MIQOT NO. XXXVI NO. 2 Juli-Desember 2012

Page 1


MIQOT

Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Daftar Isi

Al-Qur’an dan Pluralitas: Membangun Kehidupan Masyarakat yang Majemuk Abd. Rahman I. Marasabessy

225-241

Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah H. A. Kadir Sobur

242-261

Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Masdar Hilmy

262-281

Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh Ridwan Hasan

282-298

Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Malaysia: A Study on the Leadership of Haji Ishaq bin Muhammad Arif Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.

299-319

Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia Muhammad Hatta

320-341

Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer: Pendekatan Strukturalisme Al Husaini M. Daud

342-363

Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam dalam Kurikulum Madrasah Aliyah Masa Orde Baru Maftuhah

364-387

Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami Lahmuddin

388-408


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Analisis SWOT Dakwah di Indonesia: Upaya Merumuskan Peta Dakwah Abdullah

409-426

Historiografi Islam: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf Ajid Thohir

427-451


AL-QUR’AN DAN PLURALITAS: Membangun Kehidupan Masyarakat yang Majemuk Abd. Rahman I. Marasabessy Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate Jl. Lumba-Lumba Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate, Maluku Utara, 97727 e-mail: abdurman@rocketmail.com

Abstrak: Tulisan ini mengkaji konsep pluralisme agama sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Semua agama-agama di dunia pada waktu tertentu telah takluk kepada tekanan sekuler dan menundukkan pesan moral-spiritual utama di bawah ambisi politis dan interest komunitas khusus mereka. Al-Qur’an menginformasikan bahwa pluralisme agama merupakan sesuatu yang alami (sunnah Allâh), dan manusia diciptakan dalam pluralitas, bahkan jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, sekalipun secara faktual tidak demikian. Penulis menemukan bahwa pluralisme agama dalam al-Qur’an, bukan saja untuk memberikan kahidupan yang layak intern umat Islam, tetapi lebih dari itu memberikan semangat hidup berdampingan dengan umat lainnya, baik dalam kehidupan keagamaan, kebangsaan, dan kehidupan antar bangsa. Abstract: Al-Qur’an and Plurality: Building Heterogeneous Social Lives. This article studies the pluralism related concepts according to the verses of the Qur’an. All the world religions at a certain time had overruled by secular pressure and had controlled the fundamentals of moral-spiritual message for the sake of the political ambition and interest of their certain communities. The Qur’an informs that religious pluralism is something natural, and humankind is created in plurality, and even if God so Will, He should have created man in a single community, although this is contrary to the fact. The author finds that pluralism according to the Qur’an, does not only cater the proper Muslim lives internally, but, above all, also provide for the spirit of living together with other community both in matters of religious, national and international lives.

Kata Kunci: pluralitas, al-Qur’an, masyarakat majemuk

Pendahuluan Agama memiliki peran yang sangat strategis dalam mempertahankan posisi manusia supaya tidak jatuh ke tingkat yang lebih rendah sesuai dengan fitrah manusia 225


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 potensial dan energik luar biasa yang memungkinkan dikembangkan atau menjadi sesuatu yang tidak berarti bagi manusia itu sendiri. Kehidupan manusia pada era globalisasi dan teknologi informasi modern yang semakin maju dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bahkan batas-batas wilayah, maka manusia dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru seperti bebas mengeluarkan pendapat, keterbukaan dan demokratisasi. Hal tersebut membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah ditakdirkan hidup dalam suatu bangsa yang masyarakatnya dapat dikatakan sangat pluralistik,1 bahkan di kalangan bangsa-bangsa lain dinilai sebagai keunikan dan penanganannya pun memerlukan keunikan. Pandangan lain dikatakan bahwa pluralisme bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Sebab dalam kenyataan tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, tanpa ada perbedaan di dalamnya. Kemajemukan sebagai suatu realitas alami yang dalam bahasa agama disebut sunnah Allâh,2 tetapi apapun namanya, manusia dalam perkembangannya tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan pergaulan yang dimungkinkan untuk terjadinya pengaruh, sehingga dapat dilihat manusia telah tererosi oleh perkembangan pemikiran dan kebudayaan, atas nama memenuhi kebutuhan hidup manusia, sebagaimana telah diperingatkan oleh Allah SWT. bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia.3 Pluralisme tidak hanya semata menunjuk kepada kenyataan adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan. Dalam tiga dekade terakhir, agama muncul sebagai sumber penting imperatif moral yang diperlukan untuk memelihara kohesi sosial. Komitmen religius tidak sekedar memobilisasi rasa amarah rakyat dalam melawan kekuatan otokratis negara, melainkan juga memainkan peranan konstruktif dalam pembangunan bangsa dan rekonsiliasi nasional. 4 Pluralisme agama dapat dijumpai di mana-mana, baik di tingkat regional, nasional terlebih dalam pergaulan internasional, yang dapat dilihat di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, perkantoran tempat bekerja, dan di sekolah tempat belajar. Setiap pemeluk agama dituntut untuk

Masyarakat Indonesia biasa diidentifikasi sebagai masyarakat majemuk (plural) dalam kenyataan tidak jarang terselip kesan, seolah-olah kemajemukan masyarakat adalah suatu keunikan di kalangan masyarakat lain. Karena keunikannya, maka masyarakat memerlukan perlakuan yang unik pula yaitu, perlakuan berdasarkan paham kemajemukan pluralisme. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 159. 2 Nurcholish Madjid berpandangan bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari, karena barangsiapa yang mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tiada berkesudahan. Lihat, M. Quraish Shihab, et al. Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 66. 3 Q.S. al-Rûm/30: 41 1

               

Abdulaziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, terj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 17. 4

226


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

tidak saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga berusaha mengalami dan memahami perbedaan dan persamaan untuk terciptanya kerukunan dalam kebinekaan. Hal ini sebagaimana digambarkan al-Qur’ân:

                  ... ...   

Tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya umat yang satu, tetapi Allah hendak menguji terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan(Q.S. alMâ‘idah/5: 48).

Pengertian Pluralisme Pluralisme berasal dari kata ‘plural’ yang bermakna banyak, lebih dari satu ‘pluralis’ bersifat jamak. Pluralisme sebagai hal yang menyatakan jamak atau tidak satu, seperti dapat dikatakan pluralisme kebudayaan bermakna sebagai kebudayaan yang berbedabeda di suatu masyarakat.5 Pluralisme adalah ajaran bahwa kenyataan berdasarkan asas masing-masing kelompok tidak berhubungan satu dengan yang lain, bahwa kenyataan (realitas) terdiri dari berbagai unsur dasar yang masing-masing berlainan tampak pada lahirnya, tetapi bila dikaji lebih mendalam tidak berbeda secara hakikat dan esensi pada satu satu kelompok dengan kelompok yang lain. Penganut pluralisme yang terkenal antara lain Leibniz.6 Dalam Encyclopedia Americana disebutkan: Pluralism: Ploor al-iz’m, in Philosophy. The view that the world consists of many beings, It is genarally contrasted with monism in which things all manifest just one substance or principle, and to dualism in which they manifest just twoo. The plurality which it emphasizes may bi the numerical distinectness of individuals-physical atoms, as in ancient materialism, and the extreme realism of Johanan Fried rich Hubart (1776-1841) Spiritual Units, as in the monadism of Gottfried Wilhelm Leibnez (1645-1716) and the more recent personal idealism or event and processes, in William James (1842-1910) and Alfred North White head (1863-1947). But its emphasis also may bi on differences in some ancient pluralism-that of Anaxagoras (500?-428 B.c) for instance, in the philosophy of William James; and in most modern naturalisms. The latter form of pluralism specially asserts the reality of the individual, of change and for canflict and for progress. Atomism and monadism are Sometism.7 Istilah pluralisme merupakan salah satu kata ringkas untuk menyebut satu tatanan

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 691. Ensiklopedi Indonesia, Vol. V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984), h. 2727. 7 Encyclopedia Americana, Jilid XXII (Philippines: Copy right, 1972), h. 258-259. 5 6

227


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dunia baru di mana perbedaan budaya, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai membangkitkan bergairahnya pelbagai ungkapan manusia yang tidak kunjung habis sekaligus mengilhami konflik yang tidak terdamaikan. Menyebut kata pluralisme telah menjadi semacam panggilan untuk hari raya, suatu seruan untuk warga negara dunia untuk berdamai dengan perbedaan mereka yang memusingkan. Konflik abadi antara Kristen dan Muslim, Hindu dan Sikh, Tamil dan Buddha, dan kekejaman terhadap warga negara tidak berdosa, semuanya mendesak adanya imperatif moral yang mengakui martabat kemanusiaan orang lain tanpa memandang agama, suku, dan afiliasi kulturalnya.8 Filsafat Pluralisme adalah ajaran yang menekankan pada kenyataan berdasarkan berbagai asas masing-masing, tidak berhubungan yang satu dengan yang lain, bahwa kenyataan (realitas) terdiri dari berbagai unsur dasar, masing-masing berlainan hakikat pada yang satu dengan yang lain. Dalam ilmu negara dinyatakan bahwa kekuasaan pemerintah di suatu negara harus dibagi-bagikan antara berbagai golongan karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Tokoh terkemuka teori ini adalah Harold J. Leski, A. D. Lisdsay dan Lion Dugnet.9 Pengertian pluralisme secara operasional dapat dinyatakan sebagai berikut. Pertama. Pluralism tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dapat dijumpai di mana-mana. Pluralisme agama menuntut pada setiap pemeluk agama mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi berusaha memahami persamaan dan perbedaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan yang sungguh-sungguh. Bahwa pluralisme harus dapat terpahami oleh masyarakat dunia, sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam pergaulan manusia. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, karena kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realitas di mana aneka ragama agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.10 Ketiga, pluralisme tidak bisa disamakan dengan relativisme. Karena seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai tertentu oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Hanya saja kebenarannya relatif. Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivisme, suatu prinsip yang Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman, h. 48. Ensiklopedi Indonesia, h. 2727. 10 Dapat dicontohkan kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan, di kota ini terdapat komunitas Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk, khususnya di bidang agama begitu baik. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 2001), h. 41. 8 9

228


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara berbagai klaim kebenaran agama dalam masyarakat yang heterogen secara kultural dan religius. Inklusivitas semacam itu bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. 11 Kebenaran agama-agama walaupun berbeda dan bertentangan satu sama lainnya, tetapi harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan mengenal apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Tidak dapat dimungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran kepada pihak lain. Paling tidak seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain.12 Berusaha untuk merendahkan selainnya, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip pluralisme. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Pluralisme bermakna menyatakan jamak sedangkan agama bermakna kepercayaan kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa dan pencipta seluruh alam raya. Agama yang benar di Sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap pasrah dan tulus kepada-Nya.13 Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah apakah semua agama samawi, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pluralitas dalam al-Qur’an Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam diyakini sebagai sumber ajaran sekaligus pedoman hidup bagi setiap Muslim dalam melakukan berbagai aktifitas, baik ibadah kepada Allah SWT. maupun hubungan sesama manusia yang menjadi inti diwahyukannya alQur’an kepada Nabi Muhammad SAW. untuk melanjutkan ajaran para nabi sebelumnya, mengatur hubungan yang saling menghargai dan menerima sesama umat manusia penghuni bumi, bahkan seluruh makhluk ciptaan Tuhan yang juga bagian dari penghuni bumi. AlQur’an dapat memberikan cahaya bagi yang membaca, menelaah dan mengamalkannya.

Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman, h. 49. Syihab, Islam Inklusif, h. 42. 13 Pasrah kepada Tuhan adalah sikap batin yang sifatnya perorangan, maka dari sudut kenyataan hanyalah yang bersangkutan sajalah selain Tuhan yang benar-benar mengetahui apakah ia secara sejati pasrah kepada Tuhan atau tidak. Pandangan dasar ini menjadi salah satu landasan bahwa agama yang benar tidak mengakui adanya pelimpahan beban seseorang pribadi manusia kepada seorang pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Sebaliknya, agama yang benar menegaskan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 345. 11 12

229


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Persoalan yang dihadapi oleh manusia mengungkap makna al-Qur’an adalah hermeneutika.14

         

Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Baqarah/2: 66) Ayat tersebut mengingatkan manusia agar taat kepada Allah dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan kepada umat manusia lewat kitab suci yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Supaya manusia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan senantiasa berusaha menjadi orang–orang yang bertakwa. Kata mau’izhah (nasehat), yaitu sebagai petunjuk peringatan yang melembutkan hati sehingga orang kembali sadar dari perbuatannya yang salah.15 Kata ini disebut 9 kali dalam al-Qur’an, di antaranya dapat dilihat pada Q.S. Yûnus/10: 57, Q.S. Hûd/11: 120 dan Q.S. al-Nûr/24: 34. Kendati al-Qur’an, pada dasarnya adalah kitab keagamaan, namun pembicaraanpembicaraannya dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang-bidang keagamaan semata, tetapi meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Pembahasan al-Qur’an terhadap berbagai aspek atau masalah tidak tersusun secara sistematis, sebagaimana layaknya sebuah buku ilmiyah, al-Qur’an jarang menginformasikan suatu masalah secara rinci, tetapi cenderung parsial dan global, lebih pada prinsip-prinsip pokok. Hal tersebut tidak mengurangi nilai al-Qur’an, justru di sanalah letak keunikan sekaligus keistimewaannya. Dengan demikian, al-Qur’an menjadi obyek kajian yang tidak pernah kering dari para ilmuan Muslim maupun non Muslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan sampai kini.16 Al-Qurthûbî meriwayatkan pendapat-pendapat seperti ini adalah pendapat umum, ia juga mengemukakan pendapat Ibn al-‘Arabî yang melihat dari sudut teologis dengan Hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Ini melibatkan aturan metodologis yang diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi-asumsi epistimologis tentang pemahaman. Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan membawa persoalan dan harapan sendiri, dan adalah masuk akal untuk menuntut penafsir menyisihkan subjektivitas dirinya dan menafsirkan suatu teks tanpa pemahaman dan pertanyaan awal yang dimunculkannya. Lihat Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 83. 15 Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur’ân Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1999), h. 264. 16 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’ân: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5. 14

230


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

mengaitkan konsep tersebut pada sifat-sifat ketuhanan.17 Pendapat yang lain dikemukakan oleh al-‘Aqqâd. Ia mengaitkan ayat tersebut dengan bentuk lahiriah manusia, kemampuan berkehendak dan berbuat, serta keindahan dan kecerdasannya.18 Penjelasan yang telah dikemukakan di atas memberi pemahaman bahwa manusia memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain, baik fisik maupun kemampuan intelektual yang dimiliki, memberi kemampuan manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Harus didukung dengan prinsip manusia diciptakan dengan memperoleh kemuliaan dan keutamaan dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Secara eksplisit, ayat di atas mengungkapkan bahwa manusia telah diberi kemuliaan (karâmah) dan diciptakan dengan kodrat melebihi makhluk lainnya. Selain itu juga menegaskan karunia Tuhan berupa kemampuan mengarungi lautan dan daratan dan dijadikannya segala yang baik sebagai rezeki bagi manusia.19 Dengan begitu, manusia harus dapat bekerjasama untuk menciptakan kedamaian dalam hidup bersama, antara umat manusia. Kehidupan manusia pada era globalisasi dan teknologi informasi modern yang semakin maju dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bahkan batas-batas wilayah, maka manusia dihadapkan pada serangkaian tantangan baru seperti bebas mengeluarkan pendapat, keterbukaan dan demokratisasi. Hal tersebut membuktikan bahwa kita telah ditakdirkan hidup dalam suatu bangsa yang masyarakatnya dapat dikatakan sangat pluralistik, bahkan di kalangan bangsa-bangsa lain dinilai sebagai keunikan, penanganannya pun memerlukan keunikan. Pandangan lain dikatakan bahwa pluralisme bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Sebab dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, tanpa ada perbedaan di dalamnya. Kemajemukan sebagai suatu realitas alami, atau dalam bahasa agama disebut sunnah Allâh, tetapi apapun namanya manusia dalam perkembangannya tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan pergaulan yang dimungkinkan untuk terjadinya pengaruh, sehingga dapat dilihat manusia telah tererosi oleh perkembangan pemikiran dan kebudayaan, atas nama memenuhi kebutuhan hidup manusia, sebagaimana telah diperingatkan Allah SWT. bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia. Ketika menjelaskan kata ً‫َاﺣ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﺪة‬ ِ ‫ أُﱠﻣ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺔً و‬mufassir banyak menghubungkan dengan penjelasan terhadap surah Yûnus/10: 19, bahwa manusia pada dasarnya hanya satu umat dalam kepercayaan tauhid, tetapi setelah itu tidak lagi demikian, karena mereka berselisih.20 Mereka sejak dahulu hingga kini baru dapat hidup jika bantu-membantu Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid XX (Mesir: Dâr al-Kâtib al-‘Arabiy, 1967), h. 114. 18 ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, Al-Insân fî al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Hilâl, t.t.). h. 15. 19 ‘Abd al-Muin Salim, Fitrah Manusia dalam al-Qur’an (Makassar: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990), h. 24. 20 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 17

231


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 sebagai satu umat, yaitu kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan.21 Karenanya manusia harus berlomba-lomba berbuat kebajikan, sebagai tanggung jawab kepada Allah SWT. Para mufasir Muslim berbeda pendapat mengenai kapan manusia itu pernah mmenjadi umat yang satu. Apakah yang dimaksud umat yang hidup dalam zaman antara Nabi Adam as., dan Nabi Nuh as.? Karena tidak ada indikasi dalam al-Qur’an dan sunnah mengenai waktu bersatunya umat. 22 Sebagaimana juga disebutkan pada ayat al-Qur’an:

                

 

Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (Q.S. Yûnus/10: 19). Pada ayat tersebut, mufasir memahami kata ‫ ﻓَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ْﺧﺘَـﻠَﻔُﻮا‬perbedaan manusia pada 1) perbedaan menyembah Allah SWT. dan menyembah berhala. 2) perbedaan perselisihan pertama antara manusia terjadi dalam kasus kedua putra Adam as. Hâbil dan Qâbil yang membawa pertumpahan darah.23 Tetapi, cenderung pada perbedaan pada menyembah Allah SWT. dan yang menyembah berhala, atau mukmin dan kafir. Vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 425, perlu diketahui lebih sungguh-sungguh lagi dalam menghayati tanggung jawab mondial atau prinsip kemanusiaan bersama “satu dunia untuk semua,” sehingga keterpecahan hampir menjadi kendala terbesar yang siap menghadang tugas untuk menciptakan era baru bagi sistem dunia yang benar-benar beradab. Dunia yang bergerak serempak menuju tatanan yang saling menghormati dan melindungi, saling membantu dan mendukung, guna terbentuknya “komonitas internasional” yang beradab, adalah dunia yang dirindukan bersama. Said Agil Husein al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 372. 21 Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I, h. 425. Kesatuan agama para nabi dan rasul itu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, adalah karena semua berasal dari pesan atau ajaran Allah (QS. alSyûrâ/42: 13). Jadi, sudah seharusnya dihormati keberadaan agama-agama itu tanpa membedabedakannya. Justru perasaan berat untuk bersatu dalam agama itu disebutkan sebagai sikap kaum musyrik, penyembah berhala, sedangkan perbedaan antar berbagai agama itu hanyalah dalam bentuk-bentuk jalan (syir‘ah atau syariah) dan cara (manhaj) menempuh jalan itu. Tetapi menjadi pangkal berlomba-lomba menuju kebaikan. Manusia tidak perlu mempersoalkan perbedaan itu. Nurcholish Madjid, Fat Soen (Jakarta: Republika, 2002 M), h. 77. 22 Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman, h. 50. 23 Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. VI, h. 44, sementara tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah atau mengembangkan potensi-potensinya sesuai dengan perintah Allah dengan kemauannya sendiri dan untuk memanfaatkan alam (yang secara otomatis adalah Muslim atau tunduk kepada Allah), ia pun harus mempunyai cara-cara yang memadai untuk memperoleh nafkah dan untuk “menemukan jalan yang benar”. Jadi, Tuhan, yang di dalam kelimpahan kasihNya menciptakan alam dan menusia, di dalam kasih-Nya yang tiada berkeputusan itu telah memberikan

232


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

Kenyataan menunjukkan perbedaan pendapat terkadang meruncing sampai pada titik terendah, yaitu terjadinya konflik horizontal antara umat beragama, saling membantai, menjarah dan membakar apa saja yang ditemukan, tidak terkecuali rumah ibadah sekalipun.24 Semua itu dilakukan dengan alasan mempertahankan umat masing-masing. Lebih memprihatinkan lagi adalah ajaran suci yang diyakini setiap umat beragama, sebagai nilai yang dapat memberikan kesejahteraan dan kedamaian umat manusia, telah disalahpahami, bahkan telah ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap pendirin sikap dan kelakuan umat beragama. Lihatlah konflik yang terjadi di berbagai daerah khususnya di Maluku, setiap kelompok agama dengan simbol-simbol agama dimanfaatkan untuk menyemangati umatnya masing-masing, mendorong semangat setiap umat untuk melakukan penyerangan, pembantaian bahkan penghancuran apa saja yang ditemuinya, anak-anak, wanita dan orang tua yang tidak berdaya pun harus menjadi korban dari perilaku yang tidak lagi menghargai hak hidup setiap manusia. Sebuah contoh yang tentunya tidak perlu menjadi contoh bagi generasi mendatang, baik di daerah Maluku bahkan di mana pun di bumi ini. Saling menghargai dan melindungi bagi segenap manusia harus ditonjolkan, menjadikan bumi tempat yang damai bagi setiap manusia, bahkan makhluk hidup lainnya. Al-Qur’an mengakui pluralitas dalam kehidupan manusia dan pluralitas syariat di bawah kesatuan agama yang satu. Al-Qur’an mengisyaratkan perbedaan syariat itu untuk mendapatkan keselamatan dengan prinsip-prinsip, 1) Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Keimanan akan hari akhirat, pembangkitan, hisab dan pembalasan amal baik dan buruk, dan 3) Beramal saleh dalam kehidupan dunia.25 Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an:

             

          

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orangorang Shâbi’în, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukannya untuk memperoleh pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk menyadari tujuan hidup sesungguhnya. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996 M), h. 13. 24 Dapat diamati konflik Maluku, menyebabkan konflik yang sangat multi dimensional sehingga konflik relatif sulit diselesaikan akibat konflik begitu lama yang menyebabkan korban besar, baik korban nyawa maupun harta benda, menyebabkan terjadinya pengungsian besar di tempat yang dianggap aman yang menimbulkan dendam antara dua komunitas yang berhadapan di Maluku dan menjadikan simbol-simbol agama sebagai pemicunya. Lihat Suaidi Marasabessy (ed.), Maluku Baru Satu wujud Ideal Masyarakat Maluku Pasca Konflik (Jakarta: Abadi, 2002), h. 165. 25 Muhammad ‘Imarah, Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyi al-Qattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 15.

233


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah/ 2: 62). Inti ajaran agama yang disampaikan kepada manusia adalah beriman kepada Allah SWT., walaupun kenyataan manusia berbeda-beda dalam agama-agama yang dibawa oleh para nabi utusan Allah SWT. bagaimana membuat manusia beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang ada di sekelilingnya bahkan mengubah fakta-fakta menjadi sesuatu yang lebih mendekatkan manusia kepada Allah SWT. untuk mendapatkan kedamaian dan keselamatan, baik dunia dalam hubungan manusia sesama, maupun di akhirat sebagai tanggungjawab yang dijalaninya. Pada ayat yang lain seperti dinyatakan dalam ayat:

                    

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. al-Mâ’idah/5: 69). Ayat-ayat di atas telah memberi pemahaman bahwa Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang senantiasa membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang sadar akan kesalahan dan mau memperbaiki diri tentang keimanan dan amal saleh. 26 Bahkan mereka menyatakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali kelompok beriman: Islam, Yahudi dan Nasrani.27 Dengan ketentuan beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh. Sebagaimana juga dinyatakan dalam al-Qur’an:

            

          

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shâbi’în, orangorang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. al-Hajj/22: 17).

Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î, al-Mîzan fî Tafsîr al-Qur’ân, Jilid I (Beirut: alMujillah, 1991 M), h. 192 27 Ibid. 26

234


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

Ketiga ayat tersebut di atas satu sama lain saling mendukung, dan pada dasarnya memiliki penafsiran yang secara substansial sama, walaupun tampak ada perbedaan. Bahwa kehidupan pluralitas dan saling menghargai sesama telah merupakan pengakuan al-Qur’an. Walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa dalam memahami ayat-ayat tertentu cenderung anti pluralisme. Suatu realitas masyarakat hari ini, tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan ada sebuah perubahan ketika sumberdaya manusia telah tertangani dengan baik, akan melahirkan suatu kondisi hidup yang lebih menghargai martabat dan kesempatan hidup bagi setiap manusia. Al-Qur’an menyebutkan agama-agama selain Islam28 seperti Yahudi dan Nasrani. Hal itu menandakan adanya pengakuan pluralisme agama. Dari pandangan tersebut, maka melalui kajian ini akan dirumuskan dengan jalan mengadakan pelacakan terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan makna pluralisme agama. Karena mereka berbeda, maka Allah menciptakan manusia.29 Al-Gazâlî menyatakan bahwa bagaimana manusia dapat bersatu untuk mendengarkan yang satu saja, manusia telah ditetapkan pada masa azali bahwa manusia akan terus berbeda-beda, kecuali orang-orang yang dikasihi Allah SWT. dan karena berbeda-beda itu pula manusia diciptakan. 30 Jika pluralisme agama merupakan faktor yang membuahkan perbedaan, maka makna dari teks al-Qur’an perlu dipahami lebih dalam lagi. 31 Faktor kesatuan kemanusiaan menjadi sesuatu yang mengikat manusia, karena ada kemungkinan berbeda-beda karena latar belakang kelahiran, tetapi tidak berbeda dalam batin.

Mengapa Pluralisme Agama Sebagaimana telah dikemukakan, pluralisme berasal dari kata ‘plural’ yang bermakna ‘banyak’ atau ‘lebih dari satu.’ Dengan demikian, pluralisme berarti menyatakan hal yang

Hakikat sikap al-Qur’an ketika pluralitas menjadi kemajemukan dalam kerangka kesatuan adalah sunnah Allah, telah difitrahkan bagi sekalian manusia. Allah menjadikan berbeda-beda dalam bentuk fisik, pemikiran dan amal mereka, setiap jari yang berbeda-beda dalam kerangka kesatuan manusia. Karena mereka berbeda, maka Allah menciptakan mereka. Lihat Tantawi Jauhari, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 33-34. 29 Al-Qurthubî, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid IX, h. 115. 30 Imarah, Islam dan Pluralitas, h. 35. 31 Sudah menjadi karakteristik al-Qur’an dalam membicarakan obyek tertentu, yakni banyak membicarakan secara global. Ada yang berkaitan dengan perbedaan obyek dalam satu tempat (ayat atau surah) dan ada yang tampak tidak runtut. Karena itu, Shihab menyatakan alQur’an tidak bisa disamakan dengan kitab-kitab yang disusun secara sistimatis menurut penilaian metode ilmiah. Tidak sistimatisnya pembicaraan al-Qur’an, memberikan kesan bahwa ajaranajaran dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara yang satu dengan yang lainnya. Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 34. 28

235


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 banyak atau lebih dari satu.32 Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin, bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jama’).33 Dalam the Oxford English Dictionary disebutkan, pluralisme dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolistis. Sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk semua unsur utama yang mewakili individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama oleh setiap kelompok. Kedua, keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompokkelompok kultural dalam suatu masyarakat dan negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan lainnya harus terakomodasi dalam dinamika sosial.34 Karena manusia diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi satu dengan lainnya, termasuk dalam umat berbeda pandangan dan bahkan berbeda agama. Mengenai pluralisme dalam tradisi Islam, yang dimaksud menunjuk kepada wahyu agama Ibrahimi termuda ini sebenarnya bisa mengungkapkan diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tetapi tidak pernah menolaknya atau menganggapnya salah. Malah, ruang spiritual al-Qur’an sebagaimana akan ditunjuk, juga dimiliki oleh agama monoteistik lainnya. Tugas utama yang dihadapi oleh umat Islam awal adalah melindungi identitas anggotanya dalam pandangan teosentris (berpusat pada Tuhan) yang juga dimiliki oleh tradisi lain. 35 Tanja menulis bahwa kitab suci Kristen secara keseluruhan banyak sekali berkatakata tentang etnisitas dan religiositas yang menempatkan kedua istilah itu dalam pengertian yang saling berkaitan. Dalam Perjanjian Lama, umpamanya, ada istilah Goyyim yang berarti bangsa-bangsa yang bukan bangsa Israel yang dikatakan sebagai am Yahweh (bangsa pilihan Allah). Bangsa-bangsa ini mempunyai agama masing-masing. Namun, karena agama mereka hanya untuk agama mereka saja, maka mereka disebut sebagai bangsa kafir. Jadi,

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 435. Encyclopedia Americana, Jilid XXII, h. 258. 34 Di berbagai belahan dunia, toleransi merupakan kata kunci yang senantiasa menjadi isu yang perlu mendapat perhatian, tetapi dalam realitas masyarakat, hubungan ras dan agama masih belum terselesaikan, bahkan pada kawasan tertentu hal ini semakin meningkat intensitas konflik bahkan peperangan. 35 Apakah harapan adanya keberagamaan pluralis, harapan adanya satu pengakuan terhadap perbedaan spiritual merupakan konsekuensi tidak disengaja dari terus meningkatnya kesalingtergantungan ekonomi dan teknologi, yang juga kaum lain menjadi semakin terbuka dan mendekat?. Atau apakah harapan akan adanya rekonsiliasi ini bagian warisan manusia yang sudah mendarah-daging (long-germinating), suatu warisan yang diawetkan dalam wacana religius klasik yang harus berurusan dengan berbagai klaim bertentangan mengenai hak eksklusif penyelamatan, baik dalam konteks sesama umat beragama sama?. Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman, h. 49-50. 32 33

236


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

dalam konteks pengertian ini, bangsa kafir bukanlah bangsa yang tidak beragama. Mereka beragama, tetapi bagi bangsa mereka saja dan bukan bangsa lain.36 Sejak lahirnya ajaran Leibniz yang ketika mempertanyakan tentang fisika. Aada berapa substansi itu? Ia menjawab ‘banyak’. Jawaban inilah yang menjadikan Leibniz seorang pluralis.37 Ajaran Herbart tentang banyak hal yang terjadi dalam diri sendiri, dan teori James tentang Pragmatisme,38 dan dalam pendekaan sosiologis pluralisme dapat dipahami sebagai sistem nasional dalam suatu negara yang hidup sebagai kelompok etnis, agama, kultural, status sosial. Dengan demikian, pluralisme dapat dipahami dan diidentifikasi dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban39 masing-masing kelompok, dalam berbagai bentuk strata sosial, agar dapat berperan sebagaimana yang dapat mereka laksanakan dalam bentuk kewajiban dan tanggung jawab bersama sebagai makhluk Tuhan. Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural dan meyakini bahwa setiap pihak berada dalam posisi yang sama secara positif. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang lebih unggul dari kelompok lain dalam berbagai hal. Sebagai warga masyarakat mereka mempunyai hak, kedudukan, kewajiban dan tanggungjawab yang sama. Perbedaan tidak dipahami sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu kelompok. Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka dan adil. Karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat, bahwa dalam kehidupan masyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas. Keempat, Victor I. Tanja, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidaya, 1998), h. 75. 37 Nama lengkap Leibniz adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz, lahir pada tahun 1656 dan meninggal pada tahun 1716, filosof, matematikawan, fisikawan dan sejarawan. Ia menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, dan pembantu pejabat tinggi negara. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), h. 122. 38 William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. Lebih dari itu, ia merupakan orang Amerika pertama yang memberikan kontribusi kedalam gelombang dahsyat pemikiran filsafat di dunia Barat, karena terbit bukunya Pragmatisme (1907) dan The Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatisme meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat abad ke-20, ia telah mengubah pragmatisme menjadi filsafat hidup, Filsafat pada dasarnya merupakan filsapat untuk bertindak. Ibid., h. 167. 39 Hak dan kewajiban dimaksudkan, semua warga negara, sebagai individu dan sebagai anggota dari kelompok dan lembaga yang berbeda, harus menerima kewajiban untuk mengenali dan membantu melindungi hak orang lain. Hak harus disertai tanggung jawab, kecenderungan untuk menegaskan hak dengan melupakan tanggung jawab menimbulkan akibat yang mengganggu. Dalam jangka panjang, hak hanya dapat dilindungi jika dilaksanakan secara bertanggung jawab dan menghormati orang lain. Komisi Pemerintahan Global, Kerukunan Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 70. 36

237


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Perbedaan menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan masyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak dan obyektif. Kelima, pluralisme menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dari kesadaran bahwa pluralisme merupakan menifestasi jati diri manusia. Pluralisme diibaratkan mozaik dan tata warna yang indah dalam sebuah lukisan atau kelompok paduan suara secara bersama menyanyikan sebuah lagu dalam bentuk simponi yang indah didengar dan dipandang. Begitu pula pluralisme agama, yang kalau dapat dirinci sesuai dengan yang disebutkan di dalam al-Qur’an adalah, orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Shâbi’in, orang-orang Majusi dan orang-orang Musyrik. Hidup bersama menghuni bumi untuk kepentingan bersama dan berdasarkan kepentingan kemanusiaan. Karena, manusia beriman adalah bersaudara sebagaimana disimpulkan oleh Cak Nur seperti berikut. 1) Semua orang yang beriman adalah saudara satu dengan lainnya. 2) Namun kaum beriman itu tidaklah semuanya sama dalam segala hal. Adanya perbedaan mungkin saja menimbulkan pertikaian, yang harus selalu diusahakan pendampingnya. 3) Perdamaian antara dua kelompok yang bertikai itu adalah dalam rangka takwa kepada Allah. 4) Dengan takwa itu Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya yang mendasari jiwa persaudaraan. 5) Maka harus ada sikap saling menghormati, dengan tidak merendahkan suatu golongan lain. 6) Setiap golongan harus cukup rendah hati untuk mengakui kemungkinan diri mereka salah, dan golongan lain benar. 7) Sejalan dengan itu dilarang saling menghina sesama kaum beriman. 8) Juga dilarang memberi nama ejekan satu sama lain, apalagi jika ejekan kejahatan. 9) Yang tidak mengikuti itu semua adalah orang-orang zalim. 10) Kaum beriman harus menjauhkan banyak prasangka, karena itu bisa jahat. 11) Juga dilarang saling mencari kesalahan. 12) Dilarang pula melakukan pengumpatan (ghîbah, beck bitting), yaitu membicarakan keburukan sesama ketika yang dibicarakan itu tidak ada di tempat pembicaraan. 13) Melakukan gîbah itu bagaikan memakan daging mayat saudara sendiri, sebab orang yang dibicarakan keburukannya itu, karena tidak di tempat, tidak dapat membela diri, apalagi melawan. Jadi, ghîbah adalah kejahatan ganda, suatu kejahatan di atas kejahatan. 14) Sekali lagi manusia beriman diseru untuk bertakwa kepada Allah, yaitu menyadari akan ada pengawasan Allah yang selalu hadir di mana pun seseorang berada, sehingga tidak sepatutnyalah seorang yang beriman melakukan sesuatu yang tidak diperkenankan oleh-Nya. 15) Takwa kepada Allah menghasilkan bimbingan ke arah budi pekerti yang luhur itu, maka Allah akan mengampuni manusia dan memberi rahmat-Nya kepadanya. 16) Lebih lanjut, kita diingatkan bahwa seluruh umat manusia pun diciptakan Allah berbeda-beda, karena dijadikan oleh-Nya berbangsabangsa dan bersuku-suku. 17) Itu semua tidak lain ialah agar kita saling kenal dengan 238


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

sikap saling menghormati (arti luas dari perkataan Arab ta’âruf). 18) Manusia tidak boleh membagi manusia menjadi tinggi rendah karena pertimbangan-pertimbangan askripitif atau kenisbatan, seperti kebangsaan, kesukuan, dan lain-lain. 19) Sebab dalam pandangan Allah, manusia tinggi dan rendah hanyalah berdasarkan tingkat ketakwaan yang telah diperolehnya. 20) Manusia tidak akan mengetahui dan tidak diperkenankan menilai atau mengukur tingkat ketakwaan sesamanya itu. 40 Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindra.41 Agama sebagaimana diketahui lebih banyak berhubungan dengan hati (iman) ketimbang rasio walau pernyataan ini masih menjadi perdebatan. Agama mengandung demensi subyektivitas, dalam arti pengalaman keagamaan perindividu yang sulit ditelusuri dalam arti tingkat keimanan seseorang hanya Tuhanlah yang tahu kadar keimanan seseorang, karena manusia sering goyah dalam hidup.

Penutup Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan rahmat bagi seluruh hamba Allah SWT. Terutama orang-orang Islam yang beriman, karenanya ia harus dijelaskan, dan dioperasionalkan, agar dapat dipahami oleh manusia di berbagai tingkat dan latar belakang sosiokulturnya. Al-Qur’an menginformasikan bahwa pluralisme agama merupakan suatu yang alami (sunnah Allâh), dan dengan pluralisme manusia diciptakan, bahkan jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, dan berselisih pendapat adalah rahmat. Dengan memahami konsep pluralisme agama sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat-ayat al-Qur’an, dapat diduga setiap Muslim dalam pergaulan keseharian dapat mengamalkan dalam pergaulan dengan kelompok manusia yang lain, baik agama, suku bahkan pergaulan antar bangsa. Pluralisme agama yang dimaksud al-Qur’an, bukan saja untuk memberikan kahidupan yang layak intern umat Islam, tetapi lebih dari itu memberikan semangat hidup berdampingan dengan umat lainnya, baik dalam kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan kebangsaan dan antar bangsa. Para nabi dan agama-agama sebelumnya juga datangnya dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi kepada para hamba-hamba-Nya.

Pustaka Acuan Al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd. Al-Insân fî al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hilâl. t.t. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 31-32. 41 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 10. 40

239


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur’ân: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990. Ensiklopedi Indonesia. Vol. V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1984. Encyclopedia Americana. Jilid XXII. Philippines: Copy right. 1972. Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas: al-Qur’ân. Liberalisme. Pluralisme. terj. Watung A. Budiman. Bandung: Mizan. 2000. Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1984. ‘Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. terj. Abdul Hayyi al-Qattani. Jakarta: Gema Insani Press. 1999. Jauhari, Tantawi. al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Fikr. t.t. Komisi Pemerintahan Global. Kerukunan Dunia. Jakarta: Balai Pustaka. 1997. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 1992. Marasabessy, Suaidi (ed.). Maluku Baru Satu wujud Ideal Masyarakat Maluku Pasca Konflik. Jakarta: Abadi. 2002. Al-Munawwar, Said Agil Husein. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Pers. 2002. Madjid, Nurcholish. Fat Soen. Jakarta: Republika. 2002 M. Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina. 2000. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press. 1985. Al-Qurthubî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad. Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân. Jilid XX. Mesir: Dâr al-Kâtib al-‘Arabiy. 1967. Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka. 1996. Sachedina, Abdulaziz. Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam. terj. Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2002. Salim, ‘Abd al-Muin. Fitrah Manusia dalam al-Qur’an. Makassar: Lembaga Studi Kebudayaan Islam. 1990. Shihab, M. Quraish. et al. Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah. 1998. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan. Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. I. Jakarta: Lentera Hati. 2002. Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan. 2001. Tanja, Victor I.. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah. 1998. Tim Penyusun. Ensiklopedi al-Qur’ân Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya. Jakarta: Yayasan Bimantara. 1999. 240


Abd. Rahman I. Marasabessy: Al-Qur’an dan Pluralitas

Al-Thabâthabâ’î, Muhammad Husain. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân. Jilid I. Beirut: alMujillah. 1991.

241


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

ISLAM LIBERAL DAN ANCAMAN TERHADAP PEMIKIRAN AHL SUNAH WALJAMAAH H. A. Kadir Sobur Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124 e-mai: muhamad_koni@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini berupaya mengkaji pondasi ideologis Islam Liberal dan memperjelas sejauhmana ancamannya terhadap paham Ahl Sunah Waljamaah. Meskipun kehadiran Islam Liberal membawa hal baru, tetapi sesungguhnya bukan sama sekali baru. Penulis mengemukakan bahwa agenda-agenda kelompok Islam Liberal merupakan perluasan Imperialisme Barat atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar dua sampai tiga abad terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi terang-terangan, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi istilah “Islam Liberal” bukanlah suatu kebetulan, tetapi sebuah istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk menobatkan diri bahwa “Islam Liberal” adalah bagian dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya. Penulis menyimpulkan bahwa Islam liberal adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan, tetapi esensinya adalah ideologi dan peradaban Barat. Abstract: Liberal Islam and its Threat against the Thought of Ahl Sunah Waljamaah. This paper attempts to tries to prove the declaration and tries to clarify the conflicts and threats to understand Ahl Sunnah waljamaah. Although the presence of Liberal Islam seems to have brought with it new thing, but it is by no means new phenomenon. The agendas of Liberal Islam groups are extensions of the western imperialism against the Islamic world during the last two or three centuries. However the form was no longer exposed, but it takes the name of Islam for granted. So, the term “Liberal Islam” is not a cooincidence, but a term chosen deliberatly to reduce the suspicion of moslems and also to enthrone itself that “Liberal Islam” is part of Islam, just as the types of other Islamic understanding. The author concludes that Liberal Islam is western civilization articulated with language and Islamic idioms. Islam is only the cover or packaging, but the essence is western ideology and civilization.

Kata Kunci: Islam Liberal, ancaman, Ahl Sunah Waljamaah

242


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

Pendahuluan Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yang berarti selamat, sejahtera, tunduk dan patuh. Beberapa arti Islam ini bisa direkonsiliasikan, untuk dapat selamat dan sejahtera seseorang harus tunduk dan patuh terhadap semua aturan Allah SWT. Sebenarnya, alam semesta juga ‘Islam’ terhadap Allah.1 Kemudian, semua agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada para nabi dan para rasul-Nya adalah Islam. Berikutnya, kata Islam itu dijadikan Allah untuk nama agama yang dibawa oleh nabi terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan sesuatu yang sudah disengaja Allah SWT. Kehadiran Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dimaksudkan untuk meluruskan garis lurus agama-agama sebelumnya. Dalam artian, Islam tidak hanya membenarkan agama lain, juga kebenaran yang ada dan sekaligus mengemukakan pembenaran terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam agama-agama lain, kemudian memberikan penjelasan tentang kebenaran itu. Inilah keistimewaan Islam, ia terbuka terhadap unsur luar selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar atau prinsip pokok dari ajaran-ajarannya. Islam adalah agama rahmat lil al-‘âlamîn (agama kasih sayang) yang amat sempurna. Ia cocok untuk segala tempat dan etnis (shalih li kulli zamân wa makân). Islam adalah agama wahyu tahap terakhir dari proses evolusi agama sejak dari Nabi Adam as. Agama diturunkan Allah sesuai dengan tingkat kecerdasan manusia yang menerimanya. Agama yang diberikan kepada Nabi Adam as. adalah agama tingkat kecerdasan agama tingkat bayi. Begitulah seterusnya kepada nabi-nabi lain, tingkat kecerdasan anak-anak, remaja dan seterusnya. Karena itu, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang disebut Islam adalah agama tingkat kecerdasan manusia yang sudah dewasa. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk masalah baru yang muncul, sudah ada solusinya dalam al-Qur’an. Perlu dikemukakan bahwa ayat-ayat al-Quran terdiri atas muhkamât dan mutasyâbihât.2 Ayat muhkamât yaitu ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana yang diberikan terkesan tidak dapat ditafsirkan lagi. Sedangkan ayat mutasyâbihât, yaitu ayat-ayat yang artinya tidak pasti dan masih ada peluang untuk ditafsirkan. Dalam Al-Quran paling banyak ayat-ayat yang berbentuk mutasyâbihât daripada ayat muhkamât. Pada ayat mutasyâbihât inilah terjadi proses perkembangan ajaran Islam dalam berbagai aspek. Hal ini mengindikasikan adanya upaya penafsiran manusia dalam menyelesaikan persoalan kontemporer yang tidak ada dalilnya secara tegas di dalam alQuran maupun Sunnah, dengan catatan tidak keluar dari prinsip Islam. Penafsiran ini dilakukan guna menuai titik temu antara hakikat Islam dengan semangat zaman yang selalu mengalami perubahan. Q.S. Fushshilat/41: 11. Q.S. Âli ‘Imrân/3: 7.

1 2

243


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Sejauh ini, telah terjadi perkembangan pemikiran Islam dalam beberapa bentuk. Islam Fundamentalis, misalnya, memahami Islam hanya sebatas lambang bukan substansi. Paham ini akan melahirkan sikap radikal dan emosional. Sedangkan bentuk lain adalah Islam Liberal, yang memahami Islam dengan mengandalkan sepenuhnya akal semata. Padahal akal manusia itu sangat terbatas, sehingga tidak heran jika paham ini mendobrak prinsip pokok Islam. Berkaca dengan dua kutub yang berseberangan ini, tampillah aliran Islam al-Wasâthiyyah atau yang lebih akrab dengan nama Ahl Sunnah Waljamaah. Paham ini berada di tengah antara kedua aliran di atas, dengan mengusung kebebasan berpikir manusia dalam menelaah nash al-Qur’an maupun hadis secara konstektual dengan syarat tidak keluar dari pokok Islam atau ayat-ayat muhkamât.

Islam Liberal Islam berkembang sesuai dengan zamannya. Ia berjalan sesuai dengan lajunya sejarah kaum Muslim. Perjalanan pemikiran Islam ini juga dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad ke-15, yaitu terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat dihampir semua negara Islam yang terjajah, apalagi para penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Dari itu, terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Kelompok Islam Liberal3 adalah sebuah istilah yang diadopsi dari kategorisasi pengamat dan penulis asing, Leonard Binder dan Charles Kurzman.4 Binder mengemukakan pandangan-pandangannya yang ingin mendapatkan penghargaan tentang berpikir yang liberal. Sementara itu, Kurzman memberikan pendapat bahwa sejatinya Islam itu sebuah agama yang mendorong adanya liberalism yaitu memberikan keluasan pada umatnya untuk mempergunakan akal sebagai perangkat yang akan berguna dalam memahami agama.

Sebagai sebuah pemikiran, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah fenomena baru, ia telah ada sejak gagasan kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam muncul pada awal abad ke-19. Penamaan “Islam Liberal” yang baru beberapa tahun belakangan popular, hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara eksplisit maupun implisit oleh penulis-penulis sebelum Kurzman, seperti Albert Hourani dan Asaf Ali Ashgar Fyzee. Penggunaan kembali istilah “Islam Lieberal” sesungguhnya merupakan upaya untuk mengembalikan semangat kebangkitan (nahdhah) pemikiran Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh Konservatisme dan Fundamentalisme agama. Bagaimanapun, istilah “Islam Liberal” hanyalah tatakata (nomenklatur) sekadar untuk memudahkan seseorang merujuk sebuah gagasan atau gerakan yang memiliki cita-cita untuk membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan satu hal sesungguhnya merupakan raison d ‘etre kebangkitan Islam sejak dua ratus tahun silam. Lihat A. A. A Fyzee, A Modern Approach to Islam (London: Asia Pub. House, 1963). 4 Charlez Kurszman, professor sosiologi agama di University North Carolina, memperkenalkan istilah atau gerakan baru di Dunia Islam ini dalam bukunya, Islamic Liberalism telah diterjemahkan dan diberi judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Terkini (Contemporary) tentang Isu-isu Global. Sebenarnya, Kurzman bukan orang pertama, karena sebelumnya telah muncul Leonard 3

244


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

Di samping itu, ada juga beberapa tokoh dunia menilai Islam dengan nada miring, seperti halnya ungkapan-ungkapan para orientalis. Voltaire (1745) misalnya, dalam bukunya Mahomet of Fanaticism, menilai bahwa Islam identik dengan kefanatikan. Dalam terminologi politik, “kekuasaan Islam berarti dispotisme (kesewenang-wenangan),” kata Montesquie. Kemudian dukung juga oleh Francis Bacon (1622) yang mengidentikkan kekuasan Islam dengan Monarki Absolut. Sedangkan di bidang militer, Islam identik dengan teror seperti diungkap oleh Eugene Delacroix (1824). Bahkan sastrawan Ernest Renon (1862) berpendapat bahwa tradisi Islam identik dengan keterbelakangan dan primitive. Dari pandangan Kurzman dan para tokoh orientalis di atas, bisa dikategorikan bahwa mereka “mengiring” Islam seperti liberal Barat. Padahal terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya, karena Islam itu masih berpijak kepada al-Qur’an dan Hadis, sedangkan Islam Liberal telah melanggar prinsip muhkamât. Meskipun kehadiran kelompok Islam Liberal, oleh sebagian orang, membawa hal-hal baru, namun sesungguhnya ia bukanlah sama sekali baru. Islam Liberal adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah sebagai kemasan, sementara substansinya adalah ideologi Barat, bukan yang lain. Dalam misinya banyak imitasi sempurna terhadap ideologi Kapitalisme. Tentu, dalam hal ini, ada kreativitas dan modifikasi, khususnya pencarian ayat atau hadis, atau preseden sejarah yang kemudian diinterpretasikan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme.5 Untuk membuktikan deklarasi tersebut, berikut ini akan dijelaskan dua dasar argumentasinya, yaitu hakikat Imperialisme itu sendiri dan kerangka Ideologi Barat (Kapitalisme).6

Imperialisme Imperialisme (al-isti’mar) itu sendiri, menurut Taqi’ al-Dîn al-Nabhânî dalam kitabnya Mafâhim Siyâsiyah li Hizb al-Tahrîr7 adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat: pemaksaan dominasi dan eksploitasi.

Binder yang coba menyebarkan paham tersebut dalam bukunya, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. 5 Dzulmanni (ed.), Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Cet. 6, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 236. 6 Pemahaman hakikat Imperialisme, akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi Imperialisme atau bukan. Sedangkan kerangka ideologi Kapitalisme akan menjadi dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi Kapitalisme atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode berpikir kapitalistik atau bukan. 7 Taqi al-Dîn al-Nabhânî, Mafâhim Siyâsiyah li Hizb al-Tahrir (t.t.p. Hizb al-Tahrir, 1969), h. 13.

245


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Jika sebuah negara melakukan aksi Imperialisme atas negara lain. Artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tidak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politiknya, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat Imperialisme. Imperialisme ini, menurut al-Nabhânî8 adalah metode (tharîqah) baku untuk menyebarluaskan ideologi Kapitalisme yang berpangkal pada Sekularisme (fashl al-dîn ‘an al-hayâh). Tidak mungkin ada penyebarluasan Kapitalisme, kecuali melalui jalan Imperialisme. Dengan kata lain, manakala negara penganut Kapitalisme ingin menancapkan cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi Imperialisme dalam segala bentuknya, baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, atau militer. Berhasil tidaknya aksi imperialisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi Kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri jajahan sudah mengimani Kapitalisme, atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan imperialis, berarti aksi Imperialisme telah sukses.

Kerangka Ideologi Kapitalisme Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Friedman dalam Contemporary Macro Economics, dikutip Muhammad Shiddiq alJawi,9 mengatakan bahwa Kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu pada sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu dalam mekanisme pasar yang kompetitif. Karena fenomena ekonomi itu sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka menurut Taqi’ al-Dîn al-Nabhânî, Kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh.10 Sebagai sebuah ideologi (Arab: mabdâ’), kapitalisme mempunyai ‘aqîdah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas akidah tersebut. Akidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Akidah Kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (Sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ekstrim, yaitu keharusan dominasi agama Ibid. Muhammad Shiddiq al-Jawi, “Catatan Kritis Untuk Islam Liberal,” (Makalah tidak diterbitkan), h. 2-3. 10 Taqi’ al-Dîn al-Nabhânî, Nizhâm al-Islâm, Cet. 6 (t.t.p.: Hizb al-Tahrir, 2001), h. 26. 8 9

246


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

(Katolik) dalam segala aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi dan sosial.11 Di atas akidah (ide dasar) Sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi Kapitalisme, seperti demokrasi dan kebebasan. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tidak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum).12 Demokrasi ini selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab, tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra’y) dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhshiyyah).13 Dalam kontek Indonesia, Islam Liberal sebenarnya menawarkan wacana baru tentang Islam di Indonesia yang dikemas secara modern, professional dan berkesinambungan dengan masa lalu. Tetapi, sayangnya langkah yang mereka lakukan tidak benar sama sekali. Di Indonesia, gagasan Islam Liberal diteliti oleh Greg Barton14 yang ditulis dalam disertasi doktornya di Monash University, Melbourne, Australia. Penelitian ditekankan tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial dan politik. Gerakan ini secara luas tumbuh di lingkungan para intelektual yang memiliki latar belakang modern yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam Klasik. Kemunculannya di Indonesia menurutnya sebagai pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi Muslim terutama kelas menengah kota sehingga mampu berperan secara lebih liberal dan progresif untuk sebuah Indonesia baru.

Tema-Tema Sentral Pemikiran Islam Liberal Menarik sekali discourse yang dikembangkan oleh komunitas Islam Liberal, seperti membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya, kontekstual, kesetaraan gender pluralisme agama dan sekularisasi. Ada beberapa pokok pemikiran Islam Liberal.15

Ibid., h. 28. Ibid., h. 27. 13 ‘Abd. al-Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi (Bogor, Pustaka Thariq al-Izzah, 1994), h. 17. 14 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1998). 15 Penjelasan secara mendalam lihat Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran 11 12

247


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Pertama. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan pemikiran Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, tanpa dibatasi nas muhkamât. Kedua. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu: terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar dan plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah. Ketiga. Seain itu, Islam liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Keempat. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.16

Ahl Sunah Waljamaah Munculnya Ahl Sunah Waljamaah sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosio politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ke3 Hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual, baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transpormasi internal. Perhatian Dinasti Abbasiyah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim

Islam Terkini tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001); Zuly Qadir dan Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002). 16 Khalif Muammar, Atas Nama Kebenaran: Telaah Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal (Selangor: Akademi Pengajian Tamadun, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001), h. 32. Lihat Juga Ulil Abshar Abdalla et. al. Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Cet. 6 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 8.

248


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

kekuasaannya.17 Selain itu, mulai lahir beragam pemikiran umat Islam dalam merespons berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya di bawah kepiawaian intelektual Abû al-Hasan al-Asy‘ârî (w. 324 H.) dan Abû al-Manshûr al-Matûrîdî (w. 333 H.).18 Ahl Sunah Waljamaah sebagai paham dan teologi independen mulai diperkenalkan. Pada era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B. Tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut akidah B, semua berada di bawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datsng kepada Rasulullah SAW. Itulah yang menjadi para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi. Kemudian setelah Rasulallah SAW. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam ‘Alî ra. menjadi Khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedangkan akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibn Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus paham Syi`ah (Rawâfidh).19 Setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dikatakan “menyempal” dari ajaran Rasulullah. Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bidah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orangorang yang tetap berpegang teguh kepada segala hal yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya. Golongan yang terakhir inilah yang dikemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahl Sunah Waljamaah. Jadi, golongan Ahl Sunah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah Nabi dan Jam‘at al-Shahabah.20 Dengan demikian, akidah Ahl Sunah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dan golongan Ahl Sunah Waljamaah adalah umat Islam. Mengetahui siapa Ahl Sunnah Waljamaah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap Muslim yang menghendaki kebenaran. Sehingganya dalam perjalanannya di muka bumi, ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah SWT. dengan tuntutan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahl Sunah Waljamaah telah ditekankan Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2002), h. 62. 18 Ibid. 19 Ibid., h. 64. 20 Ibid., h. 65-66. Statemen tersebut sesuai dengan hadis Rasullah SAW. yang menjelaskan bahwa “golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-firqah al-Najiyah). Adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW.) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”. 17

249


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Rasulullah kepada para sahabatnya ketika ia berkata kepada mereka bahwa telah terpecah orang-orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu aliran (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nasrani menjadi tujuh puluh dua aliran dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah al-Jamâ‘ah.21 Munculnya perselisihan tersebut bukan berarti Allah tidak mampu menjadikan satu ragam pendapat saja di muka bumi ini.22 Itu suatu hal yang sangat mustahil bagi Allah karena Dia satu-satunya yang mendesain alam ini sebaik mungkin. Maka dari itu sebagai manusia yang berakal, hikmah yang dapat diambil adalah Allah memberikan pilihan atau kebebasan yang seluasnya, tentu ada resiko atau batas-batasnya kepada hambaNya, supaya kelihatan siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme. Adapun penamaan Ahl al-Sunnah Waljamaah ini akan diuraikan dari beberapa sisi. Pertama, definisi Sunnah (bahasa) yaitu berarti jalan, baik maupun jelek dan lurus maupun sesat.23 Kedua, Sunnah (istilah), yaitu mempunyai makna khusus dan makna umum. Adapun makna Sunnah secara khusus yaitu 1) Para ahli hadis mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik itu perkataan, perbuatan, taqrîr, maupun sifat lahir dan akhlak. 2) Para ahli usul fikih mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW. selain dari al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrîr, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan. 3) Para ahli fikih memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Muhammad SAW. di bawah hukum wajib. Sedangkan makna sunnah secara umum adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi akidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat. Ketiga, definisi al-Jamâ‘ah, bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka Jamâ‘ah adalah lawan kata dari perpecahan. Adapun dalam pengertian sederhananya, al-Jamâ‘ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam al-Qur’an dan al-hadis dan mereka itu ialah para sahabat dan tabi’in. Jadi, makna Ahl Sunah Waljamaah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama ahli ijtihad dan ahli hadis yang berjalan di atas al-Qur’an dan Sunnah. Penekanan pada sunnah bukan berarti penafian terhadap al-Qur’an yang disepakati sebagai sumber yang utama dalam Islam. Kandungan Al-Qur’an begitu umum sehingga

Hadis sahih yang disahihkan oleh oleh Syaikh al-Albânî dalam Dzilâlil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam al-Shahîh al-Musnad Mimmâ Laisa fî al-Shahîhain. 22 Q. S. Hûd/11: 118-119. 23 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 65. 21

250


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

berpeluang untuk ditafsirkan dalam untuk rangka menjawab persoalan kekinian, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip Islam.24 Di Indonesia, kata-kata Ahl Sunah Waljamaah (ASWAJA) sudah cukup lama munculnya. Lebih dari 70 tahun yang lalu, Nahdlatul Ulama (NU) mendeklarasikan dirinya sebagai penganut ASWAJA,25 sebagaimana Muhammadiyah dan kaum Muslim di luar kedua ormas ini. Ada beberapa pokok pemikiran ASWAJA. Pertama. Ahl Sunah Waljamaah mempersatukan agama melalui ilmu dan amalan lahir dan batin, dengan selalu berpegang kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW dan dipelihara oleh para sahabatnya. Iktikad golongan yang selamat adalah gambaran yang dipredikatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan keselamatan.26 Kedua. Ahl Sunah Waljamaah adalah golongan tengah dan lurus di antara berbagai kelompok umat, yaitu antara golongan yang melebihkan dan mengurangi ketentuan agama. Ketiga. Ahl Sunah Waljamaah berpegang teguh kepada alQur’an, Sunnah dan Ijma’. Golongan ini taat mengikuti petunjuk dan larangan yang datang dari Allah. Keempat. Ahl Sunah Waljamaah adalah penerus sejarah bagi penganut agama Islam. Golongan ini adalah asal-muasal dalam umat Muhammad. Mereka juga merupakan penerus tabiat alami dan benar bagi pemeluk agama ini, sebagaimana halnya millah Nabi Muhammad SAW. menjadi penerus alami dan benar bagi agama-agama para nabi pendahulunya. Kelima. Ahl Sunah Waljamaah adalah ahli syariat yang mengikuti sunnah rasul yang meliputi semua aspek ajaran Islam baik akidah, perbuatan-perbuatan, tujuan-tujuan esensi, ibadah-ibadah maupun siyâsat syar‘iyyah. Sunnah, sebagaimana halnya syari’at, adalah segala sesuatu yang disunahkan dan disyariatkan Rasul dalam akidah dan amalan, yang keduanya mengandung makna yang sama. Keenam. Ahl Sunah Waljamaah hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf al-Shalih. Hal itu dapat diketahui berdasarkan pengetahuan tentang hadis-hadis Nabi yang telah menjadi ketetapan, baik dalam perkataan, perbuatan dan taqrîr-nya. Ketujuh. Ahl Sunah Waljamaah adalah orang-orang yang mencintai hadis Nabi Muhammad SAW. dan taat mengikutinya. Ahli Sunnah dan Ahli Hadis bukanlah mereka sekedar sibuk berperan dalam urusan ilmu hadis, namun juga mereka yang mencintai dan mencurahkan perhatian kepadanya. Kedelapan. Ahl Sunah Waljamaah memiliki tingkatan yang beragam dalam mengetahui Sunnah, mengamalkannya serta bersabar terhadapnya. Sunnah adalah segala sesuatu yang diterima oleh para sahabat dari Rasulullah SAW., kemudian

Sirajuddin Zar, “Islam dalam Kepemimpinan Indonesia,” dalam al-Turas, Oktober 1995. Januari 1996, h. 38-41. 25 Fu’ad Jabali, “Telaah Kritis Konsep Aswaja,” dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002), h. 64. 26 Ungkapan tersebut sesuai dengan penjelasan Rasul bahwa “umatku akan terpecahbelah menjadi 73 golongan; yang 72 golongan masuk neraka dan yang satu masuk surga. Golongan ini adalah yang mengikuti jalan hidup seperti yang aku tempuh hari ini dan jalan para sahabat”. 24

251


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 diteruskan kepada para tabi’in, tabi’in dan seterusnya sampai hari kiamat. Sebagian imam juga lebih mengetahui dan lebih mampu bersabar terhadapnya dari sebagian imam yang lain. Kesembilan. Di tubuh Ahl Sunah Waljamaah terdapat perbedaan ijtihad dalam hal-hal cabang (furû‘), sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka terhadap Sunnah. Kesepuluh. Ahl Sunah Waljamaah senantisa berupaya agar perbedaan ijtihad mereka mengarah kepada satu pendapat dan menjaga kerukunan. Sekalipun terdapat perbedaan dalam ijtihad, mereka saling menjaga dan mengontrol perilakunya untuk saling menghormati. Mereka memiliki adab yang sopan dalam berbeda pendapat (ikhtilâf). Semua itu mereka lakukan karena menjaga kerangka besar dan prinsipil, yaitu kerangka golongan Ahl Sunnah Waljamaah. Tetapi, terhadap orang atau golongan yang berbeda pendapat dalam hal pokok dan mendasar, mereka tidak menerimanya dan melepaskan diri darinya. Mereka dengan keras mengecamnya serta membeberkan kesalahan-kesalahan dan penyelewengannya agar umat mengetahuinya. Kesebelas. Ahl Sunah Waljamaah adalah manusia biasa, di antara mereka ada yang baik (berlaku benar) dan ada yang maksiat. Namun, pada umumnya mereka berprilaku baik, sebagaimana halnya golongan lain yang banyak melakukan keburukan. Keduabelas. Ahl Sunah Waljamaah adalah mayoritas umat Muhammad SAW. yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul, mencintai para sahabat dan mengambil hadis Nabi Muhammad SAW. dari mereka, baik dalam hal ilmu, amalan ataupun fikih dan perilaku.

Menyoal Islam Liberal Agenda-agenda dan ide-ide Kelompok Islam Liberal dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan Imperialisme Barat atas Dunia Islam. Selain itu, ide-ide Kelompok Islam Liberal itu sendiri, dapat dipahami sebagai ide-ide pokok dalam ideologi Kapitalisme, yang kemudian dicari-cari pembenarannya dari khazanah Islam.27 Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan pemikiran kelompok Islam Liberal, kiranya akan menemukan benang merah antara Imperialisme Barat dan agenda kelompok Islam Liberal. Adian Husaini dan Nuim Hidayat, dalam bukunya Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, mengutip Luthfi Asy-Syaukanie, bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi.28 Dalam agenda politik, misalnya, kaum Muslim “diarahkan” oleh kelompok Islam Liberal untuk mempercayai Sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilâfah). Perdebatan sistem Paparan dua pemikiran tentang Imperialisme dan kerangka ideologi Kapitalisme dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk membedah Kelompok Islam Liberal, untuk menjawab pertanyaan bahwa benarkah agenda-agenda Kelompok Islam Liberal adalah kepanjangan Imperialisme Barat? Benarkah ide-ide Kelompok Islam Liberal adalah ideologi Kapitalisme berkedok Islam? 28 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah: Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 3. 27

252


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

pemerintahan Islam, kata Luthfi, dianggap sudah selesai, karena, sudah ada para intelektual seperti ‘Ali ‘Abd al-Razîq, Ahmad Khalafallâh (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran) dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah ijtihad dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum Muslim.29 Persoalan hubungan agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai di negara-negara Barat. Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam.30 Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas kelompok Islam Liberal adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai ini. Maka ada kesejajaran antara agenda kelompok Islam liberal dalam agenda politik ini dengan aksi Imperialisme Barat, yang selalu memaksakan Sekularisme di Dunia Islam dengan kekerasan dan darah. Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi (pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tidak boleh ada truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kenal kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astagfirullah), tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Sulit sekali mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks al-Qur’an dan hadis. Misalnya teologi Pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tidak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar katolik.31 Infiltrasi ide tersebut ke tubuh umat Islam dengan justifikasi ayatayat al-Quran32 Jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan agama selain Islam.33 Agenda-agenda kelompok Islam Liberal tersebut jika dibaca dari perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk menghancurkan Akidah Ibid. Statemen di atas mengundang segudang pertanyaan. Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum Muslim menganggap persoalan ini “sudah selesai”? Apakah sejak ‘Ali ‘Abd al-Raziq menulis kitabnya al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (1925) yang sesungguhnya adalah karya orientalis Inggris Thomas W. Arnold? Apakah sejak Khilafah di Turki dihancurkan pada tahun 1924 oleh gembong Imperialis, Inggris dengan menggunakan Mustahafa Kamal ? Apakah sejak negara-negara imperialis melalui penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam? Apakah nama-nama intelektual yang disebut Luthfi cukup representatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu jawaban dengan pembuktian-pembuktian yang argumentatif. 30 Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. xvii-xviii. 31 Husaini dan Hidayat, Islam Liberal, h. 110-111. 32 Antara lain lihat Q. S. al-Baqarah/2: 62 dan Q.S. al-Mâ’idah/5: 69. 33 Q.S. Âli ‘Imrân/3: 19 dan Q. S. al-Taubah/9: 29. 29

253


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Islamiyah dan Syariah Islamiyah.34 Tentunya mudah dipahami, bahwa setelah akidah dan syariah hancur, maka sebagai penggantinya adalah akidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan penjajah). Di sinilah titik temu agenda kelompok Islam Liberal dengan proyek imperialisme Barat. Maka, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa agenda kelompok Islam Liberal adalah kepanjangan Imperialisme global atas Dunia Islam yang dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat. Ini dari segi kaitan agenda kelompok Islam Liberal dengan imperialisme. Adapun ide-ide kelompok Islam Liberal itu sendiri, maka berdasarkan kerangka ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat di atas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa ideide kelompok Islam Liberal sesungguhnya adalah ide-ide Kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ideide kelompok Islam Liberal.35 Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca: taklid) sempurna terhadap ideologi Kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadis atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan Kapitalisme. Ide-ide Kapitalisme itu misalnya sekularisme, demokrasi dan kebebasan. Dukungan kepada sekularisme –pengalaman partikular barat—nampak misalnya dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam,36 dan penolakan syariat Islam.37 Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti ‘adl (keadilan), persamaan (musâwah) dan syurâ.38 Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas, yang nampaknya sangat disakralkan kelompok Islam Liberal, didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan seperti “tidak boleh ada pemaksaan jilbab,”39 “harus ada kebebasan tidak beragama,”40 dan “orang beragama tidak boleh dipaksa.”41 Kentalnya ide-ide pokok Kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi Kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide Kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (gair qabil li al-niqasy) dan tanpa kesempatan untuk mengubah (gair qabil li al-tagyir). Lalu ide-ide Kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim) untuk menilai Islam.

Husaini dan Hidayat, Islam Liberal, h. 81 & 131. Luthfi Asy-Syaukanie (ed.), Wajah Liberal Islam di Indonesia (t.t.p.: Jaringan Islam Liberal, 2002). 36 Ibid. h. xxv. 37 Ibid. h. 30. 38 Ibid. h. 36. 39 Ibid. h. 129. 40 Ibid. h. 135. 41 Ibid. h.139 & 142. 34 35

254


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai dengan Kapitalisme akan diterima, tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan Kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan konsep daulah Islâmiyyah,42 yang berarti konsep ini dihakimi dan diadili dengan perspektif sekuler yang merupakan pengalaman sempit dan partikular dari Barat. Padahal, sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan tidak bisa dipaksakan secara universal atas dunia selain Barat. Sumartana mengatakan “Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain”.43

Ancaman Islam Liberal terhadap Pemikiran Ahl Sunnah Waljamaah Islam Liberal ingin mengusung rasionalisasi dan modernisasi terhadap Islam. Tidak heran golongan ini terjebak dalam memainkan peran akal terlalu bebas, sehingga mereka melabrak prinsip-prinsip pokok dalam Islam. Konsekuensi logisnya, golongan Ahl Sunah Waljamaah merasa terancam dengan kehadiran Islam Liberal, karena ini berkaitan dengan akidah umat Islam sendiri yang akan ternodai. Tetapi, sebagian kalangan umat Islam, dalam memandang gagasan-gagasan kelompok Islam Liberal, masih ada yang cenderung menganggapnya sebagai hal yang absah dalam koridor ikhtilâfyah, yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi dalam pemikiran Islam. Padahal, gagasan-gagasan Islam Liberal tidak bias dipandang sebagai masih berada dalam koridor ikhtilâfiyah itu, tetapi telah memasuki wilayah inhirafiyah (penyimpangan) pendapat.44 Sebab, landasan berpijak gagasan-gagasan Islam Liberal bukan lagi Islam, tetapi Sekularisme yang notabene merupakan basis ideologi Kapitalisme Barat.45 Perlu dijelaskan bahwa pembaharuan dalam Islam memang suatu keharusan dalam rangka menghidupkan ajaran Islam sepanjang masa. Hal ini juga dipicu oleh sifat dan watak Islam yang menghendaki dengan zaman yang dinamis. Tetapi Islam Liberal ini terlalu longgar dalam menafsirkan ajaran Islam, sehingga kebablasan pada ayat-ayat muhkamât. Padahal pembaharuan dalam Islam adalah usaha untuk menafsirkan kembali ayat-ayat mutasyâbihât bukan muhkamât serta merubah paham-paham atau ijtihad para ulama masa lalu untuk disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, yang diperbaharui dalam Islam adalah bukan ayat-ayat atau hadis, Ibid. h.291. Audi, Agama dan Nalar Sekuler, h. xiv. Patut dicatat, sekularisme tidak pernah menjadi konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan Imperialisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tidak mengenal perikemanusiaan. 44 Dzulmanni (ed.), Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Cet. 6, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 238. 45 Ibid. 42 43

255


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 melainkan pemahaman ayat-ayat atau hadis yang ada hubungannya dengan kehidupan di permukaan bumi ini agar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu adalah istilah yang cocok dalam hal ini adalah al-tajdîd fî al-Islâm bukan tajdîd al-Islâm. Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Allah (teks Arabnya) bukanlah berasal dari Nabi Muhammad SAW., melainkan seutuhnya dari Allah SWT. Artinya, selain dari teks Arabnya yang berasal dari Allah, tidak dapat disebut dengan wahyu yang bersifat absolut, melainkan adalah hasil pemikiran manusia (ijtihad) yang bersifat relatif. Adapun hadis Nabi Muhammad SAW., berfungsi sebagai penjelas tentang isi al-Qur’an dalam keabsolutan dan kebenaran mutlaknya adalah Hadis Mutawatir yang jumlahnya relatif sedikit. Perlu dipahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya hanya datang dalam bentuk garis-garis besar dan prinsip-prinsip pokok saja tanpa penjelasan lebih lanjut tentang maksud, rincian dan cara pelaksanaannya. Ayat-ayat seperti inilah yang menjadi pegangan umat Islam sejak periode Nabi Muhammad SAW. sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman.46 Pada masa Rasulullah masih hidup, apabila ada masalah baru atau sesuatu yang belum ada kejelasan hukumnya dalam al-Qur’an, maka para sahabat langsung bertanya kepada beliau. Dalam hal ini, Rasulullah di antaranya menjawab secara langsung dan ada juga ia menyuruh salah seorang sahabat untuk memutuskan perkara tersebut dengan berijtihad di depannya. Cara tersebut, persoalan-persoalan itu dapat dijelaskan dengan baik. Pada periode sahabat daerah yang dikuasai Islam bertambah luas, sedangkan masalahmasalah baru yang dihadapi muncul semakin menjamur, maka timbullah penafsiranpenafsiran atau penjelasan-penjelasan tentang ajaran Islam yang juga berasal dari ajaranajaran dasar teresbut. Hasil Ijtihad para sahabat ini walaupun tidak maksum seperti Nabi Muhammad SAW., namun ia banyak membawa pengaruh pada zaman sekarang. Pada masa ulama-ulama besar, daerah Islam semakin luas yang mencakup berbagai bangsa, kebudayan dan adat istiadat. Sejalan dengan berkembang pesatnya daerah Islam tersebut, maka masalah yang dihadapi tentu semakin komplek pula. Padahal, para ulama tidak hidup di satu daerah, melainkan berpencar di daerah-daerah yang berbeda. Konsekuensi logisnya, muncullah penafsiran yang banyak tentang ajaran Islam, baik berbeda satu sama lain, bahkan ada yang bertentangan. Pada periode ini pula penafsiran-penafsiran dari ajaran Islam tersebut mengambil bentuk mazhab-mazhab dan aliran-aliran. Perbedaan penafsiran teresbut tidak hanya antara para mujtahid, tetapi juga terjadi pada diri seorang mujtahid itu sendiri seperti Imam Syâfi‘î dengan qaul al-qadîm dan qaul al-jadîd.47 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ijtihad para ulama tentang ajaran dasar

Harun Nasution, Teologi Islam, h. 4-5. M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 47.

46 47

256


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an terjadi sepanjang masa. Hasil ijtihad akan semakin banyak jumlahnya, bahkan jauh lebih banyak dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri. Perlu dipahami, karena ijtihad ini hasil pemikiran manusia, maka ia bersifat relatif dan termasuk sebuah kebudayaan. Pemikiran yang dilahirkan Islam Liberal memang termasuk sebuah ijtihad, tetapi prosedur penafsiran yang mereka lalui telah melenceng dari prinsip ajaran Islam. Karena itu, perlu filterisasi atau tindakan preventif terhadap golongan ini supaya tidak terlalu menjalar di tubuh umat Islam. Kalau ini dibiarkan mengakibatkan ancaman yang sangat serius terhadap pemikiran umat Islam. Sebab itu, langkah yang harus dilakukan sesegera mungkin adalah dengan memantapkan tauhid dan tidak fanatisme (tekstualis) dalam memahami ajaran Islam serta mengadopsi hal-hal yang positif dari pemikiran berat. Artinya sebagai Islam Ahl Sunah Waljamaah berada di posisi antara Fundamentalis dengan Islam Liberalis.48 Kalau Islam Fundamentalis yang berpaham kemutlakan Islam jelas bertentangan dengan sifat kedinamisan manusia dan berilmu pengetahuan.49 Menurut Muhammad Iqbal, jika manusia bersifat dinamis, maka agama yang berfungsi mengatur hidup manusia tentu harus sesuai pula dengan kedinamikaan manusia.50 Jika tidak demikian, tentu tidak ada kecocokan antara manusia dengan agama, karenanya kemajuan manusia akan terhambat. Maka tidak heran, agama seperti ini akan ditinggalkan manusia. Begitu juga halnya Islam Liberal yang terlalu ekstrim kiri, akan menggiring pemikiran manusia ke arah kebebasan tanpa kendali dan ini akan membahayakan kehidupan manusia. Golongan Ahl Sunah Waljamaah memahami Islam sebagai agama wahyu yang bersifat dinamis dan rasional. Kedinamisan ini terlihat dari keterbukaannya terhadap unsur-unsur luar selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dar dari ajarannya. Karena itulah, pembaharuan dapat terjadi dalam Islam sepanjang masa. Jadi, dari substansi pemikiran Islam Liberal, setidaknya ada beberapa catatan yang dapat menunjukan kejanggalan dan dapat menngancam pahaman Ahl Sunah Waljamaah: Pertama, statemen kelompok Islam Liberal mempertuhankan akal di atas segalagalanya. Penyerahan implementasi sepenuhnya nilai-nilai ketuhanan universal kepada kesadaran dan kemampuan akal berarti membangun mekanisme terbalik dalam sistem hukum Islam dengan menempatkan ijtihad di atas kebenaran al-Quran serta keteladanan praktis dari Hadis. Kedua, Islam Liberal menegaskan hukum-hukum Allah, padahal syariat Allah mencakupi semua aspek, tidak ada satupun di jagat raya ini terlepas dari hukum dan aturan Allah. Bandingkan ‘Ali Muhammad al-ShalabĂŽ, Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, terj. Masturi Irham & Malik Supar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 414. 49 Q. S. al-Baqarah/2: 31. 50 M. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby (Jakarta: Bulan Bintang: 1983), h. 176. 48

257


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Ketiga, Islam Liberal berpendapat semua Agama benar karena dianggap agama tidak lebih dari sebuah proses pencarian nilai kebenaran Ilahi, akan membuat umat ragu dan goncang akidahnya. Statemen ini jelas bertentangan dengan pernyataan Allah bahwa hanya Islam sebagai agama yang diridai-Nya,51 dan penegasan Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai penutup para Nabi.52 Keempat, sebagai muslim tentu saja sepakat bahwa seorang Nabi dan Rasul tidak perlu dijadikan mitos atau dikultus-individukan, tetapi penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad SAW. didasarkan kepada kedudukan beliau yang tinggi dan dibedakan dari manusia lainnya karena segala tindakan dan ucapan beliau selalu terjaga dari dosa.53 Karena itu, eksistensi Nabi Muhammad SAW. tidak bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah biasa.54 Di samping itu, kelompok Islam Liberal juga mengatakan bahwa tidak ada hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Pendapat Islam Liberal juga menolak segala bentuk hukuman Tuhan yang dinilai sekedar cerminan budaya Arab. Jilbab, potong tangan, qishâsh, dan rajam, semuanya tidak wajib diikuti karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Bahkan kelompok Islam Liberal mengatakan bahwa hukum Tuhan tidak ada atau nonsense; yang ada adalah seperangkat nilai-nilai Tuhan universal yang implementasinya diserahkan kepada manusia atas dasar konteks sejarah dan sosial.55 Ini merefleksikan sebuah reaksi yang cukup “menghebohkan” dari kalangan umat Islam yang tidak dapat menerima pemikiran yang dianggap asing bagi mereka, dan dapat mencederai keyakinan umat Islam yang berpaham Ahl Sunah Waljamaah. Di samping itu, wacana Islam Liberal ini telah mendorong munculnya keyakinan baru bahwa kelompok Islam Liberal ini, sadar atau tidak, telah menjadi bagian integral dari global yang ingin menghancurkan Islam.56 Lihat Q. S. Âli ‘Imrân/3: 19. Lihat Q. S. al-Ahzab/33: 40. 53 Lihat Q. S. al-Najm/53: 2-4. 54 Sebenarnya bagi kalangan Muslim, kehadiran Islam Liberal tidaklah terlalu ditakuti dan statemen-statemen dari beberapa orang tokohnya, sebenarnya, tidak terlalu penting untuk direspons. Eksistensi mereka hanya ada dalam wacana dan itu hak yang juga harus dihormati. Persoalannya muncul ketika wacana itu telah melampaui batas dengan menegasi, bahkan menghina bagian yang paling peka dalam Islam, yakni konsep tauhid dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Lihat Dzulmanni (ed.), Islam Liberal dan Fundamental, h. 214. 55 Ibid. h. 205. 56 Q. S. al-Baqarah/2: 120. Dari statemen Islam Liberal, meskipun baru menembus batas wacana, sulit untuk memberikan kesimpulan selain menemukan suatu penghinaan yang nyaris sempurna terhadap Islam. Penghinaan itu telah tersebar kepada publik melalui media dengan penuh kesadaran. Meskipun demikian, statemen-statemen yang pernah dilontarkan oleh kelompok Islam Liberal, cukup berguna untuk menguji kepekaan akidah umat Islam, yang selama ini terus 51 52

258


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

Kemudian, pernyataan bahwa “semua agama adalah benar”, maka akan menuntut konsekuensi logis bagi penganut keyakinan tersebut untuk memeluk semua agama; agama boleh berpindah-pindah, karena ruh semua agama adalah benar. Dari segi akidah Ahl Sunah Waljamaah, ini jelas bertentangan, argumentasi ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT. Dalam al-Qur’an yang maksudnya “katakanlah kepada orang kafir (yang tidak beriman); aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan aku tidak akan jadi penyembah apa yang kamu sembah; sekali lagi aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan tidaklah aku menjadi penyembah apa yang kamu sembah; dan bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.57 Pernyataan Allah tersebut sangat jelas dan tidak akan menimbulkan multi interpretasi. Ayat di atas menjelaskan “semua agama adalah benar menurut keyakinan masing-masing pemeluknya”, bukan semuanya benar sebagaimana yang diyakini kelompok Islam Liberal. Jika merujuk kepada Q.S. al-Kâfirûn di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Islam itu cukup toleran, karena meskipun berbeda agama, umat Islam tidak dianjurkan bahkan dilarang mencela agama lain dan cukup dengan mengatakan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, dan hubungan sosial tetap berjalan secara damai dan alami, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Penutup Dengan demikian, agenda-agenda kelompok Islam Liberal tidak bisa dilepaskan dari Imperialisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung kelompok Islam Liberal pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah Kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide kelompok Islam Liberal. Jadi, kelompok Islam Liberal telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat, agar umat Islam hilang darah (karakter) Islamnya lalu bertaklid buta kepada kelompok Islam Liberal dengan menganut peradaban Barat. Jika memang dapat dikatakan bahwa kelompok Islam Liberal adalah bagian dari proyek Imperialisme Barat, maka kelompok Islam Liberal sebenarnya mengarah ke jalan buntu. Tidak ada perubahan apapun. Tidak ada transformasi apapun. Sebab yang ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni Kapitalisme (yang sudah pun berlangsung). Pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan penjegalan perjuangan umat untuk kembali Islam yang hakiki, terlepas dari hegemoni Kapitalisme. Jadi, mereka telah melanggar prinsip pokok dalam agama. Apabila prinsip ini yang dilanggar mereka telah keluar dari Islam. Karenanya, ajaran seperti ini telah merusak Islam menjadi sebuah ancaman akidah bagi umat Islam lainnya. Pemahaman seperti ini harus diantisipasi menerus dijejali dengan dakwah akhlak di tengah semaraknya dangdut dan segala bentuk kebid‘ahan. Dzulmanni (ed.), Islam Liberal dan Fundamental, h. 214. 57 Q. S. al-Kâfirûn/109: 1-6.

259


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dengan cara memantapkan militansi beragama dan kembali kepada tradisi-tradisi Islam Klasik yang cocok dengan zaman sekarang. Sikap umat Islam harus satu, bahwa gagasangagasan Islam Liberal pada dasarnya adalah gagasan-gagasan kufûr yang wajib ditolak karena landasannya adalah Sekularisme yang juga ideologi kufûr, bukan Islam.

Pustaka Acuan Abdalla, Ulil Abshar, et. al. Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Cet. 6. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. Audi, Robert. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Yogyakarta: UII Press, 2002. Asy-Syaukanie, Luthfi (ed.), Wajah Liberal Islam di Indonesia. t.t.p. Jaringan Islam Liberal, 2002. Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina, 1998. Dzulmanni (ed.). Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Cet. 6. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. Fyzee, A. A. A. A Modern Approach to Islam. London: Asia Pub. House, 1963. Husaini, Adian, dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah: Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Iqbal, Muhammad. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby. Jakarta: Bulan Bintang: 1983. Jabali, Fu’ad. “Telaah Kritis Konsep Aswaja,” dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia. Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002. Al-Jawi, Muhammad Shiddiq. “Catatan Kritis Untuk Islam Liberal”. Makalah tidak diterbitkan. Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Terkini tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum. Jakarta: Paramadina, 2001. Muammar, Khalif. Atas Nama Kebenaran: Telaah Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal. Selangor: Akademi Pengajian Tamadun, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001. Al-Nabhânî, Taqi al-Dîn. Mafâhim Siyâsiyah li Hizb al-Tahrir. t.t.p. Hizb al-Tahrir, 1969. Al-Nabhânî, Taqi’ al-Dîn. Nizhâm al-Islâm, Cet. 6. t.t.p.: Hizb al-Tahrir, 2001. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2002. Qadir, Zuly, dan Luthfi Assyaukanie. Wajah Liberal Islam di Indonesia. Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002. Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

260


H. A. Kadir Sobur: Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

Al-Shalabî, ‘Ali Muhammad. Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahl al-Sunnah wa alJama`ah, terj. Masturi Irham & Malik Supar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Zallum, ‘Abd. al-Qadim. Demokrasi Sistem Kufur, terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi. Bogor, Pustaka Thariq al-Izzah, 1994. Zar, Sirajuddin. “Islam dalam Kepemimpinan Indonesia,” dalam al-Turas, Oktober 1995Januari 1996.

261


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

QUO-VADIS ISLAM MODERAT INDONESIA? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Masdar Hilmy Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Jl. Jendral Ahmad Yani No. 117, Surabaya, 60237 e-mail: hilmy@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini hendak membongkar mitos Islam moderat Indonesia melalui pengamatan terhadap dua organisasi keagamaan yang selama ini dikenal sebagai “juara” Islam moderat yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pertanyaan yang mengemuka adalah, pertama, apakah benar bahwa pandangan-pandangan keagamaan kedua organisasi ini moderat; kedua, apakah ada Islam moderat yang khas Indonesia, dan ketiga, bagaimana—setelah membongkar mitos—membangun sebuah cetak-biru Islam Indonesia yang aplikatif dan adaptif. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa teologi moderat kedua organisasi ini tidak cukup lagi untuk mengakomodasi tantangan era modern. Sekalipun pencapaian kedua organisasi ini patut diapresiasi sebagai pelopor dalam merumuskan Islam moderat di Indonesia yang visible secara rinci, mereka perlu membangun argumen yang lebih mapan untuk visi moderat “dari dalam.” Abstract: Quo-vadis Moderate Islam Indonesia? Reconsidering the NU and Muhammadiyah Modernism. This paper tries to unravel the “myth” of Indonesia’s moderate Islam by analyzing two mainstream religious organizations which have long enjoyed their reputation as the champion of moderate Islam: Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah. The questions put forward are: first, whether the religious worldviews of the two organizations are moderate in nature; second, whether there is such thing as typically Indonesian moderate Islam; and third, how to construct a viable and workable blue-print of Indonesia’s moderate Islam. This paper reveals that the moderate theology of both organizations is no longer sufficient in accommodating the challenges of this modern era. Although the achievement of both organizations deserve appreciation as a pioneering attempt at making a more detailed but visible formulation of Islamic moderatism in Indonesia, they need to construct a more established argument for moderate vision “from within.”

Kata Kunci: modernisme Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah 262


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

Pendahuluan Pada sebuah Konferensi tahunan ke-33 Association of Muslim Social Scientists (AMSS) yang diselenggarakan pada 24-26 September 2004 di George Mason University Law School di Arlington, Virginia, AS, dengan tema “Revisioning Modernity: Challenges and Possibilities for Islam,” sejumlah kertas kerja mencoba untuk mengkritisi dan mereformulasi apa dan siapa Muslim moderat itu. Salah satu kertas kerja mengangkat tema “Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and Post-Islamism,”1 menggarisbawahi bahwa yang disebut Muslim “moderat” adalah mereka yang menolak pemberlakuan kekerasan sebagai garis ideolog dan perjuangannya. Dalam konteks Amerika dan Barat, konsep dan praksis moderatisme Islam boleh jadi berbeda dari konsep dan praksis yang sama di Indonesia. Di Amerika, konsep moderatisme lebih banyak menekankan pada mentalitas keberagamaan yang kritis-reflektif, pro-demokrasi dan HAM, serta mendukung ideologi sekularisme. Fitur moderatisme terakhir jelas akan problematik jika ditarik ke dalam konteks Islam Indonesia. Tulisan ini hendak membongkar mitos moderatisme Islam Indonesia melalui pengamatan terhadap dua organisasi keagamaan yang selama ini dikenal sebagai “juara” moderatisme Islam yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pertanyaan yang hendak dikembangkan adalah apakah benar bahwa pandangan-pandangan keagamaan kedua organisasi ini moderat? Adakah moderatisme Islam yang khas Indonesia? Bagaimana— setelah membongkar mitos—membangun sebuah cetak-biru Islam Indonesia yang aplikatif dan adaptif?

Persoalan Semantik Moderatisme merupakan sebuah istilah atau nomenklatur konseptual yang tidak mudah untuk didefinisikan. Hal ini karena ia menjadi istilah yang diperebutkan pemaknaannya (highly contested concept), baik di kalangan internal umat Islam maupun eksternal nonMuslim. Ia dipahami secara berbeda-beda oleh banyak orang, tergantung siapa dan dalam konteks apa ia didekati dan dipahami.2 Khazanah pemikiran Islam Klasik memang tidak mengenal istilah “moderatisme”. Tetapi, penggunaan dan pemahaman atasnya biasanya merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, di antaranya al-tawassut (al-wast), al-qist, al-tawazun, al-i‘tidal, dan semacamnya. Oleh sejumlah kalangan umat Islam, kata-kata tersebut dipakai untuk merujuk pada modus keberagamaan yang tidak melegalkan kekerasan sebagai jalan keluar Kamran A. Bokhari, “Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and Post-Islamism,” (Kertas Kerja: The 33rd Annual Conference of the Association of Muslim Social Scientists (AMSS), 2004. 2 John L. Esposito, “Moderate Muslims: A Mainstream of Modernists, Islamists, Conservatives, and Traditionalists,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005, h. 12. 1

263


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 untuk mengatasi berbagai persoalan teologis dalam Islam. Oleh karena moderatisme merupakan kata yang relatif dan dipahami secara subyektif oleh banyak orang, maka ia selalu mengundang kontroversi dan bias-bias subyektif. Ia juga tidak pernah netral dari berbagai macam kepentingan politik-ekonomi. Sebagai akibatnya, kepelikan semantik semacam inilah yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk sampai pada tahap konklusif tentang apa dan siapa Islam moderat itu. Jika kita melihat definisi moderat pada kamus bahasa Inggris, maka akan dijumpai kata moderate yang bermakna 1) average in amount, intensity, quality, etc; not extreme [ratarata dalam jumlah, intensitas, kualitas, dan lain-lain; tidak ekstrem]; misalnya jumlah yang tidak banyak atau sedikit, kualitas yang tidak bagus atau jelek, intensitas yang tidak sering dan tidak pula jarang, dan seterusnya; 2) of or having (usu political) opinions that are not extreme [pandangan politik yang tidak ekstrem; misalnya pandangan politik yang tidak ekstrem kiri tau ekstrem kanan; 3) keeping or kept within limits that are not excessive [menjaga dalam batas-batas yang tidak berlebihan]; makan atau minum dalam batas-batas yang tidak berlebihan.3 Dalam tradisi pemikiran keagamaan, derajat moderatisme paham keberagamaan dipahami secara berbeda-beda sesuai dengan konteks masing-masing lokalitas tertentu. Sekalipun secara generik konsep moderatisme memiliki kerangka pikir yang relatif sama, jika dikaitkan dengan konteks lokalitas tertentu ia berimplikasi pada pemaknaan yang beragam. Secara generik, konsep moderatisme bermakna jalan tengah, pilihan di antara dua kutub ekstremitas pemikiran keagamaan. Dalam tradisi pemikiran keagamaan, kutub ekstremitas seringkali didefinisikan sebagai al-guluw–Yûsuf al-Qardhâwî sering menyebutnya sebagai al-mutatarrif—dan moderatisme sering disebut sebagai al-wast yang berarti jalan tengah (middle-path atau middle-way).4 Jika merujuk secara spesifik pada konteks lokalitas tiap-tiap komunitas atau negara, niscaya akan didapati pemahaman yang beragam tentang konsep moderatisme. Konsep moderatisme di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia jelas berbeda dari konsep moderatisme di negara minoritas Muslim seperti AS dan negara Barat lainnya. Di Indonesia, konsep moderatisme seringkali dipahami sebagai pemikiran dan paham keagamaan yang tidak mengadopsi dua kutub pemikiran: pemikiran liberal Barat di satu sisi, dan pemikiran ekstrem radikal di sisi lain. Dalam konteks ini, kelompok moderat terletak di antara kedua kutub tersebut. Dalam konteks pemahaman teologis, moderatisme seringkali diasosiasikan dengan konsep “la-wa-la”, sebuah istilah yang berkonotasi pejoratif pada konsep yang bermakna “tidak-tidak”: tidak ke Barat atau Timur, tidak ekstrem kanan atau kiri, tidak literalis Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1994), h. 798. Al-Wast diartikan oleh Hans Wehr sebagai middle-path, jalan tengah. Hans Wehr, Modern Written Arabic (Gçttingen: Otto Harrassowitz Verlag, 1979), h. 1248. 3 4

264


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

atau liberalis, dan seterusnya. Oleh sebagian kalangan, konsep semacam ini diartikan sebagai sebuah ketidakjelasan bersikap. Kondisi semacam ini menggambarkan absennya fundamen teologis yang semestinya dapat diidentifikasi dengan jelas dan tegas. Sebagian kalangan menolak terma ini atas argumentasi ambiguitas makna yang dikandungnya. Pertanyaan remeh tetapi menggelitik adalah jika secara konseptual konstruk moderatisme Islam tidak Barat dan juga tidak Timur, tidak liberal dan juga tidak literal, lalu bentuk konkretnya seperti apa? Penolakan sebagian orang juga dilandasi oleh sebuah pemikiran bahwa Islam moderat tidak menggambarkan semangat keberagamaan (girah diniyah) yang kuat.5 Mereka menangkap kesan bahwa moderatisme tidak mencerminkan greget beragama yang kâffah. Seolah-olah Islam moderat merupakan format yang tereduksi atau terdegradasi dari model keberagamaan yang kâffah tadi (downgraded-version of Islam). Dalam pandangan mereka, Islam moderat bukanlah Islam yang sesungguhnya atau kurang derajat keberislamannya (less Islam). Kelompok semacam ini tidak menghendaki pengatribusian berbagai label yang dilekatkan ke Islam, seperti “Islam literal,” “liberal” atau “moderat.” Dengan demikian, pengatribusian berbagai label ke dalam Islam secara politik mengesankan bahwa realitas Islam terfragmentasi. Mereka menyanggah argumen semacam ini dengan menegaskan bahwa Islam hanya ada satu.6 Argumen lain untuk menolak penggunaan moderatisme adalah bahwa kata ini merupakan istilah khas Barat yang tidak memiliki akar teologis dalam tradisi pemikiran Islam. Pihak Barat mungkin secara sengaja hendak menggerogoti kekuatan Islam dengan cara menciptakan istilah-istilah yang tidak autentik dan justru berdampak negatif terhadap soliditas umat Muslim. Penolakan semacam ini mengingatkan seseorang pada penolakan yang sama atas sejumlah terma yang diasumsikan sepaket dengan modernitas seperti demokrasi, HAM, pluralisme dan multikulturalisme, dan semacamnya, yang dianggap hanya rekayasa pihak Barat untuk menghancurkan identitas dan pemikiran keislaman.7 Menurut sebagian dari mereka, seluruh istilah ini adalah temuan Barat yang tidak dijumpai padanannya dalam al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab Klasik lainnya. Dalam konteks pemikiran keislaman di Indonesia, konsep moderatisme Islam memiliki sekurang-kurangnya lima karakteristik berikut ini. Pertama, ideologi non-kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Kedua, mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya, seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM dan semacamnya. Ketiga, penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran Islam. Keempat, M. A. Muqtedar Khan, “Islamic Democracy and Moderate Muslims: The Straight Path Runs through the Middle,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005, h. 40. 6 Ibid. 7 Masdar Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism (Singapore: ISEAS, 2010), h. 165-169. 5

265


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam. Kelima, penggunaan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (istinbat). Namun demikian, kelima karakteristik tersebut dapat diperluas menjadi beberapa karakteristik lagi seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama yang berbeda. Sementara itu, pemahaman atas konsep moderat di AS jelas berbeda sebagai paham paham atau pemikiran Islam yang tidak mengadopsi cara-cara kekerasan dalam beramar ma‘rûf nahi munkar. Dalam konteks Amerika, moderatisme seringkali mengandung bias-bias ideologis-politis-ekonomi sesuai dengan kecenderungan mutakhir yang tengah berlangsung di negeri tersebut. Konteks moderatisme teologis seringkali dikaitkan dengan peristiwa September 11 yang meruntuhkan menara kembar WTC. Serangan al-Qaedah terhadap pusat-pusat peradaban dan kedigdayaan AS dianggap sebagai turning point (titik balik) perubahan paradigmatik dalam memahami konsep moderatisme. Jika sebelum September 11 konsep moderatisme banyak dipahami sebagai varian atau sikap keberagamaan yang nirkekerasan, maka setelah September 11, konsep moderatisme telah diseret sedemikian jauh ke dalam kontestasi identitas keberagamaan untuk mengidentifikasi garis demarkasi yang membedakan identitas pro-Barat dan pro-kelompok ekstremis. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa konsep moderatisme di AS seringkali dipahami secara tumpang-tindih dengan mereka yang mendukung demokrasi, HAM, paham sekularisme, kebijakan Amerika tentang war on terror, dan semacamnya. Di kalangan media AS, kalangan Muslim moderat seringkali diindikasikan sebagai kelompok yang pro-Barat dalam visi politiknya ataupun yang kritis dalam pemikiran keagamaannya.8 Sementara itu, istilah Islam moderat seringkali dipakai secara pejoratif sebagai mereka yang visi keberagamaannya sekuler dan secara normatif kurang “Islami.” Di AS, Muslim moderat adalah mereka yang menerapkan versi Islam yang lebih lunak—semacam keberislamannya John Esposito, Irshad Manji dan Karen Armstrong—yang mau hidup secara berdampingan dengan non-Muslim dan merasa nyaman dengan demokrasi dan pemisahan agama dan negara.9 Konteks politik global juga sering menjadi konsideran dalam memaknai moderatisme Islam.10 Dalam kaitannya dengan konsep moderatisme, respons politik sekelompok Muslim atas konstelasi politik global sering menjadi pertimbangan lain untuk memahami konsep moderatisme. Kelompok Muslim yang tidak merespon secara keras terhadap konflik IsraelPalestina banyak dianggap sebagai kelompok moderat. Atau, dalam konteks pendudukan pasukan multinasional di sejumlah negara berpenduduk Muslim seperti di Afghanistan dan Irak, kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menentang pendudukan tersebut, bahkan seringkali mendukungnya dengan alasan demokratisasi. Intinya, kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menunjukkan respons berlebihan Khan, “Islamic Democracy and Moderate Muslims,” h. 40. Ibid. 10 Graham E. Fuller, “Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005, h. 21-28. 8 9

266


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

terhadap konflik yang melibatkan negara berpenduduk Muslim di satu sisi, dengan pihak Barat di sisi lain. Sekalipun kata moderatisme sulit didefinisikan, terdapat sejumlah fitur yang dapat dijadikan sebagai payung besar bagi modus keberagamaan moderat di kalangan umat Muslim Indonesia. Di antara kelima karakteristik sebagaimana disebutkan di muka, adalah ideologi nirkekerasan yang dapat menyatukan seluruh anasir Islam moderat ke dalam sebuah enklav moderatisme. Dalam spektrum inilah, NU dan Muhammadiyah merepresentasikan dua model organisasi keagamaan moderat par excellence.

Moderatisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya adalah apa dan bagaimana bentuk moderatisme Islam itu? Siapakah individu dan atau kelompok umat Islam yang bisa diklasifikasikan sebagai kelompok moderat? Apakah Muhammadiyah, NU, atau organisasi dan atau individu lainnya? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi sulit dijawab, terutama ketika dilihat betapa variatifnya modus keberagamaan umat Islam di Indonesia. Islam Indonesia terdiri dari hamparan spektrum ideologi, paham, pemikiran sekaligus aksi umat Islam yang merentang jauh dari ekstrem paling kanan hingga ekstrem paling kiri.11 Sebelum diidentifikasi apa, siapa dan bagaimana Islam moderat dalam konteks Indonesia, tentu saja dibutuhkan sebuah kerangka kerja konseptual (conceptual framework) yang hendak digunakan untuk mengukur derajat moderatisme. Memang keragka kerja moderatisme versi Islam Indonesia boleh jadi berbeda dari kerangka kerja di belahan dunia Muslim lainnya, baik di negara Islam mayoritas maupun minoritas. Konteks sosio-politik di setiap negara jelas memiliki andil signifikan dalam membentuk dan memola pemahaman atas konsep moderatisme. Selain itu, perkembangan sebuah konsep selalu berevolusi sesuai dengan derap langkah perkembangan masyarakat bersangkutan.12 Memang secara umum kelompok moderat menempati titik tengah dalam spektrum pemikiran keislaman. Namun, jika diamati secara seksama, di dalam spektrum Islam moderat juga terdapat sub-spektrum yang merentang dari moderatisme-radikal, moderatisme-tengah, hingga moderatisme-lunak. Moderatisme-radikal dapat dicirikan sebagai paham, pemikiran dan atau gerakan keagamaan radikal salafi yang menganjurkan kembali kepada modus keberagamaan asali yang diambil dari sumber-sumbernya yang otentik yaitu al-Qur’an dan hadis.13 Mereka cenderung menolak modus keberagamaan yang mendasarkan diri

Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia, h. 100. William R. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning (London & New York: Routledge, 1987). 13 Bandingkan dengan Brian S. Farmer, Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-First Century (New York: Peter Lang Publishing Inc., 2008), h. 8-11. 11 12

267


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 pada khazanah pemikiran ulama Klasik.14 Mereka juga menolak peradaban Barat dengan segala macam derivasinya seperti demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan semacamnya, tetapi melalui cara-cara damai, bukan kekerasan. Menurut Erich Kolig dan Greg Fealy melalui penelitiannya masing-masing, konsep moderatisme Islam bukanlah entitas yang memiliki sekat-sekat pembatas yang tegas dan jelas.15 Hal ini terutama karena pandangan moderatisme Islam tidak ditopang oleh sistem teologis yang benar-benar solid dan autentik. Klaim-klaim moderatisme lebih banyak disandarkan pada tiadanya ekstremitas dalam merespon atau bersikap atas sebuah pemikiran. Mayoritas kaum moderat lebih banyak dihuni oleh kalangan “massa mengambang” (floating mass) yang tidak ditopang oleh “narasi tebal” teologis-filosofis.16 Kelompok “massa mengambang” adalah segolongan umat yang cenderung tidak sepenuhnya memedulikan atau tidak memiliki basis argumentasi yang jelas dalam bersikap dan beragama.17 Pendasaran dalam beragama mereka lebih banyak dilakukan melalui faktor-faktor lingkungan sosiologis yang memiliki daya koreksi terhadap pengambilan keputusan kalangan mayoritas dalam mengadopsi sikap keagamaan mereka. Artinya, kecenderungan sikap beragama mereka lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan pragmatis-sosiologis belaka, bukan argumentasi atau narasi teologis yang mendalam. Sebagai akibatnya, sikap dan pandangan keagamaan mereka cenderung mengikuti arus angin, tergantung pada praktik beragama yang tengah menjadi arus-utama. Secara sederana, sikap beragama semacam ini sering disebut sebagai sikap beragama ikutikutan atau—dalam bahasa fikih disebut sebagai—taklid buta, yakni derajat awam dalam strata masyarakat beragama yang hanya mengikuti secara membabi buta apapun yang dihasilkan oleh elit agamawan. Hal yang sama juga berlaku dalam hal Islam radikal dan liberal. Kelompok Islam moderat sebenarnya menempati ruang tengah di antara dua kelompok mutatarrif tersebut yang memungkinkan keleluasaan bergerak bagi mereka. Secara ideologis, pemikiran Islamisme radikal dapat dengan mudah memengaruhi, mengambil simpati dan pada tahap berikutnya menambah kepenganutan dari kelompok moderat “massa mengambang” ini. Artinya, pihak paling dekat yang dapat tertular ideologi Islamisme radikal adalah kelompok Islam moderat, bukan kelompok Islam liberal. Sebaliknya, kelompok moderat “massa mengambang” ini tidak bisa dengan leluasa bergerak ke arah Islam liberal, karena mayoritas John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1994), h. 111. 15 Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?,” dalam Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), h. 104-121; Erich Kolig, “Radical Islam, Islamic Fervour, and Political Sentiments in Central Java, Indonesia,” dalam European Journal of East Asian Studies Vol. IV, No. 1, 2005, h. 57. 16 Masdar Hilmy, “Moderatisme Islam Indonesia,” dalam Kompas (22 Oktober 2011), h. 6. 17 Dalam bahasa sosiologis khas Indonesia, kelompok “massa mengambang” ini barangkali beririsan atau overlapping dengan Islam Abangan, Islam Nominal atau Islam Nasionalis. 14

268


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

penganut Islam liberal cenderung mengabaikan khazanah tradisi keagamaan, sebuah sikap beragama yang tidak dikehendaki oleh para penganut Islam moderat. Memang sebagian besar penganut Islam liberal berasal dari kalangan Islam moderat, tetapi bukan dari sayap “massa mengambang” tadi. Sejumlah pengkaji Islam di Indonesia masih tetap pada pendirian bahwa Islam di negeri ini terdiri dari versi keberagamaan moderat.18 Posisi moderat ini diwakili, misalnya, oleh dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini dikelompokkan ke dalam versi moderatisme Islam karena ketidaksetujuannya dengan sikap dan pandangan keagamaan kalangan garis keras yang menggunakan cara-cara kekerasan, atau mentransformasi ruang publik secara revolusioner-radikal. Kedua organisasi ini juga sejak awal tidak setuju dengan negara Islam, isu laten yang disusung oleh kalangan Muslim garis keras. Bagi keduanya, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai asas ideologisnya, UUD 1945 sebagai basis konstitusinya, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyannya, dianggap sudah cukup mengakomodasi elemen-elemen substantif ajaran Islam moderat yang bervisi rahmat lil ‘âlamîn. Dalam konteks nilai-nilai modernitas, NU dan Muhammadiyah tidak menunjukkan sikap perlawanan terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.19 Demokrasi adalah nilai universal yang tidak hanya dijumpai di negara-negara demokrasi maju seperti Eropa Barat dan AS, tetapi juga bisa digali dari ajaran Islam karena pada dasarnya Islam sejalan dengan demokrasi. Demikian pula dengan HAM, kedua organisasi ini secara umum menegaskan bahwa Islam sangat mengapresiasi HAM sebagai elemen penting dalam kehidupan umat manusia. Karena HAM pula, Islam terbukti mampu meninggalkan tradisi perbudakan pada masa lalu. Selain penerimaan terhadap nilai-nilai modernitas, Islam di Indonesia—terutama kedua organisasi keagamaan di atas—juga dikenal dengan tradisi toleransi atas perbedaan paham keagamaan.20 Jika ditelusuri secara genealogis, Islam Indonesia sebenarnya memiliki tradisi toleransi beragama yang kental, bahkan sejak sebelum Islam datang dan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Islam Indonesia sejatinya memiliki mata rantai yang tidak terputus dengan tradisi toleransi yang ada pada masa Hindu-Buddha, di mana persandingan

Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), h. 60-64. 19 Masykuri Abdillah, Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (Hamburg: Abera Verlag Meyer & Co. KG, 1997). Lihat juga, Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000). 20 Douglas Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance (London & New York: Routledge, 1995). Lihat juga, Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 187. 18

269


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 antara elemen Hindu dan Buddha dalam satu lokus merupakan keniscayaan sejarah, seperti kuil atau candi Hindu-Buddha yang berdiri berdampingan.21 Pertanyaannya adalah, apakah seluruh anggota NU dan Muhammadiyah dapat dipastikan memiliki haluan pemikiran moderat seperti tergambar di atas? Mengikuti spektrum pemikiran yang telah disketsakan di atas, tidak seluruh warga kedua organisasi tersebut dipastikan memiliki haluan moderat. Jika diuraikan lagi, tipologi warga dan penganut kedua organisasi tersebut dapat dipetakan menjadi tiga kelompok, moderatismeradikal, moderatisme-tengah, dan moderatisme-lunak. Kelompok pertama merujuk pada sekelompok individu yang memiliki kecenderungan ideologi keagamaan puritan dan dekat dengan ideologi garis keras. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah bermetamorfosis secara ideologis dengan gerakan garis keras dan menjadi bagian penting dari rank-and-file organisasi keagamaan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), dan semacamnya. Kelompok-kelompok garis keras tersebut menjadikan penganut NU-Muhammadiyah sebagai “lahan dakwah” ideologi mereka. Bahkan di sejumlah daerah di Jawa Timur, terdapat beberapa elit NU yang juga merangkap sebagai juru bicara HTI.22 Sementara itu, kelompok moderatisme-lunak merujuk pada satu segmen terbanyak dari NU-Muhammadiyah yang mayoritas diisi oleh “massa mengambang” atau Muslim awam dengan tingkat pengetahuan keagamaan yang cukup terbatas. Kelompok kedua ini menempati segmen terbesar dari kedua organisasi tersebut. Oleh karena sikap moderatisme mereka lebih karena ikut-ikutan atau karena pertimbangan sosiologis-pragmatis belaka, maka mereka menghadapi kerentanan menjadi potential recruits bagi organisasi garis keras. Hal ini terjadi ketika mereka bertemu dengan salah seorang ustaz (murabbi) dari kelompok garis keras dan sang ustaz mampu melakukan brainwashing yang dapat berujung pada internal conversion di kalangan mereka. Kelompok moderat ketiga adalah mereka yang secara keagamaan merupakan kelompok terpelajar (deeply-learned) dalam ilmu-ilmu keagamaan atau pesantren yang belakangan menjadi agen atau aktor perubahan sosial di lingkungan masing-masing. Mereka pada umumnya adalah para kiai alumni pesantren, baik pesantren salâf maupun khalâf, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang khazanah keilmuan Islam klasik dan modern. Kelompok ini merepresentasikan pemain utama (makers) dalam proyek moderatisme Islam Indonesia yang mampu menggerakkan kesadaran keberagamaan bagi jutaan penganut kedua organisasi tersebut.

M.C. Ricklefs, “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979), h. 100-128. 22 Berdasarkan temuan data lapangan oleh Rubaidi, mahasiswa program Doktoral di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam penelitian untuk disertasinya. 21

270


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

Di kalangan Nahdliyin, misalnya, terdapat banyak tokoh, pemikir, dan atau ulama yang dikenal memiliki karakter pemikiran moderat. Para tokoh moderat ini kebanyakan mengisi jajaran struktur kepengurusan di tingkat pusat atau Pengurus Besar (PB), baik di jajaran Majlis Syuro atau Dewan Tanfidz. Di antara nama-nama kiai NU yang bisa disebut sebagai tokoh moderat adalah KH. Sahal Mahfudz, KH. Hasyim Muzadi, KH. Salahuddin Wahid, KH. Said Aqil Sirodj, KH. Masdar Farid Mas’udi, dan masih banyak lagi yang lain. Sementara itu, di kalangan Muhammadiyah, terdapat nama-nama seperti KH. Ahmad Dahlan, Hamka, Buya Syafi’i Ma’arif, Amin Ra’is, Din Syamsuddin, dan seterusnya, yang dikenal luas karena arus pemikiran moderatnya. Secara kuantitatif jumlah kelompok ini barangkali sangat sedikit—mungkin jauh lebih sedikit dari dua kelompok sebelumnya. Namun demikian, dalam kapasitasnya sebagai agen perubahan sosial, mereka menempati struktur kelas sosial yang paling berpengaruh dalam konfigurasi moderatisme Islam Indonesia yang pada gilirannya mampu menginspirasi jutaan pengikutnya akibat gagasan-gagasan moderatisme yang kuat (powerful ideas of moderatism). Kelompok terakhir inilah yang banyak diharapkan mampu menghasilkan pemikiran atau bahkan cetak-biru moderatisme Islam Indonesia yang lebih aplikatif dan integratif. Visi moderatisme kedua ormas di atas terrefleksikan bukan saja dalam tataran teologis, tetapi juga dalam tataran sosial, politik dan budaya. Secara politik, moderatisme NU dan Muhammadiyah tergambar melalui sikap penerimaan mereka terhadap konstruk negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika—yang kemudian dikenal sebagai 4 (empat) Pilar Kebangsaan.23 Kedua organisasi ini sepakat untuk tidak mengutak-atik keberadaan empat pilar kebangsaan sebagai pembentuk Indonesia. Begitu salah satu dari empat komponen tersebut coba diabaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akibatnya bisa fatal bagi keberlangsungan negara Indonesia modern. Di luar catatan positif tentang penerimaan kedua organisasi keagamaan terbesar tersebut atas, NKRI, Pancasila, UUD 1945, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai demokrasi dan HAM, ada satu fitur yang seringkali menjadi penanda Islam moderat dalam konteks Barat tetapi kehadirannya ditolak oleh keduanya: sekularisme.24 Hampir seluruh lapisan Islam moderat di Indonesia tidak menerima kehadiran sekularisme karena ia dianggap mengandung bias-bias moderatisme khas Barat—yang sangat boleh jadi—berbeda dari konsep moderatisme Islam di Indonesia. Penolakan secara mayoritas ini memang perlu pembuktian empiris di lapangan.

"PBNU: Empat Pilar Negara adalah Ruh Bangsa,” dalam www.nu.or.id, diakses 15/10/

23

2012.

Lihat misalnya, “4 Pilar Bangsa untuk Saring Dampak Negatif Globalisasi,” dalam www.nu. or.id, diakses 15/10/2012. 24

271


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Sepanjang pengalaman Islam Indonesia, sekularisme merupakan kata asing yang terdengar kehadirannya ditolak oleh sebagian besar Muslim moderat, sekalipun kenyataannya sekularisme merupakan fenomena harian yang dipraktikkan dalam kehidupan umat Muslim di negeri ini.25 Hal ini karena sebagian besar Muslim moderat tidak merasa nyaman dengan gagasan pemisahan agama dari negara sebagai nomenklatur politik-kenegaraan. Nomenklatur pemikiran Islam Klasik hanya mengenal doktrin Islam sebagai perpaduan antara agama (aldîn) dan negara (dawlah).26 Dengan kata lain, sekularisme banyak dipahami sebagai “alien” dalam lanskap pemikiran dan praktik keberagamaan Muslim Indonesia. Derajat moderatisme Islam Indonesia juga sering ditentukan oleh cara pandang umat Islam terhadap teks suci (al-Qur’an dan hadis). Kalangan Muslim yang banyak bertumpu pada konteks dalam memahami ayat-ayat Allah atau hadis Nabi Muhammad SAW. sering disebut sebagai kelompok kontekstualis. Kelompok inilah yang diasosiasikan sebagai penghuni utama posisi moderat. Sebaliknya, kelompok Muslim yang cenderung menggunakan pendekatan literal (harfiyah) sering diasosiasikan sebagai kelompok literalis atau tekstualis (radikal). Penggunaan kedua pendekatan ini dapat dilihat, misalnya, dalam memahami bentuk negara yang ideal menurut Islam. Terhadap isu ini, kelompok moderat cenderung menggunakan referensi modern dalam membangun argumentasi mereka tentang bentuk ideal sebuah negara. Sebaliknya, kelompok literal cenderung mengambil beberapa kata atau istilah dalam kedua sumber suci tersebut yang dianggap mengindikasikan kebenaran, misalnya melalui kata khilâfah untuk diterjemahkan menjadi Dawlah atau Khilâfah Islâmiyah, sebagaimana diusung oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).27 Namun demikian, pendemarkasian antara kelompok literalis dan kontekstualis merupakan kategori yang problematis. Hal ini karena masing-masing kelompok ini tidak menerapkan pendekatan metodologisnya secara konsisten dan permanen. Penanda kedua karakteristik ini bahkan semakin memerlihatkan pembauran dan sekaligus saling bertukar. Terdapat saat-saat tertentu di mana kaum literalis lebih mengedepankan konteks dalam memahami doktrin keagamaan. Sebaliknya, ada saat-saat tertentu ketika kaum kontekstualis menghampiri teks suci secara literal. Misalnya, banyak kelompok literalis lebih mengutamakan konteks dalam tata-cara berpakaian (dress-code), sementara itu kaum kontekstualis terkadang sangat literal dalam memahami aspek ibadah.

Dalam formulasi Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI dari NU, jenis sekularisme yang diterapkan dalam kehidupan umat Muslim di negeri ini adalah “sekularisme ringan” (mild secularism). Lihat, Abdurrahman Wahid, “Indonesia’s Mild Secularism,” dalam SAIS Review, 21, No. 2, Summer-Fall 2001, h. 25-27. 26 Lebih jauh tentang doktrin ketidakterpisahan agama dari politik dalam Islam, lihat, misalnya, Dale F. Eickelman and James Piscatori, Muslim Politics (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1996); Lihat juga, James P. Piscatori, Islam in a World of Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press, 1986); Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London & New York: Routledge, 1991). 27 Lihat Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia. 25

272


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

Menuju Cetak-biru Moderatisme Islam Indonesia Sistem berteologi yang di dalam dirinya (in itself sufficient) menopang terhadap praksis keberagamaan moderat menjadi sine qua non dalam spektrum moderatisme Islam Indonesia. Ia haruslah tumbuh dari dalam dirinya dan memancar menerangi ruang publik keberagamaan Indonesia. Jika selama ini konsep moderatisme Islam seringkali dipersandingkan dengan modalitas-modalitas eksternal seperti warisan budaya-spiritual leluhur bangsa yang digali dari anasir-anasir non-Islam, sudah saatnya umat Islam menggali dari ajaran Islam paling autentik untuk merumuskan sebuah cetak-biru moderatisme Islam Indonesia, yakni sebuah bangunan teologis-konseptual yang berpijak pada modalitas internal. Memang NU dan Nuhammadiyah harus diapresiasi sebagai organisasi keagamaan yang telah memelopori terbentuknya modus keberagamaan moderat, terlepas dari sulitnya me-landing-kan rumusan moderatisme ke dalam praksis kehidupan beragama. Rumusan cetak-biru kedua organisasi ini di satu sisi diinspirasi secara langsung oleh doktrin normatif Islam, namun bisa dianggap sebagai local genius aktualisasi pemikiran keagamaan yang tidak ditemukan di belahan dunia Islam lain. Dalam rumuan yang kurang lebih sama, Malaysia memiliki formula “Islam Hadhari,” sebuah nomenklatur pemikiran Islam yang secara khusus dirancang untuk mengakomodasi pergulatan teologis antara dimensi alashalah (autentisitas asali) dengan dimensi al-hadharah (peradaban modern-kekinian).28 Agak mirip dengan format Islam hadhari versi Malaysia, di negeri ini juga sempat populer format keberagamaan “masyarakat madani”.29 Digagas oleh sekelompok ilmuwanintelektual dari kalangan Muslim “modernis” pada awal dekade 1990-an, “masyarakat madani” segera menjadi sebuah nomenklatur politik Islam yang banyak dielu-elukan oleh banyak kalangan sebagai representasi model keadaban Islam Indonesia. “Masyarakat madani” merepresentasikan membuncahnya kelas menengah Muslim di atas panggung politik nasional, setelah pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru mereka lebih banyak dimarginalkan oleh rezim penguasa. Lebih penting lagi, “masyarakat madani” merepresentasikan versi keberagamaan Islam moderat yang memadukan antara dimensi modernitas dan dimensi primordialitas identitas keagamaan. Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya sejak penerimaan asas tunggal Pancasila pada Muktamar Situbondo 1984 yang belakangan dikenal sebagai gerakan kembali ke Khittah 26, NU sebenarnya telah memperlihatkan pergerakan pendulum keberagamaan ke tengah titik-tengah moderatisme. Perjalanan sejarah keberagamaan di kalangan NU

Terence Chong, “The Emerging Politics of Islam Hadhari,” dalam Saw Swee-Hock & K. Kesavapany (ed.), Malaysia: Recent Trends and Challenges (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), h. 26-46. 29 M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999). 28

273


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 tentu saja memperlihatkan dinamika internal yang sangat beragam dan fluktuatif, dan tantangan dari kalangan sayap kanan untuk mempertanyakan serta meruntuhkan bangunan moderatisme Islam akhir-akhir ini tidak bisa dianggap remeh. Untuk menopang bangunan moderatisme Islam, sejumlah ulama NU kenamaan— seperti KH. Achmad Siddiq, KH. Ali Maksum, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain— telah merumuskan sebuah peta jalan beragama (road-map to moderate Islam) yang disebut sebagai teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (sering disingkat ASWAJA), yakni jalan beragama yang mengikuti Rasulullah SAW., para sahabatnya, para tabi‘in, dan segenap al-salaf al-shâlih yang diasumsikan dapat menjamin kemurnian ajaran agama.30 Bangunan moderatisme teologis NU ditopang oleh “trilogi” ajaran yaitu al-tawâssuth (pertengahan), i‘tidâl (tegak lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri), dan al-tawâzun (keseimbangan, tidak berat sebelah antara dimensi duniawi dan ukhrawi).31 Konsep altawâssuth diderivasi dari ayat al-Qur’an (al-Baqarah/2: 143), konsep al-i’tidal diderivasi dari QS al-Mâ’idah/5: 8, sementara itu konsep al-tawâzun diambil dari Q.S al-Hadîd/57: 25. Manifestasi ketiga prinsip dan karakter di atas, menurut sejumlah ulama NU, harus ditampakkan pada seluruh bidang ajaran Islam seperti bidang akidah, syariah, tasawuf dan akhlak, bidang mu’âsharah (pergaulan sosial), bidang kehidupan bernegara-bangsa, bidang kebudayaan, bidang dakwah, dan bidang-bidang lain.32 Sebagai sebuah modalitas, tentu saja rumusan ASWAJA tersebut baru sebatas “cikalbakal” cetak-biru moderatisme, dan belum cetak-biru itu sendiri. Ia bukanlah rumusan ideal yang dapat mengakomodasi seluruh kecenderugan baru dalam kehidupan beragama yang jauh lebih kompleks dan menantang. Hal lain dari kosmologi keberagamaan ala NU dan pesantren adalah dipergunakannya sejumlah perangkat metodologis yang dipakai untuk menghampiri Islam melalui kedua sumbernya, al-Qur’an dan hadis. Perangkat metodologis tersebut seperti kaidah ushûliyyah, kaidah usul fikih, maslahah, istihsân, istishab, qawl shahabi, sadd al—zhara‘i, dan sebagainya. Namun demikian, penggunaan sejumlah perangkat metodologis di atas dalam arus pemikiran NU dapat diibaratkan pedang bermata ganda; di satu sisi ia cenderung melanggengkan ortodoksi keagamaan akibat perujukan yang tidak langsung terhadap al-Qur’an dan hadis. Namun di sisi lain, penggunaan perangkat tersebut meruangkan eksperimentasi dan artikulasi berpikir yang dapat menumbuhkan kreativitas dan kebebasan berpikir melalui pemanfaatan metode ilhaqi dalam proses istinbath hukum Islam. Harus diakui, dari sinilah sebenarnya kecerdasan lokal yang membuahkan terobosan dan lompatan berpikir terlahir dari rahim NU. Kemunculan kecenderngan berpikir progressif, bahkan Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah (Surabaya: Khalista bekerjasama dengan LTN-NU Jawa Timur, 2006), h. 27. 31 Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut NU) (Surabaya: Khalista, 2007), h. 69-71. 32 Ibid., h. 72-73. 30

274


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

liberal, di sejumlah kalangan anak muda NU sebenarnya mereprsentasikan berfungsinya perangkat-perangkat metodologis di atas dalam dialektika pemikiran keagamaan kontemporer.33 Di kalangan penganut Muhammadiyah, di sisi lain, apresiasi terhadap khazanah pemikiran dan metodologi ijtihad sebagaimana banyak dikembangkan di tubuh NU praktis kurang terawat dengan baik akibat pembakuan slogan “al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.).34 Untuk konteks Islam Indonesia, penggunaan perangkat metodologis bagi proses pembaruan sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh Muhammadiyah, bukan oleh NU.35 Pendirian Muhammadiyah pada mulanya diinspirasi oleh keprihatinan sejumlah elit Muslim atas kondisi keterbelakangan umat. Keprihatinan inilah yang pada tahap selanjutnya melahirkan benihbenih pembaruan pemikiran Islam (tajdîd dan ijtihad), yang di kalangan NU bahkan banyak dianggap sudah tertutup. Di kalangan muda Muhammadiyaah sendiri muncul sebuah kesadaran akan pentingnya merevitalisasi tajdîd sebagai mekanisme menggerakkan visi pembaruan organisasi ini. Dalam rangka merespon kritik terhadap Muhammadiyah tentang stagnasi visi pembaruan organisasi ini, sejumlah generasi muda membentuk Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), sebuah jaringan yang sepadan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) di kalangan anak muda NU. Dipelopori oleh generasi muda seperti Zuly Qadir, Abd. Rahim Ghozali, Hilman Latief, dan lainnya, organisasi ini dibentuk pada 9 Oktober 2003 untuk mengangkat kembali semangat pembaruan yang menjadi branding utama dari Muhammadiyah sejak kelahirannya.36 Penerimaan dan pemanfaatan perangkat metodologis semacam ini terbukti telah mengantarkan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu par excellence dan, karenanya, mendapatkan julukan sebagai organisasi modernis—karena visi positif-proyektif terhadap modernitas.37 Melalui gerakan tajdîd, Muhammadiyah mulai melancarkan serangkaian proses pembaruan di tubuh internal umat Islam Indonesia. Sekalipun mendapatkan perlawanan dan resistensi dari kalangan Muslim tradisionalis, gerakan pembaruan Muhammadiyah Lihat Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekuler Baru (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004); Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda NU dari Tradisionalisme ke Post-Tradisionalisme (Surabaya: Jawa Pos Books, 2004); Hairus Salim H.S. & Muhammad Ridwan (ed.), Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1999). 34 Moenawar Chalil, Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (Djakarta: Bulan Bintang, 1956). 35 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal (Surabaya: LPAM, 2002), h. 105. 36 Suaidi Asyari, Nalar Politik NU & Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris (Yogyakarta: LKiS-Center for the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society, 2009), h. 262. 37 Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia: 1900-1942 (Singapore: Oxford University Press, 1973). 33

275


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 berada pada jalur point of no return, dan belakangan banyak mengambil kepenganutan dari kalangan Muslim tradisionalis. Salah satu contoh gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang belakangan diamini dan bahkan diikuti oleh kalangan tradisionalis adalah mengubah bahasa pengantar dalam khutbah Jum’at dan dua hari raya dari bahasa Arab—sebagaimana banyak dijumpai di kalangan tradisionalis—ke bahasa lokal dan nasional.38 Namun ibarat pedang bermata ganda, disamping menjadi batu loncatan bagi proyek pembaruan, slogan “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah/hadis Nabi” mungkin saja telah membunuh semangat pembaruan dari dalam.39 Kejumudan berpikir menjadi isu kritis yang banyak dilontarkan kepada Muhammadiyah akhir-akhir ini, terutama ketika generasi muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang hendak meremajakan kembali semangat tajdîd banyak ditentang oleh sebagian generasi tua. Pertentangan antar-generasi ini bahkan telah menelan “korban.” Mohammad Shofan, salah seorang tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik, yang diberi sanksi berupa pemecatan sebagai dosen akibat gagasan-gagasannya yang dianggap anomali dengan paham keagamaan arus-utama di Muhammadiyah. Di kalangan Nahdliyin, pemanfaatan metodologi pembaruan oleh generasi muda NU ternyata masih belum cukup mengantarkan organisasi ini menjadi pembaharu, meskipun belakangan ini terjadi lompatan-lompatan paradigmatik-metodologis di kalangan generasi muda NU akibat pencerahan pendidikan. Selain itu, identitas tradisionalisme NU lebih disebabkan oleh apresiasi yang cukup berlebihan atas khazanah pemikiran ulama Klasik sebagaimana terekam dalam kitab kuning.40 Dengan demikian, apresiasi terhadap khazanah pemikiran Klasik berakna bahwa NU sangat menjunjung tinggi khazanah tradisi yang belakangan menjadi modalitas organisasi ini menapaki tradisi pemikiran “posttradisionalisme.”41 Kerja-kerja moderatisme Islam membutuhkan perluasan, pendalaman dan penggalian yang lebih autentik atas khazanah tradisi Islam Klasik, mulai dai sîrah Nabâwiyah, kehidupan sahabat, hingga praktik al-salaf al-shâlih melalui perspektif modernitas. Namun, kerjakerja moderatisme Islam pada ujungnya meniscayakan cara pandang umat Islam terhadap W. Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Lihat juga, Abdul Munir Mulkhan, Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemaanusiaan, Kado Satu Abad (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 236. 39 Suaidi Asy’ari, “A Real Threat from Within: Muhammadiyah’s Identity Metamorphosis and the Dilemma of Democracy,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. I, No. 1, June 2007, h. 18-41. 40 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Badung: Mizan, 1995); Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146, 1990, h. 226-269. 41 Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 25. 38

276


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

al-Qur’an dan hadis; kapan harus menempatkan keduanya sebagai rujukan langsung dan kapan menempatkan keduanya sebatas sebagai basis etika. Memang benar bahwa Islam moderat dan Islam radikal sama-sama menempatkan al-Qur’an dan hadis sebagai basis normatif dalam mengembangkan sikap keberagamaan mereka. Namun, istilah “basis normatif” memiliki konotasi makna yang beragam; mulai dari rujukan langsung sampai sebatas sumber inspirasi. Ada hal-hal yang secara literal harus merujuk langsung pada kedua sumber tersebut dan karena itu, diterima serta dipraktikkan apa adanya; namun ada hal-hal yang diambil semangatnya saja. Di sinilah derajat moderatisme Islam akan dipertaruhkan. Dalam konteks inilah, tajdîd menemukan signifikansinya dalam membangun modus kebergamaan moderat. Ajaran-ajaran yang sudah anakronistik dengan semangat zaman—karena bias budaya lokal Arab, misalnya—dapat dimoderasi melalui mekanisme metodologis istinbath atau tajdîd tersebut. Ajaran Islam yang mengandung dimensi habl min Allâh (ibadah ritual-vertikal) bisa diambil secara letterlijk, apa adanya. Sementara itu, dimensi ajaran habl min al-nâs (dimensi sosial-horizontal-publik) yang mengatur pola interaksi antar-sesama manusia dalam sebuah wadah institusi Negara bisa dimoderasi melalui tajdîd sesuai dengan konteks perkembagan zaman atau perubahan ruang dan waktu. Jika konsep moderatisme Islam selama ini lebih banyak berjalan secara sentripetal, maka sekarang ini sudah saatnya menarik pendulum konsep moderatisme ke arah sentrifugal ajaran Islam. Jika modus yang pertama lebih banyak mengandalkan kelenturan Islam untuk mengadaptasikan dirinya dengan aspek eksternal khazanah keindonesiaan, maka modus yang kedua lebih banyak bertumpu pada penggalian ke dalam ajaran Islam itu sendiri, untuk kemudian merelevansikannya dengan khazanah keindonesiaan. Metode dan pendekatan penggalian tersebut tidak selamanya dilakukan secara letterlijk, dalam artian menggali norma-norma ajaran Islam yang mengandung aspek moderatisme dari sumber-sumber yang paling autentik. Metode atau pendekatan dimaksud bisa berupa— meminjam kerangka metodologis Fazlur Rahman—”double movement” yang dilakukan dengan cara mengonsultasikan modernitas dengan konteks ajaran Islam normatif ketika ia diwahyukan, untuk kemudian dikembalikan lagi pada konteks sekarang.42

Penutup Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa entitas Islam Indonesia telah menikmati reputasi sebagai versi keberagamaan yang moderat berkat dua organisasi keagamaan terbesar di negeri ini: NU dan Muhammadiyah. Namun demikian, teologi moderat kedua

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: Chicago University Press, 1984), h. 7. 42

277


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 organisasi ini tidak lagi mampu mengakomodasi perubahan dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks dan menantang. Sebagaimana telah dijelaskan oleh kertas kerja ini, banyak jalan menuju sebuah cetak-biru moderatisme Islam Indonesia. Sekarang adalah saat yang tepat untuk menunjukkan pada dunia bahwa Islam Indonesia memiliki bangunan teologi moderat yang autentik yang digali dari ajaran Islam, bukan sematamata bersandar pada modalitas eksternal. Dalam konteks ini, fenomena “konversi internal” umat Islam dari kepenganutan ideologi moderat menuju ideologi garis keras harus dipersepsi sebagai sebuah tamparan serius akan pentingnya merumuskan sebuah ceak-biru teologi Islam moderat yang lebih detil tapi aplikatif. Bagi Muhammadiyah, para pengikut dan anggotanya sudah seharusnya tetap berpegang pada semangat tajdîd yang menjadi identitas organisasi ini. Hal yang demikian ini agar menjadi modalitas teologis untuk dapat mengembangkan sebuah cetak biru moderatisme Islam yang jauh lebih kokoh dan mendalam. Program-program pembaruannya mesti dilanjutkan dengan kerja-kerja lebih konkret sebagai kontinum dari gerakan pembaruan keagamaan yang dirintis sejak 1920-an. Di sisi lain, pendasaran yang terlalu berlebihan terhadap slogan “kembali kepada al-Qur’an dan hadis” justeru dapat membunuh semangat dan visi pembaruan yang diusung organisasi ini. Bagi NU, demikian pula, formulasi sejumlah konsep kunci semacam al-tawâssut (moderasi), al-tawâzun (keseimbangan), al-I‘tidâl (harmoni) dan al-tasâmuh (toleransi), harus diapresiasi sebagai tahap awal untuk mengembangkan sebuah cetak biru moderatisme Islam Indonesia. Namun demikian, formulasi semacam ini banyak dikritik oleh sejumlah kalangan “garis keras” sebagai formulasi “tidak-tidak” yang ambigu. Sejumlah kalangan bahkan mengkritik rumusan teologi moderat semacam ini sebagai versi keberagamaan yang kurang Islam atau Islam yang terdegradasi. Karena itu, formulasi ini membutuhkan elaborasi lebih jauh di tingkat praksis. Pendek kata, prinsip moderatisme yang dikembangkan NU perlu dielaborasi secara lebih detail jika organisasi ini berkehendak menjaga elan vitalitasnya di antara masyarakat modern. Prinsip moderatisme Islam yang baik mestilah merefleksikan sebuah komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi Islam secara normatif tanpa harus mengorbankan karakteristik keadabannya. Di atas itu semua, proyek moderatisme Islam Indonesia mestilah berangkat dari dalam (from within). Adalah kenyataan yang tidak terbantahkan jika common denominator semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan simbol budaya (cultural emblems) yang menyampaikan pesan-pesan moderatisme. Tetapi, simbol budaya semacam ini dikembangkan dari luar (from without) yang kurang memiliki sense of being authentic dalam perspektif identitas keberagamaan. Dengan cara demikian, fondasi moderatisme Islam Indonesia akan menemukan pijakan yang lebih kokoh karena dikembangkan dari modalitas internal.

278


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

Pustaka Acuan Abdillah, Masykuri. Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy. Hamburg: Abera Verlag Meyer & Co. KG, 1997. Azra, Azyumardi. Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta: Equinox Publishing, 2006. Asyari, Suaidi. Nalar Politik NU & Muhammadiyah: Over Crossing Java Sentris. Yogyakarta: LKiS-Center for the Study of Contemporary Indonesian Islam and Society, 2009. Asy’ari, Suaidi. “A Real Threat from Within: Muhammadiyah’s Identity Metamorphosis and the Dilemma of Democracy,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. I, No. 1, June 2007. Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London & New York: Routledge, 1991. Bokhari, Kamran A. “Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and PostIslamism,” Kertas Kerja disampaikan pada The 33rd Annual Conference of the Association of Muslim Social Scientists (AMSS) yang diselenggarakan pada 24-26 September 2004 di George Mason University Law School di Arlington, Virginia, AS. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Badung: Mizan, 1995. Bruinessen, Martin van. “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146, 1990. Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1994. Bush, Robin. Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS, 2009. Chalil, Moenawar. Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Djakarta: Bulan Bintang, 1956. Chong, Terence. “The Emerging Politics of Islam Hadhari,” dalam Saw Swee-Hock & K. Kesavapany (ed.), Malaysia: Recent Trends and Challenges. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006. Eickelman, Dale F., dan James Piscatori, Muslim Politics. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1996. Esposito, John L. “Moderate Muslims: A Mainstream of Modernists, Islamists, Conservatives, and Traditionalists,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005. Farmer, Brian S. Undurstanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-First Century. New York: Peter Lang Publishing Inc., 2008. Fealy, Greg. “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?,” dalam Southeast Asian Affairs 2004. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004. Fuller, Graham E. “Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005. 279


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press, 2000. Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore: ISEAS, 2010. Hilmy, Masdar. “Moderatisme Islam Indonesia,” dalam Kompas, 22 Oktober 2011. H.S., Hairus Salim, & Muhammad Ridwan (ed.). Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS, 1999. Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekuler Baru. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. Surabaya: LPAM, 2002. Khan, M.A. Muqtedar. “Islamic Democracy and Moderate Muslims: The Straight Path Runs through the Middle,” dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. XXII, No. 3, Summer 2005. Kolig, Erich. “Radical Islam, Islamic Fervour, and Political Sentiments in Central Java, Indonesia,” dalam European Journal of East Asian Studies Vol. IV, No. 1, 2005. Mulkhan, Abdul Munir. Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemaanusiaan, Kado Satu Abad. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Muzadi, Abdul Muchith. NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut NU). Surabaya: Khalista, 2007. Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia: 1900-1942. Singapore: Oxford University Press, 1973. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1994. “PBNU: Empat Pilar Negara adalah Ruh Bangsa,” dalam www.nu.or.id, diakses 15/10/ 2012. “4 Pilar Bangsa untuk Saring Dampak Negatif Globalisasi,” dalam www.nu.or.id, diakses 15/10/2012. Piscatori, James P. Islam in a World of Nation-States. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: Chicago University Press, 1984. Ramage, Douglas. Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance. London & New York: Routledge, 1995. Ricklefs, M.C. “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam. New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979. Roff, William R., (ed.). Islam and the Political Economy of Meaning. London & New York: Routledge, 1987. 280


Masdar Hilmy: Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?

Sairin, W. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Siddiq, Achmad. Khittah Nahdliyyah. Surabaya: Khalista bekerjasama dengan LTN-NU Jawa Timur, 2006. Sholeh, Shonhadji. Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda NU dari Tradisionalisme ke Post-Tradisionalisme. Surabaya: Jawa Pos Books, 2004. Voll, John Obert. Islam Continuity and Change in the Modern World. Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1994. Wahid, Abdurrahman. “Indonesia’s Mild Secularism,” dalam SAIS Review 21, No. 2, Summer-Fall 2001. Wehr, Hans. Modern Written Arabic. Gçttingen: Otto Harrassowitz Verlag, 1979.

281


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

KEPERCAYAAN ANIMISME DAN DINAMISME DALAM MASYARAKAT ISLAM ACEH Ridwan Hasan Jurusan Dakwah STAIN Malikussaleh Jln. Cempaka No. 1 Lancang Garam, Lhokseumawe, 24300 e-mail: ridwanmth@yahoo.com

Abstrak: Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang religius. Agama Islam memainkan peranan penting dalam mengarahkan perilaku keseharian masyarakatnya. Namun, dalam kenyataan, masih terdapat beberapa unsur kepercayaan pra Islam yang berkembang dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha menggali unsur kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat Islam Aceh, mulai dari kelahiran sampai kematian maupun kepercayaan yang masih dipertahankan. Penelitian eksploratif ini menggunakan pendekatan kualitatif. Studi ini menemukan bahwa, masyarakat Islam Aceh hingga sekarang ini masih mengamalkan dan memercayai ajaran agama dan kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Mereka percaya dan menganggap bahwa objek tertentu mempunyai kekuatan gaib serta dapat memberikan pertolongan, suatu kepercayaan yang berbau bid’ah dan tahayul yang sudah menyatu menjadi bentuk kepercayaan yang tidak terpisahkan dalam keseharian masyarakat. Abstract: Animism and Dynamism amongst the Achehnese Islamic Society. The Achehnese has been widely known to be religious society. Islamic religion plays an important role in leading the daily activities amongst the Achehnese. In reality, however, some pre Islamic believes still continue to developed in the society. This paper attempts to study the aspects of animism and dynamism believes in the Islamic society of Acheh, be they from the birth until death or the belief that is still preserved. This explorative research utilizes a qualitative approach. The study reveals that Achehnese Muslim thus far, though they adhere to religious teachings they still practise the beliefs inherited from their ancestors. They believe that certain object may have spiritual power and to be sought assistance, a belief categorized as innovation and imagination inherent in the form of belief indivisible in daily social lives.

Kata Kunci: teologi, kepercayaan, animisme dan dinamisme

Pendahuluan Nanggroe Aceh Darussalam adalah teritorial bagian dari provinsi negara Indonesia. 282


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

Dalam kehidupan sosial dan kepercayaan, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal dalam wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, masih mengamalkan amalan yang berkaitan dengan unsur ajaran agama Hindu dan kemudian diislamkan kembali. Dalam pelaksanaannya, keberagamaan mereka sangat dekat dan erat dengan ajaran agama Hindu. Tetapi, sekarang ini, ajaran Hindu tersebut telah diubah dan ditutupi seakan menjadi salah satu adat dan tradisi ajaran agama Islam. Tetapi, pesan yang disampaikan bertentangan ajaran agama Islam, sebab ajaran tersebut didasari kepada kepercayaan anamisme dan dinamisme. Antara lain adalah upacara tepung tawar seperti tepung tawar ucap syukur, tepung tawar mohon doa restu dan petunjuk dari Tuhan. Tepung tawar juga dapat memohon keberkahan, bahkan memohon maaf pada manusia apabila telah melakukan kesalahan. Contoh lain adalah kenduri. Masyarakat di wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara juga dikenal dengan masyarakat yang selalu melaksanakan kenduri saat memperingati hari besar Islam seperti kenduri dalam memperingati Maulid Rasul, memperingati Isra’ dan Mi‘raj, Nisfu Sya’ban, Nuzul Qur’an, dan pada hari ke sepuluh Muharram. Diketahui bahwa masyarakat Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, hingga kini masih menganut kepercayaan animisme, walaupun pada dasarnya telah menganut ajaran agama Islam yang telah disiarkan oleh para pedagang dan saudagar yang datang dari Tanah Arab. Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara yang tinggal wilayah pedesaan hingga sekarang ini juga masih memercayai unsur animisme yang memercayai kekuatan yang gaib selain manusia. Kehidupan masyarakat Islam Aceh hingga kini tidak terlepas dari pengaruh unsur kepercayaan asing dan sudah menyatu dengan jiwa masyarakat setempat. Untuk menghapuskan sampai kepada tahap pemurnian akidah mereka, tentu memerlukan waktu yang lama dengan dukungan dan kerjasama pemerintahan setempat. Sejarah mencatat bahwa Islam Aceh berasal dari negara India yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Hindu Tantri Bhirawa.1 Dengan kondisi tersebut, terbentuklah suatu unsur kepercayaan yang sudah terjadi akulturasi antara ajaran Hindu dengan ajaran Islam. Ajaran yang bercorak akulturasi tersebut telah menjadikan suatu amalan bahkan menjadi suatu kepercayaan yang mirip dengan amalan ajaran Hindu, dan tidak didasari oleh ajaran Islam. Hindu Tantri Bhirawa mempunyai banyak aliran, baik dalam tradisi mistik Hindu maupun Buddha. Ajarannya ini berkenaan dengan istilah moksa, penyatuan diri dengan Yang Mutlak, melalui ajaran asketisme (ajaran yang menghindari suatu kenikmatan dunia seperti banyak makan dan berhubungan dengan istri) serta melanggar pantangan seperti makan daging, minum anggur, dan berhubungan suami istri. Maka pada akhir abad ke-13, termasuk tantrisme melanggar pantangan. Candi Sukuh di Surakarta adalah salah satu pusat pemujaan tantrisme kedua kelompok ini. Sedangkan tantrisme yang dipraktekkan Adityawarman di Sumatera merupakan bentuk yang lebih ekstrim lagi daripada aliran yang kedua. Lihat Braginsky, Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri, Pemikir dan Penyair Sufi Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004), h. 86-89; Sardono Kusumo, W., Aceh Kembali ke Masa Depan (Jakarta: IKJ Press. 2005), h. 272. 1

283


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Sebelum datangnya ajaran Islam di wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka masih menganggap ada kekuatan yang tersembunyi di dalam benda mati dan kepada unsur kekuatan gaib di segala tempat yang boleh membantu mereka dalam segala hal. Tetapi, unsur kepercayaan terhadap anamisme dan dinamisme tidak bertahan lama di Aceh. Dengan masuknya ajaran Islam melalui jalur Gujarat, masyarakat pesisir Aceh mulai menerima dan memeluk ajaran Islam. Pada masa bersamaan, masyarakat pedalaman Aceh masih menganut animisme dan dinamisme, lalu akhirnya mereka menganut agama Islam, meskipun kepercayaan awal mereka masih dilaksanakan bahkan memengaruhi amalanamalan keislaman mereka. Akulturasi antara dua agama tersebut sulit diubah dan dimurnikan sesuai dengan ajaran Islam.

Kepercayaan dalam Masyarakat Sejarah mencatat bahwa kawasan Aceh dikuasai oleh kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara sepanjang abad enam belas dan tujuh belas Masehi.2 Meskipun demikian, kehidupan masyarakat Aceh pedalaman3 masih begitu fanatik dengan aliran dan kepercayaan budaya Hindu,4 serta kepercayaan terhadap pohon-pohon besar, benda-benda Ahmad Daudi, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 6. Istilah “Aceh” berasal dari kata “Aca” yang artinya, saudara perempuan. Konon kata-kata tersebut berasal dari kata “Ba’si-aceh-aceh”, seperti pohon beringin yang besar dan rindang, pohon tersebut sekarang ini jarang dijumpai. Lihat, Abu Bakar Aceh, “Tentang Nama Aceh,” dalam Ismail Suni (peny.), Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980). Menurut cerita orang Aceh bahwa ada dua puteri kakak-beradik mandi di sungai dan sang adik sedang hamil. Mereka menemukan sebuah rakit pohon pisang yang di atasnya ada seorang bayi, bayi tersebut diambil oleh puteri yang tertua karena tidak mengandung; bayi itu dibawa pulang dan ia tidak keluar rumah selama empat puluh hari. Orang-orang kampung heran mendengar puteri yang tertua itu telah melahirkan, dan karena itu orang-orang kampung mengatakan “adoe yang mume, a yang ceh (adik yang hamil kakak yang melahirkan). Dari cerita inilah asal mula kata Aceh dan seterusnya menjadi sebutan resmi. Lihat, Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI,” dalam A. Hasjmy (peny.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), h. 188-189; Yusny Saby, “Islam and Social Change: the of the Ulama in Acehnese Society (Disertasi Ph.D Temple University, 1995), h. 3-4; Kamaruzzaman BustamamAhmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 220. Undang-undang Nanggro Aceh Darussalam (NAD) disahkan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tanggal 19 Juli 2001 sebagai undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sebelumnya lebih dikenal dengan nama Daerah Istimewa Aceh (D.I Aceh), karena berdasarkan surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, Nomor. 1/ Missi/ 1959 terhitung mulai tanggal 26 Mei 1959 ditetapkan bahwa Daerah Swatentera Tingkat I Aceh dapat juga disebut Daerah Istimewa Aceh. Keputusan ini, disempurnakan lagi dengan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1960, dan terakhir disesuaikan pula dengan undang-undang No. 18 tahun 1965, maka secara resmi Daerah Istimewa Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Monografi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1972), h. 29; T. Alamsyah (peny.). Pedoman Umum Adat Aceh (Banda Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh, 1991), h. 1. 4 Seperti pohon beringin (ficus benjamina) dan pohon ketapang. 2 3

284


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

dan kekuatan gaib Animisme5 dan Dinamisme. Mereka juga masih berpegang dan mengamalkan kepada ajaran agama yang telah ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu, sekalipun pembawa ajaran tersebut bukan berasal dari agama Islam. Sampai sekarang, banyak peninggalan adat dan agama Hindu di kalangan masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara yang telah menjadi ajaran bidah,6 takhayul dan Khurafat, bahkan kepercayaan tersebut sudah berakar dalam masyarakat wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, John berkata: “The cities of Achen if it may be so called is very spacious built in a wood so that we could not see a house till we were upon it, neither could we go into any place but we found houses and great concourse of people: so that I thinke the towne spreadeth over the whole land.”7 Animisme dan dinamisme adalah kepercayaan terhadap kekuatan yang luar biasa sebagaimana dikemukan oleh Max Muller dalam bukunya “The Growth of Religion.” Apabila dianalisis lebih mendalam, sebenarnya al-Qur’an telah banyak membicarakan gejalagejala alam yang dahsyat dan luar biasa. Tetapi, gejala alam tersebut tidak untuk disembah dan ditakuti, sebab ini hanya sebagai gejala alam yang bersumber dari kekuatan Allah SWT. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa:

               

      

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya (Q.S. al-Rûm/30: 24) Dalam ayat lain yang Allah SWT. berfirman:

            

      

Animisme ialah mempercayai bahwa setiap benda di bumi seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari jiwa dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Lihat Amran Kasimin, Agama dan Perubahan Sosial (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), h. 27. 6 Bid’ah ialah amalan yang baru di dalam agama baik berupa akidah, ibadah, atau berupa sifat bagi ibadah yang belum pernah ada (terjadi) di masa Rasulullah SAW. Lihat Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammmadiyah Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: Pustaka SM, 1994), h. 286. 7 Davis John, Purchas his Pilgrims, Vol. I (London: t.p., t.t.), h. 1625. 5

285


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya (Q.S. al-Ra’d/13: 13). Kedua ayat tersebut di atas, Allah SWT. telah memperperlihatkan berbagai kekuasaan dan kehebatannya, salah satu contoh dengan menurunkan air dari langit serta dapat menghidupkan berbagai macam dan jenis tumbuhan dan kehidupan, bahkan dengan air pula dapat menghidupkan kembali berbagai jenis tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Allah SWT. juga menciptakan guruh dan malaikat turut bertasbih dari kebesarannya. Menurut Durkheim,8 sistem agama primitif seperti animisme dan dinamisme terdapat dalam masyarakat yang sangat sederhana, dan sistem agama tersebut dapat dijelaskan tanpa harus terlebih dahulu menjelaskan elemen-elemen lain dari agama yang lebih tua darinya. Ia mengatakan bahwa agama primitif lebih dapat membantu dalam menjelaskan hakikat religius manusia dibandingkan dengan bentuk agama lain yang datang setelahnya, sebab agama primitif mampu memerlihatkan aspek kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen dalam memahami inti dari kepercayaan tersebut. Adapun agama dalam arti obyektif ialah segala apa yang dipercayai, sedangkan agama dalam arti subyektif ialah dengan cara bagaimana manusia berdiri di hadapan Tuhan dan bagaimana ia harus mentaati segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Unsur Animisme Pengertian dari Animisme cukup banyak. Kata animisme berasal dari bahasa Latin “anima” yang berarti “roh”.9 Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap makhluk halus dan roh, serta keyakinan seperti ini sudah banyak dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan ataupun belum pernah menerima ajaran yang berdasarkan daripada agama samawi (wahyu).10 Adapun karakteristik masyarakat yang menganut paham ini, antara lain adalah mereka selalu memohon perlindungan dan permintaan sesuatu kepada rohroh, misalnya untuk penyembuhan penyakit, sukses dalam bercocok tanam, terhindar dari gangguan hama tanaman, hidup rukun, berhasil dalam berburu, selamat dalam perjalanan jauh dan berperang, terhindar dari gangguan bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, kebakaran, dan gangguan cuaca; mudah dalam melahirkan, masuk surga Durkheim, dilahirkan pada tahun 1858 di kota Epinal dekat Strasbourg, daerah Timur Laut Perancis. Ayahnya seorang pendeta Yahudi. Durkheim adalah seorang pemuda yang sangat dipengaruhi oleh guru-guru sekolahnya yang beragama Katolik Roma, walaupun ayahnya seorang pendeta Yahudi. Daniel L, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), h. 91-92. 9 Caroline Pooney, African Literature, Aninism and Politic (London: Routledge, 2001), h. 10. 10 Zakiah Daradjat, (peny.), Perbandingan Agama I (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 28. 8

286


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

setelah melahirkan, selamat saat membangun dan masuk rumah baru, serta mencapai kedudukan.11Inti dari pemahaman animisme ialah mempercayai bahwa setiap benda di bumi seperti laut, gunung, hutan, gua, dan kuburan mempunyai jiwa yang harus dihormati dan dijunjung agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia, bahkan dapat membantu mereka dalam kehidupan untuk menjalankan aktifitas kesehariannya. 12 Ciri utama kepercayaan animisme adalah percaya kepada kewujudan roh. Di antaranya adalah penganut kepercayaan ini meyakini bahwa roh seseorang yang telah mati akan bergentayangan ibarat tanpa tuan, menganggu mereka, bahkan kembali datang mengunjungi mereka juga. Sebab itu, mereka mengadakan acara ritual kepada arwah tersebut pada hari ketiga, ketujuh, dan keseratus. Selain itu, mereka percaya bahwa tumbuhtumbuhan dan binatang memiliki kekuatan gaib. Dalam hal ini, penganut animisme melakukan pemujaan terhadap kekuatan roh tersebut yang dipimpin oleh pawang. Tujuannya adalah untuk memeroleh kebaikan dan terhindar dari bencana alam. Setelah ajaran Islam masuk ke daerah Aceh, segala kepercayaan tersebut perlahan-lahan menghilang, tetapi mulai disesuaikan dengan ajaran Islam.

Unsur Dinamisme Istilah dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos. Dalam bahasa Inggris disebut dynamic, artinya adalah kekuatan, daya, kekuatan atau khasiat. Dalam hal ini, dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia karena diyakini memiliki kekuatan yang gaib. Dengan kata lain, dinamisme adalah keyakinan terhadap kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan suatu manfaat dan marabahaya. Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pohon, binatang, bahkan manusia. Unsur dinamisme lahir dari rasa ketergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar dirinya. Setiap manusia akan selalu merasa butuh dan berharap kepada zat lain yang dianggapnya mampu memberikan berbagai pertolongan dengan kekuatan yang dimilikinya. Manusia tersebut mencari zat lain yang akan ia sembah, karena ia merasa tenang dan nyaman jika ia selalu berada dekat zat tersebut.13 Dalam konteks ini, sebagian masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara masih memercayai benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa seperti kepercayaan terhadap kekuatan batu cincin. Mereka menyakini bahwa cincin tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat menghindarinya dari berbagai bahaya. Selain

Alan Barnard and Jonathan Spencer, Encyclopaedia of Social Cultural Anthropology (London: Rotledge, 1996), h. 595. 12 A.G. Pringgodidgo (peny.), Ensiklopedi Umum (Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin, 1973), h. 74. 13 Edward B. Tylor, Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Langguage, Art and Custom (New York: Brentano’s Publishers, t.t.), h.160. 11

287


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 itu, mereka juga masih memercayai kekuatan dalam rencong. Mereka juga memercayai jenis-jenis jin dalam berbagai bentuk,14 seperti jen apui,15 si bujang itam,16 burong,17 geunteut,18 beunot, dan burong tujoh.19 Mereka juga memercayai bahwa roh orang yang telah meninggal karena dibunuh, mati berdarah, mati tenggelam, dan mati jatuh dari pohon kayu akan menjelma menjadi hantu. Masyarakat juga masih memercayai bahwa ketika seseorang selalu berbuat jahat selama hidupnya lalu mati, rohnya akan menjelma dalam bentuk babi atau kera yang keluar dari liang kuburnya. Sebaliknya, orang alim akan menjadi “keramat,”20 dan menjelma dalam bentuk harimau atau ular yang baik perangainya.21 Jelmaan ini akan melindungi kampung di sekitar kuburan22 dan biasanya digunakan sebagai tempat bernazar (meukaoy). Kendati dalam hadis ada anjuran untuk berziarah ke kuburan,23 tetapi pelaksanaan ajaran bercorak animisme dan dinamisme tersebut bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat taat dalam menjalankan acara ritual keagamaan, bahkan sangat fanatik terhadap agamanya. Sebab, Islam sudah mendarahdaging dalam diri masyarakat Aceh. Tetapi, tidak semua masyarakat Aceh melaksanakan semua ajaran Islam sejati dan murni. Banyak masyarakat Aceh belum memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Meskipun demikian, mereka sangat peka terhadap pengaruh kepercayaan lain, baik dari dalam maupun dari luar daerah, apabila bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hadis, maka mereka langsung menolak keberadaannya sehingga ajaran tersebut tidak diterima.24 Lihat Departemen. P dan K. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Departemen P dan K, 1990), h. 99. 15 Jin tersebut tampak seperti cahaya api di waktu malam hari. 16 Dilukiskan sebagai tokoh kasar, angker, dan jahat serta mengerikan. 17 Penjelmaan dari roh orang yang meninggal dalam melahirkan, sebagai seorang wanita yang berpakaian serba putih berkuku panjang, serta berlobang di bagian belakang. Lihat Departemen. P dan K, Adat Istiadat, h. 100. 18 Geunteut, sejenis makhluk halus sebagai jin, yang mempunyai tubuh yang tinggi dan besar. Beunot, sebangsa makhluk halus sebagai penganggu yang sering menghimpit orang yang sedang tidur. 19 Digambarkan sebagai tujuh orang bersaudara yang mati melahirkan. 20 Lihat Winstedt, A History of Malaya (Singapore: Royal Asiatic Society, 1935), h. 264. Klasifikasi keramat di kalangan orang Melayu terbagi kepada beberapa golongan: (1). Unsur benda, misalnya batu, puncak bukit, tanjung, air pusar dan sebagainya, (2). Harimau dan buaya yang suci, (3). Kuburan dukun, (4). Kuburan orang yang menjumpai sesuatu petempatan, (5). Kuburan ulama, (6). Ulama Islam yang masih hidup. Lihat Kasimin, Agama dan Perubahan Sosial, h. 91. 21 Departemen P. dan K., Adat Istiadat, h. 100. 22 Kebanyakan kuburan keramat letaknya terpisah dari kawasan perkuburan biasa. Meskipun kuburan yang asli tidak memiliki jasad orang keramat. Orang yang kuburannya keramat tidak pernah mati, tetapi hanya kelihatan mati dan dikatakan kembali kepada Tuhan. Kuburan ini hanyalah sebagai simbol kekudusan keramat itu. Kasimin. Agama dan Perubahan Sosial, h. 91. 23 Dalam sebuah hadis dinyatakan yang artinya “barang siapa yang ingin melakukan ziarah kubur lakukanlah, untuk mengingatkan dirimu kepada akhirat.” Lihat, Muhammad ‘Îsâ bin Surah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmizî, Jilid II (Kuala Lumpur: Victory Agencie, t.p., 1993), h. 379. 24 Bahan-bahan Seminar, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di NAD (Banda Aceh: MUI-NAD. Banda Aceh, 1978), h. 9. 14

288


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

Akulturasi budaya di Aceh menghasilkan corak beragama yang unik, meskipun sebagian ritual agamanya negatif. Budaya negatif yang dipertahankan dalam masyarakat Aceh sampai sekarang adalah upacara tolak bala antara lain Rabu Abeh atau Mandi Safar. Upacara tolak bala dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar.25 Pada hari tersebut, semua masyarakat harus berkumpul untuk memasak dan makan bersama. Sebagian masakan dipisahkan dan ditinggalkan di satu tempat tertentu atau di atas pohon kayu tertentu. Menurut kepercayaan mereka, Rabu Abeuh26 dilakukan untuk mengusir roh jahat, karena ia dapat membinasakan masyarakat. Upacara tersebut dilaksanakan di tepi pantai. Jelas bahwa ritual ini sangat bertentangan dengan syariat Islam, terutama tidak sesuai dengan firman Allah SWT. yang termaktub dalam al-Qur’an:

        Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh (Q.S. al-A’râf/7: 199). Menurut ayat tersebut di atas, Allah SWT. memerintahkan hambanya untuk mengerjakan amalan yang baik dari segala sesuatu yang mudah dan tidak memberatkan dan Allah SWT. memerintahkan agar menghindari daripada amalan orang-orang yang jahil. Dalam hal ini, sebagian ulama.27 Aceh belum membuat suatu perubahan apalagi menghapuskan amalan khurafat. Mereka hanya diam dan belum berani mengadakan perubahan. Mereka percaya amalan tersebut dapat mendatangkan syafaat apabila dilaksanakan, dan akan mendatangkan mudarat apabila ditinggalkan, dalam wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, kepercayaan tersebut menjadi bagai tradisi ritual tahunan dan selalu untuk dirayakan, meskipun bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Di wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, beberapa aliran dan gerakan

Departemen P. dan K., Adat Istiadat, h. 107. Rabu Abeuh merupakan hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. 27 Kata “ulama” berasal dari bahasa Arab, jamâ’ dari kata ‘alîm yaitu orang yang mengetahui. Ulama adalah kumpulan umat yang mendalami ilmu-ilmu agama, juga dijadikan tempat umat untuk meminta fatwa. Pengakuan ini diberikan Allah kepada mereka dengan melebihkannya beberapa derajat. Lihat, Q.S. al-Mujâdalah: 11. Di daerah Aceh ada dua tipe ulama. 1) ulama tradisional, yaitu ulama yang selalu berpikir dan berpegang teguh pada kitab Allah dan menguasai secara baik hukum syara’, juga memiliki sifat tawâdhu‘ dan istiqâmah kepada Allah. Ia disebut juga ulama Dayah (pondok), kampung atau ulama ahkirat. 2) Ulama modern yang mampu tampil di depan sebagai Imam dan rakyat sebagai makmumnya. Di samping memiliki kedalaman ilmu agama dengan asas akhlak yang tinggi, juga mereka dapat menerima perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat, Badruddin Subqi, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 56. 25 26

289


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 modern muncul seperti Muhammadiyah,28 Ahl Sunnah wa al-Jamaah,29 dan Al Washliyah. Gerakan-gerakan tersebut memang cukup berperan dalam memperbarui kondisi masyarakat Aceh terutama dalam bidang akidah, akhlak, ibadah dan muamalah,30 pendidikan, dan politik. Masyarakat Aceh juga memeroleh bimbingan dari Majelis Permusyawaran Ulama (MPU),31 suatu lembaga badan fatwa untuk dapat memberikan dan menampung aspirasi masyarakat Aceh, dan fungsinya sama dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI),32 meskipun ada perbedaan antara kedua lembaga ini terutama dalam program kerja.

Kepercayaan Animisme Masyarakat Aceh Ada beberapa upacara ritual keagamaan dalam masyarakat yang tinggal di wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara yang masih melaksanakan dan mengamalkan berbagai ritual kepercayaan, bahkan hingga saat ini ritual tersebut selalu diamalkan, seperti ritual tepung tawar, ritual kelahiran bayi, ritual mencukur rambut bayi, dan ritual sirih pertunangan.

Ritual Tepung Tawar (Peuseujuk) Peusijukadalah dari asal kata sijuk (dingin) yang ditambah pada kata awal peu” sehingga menjadi kata peusijuk, artinya adalah pendingin atau mendinginkan. Makna peusijukadalah mengharapkan yang baik. Peusijuk adalah lambang untuk peusijuk leum beng peurisee (menjatuhkan lembing dan perisai), satu adat Aceh yang berfungsi dan ditetapkan sebagai pelengkap salah satu hukum Adat.33 Adat tepung tawar (peusijuk) merupakan adat yang sering diamalkan.34 Istilah lainnya Muhammadiyyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Ia lahir di kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 M. Didirikan pada tanggal, 8 Zulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M. Pasha dan Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, h. 109. 29 Ahli Sunah Waljamaah adalah kelompok yang berpedoman pada Sunnah Rasul. Ataupun, arti sunnah menurut para ahli hadis adalah apa yang diterima dari Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat peribadinya atau jasmaninya serta perjalanan hidupnya, baik selama sebelum diutus menjadi Rasul ataupun sesudahnya. Dengan pengertian ini maka menurut sebagian ulama, sunnah adalah sama dengan hadis.” Lihat, Musthafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makânatubâ fî Tasyri‘ al-Islâmi (t.t.p.: t.p, t.t.), h. 53. 30 Pasha dan Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, h. 311. 31 Dalam Peraturan Daerah No. 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 14 Juni 2000 (lembaga daerah No. 23 tanggal, 22 Juni 2000). Rusdi Sufi (peny)., Adat Istiadat Masyarakat Aceh (Banda Aceh: t.p., t.t.), h. 37. 32 Ismuha, Sejarah Singkat Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Sekretariat MUI Prvinsi D.I Aceh, 1983), h. 1. 33 Badruzzaman Ismail, Wawancara, 22 Juli 2006. 34 "Upacara Peusijuk,” (Lhokseumawe: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), 1988). h. 35. 28

290


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

adalah tepung tawar yang merupakan salah satu adat yang dilaksanakan pada acara tertentu, mulai dari waktu senang sehingga waktu susah dan dukacita. Tepung tawar merupakan salah satu kegiatan penting sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur kepada Allah SWT., karena telah mendapatkan suatu rahmat dan terlindung dari segala kesusahan dan rintangan yang akan menimpanya. 35 Dalam adat dan tradisi masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, bahwa amalan ritual tepung tawar (peuseujuk) masih dipertahankan dan diamalkan. Apabila ada sebuah acara ritual, maka tepung tawar menjadi amalan yang sakral dan harus dilakukan menurut kepercayaan masyarakat setempat supaya mendapatkan keberkatan dan perlindungan dari Allah SWT. Acara ritual tepung tawar disertai dengan membaca doa.36 Tradisi tepung tawar merupakan amalan orang Jahiliah masa lalu, jauh sebelum datangnya ajaran Islam di Aceh. Pada umumnya, sebagian ulama Aceh berpendapat bahwa ritual tepung tawar berasal dari Rasulullah SAW. yang pernah memercik air ke atas kepala Fathimah yang kemudian alasan tersebut dijadikan legalitas hukum. Kemudian, sebagian ulama tersebut berpendapat bahwa hukum melaksanakan tepung tawar adalah boleh, karena Rasulullah sendiri pernah melaksanakannya.37 Tetapi, apabila ditanya mengenai status hadis tersebut sahih atau tidak, ulama setempat tidak dapat memberikan penjelasan mengenai kedudukan hadis tersebut. Berdasarkan data yang telah didapatkan di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pedesaan cenderung dan mengarah kepada pendapat bahwa kepercayaan tepung tawar menghasilkan keberkatan dalam hidup. Sedangkan mayoritas masyarakat perkotaan tidak yakin jika tepung tawar dapat memberikan keberkatan dalam hidup.

Ritual Kelahiran Bayi Menurut kepercayaan adat masyarakat Aceh, apabila seorang istri sudah melahirkan, pihak keluarga dengan senang hati memberikan sejenis hadiah kepada yang sedang hamil (mablien). Hadiah tersebut antara lain sirih setapak (bahan-bahan sirih), pakaian salinan (satu set pakaian), dan uang secukupnya.38 Ketika upacara tersebut selesai, mereka akan memberikan hadiah untuk bidan berupa pakaian salinan, uang secukupnya, uang penebus cincin suasa, beras dua bambu, padi dua bambu (segantang), ketan kuning, ayam panggang, dan satu ekor ayam yang hidup sebagai tanda ucapan terima kasih kepada bidan karena telah memberikan pelayanan yang baik kepada keluarga yang telah melahirkan anak Ibid. h. 35.

35

‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻧﺎ ﻧﺴِﺌﻠﻚ ﻣﻦ ﺧﲑﻫﺎ ﻭﻧﻌﻮﺬﺑﻚ ﻣﻦ ﺷﺮﻩ‬

36

Tgk. H. Mustafa Puteh, Ketua Majlis Permusyawatan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Utara, Wawancara, 29 Juni 2006. 38 T. Syamsuddin, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 125-128. 37

291


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 bayi tersebut. Kemudian bayi itu dipangku oleh semua peserta upacara secara bergantian dengan mengucapkan ucapan yang sama sampai selesai. Kemudian bayi tersebut dibawa turun ke tanah melalui sebuah tangga, dan kemudian bayi tersebut dibawa ke tempat pemandian atau sungai untuk dimandikan dengan upacara tertentu. Ritual tersebut masih diamalkan oleh masyarakat Aceh Utara dan Lhokseumawe, dan memang sudah menjadi suatu adat dan tradisi sejak masa lampu, bahkan tampak sulit mengubah keadaan tersebut.

Ritual Mencukur Rambut Bayi Ritual mencukur rambut usia bayi dilakukan ketika bayi berumur sekitar enam bulan. Ritual ini telah menjadi semacam tradisi yang harus dilaksanakan dan diamalkan dalam masyarakat Aceh. Acara ritual ini bahwa melibatkan sebagian tokoh dari masyarakat, tokoh adat dan para ulama.39 Biasanya, ritual ini memakai alat dan kelengkapan tertentu seperti telur ayam mentah, madu lebah (ie unoe), buah kurma dan jenis makanan lain yang berzat manis dan bergizi. Semua perlengkapan tersebut diserahkan kepada pihak besan yang diterima oleh salah seorang wanita sebagai pemuka adat setempat.40 Dalam ritual tersebut, biasanya diletakkan pada sebuah dulang (dalong) bertutup tudung saji (sangee) yang di dalamnya berisi ketan kuning (bu leukat kunfeng) dan panganan lain seperti ikan kayu (keumamah) yang telah dimasak menjadi gulai atau adunan tepung (tumpoe) atau daging. Setelah kenduri selesai dan para undangan pulang, acara dilanjutkan oleh ahli keluarga, tetangga, para pemuka kampung, dan pemuka adat. Sementara bayi yang telah selesai dicukur rambutnya akan ditidurkan di atas kasur kecil yang bertutup hiasan kain warna-warni. Lali, bayi dibawa ke suatu ruangan di mana orang alim terkemuka (teungku sagoe) telah menunggunya. Kepada menantunya memberikan uang sembahan (seuneumah), yang diikuti dengan tindakan yang sama oleh ahli keluarga dan orang tua daripada kaum wanita lain yang hadir di tempat tersebut. Tamu lelaki membawa hadiah berupa tembakau, sirih, buah-buahan dan ikan yang disebut barang pasar (barang peukan), gunanya sebagai pengikat tali persaudaraan dan meringankan beban biaya daripada pihak keluarga tersebut.41

Ritual Sirih Pertunangan Acara sirih pertunangan lebih dikenal juga dengan acara tukar cincin. Ritual ini telah menjadi suatu kebiasaan bagi kaum lelaki (calon pengantin lelaki) memasukkan cincin ke jari wanita yang akan dinikahinya. Amalan dan pelaksanaan ritual ini belum

Nama lengkapnya adalah Tgk. H. Syamaun Risyad, Lc. Alamsyah, Pedoman Umum Adat Aceh, h. 81. 41 Ibid. h. 81. 39 40

292


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

pernah ada dalam ajaran Islam, dan menurut pandangan hukum Islam adalah haram hukumnya menyentuh tangan wanita yang bukan mahramnya dan merupakan suatu perbuatan dosa.42 Bertukar cincin bukanlah tradisi budaya dan ajaran Islam, melainkan cara bangsa Eropa yang mendapat pengesahan dari Dewan Gereja. Jadi, amalan tukar cincin mulanya bukan cara umat Kristen, melainkan warisan peradaban bangsa Romawi yang menganut ajaran agama Kristen. Amalan tersebut juga merupakan amalan yang menyerupakan amalan orang Nasrani, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan Rasulullah SAW. sendiri tidak pernah menyentuh tangan wanita selain dari muhrimnya atau dengan istrinya.43 Rasulullah SAW. juga memberikan gambaran seseorang telah ditusuk dengan jarum panas ditelapak tangannya lebih baik perbuatan tersebut daripada menyentuh tangan seorang wanita selain muhrimnya.

Unsur Kepercayaan Dinamisme Masyarakat Aceh Dalam kepercayaan masyarakat Aceh, ada sejumlah upacara ritual dan kepercayaan masih diyakini membawa keberkatan dan perlindungan seperti pemujaan tempat dan benda mati, pengeramatan kuburan, dan bernazar (meukaoi).

Pemujaan Tempat dan Benda Mati Diketahui bahwa masyarakat Aceh masih ada yang memuja tempat-tempat tertentu dan benda mati karena dianggap masih mempunyai nilai mistik. Menurut mereka, tempattempat tertentu ataubenda mati tertentu dapat menolong mereka meraih kebaikan dan dan menyelamatkan mereka dari bahaya dan bencana. Tradisinya, upacara ritual selalu diiringi upacara makan-makan bersama. Amalan ini serupa dengan amalan orang Hindu yang masih diamalkan.44 Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara juga masih ada yang melaksanakan pemujaan pantai di mana para penangkap ikan memberi hadiah kepada penjaga laut untuk mendapat perlindungan. Amalan lain adalah amalan untuk menentukan dan memeroleh hasil padi yang lumayan, serta amalan Mandi Safar (mano safa) atau upacara bersuci.45 Upacara-upacara tersebut masih diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. Syams al-Dîn al-Zahâbî. Al-Kabâ’ir (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 217. H.R. Bukhârî, al-Tirmizî dan Ahmad. 44 R. Hefner, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam (Princeton: Princeton University Press, 1984), h. 104-105. 45 Joginder Singh Jessy, Malaysia Singapora dan Brunai 1400-1965 (Selangor: Longman, 1975), h. 53. 42 43

293


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Harus diketahui bahwa amalan tersebut bertentangan dengan agama Islam dan merupakan amalan syirik.46 Amalan tersebut sangat membahayakan sebuah keyakinan dan akidah seorang mukmin sejati, sebagaimana firman Allah SWT.

                     

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (Q.S. al-Nisâ’/4: 116). Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT menyatakan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa orang-orang syikir kepadanya, atau dosa orang yang melakukan amalan yang mengandung unsur syirik sehingga dapat menyekutukannya.

Pengeramatan Kuburan Dalam hal ini, beberapa kuburan ulama telah dikeramatkan oleh masyarakat Aceh. Apabila mereka memiliki sesuatu hajat, mereka akan datang dan duduk dekat kuburan tersebut.47 Atau siapa yang ingin melaksanakan nazar, maka ia harus pergi ke tempat tersebut disertai dengan melaksanakan salat sunat dua rakaat di kuburan tersebut.48 Tetapi jelas bahwa amalan tersebut adalah sebagai bentuk pelanggaran nyata terhadap ajaran Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, masih mengamalkan adat kebiasaan seperti meletakkan sesuatu seperti kain putih sebanyak tujuh meter dan disertai dengan meletakkan uang sekadarnya. Amalan tersebut masih diamalkan oleh penduduk perkampungan dan penduduk pesisir pantai. Umumnya, mereka kurang memiliki pengetahuan agama yang mendalam sehingga masyarakat tersebut masih melaksanakan berbagai amalan yang mengarah pada perbuatan khurafat dan tahayul. Kepercayaan tersebut masih diamalkan oleh masyarakat yang tinggal wilayah Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Tujuannya adalah untuk meminta sesuatu kepada Allah Pertama, syirik akbâr, yaitu menyekutukan Allah SWT. dengan sesuatu makhluk, bila berdosa ia memohon pertolongan dari makhluk, mengharapkan kepada sesuatu ataupun kasihkan sesuatu itu seperti kasih kepada Allah SWT. atau menyembelih atau kurban kepadanya, atau bernazar kepadanya. Kedua, syirik asgâr, yaitu mengerjakan sesuatu amalan dengan riya atau mengerjakan sesuatu bukan karena Allah SWT. semata-mata. 47 Syaikh Manshûr bin Yûnus al-Bahauti al-Hanbalî, Kasyaf al-Qanâ, Juz II (Kairo: Dâr alMishriah, 1987), h. 186. 48 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âsir, 1997), h. 1555. Amalan tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. 46

294


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

SWT. melalui perantara kuburan orang yang telah dikeramatkan ataupun kubur para wali. Padahal, amalan tersebut bertentangan dengan syariat Allah SWT. sebagaimana firman.

            Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan (Q.S. al-Jinn/72: 6). Berdasarkan ayat tersebut, amalan yang dilarang Islam adalah memuja dan meminta pertolongan kepada para jin agar supaya terhindar dari bencana, banyak rezeki, mendapatkan keturunan, dan memohon kepada Allah SWT.

Bernazar (Meukaoi) Bernazar49sudah menjadi dalam tradisi masyarakat Islam Aceh. Ketika mereka menginginkan sesuatu dan ingin dikabulkan oleh Allah SWT., sebagian mereka melaksanakan nazar di tempat dan masa tertentu seperti di kuburan keramat. Amalan ini adalah amalan yang dilakukan oleh orang-orang Jahilliah terdahulu.50 Meskipun demikian, bahwa amalan tersebut masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal dalam wilayah Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. Amalan bernazar ataupun membayar nazar telah lama diamalkan dalam sejarah manusia, bahkan hukum untuk membayar nazar adalah wajib. Misalnya berpuasa nazar, maka wajib untuk menunaikannya.51 Ketentuan nazar tersebut adalah bahwa ia beragama Islam dan tidak sah bernazar bagi anak kecil, orang gila dan orang kafir.52 Sementara amalan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah mempunyai dasar yang kuat, sebagaimana firman Allah:

                  

(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada  Nazar ada dua. Pertama, nazar dengan penyembelihan atau korban ketika mendapat sesuatu nikmat atau menolak sesuatu bala misalnya seorang berkata “Jika Allah SWT. menyembuhkan sakitku, aku akan beri makan tiga orang miskin, atau jika Allah SWT. kabulkan cita-citaku maka aku akan membacakan Surat Yasin. Kedua, nazar mutlak yaitu nazar tanpa syarat. Misalnya seorang berkata “bagi Allah SWT. ke atasku sembahyang sunat dua rakaat,” maka nazar itu wajiblah ditunaikan. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III (Beirut: al-Kitâb al-‘Arabî, 1973), h. 37-38; Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IV (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âsir, 1997), h. 2552. 50 Mahmûd Syaltût, Al-Fatâwâ: Dirâsât al-Musyaqqilat al-Muslim al-Mu’sir fî Hayâtihi alYaumiyyah wa al-Mat (Kairo: Dâr al-Qalam, t.t.). h. 216. 49

51

(‫ﻋﻨﻪ ﻭﻟﻴﻪ‬

‫ﺻﺎﻡ‬،‫ )ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻴﺎﻡ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬

Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Juz IV, h. 2552.

52

295


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. Ă‚li ‘Imrân/3: 35). Kandungan ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa amalan bernazar bila dilihat dalam sejarah sudah lama amalan tersebut dilaksanakan oleh umat manusia ketika itu, agar keinginannya dikabulkan oleh Allah SWT. Sebagai contoh, ketika istri Imran menginginkan anaknya ketika dalam kandungannya agar kelak akan menjadi anak yang saleh dan berkhidmat di Baitul Maqdis.

Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Islam Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara hingga kini masih mengamalkan suatu amalan-amalan yang bernuansa animisme dan dinamisme. Adat istiadat masyarakat Aceh dimaksud telah diamalkan dan dijadikan sebagai amalan dalam kehidupan sehari-hari. Amalan tersebut tidak saja dilaksanakan oleh penduduk pedesaan, tetapi juga penduduk perkotaan. Sebelum menerima ajaran Islam, masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara telah menganut paham animisme dan dinamisme dengan memercayai berbagai kekuatan roh gaib dan makhluk halus. Lalu, kepercayaan tersebut sehingga berubah menjadi suatu paham yang dekat dengan ajaran agama Islam, meskipun bukan Islam Sunni, melainkan Syiah. Dalam hal ini, masih terdapat banyak unsur peninggalan ajaran Syiah dalam keyakinan dan ritual masyarakat setempat seperti perayaan hari Hasan Husain pada bulan Muharam. Dalam masyarakat yang tinggal dalam wilayah Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, terdapat berbagai jenis kue, sehingga sebagian sebutan nama kue identik dengan nama ‘Ali, Fathimah, Khadijah dan Zainab. Data-data lapangan menunjukkan bahwa baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara setuju untuk mempertahankan adat dan istiadat yang berlaku dalam masyarakat, baik adat istiadat yang bertentangan maupun yang sesuai dengan ajaran Islam. Mayoritas masyarakat Islam Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara masih melaksanakan amalan-amalan berupa acara kenduri tahlil kepada orang yang telah meninggal, karena amalan tersebut sudah sangat sulit untuk ditinggalkan dan telah diwarisi secara turun temurun. Diketahui bahwa adat dan istiadat masyarakat yang berlaku di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara hingga saat ini masih banyak yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Sebab, masyarakat tersebut masih tetap menerima dan melaksanakan ajaran dan kepercayaan animisme dan dinamisme. Unik bahwa mereka tidak setuju apabila dikatakan bahwa adat istiadat tersebut berasal dari budaya dan ajaran agama Hindu, dan hanya sebagian yang menyatakan bahwa adat dan budaya tersebut berasal dari ajaran agama 296


Ridwan Hasan: Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

Hindu. Pada umumnya, bahwa masyarakat tersebut masih cenderung berpendapat bahwa amalan tepung tawar menghasilkan keberkatan dalam hidup, tetapi sebagian penduduk perkotaan kurang meyakini pendapat tersebut.

Pustaka Acuan Aceh, Abu Bakar. “Tentang Nama Aceh,” dalam Ismail Suni (peny.), Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980. Azmi, Wan Hussein. “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI,” dalam A. Hasjmy (peny.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’rif, 1993. Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Alamsyah, T. (peny.). Pedoman Umum Adat Aceh. Banda Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh, 1991. Bahan-bahan Seminar. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di NAD. Banda Aceh: MUI-NAD. Banda Aceh, 1978. Barnard, Alan dan Jonathan Spencer. Enchyclopaedia of Sosial Culural Anthropology. London: Rotledge, 1996. Braginsky. Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri, Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004. Daradjat, Zakiah (peny.). Perbandingan Agama I. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Daudi, Ahmad. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Departemen P dan K. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Departemen P dan K, 1990. Al-Hanbalî, Manshûr bin Yûnus al-Bahauti. Kasyaf al-Qanâ, Juz II. Kairo: Dar al-Misyriah, 1987. Hefner, R. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press, 1984. Ismuha. Sejarah Singkat Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Sekretariat MUI Propinsi D.I Aceh, 1983. Ismail, Badruzzaman. Wawancara, 22 Juli 2006. Jessy, Joginder Singh. Malaysia Singapora dan Brunai 1400-1965. Selangor: Longman, 1975. John, Davis. Purchas his Pilgrims, Vol. I. London: t.p., t.t. Kasimin, Amran. Agama dan Perubahan Sosial. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991. Kusumo, Sardono. Aceh Kembali ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press. 2005. L, Daniel. Seven Theories of Religion. New York: Oxford University Press, 1996. 297


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Pasha, Musthafa Kamal, dan Ahmad Adaby Darban. Muhammmadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka SM, 1994. Pooney, Caroline. African Literature, Aninism and Politic. London: Routledge, 2001. Pringgodidgo, A.G. (peny.). Ensiklopedi Umum. Jakarta: Yayasan Dana Buku Franklin, 1973. Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Monografi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1972. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Jilid III. Beirut: al-Kitâb al-‘Arabî, 1973. Saby, Yusny. “Islam and Social Change: the of the Ulama in Acehnese Society. Disertasi Ph.D Temple University, 1995. Subqi, Badruddin. Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Al-Siba’i, Musthafa. Al-Sunnah wa Makânatubâ fî Tasyri‘ al-Islâmi. t.t.p.: t.p, t.t. Sufi, Rusdi (peny). Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: t.p., t.t. Syamsuddin, T. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Syaltût, Mahmûd. Al-Fatâwâ: Dirâsât al-Musyaqqilat al-Muslim al-Mu’sir fî Hayâtihi alYaumiyyah wa al-Mat. Kairo: Dâr al-Qalam, t.t. Tgk. H. Mustafa Puteh, Ketua Majlis Permusyawatan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Utara, Wawancara, 29 Juni 2006. Tylor, Edward B., Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Langguage, Art and Custom. New York: Brentano’s Publishers, t.t. Al-Tirmidzî, Muhammad ‘Îsâ bin Surah. Sunan al-Tirmizî, Jilid II. Kuala Lumpur: Victory Agencie, t.p., 1993. “Upacara Peusijuk,” (Lhokseumawe: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), 1988. Al-Zahâbî, Syams al-Dîn. Al-Kabâ’ir. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Zuhailî, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IV. Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âsir, 1997.

298


TAREKAT NAQSHABANDIYYAH KHALIDIYYAH IN MALAYSIA: A Study on the Leadership of Haji Ishaq bin Muhammad Arif Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi Usuluddin Department, Faculty of Contemporary Islam University of Sultan Zainal Abidin,Terengganu, Malaysia. Jalan Sultan Mahmud, 20400 Kuala Terengganu, Terengganu, Malaysia e-mail: abdulmanan@unisza.edu.my

Mohd Syukri Yeoh Abdullah,Wan Nasyrudin Bin Wan Abdullah, Salmah Ahmad Institute of Civilisation and the Malay World, Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor, Malaysia 43600 Bangi, Selangor, Malaysia e-mail: syukri@ukm.my / tokwedin@hotmail.com

Osman Chuah Abdullah Department of Usuluddin and Comparative Religions, International Islamic University Malaysia, Gombak Campus, Jln. Sungai Pusu, 53100, Kuala Lumpur, Malaysia e-mail: ochuah1948@yahoo.com

Abstrak: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah di Malaysia: Suatu Studi Kepemimpinan Haji Ishaq bin Muhammad Arif. Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah pimpinan Haji Ishaq memilik banyak pengikut juga terkenal di kalangan tarekat di Malaysia. Artikel ini akan menelusuri kepemimpinan Haji Ishaq bin Muhammad Arif, muncul dan berkembangnya tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah di Malaysia. Data dikumpulkan tidak hanya melalui manuskrip tulisan Haji Ishaq, akan tetapi juga karya-karya muridnya. Observasi lapangan juga dilakukan di beberapa situs yang diidentifikasi sebagai pusat pergerakan. Untuk memperkuat argumen-argumen data manuskrip, beberapa murid senior Haji Ishaq juga diwawancarai. Kajian ini menemukan bahwa tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah pimpinan Haji Ishaq merupakan komunitas besar yang memiliki banyak pengikut dari latar belakang yang berbeda termasuk para akademisi dan profesional. Kekuatan kelompok ini tercermin dari terciptanya pusat-pusat jaringan luas di berbagai negara bagian Malaysia. Abstract: The Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq has many followers and is also known especially among other tarekat followers in Malaysia. This article is navigating through the leadership of Haji Ishaq Bin Muhammad Arif,

299


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 the emergence of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah he lead and its evolution in Malaysia. Beside the data collected through the manuscript written by Haji Ishaq, his murids works were also studied. Field observations were also performed at several sites that are identified to be the centers of the movement. Also, some senior students of Haji Ishaq were interviewed to strengthen the arguments of the manuscript data. This study had discovered that tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq was large group with many followers, made up of diverse backgrounds, including academicians and professionals. The power of this group is reflected in the extensive network of centers that are located in several states in Malaysia.

Key Words: Tarekat, Haji Ishaq bin Muhammad Arif, Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Introduction Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah is a fast-growing tarekat in Malaysia and has many followers. Most of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah groups in Peninsular Malaysia originated from Mecca, either taken directly from Mecca or through the Shaykhs from Sumatra who took it from the Shaykhs in Mecca. The entry of this tariqah into Peninsular Malaysia was detected in the middle of the 19th century. It was brought into Kedah by Shaykh Ismail al-Minangkabawi when he lived in Singapore before returning to Mecca.1 Beside Shaykh Ismail, Shaykh Abdul Wahab was a renowned master and murshid of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in village of Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra. He was among the earliest key figure who had brought in tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah to Peninsular Malaysia. He was said to have raised eight khalifahs in Peninsular Malaysia namely in Perlis, Perak, Pahang and Negeri Sembilan. However the majority of the teaching of these khalifahs had since ceased.2 Among the famous khalifah of Shaykh Abdul Wahab in Peninsula Malaysia who continued the teaching of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah was Shaykh Hj. Umar bin Muhammad. Shaykh Abdul Wahab was said to have come to Batu Pahat, Johor in 1888 and had taught this tariqah and had given the izin to Shaykh Hj. Umar bin Muhammad.3 Shaykh Hj. Umar bin Muhammad (d.1936) was from the village of Parit Ju (or Parit Abdul Rahman), Mukim 4, Batu Pahat, Johor. He later moved and settled in the village of Durian Sebatang, Raub, Pahang. He started a suluk in the village of Durian Sebatang in 1910.4 Martin, Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyyah Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), p. 101. 2 Ibid., p. 161. 3 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Some Aspects of Sufism As Understood And Practised Among The Malays (Singapore: Malaysian Sociological Research Institute Ltd., 1963), p. 64-65. 4 Jahid Sidek, Shaikh dalam Ilmu Tariqah (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 1997), p. 344. 1

300


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah that was brought by Hj. Umar was inherited and expanded by his khalifahs, among them was Hj. Uthman bin Muhammad Amin from the village of Parit Abdul Rahman, Mukim Simpang Kiri, Batu Pahat, Johor.5 His murid and khalifah who was famous to have strived and taught tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah was Hj. Ishaq bin Muhammad Arif (1908-1992) who had led the suluk in Dong, Raub, Pahang. From Dong, tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah has expanded into various parts of Peninsular Malaysia, especially in Pahang, Johor, Selangor and Terengganu. After the death of Hj. Ishaq in 1992, the tarekat were later led by several of his khalifah. Among them was Engku Mustafa who replaced him as murshid in Dong until today. Another khalifah who still continued to spread and teach the tarekat was Hj. Jahid bin Sidek whom researchers found to have many murids in Johor, Selangor, Pahang and Terengganu. Hj. Ahmad bin Hj. Muhammad al-Baqir was also is a key figure who has brought in tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah to Negeri Sembilan. He lived in the village of Batu Tujuh, Pantai, Jalan Jelebu, Negeri Sembilan. In this village he built a surau for suluk that became the center of practices for tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah. He became the first leader of suluk practices there.6 Hj. Ahmad has taken Tarika Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Shaykh ‘Ali al-Rida, a Shaykh of this tarekat in Jabal Abu Qubays, Mecca. Shaykh ‘Ali al-Rida had taken tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from his father, Shaykh Sulayman al-Zuhdi. Shaykh Sulayman took it from Shaykh Sulayman al-Qirimi. Shaykh Sulayman al-Qirimi was a murid and khalifah of Shaykh ‘Abd Allah al-Arzinjani. Shaykh ‘Abd Allah had taken earlier it from Shaykh Khalid al-‘ Uthmani al-Kurdi.7 Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah which Hj. Ahmad had practiced and taught was inherited and expanded by his khalifah after he died in 1942. Among the famous was of Hj. Maruf bin Yaqub (1901-1994). Hj. Maruf took tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Hj. Ahmad in 1920. He was given the izin to lead tawajjuh and suluk by his teacher in 1942.8 He later set up a surau for suluk in the new village near Lengging, Negeri Sembilan in 1965 and made it a centre to practice of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah.9 Under his leadership, tarekat Khalidiyyah Naqshabandiyyah had grown into various parts of Peninsular Malaysia, particularly in Negeri Sembilan, Terengganu, Selangor, Kuala Lumpur, Malacca, Johor, Perak and also Singapore.10 After the death of Hj. Maruf, this tarekat was expanded by his khalifah. Among them was Hj. Sulaiman bin Hj. Muhammad Nur

al-Attas, Some Aspects of Sufism, p. 63; Sulaiman Muhammad Nur, Perjuangan Hidup Seorang Hamba Allah: Tuan Shaikh al-Haj Ma‘ruf bin Ya‘qub al-Khalidiyyah al-Naqsyabandiyyah. n.p, n.d.) p. 20. 6 Ibid., p. 20. 7 Ibid., p.118. 8 Ibid., p. 28. 9 Ibid., p. 36. 10 Ibid., p. 138-152. 5

301


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 who replaced him as the murshid in the surau suluk in the new village near Lengging, Negeri Sembilan. Hj. Muhammad Taib was the figurehead that has developed tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Penang. He took the Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Shaykh Muhammad Yahya a murshid who had led the tarekat practices in Jabal Turkey, Mecca. Shaykh Muhammad Yahya was said to have come to Penang and visited the Pondok Upeh in Balik Pulau. Shaykh Muhammad Yahya had taken tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from his father the Shaykh ‘Abd Allah Hilmi. Shaykh ‘Abd Allah al-Hilmi in turned had taken it from his father the Shaykh Khalil Bashah (Khalil Hamdi). Shaykh Khalil Bashah was a murid and khalifah of Shaykh Yahya al-Daghistani. Shaykh Yahya al-Daghistani was the pupil and khalifah of Shaykh ‘Abd Allah al-Arzinjani (al-Afandi).11 Shaykh ‘Abd Allah al-Arzinjani was the khalifah of Khalid al-‘Uthmani al-Kurdi who was appointed for Mecca .12 Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah that was brought by Hj. Muhammad Taib was later inherited by Hj. Jafar Muhammad bin Abdullah and then inherited by Hj. Taib bin Hj Ahmad who replaced Hj. Muhammad Jafar as the murshid at Pondok Upeh, Balik Pulau, Penang.13 However, before the arrival of Shaykh Muhammad Yahya, Shaykh Abdul Wahab who was a murshid of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in village of Babbussalam, Langkat, Sumatra, was said to have come to Penang at the end of the 1880 to escape the Dutch authorities that had troubled them.14 However it was not known whether he had taught tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah and appointed any khalifah there. Hj. Yahya bin Abdullah Sani (1910-1989) better known as of Hj. Yahya Rambah or Admiral Yahya was one of the key figures that had brought in and spread tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah branch in Selangor. He received tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Shaykh Muhammad Nur Sumatra. Shaykh Muhammad Nur had received it from Shaykh Abdul Wahab a Shaykh of this tariqah in the village of Babussalam, Langkat, Sumatra.15 However, Hj. Yahya Rambah was said not only to practice tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah but he was also had received, practiced and taught several other tariqahs. Among other tariqah that he received and practiced was tarekat Sahrawardiyyah which he took from Khalifah Abbas. He received tarekat Qadiriyyah from Sagip al-Madani. He also received tarekat Shadhiliyyah from Shaykh Muhammad Nur who also taught tarekat

Al-Haj Muhammad Taib, Nuzum Tawassul Silsilah al-Tarîqah al-‘Aliyyah (n.p, n.d.). p. 2-5. Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyyah, p. 67. 13 Ibid., p. 161; Sidek, Shaikh dalam Ilmu Tariqah, p. 345. 14 Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyyah, 136. 15 Wan Termizi bin Wan Muhammad, Tarikat Naqshabandiyyah Khalidiyyah di Taman Naqshabandi Semenyih (Kajang, Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996), p.12-13. 11

12

302


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Naqshabandiyyah Khalidiyyah. He took tarekat Sammaniyyah from Hj. Ibrahim Mendiling and also taken tarekat Shattariyyah from Shaykh Ibrahim Tembusai.16 Hj. Yahya Rambah came to Peninsular Malaysia in 1935 and began to settle in Kajang in 1970.17 He opened a new village in Kajang, Selangor which was at 18th miles, Jalan Semenyih and was called Taman Naqshabandiyyah on a 20 acres land.18 This new village became a center of activities and the spread of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah. He had appointed many of khalifah whom 92 were specific khalafah (who could take bay‘ah) and 142 were general khalifah (who was allowed to lead the zikir). From this Taman Naqshabandiyyah, tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah has grown and spread to branches in Brunei, Kedah, Perak, Pahang, Negeri Sembilan, Singapore and Malacca.19 After the death of Shaykh Yahya in 1989, the leadership of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Taman Naqshabandiyyah was taken over by his son, his disciple and his khalifah Hj. Muqri. However, it was later led by Hj. Haris who still leads the suluk there. Apart from Shaykh Abdul Wahab, Shaykh Kadirun Yahya was one of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah key figures in Indonesia who had a number of students in Peninsular Malaysia. His real name was Mohammed Amin bin Ompong Sutan Alam Sari and was given the title Patnan Baleo Rahmatsah Harahap.20 He was born in Pengkalan Brandan, Langkat, East Sumatra in 191721 and received tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from several Shaykhs. Among them the most important was Shaykh Muhammad Hashim Buayan, from 1947 to 1954. Shaykh Muhammad Hashim had taken it from Shaykh ‘Ali al-Rida in Jabal Abu Qubays assisted by Shaykh Husayn. Both are khalifah of Shaykh Sulayman al-Zuhdi. Shaykh Muhammad Hashim had raised Shaykh Kadirun Yahya as his khalifah in 1952 with the title of Sidi Shaykh.22 In addition Shaykh Kadirun Yahya also received the izin from tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Shaykh Shahabuddin from Sayur Matinggi (South Tanapuli) from year 1943 to 1946, from Shaykh Abd al-Majid from Tanjung Alam (Guguk Salo), Batu Sangkar who was the khalifah of the Shaykh Bustami Lintan until the year 1949, from Shaykh Muhammad Ali Said Bonjol who was the main khalifah of Shaykh Ibrahim Kumpulan, and from Shaykh Muhammad Baqi was the son child and also the khalifah to Shaykh Sulaiman Hata Pungkut who was the khalifah of Shaykh Sulayman al-Zuhdi in South Tanapuli.23 The activity center for tarekat Naqshabandiyyah led by Shaykh Kadirun Yahya Ibid., p. 43. Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyyah, p. 60. 18 Wan Termizi, Tarikat Naqshabandiyyah Khalidiyyah, p. 46. 19 Ibid., p. 49-50. 20 K.H. A. Rivai, R. St. Hidayat. Kata Sambutan Pada Peringatan Hari Guru Ke 57 (Medan: Dar al-Amin, 1974), p. 3. 21 Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiah, p. 149. 22 Kadirun Yahya, Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus (Medan: UNPAB, 1982), p. 8. 23 Ibid., p. 8-9; Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiah, p. 150-151. 16 17

303


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 was in Medan, Sumatra, Indonesia. From Medan, this tarekat entered Malaysia through his khalifah and branches in Malaysia are found in many places. Among the renown were in Rawang (Selangor), Kota Bharu (Kelantan) and Johor Bahru (Johor).24 Hj. Muhammad Yusuf bin Khalifah Abas Panai (d. 1978) also is a figurehead who has led and expanded tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Perlis. He took the terekat from Shaykh Muhammad Daud bin Abdul Wahab.25 Shaykh Muhammad David took the tarekat from his father Shaykh Abdul Wahab in Babussalam, Langkat, Sumatra. Shaykh Muhammad Daud is the fifth leader of Babussalam after Shaykh Abdul Wahab. He had replaced Hj. Abdul Jabbar who died in 1943.26 The center of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah led by Hj. Muhammad Yusuf is located in the village of Oren, Mata Air, Perlis.27 He then taught the tarikat and given the izin to one of his khalifah Hj. Muhammad Yatim. Hj. Muhammad Yatim bin Hj. Ismail (b.1913) came from Naumbai, Air Tiris, Langkat, Sumatra, Indonesia. He first received tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from his uncle, Shaykh Muhammad Yasin in 1926 in Naumbai.28 After moving to Peninsular Malaysia, he began to undergo the suluk of the tarekat under the guidance of Shaykh Muhammad Yusuf who led the suluk in the village of Oren, Mata Air, Perlis and also in the in the village of Keramat Temong, Kuala Kangsar, Perak. In addition he also had underwent suluk under the guidance of Tuan Guru Saladin in the village of Babussalam, Langkat, Sumatra.29 After the appointment as Khalifah by his teacher, Shaykh Muhammad Yusuf, in 1971, Hj. Muhammad Yatim continued the task of his teacher to spread tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah. Center for the tarekat led by Hj. Muhammad Yatim was in Lubuk Ipoh, Jitra, Kedah for approximately 14 years from 1976 to 1990. The following year it was moved to the new center in Tanjung Pauh, Jitra, Kedah. His students came from many places around the peninsula Malaysia reaching reach hundreds of people. Therefore it can be concluded that the entry into Peninsular Malaysia the tarekat Naqshabandiyyah was detected to begin around the middle of the nineteenth century. This is derived from two main sources, namely Mecca and Sumatra (Indonesia). It was brought in by figureheads such as Shaykh Ismail al-Minangkabawi, Shaykh Abdul Wahab, Shaykh Muhammad Yahya, Hj. Ahmad bin Hj. Muhammad al-Baqir, Hj. Yahya Rambah, the khalifah of Shaykh Kadirun Yahya and Hj. Muhammad Yusuf bin Khalifah Panai Abas. Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah is one of the branch of tarekat Naqshabandiyyah that was the widest spread and influenced in Peninsular Malaysia until the present age.

Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiah, p.157-158. Rosnaaini Hamid, “Tarekat Naqsyabandiyyah: Doktrin dan Pengamalannya dengan Tumpuan Khusus di Tanjung Pauh, Jitra, Kedah,” Tesis MA. Universiti Kebangsaan Malaysia, 1997), p. 124. 26 Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiah, p.136. 27 Hamid, “Tarekat Naqsyabandiyyah,” p. 124. 28 Ibid., p. 156. 29 Ibid., p. 125. 24 25

304


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

One of the most famous master and had many centers practicing tarekat Naqshabandiah Khalidiyyah was led by Haji Ishaq bin Muhammad Arif. This article will illustrate this key figure and the development of the group he led in Malaysia. Haji Ishaq bin Mohammad Arif in Raub, Pahang, took the tariqah from Hj. ‘Umar bin Hj. Mohammad in Raub, Pahang, who took it from Shaykh Abdul Wahhab Bab al-Salam, Langkat, Sumatra, who took it from Shaykh Sulayman Zuhdi, Mecca, who took it from Shaykh Sulayman al-Qurami, Mecca, who took it from Shaykh ‘Abdullah Afandi, Mecca, who took it from Shaykh Khalid al-Kurdi.

Haji Ishaq bin Muhammad Arif Hj. Ishaq full name was Ishaq bin Muhammad Arif bin Sutan Tujuan Saka bin Sutan Limbang Laut bin Merah Mas30 He is best known as Imam Haji Ishaq. The title of Imam was linked to his name because he had served as an imam in the mosque and for a relatively long period of more than 30 years. Haji Ishaq was born in 1908 in Kampung Rawa, Cemur, Perak31 His father ancestors came from the family of the Sultanate of Rawa, Sumatra, Indonesia32. While from the mother was from a renowened family in Selangor where Tengku Nahmad of his maternal grandfather was a descended of Siak, Sumatra. Tengku Nahmad had traveled to the Malay Peninsula and settled in Kampung Kuantan, Klang, Selangor where he was also known as Dato ‘Ubah.33 Even though Haji Ishaq has a background in a relatively moderate religious education in the traditional surau and mosque, he was also found to be a competent and active writer. He had produced a number of religious works mainly on the teachings of tasawwuf and tarekat and its historical development in Raub, Pahang. Among the works he had produced were Majmu ‘al-Masa’il, Tanbih al-Muridin, Majmu‘ al-Maw ‘izah, Ways of Practices in Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah To Achieve Tasawwuf, The Origin of Development Tarekat Naqshabandiyyah in the district of Raub, Pahang, and the History of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Kampung Durian Sebatang, Gali District, Raub, Pahang Dar al-Ma‘mur. He also wrote several articles that were not compiled into book. Haji Ishaq died on 21st Febuari, 1992 in the village of Jeram Bangkin, Dong, Raub, Pahang, due to old age at the age of 84. He was buried not far from Surau Suluk Ihya ‘alQulub.

Jahid Sidek, Biografi al-Imam Haji Ishaq bin Muhammad Arif (n.p, n.d.). p. 1. Jamaluddin bin Taib, al-Imam Haji Ishaq bin Muhammad Arif, (n.p, n.d.), p. 1. 32 Sidek, Biografi al-Imam Haji Ishaq, p. 1.; Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 1. 33 Ishaq Muhammad Arif, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah di Kampung Durian Sebatang, Mukim Gali, Raub (Pahang: Dar al-Ma‘mur, n.p, n.d.), p. 3 30 31

305


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Involvement in the Practice of Tarekat Naqshabandiyyah Haji Ishaq began to know Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah when he studied tasawwuf with his Master Haji Muhammad Khatib bin Sutan Kaya. Mohammed Khatib bin Sutan Kaya who was a disciple of Shaykh Haji Umar bin Muhammad al-Khalidi and his oldest khalifah. Before moving to Raub, Pahang, he was a religious teacher and suluk leader of Bertam village, Tanjung Malim, Perak, and had many students there. Haji Ishaq took the the zikir of talqin and bay ‘ah of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from his teacher in 1927 when he was 19 years old34. At the end of the same year, he under went suluk under the guidance of Shaykh Haji Umar bin Muhammad himself in the Surau Suluk Kubu in Kampung Durian Sebatang, Raub, Pahang.35 After almost seven years learning and practicing the tarekat and also several times of undergoing suluk under the guidance and nurture of Shaykh Haji Umar, then Haji Ishaq was appointed as a khalifah and was permitted to teach Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah by his teacher in the year 1353 Hijri (1934).36 At that time he was about 25 years old. After the death of Shaykh Haji Umar, Haji Ishaq was given guidance by two other khalifah of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah who was also a student of Shaykh Haji Umar. They were Haji Muhammad Salih bin Haji Umar and Haji Abdul Wahab bin Haji Muhammad Siddiq bin Haji Salim37 Only after almost 30 years after he was allowed to teach Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah by Shaykh Haji Umar, then he only began to lead the suluk. First suluk led by Haji Ishaq took place in 1964 at the Surau Suluk Kampung Ajai, Raub, Pahang and this suluk later moved to a new place in Surau Suluk Kampung Jeram Bangkin, Dong, Mukim Gali, Raub, Pahang. Surau Suluk Kampung Jeram Bangkin, better known as Zawiyah Ihya ‘al-Qulub, was built and began operation in the mid1960s and the very first Suluk there was performed in October of 1965.38 Haji Ishaq had made Zawiyah Ihya ‘al-Qulub as the center for practice and spread of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah under his leadership. This zawiyah was converted to be the center for Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah activities for its followers and he also taught Islamic knowledges such as Usuluddin, fiqh, al-Qur’an, hadith and tasawwuf. However, his emphasis was more on the teaching of tasawwuf and tarekat.39

Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 2; Arif, Sejarah Perkembangan Tarekat, p. 9. Ibid., 9. 36 Ishaq Muhammad Arif, Asal-Usul Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyyah di Daerah Raub, (n.p, n.d.) p. 5. 37 Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 2. 38 Arif, Asal-Usul Perkembangan Tarekat, p. 6. 39 Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 3. 34 35

306


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Zawiyah Ihya ‘al-Qulub tarekat has attracted many followers to come to learn, accept and practice Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah under the leadership of Haji Ishaq. They come from all over the country and also from Singapore, Thailand and Indonesia.40 This Zawiyah was among the largest and more well known among the zawiyahs of tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah, especially among tarekat followers in Malaysia. Murids of Haji Ishaq was estimated to be more than 5,000 people41. Until today, tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah originally lead by Haji Ishaqis still practiced and spread even more by his Khalifah and becoming among the most active and having many followers amongst tarekat groups in Malaysia.

Appearance and Organization Development Leadership Tarekat Haji Ishaq Ishaq Haji Ishaq initially received bay ‘ah and talqin zikir of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from his Master Haji Mohammed Khatib who was a student and Khalifah of Haji Umar bin Muhammad. Later Haji Ishaq underwent suluk under the leadership of Shaykh Haji Umar himself until he was appointed as khalifah in 1934 at the age of 25 years. He did not immediately lead tarekat practices after the death of his teacher in 1936 but continued to undergo suluk and receiving guidance and additional teaching from the two khalifah of his master namely Haji Muhammad Salih bin Haji Umar and Haji Abdul Wahab bin Haji Muhammad Siddiq.42 After the death of Haji Abdul Wahab, then Haji Ishaq began to lead the suluk. His first suluk was in 1964 at the Surau Suluk Kampung Ajai, Raub, Pahang.43 He reportedly had lead suluk several times in Surau Suluk Kampung Ajai. 44 After the construction of Surau Suluk in Kampung Jeram Bangkin in mid-1964 and was later given the name Zawiyah Ihya ‘al-Qulub, the activities Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah under his leadership began moving there. Zawiyah Ihya ‘al-Qulub was built cooperatively on a piece of waterfront land near Dong River owned and endowed by the family of Tok Empat Saman. The Zawiyah later became a center for Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah activities lead by Haji Ishaq.45 In Zawiyah Ihya ‘al-Qulub, there is a room or small house adjoining the prayer room dedicated to live in his family. Although he own a house in Kampung Kemuning and then moved to a new house in Kampung Ulu Gali, he spent most of his time in Zawiyah Ihya

Ibid., p. 3. Kamarul, “Interview,” June 2000. 42 Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 2. 43 Ibid., p. 2. 44 Sani bin Ismail, “Interview,” May 2000. 45 Saman bin Suhail, “Interview,” May 2000. 40 41

307


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 ‘al-Qulub especially after moving to his new house. TuanHaji Ishaq lived in the Kampung Kemuning after he married his first wife, Rubiah bt. Awaludin, until his wife died in 1976. He began to build and live in new houses in Kampung Ulu Gali after marrying a second wife, Hajjah Fatimah bt. Mat Yasin.46 Haji Ishaq is not only made Zawiyah Ihya ‘al-Qulub as a centre for Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah activities such as zikir bay ‘ah and talqin, tawajjuh and suluk, but he also the spread of Islamic religious knowledges. He himself often hold lectures on usul (the beliefs), Fiqh, al-Qur’an, Hadith and tasawuf (Jamaluddin: 3). In addition, he also held lectures on fard-ain for villagers, assisted by his wife, Rubiah bt. Awaludin who have some ability in that field.47 From Zawiyah Ihya ‘al-Qulub influences Haji Ishaq began to spread throughout the country to other states, particularly Singapore, Kuala Lumpur, Terengganu, Perak, Johor and Malacca, and also to Singapore, Thailand and Indonesia, namely Sumatra and Sulawesi.48 Nasution bin Baharuddin is one of murid and Khalifah of Haji Ishaq who came from Sumatra. He was educated from a pondok there. In Malaysia, he lived with Haji Ishaq in Zawiyah Ihya ‘al-Qulub as his servant. Nasution was married to one of the adopted children of Haji Ishaq named Aminah49 While Ustaz Abdul Hamid is also among the murids and Khalifah of Haji Ishaq. He was from Sulawesi and was reported to have returned to his homeland.50 With the increase in the number of people who accept and practice the tarekat, it requires Surau Suluk to be expanded. The Surau that originally to accommodate approximately twenty followers was later expanded for over three hundreds followers. Tarekat activities carried out actively and in organized manner. Tawajjuh practices were held regularly twice a week. Initially it was conducted on Thursday night and Monday night, but tawajjuh on Monday night that was later changed to Saturday night. This change made to provide opportunities for students who live far away to participate in the tawajjuh. This is also because of the followers who were government employees were on leave only on Sunday. While not official tawajjuh is done at any time, especially when the presence of many murids.51 The practice of suluk was carried out frequently. Initially, it was conducted seven to eight times a year, but then it was reduced to three to four times a year. This is done to provide opportunities for his murids who were busy working and managing their children

Ibid. Ibid. 48 Taib, al-Imam Haji Ishaq, p. 3. 49 Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” May 2000. 50 Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” January 1999. 51 Saman bin Suhail, “Interview,” May 2000. 46 47

308


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

school to participate the suluk. The right time for them was during school holidays52 However, at the end of the eighties until the early nineties suluk frequency began to increase up to seven to eight times a year, even in the month of Ramadan suluk was conducted, especially for followers who want to perform pilgrimage for Haj.53 While the number of participants the suluk grew dramatically, initially, the suluk had only about a dozen people but within a short period it increased to include tens and sometimes more than a hundred participants. This increase occurred mainly in the late eighties and early nineties.54 To strengthen the relationship with and amongst the murids, Haji Ishaq organized silver jubilee celebration and the annual ijtimak Naqshabandiyyah in Zawiyah Ihya ‘al-Qulub. The ceremony was held to mark the year of the twenty-five Haji Ishaq bin Muhammad Arif led suluk in the area Raub, Pahang. Letter of invitation and a program of this annual ijtimak were distributed on 21 April 1989. The ceremony was held to gather his murids from all over the country. Apart from the purpose of strengthening the relationship of the murids, it was also aimed to provide understanding to the murids of the tasawuf and tarekat. For these purposes, religious lectures and discussions were held on related matters. However, this annual ijtimak to commemorate leadership of Haji Ishaq was only held once on 13-14 of May, 1989. This is because three years later he died. In general, those who receive the bay ‘ah and talqin zikir Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah led by Haji Ishaq reached thousands of people. It is estimated more than five thousand people55 While his students that were appointed as the Khalifah was nearly three hundred people. Haji Ishaq himself has released a list containing the names of the khalifah who were still a life and also who have died. The number of those who appear in that list was only 258 people.56 However, there were many more Khalifahs that were not listed and it was estimated about three hundred people.57 Murids of Haji Ishaq were not only composed of people in the villages around Samarinda, but some of them come from afar. Apart from the Raub district itself, the murids were also found Lipis, Bentong, Jerantut, Pekan and Kuantan. In fact there were murids from other states like Selangor, Kuala Lumpur, Terengganu, Perak, Malacca and Johor. In Selangor, the murids were concentrated in the Klang and Gombak. In Kuala Lumpur, it is concentrated in Kampung Baru, Selayang Indah and Setapak. In Terengganu

Ibid. Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” September 1999. 54 Saman bin Suhail, “Interview,” May 2000. 55 Kamarul Shukri, “Interview,” May 2000. 56 Ishaq Muhammad Arif, Asma’ al-Khatanakh, (n.p, n.d.), p. 1-4. 57 Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” June 2000. 52

53

309


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 is concentrated in Kemaman and Paka. In Perak it is concentrated in the Slim River. Melaka is concentrated in Alor Gajah. While in Johor, it is concentrated in Johor Bahru.58

Background of the Murids In terms of educational background and knowledge of the murids of Haji Ishaq, a study found that Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah under his leadership was not only attracted village residents but also those who were of highly intellectual and professional groups. Although the majority of his disciples were those who do not have the formal educational background and knowledge that were mainly the villagers, retirees, middle income and the like, but there were a number of them were well educated and having degrees in various fields. In the religious field, I found among the murids of Haji Ishaq with a respected background of education and knowledge were Ustaz Muhammad bin Long, Ustaz Haji Husain bin Abdul Latif, Ustaz Mokhtar bin Yaqub, Ustaz Ramli bin Muhammad and Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid bin Sidek. Ustaz Muhammad was a religious teacher at Sekolah Kebangsaan Durian Tawar, Temerloh. Ustaz Haji Husain is also a religious teacher in Balai Muzakarah, Pauh Sembilan, Bachok, Kelantan59 While Ustaz Mokhtar was a principal in Sekolah Menengah Agama Dong, Raub. He was later promoted to senior assistant in Kuliah Abu Bakar, Pekan, Pahang. He was a graduate of Al-Azhar University has successfully obtained a masters degree in the field of Usul al-fiqh. Ustaz Mokhtar was appointed as vice-Shaykh al-Arqam when he engaged in that group the end of the seventies. This occurred after he resigned as senior assistant in Kuliah Abu Bakr. He then breakout from that group in 1986 and died a year later60 Ustaz Ramli also is a teacher of religion in Sekolah Agama Dong, Raub. He graduated from an Islamic center of higher learning in India in the field of Hadith. He is one of the students and the Khalifah of Haji Ishaq and was expected to lead the tarekat after his absence. However, after the death of Haji Ishaq, he was reported to be not very active with tarekat practices. He has, of late, found to be involved directly with the opposition party, PAS, and was the candidate in the 1999 election against Dato ‘Seri Mohd. Najib.61 While Associate Professor Ustaz Haji Jahid also is a lecturer at the University of Malaya where he graduated. During the lifetime of Haji Ishaq he had managed to get a masters degree in Sharia at the University. He also was awarded the rank of Associate Ishaq Muhammad Arif, Rangkaian Jamaah Suluk dan Tawajjuh Bagi Tariqat Naqsyabandiah al-Khalidiyah di Bawah Pimpinan Tuan Guru Imam Hj. Ishaq bin Mohammad Arif an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jeram Bangkin, Dong, Raub (n.p, n.d.) 59 Arif, Asal-Usul Perkembangan Tarekat, p. 6-7. 60 Ahmad Baha’, “Interview,” June 2000. 61 Kamarul Shukri, “Interview,” June 2000. 58

310


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Professor by the university. He later obtained a doctorate in the field of Tasawuf in the Department of Islamic Studies, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya in 1994 after two years of the death of Haji Ishaq. Authors also found that, in addition to them there also among the murids of Haji Ishaq who were well educated in the Islamic religious field. Among them were Ustaz Othman bin Napiah, Ustaz Tarmizi bin Abdul Rahman, Ustaz Kamarul Shukri bin Muhammad Teh, Ustaz Abdul Khalil bin Abdul Manaf, Ustaz Syed Nurul A ‘la bin Syed Abdullah, Ustaz Ahmad Syifa’ bin Mokhtar and Ustaz Ahmad Baha’ bin Mokhtar. Ustaz Othman was a lecturer at Universiti Teknologi Malaysia, Sekudai, Johor. He obtained a masters degree from the Department of Islamic Studies, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya in 1992. His thesis submitted to the university for a masters degree was entitled “The Teachings of Tasawwuf Shaykh Ibn` Ata ‘Allah alIskandari r. `a. – The Important In His Book Al-Hikam”. He later obtained a doctorate degree is from the same university. He received the bay `ah and talqin zikir of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Haji Ishaq himself and had entered suluk with him. However, after the death of Haji Ishaq he entered suluk under the guidance of the khalifah of Haji Ishaq, Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid bin Sidek until he was appointment as khalifah. Ustaz Tarmizi also is a graduate who has obtained a degree from a university in Moroko. He served as a lecturer at Universiti Malaysia Sabah. He managed to obtained a master degree in Islamic Studies from the University of Mancaster, United Kingdom. He subsequently pursue doctoral degrees at a university in England. He received the bay ‘ah and talqin zikir of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah from Haji Ishaq and entered suluk with him but was not appointed to be a khalifah. However after the death of Haji Ishaq, he entered suluk with Associate Prof. Ustaz Haji Jahid and was appointed as his khalifah62 Ustaz Kamarul Shukri was a graduate with a bachelor’s degree from the University of Umm al-Qura, Saudi Arabia. After returning home he worked as a lecturer at the College of Religious Sultan Zainal Abidin (KUSZA), Kuala Terengganu (now Universiti Sultan Zainal Abidin, Campus KUSZA). He then pursue a masters degree and doctorate in the Department of Arabic and Islamic Civilization, Faculty of Islamic, University Kebangsaan Malaysia. Ustaz Syed Nurul A‘la was a graduate with a degree from International Islamic University Malaysia. He served as a lecturer at Universiti Pertanian Malaysia, Serdang (now Universiti Putera Malaysia). He then pursue a masters degree at the university. Ustaz Abdul Khalil is a graduate with a bachelor’s degree from the University of alAzhar, Cairo, Egypt. Upon returning home, he served as teachers in Sekolah Menengah Agam Dong, Raub, Pahang. He received the bay ‘ah and talqin zikir of Tarekat Naqshabandiyyah

Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” June 2000.

62

311


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Khalidiyyah from Haji Ishaq himself and entered suluk with him but was not appointed to be a khalifah. He then entered suluk with the khalifah of Haji Ishaq, Tengku Haji Mustafa, until he was appointed to the khalifah63 Ustaz Azlan was a graduate with a bachelor’s degree from the University of al-Azhar. The same was with Ustaz Ahmad Syifa and Ustaz Ahmad Baha’. Both children of Ustaz Mokhtar had obtained their undergraduate degree from the University of al-Azhar. While the murids of Haji Ishaq were made up of the intellectual and professional in other fields were Haji Manan, Dr. Nordin Ahmad, Azizan Radi, Haji Hafas bin Aden, Abdul Rahim bin Muhammad, Wan Abdul Rasyid bin Wan Abu Bakar, the Honourable Dato’ Mustafa bin Tengku Haji Seti and others. Haji Manan was a senior officer in a department located in Menara Promet, Kuala Lumpur. He holds a degree from a tertiary education in Australia. Dr. Nordin was a millionaire in Kuala Lumpur. Azizan was a surveyor in Kuala Lumpur. He studied at a center of higher learning in the United States. Haji Hafas also was a lawyer in Kuantan, Pahang. Abdul Rahim was an officer of the National Savings Bank in Kuala Lumpur. Wan Abdul Rashid also was a judge at the Central Court, Kuantan, Pahang. While the Honourable Dato’ Tengku Mustafa is the Speaker of the Legislative Assembly of a State.64

Location Dissemination In terms of the status of the development environment of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq, the study found that it is not only growing in the villages only, but it has also successfully penetrate and entered the centers of higher learning. It was seen to enter and expand in local universities and overseas through the khalifahs primarily Ustaz Mokhtar bin Yaqub and Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid bin Sidek. Through Ustaz Mokhtar, the tarekat began to grow among the Malaysian students at alAzhar University, Cairo, Egypt. This happened while he was studying at the university at about mid-seventies.65 Ustaz Mokhtar had also influence the spread of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq and expanded in Kuliah Abu Bakar, Pekan, Pahang. Ustaz Mokhtar was the senior assistant there. Also Ustaz Mokhtar had assisted to spread Haji Ishaq influence in Kuliah Abu Bakar. Many of the academicians there received the bay ‘ah and talqin zikir of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah and subsequently entered suluk under the guidance of Haji Ishaq himself.66

Kamarul Shukri, “Interview,” June 2000. Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid. 63 64

312


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Through Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid, the influence of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq was first established and spread at the University of Malaya, International Islamic University Malaysia, Institute Teknologi Mara and Universiti Teknologi Malaysia.67 At that time he was a lecturer in the Department of Islamic Studies, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya. Beside that the influence of the tarekat lead by Haji Ishaq was also established at Universiti Malaysia Sabah through his murid Ustaz Tarmizi bin Abdul Rahman who was a lecturer at the university. While at the traditional learning centers and semi traditional (madrasah and modern madrasahs), the influence of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq had also successfully entered the part of it. Among them was Taman Islam, Kemaman, Terengganu. Influence of the tarekat under his leadership was brought there by Haji Hafas bin Aden, a lecturer there. Later it was continued and expanded further by Ustaz Zakaria bin Mat Ali and Ustaz Yusof who were the academicians there and was well received there with many residents received and practiced this tarekat. However, later a directive was obtained to cease the practice and dissemination. Ustaz Yusuf then resigned and opened a pondok in Paka, Terengganu. He was reported to continue to practice and spread the teaching and practice in his pondok the Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah it. 68 In Addition the influence of the tarekat lead by Haji Ishaq had also successfully established and expanded in a madrasah in Tokai, Kedah which was led by Ustaz Haji Sanusi. This tarekat was brought there by him as a murid and khalifah of Haji Wan Hasan who was leading the suluk in Surau Suluk Kampung Pulau Rumput, Pekan, Pahang. Haji Wan Hasan a murid and senior khalifah of Haji Ishaq was given permission to lead suluk while Haji Ishaq was still alive. Haji Ishaq had given permission so that Ustaz Sanusi was trained to lead a suluk. After the death of Haji Wan Hasan, Ustaz Sanusi was his successor to lead a suluk.69 In the Dar al-Arqam community, the influence the tarekat lead by Haji Ishaq was found growing in the midst when Ustaz Mokhtar become vice-Shaykh al-Arqam. Prior to joining the Dar al-Arqam, Ustaz Mokhtar had established a form of a pre-community in Kelat Rendang, Pekan, Pahang where most of the followers were practicing Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq. Ustaz Mokhtar participation in the Dar al-Arqam brought along most of the followers into the community.70 With this, Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq began to take root and growed in the midst Dar al-Arqam. Ustaz Mokhtar initially was reported not to be too concerned about the developments

Jahid Sidek, “Interview,” October 1999. Kamarul Shukri, “Interview,” June 2000. 69 Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” May 2000. 70 Kamarul Shukri, “Interview,” June 2000. 67 68

313


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in the midst of Dar al-Arqam. This was because he wanted to keep the unity and harmony in the community where majority were practicing Awrad Muhammadiyyah Ashari Muhammad lead by Ustaz Ashari Muhammad. After being urged by many, he was forced to teach as a representative or khalifah of Haji Ishaq. The effect of this had had cause some Dar al-Arqam followers to take and practiced this tarekat and later entered suluk lead by Haji Ishaq. After Ustaz Mokhtar decided to withdraw from Dar al-Arqam due to disagreement with Shaykh al-Arqam, Ustaz Ashari, particularly the question of Imam al-Mahdi. Thus many among the community, especially those practicing Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah, decided to voluntarily withdraw from the Dar al-Arqam71 Haji Ishaq, as he himself said, actually had intended to establish madrasah for the community or a pondok hut that would teach religious knowledge such as usul, fiqh, hadith, al-Qur’an, tasawuf etc. He wanted the madrasah to be based on the belief ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah and the mazhab of Imam al-Shafi‘i and will be independent of influence and controlled by any party.72 In addition to teaching religious sciences, practiced to tarekat tasawuf in particular the Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah was to be the basis of the madrasah. It was probably like pondok and villages that had been established by Tuan Guru Shaykh Abdul Wahab Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Indonesia. However his intention was not fulfilled after he died in 1992. His intentions were tried to be realized by his murid and khalifah Assoc. Professor Ustaz Jahid bin Sidek and the efforts are currently undergoing actively.73

Network Places mysticism and Tawajjuh In an effort to propagate the teachings and practices of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah, Haji Ishaq and assisted by his murids took the initiative to enlarge and increase the number places for suluk. Efforts were also made to increase the number of places for tawajjuh nationwide. The study authors found that, up to Haji Ishaq’s death, there were three Surau Suluk which is under the auspices of the organization Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by himself. There was one each Raub, Pekan and in Johor Bahru. In Raub, suluk was performed in Surau Suluk Jeram Bangkin, Dong that was known as Zawiyah Ihya ‘al-Qulub, the most important and the biggest suluk centre. Suluk here was lead by Haji Ishaq himself who was also the murshid. In Pekan, the suluk was conducted in Surau Suluk Kampung Pulau Rumput. The suluk here was lead by the khalifah of Haji Ishaq,

Ahmad Baha ‘bin Mokhtar, “Interview,” June 2000. Taib, t.th., al-Imam Haji Ishaq, p. 4. 73 Jahid bin Sidek, “Interview,” May 2000. 71 72

314


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Haji Wan Hasan. While in Johor Bahru the suluk was performed in Surau Suluk Bab alKhayrat at No.1, Jalan Suka, Kampung Melayu Majedee. The suluk here was led by the khalifah of Haji Ishaq, Haji Dato’ Tengku Mustafa and the imam was Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid74 While the tawajjuh centers in the organization of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq were in several states, namely Pahang, Selangor, Kuala Lumpur, Terengganu, Perak, Malacca and Johor. In the state of Pahang was where the most tawajjuh centre located for this tarekat. They were found in Raub, Pekan, Lipis, Bentong, Kuantan and Jerantut. In Raub district alone there are four tawajjuh. First, Surau Suluk Jeram Bangkin, Dong which was the main tarekat center. Tawajjuh here was lead by Haji Ishaq himself. It was done on Thursday and Monday night. Tawajjuh on Monday night was changed to Sunday night. The second center was at Temau mosque. Tawajjuh here performed on Sunday night, led by Mokhtar bin Ismail. The third was the home of Tengku Haji Mustafa bin Tengku Haji Seti at Kampung Pintu Padang who lead the Tawajjuh on Tuesday night. The fourth center was at Mokhtar bin Ismail’s house in Kampung Pasir Bayam, Dong. The Tawajjuh was on Saturday night and lead by Mokhtar himself 75 In Pekan area there were four tawajjuh centers. First, at the house of Haji Rasdi bin Haji Abdul Kadir in the Royal Town of Pekan. Tawajjuh here was performed on Wednesday night, led by Haji Rasdi himself. Second, at the home of Haji Abdul Latif bin Din di Padang Polo Pekan. Tawajjuh here was performed on Monday night, led by Haji Abdul himself. Third, at Surau Suluk Kampung Pulau Rumput. Tawajjuh here was performed on Thursday night and Sunday night led by Haji Wan Hasan bin Wan Abdullah. Wan Hasan bin Wan Abdullah. Fourth, at Masjid Pulau Rusa where the Tawajjuh was performed on Sunday night lead by Haji Osman bin Hj. Osman bin Haji Ahmad (Ishaq [H]). Ahmad.76 In the district of Kuala Lipis, there were three tawajjuh centers. First, the home of Miswan bin Rashid at Felda Sungai Koyan 3 where the Tawajjuh was performed on Sunday night lead by Imam Haji Ahmad Khairuddin. Second, at Masjid Kuala Medang where the Tawajjuh was performed on Wednesday night lead by Imam Yusuf ibn Khatib Awang Ahmad. Third, at the home of Ismail bin Mat in Lipis town where the Tawajjuh was performed on Wednesday night led by Jamal bin Awang77 In the district of Bentong there were two tawajjuh centers. First, at Surau Batu Satu, Bentong where the Tawajjuh was performed on Sunday night lead by Haji Saidina Umar bin Abdul Rahman. Second, at Masjid Tengku Sulaiman, Keteri where the Tawajjuh was

Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” January, 1999. Arif, Rangkaian Jamaah Suluk. 76 Ibid. 77 Ibid. 74 75

315


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 performed on Sunday night which is also led by Haji Saidina ‘Umar. In Kuantan, there are two tawajjuh centers. First, in the town of Kuantan where the Tawajjuh was performed on Monday night and Thursday night under the leadership of Haji Zulkifli bin Dato’ Salahuddin. Second, at Surau Kampung Padang where the Tawajjuh was performed on Saturday night lead by Haji Rasdi bin Haji Abdul Kadir. While in Jerantut, there was only a center at the home of a teacher Wan Rosdi bin Wan Osman in Felda Sungai Tekam Utara and the Tawajjuh was lead Wan Rosdi himself78 Apart from the state of Pahang, in the state of Selangor there were many tawajjuh centers operated by the Khalifah, Haji Ishaq. These tawajjuh centers were in Gombak and Klang. In Gombak district, there are two tawajjuh centers.First, in Kampung Seri Kundang, Kuang at the home of Associate Professor Ustaz Haji Jahid bin Haji Sidek who lead the Tawajjuh on Friday night. Second, in Sungai Chin-Chin, 7 ¾ th Mile Gombak where the Tawajjuh was performed on Thursday nights lead together by Abdul Rahman and Ahmad Ramadan. In Klang there were two tawajjuh centers. First, in Kampung Kuantan located at 51 Jalan Bukit Kuda, Klang where the Tawajjuh was performed on Thursday night led by Azlan bin Syamsuddin. Second, at the Sungai Udang located at Lot 484 Sungai Udang. Teluk Pulai, Klang where the Tawajjuh was performed on Satruday night led by Associate Professor Ustaz Haji Jahid dan Qamarul Anwar.79 In Kuala Lumpur, there were three tawajjuh centers. First, at Haji Kudari’s house at 4, Jalan 3, Sungai Baru where the Tawajjuh was performed on Sunday night leed by Assoc. Professor Ustaz Haji Jahid. Second, in Setapak located at C 2/1 Rumah Panjang Setapak Jaya where the Tawajjuh was performed on Saturday night and Sunday night lead by Ahmad bin Abdullah Ramadan. Third, at No. 172, Jalan 14, Selayang Indah where the Tawajjuh was performed on Sunday after zohor lead by Ahmad Ramadan80 In Terengganu, there were three tawajjuh centers namely in Kemaman, Paka and Kuala Terengganu. In Kemaman, the tawajjuh was performed at Abdul Razak’s house in Taman Taja, Jalan Makmur on Thursday night led by Ustaz Zakariyya bin Mat Ali. In Pondok Paka the tawajjuh was led by Ustaz Yusuf. While in Kuala Terengganu the tawajjuh center was lead by Wan Abdul Rashid bin Wan Abu Bakar81 In Perak, there are two tawajjuh centers. One at Slim River at the house of Haji Mazlan bin Othman at Lot 958 Klan halt 2 where the Tawajjuh was performed on Saturday night led by a teacher, Hawalit bin Mazlan. The other was in Tanjung Malim where the Tawajjuh was ledd by Haji Muhammad Nur bin Tais. While in Malacca and Johor there was one tawajjuh center each. In Melaka, it was at the Government Staff Quarters in Ibid. Ibid. 80 Ibid. 81 Ibid. 78 79

316


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Alor Gajah where the Tawajjuh was performed on Friday night lead by Isa bin Baba. In Johor, it was at Surau Bab al-Khayrat, No.1, Jalan Suka, Kampung Melayu Majedee where the Tawajjuh was performed on Friday night lead by Haji Happas bin Aden.82 Therefore, the official tawajjuh centers for Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq in Peninsular Malaysia were more than thirty centers. Sixteen of Pahang, four in Singapore, four in Kuala Lumpur, three in Terengganu, two in Perak and one each in Malacca and Johor. In Pahang, tawajjuh centers were concentrated in some regions, especially in Raub, Lipis and Pekan. This is because in Raub the Zawiyah Ihya ‘al-Qulub was the main center for the tarekat activities while Kuala Lipis is located adjacent and very close to the main center. In Pekan, there were some influential Khalifahs who were closed with the community namely Ustaz Mokhtar bin Yaqob and Haji Wan Hasan who had been leading the suluk since Haji Ishaq masih hidup lagi. Ishaq was still alive. Haji Ishaq handed over the leadership and handling of tawajjuh centers to a representative or his khalifah. However, his often visited these centers to perform tawajjuh. In addition he conducted teaching to explain about religion, especially on tarekat practices and issues related with question-and-answer session etc. 83 These Tawajjuh centers had allowed and facilitated the members who lived away from the main tarekat center in Dong, Raub, to carry out the tarekat practices in a group. In addition, it was also an opportunity for local residents of the surrounding villages to know Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah closer through lectures and any events held. It also enables them to receive the bai‘at and talqin zikir from the representative or the appointed khalifah, or from Haji Ishaq himself at the time of his visit to these places.

Conclusion From the information above it can be concluded that the emergence of Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq started in the mid-sixties was based in Surau Suluk Kampung Jeram Bangkin, Dong, Raub, Pahang. Here various tarekat activities and teaching of Islamic knowledge were conducted. From here the tarekat started to expand out all over the country. Tarekat activities were carried out actively in a structured manner and on-going until today. The tarekat organization has a large number of members reaching thousands of people. The level of education and employment background were diverse and among them are professionals. The tarekat had been growing rapidly in many locations and had penetrated the centers of higher learning and the traditional madrasah. Organizational leadership in Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah lead by Haji Ishaq had more than three centers where suluk was performed namely two in Pahang 82

Ibid. Rasdi Abdul Kadir, “Interview,” May, 2000.

83

317


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 and one in Johor. There were also more than thirty tawajjuh centers located in the states of Pahang, Selangor, Kuala Lumpur, Terengganu, Perak, Malacca and Johor.

References al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Some Aspects of Sufism As Understood And Practised Among The Malays. Singapore: Malaysian Sociological Research Institute Ltd., 1963. Arif, Ishaq Muhammad. Asal-Usul Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyyah di Daerah Raub. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Sejarah Perkembangan Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah di Kampung Durian Sebatang, Mukim Gali, Raub, Pahang, Dar al-Ma‘mur. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Cara-Cara Menjalani Amalan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah Untuk Mencapai Kepada Tasawuf. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Sejarah Hidup Seorang Hamba Allah Yang Bernama Ishaq bin Muhammad Arif dan Sejarah Penerokaan Kampung Temau (Dong), Raub, Pahang. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Majmu‘ al-Masa’il. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Rangkaian Jamaah Suluk dan Tawajjuh Bagi Tariqat Naqsyabandiah al-Khalidiyah di Bawah Pimpinan Tuan Guru Imam Hj. Ishaq bin Mohammad Arif an-Naqsyabandi al-Khalidi, Jeram Bangkin, Dong, Raub. n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Asma’ al-Khatanakh, n.p, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Tanbih al-Muridin. Kuala Lumpur: Nurin Interprise, n.d. Arif, Ishaq Muhammad. Majmu‘ al-Maw‘izah. Raub: Pustaka al-Huda, 1998. Arif, Ishaq Muhammad. Kuliah dalam Ijtimak di Surau Jeram Bangkin, Dong, Raub. Pahang, 1989. Hamid, Rosnaaini. “Tarekat Naqsyabandiyyah: Doktrin dan Pengamalannya dengan Tumpuan Khusus Di Tanjung Pauh, Jitra, Kedah”. Tesis MA. Universiti Kebangsaan Malaysia, 1997. Hidayat, K.H.A. Rivai, R. St.. Kata Sambutan Pada Peringatan Hari Guru Ke 57. Medan: Dar al-Amin, 1974. Nur, Sulaiman Muhammad. Perjuangan Hidup Seorang Hamba Allah: Tuan Shaikh al-Haj Ma‘ruf bin Ya‘qub al-Khalidiyyah al-Naqsyabandiyyah. n.p, n.d. Sidek, Jahid. Biografi al-Imam Haji Ishaq bin Muhammad Arif, n.p, n.d. Sidek, Jahid. Shaikh dalam Ilmu Tariqah. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 1997. Taib, Al-Haj Muhammad. Nuzum Tawassul Silsilah al-Tariqah al-‘Aliyyah. n.p, n.d. Taib, Jamaluddin bin. al-Imam Haji Ishaq bin Muhammad Arif, n.p, n.d. Termizi, Wan, bin Wan Muhammad. Tarikat Naqshabandiyyah Khalidiyyah Di Taman Naqshabandi Semenyih, Kajang. Selangor. Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996. 318


Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi, et al.: Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah

Van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994. Yahya, Kadirun. Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus. Medan: UNPAB, 1982. TemubualInterviews Jamaluddin (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Sani bin Ismail (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Rasdi bin Abdul Kadir (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Jahid bin Sidek (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Saman bin Suhail (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Mohd bin Mohamad Shukri Teh (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq) Ahmad Baha ‘bin Mokhtar (Murid and Khalifah or representative of Haji Ishaq)

319


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

PERDEBATAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA: Suatu Kajian Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia Muhammad Hatta Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Jl. Jawa, Lhokseumawe, Aceh, 24351 e-mail: delicten@yahoo.com

Abstrak: Secara tegas, hukum pidana Islam dan Indonesia mengatur tentang hukuman mati. Tetapi, di Indonesia eksistensi hukuman mati masih menjadi perdebatan. Ada pendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada juga menilai hukuman mati dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Untuk mengkaji pertentangan pandangan tersebut, perlu dilakukan analisis secara kritis dengan mengunakan pendekatan yuridis normatif. Disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan hukuman mati, baik hukum pidana Islam maupun Indonesia memberlakukan secara hati-hati dan dengan batasan yang telah ditentukan oleh undangundang. Dengan batasan-batasan inilah diharapakan dapat mengimbangi pandangan antara yang mendukung dan menolak hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dalam hukum pidana Islam untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan yang merupakan karunia Allah SWT. yang harus dilindungi, di mana pelanggarnya pantas dihukum mati. Abstract: The Debate of Capital Punishment in Indonesia: A Comparative Study between Islamic and Indonesian Criminal Law. Strictly speaking, the Islamic and Indonesian criminal law provide for capital punishment. However, the existence of the death penalty in Indonesia is still debatable. It is assumed that the death penalty is against human rights, but others consider it as to protect the public interest. In order to discuss the contravening views, this paper is an attempt to critically analyzed the issu by using a normative juridical approach. It is concluded in its implementation of capital punishment both the in Islamic and Indonesian criminal law is carefully applied and with the limits prescribed by law. Such restrictions are expected to balance the views between the pro and against capital punishment in Indonesia. The death penalty in Islamic criminal law is to protect religion, life, property, intellect and descendant. The five basic human rights is given by the Almighty God that should be protected, the violator of which is liable for capital punishment.

Kata Kunci: hukuman mati, hukum pidana, Islam 320


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

Pendahuluan Jenis pemidanaan (hukuman) yang paling banyak menimbulkan perdebatan adalah pemidanaan mati. Bahkan negara maju yang mengaku telah menghapus hukuman mati pun, masih juga menerapkan hukuman mati terhadap delik-delik tertentu. Meski sudah menjadi wacana klasik, pro-kontra seputar penerapan hukuman mati1 tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Walaupun secara global menolak hukuman mati, tetapi pelaksanaan hukuman mati justru masih diterapkan di Indonesia.2 Tabel: 1.1. Negara-negara yang telah Menghapus Hukuman Mati No

Uraian

Jumlah

1

Negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan Negara yang menghapus hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa Negara yang melakukan moratorium praktik hukuman mati Total negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati Negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati

94

2 3 4 5

9 39 142 55

Sumber: Amnesty International & Hands off Cain tahun 2007 Berdasarkan data dari Amnesty Internasional, pada tahun 2005 ada sebanyak 2.148 orang yang dieksekusi mati dari 22 negara. 94 persen terjadi di empat negara yaitu Republik Rakyat Cina (RRC) 1.770 orang, Iran 94 orang, Arab Saudi 86 orang dan Amerika Serikat 60 orang. Sedangkan, pada tahun 2006, ada 1.591 orang yang dieksekusi mati dari 25 negara. Secara geografis angka tersebut meningkat, namun jumlah eksekusi menurun. Amnesty International memperkirakan masih terdapat 20.000 orang di dunia yang akan dihukum mati.3 Dalam kurun 11 tahun terakhir (1998-2009), Indonesia telah melakukan eksekusi hukuman mati sebanyak 20 orang. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan pada tahun 1945-2003 yang hanya mengeksekusi mati sebanyak 15 orang.4 Karena itu, berdasarkan Andi Hamzah et al., Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, cet. 2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 2. 2 Badan Pekerja Kontras, “Praktik Hukuman Mati di Indonesia,” diakses dalam http:// www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf,diunduh. 30 Desember 2008. 3 “Death Penalty Development in 2005,” dalam Amnesty International, diakses dalam http://web.amnesty.org/pages/deathpenalty-developments2005-eng. 4 William Schabas, “Discussion on Death Penalty Contemporary Challenges,” dalam Delegation 1

321


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 catatan Amnesty International, negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati. 5 Secara yuridis formal, penerapan hukuman mati di Indonesia memang dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, hukuman mati juga terdapat di dalam undang-undang di luar KUHP, misalnya Undang-Undang Teroris, Korupsi, Pencucian Uang dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam sistem hukum pidana di Indonesia.6 Salah satu kebijakan yang penting dalam mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah terlihat dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dengan tegas menolak usulan dari Uni Eropa agar Indonesia menghapuskan pemidanaan mati pada rancangan KUHP yang baru. 7 Bahkan pada tingkat kebijakan terhadap delik-delik tertentu, Presiden Republik Indonesia menegaskan bahwa tidak akan memberikan grasi terhadap para terpidana mati tindak pidana narkoba. 8 Namun, eksistensi hukuman mati tersebut tidak serta merta disetujui oleh seluruh kelompok masyarakat di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi yang ada. Bahkan, untuk pertama kalinya permasalahan hukuman mati diajukan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bertentangan dengan hak hidup yang dijamin berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.9 Secara umum, para aktivis atau pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menolak pemberlakuan hukuman mati. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga berpandangan bahwa hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia. Apabila dikaitkan dengan pemberantasan suatu kejahatan maka tidak ada suatu jaminan dengan menerapkan hukuman mati akan mengurangi suatu kejahatan. of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004. Tulisan ini kemudian dikutip oleh Komnas HAM dalam websitenya www.komnasham.go.id. 4 Januari 2009. 5 Sudi Prayitno, “Dilema Hukuman Mati,” dalam http://www.legalitas.org/?q=content/ dilema-hukuman-mati. 30 Desember 2008. 6 http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati. 30 Desember 2008. 7 Usulan Uni Eropa tersebut disampaikan oleh Dubes Finlandia, Markku Nilnloja, Dubes Jerman, Joachim Broudre Groger, serta delegasi Komisi Uni Eropa, dan Ulrich Eckle. Dalam Media Indonesia, 5 Juli 2006. 8 The Jakarta Post, 1 Juli 2006 dan Tempo, 1 Juli 2006. 9 Uji materil (judicial review) hukuman mati tersebut dilakukan terhadap beberapa terpidana mati yang melakukan tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Melalui uji materil inilah yang akan nantinya menilai apakah hukuman mati tersebut bersifat konstitusional ataupun tidak. Pan Mohamad Faiz, “Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati,” dalam the Jakarta Post, 4 Mei 2007.

322


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat terhadap masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), walaupun hukuman mati belum dilarang secara tegas di dalam hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Adopsi terhadap Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 menunjukkan pengakuan yang sangat tegas oleh masyarakat internasional terhadap penghapusan pemidanaan mati secara menyeluruh. Berdasarkan konsensus masyarakat internasional yang melawan hukuman mati, beberapa negara retensionis, yaitu negara yang masih menerapkan hukuman mati, menjadi semakin terisolasi. Indonesia, sebagai salah satu negara retensionis, telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional seperti Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik, tetapi Indonesia tetap tidak menghapus hukuman mati. Keteguhan sikap pemerintah Indonesia mempertahankan hukuman mati senada dengan aturan yang diterapkan dalam hukum pidana Islam, di mana terhadap delik-delik tertentu seperti tindak pidana zina muhshan, pembunuhan sengaja, perampokan dan dijatuhi dengan hukuman mati. Masyarakat Indonesia yang dominan beragama Islam, hukuman mati bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Namun perbedaan pendapat terhadap hukuman mati di dalam hukum pidana Indonesia adalah terletak pada jenisjenis kejahatan dan pelaksanaan hukuman mati. Pada prinsipnya, yang terpenting adalah kedua sitem ini mengakui eksistensi hukuman mati dan ini tidak ada perdebatan sama sekali karena secara tegas telah diatur oleh kedua sistem hukum ini. Namun, seiring dengan maraknya gagasan humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan universal yang merebak seusai perang dunia kedua, hukuman mati dianggap tidak logis dalam kehidupan modern.10 Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum pidana di dunia saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori tersebut bersifat clinic treatment.11 Pada akhirnya, muncullah perdebatan di kalangan masyarakat seputar perlu tidaknya penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini.12 Alih-alih menemukan titik temu atau kesepahaman, perdebatan seputar hukuman mati, justru semakin meruncing. Kedua aliran yang mendukung dan menolak hukuman mati kian kukuh dengan argumennya masingmasing, bahkan cenderung ekstrem, sehingga melupakan kaidah-kaidah ilmiah dan ilmu pengetahuan.

J. E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 202. 11 Kompas, 29 Pebruari 2003. 12 J. E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, h. 215. 10

323


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam Dalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan kata ‫‘( ﻋﻘﻮﺑ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺔ‬uqûbah) yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syar‘i yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Menurut ‘Abd al-Qadîr ‘Audah hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara‘:

Syaikh Wahbah Zuhailî membagi hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (al-‘uqûbah al-ukhrawiyah) dan hukuman dunia (al-‘uqûbah al-dunyawiyah). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah SWT., adalah hukuman yang benar (haqq) dan adil (‘adl). Ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu hudûd dan ta’zîr.13 Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati merupakan bentuk hukuman maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat. 14 Ini menunjukkan bahwa hukum Islam masih mempertahankan hukuman mati untuk tindak kejahatan tertentu, di mana esensi penerapannya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. 15 Dalam hukum Islam, hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu qishâsh, hudûd dan ta‘zîr. Dalam masalah qishâsh, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku pembunuhan yang disengaja atau direncanakan.16 Dalam masalah hudûd, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku zina muhshan, hirâbah, al-baghyu, dan riddah. Sedangkan dalam masalah ta‘zîr, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan di luar qishâsh dan hudûd yang oleh negara (penguasa) dianggap sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat. 17 Hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, semisal narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman ta‘zîr yang disebut dengan ‘al-qatlu alsiyâsi’, yaitu hukuman mati yang tidak diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah, tapi diserahkan

Imam Yahya, “Hukuman Mati Perspektif Syari’ah,” dalam http://imamyahya.blogspot.com/ 2009/04/hukuman-mati-perspektif-syariah.html. Selasa, 14 April 2009. 14 Q. S. al-Baqarah/2: 179. 15 ‘Abd al-Wahab al-Khalâf, Science Ushûl al-Fiqh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1992), h. 198; Lihat juga dalam buku Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah Muhaimar, 1957), h. 351. 16 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Islâmi Jina’iy: Muqâranah bi al-Qanûn al-Wadh‘i, Juz I (Beirut: al-Risâlah Mu’assasah, 1992), h. 663. 17 Ibid. 13

324


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

kepada negara, baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya.18 Hukuman mati tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. 19 Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mengatur, menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan terakhir.20 Dengan demikian, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat dijatuhi hukuman mati.21 Munculnya perdebatan tentang hukuman mati sebagaimana telah dijelaskan pada akhirnya melahirkan setidaknya dua kelompok besar, yaitu kelompok yang ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang mendukung penerapan hukuman mati. Bagi kalangan yang menolak, hukuman mati merupakan bentuk pembunuhan yang dilegalkan oleh negara dan hal ini melanggar hak asasi manusia, karena hak hidup adalah hak dasar yang tidak bisa dikurangi dengan alasan apa pun (non-derogable rights) oleh individu. Sedangkan kelompok yang mendukung, hukuman mati adalah satu bentuk hukuman yang masih dibutuhkan untuk membuat efek cegah dan mengurangi kejahatan-kejahatan yang tergolong besar atau luar biasa di tengah masyarakat. Menurut Suhaidi, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa hukuman mati perlu diterapkan terhadap pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan secara sadis dan bandar narkoba. Tujuannya adalah untuk membuat efek jera, sehingga masyarakat merasa takut melakukan perbuatan salah dan melanggar hukum. Jadi penerapan hukuman mati itu janganlah dianggap sebagai suatu balas dendam atau pelanggaran HAM terhadap pelaku kejahatan. Penilaian seperti ini tidak dapat diterima, apalagi dikait-kaitkan pula bahwa tindakan itu tidak manusiawi. 22 Hudûd adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syar’i dengan nash-nash yang jelas. Hukuman hâdd menurut Hanafiyah ada lima macam yaitu, hâdd zina, hâdd qadzf, hâdd pencurian, hâdd minum khamr, dan hâdd mabuk. Sedangkan

Hukuman maksimal yaitu hukuman mati bisa diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Khaeron Sirin, “Eksekusi Mati Trio Bom Bali,” dalam Tempo, 25 Nopember 2008. 19 Ibid. 20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 1996), h. 99. 21 Zafrullah Khan Muhammad, Islam and Human Rights (Islamabad: Islam International Publications Ltd., 1988), h. 74. 22 http://www.antara.co.id/view/?i=1197825088&c=NAS&s=. 22 September 2011. 18

325


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu hâdd zina, hâdd qadzf, hâdd pencurian, hâdd hirâbah, hâdd mabuk-mabukan, hâdd qishâsh, dan hâdd riddah. 23 Ta‘zîr adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’, tetapi bentuk dan ketentuannya diserahkan kepada wali al-amr (negara) dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat. Hukuman mati merupakan salah satu alternatif hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudûd. Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelaku hudûd, yaitu:

Zina Muhshan Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur syubhat.24 Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghair muhshan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera atau dicambuk 100 kali. Sementara bagi pezina muhshan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. 25 Rajam adalah melempari pezina muhshan sampai menemui ajalnya.26 Hukuman tersebut di atas dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanksi yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Allah SWT. berfirman “Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. 27 Semua ulama sepakat tentang hukuman tersebut, namun yang membedakannya adalah apakah sebelum dirajam itu didera atau tidak. Menurut jumhur Ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaanya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina, merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara Ibid. Muhammad Abû Zahrah, Al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâm, Juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 109. 25 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‘an al-Majid al-Nur, Juz XI (New York: Crescent Star, 1965), h. 136. 26 Abû Zahrah, Al-Jarîmah, h. 142. 27 Q.S. al-Nûr/24: 2. 23

24

326


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah. 28 Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk). 29

Pembunuhan Sengaja Pembunuhan sengaja dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishâsh dan kifarat, sedangkan penggantinya adalah diyat dan ta’zîr. Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat. Hukuman kifarat sebagai hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman yang diperselisihkan oleh para fukaha. Syafi’iyah mengakuinya dengan mengiaskannya kepada pembunuhan karena kesalahan, sementara fukaha yang lain tidak mengakuinya. Sebagaimana teks al-Qur’an menentukan bahwa “barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.30 Pembunuhan bukanlah hal yang remeh dalam Islam. Al Qur’an bahkan menjelaskan penerapannya secara rinci. Allah SWT berfirman “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 31 Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak dikisas (tidak

Al-Jurjawî, al-Tasyri’ wa Falsafâtuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 316-318. ‘Abd al-Rahman al-Jazirî, Kitâb al-Fiqh `ala Mazhâhib Arba`ah, Jilid IV (Beirut: Dâr al Fiqh, t.t.), h. 179. 30 Q.S. al-Nisâ’/4: 93. 31 Q.S. al-Nisâ’/4: 92. 28 29

327


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga. Berdasarkan hukuman tersebut, manfaat bagi keluarga terbunuh dan masyarakat secara umum menimbulkan rasa aman dan orang akan berpikir ribuan kali untuk membunuh orang lain tanpa haq.

Perampokan (al-hirâbah) Hirâbah adalah keluarnya sekelompok bersenjata di daerah Islam dan melakukan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, dan ketertiban umum, baik dari kalangan Muslim, maupun kafir (dzimmiy maupun harbiy). (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab Hirâbah). Termasuk dalam hirâbah, adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh sindikat, mafia, dan triad. Misalnya, sindikat pencurian anak, mafia perampok bank dan rumah-rumah, sindikat para pembunuh pembayaran, dan tawuran massal. Hirâbah berasal dari kata ‘harb’ (peperangan). Para ulama sepakat bahwa tindakan hirâbah termasuk dosa besar yang layak dikenai sanksi hadd. Hukum hirâbah dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan, atau dibuang dari negerinya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, tidak lain mereka itu dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya); yang demikian itu adalah sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia. Dan di akherat mereka memperoleh siksaan yang berat.”32 Rasulullah SAW. juga melaknat bahwa pelaku hirâbah tidak pantas mengaku sebagai seorang Islam. Sabda Rasulullah SAW “Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah mereka termasuk umatku!” (H. R. Bukhâri dan Muslim dari Ibnu `Umar). Menurut Imam Hanafi, Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah hirâbah adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang. Sedangkan menurut Syafi’iyah definisi hirâbah adalah ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan). Menurut Imam Malik, hirâbah adalah mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Zhahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku hirâbah adalah perampok (muharib) adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi. 33

Q.S. al-Mâ’idah/5: 33. Lihat “Konsep Hukum Pidana Islam Jarimah Hirobah,” dalam http://ngobrol-islami.

32 33

328


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.34

Pelaku Murtad (Riddah) Menurut bahasa Riddah adalah kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Sedangkan dalam kamus al-Munawwir riddah berasal dari kata: yang artinya menolak dan memalingkannya. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadist Nabi SAW. yang bermakna “…dari Ibn ‘Abbâs ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia” (H. R. Bukhâri). Dalam hadits lain disebutkan, bahwa “Dari ‘Aisyah ra. telah bersabda Rasulullah SAW, Tidak halal darah seorang muslim kecuali orang yang membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang berzina dan ia muhshan, atau orang yang murtad setelah tadinya ia Islam” (H.R. Ahmad). Dua hadis di atas menjelaskan bahwa murtad termasuk salah satu jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Untuk selain empat hal di atas ada jenis ta‘zîr yang dikenai hukuman mati, misalnya untuk tindak pidana spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya. Oleh karena hukuman mati sebagai hukuman ta‘zîr ini merupakan pengecualian maka hukuman tersebut harus dibatasi dan tidak boleh diperluas, atau diserahkan kepada hakim, seperti halnya hukuman ta‘zîr yang lain. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhkan hukuman mati.

Hukuman Mati Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia Hukuman mati terhadap Imam Samudera dan kawan-kawan pelaku tindak pidana teroris pada penghujung tahun 2008, menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim. Sementara itu, hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukuman mati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hukum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabenenya dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman mati

wordpress.com/2011/02/10/konsep-hukum-pidana-islam-jarimah-hirobah/. 10 Februari 2011. 34 Q.S. al-Mâ’idah/5: 33.

329


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 menjadi menarik untuk dikritisi lebih detail, karena di dalam hukum pidana Indonesia dengan tegas menyebutkan adanya pemidanaan mati. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum positifnya, bahkan mencantumkannya dalam banyak undangundang. Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara khusus, hati-hati, dan selektif. 35 Penerapan hukuman mati ini secara filosofis diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa saja hukuman mati bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat. Dalam hukum pidana Indonesia, hukuman mati dengan tegas disebutkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan dalam jenis-jenis hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP secara eksplisit menentukan eksistensi hukuman mati sebagai pidana pokok. Dalam KUHP, pidana mati dimungkinkan atas beberapa kejahatan, di antaranya adalah: 1. Pasal 104 tentang tindak pidana makar terhadap presiden dan wakil presiden; 2. Pasal 111 ayat (2) tentang tindak pidana membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang; 3. Pasal 124 ayat (3) tentang tindakan membantu musuh waktu perang; 4. Pasal 140 ayat (3) tentang tindak pidana makar terhadap raja atau kepala negaranegara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut; 5. Pasal 340 tentang tindak pidana pembunuhan berencana; 6. Pasal 365 ayat (4) tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati; 7. Pasal 368 ayat (2) tentang tindak pidana pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati; 8. Pasal 444 tentang tindak pidana pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian. Selain ketentuan tersebut di atas, ada beberapa undang-undang di luar KUHP yang menyebutkan tentang hukuman mati terhadap delik-delik tertentu. Misalnya, di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan lain-lain. Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 335. 35

330


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hukuman mati hanya dijatuhkan apabila terdapat unsur-unsur tertentu saja. Misalnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukuman mati hanya diterapkan apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Maksud daripada keadaan tertentu adalah apabila seseorang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 36 Dalam ketentuan tersebut, pelaksanaan hukuman mati masih mengunakan metode tembak mati secara tertutup. Menurut Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, hukuman mati masih diperlukan sebagai upaya memberikan efek jera. 37 Jaksa Agung hanya mengusulkan adanya perubahan metode hukuman mati, dari metode eksekusi tembak mati dengan metode lain seperti suntik mati atau digantung. Selama ini metode hukuman mati hanya dilakukan lewat tembak mati sesuai dengan Undang-Undang No. 2/PNPS/ 1964. Abdul Rahman Saleh pernah meminta kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk merekomendasikan metode hukuman mati lainnya. Namun IDI menolak merekomendasikan jenis hukuman mati lainnya. Keseriusan Jaksa Agung untuk mengubah metode hukuman mati juga ditunjukkan dengan membentuk Kelompok Kerja Hukuman Suntik Mati, yang melibatkan Mahkamah Agung (MA), IDI, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kesehatan, dan Polri.38 Kejaksaan Agung juga meminta fatwa MA untuk batas waktu Peninjauan Kembali dan Grasi dari terpidana mati supaya memiliki kepastian waktu untuk eksekusi. Namun, Pernyataan sikap yang lebih maju dikemukakan oleh mantan Ketua MA, Bagir Manan. Menurut Bagir Manan sebaiknya terpidana hukuman mati yang sudah divonis tetapi dalam waktu lima tahun tidak dieksekusi, maka hukumannya diubah menjadi pidana seumur hidup.39 Secara pasti, penetapan hukuman mati dalam beberapa undang-undang di Indonesia pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika hukuman mati tetap dipertahankan, maka itulah pilihan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka rakyatlah yang harus menghapusnya.

Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan ketentuan ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan tertentu adalah pemberatan kepada pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi. 37 Kompas, 9 April 2005. 38 Tempo, 13 April 2005. 39 Media Indonesia, 15 April 2005. 36

331


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Menurut van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada dasarnya hukum secara menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang di dalamnya dinyatakan kehendak bersama.40 Jika terdapat tingkah laku yang menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana, maka hal itu sejak awal harus diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya ke dalam wadah bersama itu. 41 Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis (undang-undang). Hal itu berarti bahwa ketentuan hukuman mati dalam undang-undang di negara Indonesia pada dasarnya telah sesuai dengan teori perjanjian masyarakat atau konstitusi. Dalam konstitusi kita, ada jaminan penuh terhadap hak untuk hidup dan inilah pencerminan nilai-nilai hak asasi manusia (Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945). Namun konstitusi kita tidak memberikan kebebasan tanpa batasan. Dalam Pasal 28J UUD 1945 menentukan bahwa: a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 tersebut keberlakuannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945. oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, seharusnya dalam memahami ketentuan pidana atau hukuman mati di Indonesia tidak hanya membaca ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945, tetapi harus pula memperhatikan dan mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Dengan demikian, perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi hendaknya lebih ditempatkan sebagai komoditas politik hukum ketimbang persoalan ideologis keagamaan. Munculnya dukungan kuat dari kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati di Indonesia harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam kerangka perjuangan ideologis. Artinya, hukuman mati yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hasil dari prosesJ.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum (Bandung: Binacipta, 1987), h. 50. 41 Ibid, h. 51. 40

332


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

proses politik hukum dan demokrasi modern, tetapi pemahaman idiologi masyarakat tidak bisa dikesampingkan. Penerimaan pemberlakukan hukuman mati tidak terlepas dari pemahaman ideologi masyarakat yang dominan beragama islam. Apabila masyarakat kita sekuler maka sudah lama Indonesia mencabut atau menghapuskan hukuman mati sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar negara-negara sekuler.

Perdebatan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan lembaga internasional yang secara tegas menolak praktik hukuman mati kepada semua terpidana, termasuk bagi para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan perang. Semuanya merupakan kategori kejahatan di bawah hukum internasional yang paling serius. Saat ini, di tingkat internasional sudah terdapat empat instrumen Hak Asasi Manusia (HAM), satu bersifat internasional dan tiga bersifat regional yang khusus mengatur penghapusan hukuman mati. PBB telah mengeluarkan sebuah buku panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati.42 Panduan ini memperjelas pembatasan-pembantasan praktik hukuman mati. Lembaga HAM internasional secara tegas menentukan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).43 Para aktivis HAM dan beberapa organisasi kemanusiaan internasional menuntut penghapusan hukuman mati, karena dinilai melanggar hak hidup terpidana, menutup kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan bersosialisasi kembali kepada masyarakat. Beberapa aktivis HAM menilai bahwa hukuman mati merupakan hukuman klasik yang sudah ketinggalan zaman (out of date) atau bentuk peninggalan masa lalu (a vestig of our savage past) yang harus dihindari. Sifat penghukuman yang keras dan represif tidak mampu memberikan solusi bagi permasalahan pidana modern dan sudah tidak relevan lagi dengan konteks modernitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.44 Secara sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB No. 50 Tahun 1984, disahkan pada tanggal 25 Mei 1984. Buku Panduan ini disebut Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty. 43 Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 ayat (1), menentukan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Tim Imparsial, Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi (Jakarta: Imparsial, 2010), h. 8. 44 William Schabas, “Islam and the Death Penalty,� dalam William and Mary Bill of Rights Journal, Desember 2000, h. 223. 42

333


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 hubungan hukuman dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apa pun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. 45 Dalam perkara permohonan uji materil terhadap Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi, E. Sahetapy berpandangan bahwa di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapuskan sejak tahun 1870.46 Untuk itu, kenapa Wetboek van Strafrecht atau WvS (KUHP) masih harus dipertahankan. Apabila ingin mempertahankan hukuman mati, maka hal ini akan bertentangan dengan konsep Lembaga Pemasyarakatan karena Lembaga Pemasyarakatan berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana. Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik mengatakan bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights (hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun) itu berbeda-beda. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ada tujuh jenis non derogable rights yang diakui. Dalam European Convention on Human Rights cuma ada empat yang sudah dimaktubkan di dalam ICCPR. Negara Amerika sendiri, ada terdapat sebelas jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights. Sebenarnya hak inti (The core of rights) dari non derogable rights tersebut ada empat hal. Pertama, Right to life, yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua. Hak untuk tidak dianiaya. Ketiga. Right to free from slavery, yaitu hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat. Hak untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut. Dalam permohonannya di Mahkamah Konstitusi, Henry Yosodiningrat menyebutkan bahwa ada sekitar 40 orang mati setiap hari akibat narkoba. Dalam sehari, nominal transaksi narkoba yang terjadi mencapai Rp. 800 miliar karena 4 juta orang yang kecanduan setidaknya per hari rata-rata melakukan transaksi sebesar Rp. 200.000,00 sehingga total setahun bisa mencapai Rp. 292 triliun. hampir seluruh lembaga pemasyarakatan, 70 persennya dihuni oleh pelaku kejahatan narkotika, baik itu pelaku maupun pengguna. Menurut Henry keberlakuan Pasal 28I UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang non derogable rights, tidak boleh dipahami secara mandiri, melainkan dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945.47 Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak sematamata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktural lainnya

http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=41. 2 Oktober 2010. Keterangan Ahli dalam Permohonan Uji Materil di Mahkamah Konstitusi yang dilakukan terhadap beberapa terpidana mati yang melakukan tindak pidana Narkotika berdasarkan UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati tersebut bertentangan dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945. 47 Lihat Jawaban dari Pengacara Pemohon Uji Materil Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan oleh beberapa terpidana mati yang melakukan tindak pidana Narkotika. 45 46

334


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

seperti kemiskinan atau aparatur negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya kembali tindakan pidana yang sama di masa yang akan datang. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. Secara umum, beberapa instrumen internasional yang melarang adanya hukuman mati di dunia adalah: a. Pasal 37 (a) Convention on the Rights of the Child, tahun 1989; b. Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, tahun 1948; c. Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), tahun 1966; d. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, tahun 1984; e. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death Penalty, tahun 1990; f. Protokol No. 6 European Convention for the Protection Human Rights and Fundamental Freedom, 1950 (berlaku mulai 1 Maret 1985); g. The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. Perjuangan para pembela HAM untuk menghapus hukuman mati lebih didasarkan pada doktrin kemanusiaan, yaitu cinta kasih kepada sesama. Dalam hal ini, hukuman mati justru akan memunculkan lingkaran kekerasan, di mana setiap orang akan berada pada situasi ingin balas dendam, terluka dan rasa trauma. Dalam perspektif HAM Barat, jika kekerasan dibalas dengan kekerasan, maka hasilnya adalah kejahatan terus menerus. Berbeda jika, kekerasan dibalas saling memaafkan dan upaya cinta kasih. Jika konstitusi negara telah mengakui bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi atas alasan apa pun, maka penghapusan penerapan hukuman mati adalah sebuah kewajiban konstitusional. Namun, anehnya PBB dan Amerika menutup mata ketika mantan Presiden Irak Saddam Hussein dijatuhi hukuman mati.48 Begitu juga terhadap beberapa kasus teroris, Pada 30 Desember 2006, di saat umat Muslim merayakan Idul Adha. Saddam Hussein divonis mati pada tanggal 5 November 2006 setelah pengadilan Irak (the Supreme Iraqi Criminal Tribunal/ SICT) menyatakan ia bersalah atas pembunuhan terhadap 148 orang dari desa al-Dujail setelah upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap dirinya di tahun 1982. Pengadilan Banding Irak kemudian memperkuat putusan pertama pada 26 Desember 2006 dan memerintahkan pelaksanaan eksekusi dalam kurun waktu 30 hari. Kemudian, Barzan Ibrahim al-Tikriti, Kepala Badan Intelejen Irak, dan Awad al Bandar, mantan Hakim Ketua pada Pengadilan Revolusioner Irak. Mereka divonis mati dengan dakwaan yang sama dengan Saddam. Eksekusi Saddam Hussein ini menimbulkan berbagai reaksi keras dari banyak perwakilan negara, khususnya dari komunitas Uni Eropa, beberapa Pelapor Khusus PBB, dan organisasi-organisasi HAM internasional. Eksekusi Saddam tidak hanya melanggar prinsip hak atas hidup yang tidak mentolerir praktek hukuman mati, namun juga eksekusi ini lahir lewat sebuah proses peradilan yang tidak jujur dan mandiri. “United Nations Human Rights Independent Expert Reiterates Concern About Saddam Hussein Trial and Death Sentence,� diakses dalam http://www.unog.ch/unog/website/news_media.nsf/(http NewsByYear_en)/9B80E6578A747F43C12572570039CC43?OpenDocument, 28 Desember 2006. 48

335


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 mereka melakukan pendekatan dan penekanan terhadap negara-negara yang terdapat pelaku teroris untuk menghukum mati pelaku tindak pidana teroris. Bahkan mantan Perdana Menteri Australia, John Howard meminta kepada Presiden Indonesia agar pelaku Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 dihukum mati.49 Terlihat bahwa PBB dan negara-negara yang menolak hukuman mati berpendirian ganda terhadap kasus-kasus tertentu yang menyinggung kepentingan negara dan warga negaranya. Satu sisi menolak hukuman mati dengan alasan humanis tetapi di sisi lain justru memaksakan hukuman mati dilaksanakan. Bahkan hampir semua negara-negara yang menolak hukuman mati masih memberlakukan hukuman dengan cara tertentu terhadap delik tertentu. Ada beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hukuman mati, antara lain teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan. Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat Immanuel Kant yang menyebutkan bahwa dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Pemidanaan hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan.50 Teori Relatif menyebutkan bahwa penjatuhan pemidanaan tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pemidanaan itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut tampak dalam pendapat Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. Thomas Aquinas (teori gabungan) membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan,

Australia telah menghapus hukuman mati sejak lahirnya Undang-Undang Penghapusan Hukuman Mati 1973. Namun wacana publik Australia tentang bagaimana menyikapi penerapan hukuman mati di luar negara itu kembali mencuat sehubungan dengan peringatan lima tahun insiden Bom Bali 12 Oktober 2002 dan kaitannya dengan rencana eksekusi Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera, para pelaku serangan yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia itu. Menurut mantan Hakim Ketua Pengadilan Tinggi Australia, Sir Gerard Brennan tentang sikap munafik kubu Koalisi Partai Liberal-Nasional yang berkuasa maupun kubu Partai Buruh Australia (ALP) yang menerima penerapan hukuman mati. Brennan seperti dikutip ABC mengatakan, baik kubu koalisi maupun ALP tidak lagi bisa menyebutkan hukuman mati bagi warga negara Australia merupakan tindakan barbar sedangkan eksekusi mati bagi orangorang Indonesia “dapat diterima�. “Howard Dinilai Munafik Soal Hukuman Mati,� dalam www.gatra.com. Brisbane, 2 November 2007. 50 Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 600. 49

336


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum. 51 Selama ini, banyak tuduhan terhadap konsep hukuman mati, utamanya yang diatur dalam hukum Islam, yang seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi dan sadis.52 Kesan mengerikan di balik hukuman mati tersebut adalah kesan populer yang menyelimuti penerapan hukum pidana Islam di masyarakat modern. Kesan ataupun kritik tersebut, yang awalnya dilancarkan oleh Barat, bukan semata karena mereka tidak suka terhadap konsep hukuman fisik, tetapi lebih disebabkan perasaan moral mereka yang belum terbangun seutuhnya. Adanya kritik tersebut juga dikarenakan tidak disadarinya alasan keagamaan (spiritual) dari adanya hukuman tersebut, yaitu hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang kepada orang lain, tetapi semata-mata demi melaksanakan ketentuanketentuan yang tercantum dalam doktrin hukum agama (Islam) yang terlingkup dalam maqâshid al-syarî‘ah. Dalam hal ini, hukum Islam sangat memperhatikan nilai-nilai dasar kemanusiaan di dunia yang terlingkup pada lima hal, yaitu agama (al-dîn), jiwa (al-nafs), harta (al-mâl), akal (al-‘aql), dan keturunan (al-nasb). Perlindungan hak-hak ini sama sekali bukan karunia penguasa atau karunia masyarakat, tetapi merupakan karunia Allah SWT. Demi memelihara kelima hak dasar kemanusiaan tersebut, hukum Islam secara konsekuen mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman pokok, sekaligus hukuman maksimal. Dari sinilah, para pendukung hukuman mati, yang sebagian besar terdiri dari masyarakat Islam, mendukung penerapan hukuman mati sebagai hukuman maksimal di Indonesia. Dukungan terhadap hukuman mati dikuatkan lagi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara Musyawarah Nasionalnya yang ke-7 pada 28 Juli 2005 di Jakarta. MUI mendukung hukuman mati untuk kejahatan tertentu. Fatwa hukuman mati merupakan satu dari sebelas fatwa MUI lainnya seperti mengharamkan perkawinan beda agama, mengharamkan pluralisme, menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, dan sebagainya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam debat Capres dan Cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Borobudur menyatakan bahwa hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar berat HAM merupakan keadilan yang harus ditegakkan dan memberikan efek jera bagi para pelakunya.53 Salah satu kebijakan yang penting dalam mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah terlihat dari pernyataan Wakil Presiden Ibid., h. 601-603. Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam (Lahore: Kazi Publications 1985), h. 30. 53 Tim Imparsial, “Studi Kebijakan Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati di Indonesia,” Laporan Penelitian, Juni 2004, h. 23. 51 52

337


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Jusuf Kalla yang dengan tegas menolak usulan dari Uni Eropa agar Indonesia menghapuskan pemidanaan mati pada rancangan KUHP yang baru.54 Bahkan pada tingkat kebijakan terhadap delik-delik tertentu, Presiden Republik Indonesia menegaskan bahwa tidak akan memberikan grasi terhadap para terpidana mati tindak pidana narkoba. 55 Ketua Mahkamah Konstitusi sangat mendukung penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Menurut Mahfud MD, negara Indonesia harus belajar dari negara China. Negara China pada tahun 2009 telah menghukum mati koruptor sebanyak 5.000-an orang. Salah satunya adalah Xiao Hongbo, Deputi Manajer Bank Konstruksi China. Xiao dieksekusi karena selama tiga tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan 2001 mengkorupsi uang negara sebanyak Rp 3,9 Miliar dari salah satu bank milik negara di Dacheng, Provinsi Sichuan. 56 Amnesti Internasional protes terhadap hukuman mati tersebut tetapi Perdana Menteri Zhu Rongji tidak peduli. Baginya, hukuman mati adalah jalan untuk menyelamatkan Cina dari kehancuran. Sejak dilantik menjadi Perdana Menteri Zhu Rongji pada tahun 1998, Zhu menyatakan dengan tegas memerangi tindak pidana korupsi. Perdana Menteri Zhu Rongji menyebutkan bahwa “berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor dan satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.� Keberhasilan pemberantasan korupsi di China berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pada tahun 2009, barang-barang dan jasa yang dihasilkan atau produk domestik bruto China terus meningkat mencapai US$ 4,2 triliun. Perekonomian Cina telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.57

Penutup Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan. Hidup ini merupakan hak asasi bagi setiap orang, maka negara atas nama hukum melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masyarakatnya. Walaupun tidak sama pengakuan terhadap hukuman mati dengan hukum pidana Islam, hukum pidana Indonesia masih memberlakukan hukuman mati secara hati-hati dan dengan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undangundang. Dengan batasan-batasan inilah diharapakan dapat mengimbangi pandangan pro dan kontra antara yang mendukung dan menolak hukuman mati di Indonesia. Usulan Uni Eropa tersebut disampaikan oleh Dubes Finlandia, Markku Nilnloja, Dubes Jerman, Joachim Broudre Groger, serta delegasi Komisi Uni Eropa, Ulrich Eckle. Media Indonesia, 5 Juli 2006. 55 The Jakarta Post, 1 Juli 2006 dan Tempo, 1 Juli 2006. 56 Imron Rosyid, “Hukuman Mati,� http://www.beritasatu.com/articles/read/2010/10/ 1421/hukuman-mati-. 18 Oktober 2010. 57 Ibid. 54

338


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman mati dalam hukum pidana Islam adalah untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pencerobohan terhadap kelima hak dasar kemanusiaan tersebut berupa zina muhshan, pembunuhan sengaja, hirâbah dan murtad. Dalam Hukum Islam juga dikenal hukuman mati untuk ta‘zîr yaitu apabila hukuman mati tersebut dikehendaki oleh umum dan delik ini sangat berbahaya, misalnya spionase (mata-mata), residivis, narkoba, terorisme, pencucian uang dan korupsi, termasuk kategori hukuman ta‘zîr yang disebut dengan al-qatl al-siyâsi’, yaitu hukuman mati yang tidak diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah, tapi diserahkan kepada negara, baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya. Dalam kedua sistem hukum telah secara tegas mengakui dan melaksanakan hukuman mati. Artinya secara hukum, budaya dan agama hukuman mati dilegalkan. Tinggal lagi, pemerintah Indonesia memilih dan memilah mana delik-delik yang wajar untuk dijatuhi hukuman mati dan metode pelaksanaan hukuman mati mana yang sesuai dilakukan sehingga tujuan pemidanaan tersebut dapat tercapai.

Pustaka Acuan Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya, 1996. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur‘an al-Majid al-Nur, Juz XI. New York: Crescent Star, 1965. Audah, ‘Abd al-Qadir. al-Tasyri’ al-Islâmi Jina’iy: Muqâranah bi al-Qanûn al-Wadh‘i, Juz I. Beirut: al-Risâlah Muassasah, 1992. Abû Zahrah, Muhammad. Al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâm, Juz III. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Abû Zahrah, Muhammad. Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah Muhaimar, 1957. Badan Pekerja Kontras. “Praktik Hukuman Mati di Indonesia.” diakses dalam http:// www.kontras.org, diunduh. 30 Desember 2008. Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Binacipta, 1987. Hamzah, Andi, et al. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, cet. 2. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. http://www.antara.co.id/view/?i=1197825088&c=NAS&s=. 22 September 2011. http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati. 30 Desember 2008. http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=41. 2 Oktober 2010. “Death Penalty Development in 2005,” dalam Amnesty International, diakses http:// web.amnesty.org/pages/deathpenalty-developments2005-eng. Faiz, Pan Mohamad. “Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati,” dalam the Jakarta Post, 4 Mei 2007.

339


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 “Howard Dinilai Munafik Soal Hukuman Mati,” dalam www.gatra.com. Brisbane, 2 November 2007. Al-Jazirî, ‘Abd al-Rahman. Kitâb al-Fiqh `ala Mazhâhib Arba`ah, Jilid IV. Beirut: Dâr alFiqh, t.t. Al-Jurjawî. al-Tasyri’ wa Falsafâtuhu. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Al-Khalâf, ‘Abd al-Wahab. Science Ushûl al-Fiqh. Kuwait: Dâr al-Qalam, 1992. Kompas, 29 Pebruari 2003. Kompas, 9 April 2005. Lubis, Todung Mulya, dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi. Jakarta: Gramedia, 2007. “Konsep Hukum Pidana Islam Jarimah Hirobah,” dalam http://ngobrol-islami.wordpress. com/2011/02/10/konsep-hukum-pidana-islam-jarimah-hirobah.10 Februari 2011. Media Indonesia, 15 April 2005. Media Indonesia, 5 Juli 2006. Muhammad, Zafrullah Khan. Islam and Human Rights. Islamabad: Islam International Publications Ltd., 1988. Schabas, William. Discussion on Death Penalty Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004. Prayitno, Sudi. “Dilema Hukuman Mati.” dalam http://www.legalitas.org/?q=content/ dilema-hukuman-mati. 30 Desember 2008. Rosyid, Imron. “Hukuman Mati,” http://www.beritasatu.com/articles/read/2010/10/ 1421/hukuman-mati-. 18 Oktober 2010. Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Siddiqi, Muhammad Iqbal. The Penal Law of Islam. Lahore: Kazi Publications 1985. Sahetapi, J. E. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta: Rajawali, 1982. Schabas, William. “Islam and the Death Penalty,” dalam William and Mary Bill of Rights Journal, Desember 2000. Sirin, Khaeron. “Eksekusi Mati Trio Bom Bali,” dalam Tempo, 25 Nopember 2008. The Jakarta Post, 1 Juli 2006 dan Tempo, 1 Juli 2006. Tempo, 13 April 2005. Tim Imparsial. “Studi Kebijakan Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati di Indonesia,” Laporan Penelitian, Juni 2004. Tim Imparsial, Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2010. “United Nations Human Rights Independent Expert Reiterates Concern About Saddam Hussein Trial and Death Sentence,” diakses dalam http://www.unog.ch/unog/website/ 340


Muhammad Hatta: Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia

news_media.nsf/(httpNewsByYear_en)/9B80E6578A747F43C1257257 0039CC43?OpenDocument, 28 Desember 2006. Yahya, Imam. “Hukuman Mati Perspektif Syari’ah.” dalam http://imamyahya.blogspot.com/ 2009/04/hukuman-mati-perspektif-syariah.html. Selasa, 14 April 2009.

341


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

IDEOLOGI PENDIDIKAN PESANTREN KONTEMPORER: Pendekatan Strukturalisme Al Husaini M. Daud Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Jl. Cempaka No. 1 Lancang Garam, Lhokseumawe, 24300 e-mail: beck_roprophai@yahoo.com

Abstrak: Islam adalah dasar bagi ideologi pesantren. Penanaman nilai-nilai Islam bagi santri merupakan hal penting yang akan menjadi modal bagi santri setelah berhadapan dengan realitas masyarakat. Tulisan ini mendiskusikan ideologi pesantren dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme dengan tujuan untuk membahas strategi pelaksanaan ideologi pendidikan kepada santri sehingga nilai-nilai filosofi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penulis menemukan bahwa strategi penyebaran ideologi pendidikan Islam pesantren adalah melalui kepiawaian seorang kiai dan kemapanan ilmu yang dimilikinya sebagai figur dalam masyarakat. Jaringan yang dibangun antara alumni dan masyarakat membuat nilai-nilai ideologi menjadi lebih mudah dilaksanakan. Di samping peran kiai sebagai pemimpin sangat dominan membuat proses transformasi ideologi melekat dalam seluruh aktivitas kehidupan para santri. Abstract: The Ideology of Contemporary Pesantren Education: A Structuralism Approach. Islam is the ideological foundation of Pesantren. The cultivation of Islamic values in students is an important aspect that should become a force in facing the social reality. This article discusses the ideology of traditional Islamic boarding School or Pesantren. In doing so, this work will be approached by structuralism. The objective of this article is to discuss the strategy of education ideology implementation to all santri so that such values of the Pesantren ideology can be deeply rooted in their daily life. The author finds that dissemination strategy of Islamic education ideology is via the kiai’s expertise and his sound knowledge as a central figure for his community. In addition, the network that constructed between alumnus and society make that ideology values become easier to implement. What’s more, the dominant role enjoyed by the Kiai lead to transformation process very attached to the whole social activities of the santris.

Kata Kunci: ideologi pendidikan, pesantren, Strukturalisme

342


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

Pendahuluan Fenomena munculnya ide “pesantren terpadu” dalam dunia pendidikan pesantren, sebagaimana juga pendidikan formal menghadirkan sosok “sekolah unggul” sebagai andalan penyelesaian problematika out put (produk) institusi pendidikan dewasa ini, pada awalnya merupakan dampak dari pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan. Pertikaian tersebut tanpa disadari telah menyeret eksistensi institusi itu mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan perubahan masyarakat menuju model pendidikan pembangunan; di mana pendidikan berorientasi pada penguatan pembangunan tanpa dipersoalkan apa hakikat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri.1 Pesantren sebagai sub-kultur masyarakat saat ini sedang diuji untuk mampu memberikan solusi jernih terhadap hentakan perkembangan dunia pendidikan masa kini yang cenderung mengarah kepada proses dehumanisasi akibat Kapitalisme, dan nyaris tidak lagi berpijak pada hakikat pendidikan itu sendiri yakni untuk memanusiakan manusia. Institusi pendidikan Islam paling awal di Indonesia, yang secara kultural diwakili oleh Pesantren dituntut untuk bisa memberikan jawaban terhadap persoalan yang pelik dan menyulitkan, yakni antara memelihara sistem dan struktur sosial yang ada atau harus berperan kritis dalam melakukan perubahan sosial dan tranformasi menuju dunia yang lebih adil, yakni mensejajarkan sekaligus mensinergikan eksistensi dan esensinya dengan perkembangan zaman. Dilema peran tersebut akan terjawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi pendidikan yang mendasarinya. Ajaran Islam merupakan asas ideologi pendidikan pesantren sebagai satu-satunya institusi pendidikan islam yang tertua di Indonesia, di mana kaitan erat antara aktivitas belajar dan motivasi utamanya cukup kentara. Catatan sejarah melukiskan bahwa motivasi umat Islam dalam menuntut ilmu adalah adanya “status istimewa” dari Allah SWT. Status tersebut bukan saja dapat menempatkan seseorang pada posisi terhormat di dunia ini, namun juga mendapatkan derajat tinggi di sisi-Nya di akhirat nanti. Kelebihan seseorang yang tekun dalam menuntut ilmu (al-‘alîm) dibandingkan dengan mereka yang beribadah (al-‘abid) sepanjang waktu, bagaikan kelebihan Nabi Muhammad SAW. atas seorang Muslim yang paling lemah. Abdurrahman Mas’ud melukiskan bahwa bukti signifikan wahyu pertama tentang intruksi Ilahi “Iqra’” menunjukkan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang disimbolkan dengan “al-Qalam”.2 Ajaran Iqra’ merupakan suatu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti secara empiris dalam banyak literatur sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari era kerisauan moral-intelektual ke masa keceriaan peradaban tinggi di bawah payung petunjuk Ilahi.

Mansour Fakih, “Pengantar,” dalam William O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. xi. 2 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi ( Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 31. 1

343


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Seruan Iqra’ menjadi firman pertama yang mengidentifikasikan peran dan fungsi “membaca” dan “menulis” sebagai pilar yang sangat signifikan dalam kehidupan sejarah peradaban umat manusia. Bagi seorang Muslim, istilah al-ta‘allum thula al-hayâh (belajar sepanjang hayat) mengandung makna dan nilai yang sangat sakral dan tinggi. Menuntut ilmu tidak sekedar memenuhi kebutuhan hidup (bertahan hidup), tetapi lebih merupakan tugas dan kewajiban yang diemban dari Tuhan. Mas’ud mengutip sabda Nabi yang dilansir dalam kitab Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Gazâlî bahwa tinta para pelajar setara dengan darah para syuhadâ’. Karenanya, guru dan murid sebagai aktor utama dalam proses pembelajaran merupakan “orang-orang terpilih” dalam masyarakat untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.3 Motivasi tersebut menjadikan al-Qur’an dan hadis sebagai satu-satunya kurikulum inti yang dipelajari oleh umat Islam dari masa ke masa. Dari dua pilar sumber ilmu itu, umat Islam telah mewarisi semangat mencari ilmu dari generasi ke generasi. Motivasi religius yang sudah mengakar erat dalam jiwa setiap generasi Muslim menjadi sebuah ideologi yang cukup kuat dan menyatu dalam setiap fase sejarah kehidupan umat Islam. Penguatan ideologi-ideologi tersebut kepada generasi Muslim selanjutnya ditransformasikan secara sistematis lewat lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam yang secara berkesimbungan dan setia menjaga dan memelihara nilainilai ideologi pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan pesantren. Kontsruksi integralitas nilai pendidikan di lembaga ini merupakan pengejawantahan dari hasil permentasi budaya yang melingkungi masyarakat yang kental dengan nilai-nilai Islam. Unsur nilai-nilai ajaran Islam di lembaga pendidikan tradisional ini tergambar jelas dalam praktik pergaulan keseharian santrinya, terutama nilai moral (akhlak) yang melandasi kesuksesan lembaga ini dalam membentuk jati diri anak bangsa menjadi cerdas tidak saja dari aspek intelektual, tetapi juga dari aspek spiritual dan sosial kemasyarakatan. Komentar Karel A. Steenbrink sekitar bagaimana proses internalisasi nilai-nilai ideologi di lembaga pendidikan Islam klasik ini terjadi; ‘Untuk meresapi jiwa keislaman, pesantren tidak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Tidak ada tempat lain di mana salat didirikan dengan taat seperti di sana. Pada siang hari, di mana-mana orang dapat mendengar para santri membaca al-Qur’an dengan lagu yang indah, memperbaiki bacaan dengan tajwid yang benar, atau hanya untuk mengharapkan pahala dari membaca al-Qur’an. Pada malam hari juga dapat dijumpai suasana orang membaca al-Qur’an, melagukan kalam Ilahi dan mendirikan salat di tengah keheningan malam.’4 Bangunan nilai yang melekat pada tubuh lembaga pendidikan tradisional ini 3 4

Ibid., h. 32. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 16.

344


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

didasari pada tujuan pendiriannya. Binti Maunah mengidentifikasi bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa lembaga pendidikan Islam ini ada. Pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respons terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma‘rûf nahy munkar). Kedua, untuk menyebarluaskan misi universalitas ajaran Islam ke seluruh penjuru nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.5 Elemen utama bangunan sistem pendidikan Islam tradisional ini meliputi kiai, santri, masjid, asrama dan pengajian kitab kuning.6 Keterpaduan antar elemen tersebut juga memberi keunikan tersendiri bagi suatu sistem dan model pendidikan yang khas, sekaligus membedakan dengan pendidikan lainnya. Secara antropologis, lembaga pendidikan pesantren lahir dari proses kebiasaan-kebiasaan yang sering terjadi di lingkungan sosial kemasyarakat, kebiasan-kebiasan yang baik menurut ajaran agama Islam dipraktikkan oleh individu dan kelompok masyarakat serta akhirnya menjadi norma yang ditaati dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Lembaga pendidikan pesantren dalam masyarakat merupakan sebuah cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar lebih teratur dan tertib. Keberadaan lembaga pendidikan ini dalam masyarakat merupakan suatu komunitas untuk menjaga kestabilan suatu sistem masyarakat yang sedang didiaminya Kiai merupakan figur sentral dalam suatu pesantren dan komunitas masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan, selain dia memiliki pemahaman agama yang komprehensif sehingga tidak saja menjadi rujukan keilmuan bagi muridnya di lingkungan lembaga ini, tetapi sekaligus juga menjadi pemimpin gerakan sosial kemasyarakatan. Kedalaman ilmu pengetahuan keislaman dan kesalehan sosial seorang kiai menjadikan pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam yang memiliki basis sosial yang jelas dan kuat, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial lain belum berjalan secara fungsional, maka pesantren –begitu juga Dayah di Aceh, Surau di Sumatera Barat– menjadi pusat aktifitas sosial masyarakat; mulai orang belajar agama, bela diri, mengobati orang sakit, dan mencari jodoh sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah, semua dilakukan di pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai.7 Pesantren sebagai sebuah subkultur, dari awal kemunculannya telah menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai bagian yang terpenting dalam praktik pendidikan Islam di Indonesia. Karena itu, Amin Haedari mengungkapkan bahwa dengan modal elemen Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 25-26. 6 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 32. 7 Ngatawi el-Zastrow, “Dialog Pesantren-Barat: Sebuah Transformasi Dunia Pesantren,” dalam Mihrab, edisi I, tahun IV, 2006. h. 4. 5

345


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 nilai tersebut, sebuah pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat dan menjadi salah satu penopang pilar pendidikan di bumi Nusantara.8 Berikut pernyataan Abdurrrahman Wahid dalam satu tulisannya: Ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. Ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.9 Lebih lanjut, Haedari mengutip pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa pada fasefase awal, sistem dan kurikulum pembelajaran yang dilakukan pada lembaga pendidikan pesantren tidak mengkhususkan pada materi ilmu-ilmu keislaman dan pengkaderan ulama saja, tetapi juga pada waktu itu pesantren membuat pendidikan umum yang di dalamnya tidak hanya mengajarkan materi agama. Posisi lembaga pesantren ketika itu sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan di lembaga pendidikan bentukan kaum Kolonial yang hanya diperuntukkan bagi kalangan darah biru.10 Karena pesantren merupakan satu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama, sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut,11 maka unsur nilai-nilai ajaran Islam di lembaga pendidikan tradisional Islam ini sangat nyata kelihatan dalam praktik pergaulan keseharian para santri, terutama nilai-nilai moral (akhlak) yang melandasi kesuksesan lembaga ini dalam membentuk jati diri anak bangsa menjadi cerdas tidak saja dari aspek intelektual, tetapi juga dari aspek spiritual dan sosial kemasyarakatan. Karena itu, pesantren itu merupakan satu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama, sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut. Komunitas pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ideologi Sunni atau Ahlussunnah waljamâ‘ah bila ditinjau dari aspek tauhid (teologi), ideologi Syafi’isme dari aspek pemikiran (fikih) dan ideologi Ghazalisme dari segi etika (tasawuf). Sunnisme dalam hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan orang untuk lebih menjadikan al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber utama dalam mencari penyelesaian debat ideologis dan sebagai pegangan hidup, daripada sekedar penggunaan akal untuk mematahkan otoritas hadis seperti kaum Mu’tazilah. Distingsi yang sangat kontras antara Sunni dan Mu’tazilah adalah pada referensi sumber ajaran. Kaum Mu’tazilah cenderung dipengaruhi Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka Jakarta, 2005), h. 1. 9 M. Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 35. 10 Ibid., h. 11-12. 11 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. M. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 11. 8

346


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

ole ide-ide para filosof, sedangkan kaum Sunni sepenuhnya dipengaruhi oleh salaf al-shalîh dan ulama terpercaya Abad Pertengahan. Ideologi pendidikan pesantren yang lahir dari akar ajaran Islam itu sebagaimana dicatat dalam lembaran sejarah peradaban Islam di Indonesia terbukti mampu mempengaruhi banyak kalangan masyarakat menjadi satu pilihan kedirian (keyakinan/prakiraan pribadi) dalam aktivitas keilmuan. Praktik-praktik pendidikan telah berlangsung di mana-mana. Al-Qur’an dan hadis menjadi “kurikulum” yang paling utama dan terbukti mampu memberi inspirasi kepada alumni-alumninya untuk bersikap bijak dalam menjawab tantangan global. Bahkan pasca kemerderkaan Indonesia pesantren harus berhadapan dengan gencarnya arus modernsasi yang berakibat pada terjadinya perubahan format, bentuk, dan metode pendidikan. Namun demikian, perubahan tersebut tidak sampai merubah visi, misi, dan orientasi pesantren. Perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara pada sisi dalam, yakni ruh, semangat, pemahaman substansi keagamaan, nilai-nilai, tradisi, dan ideologi pesantren masih tetap dipertahankan.12 Kemajuan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang pengetahuan keagamaan, merupakan tanggapan terhadap tuntutan religius dan kultural yang relevan dengan kondisi geografis dan geobudaya bangsa Indonesia. Persoalan kemudian adalah bagaimana strategi penerapan ideologi tersebut kepada para santri sehingga nilai-nilai filosofi dari ideologi pendidikan pesantren itu mengakar kuat dalam praktik kehidupan keseharian mereka.

Ideologi dan Pendekatan Strukturalisme Ideologi pada dasarnya mengusung dua fungsi utama. Pertama sebagai fungsi sosial, yang mengikat masyarakat secara bersama-sama. Kedua sebagai fungsi individu, yang mengatur peran kepribadian individu yang matang. Kedua fungsi ini bersatu untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam perkembangan masyarakat terkini, kekuasaan menjadi alat legitimasi sebuah dasar ideologi yang memberikan klaim terhadap rencana yang besar dan masuk akal, dan juga menetapkan moral sebagai dasar manipulasi sosial untuk alasan perkembangan. Singkatnya, ideologi hanya mendukung para elite dan untuk membenarkan penggunaan kekuatan. Karenanya, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam ilmu sosial modern untuk menjembatani kegelisahan ideologi, yakni aspek solidaritas dan aspek identitas.13 Namun, sebelum beranjak lebih jauh, definisi ideologi bagaimana pun juga sangatlah penting, ideologi itu lebih dari sekedar doktrin. Ia berhubungan erat dengan kegiatan individu dan praktik keduniaan dengan setting makna yang lebih luas dan praktiknya cenderung lebih terhormat dan lebih dihargai sebagai corak perilaku masyarakat. Ideologi

12 13

Zastrow, “Dialog Pesantren-Barat,” h. 5. Al Husaini M. Daud, “Ideologi dan Ketidakpuasan,” (Makalah, tidak diterbitkan), h. 2.

347


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 merupakan istilah umum yang dipakai untuk gagasan-gagasan umum berpotensi dalam situasi tingkah laku tertentu. Ideologi tidak sama dengan filsafat. Posisi abstraksi yang mengherankan bahwa ia lebih ringkas dari pada abstraksi-abstraksi yang meliputi di dalamnya. Kekuatan ideologi dan ideologi kreatif (seperti gagasan-gagasan agama, anggota pendeta yang inovatif) memperluas peran individu.14 Kemunculan term ideologi itu sendiri sebenarnya di satu pihak berawal akibat dari kehancuran tatanan sosial. politik, dan intelektual yang menyertai Revolusi Industri, yaitu tersebarnya gagasan demokrasi, politik gerakan massa, dan sebuah gagasan yang menganggap bahwa karena kita telah menciptakan dunia, maka kita juga dapat menciptakannya kembali. di lain pihak, ideologi merupakan hasil dari semakin meningkatnya pluralitas masyarakat dan berhubungan dengan kelompok-kelompok yang bersaing, di mana kepentingan bagian-bagiannya dilayani oleh ideologi tersebut.15 Fungsi positif dari sebuah ideologi menurut Vigo sebagaimana dikutip oleh Achmadi, mencakup 3 (tiga) hal fungsi utama, yaitu (1) memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat; (2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan kelompok atau masyarakat, dan (3) memberikan motivasi bagi para individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan.16 Sementara menurut kaum Positivistik, ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subjektif. Kuntowijiyo seperti dikutip oleh Achmadi menyatakan bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan maka ideologi bersifat subjektif, normatif, dan eksklusif (tertutup), sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak objektif, faktual, dan inklusif (terbuka).17 Beberapa pendapat tentang bagaimana sebuah ideologi menyebar dan bekerja dalam memengaruhi tingkah laku manusia di antaranya sebagaimana dikemukakan oleh Terry Eagleton yang dikutip oleh Bagus Takwin adalah strategi penyebaran sebuah ideologi terdiri dari rasionalisasi, universalisasi dan naturalisasi. Rasionalisasi adalah usaha untuk memberikan argumentasi-argumentasi yang seakan-akan tampak rasional. Universalisasi adalah usaha menampilkan gagasan-gagasan yang diklaim berlaku universal dan diperlukan di mana-mana. Sedangkan naturalisasi merupakan usaha untuk menampilkan sebuah ideologi/kepercayaan sebagai suatu yang tampak alamiah.18

Ibid. David Mc Lelland, Ideologi Tanpa Akhir, terj. Muhammad Syukri (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 4-5. 16 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 19-20. 17 Ibid., h. 20. 18 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, cet. 2 (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 127. 14

15

348


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

Namun sebelumnya, aliran paradigma dalam ideologi pendidikan menurut Henry Giroux dan Aronowitz sebagaimana dikutip William F. O’neil dibagi ke dalam tiga aliran. Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini mengilustrasikan bahwa ketidakkesederajatan masyarakat merupakan suatu hukuman keharusan alami dan merupakan ketentuan sejarah. Paradigma ini dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau memengaruhi perubahan sosial. Dengan kata lain, paradigma ini tidak menganggap masyarakat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Kedua, Paradigma liberal yang beranggapan bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Namun demikian, kaum liberal berusaha menyesuaikan pendidikan dengan persoalan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Umumnya yang dilakukan adalah seperti perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memodernisasi peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Ketiga, adalah paradigma kritis. Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada.19 Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Terkait dengan ini, ideologi yang semula merupakan produk pemikiran manusia yang khas akibat dari semakin meningkatnya pluralitas masyarakat yang melahirkan kekuatan bagi meningkatnya proses demokratisasi politik yang memunculkan revolusi komunikasi sehingga tingkat melek huruf semakin meluas dengan tensi yang cukup signifikan.20 Peta ideologi pendidikan Giroux sebagaimana diungkapkan di atas sejalan dengan analisis Freire yang menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran magis adalah tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Sementara kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam hal ini, masalah etika, kreatifitas, dan need for achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Sedangkan kesadaran kritis, yakni kesadaran yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Secara umum, strategi ideologi berfungsi mempertahankan kekuasaan. Pihak yang berkuasa cenderung berusaha mempertahankan dominasinya terhadap pihak yang

William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. xiii-xvi. 20 Lelland, Ideologi Tanpa Akhir, h. 5. 19

349


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dikuasai. Berbagai kajian ideologi menunjukkan adanya persinggungan antara makna dan dominasi dalam persoalan ideologi. Berbagai makna yang terkandung dalam ideologi tersebar sedemikian rupa dan diinternalisasikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan upaya dominasi terhadap pihak-pihak tertentu. John B. Thompson, sebagaimana dinukil oleh Bagus Takwin, menyebutkan lima modus umum dari cara ideologi beroperasi untuk mempertahankan suatu dominasi via penyebaran dan penularan makna. Kelima modus tersebut adalah legitimasi (legitimation), dissimulasi (dissimulation), unifikasi (univication), fragmentasi (fragmentasi), dan reifikasi (reification). Tiap modus umum ini memiliki strategistrategi khusus untuk mengkonstruksi makna-makna. Bangunan simbolik ini kemudian bertahan dan menetap sebagai pelanggeng dominasi.21 Sementara itu, Strukturalisme pada awalnya berangkat dari teori linguistik Ferdinand de Saussure yang menekankan pentingnya struktur bahasa dalam mempelajari linguistik. Dalam kajian linguistiknya, de Saussure membagi bahasa kepada dua bagian, yaitu langue yang merupakan sistem bahasa yang memiliki struktur gramatikal yang ajeg dan baku (sebuah bahasa disesuaikan dengan aturan tata-bahasa baku), dan parole sebagai ungkapan individual, tidak terstruktur dan unik (tampil dalan dialek, ujaran perorangan, dan gaya bahasa). Linguistik de Saussure menjadikan bahasa sebagai sebuah objek ilmu empiris, melalui sebuah putusan epistemologis yang memberikan prioritas pada langue sebagai sistem bahasa yang terstruktur dan mengabaikan parole sebagai ekspresi individual yang unik.22 Pemisahan antara langue dengan parole, membedakan aspek sosial dengan aspek individual sekaligus aspek esensial dengan aspek yang bersifat tambahan dan aksidental’23 Namun Robert Scholes menyatakan bahwa perangkat konsep dasar analisis struktural yang dikembangkan oleh de Saussure via magnum opusnya Cours de Linguistique Generale yang diterbitkan pertama sekali pada tahun 1915 berisi pendefinisian bahasa. Melalui karya tersebut de Saussure membagi kepada 3 level aktifitas linguistik, yakni language, langue, dan parole. Pernyataan ini diungkapkan Schole seperti berikut ini: In the Cours Saussure begins by defining language itself. His definition is unusual in that it distinguishes three levels of linguistic activity: language, langue, and parole. Langauge is the broadest aspect, for it includes the entire human potential for spceech, both physical and mental...Langue is the language-system which each if us uses to generate discourse that is intelligible to other. Our individual utterance are what Saussure calls parole. Thus language is linguistic potential, langue is a language system, and parole is individual utterance.24

Takwin, Akar-akar Ideologi, h. 128. Ibid., h. 76. 23 Anthony Giddens, Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial, terj. Daniyatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4. 24 Robert Scholes, Structuralism in Literature: an Introduction, cet. 7 (New Haven and London: Yale University Press, 1977), h. 14. 21 22

350


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Karenanya, salah satu cara memahami pendekatan Strukturalisme adalah dengan cara memahami konsep “struktur�.25 Ciri khasnya ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek secara hierarki, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat.26 Secara sederhana, analogi yang dapat diketengahkan dalam memahami sesuatu nyaris ada kesamaan ketika memahami struktur bangunan. Lebih lanjut, gagasan yang paling mendasar dari pendapat de Saussure ini ada empat. Pertama, diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman). Kedua, langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. Ketiga, Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif). Sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem). Keempat, penanda dan petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teori ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau mendengar kata rumah langsung tergambar dalam pikiran mengenai konsep rumah.27 Postulat dasar dari Strukturalisme Ferdinand de Saussure adalah karya wacana tidak tergantung pada maksud pembicara, pendengar atau realitas yang dibicarakan, tetapi pada struktur teks. Dalam tataran yang lebih luas, pendekatan ini bisa diaplikasikan untuk mengkaji wacana sastra, kebudayaan dan ideologi. Pada teori ideologi, postulat dasar itu menjelma menjadi pernyataan bahwa pemahaman terhadap sebuah ideologi suatu masyarakat tidak bergantung pada maksud manusia si pencetus ideologi, juga tidak pada orang-orang yang menganut ideologi tersebut, akan tetapi pada struktur yang ada pada ideologi masyarakat itu. Manusia bukanlah subjek yang menciptakan struktur, melainkan justru merupakan produk dari struktur itu. Bila implikasi analisis ini diperluas,

"Teori Strukturalisme,� dalam http://aduweh.blogspot.com/2009/07/teori-strukturalisme. html. diakses 14 Oktober 2012. 26 Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Pustakan Gramedia, 1996), h. 1040. 27 Arif Wibowo, “Strukturalisme dan Implikasinya,� dalam staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/ 10/08/structuralis- me-dan-imp. diakses 14 Oktober 2012. 25

351


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bentuk Strukturalisme linguistik lebih mengadopsi versi “psikologi” langue ketimbang versi “sosial”nya.28 Suatu budaya tidak bisa diproduksi dan dikembangkan dengan tepat bila tidak memiliki pengertian yang kuat tentang hakikat agensi manusia. Untuk menggunakan teori “subjek” sebagai ganti bagi asumsi bahwa subjektivitas adalah landasan pengalaman yang tidak terjembatani, Strukturalisme telah memberikan kontribusi besar, meskipun tidak ada sebuah kontribusi yang khas dari tradisi berfikir ini. Maka untuk membuat agensi manusia itu jelas, dua elemen yang cenderung tidak dimiliki dan diabaikan pemahaman Strukturalisme menurut Giddens perlu ditelaah, yakni “kesadaran praktik” dan “kontekstualitas tindakan.”29 Strukturalisme cuma menghadirkan metodologi terhadap implikasi ideologi, bahkan dia merupakan sebuah metodologi yang menawarkan penyatuan atau penggabungan seluruh aspek keilmuan ke dalam sistem kepercayaan baru. Statemen ini persis seperti diungkapkan oleh Robert Scholes, yaitu, “Structuralism is at present only methodology with ideological implication, but it is a methodology which is seeking nothing less that the unification of all the sciences into a new system of belief.”30 Jika ditarik ke belakang, pendekatan Strukturalisme sebenarnya berakar pada kritik Emile Durkheim terhadap pendekatan Intelektualis yang cenderung melakukan generalisasi realitas agama dalam mendefinisikan agama dan perkembangannya pada setiap masyarakat. Karenanya, kecenderungan tradisi intelektualisme dalam meneliti adalah melihat sudut perkembangan agama dari yang animisme menuju ke monoteisme. Durkheim dalam magnum opusnya The Elementary Forms of The Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Dalam bukunya itu ia ingin melihat agama dari bentuknya yang sangat sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Australia sampai ke agama yang well-structured dan well-organized seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sakral dan yang profan. Meskipun sebenarnya ia tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa semua yang sakral itu selalu bersifat spiritual. Lebih lanjut, selain kritikannya terhadap pendekatan intelektualis dalam memahami agama, dia juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini, menurut Durkheim masyarakat adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan oleh konsensus moral”.31 Pandangan ini yang mengilhami sekian banyak antropolog untuk menggunakan pendekatan struktual dalam memahami agama dalam masyarakat, termasuk kelembagaan yang memayungi

Takwin, Akar-akar Ideologi, h. 77. Giddens, Problematika Utama, h. 366. 30 Robert Scholes, Structuralism in Leterature: An Introduction (New Haven and London: Yale University Press, 1977), h. 2. 31 Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropogi dalam Kajian Islam,” dalam http://www.ditpertais. net/artikel/ jamhari01.asp. diakses 14 Oktober 2012. 28 29

352


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

proses dan aktivitas penginternalisasi nilai-nilai ideologi keagamaan seperti lembaga pendidikan pesantren. Sementara Levi-Strauss seperti dikutip Bagus, memandang dalam berbagai macam aspek sosial pun, bisa dianggap mempunyai sifat yang sama dengan bahasa; bahkan seni dan agama. Implikasi dari metodologis Strauss ini menjadi semacam postulat bagi para antropolog strukturalis; fenomena sosial apa saja yang diselidiki harus dianggap sebagai terkait pada sistem terminologi dasar (seperti kata atau fonem dalam bahasa) yang memelihara hubungan tertentu antar mereka. Sistem itu merupakan struktur yang menyatukan berbagai fenomena yang tercakup di dalamnya. Bagi Strauss, setiap fenomena tidak memiliki arti apa-apa ketika berdiri sendiri. Kumpulan fenomen (fenomena-fenomena) itu harus saling kait berkelindan dalam suatu struktur. Apa yang menerangkan fenomena itu adalah struktur yang mendasarinya, terlepas dari waktu dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.32 Pada prinsipnya, Levi-Strauss, sebagaimana juga para ahli antropologi lainnya, secara garis besar melihat ada 3 hal yang berbeda terkait dengan hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Hal ini penting diutarakan di sini untuk mencari formula struktur penyebaran ideologi pendidikan yang berlaku dalam dunia Pesantren. Perbedaan tersebut adalah: Pertama, bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sebagian antropolog menjadikan pandangan ini sebagai dasar untuk mempelajari kebudayaan suatu masyarakat dengan memusatkan atensinya pada bahasanya. Kedua, bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Ketiga, bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kalau pandangan pertama menempatkan bahasa sebagai suatu gejala yang setara denga kebudayaan, pandangan kedua memposisikan bahasa di bawah payung kebudayaan. Artinya, bahasa bukan merupakan sebuah fenomena yang khas, tetapi dia merupakan fenomena budaya yang tidak berbeda dengan unsur-unsur budaya lainnya seperti sistem kekerabatan, kesenian, dan sebagainya. Lain lagi dengan pandangan ketiga yang memeliki dua pengertian, yakni, (1), bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti diakronis, maksudnya, bahasa mendahului kebudayaan karena memalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya. Contohnya, seseorang mengetahui budaya Batak, Aceh, Madura, Asmat, atau lainnya melalui bahasa mereka. (2), bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakannya untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/ jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu sendiri.33 Bagi Jacobson, Strukturalisme dibentuk berdasarkan studi tentang fenomena yang diperlakukan bukan sebagai pengorganisasian mekanis, melainkan sebagai keseluruhan

Takwin, Akar-akar Ideologi, h. 79. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: KEPEL Press, 2006), h. 24-25. 32 33

353


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 struktural.34 Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar Antropologi Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa dalam analisis struktural, struktur dibedakan menjadi dua macam, yakni struktur lahir/struktur luar (surface strukture) dan struktur batin/struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat dibuat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam merupakan susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena peneliti akan dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.35 Sementara Giddens membahas kontekstualitas tindakan dengan menelaah ulang kehadiran dan ketidakhadiran. Kehidupan sosial manusia bisa dipahami berdasarkan relasi-relasi di antara individu-individu yang “bergerak”, mengaitkan tindakan sekaligus konteks, dan membedakan satu konteks dari konteks yang lain. Konteks-konteks membentuk “latar” (setting) bagi tindakan, di mana kualitas-kualitas agen secara rutin dibentuk berdasarkan arah pengorientasian apa yang yang mereka kerjakan dan apa yang mereka katakan satu sama lain.36 Lebih lanjut Giddens menyatakan bahwa kesadaran umum terhadap latar-latar tindakan ini membentuk elemen dasar “pengetahuan mutualistik” sehingga agen-agen sanggup memahami apa yang dikatakan dan dikerjakan orang lain. Konteks tidak semestinya diidentifikasi dengan sesuatu yang membuat tindakan dan interaksi, yang terdistribusikan di dalam ruang-waktu dan direproduksi dalam “waktu yang tidak bisa dibalik” dari aktivitas sehari-hari, sangat integral bagi bentuk terstruktur kehidupan sosial dan bahasa.37

Sang Kiai: Pengawal Tradisi dalam Bingkai Strukturalisme Urgensi konsep pendidikan yang bersifat ideologis ala pesantren dipersiapkan untuk memberikan pemikiran alternatif atau penyeimbang atas banjirnya ideologi pendidikan liberal di Indonesia. Karena itu, untuk meminimalisir sisi negatif ideologi perlu dibatasi pada pengertian ideologi netral dan ideologi terbuka. Ideologi pertama adalah sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap, sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam pengertian ini, baik buruknya esensi ideologi sangat tergantung pada substansi/isinya. Sedangkan yang kedua adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedangkan terjemahan ke dalam bentuk praktik disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasionalisasinya ditentukan oleh kesepakatan R. Jacobson, Word and Language (Hague: Mouton, 1971). h. 711. Putra, Strukturalisme Levi-Strauss, h. 61. 36 Giddens, Problematika Utama, h. 367. 37 Ibid. 34 35

354


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

yang demokratis.38 Sistem pendidikan pesantren sangat menekankan aspek pengetahuan dan kebajikan. Untuk itu, para santri ditugaskan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi intelektual dan emosional mereka dilatih juga dengan nilai-nilai agama, sehingga eksistensi ilmu-ilmu yang berorientasi keduniaan adalah untuk memperkuat keyakinan para santri terhadap kebesaran dan kekuatan Sang pencipta.39 Salah satu strategi penyebaran suatu ideologi sebagaimana diutarakan oleh Terry Eagleton di atas adalah naturalisasi, yakni usaha untuk menampilkan sebuah ideologi/ kepercayaan sebagai suatu yang tampak alamiah. Lebih luas naturalisasi masuk dalam ranah subordinat modus umum dari reifikasi tentang cara ideologi beroperasi. Menurut Thompson, seperti dikutip Takwin, sebenarnya istilah reifikasi ini merujuk pada konsep ideologi dari Lucacs, yakni hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara merepresentasikan suatu kondisi yang bersifat sementara atau historis dengan gambaran seolah-olah bersifat permanen dan alamiah.40 Penyebaran ideologi pendidikan pesantren di Indonesia juga dilakukan secara alamiah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang, mulai dari model yang ditampilkan oleh Muhammad SAW. sebagai founding father-nya pendidikan Islam sampai kepada pencarian pencerahan intelektual-spritual oleh para ulama sebagai pewaris risalah kenabian. Sejarah mencatat betapa pengikut atau murid Nabi Muhammad SAW. telah berhasil menerangkan dan meneruskan ajaran tentang semangat menuntut ilmu. Motivasi religius ini juga ditemukan dalam tradisi rihlah (pengembaraan) yang disebut dengan al-rihlah fĂŽ thalab al-‘ilm (pengembaraan dalam rangka menuntut ilmu) atau dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry merupakan bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan di kalangan para ulama. Aktivitas rihlah bukan sekedar merupakan tradisi akademis belaka, namun juga merupakan syarat utama untuk menuntut ilmu. George Makdisi mengutip pernyataan Imam al-Haramain al-JuwainĂŽ (w. 1085 M.), seorang Sunni ahli Kalam kenamaan, memberikan kriteria yang melambangkan sebuah tradisi dinamis dalam proses mencari ilmu pada masa pra-modern. Kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam tradisi itu adalah kecerdasan, semangat hidup dalam kemiskinan, merantau ke negeri asing, inspirasi seorang guru, dan belajar sepanjang hayat (long life education).41 Bahkan menariknya lagi ilustrasi statemen Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa jauhnya letak suatu negara bukanlah masalah untuk kepentingan mencari kemuliaan nilai ilmu

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, h. 20. Ali Ashraf dan Sajjad Husein, Pergulatan Ideologis Pendidikan Islam: Refleksi Pendidikan Islam dalam Menemukan Identitas di Era Global, terj. Mukani (Malang: Madani Media, 2011), h. 17. 40 Takwin, Akar-akar Ideologi, h. 134. 41 George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning and in Islam the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h. 1. 38 39

355


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 pengetahuan (uthlub al-‘ilma wa lau bi al-shîn). Hal itu diwariskan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi demi langgengnya spirit thalab al-‘ilm. Proses internalisasi nilai-nilai ideologi yang menyejarah tersebut ke dalam relung jiwa para santri tidak dilakukan secara anarkis dan pemaksaan, namun sebaliknya materilah yang membentuk kesadaran subjek (santri) untuk mengadopsi ideologi itu secara suka rela, di samping tampilan kiai sebagai model figur pendidikan dalam dunia pendidikan di pesantren. Salah satu contoh model figur dalam sejarah pesantren abad XV – XVI di pulau Jawa, seperti diketengahkan oleh Abdurrahman Mas’ud adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M.) yang bagi santri Jawa merupakan spiritual father of Walisongo, dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren. Di luar Jawa, dia juga sangat terkenal dan menjadi prototipe lembaga pendidikan Islam semisal Nahdhatul Wathan di Lombok yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB dan dewasa ini santrinya tidak kurang dari sepuluh ribu orang dengan cabangnya di Jakarta. Model pendidikan tersebut ternyata diinspirasi dari ajaran dakwah Islam Maulana Malik Ibrahim.42 Hubungan kiai-santri tersebut merupakan kelanjutan konsep hubungan “guru-cantrik” yang ada sebelum Islam datang di tanah Dwipa, atau sekurang-kurangnya dipengaruhi konsep stratifikasi masyarakat Jawa. Santri akan selalu memandang kiai atau gurunya dalam pengajian sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang dapat membawa keberuntungan (berkah) atau celaka (mudharat).43 Menghindari punahnya sebuah tradisi pesantren, sarana utama yang dibangun oleh kiai adalah solidaritas dan kerjasama. Cara praktis yang ditempuh untuk membangun kedua sarana tersebut adalah (1) mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat menjadi calon kuat pengganti posisi leadership pesantren, (2) mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antar keluarga kiai, dan (3) mengambangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.44 Kemampuan dalam melestarikan dan mempertahankan eksistensi tradisi pesantren di tengah-tengah gelombang modernisasi dan globalisasi saat ini menuai ragam pandangan. Setidaknya, ada dua pandangan yaitu pandangan pesimis yang melihat pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang eksklusif sulit berkembang di tengah proses modernisasi. Hal ini karena pola pendidikan yang dibangun selama ini terlalu lamban untuk mencetak sosok alumni yang diharapkan masyarakat modern. Sedangkan kalangan yang optimis justeru memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sampai kapan pun akan tetap eksis. Karena pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakteristik tradisional, indigenous

Mas’ud, Intelektual Pesantren, h. 49. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Dian Rakyat, t.t.), h. 26. 44 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. 8 (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 101. 42 43

356


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

dan unik yang kelahirannya memang untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Di samping itu, pesantren juga merupakan salah satu lembaga sosial keagamaan independen alternatif untuk sebuah perubahan.45 Struktur pendidikan pesantren sebagaimana diungkapkan sebelumnya merupakan perangkat yang menyokong ketahanan eksistensi durasi masa sebuah lembaga pesantren itu bertahan. Analisis ideologi pendidikan pesantren dalam paradigma Strukturalisme menunjukkan bahwa struktur pertama dari elemen dasar pendidikan pesantren, yaitu kiai sangat menentukan langgeng tidaknya kiprah ideologi tersebut. Kepiawaian seorang kiai dalam mengelola sistem yang berjalan di dunia pesantren tidak saja pada tataran proses transformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi juga dalam menjaga ciri-ciri tradisional pra-modern seperti hubungan intim guru-murid yang didasarkan lebih pada suatu sistem kepercayaan daripada hubungan patron-client yang berkembang luas di masyarakat. Para santri menerima kepemimpinan kiai karena percaya kepada konsep “keberkahan” yang beranjak atas doktrin keistimewaan status seorang ‘alîm dan wali. Nawawi alBantani misalnya, menerima ciuman tangan dari hampir seluruh masyarakat Jawa yang tinggal di Makkah sebagai sebuah ekspresi penghormatan ilmu dan moral secara simbolik, bukan secara pribadi. Nawawi tidak pernah menolak undangan atau ajakan apa pun yang berhubungan dengan pembahasan fikih. Ciuman tangan simbolik ini tentu sangat bias jika dipandang sebagai gejala feodalisme di mata sarjana modern. Namun komunitas pesantren menganggap ciuman terhadap tangan seorang ‘alîm (kiai) akan mendatangkan berkah, dan sebagai bagian dari implementasi sunnah. Bahkan menurut pengikut Syâfi‘î (mazhab fikih mayoritas komunitas pesantren), mencium tangan tidak hanya kepada seorang ‘alîm, tetapi juga kepada zahid (orang yang zuhud), syarif (orang yang dihormati karena tingkat pemahaman keagamaannya), para sesepuh, bayi dan teman yang datang dari tempat atau negeri jauh. Keberadaan kiai sebagai media kominukasi di tengah-tengah komunitas santri sangat menentukan bagi penanaman ideologi yang memang kadang sudah berlaku. Di tambah lagi kiai-tidak hanya menyediakan tempat dan kesempatan bagi studi teks-teks keagamaan (kitab kuning), tetapi yang lebih penting, mereka tampil sebagai pusat komunikasi bagi segala macam lapisan masyarakat pedesaan dari yang miskin hingga yang kuat (kaya). Di sisi lain, seorang kiai juga merupakan model bagi pengikutnya (santri dan masyarakat), di mana identitas kekiaian itu sendiri disematkan oleh masyarakat karena kepahaman dan kedalaman ilmu-ilmu keislamannya serta kewibawaan kepribadiannya. Jadi gelar kiai bukan hasil produksi sebuah lembaga pendidikan formal, semisal sekolah tinggi atau universitas. Ronald Alan Lukens-Bull mengatakan bahwa istilah “kiai” dalam

In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren: Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi (Malang: Madani, 2010), h. 12-13. 45

357


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 bahasa Jawa merujuk kepada banyak hal. Semua hal ini menunjukkan kepada “sesuatu� atau “seseorang� yang memiliki kualitas di atas rata-rata.46 Dilihat dari perspektif seorang perencana, think-tank metropolis, kiai begitu lamban dan bersahaja dalam merespons perubahan, namun tidak dapat disangkal bahwa pengalaman panjang kiai dalam kaitannya dengan masyarakat pedesaan dan isu-isu lokal telah menjadikan mereka berhati-hati dalam mendukung hal-hal yang baru. Ketika pendidikan modern menjadi penting bagi kehidupan masyarakat modern, dan tidak hanya para pelajar yang potensial memiliki kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan/tinggi, maka model pendidikan pesantren menjadi relevan untuk masa sekarang. Kemudahan masuk yang diberikan oleh kiai dan pesantrennya membuat keterlibatan dari semua lapisan masyarakat menjadi mungkin, termasuk pendaftaran di dalam fasilitasfasilitas pendidikannya. Sekarang, adalah menjadi tanggungjawab negara dan masyarakat untuk menyediakan atmosfer pendidikan yang lebih kondusif, dan pesantren dapat memberikan akomudasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa hambatan biaya dan birokrasi. Sesungguhnya, pesantren dapat memainkan peran yang lebih sentral dalam mewujudkan wajib belajar pendidikian tinggi dewasa ini. Setelah memaparkan potensi dan kekuatan kiai dan dunia pesantrennya, tetaplah penting untuk menempatkan persoalan ini dalam konteks perubahan yang sangat cepat dan globalisasi dunia di mana manusia hidup sekarang, termasuk kiai ada di dalamnya dan menghadapinya. Kiai senantiasa relevan dan penting bukan karena kebajikan dari simbol-simbol itu atau bahkan institusi-institusi fisik yang telah mereka buat lewat kemampuannya dalam menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma keagamaan secara historis dan sosiologis, bukan untuk memelihara spritualitas atau intelektualitas, tetapi menjadi panduan yang sarat makna dan mudah. Bagaimanapun, kaum santri sangat memahami bahwa penghormatan fisik tersebut tidak boleh dicampur adukkan dengan keimanan dalam Islam yang menyaratkan keesaan Tuhan yang mutlak untuk disembah. Sejak Islam menjadi agama yang mayoritas dianut di bumi Nusantara, kiai menikmati status sosial yang tinggi. Para kiai sudah terbiasa terlibat langsung secara fisik dalam tatanan dan berbagai aktivitas sosial. Menariknya lagi adalah peran para kiai (pulau Jawa sebagai sampel kasus) dalam menyebar luaskan ilmu pengetahuan, mengembangkan kurikulum, dan menanggapi tantangan dari luar, khsususnya dari pemerintahan Belanda (era Kolonial). Aspek kepemimpinan kiai ini sangat penting karena akan menunjukkan bagaimana para kiai menjaga hubungan harmonis baik dengan komunitas umum maupun dengan para kiai lainnya. Dalam hal fungsi pendidikan, satu kenyataan penting muncul, yakni pemeliharaan tradisi Islam di mana oleh para ulama menjadi penjaga utama ilmu keagamaan par-excellent. Peran ini tidak bisa diwakilkan Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, terj. Abdurrahman Mas’ud, et al. (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 89. 46

358


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

kepada kelompok lain dalam komunitas Islam karena sebuah keyakinan bahwa “para ulama adalah pewaris Nabi”. Para kiai selanjutnya menjadi satu-satunya interpreter yang sah atas dua sumber utama Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Peran pengesahan ajaran agama ini merupakan basis di mana pengetahuan kiai ditransfer dari generasi ke generasi di dalam pesantren. Pesantren-pesantren yang awalnya berlokasi di daerah terpencil dan pedesaan bisa juga dipandang sebagai kerajaan kecil di bawah perintah mutlak sang kiai. Inilah otoritas Islam yang ada dalam lokalitas masyarakat Indonesia dalam arti aktual dan faktual. Kasus masyarakat Jawa sangat tergantung kepada bimbingan para kiai bahkan dalam hal mengambil keputusan atas berbagai persoalan, seperti harta benda, pernikahan, warisan dan yang sejenisnya. Situasi ini, dipadu dengan sikap para kiai yang lebih mengambil jarak dengan pemerintah (pada era kolonial; dengan pemerintah Kolonial), memberikan kepada mereka otoritas moral dan religius dan menampakkan ciri mereka sebagai kelas berpendidikan tersendiri. Mayoritas para penulis Islam Indonesia yang ada bukanlah para sarjana yang memiliki latar belakang studi islam (Islamic Studies) yang misleading dalam menilai peran dan fungsi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat pesantren, khususnya masyarakat Jawa. Kiai dengan teologi Asy‘ari-nya yang dominan pada umumnya dipandang sebagai “figur primitif yang pasif” dengan pakaian tradisional, sarung, yang lebih banyak berpikir tentang keakhiratan dan mengambil sikap diam terhadap berbagai penindasan kaum elit. Komunitas kaum kiai seringkali salah dinilai, dan dipandang lebih sebagai orangorang Indonesia yang pendiam daripada Muslim yang revolusioner, yang lebih menekankan pikiran daripada tindakan. Implikasinya bahwa seorang Muslim Jawa (misalnya) oleh para sarjana tersebut lebih dipandang sebagai seorang Jawa daripada seorang Muslim yang revolusioner. Pernyataan tersebut dalam beberapa hasil penelitian ditolak dan dikoreksi oleh beberapa sarjana terkemuka. Snouck Hurgronje, misalnya menyatakan bahwa dalam dekade pertama abad XX, ia mengingatkan para koleganya di Netherlands East Indies civil Service bahwa Islam Indonesia, yang tampaknya begitu statis, begitu terbenam dalam kelambanan Abad Pertengahan, mengalami perubahan yang fundamental, namun perubahan-perubahan tersebut terjadi sedemikian bertahap, begitu halus, terkonsentrasi di tempat-tempat terpencil dan tidak pernah terlintas dalam benak non-Muslim, sehingga meski perubahanperubahan itu terjadi di depan mata tetapi terabaikan oleh para sarjana yang tidak cermat dalam mengkaji masalah ini.47 Struktur selanjutnya yang mengidentifikasi terjadinya proses pengakaran ideologi dalam jasad pendidikan pesantren adalah santri dengan jaringan intelektual yang Snouck Hungronje, Mecca in the Later Part of the Nineteenth Century (Leiden: E.J. Brill, 1931), h. 280. 47

359


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dibangun sesamanya. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa watak pesantren yang memberikan konstribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya dalam melawan serangan-serangan dari luar telah membuka jalan bagi para santrinya untuk membuat jaringan kepesantrenan. Identitas dan solidaritas sesama santri terus dipupuk melalui paket jejaring yang sangat solid. Nilai-nilai ideologi pendidikan pesantren yang selama ini mereka peroleh di lembaganya terus dipelihara dengan penguatan-penguatan yang nyata melalui pembentukan kelompok-kelompok pengajian. Intensitas pertemuan mereka dalam diskusi agama yang diadakan secara bergiliran dari satu pondok pesantren ke pondok lainya mempertegas kekentalan hubungan sturktural antara para santri tersebut. Aktivitas intelektual dan akademik merupakan ciri-ciri yang paling menonjol dari jaringan yang dibangun para santri. Para santri Jawa yang berkelana baik di dalam pulau Jawa maupun di luar Jawa (misalnya Timur Tengah), hubungan mereka dengan para gurunya tidak pernah dapat dipisahkan oleh waktu dan tempat, bahkan hubungan tersebut merupakan ikatan sepanjang hidup. Lain lagi dengan keanggotaan jaringan tarekat yang mungkin merupakan afiliasi paling solid dan krusial berdasarkan fakta bahwa jaringan itu diperkokoh dengan kesetiaan para pengikutnya dan perjuangan untuk meningkatkan kualitas kesalehan mereka di bawah seorang guru sufi. Sufisme dan tarekat tidak dapat dipisahkan dan berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari, terutama di Jawa, karena ia memiliki model yang kuat seperti Walisongo. Bangunan bentuk jaringan lainnya untuk mempererat tali ikatan antara gurumurid adalah dengan mengadopsi santri sebagai anak menantu. Pernikahan dengan cara sudah biasa terjadi dalam tradisi pesantren; ditujukan kepada santri yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas kharisma pesantren di masa depan. Di sisi lain, Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa terdapat inter-pernikahan lain antara keluarga pesantren. Pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan di antara dua pesantren menjadi semakin kuat, dikarekan hubungan tersebut tidak hanya dibangun atas dasar unsur keagamaan tetapi juga atas dasar persaudaraan. Selain itu, persaudaraan dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan dan kekuatan dalam kultur pesantren.48 Di tengah signifikansi posisi sang kiai, kehidupan religius santri berada pada sebuah atmosfer kondusif untuk menjadi pendukung dan legitimasi atas apa yang dinamakan “penguasa yang saleh�. Ideologi yang disemai para kiai dalam lubuk hati para santri begitu terpatri hingga menyentuh sendi-sendi kehidupan dan terus dipupuk melalui jargon-jargon ajaran agama. Materi kitab kuning yang merupakan unsur lainnya dari struktur pesantren menjadi esensi penting dalam proses penyampaian pengalaman ilmu pengetahuan di kalangan pesantren. Aktifitas belajar biasanya dilakukan di tempat-tempat tertentu, bahkan

Zamakhsysari Dhofier, Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 54-58. 48

360


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

terkadang disediakan tempat yang biasa untuk meletakkan kitab-kitab guru/kiai. Model belajar seperti ini dilakukan dengan cara, murid menyodorkan kitab yang hendak diulang, dan berhadapan langsung secara giliran secara tatap muka kepada guru.49 Kegiatan selanjutnya, guru membaca kitab yang disodorkan oleh si murid dan menerjemahkannya baik dengan bahasa Indonesia atau dengan bahasa daerah. Dalam situasi ini, si murid mendengarkan dengan tekun bacaan guru seraya melakukan pencatatan bunyi ucapan teks kitab dengan memberikan syakal terhadap kata-kata Arab yang ada dalam kitab. Selain memberi syakal, si murid juga mencatat terjemahan makna dari kata-kata Arab yang dianggap sukar di pinggir margin kitab atau di bawah huruf Arab. Setelah selesai dibacakan oleh guru, selanjutnya si murid mengulang kembali bacaan tersebut dan kali ini guru yang menyimak bacaan murid sambil mengoreksi bacaan-bacaan yang salah. Tradisi belajar yang demikian sebenarnya telah menunjukkan tradisi kritis terhadap kajian kitab yang dilakukan antara guru dan murid. Catatan-catatan yang dilakukan oleh murid baik dengan memberikan syakal tentunya mempunyai alasan mengapa berbaris dhammah, fathah atau kasrah, dan ini tentu saja diberi catatan dipinggir dengan tulisan huruf latin. Begitu pun dengan terjemahannya. Nilai-nilai yang ada dalam kitab kuning dipahami, direnungi kemudian diamalkan oleh para santri sebagai tuntunan dalam pergaulan kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Penutup Pesantren sebagai lembaga pendidikan menjadi sangat potensial dan memiliki arti yang sangat istimewa bukan hanya bagi usaha transformasi ilmu pengetahuan tetapi juga bagi objektivikasi sebuah ideologi pada diri santri sebagai elemen sentral selain kiai dalam sebuah ranah pendidikan pesantren. Keberadaannya yang sudah menyejarah terlihat dalam perjuangannya melawan penjajahan Kolonial (Portugis, Belanda dan Jepang) dengan menggunakan justifikasi religius dan term-term simbolik seperti perang suci (Aceh: prang sabie) untuk mengusir orang kafir. Keunikannya terletak dalam paduan budaya lokal dengan substansinya sebagai satu keseluruhan pandangan hidup Islam. Perlu dicatat bahwa semakin keras penindasan yang dilakukan oleh kaum kolonial, maka akan semakin menghebat pula perlawanan yang dilancarkan oleh komunitas pesantren. Dari ilustrasi ini, ideologi pendidikan pesantren yang tertanam dalam jiwa para pengikutnya sangat kuat dan mengakar sekali. Strategi penyebaran ideologi tersebut dilakukan melalui kepiawaian kiai dan kedalaman ilmu yang dimilikinya, menjadikan dia sebagai sentral figur bagi komunitasnya dalam mengarungi jejak kehidupan ini. Jaringan yang dibangun antar para alumni dan masyarakat menjadikan nilai-nilai ideologi semakin subur tertanam dan sangat merakyat

Muslim Thahiri, et al., Wacana Pemikiran Santri Dayah Aceh (Banda Aceh: BRR NADNIAS, PKPM Aceh dan Wacana Press, 2006), h. 159. 49

361


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 sehingga dalam praktik pun tidak mengalami kesulitan. Hal ini karena kesadaran dan keserasian dengan kultur lingkungan pesantren yang bersinergi dengan kehidupan masyarakat di mana pesantren itu berada. Peran kiai sebagai pemegang tampuk otoritas di pesantren sangat dominan, sehingga ideologi-ideologi yang ditransfer dan diinternalisasi menjadi sangat lekat dan menempel erat dalam segenap serat kehidupan civitas akademika pesantren. Kemapanan pemahaman kiai sebagai agen dalam menyampaikan pesan-pesan ideologi terhadap karakter dan perilaku komunitasnya memudahkannya melakukan objektivikasi materi kepesantrenan.

Pustaka Acuan Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. M. Arifin. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Achmadi, Ideologi. Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ashraf, Ali, dan Sajjad Husein. Pergulatan Ideologis Pendidikan Islam: Refleksi Pendidikan Islam dalam Menemukan Identitas di Era Global, terj. Mukani. Malang: Madani Media, 2011 Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustakan Gramedia, 1996. Bull, Ronald Alan Lukens. Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, terj. Abdurrahman Mas’ud, et al. Yogyakarta: Gama Media, 2004. Dhofier, Zamasysari. Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. Dhofier, Zamasysari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. 8. Jakarta: LP3ES, 2011. Daud, Al Husaini M. “Ideologi dan Ketidakpuasan.” Makalah, tidak diterbitkan. Eagleton, Terry. Ideology: An Introduction. London: Thetford Press, 1991. El Zastrow, Ngatawi. Dialog Pesantren–Barat: Sebuah Transformasi Dunia Pesantren, dalam Mihrab, Edisi I, tahun IV, 2006. Fakih, Mansour. “Pengantar,” dalam William O’neil. Ideologi-ideologi Pendidikan, cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Giddens, Anthony. Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial, terj. Dariyatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Haedari, Amin. Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka Jakarta, 2005. Hungronje, Snouck. Mecca in the Later Part of the Nineteenth Century. Leiden: E.J. Brill, 1931. Jacobson, R. Word and Language. The Hague: Mouton, 1971. 362


Al Husaini M. Daud: Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer

Ma’ruf, Jamhari. “Pendekatan Antropogi dalam Kajian Islam.” dalam www.ditpertais.net/ artikel/ jamhari01.asp. Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Dian Rakyat, t.t. Makdisi, George. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam in the West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981. Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogjakarta, LKis, 2004. Maunah, Binti. Tradisi Intelektual Santri dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan. Yogjakarta: Teras, 2009. O’neil, William. Ideologi-ideologi Pendidikan, cet. 2. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Putra, Heddy Shri Ahimsa. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: KEPEL Press, 2006. Steenbrink, Karel. A. Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986. Scholes, Robert. Structuralism in Leterature: An Introduction, cet. 7. New Haven and London: Yale University Press, 1977. Sulaiman, In’am. Masa Depan Pesantren: Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi. Malang: Madani, 2010. Sulaiman, M. Isa. Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, cet. 2. Yogjakarta: Jalasutra, 2009. “Teori Strukturalisme.” Dalam http:/www.aduweh.blogspot.com/2009/07/teoriStrukturalisme.html. Thahiri, Muslim, et al. Wacana Pemikiran Santri Dayah Aceh. Banda Aceh, BRR NAD-NIAS, PKPM Aceh dan Wacana Press, 2006. Thompson, John B. Ideology and Modern Culture. Cambridge: Polity Press, 1990. Wahid, Abdurrahman. “Pesantren sebagai Subkultur,” dalam M. Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, cet. 4. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial–LP3ES, 1988. Wibowo, Arif. “Strukturalisme dan Implikasinya.” dalam http://www.staff.blog.ui.ac.id/ arif51/2008/10/08/ structuralisme-dan-imp.

363


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

PENDIDIKAN POLITIK KEBANGSAAN DAN POLITIK ISLAM DALAM KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA ORDE BARU Maftuhah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Fakultas Agama Islam Universitas Islam Attahiriyah Jl. Melayu Kecil III No. 15, Jakarta, 12840 e-mail: tutim8@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tarik menarik negara dan agama dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa Orde Baru. Analisis dilakukan terhadap pokok bahasan dari empat mata pelajaran yang tampak nyata mengandung muatan politik kebangsaan dan dua mata pelajaran yang sarat dengan muatan politik keislaman, serta perkembangan masing-masing pokok bahasan dalam empat bentuk kurikulum Madrasah Aliyah sepanjang masa Orde Baru. Penelitian kualitatif strukturalisme ini berusaha menemukan tentang pola-pola yang terbentuk dari hubungan atau tarik menarik ini. Dari kajian ini penulis menyimpulkan bahwa Madrasah Aliyah pada masa Orde Baru mengajarkan muatan politik nasionalisme lebih banyak daripada materi pendidikan politik Islam. Abstract: Political Education of Nationalism and Islamic Politics in the Curriculum of Madrasah Aliyah in the New Order Era. This research aims at analizing relations between state and religion in the curriculum of Madrasah Aliyah in the New Order Era. The study focuses on components from four subjects that include contents of nation politics and two subject instructions that include matters of Islam politics. In this qualitative structuralism study, the author concludes on the patterns formed by such interaction. The author also maintains that Madrasah Aliyah in the New Order Era provided more on the politics of nationalism rather than those of subjects of education of Islamic politics.

Kata Kunci: kurikulum, kebangsaan, Islam, politik

Pendahuluan Dunia pendidikan pada dasarnya tidak pernah bersih dari ragam pengaruh politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum dan ideologi. Masing-masing sistem dan nilai tersebut 364


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

berusaha membakukan dirinya ke dalam perangkat-perangkat pendidikan yang ada, demi transmisi dan transformasi yang diinginkannya terhadap generasi selanjutnya. Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum, model-model pembelajaran, sistem evaluasi, dan sistem akreditasi merupakan contoh dari pembakuan tersebut. Pendidikan yang tidak netral seperti ini menjadikan dirinya bukan saja cenderung sebagai gelanggang pertukaran fikiran—kadang-kadang pertentangan pendapat yang berlarut—bahkan kompetisi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Salah satu kelompok yang sangat berkepentingan terhadap pendidikan adalah penguasa. Dalam sejarah bangsa-bangsa, pendidikan senantiasa dijadikan alat propaganda politik negara atau paling tidak sebagai salah satu institusi sosialisasi politik (politically sozialitation). Dalam negara yang menganut sistem politik dan ideologi demokrasi, arah sosialisasi politik—termasuk dalam lembaga pendidikannya—yang dikembangkan dapat dipastikan bersifat demokratis; untuk negara yang berpaham komunis, propaganda politik yang ditanamkan akan mengarah pada sistem, proses dan budaya politik komunis; dan bagi negara yang berlandaskan agama, sosialisasi politik akan diselaraskan dengan konsepkonsep agama.1 Politik memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan pendidikan. Keduanya memiliki objek sasaran yang sama, yaitu manusia. Pendidikan dapat memantapkan nilai-nilai dan sistem tertentu yang telah ada, atau memindahkan dan melakukan transformasi serta pengembangan nilai-nilai dan sistem baru kepada manusia. Dengan demikian pendidikan dapat mengokohkan sistem politik yang telah berjalan di tengah masyarakat tertentu, atau mengubahnya menjadi sistem politik dalam format yang berbeda. Begitu pula pendidikan dapat mengubah seseorang dari statusnya sebagai warga negara karena terpaksa, menjadi warga negara dengan kesadaran.2 Pengokohan dan perubahan yang diciptakan oleh pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari fungsi politik pendidikan. Bahkan Aristoteles menyatakan jika dunia pendidikan diabaikan dalam pembentukan budaya politik, maka hal tersebut tidak dapat menjamin kelangsungan suatu negara, bahkan negara berada dalam ancaman serius.3 Rezim Orde Baru tampaknya sangat menyadari hal ini. Dalam Instruksi Presiden dinyatakan bahwa pendidikan politik sebagai rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan ditempatkan sebagai bagian integral kerangka pendidikan politik nasional dan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan

Azyumardi Azra, “Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam,” dalam Ismail SM-Abdul Mukti (ed.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 17-18. 2 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin (Solo: Intermedia, 2000), h. 64. 3 Aristoteles, Politiea, terj. Ahmad Luthfi Sayyid berjudul Al-Siyâsah (Kairo: Dâr al-Qoumiyah li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, t.t.), h. 290. 1

365


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 nasional.4 Bahkan, Soetanto menegaskan bahwa bagi Indonesia yang mendasarkan dirinya pada ideologi dan sistem politik Pancasila, pendidikan politik bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.5 Di dalamnya diajarkan berbagai nilai yang dikandung oleh Pancasila dan UUD 1945, fungsinya sebagai falsafah dan ideologi negara yang melandasi berbagai aktivitas dan proses politik, serta proses sejarah bangsa yang menunjang eksistensi dan kesadaran terhadap ideologi ini, sehingga pada gilirannya diharapkan tercipta generasi yang memiliki budaya politik Pancasila.6 Sosialisasi politik di lembaga pendidikan atau dalam istilah lain pendidikan politik dilangsungkan melalui kurikulum. Kurikulum sendiri memiliki beragam definisi. Zais memandang bahwa kurikulum adalah “… a course of subject matters to be mastered”7 [… sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid]. Sementara Caswel dan Campbell menyatakan kurikulum “… to be composed of all the experiences children have under the guidance of theacher” […seluruh pengalaman siswa yang berada dalam asuhan guru].8 Romine menambahkan bahwa pengalaman belajar itu dapat dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas. Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not.9 [Kurikulum adalah seluruh mata pelajaran, kegiatan, dan pengalaman yang dirancang dan dilakukan murid di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas]. Madrasah Aliyah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal di Indonesia niscaya memiliki kurikulum yang mengandung muatan politik atau melangsungkan pendidikan politik. Tetapi, sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang bernafaskan Islam, kurikulum Madrasah Aliyah tidak serta merta hanya memuat pendidikan politik kebangsaan sebagaimana yang diinginkan rezim Orde Baru pada masa itu. Madrasah pada umumnya di Indonesia memainkan peran dalam mempertahankan Islamisme, langsung maupun Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda dan Keputusan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda Nomor: 01/BK Tahun 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda (Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, 1985), h. 10-11. 5 L. Soetanto, “Pendidikan Politik, Disiplin Nasional dan Peranan Wanita dalam Pembangunan,” dalam Ramdlon Naning (ed.), Pendidikan Politik dan Regenerasi (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 36. 6 Budaya politik Pancasila dan UUD 1945 adalah keseluruhan dari nilai, keyakinan empirik, dan lambang ekspresif Pancasila dan UUD 1945 yang menentukan terciptanya situasi dalam mana kegiatan politik terselenggara. Lihat M. Panggabean, Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa, dalam Ibid, h. 1-2. 7 Robert S. Zais, Curriculum Principles and Foundations (New York: Harper & Row Publisher), 1976, h. 7. 8 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 4. 9 Ibid. 4

366


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

tidak langsung karena ia merupakan representasi kelompok Islam yang dalam sejarahnya pernah menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mengungkap muatan pendidikan politik kebangsaan yang dimasukan dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa Orde Baru. Kedua, mengungkap pendidikan politik keislaman yang terdapat dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa Orde Baru. Ketiga, mencari dan menilai keseimbangan antara pendidikan politik keislaman dengan pendidikan politik kebangsaan dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa Orde Baru.

Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan strukturalisme, yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk menarik hubungan antar elemen-elemen dalam pokok bahasan sehingga dapat mengungkapkan makna-makna di balik topik-topik bahasan, sekaligus mengungkapkan logika-logika di balik makna-makna tersebut.10 Sumber data utama penelitian ini adalah pokok bahasan-pokok bahasan dalam kurikulum Madrasah Aliyah pada masa Orde Baru, terutama pokok bahasan-pokok bahasan yang berisi tentang pendidikan politik kebangsaan Indonesia (mata pelajaran Kewarganegaraan/PPKn/PMP, PSPB, Tata Negara dan Sejarah Nasional Indonesia) dan muatanmuatan pendidikan politik keislaman (mata pelajaran Fikih/Syariah dan Sejarah Islam). Madrasah Aliyah di masa Orde Baru menggunakan 4 kurikulum yakni kurikulum tahun 1973, kurikulum tahun 1976, kurikulum tahun 1984, dan kurikulum tahun 1994. Library research merupakan teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini. Berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian diinventarisir dan dipelajari, kemudian dianalisis isinya (content analysis) dengan tiga cara. Pertama, Induksi, yaitu suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Kedua, Deduksi, yaitu suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Ketiga, Komparatif, yaitu suatu cara menganalisis dengan membandingkan suatu informasi atau data dengan informasi atau data yang lain, kemudian menarik kesimpulan. Semua pokok bahasan yang terdapat dalam data juga dianalisis memakai model analisis sistemik, yakni masing-masing pokok bahasan dilihat maknanya sendiri-sendiri, Pemahaman tentang strukturalisme dapat dilihat dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, cet. 2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 141-147; Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995); David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, terj. Setiawan Abadi, cet. 2 (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 371-384. 10

367


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 kemudian diperbandingkan secara sistematis, sehingga didapat suatu hasil perbandingan yang relevan dengan tujuan penelitian.

Hasil dan Pembahasan Muatan Pendidikan Politik Kebangsaan dalam Kurikulum Madrasah Aliyah Di antara sekian mata pelajaran ‘umum’ di Madrasah Aliyah, pendidikan politik kebangsaan terangkum dalam 4 mata pelajaran, yakni Kewarganegaraan/PMP/PPKn, PSPB, Sejarah Nasional dan Tata Negara. Kewarganegaraan/Pendidikan Moral Pancasila (PMP)/Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Pelajaran ini pada dasarnya merupakan pendidikan kewarganegaraan (civic education) Indonesia dan ideologi Pancasila yang bertujuan memberi pemahaman dan pembentukan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, lingkup berbangsa dan bernegara, serta hubungan internasional. Mata pelajaran ini dapat dibagi menjadi 4 bagian pokok bahasan: Moral Pancasila, Kebangsaan, Politik, dan Status Quo. 1) Bidang moral Pancasila yang diajarkan kepada siswa merupakan sosialisasi nilainilai Pancasila sebagai penjabaran moral/etika dari 5 sila Pancasila, seperti takwa sebagai penjabaran etika sila 1; menghargai sebagai penjabaran etika sila ke-2; kerukunan sebagai penjabaran etika sila ke-3; musyawarah sebagi penjabaran etika sila ke-4; keadilan sosial sebagai penjabaran etika sila ke-5. Dikaitkan dengan agama, sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut dikemukakan dengan pokok bahasan-pokok bahasan yang seragam dengan nilainilai moral agama (terdapat banyak dalam kurikulum 1994). Hal ini mengindikasikan terdapat usaha untuk memberi pemahaman kepada siswa bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan dalam kurikulum 1984 lebih khusus lagi, konsep takwa menurut agama Islam dihubungkan dengan sila 1 Pancasila. Tampaknya pokok bahasan ini berusaha untuk memberi pandangan dasar bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dilanjutkan dengan konsep-konsep mengenai toleransi beragama dan hubungannya dengan peran negara menunjukan arahan terhadap siswa bahwa negara Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berposisi netral terhadap semua agama, tapi ikut berperan secara politis dalam beberapa aspek kehidupan spiritualitas keagamaan. 2) Materi-materi kebangsaan yang diajarkan kepada siswa memberi pemahaman tentang konsep nasionalisme sebagai keniscayaan masyarakat dunia. Hal ini dapat dilihat dari materi perserikatan dan kerjasama antar bangsa sebagai bentuk penglihatan bagi siswa tentang fenomena tersebut. Materi ini juga memberi pemahaman tentang posisi bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Dalam kesejajaran inilah, pelajaran ini berusaha mentransmisikan kesatuan dan persatuan bangsa, semangat kebangsaan 368


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

(nasionalisme) dan jiwa patriotisme. Materi-materi tersebut dikuatkan dengan materi doktrin perang, kewiraan, cinta tanah air dan patriotisme. Pendidikan bela negara ini diwujudkan pula dalam materi struktur politik keamanan mulai dari tingkat sekolah sampai dengan tingkat negara (Pramuka, Wanra, Hansip, dan ABRI), dan konsep mobilisasi masa dengan istilah pertahanan keamanan lingkungan. 3) Sehubungan dengan demokrasi yang menjadi paradigma dunia, pelajaran ini berusaha mengaitkan demokrasi dengan Pancasila yang diistilahkan dengan demokrasi Pancasila. Dalam koridor demokrasi Pancasila ini dijelaskan mengenai struktur dan proses politik Indonesia seperti pemerintah pusat dan daerah, pemilu, serta karakter pemerintah yang demokratis dari sudut pandang UUD 1945. 4) Dalam hubungan antara warga negara dan negara (pemerintah), juga penanaman dukungan serta kepercayaan terhadap pemerintah (status quo), mata pelajaran ini memberi pemahaman mengenai makna pembangunan di Indonesia, contoh-contoh pembangunan ekonomi, serta aspek-aspek lain yang mendukung pembangunan tersebut (hak dan kewajiban warga negara, pajak). Pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru ini diakhiri secara politis dengan cara menghubungkannya dengan UUD 1945, dan hasil politik yang dirangkum dalam GBHN dan REPELITA. Dalam kurikulum 1973 mata pelajaran ini disebut Kewarganegaraan. Materi yang diajarkan lebih banyak tentang ketatanegaraan Indonesia seperti bentuk dan kedaulatan negara, dan struktur politik negara Indonesia disertai rumusannya dalam UUD 1945. Pelajaran ini juga mengajarkan tanggung jawab warga negara, identitas bangsa, dan politik luar negeri Indonesia. Mengingat kurikulum ini merupakan kurikulum kewarganegaraan dan kebangsaan pertama untuk Madrasah Aliyah setelah peristiwa G-30S.PKI dan berbagai peristiwa politik lainnya di masa Orde Lama dapat dipahami bahwa materi-materi di dalamnya mengarah pada pemahaman suatu struktur politik dibandingkan dengan materi-materi kewarganegaraan maupun nilai-nilai moral Pancasila. Dalam kurikulum selanjutnya, istilah-istilah dan nilai-nilai Pancasila lebih banyak dimasukan sebagai materi-materi pelajaran. Karenanya pelajaran ini diberi nama Pendidikan Moral Pancasila. Terakhir pada kurikulum 1994, nama pelajaran ini diganti lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai inisial untuk kumpulan materi-materi pengajaran Kewarganegaraan dan Pancasila sebagai dasar negara dan budaya bangsa. Materi-materi politik kebangsaan yang dimuat dalam pelajaran ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

369


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Tabel I: Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran Kewarganegaraan/PMP/PPKn11 Bahan Pengajaran 1. Moral Pancasila Takwa, toleransi, menghargai, kebijaksanaan, pengabdian, kerukunan, persamaan derajat, kemerdekaan beragama, musyawarah, gotong royong, keselarasan, kasih sayang, kewaspadaan, ketertiban, kepentingan umum, keramahtamahan, keikhlasan, kejujuran, kedisiplinan, saling menghormati, keserasian, kesetiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kerjasama, martabat dan harga diri, hidup hemat, keadilan, kebenaran, kebanggaan, ketaatan, keadilan sosial, kecintaan, kebulatan tekad, keyakinan, tenggang rasa, pengendalian diri, tolong menolong, hak asasi. 2. Kebangsaan Perserikatan dan kerjasama antar bangsa, hak dan kewajiban warga negara, kesatuan dan persatuan bangsa, perjuangan kemerdekaan Indonesia, doktrin perang, kewiraan, patriotisme, pertahanan dan keamanan lingkungan, cinta tanah air, bendera dan bahasa. 3. Politik Demokrasi Pancasila, pemerintahan demokrasi, pemerintah pusat dan daerah, hukum dan kekuasaan, sistem pemerintahan lainnya, bentuk dan kedaulatan negara, MPR/MPRS, DPA, DPR, Kekuasaan kehakiman, pemilu, perobahan UUD Aturan Peralihan/Tambahan. 4. Status Quo Pembangunan nasional, perekonomian Indonesia, koperasi, koperasi sekolah, pajak, transmigrasi, hak dan kewajiban warga negara, kesejahteraan sosial, pendidikan.

Keterangan Uraian pokok bahasan diberikan dalam koridor negara-bangsa (nasionalisme) Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Orde Baru

Materi-materi ketatanegaraan Indonesia paling banyak diberikan dalam kurikulum 1973

Contoh-contoh pembangunan yang dibagi menjadi beberapa pokok bahasan hanya terdapat dalam kurikulum 1984

Sejarah Nasional Indonesia Pelajaran ini bertujuan untuk memupuk semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan mengenali hubungan antar bangsa di dunia, sehingga diharapkan siswa dapat memahami dan menghayati jati diri bangsa serta memiliki wawasan tentang hubungan antar bangsa. Untuk itu pelajaran Sejarah Nasional Indonesia mengajarkan materi-materi yang beruang lingkup panjang mulai dari masa prasejarah daerah-daerah yang kelak menjadi bagian negara Indonesia sampai dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia tatkala buku pelajaran tersebut dibuat.

Dikutip dari Kurikulum Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pendidikan Agama, 1973); Kurikulum 1984 Madrasah Aliyah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Mata Pelajaran: Pendidikan Moral Pancasila (PMP) (t.t.p: Departemen Agama, 1989); Kurikulum Madrasah Aliyah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Mata Pelajaran: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) (t.t.p: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996). 11

370


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Untuk sejarah masa lampau, sebelum terbentuknya bangsa Indonesia, pelajaran ini berusaha menjelaskan berbagai aspek kehidupan politik dan sistem pemerintahan yang pernah hadir di wilayah-wilayah tersebut. Penjelasan materi ini dikondisikan pada akulturasi 3 agama besar, Hindu, Buddha dan Islam, dengan nilai-nilai yang dianut penduduk asli, serta diarahkan pada proses integrasi bangsa Indonesia. Melanjutkan proses integrasi ini perlawanan terhadap kolonialisme, terutama pergerakan-pergerakan kebangsaan, merupakan fakta yang sangat tepat yang ditampilkan bagi terbentuknya nasionalisme Indonesia. Kesamaan sejarah dijajah oleh bangsa Barat yang sama merupakan latar belakang yang ingin diperlihatkan oleh pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dalam melahirkan nasionalisme Indonesia dan persatuan atasnya. Perang Dunia II dan perjuangan wilayah-wilayah di luar Indonesia melawan penjajahnya sehingga melahirkan banyak nationstate mengkondisikan pemahaman siswa bahwa nasionalisme adalah fenomena dunia dan hal ini tidak lagi didasarkan pada perjuangan dan persamaan agama, tapi lebih pada penderitaan yang sama dan perjuangan meraih kebebasan yang sama. Begitu juga dengan pertumbuhan nasionalisme di Eropa memberi pandangan yang seragam pada siswa bahwa ideologi politik ini merupakan keniscayaan dunia modern. Dalam pertumbuhan nasionalisme dunia ini, siswa mempelajari beragam sistem politik yang pernah ada di wilayah-wilayah tersebut dan sistem politik baru yang menggantikannya. Perlawanan terhadap kolonial, dan pergerakan nasional Indonesia di atas di samping menanamkan jiwa patriotisme kepada anak didik, juga memberi pandangan positif terhadap gerakan-gerakan kebangsaan. Bahkan peristiwa-peristiwa sekitar kemerdekaan Indonesia dan usaha-usaha untuk mempertahankannya secara heroik turut mendidikan hal yang sama. Kehidupan politik bangsa Indonesia dan pemberontakan-pemberontakan terhadap tatanan politik yang ada pasca kemerdekaan disajikan sedemikian rupa sehingga kondisi saat itu digambarkan sangat tidak stabil. Pemberontakan-pemberontakan tersebut diperlihatkan sebagai gerakan-gerakan kontra nasionalisme Indonesia dan memiliki ideologi yang berbeda dengan Pancasila. Khusus untuk UUD 1945 sebagai dasar kehidupan perpolitikan Indonesia dijelaskan dalam pokok bahasan tersendiri yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pokok bahasan ini memperlihatkan bahwa UUD 1945 merupakan koridor yang sangat tepat dalam sistem politik Indonesia, dan di luar itu berarti pengkhianatan terhadap semangat dan nilai-nilai 1945. Orde Baru yang menjadi pokok bahasan terakhir dalam kurikulum 1984, dan dibuat lebih luas lagi menjadi beberapa pokok bahasan dalam kurikulum 1994 disajikan sebagai suatu orde yang berhasil dan sangat stabil (status quo). Terutama pada kehidupan sistem politik, rezim ini menampilkan dirinya sebagai pengayom nilai-nilai nasionalisme Indonesia, dan pengemban Pancasila dan UUD 1945. Semua materi pendidikan politik di atas dapat dilihat dalam tabel berikut:

371


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Tabel 2 Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia12 Bahan Pengajaran 1. 2. 3. 4. 5.

Kerajaan-kerajaan masa Hindu-Buddha di Indonesia Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Kekuasaan Eropa di Indonesia Perlawanan terhadap Kolonialisme Perang Dunia, Latar Belakang dan Perkembangan Demokrasi a. Pertumbuhan Nasionalisme, Liberalisme dan Ultra Nasionalisme di Eropa b. Kebangkitan Asia-Afrika dengan Latar Belakang Nasionalisme sebagai Reaksi terhadap Imperialisme Barat 6. Pergerakan Nasional Indonesia 7. Kemerdekaan Indonesia 8. Kehidupan Politik dan Keamanan pasca Kemerdekaan 9. Masa Demokrasi terpimpin 10. Masa Orde Baru

Keterangan

Kurikulum 1976, 1984 Kurikulum 1976 Kurikulum 1976

Kurikulum 1984, 1994 Kurikulum 1984, 1994

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) Pelajaran ini merupakan pelajaran yang sangat sarat dengan materi-materi politik kebangsaan. Tujuan mata pelajaran ini membentuk jiwa juang anak didik dalam mempertahankan negara dan bangsa Indonesia (sikap patriotisme), dan sudut pandang yang positif terhadap pemerintah Orde Baru pada masa itu (status quo). Bahan pengajaran PSPB dimulai dengan proklamasi kemerdekaan, sebagai awal berdirinya negara-bangsa Indonesia, dilanjutkan dengan pembentukan struktur politik, beragam fakta heroik mengenai perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan identitas negara-bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Di dalamnya juga diperlihatkan kesan bahwa ideologi di luar nasionalisme Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 seperti pemberontakan PKI di Madiun dan Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo adalah pelanggaran berat dan bereksistensi semu dengan sebutan pemberontakan bagi PKI dan NII yang ditulis dalam dua tanda petik. Pengajaran politik di atas dilanjutkan dengan menampilkan fakta-fakta lain yang relatif sama seperti berbagai perundingan diplomatik dalam mempertahankan identitas negara-

Dikutip dari Kurikulum Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN); Syafiie Nafsichin, et al., Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA/MAN (Jakarta: Dharma Bhakti, 1981); Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Sejarah Nasional dan Dunia (t.t.p: Departemen Agama, 1989); Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Sejarah Nasional dan Umum (t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996). 12

372


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

bangsa Indonesia, pemberontakan-pemberontakan terhadap ideologi Pancasila disertai keberhasilan negara dalam mengatasinya, dan struktur politik yang jatuh bangun silih berganti. Khusus bagi pertahanan terhadap status quo pelajaran ini mengawalinya dengan pemberontakan G-30S/PKI, dilanjutkan dengan proses politik yang terjadi sesudahnya sampai dengan pembentukan Orde Baru, dan sistem politik yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Mata pelajaran ini hanya diberikan dalam kurikulum 1984 untuk semua jenjang kelas dan jurusan. Dalam kurikulum selanjutnya pelajaran ini ditiadakan karena semua materinya dianggap tumpang tindih dengan materi-materi pelajaran lain seperti PMP dan Sejarah Nasional Indonesia. Materi-materi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3 Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran PSPB13 Bahan Pengajaran 1. Proklamasi Kemerdekaan 2. Misi sekutu yang pertama 3. Maklumat Wakil Presiden nomor X 4. Permulaan perundingan-perundingan Indonesia-Belanda 5. Bank Negara Indonesia 1946 6. Konferensi Malino 7. Aksi Militer I Belanda 8. Konferensi Asia di New Delhi 9. Persetujuan Roem Royen 10. Usaha mendirikan “NII� Kartosuwiryo 11. Konferensi Meja Bundar 12. Peleburan Bekas Anggota KNIL ke dalam APRIS 13. Pembentukan Kabinet Natsir 14. Pemilu 15. Indonesia menjadi anggota PBB 16. Pembatalan Perjanjian KMB 17. Dwi Komando Rakyat 18. Konsepsi Presiden Soekarno 19. Pemulihan keamanan dan ketertiban 20. Perjuangan KAMI 21. Orde Baru 22. ASEAN 23. Kegiatan pemuda 24. Pola hidup sederhana 25. Masalah kolonisasi Timor Portugis (Timor Timur) 26. Musyawarah nasional ulama se-Indonesia 27. Pembangunan nasional berencana 28. Landas Kontinen Indonesia

Keterangan

Diberikan secara terpisah di kelas 2 dan 3

Dikutip dari Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) (t.t.p: Departemen Agama, 1989). 13

373


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Tata Negara Pelajaran ini berfungsi sebagai wahana untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman siswa tentang tata kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam negara Republik Indonesia; dan membina kemampuan siswa untuk berperan serta secara loyal, aktif, kreatif dan konstruktif dalam kehidupan kenegaraan RI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dengan tujuan itu siswa diberitahu tentang sistem ketatanegaraan Indonesia dalam konteks teori ketatanegaraan pada umumnya, kultur politik negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, struktur politik yang dijalankan, dan peran politik Republik Indonesia dalam tata kehidupan politik internasional. Semua aspek ini mengarahkan siswa pada feeling yang positif terhadap negara Republik Indonesia dan sistem politik yang diterapkannya. Pokok bahasan pelajaran Tata Negara pada dasarnya tidak berbeda baik dalam kurikulum 1984 maupun kurikulum1994. Perbedaan terletak pada urut materi ajar yang tidak sama, dan khusus dalam kurikulum 1994 terdapat usaha untuk membandingkan konsepkonsep ilmu ketatanegaraan secara umum dengan teori ketatanegaraan menurut kajian fikih. Bahan-bahan pengajaran tata negara ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4 Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran Tata Negara14 Bahan Pengajaran 1. Negara Umum a. Pengertian Ilmu Negara dan Ilmu Ketatanegaraan b. Pengertian Negara c. Terjadinya Negara d. Tujuan dan Fungsi Negara e. Unsur-unsur Negara f. Bentuk Negara, Pemerintahan, dan Demokrasi g. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia 2. Hukum Umum a. Norma-norma Hukum b. Tata Hukum c. Hukum Internasional 3. Politik Umum a. Pengertian Politik b. Sistem Kepartaian c. Sistem Politik Islam

Keterangan

Kurikulum 1994

Kurikulum 1994

Dikutip dari Kurikulum 1984, Mata pelajaran: Tata Negara (t.t.p: Departemen Agama, 1989); dan Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata pelajaran: Tata Negara (t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996). 14

374


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

4. Tatanegara Indonesia a. Proklamasi Kemerdekaan RI b. Pancasila dan UUD 1945 c. Dinamika Ketatanegaraan RI d. Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 e. Pemilu f. Hak dan Kewajiban Warga Negara RI menurut UUD 1945 g. Demokrasi Pancasila h. Organisasi Sosial Politik dan Kemasyarakatan 5. Posisi Negara RI di Dunia Internasional a. Organisasi dan Lembaga Internasional b. Perjanjian Internasional c. Hubungan dan Hukum Internasional d. Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif e. Masalah Regional dan Internasional f. Hukum dan Perjanjian Internasional menurut Fikih Dirasah g. Kerjasama Regional dan Internasional menurut Fikih Dirasah

Kurikulum 1994 Kurikulum 1994

Kurikulum 1984 Kurikulum 1994 Kurikulum 1994

Diawali oleh materi-materi kenegaraan, hukum dan politik yang bersifat umum, pelajaran ini bermaksud memberi pemahaman dasar tentang negara-bangsa sebagai organisasi kekuasaan dan unsur-unsurnya, tata hukum dan sistem politik yang berlaku dalam sebuah negara-bangsa dalam hubungan tata kerja antar lembaga negara, warga negara dengan negara, dan negara dengan negara lain. Dalam koridor demikian materi dilanjutkan dengan penyempitan yang mengarah pada tata kehidupan kenegaraan RI, sistem politik dan tata hukum yang diberlakukan pada saat itu. Terakhir, siswa diarahkan pada kenyataan Indonesia sebagai salah satu negara-bangsa di antara negara-bangsanegara-bangsa lain di dunia dan berbagai hubungan yang sedang dan dapat dilakukan di antara mereka. Sejalan dengan masalah Hak Asasi Manusia dan demokrasi yang semakin luas menjadi fenomena dunia, kurikulum 1994 memberi tambahan materi tentang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Pancasila. Kemudian hubungan yang semakin dekat antara umat Islam dan pemerintah di era 90-an, serta integrasi dan akomodasi yang dilakukan oleh generasi Islam terhadap konsep-konsep pemerintah telah melahirkan materi-materi pengajaran baru berupa sistem politik Islam dalam konteks negara Republik Indonesia, dan tinjauan Fiqh dirâsah terhadap masalah-masalah internasional serta posisi dan peran negara RI di dunia internasional.

Muatan Pendidikan Politik Islam dalam Kurikulum Nilai-nilai Islam politik pada prinsipnya masuk dalam mata pelajaran agama Islam. Mata pelajaran yang secara nyata mengandung muatan politik Islam terdapat dalam 2 mata pelajaran, yakni Fikih/Syariah dan Sejarah Islam. 375


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Syariah/Fikih Mata pelajaran ini dinamakan Syariah dalam kurikulum 1976, dan fikih dalam kurikulum 1973, 1984 dan 1994. Di semua kurikulum, pelajaran ini memuat materi-materi hukum Islam yang relatif sama, yaitu aspek ibadah, mu‘âmalah, jenazah, farâ’idh (waris), ath’imah (makanan dan minuman), munakahât (pernikahan), jinayah (pidana), siyâsah (politik), dan pokok-pokok ilmu usul fikih. Perbedaan terletak pada urut materi ajar yang tidak sama. Kurikulum 1973 didahului oleh materi jinayah (pidana) dan diakhiri oleh farâ’idh (waris). Kurikulum 1976 diawali oleh pemahaman syari’at Islam dan diakhiri dengan konsep masyarakat Islam Indonesia. Sedangkan kurikulum 1984 dan 1994 diawali oleh aspek ibadah (bersuci) dan diakhiri oleh kaidah-kaidah pokok fikih Islam. Pengertian syari’at yang dicantumkan dalam kurikulum 1976 tidak diganti dengan pengertian fikih dalam kurikulum selanjutnya. Hal ini tampaknya usaha untuk mengurangi pemahaman siswa terhadap paradigma dan fungsi Syariah dalam kehidupan umat Islam. Konsepsi Syariah tersebut ditempatkan sebagai pokok bahasan 1 sebelum siswa mempelajari materi-materi hukum Islam. Di dalamnya diberikan pemahaman dasar mengenai pengertian, tujuan, fungsi, kandungan/materi, beberapa prinsip, kesempurnaan, dan hikmah Syariah, dikuatkan oleh dalil-dalil al-Qur’an dan hadis. Semua ini mengarahkan siswa pada pemahaman bahwa Syariah adalah frame yang bersifat komprehensif dan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk aspek politik. Dalam kurikulum selanjutnya pokok bahasan tersebut ditiadakan dan siswa langsung mempelajari materi-materi hukum Islam tanpa diberi pemahaman tentang konsep dasar fikih terlebih dahulu. Di sini terlihat upaya mengurangi pemahaman dan emosi siswa terhadap hukum-hukum Islam, serta memberi pandangan yang parsial terhadap hukum Islam. Di antara sekian banyak materi hukum Islam yang dicantumkan dalam mata pelajaran ini, pokok bahasan yang memuat nilai-nilai politik Islam adalah Khilâfah (Pemerintahan), Majlis Syurâ, Peradilan Islam dan Jihad (dalam kurikulum 1973 hanya Peradilan Islam). Dalam pokok bahasan pemerintahan (khilâfah) siswa diberi materi tentang konsep khilâfah dan hikmahnya, kepala negara (khalâfah) dan proses pemilihannya, serta hak dan kewajiban warga negara dalam sudut pandang Islam. Materi-materi ini merupakan materi-materi pendidikan sistem politik Islam yang mencakup struktur politik (lembaga eksekutif), pendidikan kewarganegaraan, dan kultur politik. Begitu pula dengan Majlis Syurâ (Permusyawaratan) yang mengajarkan struktur dan sistem lembaga legislatif dan Peradilan (Qadha) sebagai bagian dari struktur dan sistem lembaga yudikatif diberikan menurut sudut pandang fikih (Islam). Khusus bagi peradilan Islam, meski dicantumkan pokok bahasan tentang peradilan agama di Indonesia, tapi ketentuan-ketentuan hukum (hudud) untuk kasus-kasus kriminal (pidana) dalam ajaran Islam berdasarkan Qur’an dan hadis telah menampakan kenyataan bahwa struktur politik Islam dan operasionalnya kurang mendapat tempat di Indonesia. Semua bahan-bahan pendidikan politik Islam tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: 376


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Tabel 5 Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran Syariah/Fikih15

1.

2.

3.

4.

5.

Bahan Pengajaran Pemerintahan (Khilâfah) a. Pengertian, dasar, tujuan dan hikmah Khilâfah b. Pengertian Khalifah (kepala negara), syarat,syarat, pengangkatan, baiat dan kewajibannya c. Hak dan kewajiban rakyat Majlis Syurâ (lembaga Permusyawaratan) a. Pengertian Majlis Syura b. Pengertian Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif) c. Syarat-syarat pengangkatan, dan hak dan kewajiban anggota Majlis Syura d. Hal-hal yang dimusyawarahkan e. Hikmah Majlis Syura Peradilan (Qadha) a. Arti, fungsi, dan hikmah peradilan b. Hakim c. Tersangka dan jaksa d. Saksi dan barang bukti e. Penggugat, gugatan, dan tergugat f. Sumpah Perang (Jihâd) a. Pengertian, hukum, dan tujuan jihad b. Syarat dan etika perang c. Tawanan perang d. Kewajiban panglima perang dan prajurit e. Salab, ganimah, dan fa‘i (harta rampasan perang) f. Kewiraan (ketangkasan) Peradilan Agama di Indonesia a. Dasar hukum b. Fungsi

Keterangan Tidak ada dalam kurikulum 1973

Dalam kurikulum 1976 masuk dalam pembahasan Majlis Syurâ Tidak ada dalam kurikulum 1973

Tidak ada dalam kurikulum 1973

Tidak ada dalam kurikulum 1973

Sejarah Islam Pengajaran Sejarah Islam dalam kurikulum Madrasah Aliyah pada dasarnya adalah pengajaran politik karena sebagian besar materi yang diajarkan berupa lintasan perjalanan politik agama Islam dan umatnya. Materi diawali oleh perjalanan dakwah Rasul Dikutip dari Kurikulum Madrasah Aliyah Islam Negeri (MAAIN); Bidang Studi Syari’ah untuk Madrasah Aliyah jilid 1a, 1b, 2a, 2b, 3a, 3b (t.t.p: Bagian Proyek Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 1985/1986); Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Fikih (t.t.p: Departemen Agama, 1989); Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Fikih (t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996). 15

377


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dan aktivitasnya setelah mendirikan komunitas Muslim Madinah (disebut negara Islam pertama) dari sisi politik, yakni berupa berbagai pertempuran yang dilakukan Rasul dan para pengikutnya. Begitu pula halnya dengan perjalanan agama Islam itu sendiri sering digambarkan melalui bentuk-bentuk Daulah (pemerintahan), konflik kekuasaan, dan konfrontasi fisik (perang) dengan kekuasaan-kekuasaan di luar dirinya. Bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah hadir di dunia Islam, seperti pemerintahan Khulafâ’ al-Râsyidîn, Bani (Daulah) Umayah, Bani (Daulah) Abbasyiah, dan Kekhalifahan Turki Utsmani merupakan negara/pemerintahan terpopuler yang dicontohkan oleh pelajaran ini. Semua pemerintahan tersebut, ditambah dengan contoh Bani-Bani kecil lain, melandaskan dirinya secara legal (de jure) pada Islam sebagai dasar negara, serta memiliki wilayah luas (bersifat internasional) dengan sebutan wilayah Islam. Materi ini mentransmisikan internasionalisme Islam, atau dengan kata lain Islam tidak didasarkan pada batas teritorial atau bangsa sehingga secara politis umat Islam tunduk pada satu kekuasaan pusat. Meski seluruh pemerintahan Islam tersebut, kecuali pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin, disebut kerajaan yang berarti berbentuk kerajaan, bukan berarti bentuk kerajaanlah yang ingin ditampilkan dalam sistem pemerintahan Islam oleh pelajaran ini, karena dalam kurikulum 1973 terdapat satu pokok bahasan khusus tentang pandangan Islam terhadap pemerintahan, sistemnya, dan penyebutan ahli tata negara kepada Rasulullah dan 3 orang Khulafâ’ al-Râsyidîn. Penyajian data mengenai perkembangan dan kondisi agama Islam dan umat Islam di wilayah Asia, Afrika, Eropa dan Amerika pun memberi pemahaman bahwa Islam itu bersifat internasional, melewati batas negara dan bangsa. Ini dikuatkan dengan organisasiorganisasi Islam internasional yang bertujuan menyatukan umat Islam sedunia, yang juga dijelaskan dalam pokok bahasan tersendiri. Runtuhnya Daulah-Daulah Islam, berbagai perang dalam mempertahankan agama Islam (seperti perang Salib), penjajahan Barat atas wilayah-wilayah Islam mentransmisikan semangat dan emosi jihad membela agama Islam dan sesama Muslim. Semangat jihad ini bersifat universal sebab fakta kehancuran dan perjuangan umat Islam yang ditampilkan dalam beberapa pokok bahasan tersebut bersifat seragam. Khusus untuk sejarah Islam dan umatnya di Indonesia, pelajaran ini menyajikannya dalam koridor negara-bangsa yang berlandaskan Pancasila. Materi ini dibuat menjadi pokok bahasan tersendiri mulai dari masuknya Islam ke wilayah yang kelak menjadi bagian Indonesia; perkembangannya dalam hubungan dengan penjajah-penjajah Indonesia, penganut agamaagama lain di Indonesia, peran pemerintah dalam mengayomi dan membina umat Islam; serta sumbangan umat Islam terhadap persatuan bangsa Indonesia. Materi-materi ini merupakan arahan terhadap siswa agar menempatkan urusan agama dan umat Islam dalam bingkai nasionalisme Indonesia dan menjadikan Pancasila, bukan Islam, sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Materi-materi pendidikan politik Islam yang terdapat dalam mata pelajaran Sejarah Islam ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: 378


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Tabel 6 Bahan Pengajaran Politik Mata Pelajaran Sejarah Islam16 Bahan Pengajaran 1. Perkembangan Islam masa Nabi 2. Perkembangan Islam masa Khulafâ’ al-Râsyidîn 3. Perkembangan Islam masa Bani Umayah dan keruntuhannya 4. Perkembangan Islam masa Bani Abbasyiah dan keruntuhan peradabannya 5. Peradaban Islam Andalusia dan kehancurannya 6. Perkembangan Islam di luar Bani Abbasyiah 7. Perang Salib 8. Kerajaan (Kekhalifahan) Turki Utsmani 9. Perkembangan Islam di Asia 10. Perkembangan Islam di Amerika 11. Perkembangan Islam di Eropa 12. Islam dan Pemerintahan 13. Penjajahan bangsa Barat terhadap wilayah Islam 14. Kebangkitan dunia Islam 15. Gerakan dan usaha persatuan dunia Islam - Organisasi-organisasi Islam dunia - Kerjasama antar negara-negara Islam (pengertian modern) 16. Islam di Indonesia - Perkembangan Islam sejak zaman kerajaan sampai masa sekarang - Keadaan Islam di Indonesia sebagai negara Pancasila 17. Gerakan/usaha persatuan Islam di Indonesia - Usaha-usaha mempersatukan umat Islam di Indonesia - Peranan persatuan umat Islam dalam pembangunan dan kesatuan bangsa

Keterangan Kecuali kurikulum 1973

Kedua materi ini dalam kurikulum 1984 masuk dalam pembahasan Bani Abbasyiah. Sedangkan dalam kurikulum 1994 keduanya tidak diajarkan. Dalam kurikulum 1973 Kecuali kurikulum 1973 Dalam kurikulum 1973 sebagai sub pokok bahasan no. 8 Dalam kurikulum 1984 dan 1994

Hubungan Antara Muatan Politik Kebangsaan dengan Muatan Politik Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Aliyah Mencermati materi-materi pendidikan politik dalam 6 mata pelajaran yang telah dijabarkan, paling tidak terdapat 3 pola hubungan. Pertama, menampilkan nilai-nilai politik kebangsaan dari sudut pandang Islam. Materi sistem politik Islam dan sudut pandang

Dikutip dari Kurikulum Madrasah Aliyah Islam Negeri (MAAIN); Sejarah dan Kebudayaan Islam untuk Madrasah Aliyah, jilid IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB (Semarang: CV Toha Putra, 1981); Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Sejarah dan Peradaban Islam (t.t.p: Departemen Agama, 1989); Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Sejarah dan Kebudayaan Islam (t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996). 16

379


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 fikih (hukum Islam) terhadap hukum dan kerjasama antar bangsa dalam mata pelajaran Tata Negara adalah contoh pola ini. Hal ini memberi pemahaman kepada siswa bahwa nation-state bukan masalah dilihat dari hukum Islam, dan sistem politik yang dibangun di dalamnya dengan demikian berada dalam bingkai nasionalisme sebagai ideologi politik negara kebangsaan. Kemudian dalam pelajaran PMP sila pertama Pancasila dijelaskan melalui konsep takwa dalam Islam. Tema ini memberi indikasi bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tidak bertentangan bahkan selaras dengan ajaran Islam. Tabel 7 Pokok Bahasan Pola Hubungan 1 Pokok Bahasan

Mata Pelajaran

1. Sistem Politik Islam 2. Hukum dan Perjanjian Internasional menurut Fiqh Dirâsah 3. Kerjasama Regional dan Internasional menurut Fiqh Dirâsah 4. Takwa

Tata Negara Tata Negara Tata Negara Kewarganegaraan/PMP/PPKn

Kedua, menampilkan materi-materi politik Islam dalam koridor kebangsaan. Kerajaankerajaan Islam di Indonesia yang dihadirkan dalam pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dapat menjadi salah satu contoh. Materi ini berusaha mengintegrasikan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam ke dalam nation-state Indonesia. Dalam pelajaran Fikih terdapat pokok bahasan tentang Peradilan Agama (Islam) di Indonesia, dan dalam pelajaran Sejarah Islam terdapat materi mengenai perjalanan Islam di Indonesia dari sisi politik, yakni mulai dari kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di masa lampau di wilayah yang kelak disebut Indonesia sampai dengan persatuan umat Islam Indonesia dalam kesatuan negara-bangsa yang berlandaskan Pancasila, bukan berlandaskan Islam. Walaupun diistilahkan dengan Peradilan Agama (yang berarti terdapat Peradilan Non-Agama), materi ini mengkondisikan eksistensi dan peran lembaga peradilan Islam -sebagai bagian dari struktur politik- dalam kerangka sistem politik nasional Indonesia. Hal ini mengajarkan bahwa nasionalisme bukan masalah bagi tegaknya struktur politik Islam, bahkan dapat berfungsi sebagi payung baginya. Selanjutnya keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah-wilayah yang disebut sebagai wilayah Indonesia disertai perjalanannya sampai berubah menjadi negara-bangsa Indonesia memberi penjelasan tunggal, yaitu bentuk negara dalam Islam bersifat fleksibel karena dapat berbentuk kerajaan yang berlandaskan Islam maupun berbentuk Republik yang tidak berlandaskan Islam, seperti Pancasila. Begitu pula ulama sebagai simbol tokoh agama Islam dalam materi PSPB diperlihatkan eksistensinya dalam frame nasional Indonesia dengan judul “Musyawarah Nasional Ulama se-Indonesia”; dan persatuan Islam yang ditempatkan dalam skala nasional sebagaimana yang terdapat dalam mata pelajaran Sejarah Islam dengan pokok bahasan “Gerakan/Usaha Persatuan Islam di Indonesia dalam 380


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Pembangunan dan Kesatuan Bangsa�. Materi-materi ini menjelaskan bahwa pendidikan politik yang terdapat dalam kurikulum Madrasah Aliyah berusaha mengarahkan siswa untuk melihat Islam dari sudut pandang nasionalisme, bukan nasionalisme dipandang dari konsep Islam. Kondisi ini sebenarnya tidak menguntungkan karena sudut pandang Islam yang tepat terhadap konsep kebangsaan akan memberi bekal kepada anak didik untuk menerima nasionalisme Indonesia sebagai paradigma yang benar dan tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam. Tabel 8 Pokok Bahasan Pola Hubungan 2 Pokok Bahasan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Peradilan Agama di Indonesia Islam di Indonesia Gerakan/Usaha Persatuan Islam di Indonesia dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa 5. Musyawarah Nasional Ulama se-Indonesia 1. 2. 3. 4.

Mata Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia Fikih Sejarah Islam Sejarah Islam PSPB

Ketiga, Menampilkan materi-materi Islam politik dan diimbangi dengan materimateri politik kebangsaan. Penjajahan bangsa Barat terhadap wilayah Islam yang memunculkan nasionalisme di dunia Islam sebagaimana yang terdapat dalam mata pelajaran Sejarah Islam merupakan contohnya. Pokok bahasan ini dapat membatasi pandangan siswa terhadap internasionalisme Islam politik yang ditransmisikan melalui materi pertumbuhan Islam ke berbagai wilayah Arab pada masa Nabi dan penyebarannya ke daerahdaerah di luarnya setelah itu, sehingga menjadi satu kawasan Islam yang diperintah oleh satu kekuasaan politik seperti Daulah Umayah, Abbasyiah dan Turki Utsmani. Pembatasan yang sama juga ditemukan dalam perkembangan politik dunia setelah Perang Dunia I maupun Perang Dunia II dalam mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Pertumbuhan nasionalisme di dunia Eropa, Asia dan Afrika dengan latar belakangnya masing-masing memberi pemahaman yang seimbang terhadap siswa bahwa politik nasionalisme sebagaimana internasionalisme politik Islam adalah keniscayaan sejarah yang berjalan sesuai dengan kondisi dunia pada saat itu. Pandangan ini diperkuat dengan ditampilkannya kerjasama non-politik antar organisasi-organisasi Islam tingkat dunia dan kerjasama antar negaranegara Islam yang bercorak kebangsaan saat ini. Dasar pandangan tentang internasionalisme Islam politik dan nasionalisme tersebut akan membawa siswa pada pemahaman yang sama tatkala dihadapkan pada pergerakan nasional Indonesia. Perlawanan terhadap para penjajah di daerah-daerah Indonesia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang didominasi oleh upaya-upaya organisasi-organisasi kebangsaan menempatkan nasionalisme Indonesia sebagai keharusan alami sebagaimana negara-negara kebangsaan lain yang lahir pada saat yang relatif sama. Dengan demikian nasionalisme sebagai ideologi politik diterima siswa 381


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 sebagai satu kenyataan sejarah, bukan satu konsep matang yang siap didiskusikan oleh para siswa tingkat menengah. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pengajaran politik kebangsaan di tingkat siswa menengah keagamaan tersebut bukan sesuatu yang dididikan tetapi sesuatu yang hanya diinformasikan. Meski demikian perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maupun berbagai pemberontakan terhadap bentuk nasionalisme Indonesia dapat melahirkan semangat cinta tanah air dan jiwa patriotisme dalam membela paradigma kebangsaan dan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Berlainan dengan hal itu, dalam konsep Islam terdapat jihad sebagai bentuk patriotisme yang berfungsi membela agama Islam secara universal, tanpa sekat teritorial. Konsep ini menempatkan agama Islam, bukan bangsa, sebagai prioritas pembelaan. Begitu pula dengan sistem pengaturan harta rampasan perang yang terdapat dasar hukumnya dalam fikih meniscayakan ketidakseimbangan antara patriotisme bangsa dengan patriotisme Islam (jihad). Kondisi ini membutuhkan pengajaran konsep jihad dalam sudut pandang fikih kontemporer. Keseimbangan terjadi tatkala konsep jihad ini dilihat dalam kerangka perlawanan terhadap kolonialisme sebagai bentuk ketidakadilan, perampasan tanah air, dan ancaman terhadap eksistensi keberagamaan (Islam). Dalam hal ini apabila patriotisme kebangsaan dinilai dari sudut pandang jihad, bukan sebaliknya, maka pembelaan terhadap nation-state Indonesia merupakan bagian dari jihad Islam. Begitu pula dengan Khilâfah, yang terdapat dalam materi pelajaran Fikih, sebagai bentuk pemerintahan dalam sistem politik Islam lebih bersifat internasional sebagai internasionalisme Islam politik dibandingkan dengan konsep nasionalisme dalam suatu nation-state seperti Indonesia. Bentuk Khilâfah –sebagai negara yang berdasarkan Islam- yang didukung oleh fakta sejarah umat Islam pernah mempergunakan sistem pemerintahan ini, disertai jaminan terhadap pemberlakuan syariat Islam (termasuk di dalamnya struktur dan kultur politik Islam) akan meniscayakan ketidakseimbangan yang sama dalam konteks kebangsaan Indonesia. Karenanya konsep pemahaman tentang bentuk dan struktur negara dari sudut pandang fikih kontemporer perlu dimasukan dalam mata pelajaran yang sesuai. Jika tidak, Pancasila yang dihadirkan dalam semua kurikulum sebagai dasar nasionalisme Indonesia pun akan sulit diterima, karena negara Indonesia dilihat sebagai negara yang tidak didasarkan pada Islam dan ini berarti syariat Islam tidak dilaksanakan di Indonesia. Kelahiran Pancasila dan dinamika kehidupan politik bangsa Indonesia pasca kemerdekaan yang diajarkan kepada siswa memiliki andil nilai keseimbangan terhadap keputusan Pancasila sebagai dasar negara. Konflik ideologi politik yang dipelajari siswa pada pokok bahasan tersebut dapat memberi pemahaman bahwa Pancasila merupakan kesepakatan bersama (declarated truth)17 antara unsur-unsur yang membentuk Indonesia sebagai bangsa. Berkaitan dengan struktur politik seperti lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta pemilu baik yang dibahas dalam pelajaran fikih sebagai bagian dari sistem politik Islam maupun pelajaran PPKn, PSPB dan

Istilah tersebut diambil dari Nurcholis Madjid, “Relevansi Pancasila di Era Globalisasi,� dalam Sulastomo dan Tommi A. Legowo (ed.), Memadukan Langkah Membangun Indonesia Masa Depan (Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2003), h. 65. 17

382


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Tata Negara dalam paradigma sistem politik nasional Indonesia tidak ditampilkan sebagai dua sistem yang bertolak belakang. Bahkan konsep struktur politik Islam sebagaimana disebut di atas memperlihatkan unsur-unsur kesamaan dengan struktur politik yang dijalankan di Indonesia. Ini artinya struktur politik Islam tersebut merupakan sub sistem politik nasional Indonesia dan paradigma Islam dalam konteks nasionalisme diperlihatkan kepada siswa. Pola keseimbangan ini dapat diklasifikasikan dalam tabel berikut: Tabel 9 Klasifikasi Pola Hubungan 3 No Politik Islam 1. Internasionalisme Islam Politik 2. 3.

4.

Struktur Politik Islam Bentuk negara dan sistem pemerintahan Jihad

-

Nasionalisme Perkembangan Nasionalisme di dunia Nasionalisme Indonesia Struktur Politik Indonesia Bentuk negara dan sistem pemerintahan di wilayah-wilayah Islam Bentuk negara dan sistem pemerintahan di Indonesia Patriotisme Bangsa

Perbandingan Pendidikan Politik Era Orde Baru dan Era Reformasi Dikaitkan dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang berganti menjadi Orde Reformasi, terdapat dua hal yang perlu dicermati dari pendidikan politik yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru ke dalam kurikulum Madrasah Aliyah pada masa itu. Pertama. Materi-materi pelajaran yang berisi tentang kesuksesan pemerintah Orde Baru dan sistem politik yang dijalankannya yang bersifat melanggengkan kekuasaan atau status quo sebagaimana dalam mata pelajaran PPKn dan Sejarah Nasional diganti sesuai dengan kenyataan sejarah yang telah terjadi. Begitu pula dengan sistem politik dan pemilu Indonesia yang sekarang telah berubah banyak dibandingkan dengan sistem politik dan pemilu pada masa Orde Baru seperti yang disajikan dalam mata pelajaran Tata Negara. Jumlah partai politik yang kini tidak dibatasi, pemilihan anggota legislatif pusat dan daerah yang tidak lagi berdasarkan nomor urut jadi dari partai politik, pemilihan kepala pemerintahan pusat (presiden) dan daerah yang sekarang dipilih langsung. Materi-materi tentang demokrasi dan HAM yang pada masa Orde Baru memang telah ada dilanjutkan dengan penyesuaian pada internasionalisasi demokrasi dan HAM itu sendiri. Meski demikian, masyarakat Indonesia yang masih ambigu dalam menerapkan demokrasi dan HAM ala ‘Barat’ mesti disikapi dengan pembahasan kemungkinan demokrasi dan HAM ala Indonesia. Begitu pula dengan materimateri pendidikan politik Islam seperti struktur politik Islam dan pemilihan kepala negara melalui Majlis Syurâ yang dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa Orde Baru dianggap selaras dengan pemilihan presiden oleh MPR, tetapi kini sudah tidak lagi sama karena Presiden 383


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dipilih langsung oleh rakyat dapat mengindikasikan bahwa sistem pemilu di Indonesia kini lebih tidak Islami dibandingkan masa Orde Baru. Kedua. Upaya untuk membangun hubungan antara dua paradigm politik yang relatif tidak sama, pendidikan politik Islam dan pendidikan politik kebangsaan, dalam kurikulum Madrasah Aliyah Orde Baru di atas pada dasarnya dapat dipahami sebagai upaya sebuah negara untuk meredam paham-paham yang bersifat radikal dan aksi-aksi pemberontakan yang dikhawatirkan merusak keberadaan negara yang telah dibentuk lengkap dengan sistem politiknya. Meski rezim Orde Baru telah berganti menjadi Orde Reformasi, usaha itu pun perlu tetap dilanjutkan oleh pemerintahan pasca Orde Baru disertai perubahan-perubahan yang sesuai. Masa reformasi sekarang ini yang sangat kental dengan keterbukaan informasi, kebebasan mengeluarkan pendapat dan berkumpul, justru menjadi sebuah situasi yang jauh lebih rawan bagi generasi muda untuk menerima beragam informasi yang bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa serta bagaimana mereka mesti bersikap. Meski lembaga pendidikan madrasah telah diakui sebagai lembaga pendidikan formal yang setara dengan SMU sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003, tetapi madrasah tetap dipandang sebagai representasi kelompok Islam karena materi-materi keagamaan Islamnya lebih banyak dan berfariasi, serta dikelola oleh orang-orang yang pada kenyataannya terdapat beberapa dari mereka yang masih ‘radikal’, dalam arti belum menerima Pancasila sebagai ideologi negara dan sistem politik Indonesia yang dianggap ‘sekuler’. Pendidikan politik yang realistik dan seimbang merupakan hal sangat penting dalam membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Karakter bangsa yang menjadi salah satu tujuan pembentukan siswa di lembaga-lembaga pendidikan tidak sekedar pada aspek moral atau akhlak saja, tapi juga bagaimana sikap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Sejumlah ahli menyatakan bahwa pendidikan politik di lembaga pendidikan formal diperlukan agar para siswa memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang politik, mampu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan baik yang berkaitan dengan kekuasaan maupun tidak, serta menerima dan toleran terhadap nilai-nilai politik dan sosial yang berbeda. Pendidikan politik yang seperti inilah yang diperlukan oleh remaja dalam suasana reformasi sekarang ini. The main aim of the program has been to enchance ‘political literacy’ by which we mean the knowledge, skills and attitudes need to make a man or woman informed about politics, able to participate in public life and groups of all kinds both occupational and voluntary; and to recognize and tolerate diversities of political and social values.18 […Tujuan utama program (pendidikan politik) adalah agar terjadi melek politik, yaitu pengetahuan, kete-

B. Crick dan Alex Porter, Political Education and Political Literacy (London: Longman Group, 1978), h. 1. 18

384


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

rampilan, dan sikap yang dibutuhkan oleh pria maupun wanita agar tahu tentang politik, mampu ikut serta dalam kehidupan bermasyarakat maupun kelompok yang berkaitan dengan jabatan ataupun tidak, serta menerima dan toleran terhadap beragam nilai politik dan sosial].

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Madrasah Aliyah di masa Orde Baru mengajarkan muatan-muatan politik nasionalisme dan politik Islam dalam kurikulumnya dengan materi-materi pendidikan politik kebangsaan (nasionalisme) lebih banyak dibandingkan dengan materi-materi pendidikan politik Islam. Pendidikan politik kebangsaan dimasukkan dalam 4 mata pelajaran, yaitu Kewarganegaraan/PMP/PPKn, Sejarah Nasional Indonesia, PSPB, dan Tata Negara. Sedangkan pendidikan politik Islam didapatkan dalam 2 mata pelajaran, yakni Fikih/Syariah dan Sejarah Islam. Materi-materi pendidikan politik kebangsaan secara umum berisi tentang perkembangan nasionalisme dunia, nasionalisme Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, serta pemerintah Orde Baru (status quo). Semua materi politik kebangsaan tersebut mengarahkan siswa pada pemahaman dan penerimaan bahwa Indonesia adalah sebuah nation-state dengan Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai kerangka konstitusi politik negara, dan Orde Baru adalah pengemban dan pengayom ideologi nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Sedangkan pendidikan politik Islam mengajarkan materi-materi yang beruang lingkup internasionalisme Islam politik, nasionalisme Islam politik, dan Islam politik di Indonesia. Walau terdapat materi tentang internasionalisme Islam politik, tapi penyajiannya dibatasi dan ditarik kemudian dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Penarikan ini mengarahkan siswa untuk melihat Islam dalam sudut pandang nasionalisme, tanpa disertai dengan pandangan konsep Islam terhadap nasionalisme itu sendiri. Hubungan antara muatan politik kebangsaan dan keislaman terjadi melalui 3 pola, yaitu menampilkan nilai-nilai politik kebangsaan dari sudut pandang Islam, menampilkan materi-materi Islam politik dalam koridor kebangsaan, dan menampilkan materi-materi Islam politik yang diimbangi oleh materi-materi politik kebangsaan. Ketiga pola ini dapat dinilai bahwa hubungan antara muatan politik kebangsaan dan muatan politik Islam berusaha ditampilkan dalam format keseimbangan (congruence), yakni mendampingkan dua unsur atau lebih yang tidak sama menjadi satu kerangka yang sebangun (harmoni). Mengingat keseimbangan yang dibutuhkan antara pendidikan politik kebangsaan dan keislaman bagi siswa Madrasah Aliyah, nasionalisme sebagai sebuah ideologi politik perlu diberikan tidak hanya dalam bentuk perjalanan sejarah sebagaimana yang terdapat dalam mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia, tapi juga konsep matang yang siap didiskusikan oleh mereka dalam mata pelajaran yang sesuai seperti Tata Negara dan Fikih ber385


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dasarkan sudut pandang Islam moderat. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara konsep nasionalisme dengan kenyataan sejarah yang sudah dan sedang terjadi. Dalam konteks yang sama, mata pelajaran Fikih perlu pula menampilkan pandangan-pandangan baru Fikih tentang bentuk dan struktur negara, serta sistem politik, ditambah penerapannya di dunia Islam dalam mata pelajaran yang sesuai seperti Sejarah Islam dan Sejarah Nasional Indonesia. Untuk menghindari kemungkinan radikalisme Islam, mata pelajaran Sejarah Islam dan Fikih lebih baik tidak lagi memberikan pokok bahasan yang berkonotasi kekerasan seperti Perang Salib dan Jihad. Begitu pula untuk materi-materi sejarah perkembangan Islam sejak masa Nabi sampai dengan Turki Utsmani, lebih baik difokuskan pada pembahasan peradabannya, tidak pada pembahasan perang.

Pustaka Acuan Apter, David E. Pengantar Analisa Politik, terj. Setiawan Abadi, cet. 2. Jakarta: LP3ES, 1987. Aristoteles. Al-Siyâsah, terj. Ahmad Luthfi Sayyid. Kairo: Dâr al-Qoumiyah li al-Thiba‘ah wa al-Nasyr, t.t. Bidang Studi Syariah untuk Madrasah Aliyah jilid 1a, 1b, 2a, 2b, 3a, 3b. t.t.p: Bagian Proyek Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, 1985/1986. Bungin, Burhan (ed.). Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Crick, B., dan Alex Porter. Political Education and Political Literacy. London: Longman Group, 1978. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda dan Keputusan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda Nomor: 01/BK Tahun 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, 1985. Kurikulum 1984 Madrasah Aliyah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Mata Pelajaran: Pendidikan Moral Pancasila (PMP). t.t.p: Departemen Agama, 1989. Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Fikih. t.t.p: Departemen Agama, 1989. Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). t.t.p: Departemen Agama, 1989. Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Sejarah dan Peradaban Islam. t.t.p: Departemen Agama, 1989 Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Sejarah dan Kebudayaan Islam. t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996. Kurikulum 1984, Mata Pelajaran: Sejarah Nasional dan Dunia. t.t.p: Departemen Agama, 1989. 386


Maftuhah: Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam

Kurikulum 1984, Mata pelajaran: Tata Negara. t.t.p: Departemen Agama, 1989. Kurikulum Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pendidikan Agama, 1973. Kurikulum Madrasah Aliyah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Mata Pelajaran: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). t.t.p: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996. Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Fikih. t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996. Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata Pelajaran: Sejarah Nasional dan Umum. t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996. Kurikulum Madrasah Aliyah, Mata pelajaran: Tata Negara. t.t.p: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 1995/1996. Nafsichin, Syafiie, et al., Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA/MAN. Jakarta: Dharma Bhakti, 1981. Naning, Ramdlon (ed.). Pendidikan Politik dan Regenerasi. Yogyakarta: Liberty, 1982 Piaget, Jean. Strukturalisme, terj. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995 Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. Solo: Intermedia, 2000 Sejarah dan Kebudayaan Islam untuk Madrasah Aliyah, jilid IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB. Semarang: Toha Putra, 1981. SM, Ismail SM, dan Abdul Mukti (ed.). Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Sulastomo dan Tommi A. Legowo (ed.), Memadukan Langkah Membangun Indonesia Masa Depan. Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2003. Zais, Robert S. Curriculum Principles and Foundations. New York: Harper & Row Publisher, 1976.

387


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

PSIKOTERAPI DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING ISLAMI Lahmuddin Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: lahmuddinlubis@yahoo.co.id.

Abstrak: Psikoterapi merupakan proses penyembuhan kejiwaan konseli/ klien melalui beberapa terapi tertentu. Dalam tulisan ini penulis mengkaji bagaimana landasan dasar psikoterapi dalam Islam. Penulis memperlihatkan bahwa Islam memiliki dasardasar yang kukuh dalam proses psikopterapi. Proses penyembuhan atau perawatan dilaksanakan melalui intervensi psikis dengan metode dan teknik yang didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam perspektif bimbingan konseling Islami, perawatan (treatment) yang disarankan/dianjurkan oleh konselor (terapis) kepada klien dalam mengatasi/mengurangi permasalahan klien, baik permasalahan yang berkaitan dengan kejiwaan, spiritual, moral (akhlak), dan fisik (jasmaniyah) adalah dengan terapi kejiwaan melalui ibadah-ibadah wajib dalam agama, peningkatan kesabaran, taubat, zikir dan doa. Abstract: Psychotherapy in the Perspective of Islamic Counseling Guidance. Psychotherapy is healing proses of client’s psychic state by certain theraphic means. In this writing, the author studies the main principles of psychotherapy in Islam. The author throuw some lights that Islam laid down firm foundations in psychotherapic process. The treatment procedure is done through psychic intervention the technique and method of which are based on the precepts of the Qur’an and the Prophetic tradition (sunnah). In the perspective of Islamic counseling guidance, recommended treatment by the counselor to the client in solving the latters’ problems in such as those related to psychic, moral, spiritual physical, are through religious compulsory rituals, keeping up patience, repented and ask for God forgiveness as well as parayers.

Kata kunci : Psikoterapi, penyembuhan, rawatan, bimbingan konseling Islami

Pendahuluan Bimbingan dan Konseling Islami merupakan salah satu disiplin ilmu yang semakin hari semakin diperlukan oleh masyarakat dan merupakan bagian penting serta integral 388


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus dibangun dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasilhasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktik, semakin lebih baik dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Khususnya bagi para penerima jasa layanan. Secara teoritis, bimbingan dan konseling memiliki sejumlah tujuan. Menurut Tang Chee Yee, tujuannya adalah menolong konseli/klien mempelajari, memahami pengalaman, nilai, sikap dan perlakuan, melayani keperluan klien untuk mengembangkan potensi dan kemampuan mereka, menolong klien memahami diri mereka dan orang lain dengan mendalam, menolong klien memilih dan merancang hidup mereka dengan baik, melayani keperluan klien supaya ia dapat berkembang ke tahap yang sepatutnya, menolong klien menyadari kekuatan dan kelemahan mereka, menjadikan klien lebih tegas, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, mewujudkan keseimbangan fisik dan mental klien, dan menolong klien supaya berkemampuan membuat penyesuaian dan perubahan tingkah laku yang perlu. Sebagaimana tujuannya, bahwa Bimbingan dan Konseling Islami ingin membantu berbagai permasalahan hidup seorang klien. Salah satu tema sentral dalam bidang studi ini adalah psikoterapi. Dalam hal ini, psikoterapi (psychotherapy) adalah suatu proses penyembuhan atau perawatan (treatment) yang dilakukan oleh konselor (terapis) yang profesional kepada klien melalui pendekatan psikologi, al-Qur’an dan hadis, dengan tujuan agar klien dapat keluar dari masalah yang dihadapinya, baik masalah kejiwaan, spiritual (keagamaan), akhlak maupun masalah fisik. Psikoterapi dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti meningkatkan keimanan dan ibadah klien, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an, terapi kejiwaan melalui salat, melalui zakat, melalui puasa, melalui haji, melalui kesabaran, melalui istighfar dan taubat serta terapi melalui zikir dan doa. Tulisan ini akan membahas psikoterapi dalam perspektif Bimbingan Konseling Islami. Secara khusus, akan dibahas pengertian dan model Psikoterapi, penyebab munculnya masalah dalam diri manusia, dan model-model Psikoterapi dalam al-Qur’an dan hadis, serta tujuan Psikoterapi dalam Bimbingan Konseling Islami.

Pengertian dan Model Psikoterapi Terdapat dua istilah yang sering digunakan konselor dalam memberikan penyembuhan atau treatment terhadap klien, yaitu terapi (therapy) dan psikoterapi (psychotherapy). Menurut Andi Mappiare, terapi (therapy) adalah suatu proses korektif atau kuratif, atau penyembuhan,

389


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 lazim dipakai dalam bidang medikal (kedokteran), istilah terapi kerap digunakan secara bergantian dengan konseling (counseling) dan psikoterapi (psychotherapy). 1 Sedangkan psikoterapi (psychotherapy) berasal dari dua suku kata yaitu psycho dan therapy. Psycho berarti jiwa, dan therapy berarti penyembuhan. Dengan demikian, psikoterapi (psychotheapy) adalah penyembuhan jiwa.2 Psikoterapi juga dapat diartikan sebagai pengobatan, yaitu pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis.3 Kata terapi (therapy) dalam bahasa Inggeris memiliki arti pengobatan dan penyembuhan, sedangkan dalam bahasa Arab kata terapi sepadan dengan al-istisyfâ’ yang berasal dari syafâ-yasyfi-syifâ’ yang artinya menyembuhkan. Istilah ini telah digunakan oleh Muhammad ‘Abd al-‘Azîz al-Khâlidî.4 Kata-kata syifâ’ banyak dijumpai dalam al-Qur’an, di antaranya pada surah Yûnus/10: 57 dan al-Isrâ’/17: 82, yaitu:

∩∈∠∪ t⎦⎫ÏΨÏΒ÷σßϑù=Ïj9 ×πuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ Í‘ρ߉Á9$# ’Îû $yϑÏj9 Ö™!$xÏ©uρ öΝà6În/§‘ ⎯ÏiΒ ×πsàÏãöθ¨Β Νä3ø?u™!$y_ ô‰s% â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orangorang yang beriman (Q.S. Yûnus/10: 57).5

∩∇⊄∪ #Y‘$|¡yz ωÎ) t⎦⎫ÏϑÎ=≈©à9$# ߉ƒÌ“tƒ Ÿωuρ t⎦⎫ÏΖÏΒ÷σßϑù=Ïj9 ×πuΗ÷qu‘uρ Ö™!$xÏ© uθèδ $tΒ Èβ#u™öà)ø9$# z⎯ÏΒ ãΑi”Í t∴çΡρu Dan kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orangorang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (Q.S. al-Isrâ’/17: 82).6 Psikoterapi (psychotherapy) yaitu pengobatan jiwa dengan cara kebatinan atau penerapan teknik khusus (termasuk pendekatan konseling) pada penyembuhan penyakit mental atau kesulitan-kesulitan penyesuaian diri setiap hari, atau penyembuhan melalui keyakinan agama dan diskusi dengan para pakar, baik guru, ustaz maupun konselor. Psikoterapi dapat juga dikatakan perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologis terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional, di mana seorang ahli sengaja menciptakan hubungan profesional dengan klien/pasien dengan tujuan menghilangkan,

Andi Mappiare, Kamus Istilah Konseling & Terapi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 334. 2 Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), h. 186. 3 Iin Tri Rahayu, Psikoterapi Perspektif Islam & Psikologi Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 191. 4 Ibid, h. 188 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lintas Media, 2006), h. 289. 6 Ibid, h. 396. 1

390


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

mengubah, atau menurunkan gejala-gejala yang ada; memperbaiki tingkah laku yang rusak; serta meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian yang positif.7 Dengan demikian, terapi atau psikoterapi tidak bisa terlepaskan dari bimbingan konseling, karena pada dasarnya manusia tidak bisa luput dari permasalahan, baik permasalahan itu kecil dan sederhana di mana seseorang bisa mengatasinya dengan kekuatan mental dan agama yang ia yakini, maupun masalah yang besar, sulit dan rumit, di mana seseorang tidak bisa keluar dari tanpa bantuan, arahan, dan bimbingan orang lain, dalam hal ini termasuk peranan konselor yang profesional. Diyakini atau tidak, sesungguhnya manusia tidak pernah luput dari masalah, mulai dari masalah yang paling sederhana hingga masalah yang rumit dan kompleks, baik masalah itu berkaitan dengan pribadi, pendidikan, karier, ekonomi, keluarga, agama maupun masalah sosial.8 Menurut Samuel T. Gladding,9 masalah yang paling banyak melanda manusia adalah masalah karir, pendidikan, pribadi dan sosial. Sementara itu, menurut Iin Tri Rahayu,10 objek psikoterapi Islam adalah adalah manusia secara utuh yaitu yang berkaitan dengan gangguan pada empat hal berikut. Pertama, mental, yaitu yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran akal dan ingatan, seperti mudah lupa, malas berpikir, tidak mampu berkosentrasi, picik, tidak dapat mengambil suatu keputusan dengan baik dan benar, bahkan tidak memiliki kemampuan membedakan antara yang halal dan haram, antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Kedua, spiritual, yaitu yang berhubungan dengan masalah ruh, semangat atau jiwa, religius, yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan dan menyangkut transendental seperti syirik, nifak, fasik, kufur, lemah keyakinan dan tertutup atau terhijabnya alam ruh, alam malakut dan alam gaib, semua akibat kedurhakaan dan pengingkaran kepada Allah. Ketiga, moral (akhlak), yaitu suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang akan melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian, sikap mental atau watak yang terjabarkan dalam bentuk berpikir, berbicara, dan bertingkah laku. Keempat, fisik (jasmaniyah). Memang dapat diakui bahwa tidak semua gangguan fisik dapat disembuhkan dengan psikoterapi Islam, kecuali atas izin dan ma‘unah Allah SWT. Dalam perspektif Bimbingan Konseling Islami, psikoterapi bisa dilakukan secara individual maupun secara kelompok. Menurut Gerald Corey,11 Psikoterapi tersebut dapat Amin, Bimbingan dan Konseling, h. 189. Lahmuddin Lubis, Landasan Formal Bimbingan Konseling di Indonesia (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 197. 9 Samuel T. Gladding, Counseling A Comprehensive Profession (Englewood Cliffs: Prentice Hall. Inc, 1996), h. 329. 10 Rahayu, Psikoterapi Perspektif, h. 210-211. 11 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, terj. Koeswara (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 6-8. 7 8

391


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 berorientasi kepada beberapa aspek, baik kognitif, tingkah laku dan tindakan. Gerald Corey menjelaskan bahwa ada delapan model konseling dan psikoterapi yang bisa dilakukan konselor terhadap klien yang bermasalah atau yang mengalami gangguan, yaitu: 1. Terapi Psikoanalitik. Tokoh utama terapi ini adalah Freud, Carl Jung, Adler, Sullivan, Rank, Horney dan Erikson. Terapi psikoanalitik adalah suatu teori kepribadian, sistem filsafat dan metode psikoterapi. 2. Terapi Eksistensial Humanistik. Tokoh utama terapi ini adalah May, Maslow, Frankl dan Jourard. Pendekatan ini dikembangkan sebagai reaksi melawan psikoanalisis dan Behaviorisme yang dianggap tidak adil dalam mempelajari manusia. 3. Terapi Client Centered. Tokoh utama terapi ini adalah Carl Roger’s. Terapi Client Centered menaruh kepercayaan dan meminta tanggung jawab yang lebih besar kepada klien dalam menangani berbagai permasalahan. Dengan kata lain, terapi ini lebih dipusatkan kepada klien untuk mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang dihadapi klien, konselor hanya sebagai mediator dan motivator, sedangkan pemilihan dan penentuan jenis terapi diserahkan sepenuhnya kepada klien. 4. Terapi Gestalt. Tokoh utama atau pendiri terapi ini adalah Fritz Perls. Terapi ini merupakan eksperimental yang menekankan kesadaran dan integrasi, yang muncul sebagai reaksi melawan terapi analitik, serta mengintegrasikan fungsi jiwa dan badan. 5. Terapi Transaksional. Tokoh utama terapi ini adalah Eric Berne. Terapi ini cenderung ke arah aspek-aspek kognitif dan behavioral, dan dirancang untuk membantu orangorang dalam mengevaluasi putusan-putusan yang telah dibuatnya menurut kelayakan sekarang. 6. Terapi Tingkah laku. Tokoh utama dari terapi ini adalah Wolpe, Eysenck, Lazarus dan Salter. Terapi ini merupakan penerapan prinsip-prinsip belajar pada penyelesaian gangguang-gangguan tingkah laku yang spesifik. Hasil-hasilnya merupakan bahan bagi eksperimentasi lebih lanjut. Terapi tingkah laku secara sinambung berada dalam proses penyempurnaan. 7. Terapi Emosional Emotif. Tokoh utama terapi ini adalah Albert Ellis. Suatu model yang amat didaktik, berorientasi kognitif tindakan, serta menekankan peran pemikiran dan sistem-sistem kepercayaan sebagai akar masalah-masalah pribadi. 8. Terapi Realitas. Tokoh utama terapi ini adalah William Glasser. Suatu model terapi yang dikembangkan sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi realitas adalah terapi jangka pendek yang berfokus pada saat sekarang, menekankan kekuatan pribadi, dan pada dasarnya merupakan jalan di mana para klien bisa belajar tingkah laku yang lebih realistik dan karenanya bisa mencapai keberhasilan. Kedelapan model konseling dan psikoterapi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah psikodinamika yang berlandaskan pada pemahaman, motivasi serta rekonstruksi kepribadian, dan merupakan terapi psikoanalitik. Kategori 392


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

kedua adalah terapi-terapi yang berorientasi eksperiensial dan relasi yang berlandaskan psikologi humanistik meliputi terapi-terapi eksistensial, terapi clien-centered dan terapi Gestalt. Kategori ketiga adalah terapi-terapi berorientasi pada tingkah laku, rasionalkognitif dan tindakan yang mencakup analisis Transaksional, terapi-terapi tingkah laku, terapi rasional-emostif, dan terapi relaitias. Sedangkan proses terapi dan penyembuhan melalui pendekatan Islami sering disebut dengan istilah istisyfâ’. Salah satu metodenya adalah doa. Menurut Isep Zainal Arifin,12 psikoterapi Islam dapat diistilahkan sebagai al-istsyfâ’ bi al-Qur’ân wa al-Du‘â’, yaitu penyembuhan terhadap penyakit-penyakit dan gangguan psikis yang didasarkan kepada tuntunan nilai-nilai al-Qur’an dan doa. Doa bagi umat Islam merupakan suatu kekuatan yang luar biasa. Doa merupakan suatu alat yang paling kuat untuk menolak sesuatu yang tidak diinginkan, juga doa dapat mendatangkan sesuatu yang diminta. Tetapi pengaruh doa itu akan berbeda-beda menurut kadar iman, keyakinan dan harapan seseorang. Jika ada doa yang tidak dikabulkan oleh Allah SWT., hal itu bisa saja disebabkan karena di dalam hati orang yang berdoa terdapat rasa permusuhan, atau mungkin karena lemah imannya atau kurang bersungguh-sungguh ketika berdoa kepada Allah SWT. Tidak terkabulnya doa ada kalanya karena adanya hal yang menghambat terkabulnya doa itu seperti memakan barang haram, dosa-dosa yang melekat di dalam hati, terlalu cinta kepada dunia dan kelengahan (kelalaian) hati. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh alTirmidzî “ud‘ullâha wa antum muqinuna bi al-ijâbah” (berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doamu akan dikabulkan). Sementara itu, menurut Ibnu Qayyim,13 doa adalah obat yang paling kuat untuk menyembuhkan suatu penyakit, tetapi hati yang lupa kepada Allah akan memengaruhi kemanjuran doa tersebut. Para konselor dapat memilih jenis terapi yang diberikan kepada klien sesuai dengan jenis masalah atau penyakit yang diderita klien, dengan diketahuinya jenis serta model konseling dan psikoterapi ini. Sehingga klien yang mempunyai masalah dapat tertolong dan keluar dari masalah yang dihadapinya. Karena itu, masalah sekecil apapun yang muncul ke permukaan haruslah ditangani secara arif dan bijaksana, sehingga masalah tersebut tidak sampai membesar dan kompleks yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan seseorang (klien) dan sulit diatasi atau diselesaikan. Demikian juga sebaliknya, masalah yang besar sekalipun bisa diatasi dan diselesaikan, jika diformulasi dengan baik melalui pendekatan atau psikoterapi (penyembuhan) yang tepat, yaitu dengan menggunakan pendekatan al-Qur’an dan Sunnah.

Isep Zainal Arifin, Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Melalui Psikoterapi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 23-24. 13 Ibnu Qayyim, Terapi Penyakit dengan al-Qur’an dan Sunnah, terj. Achmad Sunarto (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 7-8. 12

393


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Penyebab Munculnya Masalah Sebelum terapi diberikan kepada klien yang mengalami permasalahan atau gangguan kejiwaan, maka setiap konselor haruslah mengetahui penyebab munculnya masalah atau gangguan tersebut, sehingga terapi, penyembuhan atau obat yang diberikan kepada konseli/klien sesuai dengan permasalahan yang dirasakan oleh klien. Masalah atau penyakit mental yang melanda klien ada yang berasal dari dalam diri seseorang; dan ada juga yang berasal dari luar diri manusia. Untuk mengetahui sumbersumber masalah bagi manusia perlu digali faktor-faktor penyebabnya sehingga seseorang dapat menghindari masalah tersebut, demikian juga halnya bagi konselor, dengan mengetahui penyebab masalah terjadi pada seseorang/klien, maka konselor lebih mudah memberi terapi yang sesuai kepada klien tersebut. Menurut Erhamwida14 ada tiga macam penyebab utama manusia mempunyai masalah. Pertama, jasad/fisik yang kurang kuat/sehat. Secara umum orang yang mengalami gangguan fisik, dapat berpengaruh pada kondisi psikis atau kejiwaan seseorang, meskipun tidak berarti setiap kali orang mengalami gangguan fisik akan merasakan penderitaan psikis sekaligus. Sebaliknya kondisi psikis seseorang akan turut memengaruhi fisiknya, namun demikian, tidak semua orang yang menderita gangguan psikisnya berpengaruh kepada fisiknya. Dalam kenyataannya, ada orang yang kurang sempurna fisiknya, tetapi ia merasakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Hal itu berarti meskipun keadaan fisik seseorang berpengaruh terhadap psikis seseorang, namun masih terbuka peluang ia akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Tetapi, secara teoritis tidak bisa dibantah bahwa jika keadaan fisik seseorang lemah atau cacat, maka hal itu sedikit atau banyak akan memengaruhi psikisnya. Kedua, qalb/hati yang kotor. Hati yang kotor atau tidak bersih bisa menjadi sumber utama munculnya kegelisahan, kekhawatiran, ketidakpuasan, kecemasan, ketakutan dan kebosanan. Sebaliknya, hati yang suci, bersih yang diberi cahaya oleh Allah akan menjadikan seseorang merasakan ketenangan dan ketentraman serta mendapatkan dan merasakan kebahagiaan. Jika ditinjau dari perspektif al-Qur’an, maka pada jiwa atau hati manusia itu ada bibit penyakit, dan jika penyakit itu tidak segera dibuang atau dihilangkan, maka penyakit itu akan semakin besar dan berbahaya, bukan saja pada orang yang mempunyai masalah itu, tetapi juga pada orang lain. Ungkapan ini terlihat pada firman Allah:

∩⊇⊃∪ tβθç/É‹õ3tƒ (#θçΡ%x. $yϑÎ/ 7ΟŠÏ9r& ë>#x‹tã óΟßγs9uρ ( $ZÊttΒ ª!$# ãΝèδyŠ#t“sù ÖÚz£Δ ΝÎγÎ/θè=è% ’Îû Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (Q.S. al-Baqarah/2: 10).15

Erhamwilda, Konseling Islami (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 57-62. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 3.

14 15

394


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

Berdasarkan ayat ini, penyakit yang paling banyak diderita oleh manusia adalah penyakit hati, yaitu iri dan dendam. Jika kedua jenis penyakit ini masih bersarang pada diri/jiwa seseorang, maka hidupnya tidak pernah bahagia dan tenang, bahkan sebaliknya seseorang itu akan merasakan kegelisahan, kecemasan dan kesusahan. Allah SWT. berfirman:

∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ ⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (Q.S. al-Syams/91: 8-10).16 Ayat ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya telah ada dalam setiap jiwa/ diri seseorang itu bibit atau potensi untuk menjadi orang yang baik (taqwâ) dan bibit atau potensi untuk menjadi orang yang jahat/fasik (fujûr). Kefasikan (fujûraha) mengandung makna bahwa setiap orang telah memilki bibit penyakit atau permasalahan. Karena itu, bibit penyakit itu harus segera dibuang, paling tidak dikawal agar tidak menjadi besar dan berbahaya. Dalam kaitan ini, setiap konselor harus memupuk dan menyuburkan potensi yang baik (taqwâ) sehingga seseorang itu dapat merasakan kebahagian dan dekat kepada Tuhan-Nya, dan sebaliknya memperkecil serta mengarahkan potensi fasik (fujûr) agar seseorang terhindar dari problem atau penyakit mental. Erhamwilda mengatakan bahwa hati/jiwa manusia dapat dibagi kepada tiga bagian. 1) Hati/jiwa yang sakit (qalb al-marîdh). Hati/jiwa yang sakit dapat diibaratkan seperti cermin yang kotor atau tidak terawat, sehingga setiap orang yang menggunakannya akan memantulkan hasil atau cahaya yang tidak baik. Orang yang menderita qalb al-marîdh akan sulit menilai sesuatu secara jujur dan adil. Orang yang memiliki jiwa seperti ini iri melihat orang yang sukses, iri melihat orang yang mendapat rizki, dan hatinya selalu cemas dan gelisah. Hati/jiwa seperti inilah tempat bersarangnya penyakit atau problem. Jika penyakit seperti ini tidak cepat ditanggulangi atau diberikan terapi, maka klien tersebut akan menderita berkepanjangan yang bukan saja dapat merusak dan berbahaya bagi orang lain, tetapi juga dapat berbahaya dan merusak diri yang bersangkutan. 2) Hati/Jiwa yang Mati (qalb al-mayyit). Hati/jiwa yang mati adalah hati yang kerdil, keras dan hati sepenuhnya dikusai oleh hawa nafsu. Hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kesombongan dan keangkuhan. Orang yang mempunyai hati seperti ini tidak pernah mengenal kasih sayang. Ia melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa pernah memperhatikan norma dan etika yang berlaku. Hawa nafsu telah menulikan telinganya, membutakan matanya, membodohkan akal pikirannya dan menutupi hati nuraninya, sehingga ia tidak 16

Ibid, h. 896.

395


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 mampu lagi membedakan yang hak dan batil, yang halal dan yang haram, karena yang menjadi pengendali dirinya adalah hawa nafsu dan bukan akal. Orang yang memiliki hati atau jiwa yang mati seakan-akan hanya memiliki jasad, tetapi roh atau nalurinya seakan-akan telah mati, orang seperti ini dapat dikatakan seperti bangkai yang berjalan. 3) Hati yang selamat (qalb al-salîm). Hati yang selamat adalah hati yang terkendali, hati yang selalu dihiasi dengan zikir dan istighfar kepada Allah SWT. Orang yang memiliki qalb al-salîm adalah orang yang hidup penuh dengan ketenangan, kebahagiaan dan ketentraman. Walaupun dari aspek material keadaannya sangat miskin dan sederhana, tetapi dari aspek immaterial, emosional, perasaan dan hati/jiwanya sangat kaya. Ia selalu dekat kepada Allah, akrab dan santun kepada sesama serta peduli kepada orangorang miskin dan tidak punya. Orang yang memiliki hati seperti ini adalah orang yang mengedepankan keimanan kepada Allah SWT., iman menjadi motor atau penggerak dalam segala aktivitasnya. Hati/jiwa seperti inilah yang diistilahkan dalam al-Qur’an sebagai jiwa yang tenang (muthma’innah). Hal ini sesuai dengan penjelasan firman Allah SWT.:

’Í?ä{÷Š$#uρ ∩⊄®∪ “ω≈t6Ïã ’Îû ’Í?ä{÷Š$$sù ∩⊄∇∪ Zπ¨ŠÅÊó £Δ ZπuŠÅÊ#u‘ Å7În/u‘ 4’n<Î) û©ÉëÅ_ö‘$# ∩⊄∠∪ èπ¨ΖÍ×yϑôÜßϑø9$# ߧø¨Ζ9$# $pκçJ−ƒr'¯≈tƒ ∩⊂⊃∪ ©ÉL¨Ζy_ Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr/89: 27-30).17 Ketiga, akal yang tidak digunakan sebagaimana mestinya. Akal yang tidak berfungsi secara maksimal atau tidak digunakan sebagaimana mestinya bisa mendatangkan masalah. Allah SWT. telah membekali manusia dengan akal agar manusia mampu memikirkan berbagai hal dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Akal yang dibimbing oleh ruh yang suci dan penggunaannya mengacu kepada wahyu Allah, maka ia akan menemukan caracara yang baik dan tepat dalam kehidupan ini sehingga pada akhirnya ia mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Salah satu fungsi akal yang utama adalah agar manusia mampu berpikir. Berpikir dalam berbagai referensi psikologi dimaknai sebagai proses menghubung-hubungkan antara data yang satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan masalah. Dalam al-Qur’an banyak dijelaskan bagaimana proses berpikir terjadi, dan berpikir bukan sekedar untuk membaca fenomena alam, tetapi juga agar manusia mampu memecahkan masalah hidupnya, dan mampu melihat kebesaran Allah di atas segalanya. Salah satu penyebab timbulnya masalah atau penyakit mental pada seseorang

17

Ibid, h. 893.

396


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

adalah apabila manusia tersebut jauh dari Allah SWT. Ketika seseorang jauh dari Allah atau melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap Allah, maka seseorang itu akan mengalami banyak permasalahan, kehidupannya semakin sempit, penuh kecemasan, kegelisahan dan bahkan permasalahan atau problem datang silih berganti, orang-orang seperti ini tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya kendatipun ia memiliki harta yang banyak dan jabatan yang tinggi.18 Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah SWT.:

zΟÏ9 Éb>u‘ tΑ$s% ∩⊇⊄⊆∪ 4‘yϑôãr& Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# uΘöθtƒ …çνãà±øtΥ w uρ %Z3Ψ|Ê Zπt±ŠÏètΒ …ã&s! ¨βÎ*sù “Ìò2ÏŒ ⎯tã uÚtôãr& ô⎯tΒuρ ∩⊇⊄∉∪ 4©|¤Ψè? tΠöθu‹ø9$# y7Ï9≡x‹x.uρ ( $pκtJŠÅ¡uΖsù $uΖçF≈tƒ#u™ y7÷Gs?r& y7Ï9≡x‹x. tΑ$s% ∩⊇⊄∈∪ #ZÅÁt/ àMΖä. ô‰s%uρ 4‘yϑôãr& û©Í_s?÷|³ym Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?.’ Allah berfirman: ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan (Q.S. Thâhâ/20: 124-126).19 Karena itu, penyebab yang paling menentukan mudahnya seseorang mengalami masalah (problem) adalah ketika manusia jauh dari Allah SWT. atau melalaikan kewajiban kepada Allah. Orang yang jauh dari Allah jiwanya mudah dihinggapi penyakit psikis seperti gelisah, sedih, cemas, was-was, iri, dan penyakit psikis lainnya. Sifat-sifat negatif seumpama ini menyebabkan mudahnya muncul penyakit fisik seperti maag, jantung, darah tinggi dan sebagainya. Penyakit fisik yang disebabkan penyakit psikis itulah yang disebut penyakit psikosomatik. Sebaliknya, bagi orang yang memiliki fisik yang kurang sempurna atau organ tubuh yang tidak bisa berfungsi secara maksimal, akan semakin mudah mengalami penyakit psikis atau mental. Tetapi, jika seseorang dekat kepada Allah SWT., taat dalam beribadah, senantiasa berzikir dan selalu mendekatakan diri kepada Allah serta menjauhi dari segala larangan-Nya, maka peluangnya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin sangat terbuka. Hal yang paling menentukan untuk mendapatkan ketenangan, kebahagiaan dan sehatnya psikis seseorang adalah kedekatan diri kepada sang pencipta. Sementara itu, menurut Ahmad Mubarok20 ada lima macam penyebab gangguan kejiwaan bagi manusia modern. Pertama, kecemasan. Perasaan cemas yang diderita seseorang bersumber dari hilangnya makna hidup (the meaning of life), pada hal secara Syukur Kholil (ed.), Bimbingan Konseling dalam Perspektif Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2009), h. 25-26. 19 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445-446. 20 Achmad Mubarok, Konseling Agama (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), h. 162. 18

397


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 fitri manusia memiliki kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup dimiliki oleh seseorang manakala ia memiliki kejujuran dan merasa hidupnya dibutuhkan oleh orang lain, dan merasa mampu dan telah mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk orang lain. Makna hidup biasanya dihayati oleh para pejuang atau mujahid, karena pusat perhatian pejuang adalah pada bagaimana bisa menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Berbeda halnya dengan manusia modern, mereka tidak memiliki makna hidup, tujuan hidup dan prinsip hidup. Apa yang dilakukan tidak lebih dari sekedar mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial tersebut belum tentu berdiri di atas suatu prinsip yang mulia. Dengan kata lain, manusia modern cenderung mengikuti kehendak yang sesaat dan terkadang hanya sekedar ingin dikatakan orang lain bisa mengikuti zaman, sementara jauh di balik itu atau sesuatu yang tercecer dan hilang yaitu kepribadian yang sejati. Seseorang terkadang berupaya untuk bersandiwara di hadapan orang lain atau dalam lingkungan sosialnya, tetapi sebenarnya pada waktu yang bersamaan, ia sedang mengalami kecemasan dan kegelisahan. Kedua, kesepian. Kesepian bersumber dari hubungan antar manusia (interpersonal) di kalangan masyarakat modern yang tidak lagi tulus, ikhlas dan hangat. Kegersangan hubungan antar manusia disebabkan karena kebanyakan manusia medern menggunakan topeng-topeng sosial untuk menutupi wajah kepribadiannya. Orang tidak lagi berbuat sesuai dengan nuraninya, tetapi lebih cenderung berbuat demi nafsu dan kepentingan sesaat, atau seseorang yang berdiri di balik topeng. Jika ia melakukan hubungan atau komunikasi dengan orang lain, ia selalu berada bukan pada dirinya yang sebenarnya, tetapi ia memiliki topeng yang dapat mengelabui orang lain. Orang seperti ini adalah orang-orang yang telah kehilangan jati dirinya, dan sebagai akibatnya ia mudah mengidap perasaan sepi, sunyi dan gelisah walaupun ia berada di tengah-tengah keramaian dan kerumunan manusia. Karena itu, kesepian dan kesunyian sebenarnya tidak diukur dengan kuantitas atau jumlah/fisik, tetapi sangat ditentukan oleh aspek psikis atau perasaan. Ketiga, kebosanan. Manakala seseorang tidak memiliki tujuan dan prinsip hidup yang jelas, maka ia akan merasakan kehidupan yang hambar, kecemasan selalu mengganggu jiwanya dan kesepian yang berkepanjangan akan melanda manusia, dan jika hal itu telah terjadi, seseorang itu akan menderita gangguan kejiwaan berupa kebosanan. Kecemasan dan kesepian yang berkepanjangan, yang pada akhirnya membuat seseorang itu bosan, bosan kepada kepura-puraan dan bosan kepada kepalsuan. Kebosanan juga bisa terjadi karena manusia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nalurinya, atau juga bisa disebakan karena seseorang itu telah keliru dalam memaknai hidup ini. Kebosanan seperti ini akan menyebabkan seseorang mudah cemas, gelisah dan depresi. Keempat, perilaku menyimpang. Manusia yang dihinggapi perasaan cemas, kesepian dan kebosanan, menyebabkan seseorang itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dalam keadaan jiwa yang kosong dan rapuh seperti ini, seseorang tidak mampu berpikir secara jernih dan kritis. Kekosongan jiwa itu dapat membuat seseorang melakukan apa saja, 398


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

seperti meminum minuman yang memabukkan, merampok, memperkosa dan membunuh orang tanpa sebab yang jelas. Ia merasa apa yang dilakukannya itu seakan-akan memberikan hiburan baginya, tetapi sebenarnya jauh di balik semua itu, dia telah melakukan perbuatan yang menyimpang dan telah jauh dari kebenaran. Perilaku menyimpang yang dilakukan seseorang bukan hanya berdampak negatif kepada orang lain, karena orang yang di sekitarnya merasa tidak nyaman, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap dirinya sendiri. Kelima, psikosomatik. Psikosomatik adalah gangguan fisik yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dan sosial. Jika emosi seseorang menumpuk dan memuncak, maka hal seumpama itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dalam dirinya. Jika faktorfaktor yang menyebabkan memuncaknya emosi tidak dapat dijauhkan, maka hal itu dapat memengaruhi fisiknya. Penderita penyakit psikosomatik biasanya selalu mengeluh, merasa tidak enak badan, jantungnya berdebar-debar, merasa lemah, lemas dan tidak bisa berkonsentrasi. Wujud psikosomatik bisa terlihat dalam bentuk syndrome, trauma, stress, ketergantungan kepada obat penenang/alkohol/narkotik atau perilaku menyimpang lainnya. Karena itu, setiap konselor sebaiknya dapat mengendalikan dan mengarahkan klien yang menderita penyakit psikosomatik ini melalui berbagai macam terapi/pengobatan, salah satu dan yang paling banyak membantu adalah pendekatan agama, yaitu memperbanyak membaca al-Qur’an. Menurut Dadang Hawari,21 penyebab utama munculnya masalah dalam masyarakat modern adalah timbulnya disintegrasi dari masyarakat tradisional karena unsur-unsurnya mengalami perubahan dengan kecepatan yang berbeda. Kebenaran-kebenaran yang abadi sebagaimana terkandung dalam ajaran agama, disisihkan karena dianggap kuno sehingga orang hanya berpegang kepada kebutuhan materi dan tujuan sementara. Dalam masyarakat modern, rongrongan terhadap agama, moral, budi pekerti, warisan budaya lama dan tradisional telah menimbulkan ketidakpastian fundamental di bidang hukum, moral, nilai dan etika kehidupan. Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai akibat modernisasi telah menyebabkan manusia kehilangan identitas diri. Selain itu, menurut Tohirin,22 siswa di sekolah dapat dipastikan memiliki masalah, tetapi kompleksitas masalah yang dihadapi masing-masing individu berbeda. Menurutnya, ada lima jenis masalah yang dihadapi oleh siswa di sekolah, yaitu perkembangan individu; perbedaan individu dalam kecerdasan, kecakapan, hasil belajar, bakat, sikap, kebiasaan, pengetahuan, kepribadian, ciri-ciri jasmaniyah dan latar belakang lingkungan; kebutuhan individu dalam hal memperoleh kasih sayang, memperoleh harga diri, memperoleh penghargaan, ingin dikenal, memperoleh prestasi dan posisi, rasa aman, perlindungan dan lainlain; penyesuaian diri serta kelainan tingkah laku dan masalah belajar/pendidikan. Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), h. 3. 22 Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 111. 21

399


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Permasalahan yang muncul ke permukaan erat kaitannya dengan adanya gangguan kejiwaaan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Kanfer dan Goldstein23 bahwa orang yang mengalami gangguan kejiwaan dapat terlihat pada empat ciri yaitu hadirnya perasaan cemas (anxiety) dan perasaan tegang (tension) di dalam diri, merasa tidak puas terhadap perilaku diri sendiri, perhatian yang berlebih-lebihan terhadap problem yang dihadapi dan ketidakmampuan berfungsi secara efektif di dalam menghadapi problem. Menurut Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso,24 bahwa penyebab gangguan kejiwaan itu bermacam-macam, ada yang besumber dari hubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan, seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbalas, kehilangan seseorang yang dicintai dan kehilangan pekerjaan. Selain itu, ada pula gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor organik, seperti kelainan sistem syaraf, dan gangguan pada otak. Berdasarkan berbagai pandangan dan fenomena sebelumnya dipahami bahwa penyebab utama mudahnya seseorang terserang permasalahan dan dihinggapi penyakit mental adalah disebabkan seseorang tidak mampu menerima dirinya dengan baik, tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan jauhnya seseorang dari Allah SWT. Sebaliknya, seseorang akan terhindar dari penyakit mental apabila seseorang itu dapat menyesuaikan diri, dekat kepada Allah SWT., sayang serta santun kepada sesama manusia.

Tahap-tahap Psikoterapi Menurut Prawitasari seperti dikutip Rahayu,25 psikoterapi atau terapi kejiwaan dikembangkan melalui tahap-tahap berikut. Pertama, wawancara awal. Pada tahap awal ini perlu dirumuskan tentang apa yang akan terjadi selama terapi berlangsung. Aturanaturan apa saja yang harus diketahui dan akan dilaksanakan oleh konseli/klien. Dalam tahap awal ini perlu dibina rapport yaitu hubungan baik yang menimbulkan keyakinan dan kepercayaan klien bahwa ia akan dapat ditolong. Dalam tahap awal ini juga klien harus bersedia mengutarakan pikiran dan perasaannya kepada konselor. Kedua, proses terapi. Pada tahap ini, terapis (konselor) perlu mengkaji dan mendalami pengalaman klien, menggali pengalaman masa lalu selama hal itu relevan dengan permasalahan yang dihadapi oleh klien. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghidupkan suasana keakraban dan komunikasi dua arah. Ketiga, tindakan. Pada tahap ini, baik terapis maupun klien mengkaji ulang kembali apa yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung, dan apa yang akan diterapkanKanfer F.H., & AP Goldstein, Helping People Change (New York: Pergamon Press, 1982),

23

h. 7.

Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 91-92. 25 Rahayu, Psikoterapi Perspektif, h. 206-207. 24

400


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

nya nantinya dalam kehidupannya. Hal yang sangat penting dilakukan adalah agar tujuan terapi yang telah disepakati bersama dapat tercapai. Keempat, mengakhiri terapi. Terapi dapat berakhir kalau tujuan telah disepakati, namun bisa juga terapi berakhir apabila klien tidak melanjutkan terapi. Terapi juga bisa berakhir apabila terapis tidak dapat menolong kliennya, namun terapis sebaiknya merujuk kliennya kepada ahli lain sesuai dengan jenis masalah/problem yang dihadapi oleh klien tersebut. Terapis harus menghilangkan sedikit demi sedikit ketergantungan klien terhadap dirinya, karena klien akan menghadapi lingkungannya tanpa bantuan terapis (konselor).

Model-model Psikoterapi dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul Menurut al-Zahrani,26 terdapat delapan model terapi mental dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pertama, psikoterapi dengan keimanan. Terapi keimanan adalah keimanan murni melalui ibadah kepada Allah SWT. Keimanan seperti inilah yang mendatangkan ketenangan dan juga petunjuk ke jalan kebenaran dan kebaikan. Dalam kaitan ini, jika konseli/klien mempunyai masalah atau gangguan kejiwaan, maka konselor menganjurkan agar memperbaiki keimanan atau dekat dengan Allah. Dekat kepada Allah bermakna klien berupaya untuk memperbanyak ibadah dan selalu ingat kepada Allah, dengan terapi seperti ini diharapkan jiwa manusia semakin tentram dan damai. Sesuai dengan firman Allah,

∩⊄∇∪ Ü>θè=à)ø9$# ’⎦È⌡yϑôÜs? «!$# Ìò2É‹Î/ Ÿωr& 3 «!$# Ìø.É‹Î/ Οßγç/θè=è% ’⎦È⌡uΚôÜs?uρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Q.S. al-Ra‘d/13: 28).27 Terealisasinya ketenangan diri dan keamanan dalam hati seseorang mukmin muncul dari keimanannya yang murni kepada Allah, hingga ia selalu memiliki harapan dalam mendapatkan pertolongan dan penjagaan dari-Nya. Setiap mukmin hendaknya selalu menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT. di saat ia beribadah dan selalu meniatkan semua yang dilakukannya demi mengharapkan keridaan-Nya semata. Dengan demikian, ia akan selalu merasa bahwa Allah selalu bersamanya dan dalam pertolonganNya setiap saat. Kedua, psikoterapi melalui ibadah. Menunaikan ibadah merupakan salah satu cara untuk menghapuskan dosa dan memperkuat ikatan seorang mukmin kepada Allah SWT. dengan selalu mematuhi perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Dengan memperbanyak dan memperbaiki kualitas ibadah kepada Allah, maka akan muncul sebuah Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, terj. Sari Narulita dan Miftahul Jannah (Jakarta: Gema Insani,2005), h. 470-504. 27 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 341. 26

401


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 harapan bahwa Allah dapat mengampuni segala kesalahannya. Terapi mental melalui ibadah ini lebih terlihat lagi dari ibadah salat. Melalui ibadah salat terjadi suatu ikatan atau hubungan yang kuat antara hamba dengan Tuhannya. Dalam salat, seorang hamba dengan penuh harap dan kekhusukan memohan kepada Allah agar ia selalu mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Perasaan seperti ini pada akhirnya dapat melahirkan kejernihan spiritualitas, ketenangan hati dan keamanan diri dikala ia mengerahkan semua emosi dan anggota tubuhnya kepada Allah. Pada saat salat juga setiap hamba dapat sepenuhnya merasakan ketenangan jiwa dan akalnya pun selalu terbimbing dengan sempurna. Ketiga, psikoterapi dengan puasa. Puasa merupakan salah satu latihan dan didikan jiwa dan banyak mengandung terapi penyakit kejiwaan dan penyakit fisik. Karena itu, bagi orang yang sakit fisik (selama penyakit itu tidak berbahaya) lebih baik berpuasa, karena melalui puasa bisa menjadikan fisik semakin sehat (shûmû tashihhû). Di saat berpuasa inilah seorang Muslim selalu berusaha untuk berperilaku baik dan mendengarkan kata hatinya walaupun tidak ada satu orangpun yang mengawasi perilakunya. Dengan berpuasa juga seseorang akan berlatih untuk bersabar atas lapar dan haus serta dalam menahan syahwatnya. Keempat, psikoterapi melalui ibadah haji. Ibadah haji dapat melahirkan sifat-sifat yang mulia, seperti kebersamaan, kesatuan pandangan di samping mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan memperbanyak mengalunkan kalimat-kalimat talbiyah. Haji merupakan pusat pelatihan bagi umat Islam, karena dalam ibadah haji seseorang akan selalu mengingat Allah, selalu berdoa kepada-Nya, melakukan salat dengan penuh kekhusukan, dan memotong hewan kurban bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Melalui ibadah haji ini juga seseorang melatih diri lebih rendah hati, disiplin dan mengubur jauhjauh sifat sombong dan berbangga diri. Haji merupakan salah satu psikoterapi atas perasaan bersalah dan berdosa, karena melalui ibadah haji dosa dan kesalahan dapat diampuni. Kelima, psikoterapi melalui sabar. Sabar adalah salah satu penyebab datangnya keberuntungan, kemenangan dan kebahagiaan, karena orang yang sabar atas segala ujian dan cobaan dari Allah SWT. akan diberikan pahala atau balasan yang lebih baik. Sabar dan sifat saling mengingatkan untuk bersabar adalah dua hal yang masuk dalam cakupan ibadah dan cakupan hubungan interaksi manusia dengan sesamanya. Sabar memiliki manfaat yang besar dalam mendidik jiwa dan menguatkan kepribadian Muslim sehingga menambah kekuatannya untuk dapat memikul beban kehidupan, dan memperbarui kembali semangat untuk menghadapi segala permasalahan hidup. Keenam, psikoterapi melalui istighfar dan taubat. Ucapan istighfar dan bertaubat kepada Allah SWT. merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, karena pada dasarnya setiap manusia pernah bersalah atau berdosa baik kecil maupun besar. Hal ini sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW. dalam sabdanya “Setiap anak Adam pernah bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang mau bertaubat” (H.R. Ahmad). Orang yang sering istighfar dan bertaubat kepada Allah adalah orang yang 402


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

menyadari sepenuhnya bahwa dirinya pernah berbuat salah dan dosa, kemudian ia berjanji kepada Allah dan kepada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak baik tersebut. Orang yang menyadari bahwa dia mempunyai kesalahan, ia akan selalu istighfar dan bertaubat kepada Allah. Penyesalan terhadap dosa yang pernah dilakukan seorang terhadap Allah merupakan salah satu bentuk psikoterapi atau terapi kejiwaan. Ketujuh, psikoterapi melalui zikir. Semua ibadah termasuk zikir pada hakikatnya adalah usaha untuk mengingat Allah. Zikir atau mengingat Allah sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, bahkan zikir (salat) adalah sebaik-baik ibadah. Orang-orang yang selalu mengingat Allah baik dengan takbir, tasbih, tahmid dan tahlil, maka jiwanya semakin damai, tenang dan tenteram. Zikir dengan penuh penghayatan dan keikhlasan dapat menghilangkan penyakit psikis yang diderita oleh manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

∩⊄∇∪ Ü>θè=à)ø9$# ’⎦È⌡yϑôÜs? «!$# Ìò2É‹Î/ Ÿωr& 3 «!$# Ìø.É‹Î/ Οßγç/θè=è% ’⎦È⌡uΚôÜs?uρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Q.S. al-Ra‘d/13: 28).28 Kedelapan, terapi dengan doa. Doa merupakan salah satu senjata yang sangat ampuh bagi umat Islam, dan merupakan sarana ibadah dalam mengingat Allah SWT. Orang yang berdoa kepada Allah adalah orang yang mempunyai harapan dan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan harapan dan doanya. Bagi orang yang berdoa sangat dianjurkan untuk yakin dan penuh optimisme bahwa doanya akan diterima Allah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya,

öΝßγ¯=yès9 ’Î1 (#θãΖÏΒ÷σã‹ø9uρ ’Í< (#θç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ( Èβ$tãyŠ #sŒÎ) Æí#¤$!$# nοuθôãyŠ Ü=‹Å_é& ( ë=ƒÌs% ’ÎoΤÎ*sù ©Íh_tã “ÏŠ$t6Ïã y7s9r'y™ #sŒÎ)uρ ∩⊇∇∉∪ šχρ߉ä©ötƒ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q.S. al-Baqarah/2: 186).29 Berdasarkan ayat ini, maka ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh seseorang yang berdoa agar doanya diterima oleh Allah SWT., yaitu orang yang berdoa harus benarbenar melaksanakan perintah Allah dan orang yang berdoa harus benar-benar beriman kepada Allah dalam arti yang sesunguhnya. Terapi doa bukan hanya berguna untuk

Ibid, h. 341. Ibid, h. 35.

28 29

403


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 menyembuhkan penyakit kejiwaan, tetapi juga bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit fisik. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. ketika beliau menjenguk salah seorang keluarganya yang sakit. Ia berdoa “Allâhumma rabb al-nâsi azhib al-ba’sa asyfi anta al-syâfi syifâ’a illa syifâ’ uka, syifâ’ la yugâdiru saqama,” (Ya Allah Tuhan dari semua manusia, hilangkan segala penyakit, sembuhkanlah, hanya Engkau yang dapat menyembuhkan, tiada kesembuhan kecuali daripada-Mu, sembuh yang tidak dihinggapi penyakit lagi” (H.R. Bukhârî dan Muslim dari ‘A’isyah).30 Dengan demikian, setiap konselor Islami dapat menyarankan atau menganjurkan kedelapan jenis psikoterapi Islami ini kepada klien walaupun secara bertahap sehingga akhirnya klien dapat keluar dari permasalahan yang dihadapi. Pada akhirnya, klien dapat merasakan kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan yang hakiki. Pada sisi lain, menurut Arifin,31 ada empat macam psikoterapi/terapi kejiwaan yang bisa dilakukan konselor terhadap orang yang menderita masalah maupun gangguan kejiwaan. Pertama, terapi psikofarmaka, yaitu terapi fisik biologis, dengan obat-obatan anti depresi yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa pasien yang terkena depresi. Kedua, terapi psikologis atau sering juga disebut sebagai psikoterapi biasa, yaitu terapi terhadap gangguan-gangguan kejiwaan dengan asas-asas dan pendekatan psikologi Barat. Ketiga, terapi psikososial, yaitu terapi dengan asas-asas psikologi untuk pasien-pasien yang mengalami gangguan maladaptif atau malasuai terutama secara sosial. Keempat, terapi psiko-spiritual atau disebut juga terapi psiko-relegius. Terapi ini lebih menekankan pada pasien agar mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui ibadah, berzikir dan berdoa. Pandangan ini menggabungkan antara pendekatan psikologi dan agama dalam memberikan penyembuhan terhadap klien yang mengalami problem atau mengalami gangguan kejiwaan. Sementara itu, menurut Wolberg, seperti dikutip oleh Amin,32 tipe terapi atau penyembuhan dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Pertama, penyembuhan suportif (supportive therapy). Tujuan supportive therapy adalah memperkuat benteng-benteng pertahanan (harga diri dan kepribadian), memperluas mekanisme pengarahan dan pengendalian emosi, dan pengembalian pada penyesuaian diri yang seimbang. Metode dan teknik pendekatannya, bimbingan (guidance), mengubah lingkungan (environmental manipulation), pengaturan dan penyaluran arah minat, meyakinkan (reassurance), tekanan dan pemaksaan (preassure and coercion), penebalan perasaan (desensitization), penyaluran emosional atau katarsis, sugesti (suggestion) dan Penyembuhan inspirasi berkelompok (inspiration group therapy). Kedua, penyembuhan reedukatif (reeducative therapy). Tujuan reedukatif terapi adalah penyesuaian kembali, perubahan atau modifikasi sasaran atau tujuan, dan mengSalim Bahreisy, Terjemahan Riyadhus Shalihin (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), h. 63. Arifin, Bimbingan Penyuluhan h. 26. 32 Amin, Bimbingan dan Konseling, h. 95-97. 30 31

404


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

hidupkan potensi kreatif. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat diusahakan adanya pemahaman (insight). Metode atau teknik pendekatannya antara lain adalah penyembuhan sikap (attitude therapy), penyembuhan kelakuan dan pembiasaan, wawancara, penyembuhan terpusat pada klien (client centered therapy), penyembuhan terarah, penyuluhan terapiutik, penyembuhan rasional, pendekatan filosofis, penyembuhan semantik, penyembuhan reedukatif, psikodrama, penyembuhan keluarga, penyembuhan perkawinan dan penyembuhan psikobiologis. Ketiga, penyembuhan rekonstruktif (recontructive therapy). Tujuan rekonstruktif terapi adalah menimbulkan insight atau penyembuhan terhadap konflik-konflik yang tidak disadari agar terjadi perubahan struktur karakter, dan perluasan pertumbuhan kepribadian dengan mengembangkan potensi penyesuaian yang baru. Metode dan teknis pendekatannya antara lain psikoanalisis (terdiri atas Freudian, Neo-Freudian Psychoanalysis, Ego analysis dan Kleinian Analysis), pendekatan transaksional, analisis eksistensial, penyembuhan analitik berkelompok, penyembuhan bermain dan psikoterapi dengan orientasi psikoanalisis. Dari beberapa jenis terapi yang dijelaskan di atas, konselor dapat memilih psikoterapi yang sesuai dengan masalah dan gejala gangguan kejiwaan yang dihadapi oleh klien. Psikoterapi yang paling tepat adalah melalui spiritual atau terapi religius, hal ini dapat dibuktikan ketika manusia dekat kepada Allah SWT., maka seseorang itu memiliki ketenangan batin. Ketika seseorang telah sampai ke tahap itu, maka seseorang itu akan terhindar dari penyakit stress, depresi, was-was dan cemas, dan pada waktu yang bersamaan seseorang itu dapat menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan dengan bijaksana.

Tujuan Psikoterapi dalam Bimbingan Konseling Islami Menurut Gerald Corey,33 tujuan psikoterapi adalah untuk penyusunan kembali kepribadian, penemuan makna dalam hidup, penyembuhan gangguan emosional, penyesuaian terhadap masyarakat, pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, pencapaian aktualisasi diri, peredaan kecemasan serta penghapusan tingkah laku mal-adaptif dan belajar tingkah laku adaptif. Sedangkan tujuan psikoterapi dalam perspektif Bimbingan Konseling Islami adalah agar seseorang yang mempunyai masalah gangguan kejiwaan baik mental, spiritual, moral dan fisik, dapat teratasi atau berkurang dari masalah yang dideritanya melalui arahan, bimbingan dan tuntunan dari konselor/terapis Islami melalui pendekatan alQur’an dan Sunnah. Menurut Thohari Musnamar,34 tujuan Bimbingan dan Konseling Islami adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai

Corey, Teori dan Praktek, h. 318. Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami (Yogyakarta: UII Press, 1992), h. 33. 33 34

405


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan hidup di dunia dapat ditandai ketika manusia/klien terlepas dan terbebas dari problema yang dapat memengaruhi kestabilan emosional seseorang, atau terjauh dari perasaan was-was, cemas, gelisah dan depresi. Sementara kebahagiaan akhirat dapat dirumuskan apabila terlepas dan terbebas dari siksa neraka, dan sebaliknya dimasukkan ke dalam surga sebagai tempat dan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan. Kebahagiaan dunia akhirat merupakan dambaan dan harapan setiap umat Islam. Hal ini sesuai dengan doa yang selalu diucapkan oleh setiap umat Islam dalam doanya seperti yang termaktub dalam al-Qur’an:

∩⊄⊃⊇∪ Í‘$¨Ζ9$# z>#x‹tã $oΨÏ%uρ ZπuΖ|¡ym ÍοtÅzFψ$# ’Îûuρ ZπuΖ|¡ym $u‹÷Ρ‘‰9$# ’Îû $oΨÏ?#u™ !$oΨ−/u‘ ãΑθà)tƒ ⎯¨Β Οßγ÷ΨÏΒuρ Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Q.S. al-Baqarah/2: 201).35 Konsep kebahagiaan itu sebenarnya masih abstrak dan ukurannya pun tidak sama bagi setiap orang, hal itu sangat tergantung dari cara pandang seseorang. Namun dalam analisis psikologi dan konseling, seseorang akan bahagia apabila seseorang itu terlepas dari neurose dan psikosis atau terlepas dari gejala gangguan kejiwaan dan gelaja penyakit jiwa. Sementara upaya untuk menghindari atau agar terjauh dari penyakit tersebut, manakala seseorang itu dekat kepada Allah SWT. Tujuan akhir dari Bimbingan Konseling Islami atau psikoterapi Islami adalah agar klien terhindar dari berbagai masalah, apakah masalah tersebut berkaitan dengan gejala penyakit mental (neurose dan psychose), sosial dan spiritual, atau dengan kata lain agar masing-masing individu memiliki mental yang sehat.36 Jiwa/hati yang sehat (qalb al-salîm) adalah hati yang senantiasa bertawakkal, bersyukur, sabar, tabah, rendah hati, rajin beribadah, warak, ikhlas, amanah dan berjihad di jalan Allah SWT. Wahananya adalah zikir, taubat, cinta ilmu dan rindu terhadap hidayah Allah. Dengan demikian, psikoterapi dalam perspektif bimbingan konseling Islami adalah suatu usaha yang dilakukan konselor terhadap kliennya, agar kliennya dapat keluar dari berbagai masalah, baik masalah kejiwaan, spiritual, akhlak dan fisik, dan menyarankan kepada klien agar mereka dekat kepada Allah SWT. melalui berbagai macam ibadah, seperti melaksanakan salat, menunaikan zakat, puasa, haji, sabar, istighfar, zikir dan doa, berakhlak yang mulia serta menjauhi dari segala larangan-Nya.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya,h. 39. Lahmuddin Lubis, Bimbingan Konseling Islami (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2007), h. 26; Lahmuddin Lubis, Konsep-konsep Dasar Bimbingan Konseling (Bandung: Citapustaka Media, 2006). 35 36

406


Lahmuddin: Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

Penutup Psikoterapi (psychotherapy) dalam perspektif Bimbingan Konseling Islami adalah suatu proses penyembuhan atau perawatan (treatment) yang dilakukan oleh konselor (terapis) yang profesional kepada konseli/klien melalui pendekatan psikologi, al-Qur’an dan hadis, dengan tujuan agar klien dapat keluar dari masalah yang dihadapinya, baik masalah kejiwaan, spiritual (keagamaan), akhlak maupun masalah fisik. Psikoterapi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu meningkatkan keimanan dan ibadah klien, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an, terapi kejiwaan melalui salat, melalui zakat, melalui puasa, melalui haji, melalui kesabaran, melalui istighfar dan taubat serta terapi melalui zikir dan doa. Psikoterapi atau terapi kejiwaan yang paling ampuh dalam perspektif Bimbingan Konseling Islami adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melakukan berbagai macam ibadah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Seseorang yang dekat kepada Allah, hatinya semakin tenang dan tenteram, jiwanya semakin lapang, pikirannya semakin jernih dan fisiknya semakin sehat. Ketika kepribadian/kejiwaan klien telah sampai ke tahap ini, maka berbagai penyakit fisik dan psikis akan terhindar darinya.

Pustaka Acuan Amin, Samsul Munir. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: AMZAH, 2010. Ancok, Djamaluddin dan Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Arifin, Isep Zainal. Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Melalui Psikoterapi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Az-Zahrani, Musfir bin Said. Konseling Terapi, terj. Sari Narulita dan Miftahul Jannah. Jakarta: Gema Insani, 2005. Bahreisy, Salim. Riyadhus Shalihin, Jilid II. Bandung: Al-Ma’arif, 1985. Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, terj. E. Koeswara. Bandung: Refika Aditama, 2005. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lintas Media, 2006. Erhamwilda. Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Gladding, Samuel T. Counseling A Comprehensive Profession. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Inc., 1996. Hawari, Dadang. Al-Qur’an. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997. Kanfer F.H., & A.P. Goldstein. Helping People Change. New York: Pergamon Press, 1982. Kholil, Syukur, (ed.). Bimbingan Konseling dalam Perspektif Islam. Bandung: Citapustaka Media, 2009. 407


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Lubis, Lahmuddin. Landasan Formal Bimbingan Konseling di Indonesia. Bandung: Citapustaka Media, 2011. Lubis, Lahmuddin. Bimbingan Konseling Islami. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2007. Lubis, Lahmuddin. Konsep-konsep Dasar Bimbingan Konseling. Bandung: Citapustaka Media, 2006. Mappiare, Andi. Kamus Istilah Konseling & Terapi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Mubarok, Achmad. Konseling Agama. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002. Musnamar, Thohari. Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami. Yogyakarta: UII Press, 1992. Qayyim, Ibnu. Terapi Penyakit dengan al-Qur’an dan Sunnah, terj. Achmad Sunarto. Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Rahayu, Iin Tri. Psikoterapi Perspektif Islam & Psikologi Kontemporer. Malang: UIN MalangPress, 2009. Tohirin. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

408


ANALISIS SWOT DAKWAH DI INDONESIA: Upaya Merumuskan Peta Dakwah Abdullah Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: abdullah_ariza@yahoo.com

Abstrak: Islam merupakan agama dakwah yang menganjurkan pemeluknya untuk mengajak manusia supaya beriman dan berkarya serta menata kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pada tataran praktis, dakwah sebagai tugas mulia belum dikelola dengan profesional dan terukur. Pada sisi lain, dai belum mampu menjadi agen perubahan sebagaimana cita-cita Islam yaitu rahmat li al-‘Âlamîn. Akibatnya posisi dakwah kurang diminati karena belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan bagi kemajuan umat. Sebab itu, diperlukan pengkajian dan pemetaan secara komprehensif tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dakwah. Penulis berargumen bahwa pemetaan yang komprehensif terhadap hal tersebut dan kemudian diiringi dengan perencanaan dan pelaksanaan dakwah secara professional merupakan keniscayaan, sehingga pada gilirannya dakwah mampu menjadi solusi terhadap problem kehidupan umat di era globalisasi ini. Abstract: A SWOT Analysis of Indonesia’s Proselytization (da‘wah), An Effort to Map Islamic Propagation in Indonesia. Islam is a religion of proselytization (da‘wah), advocating its adherents to invite humankind to have faith and to put it in action and direct their lives in line with Islamic values. At the practical level, proselytization as a noble service has not been managed professionally and unmeasurable. Proselytizers (dai) have not managed to become agents of change as demanded by Islamic social mission. As a result, the position of a proselytizer is not in high demand because it has not managed to guide the Islamic community forward. Thus, a comprehensive research to map current effort of proselytization to find out its strengths, weaknesses, opportunities, and challenges is needed. This paper offer the argument that with a comprehensive map, along with professional planning and implementation, Islamic proselytization will provide solutions towards the variety of Islamic community problems in today’s age of globalization.

Kata Kunci: dakwah, analisis SWOT, strategi pengembangan

409


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Pendahuluan Islam sebagai agama wahyu, memiliki kebenaran yang mutlak pada sisi ajarannya. Kebenaran tersebut harus dikomunikasikan, disebarluaskan dan didemonstrasikan dalam kehidupan sosial, sehingga Islam menjadi nilai, sikap hidup dan perilaku sosial umat. Dakwah menduduki posisi sebagai upaya rekonstruksi masyarakat melalui kegiatan sosialisasi dan pelembagaan ajaran Islam secara lisan (bi al-lisân), tulisan (bi al-kitâbah) dan perbuatan (bi al-hâl). Kegiatan tersebut harus dilakukan secara berencana, sistematis, terprogram dan profesional. Untuk dapat melakukan hal itu secara tepat sasaran, maka perlu diadakan analisis dan pengkajian tentang ruang lingkup dan unsur-unsur dakwah secara komprehensif, sehingga kegiatan dakwah dapat berjalan secara terarah dan tercapai tujuan. Salah satunya melalui analisis SWOT. Berdasarkan analisis SWOT, kemudian perlu disusun dan diwujudkan menjadi peta dakwah. Hal itu kemudian menjadi dasar perencanaan dan pelaksanaan dakwah bagi dai dan organisasi dakwah. SWOT adalah singkatan dari empat perkataan dalam bahasa Inggris, yaitu strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (tantangan). Kekuatan adalah sumber daya, kapasitas, keunggulan dan potensi yang dapat digunakan secara efektif untuk mencapai tujuan. Kelemahan dipahami sebagai keterbatasan, kekurangan dan ketidakberdayaan yang dapat menghambat pencapaian tujuan. Sedangkan peluang merupakan situasi yang mendukung untuk pengembangan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Adapun ancaman adalah situasi yang tidak mendukung, berupa hambatan dan kendala atau berbagai unsur eksternal yang potensial yang mengganggu sehingga menimbulkan masalah, kerusakan atau kekeliruan. 1 Analisis terhadap keempat hal tersebut, berarti mencoba melihat secara mendasar dan mendalam tentang kondisi objektif untuk kepentingan dan kemajuan dakwah, baik melihat ke dalam diri (intern) maupun kondisi di luar diri (ekstern). Dua hal yang disebutkan pertama, yaitu kekuatan dan kelemahan merupakan upaya analisis ke dalam, sedangkan peluang dan tantangan merupakan analisis ke luar. Untuk mencapai kemajuan dakwah, maka perlu menyelaraskan antara aktivitas dan kondisi internal dengan realitas ekternal agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Peluang-peluang pengembangan dakwah tidak akan berarti, jika tidak mampu memanfaatkan potensi, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki pada tataran internal.2 Sesungguhnya untuk lebih akurat informasi dan data di lapangan menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dakwah, sejatinya perlu diadakan penelitian yang mendalam. Tetapi hal itu untuk ruang lingkup nasional, masih terlalu sulit. Karena itu, pembahasan ini mencoba memaparkan secara makro analisis SWOT dakwah Islam

Musa Hubeis dan Mukhamad Najib, Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya Saing Organisasi (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), h. 15-16. 2 Ibid. 1

410


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

di Indonesia, berdasarkan pengamatan, pemikiran dan analisis terhadap dakwah Islam dan perkembangannya di Tanah Air dewasa ini serta perkembangan global. Melakukan analisis SWOT dakwah Islam di Indonesia adalah termasuk hal yang penting. Hal ini mengingat, dengan mengetahui kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan dakwah, maka dapat memanfaatkan keunggulan, potensi dan kekuatan tersebut secara optimal serta pemberdayaannya. Tanpa memahami dan memberdayakan potensi yang ada, kegiatan dakwah menjadi lambat, karena kekuatan dan potensi tidak dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi kondisi atau suasana kondusif. Demikian juga dengan memahami faktor kelemahan dakwah, tentunya akan menjadi bahan masukan (input) untuk melakukan upaya mengatasinya melalui berbagai strategi yang tepat. Kelemahan-kelemahan yang ada di tengah-tengah umat Islam, baik pada diri dai, organisasi dakwah maupun kelemahan umat secara keseluruhan, jika tidak diatasi, maka umat akan sulit untuk bangkit dan berkembang serta bersaing dalam kehidupan global yang semakin kopetitif. Kedua hal di atas, sifatnya adalah mengungkapkan kondisi intern dakwah Islam. Selain itu dakwah juga harus dilihat dari segi peluang dan tantangannya. Peluang dan kondisi yang kondusif harus dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pengembangannya oleh para dai dan organisasi dakwah. Sebab, jika peluang dan kesempatan yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik, maka dakwah Islam tidak akan berkembang secara menggembirakan, apalagi untuk bersaing dan menjadikan dakwah sebagai upaya pemecahan masalah umat yang sangat kompleks dewasa ini. Jika peluang harus dimanfaatkan, maka tantangan-tantangan dakwah saat ini dan masa depan harus disingkirkan, diatasi dan dipecahkan atau setidak-tidaknya tantangan itu harus diperkecil dan diminimalisir. Untuk itu diperlukan pemahaman, pemikiran dan pengkajian yang komprehensif terhadap ruang lingkup dan unsur-unsur dakwah: dai, mad‘uw, materi, metode, media dan tujuan, sehingga dapat dimunculkan konsep baru, solusi dan langkah-langkah operasional dalam menghadapi berbagai tantangan pada era globalisasi dan pascamodern saat ini. Di sinilah letak urgensi analisis SWOT, yaitu analisis tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan untuk pengembangan dakwah dan kemudian perlu diwujudkan dalam peta dakwah. Berdasarkan sensus 2010 penduduk Indonesia berjumlah 237.556.363 jiwa dan umat Islam berada pada posisi 87,21 persen, Katholik 1,83 persen, Protestan 6,04, Hindu 1,83 persen, Buddha 2,28 persen dan lain-lain 0,31 persen.3 Sementara rumah ibadah berjumlah 655.889, terdiri dari 589.454 masjid, 28.486 gereja Protestan, 13.076 gereja Khatolik, 21.121 pura Hindu dan 3.752 vihara Buddha.4 Selain itu, kini pemerintah juga

Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia 2010, h. 11. Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h. 29.

3 4

411


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 telah mengakui keberadaan agama Konghucu, namun data keagamaannya belum dapat diakses secara luas. Dari segi pemahaman keagamaan di kalangan umat Islam terbagi dua yaitu bersifat tradisional dan modernis. Paham Islam tradisional diwakili oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Al Jam’iyatul Washliyah, Al Ittihadiyah dan Mathla’ul Anwar. Sementara paham Islam modernis diwakili oleh Muhammadiyah dan Persatuan Islam.5 Dari segi pengamalan keagamaan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, khususnya dalam hal melaksanakan ibadah haji. Pada sisi lain, sejak era reformasi terjadi penguatan dan peningkatan gerakan Islam struktural dan kultural. Tipikal pertama ditandai dengan maraknya pendirian partai-partai Islam, meskipun belum mampu memainkan peranan yang signifikan. Tipikal kedua ditandai dengan menjamurnya sejumlah gerakan Islam, yang disebutkan radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).6 Indonesia yang masa Orde Baru diwarnai oleh Islam moderat, Islam kultural dan Islam inklusif, sekarang ikut diwarnai oleh gerakan Islam politik dan Islam radikal. Gerakan Islam struktural dan kultural di era reformasi telah membawa perubahan politik di Indonesia. Islam kembali menjadi faktor penting dalam perubahan politik nasional. Gerakan ini memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam dan daya jelajah yang cukup besar di masyarakat.

Analisis Kekuatan Dakwah Letak kekuatan dakwah Islam secara umum dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu dari segi konsep dakwah, potensi umat dan peranan organisasi dakwah. Pertama, dilihat dari segi konsep. Dakwah merupakan watak yang inheren dari ajaran Islam, yaitu antara Islam dengan dakwah tidak dapat dipisahkan. Lebih tegas Sayyid Quthb (w. 1966) mengatakan bahwa Islam adalah agama dakwah,7 yaitu agama yang mewajibkan setiap Muslim untuk mengajak dan menyampaikan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT, supaya nilai rahmat Islam dapat bersemi dan tumbuh dalam kehidupan individu (syakhshiyah), keluarga (usrah), masyarakat dan negara (daulah). Dakwah juga merupakan sifat nubuwwah, yaitu sifat para Nabi dan Rasul sebagai manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT. untuk mengajak manusia kepada kebenaran ajaran yang dibawanya (QS. alDeliar Noor, “Kata Pengantar,” dalam Khamami Zada, Islam Radikal (Jakarta: Teraju, 2002), h. xiv. 6 Khamami Zada, Islam Radikal (Jakarta: Teraju, 2002), h. 4. 7 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, Vol. I (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1986), h. 129. Lihat, Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, t.t.), h. 220; A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 71. Selain Islam, agama Buddha dan Kristen juga disebut sebagai agama dakwah. Lihat misalnya Thomas W. Arnold, the Preaching of Islam, terj. A. Nawawi Rambe (Jakarta: Wijaya, 1985), h. 1. 5

412


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

Ahzâb/33: 45-46). Kemudian tugas tersebut dilanjutkan oleh para pengikut Rasul dan hal ini juga terlihat dalam sejarah dakwah Islam. Tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia oleh para saudagar, menjadi bukti bahwa pemahaman dakwah dan semangat memperjuangkan kebenaran telah terpatri dalam setiap gerak langkah Muslim, apapun profesinya.8 Hal ini merupakan kekuatan dakwah dilihat dari segi konsep. Selanjutnya, menurut M. Natsir (w. 1993), dakwah dalam makna yang luas adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap Muslim yang mukalaf dan tidak bisa seorang pun menghindar dari kewajiban tersebut. 9 Menurutnya, dakwah yang bertumpu pada al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahyi ‘an al-munkar merupakan syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup manusia. Ditegaskan bahwa kewajiban sebagai pembawa fitrah manusia yang selalu cenderung kepada kebenaran, di samping manusia juga sebagai makhluk yang bermasyarakat. Jika dakwah berhenti, maka kemungkaran akan merajalela. Tugas berdakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab ulama, dai dan khatib, melainkan tugas setiap pribadi Muslim sesuai dengan kemampuan, keahlian dan profesi masing-masing.10 Ulama berdakwah dengan ilmu yang mereka miliki, baik bi al-lisân maupun bi al-kitâbah. Penguasa atau pemerintah berdakwah dengan kekuasaan dan jabatan yang disebutkan dengan dakwah struktural. Sementara para hartawan (aghniyâ’) berdakwah dengan harta yang mereka miliki, yaitu dakwah bi al-hâl. Di samping itu, bagi orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, kekuasaan dan harta, juga dituntut untuk membenci setiap kemungkaran dan ia sendiri harus menjauhi kemungkaran tersebut. Dalam konteks dakwah sebagai upaya perubahan, khususnya merubah kemungkaran, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan uraian tugas berdasarkan keahlian, jabatan dan kedudukan seorang Muslim. Hal itu berdasarkan Hadis berikut:

11

“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa, maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Pemahaman terhadap konsep dakwah seperti dipaparkan di atas, kemudian diiringi dengan bentuk operasional di tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka hal ini benarbenar akan menjadi suatu kekuatan bagi dakwah Islam. Apalagi realisasinya dilaksanakan secara kelompok yang diorganisir oleh organisasi atau lembaga dakwah maupun kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh person dai dalam makna yang luas. Hamka, Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional, 2005), h. 681-682. M. Natsir, Fiqhud Dakwah (Jakarta: Media Dakwah, t.t.), h. 110. 10 Ibid., 111. 11 Muslîm bin Hajjâj, Shahîh al-Muslîm, Vol. I, Bab Îmân. No. 78. h. 45-46. 8 9

413


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Pada sisi lain, dakwah Islam tidak hanya terbatas pada kegiatan dakwah yang dilakukan oleh lembaga dakwah dan dai terhadap jamaah atau umat yang disebut dakwah jamaah. Tetapi juga dikenal dengan konsep dakwah fardiyah, yaitu dakwah yang dilakukan oleh dai terhadap satu orang atau beberapa orang mad‘uw secara tidak formal. Dakwah fardiyah mempunyai beberapa keunggulan dan keistimewaan dibandingkan dakwah jamaah.12 Dakwah fardiyah dalam operasionalnya dapat berlangsung di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja mad‘uw-nya, karena tidak terikat dengan acara protokoler seperti telah dibahas sebelum ini. Karena itu, jika dakwah dipahami dalam arti luas dan menjadi gerakan bersama di kalangan umat Islam, maka ini akan menjadi suatu kekuatan untuk perubahan sosial sesuai dengan cita-cita al-Qur’an, agar komunitas Muslim menjadi umat terbaik (khair ummah). Kedua, kekuatan dakwah dilihat dari segi kuantitas dan kualitas serta potensi umat Islam di Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia, yaitu 87% adalah beragama Islam, bahkan bangsa Indonesia merupakan pemeluk agama Islam terbesar di muka bumi. 13 Kondisi ini pada suatu sisi merupakan kekuatan bagi dakwah Islam, apabila potensi, kualitas dan partisipasi umat yang mayoritas ini dapat digerakkan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah Islam. Potensi elit politik, elit ekonomi dan elit pendidikan pada setiap level masyarakat perlu pemberdayaan. Sebaliknya, jumlah yang mayoritas ini, dapat juga menjadi bumerang, bila tidak dibarengi dengan kualitas yang memadai. Elit politik dan penguasa dari kalangan umat Islam harus diajak, didorong dan diminta untuk ikut membantu dan bertanggung jawab terhadap kemajuan dakwah. Sesungguhnya, eksistensi elit politik dan penguasa dapat mengubah masyarakat lebih cepat. Keberadaannya harus memainkan peranan penting, seperti melahirkan undangundang atau peraturan yang dapat memproteksi umat. Menurut Moh Ali Aziz, hasil dari dukungan politik telah berkembang ekonomi syariah dan penerapan syariah Islam di beberapa daerah di tanah air. Namun, dakwah politik terkadang tidak membawa kedamaian dan ketenteraman di kalangan mitra dakwah.14 Untuk masa depan masih perlu ditingkatkan dakwah melalui jalur politik, karena masih banyak hak-hak umat Islam yang perlu diperjuangankan, seperti undang-undang halal yang sudah 16 tahun belum disahkan, padahal Indonesia merupakan negeri yang mayoritas penduduk beragama Islam. Sementara negeri yang minoritas umat Islam seperti Singapura telah memiliki undang-undang tersebut. Dakwah Islam akan menjadi kuat, jika umat yang mayoritas ikut mendukung dan membantu aktivitas dakwah sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing. Karena itu, organisasi dakwah dan dai tidak memandang mereka sebagai objek atau sasaran ‘Ali ‘Abd al-Halim Mahmûd, Dakwah Fardiyah, terj. As`ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press. 1995), h. 30. 13 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 160. 14 Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 5. 12

414


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

dakwah semata, tetapi mereka harus diposisikan sebagai mitra dakwah dan dipersiapkan, diberdayakan dan didorong untuk menjadi subjek dakwah atau dai. Proses dan kegiatan disebut merupakan strategi pengembangan dakwah. Jika mereka belum dapat diharapkan tampil sebagai subjek dakwah, maka sekurang-kurangnya partisipasi dan dukungan terhadap aktivitas dakwah. Terwujud atau tidaknya hal ini sangat tergantung kepada kemampuan organisasi dakwah dan dai sebagai unsur terpenting dalam sistem dakwah untuk meningkatkan sumber daya umat. Ketiga, kekuatan dakwah dilihat dari segi keberadaan organisasi keagamaan di Indonesia yang bergerak dalam bidang dakwah. Kekuatan dakwah terletak pada peran aktif organisasi keagamaan atau organisasi Islam di Indonesia, yang ikut mengemban dakwah. Tidak ada satu pun organisasi keagamaan yang tidak ikut berkiprah dalam bidang dakwah. Karena dakwah dalam terminologi yang luas meliputi bidang politik, ekonomi, usaha-usaha sosial, kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi seni, dan kodifikasi hukum. Hal itu bagi seorang Muslim harus menjadi alat dakwah. 15 Organisasi keagamaan Islam lebih tua usianya dari negeri ini, karena sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Organisasi keagamaan yang terbesar saat ini adalah Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926) dan Al-Washliyah (1930). Selain itu, terdapat organisasi lainnya seperti Mathla’ul Anwar, Ittihadul Muballighin, dan Al Irsyad. Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa masalah dakwah merupakan hal yang sangat pokok. Karena maksud dan tujuan pendirian persyarikatan tersebut ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.16 Khusus di kalangan cendikiawan, terdapat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang lahir pada tahun 1990. Sedangkan di kalangan mahasiswa dikenal beberapa organisasi yang menamakan diri sebagai organisasi Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (1947),17 Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (1959), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1964). Organisasi yang menamakan diri dan mengkhususkan diri pada kegiatan dakwah adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (1967) dan Majelis Dakwah Islam (MDI). Organisasi yang disebutkan terakhir merupakan organisasi di bawah pembinaan Partai Golongan Karya (GOLKAR). Sementara partai politik yang masih eksis saat ini yang menyatakan diri sebagai partai Islam adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)18

M. Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1991), h. 27. Syarifuddin Jurdi, 1 Abad Muihammadiyah (Jakarta: Kompas Media Nusantara, t.t.), h. 258. 17 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008), h. 65. 18 Sahal L. Hasan, et al., (ed.), Memilih Partai Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 23. 15 16

415


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)19 dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).20 Salah satu tujuan kehadiran partai adalah menjadi wahana untuk masuk ke dalam struktur kekuasaan politik untuk kepentingan dakwah struktural.21 Partai tersebut tidak hanya menyebutkan diri sebagai partai Islam, melainkan juga menyebutkan diri secara khusus sebagai partai dakwah, melalui kegiatan amar ma‘rĂťf nahi munkar, seperti pengakuan PKS.22 Semua organisasi dan partai yang disebutkan di atas dan organisasi Islam lainnya, baik yang bersifat nasional maupun kedaerahan, kehadirannya adalah cukup penting, karena mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu sama-sama untuk memajukan kehidupan umat beragama di Tanah Air. Terlepas dari kelemahan masing-masing, bahwa tidak dapat dipungkiri, peran organisasi-organisasi tersebut cukup besar dalam pembinaan kualitas keberagamaan di kalangan umat Islam. Setiap organisasi telah berperan sesuai dengan program dan skala prioritas, yang merupakan refleksi dari tujuan berdirinya organisasi tersebut. Dakwah yang bersifat multi dimensional dan integratif, tentunya akan menjadi kuat dan lebih mampu memecahkan masalah-masalah aktual dan strategis di kalangan umat. Hal yang sangat diperlukan adalah terjalinnya kerjasama yang baik di antara organisasi tersebut. Kemudian, jika terjadi semacam kompetisi, tentunya dalam rangka fastabiq al-khairât. Namun sikap yang diperlukan dari dai dan organisasi dakwah tidak sekedar reaktif melainkan sikap proaktif, atau tidak sekedar mengkritik, tetapi juga mengusulkan bahkan menawarkan program alternatif untuk kemajuan umat.

Analisis Kelemahan Dakwah Merupakan suatu fakta yang tidak terbantahkan bahwa Islam telah mampu bertahan berabad-abad di Nusantara ini, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas dari waktu ke waktu tidak banyak mengalami perubahan. Ini artinya daya tahan agama Islam dalam pergumulan dengan berbagai tantangan sungguh luar biasa. Namun pada sisi lain, masih cukup banyak ditemukan kelemahan di kalangan umat Islam dalam konteks dakwah. Hal yang delematis adalah bahwa umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, namun minus kualitas. Menurut Ahmad Syafii Maarif, tiga hal utama kelemahan dan ketertinggalan umat, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.23 Label mayoritas dengan minus kualitas, hal ini akan memperburuk citra Islam, sekaligus citra Indonesia di mata dunia, jika tidak segera diatasi melalui pendekatan multi demensional dan integratif.

Ibid., h. 24. Ibid., h. 32 21 Ibid., h. 21. 22 Ibid., h. 59. 23 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), h. 243. 19 20

416


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

Dakwah pada tataran internal merupakan perwujudan dari berbagai kelemahan di kalangan umat Islam. Karena itu, perlu diidentifikasi agar dapat diperbaiki ke depan untuk kemajuan umat dan kejayaan peradaban Islam. Tantangan internal juga dapat direkayasa oleh pihak eksternal agar umat Islam menjadi lemah dan tidak berdaya. Dalam konteks tantangan dakwah, Hamka melihat bahwa umat Islam memiliki empat penyakit utama yaitu keimanan yang lemah, egois, mabuk kekuasaan dan nafsu yang tidak terkendali.24 Pertama, lemahnya semangat untuk berkorban untuk kepentingan agama. Hal ini secara tidak langsung juga menunjukkan lemahnya iman di kalangan umat Islam. Menurut Hamka, iman yang lemah adalah suatu kehinaan, yang bisa mendorong kepada akhlak yang tidak baik, takut kepada musuh atau pengecut dan mementingkan diri sendiri. Setiap umat Islam seharusnya memiliki jati diri sebagaimana yang digambarkan dalam Q.S. al-Fath/48: 29, yaitu tegas terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama Muslim. 25 Kedua, mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap hak-hak orang lain seperti hak sahabat dan tetangga. Ketiga, mabuk kekuasaan. Keempat, nafsu yang tidak terkendali. Selain melihat banyaknya kelemahan umat Islam, Hamka juga menasehati dai agar tidak membangkitkan isu khilafiah, karena hal itu dapat membawa kepada perpecahan di kalangan umat Islam. Di samping itu, perlu dikembangkan sikap optimisme dalam mencapai kesuksesan Islam. Sikap seperti ini dapat dikembangkan dengan adanya keyakinan bahwa al-Qur’an memiliki konsep yang sempurna. 26 Kemudian M. Natsir juga melihat beberapa kelemahan umat Islam. Pertama, umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia, namun potensi atau sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masih rendah. Begitu juga dengan pemahaman tentang Islam. Menurut M. Natsir, pemahaman terhadap Islam dipengaruhi oleh persepsi Barat. Selain itu, masih terdapat pemahaman sempit yang menyelubungi umat Islam, yang mendorong adanya dikotomi, sikap ekstremis, mempertentangkan Islam dengan Pancasila sebagai dasar negara dan berbagai sikap lainnya yang tidak kondusif untuk kemajuan Islam. Selain itu, beberapa politisi Muslim berpaham sekuler, dan mereka tidak ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan Islam.27 Kedua, masalah kemunduran umat Islam dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Tentang peran dan kehidupan ekonomi umat Islam, M. Natsir mengatakan “Di jalur ekonomi, jelas amat menyolok. Dulu umat Islam setidaknya memiliki asset di bidang pembangunan ekonomi. Kelas menengah ekonomi di masa lalu umumnya adalah dari kalangan umat. Namun perkembangan yang ada menunjukkan bahwa seolah umat “terlempar” dari percaturan ekonomi nasional.” 28 Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah, h. 25 dan 29. Ibid, h. 26. 26 Ibid, h. 28. 27 Natsir, Fiqhud Dakwah, h. 60. 28 Ibid, h. 28-29. 24 25

417


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Ketiga, kelemahan dalam pengelolaan potensi umat Islam. Hakikatnya, potensi umat Islam terus meningkat dari waktu ke waktu. Tetapi potensi yang ada tidak terurus dan dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan Islam. Padahal dalam peningkatan dakwah sangat dibutuhkan peran dan kerjasama umat Islam dalam berbagai bidang. Selain itu, menurut M. Natsir, sebagian umat Islam bersikap mengalah, tidak berani mengambil risiko dan tidak waspada terhadap tindak-tanduk pihak eksternal. Sikap ini, menurut tokoh lawan polemik Soekarno ini, muncul karena penyakit cinta kepada dunia (hubb al-dunya) yang berlebihan, meskipun hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Menurutnya kondisi ini sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada zaman pra dan pasca kemerdekaan. Penyakit cinta dunia yang berlebihan, juga dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak modernisasi. Keempat, kelemahan dalam bidang memajukan generasi Islam untuk estafet kepemimpinan. Menurut M. Natsir, hal ini karena sikap tidak peduli antara generasi tua kepada generasi muda. Akibatnya terjadi kelumpuhan dan kelemahan yang mempengaruhi kelanjutan kepemimpinan masa depan. Untuk mengatasi kondisi ini, Natsir menyarankan agar generasi muda Islam, melalui organisasi atau lembaga dakwah mengadakan pertemuan untuk mengkaji masalah tersebut secara serius, menganalisis situasi dan mengembangkan persamaan persepsi. Tetapi karena hal ini termasuk persoalan yang sensitive, maka harus berhati-hati dan tidak terlalu digembar-gemborkan.29 Pada sisi lain, kelemahan dakwah terletak pada dai dan organisasi dakwah dalam pengelolaannya. Keberadaan dai dan organisasi dakwah dapat dipandang sebagai kekuatan, namun pada sisi lain dewasa ini masih ditemukan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain seperti belum adanya kerjasama yang menggembirakan antar organisasi dakwah, kompetensi dai belum memadai, kegiatan dakwah belum menyentuh semua aspek kehidupan umat, peta dakwah belum jelas, lemahnya manajemen dakwah yang merupakan gambaran belum profesional penanganan kegiatan dakwah, dan persoalan sumber dana dakwah yang belum jelas dan sederet kelemahan lainnya dapat diurutkan. Pembahasan berikut ini mencoba menganalisa empat kelemahan yang dianggap sangat mendasar. Pertama, kerjasama antar organisasi dakwah dipandang cukup penting bagi upaya mengatasi kelemahan baik pada tataran konsep maupun pada tataran operasional dakwah. Karena dengan terwujudnya kerjasama yang baik, maka lebih memungkinkan untuk saling memahami, saling belajar dan saling membantu, serta menghindari tumpang tindih

Ibid., h. 69. Pada tahun 1985, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1985, tentang Pancasila sebagai asas tunggal dalam berorganisasi. Undang-undang tersebut terdapat pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akibatnya organisasi Islam dan aktivitas dakwah mendapat pengawalan dari pemerintah. Karena itu, M. Natsir menasehatkan agar umat Islam berhati-hati dalam bertindak. Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),h. 265. 29

418


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

(over lapping) kegiatan dakwah terhadap objek yang sama. Untuk tahap awal misalnya dilakukan pertemuan antara pimpinan organisasi (top leader). Kedua, kelemahan dakwah terletak pada tenaga dai yang berkaitan dengan kualitas, profesionalisme dan kompetensi.30 Dai merupakan unsur pertama dan utama dalam proses kegiatan dakwah. Karena itu keberadaannya sangat menentukan baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun dalam pencapaian tujuan dakwah. Mengingat hal itu, maka pada setiap saat sangat dibutuhkan dai yang berkualitas dan profesional serta mampu memberikan alternatif jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat di era globalisasi saat ini. Ketiga, kegiatan dakwah belum menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Potret dakwah selama ini, lebih dominan dalam bentuk lisan seperti khutbah, ceramah dan sejenisnya. Tema-tema yang dibicarakan pun masih berfokus pada masalah akidah dan ibadah serta berkutat sekitar masalah halal dan haram, surga dan neraka, sementara aspek keislaman lainnya yang sangat luas sering terabaikan. Dakwah dalam terminologi modern adalah upaya rekonstruksi masyarakat yang meliputi perbaikan kehidupan dalam bidang kesejahteraan sosial, pendidikan, hukum, politik, ekonomi, kehidupan budaya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mental spiritual.31 Sebab itu, tema-tema dakwah harus lebih beragam sesuai dengan permasalahan dan tuntutan kehidupan umat. Keempat, peta dakwah yang belum jelas. Bila diperhatikan keragaman permasalahan kehidupan umat, maka kegiatan dakwah bukan kegiatan sambil lalu atau sekali gebrakan lantas membuahkan hasil. Tetapi kegiatan dakwah memerlukan penanganan dan manajemen yang baik serta perencanaan dakwah yang didasarkan pada kondisi objektif umat. Kemudian persoalan selanjutnya adalah bagaimana merumuskan strategi kebijakan dakwah berdasarkan perencanaan yang didasarkan pada hasil penelitian dakwah dan kemudian dituangkan dalam peta dakwah. Pada sisi lain, titik lemah umat Islam pada aspek politik. Faktanya bahwa umat Islam mayoritas dalam sensus, minoritas dalam peran dan kualitas. Jadi jika kecerdasan politik merupakan salah satu titik lemah umat, maka dakwah seharusnya diorientasikan pada upaya mencerdaskan politik umat. Ada persoalan yang mendasar yang perlu diluruskan bahwa secara visi, politik belum disepakati sebagai instrumen yang merupakan bagian Kompetensi da‘i dibedakan kepada tiga hal, yaitu kompetensi substantif, kompetensi metodologis dan kompetensi teknis. Kompetensi subtansif terkait dengan penguasaan ilmu keislamam yang luas dan mendalam dan berakhlak mulia. Kompetensi metodologis menekankan pada kemampuan da‘i dalam merencanakan dan melaksanakan dakwah sesuai dengan kondisi objektif sasaran dakwah. Sementara kompetensi teknis merupakan kemampuan menguasai teknologi yang mendukung keberhasilan dakwah. Lihat Abdullah, Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah (Medan: IAIN Press, 2002), h. 45. 31 Sukrianto, et al., Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah (Yogyakarta: Sipress, 1990), h. 127. 30

419


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 integral dari dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Menurut Eep Saefulloh Fatah terdapat 25 jenis kekeliruan dalam memahami dan praktik politik kalangan umat, di antaranya gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan melihat politik sebagai hitam putih.32

Analisis Peluang Dakwah Secara umum ada dua hal yang menjadi peluang bagi pelaksanaan dakwah Islam di Indonesia. Pertama; keberadaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memberikan peluang bagi pemeluk agama, termasuk Islam untuk meyakini, beribadah dan mengembangkan agamanya masing-masing. Kedua, peluang akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Ketika Soeharto masih sebagai presiden, dalam berbagai kesempatan sering dikatakan, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama (teokrasi). Meskipun Indonesia bukan negara agama, namun masalah agama dipandang sebagai salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia. Hal tersebut terlihat dari asas pembangunan nasional, bahwa asas pertama adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini dimaksudkan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Hal di atas menunjukkan bahwa cukup penting keberadaan iman dan takwa Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bagi pembangunan nasional. Untuk meningkatkan kedua hal itu, maka diantaranya melalui kegiatan dakwah. Secara implisit Pancasila dan UUD 1945 memberikan kesempatan dan peluang bagi kegiatan dakwah dan hasil kegiatan dakwah juga akan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan nasional. Sungguhpun demikian, pemerintah melalui Kementerian Agama selalu memantau, mengawasi dan memberikan bimbingan tentang penyiaran agama, agar tidak terjadi benturan-benturan di antara agama yang ada di Indonesia dan demi terciptanya Trilogi Kerukunan Umat Beragama. Secara lebih tegas lagi Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan tentang Pedoman Penyiaran Agama. Salah satu yang sangat ditekankan adalah bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan kepada orang yang telah memeluk sesuatu agama.33 Eep Saefulloh Fatah, “Kalangan Islam: dari Statistik ke Politik?,� dalam Dhurorudin Mashad (ed.), Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. xiv. 33 Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 155. 32

420


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada satu sisi dapat menjadi peluang dakwah. Namun pada sisi lain, kemajuan IPTEK dapat memberikan dampak negatif atau menjadi tantangan dakwah. Di sinilah fungsi dakwah dan tugas dai untuk menggiring umat agar dapat mengoptimalkan nilai “rahmat” dari kemajuan IPTEK dan menekan atau menghindari nilai “laknat” dan dampak negatif seperti kehadiran situs-situs porno di internet. Secara lebih khusus, kehadiran media massa baik media cetak maupun media elektronik adalah konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Ibnu Hammad, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (Information and Communication Technology-ICT), khususnya telepon, komputer dan satelit yang membentuk jaringan komunikasi di alam maya (cyber), kini informasi sudah mengejawantah dalam segala bentuk (omniform), berada dimana-mana (omniplace) dan untuk berbagai keperluan (omnipurpose).34 Keberadaannya menawarkan peluang bagi kegiatan dakwah atau setidak-tidaknya melalui media massa pesan-pesan dakwah (massage) dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, misalnya melalui koran, radio, televisi dan internet. Untuk itu, umat Islam, khususnya pengelola lembaga dakwah dan dai harus terampil memanfaatkan media-media tersebut. Usaha ke depan, apakah bersifat akademik, kultural atau politis, harus memperhitungkan perkembangan media audio visual dan teknologi komunikasi mutakhir.

Analisis Tantangan Dakwah Dewasa ini, tantangan dakwah tampaknya semakin berat, terutama tantangan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak dari arus modernisasi dan globalisasi. Walaupun di balik tantangan tersebut sesunggunya juga menawarkan peluang-peluang yang harus dimanfaatkan. Tantangan dakwah dapat dibedakan kepada dua hal. Pertama, tantangan yang merupakan ekses atau dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi buruk dari globalisasi. Kedua, tantangan yang berasal dari pihak non-Muslim, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, berbagai program dan strategi yang mereka lakukan. Ketiga, tantangan dakwah akibat dari berbagai persoalan kebangsaan yang memberikan efek negatif kepada kegiatan dakwah. Sementara pada sisi lain, dakwah juga dihadapkan dengan persoalan kemiskinan, terutama dampak dari krisis ekonomi, yang telah mengakibatkan penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu tantangan atau permasalahan pemurtadan dan gazw al-Fikr yang dilakukan pihak non-Muslim dan hal ini harus selalu diwaspadai. Dalam konteks gazw al-fikr, terdapat berbagai tuduhan dari pihak luar Islam seperti Islam dikembangkan dengan pedang dan perang, serta tuduhan Islam agama teroris. Ibnu Hammad, “Kata Pengantar,” dalam Syarif Hidayatullah dan Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual: Keberadaan Dunia Islam di Internet (Jakarta: MIFTA, 2004), h. viii. 34

421


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Selain itu, hal yang berulang kali dilakukan oleh pihak non-Muslim di beberapa negara adalah penghinaan terhadap Islam, al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Tahun 1988, Salman Rushdie menulis buku The Satanic Verses dan yang paling terakhir adalah Majalah Satiris Charlie Hebdo dari Prancis menerbitkan pula 20 karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW. serta film Innocence of Muslims, yang juga menghina Nabi Muhammad. Film tersebut kemudian diunggah ke jaringan internet yaitu di YouTube dan Google. Akibat dari kehadiran film tersebut, selain melukai hati umat Islam, telah pula menelan korban, antara lain telah menewaskan Dubes Amerika untuk Libya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pidatonya pada sidang PBB, yang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menghina agama lain dan mengganggu ketenteraman umum. Namun pada acara yang sama, Presiden Amerika Serikat, Barack Husein Obama mengatakan bahwa ia tidak dapat berbuat banyak dalam kasus tersebut. Mereka telah menyalahgunakan kebebasan berekspresi untuk memprovokasi, menghina keyakinan dan melukai hati umat Islam. Semua bentuk serangan terhadap Islam, al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW., mereka selalu berdalih atas kebebasan berekspresi. Dalam kontek dakwah, semua tuduhan itu harus dijawab secara akademis, bukan dengan sentimen yang berlebihan. Sejauh ini memang sudah ada beberapa upaya untuk melawannya seperti yang dilakukan oleh Irene Handono dan teman-temannya. Ia menulis buku dengan judul Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion.35 Ke depan usahausaha seperti itu, harus terus dilakukan, sehingga ada keseimbangan informasi dan wawasan bagi masyarakat dunia. Tantangan dakwah pada tataran nasional juga sangat beragam. Bangsa Indonesia sekarang sedang melangkah dari kehidupan agraris yang bersahaja kepada kehidupan industri. Proses industrialisasi dan modernisasi, manusia dapat lupa terhadap hakekat hidup dan fungsi ganda yang diembankannya, yaitu sebagai pengabdi kepada Allah (abdun), sebagai khalifah dan penerus risalah kenabian. Manusia dapat menjadi makhluk penyembah teknologi, materi dan kepada sesama. Kalau kondisi ini yang muncul, akibatnya akan menghasilkan industri yang mengelu-elukan teknologi, serta muncul sikap mental arogan terhadap nilainilai transenden yang ditawarkan oleh wahyu Ilahi. Kemudian pada gilirannya akan menjurus kepada pemikiran dan sikap hidup yang sekuler, baik dalam pengertian pemisahan agama dengan politik, maupun dalam pengertian terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai bagian dari kebudayaan, saat

Buku berjudul The Islamic Invasion ditulis oleh Robert Morey, terbitan Christian Scholars Press, Las Vegas. Kesan setelah membaca buku tersebut bahwa penulisnya tidak paham tentang Islam. Ia menghujat Islam, menghujat Allah dan Nabi Muhammad SAW. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Prancis, Jerman, Italia dan Belanda. Lihat Irena Handono, et al., Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion (Kudus: Bima Rodheta, 2004), h. 6. 35

422


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

ini tidak seorang pun manusia dapat melepaskan diri dari pengaruh teknologi. Manusia modern yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan masyarakat industri termasuk di dalamnya, sering memperlihatkan ciri sebagai berikut, yaitu individualistik, menonjolnya pertimbangan material, bersifat egois dan rasional serta menonjolnya pertimbangan pragmatis. Ciri dan pola hidup yang demikian, kita akan dapat memahami bagaimana masa depan kemanusiaan, apakah masih dapat mempertahankan martabat kemanusiaan ataukah akan larut dalam arus besar peradaban modern dan industrialisasi. Bila kondisi ini tidak diintervensi oleh agama melalui kegiatan dakwah, maka manusia akan menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri dan penyembahan kepada diri sendiri.36 Dakwah Islam dituntut untuk memberikan nilai terhadap ilmu pengetahuan, yaitu pada tahap aksiologis, sehingga penerapan ilmu tidak memberikan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia. Demikian juga halnya dalam penerapan teknologi. Baik terhadap ilmu pengetahuan maupun terhadap teknologi, yang sangat menentukan disini adalah manusianya yang mengendalikan ilmu dan teknologi itu. Tantangan berikutnya, yang semakin terasa saat ini adalah akibat dari munculnya era globalisasi. Pada era ini, dunia terasa tidak luas lagi dan kehidupan manusia antar negara menjadi transparan. Akibatnya adalah muncul nilai-nilai baru yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Tarik menarik antara nilai-nilai lama yang bersumber dari agama dengan nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan budaya nasional dan ajaran Islam, menuntut kegiatan dakwah yang lebih intens. Media massa saat ini, yaitu radio, televisi, pers dan teknologi mutakhir, dikuasai oleh pihak Barat. Dalam konteks dakwah keberadaaannya harus selalu diperhitungkan, sebab secara teori media masa mempunyai fungsi memberikan informasi (to inform), mendidik (to educate) dan menghibur (to intertaiment). Media massa juga bersifat ambivalen, pada satu sisi menawarkan “rahmat� yaitu kebaikan, kemudahan dan pencerahan kepada umat manusia sebagaimana fungsi di atas. Namun pada sisi lain atau dalam kenyataannya juga menawarkan “laknat,� yaitu mempunyai kekuatan menghancurkan dan merusak. Menurut Akbar S. Ahmed, media Barat sekarang telah mendominasi dan hadir di manamana dengan peranannya yang ikut menstimulasi, merongrong, mempengaruhi, membentuk opini dan menantang umat Islam.37 Dampak kehadiran media massa, yang ambivalen menuntut kegiatan dakwah yang mampu mengantisipasi hal itu, sehingga umat memiliki kemampuan untuk mewaspadainya.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h.

36

159.

Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Tantangan Bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), h. 11. 37

423


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Perumusan Peta Dakwah Dakwah adalah kegiatan sosialisasi dan pelembagaan ajaran Islam serta upaya peningkatan dan perbaikan kehidupan umat manusia sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, harus ditangani dengan serius dan profesional. Dalam kegiatannya dakwah harus bertitik tolak dari perubahan sosial dan kondisi objektif kehidupan masyarakat atau umat. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang medan dakwah, maka dapat ditempuh melalui penelitian dan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan dan formulasi dakwah yang digunakan dewasa ini. Hal lain yang juga cukup penting melakukan penelitian dakwah secara periodik dan sejatinya sebelum kegiatan dakwah dilakukan, telah ada kejelasan tentang peta dakwah. Peta dakwah adalah penggambaran secara sistematis dan naratif tentang suatu realitas sosial di tengah-tengah masyarakat, yang akan dijadikan medan dakwah. Penggambaran tersebut meliputi situasi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kemudian juga menyangkut sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) serta penggambaran skala prioritas masalah dakwah yang perlu segera untuk ditangani.38 Kelemahan dakwah selama ini, karena belum adanya peta dakwah yang memberikan gambaran yang objektif terhadap hal-hal yang disebutkan di atas. Disebabkan hal itu kegiatan dakwah sering mengalami benturan-benturan yang pada gilirannya menjadi hambatan bagi kemajuan dakwah Islam. Selain itu, penelitian dan pemikiran serta gagasan cerdas tidak hanya terfokus pada objek dakwah, tapi harus menyeluruh terhadap sistem dakwah, yaitu dai, mad‘uw, materi, metode, media dan organisasi dakwah. Selanjutnya pengelola organisasi dakwah dan dai dituntut untuk memahami secara baik tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dakwah. Dari pemahaman tersebut akan lahir sikap untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang dan dapat menekan dan mengantisipasi terhadap kelemahan dan tantangan. Dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak globalisasi, maka pengelola dakwah dan dai harus ada keberanian untuk mengkaji ulang terhadap konsep dan pelaksanaan dakwah dewasa ini. Lebih jauh dari itu, perlu adanya reformulasi terhadap konsep dakwah yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika hal itu tidak dilakukan, maka dakwah akan tertinggal dari kemajuan sosial masyarakat.

Penutup Dakwah sebagai kegiatan sosialisasi Islam harus berlangsung secara terus menerus, dari satu generasi kepada negeri berikut, dari zaman ke zaman hingga akhir zaman. Karena

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogyakarta: Sipress. 1993), h. 245

38

424


Abdullah: Analisis SWOT Dakwah di Indonesia

itu, dakwah harus dirumuskan dan direncanakan untuk jangka panjang. Dai dan oraganisasi dakwah memegang peranan penting dalam upaya perencanaan, pelaksanaan dan eveluasi serta mengatasi berbagai persoalan dakwah dan persoalan umat semakin komplek di era globalisasi, yang menuntut kegiatan dakwah secara profesional. Kegiatan dakwah harus mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dan penghambat serta kemampuan menjadi penyeimbang dalam kehidupan yang terus berubah. Dalam konteks ini, merumuskan dan menganalisis elemen-elemen yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dakwah menjadi tugas bersama dai, organisasi dakwah dan lembaga pendidikan yang bergerak dalam bidang dakwah. Hal itu dapat dilakukan dalam skala kecil, mulai dari sebuah desa, kecamatan, propinsi, negara, hingga peta dakwah internasional. Kemudian penggambaran itu harus dituangkan dalam peta dakwah. Berdasarkan peta inilah, dakwah dikemas dalam bentuk silabus, pemilihan metode yang tepat serta penggunaan media yang relevan. Jika langkah-langkah ini dapat dilakukan, maka dakwah akan mampu menjadi penggerak, perubah dan pembumian ajaran Islam untuk menjadi rahmat sejagat.

Pustaka Acuan Abdullah. Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah. Medan: IAIN Press, 2002. Ahmed, Akbar S. Posmodernisme: Bahaya dan Tantangan Bagi Islam, terj. M. Sirozi. Bandung: Mizan, 1993. Al-Faruqi, Ismail R., dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, t.t. Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers, 1987. Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam, terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta: Wijaya, 1985. Aziz, Moh Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004. Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia 2010. Fatah, Eep Saefulloh. “Kalangan Islam: dari Statistik ke Politik?,” dalam Dhurorudin Mashad (ed.). Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. Hasan, Sahal L. et al., (ed.). Memilih Partai Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981. Hamka. Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional, 2005. Hajjâj, Muslîm bin. Shahîh al-Muslîm, Vol. I, Bab Îmân. No. 78. Hubeis, Musa, dan Mukhamad Najib. Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya Saing Organisasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008. Handono, Irena, et al. Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion. Kudus: Bima Rodheta, 2004. 425


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Ibnu Hammad. “Kata Pengantar,” dalam Syarif Hidayatullah dan Zulfikar S. Dharmawan. Islam Virtual: Keberadaan Dunia Islam di Internet. Jakarta: MIFTA, 2004. Jurdi, Syarifuddin. 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas Media Nusantara, t.t. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009. Masy’ari, Anwar. Butir-Butir Problematika Dakwah. Surabaya: Bina Ilmu, 1993. Mahmud, Ali Abdul Halim. Dakwah Fardiyah, terj. As‘ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta: Sipress. 1993. Natsir, M. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Media Dakwah, t.t. Noer, Deliar. “Kata Pengantar,” dalam Khamami Zada, Islam Radikal. Jakarta: Teraju, 2002. Quthb, Sayyid. Fî Zhilâl al-Qur’ân, Vol. I. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1986. Rais, M. Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1991. Sukrianto, et al. Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah. Yogyakarta: Sipress, 1990. Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan. Jakarta: PPIM-IAIN, 1998. Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Tarigan, Azhari Akmal. Jalan Ketiga Pemikiran Islam HMI. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008. Zada, Khamami. Islam Radikal. Jakarta: Teraju, 2002.

426


HISTORIOGRAFI ISLAM: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf Ajid Thohir Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Raya Cipadung No. 105, Cibiru, Bandung, 10614 e-mail: ajid_thohir@yahoo.com

Abstrak: Studi bio-biografi dalam historiografi Islam, menempati posisi strategis terutama dalam penguatan dan pembentukan mazhab-mazhab di dunia Islam, khususnya dalam bidang fikih dan tasawuf. Tulisan ini mencoba menelusuri dan memetakan bagaimana arah dan model perkembangan studi bio-biografi dalam historiografi Islam. Penulis mengemukakan bahwa hubungan antara sebuah karya dengan dinamika kultural pada setiap ruang dan waktu, mencerminkan masingmasing karya sejarah semakin sarat dengan muatan kepentingan kultural yang sangat kompleks. Kajian bio-biografi tidak hanya terbatas pada bentuk sîrah, thabaqât, tarjamah, ansâb, namun yang paling fenomenal adalah munculnya hagiografi (manâqib), sebuah kajian yang menempatkan seseorang sebagai tokoh puncak intelektual dan spiritual. Kitab manâqib merupakan simbol dalam ikatan mazhab membentuk kohesivitas psikologis bagi para pengikut mazhabnya. Abstract: Islamic Historiography; the Bio-biography and the Development of schools of Fiqh and Tasawuf. The study of bio-biography in Islamic historiography occupies a strategic position, particularly in strengthening and establishing the schools in the Islamic world especially in the realm of fiqh and tashawuf. This paper traces and attempts to map the direction and development of bio-biographical studies in Islamic historiography. The author argues that the relationship between a work and the cultural dynamics at any given time and space, reflecting their respective historical work that highly motivated by the complex cultural interest. The study of bio-biography is not only confined to such works as thabaqât, tarjamah, and ansâb, but it may also be in the form of manâqib, that let someone enjoy the position as the most important intellectual and spiritual figure. The manâqib also symbolizes the schools bond that forms a psychological cohesiveness to the disciples of respective mazhab.

Kata Kunci: bio-biografi, historiografi, ketokohan, fikih, tasawuf 427


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Pendahuluan Perkembangan historiografi Islam, menunjukkan dinamika yang sangat kompleks dan dinamis. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh munculnya sejumlah karya sejarah Islam dengan berbagai jenis variasi, model, tipe, wujud, bentuk dan karakter isinya.1 Realitas keragaman ini didorong oleh adanya berbagai motif dan latarbelakang sosio kultural dan struktur ideologi tertentu yang memengaruhi para penulis sejarah. Momentum kemunculannya bisa saja akibat kondisi dan situasi tertentu serta isu-isu yang mendominasi dan memainkannya, atau oleh kualitas intelektualitas sejarawan sendiri saat melakukan proses perwujudannya.2 Studi ketokohan pada berbagai karya sejarah Islam (historiografi Islam), merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk mengukur kreativitas dan kesadaran kultural masyarakat dalam memahami dan mengapresiasi kehidupan ketokohan keagamaan (mazhab) pada masa lalunya. Melihat berbagai model tulisan tentang sejarah tokoh dan mengklasifikasi bagaimana bentuk, corak, struktur isi dan keunikannya adalah sesuatu yang sangat memungkinkan untuk mengerti dan memahami sejauh mana sebuah kecenderungan dan keberadaan intelektualitas seseorang mengisi dan mewarnai corakcorak komunalitas keagamaannya. Perkembangan tulisan keagamaan baik berupa teks doktrin (kalam, fikih dan tasawuf) maupun studi ketokohannya, setidaknya dapat mewakili dan memposisikan diri dalam pengembangan historiografi Islam secara umum, dan memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap realitas pembentukan komunalitas berbagai mazhab.3 Mengkaji secara akademik tentang model-model studi ketokohan dalam historiografi Islam merupakan salah satu upaya untuk mengetahui realitas yang sesungguhnya bagaimana arti, posisi, signifikansi dan keberadaan seorang tokoh dalam sejarah, serta memahami seberapa besar nilai dan apresiasi sejarawan terhadap studi ketokohan dalam dunia Islam. Berikut ini adalah tulisan yang ingin mencoba memetakan bagaimana arah dan model perkembangan studi ketokohan dalam historiografi Islam.

Wustenfeld, sarjana Jerman yang ahli di bidang pernaskahan sejarah, telah melakukan identifikasi dan pengumpulan sejak tahun 1882 M. tentang banyaknya naskah-naskah sejarah di dunia Islam. Pada Millenium Pertama saja telah muncul tidak kurang dari 590 jenis karya, semua naskah sejarah tersebut telah memiliki berbagai tipe berikut dengan karakter perbedaannya. Naskah-nakah sejarah tersebut terbagi ke dalam berbagai area, dari mulai Persia dan Turki sebagaimana yang telah disurvey oleh C. A. Storey (1935) dan F. Babinger (1927), juga sampai ke wilayah paling Barat warisan dunia Islam di Spanyol sebagaimana hal yang sama yang dikumpulkan oleh F. Pons Boigues pada tahun 1889. Penelitian yang dilakukan sejak tahun 1898-1902 oleh C. Brockelmann secara keseluruhan pada akhirnya dibukukan dalam karyanya Geschicte der Arabischen Litteratur (GAL). Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography (Leiden: E. J. Brill, 1968), h. 3-4. 2 W. H. Walsh, Philosophy of History: An Introduction (New York: Harper Torchbooks, 1967), h. 99-116. 3 Sayyid ‘Abd al-‘Azîz Sâlim, Al-Târikh wa al-Mu’arrikhûn (Beirut: Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 75-96. 1

428


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

Posisi dan Fungsi Historiografi Islam Dari segi bahasa, kata “historiografi” mengandung arti penulisan sejarah,4 tulisan sejarah,5 dan mengandung arti tentang sejumlah literatur yang berkait dengan ilmu sejarah.6 Dalam pengertian yang lebih populer atau tinjauan kekinian, para ahli sejarah mengenalkan pengertian historiografi lebih cenderung untuk mengarah pada dimensi keilmuan yang memberikan gambaran tentang berbagai model karya sejarah. Nisar Ahmed Faruqi7 mendefinisikan secara khusus, “historiography is the science of committing anecdotes and their causes to writing with reference to the time of their occurance”. Secara terminologis Rosenthal juga menyebutkan bahwa historiografi Islam adalah karya sejarah yang ditulis oleh penganut agama Islam dari berbagai alirannya.8 Sedangkan HAR. Gibb menyamakan pengertian historiografi Islam dengan ilmu al-tarîkh, yang dalam literatur Arab mencakup bentuk analytic (kronologis) maupun biografis.9 Historiografi Islam adalah studi yang menyangkut dengan berbagai ilmu sejarah dan karya sejarah dalam kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut berbagai hasil tulisan yang diciptakan oleh kaum Muslim dalam menggambarkan aktivitas manusia dalam setiap ruang dan waktunya. Historiografi sebagai bagian dari ilmu sejarah modern, menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diposisikan secara akademis karena status keilmuannya yang begitu besar dalam memberi kewenangan untuk melihat, membandingkan bahkan menilai berbagai karya penulisan sejarah. Posisi studi ke arah ini menjadi semakin penting ketika ia dihubungakan dengan perkembangan mental dan intelektualitas kaum Muslim dalam memahami dan menyikapi serta membangun kesadaran masa lalunya. Berbagai karya tulisan sejarah merupakan satu-satunya wujud dari semua bentuk ekspresi dari kesadaran terhadap masa lalu. Apalagi bila mengingat bentuk penulisan sejarah adalah puncak dari totalitas keilmuan setiap sejarawan,10 yang di dalamnya merangkum semua gagasan, proses, metodologi, tema, semangat, ideologi dan sebagainya yang menjadi pilihan dari seluruh kemampuan dan tanggungjawabnya sebagai ilmuan. Sebab apa yang dituliskan sejarawan merupakan refleksi dari kemampuannya dalam menangkap dan memahami

William Morris, et al. (ed.), The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. I (Boston: Houghton Mifflin Company, 1979), h. 625. 5 James A. H. Murray, et al., (ed.), The Oxford English Dictionary (Oxford: The Clarendon Press,1978, h. 305. 6 Morris, et al. (ed), The Heritage Illustrated Dictionary, h. 625. 7 Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography (Delhi: Idarah-i Adabite Delli, 1979), h. 2. 8 Rosenthal, “Islamic Historiography,” dalam David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. V (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972), h. 407. 9 Hamilton A.R. Gibb, Studies on The Civilization of Islam (Boston, Beacon Press, 1968), h. 108. 10 Taufik Abdullah, “Sejarah dan Historiografi,” dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1985), h. xv. 4

429


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 berbagai peristiwa sejarah yang betul-betul pernah terjadi (histoire-realite), baik pada diri individu maupun sosial kolektif. Manfaat dari kajian historiografi akan mempermudah dalam menyoroti isi filosofis dan teoritis dari penelitian dan karakter setiap penulisan sejarah, termasuk pandangan hidup (weltanschauung) dari setiap sejarawannya. Karena historiografi memiliki karakter yang berbeda-beda menurut negerinya, masanya, kepribadiannya serta komunitasnya.11 Mempelajari historiografi tidak terlalu banyak menuntut aspek-aspek substantif-faktual dari proses sejarah, tapi lebih mengutamakan dan memusatkan perhatiannya terhadap pikiran-pikiran historis dalam konteks kultural penulisannya, sehingga hasilnya diharapkan akan mempertinggi kemampuan penstudi dalam membuat pandangan (self-reviewing) dan perbaikan (self-correcting) serta menaruh perhatian pada setiap karya yang dikajinya.12 Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu sejarah (al-târikh) telah dikategorikan secara khusus sebagai bagian dari ilmu-ilmu keagamaan (ulûm al-dîniyyah atau ulûm alnaqliyyah) karena pada awal pertumbuhannya terkait erat dengan perkembangan ilmu hadis.13 Sebelum munculnya kesadaran akan pentingnya hadis sebagai salah satu sumber dari ajaran Islam, kaum Muslim belum begitu mempedulikan arti penting dan manfaat pendokumentasian dan catatan tentang perilaku keseharian Nabi Muhammad SAW. dalam mempraktekkan nilai-nilai kewahyuan di tengah-tengah umatnya. Seluruh informasi tentang masa lalu hanya cukup diceritakan para rawi atau didengarkan saja pada mereka yang kebetulan membutuhkan penjelasan atau kebetulan menanyakan mengenai bagaimana Nabi Muhammad SAW. melakukan atau memutuskan sesuatu masalah. Selanjutnya, meskipun pada mulanya praktik mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. karena untuk kepentingan dan keperluan kegiatan agama, saat meriwayatkan segala tindakan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. atau yang biasa disebut takhrij hadis atau atsar sebagai dasar hukum Islam, maka dengan serta merta kegiatan ini bagi para ulama bisa dijadikan sebagai praktek dalam melakukan kajian sejarah secara kritis. Seluruh informasi hadis tentang perbuatan Nabi Muhammad SAW., para sahabat yang berpartisipasi di dalamnya, bagi para tabiin atau tabit-tabiin dan seterusnya yang ingin mengetahui dan kelak akan mengikutinya, adalah realitas sosio kultural keagamaan dan bentuk kesadaran sejarah yang luar biasa hebatnya. Karena mereka meyakini bahwa hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. merupakan nilai kewahyuan kedua yang saat itu masih berserakan dan berada di mana-mana seiring para sahabat dan tabiin yang banyak migrasi ke berbagai wilayah di luar Makkah dan Madinah, yang tentunya keseluruhannya harus dikumpulkan secara selektif. Inilah zaman yang Raymond Aron, Introduction to the Philosophy of History (New York: Doubleday Anchor, 1961), h. 282. 12 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 14-15. 13 Yusri ‘Abd al-Ganî, Mu‘jam al-Muarrikhîn al-Muslimîn (Kairo: Dâr al-Turats, 1998), h. 1. 11

430


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

mengawali tradisi tulis-menulis pengumpulan hadis (diwân al-hadîts) sekaligus sebagai sebuah kesadaran sejarah. Karena semua kumpulan informasi masa lalu yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya tersebut, kelak akan dijadikan sebagai dasar dan pijakan bagi praktek keagamaan oleh mereka dan generasi berikutnya secara menyeluruh. Dari seluruh kegiatan ilmiah tersebut, pada akhirnya para ulama abad ke-4 H ini dapat menemukan dan merumuskan secara metodologis aspek-aspek penting yang bisa mendeteksi tentang berbagai informasi dan fakta-fakta sejarah (al-khabar) yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran atau kesahihannya. Secara realistik, penemuan tentang metode yang bisa menjamin kualitas tentang informasi atau khabar tersebut kemudian disebut ulûm al-hadîts yang meliputi ’ilm al-rijâl, ‘ilm al-matan, ‘ilm al-jarh wa al-ta‘dîl, dan al-thabaqât.14 Dengan demikian, munculnya ilmu sejarah (al-târikh) di dunia Islam secara umum bisa dipastikan dan didasari oleh adanya perkembangan ilmu hadis.15 Perkembangan ilmu sejarah (al-târikh) sebagai disiplin ilmu pada periode ini pada satu sisi belum bisa dinyatakan secara khusus terpisah sebagaimana tafsir, hadis, fikih dan kalam. Tetapi produktivitas karya dan penggunaannya sangat terasa sebagai ilmu bantu, dan begitu penting dalam membantu menemukan pemahaman keislaman. Karena itu, posisi ilmu târikh pada periode awal masih identik dengan prosa atau sya’ir yang bisa menjelaskan aspek-aspek tertentu dari permasalahan keagamaan maupun persoalan-persoalan hukum secara khusus, dan ia merupakan ilmu yang sangat banyak faidah dan manfaatnya.16 Periode transmisi ilmu-ilmu Yunani ke dunia Islam, nampaknya tidak memberi dampak sama sekali bagi pengembangan model-model studi sejarah di kalangan para sarjana Muslim saat itu, sehingga bisa dikatakan sejarah merupakan bentuk ilmu pengetahuan asli dunia Islam atas dorongan ilmu hadis dan tafsir al-Qur’an serta Aspek-aspek dari ulûm al-hadîts yang begitu banyak itu, nampaknya sebagai upaya serius dari para ulama periode Klasik dalam menelusuri dan mencari berbagai informasi kewahyuan yang disandarkan dari sabda-sabda Nabi Muhammad SAW. Informasi tersebut berserakan di antara para sahabat, kemudian turun pada para tabiin dan tabiit-tabiin dan seterusnya yang selanjutnya disebut sebagai râwi (periwayat), sehingga validitas, kredibilitas serta objektifitas tentang informasi materi (matan hadis) yang disampaikan oleh sumber atau para perawi hadis tersebut sangat diutamakan. ‘Ilm rijâl adalah ilmu yang menyelidiki tentang kredibilitas seorang perawi hadis. ‘Ilm matan adalah ilmu yang menyelidiki secara khusus isi informasi, mutu dan kualitas serta maknanya apakah selaras dengan nilai-nilai kewahyuan atau syariat yang ada atau tidak, termasuk dari segi-segi bahasa yang disandarkan pada gaya bahasa Nabi Muhammad SAW. ‘Ilm Jarh wa Ta‘dîl, adalah yang mengkritisi secara detil orang-orang yang akan dijadikan perawi hadis, termasuk kelompok orang-orang yang dianggap diragukan sebagai ahli hadis, orang-orang pelupa, ragu-ragu, lemah hapalan, suka berdusta atau mengarang cerita. Thâbaqât adalah ilmu yang menyelidiki tingkatan dan status seseorang dalam kategori zaman, karakter atau profesi dan sebagainya. Relasi ilmu sejarah dan hadis telah dipaparkan oleh al-Sakhawî (w. 1494 M) dalam karyanya I‘lân bi al-Taubîkh li man Dzamma Ahl al-Tawârikh. 15 Faruqi, Early Muslim Historiography, h. 185-186. 16 Al-Muhy al-Kâfiyaji, “Al-Mukhtashar fî ‘Ilm al-Târikh,” dalam ‘Izz al-Dîn ‘Alî, Dirâsât alNaqdiyyat fî al-Mashâdir al-Târikiyyat (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.t.), h. 15-16. 14

431


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 warisan klasik Arab. Karena para ahli sejarah Islam sepakat bahwa istilah ‘ilm al-târikh atau historiografi Islam, betul-betul berangkat dan berakar dari tradisi khabar yang biasa berkembang di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam, atau yang biasa dikenal ayyâm al-‘Arab, yakni cerita peristiwa (peperangan) suku-suku mereka.17 Namun pada perkembangan berikutnya sejarah mendapat perhatian khusus dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman, baik untuk kepentingan karena berkait dengan ilmu-ilmu tertentu seperti asbâb al-nuzûl bagi studi teks-teks al-Qur’an maupun asbâb al-wurûd bagi studi teks-teks hadis Nabi Muhammad SAW. berikutnya.18 Dengan demikian, ada dua faktor penting yang mendukung bagi berkembangnya penulisan sejarah di dunia Islam atau sesuatu yang melatarbelakangi gerakan tumbuhannya historiografi Islam saat itu, yakni pertama akibat dorongan al-Qur’an yang menekankan penting belajar sejarah, termasuk al-Qur’an secara langsung telah mencontohkan berbagai penulisannya dan memberikan informasi tentang sejarah masa lalu umat manusia berikut tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Kedua, karena ditunjang oleh lahirnya ilmu hadis. Motivasi untuk mengenal dan mengetahui secara detil pola dan perilaku Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat-sahabatnya dalam mengaplikasikan ajaran al-Qur’an, secara tidak langsung mendorong para ulama keagamaan untuk terlibat langsung dalam kajian sejarah yang kritis. Dengan bekal lmu hadis pula mereka menjadikan metode kritik penulisan sejarah paling awal, karena aspek-aspek metodologis di dalamnya sangat jelas dan lugas dalam menentukan objektivitas berbagai informasi masa lalu.

Historiografi Islam: Sejarah Tokoh dan Sejarah Sosial Bagi sebagian sejarawan Muslim, menuliskan berita tentang masa lampau seperti dijelaskan di atas, bukan hanya atas dasar tuntutan sosial keagamaan, tapi juga secara doktrinal teks al-Qur’an sendiri banyak memberi pengaruh yang cukup kuat. Bahkan teks suci mereka sendiri, al-Qur’an memberi contoh penulisan yang sangat realistik dalam menceritakan tentang banyak hal mengenai realitas kehidupan individual dan sosial Hussain Nashshar, Nasy’at al-Tadwîn al-Târikhy ‘inda al-‘Arab (Kairo: Maktabah alMishriyah, t.t.), h. 6-7. 18 Menurut Hussain Nashshar tradisi penulisan sejarah Islam awal berkembang dari dua arus. Pertama arus lama yakni kelanjutan dari cerita-cerita khayal dan folklore arab yang disampaikan oleh narator-narator yang berpindah-pindah dari Arab Utara dalam bentuk alansâb dan al-ayyâm, dan cerita tentang raja-raja Arab Selatan serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya arus lama ini berbentuk syair. Kisah-kisah mereka tidak didasarkan pada penanggalan kejadian, dan antar peristiwa tidak menggambarkan hubungan. Kedua, arus baru, yakni gerakan penulisan sejarah yang dimunculkan oleh Islam yang didasarkan atas berita-berita yang otentik dan mendalam berbentuk sîrah atau biografi yang didasarkan pada tradisi penulisan hadis. Informasi yang dikandungnya didapat dari hasil seleksi dan kritik. Meskipun demikian kenyataannya ada juga yang berupa khayalan tentang diri rasul, akibat pengagungan kaum Muslim pada rasulnya. Para sejarawan mengumpulkan semua kisah tersebut dan menggabungkannya serta menjelaskannya dengan beberapa ayat al-Qur’an. Nashshar, Nasy’at al-Tadwîn al-Târikhî, h. 67-68. 17

432


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

pada masa lampau. Sejumlah surat dan ayat menceritakan peran dan perilaku mereka dan sejumlah aspek yang menyangkut pola dan tradisi kehidupannya. Semunya digambarkan secara konkrit dan realistik dalam al-Qur‘an, baik menyangkut peran dan perilaku yang disenangi maupun yang dinilai sangat jelek atau kontoversial secara moral. Pola pengungkapan al-Qur’an terhadap semua peristiwa yang terdapat dalam kandungan al-Qur’an, direkam dan dijelaskan oleh ratusan ayat ada yang dituliskan secara global ada juga sampai pada hal-hal yang sangat detilnya, semacam dialog dan ungkapan hati. Seperti halnya kisah para Nabi, keluhan dan perasaan Nabi Zakaria as. yang menghendaki generasi keturunan, dialog Musa as. dengan Fir’aun, dan kisah perjalanan Nabi Yusuf as. dan keluarganya, dijelaskan cukup jelas dalam al-Qur’an.19 Dilihat dari perkembangan awalnya, sejarawan Muslim generasi pertama yang melakukan kajian sejarah terutama tentang sîrah Nabi Muhammad SAW., seperti peperangan dan penaklukan-penaklukannya semata-mata untuk kepentingan dan legitimasi para khalifah dalam menerapkan berbagai kebijakan futûhiyyah (penaklukan wilayah). Para penulis sejarah awal itu di antaranya adalah ‘Urwah bin al-Zubair (w.712 M) yang menulis Sîrah Nabâwîyah, Wahab bin Munabbih (w.728 M) yang menulis sejarah para penguasa Himyar, dan Ibn Syihab al-Zuhrî (w.742 M) yang menulis tentang Magâzî (peperangan Nabi Muhammad SAW), Ibn Ishâq (w.768 M) yang menulis Sîrah Nabâwîyah dan Ibn Mikhnaf (w.768 M) yang juga aktif dalam melakukan kajian-kajian sejarah.20 Meskipun karyakarya mereka saat ini tidak lagi bisa dijumpai pada saat ini, namun informasi dari keberadaan karya-karya mereka masih terus diabadikan oleh murid-murid di belakangnya. Bagi para sejarawan belakangan, inspirasi dari kisah-kisah al-Qur’an dan pemahaman bagi pentingnya menyimpan memori masa lalu, nampaknya telah menuntun pula dalam membangun beberapa teknik pengembangan model penulisan. Kedua model penulisan sejarah di atas, yakni model penulisan sejarah umum seperti sejarah kolektif sosial umat Islam manusia, maupun sejarah individual, yakni studi ketokohan seseorang berupa biografi sahabat dan thabaqât pada akhirnya telah mengarahkan pada perkembangan model penulisan yang lebih khusus lagi tentang ketokohan, yakni karya yang lebih

Kajian khusus tentang historiografi sejarah dalam al-Qur’an mengenai sekira 90-an tema sejarah diungkap secara lengkap dalam karya bersama Muhammad Jad al-Maula, ‘Ali Muhammad al-Bajawî, Muhammad Abû Fazl Ibrâmî dan Sayyid Syahatah. Para penulisnya menyadari pentingnya untuk memudahkan memahami historiografi dalam al-Qur’an. Karena banyak cerita dan peristiwa yang ada di dalam al-Qur’an tidak diceritakan secara utuh baik dalam kitab-kitab tafsir maupun kitab-kitab hadis. Maka untuk memudahkannya mereka susun dalam cerita yang utuh yang sumbernya secara keseluruhan sesuatu yang sudah ada dalam al-Qur’an. Lihat Muhammad Jad al-Maula et al., dalam Qashash al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Jail, 1988); Imâm al-Sya‘râwî, Qashas al-Anbiyâ’ (Beirut: Dâr ‘Ilmiyyah, 2009). 20 Namun menurut catatan Ibn al-Nadim dalam al-Fihrasât-nya diduga mereka para pengkaji sejarah awal di antaranya Ziyad bin Abih (w. 53 H), ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs (w. 68 H) dan ‘Ubaid bin Syuraih al-Jurhamy (w. 80 H). Lihat Nashshar, Nasy’at al-Tadwîn al-Târikhî, h. 12; al-Ganî, Mu‘jam al-Muarrikhîn, h. 8. 19

433


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 mengarah pada keunggulan seseorang dalam aspek moral dan spiritual atau karâmahnya, yakni hagiografi.21 Pola dan model penulisan yang disebutkan terakhir ini, pada akhirnya menjadi semakin menonjol dan menempati posisi penting dalam historiografi Islam. Kitâb Sîrah Nabawî merupakan bentuk dan model penulisan sejarah individual paling awal dibuat dibanding dengan model penulisan sejarah yang bertemakan sejarah kolektif atau umum. Di tangan Ibn Hisyam (w. 824 M) murid Ibn Ishâq (w. 768 M), tradisi penulisan sîrah begitu populer pada masanya, hal ini berkait erat karena sîrah Nabâwî yang dikembangkannya merupakan bagian penting dari tradisi penulisan hadis, karena informasi yang ditulisnya adalah sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kehidupan Nabi Muhammad SAW. sebuah tolak ukur bagi kehidupan beragama (uswah al-hasanah, Q.S. al-Ahzâb/33: 21).22 Sedangkan model sejarah kolektif baru muncul belakangan terutama di tangan Imam Thabarî (w.923 M) dengan Târikh al-Umâm wa al-Mûlûk,23 dan al-Tsa‘labî (w.1037 M) dengan Qashash al-Anbiyâ’.24 Kriteria menulis sejarah yang baik menurut al-Sakhâwî adalah keterpaduan antara pengetahuan teks dan berita-berita yang lahir dari kehidupan sosial. Hal ini merupakan contoh dan model dari kompleksitas historiografi Islam yang bisa mewakili corak dari isi karya sejarah, hadis, fikih, kalam dan tasawuf. Semuanya dibutuhkan untuk saling bersinergi dalam memberikan informasi sejarah Islam yang benar.25 Dari sekian banyak tulisan sejarah yang telah dilakukan para sejarawan tersebut di atas, baik dalam tema-tema khusus maupun umum, secara tidak langsung telah membentuk Para penulis hagiografi (kitab manâqib) belakangan, mencoba membentuk model baru dalam mengembangkan model penulisan sejarah individual dengan mengkhususkan pada aspekaspek keunikannya. Misalnya kisah-kisah keajaiban yang menyangkut pada diri tokoh-tokoh yang ditulis al-Qur’an. Kisah Maryam, Luqmân al-Hakim, Iskandar Dzulqarnain, dan Khidir as. dengan berbagai keunikan karâmahnya, nampaknya telah melatarbelakangi bagi kemunculan model penulisan khusus yang kelak disebut Kitâb al-Manâqib. Karena secara umum model-model penulisan sejarah telah dicontohkan sedemikian rupa dalam al-Qur’an. Lihat, Muhammad Khalâfullâh dalam al-Fann al-Qashshi fî al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1957), h. 118-119. 22 Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 431-432. 23 Ibid., h. 544- 550 24 Al-Ganî, Mu’jam al-Muarrikhîn, h. 12. 25 Syams al-Dîn al-Sakhawî, “al-I‘lân bi al-Taubîkh li man Dzamma Ahl al-Târikh,” dalam Muhammad Kamâl al-Dîn ‘Izz al-Dîn ‘Alî, Dirâsât al-Naqdiyyat, h. 38-43. Menurutnya, ketika menuliskan sejarah klasik Islam, paling tidak sejarawan harus bersumber pada karya-karya (klasik) berikut al-Mushannaf karya Ibn Abî Syaibah (w. 849 M), Târikh wa Shahîh karya al-Bukhârî (w. 870 M), Sunan karya Abû Dâûd (w. 889 M), Murûj al-Dzahab karya al-Mas‘ûdî (w. 956 M), al-Aghânî karya al-Ishfahânî (w. 967 M), Târikh al-Rusûl wa al-Mulûk, Tafsîr Jamî’ al-Bayân karya al-Thabârî (w. 971 M), al-Shahâh fî al-Lughah karya al-Jauhârî (w. 1003 M), al-Sîrah karya Ibn Faris (w. 1004 M), ‘Arâis al-Majâlis karya al-Tsa‘alabî (w. 1035 M), Târikh al-Bagdâdî karya Khathib al-Bagdâdî (w. 1072 M), Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn karya al-Gazâlî (w. 1111 M), al-Mu’arrab min Kalâm al-A’jamy karya Ibn Jawaliqî (w. 1145 M), al-Qawâid karya ’Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm (w. 1262 M), al-Rawdl, Thabaqât al-Fuqahâ’ dan Fadhâ’ih al-Bathiniyyât karya Nawâwî (w. 1278 M), Thabaqât al-Syafi‘iyyâh karya Taqî al-Subkî (w. 1355 M). 21

434


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

corak dan modelnya secara sendiri-sendiri. Model-model penulisan sejarah individual maupun sosial, secara metodologis kecenderungannya lebih banyak berkembang dalam bentuk corak penulisan ansâb, sîrah, tarjamah, thabaqât dan manâqib. Bahkan beberapa karya sejarah Islam yang berkembang antara abad ke tiga Hijriyah (9 M) sampai abad ke sembilan Hijriyah (15 M), telah menunjukkan karakter perbedaan yang relatif mencolok dari bentuk awalnya.26 Jika pada masa awal tradisi penulisan sejarah seringkali mengikuti seleksi riwayat yang begitu ketat dengan pola dan standar ilmu hadis, maka pada periode berikutnya mereka melakukan penulisan sejarah dengan cara-cara yang lebih mudah dan longgar dalam menyeleksi sumber-sumber. Para sejarawan belakangan biasanya berlaku pula sekaligus sebagai saksi sejarah terhadap objek yang sedang ditulisnya, atau paling tidak mereka hidup sezaman dan dekat dengan apa yang sedang dikajinya, sehingga tampaknya tidak lagi memerlukan beberapa kaidah ilmu riwayat yang ketat. Para penulis sejarah umunya merangkap sebagai pelaku yang terlibat misalnya sebagai sekretaris khalifah, sebagai wazir, tentara, atau orang yang terlibat secara langsung dengan perkawanan komunitasnya seperti halnya para murid-murid dalam sebuah perkumpulan mazhab tarekat sufi, fukaha maupun ahli hadis. Semua itu semakin memudahkan untuk menuliskan apa saja yang ingin diungkapkannya,27 sehingga produktivitas karya-karya sejarah semakin beragam dan berkembang lagi. Munculnya kecenderungan para sejarawan dalam mengungkap secara detil aspekaspek kepribadian seorang tokoh, keagungan akhlaknya, kehebatan karyanya, atau aktivitas kesehariannya, akhirnya secara langsung memberikan peluang baru bagi para peminat dan pengagum tokoh-tokoh mazhab untuk mempromosikan keberadaan tokoh yang dikaguminya secara lebih spesifik dalam berbagai kitab manâqib (hagiografi).

Akar dan Model Penulisan Sejarah Tokoh Dalam batas-batas tertentu, ketokohan di dunia Islam sangat diapresiasi oleh merekamereka yang berada di bawahnya, baik itu sebagai pengikutnya, muridnya, atau sebatas sebagai pengagumnya. Berikut ini beberapa model dan akar-akar tradisi penulisan sejarah tokoh dalam historiografi Islam, yang pada akhirnya sedikit banyak memberi pengaruh pada penulisan model kitab manâqib (hagiografi), sebagai sebuah model mutakhir dari studi ketokohan sejarah di dunia Islam.

Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 427. Beberapa karya yang berkait dengan hal ini misalnya, Sîrah Ahmad Ibn Thûlûn oleh Balawy, Sîrah Ahmad Ibn Thûlûn oleh Ibn al-Dâyat, Sîrah al-Ikhsyîdw oleh Ibn Zawlaq, Akhbâr al-Râdlw wa al-Muttaqw Billah oleh al-Shûlî, Sîrah Shalâh al-Din oleh Ibn Syaddâd, Kitâb al-Raudhatain fî Akhbâr al-Daulatain (al-Nûriyah wa Shalâhiyah) oleh Abû Syamah. Lihat Sayyidah Ismâ‘îl Kasyif, Mashâdir al-Târikh al-Islâmî wa Manâhij al-Bahts Fîqh (t.t.p.: Mathba’ah al-Sa’adah, 1976), h. 54. 26 27

435


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Tradisi Penulisan Model al-Ansâb Pengagungan terhadap keberadaan nasab (garis keturunan) merupakan tradisi Arab Jahiliyah yang diwarisi kaum Muslim dan menjadi cikal-bakal dalam mengembangkan tradisi ketokohan seseorang. Karena salah satu keberadaan status sosial seseorang terletak pada garis keturunannya. Bagi kebanyakan masyarakat Arab, kebanggaan pada suku merupakan ciri dari keberadaan status sosial yang memilikinya, meskipun pada saat itu (masa-masa pra Islam tradisi) al-ansâb hanya cukup dengan dihafal saja. Bangkitnya penulisan al-ansâb dimulai oleh aliran Irak,28 dan menjadi sesuatu yang sangat penting ketika Bani Umayyah di Damaskus kembali melakukan legitimasi politik kearabannya dengan menempatkan posisi status kesukuan Quraisy sebagai pewaris politik dunia Islam satu-satunya yang sah saat itu. Kepentingan ini menjadi semakin kokoh ketika kebijakan arabisme yang digulirkannya menjadi mainstream politik umum, yang ingin menempatkan posisi orang-orang Arab menjadi sentral di pos-pos kekuasaan di wilayah-wilayah luar arab dibanding bangsa-bangsa lainnya. Meskipun pola penulisan ansâb ini terus berlanjut dalam menggunggulkan ketokohan seseorang, namun setelah abad ke 9 M. kepentingannya lebih bersifat melunak, karena etnik lain di luar Arab dalam tubuh pemerintahan Dinasti Abbasiyah terutama Persia dan Turki cukup dominan. Fungsinya lebih melebar dan mengembang bukan hanya dalam kepentingan politik saja, tapi juga masuk dan membentuk pada garis geneologi keilmuan. Tradisi penulisan al-ansâb ini, kelak akan memberikan pengaruh dalam membentuk jalurjalur genelogi keilmuan atau sanad-sanad keilmuan serta telah menunjang bagi pola penulisan biografi dan hagiografi dalam sejarah Islam.29 Kesan ini akan terasa nampak, bila tendensi pengagungan tokoh selalu dimulai dari cikal-bakal keluarga besar atau geneologi keluarga besarnya, guru-guru sebagai sanad (geneologi) periwayatan keilmuan dan sebagainya.

Tradisi Penulisan Model Sîrah dan Tarjamah Kata al-sîrah secara semantik adalah perjalanan. Dalam kajian historiografi, alsîrah berarti studi tentang perjalanan kehidupan seseorang, atau biografi seorang tokoh. Nampaknya, munculnya studi tentang sejarah ketokohan di dunia Islam telah dimulai dari tradisi penyanjungan pada seseorang yang berjasa di kalangan masyarakat Arab pra Islam khususnya pada tokoh-tokoh yang muncul di masing-masing kabilah. Mereka mengungkapkan tentang peran yang dilakukannya, nasab keturunannya dan beberapa aspek keistimewaan yang muncul dalam dirinya. Tradisi penyanjungan ini mereka

Diduga tradisi al-ansâb juga berkembang di Irak, karena tradisi kekuasaan Persia kuno menempatkan ketokohan seseorang sebagai raja adalah sesuatu yang harus dikenal dan tidak bisa dimungkiri untuk terus diwariskan pada turunannya. Para turunan inilah tampaknya yang mengambil peran penting untuk mengambil manfaat sekaligus menuliskannya. 29 Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 445-452. 28

436


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

ungkapkan dalam berbagai cerita lisan (al-riwâyat al-syafawiyyat) hingga proses penyebarannya cukup mudah untuk bisa dikenal di kalangan masyarakat luas.30 Bagi kalangan masyarakat Arab Utara, tradisi penyanjungan ketokohan serta berbagai dinamika kabilah (suku), pada akhirnya lebih dikenal dengan sebutan “ayyâm al-‘Arab” yang menjadi bagian integral dari carita rakyat Arab atau folklor Arab secara umum.31 Namun pada akhirnya isi dari folklor yang ada, bukan lagi hanya cerita tentang ketokohan seseorang di tiap-tiap kabilah, melainkan pula tentang berbagai cerita dan dinamika peperangan antar kabilah itu sendiri. Meskipun pada akhirnya cerita-cerita ini banyak dibumbui dengan berbagai unsur khayal yang bernuansa fiktif dan imajinatif.32 Dengan demikian, sebagian dari akar-akar tradisi penyanjungan tokoh ini secara tidak langsung cukup berpengaruh pada historiografi Islam pada masa-masa awal Islam, terutama dalam menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai pemimpin umat dengan enuh sanjungan. Karena keberadaan dan keteladanan Nabi Muhammad SAW. telah menempati ruang tersendiri secara khusus di mata pengikutnya yang untuk selanjutnya bisa mendorong bagi terciptanya pembuatan dan penulisan sîrah Nabâwî.33 Dalam perkembangan berikutnya, tradisi penulisan sejarah semakin lama semakin berpusat pada orang-orang yang memegang kekuasaan. Karena itu, penulisan biografi para khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. dan orang-orang yang berpengaruh pula dalam memimpin umat sepertinya telah menjadi kecenderungan khusus yang cukup kuat dalam historiografi Islam. Apalagi pada masa Klasik, masyarakat sangat bergantung pada kepemimpinan para seorang tokoh. Kumpulan biografi (siyâr wa tarâjim) tokohtokoh politik, misalnya ditulis oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî (w. 1505 M), Târîkh al-Khulafâ’, ‘Alî bin Munjib al-Shair (w. 1147 M), Wuzara‘ al-Khulafâ al-Fâthimiyyîn (para menteri dari para Khalifah Dinasti Fatimiyah), Ibrâhîm al-Shabî (w. 994 M) menulis Kitâb al-Tâj (buku tentang Mahkota kekuasaan) berisi tentang biografi para penguasa Dinasti Bani Buwaihi, Hilâl al-Shabî (w.448 H/1056 M) menulis Kitâb al-Wuzarâ‘ (buku tentang Para Menteri).34 Perbedaan yang paling mencolok antara model penulisan sîrah dan tarjamah, jika yang pertama dalam menggambarkan biografi kehidupan seorang tokoh diuraikan secara lebih luas dan mendalam, sehingga seringkali muncul dalam satu buku tersendiri, hal ini terlihat misalnya dari berbagai bentuk sîrah al-Nabâwîyah yang sangat lengkap dan dalam. Sedangkan tarjamah adalah model penulisan tokoh yang polanya bersifat ensiklopedis, ringkas, padat dan mencakup aspek-aspek penting tertentu dari tokoh yang digambarkannya. Tradisi penulisan tarjamah tampaknya telah dimulai dan digunakan

Ibid., h. 456. Ibid., h. 454. 32 Kasyif, Mashâdir al-Târîkh, h. 12. 33 Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 456-457. 34 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 208 30 31

437


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 untuk mengisi berbagai materi tentang ketokohan seseorang di berbagai kitab thabaqât.35 Kedua model penulisan ini, sedikit banyak akan memengaruhi dan menginspirasi bagi penulisan manâqib yang muncul pada masa-masa di belakangnya.

Tradisi Penulisan Model Thabaqât Pola penulisan riwayat hidup yang muncul dalam kitab-kitab thabaqât, sedikit banyak telah menginspirasi terhadap penulisan manâqib. Keunggulan yang muncul karena ia memiliki klasifikasi yang jelas dalam mengurutkan posisi seseorang. Arti kata thabaqât secara semantik adalah lapisan atau kurun.36 Pada perkembangan awal pembentukan dan penulisannya, pengertian thabaqât berarti sejumlah kumpulan tentang informasi berbagai biografi tokoh-tokoh periwayat hadis yang didasarkan pada pelapisan generasinya. Sebuah konsekuensi dari konsep penghormatan akan keberadaan orang-orang yang berada di sekitar Nabi Muhammad SAW., setingkat generasi para sahabat, tabiin, tabiittabiin dan seterusnya, yang berkedudukan sebagai perawi hadis. Keberadaan mereka menjadi sesuatu yang sangat penting bagi keberadaan status hadis, sehingga para ahli hadis perlu menuliskannya secara lengkap seluruh informasi tentang status ketokohan dan keberadannya.37 Karena jumlah biografi para tokoh ini sangat banyak, maka sejak awal perkembangannyapun dalam penulisan thabaqât sudah mengenal pembagian tokoh yang akan diceritakannya berdasarkan wilayah domisilinya dan profesi kelompoknya semacam Thabaqât Syâfi‘iyyah, Thabaqât Hanâbilah, Thabaqât al-Shûfiyyah, Thabaqât al-Thibba’, Thabaqât al-Syu’arâ, dan Thabaqât al-Nahwiyyîn.38 Dalam historiografi Islam, penulisan model thabaqât merupakan model yang paling terus bertahan dan cukup digemari para ahli hingga kini, karena telah memberikan sumbangan yang sangat jelas dalam memetakan dan menginformasikan kedudukan tokoh-tokoh Islam, baik sebagai perawi hadis, ulama mazhab (baik fikih dan tasawuf) maupun sebagai tokoh-tokoh lain dalam posisi keilmuan tertentu. Kitab thabaqât lebih memudahkan dalam pencarian indeks ketokohan, keahlian Lihat misalnya karya al-Sulâmî, Thabaqât al-Shûfiyyah dan al-Sya‘rânî, Thabaqât al-Kubrâ. Mungkin mereka terpengaruh oleh ayat al-Qur’an (Q.S. al-Insyiqâq/84:19) “latarkabûnna thabaqa ‘an thabaq,” mereka berjalan berbaris di yaum al-akhîr berdasarkan kelompok-kelompok. Q.S. al-Mulk/67: 15, “sab‘a samâwât thibâqa”. Para ahli leksikografi mencoba menetapkan batasan yang pasti dalam menentukan antara satu generasi dengan generasi lainnya dalam sebuah thabaqât. Sebagian mereka menentukan lapisan generasi per-dua puluh tahunan, per-empat puluh tahunan, bahkan ada juga yang menyatakan bahwa antara thabaqât berjarak sepuluh tahun. Lihat, Muhammad bin Abû Bakar bin ‘Abd al-Qadîr al-Râzî, Mukhtâr al-Shihah (Beirut: Dâr Fikr, t.t.), h. 388. 37 Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 454. 38 Muhammad Ibn Sa‘ad misalnya dalam karyanya sudah mencantumkan secara khusus bab-bab tertentu mengenai orang-orang Kufah dan Bashrah. Meskipun mereka telah diulas dalam bab-bab lain, namun penjelasan tentang para sahabat yang mempunyai hubungan dengan Kufah dan Bashrah ia ulas kembali. Lihat H. A. Muin Umar, Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 49-51. 35 36

438


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

dan posisi sosialnya. Bahkan dalam klasifikasi al-Dzahabî dan al-Sakhawî, masuk pula klasifikasi biografi tokoh-tokoh lainnya, seperti kelompok orang kaya, kelompok para pengemis, kelompok para pemberani, dan kelompok para ahli nujum.39 Penulisan tentang tokoh-tokoh sufi dan fikih telah menempati posisi yang cukup sentral pula dalam tradisi penulisan thabaqât ini, al-Ishfahânî menulis Hilyat al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, al-Sya’ranî menulis Thabaqât al-Kubrâ yang juga berisi riwayat hidup para sufi dari generasi ke generasi. Tradisi penulisan kitab manâqib di kalangan ahli kalam dan filsafat Islam, kurang populer, meskipun di antara tokoh-tokoh mereka memiliki popularitas dan pengaruh keilmuan yang cukup tinggi. Mereka tampaknya lebih senang mengembangkan penulisan sejarah tokohnya dalam bentuk yang relatif datar atau sederhana, seperti halnya karya sejarah model kitab tarjamah atau thabaqât. Realitas semacam ini nampaknya sebagai akibat pengaruh rasionalisme dalam menggambarkan atau menjelaskan setiap tokoh sebagai objek ilmu. Sehingga hampir sulit ditemukan jenis-jenis karya biografi setingkat kitab manâqib yang menggambarkan tokoh-tokoh kalam atau ahli tafsir sekalipun. Kitabkitab manâqib seolah-olah sejak abad ke 13 M, telah menjadi milik para kalangan imamimam atau syaikh-syaikh terkenal dari kalangan sufi atau fikih saja. Selama ini meskipun mereka banyak dikenal seperti halnya Imam al-Asy‘ârî, Imam al-Gazâlî atau yang lainnya sebagai tokoh Islam yang berlatar belakang sebagai filosof, biografinya dan penjelasannya digambarkan sebagai sesuatu yang datar dan sederhana, tidak banyak melibatkan kekarâmahannya. Pola kehidupan al-Gazâlî banyak ditemukan hanya dengan penjelasan yang biasa saja, tidak menampilkan hal-hal yang ‘khawâriq’ dan aneh.40 Berikut ini sekilas persamaan dan perbedaan antara kitab sîrah, tarjamah, thabaqât dan manâqib, mengenai objek kajiannya, tema pembahasannya, struktur penulisannya, dan fokus pembahasannya. Lebih jelas bisa dilihat dalam tabel berikut ini:

39 40

Yatim, Historiografi Islam, h. 202-203. Abû Hamîd al-Gazâlî, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn. h. 251

439


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Model-model Historiografi Ketokohan Model Historiografi

Struktur

Kelahiran, keluarga, perjuangan, keberhasilan dan kematian Kitâb Thabaqât Sepintas kelahiran dan pendidikan, keistimewaan, keahlian, pemikiran Kitâb Tarjamah Kelahiran, sepintas perkembangan, perjuangan, keahlian dan kematian Kitâb Manâqib Sepintas kelahiran, perjalanan keilmuan, keistimewaan kepribadian (husn al-hâl), karâmah, nasehat, perjuangan, dan ajaran. Kitâb Sîrah

Objek

Tokoh

Fokus

Nabi Muhammad SAW.

Personal

Sahabat, komunitas ilmu, dan mazhab. Tokoh tertentu, biografi umum. Tokohtokoh sufi dan fikih.

Komunal Personal

Perjalanan hidup yang lengkap dan dalam (edisi khusus tentang tokoh sejarah). Pengelompokan kehidupan generasi, profesi keahliannya atau mazhab. Biografi singkat seseorang. Digunakan dalam pengenalan ringkas (ensiklopedik). Kumpulan karâmah tokoh (wali dan fakih, syaikh, imam), keistimewaan, kepribadian, keteladanan, ajaran. Bersifat empirik dan non-empirik, spiritualitas (historis dan meta-historik).

Personal

Personal

Tradisi Manâqib dalam al-Qur’an dan Hadis Dalam al-Qur’an banyak sekali jenis-jenis ungkapan penyanjungan atau hagiografi terhadap tokoh-tokoh sejarah, realitas ini nampaknya kelak mendasari bagi pola pengembangan penulisan kitab manâqib. Ungkapan-ungkapan al-Qur‘an mengenai tokoh-tokoh sejarah yang dijelaskannya, bukan hanya sekedar diungkapkan dengan penceritaan biasa namun seringkali diikuti dengan cara-cara penyanjungannya. Hal ini dilakukan bukan hanya kepada para Nabi saja, tapi juga pada tokoh-tokoh tertentu yang kapasitasnya bukan sebagai Nabi, seperti halnya pada Luqmân al-Hakîm, Maryam binti ‘Imrân, Ashof bin Barkhiya as. pembantu Nabi Sulaiman as., dan Ashâb al-Kahfi.41 Tradisi menuliskan keistimewaan orang-orang tertentu mungkin sejak awal telah dimulai oleh Imam al-Bukhârî (w. 870 M) sebagai ahli hadis dalam karyanya yang cukup terkenal, Kitâb Shahîh al-Bukhârî. Ia telah menulis bab khusus tentang hadis-hadis yang menggambarkan keistimewaann para sahabat Nabi Muhammad SAW. dengan judul Bâb al-Fadhâ’il Ashhâb al-Nabi, Bâb al-Manâqib al-Muhâjirîn, dan Bâb al-Manâqib al-Anshâr. Dalam bab-bab tersebut ia telah merekam tentang sanjungan dan komentar baik Nabi

Yûsuf al-Nabhanî, Jâmi’ al-Karâmah, Juz I (Beirut: Dâr Fikr, 1989), h. 34.

41

440


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

Muhammad SAW. terhadap beberapa prestasi sahabat yang disebutkan dalam kumpulan hadisnya tersebut. Dalam konteks ini nampaknya ia sebagai tokoh yang dianggap paling awal dalam mempopulerkan istilah dan kata ‘al-manâqib,’ untuk menunjuk keistimewaan atau sesuatu yang dianggap istimewa dalam diri seseorang. Dalam hal ini para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang digambarkan dan disebutkan secara khusus dalam hadishadis dengan sifat-sifat dan karakter yang istimewa.42 Selanjutnya Abû al-Husain Muslim bin Hajâj (w. 261 H) penulis Kitâb Shahîh Muslim, mengumpulkan pula beberapa hadis yang berkait dengan keistimewaan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW. dan menuliskannya dengan Kitâb Fadhâ’il al-Shahâbah Radhiyallâh ‘anh.43 Imam al-Tirmizî (w. 279 H) penulis Kitâb Jâmi‘ al-Shâhîh di dalamnya juga mencantumkan ‘Abwâb alManâqib ‘an Rasulillâh SAW.’44 Pada dasarnya hadis-hadis tentang manâqib para sahabat yang dikumpulkan oleh ketiga tokoh ahli hadis (Bukhârî, Muslim dan Tirmizî) tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, baik dari segi redaksi maupun isinya. Karena beberapa rawi yang dijadikan sumber dalam memunculkan hadis-hadis tentang manâqib sahabat masih dari sumber yang sama. Namun dari sisi penamaan judul-judul bab yang menyangkut tentang manâqib mereka, ditulis dengan redaksi yang cukup variatif. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) menulis secara khusus Kitab Manâqib ‘Alî bin Abî Thâlib, yang didasarkan pada hadis dan atsar sahabat.45 Selanjutnya Imam al-Khawarizmî (w. 1173 M) menulis juga kitab hadis yang secara khusus tentang orang-orang yang paling dekat dengan Rasululah SAW. dengan judul Kitâb al-Manâqib al-Khawârizmy li ‘Alî bin Abî Thâlib. Karya kitab hadis yang lebih memotret pada keluarga dekat ini pada akhirnya menjadi rujukan penting bagi kalangan Syi’ah karena telah menguatkan dan menjadi legitimasi dalam menjelaskan tentang informasi dan posisi keluarga Nabi Muhammad SAW. berikut keistimewaannnya.46 Perkembangan berikutnya objek menuliskan keistimewaan seseorang bukan lagi milik para sahabat, tapi juga milik semua umat Islam yang secara turun-temurun biasanya Karakteristik penulisan kitab manâqib dari kalangan muhadditsîn, dipandang sangat orisinil karena ia masih berupa teks-teks hadis yang dikelompokkan secara khusus atas dasar isi matan teks yang sudah dikategorikan khusus dalam membahas keistimewaan para sahabat, dan yang memiliki kaitan khusus dengan penghargaan Nabi Muhammad SAW. Misalnya hadishadis tentang para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang dijanjikan masuk surga, yang mendapat sanjungan Nabi Muhammad SAW. Lihat Ch. Pellat, “Manâqib,” dalam the Encyclopaedia of Islam (Leiden: Koninklijke Brill. NV, t.t.), h. 1-5. 43 Imâm al-Nawâwî, Shahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawawy, Juz 4 (Bandung: Maktabah Dahlan Bandung, t.t.), h. 1854. 44 Imâm al-Hafiz Abî ‘îsâ Muhammad al-Tirmizî, Kitâb Jâmi‘ al-Shahîh, ditahqîq ‘Abd alWahhab bin ‘Abd al-Lathif (Semarang: Maktabah Thoha Putra, 1967), h. 243. 45 Hâji Khalîfah, Kasyf al-Dzunûn ‘an Usamy al-Kutub wa al-Funûn, Jilid II (Beirut: Dâr Fikr, 1993), h. 677; Pellat, “Manâqib,” h. 7-9. 46 Karya al-Khawarizmî ini dicetak di Iran oleh Mathba‘ah Nainawah al-Hadîtsah, Teheran. 42

441


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 berurut dari sahabat diikuti keistimewaannya oleh para tabiin dan orang-orang saleh berikutnya. Historiografi mengenai orang-orang saleh secara riil akhirnya mengarah pada sejumlah tokoh-tokoh sufi yang memiliki keistimewaan tertentu, yang biasa disebut karâmah. Sehingga karâmah-karâmah mereka telah menjadi subjek pembahasan yang sangat menarik bagi para pembaca dan digemari dalam berbagai penulisan kitab manâqib. Tradisi penulisan tentang karâmah para wali di dunia Islam, sebagaimana halnya juga tentang objek kajian yang lainnya seperti tema-tema yang muncul dalam bidang fikih, kalam, sejarah dan sebagainya, nampaknya memiliki inspirasi dan korelasi yang cukup kuat dari modelmodel yang telah dicontohkan dalam al-Qur’an maupun hadis sebagaimana yang telah disebutkan. Keberadaan mukjizat dan karâmah sebagai wacana keagamaan, dasarnya bukan hanya telah tercantum dalam al-Qur’an, tapi juga telah dituliskan dan diungkapkannya secara nyata dan langsung pada berbagai kitab hadis dengan contoh-contoh penulisanya.47 Dengan demikian, lahirnya berbagai bentuk dan contoh yang beragam tentang model penulisan manâqib di beberapa hadis tersebut, termasuk juga beberapa atsar sahabat Nabi Muhammad SAW. yang menjelaskan di dalamnya, membuktikan bahwa tradisi penulisan dalam historiografi Islam mengenai objek dan tema-tema tentang mukjizat, karâmah, dan barâkah yang dikaitkan dengan ketokohan seseorang sangat kuat dan populer serta faktual dalam tradisi penulisan kitab-kitab manâqib berikutnya.48

Penulisan Ketokohan di Kalangan Mazhab Fikih dan Sufi Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi penulisan tentang sejarah kemanusiaan yang lebih detil dan lebih luas lagi dengan tema lain yang juga mirip dan dekat dengan jenis tema penulisan karâmah, nampak masih terus bermunculan pada masa-masa berikutnya. Seperti halnya tentang Kitâb al-Fadhâil (studi tentang keunggulan seseorang) Kitâb al-Mahâsin (studi tentang kebaikan seseorang) karya sejarah yang menceritakan dan merefleksikan bentuk keistimewaan seseorang dalam sejarah kehidupannya. Semua tema-tema ini, dianggap cukup mewarnai pula dalam perkembangan historiografi Islam. Mungkin secara terminologis jenis-jenis kitâb al-mahâsin atau kitâb al-fadhâil lebih mirip sebagai sesuatu yang menggambarkan ma‘unah (pertolongan Allah) pada diri seseorang yang dianggap saleh.49 Semua fenomena yang digambarkan di dalamnya nampaknya sebagai sesuatu yang mirip dengan jenis karâmah yang secara umum banyak bermunculan di kalangan para wali dan orang-orang saleh yang menjauhi segala perbuatan maksiat. Kepentingan dan manfaat mengenai tulisan tentang hal ini, nampaknya lebih mengarah pada dimensi dakwah dan hujah bagi kebenaran dan refleksi dari keagamaan seseorang, ‘Abd al-Qadir ‘Îsâ, Haqâiq ‘an al-Tashawwuf (Syiria: Dâr Ma‘ârif Suriah Halab, 2001), h. 361. Hamid al-Husain, Peristiwa Gaib, Barakat dan Mukjizat Kenabian Muhammad SAW (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006). 49 Pellat, “Manâqib,” h. 1-15. 47

48

442


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

sehingga banyak mendorong para penulis untuk memotret dan menuangkannya pada bentuk tulisan. Meskipun jenis dan model tulisan yang disebutkan terakhir ini tidak sepopuler dengan model penulisan karâmah, namun cukup mewarnai juga dalam ranah historiografi Islam klasik dan menjadi jenis tersendiri karena objeknya yang relatif cukup banyak, meliputi banyak jenis orang yang bisa disaksikan dalam setiap ruang dan waktunya. Sementara penulisan karâmah, nampaknya lebih dikhususkan dan lebih spesifik hanya terjadi pada wali Allah saja, yakni orang-orang mencintai dan dikasihi Allah SWT. secara istimewa, karena keimanan dan ketakwaannya yang tulus dan ikhlas50 sebagaimana yang dinyatakan dalam Q.S. Yûnus/10: 62-64 yang artinya “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan mereka tidak bersedih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beriman dan bertakwa. Mareka selalu diliputi kegembiraan dalam kehidupan dunia dan akhirat…”. Keberadaan para wali ini berdasarkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., selalu muncul di setiap zaman hingga hari akhir.51 Dalam membangun tema penulisan tentang karâmah, para ahli di bidang ini akhirnya telah menyepakati sebuah “model baru” yakni jenis tulisan yang lebih mengkhususkan untuk menceritakan keistimewaan dan kehidupan tokoh-tokoh sufi terkenal, yakni para wali Allah denga beberapa karâmahnya. Karya khusus ini selanjutnya menjadi populer dengan sebutan kitâb al-manâqib. Mengapa tradisi penulisan tentang keagungan seseorang (hagiografi) atau gambaran tentang karâmah seorang wali atau wali-wali tertentu pada akhirnya menjadi banyak diminati para penulis? Mungkin ada kaitannya terutama setelah mendapat pembenaran dan pengakuan dari teologi Asy‘ariyyah yang mengakui akan adanya tradisi ziarah kepada para wali dan pembangunan terhadap makam-makam mereka. Perkembangan dan kegiatan intelektualitas penulisan manâqib para wali di dunia Islam tersebut terjadi terutama sejak abad ke 4 H/10 M, dan tradisi penulisannya kebanyakan dilakukan dan berada di sekitar makam para wali tersebut baik oleh para penjaga makam atau oleh murid-murid yang mengaguminya.52 Nama-nama kitab mereka kebanyakan dinamai dengan sebutan kitâb al-manâqib, akar kata dari “manqabah”, yakni lorong atau lubang untuk mengintip keitimewaan seseorang secara khusus.53 Kata “manâqib” jamak Lihat pengantar Ibrâhîm ’Uthwah ’Audh pada karya Yûsuf bin Ismâ‘îl al-Nabhanî, Jâmi’ Karamat, h. 7-8. 51 Berdasarkan hadis yang diketahui riwayatnya dari ‘Umar bin Khaththâb menyatakan “dalam umatku senantiasa terdapat sekelompok orang yang selalu menampakkan kebenaran (takwa) hingga datang hari akhir” (H.R. al-Hakîm). Al-Suyuthî, Jâmi’ al- Shâgir, Juz VII (Beirut: Dâr al-Khair, t.t.), h. 271. Hadis ini diriwayatkan pula oleh para ahli hadis sepert al-Darâmî dalam Musnad al-Firdausi, Bukhârî dalam sejarah, Abû Ya‘la, al-Hakim, al-Dhiya’ seluruhnya menyandarkan sanadnya kepada ‘Abd Allâh Ibn ‘Umar. Lihat Sa’id ‘Abd al-Fatah, Karâmât al-Awliyâ’, h. 47. 52 Henri Chamber-Loir & Clude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 532-535; Pellat, “Manâqib,” h. 7-9. 53 Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, Juz I (Beirut: Dâr Fikr, t.t.), h. 765. 50

443


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 dari kata “manqabah,” dan kata jamak ini lebih populer dalam penggunaannya di berbagai jenis penulisan tentang karâmah. Mengapa ada kecenderungan bahwa karâmah itu harus dilihat secara khusus, tidak sebagaimana peristiwa-peristiwa lain yang berlaku dalam kehidupan sejarah manusia secara umum, sehingga ia mesti dipotret secara lebih khusus lagi? Karena peristiwa istimewa yang disebut karâmah, nampaknya tidak akan terjadi terhadap manusia biasa kecuali bagi para wali Allah, lagi pula tidak memungkinkan untuk terus-menerus dipertunjukkan di depan umum.54 Maka para ahli dibidang ini nampaknya telah menyadarinya, sehingga harus dilihat dan diangkat secara khusus.55 Jika pengetahuan yang biasa menjelaskan gambaran kehidupan anak-anak manusia secara umum atau yang terjadi dalam kehidupan anak manusia biasa lebih sering disebut biografi atau tarjamah, maka pilihan peristiwa yang khusus ini lebih banyak disebut hagiografi atau manâqib. Sekalipun demikian, secara umum cara-cara kerja mereka dalam melakukan kajian dan penulisan tentang keunggulan tokoh-tokoh tersebut, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para penulis sejarah umum lainnya. Kebiasaan atau langkah-langkah penelitiannya yang berlaku misalnya dengan menerima kesaksian dari orang-orang yang pernah merasakan dan terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, atau melalui penuturan dari pelaku sendiri yang juga banyak orang menyaksikannya yang umumnya adalah murid-murid, atau melalui berita-berita yang tersebar luas di masyarakat. Secara umum, dalam setiap langkah kehidupannya dalam waktu dan situasi tertentu telah melahirkan keluarbiasaan. Karena setiap pemilik karâmah, terkadang tidak mengetahui atau tidak menyadarinya bahwa sesuatu yang dilakukannya dijalankannya mengandung sebuah karâmah.56 Mungkin selama dalam kehidupannya ia juga merasakan beberapa hal peristiwa-peristiwa ganjil itu. Peristiwa terjadinya karâmah, pada umumnya juga sangat singkat, sebagaimana halnya juga peristiwa-persitiwa lain yang terjadi dalam momen-momen penting sejarah seperti halnya peristiwa kelahiran, peperangan, pembunuhan, dan kematian. Namun demikian, bentuk peristiwa karâmah adalah sesuatu yang tidak biasa terjadi dalam kehidupan nyata manusia secara umum, namun lebih merupakan keistimewaan pada orang-orang tertentu.57 Karenanya, fenomena karâmah telah mengundang beberapa Al-Nabhanî, Jâmi’ Karâmat, h. 5-7. Sarâj al-Thûsî, Kitâb al-Luma‘ (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), h. 275. 56 Ibid., h. 282. 57 Karena itu bagi kalangan ahli kalam, sebagian ada juga mempersoalkan dan mengkritisi akan keberadaannya, kenapa keramat tidak banyak muncul dari kalangan para sahabat Nabi Muhammad SAW., tapi lebih banyak muncul dari kalangan para wali sufi, yang kehidupannya lebih kemudian? Dalam hal ini, Imam Taj al-Dîn al-Subkî memberikan alasan, bahwa masa-masa periode kenabian atau masa sahabat, keimanan akan nilai keagamaan sangatlah kuat sejalan dengan amaliyah mereka dalam menjalankan ibadahnya. Mungkin di kalangan mereka hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa karâmah, bisa juga seringkali muncul, namun tidak banyak diungkapkan dalam 54 55

444


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

ulama untuk menuliskan dan menjelaskannya, baik secara filosofi, syariat maupun hakikatnya, dalam berbagai karya yang berjilid-jilid. Mereka yang menuliskannya, pada umumnya adalah orang-orang yang mengakui akan keberadaan karâmah yang terjadi pada seorang yang saleh yang biasa disebut waliyullah. Abû Bakar al-Baqillânî, Imam al-Haramain, Abû Bakar bin Fauroq, Abû Hamid al-Gazâlî, Nashr al-Dîn al-Baidhawî, Hafidh al-Dîn al-Nasâfî, Tajd al-Dîn al-Subkî, Abû Bakar al-Asy‘arî, dan al-Nawâwî kesemuanya menunjukkan wawasan dan argumentasinya yang kuat, dalam memberi kepastian akan keberadaan karâmah sebagai bagian dari fenomena dan bagian integral dari keyakinan dan sekaligus pengalaman keagamaan anak manusia.58 Beberapa penulis berikutnya yang berada di bawah mereka masing-masing ulama jumhur tersebut, pada umumnya kemudian mengembangkan karya tulisannya berdasarkan ciri khas dan dari sudut keahlian masing-masing. Secara tidak langsung kehadiran beberapa tulisan tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kemunculan dan menunjang keberadaan beberapa kitab-kitab manâqib berikutnya. Semua yang telah dijelaskan ini, menunjukkan tingkat kompleksitas bahwa antara satu karya dengan karya yang lainnya akan saling berkait, menguatkan bahkan saling mendukung. Di antara kitab-kitab yang berkait dengan pembahasannya menyangkut dengan persoalan-persoalan keramat para wali tersebut di antaranya,59 Abû Qasim al-Qusyairî (w. 465 H) al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Usamah bin Munqidz (w. 584 H) Kitâb al-I’tibâr, Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H) Ahâdits al-Mu‘jizat al-Mi‘ah al-Atiyah dan al-Tafsîr al-Kabîr, Imam Wali al-Dîn alTabrîzî Misykât al-Anwâr yang ditulis tahun 737 H.; Abû ‘Abd Allâh bin Nu‘mân al-Marakesy (w.683) Misbâh al-Dzulâm fî al-Mustagîtsîna bi Khair al-Anâm, Syaikh Muhy al-Dîn Ibn ’Arabî (w. 636) Ruh al-Quds, Mawâqi’ al-Nujûm dan Futûhât al-Makiyyat, Imam al-Yafi‘î (w.768 H), Raudh al-Riyahîn dan Nasyr al-Mahâsin dan Kamâl alDîn Muhammad bin Abî Hasan al-Rifa‘î al-Syâfi‘î, Yûsuf bin Ismâ‘îl al-Nabhanî (w. 1350 H) yang menulis Jâmi’ Karâmat al-Awliyâ’.60 Berbagai kajian dan tulisan tentang karâmah bukan hanya lahir di kalangan kelompokkelompok sufi, tapi juga sebaliknya di kalangan orang-orang yang cenderung kritis untuk menolak keberadaan karâmah para wali seperti halnya kaum Wahabiyyah juga ikut meramaikan wacana di dalamnya sehingga secara umum, pola dan karakteristik model-

berita atau pun tulisan, karena mungkin sebagai hal yang biasa terjadi. Argumentasi-argumentasi semacam karâmah bagi para generasi berikutnya yang sebagian besar sedang mengalami krisis keimanan dan mentalitas keagamaan yang menurun, nampak sangat diperlukan dan dibutuhkan kemunculannya pada tokoh keagamaan yang sedang mengajak ke jalan kebenaran, dan semua yang terjadi pada mereka tentunya selalu didasarkan sebagai penguat dari misi kenabian yang sedang dijalankannya. Karena itulah mu’jizat dan karâmah seringkali dipandang dan terjadi pada saat-saat dibutuhkan oleh si penerimanya. Al-Nabhanî, Jâmi’ Karâmat, h. 20. 58 ‘Abd al-Qadîr ‘Îsâ, Haqâiq ‘an al-Tashawwûf, h. 369-370. 59 Al-Nabhanî, Jâmi’ Karâmat, h. 9-11. 60 Ibid., h. 5-7

445


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 model historiografi dalam bidang karâmah ini semakin menambah jumlah yang cukup kompleks.61 Produktivitas karya oleh masing-masing komunitas seperti disebutkan sebagian di antaranya di atas telah diisi oleh mereka-mereka dengan latar belakang sebagai sufi, fukaha atau ahli kalam bahkan para filosof. Mereka terkadang membicarakannya dengan saling bersitegang, atau sebaliknya untuk saling melengkapi.62 Bagi kalangan Mu’tazilah, memandang karâmah bukanlah sebagai sesuatu yang luar biasa bagi seseorang sehingga dalam pandangannya, fenomena karâmah mereka anggap sebagai sesuatu yang harus bisa didekati secara rasional.63 Hampir bisa dipastikan, bahwa tradisi penghormatan dan pengagungan kepada para ahli ilmu dan tokoh-tokoh penting di kalangan komunitas keilmuan dan para akademisi Muslim merupakan awal dari tradisi penulisan berbagai bentuk biografi dengan berbagai macam dan coraknya. Di samping sîrah Nabâwî yang memang lahir lebih awal sebagai cikal bakal dan standar dalam melakukan pengagungan pada ketokohan seseorang, dorongan kewahyuan yang dicontohkan al-Qur’an sendiri yang mempopulerkan tokoh-tokoh penting sejarah, nampaknya sebagai sesuatu yang tidak bisa diabaikan sama sekali dalam mengilhami munculnya tradisi penulisan dibidang ini.64 Meskipun di balik itu tampak pula beberapa hal yang sulit dihindari yakni sikap-sikap psikologis untuk memunculkan dan menampilkan bendera-bendera mazhab bagi kalangan tertentu. Para murid yang terus bersikukuh untuk membangkitkan loyalitas dan komunalitas sebuah perguruan atau lembaga-lembaga di mana mereka berkumpul dalam menggali pemikiran dan gagasan-gagasan para guru besarnya, dalam aspek-aspek tertentu terkadang tidak disadari telah memberi andil yang begitu besar dan memiliki peranan penting untuk memainkan kesadaran kultural dalam pembentukan dalam penulisan biografi atau yang lebih spesifik berbentuk kitab-kitab manâqib.65 Gerakan penulisan jenis biografi (tarjamah) bagi ketokohan seseorang, secara kategoris bisa dibedakan dalam dua model aktualisasi. Pertama, bilamana tokoh yang digambarkannya lebih bersifat apa adanya dalam memberikan pengaruh bagi muridmuridnya, pada umumnya cukup dituliskan dalam bentuk sebuah sîrah atau tarjamah saja, dengan tidak terlalu mengungkapkan aspek-aspek keluarbiasaannya. Sejarah tokoh model ini, umumnya hanya mengungkapkan keberhasilan intelektualitasnya, karirnya, murid-muridnya dan sebagainya. Umumnya mereka ditulis dalam kitab-kitab yang bersifat ensiklopedis seperti kitab-kitab thabaqât, mu’jam, dan tarajim.66 Kedua, bila peran ketokohan seseorang nampak lebih besar dalam membangun Pellat, “Manâqib,” h. 12. Loir & Guillot, Le Culte des Saints, h. 532. 63 Ibid., h. 450-501. 64 Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 430-444. 65 Loir & Guillot, Ziarah dan Wali, h. 534. 66 Lihat Ibn Rajab, Thabaqât Hanabilah dan Taj al-Dîn al-Subkî, Thabaqât al-Syafi‘iyyah. 61 62

446


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

tradisi mazhab atau memiliki pengaruh yang sangat luar bisa dalam menumbuhkankembangkan komunalitas mazhab, baik fikih atau sufisme, maka yang seringkali muncul bukan hanya berada pada sekedar tulisan biografinya sebagaimana aktualisasi model pertama, tapi juga dalam edisi khusus ia dimunculkan. Mereka dilebihkan dengan aspekaspek penulisan keluarbiasaan, keramat, dan keunggulannya atau yang biasa disebut manâqibnya seperti halnya Manâqib Abû Hanifah, Manâqib Imâm Syâfi‘î, dan Manâqib Syaikh Abû al-Hasan al-Syadzilî. Umumnya bila seseorang sudah dituliskan manâqibnya, biasanya tokoh tersebut bisa dipastikan sebagai tokoh mazhab yang sangat penting baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang tasawuf.67 Secara antropologis, tradisi penulisan jenis biografi ketokohan di dunia Muslim Klasik dan Abad Pertengahan, nampaknya tidak hanya memunculkan dan mendorong ke arah pembentukan model-model penulisan yang sangat variatif, tetapi juga masingmasing model memberikan kontribusi secara tersendiri untuk menampilkan kesan simbolik dalam mengaktualisasi jenjang kepangkatan keulamaan atau tingkat intelektualitas dan pengaruhnya dalam mengukuhkan sebuah mazhab yang mereka diciptakan. Semua pola ini, semakin mengukuhkan bahwa tradisi intelektualitas Muslim telah terbentuk secara permanen bukan hanya secara struktural tetapi juga berikut gerakan dan efek kultural yang dikembangkannya.68 Dari hirarki model-model tulisan ini bukan hanya bisa mengetahui sejauhmana peran ketokohan seseorang yang terbukti dengan banyaknya jumlah tulisan dalam menggambarkan keagungan tokoh yang ditampilkannya, tapi juga kapasitas karya yang mereka ciptakan (terutama oleh murid-murid seniornya), secara kultural akan terus-menerus membentuk pengaruh akademik bagi murid-murid junior yang berada di belakangnya. Kitab manâqib dalam dimensi psikilogis-akademis, nampaknya memang diciptakan untuk membangun rasa kebanggaan dan membangun komunitas mazhab yang berada di dalamnya.69 Dalam aspek-aspek tertentu, kitab manâqib ini berfungsi pula sebagai bentuk bendera sebuah mazhab, bahkan jika perlu seringkali bisa dimanfaatkan oleh para komunitasnya untuk menampilkan sesuatu yang bisa mempengaruhi komunitas lainnya.70 Ada kecenderungan, bahwa penulisan kitab manâqib tentang tokoh-tokoh sufi, pada umumnya ditulis oleh murid-murid tarekatnya, dan merka menunjukkan dirinya berasal dari lintas mazhab fikih. Namun sebaliknya para penulis kitab manâqib tokoh fikih, kebanyakan selalu berasal dari lingkungan mazhab tokoh yang ditulisnya. Berikut ini di antara juduljudul kitab manâqib berikut pengarangnya dari berbagai kalangan mazhab fikih dan tasawuf

Pellat, “Manâqib,” h. 12-13. Loir & Guillot, Ziarah dan Wali, h. 537. 69 Muhamad Abû Zahrah, al-Târikh li al-Madzâhib al-Islâm (Surabaya: Kutub al-‘Arabiyyah, 1984), h. 6-7. 70 Loir & Guillot, Ziarah dan Wali, h. 539. 67 68

447


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 yang sempat dikodifikasi oleh Haji al-Khalîfah,71 di antaranya Manâqib al-Abrâr fî Maqamât al-Akhyâr karya Muhammad bin Hasan al-Husainy al-Syâfî‘î (w. 767 H), al-Manâqib alIbrâhimiyah wa al-Ma’atsîr al-Khudaiwiyyah karya Iskandar Ibkarius al-Bairutî, Manâqib Ibn al-Furât karya Abî Bakr Muhammad bin Yahya al-Shulî (w. 335 H), Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah karya Syaikh Ibrâhîm al-Turkî, Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah karya Mustaqim Zadah al-Rûmî, Manâqib al-Imâm Ahmad bin Hanbâl karya Abî al-Fadhl Muhammad bin Nashir bin Muhammad bin ‘Alî bin ‘Umar al-Salafî al-Fârisî al-Bagdâdî al-Hanbalî (w. 505 H), Manâqib al-Imâm al-Syâfi‘î karya Ibn Fahd al-Makkî Muhammad bin Muhammad Badr al-Dîn al-Hasyimî al-Syâfi‘î (w. 826 H), Manâqib Amîr al-Sulthân wa Asrâr al-‘Ârifîn karya ‘Alî Zadah al-Rûmî, Manâqib al-Nûriyyah karya Jamal al-Dîn Abî al-Hasan ‘Alî bin Ahmad bin Bisam al-Sya’ir (w. 303 H).72 Dengan melihat judul dan jumlah karya yang sangat variatif dengan tema umum manâqib, maka tingkat partisipasi dalam penulisan manâqib dari berbagai kalangan sosial dan intelektual Muslim sangat antusias dan menarik.73 Keberagaman model penulisan ini telah memberi dampak yang sangat kuat bagi munculnya sejumlah karya yang berkait dengan penulisan sejarah personal dalam historiografi Islam. Satu hal yang cukup menarik, sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa secara kategoris penulisan kitab manâqib para tokoh sufi seringkali ditulis oleh lintas mazhab fikih misalnya manâqib Syaikh ‘Abd alQadîr al-Jailânî telah ditulis oleh ulama-ulama baik dari kalangan mazhab fikih Hanafi, Maliki, Syâfi‘î maupun dari kalangan Hanbalî sendiri. Mengingat mazhab tasawuf atau tarekat nampaknya cukup universal untuk diikuti oleh berbagai kalangan mazhab fikih. Sebaliknya, penulisan manâqib tokoh-tokoh fikih, pada umumnya hanya ditulis oleh penulispenulis yang berasal dari kalangan mazhab mereka sendiri, meskipun ada juga beberapa penulisnya yang berasal dari lintas mazhab.74 Namun yang jelas, semua penulisan manâqib tentang tokoh mazhab fikih, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Abî Ja‘far Muhammad al-Thahâwî (w. 321 H) adalah untuk memberi pengetahuan yang maksimal bagi para pengikut sebuah mazhab, karena ia akan mengenal lebih dekat tentang keunggulan kepribadian pendirinya, pemikirannya, Hâji Khalîfah adalah seorang kolektor naskah asal Turki yang melakukan pendataan terhadap karya-karya penulis Muslim yang ia susun secara alfabetis berikut perumpunan berdasarkan pembidangan keilmuannya. Nama lengkap Hâji Khalîfah adalah al-Maula al-Musthafa bin ‘Abd Allâh al-Qasthantî al-Rûmî al-Hanafî (w. 1657 M). Lihat karyanya yang sangat monumental Kasyf al-Dzunûn, Juz 1- 6. Untuk pendataan Kitab Manâqib lihat pada Juz II, h. 671-678 dan Juz IV, h. 374-375. 72 Hâji Khalîfah, Kasyf al-Dzunûn, Jilid IV, h. 376-377. Pendataan judul-judul kitab manâqib di atas menjelaskan secara faktual, eksistensi dan tradisi penulisan ketokohan dengan pola manâqib (hagiografi). 73 Loir & Guillot, Ziarah dan Wali, h. 356 74 Manâqib al-Imâm Mâlik Radliyallah ‘anhu oleh Abû al-Rûh Îsa bin Mas‘ûd al-Syâfi‘î (w. 774 H.) dan Tazyîn al-Arâik bi Manâqib al-Imam al-Mâlik oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî. Lihat Hâji Khalîfah, Kasyf al-Dzunnun, Juz II, h. 675. 71

448


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

situasi dan kondisi zamannya, murid-muridnya dan gagasan-gagasannya.75 Sedangkan fungsi manâqib di kalangan sufi adalah selain memperkuat kedudukan sebuah tarekat, tapi yang lebih konkrit adalah sebagai bahan pelajaran bagi para salik untuk menempuh perjalanan sufistik sebagaimana tokoh yang digambarkan lewat kitab manâqib tersebut. Dalam hal ini, kitab manâqib sekaligus sebagai media dalam kurikulum sufistik.76

Penutup Pengaruh dari tradisi penulisan, dorongan doktrin, serta paradigma dan epistemologi intelektual Muslim terhadap kesadaran sejarah, jelas memberi akumulasi yang sangat kuat bagi perkembangan dalam historiografi Islam, khususnya penulisan sejarah tokoh. Lahirnya berbagai model penulisan sejarah tokoh, jelas bukan serba kebetulan, namun keberadaannya akibat akumulasi intelektual dan muatan kultural keagamaan yang sangat mendalam. Secara pragmatis, studi ketokohan, khususnya yang mengkristal dalam bentuk hagiografi (Kitâb al-Manâqib), secara langsung sebagai penyanjungan ketokohan baik oleh kalangan para pendukung mazhab fikih dan kelompok tarekat sufi maupun oleh para sejarawan Muslim dan ahli-ahli keislaman. Kehadiran kitab-kitab manâqib di kalangan ahli fikih dan tasawuf memiliki korelasi yang sangat kuat dan sangat signifikan dalam menentukan jalannya sebuah perkembangan mazhab fikih dan tarekat sufi. Kecenderungan ini muncul, terutama pada periode Abad Pertengahan sejarah Islam. Secara realistik, karyakarya tersebut juga secara tidak langsung telah memberi legitimasi secara psikologis terhadap pengikut mazhab dan memberi penguatan bagi para penulis-penulis muda berikutnya terutama untuk menunjukan kesetiaan dalam melakukan pendukungan atau kepengikutan pada sebuah mazhab fikih maupun tarekat sufi tertentu secara konkrit.

Pustaka Acuan Abû Zahrah, Muhammad. al-Târikh li al-Madzâhib al-Islâm. Surabaya: Kutub al-‘Arabiyyah. 1984. Aron, Raymond. Introduction to the Philosophy of History. New York: Doubleday Anchor. 1961. Abdullah, Taufik. “Sejarah dan Historiografi,” dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia. 1985. Chamber-Loir, Henri, & Clude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2007. Faruqi, Nisar Ahmed. Early Muslim Historiography. Delhi: Idarah-i Adabite Delli. 1979. Hâji Khalîfah, Kasyf al-Dzunûn, Jilid II, h. 672. Ahmad al-Kumsyakhnawî, Jami’ al-Ushûl fî al-Awliyâ’ (Surabaya: Mathba’ah al-Haramain, t.t.), h. 282. 75 76

449


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Al-Ganî, Yusri ‘Abd. Mu‘jam al-Muarrikhîn al-Muslimîn. Kairo: Dâr al-Turats. 1998. Al-Husain, Hamid. Peristiwa Gaib, Barakat dan Mukjizat Kenabian Muhammad SAW. Bandung: Pustaka Hidayah. 2006. Ibn Mandzur. Lisân al-Arab. Juz I. Beirut: Dâr Fikr. t.t. ‘Îsâ, ‘Abd al-Qadir. Haqâiq ‘an al-Tashawwuf. Syiria: Dâr Ma‘ârif Suriah Halab. 2001. Kartodirdjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. 1982. Kasyif, Sayyidah Ismâ‘îl. Mashâdir al-Târikh al-Islâmî wa Manâhij al-Bahts Fîqh. t.t.p.: Mathba’ah al-Sa’adah. 1976. Khalafullâh, Muhammad, dalam al-Fann al-Qashshi fî al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: alNahdlah al-Mishriyyah. 1957. Khalîfah, Hâji. Kasyf al-Dzunûn ‘an Asamy al-Kutub wa al-Funûn. Jilid II. Beirut: Dâr Fikr. 1993. Al-Kumsyakhnawî, Ahmad. Jami’ al-Ushûl fî al-Awliyâ’. Surabaya: Mathba‘ah al-Haramain. t.t. Al-Kâfiyaji, Al-Muhy. “al-Mukhtashar fî ‘Ilm al-Târikh,” dalam ‘Izz al-Dîn ‘Alî. Dirâsât alNaqdiyyat fî al-Mashâdir al-Tâikhiyyat. Beirut: ‘Alam al-Kutub. t.t. Morris, William, et al. (ed.). The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language. Vol. I. Boston: Houghton Mifflin Company. 1979. Murray, James A. H., et al,. ed.). The Oxford English Dictionary. Oxford: The Clarendon Press. 1978. Al-Maula, Muhammad Jad, et al. Qashash al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Jail. 1988. Al-Nabhanî, Yûsuf. Jâmi’ al-Karâmah. Juz I. Beirut: Dâr Fikr. 1989. Nashshar, Hussain. Nasy’at al-Tadwîn al-Târikhy ‘inda al-‘Arab. Kairo: Maktabah al-Mishriyah. t.t. Al-Nawâwî. Shahîh Muslim bi Syarh Imâm al-Nawâwî. Juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan Bandung. t.t. Pellat, Ch. “Manâqib,” dalam the Encyclopaedia of Islam. Leiden: Koninklijke Brill. NV, t.t. Rosenthal, F. A History of Muslim Historiography. Leiden: E. J. Brill. 1968. Rosenthal, F. “Islamic Historiography,” dalam David L. Sills (ed.). International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. V. New York: The Macmillan Company & the Free Press. 1972. Al-Râzî, Muhammad bin Abû Bakar bin ‘Abd al-Qadîr. Mukhtâr al-Shihah. Beirut: Dâr Fikr. t.t. Sâlim, Sayyid ‘Abd al-‘Azîz. al-Târikh wa al-Muarrikhûn. Beirut: Dâr al-Nahdhah al‘Arabiyyah. t.t. Al-Sakhawî, Syams al-Dîn. “Al-I‘lân bi al-Taubîkh li man Dzamma Ahl al-Târikh.” dalam Muhammad Kamâl al-Dîn ‘Izz al-Dîn ‘Alî. Dirâsât al-Naqdiyyat. t.t.: t.p., t.t. 450


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

Al-Suyuthî, Jalâl al-Dîn. Jâmi’ al- Shâghir, Juz VII. Beirut: Dâr al-Khair, t.t. Al-Sya‘râwî. Qashas al-Anbiyâ’. Beirut: Dâr ‘Ilmiyyah. 2009. Al-Tirmizî, al-Hafiz Abî ‘îsâ Muhammad. Kitâb Jâmi‘ al-Shahîh. ditahqiq ‘Abd al-Wahhab bin ‘Abd al-Lathif. Semarang: Maktabah Thoha Putra. 1967. Al-Thûsî, Sirâj al-Dîn. Kitâb al-Luma‘. Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah. 2001. Umar, A. Muin. Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Press. 1988. Walsh, W. H. Philosophy of History: An Introduction. New York: Harper Torchbooks. 1967. Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: RajaGrafindo, 2003.

451


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Kontributor Volume XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Abd. Rahman I. Marasabessy Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate. Memperoleh gelar Magister dalam bidang Studi Tafsir dari IAIN Alauddin Ujungpandang, Makassar, dan Doktor dalam bidang Tafsir Hadis dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. H. A. Kadir Sobur Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pemikiran Falsafah dari Universiti Malaya, Malaysia. Masdar Hilmy Dosen Fakultas Tarbiyah, dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Southeast Asian Studies dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada, dan Doktor dalam bidang Islamic Studies dari The University of Melbourne, Australia. Ridwan Hasan Dosen Jurusan Dakwah STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Magister dalam bidang Teologi dari Aligarh Moslem University-India, gelar Doktor dalam bidang Filsafat Agama dari School of Humanities University Sains Malaysia-Penang, Malaysia. Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi Dosen Faculty of Contemporary Islam, University of Sultan Zainal Abidin, Terengganu, Malaysia. Sarjana dalam bidang Ushuluddin dan Tasawuf dari Jabatan Pengajian Islam, Fakulti Sastera, Universiti Malaya, dan Doktor dalam bidang yang sama dari Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia. Mohd Syukri Yeoh Abdullah Dosen Institute of Civilisation and the Malay World, Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor, Malaysia. Memperoleh gelar Master Sastera dalam bidang Falsafah Sufi Alam Melayu dari Jabatan Pengajian Persuratan Melayu, Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, 452


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Doktor dalam bidang Sejarah dari Pusat Strategi, Politik dan Sejarah dari Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia. Wan Nasyrudin bin Wan Abdullah Dosen Institute of Civilisation and the Malay World, Universiti Kebangsaan Malaysia Selangor, Malaysia. Memperoleh gelar Sarjana Pengajian Islam (al-Qur’an dan Sunnah) dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Doktor dalam bidang Tafsir Perbandingan dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Osman Chuah Abdullah Dosen International Islamic University of Malaysia, Malaysia. Memperoleh Master of Arts dalam bidang Islamic Revealed Knowledge and Heritage dari International Islamic University, Malaysia, dan Doktor dalam bidang Ethnic Relationship and Sociology of Religion dari University of Malaya, Malaysia. Salmah Ahmad Dosen Pengajian Arab dan Tamaddun Islam. Memperoleh Master of Arts dalam bidang Sastra Arab dan Kritik dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Doktor dalam bidang Sastra Arab dari Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia. Muhammad Hatta Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Master of Laws dalam bidang Hukum Pidana Khusus dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia, dan kandidat Doktor dalam bidang dan kampus yang sama. Maftuhah Dosen DPK Fakultas Agama Islam dan Program Pascasarjana Universitas Islam Attahiriyah, Jakarta, dan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran Pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Doktor dalam bidang Manajemen Pendidikan dari Universitas Islam Nusantara, Bandung. Al Husaini M. Daud Dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Kandidat Doktor dalam bidang Agama dan Lintas Budaya konsentrasi Sejarah Pendidikan Islam dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarya.

453


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Lahmuddin Dosen dan Guru Besar Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara. Memperoleh gelar Master of Education dan Doktor dalam bidang Pendidikan dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang, Malaysia. Abdullah Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Master Sains dalam bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dari Universitas Sumatera Utara dan Doktor dalam bidang Tamadun Islam konsentrasi Dakwah Islam dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang, Malaysia. Ajid Thohir Dosen Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Studi Masyarakat Islam dari IAIN (UIN) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung dan Doktor dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

454


UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/ penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Volume XXXVI Nomor 2, Juli-Desember 2012 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Amirul Hadi, MA (Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh) 2. Prof. Dr. Salmadanis, MA (Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang) 3. Prof. Dr. Saiful Akhyar Lubis, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 4. Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 5. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 6. Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)

455


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

INDEKS PENULIS

MIQOT Vol. XXXVI No. 1 dan 2 Tahun 2012 No

Penulis

Judul Tulisan

Halaman

1

Abd. Rahman I. Marasabessy

Al-Qur’an dan Pluralitas: Membangun Kehidupan Masyarakat yang Majemuk

225-241

2

Abdullah

Analisis Swot Dakwah di Indonesia: Upaya Merumuskan Peta Dakwah

409-426

3

Achyar Zein

Urgensi Penafsiran al-Qur’an yang Bercorak Indonesia

22-37

4

Ajid Thohir

Historiografi Islam: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

427-451

5

Ahdi Makmur

Peranan Ulama dalam Membina Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan

174-191

6

Abdul Manam bin Mohamad alMerbawi, et al.

Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Malaysia: A Study on the Leadership of Haji Ishaq bin Muhammad Arif

299-319

7

Al Husaini M. Daud

Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer: Pendekatan Strukturalisme

342-363

8

Bahrul Hayat

Kontribusi Islam terhadap Masa Depan Peradaban di Asia Tenggara

192-204

9

Budi Kisworo

Urgensi Penerapan Asas Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Acara Islam

103-121

10

H. A. Kadir Sobur

Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

242-261

11

Ibrahim Siregar

Penyelesaian Sengketa Wakaf di Indonesia: Pendekatan Sejarah Sosial Hukum Islam

122-137

12

Kadar M. Yusuf

Pengaruh Bahasa Terhadap Perbedaan Pendapat Para Imam Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Hukum

56-76

13

Lahmuddin

Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

388-408

14

Mahrus As’ad

Pengaruh Neosufisme Terhadap Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Baru

456

38-55


Indeks Penulisan

15

Masdar Hilmy

Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?: Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

262-281

16

Muhammad Hatta

Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia

320-341

17

Maftuhah

Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam dalam Kurikulum Madrasah Aliyah Masa Orde Baru

18

Ridwan Hasan

Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

282-298

19

Sirajul Arifin

Musyârakah Antara Fikih dan Perbankan Syariah

77-102

20

Syahrizal dan Rabiatul-Adawiyah Ahmad Rashid

Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Sahnûn: Analisis Kritis Kurikulum Pengajaran di Institusi Pendidikan Dasar Islam

138-153

21

Suprayitno

Islamisasi di Sumatera Utara: Studi tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus

154-173

22

Sukiman

Strategi Pembangunan Islam di Aceh Pasca Tsunami Menuju Terwujudnya Masyarakat Religius

205-218

23

Ummul Aiman

Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhaylî: Kajian al-Tafsîr al-Munîr

457

364-387

1-21


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 458


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com; 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫ا‬ = a

‫خ‬ = kh

‫ش‬ = sy

‫غ‬ = gh

‫ن‬ = n

‫ب‬ = b

‫د‬ = d

‫ص‬ = sh

‫ف‬ = f

‫و‬ = w

‫ت‬ = t

‫ذ‬ = dz

‫ض‬ = dh

‫ق‬ = q

‫ﻩ‬ = h

‫ث‬ = ts

‫ر‬ = r

‫ط‬ = th

‫ك‬ = k

‫ء‬ = ’

‫ج‬ = j

‫ز‬ = z

‫ظ‬ = zh

‫ل‬ = l

‫ي‬ = ya

‫ح‬ = h

‫س‬ = s

‫ع‬ = `

‫م‬ = m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam ( ) baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan 459


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

460


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Kontributor Volume XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

Abd. Rahman I. Marasabessy Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate. Memperoleh gelar Magister dalam bidang Studi Tafsir dari IAIN Alauddin Ujungpandang, Makassar, dan Doktor dalam bidang Tafsir Hadis dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. H. A. Kadir Sobur Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pemikiran Falsafah dari Universiti Malaya, Malaysia. Masdar Hilmy Dosen Fakultas Tarbiyah, dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Southeast Asian Studies dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada, dan Doktor dalam bidang Islamic Studies dari The University of Melbourne, Australia. Ridwan Hasan Dosen Jurusan Dakwah STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Magister dalam bidang Teologi dari Aligarh Moslem University-India, gelar Doktor dalam bidang Filsafat Agama dari School of Humanities University Sains Malaysia-Penang, Malaysia. Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi Dosen Faculty of Contemporary Islam, University of Sultan Zainal Abidin, Terengganu, Malaysia. Sarjana dalam bidang Ushuluddin dan Tasawuf dari Jabatan Pengajian Islam, Fakulti Sastera, Universiti Malaya, dan Doktor dalam bidang yang sama dari Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia. Mohd Syukri Yeoh Abdullah Dosen Institute of Civilisation and the Malay World, Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor, Malaysia. Memperoleh gelar Master Sastera dalam bidang Falsafah Sufi Alam Melayu dari Jabatan Pengajian Persuratan Melayu, Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, 452


Ajid Thohir: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Doktor dalam bidang Sejarah dari Pusat Strategi, Politik dan Sejarah dari Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia. Wan Nasyrudin bin Wan Abdullah Dosen Institute of Civilisation and the Malay World, Universiti Kebangsaan Malaysia Selangor, Malaysia. Memperoleh gelar Sarjana Pengajian Islam (al-Qur’an dan Sunnah) dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Doktor dalam bidang Tafsir Perbandingan dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Osman Chuah Abdullah Dosen International Islamic University of Malaysia, Malaysia. Memperoleh Master of Arts dalam bidang Islamic Revealed Knowledge and Heritage dari International Islamic University, Malaysia, dan Doktor dalam bidang Ethnic Relationship and Sociology of Religion dari University of Malaya, Malaysia. Salmah Ahmad Dosen Pengajian Arab dan Tamaddun Islam. Memperoleh Master of Arts dalam bidang Sastra Arab dan Kritik dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Doktor dalam bidang Sastra Arab dari Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia. Muhammad Hatta Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Master of Laws dalam bidang Hukum Pidana Khusus dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia, dan kandidat Doktor dalam bidang dan kampus yang sama. Maftuhah Dosen DPK Fakultas Agama Islam dan Program Pascasarjana Universitas Islam Attahiriyah, Jakarta, dan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran Pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Doktor dalam bidang Manajemen Pendidikan dari Universitas Islam Nusantara, Bandung. Al Husaini M. Daud Dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Kandidat Doktor dalam bidang Agama dan Lintas Budaya konsentrasi Sejarah Pendidikan Islam dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarya.

453


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Lahmuddin Dosen dan Guru Besar Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara. Memperoleh gelar Master of Education dan Doktor dalam bidang Pendidikan dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang, Malaysia. Abdullah Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Master Sains dalam bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dari Universitas Sumatera Utara dan Doktor dalam bidang Tamadun Islam konsentrasi Dakwah Islam dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang, Malaysia. Ajid Thohir Dosen Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Studi Masyarakat Islam dari IAIN (UIN) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung dan Doktor dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

454


UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/ penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Volume XXXVI Nomor 2, Juli-Desember 2012 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Amirul Hadi, MA (Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh) 2. Prof. Dr. Salmadanis, MA (Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang) 3. Prof. Dr. Saiful Akhyar Lubis, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 4. Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 5. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 6. Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)

455


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

INDEKS PENULIS

MIQOT Vol. XXXVI No. 1 dan 2 Tahun 2012 No

Penulis

Judul Tulisan

Halaman

1

Abd. Rahman I. Marasabessy

Al-Qur’an dan Pluralitas: Membangun Kehidupan Masyarakat yang Majemuk

225-241

2

Abdullah

Analisis Swot Dakwah di Indonesia: Upaya Merumuskan Peta Dakwah

409-426

3

Achyar Zein

Urgensi Penafsiran al-Qur’an yang Bercorak Indonesia

22-37

4

Ajid Thohir

Historiografi Islam: Bio-biografi dan Perkembangan Mazhab Fikih dan Tasawuf

427-451

5

Ahdi Makmur

Peranan Ulama dalam Membina Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan

174-191

6

Abdul Manam bin Mohamad alMerbawi, et al.

Tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah in Malaysia: A Study on the Leadership of Haji Ishaq bin Muhammad Arif

299-319

7

Al Husaini M. Daud

Ideologi Pendidikan Pesantren Kontemporer: Pendekatan Strukturalisme

342-363

8

Bahrul Hayat

Kontribusi Islam terhadap Masa Depan Peradaban di Asia Tenggara

192-204

9

Budi Kisworo

Urgensi Penerapan Asas Pembuktian Terbalik Menurut Hukum Acara Islam

103-121

10

H. A. Kadir Sobur

Islam Liberal dan Ancaman terhadap Pemikiran Ahl Sunah Waljamaah

242-261

11

Ibrahim Siregar

Penyelesaian Sengketa Wakaf di Indonesia: Pendekatan Sejarah Sosial Hukum Islam

122-137

12

Kadar M. Yusuf

Pengaruh Bahasa Terhadap Perbedaan Pendapat Para Imam Mujtahid dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Hukum

56-76

13

Lahmuddin

Psikoterapi dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

388-408

14

Mahrus As’ad

Pengaruh Neosufisme Terhadap Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Baru

456

38-55


Indeks Penulisan

15

Masdar Hilmy

Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia?: Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

262-281

16

Muhammad Hatta

Perdebatan Hukuman Mati di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Pidana Indonesia

320-341

17

Maftuhah

Pendidikan Politik Kebangsaan dan Politik Islam dalam Kurikulum Madrasah Aliyah Masa Orde Baru

18

Ridwan Hasan

Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dalam Masyarakat Islam Aceh

282-298

19

Sirajul Arifin

Musyârakah Antara Fikih dan Perbankan Syariah

77-102

20

Syahrizal dan Rabiatul-Adawiyah Ahmad Rashid

Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Sahnûn: Analisis Kritis Kurikulum Pengajaran di Institusi Pendidikan Dasar Islam

138-153

21

Suprayitno

Islamisasi di Sumatera Utara: Studi tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus

154-173

22

Sukiman

Strategi Pembangunan Islam di Aceh Pasca Tsunami Menuju Terwujudnya Masyarakat Religius

205-218

23

Ummul Aiman

Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhaylî: Kajian al-Tafsîr al-Munîr

457

364-387

1-21


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 458


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com; 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫ا‬ = a

‫خ‬ = kh

‫ش‬ = sy

‫غ‬ = gh

‫ن‬ = n

‫ب‬ = b

‫د‬ = d

‫ص‬ = sh

‫ف‬ = f

‫و‬ = w

‫ت‬ = t

‫ذ‬ = dz

‫ض‬ = dh

‫ق‬ = q

‫ﻩ‬ = h

‫ث‬ = ts

‫ر‬ = r

‫ط‬ = th

‫ك‬ = k

‫ء‬ = ’

‫ج‬ = j

‫ز‬ = z

‫ظ‬ = zh

‫ل‬ = l

‫ي‬ = ya

‫ح‬ = h

‫س‬ = s

‫ع‬ = `

‫م‬ = m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam ( ) baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan 459


MIQOT Vol. XXXVI No. 2 Juli-Desember 2012 Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

460


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.