
7 minute read
Ubah Budaya Menunggu jadi Jemput Bola
from Sang Pemasar
by JOKO INTARTO
Ridwan Arbian Syah Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Pegadaian
Mereka yang mampu bertahan adalah yang dinamis dan adaptif. Pernyataan yang dilontarkan oleh Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Prof Rheinald Kasali Ph.D ini tentu sangat tepat dengan kondisi PT Pegadaian di era saat ini.
Advertisement
S
ebagai perusahaan yang berdiri sejak 121 tahun lalu, PT Pegadaian butuh perubahan dan adaptasi dengan lingkungan yang berubah. Terutama di bi-
dang sumber daya manusianya. Apa saja yang dilakukan perusahaan ini? Berikut wawancara dengan Ridwan Arbian Syah, Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Pegadaian. Sejak 121 tahun lalu, sumber daya manusia di Pegadaian terkonsentrasi di bisnis gadai. Kompetensi yang dibutuhkan di bisnis ini adalah appraisal. Appraisal itu penaksir. Penaksir itu masuk dalam kategori administrasi. Jadi, job description penaksir atau administrasi itu ada di belakang meja. Stay. Sifatnya lebih banyak menunggu.
Dalam perspektif Pegadaian 121 tahun yang lalu, masyarakat memang membutuhkan Pegadaian. Paradigmanya ketika itu adalah masyarakat yang butuh. Kita, Pegadaian yang menunggu. Nah, dalam industri modern hal ini tentu sudah berubah. Dari menunggu menjadi mencari.
Bahkan, saat ini sudah jauh berubah lagi. Industri 3.0 saja sudah berbeda dengan Pegadaian 121 tahun lalu. Apalagi, saat ini kita sedang berada di era industri 4.0. Akan menuju industri 5.0. Dari Pegadaian yang sifatnya hanya menunggu nasabah, sekarang saatnya berubah. Dari yang bekerja hanya menunggu nasabah, kini harus mencari nasabah. Tidak bisa lagi hanya menunggu.
Dalam siklus sebuah perusahaan atau organisasi, yang lambat akan kalah. Dan yang besar pun, kalau kalah cepat akan musnah. Berarti Pegadaian harus menjemput, bukan lagi menunggu. Harus jemput bola, mencari nasabah.
Melihat pola industri dengan perubahan yang cepat ini, maka Pegadaian pun dituntut mampu dan secepatnya beradaptasi menyesuaikan kondisi. Sumber daya manusia atau motor utama Pegadaian yang berhadapan langsung dengan nasabah dituntut maju. Tidak bisa lagi hanya menunggu nasabah di belakang meja.
Permasalahannya, SDM di Pegadaian selama ini adalah administratif. Maka harus diarahkan ke marketing. Karena itu kita harus ada shifting. Dari pola pengembangan SDM yang konsentrasinya hanya untuk gadai dan penaksir, harus dikembangkan SDM untuk mampu mencari pasar atau marketing dan mikro. Ini terkait dengan misi holding baru Pegadaian saat ini.
Oleh karena itu, semua job description-nya atau pola pengem-
bangan SDM semua kompetensinya diarahkan base on marketing. Yang kami benahi di SDM Pegadaian saat ini dan ke depan ada dua poin, yaitu kultur dan digital sejalan dengan program transformasi perusahaan.
Kultur SDM Pegadaian dari 'menunggu' inilah yang kita benahi. Mengubah budaya 'menunggu’ menjadi 'mencari' tentu tidak bisa berubah dalam waktu sekejap. Apalagi kultur lama ini sudah mengakar dalam kurun waktu yang lama. Sejak ratusan tahun yang lalu.
Untuk mengubah budaya lama, tentu butuh upaya sangat keras. Butuh militansi. Insan Pegadaian harus memiliki jiwa militan. Militan dalam melayani nasabah dan menjual produk Pegadaian. Sederhananya, Insan Pegadaian saat ini harus berjiwa militan yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Selain itu, menghadapi persaingan era industri yang serba digital sekarang ini, militansi saja tidak cukup. Dibutuhkan juga kompetensi lain. Untuk melengkapi dan membawa Pegadaian unggul dalam persaingan industri. Kompetensi itu adalah kompetensi digital. Digitalisasi yang dimaksud adalah capability digital SDM sekaligus sistem digital dalam pengelolaan SDM. Arahnya kepada dua poin tersebut.
Bagi kami di Pegadaian, SDM merupakan aset mahal. Karena memiliki nilai mahal, maka harus dijaga dan ditempatkan secara khusus. Tidak mungkin kami membiarkan aset mahal digeletakkan begitu saja. Aset mahal harus dirawat. Kalau bisa, aset mahal itu menghasilkan dan ini adalah investasi masa depan.
Terkait Insan Pegadaian sebagai aset mahal dan perlu dijaga, maka karyawan yang memiliki kompetensi dan kapabilitas harus dikembangkan. Yakni sebagai talent. Juga dirawat. Perawatan dapat dilakukan dengan monitoring dan memberi kompensasi yang jelas sesuai kompetensinya. Ini terkait dengan remunerasi.
Selanjutnya, aset mahal itu ditempatkan di tempat yang khusus, terkait dengan the right man on the right place. Kita tempatkan mereka pada passion dan aspirasinya. Karena karyawan adalah aset mahal mereka juga merupakan investasi masa depan. Sebagai talent terbaik, mereka harus dikembangkan di luar sehingga berdampak positif bagi brand Pegadaian. Inilah nilai investasi dari aset mahal berupa karya-
Foto Ismail
wan di Pegadaian.
Upgrading karyawan Pegadaian, contohnya, bisa dimulai dari penaksir. Sebab basis karyawan semuanya adalah penaksir. Saat pengembangan SDM penaksir, misalnya, dapat disesuaikan dengan passion dan aspirasi mereka. Apakah di bidang teknologi informasi atau di bidang mikro.
Kalau mereka memilih IT, ya kami kembangkan mereka ke arah pelayanan nasabah dan produk melalui digital. Jika mereka tertarik di bidang mikro, ya kami kembangkan kemampuannya ke arah bagaimana mendapatkan pasar nasabah mikro. Saya yakin, semakin kita optimalkan pengembangan SDM sesuai passion-nya, dampaknya adalah produktivitas. Nah, produktivitas inilah yang akan meng-create income.
Selain pengembangan sesuai passion dan aspirasi yang akan menjadikan karyawan sebagai aset mahal perusahaan, pengembangan talent-talent karyawan ke luar juga investasi bagi perusahaan. Mengapa demikian?
Pertama, kami menciptakan talent-talent. Entah nanti mereka 'berkarir di luar atau menjadi expert yang banyak dibutuhkan di bidangnya masing-masing.
Kedua, dengan melahirkan talent-talent baru dan berkembang
di luar, dan mereka masih memiliki ikatan dinas dengan Pegadaian. Tentu kami berharap akan melahirkan citra positif bagi perusahaan.
Di satu sisi, mereka membawa nama baik perusahaan. Mereka yang expert juga akan memberi kontribusi bagi pendapatan pajak negara, dan tentu saja mereka harus berkontribusi pada perusahaan.
Terkait perubahan kultur lama ke budaya baru, maka kompetensi penaksir saat ini harus lebih komplet. Mereka tidak lagi hanya menunggu calon nasabah yang datang. Penaksir harus jemput bola, kreatif dan inovatif.
Sederhananya, seorang penaksir di Pegadaian sekarang tidak lagi hanya duduk menunggu di kantor. Tapi mereka harus menjemput bola, memahami product knowledge, menjual produk bahkan kalau perlu meng-create pasar. Maka kultur baru yang harus dikembangkan adalah inovasi.
Sekecil apapun seorang penaksir, dia harus memiliki inovasi. Dia harus shifting dari administrator menjadi marketer. Sebab, jika dia berpikiran hanya sebagai administrator, yakin lah tidak akan ada inovasinya. Tetapi sebaliknya, jika seorang penaksir ini juga berpikiran marketing dia akan inovatif. Sekecil apapun inovasinya.
Ini perlu dilakukan mengingat Pegadaian saat ini bukan lagi pemain tunggal dalam bisnis gadai. Di luar, sudah banyak perusahaan dengan business core gadai. Bahkan, layanan perbankan dan pembiayaan juga mulai menyasar pangsa pasar Pegadaian. Maka dari sisi kultur dan kompetensi karyawan Pegadaian dituntut inovatif, berjiwa militan dan berkemampuan digital.
“Pegadaian dulu hanya menunggu, sekarang harus berubah. Dari yang bekerja hanya menunggu nasabah, kini harus mencari
nasabah”’
Terkait digitalisasi, internal SDM Pegadaian harus mampu mengaplikasi sistem digital. Harus mengintegrasikan sistem digital dalam semua bagian fungsi pengelolaan SDM. Bagaimana mengintegrasikan sistem human capital terkait talent, performance, kultur dan tren.
Semua teknologinya harus saling terintegrasi. Misalnya, semua kegiatan harus benar-benar berbasis teknologi. Contohnya, dalam sistem operasi absensi yang dulu manual, ya sekarang harus didigitalisasi. Soal performance atau sisi penilaian kinerja, yang dahulunya kita menghitung berapa pencapaiannya dan sumber yang harus didapatkan secara manual, sekarang platform-nya satu saja.
Performance ada di bisnis dan support yang lain. Nah, ini harus diintegrasikan semua sehingga performance ini nanti akan membentuk mapping terkait dengan talent. Termasuk pengintegrasian learning untuk mapping talent selain dari performance.
Kami juga harus mengembangkan kapabilitas digital SDM. Seluruh bagian operasional, selain fungsi-fungsi yang menangani digital seperti IT dan TO. Target kami, semua karyawan operasional harus sudah memahami digitalisasi pada tahun 2023. Ini semua penting karena semua perusahaan saat ini mengarah ke sana.
Menyusul era internet of think di bisnis jasa yang ditandai dengan konsep officeless atau bisnis tanpa kantor, masa depan SDM di Pegadaian perlu diciptakan talent-talent terbaik melalui employee branding.
Employee branding ini terkait sejumlah hal. Pertama, bagaimana perusahaan menciptakan kenyamanan bekerja. Kedua, aktualisasi karyawan dalam bekerja. Ketiga, kompensasi atau remunerasi yang mereka dapatkan setelah bekerja.
Demi kenyamanan bekerja kami menciptakan smart office saat karyawan datang secara fisik ke kantor. Jika mereka tidak bisa datang secara fisik ke kantor, kami ciptakan hybrid office. Mereka dapat bekerja di mana saja. Jika mereka tidak datang secara fisik, tidak juga hybrid office, maka mereka bisa bekerja dari mana saja. Mungkin semacam Work From Anywhere (WFA).
Apakah mereka yang bekerja dari mana saja terkena potongan karena tidak datang ke kantor secara fisik? Saat ini, semua pola bekerja
baru. Seperti WFH ini sedang disusun oleh BUMN. Sementara ini di Pegadaian tidak ada potongan. Kami memberi fasilitas untuk proyek yang membutuhkan biaya. Kami juga tetap menciptakan smart office lengkap dengan infrastrukturnya, terkait internet, jika mereka datang secara fisik ke kantor. Inilah kenyamanan bekerja yang kami ciptakan.
Terkait aktualisasi kerja, kami di SDM sedang mengembangkan desain pengembangan karir anak-anak milenial untuk lima tahun ke depan dan proses percepatan pengembangannya berdasarkan aspirasi dan passion mereka.
Ini kami ukur berdasarkan kompetensinya. Apabila aspirasi dan passion-nya ada, tapi kompetensinya belum cukup, maka kami tambahkan. Anak-anak milenial ini pasti digitalize, sarat dengan internet, dan kata orang mereka jenis pekerja yang cepat bosan.
Soal kompensasi, ini sebenarnya confident. Tetapi kami ada terobosan terkait kompensasi lewat pemetaan fungsi dan kompensasi yang berbeda dari setiap fungsi. Klasifikasi bisnis dan support-nya. Kemudian pemberian penghargaan dan remunerasi. (*)

