
6 minute read
Stiker Tomat dan Keberkahan dalam Komunikasi
Apabila keberkahan menjadi inti pengembangan strategi bisnis, khususnya komunikasi, maka kita tidak hanya mengejar sustainability,tapi lebih dari itu, eternity.
Tomat putih itu ternyata hanya stiker. Bukan ekstraksi, atau apalah namanya, dari buah bernutrisi tinggi yang dipercaya bisa mencerahkan kulit dan menghalangi penuaan dini. Saya, malah baru tahu kalau ada tomat yang warnanya putih. Sejak kecil mata saya yang terbiasa menjelajah pasar becek di kota sejuk penghasil sayur, Salatiga, hanya tahu tomat warnanya merah, hijau dan kuning. Mungkin ini yang ada di pikiran banyak orang. Jika tomat saja bisa diputihkan, apalagi kulit, bisa menjadi cerah seperti white beauty, impian para wanita. Ditambah dengan pesona para live streamer yang membujuk merayu, pagi siang dan malam, maka terbelilah kosmetik viral itu. Namun sayang, tomat putihnya hanya stiker.
Overclaim, sejak jaman dulu kala adalah permasalahan etika bisnis yang paling sering ditemui. Pedagang memberikan informasi tentang kualitas produk dengan dilebih-lebihkan, tidak sesuai dengan aslinya. Memang sulit dibuktikan, dan pastilah berujung pada percekcokan atau debat yang tidak mudah diselesaikan. Pedagang mangga harum manis, misalkan mengatakan mangganya harum dan manis sangat. “Kalau tidak manis kembalikan saja ke sini”, katanya. Namun manis itu relatif. Sehingga ketika konsumen kemudian membeli dan tidak puas, meminta pertanggungjawaban. Pedagang bisa menjawab, “rasa segini sudah manis buat saya.” Nah kemudian muncullah konflik.
Tidak berbohong, belum berarti jujur. Baginda Rasulullah menekankan dalam banyak kesempatan bahwa pebisnis perlu mengutamakan sifat jujur. Beliau sendiri, diberikan gelar Al-Amin, sebagai penghormatan atas sifat jujur terpercaya. Bukan sekali dua kali, Baginda Rasul menunjukkan konsistensi teladan kejujuran tersebut dalam berbagai lawatan dagangnya. Setelah masa kenabian, banyak perintah yang diberikan untuk berlaku adil dan tidak berbohong. Beliau pernah bersabda, dalam riwayat yang dinukil Imam Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, “Mengapa engkau tidak meletakkan di bagian atas agar orang-orang dapat melihatnya. Barang siapa yang melakukan penipuan, ia tidak termasuk golonganku.”
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kejujuran dalam berbisnis. Tujuan utama berbisnis bukan hanya sekedar mencari profit. John Elkinton pada tahun 1997 dalam bukunya Cannibal With Forks, telah mengartikulasikan tujuan bisnis berkelanjutan sebagai tripple bottom line yang juga dikenal dengan 3P, Profit, People, Planet Bisnis harus bisa menghasilkan profit yang menyejahterakan masyarakat, termasuk karyawan dan seluruh stakeholder sembari merawat kelestarian alam. Konsep bisnis Islam sudah jauh lebih maju dari itu. Dalam cara pandang Islam yang rohmatan lil alamin, bisnis bukan hanya memperhatikan 3P yang berdampak pada sustainability, tapi ada dimensi lain, yang kita sebut sebagai Berkah.
Keberkahan adalah manfaat sebesarnya dari produk yang bisa dinikmati di dunia dan diteruskan hingga ke akhirat. Imam Ghozali menyebutnya sebagai bertambahnya kebaikan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa apabila keberkahan menjadi inti pengembangan strategi bisnis, khususnya komunikasi, maka kita tidak hanya mengejar sustainability, tapi lebih dari itu, eternity. Kehidupan yang kekal dunia akhirat. Seorang pebisnis halal menyadari benar bahwa seluruh strategi bisnis, desain komunikasi, janji-janji yang diberikan pada pelanggan akan dipertanggungjawabkan di pengadilan yang Maha Mulia. Usaha adalah modal bagi perjalanan abadi selepas dunia.
“Mengapa engkau tidak meletakkan di bagian atas agar orang-orang dapat melihatnya. Barang siapa yang melakukan penipuan, ia tidak termasuk golonganku.”
(H.R. Bukhari-Muslim)
Oleh karenanya, dalam pemasaran produk halal, tujuan komunikasi memiliki dimensi yang lebih luas daripada pemasaran produk konvensional. Beberapa dimensi tersebut adalah dimensi bisnis, edukasi, responsibility, komunitas, ajak, dan hubungan jangka panjang, disingkat BERKAH. Mari kita kupas beberapa dimensi tersebut secara lebih mendalam.
Dimensi pertama, Bisnis, tentu jelaslah bahwa usaha pemasaran mesti mendatangkan keuntungan atau profit. Oleh sebab itu komunikasi diusahakan mampu menjangkau target pasar seluasnya, dan mampu menggerakkan target tersebut untuk membeli produk kita. Untuk itu dibutuhkan upaya terintegrasi yang sistematis mulai dari analisis keinginan pasar, kemudian respons terhadap pesan dan channel yang efektif. Melalui analisa dan strategi yang tepat, upaya komunikasi dapat menembus persetujuan pelanggan dan akhirnya membangun preferensi terhadap merek halal kita. Biasanya seorang pemasar yang ulung memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memberikan sugesti dan persuasi yang kuat kepada konsumen. Namun demikian seiring dengan kemampuan persuasi tersebut, dibutuhkan tanggung jawab.
Demikianlah dimensi yang kedua ini muncul, dimensi Edukasi. Usaha pemasaran diharapkan mampu mengelevasi kemampuan masyarakat dalam menjalankan kesehariannya. Sebagai contoh, di Indonesia, tingkat literasi masyarakat dapat dikatakan masih rendah. Skor PISA menempatkan Indonesia di urutan 69 dari 81 negara. Bahkan survei UNESCO menyatakan minat baca Indonesia sangat rendah setara 0.001% yang artinya hanya 1 dari 1000 orang yang rajin membaca. Saya curiga jangan-jangan kita termasuk yang 999 itu.
Maka pemasar tidak boleh memanfaatkan rendahnya literasi ini justru untuk menipu, mengambil manfaat sebesarnya. Kita punya tanggung jawab untuk menjelaskan, meningkatkan pengetahuan masyarakat. Alangkah indahnya jika pemakai kosmetik, kemudian belajar tentang anatomi dan kesehatan kulit dari produk kosmetik. Konsumen makanan halal belajar bagaimana kandungan gizi dan konsep-konsep organik dari konsep komunikasi perusahaan makanan, dan lain sebagainya.
Berikutnya dimensi Responsibility, atau tanggung jawab. Pemasar produk halal perlu yakin benar terhadap hasil penggunaan produk kepada pelanggan dan bertanggung jawab apabila ada efek samping atau hal yang tidak sesuai. Misalkan dalam aplikasi kosmetik yang memerlukan treatment khusus, pengusaha tidak boleh berlepas tangan, menyerahkan semuanya kepada konsumen yang memiliki pemahaman dan kondisi situasional yang berbeda-beda. Tanggung jawab menyebabkan kita selalu berhati-hati dalam mengembangkan produk dan menyalurkannya kepada pasar.
Basis dari konsep Islam adalah jamaah, yang kita bisa terjemahkan dengan Komunitas. Pemasaran halal meninggikan aspek membangun komunitas yang loyal. Komunikasi perlu dibangun untuk menarik konsumen-konsumen halal dalam satu komunitas yang dapat saling menguatkan, saling mendukung. Saya maksudkan dalam hal ini, adanya dialog antara konsumen dengan konsumen. Dialog multiarah merupakan ciri khas pengembangan komunikasi di era digital, yaitu ketika konsumen memiliki kendali atas media yang egosentris.
Fungsi komunikasi pemasaran yang berikutnya adalah dimensi Ajak, atau syiar. Mengingat ajaran Islam merupakan kebaikan universal, maka pebisnis halal perlu menempatkan dirinya sebagai representasi dari ajaran Islam. Produk yang halal semestinya mencontohkan kebersihan, kesehatan, kerapian, dan hal-hal baik lainnya yang diwantiwanti oleh Baginda Nabi. Sebuah Rumah Sakit Islam, harus, sekali lagi harus, lebih bersih, lebih kompeten, lebih ramah, dari rumah sakit yang tidak menggunakan nama Islam. Terakhir, jika semua elemen komunikasi berkah tersebut dijalankan, kita bisa mengharapkan Hubungan Jangka Panjang dengan konsumen. Ini yang menjadi tujuan utama kita. Bersama-sama menuju keberkahan.
Demikianlah, tulisan pendek ini menjadi otokritik sekaligus pengingat kepada kita semua bahwa deklarasi halal perlu diiringi dengan usaha terus menerus untuk menjalankan prinsip syariah secara menyeluruh dan berkelanjutan. Salam semangat, salam pembaharu.