3 minute read

Lulus SMK Kehutanan, Siswa Suku Anak Dalam Ingin Jadi Polhut Hal

Jupri, salah satu siswa dari Suku Anak Dalam (SAD) menjalani prosesi wisuda atas kelulusannya sebagai siswa di SMK Kehutanan Negeri Pekanbaru kamis (9/6).

Lulus SMK Kehutanan Siswa Suku Anak Dalam Ingin Jadi Polhut

Advertisement

Ia merasa sangat bangga karena bisa menyelesaikan Pendidikan sekolah menengahnya ini. Jupri tidak pernah membayangkan bahwa ia juga bisa menyelesaikan sekolah.

Jupri membagikan kiatnya agar dapat menyelesaikan belajarnya. “Berlatih, disiplin, tanggung jawab, mengikuti kegiatan keagamaan agar jadi tekun, dan banyak kawannya,” jelasnya.

“Bahagia, bangga, tidak menyangka akhirnya lulus,” ungkapnya senang.

Keberhasilan Jupri membuat bangga kedua orangtuanya. Rasid, ayah Jupri, berterima kasih sekali kepada PT SAL yang sudah menyekolahkan anak saya sampai lulus.

“Saya tidak menyangka anak saya bisa lulus disini, sy senang dan bangga,” katanya sambil berkaca-kaca.

Laki-laki yang ingin menjadi polhut ini mendapatkan beasiswa dari PT Sari Aditya Loka (PT SAL) pada tahun 2019 lalu. PT SAL mendukung penuh jupri dengan full beasiswa sampai lulus.

Fenti, Corporate Social Responsibility (CSR), yang juga mendampingi wisuda mengatakan “Program beasiswa kepada Jupri adalah bentuk komitmen perusahaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” SAD sebagai bangsa Indonesia juga harus bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Dengan demikian, anak-anak SAD dapat berdaya sebagaimana masyarakat Indonesia yang lain.

“Sesuai visi PT SAL untuk sejahtera bersama bangsa,” tegasnya. (*)

Pasangkayu. Tampak wajah Safruddin memerah karena tertawa menceritakan pengalamannya saat belum berkenalan dengan sebuah perusahaan kelapa sawit di desanya. Safruddin memang asli masyarakat Desa Sarudu. Ayah dan Ibunya memang warga sana. Tentu saja ia sangat ingat apa yang terjadi pada desanya pada tahun 1990-an.

Sebuah perusahaan kelapa sawit masuk ke Desa Sarudu dengan bersamaan dengan program Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans). Sontak, desa yang tadinya tidak ramai kedatangan paling tidak 1750 KK dari berbagai daerah di Indonesia.

Alih-alih senang, kedatangan PIR-Trans membuatnya gusar. Namun, ia tidak tahu yang menyebabkan dirinya begitu marah. “Tidak ada alasan, pokoknya tidak suka,” ungkapnya. Bahkan ia berkeinginan untuk mencelakakan warga pendatang saat pertandingan sepakbola.

Sampai suatu hari, lelaki yang menjadi Kepala Dusun Sempo Utara itu diamanahkan oleh pamannya, yang merupakan Kepala Desa Sarudu untuk pergi ke perusahaan. Ia diminta untuk berkomunikasi dengan perusahaan. “Saya tidak mau,” katanya menolak perintah pamannya itu. Namun, sang kepala desa terus memaksanya sehingga ia mau-tidak-mau harus pergi ke kantor induk PT Suryaraya Lestari 1 yang lebih dikenal sebagai PT Surya oleh masyarakat.

Hari itu adalah hari pertamanya menginjalakkan kaki di PT Surya. Sebelum memasukinya, ia melihat sesosok laki-laki besar dan hitam menjaga pos. Rupanya dia adalah kepala security. Safruddin takut tapi tidak bisa pergi. Ia memberanikan diri terus melangkah. “Bari setelah saya disapa ramah oleh kepala security, saya mulai agak tenang,” ungkapnya lagi.

Di dalam perusahaan, ia bertemu dengan ADM (Manager PT Surya). “Ooh ini lho ADM,” katanya mengingat kesan pertamanya. Mereka membicarakan tentang rencana program IGA atau Income Generating Activity. Program ini merupakan program kegiatan penanaman komoditas kelapa sawit. Di ruangan itu, Safruddin mendapatkan penjelasan keuntungan menanam kelapa sawit.

Safruddin tak menolak. Ia memang melihag rekan-rekan masyarakat transmigrasi yang sudah lebih dianggap berhasil. “Masa kita warga asli hanya mau jadi penonton,” pikirnya saat itu.

Laki-laki yang memiliki empat anak ini, kemudian, ditunjuk untuk mensosialisasikan program IGA di desanya. “Hanya ada 10 orang yang mau,” ungkapnya. Akan tetapi, berkat kegigihannya, desa Sarudu kini memiliki kebun sawit lebih dari 2000 hektar.

Akan tetapi, bukan harta benda yang paling bernilai untuk Safruddin. Sekalipun rumahnya kini sudah sangat layak dibandingkan rumahnya dahulu yang terbuat dari kayu dan jelek, rupanya itu tidak lebih berharga dibandingkan nilai-nilai yang ia dapat. “Pak ADM bilang kalau bisa punya rumah bagus, motor, mobil, anak bisa sekolah,” katanya. Kalimat “anak bisa sekolah” ternyata sangat membekas dihatinya. Pendidikan menjadi poin penting yang Safruddin dapat. Sehingga, segala penghasilan kelapa sawitnya diutamakan untuk pendidikan anaknya. Kini, anaknya sudah lulus Sarjana bahkan ada yang master.

Mindsetnya terhadap perusahaan berubah seiring dengan interaksinya dengan PT Surya dan masyarakat luar, termasuk transmigrasi. Setiap hari ia berkunjung ke perusahaan sekadar untuk berbincangbincang dengan karyawan di perusahaan. Mindsetnya yang dulu tertutup kini terbuka. Safruddin membuka diri pada hal-hal baru yang bisa menjadi bekal di masa yang akan datang.

Terhadap perusahaan, dia mengubah cara pandangnya dari menganggap perusahaan akan merusak menjadi perusahaan ingin membangun wilayah. “Ternyata perusahaan ingin menyejahterakan masyarakat,” ungkapnya. (*)

This article is from: