

Papan Tulis Hitam Sebagai Platform
Heru Joni Putra
Bila kita perhatikan foto-foto suasana belajar anak-anak Indonesia di masa kolonial, papan tulis hitam adalah perkakas yang seringkali terlihat. Baik di sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda maupun rakyat Indonesia. Namun, lebih dari sekadar perkakas lumrah di sekolah zaman itu, papan tulis hitam merupakan simbol kontestasi yang penting bagi proses pembentukan negara Indonesia merdeka.
Belanda mendirikan sekolah untuk mempertahankan sistem kolonial di wilayah jajahannya. Kemampuan yang diajarkan kepada anak-anak Indonesia ditujukan agar para lulusan dapat menjadi pelayan bagi kebutuhan sistem kolonial itu. Sastrawan AA Navis (1924-2003) menyebut sekolah di zaman itu sebagai “sekolah yang menanamkan mental pribumi anak jajahan”.1 Meskipun sekolah-sekolah dalam sistem kolonial Belanda membangun imajinasi tentang kemajuan, anakanak Indonesia tetaplah dididik untuk menjadi budak. Tidak untuk berdiri di kaki sendiri.
Kesadaran untuk memberontak pun pelanpelan muncul dan pada gilirannya tidak dapat dihentikan. Kaum terpelajar, yang pada mulanya belajar di sekolah Belanda, mendirikan sekolah untuk rakyat Indonesia, dengan kurikulum yang ditujukan untuk menciptakan lulusan yang dapat hidup mandiri, tidak tergantung pada lowongan pekerjaan yang disediakan kolonial, dan yang tak kalah penting: punya visi untuk membangun Indonesia merdeka. Karena begitu krusialnya peran sekolah rakyat bagi pembentukan gerakan kemerdekaan, tokoh pendidikan antikolonial kita, Engku Sjafei (1893-1966), dengan tegas mengatakan bahwa sejelek-jeleknya sekolah yang dibangun rakyat Indonesia, maka jauh lebih baik daripada sekolah yang didirikan Belanda.2
1 AA Navis, Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei, Grasindo, Jakarta, 1996, hlm. 45 2 ibid, hlm. 33
Papan tulis hitam dengan demikian menjadi simbol untuk dua hal yang bertentangan: pelanggengan kekuasaan kolonial melalui ilmu-pengetahuan dan perlawanan atas kekuasaan kolonial sebagai dampak dari kesadaran anti-kolonialisme dalam berilmupengetahuan. Di papan tulis hitam itu, terbangun imaji tentang kemajuan yang dibawa Belanda dan di papan tulis hitam itu juga kesadaran untuk bangkit dari penjajahan ditumbuhkan.
“[Broeder Dujis] mengajar dengan menggambar segala sesuatu di papan tulis hitam, pena, seorang laki-laki, semuanya berupa gambar. Itu sangat menarik. Saat dia mengajari kami tentang Belanda, oh, sungguh menyenangkan!”, ucap sastrawan-rohaniawan YB Mangunwijaya (1929-1999) mengenang masa kecilnya ketika belajar di sekolah Belanda.3 Dari kenangan semacam ini kita dapat melihat kuatnya imajinasi yang berpihak pada kolonial tertanam di ingatan manusia. Kita tahu bahwa pada gilirannya Mangunwijaya tak tertundukkan oleh imaji-imaji kolonial semacam itu (karena itu kita di zaman ini mengenalnya sebagai intelektual penting bagi bangsa Indonesia), tapi berapa banyak pribumi lainnya yang belajar di sekolah Belanda di masa kecilnya dan kemudian tidak sedikit pun punya sikap kritis terhadap sistem kolonial.
3 Rudolf Mrazek, A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of its Intellectuals, Durham and London, Duke University Press Books, 2010, hlm. 205.
Catatan salah satu pendiri bangsa kita, Tan Malaka (1897-1949), dapat memberi kita situasi sebaliknya dari papan tulis hitam di zaman kolonial: “Apabila murid kelas tertinggi dari sekolah rakyat tadi melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis [hitam] sekolah menengah, maka kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban.”4 Lebih lanjut, Tan Malaka menulis, “Jawaban atas soal matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan pada diri sendiri dan kegiatan untuk meneruskan”.5 Di sekolah rakyat, papan tulis tak hanya memampangkan ilmu baru, tetapi secara psikologis juga berdampak pada lenyapnya rasa rendah diri sebagai bangsa terjajah. Hal seperti itu, di zaman kolonial, sangat besar artinya. Karena, sebagaimana pengamatan Tan Malaka, “Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika. Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzichter atau insinyur.”6
Tentu banyak intelektual Indonesia di zaman kolonial yang mendapatkan pendidikan Barat. Mereka tidak meluputkan peran pendidikan dan lingkungan di Barat bagi dirinya. Tapi, mereka melawan politik kolonial dalam
4 Tan Malaka, Materialisme, Dialektika, dan Logika. Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2015, hlm. 101
5 ibid, hlm. 100
6 Ibid, hlm. 101
menggunakan sekolah untuk kepentingan kolonial. Sekolah-sekolah yang didirikan rakyat di zaman kolonial mengambil banyak pengaruh dari Barat tapi dengan kesadaran baru bahwa anak-anak Indonesia mempelajari ilmu-pengetahuan untuk memerdekakan diri. (Suasana ruang sekolah di Metro, Lampung, sekitar tahun 1940. Sumber: Leiden University Libraries.)
Papan tulis hitam, dalam sekolah-sekolah rakyat demikian, adalah anasir politis bagi kebangkitan bangsa Indonesia melalui pemberdayaan ilmu-pengetahuan. Dan kebangkitan semacam ini tak bisa dilepaskan dari konsistensi untuk membaca kembali apa-apa yang sudah diterima, didapatkan, ataupun diwariskan. Tak ada yang salah dengan ilmu-pengetahuan, kecuali kekuasaan kolonial menjadikannya alat untuk tujuan penjajahan. Karena itu juga, papan tulis hitam tak terelakkan menjadi fasilitas untuk memperkarakan segala yang berpotensi menjadi doktrin; simbol dari arus balik bangsa terjajah yang sebelumnya hanya bisa menerima apapun tanpa kesempatan untuk bergerak lebih jauh.
Sebagai perkakas yang berkaitan langsung dengan upaya belajar membaca, menulis, menggambar, dan seterusnya—seperangkat praktik pembentukan intelektualitas manusia, papan tulis hitam sudah semestinya memantik para seniman untuk menciptakan karya seni.

Suasana ruang sekolah di Metro, Lampung, sekitar 1940. Sumber: Leiden University Libraries.
Bagaimanapun juga, era papan tulis hitam tak hanya menandai sejarah pendidikan kita secara umum, tetapi juga peran gambar dalam proses pembelajaran semua cabang ilmu, tentu, dalam kondisi khas Indonesia. Papan tulis hitam ada di dalam sekaligus di luar sejarah seni rupa kita.
Jumaldi Alfi merupakan satu-satunya seniman kita yang secara konsisten memberikan perhatian pada papan tulis hitam sebagai objek sekaligus wacana dalam lukisannya. Yang tak kalah penting, Alfi memperlakukan papan
tulis hitam dalam makna yang bersahutan dengan papan tulis hitam di sekolah rakyat. Dengan cara seperti itu, ia membicarakan dinamika di dalam sekaligus di luar gelanggang seni rupa.
Serial lukisan papan tulis hitam yang
dikerjakan Alfi lebih-kurang dalam dua dekade terakhir menunjukkan upaya menarik untuk memperluas makna penting papan tulis sebagai salah satu medium yang kita gunakan dalam proses menjadi Indonesia, tentu, di tengah pergaulan dengan bangsa lain. Pada mulanya, papan tulis muncul sebagai objek lukisan di beberapa karya dalam serial Postcard from the Past (2005). Alfi melukis papan tulis yang berisikan tulisan tegak bersambung dan juga sedikit coretan. Tulisan-tulisan itu tampak menimpal tulisan lainnya, sebagiannya bekas hapusan yang masih tersisa, dan sebagian kecil masih dapat kita baca. Di sini kita dapat melihat papan tulis dalam posisinya sebagai perkakas pendidikan. Pada mulanya, sebagaimana karyakaryanya lainnya di era itu, Alfi melukis papan tulis hitam karena dipantik oleh kenangan masa kecil di pedalaman Minangkabau semasa belajar menggunakan papan tulis hitam. Belum ada penekanan untuk menunjukkannya secara konseptual sebagai peranti yang politis.
Lukisan papan tulis hitam muncul secara konseptual (dan karena itu menjadi subjek persoalan yang utama), meski tidak di seluruh keping karya, yakni pada serial Colour Guide
Series (2007). Di sini, dalam salah satu karya bernomor #8, Alfi kembali melukis papan tulis dan membubuhkan tulisan tegak bersambung dari kapur berbagai warna. Tidak terlalu berlapis seperti di papan tulis pada serial sebelumnya, tulisan-tulisan tegak bersambung di sini lebih acak dan juga ditimpali sapuan, coretan, dan bercak di sana-sini. Sangat terlihat jelas, di papan tulis kali ini ada frasa “how to explain” di sisi atas-tengah dan sebuah gambar batu di bawahnya. Selain itu, lukisan papan tulis dalam karya ini hanyalah sebagian belaka dari keseluruhan lukisan. Sebagian lainnya berupa

Color Guide Painting #8
lukisan yang menggambarkan sisi belakang spanram. Dan di sini kita menemukan papan tulis hitam tak lagi diposisikan sebagai peranti ruang kelas belaka.
Alfi bermain-main dengan tulisan dan gambar di bentangan papan tulis tersebut, sebagaimana ia bermain-main dengan bentuk papan tulis sekaligus bentuk spanram lukisan. Pembubuhan frasa “how to explain” membuat upaya bermain-main tersebut menjadi tidak sekadar main-main, melainkan menjadi permainan yang mengajak kita setidaktidaknya untuk meninjau kembali makna pembingkaian (papan tulis, spanram) dalam pembentukan tanda (batu, tulisan). Interogasi visual atas politik representasi. Dan upaya seperti itu, dengan suatu dan lain tema, kelak menjadi kecenderungan utama Alfi dalam memperlakukan papan tulis hitam di lukisanlukisan berikutnya sampai saat ini.
Alfi gemar menjadikan sekeping karya bagian akhir di suatu serial sebagai awal bagi serial berikutnya. Ia kembali menunjukkan upaya meninjau, namun kali ini berbeda, misalnya karya berjudul “Homage to Beuys”, sebuah karya yang mengetengahkan dimensi alusinya terhadap seniman Jerman, Joseph Beuys (1921-1986), yang juga menggunakan papan tulis hitam, tentu dengan perlakuan dan visi yang tak sama.

Homage to Beuys, acrylic on canvas, 195 x 250 cm, 2007
Pada karya tersebut penampakan papan tulis hitam dilukiskan tidak seperti barang usang, melainkan dengan warna yang masih kuat pada masing-masing elemennya, misalnya bagian bingkai yang masih kokoh, bagian papan yang tampak masih kuat, juga sisa selotip yang masih menempel di beberapa bagian papan tulis. Kecuali jejak-jejak buram dari sisa tulisan dari kapur yang terhapus, bagian lainnya masih memancarkan warna yang relatif bersih-kuat. Di bagian kiri bawah ada sebuah kalimat separuh buram bertuliskan I Knew the Moment has Arrived to Kill the Past. Selain berbagai konteks yang melingkupinya,
kalimat itu seakan-akan menjadi perpisahan dari papan tulis gaya baru untuk papan tulis gaya lama di serial sebelumnya, apalagi sejauh ini tidak kita temukan Alfi melukis papan tulis hitam seperti yang dilakukannya di serial Postcard from the Past tersebut. Karya bernomor #8 ini dapat disebut sebagai salah satu pendahulu yang penting dari jenis lukisan papan tulis yang kini menjadi motif visual yang khas dalam perjalanan Alfi.
Serial Blackboard Paintings (2010) adalah tempat pertama bagi papan tulis gaya baru tersebut muncul secara penuh, sebagaimana yang juga ditegaskan dari judulnya. Dan serial ini tak sekadar melanjutkan akhir dari serial sebelumnya tetapi mengeksplorasinya lebih jauh. Apa yang tadi disebut sebagai “upaya meninjau kembali” itu diekspresikan dalam beragam bentuk dan kali ini Alfi membuat karya seni yang meninjau kembali makna seni; rupa yang memperkarakan rupanya sendiri; lukisan yang mempertanyakan dirinya sendiri.
Pada lukisan berjudul “Fake”, misalnya, kita dapat membaca kalimat everyone is an artist yang ditulis dengan tangan secara repetitif hingga memenuhi seluruh bidang papan tulis hitam. Beberapa bagian dari repetisi itu tidak sepenuhnya tertulis sampai selesai. Sedikit demi sedikit repetisi kalimat bergeser menjadi repetisi kata. Ada kalimat yang terpotong mengikuti batas papan tulis dan tidak ada sambungan setelahnya. Ada juga

kalimat yang tertulis dengan ketidakberaturan struktur tulisannya. Kalimat yang tidak lengkap bertemu dengan kalimat yang kata-kata yang
tidak utuh. Lalu, di bagian tengah papan tulis hitam terdapat kata fake berukuran besar yang dibuat dari kapur, menimpali repetisi kalimat sebelumnya.
Lukisan tersebut sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekaligus situasi yang melahirkannya. Seberapapun detail dan menyerupai papan tulis sebenarnya, lukisan itu bagai menyadari bahwa dirinya hanya imitasi material tiga dimensi ke dalam bentuk visual dua dimensi. Kemiripannya dengan bentuk papan tulis asli itu tidak dimaknai
Blackboard Series ‘Fake’, 2010
katakanlah sebagai keberhasilan menyaingi realitas, melainkan disadari sebagai realisme belaka. Sebagai upaya mengantisipasi suatu hal yang sudah dapat diduga, lukisan itu lebih dahulu menunjukkan kata “fake” sebelum kita tergoda untuk menilainya seperti itu. Dan para pemandang umum seakan diminta untuk mencari cara lain dalam memaknai realisme yang dihadirkannya.
Selain itu, di saat yang sama, karya ini seperti sedang bersiasat bahwa yang justru “fake” adalah gagasan tentang everyone is an artist. Gagasan ini mengandaikan bahwa setiap orang dapat disebut seniman sesuai dengan kategori yang diciptakan sendiri secara manasuka. Jumaldi Alfi dalam beberapa kesempatan menyampaikan ketidaksepakatannya dengan gagasan seperti itu. Jika semuanya bisa menjadi seni maka tak ada lagi fungsi seni sebagai alat untuk mempersoalkan nilai-nilai. Alfi selalu meyakini bahwa seni mengemban peran sebagai peranti untuk menawarkan alternatif nilai. Bila kita masih percaya bahwa hidup membutuhkan suatu nilai yang dijaga (alih-alih membuatnya segala bebas nilai), maka everyone is an artist palsu belaka.
Lukisan-lukisan lain dalam serial yang sama, dengan suatu dan lain cara, mempunyai tendensi yang tidak jauh berbeda dalam mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan (atau setidaknya melakukan refleksi) atas
hubungan antara seni, kehidupan, dan proses pemaknaan terhadap keduanya. Meski serial ini tampak seperti “seni yang hanya membicarakan dirinya sendiri”, tapi upaya membicarakan dirinya sendiri itu pada gilirannya membawa pada pembicaraan di luar dirinya: kehidupan. Jumaldi Alfi menyinggung persoalan ini dalam lukisan berjudul “Lie”, dengan membubuhkan frasa I think it’s not art, it’s about life pada papan tulis hitam. Bermainmain kata antara life dan lie, ia membangun ambiguitas untuk mengajak kita memaknai kembali apa makna dusta dalam seni maupun dusta dalam kehidupan, atau mungkin juga makna dusta seni terhadap kehidupan maupun dusta kehidupan terhadap seni. Di lukisan lain dalam serial ini Alfi juga menggunakan permainan kata-kata, permainan gambar, ataupun permainan kata dan gambar, untuk mengajak kita untuk merefleksikan kembali hubungan seni dan kehidupan.
Bagaimana kelanjutan lukisan papan tulis hitam Alfi setelah serial Blackboard Paintings? Lebih dari satu dekade setelah muncul pertama kali, serial tersebut ternyata belum selesai sampai saat ini. Ia terus tumbuh dan berkembang seiring pernyataan-pertanyaan baru yang muncul dari pikiran pelukisnya. “Dulu saya berpikir bahwa setelah serial Blackboard Paintings saya akan membuat serial lain, sebagaimana biasanya. Tapi seiring perjalanan, ketika saya membuat serial-serial baru, keinginan untuk membuat lukisan papan tulis,
melanjutkan serial Blackboard Paintings, terus tumbuh,” ungkap Alfi. Semenjak pertama kali muncul, Alfi ternyata mendapatkan satu modus kehadiran yang khas antara antara dirinya dengan model lukisan papan tulis: setiap kali merasa ada hal yang perlu dipertanyakan ulang dan dipelajari kembali, Alfi memperkarakannya dengan menggunakan papan tulis hitam.
Oleh karena itu, lukisan papan tulis sudah menjadi platform bagi Jumaldi Alfi; platform untuk meninjau kembali sekaligus menghadirkan kembali isu-isu tertentu. Lukisan papan tulis hitam bisa muncul kapan saja menyelingi serial-serial baru yang diciptakan kemudian. Ketika Alfi merasa ada suatu kondisi yang perlu diletakkan dalam kerangka “memikirkan kembali” (rethinking), maka ia akan kembali menggunakan lukisan papan tulis sebagai platform yang sudah disediakan untuk memampangkannya. Kemungkinan besar serial ini tak akan selesai selama Alfi tak henti-henti merenungi berbagai persoalan yang menarik perhatiannya.
Biasanya, lukisan papan tulis hitam muncul untuk mempersoalkan hal lumrah yang perlu dibaca ulang. Sesuatu yang dianggap lumrah cenderung menjauhkan kita dari sikap kritis. Jelas sekali ini akan menjadi kondisi yang menggairahkan Alfi untuk membuat kembali lukisan papan tulis hitam. Serangkaian lukisan berjudul “Re-reading Landscape” yang muncul beberapa tahun setelah rangkaian pertama
Blackboard Series memampangkan suatu peninjauan kembali atas tradisi potret dan lukisan Mooi Indie di Indonesia. Tentu upaya seperti ini sudah dilakukan sebelumnya oleh para seniman dalam berbagai bentuk jauh sebelum Indonesia merdeka. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa pelukis kenamaan kita, Sudjojono (1913-1985), menyebut lukisan Mooi Indie sebagai gaya yang berpihak pada kepentingan kolonial di Indonesia.
Dalam karya yang berjudul Melting MemoriesRereading Landscape, Mooi Indies #01 (2013) Alfi tampak mengingatkan kita kembali pada kritik Sudjojono terhadap lukisan Mooi Indie. Tapi itu bisa saja asosiasi cepat yang muncul di kepala kita ketika membaca judul dan objek lukisannya. Lebih dalam dari itu, ia mengajak kita untuk mempelajari kembali kondisi lingkungan alam kontemporer dan hubungannya dengan tradisi lukisan lanskap yang masih berlangsung sampai saat ini. Tidak hanya menekankan politik pembingkaian dalam memandang alam, lukisan ini juga memantik kita untuk memikirkan obsesi kita untuk membuat representasi yang lebih “indah” dibanding aslinya. Dan soal yang terakhir nyatanya kini menjadi persoalan yang sangat serius di era teknologi digital saat ini, seperti tampak gamblang dalam produk pariwisata alam. Dengan cara seperti itu, lukisan ini mengajak kita untuk belajar kembali memosisikan diri di antara ketidakseimbangan

Melting Memories-Rereading Landscape Mooi Indies #01, 2013
perlakuan kita pada presentasi (alam) dan representasi (lukisan/fotografi lanskap)
Selanjutnya, pada karya-karya berikut dari
Blackboard Series, kita tetap akan melihat berbagai intrik visual dan isu yang dipersoalkan Jumaldi Alfi, karena platform ini bisa diisi oleh gambar jenis apapun dan karena itu ia bisa untuk membicarakan apapun. Namun begitu, sekalipun platform ini bisa digunakan untuk menyuarakan apapun, Alfi tampaknya tidak semudah itu mempersoalan apapun, apalagi secara acak ataupun serba relatif, untuk menghadirkan semuanya di papan tulis
hitam. Yang jelas, salah satu gejala penting yang patut dicatat, Alfi cenderung mengusung topik tentang seni visual (sebagaimana contoh yang dijabarkan sebelumnya) ke dalam papan tulis hitamnya, mempertanyakan berbagai hal tentang seni itu sendiri, dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan sosial tempat kita saling berbagi makna ini.
Saat ini, melalui pameran Never Ending Stories (2024), platform tersebut memampangkan berbagai langgam lukisan abstrak, baik yang dilukis oleh Alfi sendiri maupun hasil penciptaan ulang lukisan karya pelukis Belanda, Piet Mondriaan (1872-1944). Kita tentu tidak mengenal Jumaldi Alfi sebagai pelukis abstrak, akan tetapi penggunaan langgam abstrak dalam lukisan-lukisannya bukanlah hal di luar kebiasaan si pelukis. Jika sebagian karya-karya Alfi menunjukkan peleburan yang harmonis antar berbagai corak lukisan, maka corak abstrak merupakan intrik yang sangat tepat digunakannya untuk menciptakan lapisan dan keterhubungan antar berbagai corak lukisan tersebut. Yang tak kalah penting: tanpa kehilangan efek distorsi dari corak abstrak itu sendiri.
Alfi kerap bercerita bahwa selama menjalani pendidikan seni (era 80an akhir sampai pertengahan 90an) ia diajar oleh guru-guru yang menganut paham seni lukisan “modern”. Batas tegas antar aliran lukisan sangat penting ditekankan, seiring dengan penekanan akan

pentingnya menemukan ciri khas pelukis. Sementara itu, kondisi medan seni-budaya di Indonesia saat itu sedang merayakan gagasan “posmodernisme”. “Di satu sisi saya diajarkan untuk mencari karakter sendiri sementara itu di sisi lain orang-orang sedang merayakan apapun sebagai karya seni,” ungkap Alfi.
Ia mengaku berada di tengah-tengah antara dua kecenderungan yang tampak berseberangan itu. Dari warisan seni modern ia “mengambil” pentingnya kapasitas teknis
Taman Rasa #03, Birthday, 2021
dalam melukis dan dari warisan posmodern ia “mendapatkan” kesenangan bermainmain sekaligus menerabas bentuk-bentuk yang ada. Sangat wajar bila kita melihat Alfi begitu fasih menggunakan langgam realisme, abstrak, ekspresionisme, dll. secara bersamaan dalam karya-karyanya. Semacam pertautan antara ketelatenan “modern” dan keliaran “posmodern”.
Kini, tidak seperti biasanya, abstraksi muncul sebagai artikulasi yang relatif memenuhi bidang gambarnya. Namun, apa yang disebut ekspresi penuh itu kalau dilihat secara keseluruhan tidaklah begitu jadinya, karena lukisan abstrak itu tetap saja hanya bagian dari apa-apa yang ditampilkan di atas bidang yang lebih besar, yakni papan tulis hitam. Dan karena ekspresi abstrak itu ditampilkan di atas platform, kita akan cepat memahami bahwa Alfi tidak sedang mencoba beralih menjadi pelukis abstrak, melainkan menggunakan ekspresi abstrak untuk menelusuri lebih dalam, mempelajari dan meninjau, suatu persoalan di luar sana. Perhatiannya saat ini adalah persoalan spiritual dan segala hal yang tak tersampaikan oleh bentuk yang tersedia. Salah satu judul lukisan dalam pameran ini, abstract painting is (not) easy, adalah artikulasi yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Mengedepankan ambiguitas antara mudah (easy) dan tidak mudah (not easy), Alfi menunjukkan tegangan khas seni lukis abstrak. Karena ikatan seni abstrak dengan
rujukan materialnya relatif sudah terputus, ia seringkali berada di dalam dua titik yang saling berlawanan: ia bisa dianggap tidak menawarkan apa-apa sekaligus dianggap mengandung makna yang sangat mendalam. Karena itu, upaya kita melakukan semacam refleksi batin melalui lukisan abstrak akan selalu membawa kita pada tegangan antara yang mudah dan yang tidak mudah. Ia bisa disebut mudah justru karena kita menghadapinya tanpa harus bolak-balik antara kenyataan dan lukisan, melainkan tetap fokus berhadaphadapan dengan lukisan itu belaka. Dan oleh karena itu, ia menjadi tidak mudah dihadapi karena kita membutuhkan sensibilitas, ketenangan, dan perhatian yang kuat agar dapat merasakan–katakanlah–semacam gelombang spiritual melalui sarana detail yang tersedia pada lukisan itu: warna, tektur, pola, lapisan, jejak gerak, dan seterusnya.
“Di medan seni rupa kini melukis abstrak semarak kembali. Ada karya yang menarik. Tapi banyak yang menganggap enteng abstrak. Mungkin karena dianggap tak berbentuk, sehingga kesannya mudah,” ungkap Alfi menceritakan salah satu situasi yang memantiknya untuk membuat lukisan kali ini. Seperti pengalaman spiritual, Alfi percaya bahwa bagian terpenting dari membuat lukisan abstrak adalah proses menuju ke sana. “Banyak orang melihat zikir itu mudah. Kalau dilihat saja memang terkesan mudah. Tapi kalau tidak ada rasa, zikir tak berarti apa-apa, hanya tinggal
gerak biasa saja,” lanjut Alfi menganalogikan. Lukisan abstrak, bagi Alfi, semestinya menjadi semacam ujung dari perjalanan dalam melewati sekian percobaan bentuk. “Ini malah tiba-tiba melukis abstrak, tanpa proses pencarian,” tuturnya.
Tak jauh berbeda dari kemunculan lukisan papan tulis hitam sebelumnya, kondisi semacam itu memantik Alfi untuk merenungi kembali lukisan abstrak dan ia sudah tahu apa yang akan dilakukan: menggunakan platformnya. Karya-karya yang menjadi kelanjutan dari Blackboards Series dalam pameran ini memberikan ruang yang luas bagi kita untuk belajar, mungkin juga semacam latihan, mengasah kembali sensibilitas untuk merasakan dimensi spiritual melalui bidang abstrak yang dilukisnya di papan tulis hitam. Lukisan abstrak menawarkan kepada kita bentuk yang tidak representasional, semacam cerminan dimensi non-material dari realitas, sehingga daya indra kita bisa saja dicapainya terlebih dahulu daripada kognitif. Keberadaan papan tulis hitam menjadi aturan main yang jelas: kita tidak sedang melihat lukisan abstrak, kita sedang belajar melalui lukisan abstrak.
Upaya Alfi untuk menghadirkan kembali gaya lukisan Piet Mondrian (1872-1944) merupakan tindakan yang menarik dan bukan tanpa alasan sama sekali. Perjalanan pencarian Mondrian yang sangat panjang tapi konsisten dari melukis pemandangan alam (post-
impresionisme) hingga abstrak murni (pure abstraction) adalah contoh yang disenangi oleh Alfi untuk menegaskan bahwa “abstrak adalah ujung dari pencarian”: pencarian yang melibatkan peningkatan daya spiritual. Dengan menghadirkan kembali lukisan Mondrian, Alfi mengajak kita untuk mengasah kepekaan kita melalui artikulasi yang serba minimal. Bilamana kita memaknai lukisan berdasarkan permainan representasinya, maka kita karya Mondrian menantang kita dengan kemurnian warna, keseimbangan ruang, ataupun kedinamisan komposisinya. Tapi sebelum mengajak kita, sesungguhnya Alfi terlebih dahulu timbultenggelam melatih dirinya sendiri dengan melukiskan kembali karya Mondrian. Sebelum kita ditawarkan untuk belajar bersama-sama, ia mencoba belajar terlebih dahulu di lukisan papan tulis hitamnya.
“Saya mencoba membuat sebidang kotak berwarna biru seperti yang dilakukan Mondrian, saya berkali-kali gagal mendapatkan sesuai apa yang saya rasakan. Saya mencoba terus-menerus. Bagi orang lain, sekilas tampak seperti hanya melapisi warna biru dengan warna biru, atau putih di atas putih, tapi tidak segampang itu. Betapa sulitnya mendapatkan suatu jenis warna biru yang kemudian dilapisi dengan warna biru yang berbeda. Sangat tipis tapi penuh pergulatan,” ungkap Alfi menceritakan upayanya melatih kepekaan melalui gaya lukisan Mondrian.
Tidak hanya melalui gaya lukisan pelukis lain, ketika Alfi membuat sendiri lukisan abstrak di atas lukisan papan tulis, ia juga memaknai proses itu sebagai upaya yang sama dalam mengasah kepekaan. Abstraksi yang dilukis Alfi, sebagaimana yang diharapkannya, selesai dalam satu momen melukis. Tidak ditambahtambah lagi setelah beberapa waktu. Namun, prosesnya tidak semudah itu. “Setelah selesai dalam satu momen melukis, kejujuran kita diuji. Setelah beberapa saat, godaan untuk memperbaiki atau menghias kembali akan muncul,” katanya.
Pameran ini menunjukkan hasil dari perjalanan Alfi, sebagai pelukis, untuk belajar kembali mengasah kepekaannya melalui lukisan abstrak. Dan kini ia memberikan kesempatan besar kepada kita, sebagai pemandang, untuk menemukan sendiri cara untuk mengasah kepekaan kita masing-masing. Kalau hanya dilihat bentuk akhir dari abstraksi itu, seberapapun memuaskan untuk dipandang, bagi Alfi tak akan sepenuhnya cukup untuk menyampaikan refleksi batin (inner reflection). “Bentuk,” ungkap Alfi, “hanyalah residu dari upaya mengasah spiritualitas.” Ia tetap mengedepankan apa yang didapatkan selama proses mengasah kepekaan spiritual daripada kenikmatan memandang hasil akhir, meski yang terakhir juga bagian penting darinya. Suatu pencarian spiritual, tetap saja, upaya untuk menggunakan bentuk untuk melampaui bentuk.
Pada lukisan berjudul How to Explain a Painting (As If Painting Never Existed Before), Alfi menunjukkan suatu upaya lain dalam “menggunakan bentuk untuk melampaui bentuk itu sendiri”. Salah satu persoalan penting dalam spiritualisme, misalnya terkait dengan sufistik, adalah tentang keterbatasan bentuk dalam mengekspresikan refleksi batin. Bentuk, misalnya bentuk figuratif, terbatas karena terikat oleh hukum ruang. Tapi di saat yang sama, spiritualisme tetap membutuhkan bentuk. Itu sebabnya, bentuk selalu menjadi perkara: digunakan untuk dilepaskan dan dilepaskan sambil digunakan. Dan seni lukis abstrak adalah bentuk yang paling memadai untuk menggambarkan berbagai pengalaman khas spiritualisme.
Bila pada ekspresi abstrak lainnya Alfi mencoba bermain ambiguitas dengan membuat bentuk yang terputus dari rujukannya di kenyataan, namun sekaligus menyelinginya dengan coretan/tulisan/alusi yang jelas mempunyai rujukan di kenyataan. Pada karya yang disebutkan tadi Alfi mencoba bergeser lebih jauh: ia sepenuhnya memutuskan gambar dari rujukan langsung pada realitas. Dalam bingkai abstrak yang dibuatnya, tak kita temukan satu pun rujukan ke kenyataan, bahkan penggalan judulnya pun mengandaikan suatu kondisi tanpa rujukan (As If Painting Never Existed Before). Sebagai abstraksi yang direfleksikan secara spiritualitas, hal yang tak kalah penting
dari karya ini adalah ketidakterikatannya pada arah atas dan arah bawah; karya ini bisa dipajang dengan dua posisi yang bisa diganti.
Bahkan jika bingkai abstrak dalam karya ini dilepaskan dari bingkai papan tulis, maka total ia bebas dipajang dengan posisi apapun tanpa ada indikasi khusus yang menunjukkan arah atas, bawah, kiri, dan kanan.
Mengapa karya satu ini dapat lepas dari ikatan dua/empat ikatan arah? Tak lain tak bukan karena Alfi mengubah perspektif tubuhnya ketika sedang melukis. Ia tidak lagi mengayunkan tangannya dalam menggunakan akrilik mengikuti hukum ruang yang sudah selesai, melainkan menumpuk aneka warna serta campuran akrilik dan membiarkan tumpukan itu mencari bentuk sendiri; sehingga pada hasil akhirnya kita dapat menyaksikan bahwa campuran akrilik itu membentuk arah memusat ke titik tengah kanvas sehingga bagian pinggirannya bebas dari ikatan arah, sehingga wajar bila di titik tertentu karya abstrak ini tampak seperti dibayangi sifat lingkaran.
Dalam hal ini, Alfi sedang menjalankan dua peran sekaligus: ia melakukan kontrol atas akriliknya dan ia sekaligus menjadi semacam fasilitator yang tidak sepenuhnya mengontrol melainkan membiarkan akriliknya mencari bentuk sendiri. Di sisi tertentu Alfi seperti sedang menganalogikan proses pencarian spiritual itu sendiri: manusia mempunyai batas
dalam mencari sekaligus manusia tak bisa hanya percaya pada batas itu sendiri. Kontrol dan tanpa kontrol di saat yang sama.
Sebagai residu, bentuk akhir dari lukisan
How to Explain a Painting (As If Painting Never Existed Before) tersebut dapat menganalogikan hasil dari suatu pencarian spiritual. Sebagaimana tadi kita bahas, jika dilihat dari bingkai abstraksi saja, semuanya dapat dibebaskan dari hukum arah manapun karena sifat lingkaran yang dikandungnya, namun jika dilihat dari bingkai papan tulis, ada bagian dari lukisan itu yang bisa lepas dari hukum arah tetapi di sisi lain ada yang masih terikat pada hukum arah. Dengan demikian, salah satu hasil penting dari pencarian spiritual adalah meningkatnya kesadaran tentang adanya ruang lain di luar kita yang membuat kita tidak ada apa-apanya dibanding yang kita rasakan di dalam ruang sendiri. Semakin besar ruang di luar kita maka kita semakin tidak berarti apa-apa. Karena itu, spiritualisme semacam ini dapat mendorong kita untuk berimajinasi tentang adanya dunia luas di luar imajinasi. Misalnya: jika kita mengakui adanya batas akal dan kita terus mencoba memahami dunia dengan akal, maka tentu itu berarti ada ruang lain di luar kita, semesta-semesta tak terbatas, yang bekerja lebih canggih dari apa yang kita ketahui.
Pada akhirnya, sebagaimana judul pameran ini, pencarian spiritual adalah kisah-kisah yang tak
berkesudahan (never ending stories). Bukan kisah tunggal tapi jalinan satu kisah dengan kisah lainnya. Pada mulanya, lukisan-lukisan saat ini dipantik oleh peristiwa di luar diri Alfi, tapi itu mengaktifkan memori tertentu dari masa lalunya. Dari sana, muncul lagi memorimemori lain yang tak selama sepadan dengan memori yang muncul sebelumnya. Setiap peristiwa adalah kisah, setiap ingatan adalah kisah, setiap pengalaman adalah kisah, setiap gejolak batin pun punya kisah tersendiri. Satu kisah dengan kisah lain tak harus harmonis. “Saya senang merayakan paradoks,” ungkap Alfi.
Dan sebagai platform, papan tulis hitam Jumaldi Alfi ini akan selalu menjadi sarana visual untuk merenungi kembali, mempertanyakan kembali, dan belajar kembali. Meskipun sudah lebih tiga dekade berkarir di medan seni rupa, ia tampak selalu ingin belajar dari manapun dan mengajak kita ikut-serta. Yang penting, hasil belajar itu dikontekstualisasikannya dengan situasi lingkungannya. Dikoneksikannya dengan pengalaman personal. Sebagaimana kata Tan Malaka7, dalam gejolak zaman kolonial dulu, “Belajar dari Barat itu perlu, tapi jangan jadi peniru Barat, jadilah murid Timur yang cerdas.”
Melihat lukisan apapun yang dibuat Alfi di atas lukisan papan tulisanya, sejak awal hingga kini,
7 Lihat Malaka, Aksi Massa, Bab XII, Khayalan Seorang Revolusioner, bisa diakses di www.marxist.org.
barangkali akan membuat kita lebih terbuka. Tak hanya untuk hal yang berseberangan dengan kita, tetapi juga untuk hal yang kita senangi sekalipun. Karena melalui platform itu kita pada prinsipnya diajak untuk melihat ke papan tulis dan baru setelah itu ke objek yang dilukis di papan tulis tersebut. Artinya kita disarankan untuk sama-sama belajar dengan pelukisnya. Jika apa yang ditampilkan Alfi semakin jauh dari kita, atau sesuatu yang selama ini kita hindari, maka itu semakin baik. Jika yang ditampilkan sesuatu dengan kesenangan kita, maka itu tak kalah pentingnya untuk menginterogasi kesenangan diri sendiri. Mempelajari kembali sesuatu untuk menguji keyakinan diri kita sendiri tentu jauh lebih bermanfaat bagi jiwa kita. Kita mempelajari sesuatu tidak untuk mengekalkan apa yang kita senangi.
Meskipun papan tulis telah menjadi platform untuk mempersoalkan banyak hal, Alfi tampak tidak ingin platform ini selesai begitu saja. Pada beberapa karya dalam pameran ini kita juga melihat ia meletakkan papan tulis tidak sebagai latar utama yang menaungi, namun dengan intrik pembingkaian yang sangat halus dan tipis ia meletakkan papan tulis sebagai objek yang berada di atas kertas (atau semacam itu) yang juga dilukis. Lukisan kertas menggantikan posisi papan tulis sebagai latar utama dan papan tulis, untuk sementara waktu, jadi objek yang perlu kita tinjau kembali. Alfi tak hanya mengajak kita meninjau kembali suatu
kesenangan atau ketidaksenangan kita pada suatu hal; ia juga mengisyaratkan agar kita tak luput meninjau lebih lanjut kerangka yang kita gunakan dengan riang ketika membuat suatu peninjauan.
Heru Joni Putra menulis puisi, esai budaya, dan catatan seni rupa. Buku puisi pertamanya Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Nuansa Cendekia, 2017) beroleh penghargaan sebagai buku puisi terbaik versi majalah Tempo 2018 dan Wisran Hadi Award 2019, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh George A. Fowler dengan judul
Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front (Lontar, 2020). Buku keduanya, sebuah nonfiksi tentang kontestasi memori, berjudul Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (Footnote Press, 2021). Buku puisi terbarunya segera terbit, Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan.

How to Explain a Painting - (Mondrian #01)
acrylic on canvas
150 x 205 cm 2024

How to Explain a Painting - (Mondrian #02)
150 x 205 cm
2024
acrylic on canvas

How to Explain a Painting - (Yves Blue)
150 x 205 cm 2024
acrylic on canvas

How to Explain a Painting - Pollock Number One acrylic on canvas
150 x 205 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #01 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #02 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #03
acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #04 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #05 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #06 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #07 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #08 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #09 acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Picture - Abstract Painting is (not) Easy #10
acrylic on canvas
150 x 200 cm 2024

How to Explain a Painting - [As If Painting Never Existed Before]
acrylic on canvas
200 x 300 cm 2024

How to Explain a Painting - [Pollock Accident] acrylic on canvas
200 x 300 cm
The Blackboard as A Platform
Observing photos of Indonesian children learning during the colonial era, one typically sees blackboards. Whether in schools established by the Dutch colonial government or by the Indonesian people, blackboards were common tools of the time. More than just common school equipment, a blackboard was an important symbol of contestation in the struggle for independence. The Dutch established schools to maintain the colonial system in their territories. The skills taught to Indonesian children were intended
Heru Joni Putra
to enable graduates to serve the needs of this colonial system. The writer AA Navis (19242003) referred to the schools of the era as “those that instilled the colonial mentality in native children.”1 Although these colonial schools awakened an imagination of progress, Indonesian children received education to be servants, not to stand on their own feet.
The awareness to resist slowly emerged, eventually unstoppable. The educated class, who initially studied in Dutch schools, established schools for the Indonesian people, with curricula aimed at producing graduates who would live independently, without being reliant on jobs provided by the colonials. Equally important for them were graduates who would have a vision to build an independent Indonesia. Due to the vital role of people schools in driving the independence movement, our anti-colonial education figure, Engku Sjafei (1893-1966), firmly asserted that, no matter how bad the schools built by Indonesians were, they were far better than the schools established by the Dutch.2
The blackboard thus became a symbol of two opposing subjects: the perpetuation of colonial power through knowledge and the resistance to colonial power as a result of anticolonial awareness in acquiring knowledge. On
1 AA Navis, Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei, Grasindo, Jakarta, 1996, p. 45.
2 Ibid, p. 33.
the blackboard, the imagination of progress brought by the Dutch emerged; and on the same blackboard, the awareness to rise from colonization flourished.
“[Broeder Dujis] taught by drawing everything on the blackboard, a pen, a man, all was a picture. It was so very interesting. When he taught us about the Netherlands, oh, it was such a pleasure!” The writer-clergyman YB Mangunwijaya (1929-1999) recalled his childhood when he studied in a Dutch school.3 From such memories, we can see how strongly colonial imagination is ingrained in people’s minds. We know that in the end Romo Mangun, as he was affectionately known, was not subdued by such colonial imaginations (which is why we recognize him as an important Indonesian intellectual). But how many other natives who studied in Dutch schools during their childhood did not have the slightest critical attitude toward the colonial system? One of our nation’s founders, Tan Malaka (1897-1949), noted an opposite situation regarding the blackboard during the colonial era: “When a top-class student of a people school saw a mathematics problem on a [black] blackboard in a secondary school, the admiration we mentioned earlier turned into amazement.”4 Furthermore, he wrote,
3 Rudolf Mrazek, A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of its Intellectuals, Durham and London, Duke University Press Books, 2010, p. 205.
4 Tan Malaka, Materialisme, Dialektika, dan Logika. Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2015, p. 101.
“The self-reliant answer to a math problem gives self-confidence and the drive to continue.”5 In people schools, the blackboard not only displayed new knowledge but also psychologically alleviated a colonized nation’s inferiority complex, which meant tremendous back then. As Tan Malaka observed, “The education system in Dutch schools did not add to but killed math activities. A student studied mathematics not because he liked the subject, but because he was forced to study it, to get a high rank, like opzichter or engineer.”6
Many Indonesian intellectuals during the colonial era indeed received a Western education and acknowledged its role along with a Western environment for them. However, they opposed the colonial politics of using education for colonial interests. Schools established by the people in colonial times took influences from the West but with a new awareness, which is that Indonesian children gained knowledge to liberate themselves.
The blackboard, in such people schools, was a political element for the rise of the Indonesian nation through the empowerment of knowledge. This kind of rise was inseparable from a consistent re-examination of what had been accepted, obtained, or inherited. There is nothing wrong with knowledge, except when colonial power uses it as a tool for colonial
5 Ibid, p. 100.
6 Ibid, p. 101

A schoolroom in Metro, Lampung, around 1940. Source: Leiden University Libraries.
purposes. Therefore, the blackboard inevitably becomes a means to question things before they become a dogma; a symbol of a colonized nation’s reversal that could only previously accept without any chance to rise.
As a tool directly related to learning in reading, writing, drawing, and so on—a set of practices in the formation of human intellectuality, the blackboard should indeed inspire artists to create art. After all, the era of the blackboard not only marks the general history of our
education but also the role of images in the learning process of all branches of knowledge, of course, in the specifics of Indonesia. The blackboard exists both inside and outside our art history.
Jumaldi Alfi is the only artist in our country who pays consistent attention to the blackboard as an object as well as a discourse in his paintings. Equally important, Alfi treats the blackboard in a way that resonates with those in people schools while addressing the dynamics both inside and outside the art scene.
The blackboard painting series that Alfi has been working on over the past two decades shows an interesting endeavor to expand the blackboard’s significant meaning as one of the mediums we utilize in becoming Indonesia amidst interactions with other nations. Initially, the blackboard appeared as a painting object in several works in the Postcard from the Past series (2005). Alfi painted blackboards filled with cursive writing and a few scribbles that seem to overlap with other writings, some of which are remains of erasure, and from which a small part can still be read. We can see here the blackboard in its function as an educational device. Initially, as with his other works from that era, Alfi painted the blackboard after a spark of childhood memories in the Minangkabau hinterland while learning to use it. There was no emphasis on presenting it conceptually in any political meaning.
The blackboard paintings started to appear based on a concept (and therefore became the main subject matter) in the Colour Guide Series (2007), although not in all pieces. In work numbered #8, Alfi painted a blackboard and added cursive writing in various colors of chalk. Not as layered as those in the previous series, the cursive writings here are more random and interspersed with strokes, scribbles, and smudges here and there. On this blackboard, the phrase “how to explain” is painted clearly at

Color Guide Painting #8
the top center with a drawing of a stone below it, and the blackboard here is only a part of the overall painting while another part depicts the back side of a stretcher frame. Thus, we find here that the blackboard is no longer merely classroom equipment.
Alfi plays with writing and images on the expanse of the blackboard, just as he plays with the form of it and that of the canvas stretcher. The phrase “how to explain” sheds light on the fact that this playfulness is not a just game, but also invites us to reconsider at least the meaning of framing (blackboard, stretcher) in the formation of symbols (stone, writing). It is a visual interrogation of the politics of representation, which, under one theme or another, has become Alfi’s main disposition in his treatment of the blackboard in his paintings today.
Alfi often makes the final piece in a series the beginning of the next one. This time he shows an attempt to revisit—differently—in a work titled Homage to Beuys, which highlights an allusion to the German artist Joseph Beuys (19211986), who also used the blackboard despite different treatment and vision.
In this work, the blackboard is not painted as a worn-out object, but with strong colors in each of its elements, such as the frame that seems to look sturdy, the board that appears strong, and the remains of the masking tape still attached

to various parts of the blackboard. Except for the blurred traces of erased chalk writing, the other parts exhibit relatively clean and strong colors. In the lower-left corner, a half-blurred sentence reads, “I Knew the Moment has Arrived to Kill the Past.” Beyond the contexts surrounding it, this sentence seems to mark a stray from the old-style blackboard in the previous series to the new one—especially since we no longer find Alfi’s blackboard painting as he did in the Postcard from the Past series. This work, numbered #8, can be considered one of the important precursors of Alfi’s type of blackboard paintings that have now become his distinctive visual motif.
Homage to Beuys, acrylic on canvas, 195 x 250 cm, 2007
The Blackboard Paintings series (2010) is the first place where the newly styled blackboard appeared fully, as also indicated by its title. Not only does this series continue from the end of the previous one but it explores further. What is previously described as an “attempt to revisit” is expressed in manifold ways and this time Alfi creates art that revisits the meaning of art itself; the visual that questions its own appearance; a painting that questions itself.
In the painting Fake, for example, we can read the phrase “everyone is an artist” written by hand repeatedly until it fills the entire blackboard. Some parts of this repetition are written unfinished. Little by little, the repetition of phrase shifts to the repetition of word. There are phrases cut off at the edge of the blackboard without their ends. There are also phrases written with irregular structure— incomplete phrases meet with incomplete words. In the middle of the blackboard, the word “fake” is written in large letters with chalk, intervening the previous repetitions.
The painting talks about itself and at the same time the circumstance that gives birth to it. Despite its detailed resemblance to an actual blackboard, the painting seems to be aware that it is merely a three-dimensional imitation translated into a two-dimensional visual form. Its similarity to a real blackboard is not meant to be seen as an achievement in life imitation

but to be recognized as mere realism. As a way to anticipate a preconceived notion, the painting presents the word “fake” before we are tempted to judge it as such. It is as if the painting invites viewers to find other ways to interpret the realism it brings forward.
At the same time, this work seems to plot that the real “fake” is the idea that “everyone is an artist.” This notion assumes that anyone can be called an artist according to a category they create themselves arbitrarily. Jumaldi Alfi has expressed his disagreement with such an idea on several occasions. If everything can be art, then art loses its function as a means for questioning values. He firmly believes that art has a role as a means to offer alternative values. If we believe that life requires us to maintain
Blackboard Series ‘Fake’, 2010
values (rather than making everything devoid of them), then “everyone is an artist” is just false.
Other paintings in the same series, in one way or another, have a similar tendency to encourage us to question (or at least reflect on) the relationship between art, life, and the process of meaning-making of both. This series might seem like “self-referential art,” but this self-reflective effort ultimately leads to discussions beyond itself: life. Jumaldi Alfi addresses this issue in a painting titled Lie, by adding the phrase “I think it’s not art, it’s about life” on the blackboard. Playing with the words “life” and “lie,” he creates ambiguity to invite us to re-evaluate the meaning of falsehood in art and life, or perhaps the falsehood of art towards life and life towards art. In other paintings in this series, he employs wordplay, image play, or a combination of both, to encourage us to reconsider the relationship between art and life.
What about Alfi’s subsequent blackboard paintings after the Blackboard Paintings series?
More than a decade after its first appearance, the series is still ongoing. It continues to grow and evolve with new questions arising from the painter’s thoughts. “I used to think that after the Blackboard Paintings series, I would make another series, as was usually the case. But as time went on, as I created a new series, the desire to create blackboard paintings and
continue the series kept growing,” Alfi says. Since its inception, he has found a distinctive mode of presence in the face of the blackboard painting model: whenever he feels something needs to be re-examined and studied anew, he addresses it using the blackboard.
Therefore, a blackboard painting becomes a platform for Jumaldi Alfi; one for revisiting and communicating certain issues. Blackboards can appear at any time, interspersing in new series created thereafter. When he thinks a condition needs to be laid out in a framework of “rethinking,” he will again use a blackboard painting as the ready-made platform to showcase it. It is likely that this series will never be completed as long as Alfi continues to ponder various issues that capture his attention.
Typically, blackboard paintings appear to address ordinary matters to be revisited. Something perceived as ordinary often distances us from a critical perspective and, clearly, this excites Alfi in his creation of blackboard paintings. The series titled Rereading Landscape, which emerged a few years after the first Blackboard Series, presents a re-evaluation of the portrait tradition and Mooi Indie painting in Indonesia. Many artists have made similar endeavors in various forms long before Indonesia’s independence. It is well known that our renowned painter, Sudjojono (1913-1985), referred to the Mooi
Indie painting style as one that served colonial interests in Indonesia.
In the work titled Melting Memories-Rereading Landscape, Mooi Indies #01 (2013), Alfi seems to remind us of Sudjojono’s critique of Mooi Indie painting—although this could be a quick association that comes to mind when catching this painting’s title and subject. Beyond that, though, he invites us to re-examine the condition of natural environments in the contemporary era and its relationship with the ongoing tradition of landscape painting. This painting not only emphasizes the politics of framing nature but also prompts us to consider our obsession with creating representations that are “more beautiful” than the original—an issue that has become a highly serious matter in the digital technology era, as clearly seen in nature tourism products. In this way, the painting encourages us to re-position ourselves amidst the imbalance between our treatment of presentation (nature) and representation (landscape painting/photography).
In subsequent works from the Blackboard Series, we will continue to see many visual schemes and issues that the painter addresses as this platform can accommodate any type of imagery and facilitate discussions on a wide range of topics. However, despite the platform’s flexibility, it seems that Alfi does not randomly or arbitrarily address topics for the sake of presenting everything on the

Melting Memories-Rereading Landscape Mooi Indies #01, 2013
blackboard. One important indication to note is that Alfi tends to focus on visual art topics (as previously discussed) in his blackboard paintings, questioning various aspects of art itself and connecting them with the social life where we find common meanings.
Currently, through the exhibition “Never Ending Stories” (2024), the platform showcases various styles of abstract painting, those painted by Alfi himself and his reinterpretations of works by the Dutch painter Piet Mondriaan (1872-1944). While Jumaldi Alfi is not known as an abstract painter, the use of abstract styles
in his paintings is not unusual for him. Some of his works may show a harmonious blending of different painting styles, therefore the abstract style is a very fitting scheme for creating layers and connections among these diverse styles. Equally important is that this approach maintains the distorting effects of abstract styles.
Alfi often shares that during his art education (from the late 1980s to the mid-1990s), he was taught by teachers who adhered to the “modern” painting philosophy. The clear boundaries between painting styles were emphasized, along with the importance of finding a personal artistic signature. Meanwhile, the art and cultural scene in Indonesia was celebrating the idea of “postmodernism.” “On one hand, I was taught to find my character, while on the other hand, people were celebrating everything as art,” Alfi explains. He admits to being caught between these seemingly opposing trends. From modern art, he “took” the essential technical skills in painting, and from postmodernism, he “got” the pleasure of playfulness and breaking through existing forms. It is natural to see Alfi so adept at using styles like realism, abstraction, expressionism, etc., simultaneously in his works, reflecting a merge between the “modern” meticulousness and the “postmodern” abandon.

Now, unlike usual, abstraction appears as a relative articulation that fills the canvas. However, what is called full expression, when viewed as a whole, does not quite result in what might be expected, as the abstract painting remains a part of what is displayed on a larger field, which is the blackboard. And since the abstract expression is presented on a platform, we quickly understand that Alfi is not trying to become an abstract painter but rather using abstract expression to delve deeper, to
Taman Rasa #03, Birthday, 2021
study, and to revisit an issue. His current focus is on spiritual matters and all that cannot be conveyed by available forms.
One of the painting titles in this exhibition, abstract painting is (not) easy, is an intriguing articulation for further exploration. By emphasizing the ambiguity between easy and not easy, Alfi highlights the characteristic tension of abstract art. Its tenuous connection with its material references allows two opposing points: abstract can be viewed as either lacking meaning or possessing deep significance. Therefore, our effort to reflect inwardly through abstract painting will always bring us to the tension between what is easy and what is not easy. It can be called easy precisely because we face it without having to go back and forth between reality and the painting, we can merely stay focused on the painting itself. And yet, it is challenging to engage with, as it demands our sensitivity, calmness, and focused attention to perceive what might be described as a kind of spiritual resonance through the available details in the painting: color, texture, pattern, layers, traces of movement, and so on.
“In visual arts, abstract painting is becoming vibrant again, interesting works emerge. But many people take abstract painting lightly. Perhaps because it is seen as shapeless, it looks easy,” Alfi reflects on the circumstances that inspired him to create this painting. Like
in a spiritual experience, Alfi believes that the most important part of creating abstract art is the process of getting there. “Many people see zikir as easy. If you see it, it does seem easy. But without feeling, zikir means nothing, just an ordinary movement,” Alfi continues with an analogy. For Alfi, abstract painting should be seen as a culmination of a journey across trials of form. “Not suddenly painting abstract, without a search process,” he ponders.
Not much different from the earlier emergence of the blackboard paintings, such a phenomenon prompted Alfi to reflect again on abstract painting and he knew what he would do: use his platform. The works that continue from the Blackboard Series in this exhibition provide ample space for us to learn—perhaps it also serves as a sort of training, to sharpen our sensitivity to experiencing the spiritual dimension through the abstract field painted on the blackboard. Abstract painting offers a non-representational form, a reflection of the non-material dimension of reality, allowing our senses to connect with it before our cognition. The presence of the blackboard sets a clear rule: we are not just viewing abstract painting; we are learning through abstract painting.
Alfi’s effort to reintroduce Piet Mondrian’s style (1872-1944) is exciting and not without reason. Mondrian’s long and consistent journey from painting landscapes (post-impressionism) to pure abstraction is an example Alfi
appreciates to emphasize that “abstract is the culmination of a journey”: a search that involves an enhancement of spiritual capacity. By reintroducing Mondrian’s paintings, he invites us to hone our sensitivity through minimalistic articulation. As we interpret paintings based on their representational interplay, Mondrian’s works challenge us with color purity, spatial balance, and compositional dynamics. But before inviting us, Alfi himself first immerses in and practices by re-painting Mondrian’s works. Before offering us the chance to learn together, he tries to learn by himself through his blackboard paintings.
“I tried to create a blue square just like Mondrian did, and I repeatedly failed to achieve what I felt. I kept trying. For others, it might seem like it’s just layering blue over blue or white over white, but it’s not that simple. It’s incredibly difficult to achieve a particular shade of blue and then layer it with a different shade of blue. Very thin but full of struggle,” Alfi describes his effort to hone sensitivity through Mondrian’s painting style.
Not only through another artist’s painting style, when Alfi creates abstract paintings himself on the blackboard, he also interprets the process as the same effort in honing sensitivity. The abstraction that he paints, as he hoped, is completed in one painting session. No more additions afterward, though the process is not that straightforward. “After finishing in one
painting session, it’s a test of honesty. After a while, the temptation to refine or embellish will appear,” he says.
This exhibition showcases the results of Alfi’s journey as a painter to re-hone his sensitivity through abstract painting. Now, he offers us, his viewers, a significant opportunity to find our own ways to hone our sensitivity. If we only view the final form of the abstraction, no matter how satisfying it is to look at, for Alfi, it will not be entirely sufficient to convey an inner reflection. “Form,” Alfi says, “is just a residue of an effort to refine spirituality.” He continues to prioritize what is gained during the process of honing spiritual sensitivity over the pleasure of viewing the final result, though the latter is also an important part of it. A spiritual quest, after all, is an endeavor to use form to transcend it.
In the painting How to Explain a Painting (As If Painting Never Existed Before), Alfi demonstrates another effort in “using form to transcend it.” One important issue in spiritualism, particularly in relation to Sufism, is the limitation of form in expressing inner reflection. Form, such as figurative form, is limited because it is bound by the laws of space. However, at the same time, spiritualism requires form, and this is why it is always a subject matter: it is being used to release and it is released while being used. The abstract painting thus becomes the most adequate
form to depict various experiences typical of spiritualism.
In his other abstract expressions, Alfi plays with ambiguity by creating forms that are disconnected from their references in reality. However, he simultaneously intersperses these forms with strokes, writings, and allusions that clearly reference reality. In this particular work, Alfi takes a further step by completely disconnecting the image from any direct references to reality. Within the abstract frame, there are no references to reality at all; even the fragment of the title suggests a condition devoid of reference (As If Painting Never Existed Before). Another important aspect of this work, as an abstraction reflected through spiritualism, is its detachment from upward and downward directions; it can be displayed in two interchangeable positions. Although the abstract frame is detached from the whiteboard frame, it can be freely exhibited in any orientation without specific indications for top, bottom, left, or right.
Why is this work free from the constraints of two or four binding directions? This is because Alfi changed his bodily perspective while painting. He no longer swung his hand while using acrylic according to the established laws of space; instead, he layered various colors and mixtures of acrylic, allowing the pile to find its own form. As a result, the acrylic mixture converged toward the center of the canvas,
leaving the edges free from binding directions, which gives the abstract work a shadowed circular quality at certain points.
In this process, Alfi performed two roles simultaneously: he exerted control over the acrylic while also acting as a facilitator, allowing the material to find its own form. In a sense, Alfi analogizes the process of spiritual searching: humans have limits in their quest, yet they cannot only rely on those limits. Control and lack of control coexist.
The final form of the painting How to Explain a Painting (As If Painting Never Existed Before) can be likened to the results of a spiritual quest. When viewed solely in the frame of abstraction, everything can be freed from binding directions due to its circular nature. However, when viewed in the whiteboard frame, some parts of the painting break free from these directional rules, while others remain bound by them. An important outcome of spiritual searching is an increased awareness of another space outside ourselves, which can make us feel insignificant compared to what we sense of our own space. The larger this space outside ourselves, the more we may feel that we mean nothing. This kind of spiritualism encourages us to imagine a vast world beyond our understanding. Acknowledging the limits of reason, and trying to understand the world with reason, imply that there are infinite
universes operating in ways more sophisticated than what we know.
Ultimately, as the title of this exhibition suggests, the spiritual quest is a never-ending story—not a single story but a weave of one story with another. Initially, the paintings today are sparked by events outside of Alfi himself, but they activate certain memories from his past. From there, other memories emerge that are not always comparable to the previous ones. It’s all a story: each event, each memory, and each experience; even each inner turmoil. One story does not have to be harmonious with another. “I enjoy celebrating paradoxes,” Alfi says.
As a platform, Jumaldi Alfi’s blackboard will always serve as a visual means for re-reflecting, re-questioning, and re-learning. Although he has been working in visual art for over three decades, he always seems eager to learn from anywhere and invites us to join him. Importantly, he contextualizes the results of that learning with his surroundings, connecting these with personal experience. As Tan Malaka said during the colonial upheaval,7 “Learning from the West is necessary, but do not become a mere imitator of the West; be a smart student of the East.”
7 See Malaka, Aksi Massa, Bab XII, Khayalan Seorang Revolusioner, accessible from www.marxist.org.
Looking at paintings Alfi has made on his blackboards, from the start to now, may further open us up, not only to things that are contrary to our position but also to those we are fond of. Through this platform, we are essentially invited to look at the blackboard first and then at the object painted on it, which means we are encouraged to learn alongside the painter. What Alfi presents may feel distant from us, it may be something we have been avoiding— but then it is even better. What he presents may also align with our partiality, which means it is equally important to interrogate it. Reexamining something to test our own beliefs is certainly more beneficial for our soul. We study something not to immortalize what we like.
Although the blackboard has served as a platform for exploring many questions, Alfi appears unwilling to let it come to an end so easily. In some works in this exhibition, we also see him placing it not as the foreground but with very subtle and thin framing schemes, placing it as an object on top of painted paper (or something similar). This painted paper takes over as the primary background, prompting us to re-evaluate its significance for the moment. Indeed, Alfi not only invites us to reconsider our pleasures or aversions to certain things; he also suggests that we should not overlook reevaluating the framework we casually employ in an act of revisiting.
Heru Joni Putra writes poetry, cultural essays, and art notes. His first poetry book, Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Nuansa Cendekia, 2017), won the Best Poetry Book award from the Tempo magazine in 2018 and the Wisran Hadi Award in 2019. It was translated into English by George A. Fowler under the title Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front (Lontar, 2020). His second book, a nonfiction work on the contestation of memory, is titled Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (Footnote Press, 2021). His latest poetry book, Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan, is set to be published soon.
Translated by Ninus Andarnuswari

JUMALDI ALFI (b. 1973, Lintau, Sumatra) is one of the most dynamic and influential artists on the Indonesian contemporary art scene today. A painter pur sang, Alfi came to international attention in the late ‘90s as one of the founding members of the influential art group Jendela, whose focus on aesthetic and material exploration within a more formalist and personal territory introduced a fresh dynamic into the world of Indonesian contemporary art. Alfi is particularly known for his compelling personal iconography of visual signs, reflecting existential and spiritual experience on both, an individual and collective level. In creating his comprehensive painting series such as Blackboard Paintings or, more recently, the series of Melting Memories, he draws on a scope of references from text to empirical objects of the natural world to Renaissance paintings and his own memories; the effect of his work being at once mysterious and intimate. Alfi lives and works in Yogyakarta, Indonesia and has exhibited extensively in Indonesia as well as internationally.

