6 minute read

Keran Ekspor Dibuka, Rugi Belum Mereda Hal

Keran Ekspor Dibuka, Rugi Masih Belum Reda

Laporan: M Fauzan, Jakarta Langkah pemerintah yang kembali membuka keran ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) belum berdampak signifikan pada harga tandan buah segara (TBS) sawit pekebun. Data posko pengaduan harga TBS petani pada 25 Mei 2022 menunjukkan bahwa rata-rata harga TBS petani swadaya di pabrik kelapa sawit (PKS) sebesar Rp1.900 per kg dan petani bermitra Rp2.300 per kg, dengan patokan harga invoice CPO Rp11.500 per kg.

Advertisement

Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) sampai menggelar demonstrasi. Hal ini dilakukan karena harga Tandan Buah Segar (TBS) segar tidak kunjung membaik. Ketua Umum APKASINDO, Gulat Manurung mengatakan, demo ini adalah keinginan semua petani sawit dari Aceh sampai Papua yang terdiri dari 22 provinsi. “Dan saya harus menyalurkan aspirasi kawan-kawan (petani). Sebab saya sudah kehabisan jawaban kepada kawan-kawan atas masih anjloknya harga TBS petani disaat yang bersamaan harga CPO Internasional sedang naik yaitu Rp23 ribu per kg,”

Menurutnya di Malaysia harga TBS petani sudah mencapai Rp5.500 per kg dengan patokan harga CPO Rp20.500 per kg. “Untuk petani swadaya rata-rata harga TBSnya 35 persen di bawah harga penetapan Disbun (Dinas Perkebunan), sedangkan harga petani bermitra berkisar 20 persen. Tidak satupun PKS yang patuh terhadap harga penetapan Disbun setempat. Jika dibandingkan dengan harga TBS sebelum pelarangan eksport Rp4.500/Kg tentu harga saat ini semakin jauh (anjlok sampai 70 persen). Sungguh menyedihkan tentunya,” ujar Gulat.

Padahal, Presiden Jokowi sudah dengan tegas mengatakan supaya PKS membeli harga TBS petani dengan harga yang layak. “Tentu harusnya menteri terkait menerjemahkannya dengan regulasi yang paling tepat, berpacu dengan waktu. Bukan kembali mencoba-coba,” tuturnya. Ketua Apkasindo ini menilai masih anjloknya harga TBS karena ketidaksiapan kementerian terkait soal regulasi setelah presiden menyampaikan akan mencabut larangan ekspor pada 19 Mei 2022.

“Tanggal 19 ke tanggal 23 Mei [2022] ada selang waktu empat hari, harusnya sudah dipersiapkan regulasinya. Bukan baru sibuk setelah tanggal 23. Regulasi yang paling tepat saat ini adalah subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan melibatkan pendistribusiannya seperti Bulog, BUMN lainnya dan bila perlu dalam waktu tertentu melibatkan TNI Polri,” paparnya.

Selain itu mengapa ekspor belum bergerak sebab dokumen eksportir terkait persetujuan ekspor (PE) belum siap dan regulasi terkait juga masih belum terbit. Kemudian, terdapat produsen yang sudah menyalurkan minyak goreng curah ke masyarakat tetapi belum menerima pembayaran dari BPDPKS. “Mereka tidak dapat langsung melakukan ekspor. Tapi tidak jalan juga,” ungkapnya.

Sekadar informasi, aturan pembukaan ekspor CPO telah disusul oleh aturan pertama yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.30/2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined,

Gulat ME Manurung

Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil (UCO) yang terbit pada 23 Mei 2022. Aturan kedua, Permendag No. 33/2022 tentang Tata Kelola Minyak Goreng Curah pada Kebijakan Sistem Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Dampak Lanjutan Larangan Ekspor

Larangan ekspor CPO dan turunannya memang sudah dicabut oleh pemerintah. Pencabutan itupun langsung disampaikan oleh Presiden RI, Joko Widodo. Semestinya dengan dicabutnya aturan larangan ekspor CPO dan turunannya itu, pengusaha sudah bisa untuk melakukan ekspor lagi untuk CPO dan turunannya. Dan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pun seharusnya sudah bisa kembali lagi ke harga normal (sebelum larangan ekspor). Tapi mengapa sampai sekarang harga pembelian TBS kelapa sawit belum membaik? Mengapa pihak perusahaan belum juga melakukan ekspor lagi untuk CPO dan turunnya?

Dari dalam negeri sendiripasokan minyak goreng juga sudah terpenuhi. Seperti data yang dipaparkan oleh kementerian terkait. Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar Rp194.000 ton per bulannya. Sejak larangan ekspor diberlakukan pada bulan April lalu, pasokan minyak goreng dalam negeri pun sudah tercukupi. Sudah mencapai 211.000 ton per bulannya. Semestinya, dengan terpenuhinya kebutuhan minyak goreng nasional, maka harga minyak goreng harusnya bisa turun di pasaran. Tapi mengapa sampai sekarang harganya masih mahal, masih di atas harga eceran tertinggi (HET)?

Siapa yang harus disalahkan, dan siapa pula yang harus bertanggung jawab untuk menormalkan kembali harga semua itu (harga penjualan TBS kelapa sawit dan harga minyak goreng). Yang terjadi sekarang justru getah dari kebijakan larangan ekspor CPO tempo hari itu sudah membawa dampak yang buruk bagi para petani sawit. Akibat dari kebijakan itu, pihak perusahaan tidak serta merta bisa langsung melakukan ekspor lagi CPO dan turunannya. Karena untuk bisa melakukan ekspor, mesti ada petunjuk teknis (juknis) yang jelas dari pemerintah. Dalam hal ini diterbitkan oleh Dirjen Perdagang Luar Negeri.

Selama juknis itu belum ada, maka pihak perusahaan tidak bisa melakukan ekspor terhadap CPO dan turunannya. Kalau itu dilanggar, maka bisa membahayakan bagi perusahaan itu sendiri. Bisa berujung ke ranah hukum, karena aturan sebelumnya

sudah tidak bisa dipakai. Sudah tidak berlaku sejak larangan eskpor CPO dan turunannya diberlakukan. Persoalan lainnya, jika sekarang juknisnya sudah ada, perusahaan pun juga tidak bisa langsung melakukan ekspor.

Kepada siapa mau dijual? Negara mana yang mau menampung hasil CPO dan turunnya itu? Negara-negara importir terbesar --sejak satu bulan pelarangan ekspor—sudah pada lari ke Malaysia dan melakukan kontrak kerja sama dengan Malaysia. Alasannya jelas, mereka perlu konsistensi/kepastian terhadap pasokan CPO. Dampak dari kondisi di atas itu pula yang sekarang membuat harga TSB kelapa sawit belum bisa membaik.

Petani Menjerit

Sementara itu di lapangan petani sawit menjerit karena anjloknya harga TBS. Bahkan melalui Apkasindo dilaporkan bahwa dari 1.118 pabrik kelapa sawit di seluruh Indonesia, 25 persen diantaranya sudah berhenti membeli TBS dari petani. Kondisi tersebut menjadi petaka bagi petani. “Yang kami rasakan, tidak ada lagi harga sawit. Bahwa hari ini kami dalam kondisi sekarat. Pabrik tidak ada lagi yang mau membeli TBS kami,” ungkap Gulat.

Pengusaha Kelapa Sawit (PKS) mulai berhenti membeli TBS karena penuhnya tangki di perkebunan. CPO yang tak terjual pun membuat pengusaha menyimpan olahan TBS tersebut. Bukan tanpa sebab atau akal-akalan pengusaha, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) melaporkan bahwa sebagian besar tangki di perkebunan sawit terutama di Pulau Sumatra sudah mulai penuh.

Yang kami rasakan, tidak ada lagi harga sawit. Bahwa hari ini kami dalam kondisi sekarat. Pabrik tidak ada lagi yang mau membeli TBS kami.

GULAT ME. MANURUNG

Ketua Umum DPP Apkasindo

Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono menyampaikan sejak 20 hari pelarangan ekspor CPO tangki penampungan sudah mulai penuh akibat tidak ada pembeli.

“Betul memang beberapa anggota kita sudah sampaikan tangki-tangki sudah penuh. Memang juga tidak ada pembeli

CPO, mereka tidak mau nawar tidak mau beli,kondisinya begitu, kita liat aja dari minggu lalu, tender itu tidak ada harga,” ungkap Eddy.

Meski demikian, tidak semua tangki di pabrik kelapa sawit penuh. Eddy mengatakan di daerah Kalimantan masih terdapat kapasitas yang belum penuh. Pengusaha juga meminta petani untuk memperlambat waktu panen, namun usaha tersebut juga tidak dapat berlangsung lama. Pasalnya, buah yang tidak dipanen dan busuk akan menyebabkan pohon rusak.

“Kapasitas tangki di Indonesia itu kirakira di kebun sekitar 5 juta ton. Produksi kita kira-kira 3,5 juta ton. Kalau misalnya produksi lagi bagus, artinya bisa sampai 4 juta ton per bulan. Artinya, tidak akan lama tangki akan penuh, belum lagi masih ada stok CPO sebelumnya,” lanjut Eddy.

Persoalan ini berawal dari pelarangan ekspor dan kemudian ketika dibolehkan situasi dan kondisi tidak mudah kembali ke harga seperti semula. Salah melangkah, pahit di bawah. (*)

This article is from: