2 minute read

- Sudah Semestinya Minat Baca Terus Bertumbuh

Bernadheta Valencya

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Advertisement

Semangat menebar minat baca sudah menjadi hal yang perlu di lakukan seperti melalui komunitas literasi. Misalnya dapat menjadi pilihan lain dari surutnya pendidikan formal yang mengalami depresi ketika pandemi Covid-19. Apabila melihat tolak ukur keberhasilan komunitas literasi, memang tak bisa di hitung secara kuantitatif seperti jumlah masyarakat yang terbantu maupun terjangkau dengan adanya komunitas literasi. Pasalnya, semangat menyebarkan akan pentingnya buku agar mendesak para pemangku kebijakan untuk meberikan akses buku merupakan prioritas. Dengan demikian, komunitas literasi tak hanya dengan buku, melainkan semangat kerelawanan. Muhidin M. Dahlan, anak dari pedalaman kampung di Sulawesi yang penasaran akan buku, membuat dirinya hijrah dari kampung halamnnya ke Yogyakarta. Kini ia menjadi penulis dan pegiat komunitas literasi Indonesia Boekoe yang tekun melakukan pengarsipan dan penerbitan buku. Kemudian menuliskan kisah perjalanan dalam dunia literasi dalam buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Kisah Muhidin hanya secuil cerita tentang orang yang gemar buku lalu dapat menjadi haluan bagi jalan hidupnya. Komunitas literasi dapat berkembang lantaran adanya rasa kecintaan pengelolanya terhadap buku. Keinginan untuk berbagi menjadi sikap kerelawanan yang menjadi ciri khas dari gerakan literasi. Sehingga dalam munculnya komunitas literasi tidak banyak dipengaruhi oleh dukungan dana dari pemerintah. Jumlah komunitas literasi memang tidak merata di seluruh penjuru Indonesia dengan luas dan banyaknya penduduk Indonesia. Komunitas literasi patut diapresaisi karena dapat mengenalkan minat baca. Minat baca memang tak lepas dari semangat belajar atau intelektualitas. Melihat tingkat literasi di Indonesia yang relatif rendah merupakan faktor utama dari kualitas pendidikan yang rendah. Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susesnas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 angka pembaca surat kabar hanya mencapai 13,1 persen sedangkan penonton televisi mencapai 91,5 persen. Tak adanya infrastruktur penunjang pendidikan seperti ketersediaan listrik sampai akses internet di perpustakaan juga memberi peranan mengenai masalah rendahhnya literasi. Bahkan, Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Ketersediaan akses internet, listrik dan laboratorium computer di Indonesia jauh dari Singapura, Malaysia serta Thailand. Selain itu, rendahnya minat baca berdampak pada kesehatan masyarakat. Kesadaran akan kebersihan dan gizi buruk serta perilaku seksual bersiko tinggi. Hal ini berakibat pada penyakit seksual, tingkat kehamilan tinggi, pelaku abrosi, angka kelahiran tinggi, dan angka kematian tinggi. Tingginya angka putus sekolah juga penyebab dari rendahnya minat baca. Orang dengan minat baca rendah dinilai sukar menjadi mandiri, ketergantungan ekonomi juga menjadi salah satu tingginya angka pengangguran. Melakukan inovasi serta berkolaborasi merupakan merawat semangat membaca. Inovasi dilakukan oleh berbagai pihak seperti pemerintah daerah melalui sekolah, komunitas literasi, sampai keluarga. Solusi demikian membuka celah dari akses bacaan hingga pendampingan belajar. Sekolah pun diperlukan untuk mendorong lebih banyak pembaca. Dengan semangat serta komitmen berbagai pihak ini penting karena budaya literasi tak datang secara cepat, minat baca tinggi harus diperjuangkan oleh berbagai pihak.

This article is from: