
4 minute read
MENELISIK DAMPAK PENYETARAAN JABATAN LAPORAN KHUSUS HASIL SURVEY PEGAWAI TERDAMPAK PENYETARAAN
Penyederhanaan birokrasi merupakan salah satu dari 5 (lima) program prioritas Kabinet Indonesia Maju yang dilaksanakan untuk menjawab kelemahan dari struktur birokrasi yang gemuk, lamban dalam pengambilan kebijakan dan keputusan, tidak fl eksibel, serta mahal biaya.
Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya sebagai Presiden RI 2019-2024 saat sidang paripurna MPR pada hari Minggu 20 Oktober 2019. Executive order Presiden RI tersebut ditindaklanjuti dengan restrukturisasi arsitektur manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi struktur 2 (dua) level eselon, serta mengganti Jabatan Administrator (Eselon III) dan pengawas (Eselon IV) dengan Jabatan Fungsional (JF) yang menghargai keahlian dan kompetensi. Atas hal tersebut, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional yang kemudian diterapkan di seluruh instansi pemerintah, termasuk di Kantor Regional X BKN dan wilayah kerja nya. Apakah Penyetaraan Jabatan (PJ) telah menjawab tantangan reformasi birokrasi tersebut? Dan apakah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai objek penyetaraan jabatan telah merasakan manfaat penyetaraan jabatan? Tim X-Media Kanreg X BKN melakukan survei terhadap 77 responden se wilayah kerja Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Berikut adalah hasilnya.
Advertisement
Penyetaraan Jabatan dirasa meningkatkan kinerja individu, telah sesuai dengan latar belakang pendidikan, serta membuka kesempatan pengembangan diri.
Pasca PJ, kinerja individu dirasakan meningkat. Hal ini ditunjukkan dari mayoritas responden (42,9%) yang menyatakan setuju terhadap pernyataan tesebut. Jawaban tersebut dapat menunjukkan bahwa tujuan PJ dalam rangka meningkatkan kinerja adalah terpenuhi. Dengan bekerja sesuai tugas dan fungsinya, PNS diharapkan dapat fokus berkinerja ketimbang berurusan dengan halhal yang bersifat struktural. Responden juga menyatakan bahwa pengalaman dan latar belakang pendidikan yang mereka miliki telah sesuai dengan JF yang disetarakan. Hal tersebut ditunjukkan dari 37,7% jawaban “sangat setuju” dan 36,4% jawaban “setuju”. Hasil tersebut untuk memastikan bahwa kompetensi PNS telah sesuai dengan JF yang mereka duduki pasca penyetaraan. Mayoritas responden (32,5%) juga menjawab “setuju” bahwa setelah PJ, kesempatan pengembangan diri mereka menjadi lebih luas. Hal tersebut menunjukkan keunggulan JF yang merupakan jabatan dengan detail uraian pekerjaan yang jelas dan terukur, serta memiliki instansi pembina yang akan senantiasa menyiapkan segala pendidikan dan latihan (diklat) bagi para JF nya.
Penyetaraan Jabatan, di satu sisi dirasa belum dapat mengatasi berbagai tantangan reformasi birokrasi pemerintahan.
Berdasarkan jawaban responden, Masih terdapat banyak pernyataan yang tidak sesuai dengan tujuan PJ. Atas hasil tersebut, penulis melakukan confi rmatory analysis, dengan mewawancara beberapa pegawai yang mengalami penyetaraan jabatan. Hasilnya dirangkum sebagai berikut.
Pasca PJ, tupoksi tidak dirasa menjadi lebih jelas
Mayoritas responden menjawab sangat tidak setuju (28,6%) dan tidak setuju (26%) terhadap pernyataan bahwa pasca PJ tupoksi pekerjaan mereka menjadi lebih jelas. Berdasarkan hasil wawancara, butir kegiatan JF yang harus dikerjakan PNS pasca PJ dirasa masih dibayang-bayangi oleh tupoksi struktural terutama dalam tugasnya sebagai sub koordinator dan koordinator. Justru tupoksi pasca PJ dirasa bertambah, karena harus mengerjakan tupoksi JF ditambah dengan peran jabatan struktural sebelumnya yang hanya ‘berpindah’ ke tugas koordinator maupun sub koordinator.
Pasca PJ, tupoksi jabatan sebelumnya sesuai dengan tupoksi JF
Mayoritas responden menjawab bahwa tupoksi jabatan sebelumnya sesuai dengan tupoksi JF yang disetarakan. Hal ini ditunjukkan dari mayoritas jawaban responden sebesar 42,9% yang menjawab “sangat setuju”. Pasca PJ, tupoksi jabatan sebelumnya (struktural) seharusnya tidak masih terbawa apalagi dirasakan tetap sama. Jika masih dirasa sama, berarti tupoksi pekerjaan pada jabatan struktural sebelumnya masih terbawa.
Pasca PJ, miskoordinasi tidak menjadi berkurang dan pengambilan keputusan tidak menjadi lebih cepat.
Ketika ditanya perihal miskoordinasi dalam pekerjaan, mayoritas responden menjawab tidak setuju (37,7%) dan menjawab sangat tidak setuju (20,8%) bahwa miskoordinasi dalam pekerjaan menjadi berkurang pasca PJ. Begitu juga 32,5% responden menyatakan tidak setuju dan 27,3% menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan bahwa pasca PJ pengambilan keputusan menjadi lebih cepat. Hasil jawaban responden ini masih berkaitan dengan kondisi tupoksi yang tidak menjadi lebih jelas, serta tupoksi jabatan struktural sebelumnya yang masih terbawa ke JF hasil penyetaraan.
Tidak adanya rasa kehilangan atas kewenangan yang dimiliki sebelumnya, pasca PJ.
Para responden sebanyak 32,5% menjawab “sangat tidak setuju” dan 27,3% menjawab tidak setuju atas pernyataan “Berdasarkan hasil wawancara terhadap perwakilan responden, perasaan kehilangan atas kewenangan sebelumnya cenderung akan dirasakan oleh para pejabat administrator yang disetarakan ke JF daripada pejabat pengawas, Hal ini karena jabatan pengawas tidak bersinggungan langsung dengan pengambilan keputusan. Namun di satu sisi, dapat juga berarti bahwa kewenangan dari jabatan sebelumnya masih terbawa. Bahwa pegawai yang mengalami penyetaraan jabatan masih terbebani oleh kewenangan jabatan pengawas sebelumnya.
Tidak terbebas dari tugas dan tanggung jawab jabatan sebelumnya
Saat ditanya apakah responden merasa terbebas dari tugas dan tanggung jawab saat menjabat pada jabatan sebelumnya, mayoritas responden (44,2%) menjawab ‘sangat tidak setuju’. Hal ini berarti, meskipun telah dilakukan PJ, pegawai yang bersangkutan tidak merasakan adanya perubahan dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan setelah menjadi jabatan fungsional. Hal tersebut karena pola kerja yang tidak berubah pasca PJ. Terlebih bagi daerah – daerah yang baru saja mengalami penyetaraan jabatan pada awal tahun 2022.
Pola karir tidak menjadi lebih jelas
Ketika ditanya soal pola karir, mayoritas responden merasa pola karir mereka tidak menjadi lebih jelas pasca PJ. Hal ini ditunjukkan dari jawaban responden yang mayoritas menjawab ‘tidak setuju’ atas pernyataan tersebut (32,5%). Berdasarkan Permenpan RB No. 17 tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional, dinyatakan bahwa untuk pegawai yang saat PJ sudah berada di pangkat puncak jabatan administrasi nya, tidak bisa diberikan kenaikan pangkat lagi. Hanya bisa diberikan kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi. Itulah yang dirasakan tidak adil bagi JF yang lahir dari penyetaraan dibandingkan dengan JF yang organik. Peluang untuk berkarir dengan optimal sesuai dengan jenjang yang tersedia – terlepas dari ketersediaan formasi – dibatasi oleh ketentuan tersebut.
Penghasilan pasca PJ tidak mengalami peningkatan
Sebanyak 44,2% responden menyatakan ‘sangat tidak setuju’ ketika diberi pertanyaan apakah setelah penyetaraan jabatan penghasilan mereka menjadi meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ada kondisi yang tidak sesuai dengan kondisi ideal dimana seharusnya terjadi peningkatan penghasilan pasca PJ, yaitu bertambahnya tunjangan fungsional. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya kebijakan yang tertuang