6 minute read

Hal

Next Article
Hal

Hal

PT SAL Sinergikan Ekonomi Masyarakat

dan Kesehatan Suku Anak Dalam

Advertisement

Pengembangan UMKM menjadi satu target yang harus dicapai oleh semua desa di Indonesia, tidak terkecuali Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Untuk itu, Hendri Sumasto, Kepala Desa Pematang Kabau harus memutar otak. Ia melakukan pengamatan kepada desa-desa sekitar untuk mencari model pengembangan UMKM yang sustainable atau berkelanjutan.

“Komoditas-komoditas yang dikembangkan oleh desa yang diamati mengalami kegagalan,” ungkapnya.

Tidak putus asa, Hendri mencari informasi di media sosial dan berkomunikasi dengan kawan-kawannya yang berada di luar Jambi. Dari situlah Hendri menemukan komoditas sereh wangi. Hendri Sumasto, Kepala Desa Pematang Kabau mengelola sereh wangi (istimewa). Pada pertengahan semester 2019, Hendri mulai menanam sereh wangi sebesar 3,5 hektar yang terdiri dari dua hamparan.

Namun, hamparan yang dimiliki Hendri tidak sepenuhnya komoditas sereh wangi. Pria 35 tahun ini melakukan tumpang sari dengan kelapa sawit. “Kita masih project, belum berani kalau harus meninggalkan kelapa sawit,” ungkapnya.

Sebab, komoditas kelapa sawit masih menjadi tulang punggung bagi dirinya dan masyarakat desa.

Setahun setelah itu, ia mulai membangun pabrik pengolahan. Dari situ, ia mulai mengolah komoditas sereh wangi. Dari daun atau rumput tersebut dihasilkan minyak sereh wangi. Minyak yang tergolong minyak atsiri ini bisa menjadi

bahan baku untuk minyak telon dan lain sebagainya.

Hasil samping dari proses itu adala air hidrosol. Air hidrosol ini, oleh Hendri, dikembangkan menjadi produk wedang sereh wangi dan sabun pencuci piring.

Masalah Pemasaran. Setelah produksi, masalah yang timbul adalah pemasaran. Harga jual minyak atsiri ini anjlok menjadi 270.000 per kilogram dari sebelumya 400.000 per kilogram.

Wedang sereh wangi dan sabun pencuci piring kemudian hadir. Masalahnya sama, produk samping ini juga kesulitan dalam pemasaran. PT Sari Aditya Loka (PT SAL) melihat kondisi tersebut tergerak untuk membantu mencarikan pasar yang tepat.

Pertemuan PT SAL dengan Kepala Puskesmas memberikan ide baru. Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada orang rimba (OR) atau Suku Anak Dalam (SAD) yang menjadi program puskesmas dan PT SAL menjadi jalan untuk membuka pasar.

“Kami membuka inisiasi Bantuan sarana prasarana serta pemasaran produk untuk ke Suku Anak Dalam (SAD) yang mana

Kami membuka inisiasi Bantuan sarana prasarana serta pemasaran produk untuk ke Suku Anak Dalam yang mana juga membuka wawasan PHBS ke warga Suku Anak Dalam.

CIPTA WIBAMA, Administratur PT Sari Aditya Loka

juga membuka wawasan PHBS ke warga SAD,” ungkap Cipta Wibama, Administratur PT SAL.

PT SAL selalu memberikan bantuan sosial jatah hidup (jadup) yang berisikan bahanbahan pokok kepada SAD. Sebanyak 331 Kepala Keluarga (KK) SAD menerima program ini setiap bulanya.

PT SAL memberikan tambahan sabun yang dihasilkan oleh Hendri pada jadup yang SAD terima. “Artinya, kami memesan sebanyak 331 botol sabun dari Pak Hendri untuk didistribusikan kepada 331 KK setiap bulannya,” tambah Cipta.

Dengan program ini, Cipta berharap agar bisnis minyak sereh wangi dapat terus berkembang serta program PHBS bagi komunitas adat terpencil dapat berjalan dengan baik.

“Ke depan, jika project ini berjalan dengan baik, bisa jadi kita kembangkan bisnis komoditas sereh wangi kepada masyarakat SAD sebagai program pengembangan ekonomi,” pungkasnya. (ist)

Membuka Tabir “Teknik Bangkrut Massa Petani Sawit”

Mungkin masyarakat perlu tahu kenapa harga CPO (crude palm oil) di pasar global tinggi sebesar USD 1,7 atau Rp25.000/kg sedangkan harga CPO di dalam negeri (KPBN) sangat rendah hingga Rp. 10.800/kg atau setara harga TBS (tandan buah segar) di PKS (pabrik kelapa sawit) Rp2.100/kg (rendemen 20%). Misteri di mata publik ini perlu diurai agar jadi bahan informasi dan edukasi.

Fakta lapangan, TBS petani saat ini Rp 1.600/kg, padahal biaya produksi Rp 1.800/kg. Rugi massal. Bahkan ada yang tidak laku akibat PKS nya tutup, dampak dari tangki timbun CPO nya di PKS masih penuh, akibat belum bisa ekspor. Padahal TBS di Malaysia Rp 5.200/kg.

1. Malaysia punya karakter sama persis dengan Thailand dan Vietnam. Pajak ekspor “diminimalkan” demi kemandirian rakyatnya. Agar produknya bisa bersaing maksimal di pasar global akibat beban bea keluar rendah. Iklim usaha ini mendorong lahirnya pengusaha baru massal. Karenanya prosentase jumlah pengusahanya di atas kita.

Pengusaha sebagai pembayar pajak pendukung PDB dan APBN nya agar tinggi. Lowongan kerja jadi banyak, hingga tenaga kerja impor termasuk dari Indonesia (TKI). Contoh hari ini, Malaysia krisis tenaga kerja (naker) 1,2 juta, dimana di dalamnya untuk industri sawit butuh 500.000 naker sampai mau didatangkan dari Indonesia.

2. Indonesia punya karakter sebaliknya dari mereka Malaysia, Thailand dan Vietnam. Pajak dan pungutan ekspor kita “dimaksimalkan”. Mungkin demi dapat dana untuk bansos dan subsidi. Dampaknya produk kita kalah bersaing di pasar global. Iklim usaha ini mematikan pelaku usaha, contoh petani sawit saat ini.

Konkretnya, CPO global Rp 25.000 karena pungutan ekspor (PE/BPDPKS), pajak ekspor (Bea Keluar/BK), DMO, DPO dan lainnya. Jadi harganya tinggal Rp 10.800/ kg di KPBN. Artinya pemerintah dapat Rp 25.000 – Rp 10.800 = Rp 14.200/kg CPO. Kalau volume ekspornya 34 juta ton/tahun sudah jelas dapatnya berapa.

Bagaimana nasib petani dan pengusaha industri sawit ?

Petani, HPP (Harga Pokok Produksi) biaya produksinya Rp 1.800 tapi harga di PKS riilnya Rp 1.600. Rugi, bangkrut massal. Berdampak serius pada kesejahteraan moril materiilnya. Lebih sejahtera jadi TKI Malaysia di kebun sawit. Dibanding punya kebun 10 ha di Indonesia. Makanya banyak pekerja dan petani jadi TKI Malaysia.

Lalu lahan dan kebun sawit kita terlantar tidak dipanen karena merugi massal. Yang sudah mandiri jadi miskin antri agar dapat jatah bansos subsidi dari tingginya pajak pungutan ekspor. Ada jadi TKI. Lahan ditelantarkan. Industrinya dibangkrutkan massal. (*)

GULAT MEDALI EMAS MANURUNG

(Konsultan Perkebunan Kelapa Sawit)

PERTANYAAN:

Apa manfaat bibit kelapa sawit bersertifikat dan kerugian jika menggunakan bibit illegitim untuk petani?

JAWABAN:

Bibit merupakan salah satu factor penting dalam proses budidaya tanaman kelapa sawit. Label sertifikasi tidak hanya menjadi nilai tambah terhadap kualitas yang dimiliki oleh benih tersebut, akan tetapi juga menjaga dan menjamin asal usul legalitas benih tersebut.

Manfaat bibit kelapa sawit yang tersertifikasi untuk Petani diantaranya yakni:

1. Meningkatkan Produktivitas kelapa sawit Rakyat 2. Bibit bersertifikasi menjadi syarat untuk pelaksanaan peremajaan

sawit rakyat (PSR) 3. Bibit bersertifikasi digunakan untuk sertifikasi ISPO (Indonesian sustainable Palm Oil) 4. Untuk pengurusan surat tanda daftar budidaya (STDB) Kerugian petani apabila menggunakan bibit Ilegitim yakni diantaranya:

1. Produksi TBS, CPO dan PKO menjadi rendah serta masa peralihan TBM ke

TM yang cukup lama 2. Kecambah illegitim akan mengurangi kesempatan pendapatan optimal 3. Pelanggaran UU No. 29 tahun 2019 dan UU No. 29 Tahun 2000 4. Produksi TBS hanya mampu 50% dan rendemen hanya 18 % 5. Merusak mesin pengolah CPO 6. SDA dan SDM serta Modal tidak termanfaatkan secara optimal

Adapun faktor penyebab peredaran bibit tidak bersertifikasi dikalangan para Petani kelapa sawit di antarannya: Petani mengaku ditipu, Tak tahu cara membeli, diiming-imingi murah, rumitnya persyaratan, tidak tau tempat membeli dan jauh dari produsen benih.

Diharapkan untuk petani kelapa sawit dapat menggunakan bibit bersertifikasi untuk dapat mewujudkan sawit yang berkelanjutan dengan produksi yang maksimal.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Kantor APKASINDO, Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru. ***

------------------------------------------Rubrik Konsultasi ini dikelola oleh:

Dr. Gulat ME Manurung, MP, C.IMA

(Auditor ISPO)

Dr. (Cn) Eko Jaya Siallagan, SP., M.Si

(Auditor ISPO)

This article is from: