Edisi 22

Page 1

Jejer Foto Kiai Thaifur, KH Fayad As’ad, KH Basyir, KH Imran, KH Imam Hasyim, KH Taufiqurrahman Fm, KH

Ulama-Kiai Pemimpin Umat 1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 1


BPRS Bhakti Sumekar

KREASI EKONOMI SERAT LANAS

Hayat menunjukkan pohon Lanas yang tumbuh disekitar pekarangan rumahnya. Kemudian di serat menjadi bahan baku yang banyak diminati industri pabrikan.

D

i dataran tinggi Desa Ellak Laok, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, terlihat seorang lelaki setengah baya sedang menyerat daun pohon Lanas atau Mastole (Madura, red) di belakang rumahnya. Di bawah rindang pohon asam yang melindunginya dari terik matahari, dia menyerat satu persatu daun Lanas yang baru dipetik dari pohon yang tumbuh liar di sekitar rumahnya. Lelaki itu, Haji Abd Rahem namanya, menyunggingkan senyum ketika Mata Sumenep datang menghampiri ditemani Hayat (43), seorang pengrajin dan pengepul Serat Lanas disana. Wajah Haji Abd Rahem tampak lelah memperlihatkan perjuangan hidup yang tidak mudah. Di sekelilingnya menumpuk Serat Lanas yang telah dikerjakannya. Dengan menggunakan alat penyerat tradisional karya warga setempat, ia mengaku dalam satu hari dapat menghasilkan 5 hingga 10 kg Serat Lanas. Hasil seratannya tersebut kemudian dijual kepada Hayat yang mengembangkan usaha sebagai pengepul. Dalam usaha yang dirintis sejak tahun 2007

2 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

itu, Hayat mengaku memang membeli Serat Lanas dari masyarakat seharga 17 ribu per kg. “Sesuai harga di pasaran,” katanya. Sebelumnya, seperti kebanyakan masyarakat desanya, ia pun hanya seorang penyerat yang melanjutkan pekerjaan turun-temurun dari kakek moyang. Hal tersebut, kata Hayat, karena pohon Lanas memang banyak tumbuh di Desa Ellak Laok yang merupakan daerah perbukitan dan tanah berbatu. Alhasil, keberadaan pohon tersebut kemudian dimanfaatkan masyarakat masa dulu sebagai potensi ekonomi karena seratnya yang terbukti kuat dan tahan lama. “Sejak dulu Serat Lanas ini dijadikan bahan pokok pembuatan tali. Bahkan tali pada kapalkapal besar juga menggunakan ini,” tutur Hayat.

Jatuh Bangun Usaha Hayat bercerita, perjalanan usahanya di bidang Serat Lanas ini tidaklah mudah. Bahkan bisa dibilang tertatih-tatih. Awalnya, ia menjadi pengrajin Serat Lanas sejak tahun 2004. Dengan

Berkat Penguatan Modal dari Bank BPRS Bhakti Sumekar Sumenep, hasil kreasi Serat Lanas dari Desa Ellak Laok, Kecamatan Lenteng, dapat mengangkat derajat ekonomi Hayat dan warga sekitar. Hayat ngaku plong setelah semua hutang lunas sejak menggeluti binis baru yang bermitra dengan BPRS. memanfaatkan 3 tegal tanah peninggalan orang tuanya, ia bersama sang istri, Halimah (33), mencari sumber penghasilan keluarga dari daun Lanas. Dari 3 bidang tanah tersebut ia dapat menghasilkan serat hingga 3 kwintal dan hasil penjualannya dapat sedikit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut ia tekuni dengan sabar selama 4 tahun. Namun pada tahun 2007, keluarga Hayat mendapat musibah yang membuat ia berpikir harus berubah dan bertindak nekat untuk mengembangkan usahanya. Musibah tersebut adalah putri semata wayangnya mengidap penyakit demam hingga harus di opname di rumah sakit selama satu minggu, dan di waktu bersamaan dua ekor sapi di rumahnya hilang dibawa maling. Dua musibah tersebut datang secara beruntun dan memukul telak kehidupan keluarga Hayat. “Waktu itu saya sangat terpukul, bahkan istri saya sampai teriak-teriak di rumah sakit,” terang ayah dari Amelia Habibah (14) ini, terkenang. Sepulang dari rumah sakit, kondisi ekonomi


keluarga otomatis tambah kacau karena terlilit banyak hutang. Sapi yang awalnya akan dijual untuk menutupi hutang selama di rumah sakit juga sudah sirna. Bahkan Hayat dan Halimah sempat berpikir untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Namun di tengah keputusasaan itulah Hayat masih dapat berpikir jernih sehingga diberikan keberanian untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di desa sendiri. Akhirnya, dengan bermodal uang 25 ribu, Hayat dan Halimah mengambil inisiatif untuk mengembangkan usaha Serat Lanasnya dengan cara membeli Serat Lanas dari tetangga. Modal sebesar 25 ribu memang sangat sedikit untuk dijadikan modal usaha, namun Hayat bersyukur karena sebagian tetangganya malah dengan suka rela memberikan hasil Serat Lanasnya meski tidak dibayar di muka. “Alhamdulillah, ternyata Allah memberikan jalan sehingga saya tidak perlu kerja ke luar negeri meski tidak mudah,” tutur Hayat. Pada awal usahanya itu, Hayat masih menjual serat daun tersebut ke pasar. Selain dalam bentuk serat asli, ia juga menjual dalam bentuk tali. Lalu seiring berjalannya waktu, usahanya tersebut terus berkembang. Apalagi setelah ada pelanggan tetap dari Kabupaten Pamekasan. “Orang Pamekasan datang kesini pada tahun 2009 diantar salah satu teman saya. Sejak saat itu dia hampir setiap bulan pesan Serat Lanas 15-20 kwintal,” ujar Hayat. Banyaknya pesanan dan kepercayaan masyarakat terhadap usahanya tidak lantas membuat Hayat senang. Ketersediaan modal yang kurang membuat Hayat harus keliling mencari hutangan. Hayat bercerita, dirinya harus meminjam emas milik saudaranya untuk digadaikan. Kendati demikian, kekuatan modal yang dibutuhkan masih terbilang kurang. Dalam sebulan, kadang sampai 5 kali dirinya harus menggadaikan emas hasil pinjaman. Barulah pada tahun 2013 lalu, Hayat mampu bernafas lega. Sebabnya ia telah menjalin kerjasama dengan Bank BPRS Bhakti Sumekar Cabang Lenteng di bidang penguatan modal. Dengan begitu, Hayat mengaku tidak kebingungan lagi terhadap persoalan permodalan. Ia tinggal mengajukan pinjaman modal sesuai yang dibutuhkan. “Justru itu saya merasa sangat bersyukur dengan adanya program penguatan modal dari Bank BPRS, karena sejak saat itu saya bisa fokus terhadap pengembangan usaha,” kata Hayat, tampak bersemangat. Saat ini, pelanggan Hayat sudah meluas. Tidak hanya di daerah Madura dan pengusaha menengah, salah satu pabrik besar di Kota Surabaya pun turut memesan Serat Lanas dari usahanya itu. Bahkan pabrik rokok besar seperti PT HM Sampoerna yang ada di Madura juga

memesan tali dari Serat Lanas produksinya. “Tiap bulan Pabrik dari Surabaya itu memesan serat lanas 1-1,8 ton. Alhamdulillah saat ini usaha saya semakin lancar,” ucap Hayat bersyukur. Untuk memenuhi jumlah pesanan tersebut, selain membeli serat lanas dari para tetangga, Hayat juga mempekerjakan 6 orang untuk menyerat daun Lanas dari tiga petak tanahnya. Enam orang tersebut dibagi pekerjaannya dengan upah yang berbeda pula. Yakni tiga orang yang bertugas membersihkan duri di daun lanas diupahnya 25 ribu perhari, sementara tiga orang yang bertugas menyerat daun yang sudah dibersihkan diberi upah 50 ribu perhari. Produk serat dan tali dari pohon Lanas hasil kreasi UMKM Desa Ellak Laok ini dijual dengan harga beragam. Untuk Serat Lanas dijual dengan harga 20 ribu/kg, sedangkan untuk jenis tali dibandrol 16 ribu/kodi. Dari penjualan tersebut, Hayat mengaku mendapatkan laba sebesar 15-20 juta tiap bulan. “Alhamdulillah melalui usaha ini hutang saya sudah lunas dan semua emas yang dulu digadaikan sudah ditebus,” syukurnya.

masyarakat pengrajin lainnya tak juga tahu apa istilah popularnya. Namun ketika Mata Sumenep mencoba mencari di beberapa literatur dengan mencocokkan ciri daun dan tabiatnya, daun pohon Lanas sama dengan ciri daun pohon Sisal atau biasa disebut Agave Sisalana Perrine secara ilmiah. Sisal (Agave Sisalana Perrine) merupakan tanaman penghasil serat dari daunnya setelah melalui proses penyeratan. Tanaman ini termasuk dalam keluarga Agavaceae berasal dari meksiko dan dibawa ke Indonesia pada tahun 1913. Ciri ciri tanaman Sisal yakni warna daun hijau, tepi daun berduri, berjarak agak renggang dan tahan kering serta produksi serat tinggi.

Mengenal Lebih Jauh Pohon Lanas Tidak sulit untuk menemukan pohon Lanas di sekitar rumah warga Sumenep. Tanaman penghasil serat bernilai ekonomi tinggi tersebut memang banyak tumbuh di Sumenep terutama di kawasan berbatu. Bahkan menurut Hayat, menyerat daun lanas mamang menjadi pekerjaan umum masyarakat Desa Ellak Laok. Hingg kini, tercatat ada tiga dusun yang memanfaatkan pohon liar tersebut untuk dijadikan sumber penghasilan. Ketiga dusun tersebut yakni Dusun Darusa Barat, Darusa Timur, dan Toguluk Bawah. Hayat menjelaskan, pohon Lanas yang banyak tumbuh di desanya bukan hasil budidaya serius oleh masyarakat, akan tetapi justru tumbuh liar di sekitar bukit berbatu yang terdapat di daerahnya. Baru pada perkembangannya, pohon bernilai ekonomis itu mulai ditanam. Itupun tak lebih dari 10-15 benih. Sebab tanpa harus dipupuk maupun disiram, kata Hayat, benih-benih tersebut akan beranak-pinak dengan sendirinya. Dan yang membuat semakin mudah, proses anakpinak tidak akan pernah membuat pohon induk mati seperti pada pohon pisang, sehingga tak memerlukan upaya budidaya. Selain itu, pohon yang mengandung serat kuat tersebut bagi masyarakat Madura tidak hanya memiliki satu nama. Kendati dikenal sebagai pohon Lanas di Desa Ellak Laok, Kecamatan Lenteng, Sumenep, ada pula yang menyebutnya dengan pohon Mastoleh. Keberagaman nama ini pun cukup membuat sulit pencarian nama ilmiah dari pohon tersebut. Terlebih Hayat maupun

Halimah menunjukkan hasil serat lanas yang sudah jadi dibuat tali dan siap dipasarkan.

Dalam dunia industri, Sisal merupakan tanaman penghasil serat alam yang banyak diminati pengusaha. Karakternya yang kuat dan tahan lama dan tahan air laut membuat Serat Sisal kerap digunakan sebagai bahan pokok industri. Seperti industri kapal laut, keset, sikat, sapu, bahkan springbad. Jika prediksi Mata Sumenep ini benar, maka sangat disayangkan jika potensi ekonomi yang terdapat dalam pohon Lanas ini tidak dimanfaatkan. Sedikit masyarakat yang mengetahui potensi pohon ini, bahkan oleh Hayat sendiri selaku orang yang mengembangkam seratnya. Menurut pengakuan Hayat, dirinya tahu mengetahui tentang serat Lanas karena menjadi usaha nenek moyang. Pihaknya tidak pernah mengikuti pelatihan yang dapat menambah pengetahuannya tentang serat Lanas. “Saya pernah bertanya kepada pelanggan yang dari Surabaya. Namun dia tidak mau menjelaskan dan menjawab bahwa itu rahasia perusahaan,” kata Hayat.

ozi’/rafiqi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 3


Daftar Isi Susunan Redaksi Komisaris Dewan Redaksi Redaksi Ahli Redaktur Tamu

: Asmawi : Moh. Jazuli, M. Ali Al-Humaidi : Moh. Ilyas : Suhaidi

Direktur Pemimpin Redaksi Redaktur Pelaksana Reporter

: Hambali Rasidi : Hambali Rasidi : Rafiqi : Hairul, Ozi’ : Yono, Raf Design Grafis : A. Warits Muhshi Manajer Iklan & Promosi : Rusydiyono Penagih Iklan : Fathorrahem Mnj. Sirkulasi & Distribusi : Moh. Junaedi Keuangan : M. Adi Irawan Kontributor : RB. Moh. Farhan Muzammil Penerbit : PT. MATA SUMENEP INTERMEDIA NPWP : 70.659.553.5-608-000 SIUP : 503/29/SIUP-M/435.213/2014 TDP : 13.21.1.58.00174

Oase Kehidupan Salah satu falsafah orang Madura dan menjadi kata kunci dalam kehidupan sehari-hari adalah Bapa’, Babu’, Guru, Rato ( Bapak, Ibu, Guru, Raja). Rato dimaksud bermakna pimpinan atau pemerintah yang berkuasa. Sedangkan guru/kiai/ulama bagi orang Madura menjadi tokoh sentral yang wajib dianut, terutama wilayah Madura bagian Timur (Pamekasan-Sumenep).

Itulah yang menjadi pemikiran dalam rapat redaksi mata sumenep sebelum menurunkan liputan utama yang mengulas tentang peran penting sosok kiai atau ulama dalam kehidupan masyarakat. Bukan karena apa. Ditengah hegemonitas hidonis materialis, sosok ulama-kiai,- seakan luput dari concern jurnalis. Padahal, konstribusi para pemimpin umat Islam saat ini sedang dipertaruhkan. Dari kacamata beda, tapi, tetap dalam konteks jurnalistik. Dalam pikiran crew mata, bergelayut angle semua indikasi analisis gerakan sistematis dan massif untuk menghilangkan figur kiai-ulama sebagai pemimpin umat Islam lewat berbagai sarana. Edisi kali ini, redaksi sengaja menampilkan daftar Raja Sumenep berasal keturunan Bindara Saod sebagai figur ulama-kiai Sumenep yang telah mewarnai kehidupan kerajaan dalam bingkai kesalehan spiritual. Melalui warisan Masjid Agung dan Asta Tinggi, generasi muda sebatas memandang dan bertanya apa dan bagaimana bangunan fisik yang ada. Tanpa bertanya dan mencari rahasia dibalik pesan simbolis yang dipersembahkan. Selain itu, redaksi ingin melempar pertanyaan apakah benar Kabupaten Sumenep tergolong kabupaten terbanyak jumlah ponpes dan figur kiainya se Indonesia. Meski belum ada data resmi, tetapi jumlah ponpes yang terdaftar dalam Kemenag sudah hampir mencapai 300-an. Belum lagi, figur kiai yang mengajarkan metode salafi dan memiliki banyak tamu untuk berguru ilmu bathiniyah, sudah pasti tidak mendaftarkan secara resmi kepada Kemenag. Seperti di Ambunten, Ganding, Pragaan dan Guluk-Guluk. Redaksi sengaja menurunkan kembali liputan sosok Kiai Imran Syahruddin sebagai salah satu icon figure kiai yang tanpa perlu alergi dinilai mereka yang memang tidak bisa faham dengan sosok kiai. Ibarat minyak dan air. Atau magnet dan karet. Meski dipaksa untuk ditempelkan, tetap tidak bisa lengket karena tidak senyawa aliasi tidak sefaham. Selain itu, redaksi tetap menurunkan ciri khas Mata Sumenep, seperti majelis taklim, tasawuf, liputan pesantren, pendidikan, kuliner, liputan politik, kegiatan pemkab dan kunjungan Bupati Sumenep KH A . Busyro Karim di Pulau Sapudi. Kembali kepada dalih keterbatasan refrensi dan nara sumber untuk membaca yang tidak lazim dari sudut pandang banyak orang. Redaksi sekedar mereview figur kiai atau ulama dalam pengabdian mencerdasakan masyarakat dan ikut mendampingi ketika mengalami musibah. selamat membaca

KUNJUNGAN DI PULAU SAPUDI 32

ZIARAH KAKEK JOKO TOLE KEHADIRAN di Pulau Sapudi. Bupati Kiai Busyro menyempatkan ziarah ke Asta Blingi yang dipercaya sebagai kakek Joko Tole.

MENGUNDI NOMOR URUT PASLON 35 Suasana Hotel Utami Sumenep pada hari Selasa (25/8/2015) sedikit tegang. Masing-masing pendukung kedua Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan wakil bupati terus meneriakkan yel-yel dukungan usai memperoleh nomor urut Paslon yang digelar Komisi Pemilihan Umum.

REHAB 344 RUMAH TIDAK LAYAK HUNI 20 SAAT kunjungan di Pulau Sapudi, 27 Agustus lalu, Bupati berkesempatan menyerahkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian 4 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015 Perumahan Rakyat kepada 344 penerima di Kecamatan Gayam.


MATA UTAMA

BHAPA’ BHABU’ GURU RATO SUDAH mafhum, ditelinga warga Sumenep, pemerintahan Sumenep dibangun oleh raja yang memiliki kelebihan spiritual. Bukti Asta Tinggi dan berdiri tegaknya bangunan Masjid Agung Sumenep, menandakan kesalehan spiritual para Raja Sumenep yang tidak diragukan. Meski Arya Wiraraja, sebagai Adipati Kerajaan Singosari yang ditempatkan di Sumenep, masih kontroversial secara historis, apakah seorang muslim yang taat atau bukan. Tetapi sebagian orang meyakini, sosok Arya Wiraraja sebagai seorang yang ‘alim dalam ilmu agama dan pemerintahan. Sebagian juga meyakini Asta Arya Wiraraja berlokasi di ujung sebelah barat diantara jejeran area Pangeran Pulang Jiwo. Dengan demikian, ia meyakini Arya Wiraraja masuk hitungan pendahulu raja yang disemayamkan berlokasi Asta Tinggi atau tergolong keluarga. Dalam sejarah yang termaktub dalam dokumen Belanda, Raja Sumenep yang dicatat sejarawan hanya Arya Wiraraja. Pasca pendiri pemerintahan Sumenep ini, dinilai para sejarawan belum memiliki literature yang jelas. Syaiful Rijal Alinata, guru sejarah salah satu SMP Sumenep, mengakui kesulitan mencari refrensi para Raja Sumenep

berdasar sumber sejarah, kecuali masa pemerintahan Arya Wiraraja dan Bindara Saod terus ke bawah. Sosok Bindara Saod dalam sejarah disebutkan sebagai seorang Kiai Kampung yang menikah dengan Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana, putri Raja. Sehingga Bindara Saod bergelar Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod). Sejak itu, sosok Bindara Saod menjadi icon sosok ulamakiai dalam sejarah bahwa Raja Sumenep berasal dari figure kiai dan diteruskan dengan Kiai Asirudin, putra Bindara Saod, yang populer dengan gelar Panembahan Somala. Kemudian diteruskan dengan Sultan Abdurrahman (Pakunataningrat I), cucu Bindara Saod, dan seterusnya (lihat table). Sejak Sumenep menjadi bagian dari NKRI, Bupati ditunjuk oleh pemerintah pusat. Begitupula saat Orde Baru berkuasa. Pemimpin Sumenep (Bupati) sengaja diambil dan ditunjuk dari kalangan ABRI (TNI, Red.). Namun, sejak era reformasi, kran demokrasi mulai di buka, masyarakat Sumenep kembali memilih sosok Kiai sebagai Bupati. Pada tahun 2000, KH Ramdlan Siradj yang diusung dari PKB, menduduki kursi Bupati Sumenep selama dua periode. Sepuluh tahun reformasi berjalan, sosok kiai masih menjadi kepercayaan masyarakat Sumenep. Terbukti, pada tahun 2010, dari sekian latarbelakang calon bupati yang ikut Pilkada, KH A. Busyro Karim dipercaya menjabat Bupati

Sumenep yang dipilih langsung rakyat. Kepercayaan masyarakat Madura, khususnya masyarakat Sumenep, terhadap sosok ulama atau figure kiai tidak bisa ditawar alias harga mati. Terbukti, animo masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sejumlah pondok pesantren menjadi salah satu indikator kokohnya keyakinan masyarakat terhadap sosok kiai. Kendati himpitan pragmatisme dan hedonisme mengepung kehidupannya. Sebagian besar masyarakat masih percaya kepada sosok kiai-ulama bisa menjadi oase

Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel dalam Urban Sufisme menyimpulkan setelah melakukan penelitian masyarakat perkotaan di sejumlah negara, ia menyimpulkan praktek spiritual kian menjamur dalam kehidupan masyarakat kota. Apa yang menjadi faktor? Dalam buku itu Martin dan Julia Day menyebut efek spiritual menjadi kata kunci ketenangan bathiniyah atau menjadi penyejuk masyarakat kota yang gersang sentuhan hati setelah tergerus padatanya aktivitas duniawi. Sehingga masyarakat kota mulai banyak memilih aktivitas spiritual daripada aktivitas-

kehidupan di tengah hegemoni kapitalis demokrasi.

aktivitas ragawi. 1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 5 Sisi negatifnya, gerakan spiritual


MATA UTAMA seperti majelis taklim atau majelis dzikir atau kelompok-kelompok tarekat yang mulai bertebaran di sudut-sudut kota dinilai Martin dan Julia sebagai aktivitas alternatif dalam mengisi kekosongan bathiniyah (psikologi). Erich Fromm, seorang Konsultan Psikologi kelahiran Jerman menyusun buku berjudul, Escape from Freedom (Keluar dari Kebebasan) pada tahun 1941, mengurai kecendrungan masyarakat modern yang ingin bebas tapi secara substansi kebebasan itu membelenggu dirinya sendiri. Sehingga, dari sejumlah hasil penelitian di sejumlah wilayah, Erich membuat antitesa atas kebebasan yang didengungkan kaum sosialis kapitalis, tanpa norma, akan menjadi pengahalang kebebasan sejati. Kajian akademik atas fenomena pentingnya kehidupan beragama mulai terbuka dari berbagai metode berpikir. Tidak semata ilmu fiqh dan tasawuf. Sejati dan rasional seyogyanya, manusia modern harus berpikir ulang agar kembali ke fitrah sebagai ciri khas manusia darimana ia berasal. Hati nurani dalam arti hati yang suci atau hati yang hidup tentu sebagai password mencari ketenangan hidup di dunia yang bersifat sementara. Hanya saja, password itu tidak bisa dijualbelikan atau mudah didapat karena berasal dari software yang Maha Agung atau Maha Suci. Bahasa sederhana, masyarakat Madura khusus Sumenep mencari sosok pengajar ilmu agama Islam sebagai individu yang bisa menunjukkan berbagai password dalam kehidupan dunia. Mereka mayoritas sangat yakin dan percaya kepada figur yang dapat menuntut jalan hidup lebih cerah dari semula bergumul dalam kubangan kegelapan. Mereka sangat sadar konstribusi guru yang awal mengajari ilmu paling berharga dalam hidupnya, yaitu berawal dari bisa belajar membaca al-Qur’an, memahami al-Qur’an lebih dalam sebagai sumber ajaran Islam. Dan ilmu seterusnya yang tidak bisa ditulis dan disebutkan. Ilmu inilah yang menjadi kata kunci akhir mereka yang belajar ilmu Islam akan terpatri dalam sanubari paling dalam untuk terus hormat dan menghargai sang guru termasuk keluarga dan barang milik dan apa-apa yang disukainya. Hal inilah yang menjadi kata kunci akhir para murid atau santri untuk terus loyal dan hormat kepada sang guru atau keluarga sang guru. Meski meninggal dunia, apa-apa yang menjadi kesukaan dan ikatan emosinya, tetap menjadi perhatiannya.

6 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

***** Salah satu falsafah orang Madura dan menjadi kata kunci dalam kehidupan sehari-hari adalah Bapa’, Babu’, Guru, Rato ( Bapak, Ibu, Guru, Raja). Rato dimaksud bermakna pimpinan atau pemerintah yang berkuasa. Sedangkan guru/kiai/ulama bagi orang Madura menjadi tokoh utama yang wajib dianut. Khusus, wilayah Sumenep kecintaan terhadap sosok kiai hingga saat ini masih bertahan. Meski pasang surut dalam berbagai aspek kehidupan karena sejumlah dinamika hidup, nilai kecintaan kiai tidak pernah pudar. Fatwa-fatwa sang kiai selalu menjadi perintah yang harus diwujudkan tanpa perlu

banyak bertanya sejumlah dalih dan refrensi. Bagi sebagian kelompok, loyalitas individu kepada sang sosok kiai pujaan barangkali disebut sebagai perilaku kebodohan. Akan tetapi begitulah fakta masyarakat Madura, khusus Sumenep memandang seorang kiai, meyakini bahwa kiai (ulama) sebagai pewaris Nabi Saw dalam menyiarkan Islam. Gelar kiai atau ulama yang tersemat dalam pribadi bukan pengakuan individu. Atau diraih dari berbagai aktivitas pesantren atau pendidikan khusus. Tapi gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang memiliki pondok pesantren atau individu yang dinilai memiliki kelebihan ilmu spiritual karena banyak membantu masyarakat yang butuh bantuan dan perlindungannya. Sebagai elit agama, kiai atau ulama memikul beban sebagai penyampai ajaran Islam sekaligus

tempat acuan umat atas segala problem dan hajat hidup masyarakat. Kiai sebagai pemegang ororitas keagamaan di masyarakat memiliki peran strategis sekaligus dilematis. Satu sisi kiai sebagai elit politik mentaati ulil al-Amri, disisi lain, kiai sebagai elit agama memiliki kewajiban menegakkan nilai agama dengan cara mencegah komederatan. Dalam tradisi masyarakat Madura, ada tiga orang yang harus dihormati dalam hidup; yakni Rato, Buppa’, dan Guru. Rato artinya penguasa, Buppa’ adalah orang tua, sementara Guru adalah orang mengajarkan ilmu seperti kiai yang ada di langgar atau pondok pesantren. Kiai dalam masyarakat Madura mempunyai peran yang sangat sentral. Tidak ada satupun persoalan yang terjadi masyarakat tidak disampaikan kepada kiai untuk meminta solusi. Bahkan untuk hal terkecil seperti ingin menikah, mengadakan salametan, dan berangkat merantau. Apresiasi yang sangat tinggi terhadap kiai ini, kiranya bukan tanpa alasan. Hal tersebut tersebut sebagai akibat dari keikhlasan kiai dalam mengabdikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa ada seorang kiai yang dengan sengaja menjerumuskan masyarakatnya terhadap prilaku yang buruk. Hal ini sejalan dengan gelar kiai Madura tidak bisa didapat dengan mudah seperti gelar akademis. Predikat kiai disematkan langsung oleh masyarakat terhadap seseorang karena pengabdian seumur hidup. Dalam setiap keadaan, kiai di Madura selalu memikirkan kemaslahatan umat dan mendahulukan masyarakat daripada memikirkan diri sendiri dan keluarganya. Pada konteks ini, sosok kiai tak ubahnya seorang pelayan yang bertuan kepada masyarakat tanpa memikirkan apa yang akan didapat. Dalam pribahasa Madura prilaku tersebut dikatakan orang yang nyemphe e pettengah (menyembah di tempat yang gelap) yang berarti selalu berbuat untuk masyarakat meski tidak dilihat atau tanpa pamrih dan pujian. Kiai menjadi penggerak perubahan dalam setiap lini masyarakat, baik dalam segi keagamaan, pendidikan, politik, budaya, dan muamalah. Dalam segi pendidikan dan keagamaan, misalnya, kiai meluangkan setiap waktunya siang dan malam untuk mengajari ilmu pengetahuan terhadap masyarakat. Kiai dengan tekun dan telaten mangajari masyarakat mengaji al-Qur’an, hukum-hukum agama, dan petunjuk dalam melaksanakan kehidupan yang didasarkan dari sabda Nabi. Hal itu dilakukan

BERSAMBUNG HAL 9


MATA UTAMA

Kiai Imran Syahruddin

KIAI PANUTAN UMMAT Kiai Imran Syahruddin merupakan sosok kiai langka. Selain usia tergolong lanjut, 84 tahun, keperibadiannya amat sangat sederhana. Kehidupan asketisme (zuhud), beliau aplikasikan dalam seharihari. Meski penuturan pelan, tapi menusuk relung hati paling dalam. Ada getaran batin yang terasa syahdu ketika mendengar dawuhnya. Sabdanya seperti suluh kehidupan.

ecara lahiriah praktek hidup Kiai Imran menyerupai para Sufi dulu. Atribut Sufisme terlihat dari sikap zuhud, wara’ dan qana’ahnya. Sikap zuhud dan wara’ Kiai Imran memanfaatkan harta yang ada sesuai dengan kebutuhan. Kiai Imran tidak menginginkan banyak fasilitas. Tempat tinggalnya sekedarnya asal layak ditempati. Tanpa bermewahan. Kendati tidak sedikit tawaran datang dari para tamu untuk merenovasi kediamannya. Termasuk rencana bangunan masjid dan pesantren yang megah. Kiai Imran selalu menolak. Dengan alasan sangat sederhana. Nyai Syarifah, puteri ke 10, dari 17 keturunan Kiai Imran, abahnya, selalu menolak bantuan untuk perbaikan tempat tinggal pribadi. Bagaimana asal usul kediaman Kiai Imran? Nyai Syarifah bercerita, penentuan lokasi kediaman di Desa Pakamban Laok, berdasar saran Kiai Wongso, kiai asal Lenteng, Sumenep. “Abah sowan ke Kiai Wongso minta arahan, baiknya bertempat tinggal di mana? Apakah di Jawa atau di Madura. Kiai Wongso menjawab lebih baik di Madura. Abah tanya kembali, apabila di Madura di Kabupaten mana? Kiai Wongso menjawab Sumenep. Jika di Sumenep, mana? (barat atau timur). Kiai Wongso menjawab di bagian barat yang ada alas (hutan) di pegunungan. Dari saran Kiai Wongso,

abah memilih bermukim di Desa Pakamban Laok, konon, di lokasi ini dulu, terkenal sebagai tempat angker (seram),” tutur Nyai Sarifah. Sang menantu Kiai Imran, Abdul Waris Anwar, menjelaskan tanah yang ditempati Kiai Imran saat ini berasal dari pemberian Abdul Rasyid, yang saat itu, masih hutan belantara. Sekitar tahun 1962, Kiai Imran mendirikan tempat tinggal setelah sebelumnya berdomisili di Probolinggo. “Sejak itu, banyak tamu dari Probolinggo yang sowan ke sini,” ungkapnya. Para tamu datang dari berbagai daerah, menetap hingga beberapa hari di kediaman Kiai Imran. Seiring berjalannya waktu, putra-putri Kiai Imran berinisiatif mendirikan Yayasan Ali Imron untuk mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda, pada tahun 1993. Abdul Waris Anwar, menjelaskan, pesantren berdiri berdasar permintaan para tamu yang berkeinginan putranya untuk mengaji ke Kiai Imran. Hingga kini jumlah santri yang mondok di pesantren mencapai ratusan, berasal dari Pamekasan, Sampang, Bangkalan, dan seputar Probolinggo. Termasuk dari Sumenep. Tamu yang datang rata-rata dari etnis Madura yang berdomisili di Jawa. Seperti, Probolinggo, Lumajang, Banyuwangi, Jember, Surabaya. Termasuk dari Madura. “Salah satu tamu yang sering ke abah, seperti Ustadz Husni, Surabaya dan Ustadz Jamali,

Sampang. Termasuk mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, masih berguru ke abah,” jelas Nyai Sarifah. Para tamu biasanya datang rombongan naik bus pariwisata. “Tradisi di kami, setiap tamu yang datang, di sediakan dahar (makanan) sebagai bentuk penghargaan kepada tamu. Setiap sedekah dari tamu, abah langsung mensedekahkan kepada orang lain. Abah amat sangat sederhana sekali. Beliau selalu istiqomah memegang syar’i,” sambungya. Kepada para tamu, Kiai Imran selalu memberi wejangan sesuai dengan kebutuhan atau problem yang dihadapi. Seperti, ketika ada tamu yang mengalami problem rezeki, Kiai Imran menasehati dengan nasihat taqwa. “Keyakinan utuh (ketaqwaan sempurna) kepada Allah Swt, sebagai penguasa alam, akan menolong setiap kesulitan yang menimpa hamba, asal diri kita memasrahkan diri kepada Allah Swt. Apabila kamu tidak berharap pertolongan-Nya, Allah Swt melepas dan menyerahkan sesuai hawa nafsumu,” dawuh Kiai Imran kepada tamu yang hadir. Dari silsilah keluarga, Kiai Imran masih memiliki kekerabatan dengan Kiai Haji Raden Syamsul Arifin, Situbondo (abah Kiai As’ad). Kiai Syamsul memang berasal dari Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Begitupun Kiai Imran lahir di Kembang Kuning, Pamekasan, 25 Oktober 1930 (sesuai KTP), dari pasangan Kiai Haji Raden Syahruddin dan

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 7


Wawancara Bersama Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim

MATA POLITIK

MELANJUTKAN PROGRAM DAN

MENINGKATKAN PELAYANAN

Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim tercatat sebagai Paslon Bupati Sumenep 2015-2020 berpasangan dengan Achmad Fauzi dalam Pilkada, 9 Desember mendatang. Apa yang melatarbelakangi Kiai Busyro berhasrat melanjutkan periode kedua? Berikut penuturannya kepada Mata Sumenep. Ini juga bukti, bahwa kami benar-benar berkomitmen dalam meningkatkan infrastruktur. Sehingga program kami perlu dilanjutkan dalam periode selanjutnya,” Assalamualaikum Pak Bupati…… Waalaikum salam, …. Pak Bupati tercatat Paslon dalam Pilkada, 9 Desember 2015. Bisa dijelaskan, apa yang mendasari Pak Bupati ingin melanjutkan periode kedua? Pertama, sesuai mekanisme partai (PKB), saya mendapat rekomendasi dari DPP PKB setelah diusulkan DPC PKB dan diberi kepercayaan dari masing-masing PAC dan pengurus ranting. Kedua, lima tahun program yang kami rumuskan dalam kepemerintahan Super Mantap perlu ditingkatkan. Sudah banyak program-program yang dijanjikan dalam visi dan misi kami terwujud selama lima tahun. Dan ini menjadi tantangan kami ketika program yang digulirkan diketahui tidak maksimal. Bisa disebutkan secara garis besar, apa yang belum tuntas di periode pertama, sehingga dianggap perlu menuntaskan program sebelumnya? Pada tahun pertama, kami menetapkan tahun reformasi birokrasi. Pada tahun kedua dan ketiga, kami fokus meningkatkan inovasi pelayanan publik. Dan pada tahun keempat dan kelima, kami fokus pada peningkatan infrastruktur. Pada konteks ini, masih ada kelemahan di sana-sini. Suatu contoh, program kesehatan gratis itu baik dan benar-benar dirasakan masyarakat. Tapi, dalam praktek di lapangan

8 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

masih ada keluhan dari masyarakat tentang pelayanan kesehatan itu. Obatnya bisa gratis, tapi pelayanan dari petugas medis kepada pasien yang perlu ditingkatkan. Karena itu, di periode kedua ini, kami akan fokus peningkatan pelayanan melalui meningkatkan para SDM di lingkungan Pemkab. Juga perlu rumusan SDM dan program sesuai kebutuhan zaman. Bagaimana dengan program bantuan untuk kelompok keagamaan dan bantuan pendidikan pesantren selama 5 tahun berjalan? O..ya..Bantuan ini masuk kategori Bantuan Ponpes, Masjid, Mushalla, Gereja/Klenteng, Guru Ngaji, Majelis Taklim, dan Organisasi Sosial atau PHBI. Sejak tahun 2011, Pemkab telah menyalurkan bantuan sebesar Rp 1,2 miliar. Baru pada tahun 2012 langsung dinaikkan menjadi Rp 3,2 miliar. Dan kenaikan anggaran Bansos Keagamaan juga terjadi pada tahun 2013 mencapai Rp 6,4 miliar. Dan puncak kenaikan anggaran Bansos Keagamaan terjadi pada tahun 2014 yang mencapai Rp 9,2 miliar. Sementara di tahun 2015 mencapai Rp 7,1 miliar. Jadi, total semua Bansos Keagamaan mencapai Rp 27,2 miliar. Bagaimana dengan bantuan untuk UMKM? Sama halnya dengan Bansos Keagamaan. Bantuan untuk UMKM juga mengalami peningkatan. Sejak tahun 2011 bantuan UMKM yang disalurkan berjumlah Rp 3,4 miliar. Tahun 2012, bantuan mengalami peningkatan mencapai Rp 5,6 miliar. Lalu pada tahun 2013, mencapai Rp 5,5 miliar, dan pada tahun 2014 meningkat secara signifikan hingga mencapai Rp 15,8 miliar. Sedangkan di tahun 2015 ini bantuan mencapai Rp 13,4 miliar. Dari semua bantuan itu, jika ditotal mencapai Rp 43,8 miliar. Semuai ini juga bagian dari komitmen pemerintahan kami. Sebab kesejahteraan masyarakat

adalah segalanya bagi seorang pemimpin dalam memajukan suatu daerah. Masyarakat banyak bertanya tentang pembangunan infrastruktur selama 5 tahun Pak Bupati menjabat. Bisa dijelaskan? Setiap meningkatnya kualitas hidup masyarakat tidak hanya selalu ditandai dengan tercukupinya kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan maupun lapangan kerja. Ketersediaan infrastruktur yang memadai menjadi bagian yang sangat mendukung dalam mengantarkan kepada kesejahteraan hidup masyarakat seperti dicitakan dalam kepemimpinan kami. Karena itu, sejak tahun 2011 dana infrastruktur telah mencapai Rp 74,7 miliar. Tahun 2012 meningkat lagi hingga Rp 92,2 miliar. Di tahun 2013 mencapai Rp 93,7 miliar, disusul tahun 2014 yang mencapai Rp 174 miliar. Nah, di tahun 2015 dana itu semakin melambung mencapai Rp 198,2 miliar. Jadi total semua mencapai Rp 633,1 miliar. Ini juga bukti, bahwa kami benar-benar berkomitmen dalam meningkatkan infrastruktur. Sehingga program kami perlu dilanjutkan dalam periode selanjutnya, agar apa yang menjadi keinginan banyak masyarakat bisa terwujud. Program apa saja yang perlu diprioritaskan, apabila Allah Swt mentakdirkan Pak Bupati menjabat di periode kedua? Program Unggulan 2015-2020, Pertama, Peningkatan Kualitas Pendidikan. Kedua, Optimalisasi Pelayanan Kesehatan Gratis. Ketiga, Mencetak 5000 Wirausahawan Muda. Keempat, Peningkatan Pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kelima, Peningkatan dan Percepatan Pembangunan Inftrastruktur Wilayah Kepulauan. Keenam, Optimalisasi dan Revitalisasi Pasar Tradisional. Ketujuh, Peningkatan Pengarusutamaan Gender serta Perlindungan Perempuan dan Anak. Delapan, Mewujudkan Desa Sejahtera dan Kota BERSERI. Sembilan, Peningkatan Profesionalitas dan Inovasi Birokrasi (hamrasidi)


SAMBUNGAN HAL. 6 dengan ikhlas oleh kiai untuk menutup pintu kejahiliaan dalam benak masyarakat dan menggantinya dengan fajar pengetahuan. Pada konteks sosial dan politik, kiai mampu menjadi pelerai dalam setiap persoalan yang terjadi di masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan kekeluargaan, setiap konflik yang terjadi dapat diredam dengan kepala dingin sehingga tidak terjadi konflik yang berkelanjutan. Kiai menerangkan pentingnya kebersamaan dan persatuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang dikatakan dalam al-Quran sebagai Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur, yakni masyarakat yang sejahtera dan memperoleh ampunan dari Yang Maha Kuasa.

NO

1

2 3 4 5

Peran kiai dalam dunia politik juga tidak jauh beda. Yakni memprakarsai program yang berpihak kepada masyarakat, dan selalu berada di garda terdepan ketika ada persoalan yang tidak memihak kepada rakyat. Menjadi kiai bukan berarti menolak terhadap politik. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, baik masa orde lama dan orde baru, banyak kebijakan pemerintah sukses karena bantuan para kiai yang secara jelas mendukung program tersebut kepada santrinya. Akibat pengabdian kiai terhadap masyarakat itulah sangat wajar apabila kedekatan masyarakat kepada sosok kiai ibarat magnet dan besi. Meski ada upaya atau gerakan untuk memisahkan sosok kiai dengan umatnya,

NAMA BUPATI Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) Panembahan Sumolo (Kiai Asirudin) Sri Sultan Abdurrahman (Kiai Abdurrahman) Raden Ario Notonegoro) Panembahan Notokusumo II (Kiai Raden Ario Moch. Saleh) Kanjeng Pangeran Ario Pakunataningrat II (Pangeran Pangkuadiningrat)

loyalitas dan penghormatan tetap terjaga. Kiai bagi masyarakat Madura adalah sosok yang selalu digugu dan ditiru. Setiap fatwanya selalu dinanti tanpa ada kecurigaan. Bahkan lebih jauh, tradisi Masyarakat Madura menyebutkan bahwa keturanan kiai juga harus dihormati hingga tujuh turunan. Sekali lagi, tidak ada sejarah yang mengatakan ada seorang kiai yang berbuat dhalim kepada masyarakatnya. Karena gelar kiai diberikan oleh masyarakat maka ia adalah bagian dari masyarakat. Ia lahir dan berkembang bersama masyarakat, dan akan mati disana.

hamrasidi/muhammad khozin

MASA JABATAN

KETERANGAN

1750-1762

Awal Mula Kiai/Ulama Menjadi Pemimpin Sumenep (versi sejarah)

1762-1811

Putra Kiai Saod (Pendiri Masjid Jamik Sumenep)

1811-1854

Cucu Kiai Saod

1854-1879

Pajagalan

1879-1901

Pajagalan

6

Kanjeng Pangeran Ario Pratamingkusumo

1901-1926

Pajagalan

7

Kanjeng Tumenggung Ario Prabuwinoto

1926-1929

8

R.T.A. Samadikun

1929 - 1947

Pajagalan Diangkat langsung oleh pemerintah HindiaBelanda (sebelumnya sebagai patih Keraton Sumenep)

9

R.P. Amidjojo

1947 - 1949

10

R.P.M. Ali Pratamingkusuma

1949 - 1954

11

R.M. Ruslan Wongsokusuma

1954 - 1956

12

R.A.M. Ruslan Cakraningrat

1956 - 1958

13

R. Soerakhmad Prawirodjo

1958 - 1960

14 15

R. Achyak Sosrosuganda R. Abdullah Mangunsiswo

1958 - 1960 1960 - 1963

16

Drs. Abdurrachman

1963 - 1974

17 18 19 20 21 22 23 24

R.P. Machmud S R. Semaroem R. Soegondoe Kol. Art. H. Soekarno Marsaid KH. MOH. Ramdhan Siradj, SE,MM KH. MOH. Ramdhan Siradj, SE,MM Dr. KH. A. Busro Karim, M.Si ?

1974 - 1975 1975 - 1985 1985 - 1995 1995 - 2000 2000 - 2005 2005 - 2010 2010 - 2015 2015 - 2020

Wilayah Sumenep dalam pemerintahan Negara Madura Wilayah Sumenep dalam pemerintahan RISÂ : 27-12-1949 s/d 19-05-1950 Terjadi pemerintahan dualisme berdasarkan UU. No. L/1957 Diangkat berdasarkan Keppres No. VI/1959 Pendiri Museum Sumenep dan penggalian sejarah-sejarah Sumenep

Pencetus Hari Jadi Kab. Sumenep Pasca reformasi dipilih DPRD Dipilih Langsung oleh Rakyat Sumenep Inovator Pelayanan Publik Dunia 2015

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 9


MATA BUDAYA

MENGENAL PARAMASASTRA MADURA (9)

P

erubahan keenam yang sifatnya mutlak mengikuti konsep EYD ialah konsonan /nj/ diubah menjadi /ny/ seperti yang ditulis hingga saat ini, yang dicontohkan misalnya pada kata anjar diubah menjadi anyar. Lalu perubahan konsonan /sj/ yang kemudian diubah atau ditulis / sy/, yang misalnya kata sjarat lalu diubah menjadi syarat. Dan terakhir perubahan konsonan /tj/ yang kemudian diubah atau ditulis menjadi /c/, seperti yang awalnya ditulis dalam misalnya kata atjatja atau tjottjo, diubah menjadi acaca dan cocco. Sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai beberapa perubahan penting tersebut sudah dituangkan dalam bentuk Buku “Pedoman Ejaan Bahasa Madura dengan huruf Latin yang Disempurnakan, Hasil Sarasehan di Pamekasan tanggal 28-29 Mei 1973”. Buku tersebut telah diperbanyak di tahun itu juga oleh Kepala Kabin PDPLB Kabupaten Sumenep, dan didistribusikan di setiap sekolah, khususnya di Sumenep. Pasca sarasehan, buku-buku pedoman bahasa Madura seluruhnya ditulis dengan EYD. Di antara buku yang dihasilkan oleh sarasehan ialah, seperti buku Kamus Basa Madura-Indonesia yang disusun oleh Asis Safioedin, SH, pada tahun 1977. Lalu buku Materi Pangajaran Basa Madura Kaangguy SMP jilid I-II-III, yang disusun oleh Moh Tayib dkk, pada tahun 1989. Ada juga buku Mekkar Sare Kaangguy Mored SD jilid I-VI, oleh Tim Nabara Kabupaten Sumenep, yang bertahun cetak 2002. Dan beberapa buku atau makalah-makalah lainnya.

Fonologi Setelah dari awal dijabarkan mengenai sejarah perjalanan penggunaan ejaan bahasa Madura, kini selanjutnya masuk pada

10 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

bab penjelasan mengenai proses konsonan, vokal dan diftong yang diucapkan dalam bahasa Madura. Bab ini dikenal dengan sebutan Fonologi. Fonologi merupakan bagian dari paramasastra yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa. Secara etimologi, fonologi adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa yang dibagi atas fonetik dan fonemik. Fonetik berarti menyelidiki bunyi bahasa dan pemakaiannya serta mempelajari cara menghasilkan bunyi-bunyi tersebut. Sedangkan fonemik ialah mempelajari bunyi bahasa dalam fungsinya sebagai pembeda arti. Fonemik sendiri berasal dari kata fonem, yaitu kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti bunyi bahasa. Fonem sendiri ada dua macam, yaitu vokal dan konsonan. Kembali pada bahasa Madura, mengikuti suara yang dikeluarkan, warna dari bunyi di dalam bahasa Madura ada dua, yaitu halus dan tajam. Jadi ada konsonan halus dan juga ada konsonan tajam. Namun mengikuti pekakas atau alat yang dipakai mengeluarkan bunyi, menghasilkan banyak atau macam bentuk konsonan, yaitu: 1. Konsonan bibir (bilabilal): b, p, m; 2. Konsonan bibir gigi (labio dental): w; 3. Konsonan ujung lidah gigi (apiko dental): d, t, n; 4. Konsonan ujung lidah lengkung gigi ( apiko alveolar): t (th), d (dh), n; 5. Konsonan nge’-langnge’an atau langit-langit (palatal): j, c, ny; 6. Konsonan langit-langit lembut (velar): g, k, ng; 7. Konsonan desah (glottal): h; 8. Konsonan desis (lamino alveolar): s. Sementara menurut halangan yang dijumpai udara, konsonan terbagi menjadi lima bagian:

1. Konsonan hambat: b, p, d, t, j, c, g, k, m, n, ny, ng; 2. Konsonan frikatif: f; 3. Konsonan spiran: s; 4. Konsonan likwida: l; 5. Konsonan trill: r.

Konsonan Halus Konsonan Halus yaitu /b/, /dh/, /d/, /g/, /j/, selalu diikuti oleh vokal halus /a/, /i/, dan /u/. Konsonan halus ini ada dua macam, ada yang bersuara berat dan ada yang bersuara ringan. Berikut penjabarannya: 1. Konsonan halus bersuara berat, contohnya: - b: bubar, bibbi’, tabbuwan - dh: dhudhit, dhingdhing, koddhu’ - d: daddali, daddi, maddu - g: gagaman, gigir, gu-laggu - j: jajan, jila, jalujju’ 2. Konsonan halus bersuara ringan, contohnya: - b: bangbang, balibis, bungbung - dh: dhari, andhi’, kendhur - d: gadas, gudir, dudut - g: gaga’, rogi, gul-agul - j: jagal, banjir, juju’. P Penninga dan H Hendriks di dalam buku keduanya Practisch Madoereesch, Nederlandsch Woordenboek, 1913, kaca 7 menyebutkan “de zachte medeklinkers, b, d, d, dj, en g, evenals de geaspireerde bh, dh, dh, djh en gh worden in het Madoereesch altijd gevolgd door zachte klinkers a, i, en oe, behalve in vremdeworden”. Maksud keduanya dalam buku tersebut kurang lebih, menerangkan bahwa konsonan halus /b/, /dh/, /d/, /g/, /j/ dan juga yang bersuara berat yang memakai tanda huruf /h/ aspira, di dalam bahasa Madura selalu diikuti vokal halus /a/, /i/, dan /u/. Kecuali kata-kata yang berasal dari bahasa asing atau manca (behalve

in vremdeworden). Jadi, apabila ada konsonan halus diikuti vokal tajam, atau konsonan tajam diikuti vokal halus, hal itu menandakan jika kata tersebut bukan kata asli Madura, melainkan kata pinjaman atau adopsi dari bahasa selain Madura. Seperti misalnya kata jendral, dhokter, beca’, suntik, bangku, baki, pita, kopi, serbet, dhokar, sandhal, salendhang, emba, abalap, rendha, dho-gadho, dhasi, dan lain semacamnya. Berdasar hal itu, permulaan kata yang memakai konsonan /b/, / dh/, /d/, /g/, /j/, serta bersuara /a/ harus diucapkan /ã/, sedangkan /è/ diucapkan /i/, dan /o/ diucapkan /u/. Oleh karena itu, orang Madura sendiri melafalkan kata-kata asing tersebut dengan lidah Madura sehingga yang benar ejaannya ialah jindral, dhukter, bica’, palastek, asonteka, bangku atau banggu, bukannya melafalkan jendral, dhokter, beca’, plastik, asuntika, bangku, dan lain sebagainya. Sementara untuk contoh kata lain bisa dibaca dua macam, bisa bersuara berat dan juga bisa bersuara ringan. Seperti kata baja, bara, baba, balai, baji’, bajang, baris, bala, birang, burung, buwang, raja, rebba, gaji, jaga, maju, laju, dan lain sebagainya.

bersambung… RB Moh Farhan Muzammily


MATA BUDAYA

Topeng Dalang Madura Dari Waktu Ke Waktu (2)

Tampil Memukau di Jepang Jika ada pergelaran kesenian tradisional yang berhasil mengaduk emosi penontonnya di luar Madura, itulah Topeng Dalang Madura dengan lakon dan dalangnya yang sempat dipentaskan di tujuh kota besar Jepang pada 01-12 November 1991 silam. Dalam kesempatan melanglang buana, di Tokyo, Osaka, Fukuola, Toyohashi, Takasaki, Hitachi dan Hiroshima, Topeng Dalang Madura berhasil menjadi primadona. Adalah Pusat Kebudayaan ASEAN The Jepang Foundation dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jepang dan KBRI Tokyo yang mensponsori kegiatan kesenian dari Kabupaten Sumenep ini, sehingga dapat berkeliling dan bergerilya mengenalkan khazanah kebudayaan kita.

Semua pementasan yang digelar di tujuh kota di Jepang waktu itu berjalan dengan mulus dan sukses. Tidak ada sisa kursi kosong satupun, semua berisi pengunjung yang ingin menyaksikan pagelaran kesenian dan kebudayaan dari Madura, yang akhirnya dinobatkan sebagai kesenian rakyat Indonesia yang pertama kali ditampilkan di Jepang oleh The Jepang Foundation. Cerita Gatotkaca Krama yang disenangi mayoritas masyarakat Madura, lebihlebih Sumenep, menjadi sajian utama dalam pentas keliling tujuh kota di negeri Sakura. Sebuah lakon yang mengisahkan perebutan mahkota dua kerajaan antara Amarta dan Astina, juga termasuk perebutan seorang putri nan cantik jelita. Ada unsur cinta, unsur lembut, unsur kekerasan, yang semua tersaji lengkap dalam harmoni satu cerita. Sekitar dua jam pertunjukan, Topeng Dalang Madura membuat orang-orang Jepang melongo memandanginya. Bak dalam tenung, para penonton terbawa adegan lakon yang diperankan

oleh orang-orang tani, buruh, dan nelayan itu. Seperti dilansir harian Surya (Senin, 09 Desember 1991), “selama dua jam pertunjukan, penonton seakan tercekam oleh pergulatan emosi lakon yang mengalir lancar dari ki dalang yang di pandung peraga yang bermain dengan bagus.” Hal ini membuktikan bahwa Topeng Dalang Madura mendapat tempat di hati dan penonton di Jepang. Tidak hanya di hati para pecinta Topeng Dalang Madura di Sumenep atau Indonesia, Jepang pun terkesima melihat kreasi pentas dari kebudayaan kita. Memang, pada saat itu Topeng Dalang Madura tampil dengan megah di panggung nan terhormat. Sangat berbeda dari lazimnya kesenian ini menghibur dari atas panggung biasa, sembarang dan ala kadarnya. Namun meski tampil seperti raja, Topeng Dalang Madura tidak lantas kehilangan ciri khasnya sebagai kesenian rakyat asal Sumenep, Madura. Inilah yang menambah kewibawaan dan melambungkan nama Topeng Madura disana. Bahkan, hingga pagelaran Topeng usai, para penonton tetap tidak beranjak dari kursi masingmasing. “Baru kali ini saya melihat pergelaran kesenian rakyat seindah ini,” tutur Ny Zuzuki, seorang penikmat kesenian, seperti ditulis Surya (Senin, 09 Desember 1991). Pada saat itu, masyarakat Jepang sudah disiapkan translit bahasa IndonesiaJepang. Sehingga penonton yang hadir dapat membaca

terjemah di layar yang disediakan.

Peran Edhi Setiawan Kesuksesan Topeng Dalang Madura berkeliling dan tampil memukau di Jepang tidak terlepas dari campur tangan Edhi Setiawan. Salah seorang budayawan yang sangat peduli terhadap budaya lokal Sumenep maupun Madura sekaligus sebagai pimpinan Grup Topeng Sinar Sumekar Sumenep di jamannya. “Saya tidak sia-sia mengangkat harkat dan derajat topeng dalang yang lepas dari tembok keraton, dan sekarang kembali ke pendapa bekas keraton,” ujar Edhi penuh bangga, seperti dilansir harian Jawa Pos (Senin Wage, 28 Oktober 1991). Sebelum berangkat berkeliling Jepang, Edhi telah mempersiapkan pentas Topeng Dalang Madura selama berbulan-bulan agar bisa tampil maksimal dan sukses di negeri orang. Sebab tak hanya soal kesenian, nama Sumenep, Madura pun ikut ia pertaruhkan. Rupanya, usaha Edhi mendapat balasan yang setimpal. Banyak pujian berdatangan silih berganti atas keindahan pertunjukan Topeng Dalang Madura, baik di Jepang maupun di beberapa negara lain seperti Prancis dan Belgia. Bahkan tetap memukau di beberapa kota yang sudah pernah dihiburnya. bersambung… hairul/rafiqi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 11


Mata Opini

PEMUDA NUSANTARA YANG BEKEMAJUAN Mukhlishi*

Geliat Historisitas PemudaNusantara

S

ejarah pergerakan pemuda dan kaum intelektual di Indonesia, mengalami beberapa fase. Pertama: Diawali dengan mendidrikan media jurnalis dengan menerbitkan Koran, surat kabar ataupun selebaran yang bertemakan kekejaman kaum penjajah dalam segala aspeknya, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Hal ini terjadi pada dasawarsa 19081926. Kedua: Pergerakan kaum muda dilakukan lewat pendirian club-club studi dan perjuangan partai dalam Volkstrad yang terjadi antara tahun 1926-1942. Ketiga: Pergerakan kaum muda dilakukan dengan membangun komunikasi antar sesama gerakan dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam rangkaian sejarah yang terjadi antara 19421945. Fase Kempat terjadi antara tahun 1946-1949 dimana perang revolusioner berkecamuk dalam rangka menghadapi angresi militer Belanda pertama dan kedua. Kelima: Pergerakan kaum muda mulai masuk dalam kerangkeng idiologi partai politik. Pada era ini bermunculan organisasi-organisasi yang menjadi underbauw partai politik seperti KAMI, KAPPI dan seterusnya. Initerjadi pada tahun 1949-1966. Keenam: Pergerakan kaum muda terpecah mejadi dua kelompok ekstrem, sebagian lari mereka ikut dalam koorporatisme Orde Baru (ORBA) dan masuk kedalam perlemen, dan sebagian yang lain tetap berada dalam garis perjuangan menuntut kemerdekaan Indonesia 100 % dengan melawan otoritanisme dengan isu anti modal asing,

12 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

Golput, Korupsi yang berpuncak pada meletusnya peristiwa Malari pada tahun 1974. Hal ini terjadi pada decade 1966-19701980. Ketujuh: Gerakan pemuda terpolarisasi sehingga menjadi LSM, Pers kampus, dan Komite Rakyat (1980-1990). Kedelapan: gerakan kaum muda kembali dalam perjuangan asasinya yang muncul dalam bentuk komite aksi, demontrasi dan People Power yang meledak pada peristiwa Reformasi 1998 dengan menumbangkan rezim ORBA yang dikepalai oleh Soeharto. Kesembilan: Gerakan kaum muda kembali terpolarisasi antara yang setia terhadap tuntutan reformasi total dengan tetap setia digaris massa dan tuntutan rakyat dan kelompok opurtunis yang bertopeng dibalik gerakan reformasi. Hal ini dapat dengan jelas kita tangkap dalam era 1998-Sekarang. Kesepuluh; Terdapat indikasi yang cukup kuat saat ini bahwa gerakan kaum muda ikut dalam arus rasionalitas politik kaum elit sehingga menarik kaum muda dari rasionalitas murni gerakan pemuda. Fase-fase sejarah diatas dipaparkan dalam rangka menjadikan refrensi, ketika kita hendak merefleksikan pola gerakan kelompok pemuda dari dulu sampai saat ini dalam rangka menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dimana proses pelemahan demokratisasi semakin hari semakin tampak jalas. Bukan hanya dalam aspek kehidupan bernegara, namun juga dalam lingkungan akademik proses demokratisasi ini mandeg. Karenanya kaum muda sebagai elemen bangsa harus bisa menyatukan Platform gerakan yang dituangkan dalam bentuk-

bentuk kerja perjuangan secara nyata. Perjuangan, harapan, antusiasme, dan optimisme masyarakat Indonesia muncul menjelang dan setelah keruntuhan pemerintahan Rezim Orde baru yang otoriter. Banyak orang yang mengimpikan untuk menikmati hidup yang lebih demokratis, terbuka dan damai. Namun ternyata adanya kehidupan yang demokratis dan bebas dari segala bentuk penindasan dan pembodohan ini hanyalah angan-angan kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya. Semua harapan itu menjadi kabur ketika transisi demokrasi melahirkan konflik berkepanjangan yang berupa kerusuhan, kekerasan dan berbagai aksi bejat berupa pencabulan (pedofilia). Fenomena korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin merajalela pada kahirnya semakin menjerumuskan bangsa ini kedalam kehancuran. Sparatisme yang merajalela pada akhirnya mengancam disintegrasi kehidupan bangsa. Peningkatan skala anomali ini memang bisa dimaklumi, mengingat transisi merupakan momentum penataan dan pencarian nilai-nilai baru yang membutuhkan ruang dialektika dan kadang pengorbanan yang tidak sedikit dalam rangka menemukan jati diri. Hanya saja pemakluman itu seakan akan tidak menemukan tempat manakala kian hari transisi tidak menemukan bentuk dan paradigma yang selaras untuk segera mengentaskan Indonesia dari multi krisis yang semakin akut. Maka tak lai yang menjadi jawaban atas semua ini adalah kerja perjuangan ini tentunya harus meliputi hal-hal berikut.

Pertama; Nilai-nilai independensi dalam pengertian bebas dari semua bentuk tekanan serta intervensi dari luar. Kedua: platform ini semestinya dijunjung atas dasar nilai-nilai demokratis. Artinya kaum muda harus bisa memperjuangakan hak-hak normatif sebagai bagian dari warga negara, seperti hak-hak politik, intelektual, membangun kebudayaan, kebebasan berfikir dan berekspresi berorganisasi dan macam-macamnya. Ketiga: Kaum muda harus dapat melakukan pendidikan politik terhadap masayarakat secara keseluruhan sehingga melahirkan warga negara yang memiliki komitmen kebangsaan serta kemajuan integrasi social yang tinggi demi kemajuan bangsa Indonesia. Keempat: Kaum muda juga harus mampu mensosialisasikan dan mengkomunikasikan gagasannya kepada publik. Pemuda berkemajuan sebagai penggagas embirio kemerdekaan Kesadaran berbangsa dan bernegara mengalami puncaknya pada tahun 1928 yang ditandai dengan Sumpah pemuda yang mengikrarkan diri Berbangsa, Berbahasa dan Tanah air satu tanah air Indonesia. Sikap para pemuda ini sesungguhnya menunjukkan sikap politik yang nayata untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan selanjutnya hidup bebas dalam kedaulatan berbangsa dan bernegara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa lain di dunia. Kondisi dan semangat (spirit) inilah yang meletuskan perang kemerdekaan pada Revolusi 1945. Dalam sebuah pidatonya. Sukarno pernah berkata “berikan aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia�.


Bahasa diplomatis Sukarto bukan berangkat dari ruang hampa dan kosong. Sebab sejarah bangsa ini tidak bisa dilepaskan dengan peran pemuda. Pemuda menjadi ujung tombak dalam menorehkan tinta emas dalam proses kemerdekaan Indonesia. Kenyataan hari ini memang bukanlah suatu hal yang mudah bagi kaum muda Indonesia. Instrumen pembinaan kaum muda Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada berbagai organisasi pemuda, baik yang berada di bawah organisasi massa, partai politik, maupun yang bersifat mandiri. Ada juga yang berdasarkan profesi, kesukuan atau kedaerahan, baik lokal maupun nasional. Namun kebanyakan, hampir kehilangan daya geraknya. Organisasi pemuda yang seharusnya dinamis, penuh inisiatif dan semangat perubahan seakanakan kehilangan vitalitasnya. Mereka sibuk dengan urusan internal organisasi sehingga lupa ada tugas besar yang menanti mereka. Mereka lupa, lebih dari dua ratus juta jiwa rakyat menanti karya-karya besar kaum muda untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Orang-orang muda saat ini masih menjadi komunitas yang berserakan sehingga dampak perubahannya kurang signifikan, jika dilihat dari perspektif kebangsaan secara keseluruhan. Andai mereka terhimpun dalam organisasi yang mampu membangun sinergi dan partisipasi, tentulah energi perubahan yang akan dihasilkan menjadi tak tertahan. Sayangnya, mereka seringkali enggan berhimpun dalam wadah-wadah kepemudaan, karena dalam persepsi mereka, wadah kepemudaan saat ini tak lebih dari kumpulan pengangguran yang mencari hidup dengan menjual proposal kegiatan. Persepsi seperti itu tentu harus diubah. Para aktifis kepemudaan harus dapat menunjukkan bahwa mereka berhimpun bukan untuk mencari makan apalagi jabatan. Mereka berhimpun untuk suatu perubahan menuju Indonesia baru, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam upaya revitalisasi organisasi kepemudaan, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kejelasan ideologi. Ideologi adalah energi gerak yang luar biasa. Ia memberikan arahan sekaligus batasan mengenai sejauhmana idealisme harus dipertahankan. Organisasi yang tidak memiliki kejelaskan ideologi hanya akan menjadi kerumunan yang tak jelas apa yang akan diperjuangkan. Organisasi seperti ini akan sangat mudah ditempa perpecahan. Kedua, persoalan kaderisasi. Kader merupakan elemen penting karena merekalah pembawa

rumah kaum muda yang belum terselesaikan. Harapan, antusiasme, dan optimisme masyarakat Indonesia muncul menjelang dan setelah keruntuhan pemerintahan Rezim Orde baru yang otoriter. Banyak orang yang mengimpikan untuk menikmati hidup yang lebih demokratis, terbuka dan damai. Namun ternyata adanya kehidupan yang demokratis dan bebas dari segala bentuk penindasan dan pembodohan ini hanyalah anganangan kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya. Semua harapan itu menjadi kabur ketika transisi demokrasi melahirkan

misi agar ideologi terealisasi. Penanaman jati diri dalam sebuah proses kaderisasi yang tertata rapi menjadi sebuah keharusan bagi setiap organisasi. Di tangan kader yang terideologisasi dengan baiklah, keberlangsungan organisasi dapat dipertahankan. Ketiga, persoalan struktur. Struktur organisasi membagi peran dan tanggung jawab setiap orang di dalamnya dengan jelas. Struktur yang disertai job description dan job specification yang jelas, akan mempermudah koordinasi dalam upaya konsolidasi. Organisasi kepemudaan yang solid dan memiliki energi gerak yang dinamis akan sangat membantu kaum muda dalam menjalankan perannya sebagai agen perubahan. Sesungguhnya tugas kaum muda saat ini sangatlah luar biasa. Tantangan situasi domestik yang begitu mengerikan, seperti ancaman perpecahan, kemiskinan yang berkepanjangan, kerusakan lingkungan, merupakan pekerjaan

konflik berkepanjangan yang berupa kerusuhan, kekerasan. Fenomena korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin merajalela pada kahirnya semakin menjerumuskan bangsa ini kedalam kehancuran. Sparatisme yang merajalela pada akhirnya mengancam disintegrasi kehidupan bangsa. Peningkatan skala anomali ini memang bisa dimaklumi, mengingat transisi merupakan momentum penataan dan pencarian nilai-nilai baru yang membutuhkan ruang dialektika dan kadang pengorbanan yang tidak sedikit dalam rangka menemukan jati diri. Hanya saja pemakluman itu seakan akan tidak menemukan tempat manakala kian hari transisi tidak menemukan bentuk dan paradigma yang selaras untuk segera mengentaskan Indonesia dari multi krisis yang semakin akut. Maka urgen untuk melakukan renegosiasi institusional adalah semacam tanda bahwa telah tercipta sebuah struktur

kesempatan politik bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Teori gerakan sosial (social movement theory) terlebih dahulu mensyaratkan adanya political opprtunity structure (struktur kesempatan politik) dalam setiap gerakan sosial. Terbukanya kran demokrasi sejak tahun 1998 adalah bentuk kesempatan politik yang memungkinkan gerakan sosial ada. Struktur kesempatan politik tidak akan memiliki signifikansi tanpa adanya mobilisasi yang dilakukan oleh para aktor. Harus ada sekelompok masyarakat yang mengorganisir massa untuk melakukan gerakan. Sejarah transisi demokrasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa peran anak-anak muda sangat penting. Suatu Negara dengan tingkat populasi anak muda yang tinggi cenderung bergolak. Pergolakan itu bisa bermakna positif, yakni pergolakan menuju perubahan yang lebih baik. Tapi pergolakan yang disebabkan oleh anak-anak muda juga bisa berdampak negatif, yakni munculnya situasi anarkis dan berujung pada berkuasanya rezim otoritarian. Anak muda adalah kekuatan pendobrak. Tapi pada saat yang sama mereka juga bisa menjadi perusak. Inilah yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Anakanak muda progressif terus menerus menyuarakan aspirasi pembaruan dan perubahan. Mereka bergabung dalam gerakan-gerakan sosial mendesakkan agendaagenda perubahan di semua level masyarakat. Mereka berada di garda depan gerakan kemerdekaan. Mereka menggerakkan perubahan 1998. Mereka hingga kini terus turun ke jalan mendorong pemberantasan korupsi. Kita perlu mendorong para pemuda untuk progressif sebagai pembela demokrasi agar dunia anak muda tidak dikuasai oleh gerakan konservatif anti-demokrasi. Kita mengharapkan lahirnya pemudapemuda dengan semangat membangun negeri Nusanatara ini yang bekemuajan, bukan mereka yang ingin menghancurkannya. Selamat hari Sumpah Pemuda. * Oreng Gappora, Alumni Instika Kandidat Doktor UINSA.

Redaksi Mata Sumenep menerima tulisan Opini dalam berbagai perspektif (Islam, Budaya, Sosial-Politik dan Ekonomi) dengan materi seputar Sumenep. Panjang tulisan maksimal 850 kata. Tulisan bisa dikirim via email ke: matasumenep@gmail.com

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 13


Mengenal Profile Penulis dari Annuqayah

DUA KUNCI MENJADI PENULIS Banyak orang hendak menjadi penulis. Meski usaha kepadanya, tak jarang menemui kegagalan. Padahal hanya ada dua kunci dalam mencapainya. Membaca dan menulis sebanyak-banyaknya.

Achmad Ahmad Bahrur Rozi

S

uasana hening pedesaan di waktu malam menemani Mata Sumenep ketika mendatangi kediaman Achmad Bahrur Rozi, seorang penulis alumni Annuqayah yang karyakaryanya banyak dimuat di media massa maupun jurnal kampus, pada Sabtu malam, 29 Agustus lalu. Janji wawancara di malam hari bukan tanpa alasan, hal itu karena kesibukannya yang padat sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi di Kabupaten Sumenep. Meski terbilang larut, akan tetapi Achmad, begitu masyarakat sekitar memanggilnya, menerima Mata Sumenep dengan ramah dan berdiskusi selama dua jam hingga pukul 23.00 malam. Achmad Bahrur Rozi lahir di Sumenep, 17 Januari 1980 tepatnya di Dusun Jambu Monyet I, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Ke utara dari toko H Hasanah sekitar 50 meter sebelah timur Balai Desa. Tidak sulit untuk menemukan tempat tinggal Acmad, hanya berkisar 300 meter ke utara dari jalan kecamatan sebelah timur jalan. Warga sekitar mengenali beliau sebagai sosok yang supel dan penuh dedikasi.

Semangat Menulis dari Pesantren Dalam dunia kepenulisan, nama Achmad Barur Rozi memang bukan nama baru. Karya-karya tulisnya sudah banyak dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Di media lokal misalnya, tulisannya pernah mampang di Radar Madura, Radar Jogja, dan lainnya. Sementara untuk media nasional, tulisannya juga sering muncul di

14 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

Jawa Pos atau Forum Nusantara. Kepada Mata Sumenep, Achmad mengaku kecintaannya terhadap kepenulisan terjadi sejak ia hidup di pondok pesantren Annuqayah. Disana, pengalaman-pengalaman kepenulisan terus ia jalani bersama teman sejawat yang juga ikut andil dalam memupuk semangat menulis. “Di pondok saya berteman dengan para penulis, dan itu sangat berpengaruh bagi semangat menulis saya,” cerita Achmad. Semangat menulis tersebut terus ditanamkan dan dijaga oleh Achmad. Kecintaan terhadap dunia menulis menurutnya sangat bermanfaat dalam kehidupan yang dijalani. Apalagi ketika dirinya melanjutkan pendidikan di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kota Gudek, lingkungan berikutnya di Yogyakarta, semakin memaksa Achmad muda untuk menggali kreativitas menulisnya. Selain karena kondisi akademis Yogya yang mendukung untuk aktivitas keilmuan, menulis juga diperlukan untuk mempertahankan ketahanan ekonomi selama dalam perantauan. “Dalam menulis itu juga ada potensi ekonomi. Kalau dimuat di media massa kan diberikan honor sebagai penghargaan atas tulisan tersebut,” katanya sambil bergurau. Ketika disinggung tentang namanya yang sudah terkenal hari ini, Achmad hanya tersenyum. Dia mengatakan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk bisa menulis dan dikenal melalui tulisan. Menurutnya, menulis merupakan pekerjaan mudah dan modal yang dibutuhkan juga murah. Banyak membaca dan banyak menulis adalah modal yang

diperlukan. Dua modal di atas, lanjut Achmad, tidak akan banyak memakan biaya karena dapat memanfaatkan sarana yang ada. Untuk memperoleh buku bacaan, misalnya, para pemula tidak harus membeli buku karena terdapat banyak perpustakaan yang menyediakan peminjaman buku gratis. “Kuncinya adalah bagaimana memanfaatkan sarana yang ada. Apalagi hanya untuk bahan menulis, biaya yang diperlukan hanya membeli buku dan pulpen,” singgung Achmad. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang tidak dapat dipisahkan. Terjalin hubungan yang simbiosis antar keduanya. Bagi seorang pembaca, menulis adalah keniscayaan, begitu juga sebaliknya. Jika membaca sebagai bentuk konsumsi pengetahuan, maka menulis adalah mereproduksinya. Keduanya merupakan aktivitas yang berkelindan dalam proses produksi dan reproduksi pengetahuan. Maka dari itu, Achmad mengaku “tidak senang” ketika ada seseorang yang mengaku ingin bisa menulis namun tidak diikuti dengan tindakan konsumsi bahan baca. Itu seperti mimpi di siang bolong. “Jika hal itu yang terjadi, maka sudah seharusnya yang bersangkutan menimbangnimbang lagi keinginannya untuk bisa menulis,” terang pria 35 tahun ini.

Menerjemahkan Kitab Ilmu Al-Mantiq Achmad Bahrur Rozi menamatkan kuliah S1 di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN)

Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2004. Gelar kesarjanaan S2-nya diperoleh dari Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, tahun 2007. Saat ini di samping menjadi dosen, ia juga menjabat Kapprodi AkhlakTasawuf, Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) sekaligus Dosen Luar Biasa di STKIP (PGRI) Sumenep, dan STITA Terate Sumenep. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Madrasah bidang Kurikulum MA 1 Annuqayah. Pada tahun 2012 lalu, Achmad Bahrur Rozi menerjemahkan kitab Ilmu Al-Mantiq karya Muhammad Nur Ibrahimi yang diterbitkan oleh Diva Perss Yogyakarta. Buku tersebut kemudian menjadi bahan ajar dalam pembelajaran filsafat bagi mahasiswa dan berbagai praktisi di Sumenep. Hal ini tentu karena ilmu Mantiq (logika) tak mudah dipelajari begitu saja, sehingga kehadiran edisi terjemahan menjafi jujukan para praktisi pendidikan, terlebih mahasiswa. Selain yang berbentuk buku, karya-karyanya banyak di muat di Jurnal-jurnal Kampus seperti Jurnal Filsafat UGM Yogyakarta, Jurnal Edukasi, Jurnal ‘Anil Ilmi Instika, Jurnal Plopor STKIP, dan Jurnal Tafhimul ‘Ilmi STITA Sumenep. Semua itu, kata Achmad tak lepas dari kegigihan yang ia jaga sejak memulai menulis dari pondok pesantren Annuqayah. Itu pula yang mengantarnya berhasil menerjemah kitab Mantiq dan menambah sederet daftar karya tulisnya.

ozi’/rafiqi


KISAH INSPIRATIF

Basuki Rahmat PERAIH ANUGERAH LABDHA KRETYA 2015

M

emang sempat salah orang, ketika Mata Sumenep mencari sosok Basuki Rahmat di Desa Pekandangan Sangra, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, pekan ketiga Agustus lalu. Selain namanya yang asing, begitu pula sosoknya. Ditemui di laboratorium buatannya, Basuki memang seorang figur yang low profile. Kepada tabloid ini, ia mengaku hanya seorang pengembara yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan, pada hutan, pada alam, juga sosial masyarakat dimana ia tinggal. Kecuali informasi Anugerah Iptek Kategori Kreatifitas dan Inovasi Masyarakat (Labdha Kretya) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek) yang wartawan Mata Sumenep, Hairul Arifin bawa kepadanya. “Ya itu, memang saya,” akunya, setelah ditodong soal penghargaan tersebut. Meski baru tiga tahun menetap di Sumenep, lelaki kelahiran Magetan, 20 Juni 1965 ini sudah seperti orang Sumenep Madura pada umumnya. Apalagi, kini ia telah memiliki tempat yang spesial di mata masyarakat Desa Pakandangan Sangra, Kecamatan Bluto. Tentu semakin menambah lekat rasa lokal Sumenep di dalam hidupnya. Menjadi seorang pendatang di kabupaten kuda terbang ini, rupanya tak membuat Basuki seorang yang asing. Terbukti, tanpa peduli latar belakang dan daerah asalnya, ia telah membawa nama Sumenep harum di kancah nasional berkat tenaga dan pikirannya di bidang inovasi pertanian. Dan semua itu, tidaklah terlepas dari pengalamannya dahulu pada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di desa hutan Magetan, di dekat Gunung Lawu.

Aktivis Lingkungan hingga Penelitian Dalam penuturan Basuki, mulanya ia bersama rekan-rekannya menjalani keseharian sebagai aktivis LSM biasa di kampung halamannya. Hingga

suatu ketika ia diminta kerjasama oleh pemerintah untuk ikut serta mengelola hutan di berbagai tempat, baik di Jawa Timur sendiri, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat. Dari situlah akhirnya Basuki mulai menjalankan aktivitasnya di hutan. Menjadi aktivis lingkungan dengan merawat dan menjaga hutan dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan mementingkan finansial. Tugas baru nan mulia ia emban bersama rekan-rekannya seperjuangan. “Naik gunung turun gunung sudah menjadi aktivitas keseharian saya, mulai dari melakukan penanaman berbagai pohon di hutan hingga menanam semacam umbi-umbian di lereng gunung dan merawatnya. Sampai sekarang semua masih ada, dan masyarakat saya yakin sudah pada enak semua,” tuturnya kepada Mata Sumenep. Selama bertahun-tahun naik turun gunung dan keluar masuk hutan, Basuki mengaku telah memperoleh banyak hal. Termasuk misteri dan keganjilan yang ia rasakan pada Daun Kelor atau Moringa Oleifera, yang berhasil mengantarnya menjadi seorang inovator. Bagi seorang Basuki, Kelor memang memiliki misteri sendiri. Sebab di daerahnya, Kelor menjadi bahan untuk penyucian bahkan dipakai dalam suatu ritual seperti untuk memandikan jenazah, menjadi obat oleh mayoritas dukun tradisional, serta menjadi pembersih susuk di dalam tubuh. Berangkat dari inilah kemudian Basuki mencoba melakukan penelitian ke berbagai sumber, utamanya kapada dukun-dukun tradisional di berbagai tempat. Namun sayang, usahanya tidak pernah berhasil, sebab dari berbagai dukun yang sudah ia temui tak memberikan satu kejelasan sekalipun. “Semua jawaban selalu mengandung rahasia yang tidak dikatakan secara terus terang,” katanya. Kendati tidak berhasil di langkah pertama, jawaban yang tetap samar malah semakin membuat Basuki

dan rekan-rekannya penasaran. Hal itu pula yang membuatnya tidak pernah bosan untuk terus melakukan penelitian. Sehingga ia pun mengambil langkah dengan mencoba menanam sendiri pohon ini untuk memuluskan penelitiannya dalam menggunakan Kelor sebagai obat-obatan. “Ternyata percobaan saya memberikan jawaban bahwa daun kelor bisa menyembuhkan banyak penyakit,” tambahnya. Pasca penelitian keduanya mendapat kemajuan, Basuki mulai mencari daerah yang banyak ditumbuhi kelor. Pencarian inilah kemudian yang membawanya ke Sumenep dimana Kelor sudah menjadi konsumsi masyarakat bahkan menjadi pakan ternak. Sebab selama pencariannya, dari daerah Jawa Tengah hingga Jawa Barat, ia temukan masyarakat yang menanam Kelor hanya sedikit. “Setiap kampung hanya satu pohon,” katanya. Karena itu, Sumenep menjadi labuhan terakhirnya dalam mengembangkan Kelor menjadi sebuah produk inovasi pertanian.

Kreasi Ekonomis Produk Pertanian Berbulan-bulan lamanya Basuki berkeliling Sumenep demi sebuah tempat yang strategis, sebelum akhirnya menemukan Desa Pekandangan Sangra. Sebuah desa dimana kini sang inovator produk pertanian ini mendedikasikan hidupnya. Dulu, kata Basuki, usaha pemanfaatan daun Kelor yang dilakoninya tidak berlangsung mulus. Hal ini karena sangat butuh waktu untuk menyadarkan masyarakat disana akan manfaat yang terkandung pada daun tersebut. Tak heran jika niat semula melakukan inovasi berlangsung hampir selama tiga tahun. Statmen masyarakat tentang daun Kelor yang tidak memiliki manfaat dilain sebatas sayur, penangkal sihir dan peluruh susuk, menjadi penghambat utama usahanya. Namun, dalam kurun waktu

itu, Basuki terus mengajarkan dan menyadarkan masyarakat akan manfaat daun Kelor. Di samping itu, ia juga terus melanjutkan penelitiannya dalam mengolah daun tersebut menjadi produk herbal, tepung, makanan, bahkan minuman. Hingga keberhasilan penelitiannya pula yang akhirnya dapat membantu masyarakat setempat dalam meningkatkan derajat ekonomi mereka. Sebab berkat penilitian Basuki, daun Kelor atau Maronggi (Madura, red) yang biasa dibuat sayur dan pakan ternak itu dapat bernilai ekonomis. Setiap orang disana dapat menjual daun Kelor kepada Basuki dengan harga Rp 3.000/kg dan Rp 20.000/kg untuk bunga Kelornya. Inovasi produk pertanian telah berhasil Basuki lakukan. Bersamaan dengan itu, penelitiannya dengan judul “Kegiatan Pemanfaatan Daun Kelor/Maronggi Sebagai Solusi Nutrisi dalam rangka Hari Teknologi Nasional yang Ke- 20 Tahun 2015”, berhasil menarik perhatian Pemerintah Republik Indonesia. Satu hal yang mengantarnya menerima Anugerah Iptek Kategori Kretifitas dan Inovasi Masyarakat (Labdha Kretya) dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek) tahun ini. Anugerah ini tentu semakin menambah daftar penghargaan yang telah ia terima sebelumnya, seperti Juara 1 Lomba Inovasi Teknologi dalam rangka Hari Jadi Provinisi Jawa Timur (2014), Juara 2 Adikarya Pangan Nusantara (APN) Jawa Timur (2014), Juara 1 Inovasi Teknologi bidang Agribisnis, penganugerahan inovasi teknologi tingkat Provinsi Jawa Timur (2014), Juara 2 Lomba Adikarya Pangan Nusantara (APN) tingkat Kabupaten Sumenep di tahun yang sama, serta beragam penghargaan lain yang diperoleh Basuki Rahmat dalam membantu masyarakat di bidang pangan dan pertanian.

hairul/rafiqi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 15


PENDIDIKAN & KESEHATAN

STIT Al Karimiyyah Jamin Keaslian Ijazah

G

encar pembicaraan hingga pemberitaan seputar ijazah palsu sejak 2014 lalu di tingkat nasional yang ikut mengusik ketenangan pemilik ijazah hingga Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, mendorong Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Karimiyyah, Beraji, Gapura, Sumenep, Ach. Syaiful A’la, M.Pd.I mengeluarkan jaminan keaslian ijazah perguruan tinggi yang dipimpinnya itu kepada seluruh mahasiswa dan alumni, pada Kamis (20/08/2015). Meningkatnya isu ijazah palsu ke permukaan sepanjang tahun 2015, tidak ayal membuat hampir semua perguruan tinggi di Sumenep terkena teror. Akibat insiden ini, lembaga yang terisukan melakukan pengadaan ijazah palsu dari orang maupun pihak yang tidak bertanggungjawab akan mengalami kerugian massif dari masyarakat, khususnya kehilangan kredibilitas. “Kita diisukan mengeluarkan ijazah palsu karena belum selesai menginput data PDDIKTI. Padahal kita masih dalam proses input data tersebut,” kata Syaiful, disela-sela mengawasi tes masuk mahasiswa baru.

Karena itu, demi memberikan kepastian dan kebenaran yang ada, pihaknya angkat bicara bahwa tuduhan yang diarahkan kepada STIT Al Karimiyyah tersebut tidaklah benar. “Salah itu,” katanya. Sebab menurut Syaiful, STIT Al Karimiyyah adalah perguruan tinggi yang memiliki izin resmi yang berdiri pada tanggal 4 September 2008 dengan No. SK PT Dj.I/302/2008, Tanggal SK PT 4 September 2008. Sementara terkait proses input data, ia menjelaskan bukan hanya STIT Al Karimiyyah yang sedang melaksanakan proses tersebut. “Hampir semua perguruan tinggi di kabupaten lain di Jawa Timur atau Kabupaten Sumenep juga sama dengan STIT Al Karimiyyah,” tambahnya. Selain itu, lanjut ketua muda ini, STIT Al Karimiyyah juga masih dalam proses mempersiapkan akreditasi dua program studi (prodi) yang baru dibuka tahun lalu, yakni prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA). Sedangkan dua prodi lainnya, Manajemen Pendidikan Islam (MPI) dan Pendidikan Bahasa

Ketua STIT Al Karimiyah Ach. Syaiful A’la, M.Pd.I Arab (PBA), sudah berjalan dengan lancar. “Kami memang masih melengkapi kekurangan-kekurangan lain di kampus ini. Tapi soal ijazah, kami jamin keasliannya,” tegas Syaiful. Ia berharap, tidak satupun masyarakat, khususnya alumni percaya akan isu maupun pemberitaan yang menyudutkan STIT Al Karimiyyah sebagai salah satu perguruan tinggi yang ikut mengeluarkan ijazah palsu. “Harapan saya kepada alumni, tidak usah risau dengan berita yang tidak jelas,” tandasnya, kepada Mata Sumenep.

hairul/rafiqi

Antusiasme Program Kesehatan Gratis

M

eningkatnya jumlah pasien yang berobat ke Puskesmas maupun rumah sakit pasca diluncurkannya program pelayanan kesehatan gratis oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep, menjadi pertanda tingginya antusiasme masyarakat terhadap satu dari sekian program cemerlang Bupati KH A. Busyro Karim itu. Dalam kesempatan sambutan pada kegiatan di Gedung KORPRI, Rabu, 26

16 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

Agustus lalu, Bupati mengungkapkan, dari data yang ada di rumah sakit menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. “Dalam satu tahun hingga mencapai 13 ribuan. Sedangakan di tahun sebelumnya bahkan tidak sampai 8 ribu pasien,” kata suami Nurfitriana, menjelaskan. Bupati menambahkan, program SPM (Standar Pelayanan Minimal) bidang kesehatan yang dilaksanakan di kabupaten yang dipimpinnya ini tidak akan pernah ditemukan masyarakat pada kabupaten lain di Jawa Timur. “Bahkan di Indonesia,” katanya. Karena itu, ia bersyukur upaya Pemerintah Kabupaten Sumenep dalam menganggarkan dana pelayanan kesehatan gratis mencapai Rp 58 milyar, termasuk pembelian obat dan honor petugas, tidak

akan sia-sia. Menurutnya, program pelayanan kesehatan gratis dilakukan tak lain sebagai upaya untuk memudahkan masyarakat dan menjangkau masyarakat miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Sehingga, apabila terdapat kesalahan maupun kekurangan dari pelayanan dan petugas di lapangan, ia berharap mendapat masukan. Sebab, meski tiga persoalan penting meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi menjadi perhatian bupati kiai ini, ia menyadari sisi kemanusiaan dari semua pihak dapat menjadi kendala yang tak diinginkan. “Namun yang pasti, upaya maksimal telah kami lakukan,” tandasnya. rafiqi


JALAN SAPUDI

Rp 12 Miliar Aspal Hotmix

BRI BANTU AIR BERSIH Tak Hanya Kejar Penghasilan. Masuk musim kemarau kali ini sebagian daerah dilanda kekeringan, tak terkecuali di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sehingga, Peminpin Cabang BRI Sumenep, Prayitno, merasa terpanggil untuk turut meringankan beban masyarakat Dengan memberikan bantuan berupa air bersih kepada korban kekeringan. Total bantuan yang diberikan untuk pengadaan air bersih senilaiq Rp. 25.000.000. Bantuan tersebut diserahkan kepada Pemkab Sumenep pada Senin (24/8/2015) di depan halaman Sekretariat Daerah Kabupaten Sumenep. “Jadi BRI Sumenep ‘kan merupakan bagian dari BUMN, dan tidak hanya berkecimpung di persoalan perbankkan saja, tetapi juga punyak keperdulian terhadap kondisi lingkungan, lebih-lebih seperti saat sekarang, dimana sebagian daerah dilanda krisis air bersih,” jelas Prayitno ketika ditemui Mata Sumenep. Lanjut prayitno, bahwa persoalan teknis penyaluran air bersih tersebut, pihaknya menyerahkan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Sumenep, karena baginya, yang terpenting bantuan tersebut sampai ke tangan yang berhak menerima uluran tangan tersebut.

Rupanya kepedulian BRI Cabang Sumenep itu mendapat apresiasi dari Bupati Sumenep, KH. Abuya Busyro Karim. Orang nomor satu di kabupaten ujung timur pulau Madura itu merasa terbantu berkat bantuan itu. Sehingga, atas nama Pemkab Sumenep, Bupati Busyro menyampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada BRI. Selain itu, Suami Nurfitriana berharap, semoga untuk untuk masa selanjutnya bank-bank lain yang ada di Sumenep bisa meniru gerakan BRI dalam hal peduli lingkungan. “Semoga bantuan air bersih ini benarbenar bisa meringankan beban masyarakat Sumenep, terutama dalam persoalan air bersih. Dan semoga kedepan bank-bank lain juga melakukan hal yang sama,” tegas pengasuh bupati yang juga sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Karimiyah Beraji Gapura tersebut. rusydiyono

PARA KADES BAWA ACARA ADA yang menarik saat Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim menghadiri Pengajian Akbar yang diselenggarakan Paguyuban Kades se-Kecamatan Nonggunong, bertempat di Lapangan Kerapan Sapi Desa Talaga, Kamis, 27 Kades Talaga, H Mansyuri saat menyampaikan sambutan panitia diiringi Agustus lalu. Semua sisi acara -kecuali para Kades se-Kecamatan Nonggunong. penceramah diisi KH Fayyad As’ad dan KH A. Busyro Karim-, dibawakan sendiri Bupati Kiai Busyro saat mengawali sambutan para Kepala Desa. mengaku sangat senang melihat para Kades rukun Protokol (pembaca acara) dibawakan Kades dan bisa membawakan acara sendiri dalam kegiatan Somber, Mohammad. Sedangkan Pembacaan ayat yang digagas bersama. suci al-Qur’an dibawakan Kades Sokaramme Timur, “Jika para Kades rukun dan bisa berbuat terbaik, Rasyid. Pembacaan Sholawat Nabi Saw dibawakan rakyat pasti ikut senang. Sebab, perilaku pemimpin Kades Rosong, Syarkawi. Dan sambutan panitia itu sebagai acuan masyarakat,” terang Bupati yang dibawakan Kades Talaga, H Mansyuri, sebagai Ketua disambut tepuk tangan. (rusydiyono) Paguyuban Kades se-Kecamatan Nonggunong.

SAAT serap aspirasi bersama Kades seKecamatan Gayam dalam kunjungan ke Pulau Sapudi, Kamis, 27 Agustus lalu, Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim berjanji untuk mengalokasikan pembangunan jalan poros kecamatan beraspal hotmix. “Pada APBD 2016, saya alokasi Rp 12 miliar untuk aspal hotmix. Dengan catatan, di Sapudi ada AMP (Asphalt Mixing Plant) alias mesin pembuat hotmix,” terang bupati sambil menoleh Kadis PU Bina Marga, Edy Rasiyadi, yang ikut mendampinginya. Edy kepada Mata Sumenep menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan kerusakan jalan di Pulau Sapudi. Selain bukan batu pecah mesin yang dipakai. Lokasi jalan menjadi tempat genangan air hujan dan luapan air laut saat ombak pasang. Serta menjadi lokasi banjir saat hujan karena tidak ada saluran di sisi kanan kiri. “Termasuk pengawasan perlu ditingkatkan. Kami butuh kerjasama antar kades dan masyarakat yang mengawasi saat pelaksanaan jalan digelar,” terangnya. Edy juga merancang sejumlah alternatif untuk kenyamanan jalan di Pulau Sapudi. Pertama, pavingisasi seperti jalan-jalan di kota besar. Kedua, jalan cor beton. Ketiga, aspal hotmix. Ketiga alternatif itu, kata Edy ada kelebihan dan kekurangan. “Yang bisa kita kerjakan sementara jalan aspal hotmix. AMP harus domisili di Sapudi. Kesempatan para investor lokal atau para kades urunan membeli AMP,” tutur Edy. (ham)

Kesehatan Gratis di Pesantren PROGRAM kesehatan gratis Pondok Pesantren akan terealisir mulai akhir anggaran 2015 di 150 Pondok Pesantren. “Dengan kesehatan gratis di Pesantren, kami bisa menfasilitasi petugas untuk terjun langsung ke masyarakat,” kata Kepala Dinas Kesehatan, dr H A. Fatoni. Program Kesehatan Pesantren (Ponkestren) merupakan program Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim, yang bertujuan memberi pelayanan cepat dan gratis kepada para santri yang sakit. Dengan menempatkan dua petugas medis yang siap melayani 24 jam di setiap Pondok Pesantren. “Jika ada santri sakit tinggal menunjukkan kartu santri saja,” terangnya. Dua petugas kesehatan yang terdiri dari satu laki-laki dan wanita adalah pegawai kontrak yang berdomisili dekat dengan Pesantren. Dengan harapan Ponkestren bisa melayani kesehatan penghuni Ponpes 24 jam. “Ponkestren ini dilakukan bertahap. Tahun 2015 ini kami baru mengajukan anggaran untuk 150 pesantren. Pada APBD 2016, akan ditambah jumlah Ponpes,” imbuhnya. (ron)

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 17


Rp 27,2 M BANSOS KEAGAMAAN Kepemimpinan Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim selalu perhatian kepada lembaga keagamaan dan pengembangan SDA. Pada tahun 2015 Bansos yang teralokasi mencapai Rp 7,1 miliar. Selama 5 tahun mencapai Rp 27,2 miliar.

S

ebanyak 751 masyarakat memadati gedung KORPRI Kabupaten Sumenep pada hari Rabu, 26 Agustus kemarin. Dari pintu masuk terlihat mayoritas memakai peci, meski ada pula yang tidak. Mereka berkumpul di gedung kebanggaan Sumenep sebagai undangan untuk menerima dana Bantuan Hibah/Sosial dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep yang mencapai 1,3 milyar lebih. Hari itu, melalui Bagian Kesejahteraan Masyarakat (Kesmas), Pemkab Sumenep sedang menyalurkan dana Bantuan Hibah/Sosial Kesejahteraan sebesar Rp 1 milyar 336.500 juta. Dana tersebut diberikan oleh Bupati Sumenep kepada para guru ngaji, pondok pesantren, mushalla, masjid, dan organisasi profesi, dengan pagu dari APBD pada kesekian kalinya. Dalam beragam Surat Keputusan yang menjadi dasar kucuran bantuan disebutkan, jumlah penerima beserta besaran dana Bansos yakni 211 juta kepada 422 orang guru ngaji, 66

juta untuk 6 organisasi profesi, 432 juta untuk 108 masjid, 120 juta bagi 12 pondok pesantren, dan 507 juta untuk 203 mushalla. Kepala Bagian Kesmas, Syahwan Efendi mengatakan, pemberian bantuan melalui dana Bansos tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan kepada elemen masyarakat atas pengabdian mereka dalam mewujudkan kondisi Sumenep yang lebih baik. Selain itu, dana Bansos tersebut, lanjut Syahwan, diharapkan dapat menjadi stimulus bagi yang bersangkutan dalam melaksanakan pengabdian yang lebih baik lagi kedepan. “Meski bantuan ini sangat tidak sebanding dengan jasa mereka,” katanya. Syahwan memang tidak menampik bahwa jumlah bantuan yang diberikan sangat sedikit dibandingkan dengan pengabdian yang telah dilakukan. Untuk guru ngaji, bantuan yang diberikan berjumlah 500 ribu perorang, organisasi profesi beragam tiap organisasi dari

6 juta - 15 juta, pondok pesantren sebanyak 10 juta tiap pesantren, 4 juta untuk tiap masjid, dan 2,5 juta untuk tiap-tiap mushalla. “Pemberian dana Bansos ini masih tahap satu, nanti kita akan laksanakan tahap kedua. Namun saat ini masih belum ditentukan pelaksanaannya,” ujar Syahwan. Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim dalam sambutannya menyebutkan, anggaran dana Bansos tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Pagu dana Bansos, misalnya, pada tahun 2009 hanya sebesar 151 juta, sedang di tahun 2015 meningkat tajam sebesar 468 juta. Sementara bantuan untuk mushalla juga meningkat dari Rp 1 milyar 27 juta menjadi Rp 1 milyar 194.500 juta. “Itu semua menjadi bukti perhatian pemerintah terhadap pihakpihak atau lembaga yang bergerak di bidang pengembangan sumber daya manusia,” ucap Bupati.

ozi’/rafiqi

Gelora Merah Putih Kecamatan Pragaan Kegiatan bertajuk Gelora Merah Putih yang digelar Pemerintah Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep dalam rangka Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-70, berlangsung meriah. Kegiatan yang dimulai sejak tanggal 01 hingga 31 Agustus ini dibuka langsung oleh Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim, Sabtu (01/08/2015). Camat Pragaan, R. Abd. Halim mengatakan, Gelora Merah Putih tahun ini dipadati oleh berbagai lomba dengan beragam kategori, mulai dari tingkat PAUD hingga kategori Umum. Dari beragam kejuaraan yang berjumlah 56 tersebut, lanjut Halim, panitia sudah menyiapkan 256 Tropi yang bakal dibawa pulang oleh setiap pemenang nantinya.

Camat Pragaan, R. Abd. Halim bersama Panitia Gelora Merah Putih, usai acara

18 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

Sosialisasi Pilkada di Event HUT RI ke 70

Kepla UPT Pendidikan Kec. Pragaan meraih Juara I Lomba Hias Kantor pada acara Gelora Merah Putih Kec. Pragaan

Sekretaris Panitia Gelora Merah Putih

Sementara anggaran untuk pelaksanaan Gelora Merah Putih ini, kata Halim, berasal dari anggaran partisipasi PNS, BUMN, para Kades, Pengusaha dan masyarakat umum se-Kecamatan pragaan. “Dananya mencapai 28 Juta,” katanya.

rafiqi

Para Juara Hijab Tutorial berpose bareng HUT RI ke 70 di Kecamtan Bluto dimeriahkan berbagai lomba. Seperti Lomba Cipta Menu Makan Siang Non Beras Khusus tingkat desa. Juara I diraih Desa Sera Barat. Juara II Desa Kapedi. Juara III Desa Gingging. Juara Harapan I Desa Gilang. Harapan II Desa Aeng Dake dan Harapan III Desa Pakandangan Barat. Selain itu, ada lomba hijab tutorial yang diikuti berbagai tingkatan. Mulai UPT hingga desa. Juara tigkat UPT diraih UPT SMP Bluto sebagai juara I. Sedangkan UPT Puskesmas Bluti raih juara II dan UPT SMA Bluto sebagai juara III. Sementara KUA Bluto

meraih harapan I dan Kecamatan Bluto sendiri raih harapan II. Lomba Hijab Tutorial tingkat desa. Juara I diraih Desa Bluto. Juara II Desa Pakandangan Barat. Juara III Desa Bungbungan. Juara Harapan I diraih Desa Kapedi. Harapan II diraih Desa Aeng Baja Raja. Harapan III Desa Gingging. Lomba Cipta Menu tingkat UPT. Juara I diraih UPT Puskesmas Bluto. Juara II diraih SMP Bluto. Juara III diraih UPT Kependudukan Capil. Harapan I diraih SMP Bluto. Harapan II Kecamatan Bluto.

(ozi’)


TALI ASIH KADES PURNA BHAKTI Sebagai mantan peminpin desa, ada banyak hal yang sudah dilakukan demi kesejahteraan warganya. Sangat wajar apabila pengorbanan Kades selama menjabat mendapat penghargaan sebagai bentuk tali asih atas dedikasi yang tinggi dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kabag Pemdes: Ali Dafir KEPALA Bagian Pemerintahan Desa (Pemdes), Ali Dafir, menjelaskan perihal bantuan kepada mantan kepala desa (Kades). Dasar bantuan itu mengacu Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 19 Tahun 2006 tentang kedudukan keuangan kepala desa, perangkat desa dan badan permusyawaratan desa, perlu diberikan bantuan sosial bagi kepala desa yang purna bhakti. “Pemkab Sumenep melalui Bagian Pemdes, memang sengaja

mengalokasikan dana untuk diberikan kepada kepala desa yang sudah purna bhakti di tahun 2014. Karena sudah menjabat tiga kali priode ataupun karena kalah dalam pemilihan kepala desa berikutnya. Semuanya memperoleh bantuan uang sebesar Rp 3 juta per Kades,” jelasnya, ketika ditemui Mata Sumenep di ruang kerjanya, Senin (31/08/2015). Mantan Kades yang bakaldiberi bantuan berjumlah 52 orang tersebar di se Kabupaten Sumenep. Salah

satu mantan Kades Sokarammi Timur, Kec. Nonggunong atas nama Muammar sudah menikmati bantuan sosial tersebut. Hal itu dilakukan secara bersamaan dengan kunjungan dinas Bupati Busyro Karim ke desa yang ia pernah pimpin. “Untuk mantan Kades yang belum menerima santunan tersebut, akan diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hanya saja masih menunggu keputusan dari Bupati Sumenep,” ujar mantan Camat Batuan ini.

Karena itu, Dafir berharap kepada Kades yang sudah purna bhakti untuk benar-benar memanfaatkannya. Agar masa pensiun pasca menjabat Kades lebih terarah dan tetap berguna untuk kesejahteraan Sumenep. “Lebih-lebih bagi diri dan keluarga mantan kades. Semisal dibuat modal usaha atau yang terpenting uang tersebut tidak habis sia-sia,”. rusydiyono

FESTIVAL TONGTONG DAN KERAPAN SAPI RAMAIKAN HUT RI GEBYAR HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70 tidak melulu terpusat diperkotaan dan daratan. Pemerintah Kecamtan di Kepulauan, seperti even HUT RI di Kecamaatan Nonggunong dan Gayam juga meriah dan disambut antusias oleh masyarakat. Seperti Festival Tongtong sebagai ajang paling besar dalam serangkaian kegiatan Agustusan yang digelar Kecamatan Nonggunong. Termasuk Gerak Jalan yang diikuti 50 regu termasuk UPT dan seluruh desa se-Kecamatan Nonggunong, dan Pawai Karnaval yang sangat fantastis melibatkan 500 orang dalam satu kelompok dari satu desa. “Even Busana Muslim sebagai pendatang baru dan ikut meramaikan HUT RI tahun ini juga tidak kalah meriahnya,” cerita Camat Nonggunong, Joko Salah satu lomba cipta menu yang dihelat Kecamatan Nonggunong

Satrio melalui Moh. Rais Yusuf, Sekcam Nonggunong, kepada Mata Sumenep, yang memulai kegiatan sejak 17-26 Agustus kemarin. Acara berlangsung sepuluh hari secara maraton, event HUT RI ke-70 RI Kecamatan Nonggunong berjalan lancar dan sukses sesuai rencana. “Alhamdulillah, Penontonnya sampai ada yang dari Kecamatan Gayam,” ujar Rais. Berbeda dengan event Agustusan Kecamatan Gayam. Berbagai event tahunan menjadi hal biasa bagi Camat Gayam, Syamsuri. Ia ingin berbeda memeriahkan puncak HUT RI dengan menggelar lomba kerapan sapi. “Kalau kegiatan tahunan seperti karnaval, pawai sepeda, gerak jalan dan perlombaan lain, biasa digelar. Yang berbeda lomba kerapan sapi, Minggu, 6 Agustus, menjadi penutup kegiatan HUT RI,” terang Syamsuri, kepada Mata Sumenep. (rafiqi)

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 19


REHAB 344 RUMAH TIDAK LAYAK HUNI SAAT kunjungan di Pulau Sapudi, 27 Agustus lalu, Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim berkesempatan menyerahkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian Perumahan Rakyat kepada 344 penerima di Desa Gayam dan Desa Jambuir, Kecamatan Gayam. Bupati berharap bantuan ini bisa bermanfaat dan bisa meringankan beban kehidupan. “Mari kita syukuri bantuan seadanya ini. Semoga bantuan ini menjadi berkah,” terang bupati yang disambut kata Amien.. Kadis PU Cipta Karya dan Tata Ruang, Bambang Iriyanto dalam sambutan sosialisasi penyerahan BSPS 2015 bertempat di Aula SMP Gayam mengatakan, penerima BSPS terdiri dari rumah warga yang benar-benar butuh perbaikan agar lebih layak huni. “Program ini sebagai bentuk kepedulian Bupati Sumenep Kiai Busyro terhadap hajat hidup warganya. Salah satu perhatian itu ya rumah warga yang masih belum layak huni,”. terang Bambang dihadapan penerima BSPS 2015. Meski program BSPS dari pemerintah pusat, kata Bambang, tidak serta merta langsung turun ke Sumenep karena menjadi incaran kabupaten lain setiap tahunnya. “Alhamdulillah, pada BSPS 2015 ada sekitar 700 penerima yang tersebar di sejumlah kecamatan di Sumenep,” tambah Bambang, kepada Mata Sumenep, usai acara. Bambang menjelaskan, setiap penerima BSPS bervariasi sesuai kebutuhan rumah yang disurvei oleh tenaga pendamping. Dana yang diterima bervariasi antara Rp 15 juta dan Rp 20 juta sesuai kebutuhan. Dalam realisasi, penerima bergabung dalam satu kelompok yang berjumlah 10-11 penerima. Dengan tujuan, memudahkan koordinasi kebutuhan penerima untuk menunjuk leveransir bahan yang dibutuhkan. “Bantuan ini sifatnya rangsangan (stimulan) bagi warga untuk memperbaiki rumahnya,” tutur Bambang. Hayat, 36, salah satu penerima BSPS mengaku senang menjadi penerima bantuan. “Mator Sakalangkong Pak Bupati,” ucap warga Desa Gayam ini. (rusydiyono)

Kadis PU Cipta Karya Bambang Iriyanto

20 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015


PROFIL BUDAYAWAN

Mengenal Edhi Setiawan (1)

Lebih Madura Dari Orang Madura

S

osok Edhi Setiawan adalah seorang figur yang layak mendapat julukan “Mutiara Dari Sumenep, Madura”. Siapa yang tidak kenal dengan budayawan Madura yang satu ini. Lelaki kelahiran Sumenep, 13 Januari 1946 yang benarbenar mengabdikan dirinya kepada bangsa dan daerahnya. Seseorang yang melalui jalan kesenian, kebudayaan dan sosial telah berhasil memeragakan kecintaannya kepada tanah Madura. *** Sejak kecil, Edhi diketahui sudah bergelut dengan dunia baca. Buku-buku sosial, budaya dan sejarah ia lahap hingga membuatnya menjadi lekat dengan episode sejarah, terutama sejarah Sumenep dan segenap kandung kebudayaannya. Kemudian pada tahun 1974 seorang Edhi sudah pula berani berkecimpung di dunia kesenian dan kebudayaan Sumenep. Sehingga tak heran jika keberadaannya sangat diperhitungkan dalam kancah kesenian dan kebudayaan di kabupaten kuda terbang ini. Dan kini sosok Edhi pun kerap menjadi jujukan dari segala problem dan laku kesenian dan kebudayaan Madura. Rasa cinta dan gairah total terhadap Sumenep Madura rupanya menjadi semangatnya dalam mengabdi di jalur seni-budaya kabupaten ini. Bagaimana tidak? Seorang

pemuda yang sejatinya bukan siapa-siapa sangat getol memperkenalkan kebudayaan Sumenep hingga ke manca negara. Dalam penuturan salah satu penyair Sumenep Ibnu Hajar, “Edhi lebih Madura daripada orang Madura sendiri”. “Kendati bukan keturunan asli Madura, Om Edhi itu sangat memiliki terhadap kebudayaan Madura, terutama Sumenep. Sedangkan kita yang Madura tulen tak sekalipun peduli dengan kebudayaan sendiri. Masih kalah sama Om Edhi,” katanya, saat ditemui Mata Sumenep dua bulan lalu, di kediamannya. Edhi memang memiliki trah keluarga berkebangsaan Cina. Meski lahir dan besar di tanah Sumenep 69 tahun yang lalu, nenek moyangnya tetap bukan asli Sumenep, Madura. Ia masih keturunan ke-8 dari leluhurnya yang datang ke pulau ini pada sekitar abad ke-17 dalam peralihan dinasti Ming dan Ching. Karena itu dalam diri Edhi mengalir darah Cina dan Madura. Percampuran darah itu terjadi saat seorang lelaki dari Hokkian, Cina menikah dengan seorang gadis asli Madura. Namun, kenyataan sebagai seorang Cina keturunan tidak membuat Edhi enggan dan membenci kesenian serta kebudayaan Madura. Soal yang satu ini, malah ia jangan ditanya. Dedikasinya di bidang kebudayaan bahkan mendapat

perhatian dari tokoh nasional pada 29 Desember 1993. Ia mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto atas Jasa Pengabdian dan Jasa Kepeloporan berkat reportasenya terhadap Budaya Lokal Sumenep. Selama belasan tahun Edhi memang keluar masuk pelosok desa untuk menggali jejak-jejak kesenian Madura, lebih-lebih kesenian asli Sumenep. Hal itu ia lakukan semata-mata karena dorongan kecintaan dari dalam dirinya terhadap kesenian dan kebudayaan Sumenep dalam rangka mengenalkannya ke berbagai daerah. “Saya melakukan pengamatan budaya tanpa sedikitpun terlintas ingin memperoleh penghargaan. Lima belas tahun bergelut dengan budaya Sumenep karena saya ingin megembangkan dan mengembangkannya,” kata Edhi, seperti dilansir Harian SURYA, Senin (27/12/1993). Tak hanya itu, bukti kreativitas dan kecintaan Edhi terhadap kesenian dan kebudayaan Madura dituangkannya dalam bentuk ukiran asli Madura pada sekitar tahun 1980. Selanjutnya, ia juga menelusuri kesenian Topeng Dalang Madura dan kesenian lainnya. Namanya kian melambung di jagad kebudayaan Madura, sejak ia menggali kesenian ini dan sekaligus memperkenalkannya ke berbagai daerah. Padahal ia lulusan fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, sesuai kehendak orang tuanya. Namun bagaimana kisah Edhi yang diinginkan mengikuti jejak saudaranya menjadi hakim, justru memulai pentas Topeng Dalang Madura hingga mendapat kesempatan pentas keliling Indonesia, bahkan dunia? bersambung… hairul/rafiqi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 21


I S A T S E R P

MTs. Nurul Yaqin

RAIH JUARA I LOMBA LARI 400 M AKSIOMA Iskandar, Waka Kesiswaan MTs. Nurul Yaqin, Lembung Barat

T

idak jauh dari jalan utama kecamatan saat Mata Sumenep mengunjungi Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Yaqin, Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Kendati fasilitas memadai selalu membayangi kemajuan suatu lembaga dalam menorehkan beragam prestasi siswanya, kondisi tersebut tak nampak sama sekali pada lembaga yang meraih Juara I Lomba Lari 400 M Putra pada Aksioma tingkat Kabupaten Sumenep. Dan siapa sangka pula jika lembaga ini yang mewakili Sumenep ke Aksioma tingkat Provinsi, di Kota Batu, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada bulan April 2015 lalu. Kendati di tingkat provinsi kontingin Sumenep ini tidak membawa pulang juara, terdaftar dalam nominasi 10 besar cukup membuat MTs Nurul Yaqin sedikit bangga. “Kebanggan tersendiri bagi kami, karena disini fasilitas kami tidak memadai, namun masih bisa bersaing ke tingkat provinsi,” kata Kepala MTs. Nurul Yaqin, Fathaturrahmani, melalui bidang Kesiswaan, Iskandar, Senin, 31 Agustus lalu. Menurut Iskandar,

kegagalan anak didiknya dalam ajang provinsi itu terjadi di putaran kedua. “Kekurangan stamina,” ujarnya. Awalnya, pihaknya cukup yakin akan membawa pulang juara, lantaran masih memimpin di putaran pertama. Namun keteledoran dengan tidak sarapan catering yang diberikan panitia Aksioma, membuat jagoan Sumenep kehilangan stamina. “Hanya makan krupuknya saja. Itupun juga satu,” dalih Iskandar. Kejadian itu menjadi pelajaran sendiri bagi MTs. Nurul Yaqin, terutama kepada Iskandar yang selalu bertugas mendampingi setiap siswa ketika mengikuti even, baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi. “Fisik dan mental anak harus dirawat dan dijaga sebelum pelaksanaan lomba,” katanya. Pihaknya mengaku, sebelumnya memang selalu melalukan pembinaan terhadap siswa yang diketahui memiliki potensi dalam bidang apapun. Apalagi untuk bidang lari, kondisi sekeliling madrasah dianggapnya mendukung untuk melatih fisik siswa. Jalur naik turun dan terjalnya jalanan sangat menguntungkan bagi latihan olahraga.

Ketersediaan fasilitas tidak menjadi kendala bagi MTs. Nurul Yaqin, Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep dalam usaha meraih juara. Tahun ini seorang anak didik terbaiknya menggondol Juara di ajang Aksioma tingkat Kabupaten, mewakili Sumenep ke tingkat Provinsi. Seperti biasa, lima belas hari sebelum pelaksanaan Lomba Lari Aksioma, pihaknya sudah melakukan penyeleksian yang ketat bagi siswa berkemampuan lebih untuk mewakili Nurul Yaqin ke tingkat Kabupaten. Tidak hanya fisik, pola makan dan tidur menjadi perhatian khusus lembaga ini agar stamina siswa benar-benar terjaga. Soal lari-berlari dalam kompetisi, Nurul Yaqin memang bak spesialisnya. “Persiapan kami selalu matang untuk even ini,” aku Iskandar. Sementara dalam aktivitas rutin kesharian, Iskandar mengaku tidak ada bimbingan khusus dari pihak lembaga. Dalam mengantisipasi datangnya kompetisi seperti aksioma, pihaknya sudah menyisipkan materi yang dimungkinkan menjadi bahan kompetisi ke dalam mata pelajaran siswa, agar tak gugup saat menghadapinya. Cara ini pun cukup berhasil. Berkali-kali MTs. Nurul Yaqin menggondol juara dalam even kecamatan maupun kabupaten, dengan metode yang diterapkannya. Di tahun 2015 ini misalnya, lembaga ini meraih Juara II Kompetisi Sains Madrasah tingkat MTs.

se-Kabupaten Sumenep dalam bidang studi Pendidikan Agama, Juara III Kaligrafi Putra dalam even Aksioma Kabupaten Sumenep, dan Juara III Lomba Lari 100 M Putra pada yang sama. Sedangkan pada bulan Agustus ini, MTs. Nurul Yaqin baru saja meraih Juara II Lomba Gerak Jalan dan Juara II Lomba Lari 100 M Putra tingkat Kecamatan Lenteng dalam even HUT Kemerdekaan RI yang ke70. Berbeda dengan tahun lalu yang membawa pulang gelar Juara I Lomba Gerak Jalan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-69. Dengan toreh prestasi yang belum seberapa itu, lembaga yang disebut Iskandar berada di tengah gunung ini bertekad akan terus melakukan perbaikan untuk semakin mengembangkan potensi dalam diri setiap siswa. Selain untuk tetap mempertahankan gelar juara, kata wakil kepala bidang kesiswaan tersebut, pihaknya menaruh harap akan meraih juara yang lebih besar dari sekarang. “Dan kami optimis itu kami akan raih melalui usaha dan persiapan yag akan kami lakukan,” katanya, berapirapi. hairul/rafiqi

Redaksi Mata Sumenep menerima kiriman berita Profil Lembaga Berprestasi. Tulisan maksimal 650 kata dan sertakan foto kegiatan . Tulisan bisa dikirim via email ke: matasumenep@gmail.com

22 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015


academy

Tarekat dan Mursyid Tarekat dalam Masyarakat Madura (8) Martin van Bruinessen*

K

elompok ketiga berasal dari Kiai Jazuli dari Tattangoh (Pamekasan), yang meninggalkan kesan baik Schrieke, merupakan seorang pribadi dengan reputasi yang sangat tinggi di antara sesama ulama di Madura. Saking hormatnya kepada Kiai Jazuli, bahkan para ulama lain tidak menganggap akan menurunkan derajat kewibawaan mereka jika meminta petunjuk keagamaan darinya. Misalnya, Kiai Idris dari pesantren besar di GulukGuluk, yang diperkenalkan dan diajak bergabung dalam tarekat Naqsabandiyah oleh Kiai Jazuli (meskipun Kiai Jazuli tidak pernah mengajarkannya kepada murid-muridnya sendiri). Murid paling berpengaruh Jazuli adalah Kiai Haji Ali Wafa dari Ambunten utara pantai Sumenep, yang mengukir reputasi besar untuk dirinya juga. KH Ali Wafa menerima pengangkatan sebagai khalifah, tidak dari gurunya Kiai Jazuli, tetapi dari Sirajuddin. Satu-satunya khalifah langsung Kiai Jazuli tampaknya adalah anaknya sendiri; Damanhuri, seorang tokoh yang kepribadiannya jarang diketahui, yang memimpin pesantren di Sampang (Touwen-Bouwsma 1988: 217). Kiai Ali Wafa meninggal pada tahun 1976 dan tidak memiliki penerus dengan reputasi yang sama. Penerus (khalifah)-nya yang terkemuka

di Madura ialah Kiai Abdul Wahid Khudzaifah dari Omben (Pamekasan). Menurut pengakuan Kiai Abdul Wahid, Khudzaifah, Ayahnya merupakan seorang khalifah dari Ahmad Syabrawi dan salah satu guru dengan KH Ali Wafa. Sedangkan adik dari Kiai Abdul Wahid, Sya’duddin, juga seorang khalifah, dan begitu pula, adik perempuannya, Thobihah. Nama terakhir diketahui juga mengajarkan tarekat, meskipun hanya khusus bagi murid-murid perempuan (–selain Thobihah, di Madura juga terdapat beberapa guru tarekat perempuan seperti Syarifah Fatimah di Sumenep, yang diangkat sebagai pembimbing tarekat oleh Kiai Syamsuddin. Secara umum, perempuan memainkan peranan penting dan cukup banyak yang menjadi pengikut Nasyabandiyah di Madura-). Baik Khudzaifah, Sya’duddin dan Thobihah, ketiganya telah meninggal dalam waktu tak berapa lama (saat tulisan ini dibuat). Sedangkan Fathul Bari dan penerusnya memperluas tarekat di kalangan orang Madura dari Kalimantan Barat, Ali Wafa dan Abdul Wahid menyebarkan ajarannya di antara orang-orang dari Jawa Timur dan pulau-pulau di sebelah timurnya. Abdul Wahid melakukan kunjungan tahunan ke masyarakat nelayan Muncar, selatan Banyuwangi dan ke pulau Sapudi, serta kerapkali mengunjungi wilayah Surabaya

secara bulanan. Lebih lanjut ia mengaku memiliki murid di Singaraja, pantai utara Bali. Penerus (khalifah) lain dari KH Ali Wafa adalah Kiai Lathifi Baidowi dari Gondanglegi (selatan Malang). Semakin hari pengaruh Kiai Lathifi secara bertahap meningkat, meskipun dirinya ditunjuk hanya beberapa bulan sebelum KH Ali Wafa mangkat. Lathifi bukanlah benarbenar pendatang baru di dunia tarekat. Ayahnya, Baidowi adalah adik dari Fathul Bari. Sebagaimana umumnya ulama, meninggalkan asalnya Sampang dan menetap di daerah selatan Malang pada tahun 1920. Lathifi mempelajari Naqsabandiyah dari beberapa guru di Madura seperti, Syamsuddin, Sirajuddin dan dari anak bungsu Kiai Mawardi. Dia menerima otorisasi untuk mengajarkan tarekat dari KH Ali Wafa. Selain itu, dia mengambil pelatihan tambahan dari Habib Muhsin

Aly Al Hinduan. Dengan demikian, silsilah keilmuan tarekat yang dimilikinya, tersambung dengan ketiga kelompok penting dari tarekat Naqsabandiyah Madura. Kiai Lathifi memiliki kelompok pengikut di kalangan masyarakat Madura di seluruh Jawa Timur, terutama di Kabupaten Malang, Pasuruan dan Situbondo. Baru-baru ini, ia juga telah memperoleh pengikut di antara masyarakat Madura Kalimantan Barat dan, seperti dikatakan di atas, setelah kematian Habib Muhsin Aly yang mayoritas dari suku Bugis dan Makassar beralih mengangkat Kiai Lathifi sebagai guru baru mereka. bersambung... *Tulisan ini disadur dari hasil penelitian Martin van Bruinessen, yang berjudul, ‘Tarekat and Tarekat Teachers in Madurese Society’ yang dipublis dalam buku Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV.Press, 1995, di halaman 91-117.

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 23


Jejak Ulama Sumenep

Mengenal Sosok KH ABISYUJA’ KEBUNAGUNG, SUMENEP Pimpinan Barisan Pejuang Kalangan Santri

K

abupaten Sumenep memang dikenal sebagai kabupaten di Madura yang memiliki banyak jejak tokoh-tokoh ulama besar, para waliyullah, dan sekaligus para sosok paripurna dalam sejarah perkembangan Islam. Beberapa pesantren besar juga berdiri di kabupaten paling timur di Madura ini. Sisa-sisa kebesaran masa lalu di kabupaten yang memiliki gugusan pulau ini juga masih banyak yang utuh dan menjadi bukti bisu sejarah. Makam-makam para ulama, waliyullah, raja-raja yang arif di kawasan Asta Tinggi hingga saat ini terus menjadi tujuan utama para peziarah. Bahkan satu-satunya di Madura dan Jawa Timur, hanya Sumenep-lah yang masih memiliki bangunan kuno original berupa keraton, simbol kebesaran Sumenep masa silam. Salah satu jejak Ulama itu ialah milik Kiai Haji Abisyuja’, Kebunagung. Salah satu tokoh penting dalam sejarah pesantren di Sumenep, yang juga merupakan salah satu ulama Sumenep yang dikenal sebagai tokoh thariqah Alawiyah. “Beliau adalah seorang Syaikh (guru besar) Alawiyah dan putra dari Syaikh Alawiyah,” kata salah satu

24 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

cicit Kiai Abisyuja’, Kiai Indra Sutan Uzary, kepada Mata Sumenep. Menurut Kiai Sutan, panggilan akrabnya, Kiai Abisyuja’ memang berasal dari keluarga ulama besar Sumenep yang nasabnya bersusur galur ke salah seorang tokoh ulama di Sampang bernama Kiai Abdul Allam. “Dalam catatan silsilah keluarga, Kiai Abdul Allam adalah keturunan Sunan Giri, Gresik,” tambah putra almarhum Kiai Maksad Uzary ini.

Kelahiran dan Asal-Usul Kiai Haji Abisyuja’ lahir di Sumenep tahun 1885 Masehi. Tidak ada catatan tertulis mengenai tanggal dan bulannya. Bahkan wafatnya pun hanya tecatat tahunnya, yakni 1948, tanpa ada keterangan lain. Kiai Abisyuja’ adalah putra Kiai Haji Jamaluddin Kebunagung. Ayahnya adalah putra Kiai Maghfur bin Kiai Muhammad Aqib atau Kiai Anju’. Kiai Anju’ ini juga kakek dari Kiai Haji Ahmad Bakri Pandian, salah satu ulama ahli tauhid di Sumenep. Kiai Anju’ adalah keturunan kelima dari Kiai Abdul Allam, Prajjan, Sampang, dari putranya yang berjuluk Kiai Prajjan Lor Sampang. Sedangkan Kiai Abdul Allam sendiri, tercatat sebagai

keturunan keempat dari Sunan Giri. Urutannya, Nyai Ageng Sawo putri Sunan Giri berputra Pangeran Waringin. Pangeran Waringin berputra Isteri dari Bagus Palatuk, ayah Kiai Abdul Allam. Dalam catatan lain yang dimiliki oleh keluarga keturunan Kiai Abdul Allam di Prajjan sendiri menyebutkan, jika Kiai Abdul Allam secara nasab pancer merupakan keturunan Kiai Mandiraga (sebagian lain menyebut Mandaraga) atau Syihabuddin. Sedangkan dalam catatan keluarga kiai di daerah Pamekasan, Kiai Syihabuddin tercatat sebagai putra Panembahan Kadi bin Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shadiq). Wa Allahu a’lam. Sementara ibu Kiai Abisyuja’, yaitu Nyai Shalihah adalah kakak dari Kiai Haji Zainal Arifin Terate, sama-sama anak dari Kiai Thalabuddin bin Laisuddin. Kiai Thalabuddin sendiri dikenal sebagai keturunan Kiai Abdul Karim atau Kiai Agung Bhalang putra Kiai Syits, cicit Kiai Cendana (Sayyid Zainal Abidin), Kwanyar Bangkalan.

Ulama Pejuang Bagi banyak orang Sumenep, nama Kiai Haji Abisyuja’ lebih dikenal sebagai salah satu ulama pendiri pesantren di Kampung atau Dusun Banasokon, Desa Kebunagung, Kecamatan Kota Sumenep. Di kalangan Nahdliyin Sumenep, Kiai Abisyuja’ juga dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Sumenep. Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa beliau adalah salah satu tokoh pejuang yang memiliki peranan penting dalam perlawanan mengusir penjajah di Sumenep. “Beliau adalah pimpinan barisan pejuang dari kalangan santri di Sumenep,” kata Ainul Ashim, salah satu kerabat Kiai Abisyuja’ pada tabloid ini. Dalam sejarah hidupnya, Kiai Abisyuja’ tercatat nyantri ke Kiai

Muhammad Khalil, Bangkalan. Beliau juga tercatat nyantri di Pesantren Loteng Sarsore dan juga pada Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, Trate Bangselok. Selepas dari menuntut ilmu, beliau mendirikan sebuah pesantren di atas bukit di kampung Banasokon. Lokasi tersebut selanjutnya berubah menjadi dwi fungsi, yakni sekaligus juga sebagai markas pejuang di Sumenep. “Kiai Abisyuja’ lalu memutuskan untuk berjuang secara total. Aktivitas di pesantren pun macet total, karena beliau selalu melakukan hubungan rahasia dengan para pejuang di Sumenep,” kata Ashim. Lokasi pesantren Kiai Abisyuja’ sangat strategis sebagai markas perjuangan. Di situ juga dijadikan pusat latihan termasuk pembekalan para pejuang seperti latihan bela diri, kekebalan, dan lainnya. Menurut Moh Faqih Mursyid, kerabat lainnya, posisi kiai atau ulama di waktu itu sebagai tempat meminta nasihat, petunjuk dan do’a. Sementara Kiai Abisyuja’ disebut Faqih memilih langsung bergabung termasuk juga dalam kontak fisik dengan penjajah. “Namun beliau memang sosok yang low profile. Sehingga memang banyak kalangan yang tidak mencatat sejarah perjuangan beliau sebagai salah satu pejuang di Sumenep,” tambahnya. Kini pesantren peninggalan Kiai Abisyuja’ sudah tidak berjalan karena tidak ada yang meneruskan. Banyak keturunannya yang sudah tidak berdomisili di Banasokon. Salah satu putrinya menikah dengan Kiai Haji Usymuni dan menetap di Tarate. Namun sisa-sisa bangunan pesantren dan kediamannya saat ini masih utuh, berdekatan dengan makam beliau di puncak bukit Banasokon.

RB Moh Farhan Muzammily


MATA PESANTREN

Ponpes Darul Ulum, Lenteng Barat (1)

RUMAH ILMU MASYARAKAT KH Fauzan Malik (alm.)

K

urang lebih 1 kilometer ke utara Jl. Raya Lenteng, tepatnya di dusun Angsana I, Desa Lenteng Barat, Kabupaten Sumenep berdiri kokoh sebuah pondok pesantren yang menjadi pusat pengembangan sumber daya masyarakat. Sebuah pesantren yang memiliki peran vital bagi terbitnya fajar pengetahuan, khususnya bagi masyarakat setempat. Pondok pesantren tersebut bernama Darul Ulum, sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang dilahirkan masyarakat dan diasuh oleh kiai kharismatik bernama Kiai Haji Fauzan Malik (alm). Pendirian Ponpes Darul Ulum memang tidak dapat dipisahkan dari peran sosok Kiai Haji Fauzan Malik. Tokoh yang lahir pada tahun 1948 ini dalam kesehariannya sangat dekat dengan masyarakat. Kiai Fauzan, begitu masyarakat akrab menyebutnya, adalah seorang kiai yang mewaqafkan hidupnya untuk syiar agama. Ia menjadi pioner dalam memberantas kebodohan di masyarakat sekitar waktu itu. Kondisi masyarakat yang tidak begitu faham ilmu agama dan tulis-menulis membuat Kiai Fauzan gelisah dan menggerakkan hatinya untuk mewujudkan perubahan. Hal tersebut adalah cita-cita luhur yang selalu ia pegang teguh.

Sejarah dan Perkembangan Pesantren Dalam penuturan Nyai Hajjah Shulhah, puteri tertua Kiai

Fauzan, kepedulian sang ayah terhadap pendidikan masyarakat dilakukan sejak beliau masih muda, yakni di usia 20 tahun. Pada waktu itu, lanjut Nyai Shulhah, Kiai Fauzan muda bersama masyarakat mengadakan majelis keagamaan untuk anakanak. Dalam majelis tersebut dilaksanakan aktivitas belajar mengajar seperti belajar mengaji, membaca, menulis, dan lainnya. Dikatakan majelis karena kegiatan tersebut secara sarana dan prasarana serta menejemen yang diterapkan tidak bisa disebut sebagai sebuah lembaga pendidikan. Bahkan aktivitasnya dilaksanakan di sebuah pendopo dan beranda rumah. Kondisi ini berlangsung selama 8 tahun, dari tahun 1968 hingga 1976. “Semua itu dilakukan oleh aba sepulang dari pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk dan pondok pesantren Karay Ganding,” kata ibu tiga anak ini. Seperti itulah awal mula usaha Kiai Fauzan untuk mentranformasikan keilmuan di lingkungan masyarakat. Dengan harapan kondisi buta huruf dan aksara dapat terbebas dari generasi penerus bangsa. Meski dengan sangat sederhana, namun hal itu tetap dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketelatenan untuk memperoleh ridha dari Sang Maha Kuasa. Baru pada tahun 1976, dengan dukungan dan swadaya penuh dari masyarakat, Kiai Fauzan membangun sebuah gedung dengan jumlah ruang 6 lokal. Sejak saat itu, majelis tersebut berganti nama menjadi Madrasah Darul Ulum. Pembangunan gedung tersebut diikuti dengan perubahan sistem dan kurikulum yang semakin tertata. Madrasah Darul Ulum mulai menerapkan sistem

kelas, kendati kurikulum yang digunakan masih khusus materi keagamaan. Hingga kemudian pada tahun 1985, dengan arahan Departemen Agama (saat ini Kementerian Agama) Kabupaten Sumenep dan desakan dari masyarakat, madrasah Darul Ulum berganti nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Ulum dan memasukkan kurikulum Depag sebagai bahan ajar serta mulai mengikuti Ujian Nasional. Mula-mula bangunan madrasah diletakkan di sebelah timur kediaman orang tua Kiai Fauzan. Namun karena posisi madrasah yang bersebelahan dengan pemakaman umum dirasa tidak nyaman, kemudian masyarakat meminta kepada kiai Fauzan untuk dipindah ke depan masjid yang berjarak 50 meter di sebelah utara. “Pemindahan tersebut terjadi pada tahun 1988. Kebetulan disitu ada masjid yang hanya digunakan untuk shalat Jum’at saja. Jadi masyarakat meminta untuk dipindah dengan harapan agar sekaligus dapat menghidupkan dan memakmurkan masjid,” tambah Nyai Shulhah. Ketua PC Fatayat Kabupaten Sumenep ini juga menegaskan, biaya pembangunan gedung baru tersebut murni dari swadaya masyarakat. Pemindahan kegiatan belajar-mengajar juga dilanjutkan dengan dibukanya Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Darul Ulum dengan menempati ruangan yang masih dalam proses pembangunan. Nyai Shulhah menyebutkan, pada waktu itu semua santri di Madrasah Darul Ulum masih bersifat kalong karena tidak ada tempat untuk muqim. “Aba memang tidak pernah meminta para santri untuk muqim. Dapat memberikan

pendidikan terhadap masyarakat bagi aba sudah cukup,” tambah perempuan kelahiran Sumenep, 27 Agustus 1978 lalu. Akan tetapi pada tahun yang sama, masyarakat juga membangun bilik-bilik dari kayu sebagai tempat bermukim untuk santri putra serta memasrahkan anak-anak mereka untuk diasuh oleh Kiai Fauzan. Pada tahun pertama, jumlah santri yang mondok sebanyak 6 – 11 orang yang terdiri dari warga sekitar, kemudian pada tahuntahun seterusnya santri yang mondok mulai berdatangan dari berbagai daerah seperti Jember, Banyuwangi, Ra’as, Mojokerto, Kalianget, dan lain-lain. “Pada tahun 1997 baru dibuka untuk santri putri dan membuka berbagai tingkat pendidikan seperti RA, TPQ, MDT, MA dan Play Group,” jelas Nyai Shulhah.

bersambung… ozi’/rafiqi

Nyai Hj Shulhah 1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 25


Syarah Al-Hikam (17)

OASE

Ridha & Tawakkal Perisai Hidup Ridha dan tawakkal seperti sisi mata uang. Ketika salik menemukan ujian hidup, keyakinan atas kekuasaan Allah Swt menjadi sandaran dalam menerima kenyataan. Sehingga ia ikhlas (ridha) atas apa yang terjadi dan menyerahkan (tawakkal) atas kehendak Allah Swt.

M

aqam ridha berkaitan langsung dengan etape selanjutnya, yakni tawakkal. Sebab, tawakkal atau kepasrahan dalam diri seorang hamba sulit terwujud jika dirinya tidak ridha atas apa yang menjadi ketentuan Allah. Sebaliknya hamba yang ridha akan menyerahkan diri atas segala yang terjadi dan menjadikan Allah sebagai penuntun segala urusannya. Secara umum, bisa dikatakan tawakkal merupakan inti dari semua pemikiran Ibn Athaillah terkait sufisme. Ibn Athaillah –sebagaimana dijelaskan di bagian-bagian awal tulisan inimenjadikan tawakkal sebagai nomenklatur kunci seorang salik dalam meniti jalan kesucian. Seorang salik, -demikian pula manusia pada umumnyadianjurkan meletakkan syahwat, keinginan, dan kehendak jika menginginkan untuk sampai kepada-Nya. Ibn Athaillah mengungkapkan dengan istilah ‘isqaath al-tadbir wa al-ikhtiyar’, yang berarti ‘menegasikan upaya dan kehendak’. Artinya, manusia dianjurkan untuk tidak ikut serta berperan mengatur

26 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

urusannya sendiri. Karena urusannya tersebut diserahkan kepada Dzat yang lebih pandai dalam mengatur, Maha Tinggi, dan Maha terperinci dalam segala aturannya. Manusia disarankan untuk meletakkan urusannya dan membiarkan kekuatan ‘tangan Tuhan’ yang berperan dalam kehidupannya. Ibn Athaillah memberi wejangan: “arih nafsak min al-tadbir, fa maa qaama bih ghairuk ank laa taqum bih linafsika”. Lepaskanlah dirimu dari kerisauan mengatur urusan duniamu, sebab apa yang telah dijamin (oleh Allah) tidak perlu kau merisaukan pikiranmu. Dalam hal ini, yang perlu dicermati dari nasehat Ibn Athaillah di atas adalah tawakkal bukan berarti manusia tidak diperkenankan untuk memiliki perencanaan dan kehendak dalam hidupnya. Yang ditekankan Ibn Athaillah adalah, mengosongkan hati dari keinginan terhadap sesuatu di masa depan, selain keinginan pada Allah. Manusia boleh memanfaatkan pikirannya untuk berupaya –bahkan dianjurkan dalam banyak ayat dan hadits- akan tetapi pada saat bersamaan,

Ahmad Muhammad

Sarjana Universitas Al-Azhar, Mesir dan Magister Tasawuf di UIN Sunan Ampel

manusia disarankan tidak menjadikan upaya tersebut sebagai satu-satunya faktor yang mengantarkan pada keberhasilan. Ibn Athaillah mengingatkan, di balik segala yang terjadi di masa depan, tak lepas dari campur tangan “invisible hands” dalam hal ini ialah ‘kehendak Tuhan’. Secara singkat dapat dipahami bahwa Ibn Athaillah hendak berkata: “berencanalah dan bekerjalah engkau, tetapi jangan lupa bahwa hasil perencanaan dan usahamu di masa depan tak lepas dari kehendak Tuhan”. Dan apapun yang engkau rencanakan dan kau kerjakan –sekeras apapun-, tak dapat memengaruhi ketetapan Allah. Segala upayamu tak berarti di hadapan kehendak Tuhan. Maka sungguh merugilah dirimu, jika hanya menggantungkan harapan pada upayamu sendiri yang tak seberapa itu. Sungguh sebuah perbuatan sia-sia jika hati berharap kerja keras yang dilakukan berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Sementara kenyataan yang sering dilupakan ialah, dinamika yang terjadi seringkali tak terduga, faktorfaktor yang kadang tak masuk

dalam perencanaan ternyata berdampak besar pada output kerja di masa depan. Selain itu, menekankan diri pada kerja keras dapat berujung pada sifat sombong. Manusia dapat dengan mudah menganggap kekayaan, pangkat dan kekuasaan yang didapatnya adalah hasil upayanya sendiri. Padahal, sebagaimana diterangkan di muka kerja keras manusia hanya faktor kecil dan tak mempunyai peran signifikan dalam menentukan keberhasilan. Karena itu, wejangan Ibn Athaillah di atas sekaligus mengingatkan kembali manusia akan keberadaan dan campur tangan Allah atas segala fenomena yang terjadi di alam semesta. “Setiap hari Dia dalam kesibukan”, demikian alQur’an menginformasikan kepada kita tentang ‘kesibukan’ Tuhan terhadap dinamika kehidupan semesta. Sekalipun alam kehidupan modern telah banyak memberikan kemudahan bagi siapa saja yang hidup di dalamnya, tapi nyatanya tak jarang manusia terkena tekanan jiwa dan pikiran. bersambung...


SURI TAULADAN

Metamorfosis Al-Ghazali (22) Dari Filsuf Menuju Sufi

Dunia Penghalang Makrifatullah

Moh. Jazuli Muthhar Dosen STIT Al-Karimiyyah

D Hati seorang mukmin, akan selalu hidup apabila selalu dzikir (ingat) menyebut nama penciptanya. Semakin dalam dzikir itu, semakin cepat mendekati makrifatullah. Dan semakin dalam dzikirullah semakin mudah merasakan nikmatanya menyebut nama sang pencipta (Allah Swt). Tiada kenikmatan bagi orang mukmin di dunia ini, kecuali merasakan nikmatnya berdzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana hadits qudsi Allah Swt berfirman, “Orang mukmin tidak memiliki kesenangan di dunia. Kecuali berdzikir tengah malam,”.

unia memang dibuat begitu indah oleh Allah Swt. Sebab, Allah Swt ingin melihat siapa diantara manusia (hambanya) yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Seringkali kita (diantara manusia) tertipu tentang keindahan dunia sehingga masuk perangkap dan mencintainya dan memilih kehidupan dunia secara hina. Kita (manusia) memang dilahirkan ke dunia oleh Allah Swt. Bukan berarti kita hidup di dunia untuk kehidupan dunia. Bukankah kehidupan dunia hanya sebagai jembatan untuk menempuh kehidupan yang hakiki (akhirat)?. Dalam sejumlah literatur tasawuf secara tegas menerangkan bahwa mencintai kehidupan dunia menjauhkan diri untuk mengenal lebih dekat terhadap Allah Swt (makrifatullah). Dan kelak dalam kehidupan akhirat, tidak akan pernah mencium bau surga. Melainkan mendapat siksa di neraka. Menggambarkan kehidupan dunia sebagai penghalang kedekatan kepada Allah Swt, suatu ketika Rasulullah Saw melewati pasar. Rasul bertemu dengan bangkai seekor anak kambing kedua telinganya (cacat). Lalu dihampiri dan

diambil anak kambing itu. Rasul bersabda kepada pemuda yang berada di sekitar Rasul Saw, “Siapakah diantara kalian yang suka membeli kambing ini dengan satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak suka sedikit pun ya Rasul, “. Kemudian Rasul Saw bertanya, “Sukakah kalian diberi dengan cuma-cuma?” Mereka menjawab, “Sekalipun kambing ini hidup kami tidak akan mau, karena anak kambing itu cacat. Kedua telinganya kecil. Apalagi dia sudah menjadi bangkai”. Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya kehidupan dunia ini lebih hina dari bangkai kambing ini”. (HR Muslim) Hati seorang mukmin, akan selalu hidup apabila selalu dzikir (ingat) menyebut nama penciptanya. Semakin dalam dzikir itu, semakin cepat mendekati makrifatullah. Dan semakin dalam dzikirullah semakin mudah merasakan nikmatanya menyebut nama sang pencipta (Allah Swt). Tiada kenikmatan bagi orang mukmin di dunia ini, kecuali merasakan nikmatnya berdzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana hadits qudsi Allah Swt berfirman, “Orang mukmin tidak

memiliki kesenangan di dunia. Kecuali berdzikir tengah malam,”. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, di bagian cinta dan rindu, al-Ghazali menulis rasa cinta seorang hamba kepada Allah Swt merupakan buah dari makrifatullah karena merasakan manis setelah bertemu yang dirindu. Cinta (mahabbah) kepada Allah itulah menjadi landasan al-Ghazali untuk mengabdi kepada sang Tuan, yaitu Allah Swt. Sehingga, sepanjang nafasnya tetap ingat (dzikir) menyebut nama sang kekasih yang dicinta (Allah Swt). Al-Ghazali memilih mencintai kehidupan akhirat daripada mencintai kehidupan dunia semata berharap mengenal lebih dekat dengan Allah Swt demi kehidupan yang abadi bukan kehidupan yang penuh tipu muslihat. Buah dari perkenalan dengan Allah makrifatullah) tentu dilalui al-Ghazali melewati berbagai rintangan. Al-Ghazali dalam buku catatan kecil yang berjudul al-Munqidz min al-Dhalal. Al-Ghazali menyadari kedudukan dan popularitas sebagai intelektual yang disegani penguasa dan banyak orang tidak bisa mengantarkan dekat atau mengenal Allah. Bahkan, kehidupan yang al-Ghazali jalani dinilai sebagai

penghalang kedekatan dirinya dengan Allah Swt. Karena itu, al-Ghazali memilih keluar dari kehidupan selebritas intelektual dari Baghdad menuju Damaskus Suria, selama dua tahun. Waktu di Damaskus, al-Ghazali mencari guru sufi dan banyak bersemedi lazimnya kehidupan sufi. Dari Damaskus, alGhazali terus mengembara menelusuri berbagai negara, seperti Jerusalem, Hebron, Mesir (Kairo dan Alexandria), Madinah, Mekah, kembali ke Baghdad sebentar di bulan Juni 1097, sebelum menetap di kampung halamannya, Thus. Di tempat kelahirannya, al-Ghazali mendirikan Khaniqah (perguruan sufi) dan madrasah bagi yang ingin belajar agama. Di Khaniqah dan madrasah ini, al-Ghazali menenggelamkan seluruh aktivitas kesehariannya dalam kehidupan asketisme (sufisme).

bersambung...

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 27


KH. KURNIADI WIDJAJA Majelis Taklim

MENGABDI UNTUK KEPENTINGAN UMMAT

Segala bidang dalam kehidupannya sudah ia geluti. Namun hanya keinginan memanfaatkan sisa hidup untuk kepentingan ummat yang menjadi tekad dan semangatnya dalam mengabdi selama ini.

N

ama Doktorandus Kiai Haji Kurniadi Widjaja atau biasa dipanggil Kiai Kurniadi bahkan Pak Haji Kurniadi, hampir bisa dikata tidak asing bagi warga Sumenep. Hal itu tidak terlepas dari aktivitasnya yang selalu lekat dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Mulai dari ranah keagamaan, pendidikan hingga bakti sosial di bidang kesehatan mewarnai kehidupan sehari-harinya hingga di usianya yang kini sudah memasuki hampir kepala tujuh. Di bidang keagamaan, pria kelahiran Sumenep 21 September 1950 silam ini dikenal lekat dengan dunia tasawuf atau lebih tepatnya thariqah. Khusus thariqah, Kiai Haji Kurniadi memilih thariqah Qadiriah wa Naqsyabandiah yang kini berpusat di Suryalaya, Jawa Barat. Bahkan saat ini beliau dipercaya sebagai Mudir Idarah Syu’biyah Jam’iyah Ahlith Thariqah alMu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN) Kabupaten Sumenep. “Bagi saya ini suatu amanah atau tanggung jawab yang sangat berat. Semoga Allah menjadikan saya mampu mengembannya,” kata Kiai Kurniadi, kepada tabloid ini. Di lembaga yang bergerak untuk memberi rambu-rambu pada masyarakat tentang thariqah yang mu’tabar dan ghairu mu’tabar ini, Kiai Kurniadi merupakan mudir yang pertama di Sumenep. Dan tahun ini beliau mengaku sudah memasuki masa akhir mengemban jabatan tersebut. “Insya Allah, hari Ahad tanggal 30 Agustus 2015 besok akan diselenggarakan Musyawarah Daerah atau Musda JATMAN,” kata pembina Yayasan Pondok Pesantren Suryalaya, Desa Kolor yang bertempat di kediamannya ini. Kegiatannya di bidang keagamaan ini tidak bisa lepas dari asal-usulnya yang berasal dari keluarga keturunan ulama. Dari garis ayah, Kiai Kurniadi merupakan keturunan langsung Kiai Baghdi atau yang dikenal sebagai Kiai Taposan. Ayahnya, Kiai Mohammad Tajjib adalah cicit Kiai Amsiti, putra Kiai Baghdi. Kiai Baghdi sendiri tercatat sebagai keturunan kelima dari Pangeran Katandur (Sayyid Ahmad Baidlawi). Konon Kiai Baghdi adalah salah satu guru Panembahan Sumolo, Raja Sumenep. Kiai Baghdi juga erat kaitannya dengan asal-usul keberadaan mata air Kampung Taposan di Desa Lalangon, Kecamatan Manding. “Taposan sendiri berasal dari kata dalam bahasa Madura, yakni sataposan. Ceritanya

28 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

bermula ketika tongkat Kiai Baghdi ditancapkan ke tanah, keluarlah air satu tegukan atau sataposan. Baru di tancapan kedua, air menyembur tanpa henti,” cerita Kiai Kurniadi tentang riwayat mata air Taposan. Kejadian itu konon pada saat Panembahan Sumolo dan rombongannya tengah melewati kampung tersebut. Salah satu putri Panembahan merasa haus sehingga terjadilah kejadian itu. Bahkan Panembahan Sumolo sendiri yang kemudian menamai mata air tersebut dengan nama Taposan. Panembahan Sumolo menurut Kiai Kurniadi juga berkata bahwa mata air itu hanya bisa mengaliri kampung Taposan. Artinya, jika dicoba dialirkan keluar kampung, air tersebut tetap tidak bisa keluar dari batas kampung Taposan. Dulu ada yang mencoba membuat irigasi melalui sumber Taposan ke kampung-kampung lain. Namun tidak bisa alias berhenti mengalir. Padahal air sumbernya banyak,” imbuhnya. Sementara dari garis ibu, Kiai Kurniadi merupakan keturunan langsung Panembahan Cakraningrat V atau Sidho Mukti Bangkalan, dari jalur salah satu putranya yang bernama Raden Panji Dewokusumo alias Tumenggung Suroadiningrat, Bupati Sidayu. Tumenggung Suroadiningrat menurunkan Raden Panji Tahar atau Kiai Enggu’, salah satu ulama di Sumenep, yang bermukim di desa Lembung, Kecamatan Lenteng. Kiai Enggu’ ini merupakan kakek kelima dari Raden Ajeng Hamidiyah, ibu dari Kiai Kurniadi. Sebelum memasuki aktivitas sosial kemasyarakatannya yang begitu sarat saat ini, Kiai Kurniadi mengawali kiprahnya di dunia birokrasi. Selepas lulus dari APDN Malang tahun 1979, Kiai Kurniadi diangkat sebagai Mantri Polisi Pamongpraja di Kecamatan Batang-Batang. Lalu beliau menjabat sebagai Camat Dasuk, dan terakhir pensiun sebagai Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial pada tahun 2006 silam. Selain itu, sejak 1987 silam, Kiai Kurniadi juga menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Sumenep. Sejak tahun yang sama, beliau juga aktif sebagai pengurus sekaligus Ketua Umum Yayasan Aria Wiraraja yang membidani lahirnya Universitas Wiraraja Sumenep. Di samping itu, namanya juga tercatat sebagai pembina dan penasehat berbagai organisasi sosial di Sumenep. “Aktif di kegiatan sosial masyarakat itu pada

BIODATA Nama : Drs. KH. Kurniadi Widjaja, M. Si. Te-ta-la : Sumenep, 27 September 1950 Aktivitas : 1. Pembina Yayasan Ponpes Suryalaya Sumenep 2. Ketua Umum PMI Sumenep 3. Ketua Umum Yayasan Aria Wiraraja Sumenep 4. Penasehat MUI Kabupaten Sumenep 5. Mudir Idarah Syu’biyah Jam’iyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah JATMAN) Kabupaten Sumenep. 6. Pembinan Yayasan Panti Yatim al-Istiqomah, Satelit, Sumenep 7. Dan lain-lain Keluarga : - Hj. Sri Hidayati (isteri) - Nur Hidayati Widiastuti (anak) - Nur Qoudri Wijaya (anak) dasarnya adalah panggilan nurani. Namun duduk di kursi pimpinan lembaga-lembaga sosial ini bukan keinginan saya. Apalagi di lembaga sosial yang sifatnya non profit atau tidak mengejar materi memang tidak ada yang mau merebutnya,” katanya sambil tersenyum. Bagi Kiai Kurniadi, hidup yang diberikan Allah adalah berkah yang harus disyukuri. Lamanya hidup juga bervariasi. Ada yang panjang dan ada yang pendek. Namun bagi ayah dari dua orang anak ini, hidup tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, melainkan juga harus bermanfaat bagi orang lain. “Oleh karena itu saya hanya berharap hidup saya ini bermanfaat lebih-lebih bagi orang banyak. Sehingga pada dasarnya aktivitas apapun yang saat ini saya jalani adalah memanfaatkan sisa hidup untuk kepentingan ummat,” pungkasnya.

RB Moh Farhan Muzammily


RUMPUT LAUT JUGA SOLUSI PEMBANGKIT ENERGI LISTRIK Sumenep kembali menjadi incaran investor asing untuk mengembangkan usaha baru. Kali ini, pengembangan usaha pembangkit listrik yang akan diproduksi Konsorsium Pembangkit Listrik Jawa-Bali bersama PT Tidal Breach, Belanda, dan PT Duta Cipta Pakarperkasa Surabaya.

Penandatanganan konsorsium tersebut dilakukan bersama Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim saat menghadiri pembukaan 4th Indonesian EBTKE Confrence & Exhibition 2015 di Jakarta Convention Center, Jakarta Selatan, pada hari Rabu (19/08) lalu yang diadakan oleh Kementerian ESDM cq Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Republik Indonesia. MoU itu berisi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Rumput Laut (PLTRL) di Kabupaten Sumenep dengan nilai investasi sebesar 100 juta Euro. Abd Kahir, Kepala Kantor

ESDM, kepada Mata Sumenep, menyebut kesepahaman dimaksud berupa tindak lanjut dari pertemuan antara investor dengan Bupati pada akhir Juli lalu, di Rumdis. “Waktu itu, investor mempresentasikan program PLTRL dan menawarkan program itu untuk diaplikasikan di Sumenep. Dari presentasi yang disampaikan, Kahir optimis dapat memenuhi kebutuhan listrik di daerah kepulauan. Hal itu karena tenaga listrik yang dihasilkan PLTRL sangat besar, yakni sebesar 100 Megawatt. Energi listrik sebesar itu sangat cukup memenuhi kebutuhan

ABD. KAHIR Kepala Kantor ESDM listrik di seluruh kepulauan Sumenep. Dan kami siap untuk membantu setiap prosesnya demi kepentingan masyarakat banyak,” terang Kahir saat ditemui di kantornya. Kahir tidak dapat memastikan lokasi proyek yang akan dibangun. Hanya saja dirinya memprediksi pembangunannya akan ditempatkan di pulau-pulau besar seperti Sapeken, Masalembu, dan Kangean. Kebutuhan listrik untuk kepulauan, lanjut Kahir, sangat banyak. Berdasar data di kantor yang ia pimpin, daerah kepulauan yang dialiri listrik PLN selama 24 jam hanya 3 pulau yakni pulau Talango, Geligenting, dan Sapeken. Sementara yang dialiri listrik selama 12 jam terdapat dua pulau yakni Sapudi dan Kangean/Arjasa. Selebihnya menggunakan tenaga listrik tenaga diesel. “Jika MoU ini berlanjut menjadi kerjasama, maka manfaat yang akan didapat masyarakat akan berlipat karena terbukanya potensi ekonomi bagi petani rumput laut,” tambah Kahir. Kendati demikian, tidak semua jenis rumput laut bisa dibudidaya.

“Jenis rumput laut yang bisa ditanam masyarakat jenis E Cottonii. Sementara, rumput laut yang menjadi bahan baku PLTRL adalah jenis Laminaria SP,” sambungnya. Terpisah, Moh Djakfar, Kadis Kelautan dan Perikanan, membenarkan kekosongan rumput laut jenis Laminaria SP. Kendati demikian, Jakfar optimis jika kerjasama itu bakal terwujud. Djakfar berdalih, ada cara lain dalam budidaya rumput laut jenis Laminaria SP yang berbeda dengan budidaya rumput laut jenis E Cottonii. Jika rumput laut jenis E Cottonii dibudidaya menggunakan ancak, jenis Laminaria SP menggunakann sistem long line dan direndam pada kedalaman 15 meter dalam laut menggunakan

MOH. JAKFAR Kadis Kelautan dan Perikanan pelampung. “Teknisnya di lapangan tergantung bagaimana kesepakatan antara investor dan petani. Ketika presentasi investor, area rumput laut yang akan ditanam terlebih dahulu ditaburi bakteri seluas satu hektar dapat menghasilkan rumput laut sebanyak seribu ton,” jelas Djakfar. (ozi’)

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 29


KAMBOYA Penganan Khas Pulau Kangean

N

amanya memang asing saat kali pertama Mata Sumenep menyisir penganan lokal dari salah satu gugusan pulau yang merupakan kepulauan besar di kabupaten ujung timur Madura ini. Sebuah makanan khas dari pulau Kangean, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep yang bakal mengundang selera para pembaca. Makanan khas dari Kepulauan Kangean memang banyak. Ada Kamboya, Pes-pes, Gurubik atau Burubik, Kue Lanon, Keripik Tekai, Sangngar-sangngar, Pastel, Odol-odol, Korket, Paes Buk-buk, Deng-deng Mancilat, Lemeng, dan Taos-taos. Namun yang akan Mata Sumenep sajikan kali ini adalah Kamboya. Makanan unik yang tak hanya mengandung lokalitas, juga menyimpan citarasa tersendiri penikmatnya. Sebab, meski hampir serupa Lepet, yang tidak lain merupakan penganan lokal Sumenep pula, Kamboya tetap merupakan kuliner yang sangat berbeda. Dari bahan misalnya, Lepet dibuat dengan beras dan parutan kelapa serta kacang jalar, lalu dibungkus daun pisang. Sementara bahan untuk membuat Kamboya antara lain beras ketan,

santan, tali rafia, daun pisang, dan garam. Selain perbedaan bahan, teknik khusus dalam proses pembuatannya juga menjadi ciri khas dari penganan yang satu itu, sehingga mampu menghadirkan kelezatan lokal yang tiada duanya. Dalam penuturan masyarakat Kangean, Kamboya merupakan makanan tradisional yang paling eksis disana. Bahkan boleh dibilang penganan ini menjadi makanan wajib konsumsi hampir menyamai nasi. Bagaimana tidak? Sedang bagi masyarakat tradisional Kangean, Kamboya adalah sejenis makanan pokok yang terbuat dari ketan dan santan, bak sebuah Lontong. Sehingga tak heran jika Kamboya juga dijadikan makanan pokok pengganti nasi. “Kamboya itu enaknya dimakan dengan lauk ikan yang berkuah,” kata Sudahnan, salah satu warga Desa Saobi, Kecamatan Kangayan, yang semakin menegaskan kenikmatan Kamboya. Secara teknis, cara membuat Kamboya memang cukup mudah. Mula-mula, jemur daun pisang hingga layu, lalu potong membentuk persegi panjang dengan ukuran panjang = 2 sapai 3 cm, dan lebar = 3 sampa 5 cm

untuk membungkus ketan, dan sisakan daun untuk pembugkus luar. Sementara itu, santan yang sudah tersedia beri sedikit garam (sesuai selera), masak ketan hingga setengah matang, tuangkan santan dan aduk ketan hingga santan tercampur. Jika sudah merata, angkat masakan ketan, ambil daun pisang persegi panjang, taruh masakan ketan ke dalam daun tersebut, bungkus hingga menyerupai ibu jari. Kemudian, buatlah bentuk yang serupa hingga masakan ketan tidak tersisa. Selanjutnya, ambil beberapa biji (6 sampai 8 biji) dari bungkusan tadi, taruh pada daun pisang (2×3 atau 2×4) secara berjejer dan lipatlah daun pisang hingga semua bagian tertutupi, lalu ikat lipatan dengan tali rafia hingga tidak dimungkinkan air masuk. Nah, Kamboya mentah telah selasai dibuat. Langkah terakhir, masak Kamboya mentah hingga matang (air untuk memasak melebihi volume Kamboya yang ada di panci), angkat Kamboya dan dinginkan, kemudian Kamboya siap dihidangkan. “Prosesnya tidak sulit. Hampir sama dengan Lepet kan, meski rasanya beda,” kata Anang, di sela

Makanan Khas Pulau Kangean: Kamboya siap santap dengan satu piring kuah ikan nan lezat.

30 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

menjelaskan proses pembuatan Kamboya. Dari sisi kesehatan, Kamboya memiliki kandungan gizi dan manfaat yang baik bagi tubuh, seperti Karbohidrat yang cukup untuk menambah energi. Karbohidrat misalnya, didapat dari ketan dan santan yang digunakan. Per 100grm ketan diketahui memiliki ±300kkal energi, belum lagi kandungan gizi lain yang mendukung seperti protein, potassium, kalsium, dan magnesium, yang merupakan kelompok gizi makro. Selain itu, Kamboya bisa didapatkan dengan harga terjangkau. Perbijinya hanya dipatok Rp 2.000 oleh masyarakat Kangean, dengan ujuran yang tidak terlalu kecil namun tidak juga besar. “Itu belum termasuk kuah dan ikannya, sebab kuah dan ikannya dijual dengan terpisah,” tambah Anang, kepada Mata Sumenep. Sebagai primadona, Kamboya memang tak hanya diminati masyarakat pulau Kangean semata. Lantaran kelezatannya, penganan ini mampu menarik minat hingga luar kepulauan, ke daerah daratan Kabupaten Sumenep, Madura. Dengan nilai tawar ini, tentu dengan peta pengembangan yang lebih baik pula, sebenarnya dapat menjadikan Kamboya sebagai icon dari kepulauan Kangean. Namun demikian, upaya serius dari masyarakat setempat dan pemerintah sangat menentukan dalam upaya mencapainya. Sehingga kerjasama yang baik, seperti publikasi dalam pameran kecamatan maupun media massa menjadi langkah strategis yang patut dilaksanakan dengan terencana.

hairul/rafiqi


MATADESA

KECAMATAN PASONGSONGAN

METODE PELAYANAN KEKELUARGAAN

PELAYANAN; Bersama Ketua TP PKK sedang meninjau dan memberikan bantuan alat permainan edukatif kepada TK Pertiwi, Desa Panaongan.

Perbedaan geografis dan jarak wilayah Kecamatan Pasongsongan tidak menyurutkan Camat Arif Susanto dalam maksimalisasi pelayanan kepada warganya. Pendekatan kekeluargaan seperti silaturrahim dan blusukan menjadi solusi terbaik.

A

rif Susanto tampak sedang memberikan pelayanan kepada masyarakat di rungan PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan), ketika Mata Sumenep sampai di kantornya, Selasa, 25 Agustus lalu. Lazimnya seorang camat, dia melayani masyarakat dengan ramah dan senyum. Hal itu membuat masyarakat tidak merasa canggung untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang tidak dimengerti. Tampak Arif, begitu sapaan akrabnya, memberikan penjelasan secara serius kepada masyarakat. Sepintas tertawa bersama menampakkan kedekatan yang terjalin diantara mereka. Arif Susanto adalah Camat Pasongsongan. Sebuah kecamatan di barat daya kota Sumenep. Ia dipercaya memimpin wilayah Pasongsongan sejak bulan Maret 2013 lalu. Dengan kata lain, lebih 2 tahun Arif mengabdi di wilayah yang menjadi lokasi Buju’ Panaongan itu dan mencurahkan segala upaya untuk mewujudkan kondisi masyarakat Pasongsongan yang lebih baik.

Silaturrahim dan Blusukan Dalam kepemimpinannya, Camat kelahiran Tuban, 31 Agustus 1975 ini, selalu menekankan kepada bawahan akan pentingnya pendekatan secara kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Model

pendekatan seperti ini, masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai rakyat yang harus dilayani ketika membutuhkan pelayanan, namun sebagai bagian dari keluarga yang harus terus diperhatikan kebutuhannya. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan yang maksimal dapat dirasakan oleh masyarakat, apalagi letak geografis desa di Kecamatan Pasongsongan yang berbeda-beda. Menurut Arif, secarah geografis

Kecamatan Pasongsongan terdiri dari dua wilayah. Yakni wilayah daja gunung (utara gunung), dan laok gunung (selatan gunung). Klasifikasi ini ditentukan berdasar letak geografis berbagai desa yang menjadi wilayah Kecamatan tersebut. Untuk wilayah daja gunung terdapat empat desa yakni Desa Pasongsongan, Desa Panaongan, Desa Padangdangan, dan Desa Soddara. Sedangkan untuk wilayah laok gunung terdapat enam desa yaitu Desa Rajun, Desa Cempaka, Desa Lebeng

Timur, Desa Lebeng Barat, Desa Prancak, dan Desa Montorna. Perbedaan letak geografis ini, diakui Arif, ternyata diikuti oleh perbedaan jangkauan kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama bagi warga keenam desa di wilayah laok gunung. Letak desa di seberang gunung serta jarak yang jauh dengan pusat kecamatan yang berada di daja gunung membuat enam desa tersebut sulit untuk dijangkau. Kondisi demikian, menurut Arif, sedikit banyak pasti memberikan pengaruh bagi masyarakat terutama keengganan untuk mendatangi kantor Kecamatan. Meski bagi kecamatan, hal itu tidak menjadi rintangan yang berarti untuk tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat Pasongsongan. “Perbedaan letak geografis ini, menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal itulah yang kami lakukan selama ini, mengambil inisiasi agar jarak yang jauh tidak menjadi halangan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan,” jelas Arif. Arif mengaku, ada dua hal yang dilakukannya bersama pegawai kecamatan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Pertama, melakukan kunjungan ke beberapa instansi di bawah kecamatan seperti UPT Pendidikan, UPT Puskesmas, dan lain-lain. Hal itu dilakukan untuk melihat kinerja instansi terkait serta mengupdate kebutuhan riil masyarakat. Kedua, menjalin silaturrahim dengan masyarakat setempat. Yakni bertamu ke rumah warga untuk memperat tali silaturrahim dan rasa kekeluargaan di hati masyarakat baik dengan kepala desa, tokoh masyarakat, dan atau masyarakat secara umum. Langkah tersebut, lanjut Arif, tidak hanya dilakukan di wilayah daja gunung, selaras di laok gunung. Enam desa wilayah laok gunung menjadwalkan kunjungan minimal satu hari dalam satu minggu. Kunjungannya untuk menyapa dan mendengar langsung keinginan masyarakat.

Terbitkan Buku Potensi Kecamatan Langkah yang ditempuh Arif dalam memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat seperti di atas manjadikan dirinya sebagai camat yang gemar jalanjalan. Jalan-jalan disini tentu dengan maksud positif, yakni menyusuri wilayah kecamatan untuk melihat dan mengenali potensi yang di kandungnya serta melihat kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari langkah tersebut, lanjut Arif, dia menemukan banyak sekali fakta yang semakin menegaskan bahwa Sumenep secara umum dan Pasongsongan secara khusus adalah daerah yang kaya. Kaya akan potensi ekonomi, potensi wisata, dan artefak-artefak peninggalan kerajaan masa dulu. Penegasan ini diperolehnya setelah melihat kehidupan masyarakat dan banyak berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang masih menyimpan segar kisah-kisah tentang Pasongsongan, termasuk juga dengan keturunan Kiai Ali Akbar, seorang tokoh penting di balik Kecamatan yang dipimpinnya. Untuk ekonomi misalnya, Arif sudah mengantongi daftar potensi ekonomi yang dapat dikembangkan oleh masyarakat Pasongsongan. Untuk desa Pasongsongan, Padangdangan, dan Panaongan memiliki potensi ekonomi petis, terasi, dan abon ikan. Untuk Desa Lebbeng Timur dan Lebbeng Barat ada potensi singkong yang dapat diolah dalam bentuk produk. Sedangkan untuk Desa Prancak dan Montorna, selain potensi tembakau yang diakui kualitasnya juga tersimpan potensi ekonomi buah rambutan dan buah salak. Khusus untuk potensi wisata dan artefak sejarah Pasongsongan kuno, pihaknya sudah merangkum dalam sebuah buku yang diberi judul “Pasongsongan Tanah Mardikan”. Buku tersebut berisi tentang keindahan Kecamatan Pasongsongan, berbagai peninggalan sejarah yang masih ada, serta tempat-tempat wisata yang memanjakan mata. “Saya bukan ngarang, tapi hanya merangkum dari penuturan narasumber. Alhamdulillah dalam buku tersebut Bapak Sekda berkenan memberikan pengantar,” tutur suami Siti Ermaniyah, bangga.

ozi’/rafiqi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 31


KUNJUNGAN PULAU SAPUDI

Kiai Busyro bersama KH Fayyad As’ad saat ziarah di Asta Blingi yang juga kakek Joko Tole bersamaan dengan jadwal kampanye giliran perdana yang ditetapkan KPU di Pulau Sapudi

SILATURRAHIM, ZIARAH KAKEK JOKOTOLE & BLUSUKAN ONLINE Kunjungan Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim, 27-28 Agustus, di Pulau Sapudi disambut ribuan warga dan berlangsung maraton. Hari pertama start acara jam 12.00, dan berakhir jam 02.30, Jumat dini hari di rumah Ketua Paguyuban Kades se-Kecamatan Nonggunong, Desa Talaga. Hari kedua berlangsung silaturrahim, ziarah Asta Blingi, Kakek Joko Tole, dan berakhir dengan blusukan online. SAAT turun dari KMP Dharma Kartika di Dermaga Tarebung, Pulau Sapudi, sebagai tanda kali pertama menginjakkan kaki di Pulau Sapudi, Kamis, 27 Agustus 2015 lalu, Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim mendapat hadiah 2 sorban. Satu sorban hadiah dari KH Murtadha, tokoh agama Kec. Gayam. Satu sorban pemberian atas nama 10 Kades se-Kecamatan Gayam. Bupati Busyro sempat nyeletuk kepada Kades Pancor, H Moh. Saleh sebagai perwakilan 10 Kades yang mengalungkan sorban terakhir. “Kok diberi dua sorban. Ada apa?” tanya Bupati Busyro sambil tersenyum manis. Usai memeluk Bupati, Kades H Saleh menjawab. “Ini tanda panjenengan menjabat Bupati Sumenep dua periode, Pak Kiai,” tutur H Saleh ringan yang disambut gelak tawa sejumlah Forpimka Gayam yang ikut menyambut rombongan bupati. Kunjungan Bupati Busyro di Pulau Sapudi berlangsung dua hari, 2728 Agustus, disambut ribuan warga Sapudi. Hari pertama, jam 12.00, Bupati Busyro langsung menghadiri resepsi HUT RI di Kecamatan Gayam dan menyerahkan sejumlah bantuan UMKM dan bantuan keagamaan,

32 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015

bertempat di halaman SMP Gayam. Tanpa istirahat terlebih dahulu dari kapal, Bupati melanjutkan program menyerahkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) 2015 kepada 340 penerima, bertempat di aula SMP Gayam. Usai menyerahkan BSPS, Bupati langsung menemui forum Kades seKecamatan Gayam di rumah Kades Pancor, H Moh. Saleh untuk serap aspirasi. Ada banyak hal yang diutarakan para Kades. Yang menjadi tema pembicaraan adalah perbaikan jalan poros kecamatan Pulau Sapudi, yang tidak berumur panjang masa perbaikannya. 1 Km jalan diperbaiki, 2 Km kondisi jalan mengalami kerusakan. Apa jawaban bupati? “Salah satu problem pembangunan jalan yang tidak awet adalah kualitas batu cor bukan batu pecah. Melainkan batu lokal yang bercampur tanah. Sehingga tidak bisa berumur lama kelengketan aspal dengan batu. Faktor kedua campuran aspal berkurang,” terang bupati. Karena itu, Bupati Busyro sudah merancang pengaspalan hotmix untuk jalan poros dua kecamatan dengan alokasi Rp 12 miliar untuk APBD 2016. “Dengan catatan, di Sapudi ada AMP (Asphalt Mixing Plant) alias mesin pembuat hotmix,” tambah bupati. Usai pertemuan dengan Forum Kades, Bupati langsung serap aspirasi dengan 285 guru Madrasah Diniyah (Madin) se-Kecamatan Gayam di rumah Hj Lilik, Desa Pancor. Ada pertanyaan terkait bantuan kesejahteraan bagi guru sekolah swasta berbasis keagamaan ini. Bupati mengakui kesejahteraan Madin sangat minim karena program Bosda untuk Madin itu merupakan Bantuan dari Gubernur Jatim. “Awal program Bosda itu Rp 17 miliar. Meningkat hingga 26 miliar pada tahun


Bupati KH A. Busyro saat menelpon Kadis PU Pengairan Eri Susanto saat acara Blusukan Online didampingi Camat Gayam, Syamsuri.

2013. Sejak itu, alokasi untuk Sumenep turun hingga Rp 1,9 miliar di tahun 2015,” jelas bupati. Kendati demikian, Ketua DPC PKB Sumenep ini, berkomitmen akan memberi tambahan anggaran Rp 2,5 miliar yang diambilkan dari APBD Sumenep. “InsyaAllah satu lembaga akan dapat Rp 1,5 juta dengan jumlah lembaga Madin 1400 se Kabupaten Sumenep,” jelas bupati mengakhiri silaturrahim di Kecamatan Gayam. Pada malam hari, Bupati menghadiri Pengajian Akbar yang diselenggaran Paguyuban Kades se-Kecamatan Nonggunong, bertempat di Lapangan Kerapan Sapi Desa Talaga. Dan berlanjut hingga jam 02.30 dini hari dalam acara temu akrab dengan paguyuban Kades seKecamatan Nonggunong. Keesokan hari, Bupati Busyro bersilaturrahim bersama pengurus MWC NU, tokoh masyarakat dan guru Madrasah Diniyah (MD) se-Kecamatan Nonggunong bertempat di Ponpes Zainurridla, asuhan KH Karim, Desa Nonggunong. Kemudian dilanjut dengan shalat Jum’at. Usai shalat Jum’at, Bupati Kiai Busyro bersama KH Fayyad As’ad serta rombongan melakukan ziarah ke Asta Blingi. Dan kunjungan Bupati di Pulau Sapudi diakhiri acara blusukan online di rumah Angwan Wahono, Desa Tarebung, Kecamatan Gayam. Kenapa disebut blusukan online? Pertemuan bersama perwakilan guru ngaji, pemuda, pengusaha, blater dan petani se-Pulau Sapudi ini, sengaja dikemas sesi tanya jawab pembangunan secara langsung yang ditujukan kepada Bupati KH A. Busyro Karim. Ada banyak pertanyaan yang disampaikan. Seperti kelangkaan ketersediaan pupuk bagi

petani Sapudi saat musim tanam tiba sehingga harga pupuk mencapai Rp 150 ribu tapi pupuk masih langka di pasaran. Selain itu, masyarakat juga berharap pembangunan ketersediaan air bersih saat musim kemarau yang sangat dirasakan kebutuhannya. Untuk menjawab uneg-uneg warga, Bupati langsung menelpon Kadisperta dan Kadis PU Pengairan serta Kadis Cipta Karya agar tidak dikata retorika dan janji-janji politik belaka jelang Pilkada. Dalam sambungan telpon yang diperdengarkan lewat pengeras suara, Bupati langsung minta dialokasikan program Hipam di Dusun Kengkangan Desa Kalowang, sebagaimana dikeluhkan penanya Misnayu. Dalam kesempatan itu, Bupati memastikan pembangunan embung. Di saat bersamaan, Bupati menelpon Kadis PU Pengairan, Eri Susanto agar mealokasikan pembangunan embung sebagai penyimpan tadah air hujan. Eri menjawab dalam saluran telpon bahwa sudah teralokasi pembebasan lahan di Desa Prambanan untuk 2015 dan dilanjutkan pembangunan embung di tahun berikutnya. Soal kelangkaan pupuk, Bupati meminta Kadisperta, Bambang Irianto, juga lewat sambungan telpon, agar mencarikan solusi keluhan petani Sapudi yang selalu sulit mendapat pupuk ketika masuk musim tanam jagung dan padi. Terasa cukup blusukan online, Bupati berpamitan kepada undangan dan menuju pelabuhan Tarebung menaiki perahu mesin menuju pelabuhan Dungkek.

hamrasidi

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 33


KUNJUNGAN PULAU SAPUDI

Menangis Haru Dipelukan Bupati Saat ini ada gerakan sistematis Internasional untuk menghilangan sosok ulama/kiai sebagai pemimpin/panutan umat Islam. Dengan harapan, umat Islam membenci pemimpin atau ulama/kiai yang sejak kanak-kanak mengajari dan menuntun ilmu agama. PERNYATAAN ini disampaikan Kiai Busyro Karim saat mengisi ceramah agama di sejumlah tempat dalam kunjungan Bupati di Pulau Sapudi, 27-28 Agustus lalu. Saat bersama KH Fayyad As’ad (Karay, Ganding) di Lapangan Kerapan Sapi Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong, Kamis Malam, 27 Agustus, Kiai Busyro juga menyinggung gerakan Internasional untuk kita waspadai sebagai bentuk penjajahan baru dalam Islam. “Tidak ada pemimpin agama yang dicaci atau dihujat oleh umatnya sendiri. Pemimpin agama Katolik yang disebut Pastor saja menjadi terhormat dimata umat Katolik. Sementara di Islam, Kiai atau Ulama yang mengajarkan ilmu agama sejak kecil hingga bisa mengamalkannya, sudah tidak lagi terhormat. Kenapa? Ini sudah terdesain gerakan sistematis secara Internasional untuk memisahkan umat Islam dengan pemimpinnya (ulama/kiai),” terang Kiai Busyro berapi-api, di hadapan ratusan guru ngaji dan

tokoh masyarakat Kecamatan Gayam, yang ikut hadir dalam pengajian agama. Sehingga, tidak sedikit guru ngaji dan tokoh masyarakat Sapudi yang mendengar isi ceramah ikut terharu dan meneteskan air mata. Puncak keharuan itu terjadi usai acara ketika kesempatan bersalaman antara undangan dengan Kiai Busyro. Ada sejumlah undangan yang memeluk dan menangis sesunggukan dalam dekapan Kiai Busyro. ”Malar mander eparengana tekka hajat panjenengan kiai?” tutur Badri, guru ngaji Kecamatan Gayam, menangis sesunggukan sambil mencium dan memeluk erat Kiai Busyro. Mereka berdoa semoga Kiai Busyro sebagai wakil ulama Sumenep tetap menjadi Bupati Sumenep di periode kedua. Dan seterusnya, Bupati Sumenep dijabat dari figur ulama/kiai sebagaimana Raja Sumenep, keturunan Kiai Saod (Bindara Saod). hamrasidi

Sejumlah tokoh masyarakat dan guru ngaji di Kecamatan Gayam berebut bersalaman dan menangis haru dipelukan Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim, saat kunjungan di Pulau Sapudi, Kamis 27 Agustus lalu.

34 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015


Suasana Hotel Utami Sumenep pada hari Selasa (25/8/2015) sedikit tegang. Masing-masing pendukung kedua Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan wakil bupati terus meneriakkan yelyel dukungan usai memperoleh nomor urut Paslon yang digelar Komisi Pemilihan Umum. Hampir semua awak media memadati hotel bercat kuning. Para kuli tinta menanti kedatangan masingmasing Paslon yang sebelumnya dikabarkan akan tiba di Hotel Utami pada pukul 10.00 Wib. Tetapi ketika arah jarum jam tepat diangkah 10, kedua Paslon belum juga nongol, melainkan yang datang lebih awal yaitu dari Forpimda, salah satunya ada Kapolres Sumenep AKBP Rendra Radita Dewayana, dan Komandan Kodim 0827 Sumenep Letkol Inf Permadi Azhari. Berselang kemudian, satu Paslon, tiba ditempat, yakni pasangan Zainal Abidin, dan Dewi Khalifah. Kedatangan keduanya membuat pendukung Paslon lainnya tidak sabar menunggu kedatangan orang yang akan dijagokan pada 9 Desember 2015 mendatang. Ketidak sabaran itu tidak lama kemudian berbuah kebahagiaan yang tiada nilainya bagi pandukung Paslon KH A. Busyro Karim dan Achmad Fauzi, karena akhirnya Paslon yang memiliki visi-misi Nata Kota Bangun Desa itu dengan mengendarai mobil warna hitam juga sampai di halaman tempat penentuan nomor urut. Sebelum Busyro-Fauzi menuju aula Hotel Utami di lantai II, keduanya masih menyempatkan diri

NOMER bersalaman bahkan berpelukan dengan Kapolres Rendra, Komandan Permadi, dan juga Ketua DPRD Sumenep, H Herman Dali Kusumah. Pertemuan terebut berlangsung akrab layaknya sahabat yang lama tidak berjumpa. Selanjutnya Busyro-Fauzi langsung menuju ke tempat dimana nomor urut mereka akan segerah ditentukan. Menariknya, setibanya Busyro-Fauzi didalam ruangan tersebut, pasangan ZA-Eva langsung menyambut dan bahkan kedua calon penguasa Sumenep itu masih berpelukan, kecuali Nyi Eva, yang hanya mengayun tangannya lalu menunduk sebagai tanda penghormatan sesama tokoh di bumi Sumekar. Sehingga suasana kemesrahan kedua Paslon Bupati dan Wakil Bupati itu menjadikan suasana semakin damai, terutama bagi pendukung masing-masing Paslon yang sebelumnya sama-sama sedikit ramai menyuarakan jagoannya. Sebelum akhirnya kedua Paslon itu diberi kesempatan menyampaikan untuk sambutan, mereka diberi harus untuk mengambil undian yang berisi nomor urut Paslon yang akan bertarung nantinya. Pengambilan nomor urut tersebut dimulai dengan dua sistem, pertama dengan cara mengambil nomor untuk menentukan Paslon yang berhak mengambil lebih awal lotri nomor urut.

RA’YAT ONTONG Dalam ketentuan yang berhak mengambil lotri penentu calon wakil bupati. Paslon Busyro-Fauzi mendapat giliran kedua setelah Zainal mengambil nomor urut setelah Cawabup Eva meraih angka kecil. Dalam hitungan bersama, nomor Paslon dibuka bersama dan akhirnya Paslon Busyro-Fauzi memperoleh nomor urut 1. Teriakan dan yel-yel para pendukung kedua Paslon saling bersahutan sambil mengibarkan gambar Paslon lengkap dengan nomor urut. KPU mempersilahkan Cabup KH. Abuya Busyro Karim selaku nomor urut 1 naik ke atas mimbar lalu sambutan dan menyampaikan gagasan singkat tentang pembangungan Sumenep kedepan. “Nomor settong masyarakat ontong,” itulah kalimat yang keluar dari Cabup Busyro dalam sambutan yang disambut tepuk tangan undangan dan pendukung. Selanjutnya tiba giliran ZA panggilan akrab Zainal Abidin selaku Paslon nomor urut 2 untuk menyapa hadirin di acara tersebut. Rupanya dia tidak mau kalah kepada apa yang disampaikan Cabup Busyro Karim. “Nomor 2, semoga ini merupakan pertanda bahwa setelah nomor 1 Bupati Sumenep adalah nomor 2, artinya setelah Kiai Busyro akan digantikan oleh saya, hehehe,” tegas ZA diawal sambutannya.

rusydiyono

1 SEPTEMBER 2015 | MATA SUMENEP | 35


36 |MATA SUMENEP | 1 SEPTEMBER 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.