
5 minute read
Ruang Hampa
Jarum jam menunjukkan pukul 11.30 siang, sebentar lagi tepat tengah hari. Aku, Naomi, seperti biasa masih terduduk lesu di bangku ruang kelas mendengarkan penjelasan dari dosen. Perempuan yang duduk di sebelahku, Lucia, terlihat tengah tertidur dengan lelap di bangkunya. Aku hanya menggelengkan kepalaku, tak mengerti bagaimana bisa ia terlihat nyaman untuk tidur di sebuah permukaan yang keras. Aku berusaha untuk membangunkannya, tetapi perempuan dengan rambut kecoklatan itu hanya bergumam tidak jelas. “Kalau ketahuan aku nggak ikut-ikutan,” gumamku.
Lucia memang terlihat kurang bersemangat untuk berkuliah, terutama sejak kami memasuki semester baru. Sebagai dua mahasiswi baru di semester dua, akan lebih baik jika kami masih bersemangat dalam mengikuti perkuliahan, tidak lain karena mata kuliahnya belum sesulit semester atas. Lucia sendiri memang aktif pada kegiatan di luar kampus. Perempuan itu merupakan mahasiswa yang sudah sibuk dengan kegiatan organisasinya sejak tiga bulan lalu. Entah organisasi apa, aku tidak berusaha untuk mengetahui hal yang menurutku tidak penting seperti itu.
Advertisement
Lucia mengusap kedua matanya, tanda ia sudah mulai bisa mengontrol kesadaran dirinya. “Jam berapa?” tanyanya lesu, masih dengan kedua mata yang tertutup rapat. “Dua belas,” jawabku singkat. Setelah mendengar jawabanku, tentu Lucia tidak langsung terbangun dari tidurnya, ia masih saja bergumam tidak jelas di sebelahku. “Go get up, Lucia,” aku berusaha untuk menyuruhnya bangun. Lucia terkekeh kecil yang diikuti oleh ucapannya. “I haven’t slept yet. Ngantuk banget, Mi.” Mendengar jawabannya itu, aku mendengus kesal. Siapa suruh ikut organisasi tidak jelas.
Tanpa disadari, jarum jam sudah berada di pukul 12.30, dimana seharusnya jam perkuliahan saat itu sudah selesai. Aku merapikan alat tulisku yang tercecer di atas meja, begitu pun Lucia. Ia tampak sangat lesu jika aku bandingkan dengan dirinya di semester satu lalu. Kantung matanya menghitam, aku curiga bahwa panda akan cemburu padanya. Tepat saat dosen keluar dari ruangan kelas, aku menarik tangan Lucia, memintanya untuk segera keluar ruangan menyusul teman-teman yang lain.
Sinar matahari siang itu terbilang tidak begitu terik, setidaknya hari ini aku tidak perlu menjadi Naomi panggang. Aku menawarkan Lucia untuk pergi ke kantin. Sialnya, ia menolak tawaranku tersebut. Alasannya tentu saja karena rapat organisasi. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya, tepat di depan Lucia. Ia hanya tertawa kecil lalu pamit untuk segera pergi ke lokasi tujuannya. Aku kemudian hanya mengangguk dan segera bergegas untuk kembali ke kos.
Secara kebetulan, jarak kampus ke kosku tidak begitu jauh. Kira-kira hanya dalam 10 menit, aku sudah bisa bermalas-malasan di kasur tercinta. Mengetahui jarak itu, tentu saja aku memilih untuk berjalan kaki ketimbang naik kendaraan. Selain menghemat biaya, aku juga tahu bahwa kesehatanku perlu diperhatikan, meskipun tak jarang aku harus tersengat teriknya sinar matahari. Tepat setelah tiba di kos, aku melepaskan sepatuku dan meletakkannya di rak sepatu yang berada di depan kamarku. Aku membuka pintu kamar dan dengan segera menyalakan AC yang langsung mengarah ke kasurku. Aku sendiri belum pernah masuk angin karena hal itu, sejauh ini.
Aku mulai membuka ponselku dan membuka beberapa sosial media sembari mencari-cari berita terbaru yang sedang viral. Namun, yang aku temukan hanyalah unggahan teman-temanku, tepatnya unggahan pencapaian mereka. “Apa sih? Volunteer? Organisasi non-profit? Kalau non-profit, benefit-nya apa dong?” ujarku sembari memutar bola mata malas. Kalau memang tidak menghasilkan apapun, lebih baik aku tidur di kos seharian. Dengan perasaan sedikit kesal, aku tetap asyik bermain sosial media hingga alarmku tiba-tiba berbunyi, pukul 15.00. Aku selalu lupa kalau aku memasang alarm tepat pukul 3 sore. Aku menyelesaikan kegiatanku dan memutuskan untuk mandi.
Setelahnya, aku kembali bermain dengan ponselku. Membuka kembali sosial media yang sudah aku buka berulang kali sejak siang tadi. Perasaan bosan mulai menghantuiku. Kali ini bukan hanya bosan, tetapi juga kesepian. Lingkungan kosku bu kanlah lingkungan yang super duper sibuk, bukan juga lingkungan tempat orang beraktivitas, paling-paling hanya ada orang yang masak di dapur. Aku sendiri bahkan tidak begitu mengenal tetangga kosku karena kami memang jarang bertemu sehingga aku tidak memiliki satupun teman untuk mengobrol, kecuali di kampus.
Aku kembali membuka unggahan temantemanku. Melihat kembali unggahan yang menampilkan orang-orang dengan senyum merekah terpasang di wajahnya. Entah sepenuhnya bahagia atau cuma pura-pura. Aku perlahan merasa bahwa ada kekosongan yang hendak melahapku jika aku tidak segera tersadar dari lamunanku. Ya, aku iri. Aku ingin berinteraksi. Aku ingin bersosialisasi.
Aku akui untuk saat ini aku tidak bisa membohongi keinginanku sendiri. Aku kesepian. Kamar ini memang nyaman, tapi kamar ini tak jauh dari sekadar ruang hampa bagiku. Tidak ada siapapun di sini, hanya aku. Dengan cepat, aku menggerakkan ibu jariku menuju aplikasi berwarna hijau dengan gambar telepon. Aku mencari nama Lucia di sana. Tanpa aba-aba, aku mengirimkannya pesan.
Naomi: Aku mau ikut organisasi.
Tak perlu waktu lama, Lucia terlihat tengah mengetik sesuatu. Aku sedikit gugup untuk mengetahui jawabannya, mengingat bahwa akulah orang yang sering mengatakan bahwa tidak ada gunanya untuk aktif di organisasi kampus, selagi masih bisa lulus dengan nilai yang bagus.
Lucia: Kenapa?
Lucia: Sebentar, aku masih rapat.
Aku kembali memikirkan matang-matang keinginanku. Perasaan malu mulai merayap di dalamku.
Naomi: Nggak jadi. ...
“Aku kaget banget, loh,” ujar Lucia sembari mencoba memberikan ekspresi kagetnya. Aku hanya memalingkan wajahku malu. Ya, Lucia datang ke kosku untuk menanyakan perihal spontanitasku tadi.
“Aku cuma bercanda, serius banget,” balasku singkat. Lucia tertawa terbahak-bahak. “Kamu jarang banget bercanda, kok tiba-tiba banget?” katanya.
“Memang nggak boleh?”
“Aku nggak mau ikut kegiatan nggak jelas. Males rapat-rapat, males kurang tidur, males pulang sore atau malam, males nggak bisa main handphone.” ujarku. Tawa Lucia mereda. Aku tidak menyangka ia bisa tertawa sampai menangis hanya karena hal seperti ini. “Siapa bilang kayak gitu?” tanya Lucia. “Aku malah bingung, kok kamu betah jadi mahasiswa kupu-kupu?” lanjutnya.
“Padahal kamu sendiri yang kasih contoh dengan tidur di kelas,” balasku.
Lucia menepuk dahinya pelan. “Aku nggak bisa menyangkal kalau soal itu,” Ia terdiam sejenak. “Tapi aku lebih nggak bisa menyangkal kalau ada orang yang bilang seberapa banyak kegiatanku yang aku lakukan sekarang, bikin diriku semakin berkembang.”
“Alay,”
“Memang,”
“Aku cuma nggak suka sendiri, sepi banget,” “Ayo ikut organisasi,” rayu Lucia.
“Nggak mau,”
“Volunteer?”
“Nggak mau juga,”
Lucia kembali menepuk dahinya untuk yang kedua kalinya. “Buka warmindo aja kalo gitu,” ujarnya.
Aku mendengus kesal yang dibalas dengusan kesal juga oleh Lucia. Ia terlihat benar-benar kesal denganku.
“
I don’t want to live an unhealthy life, as what you are living in now.” kataku.
“Good things will comes to you. Kalau aku bisa bilang, aku seneng bisa dikasih kesempatan yang banyak untuk ketemu orang-orang baru, orang-orang keren, punya banyak relasi yang mungkin bisa bantu aku untuk ke depannya. Jangan takut sebelum kamu mencoba dan percaya sama dirimu sendiri. Aku percaya kamu, sedih banget kalau kamu nggak percaya sama diri sendiri, Naomi,” Lucia terdiam sejenak. Ia melanjutkan, “It’s an honor to be in a group full of people. It’s a great thing to have an opportunity to improve yourself to be a better person. Dilawan malesnya, kalau mas-mas warmindo males, mereka nggak bakal punya penghasilan. Same as you.”
Aku tertegun mendengar ucapannya, meskipun sedikit bingung karena ia menyebut mas-mas warmindo di akhir kalimatnya. Lidahku seakan-akan lumpuh tak bisa menjawab.
“You are the one who knows the best for yourself,” akhir Lucia.
Selama tiga tahun aku berteman dengan Lucia, ia bukanlah seseorang yang akan berbicara serius di keadaan informal. Sejak kapan ia menjadi seserius itu?
Sudah tiga puluh menit tepat sejak Lucia kembali ke kampus untuk kumpul dengan rekan-rekannya, melakukan kegiatan apa yang bahkan aku tidak ingin tahu. Yang aku ingin tau hanyalah mengapa setiap kalimat yang Lucia ucapkan tadi terus berputar di pikiranku, tanpa henti. Hampir selama sembilan belas tahun hidup tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan ingin untuk menjadi orang sibuk, yang bahkan untuk makan saja sering lupa.
Memang, hanya aku yang tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Hanya aku yang tahu bagaimana caranya untuk mengembangkan apa yang aku miliki saat ini. Hanya aku yang bisa melawan rasa kesepian yang hampir setiap hari berusaha melahapku kapanpun aku merasa sendiri.
Sudahlah, akan aku biarkan ruang hampa ini sementara tetap menjadi ruang hampa penuh dengan pikiran yang saling bersaut milik penghuninya. Siapa tahu, ruang hampa ini sebentar lagi tidak akan menjadi ruang hampa lagi.
Penulis : I Dewa Ayu Sukma Advaita Maheswari
Editor : Frisca Sarastuti Amandari
Layouting : Septian Nugroho
Ilustrator : Dhea Saymi
