2 minute read

Pentingnya Tata Krama di Lingkungan Kampus, Dosen Sosioantropologi:

Budaya Unggah-Ungguh Kian Memudar

Unggah-ungguh merupakan salah satu bagian budaya Jawa yang memiliki nilai luhur positif bagi kehidupan masyarakat. Unggah-ungguh erat kaitannya dengan budaya sopan santun, tata susila, dan tata krama yang umumnya diterapkan oleh masyarakat. Sikap tersebut dapat ditunjukkan melalui cara berkomunikasi serta berperilaku kepada orang lain. Sejatinya, nilai sopan santun ini terdapat di setiap daerah, tetapi istilahnya saja yang berbeda-beda. Budaya unggah-ungguh ini dibutuhkan untuk berelasi dengan orang-orang sekitar serta berfungsi untuk mengurangi perselisihan.

Advertisement

Argo Twikromo, dosen Sosioantropologi Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta mendefinisikan unggah-ungguh sebagai etika pergaulan yang penting untuk diterapkan di lingkungan kampus guna melatih siapapun, khususnya mahasiswa untuk terjun ke lingkungan masyarakat. “Saat ini budaya unggah-ungguh kian memudar di kalangan warga kampus,” ujar Argo. Hal tersebut terjadi karena adanya tingkatan yang menganggap bahwa yang perlu dihormati hanyalah yang memiliki kedudukan lebih tinggi, sehingga menyebabkan kurangnya sikap menghargai antar warga kampus. Meski demikian, budaya unggah-ungguh tidak sepenuhnya hilang dalam kehidupan kampus.

Sebagai salah satu kampus yang berlokasi di Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta juga turut mengajarkan mahasiswanya untuk mengetahui dan memelihara kebudayaan Yogyakarta melalui program wajib yang diberi nama “Jogja Istimewa”. Melalui program ini, para mahasiswa baru diharapkan dapat mengenal kebudayaan asli dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan dapat menerapkan budaya tersebut di lingkungan kampus. Dalam program tersebut, mahasiswa akan belajar mengenai pentingnya menerapkan budaya unggah-ungguh dimanapun ia berada untuk menjalin relasi dengan siapapun.

Meski dianggap memudar, berdasarkan pengamatan tim Teras Pers, masih cukup banyak mahasiswa yang menerapkan perilaku unggah-ungguh di kawasan FISIP UAJY. Salah satu bentuknya seperti memberi salam kepada cleaning service (CS), dosen, atau civitas academica Universitas Atma Jaya Yogyakarta lainnya.

Dionisius Yuan, salah satu mahasiswa FISIP UAJY mengaku sering menyapa CS atau satpam ketika berpapasan. “Setelah CS selesai mengecek STNK, aku biasanya mengucapkan “Matur nuwun, Pak,” atau “Monggo, Pak,” sebagai apresiasi karena mereka telah menjaga dan membantu kita sebagai mahasiswa,” ujarnya.

Lingkungan kampus merupakan tempat dimana terdapat berbagai mahasiswa dengan beragam latar belakang, agama, suku, ras, dan budaya yang berbeda. Dalam lingkungan tersebut, sangat penting bagi setiap individu untuk memahami dan menerapkan unggah-ungguh sehingga tidak terjadi perselisihan karena perbedaan.

“Etika itu ada dimana-mana, hanya saja bentuk dan namanya yang berbeda. Dengan adanya unggah ungguh dapat mencairkan relasi antar perbedaan, sehingga tidak ada perbedaan ekonomi dalam menghargai dan menghormati orang lain,” ujar Argo saat diwawancarai pada Sabtu (15/04/2023).

Unggah-ungguh yang baik dapat menciptakan budaya kampus yang harmonis dan inklusif, sehingga setiap mahasiswa dapat merasa dihargai dan diterima tanpa memandang perbedaan yang ada. Budaya unggah-ungguh bukanlah budaya yang dilakukan secara terpaksa, melainkan menjadi sikap alami dari dalam diri yang terbentuk karena adanya kesadaran pada setiap masing-masing individu. Tim Teras Pers juga berkesempatan untuk mewawancarai beberapa karyawan di FISIP UAJY. Salah satunya Fajar Dwi Santosa, cleaning service yang biasa membersihkan ruang kelas dan ruangan lainnya. Saat diwawancarai terkait budaya unggah-ungguh di kampus, Fajar menyatakan bahwa mahasiswa FISIP UAJY cukup ramah dan beberapa sering menyapanya saat sedang bekerja.

Hal serupa juga dirasakan oleh Zeky Meliawan dan Tejo Nurhartanto, cleaning service yang bertugas menjaga parkir di FISIP UAJY. “Mahasiswa FISIP cukup sering memberikan salam saat mau masuk atau keluar dari area parkir kampus. Walaupun, kadang-kadang memang terdapat beberapa mahasiswa dan dosen yang tidak menyapa juga. Namun, mayoritas dari dosen ataupun mahasiswa sangat ramah,” ujar keduanya.

Keberadaan budaya unggah-ungguh tidak hanya menjadi tanggung jawab dari mahasiswa, tapi segenap civitas academica UAJY juga. “Sopan santun harus kita terapkan dimanapun dan kapanpun karena hal tersebut menunjukan kalau kita memiliki etiket,” ucap Yohanes Sutanto, salah satu mahasiswa FISIP UAJY angkatan 2021. Menurutnya, dengan memberikan salam kepada para CS di kampus secara tidak langsung dapat memberikan dukungan emosional sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik.

Secara implisit, penerapan budaya unggah-ungguh juga dapat membentuk karakter baik bagi siapapun. Bagi mahasiswa, budaya ini dapat mengembangkan nilai-nilai seperti saling menghargai dan menghormati perbedaan, berkomunikasi dengan baik, dan yang terpenting menghindari perilaku diskriminatif atau pelecehan. Supaya budaya ini tetap dihidupi di lingkungan kampus, maka harus terdapat pendekatan yang digunakan untuk mengedukasi mahasiswa bahwa unggah-ungguh ini bersifat penting, inspiratif, dan positif. Dengan begitu, profil karakter mahasiswa UAJY yang inklusif dan sopan santun kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun bisa nampak dalam realitasnya.

This article is from: