
2 minute read
profil
Konten tanpa batas waktu, tanpa membelit keseharian. Kiranya begitulah ia membangun karya dengan gagasan panjang yang nyatanya berakhir abadi.
ASWANDI: LEPAS MANGKAT, KARYANYA TAK LEKAS BERKARAT
Advertisement
Oleh: Rizky Arif Gunawan, Nur Azmi Husnul Khotimah, Hilda Putri Ghaisani
Aswandi, tokoh pendidikan Kalimantan Barat yang kerap dikenang sebagai penulis intelektual ini banyak menitipkan karyanya pada terbitan media massa. Ia gemar menulis opini hasil buah pikirnya. epergiannya pada 22 Januari 2022 lalu sama saja seperti kehilangan tokoh penting dalam kepenulisan. Namun para penikmat karyanya tak perlu berkecil hati, sebab karya tulisannya masih bisa ditemui kembali dan dibaca ulang sampai nanti. Melalui laman blog pribadinya https://opiniaswandi.wordpress.com/ pembaca dapat menjenguk tulisan peninggalannya. Mengutip dari suarakalbar.com pada 23 Januari 2022 yang dapat dibaca oleh pembaca https://kalbar.suara. com/ Aswandi tidak hanya banyak menulis di media massa, ia bahkan telah menerbitkan 20 buku sejak tahun 2008. Dalam prosesnya, ia melakukan riset untuk mengawali sebuah tulisan. Salah satu kutipan menarik dari buku berjudul Freedom for All (2021) yaitu “Hanya di alam yang penuh kebebasan tersebut si belajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasi terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.” Mengobati rasa penasaran beberapa penikmat karyanya yang mungkin tak begitu tahu semua buku yang telah terbit, “Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua mengalami perubahan, yang abadi adalah perubahan itu sendiri” Aswandi dalam buku pertamanya, Memikirkan Kembali Pendidikan (2008). Pria kelahiran Tebas Sungai, Sambas tanggal 13 Mei 1958 ini banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengajar sebagai dosen di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan). Ia dikenal dengan kepribadian disiplin dan cukup humoris di mata para mahasiswanya. Satu diantaranya yaitu Arniasih Sholehah selaku mahasiswa bimbingan sekaligus pengampu mata kuliah yang pernah diajar oleh Aswandi. “Sebagai dosen, beliau termasuk dosen yang disegani dan dihormati. Beliau juga sangat disiplin dan sering membagikan pembelajaran hidup yang diselipkan guyonan. Beliau ada masanya serius dan juga humoris” jelas Arniasih sambil mengingat kebiasaan Aswandi ketika mengajar dulu. Ingatan indah terbayang jelas oleh banyak mahasiswa yang pernah diampu oleh Aswandi, sosok dosen dengan ciri khas kopiah yang selalu menghias kepalanya. Raut wajah yang cukup disegani, penuh kegigihan, dan keberanian. Ia tak pernah terlihat mengeluhkan rasa sakitnya sehingga membuat tak sedikit orang sekitar merasa terkejut akan kepergiannya secara tiba-tiba, 22 Januari 2022 lalu.
Aswandi tak pernah benar-benar pergi. Karyanya masih ada dalam keabadian.[]

Sambungan LIPSUS
Barat.
Carut marutnya implementasi regulasi, intervensi dari berbagai sisi, serangan digital yang semakin meliar, perundang-undangan yang menjerat, serta mudahnya kriminalisasi pemberitaan menjadi penghambat dalam kebebasan pers di Kalimantan Barat.
Laporan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa kemerdekaan pers turut dipengaruhi beragam faktor, antara lain hadirnya media abal-abal yang tidak sedikit jumlahnya, lemahnya regulasi perlindungan bagi jurnalis, kriminalisasi media dan jurnalis, serta lemahnya pemahaman jurnalis dalam melakukan peliputan.
Mengutip pernyataan yang diberikan oleh Ade Wahyudin, Ketua LBH Pers dalam wawancaranya bersama Tempo, ia menyebutkan bahwa banyak media dan jurnalis yang aktif dalam melaporkan tindak pidana kekerasan yang dialami, namun terkendala oleh respon kepolisian yang lamban atau proses hukum yang terhitung lama.[]