4 minute read

Metode Clean Coal Technology (CCT) Sebagai Usaha Meminimalisir Dampak Lingkungan Penggunaan Batubara

Next Article
PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Adanya kesepakatan yang telah dibuat pada Paris Agreement tampaknya masih belum dilaksanakan secara

maksimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan batubara sebagai sumber energi utama pembangkit listrik ataupun pemanfaatan lainnya. Dengan predikat sebagai sumber energi yang murah dan mudah diproses, setiap negara mengeruk potensi batubaranya sebanyak mungkin. Climate Analytics (2019) memperkirakan bahwa pada wilayah Asia sendiri, potensi penggunaan batubara jauh melebihi batas maksimum yang diperbolehkan (jika ingin tetap menjaga komitmen pada Paris Agreement).

Advertisement

Gambar 1.2 Rencana Penggunaan Batubara Pada Perjanjian Paris di Wilayah Asia Indonesia termasuk salah satu negara yang masih melanggengkan penggunaan batubara sebagai energi utama. Tingginya bauran energi tidak terbarukan termasuk batubara, serta banyaknya jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia terasa tidak sejalan dengan komitmen yang dituangkan dalam Paris Agreement. Untuk menjaga komitmen tersebut agar tetap sejalan dengan kebijakan energi, Indonesia harus sebisa mungkin mengurangi penggunaan batubara atau sekurang-kurangnya mengurangi dampak pemanfaatan batubara tersebut, sembari mengusahakan transisi energi terbarukan pada sisi lain.

Metode Clean Coal Technology (CCT) Sebagai Usaha Meminimalisir Dampak Lingkungan Penggunaan Batubara

Dengan mengetahui fakta bahwa listrik Indonesia masih sangat bergantung dengan PLTU batubara, maka diperlukan metode pengolahan batubara yang lebih bersih untuk mengurangi dampak emisi dan pengaruhnya terhadap kerusakan lingkungan. Teknologi Batubara Bersih/Clean Coal Technology (CCT)

menjadi solusi untuk pengolahan batubara yang lebih bersih. Terdapat beberapa metode CCT yang dapat diterapkan dalam pengolahan batubara. Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk menemukan metode paling efektif sebagai syarat pengolahan batubara di Indonesia. Salah satu metode CCT adalah Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC). Menurut Pandey dkk (2015), dibandingkan dengan metode lainnya, IGCC menjadi pilihan metode yang paling efektif dan efisien baik dari sektor teknologi maupun ekonomi.

Metode IGCC merupakan metode dalam teknologi CCT dengan menggunakan teknik gasifikasi batubara, dimana memanfaatkan karbon dalam

batubara untuk menghasilkan gas yang mudah terbakar secara kimiawi. Gas hasil

reaksi tersebut adalah campuran hidrogen (H2), karbon dioksida (CO2), dan metana (CH4). Gas tersebut dibersihkan dari gasgas yang tidak diperlukan seperti nitrogen dan sulfur. Kemudian, gas bersih akan dibakar dalam gas turbine dengan suhu tinggi hingga menghasilkan uap untuk menggerakkan generator. Sedangkan untuk gas buang akan dimanfaatkan dengan menggunakan Heat Recovery Steam Generator (HRSG) untuk membangkitkan uap. Sehingga uap dari HRSG setelah turbin gas dengan uap dari HRSG setelah reaktor gasifikasi digabungkan untuk menggerakkan turbin uap yang menggerakkan generator listrik. Dengan demikian, metode IGCC menghasilkan listrik dari dua generator yang memiliki turbin gas berbeda, yaitu gas turbine power plant dan steam turbine power plant (SUFG, 2007). Perbandingan metode IGCC dengan metode CCT lainnya dapat dilihat dari beberapa sektor. Dari sektor teknologi, ketika IGCC dibandingkan dengan Pulverized Coal (PC) dapat dilihat dari beberapa fiturnya, yaitu metode generasi, kontrol particular, kontrol NOx, dan kontrol SO2. Pada fitur metode

generasinya, metode PC pada semua batubara menggunakan boiler dan turbin uap. Sedangkan, pada IGCC untuk batubara bitumen dan subbitumen menggunakan siklus gabungan gasifier umpan bubur batubara, dan untuk batubara lignit menggunakan siklus gabungan gasifier umpan padat. Pada fitur partikulat kontrol, metode PC untuk semua batubara

menggunakan fabric filter baghouse. Sedangkan, pada IGCC untuk semua batubara menggunakan filter logam suhu tinggi (menambah pembuangan partikulat di bagian hilir filter dengan proses pembersihan gas). Pada fitur kontrol NOx, metode PC menggunakan kontrol combustion dan Selective Catalytic Reduction (SCR). Sedangkan, pada IGCC untuk semua batubara menggunakan

kontrol combustion dengan pengenceran nitrogen. Selanjutnya, pada fitur kontrol SO2, metode PC untuk batubara bitumen dan lignit menggunakan desulfurisasi gas buang batu gamping basah dan produksi gypsum, sementara untuk batubara subbitumen menggunakan desulfurisasi pengering semprotan kapur dengan fabric filter baghouse dan produksi limbah padat yang mengandung SO2 dan abu. Sedangkan, pada IGCC untuk semua batubara menggunakan pembersihan gas methyldiethanolamine (MDEA) dan produksi unsur belerang. Dengan demikian, diketahui bahwa teknologi setiap fitur dalam IGCC lebih baik dari PC karena

lebih mudah diterapkan dan cenderung tidak menghasilkan limbah kembali (Pandey et al, 2015). Dari sektor kinerja yang dihasilkan, berdasarkan Laporan Akhir untuk Perlindungan Lingkungan Agensi (2006), ketika IGCC dibandingkan dengan Sub Critical, Supercritical, dan Ultra Supercritical Pulverized Coal dapat dianalisa dari efisiensi Net Thermal (HHV), Net Heat Rate (HHV), daya kotor, daya internal, daya bersih, dan bahan bakar yang diperlukan sebagai berikut.

Gambar 1.3 Perbandingan Kinerja Pembangking Listrik dengan Beberapa Teknologi CCT Kinerja IGCC memiliki Higher Heating Value (HHV) Net Thermal pada batubara bitumen dan subbitumen dengan nilai efisiensi IGCC lebih baik dari Sub Critical PC dan Supercritical PC. Sedangkan untuk batubara lignit, nilai efisiensi IGCC lebih baik dari Sub Crtitical PC, Supercritical PC, dan Ultra Supercritical PC. Dengan demikian, IGCC dapat menjadi opsi yang lebih baik dari metode Sub Crtitical PC, Supercritical PC, dan Ultra Supercritical PC. Untuk bahan bakar yang digunakan, IGCC cenderung menggunakan bahan bakar lebih sedikit, di mana pada batubara bitumen dan subbitumen, IGCC menggunakan bahan bakar lebih sedikit

This article is from: