tepat. Hidupmu saat ini sangat bermanfaat. Banyak membantu makhluk hidup” hiburnya padaku “Tidak, aku ingin menjadi manusia baik sepertimu” tegasku “Dengar, manusia tidak bisa memilih lahir dari mana. Apakah lahir dari orang tua yang kaya ataupun miskin, apakah lahir dari lingkungan yang buruk atau baik, apakah lahir dengan kebaikan ataupun kejahatan. Kita tidak bisa memilih hal itu.” Jelasnya “Tapi aku tetap bisa menjadi manusia sepertimu kalau aku memutuskan untuk menjadi manusia”
“Tidak, tidak semulus itu. Apakah kau bisa menentukan kau akan lahir dengan kondisi seperti apa? Apakah kau akan tetap memegang teguh keyakinanmu bahkan setelah merasakan betapa kejamnya dunia? Tidak. Sebelum menjadi seperti ini, aku bukanlah orang baik seperti yang kau kenal. Aku terlalu buruk untuk menjadi manusia” “Yah, kau memang benar, aku tidak bisa menjamin kehidupanku akan berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan. Aku tau bahwa tidak semua manusia itu buruk, tapi aku juga tahu kalau aku tidak bisa menentukan di lingkungan seperti apa yang nantinya aku berada. Pun, jika aku memutuskan untuk menjadi orang baik, sanggupkah aku berkomitmen untuk seterusnya menjadi baik?
“Untuk itu, aku sendiri tidak tahu. Silahkan amati manusia dan tentukanlah keputusanmu sudah benar atau salah” pesannya “Baiklah, namun, jika kesempatan kedua datang kembali, haruskah aku menjadi manusia?” tanyaku Dia hanya tersenyum dan perlahan pergi meninggalkanku.[]