
5 minute read
- Buku Mengajarkan Pembaca dengan Segala Cara - Lentera Penulis Menapaki Gelap Gulita Dunia
Laporan Utama
Buku Mengajarkan Pembaca dengan Segala Cara
Advertisement
Rynaldi Fajar Septrianto
Jarum jam menunjukan pukul 09.00,
Nuraini membuka gerai toko buku Wacana Baru. Ia menata lapak tokonya, beberapa buku karangan Friedrich Nietzche tampak berjejer, rupanya menyediakan buku-buku filsafat kontemporer. “Sedang cari buku apa,” tanya Nuraini sembari membenahi toko yang baru saja ia buka. Saya menanyakan satu buku karangan Nietzche berjudul Sabda Zarathustra, lantas menunjukkan buku itu berada. Nuraini tampak paham betul mengenai isi buku karangan filsuf asal Jerman ini. Hingga ia menawari beberapa referensi untuk dibaca, sembari memperlengkap wacana filsafat nihilisme, Nuraini menjaga lapak toko buku milik ayahnya sedari tamat SMA. Tiga tahun menjaga toko buku membuat Nuraini mengisi kelonggaran waktu dengan membaca buku. Menurut Nuraini, ada tantangan tersendiri menjual buku filsafat di Shopping Center, Sriwedani, Jogja. Ada segmentasi pembaca, karena sedikit yang suka membaca buku filsafat. Kegemaran membaca buku filsafat membuat Nuraini mampu menjelaskan kepada pembeli tentang isi buku, “Pada akhirnya, kegemaranku membaca [buku] bisa membawa dampak yang baik untuk toko bapak,” ungkapnya. Berawal dari menjaga lapak toko buku milik ayahnya, kecanduan membaca buku menjadi tak terelakan, ada buku cetak dan e-book yang memperlengkap daftar buku yang ia baca. Namun, datangnya era digital terdapat pergeseran pembaca, yang awalnya membaca buku cetak beralih ke ebook. Hal ini turut diamini Nuraini, ia juga kebingungan apabila pembaca buku cetak semakin surut, karena dapat berdampak terhadap toko buku milik ayahnya, “Maraknya e-book, aku jelas kebingungan untuk menjualnya, jelas tak memerlukan pihak ketiga seperti kami, tapi kalau kesukaan membaca buku, buku cetak lebih enak dibaca ketimbang e-book,” jelasnya. Kegemaran serupa dialami Arya, sejak usia 12 tahun, kali pertama membaca buku Andrea Hirata bertajuk Laskar Pelangi. Buku salinan bajakan Laskar Pelangi ia selesaikan dengan khidmat, mengawali perjalanan membaca mengoleksi buku cetak. Penerjemah berusia 26 tahun ini mulai menggunakan e-book ketika kegiatan membacanya kerap dilakukan melalui internet. Kebiasaan mengoleksi buku cetak sekarang mulai terbatas, kecuali ada buku yang cocok untuk dikoleksi. Arya menilai ada kepraktisan membeli buku versi e-book melalui gadget Amazon Kindle. Ada kepraktisan membaca e-book, selain itu, tidak memakan ruang fisik serta harganya lebih murah. Membaca buku cetak sekarang dapat diakui sebagai nostalgia untuk terus menghabiskan waktu untuk membaca. Membaca buku menjadi kegiatan sehari-hari. Laiknya asupan gizi, membaca buku jadi hal yang dibutuhkan untuk memandang dunia dari berbagai sudut pandang. Akmal Fauzan, mahasiswa semester akhir UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menceritakan tentang membaca buku menjadi kebutuhan yang musti dipenuhi. Membaca membentuk nalar berpikir maju, semakin banyak buku yang dibaca maka akan semakin mudah untuk memahami hal-hal yang ada di sekitar. Tak ayal, Fauzan tak bisa lepas dari buku tiap harinya. Beberapa buku yang selesai dibaca akan tersusun di rak buku. Berbeda dengan Fauzan, Maria Resita, mahasiswa semester 6 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, menganggap membaca buku sebagai jalan spritual. Riwayat membaca buku layaknya perjalanan berpikir sebagai semangat hidup. Berbeda dengan membaca kitab suci, membaca buku bergenre novel maupun humaniora merupakan hal berbeda. Perjalanan spiritual diartikan Sita sebagai semangat menjalani kegiatan sehari-hari dengan membaca. Ketika membaca buku Second Sex karya Simone de Beauvoir, terdapat wacana yang memperkenalkan Sita dengan feminisme. Buku yang pertama terbit para 1949 ini, turut memberi pemahaman bahwa mitos tentang perempuan menjadi hal yang perlu dibahas, serta tokoh perempuan tak seharusnya dilupakan dalam sejarah filsafat. Menurut Sita penulis buku dapat menyadarkan pembacanya dari pesan dan nilai yang disampaikan, “Oleh karena itu, aku tak bisa lepas dari kegiatan membaca. Membaca menjadi bagian dari hidup. Setiap buku menyimpan pengetahuan yang luas, kalo tidak dibaca bisa sia-sia,” ucap Sita ketika dijumpai Apresiasi di Perpustakan Daerah, Yogyakarta, (15/04).
“Membaca buku menjadi seseorang bermutu secara pola pikir, tak sekadar mem-
baca buku saja, analisis juga perlu untuk memahami bacaan buku kita,” ucap Nuraini. Membaca buku memang sejatinya tak sekadar asal membaca. Dalam wacana yang dimuat penulis membuat pembaca akan terjerumus, analisis pembaca diperlukan dalam menelaah buku. Kerap kali pembaca juga memaparkan hasil termuaan berupa resensi. Resensi menjadi ulasan dari pembaca mengenai pengalaman membaca dari sebuah buku. Dengan demikian, resensi akan menghadirkan penjelasan mendalam. Nuraini kerap memberikan catatan dari bacaan yang dinilai memberikan pemahaman lebih lanjut. Tak ayal, Nuraini menuliskan kritik atas karya penulis buku dalam resensi, “Resensi menjadi medium yang pas untuk menjelaskan pengalaman membaca. Terkadang kritik juga dilontarkan lebih lanjut untuk memberikan negasi dari wacana yang sudah dibaca,” jelas Nuraini.
Menghadirkan Wajah yang Menarik
Kelana Wisnu, Pemimpin Redaksi Pustaka Pias, membuat tampilan buku menjadi menarik untuk dipunyai. Melalui cara eksplorasi gaya, dapat mendorong konteks visual yang tidak terlihat konvensional. Penerbitan yang bermukin di Bandung ini, menjadikan publikasi indie dapat menampilkan hal-hal yang jarang dibicarakan banyak orang. Seperti dalam produk buku Pustaka Pias, Komitmen dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950—1965 menampilkan cukil kayu karya Arifin, anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) organisasi kebudayaan yang mempunyai haluan politik, lalu tersapu prahara politik 1965. Penerbitan indie menjadi wadah yang mampilkan wacana serta gagasan yang tak lagi sempit. Menurut Kelana, “Sejarah bukan hanya tentang [menulis] masa lalu, tetapi juga arena untuk membayangkan masa depan. Dan, saya pikir banyak yang siap menerima narasi alternatif tentang dunia saat ini.” Kelana menemukan penghiburan dalam inisiatif seperti klub buku atau perpustakaan pop-up serta percaya bahwa publikasi penerbitan indie menjadi rumah bagi wacana yang lebih luas. “Sampai batas tertentu, kita terjebak dalam ide-ide Eurosentris yang membentuk serta membatasi cara kita melihat dunia. Dengan latar belankang ini, kami mendirikan Pustaka Pias,” imbuh Kelana. Pustaka Pias memberikan elemen visual interaktif melalui pesan penulis sampaikan. Dalam FINKS: Bagaimana CIA Mengelabui Penulis Besar Dunia, menampilkan cover buku dapat menyala dalam gelap, Pias berusaha menampilkan pesan penulis ‘Ketika demokrasi mati, ia bersinar dalam gelap’. Desain cover buku kerap dikaitkan dengan strategi pemasaran. Menurut Riyanto desain grafis bukan hanya tentang branding begitu pula menerbitkan sebuah buku. Pemimpin Redaksi Each Other Company ini berusaha menampilkan desain grafis sebagai cara bekerja bukan hasil kerja, ”Desain grafis bukan hanya tentang branding, begitu pula ‘menerbitkan’ bukan hanya tentang mencetak atau melincurkan sesuatu secara daring maupun luring.” Sastra mempunyai tempat paling banyak dalam industri penerbitan indie, sebagai publikasi alternatif, penerbit indie mempunyai cara beroperasi yang berbeda dengan penerbitan major. Penerbitan indie memiliki keleluasaan memublikasi wacana alternatif melalui perspektif baru untuk khalayak pembaca. Ardo Wardana menyebutkan bahwa penerbitan indie lebih berani menampilkan topik, menggaungkan narasi, serta melanggengkan publikasi buku cetak. Ardo mendirikan toko buku Grammars yang berlokasi di Bandung, di mana menampilkan buku-buku dari penerbit indie dengan samangat alternatif. “Banyak pembaca dari kalangan anak muda banyak membeli buku fisik. Ini menunjukkan selalu ada ruang untuk buku fisik di pasar,” kata Ardo. Danny Wicaksono, arsitek dan penginisiasi sastra Scriptura, mengamati bahwa generasi Milenial dan Gen-Z lebih mudah menerima perubahan desain yang penuh selera. Danny beranggapan menerbitkan buku tidaklah murah. Penerbit indie berhasil menemukan jalan keluar dari situasi penik mengenai finandial dengan menerbitkan buku sesuai dengan konten dan desain yang menarik, “Buku akan ada untuk waktu yang lama. Jenis pelestarian pengetahuan ini telah bertahan dalam ujian waktu. Lagi pula, membaca buku membuat orang lebih tangkas dan manusiawi.”