13 minute read

Oman Abdurahman

29

ASA AIR, HUTAN, DAN LINGKUNGAN DI TATAR SUNDA REFLEKSI 20 TAHUN DPKLTS

Advertisement

Oman Abdurahman

Sahabat DPKLTS Kepala Museum Geologi (2015-2018) Dosen di Politeknik Energi dan Pertambangan (PEP)

Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya mulai mengenal Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan kegiatannya melalui acara presentasi-presentasi dari alm. Prof. Mubiar, dan juga dari Pak Sobirin. Tema presentasi-presentasi itu terutama tentang budidaya padi SRI Organik Indonesia dan pengelolaan hutan, khususnya di Tatar Sunda. Dalam perjalanan saya sebagai mitra DPKLTS, saya juga sering menyimak tema lainnya, seperti tema bambu dan sampah, misalnya dari Kang Taufan, dan anggota DPKLTS lainnya.

Dalam mengenang 20 tahun DPLKTS, izinkan saya menyampaikan sedikit refleksi, lebih tepatnya sebuah asa atau harapan akan kiprah DPKLTS ke depan. Ini semacam saripati pengalaman selama berkegiatan dengan DPKLTS juga “mimpi” saya sendiri. Saya menyadari, mungkin asa ini belum sempat diwujudkan oleh DPKLTS saat ini. Namun, dengan modal kemitraan dan jejaring yang telah diraih, bukan tak mungkin DPKLTS beserta mitranya ke depan dapat merealisasikannya.

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 171

Renungan ini berada di seputar air, hutan, dan satu konsep pengembangan wilayah berbasis konservasi yang disebut geopark. Di dalamnya, disentuh pula tentang bambu, padi organik, sampah, pekarangan, mitigasi bencana, dan perubahan iklim. Perhatian akan tradisi dengan kearifan lokalnya, seperti karakter DPKLTS, menjadi bingkai yang merajut semuanya. Selain itu, topik-topik tersebut sebagian telah terbukti mampu dikelola dengan baik oleh mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal.

Air: Antara Jejak Tradisi dan Kenyataan Sehari-hari

Air atau cai bagi masyarakat Tatar Sunda atau Jawa Baratadalah sumber kahirupan (kehidupan) dan kahuripan (penghidupan), juga tempat pangancikan (bersemayam) diri. Hal ini sebagaimana tampak dalam tinggalan budaya yang masih ada, baik berupa catatan sejarah, peribahasa, tradisi, kesenian, dan lainnya.

Sebagai contoh, nama-nama tempat di Tatar Sunda yang banyak berawalan “Ci”, yang berarti mengandung air atau berkaitan erat dengan air, seperti “Citarum”, “Cicadas”, “Citanduy”, dan seterusnya. Jejak keserasian manusia dan alam juga terekam dalam peribahasa, misal, herang caina, beunang laukna; ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak, dan seterusnya; upacara adat misalnya “Hajat Laut”, Kawin Cai”, dan lain-lainnya.

Salah satu jejak budaya di Tatar Sunda warisan dari masa lalu adalah ajaran Patanjala. “Kita tiru wujud patanjala, pata berarti air, jala berarti sungai, tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju kepada (alur) yang akan dilalui, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan (hal-hal) yang akan menggagalkan amal baik kita, jangan mendengarkan ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita sendiri, ya sempurna, ya indah …” (Amanat Galunggung, Atja dan Saleh Danasasmita, 1981). Demikian saripati Patanjala yang sering ditanggap oleh jajaran DPKLTS dari narasumbernya yang setia menggeluti ajaran tersebut di masa kini, Kang Rahmat Leuweung.

Saya menyaksikan, sedikit banyak DPKLTS juga menerapkan ajaran Patanjala dalam mengeluarkan kebijakan atau melakukan aksi pengelolaan sungai dan daerah aliran sungai (DAS)-nya di Tatar Sunda.

172 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

Memang tidak akan bisa sagemblengna (total), karena beberapa kendala yang di luar kemampuan untuk melewatinya.

Jejak budaya atau tinggalan tradisi, beberapa di antaranya masih hidup di masa kini, menunjukkan bahwa Tatar Sunda, di masa lalu, subur makmur oleh dan karena air. Tersebab, air yang melimpah itu oleh masyarakat di masa lalu, ditata, dikelola dan dimanfaatkan secara kreatif, bijak, dan selaras dengan lingkungan. Inilah yang oleh DPKLTS berusaha dibangkitkan kembali. DPKLTS berupaya merevitalisasi kearifan lokal dalam mengelola “warung jamu” (waktu-ruang-jumlahmutu) sumber daya air dan lingkungannya (mata air, sungai, danau, hutan, dan lainnya).

Kenyataannya kini sumber daya air di Indonesia, tak terkecuali di Tatar Sunda, masih menghadapi masalah “warungjamu”. Menurut pak Sobirin (2018), dalam bentuk angka indeks penggunaan air (IPA), diperoleh IPA untuk Jawa Barat lebih dari nilai 1 (satu). Ini berarti ketersedian air tidaklah cukup melimpah dan distribusi serta fluktuasinya masih belum merata. Halini terbukti dengan masih adanya kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan, di beberapa tempat bahkan kekurangan airbaku air minum, di musim kemarau.

Namun demikian, pengelolaan air yang bijak tinggalan para leluhur di masa lalu itu, sebenarnya adalah modal dasar dan kekayaan besar untuk pengelolaan sumber daya air ke depan. Bahkan, airlah, salah satunya, yang menyatukan konservasi dan tradisi serta wisata (“Cai Pesona Wisata Air Jawa Barat”, Oman Abdurahman, dkk, Disparbud Jabar 2020).

Beberapa peluang pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan budaya, dan tentunya, perkembangan teknologi, mulai dari inventarisasi data, implementasi atau pemanfaatan, hingga ke sosialisasi pengelolaan, juga dari konsep dan teknologi rain water harvesting, resapan air vegatif maupun non vegetatif, hingga ke pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS sebenarnya sudah termasuk kegiatan penyelesaian berbagai masalah “cross-cutting issues” (CCI’s), seperti pembangunan berkelanjutan atau apa yang kini dikenal sebagai SDG’s (Sustainable Development Goals).

Contoh kegiatan lainnya yang termasuk penyelesaian CCI’s: tani padi organik hemat air, pengembangan wisata hutan dan geowisata-geopark

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 173

(akan dikemukakan di akhir tulisan ini), budidaya bambu dan beberapa jenis tanaman pengumpul air lainnya, pengelolaan sampah, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, komponen kegiatan pengelolaan sumber daya air dominan, dan DPKLTS, sedikit banyak, telah berperan.

Hutan: Kabuyutan Mulai Dari Pegunungan Hingga Pesisir

Seiring dengan perhatian untuk menjaga waktu (agar ada setiap saat, tidak terpengaruh musim), ruang (distribusi merata), jumlah dan mutu, disingkat oleh pak Sobirin sebagai “warung jamu”, dari sumber daya air, DPKLTS juga menaruh perhatian atas hutan. Tentu, karena hutan adalah sumber air yang utama, juga berfungsi pengendali banjir.

DPKLTS jelas menempatkan hutan sebagai poros utama kegiatannya sebagai tercermin dari nama organisasi tersebut. Untuk pengelolaan hutan ini, DPKLTS juga merevitaslisasi salah satu nilai pokok dari tradisi atau budaya Tatar Sunda, yakni (hutan sebagai) kabuyutan yang berperan penting dalam pengelolaan lingkungan.

Sebagai kabuyutan, hutan adalah kepentingan sumber daya bersama, seperti air, dan fungsi lindung kawasan di bawahnya. Berbagai presentasi dari pak Sobirin, maupun aksi lapangan dalam hal ini saya saksikan sendiri, sudah pada trek memperlakukan hutan sebagai kabuyutan, yang dibaginya menjadi tiga area: leuweung titipan (istilah sekarang: hutan konservasi), leuweung tutupan (hutan lindung), dan leuweung baladahan (hutan produksi).

DPKLTS mewarisi semangat Rakgantang (Gerakan Gandrung Tatangkalan) yang dicetuskan oleh mang Ihin, panggilan akrab dari Letjen TNI (Purn) Solihin GP, mantan Gubernur Jawa Barat periode 1970-1975. Seharusnya demikian, karena mang Ihin adalah sesepuh DPKLTS. Rakgantang adalah gerakan penghijauan masif di seluruh Tatar Sunda di tahun 1970-an, jauh sebelum lahirnya KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada 1982.

Di area kehutanan ini, DPKLTS berkiprah aktif dalam memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah perihal kebijakan pengelolaan hutan yang baik dan benar, selain juga sosialisasi kepada masyarakat perihal yang sama, juga memberi contoh praktek penghijauan di lahanlahan kritis.

174 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

Perjuangan DPKLTS terkait kehutanan (dan kaitannya yang erat dengan sumber air) sangat serius. Misalnya, saat penolakan atas rencana pembangunan Bendungan Jatigede. Untuk penyediaan air irigasi pesawahaan dan lain-lain kebutuhan, di kawasan hilir yang dituju oleh rencana dibangunnya bendungan tersebut, DPKLTS mengusulkan solusi pengelolaan hutan, termasuk menghutankan kembali banyak lahan gundul di kawasan DAS Cimanuk, bagian hulu dari area rencana tubuh bendungan.

Demikian juga konsep talun (hutan kebun) merupakan materi kampanye yang khas dari DPKLTS dalam upaya menaikan rasio hutan atau jumlah lahan hijau kawasan lindung di Jawa Barat yang tak kunjung mencapai target. Perhitungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa luas kawasan lindung Jawa Barat adalah 45 persen dari luas wilayah, padahal oleh DPKLTS dihitung luasnya 55 persen, yaitu berdasar kemiringan lereng, jenis tanah, dan curah hujan.

Perjuangan memulihkan kawasan lindung ini merupakan prioritas DPKLTS, karena dari tahun ke tahun kondisi kawasan lindung Jawa Barat ini stagnan pada kondisi tidak lebih dari 20% yang terbilang sehat. Itulah yang menjadi penyebab Jawa Barat selalu terancam bencana hidrometeorologi sepanjang tahun, banjir dan longsor di musim hujan, serta kekeringan dan kurang air di musim kemarau.

Satu catatan lain yang penting perihal penghutanan (reboisasi atau sejenisnya), adalah hutan kaitannya dengan mitigasi bencana. Bahwa selain reboisasi di kawasan hulu dalam rangka mitigasi bencana banjir, hutan juga perlu ditumbuhkan atau dipelihara jika sudah ada, di kawasan pesisir yang rawan bencana tsunami.

Dengan demikian, DPKLTS ke depan juga dapat memberikan arah kebijakan dan menggerakkan masyarakat untuk menumbuhkan hutan di wilayah pesisir guna mitigasi bencana tsunami.

Revitalisasi Bambu, Padi Organik dan Olah Sampah

Salah satu tanaman yang kental dengan nilai tradisi dari Tatar Sunda, serba guna, dan ramah lingkungan adalah bambu. Tidak heran, bambu pun menjadi perhatian dan garapan DPKLTS. Salah satu karya DPKLTS dalam hal ini adalah “Rumah Bambu Tahan Gempa (Rumbutampa)” yang dipraktekkannya di Cigalontang, Tasikmalaya. Hal ini pernah dimuat

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 175

dalam artikel berjudul Rumbutampa Upaya Mitigasi Gempa di majalah Geomagz, Volume 6, Nomor 2, bulan Juni 2016, halaman 50-53.

Selain bambu, padi organik adalah tanaman lain yangmenjadi perhatian penuh DPKLTS. Bahkan padi organik lebih dahulu menjadi perhatian dan perjuangan DPKLTS. Dalam hal ini, jenis padi organik yang diperjuangkannya adalah “SRI Organik Indonesia”, nama SRI adalah singkatan dari System of Rice Intenfication.

SRI Organik Indonesia merupakan temuan dari pak Alik Sutaryat, mitra ahli DPKLTS, pada 2000. Pada waktu itu pak Alik bekerja di BPTP IV (Balai Proteksi Tanaman Pangan) sebagai Field Leader II Wilayah Jabar di Ciamis.Sejak 2007, Pak Alik dalam perjuangannya memasyarakatkan padi organik ini, kemudian mendapat sokongan penuh dari alm. Prof. Mubiar, Ketua DPKLTS 2001-2017, dan Pak Sobirin. Alm. Prof. Mubiar kemudian memformulasikan teori SRI ini secara akademis dengan nama “Bioreaktor”, yang secara formal beliau sampaikan dalam orasi pengukuhan guru-besarnya di ITB.

Antara bambu dan padi organik, khususnya SRI Organik Indonesia, memang banyak kesamaan atau saling keterkaitan. Keduanya adalah jenis rumput-rumputan. Bambu adalah tumbuhan atau tanaman yang multi manfaat. Padi adalah makanan pokok masyarakat Sunda, bahkan bangsa Indonesia pada umumnya, sejak berabad-abad yang lalu.

Bambu mampu menghasilkan air, yakni menyerap, menyimpan, dan mengeluarkan air dalam bentuk mata air. Sedangkan, padi SRI Organik Indonesia mampu menghemat air sampai 40% dari budidaya padi biasa. Tepat kiranya DPKLTS untuk terus memperjuangkan garapan budidaya bambu dan padi organik SRI Organik Indonesia.

Ke depan, kiranya diperlukan revitalisasi budidaya bambu dan beras organik. Untuk bambu, revitalisasi diperlukan sehubungan dengan kebutuhan akan bambu yang besar, minimal 600 Ha (komunikasi lisan dengan Kang Pon, seorang pegiat bambu di Jawa Barat) saat ini, yang meliputi pengadaan lahan, pembibitan, hingga penanaman, panen, dan pasca panen.

Sementara itu, revitalisasi bambu sudah sangat mendesak, mengingat penggunaan bambu kini dan ke depan sangat menantang dan berpotensi sebagai komiditi yang dapat menyelesaikan CCI’s.

176 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

Sedangkan untuk pertanian padi organik, diperlukan revitalisasi dalam hal teknologi pendukung. Misalnya, permesinan untuk menanam benih padi tunggal, sebagaimana salah satu ciri khas dari SRI Organik Indonesia adalah menanam padi benih tunggal; juga mesin untuk ngarambet (menyiangi) tanaman padi. Hal itu, selain untuk memudahkan pengerjaan budidaya, menanggulangi masalah kelangkaan tenaga kerja pertanian, juga agar pertanian padi organik ini lebih menarik bagi generasi muda.

Salah satu potensi bambu dan padi organik berkaitan dengan perubahan iklim, baik sisi mitigasi maupun adaptasi. Menurut hasil penelitian, bambu dapat menyerap 50 ton GRK (gas rumah kaca) setara karbondioksida per hektar per tahun. Ini adalah manfaat bambu untuk mitigasi perubahan iklim. Sisi adaptasinya, terkait dengan kemampuan bambu dalam memelihara ketersediaan air, mencegah bahaya longsor, juga menyediakan bahan baku untuk komiditi usaha, dari yang tradisional hingga yang modern.

Terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta seiring pula dengan pengelolaan lingkungan sehari-hari, serta pencapaian SDG’s, kini mengemuka tantangan pemanfaatan sampah dengan pola ekonomi sirkular atau sircular economy. Pengolahan sampah seperti itu antara lain bercirikan: sampah habis diproses dalam satu waktu, sehingga tidak diperlukan TPS maupun TPA, menghasikan pupuk organik dan sarana pertanian organik lainnya, serta media tanam (kompos), juga mendorong tumbuhnya ekonomi sirkular serta ketahanan pangan melalui tani pekarangan, dan lain sebagainya.

Mitigasi perubahan iklim dari pengolahan sampah ini dapat diperoleh dari tiga area, yaitu:

Pertama, dari mencegah pelepasan GRK, dalam hal ini terutama metan, melalui pengubahan sampah itu sendiri menjadi produk-produk ramah lingkungan.

Kedua, praktek penggantian pupuk kimia dengan pupuk organik hasil pengolahan sampah tersebut.

Ketiga, dari sejumlah kanopi (daun) pepohonan yang ditumbuhkan dengan sarana pertanian (pupuk, dan lain-lainnya) yang ramah lingkungan (organik, bukan kimia). Untuk semua itu, DPKLTS dengan

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 177

kemitraannya dan jejaringnya yang luas berpotensi menjadi pelopor, sebagaimana secara terbatas sudah dipraktekkan oleh pak Sobirin dan lainnya.

Untuk mitra DPKLTS, kini telah ada teknologi pengolahan sampah yang sangat menguntungkan, seperti misalnya teknologi “masaro”, atau manajemen sampah zero.

Mewujudkan Geopark Sunda di Cekungan Bandung Raya

Sejak pertengahan dekade 2020, Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian pada geopark, hal mana di luar negeri sudah berkembang hanpir dua dekade sebelumnya. Geopark Global UNESCO atau UNESCO Global Geoparks (UGGp) adalah wilayah geografis tunggal dan terpadu, di mana situs dan lanskap geologis merupakan hal penting secara internasional, yang dikelola dengan konsep holistik perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam sumber yang sama dinyatakan bahwa sebuah UGGp menggunakan warisan geologisnya (geoheritage-geodiversity) secara terintegrasi dengan semua aspek lain dari warisan alam dan budaya di kawasan itu(biodiversity dan culturaldiversity).

Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang masalah utama yang dihadapi masyarakat setempat, seperti menggunakan sumber daya bumi kita secara berkelanjutan, mengurangi dampak perubahan iklim dan risiko bencana alam. Dalam hal ini, Geo (Bumi) adalah Mother Earth yang menjadi wadah dan segala isi, dari alam hingga manusia dengan budayanya yang berkembang di atas wadah tersebut.

Sejak 12 Juli 2018 pada Konferensi Nasional Geopark ke-1 di kantor Bappenas di Jakarta, geopark telah diakui oleh Bappenas sebagai bagian dari pencapaian target SDGs.

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh lima kementerian tersebut, Menteri Pariwisata sebelumnya, menyampaikan keuntungan baik berupa konservasi warisan geologi (pelestarian kawasan alam dan budaya yang penting), pendidikan maupun ekonomi, yang nyata yang diperoleh dari geopark-geopark dunia. Misalnya, sampai dengan 2015, jumlah wisatawan yang mengunjungi geopark di China ada 436 juta

178 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

wisatawan, dengan pendapatan dari tiket masuk CNY 22.6 M (Rp 48.9 T), pendapatan tidak langsungCNY 21.6 M (Rp 46.7 T), penciptaan 0.26 juta lapangan kerja langsung, dan 2.2 juta lapangan kerja tak langsung, serta pembangunan sebanyak 23,100 motel/farm stay baru. Di Indonesia, perolehan keuntungan mulai dari aspek konservasi, edukasi hingga ekonomi yang telah nyata diperoleh dari Gunung Sewu UGGp.

Pada 2019, terbit Perpres Nomor 9 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Geopark. Di sini pengelolaan geopark terintegrasi dengan SDGs. Kemudian terbit Permen PPN/Bappenas Nomor15 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pengembangan Taman Bumi (Georpak) Indonesia Tahun 2021-2025.

Saat ini di dunia terdapat sebanyak 169 geopark yang telah diakui sebagai geopark dunia atau UGGp, tersebar di 44 negara, dengan terbanyak di RRC, 41 UGGp. Indonesia memiliki enam buah UGGp, yaitu Batur UGGp, Gunung Sewu UGGp, Ciletuh-Palabuhanratu UGGp, Rinjani, Lombok, UGGp, Kaldera Toba UGGp, dan Belitong UGGp.

Konsep geopark diyakin dapat menjahit gagasan atau asa-asa tersebut di atas dalam satu wilayah. Sumber daya air, hutan, bambu, padi organik dan tanaman lainnya yang dibudidayakan dengan pupuk dan sarana pertanian yang ramah lingkungan, dapat menjadi kegiatan utama di kawasan geopark. Yakni, kegiatan utama, baik sebagai sarana konservasi, edukasi, maupun pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan geopark melalui geowisata dan wisata hijau lainnya (eduwisata, agrowisata, dan lain-lainnya).

Apabila hingga saat ini belum diperoleh keuntungan multi aspek tersebut, bukan karena konsep geopark-nya yang buruk, namun lebih kepada pengelolaannya yang belum menemukan manajemen yang pas sebagaimana prinsip pertumbuhan geopark di dunia. Misalnya, unsur pengelola geopark yang kurang tumbuh dari bawah (bottom up).

Salah satu kawasan yang memiliki potensi geopark, yang sudah dilaporkan oleh penulis, dalam kaitan tugas, sejak 2013-an adalah Cekungan Bandung Raya, hal ini dapat dibaca tentang “Warisan Geologi Nusantara” oleh Oki Oktariadi dan Rudy Suhendar, Badan Geologi, 2018.

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 179

Bahkan nama geopark-nya telah ada sesuai usulan guru besar geologi kebanggaan Jawa Barat, Prof. R.P. Koesoemadinata, yaitu “Geopark Sunda”. Maka, mencuat asa akan DPKTS yang menjadi pelopor dalam mewujudkan “Geopark Sunda” di kawasan Cekungan Bandung Raya. Asa ini tidak mengangan-angan, karena perjuangan dan aksi DPKLTS selama ini di Cekungan Bandung Raya memang sudah berada pada trek kegiatan komunitas yang tumbuh membangun komponen-komponen dari sebuah geopark.

Dengan kekayaan mitra dan jejaringnya, sejumlah kegiatan yang mampu menyelesaikan CCI’s atau berkontribusi besar pada pencapaian SDG’s, seperti penumbuhan hutan bambu di Bandung Utara, taman kawung dan picung; pengolahan sampah dan tani pekarangan, dan sejenisnya, merupakan kegiatan utama di kawasan geopark tersebut selain geowisata.***

180 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021