
5 minute read
PELECEHAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN KERJA
Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja: Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja: 10 DOS AND DON’TS 10 DOS AND DON’TS UNTUK APARATUR UNTUK APARATUR SIPIL NEGARA DAN INSTANSI PEMERINTAH SIPIL NEGARA DAN INSTANSI PEMERINTAH

Advertisement
Pelecehan seksual dan segala bentuk diskriminasi termasuk perundungan kerap jadi hal yang tabu untuk dibahas.. Banyak pihak yang menganggap bahwa menjadi korban pelecehan adalah sebuah aib, sehingga tidak layak untuk menjadi konsumsi publik. Benarkah demikian? Bila merujuk pada konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.1 Hal ini menandakan semua orang wajib menciptakan lingkungan yang aman tidak hanya untuk dirinya sendiri, namun juga dalam lingkup yang lebih luas. Lingkungan kerja, misalnya. Lingkungan kerja yang aman akan mendukung tercapainya hubungan yang kuat dan produktif antara pegawai dan organisasi. Guna mencapai lingkungan yang demikian, sangat penting untuk memastikan bahwa tempat kerja bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk pelecehan. Sebuah survey menarik di tahun 2010 yang dilakukan oleh Ipsos Global Advisory2 menyatakan bahwa di negara-negara Asia Pasifi k, 3040% masalah dalam relasi kerja merupakan pelecehan seksual dan intimidasi lainnya. Tidak mengagetkan, mengingat ada banyak relasi kuasa yang hadir dalam hubungan tersebut, tidak terkecuali dalam sektor publik antara Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Instansi Pemerintah sebagai organisasi tempat bernaung.
1 Pasal 28 G ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 2 Pedoman Pencegahan Pelecehan Di Tempat Kerja, www. betterwork.org/indonesia, diakses pada 3 Maret 2022 pukul 16.20. Apakah #SobatBKN pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan berupa pelecehan atau perundungan baik yang mengarah ke seksualitas atau bentuk lainnya? Bila pernah, apakah pelecehan tersebut terjadi di Instansi dimana #SobatBKN bekerja? Bila ya, hal itu sudah termasuk red fl ags dan #SobatBKN harus cek lebih lanjut 10 Dos and Donts di bawah ini:
DON’TS
1. Tutup Mata dan Bodo Amat Pelecehan, intimidasi, dan diskriminasi adalah tanggung jawab bersama semua pihak. Tidak hanya
Instansi wajib memasang ekstra mata dan telinga untuk mendeteksi potensi terjadinya pelecehan dan diskriminasi, semua pihak termasuk sesama ASN tidak boleh tutup mata dan bersikap bodo amat dengan lingkungannya. 2. Victim Blaming Hindari pertanyaan yang bersifat investigatif dan membuat korban atau penyintas merasa apa yang terjadi adalah kesalahan mereka, seperti menanyakan pakaian yang dikenakan, apakah saat kejadian sedang minum alcohol, mengapa berada di lokasi dan waktu kejadian, dsb. Level trauma seseorang bisa jadi berbeda sehingga jangan menambah beban pikiran korban. Ingatkan bahwa yang bertanggungjawab atas kekerasan tersebut adalah pelaku, bukan dirinya. 3. Menyelesaikan Semua Masalah Secara
Kekeluargaan
Instansi harus memiliki komitmen dan regulasi yang tegas terhadap cara penanganan dan pencegahan pelecehan seksual dan diskriminasi. Pelecehan adalah sebuah bentuk tindak kriminal dan butuh penyelesaian sesuai prosedur melibatkan pihak yang mungkin terkait seperti kepolisian, sehingga menyelesaikan semua kejadian secara kekeluargaan bukan solusi. 4. Merasa Takut dan Malu Pelecehan dan intimidasi adalah hal yang salah, terlebih bila dilakukan di lingkungan kerja yang seharusnya mengedepankan prinsip profesionalitas.
Oleh karenanya, menjadi korban tidak mebuat diri #SobatBKN hina. Segera laporkan kejadian ke otoritas yang ada, baik berupa Satgas yang dibentuk oleh Instansi maupun melalui kanal pelaporan lainnya seperti Whistle Blowing System (WBS) dan e-LAPOR. Jangan segan untuk mencari bantuan profesional seperti Psikolog dan Psikiater bila dibutuhkan. 5. Memiliki Prosedur yang Terbatas Melakukan upaya preventif dan represif terhadap tindak pelecehan seksual dan diskriminasi adalah kewajiban Instansi dalam upaya melindungi dan menjamin rasa aman bagi setiap ASNnya. Regulasi internal seperti Surat Edaran atau Imbauan saja tidak cukup untuk menangani hal ini, sehingga dibutuhkan prosedur yang terstandardisasi. Mekanisme tersebut juga agar melibatkan pihak-pihak yang mungkin terkait, seperti Kepolisian, Mediator, Psikolog, dsb.
DOS

1. Mengubah Kultur, Meningkatkan Pemahaman
Hal paling mendasar yang dibutuhkan dalam upaya pencegahan pelecehan seksual dan diskriminasi di lingkungan kerja adalah perubahan budaya. Satusatunya hal yang dapat merevolusi hal ini adalah paparan pengetahuan yang terus menerus. Tidak dipungkiri ada banyak orang yang masih menganggap pelecehan sebagai hal yang tabu bahkan tidak penting, oleh karenanya Instansi wajib menyediakan sarana edukasi yang dilakukan secara massif untuk membangun kultur baru yakni saling menghargai satu sama lain dan komitmen untuk tidak menjadi pelaku / korban pelecehan. Jangan lupa, selain itu memberikan pelatihan-pelatihan self defense dasar bagi pegawai agar dapat melindungi diri bila terjadi hal buruk adalah ide yang brilian. 2. Menyusun SOP Penanganan, Perlindungan, dan
Pemulihan
Prosedur yang terstandardisasi adalah hal mutlak yang harus disediakan oleh Instansi dalam upaya membangun lingkungan kerja yang aman dan bebas pelecehan / diskriminasi. SOP perlu dibangun dengan melibatkan pakar terkait seperti UPT Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Pemerintah Kabupaten/
Kota/Provinsi setempat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Psikolog, dsb. Prosedur yang disusun harus meliputi unsur: tata kelola penanganan kejadian secara administratif, misalnya pembentukan
Satgas dan alur pelaporan secara internal; tata cara perlindungan terhadap saksi dan korban, misalnya mekanisme investigasi yang dilakukan secara terpisah; dan mengedepankan aspek pemulihan korban baik fi sik maupun mental, misalnya dengan menyediakan layanan konseling. 3. Membuang Jauh-Jauh Budaya “Tidak Enak” Tidak dipungkiri budaya “tidak enakan” dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Namun hal ini tidak tepat diterapkan dalam pencegahan dan penghapusan pelecehan seksual di lingkungan kerja.
Memiliki komitmen artinya berani untuk berkata tidak dan membuang jauh-jauh aspek lain yang dapat mengintrusi upaya untuk menegakkan prosedur yang ada, seperti: pelaku adalah pejabat; pelaku adalah pegawai senior; khawatir dengan citra organisasi; dsb. 4. Komitmen Pimpinan dan Instansi Seluruh upaya yang dilakukan bersama oleh Instansi dan ASNnya tidak akan berarti bila pimpinan dan organisasi tidak memiliki komitmen yang jelas dan tegas. Upaya preventif dan represif bisa saja manis di atas kertas, namun dalam implementasi pimpinan akan diuji komitmennya untuk menjalankan prosedur dan ketentuan yang ada terlepas dari siapa yang menjadi pelaku dan bagaimana kondisi di lapangan.
Jadi pastikan pimpinan #SobatBKN berkomitmen untuk menjalankan hal ini ya! 5. Respek, Respek, dan Respek Hal terakhir dan terpenting yang harus #SobatBKN dan seluruh pihak miliki adalah respek. Respek terhadap korban sebagai individu, respek terhadap pilihan korban untuk melapor atau tidak melapor ke pihak berwajib, respek terhadap privasi korban dan tidak menjadikan musibah yang menimpanya sebagai bahan gibah apalagi olok-olok.
Disarikan dari:
- Pedoman Pencegahan Pelecehan Di Tempat Kerja, www.betterwork.org/indonesia, diakses pada 3 Maret 2022 pukul 16.20. - Guide on Prevetion of Sexual Harassment in the
Workplace, Women Watch China, 2010.
Penulis: (dr)