4 minute read

23 Diversifikasi Pangan Bersama Rasi, Beras Singkong Maria Goreti Soemitro

23

DIVERSIFIKASI PANGAN BERSAMA RASI, BERAS SINGKONG

Advertisement

Maria Goreti Soemitro

Sahabat DPKLTS Pengurus Kaisa Indonesia

Jangan takut kelaparan. bumi Indonesia sangat kaya. Jika tak ada beras, ada penggantinya, singkong, ubi, sagu dan masih banyak lagi, demikian kurang lebih diutarakan Bapak Solihin GP yang akrab disapa Mang Ihin, dalam peringatan Hari Ketahanan Nasional yang diadakan Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda(DPKLTS).

Dalam event yang dihadiri perwakilan masyarakat adat dari seluruh tanah Pasundan tersebut, Mang Ihin mengajak Kang Going dan rekannya sebagai perwakilan masyarakat adat Cireundeu untuk tampil. Keduanya memakai baju adat Sunda, tampak tinggi, gagah dan bugar, seolah menyingkirkan stigma bahwa keseharian mereka mengonsumsi bukan beras padi tapi singkong,bukanlah hal penyebab kurang gizi.

Seperti diketahui, sejak tahun 1924 masyarakat adat yang tinggal di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Jawa Barat, telah mengonsumsi beras singkong. Berbentuk bulir tak beraturan, beras singkong yang dimaksud merupakan sisa proses tapioka, sehingga masyarakat adat Cireundeu menyebutnya sebagai “sasangueun”.

Berkat mengonsumsi beras singkong, atau kerap disingkat menjadi “rasi”, masyarakat adat Cureundeu telah berswasembada pangan

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 141

seutuhnya. Tak terusik harga beras padi yang naik turun harganya, dan tak berkontribusi pada keputusan pemerintah pusat untuk terus mengimpor beras.

Keputusan sesepuh masyarakat adat Cireundeu menetapkan rasi sebagai makanan pokok juga sangat berperan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Mewarisi kawasan berbukit seluas 60 hektar yang diapit oleh Gunung Kunci, Gunung Cimentang dan Gunung Gajah Langu, masyarakat adat Cireundeu menjunjung tinggi kearifan lokal dengan membagi daerahnya menjadi 3 kategori, yaitu:

Pertama: Leuweung Larangan (hutan terlarang) atau leuweung titipan, yaitu merupakan kawasan resapan air, dan masyarakat dilarang menebang pepohonan di hutan tersebut.

Kedua: Leuweung Tutupan (hutan reboisasi), yaitu kawasan hutan yang digunakan untuk reboisasi. Masyarakat boleh menebang dan menggunakan pepohonan di kawasan hutan ini, dengan syarat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Hasil penebangan digunakan untuk bangunan, bahan bakar dan perangkat seperti peti mati ketika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia.

Ketiga: Leuweung Baladahan (hutan pertanian), yaitu kawasan hutan yang dapat digunakan untuk berladang. Umumnya masyarakat adat Cireundeu bertanam jagung, kacang tanah, singkong/ketela, pisang dan kopi.

Rasi Inovasi Ketahanan Pangan

Secara berkala singkong dipanen, kemudian diolah untuk menghilangkan kandungan asam sianida (HCN). Langkah-langkahnya sebagai berikut:

Pertama: Singkong dikupas lalu dipotong-potong sebesar 5 - 10 cm. Potongan dibilas air bersih sebanyak 3 kali selama 5 - 10 menit, setiap bilasan.

Kedua: potongan singkong dihaluskan menggunakan mesin parut, lalu diperas. Air perasan diendapkan sehari semalam hingga menggumpal membentuk aci atau tapioka.

142 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021

Ketiga: dari 100 kg singkong diperoleh 35 kg aci dan 15 kg ampas. Ampas dijemur selama 2 -3 hari hingga kering dan berbentuk gumpalan kasar.

Keempat: gumpalan kasar ampas singkong diayak agar menghasilkan tepung. Tepung tersebut awet 2 - 3 bulan, asalkan disimpan di tempat kering.

Kelima: sebelum diolah menjadi rasi, tepung dibasahi air hingga merata. Kemudian dikukus selama 15 - 20 menit hingga menjadi buliran nasi. Selanjutnya, seperti halnya nasi padi, rasi bisa disantap dengan lauk pauk sesuai selera. Seperti tumis kentang, gulai jengkol, oseng labu dan sambal super pedas.

Sesuatu yang menarik, kala dunia meributkan dan mengampanyekan sociopreneur community sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan, masyarakat adat Cireundeu telah mengimplentasikan dalam aktivitas sehari-hari.

Salah satunya dalam produksi camilan berbahan baku rasi, yaitu egg rolls (bahasa Sunda: kue semprong), kicipir, kembang goyang, keripik bawang, dendeng singkong, serta beragam cookies lainnya. Kaum perempuan mendapat upah yang sama dengan kaum pria. Hasil penjualan digunakan untuk kebutuhan masyarakat adat Cireundeu, seperti pendidikan, biaya kematian, serta peringatan 1 Syura.

"Teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat, " demikian tertulis pada lempengan kayu hitam di salah satu sudut bale saresehan. Prinsip hidup masyarakat adat Cireundeu tersebut kurang lebih bermakna: "tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa masak nasi, tidak masak nasi pun asal bisa makan, dan meskipun tidak makan asalkan kuat".

Sebuah prinsip hidup yang dapat dipahami sebagai bukti bahwa tidak seharusnya Indonesia hanya terpaku pada satu jenis makanan pokok dalam mengimplementasikan konsep ketahanan pangan.

Hampir satu abad berlalu, masyarakat adat Cireundeu hidup sehat dan tak tersentuh kasus malnutrisi walau tidak mengonsumsi nasi yang berasal dari padi. Bahkan bisa menjaga keberlanjutan karena singkong

Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021 143

dapat dipanen sesuai kebutuhan. Sangat berbeda dengan padi yang harus dipanen seluruhnya agar lahan sawah bisa dibajak dan diolah.

Semangat kemandirian pangan dan kearifan lokal seperti masyarakat Cireundeu lah yang diperjuangkan para pendiri DPKLTS agar bisa diimplementasikan di seantero Nusantara umumnya, dan di Tatar Sunda khususnya.

Didirikan pada 10September 2001 oleh sesepuh, budayawan, akademisi Sunda,DPKLTS bercita-cita dan bergerak agar:

Pertama: terciptanya sumber daya kawasan lindung hutan dan kawasan budi daya yang kaya manfaat dan berkelanjutan sesuai kearifan lokal, tatanan adat, adab dan budaya karuhun yang menjunjung tinggi nilai nilai luhur, moral dan etika yang diwariskan oleh para leluhur.

Kedua: geledegan leuweungna, recet manukna, cur cor caina, gemah ripah, jeung makmur rahayatna. Ketiga: mengembalikan fungsi kawasan lindung hutan (leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung baladahan), supaya tidak terjadi no forest, no water, no future (leuweung ruksak, cai beak, manusia balangsak).***

144 Bunga Rampai - 20 TAHUN DPKLTS - 10 September 2021