
6 minute read
Pelaminan atau Kematian
Hesti Prihartini
Petang ini terasa hampa. Bertemankan rintik hujan, Sinta menatap kosong ke arah jendela. Berpikir, sebenarnya hidup ini nyata atau hanya imajinasi belaka? ‘tok tok’
Advertisement
Mendengar suara ketukan pintu, Sinta mulai membukanya. Terlihat seorang wanita paruh baya yang datang dengan mata berkaca-kaca sambil memanggil nama anaknya.
“Bu, kenapa menangis? Ada apa Bu?” Sinta bertanya pelan.
“Rere nak, hiks Rere. Dia baru saja meninggal kecelakaan.” Sinta melihat ibunya kini menangis tersedu-sedu.
“Hehe, ibu jangan bercanda. Baru saja Rere kesini Bu, kok meninggal ta?,” Sinta masih tak mempercayai itu.
“Sin, ibu tidak bercanda!” Ucap sang ibu, lalu dia memeluk anak perempuannya. Jantung Sinta seakan berhenti berdetak, tak terasa air mata mengalir begitu saja. Rere? Sahabat sekaligus tetangga dekatnya yang baru saja mengantar makanan ke rumah, sekarang tiada. Secepat itu? Sinta dan keluarganya langsung bergegas menuju ke rumah Rere. Sinta menatap semua orang yang ada disana. Menangis, meronta-ronta, bahkan ada yang pingsan. Sinta juga menatap rumah Rere yang mewah nan megah itu. “Terasa begitu cepat ya Sin?” Kata seorang perempuan dengan hijabdan wajah manis disamping Sinta. Sinta menoleh, namun wanita tadi sangat asing bagi Sinta, ia tak mengenalnya.
“Iya, baru saja dia ke rumahku mengantar sate kesukaan ayahku.” Ucap Sinta dengan bibir bergetar.
“Sudah, ikhlaskan saja. Dunia memang bukan tempat kita, kita hanya tinggal sebentar saja disini. Tak ingatkah kau ketika Tuhanmu berkata dalam kitab-Nya? Surat Al-Mu’minun 23: ayat 114 dan ayat 115. Coba dibuka.” Perempuan di samping Sinta tadi menyerahkan sebuah Al Qur’an kepada Sinta, lalu Sinta membuka nya dengan tangan bergetar. Sungguh, sudah sekian lama Sinta tak membuka dan membacanya. Sinta menangis, menyadari betapa lalainya dia selama ini. Kematian Rere membuat Sinta tersadar, bagaimana Allah SWT membuktikan kekuasaannya. Betapa kuasa nya Allah mengambil nyawa seseorang dalam satu hari. Tidak memandang umur, kasta, jabatan atau lainnya. “Aku tertipu oleh kehidupan dunia kak. Kukira, aku berjalan ke arah masa depan. Tapi ternyata, aku berjalan menuju kematian hiks…hiks.” Ucap Sinta sambil terisak.
“HUAA…. RERE, JANGAN TINGGALKAN MAMA, NAK!” Sinta menoleh ke sumber suara, dili-
hatnya ibu Rere yang menangis histeris meratapi kepergian sang anak yang sebentar lagi akan dikebumikan. ‘bruk’ Sinta tersungkur, lalu seketika semuanya menggelap. “Sinta, Sin bangun!” Tubuh Sinta terasa digoncangkan. Mendengar suara bising disampingnya membuat gadis tadi perlahan membuka mata. “Hiks…hiks, Rere hiks” Sinta masih menangis “Astaghfirullah, kenapa aku bersamamu Rere? Apa aku juga sudah tiada? Hiks…hiks” Sinta semakin menangis tersedu-sedu
“Astaghfirullah Sinta, apa yang kamu katakan?” Rere terlihat bingung, lalu Rere menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Sinta.
“Nah, mimpi aneh kan kamu. Makanya, kalau habis Maghrib jangan tidur lagi!” Ucap Rere “Bangun, ayo kita solat Isya!” Rere menarik tangan gadis yang baru saja bangun tidur itu. Sinta menyadari bahwa tadi hanyalah mimpi. Namun, kenapa terasa begitu nyata? ***
Hari silih berganti, dan kini semua orang kembali menjalani aktivitas nya. Begitupun juga dengan Sinta yang mulai berkuliah kembali setelah liburan semester.
“Hey, sudah lama menunggu, ya? Maaf baru selesai kelas.” Ucap seorang lakilaki yang tiba-tiba duduk di samping Sinta. Dia adalah Ferdi, pacar Sinta.
“Fer, ada yang mau aku bicarakan a--” ‘drrt drrt’ Ucapan Sinta terpotong saat melihat dering telepon di handphone nya Ferdi. “Sebentar, Sin” Ferdi lalu menjauh dari Sinta untuk mengangkat telepon tadi. Dengan setianya Sinta menunggu kekasihnya. Hingga setelah beberapa menit, akhirnya Ferdi kembali.
“Sin, aku harus segera pulang. Kamu pulang sendiri tidak apa-apa, kan? Nanti malam kita keluar. Jangan lama.” Ucap Ferdi lalu dia segera pergi meninggalkan Sinta. Sedangkan Sinta, niatnya yang ingin berbicara dengan Ferdi ia urungkan, dan kini dia mengamati Ferdi yang semakin lama semakin menjauh dari tempatnya. ***
Setelah Isya tadi, Sinta diajak Ferdi membeli keperluan untuk persiapan wisuda. Namun, tidak segera pulang, justru Ferdi mengajak Sinta mampir ke sebuah tempat, yang Sinta pun tidak ketahui tempatnya. Sinta menunggu Ferdi di dalam mobil. Namun, melihat Ferdi yang tak kunjung kembali, membuat Sinta turun dari mobil dan mengikuti jejak Ferdi tadi. Malam yang ramai, dipenuhi dengan kelap-kelip lampu disko yang menyilaukan mata. ‘Tempat apa ini, emm’ Batin Sinta sambil menutup hidungnya dengan hijab.
“Rizal! Kemana Ferdi?” Sinta datang dengan tiba-tiba kepada sekumpulan mahasiswi di sebuah diskotik.
“Waduhh liat nih, kita kedatangan tamu spesial. Wanita berhijab yang datang ke bar.” Kata Rizal sambil berdiri dan mempersilahkan Sinta duduk.
“Hahahaha” Suara tawa mengejek memenuhi indra pendengaran Sinta.
“Sinta, sini duduk dulu!” Kata seorang cewe dengan rambupirang. Dengan berat hati, Sinta mendudukkan dirinya sembari menunggu Ferdi.
“Nih minum, buruan!” Seorang cewe tiba-tiba menghampiri Sinta dan berusaha mencekoki nya minuman.
“Nggak, lepasin!” Sinta meronta-ronta berusaha menolaknya ‘pyar’ Ferdi menepis dengan kasar gelas yang dipegang oleh perempuan yang Sinta tahu bernama Cindy.
“Fer, apaan sih kamu? Baru datang sudah kasar banget.” Gadis yang tak lain Cindy tadi, berkata kepada Ferdi.
“Kamu yang apaan. Dia cewe aku, kalian jangan coba-coba!” Ferdi menatap sekumpulan temannya dengan tatapan dingin.
“Bilang ke Iqbal, titipannya sudah aku taruh di meja.” Ferdi melirik Iqbal yang tertidur di sofa karena kebanyakan minum-minuman keras.
“Sin, berdiri! Ayo pulang.” Ferdi menatap Sinta dingin.
“Semenjak ada dia, kamu berubah Fer. Kamu sudah tidak seperti dulu lagi!”Ucap Rizal kepada Ferdi, saat Ferdi dan Sinta akan melangkah meninggalkan ruangan itu. ***
Saat ini, Sinta berada di mobil mewah milik Ferdi dan sedang dalam perjalanan pulang.
“Kamu tadi sudah aku suruh menunggu di mobil. Kenapa kamu keluar dan menyusul aku?” Sinta menatap tak percaya kepada Ferdi. Laki-laki yang dia anggap baik tersebut, ternyata tidak sepenuhnya baik.
“Justru aku yang tanya sama kamu,
kenapa kamu mengajak aku datang ke tempat seperti itu?” Sinta berusaha bersikap tenang, meskipun sekarang pikirannya tidak dapat lagi diajak berpikir secara positif.
“Fer, aku mau kita putus.” Ucap Sinta pelan, namun masih terdengar cukup jelas ditelinga Ferdi.
‘citt’ Ferdi menghentikan mobilnya mendadak.
“Kenapa? Aku sudah mengorbankan semuanya buat kamu Sin, kenapa kamu tibatiba minta putus? Apa karena kejadian tadi?” Tanya Ferdi sambil melirik Sinta
“Sin, aku bisa jelasin semuanya.” Lanjut Ferdi.
“ Nggak ada yang harus dijelaskan Fer, semuanya sudah jelas!” Terang Sinta, ia masih enggan menatap Ferdi dan berusaha mengalihkan pandangannya ke kaca mobil
“Aku capek Fer, kenapa Tuhan membuat aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya ke kamu. Yang jelasjelas belum tentu jadi jodohku. Aku capek, setiap hari terbayang-bayang dosa yang kita lakukan.”
“T-tapi kita tidak melakukan apa-apa Sin. Aku bahkan juga tidak menyentuhmu sama sekali. Kenapa harus putus?”
“Fer, aku ngerasa semuanya sia-sia. Percuma aku ngaji, aku solat, tapi aku juga berpacaran. Kita sudah terlalu jauh Fer, aku mau mengakhiri ini sekarang juga.” Ucap Sinta dengan mata berkacakaca. Ferdi menatap lekat Sinta, lalu diam sejenak.
“Emm, kalau memang ingin seperti itu. Ya sudah, kita akhiri ini sekarang juga,Sin.” Final Ferdi, lalu melanjutkan kembali perjalanan ke rumah Sinta.
“Semoga Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tepat, Sin. Jujur, aku sangat mencintaimu.” Lanjut Ferdi, tanpa sadar air mata Ferdi mengalir namun tak disadari oleh Sinta. Di depan rumah, tampak seorang gadis cantik dengan hijab berwarna cokelat yang sedari tadi menunggu sahabatnya pulang
“Aku tunggu dari tadi, ternyata pacaran toh.” Ucap gadis tadi dengan tangan berkacak pinggang. Setelah melihat kepergian Ferdi dari pekarangan rumah, Sinta langsung menuju ke Rere
“Rere hiks,” Sinta memeluk Rere.
“Eh, kamu kenapa? Apa yang dilakuin Ferdi ke kamu, Sin?” Rere tampak panik melihat sahabatnya menangis setelah bepergian dengan Ferdi. Rere pun mengajak Sinta agar duduk di kursi. “Rere hiks, aku putus sama Ferdi. Berat banget, Re” Ucap Sinta masih dengan tangisnya.
“Sinta, jangan menangis karena cinta. Tapi, menangislah karena dosa. Jodoh itu ga akan kemana, kok.” Rere mengelus pelan tangan Sinta
“Kalau dia baik buat kamu, suatu saat juga akan dipertemukan kok. Mengejar cinta manusia hanya akan membuatmu terluka, Sin. Sudah, pasrahkan semua kepada Sang Pencipta.” Lanjut Rere dan tangisan Sinta semakin menjadi saat Rere mengucapkan kata itu. ‘Entah, aku tidak tau. Jodoh mana yang menghampiri ku, baik kematian ataupun dia yang aku idamkan. Semua aku pasrahkan kepadamu Ya Rabb’ Batin Sinta kemudian memeluk Rere, sahabatnya. Setelah kejadian mimpi itu, Sinta menyadari bahwa hidup bukan hanya mencari uang lalu mati. Bahwa hidup bukan hanya mengejar cinta manusia, tapi juga harus mengejar cinta Rabb pemilik semesta. Banyak yang harus persiapkan untuk kehidupan selanjutnya. Al Qur’an yang telah lama Sinta simpan di dalam lemari, kini mulai dia baca setiap hari. Sholat yang sering ditinggalkan, kini perlaha mulai ia jalankan. Terima kasih malaikat baik yang hadir dalam mimpi.
