Rangga Aputra: Harum Tanah Ketika Hujan Pertama

Page 1


Rangga Aputra

“Senirupa lebih dari ekspresi estetika ia adalah bukti rangkuman pengalaman manusia, saya bercermin dari pengalaman saya yang mengalami refraksi mata atau efek terkena cahaya matahari secara langsung ketika berkarya, lalu bermunculan kunangkunang dalam penglihatan, disana saya mendapatkan warna, kelimpahan bentuk yang saya cari, lalu dengan cara yang lebih konkret, kehidupan adalah warna.”

— Rangga Aputra

Katalog untuk

Pameran Tunggal Rangga Aputra

Harum Tanah Ketika Hujan Pertama

D Gallerie, Jakarta Sep 2025

Kurator A. Anzieb

Diterbitkan oleh

D Gallerie, Agt 2025

Jl. Barito I No.3, Kebayoran Baru Jakarta 12130 +62 21 739 9378 dgalleriejakarta@gmail.com dgalleriejakarta.com

Desain oleh Kotasis 333 Surabaya, Indonesia www.kotasis.com

DICETAK DI INDONESIA

Rangga Aputra

HARUM TANAH KETIKA HUJAN PERTAMA

D GALLERIE, JAKARTA

HARUM TANAH KETIKA HUJAN

PERTAMA

PAMERAN TUNGGAL RANGGA APUTRA

“... keseluruhan karya Rangga

Aputra, lukisan maupun patung

pada pameran tunggalnya ini

ada keunikan seperti merasakan

aroma bau tanah atau bau alam

ketika hujan pertama.”

“Harum Tanah Ketika Hujan Pertama” —Keunikan aroma ini kerap dinamai sebagai hujan bau tanah, atau bau alam yang sangat dinanti-nanti kedatangannya. Hampir semua orang pernah merasakan aroma harum itu, tapi tak sedikit juga yang menciumnya hanya sambil lalu.

“Harum Tanah Ketika Hujan Pertama” juga menandai perihal waktu, ada peristiwa alam —menandakan berakhirnya musim kemarau berganti musim hujan, dan akan menumbuhkan tetumbuhan yang sudah mengering, tetumbuhan yang sudah menyatu bersama tanah. Secara

“... gerakan artistik yang melatarbelakangi kekaryaan Rangga yang justru tidak berangkat dari kesadaran melukis tentang tetumbuhan, melainkan dari bias cahaya (matahari).”

metaforik “Harum Tanah Ketika Hujan Pertama” juga bisa diartikan cara alam menyapa kita, aromanya membisikkan tentang kenangan masa lalu, kerinduan, sekaligus membawa pesan akan datangnya hari gembira. Hari-hari yang penuh suka-cita yang bisa dirasakan segala yang hidup di bumi —tidak hanya bagi manusia, juga tumbuhan, binatang dan lain-lain karena mereka saling berkait, saling mempengaruhi, saling memberi isyarat dan seterusnya.

Menjumpai keseluruhan karya Rangga Aputra, lukisan maupun patung pada pameran tunggalnya ini ada keunikan seperti merasakan aroma bau tanah atau bau alam ketika hujan pertama. Selain itu, ada juga kesederhanaan dalam memilih diksi dan warna yang dipungut dari seputar keseharian serta lingkungan sekitar. Pemilihan diksi yang sangat mudah dipahami, diksi-diksi yang lebih dekat dengan

“... warna yang memiliki makna kultural dan spiritual yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat sekaligus mengandung beragam bahasa yang metaforik.”

alam lingkungan, tanah, langit, dedaunan, tetumbuhan yang menyerupai sulur-sulur dengan beragam fantasi dan naluri. Sulur-sulur sendiri secara arkaik bisa dimetaforkan sebagai gambaran hidup atau dinamika kehidupan yang kompleks. Ketaksadaran itu melekat bersama memorinya, pengalaman sosial, kultural, spiritual, atau keinginan merawat kenangan yang beririsan dari masa lalu dan kehidupan sehari-hari, nostalgis, sekaligus empirisme.

Sedangkan perihal warna-warna yang dipungut, juga warna yang ada di alam lingkungan sekitar, yaitu warna alam, seperti warna-warna daun, warna batang pohon, warna tanah dan lain-lain. Warna-warna yang bisa ditandai sebagai warna ekologis, warna yang memiliki makna kultural dan spiritual yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat sekaligus mengandung beragam bahasa yang metaforik. Sebut saja warna kuning kunyit, hijau daun pandan, hijau lumut, merah gula Jawa, warna tanah dan seterusnya. Namun warna-warna itu tidak ingin berdiri sendiri, ada warna alam lain yang turut bersisihan, warnawarna yang dihasilkan dari bias cahaya —hitam dan putih seperti halnya yang menjadi bagian unsur artistik kekaryaan di ruang pameran ini. Segala warna itu bukanlah warna yang berbeda, bukan juga perpaduan diantara satu sama lain yang telah merelakan diri menjadi satu-kesatuan karena perbedaannya tak penting lagi bagi mata telanjang.

Sampai di sini kita perlu merasakan gerakan artistik yang melatarbelakangi kekaryaan Rangga yang justru tidak berangkat dari kesadaran melukis tentang tetumbuhan, melainkan dari bias cahaya (matahari). Dalam bias cahaya itu kemudian memunculkan bercak hitam putih seperti

kunang-kunang bertebaran atau bintang-bintang yang jauh pada penglihatannya. Ia berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis cahaya bahkan menyerupai bentuk-bentuk yang mengambang, bergerak ke arah depan, ke samping, saling menyelinap, berputar dan seterusnya.

Rangga sadar bahwa semua menjadi “abstrak” dan tak mudah untuk divisualkan, dari hal yang tidak ada menjadi ada seperi menemukan cahaya dan kebahagiaan yang sebelumnya menghilang. Selain bintik-bintik atau pusat cahaya yang sesekali memendar, muncul juga abstraksi dedaunan, tetumbuhan yang berfantasi menyerupai sulursulur —ia serupa puzzle-puzzle yang ikut melekat dalam kesehariannya. Bukankah belakangan ini Rangga bersama istrinya mulai menjalani kesukaan merawat tetumbuhan yang ditanam di sekitar studio? apalagi tempat tinggal

Rangga tak jauh dari area perbukitan, berada diantara lahan persawahan, tanaman padi/Jerami, alang-alang, rerumputan dan lain-lain. Alam lingkungan itu dengan sendirinya melekat ke dalam memorinya, bersisihan dengan keseharian dan kenangan masa lalu.

Maka, keunikan lain yang bisa kita jumpai adalah bahasa kekaryaan yang cenderung “abstraksi”, yang secara artistik dieksperimentasi dengan teknik plototan cat minyak dari dalam plastik yang dilubangi bagian ujungnya justru tidak tampak ruwet. Pergerakan garis-garisnya hadir tanpa struktur yang formal dan kita juga lebih menjumpai sebuah brushstroke yang ekologis —hal ini juga semakin menguatkan ketaksadaran pada kekaryaannya. Barangkali kita bisa memasuki keartistikan ini lebih dalam, bahwa kalau kita ingin menarik akar brushstroke ala Indonesia

“Sepertinya Rangga hendak mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengambil jeda, saling membaca seputar kehidupan dan hidupnya masing-masing.”

sebenarnya bisa berangkat dari hal-hal ekologis – lihat saja jerami, alang-alang, rerumputan, belukar, dapuran bambu dan lain-lain yang semuanya berupa garis.

Bukankah tanah, air, tetumbuhan, alang-alang, bambu, tetumbuhan, jerami, belantara, sulur-sulur dan lain-lain menjadi awal menumbuhkan material, menjadi satu frekuensi dalam memandang alam untuk kehidupan manusia, flora dan fauna? Resonasi yang akan dihasilkan dari ketiganya adalah tatanan kehidupan bersama. Seperti halnya gunung-gunung adalah sudut pandang untuk membuat alur hidup yang selalu memberikan energi di kanan kirinya, atau pohon-pohon yang membagikan angin ke sekelilingnya, saling berbagi —untuk kehidupan bersama, suka dan duka. Jika masing-masing dipisahkan maka akan saling menderita, manusia dipisahkan dari

tanah, manusia dipisahkan dari air, atau dipisahkan dari tetumbuhan.

Bila kita identifikasi keseluruhan karya-karya Rangga di sini merupakan manifestasinya untuk memunculkan hal yang tak tampak kasat mata menjadi ada. Boleh dibilang ia punya kecenderungan yang sangat subjektif, lebih mendekat pada halhal yang unik dan mampu dibaca oleh jiwa —sebuah kekaryaan yang dilandasi oleh cara melihat dan cara membaca sesuatu yang tidak lumrah, tidak biasa, tidak seperti cara pandang umumnya orang kebanyakan. Tentu ada proses dan tahapan yang saling bersapa, ada “pencernaan” untuk mencapai estetika selanjutnya menjadi hal artistik. Sepertinya Rangga hendak mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengambil jeda, saling membaca seputar kehidupan dan hidupnya masing-masing. Lalu silahkan dikunyah-kunyah, dirasakan agar menjadi daya artistik, ia pun perlu dibaca, ditafsir, dicerna, dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari —dan jadinya adalah metafor dari gambaran hidup dan dinamika kehidupan.

1. Bagaimana kamu memaknai tetumbuhan yang berfantasi seperti sulur-sulur sebagai Bahasa artistik dalam karya lukisan dan patungmu?

Saya memaknainya sebagai alam bawah sadar yang menuntun saya untuk merasakan kesegaran melalui visual, muncul seperti puing-puing memori untuk menghadirkan ingatan akan cahaya dan tanaman, merawat tanaman juga menjadi hobi baru saya saat ini, lalu saya kombinasikan dengan bias cahaya, membuat fantasi baru untuk dirasakan keberadaannya.

2. Ada pesan khusus apa tentang sulur-sulur itu dalam perjalanan kehidupanmu, dari masa lalu, saat ini dan masa mendatang?

Sulur-sulur yang menjadi simbolik akan alam, sulursulur juga saling terhubung dari awal hingga akhir mengisyaratkan tentang manusia pada akhirnya akan kembali pada alam dan kita pun patut menjaga kelestariannya. Disini saya mulai menyadari tumbuhan dapat muncul menjadi garis maupun brush-stroke yang kaya.

3. Bagaimana cara kamu mengharmonisasi antara bias cahaya, tetumbuhan dan warna-warna bisa saling bersisihan dengan teknik melukis yang digunakan? Saya memulainya dengan struktur awal pada background bergradasi ataupun blok yang berlapis, kemudian diikuti dengan sulur-sulur dan bias cahaya terus berulang namun memiliki ritme hingga lapisan semakin tinggi semakin tebal. Saya menggunakan cat minyak yang dimasukkan ke dalam plastik lalu menekannya dengan perbedaan tekanan dan membentuknya sedemikian rupa, tidak lupa menggunakan campuran warna tersier untuk mencapai kematangan warna pada karya.

4. Menurut kamu apa yang unik dengan bias cahaya dan tetumbuhan sehingga selalu menjadi motif utama dalam gagasan kekaryaanmu?

Keunikan itu saya pikir ada pada prosesnya, karena saya mengalami refraksi mata saat melihat cahaya matahari secara langsung dan kemudian kunang-kunang muncul saat kondisi ruangan gelap, lalu menjadi ide dan tumbuh secara organik, saat semua dipindahkan menjadi karya itu seperti keajaiban yang melampaui ekspektasi saya sebelumnya.

5. Apakah kamu merasa cukup puas dengan capaian artistik karya-karya yang dipamerkan ini?

Mencoba mensyukuri tiap pencapaian kecil pada karya saya, namun untuk kepuasan saya kira belum puas karena saya ingin terus bertumbuh dengan membuat karya yang lebih besar secara ide maupun ukuran.

2025

Dancing in The Moonlight Oil on canvas
80 x 200 cm

Meditation and Metamorphosis of Plants

Oil on canvas

200 x 300 cm

2025

Untitled Oil on canvas
30 x 40 cm 2025
Untitled Oil on canvas
30 x 40 cm 2025

30 x 40 cm 2025

Untitled Oil on canvas
Untitled Oil on canvas
30 x 40 cm 2025
Untitled Oil on canvas
30 x 40 cm 2025

30 x 40 cm 2025

Untitled Oil on canvas
Antar Gelombang Dalam Ruang Merah
Oil on canvas
170 x 210 cm

170 x 210 cm 2025

Berkelindan dalam Ruang Merah
Oil on canvas
Come From Nowhere Oil on canvas
55 x 75 cm
Tropical Exposure Oil on canvas
55 x 75 cm

55 x 75 cm

2025

Gema di Atas Meja Pelukis
Oil on canvas

Kemudian Muncullah Kunang Kunang di Mataku Oil on canvas

150 x 150 cm 2025

Let The Light In Oil on canvas 150 x 220 cm 2025

Let The Light In Number 2

150 x 220 cm 2025

Oil on canvas

172 x 142 cm

2025

Rhapsody in Absurdity
Oil on canvas
Silent Conversation #2
Diameter 150 cm Oil on canvas
Silent Conversation #3 Diameter 150 cm Oil on canvas

Silent Conversation

Diameter 150 cm Oil on canvas 2025

60 x 100 cm

Instrumen Sore Hari di Atas Vas Ungu Oil on canvas

80 x 120 cm

2025

Simphony of The Earth Oil on canvas
Simphony of The Earth #2 Oil on canvas 80 x 120 cm 2025

80 x 120 cm

2025

Simphony of The Earth #3 Oil on canvas

150

2025

Surfing Over The Vibrating Colours Oil on canvas
x 150 cm
Tropical Exposure
Oil on canvas
55 x 75 cm 2025

33 x 4,5 x 75 cm

2025

Bottle, Cactus and Something Else
Teakwood, oil on fiberglass

42 x 4,5 x 76 cm

2025

Circus Cactus Maximus
Teakwood, oil on fiberglass

32 x4,5 x 76 cm 2025

Hiu Martil (Hummerhead Shark)
Teakwood, oil on fiberglass

45 x 4,5 x 76 cm

2025

Sarang (The Nest)
Teakwood, oil on fiberglass

RANGGA APUTRA

SOLO EXHIBITION

2024

After Illusions: Tropical Echoes, Primo Marella Gallery, Milan, Italy

Engraving Memories and Grasping the Lights, Gallery Hayashi + Art Bridge, Tokyo, Japan

2023

The Order of Chaotic Lights, Primo Marella Gallery, Lugano, Switzerland

2022

Among The Fireflies, Primaenoctis

Artgallery via luchini 10, 6900, Lugano

2021

Artefact of Random Memories, RJ Katamsi, Sewon,Yogyakarta

The Colors of The Iris, Primo Marella

Gallery, Lugano, Switzerland

GROUP EXHIBITION

2024

Winter Show 2024, Gallery Hayashi + Art Bridge, Tokyo, Japan

Artissima Torino, Primo Marella Gallery, Oval Lingotto Torino, Italy

Art Jakarta, D Gallerie, JIExpo Kemayoran, Jakarta

ArtMoments Jakarta, D Gallerie, Sheraton Gandaria City, Jakarta

Art Jakarta Gardens, D Gallerie, Hutan Kota by Plataran, Jakarta

Setelah Perjumpaan, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta

Artefiera Bologna, Primo Marella Gallery, BolognaFiere, Bologna, Italy

2023

Harmony Unveiled, D Gallerie Jakarta

Art Jakarta, D Gallerie, JIExpo Kemayoran, Jakarta

AFAF Art Fair Asia Fukuoka, Gallery Hayashi + Artbridge, Marine

Messe Fukuoka Hall B, Japan

ArtMoments Jakarta, Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel

ExposerArt, Talenta Organizer, Plaza Indonesia, Jakarta

Pledge of Possible Art Exhibition, LAV Gallery, Yogyakarta

Miart Artfair, Primo Marella Gallery, Milano Italy

Bologna Artefiera, Primo Marella Gallery, Bologna Italy

The Big Picture, Astha District, Jakarta

2022

Again, Art Jakarta, JCC Balai Sidang

Jakarta

Noise, Bakaba Sarang Building

Kalipakis Yogyakarta

Warta 2022, Jogja Gallery Yogyakarta

Flow, YAA #7 Sangkring, Yogyakarta

Setelah Yang Baur Enggan Usai, Indieart House, Yogyakarta

From Orderly To Anti-order Aesthetics Construct Taiwan, Taipei

Art Expo Malaysia Let There Be Colour, Level 3A GMBB KL, Malaysia

2021

Artissima Artfair Giacomo Mattè Trucco 70 Turin italy

Asia Now Paris, asian artfair 9 aveneu Hoche, France

Rubannah Underground, show case Jakarta

Art Fair Philiphines 2021

Art Moments Jakarta June 2021

Abstract Vs Optical 2, Primo Marella Gallery, Milano, Italy.

Abstract Vs Optical, Primo Marella Gallery, Milano, Italy.

OPPO Art Jakarta Virtual Art Fair 2020, Sakato Art Community.

Letter To Star, part 2, in collaboration with Artemis, Julia Gallery, Langgeng Art Foundation and Vinyl on vinyl.

Warta Jogja Gallery, Yogyakarta

Re-Neo, Helutrans Artspace Jogja National Museum complex, Yogyakarta.

2020

U Need Studio for Humanity, pandemi covid 19, Virtual Exhibition.

Mini sexy, Ruang Dalam Art House, Yogyakarta.

Aksi Artsy, join u need studio, Gallery R.J Katamsi ISI, Yogyakarta.

2019

Transposisi, Langgeng Art Space, Yogyakarta.

Kertas Memanggil,  U Need Art Studio, Kasongan, Yogyakarta.

10x berapa? Tribute to Widayat 100th, Ruang Dalam Art House, Yogyakarta.

Japuik Tabao Jilid 3, Bentara Budaya, Palmerah Jakarta.

Unidea-Unity idea, Nalaroepa Ruang Seni, Karangjati, Yogyakarta.

Bebas, Sakato Art Community, Jogja Gallery, Yogyakarta.

Incumbent Yogya Annual Art, Sangkring Art Project, Yogyakarta.

Walking in the rhythm, Redbase, Yogyakarta.

Formmisi Surau dan rantau#3, Gallery R.J Katamsi, ISI, Yogyakarta.

International Exhibition Dewantara Triennale, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta.

Intention, Edwin’s Gallery,Kemang Raya, Jakarta.

Sakata pamer#1, Sabdacora x Sakata, Sakata Creative Space and Mini Café, Kyai Luhur guest house, Bandung.

2018

Mengingat Ingatan, Kiniko Art, Sarang building 2, Kalipakis, Yogyakarta.

Kepada Republik #4, Lobby Gedung Nusantara, DPR RI Senayan, Jakarta.

Japuik Tabao Jilid 2, Bentara Budaya, Bali.

FKY PAPERU 30, Planet Piramid, Yogyakarta.

Bromance, Gallery R.J katamsi ISI, Yogyakarta.

BAKABA #7 ‘Zaman Now, Sakato Art Community, Jogja Gallery, Yogyakarta.

To be known, Indies Heritage Hotel, Prawirotaman Street III, Yogyakarta.

APIK, Pameran angkatan 2014 ke-2,RJ KATAMSI ISI, Yogyakarta.

KARTARSIS, Redbase Art Foundation, Ngijo Street Sewon, Yogyakarta.

Sabdacora, 1 kg = 1 Art, Pyramid, Parangtritis Street, Yogyakarta.

2017

Bad Video Art, Moba (Museum of bad art), A3 Gallery, Moscow, Russia. 15x15x15, I Know What I Do and I Do It Anyway, Gallery Soemardja ITB, Bandung.

Extrana Figuration, Muroluquido, Florida, Colombia.

Wayang, Drawing Nusantara, Taman Budaya Yogyakarta.

Bakaba 5, Cadiak Indak Mambuang Pandai, Jogja Gallery, Yogyakarta.

Paint All etno teater center,  ISI Surakarta.

Aksi Artsy, collective artwork by Sabdacora. Gallery R.J Katamsi, ISI Yogyakarta.

JOY GENERATION, Gallery Hotel Prawirotaman, Yogyakarta.

Vetta olive, oper kontrak Gedongan Kasongan, Bantul, Yogyakarta.

Nandur Srawung #3, collective artwork by Sabdacora.  Taman Budaya Yogyakarta.

Candradimuka,  Museum Affandi,  Yogyakarta.

Dominiart,  ISI Surakarta,  Taman Budaya Solo.

Lupa-rupa, Jogja National Museum, Yogyakarta.

FBS UMY Mesin Vaganza, Sportorium Building, UMY, Yogyakarta.

2015

Disleksia Angkatan Murni 2014, Jogja National Museum, Yogyakarta.

Drawing Nusantara, Taman Budaya Yogyakarta.

Under Construction, Jogja Gallery, Yogyakarta.

Art For Orang Utan: Life Umbrella Species, Jogja National Museum, Yogyakarta.

2014

Spirit Grebeg Sekaten, Hotel Duta Wisata Jalan Solo Yogyakarta.

Water Colour Party, IAM  (Independent Art Space & Management) Nagan Lor, Yogyakarta.

EXPRE’51 UlangTahun SMSR ke 51, May 21th. Gallery SMSR, Yogyakarta.

Tugas Akhir SMSR ‘’MBALUNG SUNGSUM, May 9-11,  Taman Budaya  Yogyakarta.

Tak Membidik Titik, 14 Juny-14 July, Gendhis Resto, Sartika Street, Sagan,  Yogyakarta.

Art free Nyaur, 6-7 August,  KarangKletak Omah Petroek Kaliurang, Yogyakarta.

Art free Nyaur, trip 2 Bentara Budaya Yogyakarta.

2013

GLORY MY COUNTRY, Exhibition, SMSR, Yogyakarta.

SMSR Yogya feat SMSR Malaysia, Gallery SMSR, Yogyakarta.

Hari Bumi (Persembahan Untuk Bumi), PerahuArt Connection, Yogyakarta.

YSRI KEREN TANPA NARKOBA, Galeri Nasional, Jakarta.

Delart Exhibition SMA 8 Aku Cinta Pancasila, Taman Budaya Yogyakarta.

UII Youth Art Festival, Jogja National Museum, Yogyakarta.

Ander Rock, Asdrafi Art Space, Yogyakarta.

XI Lukis 1 OPEN THE FUTURE, Galeri Biasa, Yogyakarta.

Pameran Kompetisi Seni Lukis Remaja KEREN TANPA NARKOBA, Plaza Senayan, Jakarta.

2012

Aku Cinta Pancasila, Exhibition and YSRI National Competition,  Galeri Nasional, Jakarta.

Its Me, Gallery SMSR, Yogyakarta.

Migunani Tumrapin Liyan, Pameran Bersama, XT Square, Yogyakarta.

ART FREE, Rupa Garasi, Yogyakarta.

Persembahan untuk Bumi, Perahu art connection, Yogyakarta.

Good culture Good Future, Galeri SMSR, Yogyakarta.

“Saya

tertarik dengan tekstur

dan juga warna, tekstur nyata

dominan dalam karya saya dan itu

memberi saya peluang untuk dapat

menangkap banyak warna dari

cahaya yang otomatis muncul karena

adanya tekstur, karna hal itu pula

kegembiraan dan kelimpahan bentuk

menyatu utuh didalamnya.”

— Rangga Aputra

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.