
5 minute read
sorotan
CABAIS: DAPUR TEMAN TULI
Oleh: Rizky Arif Gunawan & Stephanie Ngadiman
Advertisement
Suara senyap teman tuli tidak serta merta diam tak bergerak, mulai dari gebrakan kecil, teman tuli ciptakan dapur interaksi berwujud kafe
Sepuluh menit perjalanan kami menyusuri jalanan pusat kota Jalan Jendral Ahmad Yani untuk bisa sampai menuju Kafe yang terletak di Jalan Sungai Raya Dalam Ruko Komplek Griya Pesona. Sesampainya disana, kami membaca tulisan didepannya Cafe Bahasa Isyarat (CABAIS). Kami pun langsung disuguhkan dengan pemandangan gedung sederhana namun sangat memanjakan mata, dengan desain kafe minimalis dan kekinian membuatnya menjadi kafe pada umumnya. Kami langsung memasuki kafe dan disambut dengan senyuman ramah para pengunjung dan pekerja disana.
Hal yang cukup menarik, pramusaji dan baristanya merupakan teman tuli. Namun pengunjung yang tidak mengerti bahasa isyarat tak perlu khawatir, Untuk membantu berkomunikasi, di dinding dekat meja kasir terdapat papan bahasa isyarat abjad
“Nongkrong di CABAIS bisa sambil belajar bahasa isyarat
Foto: Willy Halim
Bisindo. Pemesanan dilakukan menggunakan bahasa isyarat. Tapi, jika pengunjung merasa kesulitan berkomunikasi, pekerja kafe ini akan menyediakan kertas untuk menuliskan pesanan pengunjung.
Dewasa ini seringkali timbul pertanyaan tentang cara teman tuli berkomunikasi dan menjalankan kehidupan sehari-hari tanpa adanya perbedaan. Tidak dipungkiri memang keterbatasan ruang untuk menyampaikan aspirasi cenderung membuat teman tuli sulit beradaptasi dengan masyarakat dan tak jarang teman tuli merasa tidak memperoleh kesetaraan dalam lingkungan sosial.
Menyuarakan kesetaraan tersebut, teman tuli mengupayakan banyak hal, satu diantaranya adalah mendirikan CABAIS. CABAIS menjadi tempat nongkrong dan ngopi sekaligus menjadi ruang untuk para teman tuli dan khalayak umum. Hal ini tampak dari penamaankafe dan juga di dirikan oleh salah seorang teman tuli yang merupakan mantan Miss Deaf Internasional, Lidya Alvani Taslim, dan rekannya Willy.
Hari itu wartawan LPM Untan mendapat kesempatan untuk mewawancarai Lidya pendiri CABAIS. Sejenak kami bersantai, dengan
dibantu oleh salah seorang anggota Komunitas Kerabat Peduli Inklusi (KLIK) yang bernama Aldi, Lidya pun mulai bercerita latar belakang pembentukan CABAIS. Lika-liku hambatan dirasakan oleh teman tuli, dimulai dari sulitnya mengakses pelayanan publik, keterbatasan lapangan pekerjaan, hingga melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Pontianak. Pantang menyerah, teman tuli mencoba bergerak secara perlahan-lahan dengan mencanangkan pembentukan CABAIS. Namun pada tahun 2019, pandemi membawa beban ganda bagi teman tuli sehingga rencana tersebut baru dapat terealisasi pada tahun 2021.
“Dulu ga ada tempat, pindah-pindah, jadi akhirnya memutuskan untuk bukakafe biar pada stay disini, teman-teman tuli punya markas, jadi lebih mudah untuk ngumpul satu sama lain dan sharing informasi,” ujarnya, (Selasa, 14/6).
Lidya mengakui bahwa dahulu masih belum ada komunitas atau kepemudaan seperti saat ini, juga sulit baginya untuk memperoleh kesempatan kerja di Pontianak sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan karirnya di Jakarta. “Awal karir di mulai di Jakarta karena saat itu di Pontianak ga ada aksesnya, teman-teman tuli kepemudaan maupun komunitasnya belum ada, orang-orang juga bingung gimana cara mempekerjakan teman tuli karna tuli dianggap ga bisa berkomunikasi, pelayanan umum tidak dapat di akses secara langsung bahkan terkendala dalam melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi,” kata Lidya.
Tak berhenti disitu, ia juga aktif dalam mengikuti kegiatan mulai dari ajang perlombaan dan terlibat dalam West Borneo Deaf Community (WBDC) dengan memberikan pengajaran bahasa isyarat. Menilik dari pengalaman dan permasalahan yang telah dilaluinya, Lidya menilai dibalik hal yang dialaminya, ada faktor-faktor yang berpengaruh didalamnya. Ia menyebutkan satu diantaranya yaitu pengetahuan “Kenapa bisa terjadi seperti itu, karna orang-orang umum ga tahu, ga paham cara ngetreatnya, cara menangani ketika ada tuli itu seperti apa,” jelasnya.
Menurutnya, CABAIS bisa menjadi tempat untuk meningkatkan pengetahuan dan menjadi penghubung antara teman tuli maupun masyarakat umum serta memperkenalkan budaya bahasa isyarat itu sendiri. Hal ini tampak dari layanan yang diberikan oleh CABAIS dimana CABAIS memberikan multi pelayanan dalam bentuk komunikasi bahasa isyarat maupun melalui pesan teks.
Ade sebagai teman tuli sekaligus bagian dari West Borneo Deaf Community (WBDC) turut merasa senang karena dapat membagikan dan memperkenalkan dunia bahasa isyarat bagi pengunjung “Biasanya ada pengunjung yang minta diajari, saya senang mengajari mereka dan memperluas ilmu bahasa isyarat,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp (18/7).
Hal senada disampaikan oleh Windy seorang teman tuli “Adanya kafe CABAIS di kota Pontianak ini tentu saja membuat saya atau kami merasa senang karena dapat menunjukkan bahwa kaum tuli pun bisa memiliki kemandirian, dan dikafe ini kami bisa sering berinteraksi bersama komunitas tuli,” tambahnya.
CABAIS tidak hanya ditanggapi secara positif oleh teman-teman tuli, Yeni sebagai peneliti dan pendamping teman tuli di Pontianak mengatakan hadrinya CABAIS merupakan bentuk keberanian teman tuli untuk bersekspresi. “Mereka menunjukkan untuk bisa terlibat dalam usaha kecil-menengah, dan mengambil bagian membuka ruang inklusif, untuk masyarakat umum, tidak hanya untuk teman tuli saja,” kata Yeni yang sekarang bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional, (Minggu, 21/8).
Sejauh yang diamati oleh Yeni, jauh sebelum adanya CABAIS, teman-teman tuli menyewa atau meminjam ruang lembaga lain setiap kali akan melakukan aktivitas bersama. Sebuah kabar baik kini teman tuli
Lidya sedang bicara dengan teman dengar menggunakan bahasa isyarat Foto: Mar’a

memiliki ruang sendiri, bahkan dapat memberikan edukasi Bisindo lebih luas, pengunjungkafe bisa berkenalan dengan Bahasa Isyarat tanpa perlu ada acara khusus serta teman tuli membuka diri untuk proaktif lebih banyak dalam menjangkau teman dengar.
Reinada salah satu pengunjung sempat kebingungan saat pertama kali mendatangi kafe ini karena jarang menemukankafe seperti CABAIS yang dikhususkan untuk teman-teman tuli. Selain untuk teman-teman tuli, masyarakat umum juga dapat mempelajari hal baru dari apa yang teman-teman tuli bicarakan, bagaimana bahasa isyarat, dan menambah pengetahuan etikad yang baik saat berpapasan atau bercakap dengan temanteman tuli.
Reinanda merasakan senang dan mengharapkan kafe bahasa isyarat memiliki beberapa cabang di Pontianak. Menurutnya teman tuli bisa nongkrong dikafe sehingga masyarakat kelompok umum paham bahwa teman tuli sama aja, tidak ada perlakukan khusus seperti sekolah dibedakan dan juga di dunia kerja
“Saya harap sih sebenarnyakafe-kafe kaya gini dibanyakin, jadi mereka teman tuli bisa nongkrong dikafe kaya gini dan tidak ada perlakukan khusus seperti dibedakan” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Shafira pengunjung kafe tersebut. Baginya dengan berdiri CABAIS dapat belajar banyak dan lebih memahami teman tuli. “Kalau ga di tempat kaya gini mungkin agak sulit untuk mengerti mereka mau kaya gimana ngomong sama mereka,” imbuh Shafira, Minggu (21/8).
Aldi, satu diantara seorang Komunitas Kerabat Peduli Inklusi (KLIK) menyampaikan bahwa isu disabilitas di kota Pontianak sendiri telah memperoleh perhatian lebih dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun tetap menjadi tugas bersama untuk menuju Indonesia lebih inklusif “Bakal bisa terwujud tapi dengan waktu yang cukup panjang, jadi untuk mewujudkan hal itu perlu dukungan dari semua pihak kerjasama yang baik, baik dari teman tuli itu sendiri, teman tuli yang harus jadi pelopor, dari bagaimana cara mereka untuk menyuarakan atau menggerakkan bahasa isyarat itu sendiri lalu dari kita masyarakat umum bagaimana menanggapinya, ibaratnya aware dan mau berinteraksi sama teman-teman tuli serta dukung pemerintah sangat penting dalam hal mewujudkan itu,” paparnya (Minggu, 21/8). []