MIQOT VOL. XXXV NO. 2 Juli-Desember 2011

Page 1


MIQOT

Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Daftar Isi

Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan tentang Tuhan Hadis Purba

209-226

Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut al-Ghazâlî M. Yasir Nasution

227-241

Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf Said Aqil Siradj

242-257

Philosophical Arguments of Bodily Resurrection: Reconsidering Mullâ Shadrâ’s Eschatological Thought Saleh P. Daulay

258-275

Hermeneutika Fazlur Rahman: Upaya Membangun Harmoni Teologi, Etika, dan Hukum Syamruddin

276-294

Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia Suaidi Asyari

295-313

Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang Rozalinda

314-330

Dilema Skim Murabahah pada Perbankan Syariah Syukri Iska

331-349

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM pada Masa Rasulullah SAW. Ikhwan

350-371


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Hudรปd dan HAM: Artikulasi Penggolongan Hudรปd Abdullahi Ahmed an-Na`im Dedy Sumardi

372-390

Fatwa of the Council of the Indonesian Ulama on Golput (Vote Abstention): A Study of Contemporary Islamic Legal Thought in Indonesia, 2009 Bahrul Ulum

391-406

Islam, Etnisitas dan Politik Identitas: Kasus Sunda Abdul Syukur

407-426


PERSPEKTIF ANAK JALANAN MUSLIM DI KOTA MEDAN TENTANG TUHAN Hadis Purba Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: hadispurba_62@yahoo.com

Abstrak: Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah bertuhan dan memerintahkan mereka senantiasa konsisten dengan fitrahnya, dan hal ini tidak terkecuali dengan anak jalanan. Sebagai generasi penerus Islam, idealnya anak jalanan harus konsisten dengan fitrahnya, yaitu meyakini keberadaan, keesaan dan sifatsifat-Tuhan. Tulisan ini berupaya meneliti tingkat keberagamaan anak jalanan Muslim di kota Medan. Penelitian kualitatif deskriptif ini membuktikan bahwa kendati masih mengakui eksistensi Tuhan, mayoritas anak jalanan Muslim tidak pernah memikirkan dan bahkan ada yang meragukan keberadaan Tuhan dan sifatsifatnya karena dianggap tidak membantu meminimalkan penderitaan yang mereka alami. Beribadah dan berdoa adalah perkerjaan sia-sia sekaligus merepotkan, karena tidak menghasilkan uang dan kesenangan. Kondisi ini semakin memprihatinkan tatkala masyarakat Islam tidak memberikan pembinaan keagamaan kepada mereka. Abstract: The Perspective of Street Child on God in the City of Medan. According to Islamic teaching, every man naturally believes in the divine will that directs them to be consistent with this nature, and in this respect, the case of street child is not an exception. This writing attempts to study the rate of religiosity of Muslim street child in Medan city. This qualitative and descriptive study reveals that although still believe in the existence of God, the majority of the children never think and some even doubt the existence of God and His Characteristics due to the assumption that they have never benefited from his grace in minimizing the problems being faced. Ritual and prayers cause a fuss and considered to be useless acts because it produced neither money nor happiness, and worse still, the Muslim community did not provide religious guidance for them.

Kata Kunci: anak jalanan Muslim, Tuhan, kota Medan

Pendahuluan Setiap orang menginginkan seorang anak sebagai pelanjut keturunan dan penyambung 209


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 cita-cita mereka. Namun, tercapai atau tidak tercapainya suatu cita-cita perjuangan orang tua sangat tergantung pada anak mereka, dan kualitas anak-anak mereka sebagai penerus cita-cita perjuangan tersebut.1 Anak-anak yang mampu melanjutkan cita-cita orang tua, bahkan cita-cita suatu bangsa, adalah anak yang memiliki sumber daya bersaing yang tinggi seperti berbadan sehat dan kuat, terampil, berpendidikan, bercita-cita tinggi, berakhlak mulia, taat kepada peraturan Allah SWT. dan rasul-Nya, serta memahami Tuhan sebagai pencipta segala keberadaan.2 Untuk memperoleh generasi seperti itu, maka negara, masyarakat dan orangtua harus menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan anakanaknya, serta memberikan perhatian, perlindungan, pendidikan dan memenuhi kebutuhan spiritual anak-anak tersebut secara utuh, seimbang dan berkesinambungan. Meskipun perlindungan anak sudah diatur dalam bentuk Undang-Undang, dan pendidikan anak telah diatur dan diprogramkan oleh pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua orang tua mempersiapkan anak-anak mereka dengan baik. Banyak orang tua, baik secara sengaja maupun tanpa sadar, telah menjadikan anak-anak mereka sebagai pekerja, bahkan anak jalanan. Buktinya adalah banyaknya anak-anak yang mengisi setiap sudut persimpangan jalan dan traffic light. Masalah krusial bagi mereka yang hidup di jalanan ini adalah mereka yang tergolong usia muda. Seharusnya, mereka tidak berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi mereka harus membekali diri mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan untuk masa depan mereka. Sebab, mereka adalah harapan bangsa. Karena itu, idealnya mereka harus diberikan berbagai kemampuan, baik kemampuan fisik maupun psikis/spiritual. Semestinya, mereka mengeyam pendidikan terlebih dahulu dan menggapai cita-citanya, tanpa harus berjuang memperoleh rezeki. Kenyataan bahwa semua ini tidak bisa mereka dapatkan, maka anak jalanan selalu berpikir economic oriented (berorientasi kepada pencarian harta), tanpa memikirkan aspek-aspek lain seperti aspek mental spiritual. Munculnya kelompok anak jalanan di kalangan masyarakat, selain disebabkan oleh faktor problema kehidupan sosial seperti keadaan ekonomi, pendidikan, dan keluarga, juga sangat dimungkinkan dilatari oleh faktor pandangan mereka tentang Tuhan. Sebab, teologi berfungsi sebagai pemberi arah dan alat kontrol kehidupan manusia. Artinya, seseorang akan menghindarkan diri dari menjadi anak jalanan, apabila mereka memiliki perspektif yang benar tentang Tuhan. Jadi, perspektif seorang anak jalanan akan dapat menjadi faktor untuk terjun menjadi anak jalanan. Selanjutnya, pengalaman hidup menjadi anak jalanan dan kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi perspektif mereka tentang Tuhan itu. Dengan demikian, perspektif tentang Tuhan, dan status sosial menjadi anak jalanan memiliki hubungan timbal balik. Karena itu, masalah ini sangat menarik untuk dikaji dalam penelitian ini. Syahminan Zaini, Arti Anak bagi Seorang Muslim (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), h. 10. Ibid.

1 2

210


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

Secara teoretis, Islam menginformasikan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Salah satu fitrah manusia tersebut adalah fitrah bertuhan. Fitrah bertuhan ini telah diinformasikan al-Qur’an dalam berbagai ayat, antara lain:

                         

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. alRûm/30: 30)

                             

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. al-A‘râf/ 7: 172) Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia secara sempurna, dan manusia lahir dalam keadaan fitrah. Allah SWT. menghendaki agar manusia tetap selalu berada pada fitrahnya. Fitrah dimaksud antara lain adalah fitrah beragama dan bertuhan. Fitrah bertuhan, dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, sudah merupakan perjanjian antara manusia dengan Tuhan, ketika ruh manusia masih berada di alam lauh al-mahfûzh. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu beragama Islam. Dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dalam bab al-Janâ‘iz, disebutkan:

3

Sesungguhnya Abû Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanya-lah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi. Muhammad ibn Ismâ‘îl Abû ‘Abd Allâh al-Bukhârî al-Ja‘fî, Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq oleh Mushthafa Dîb al-Bigâ, Juz V (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), h. 143. 3

211


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Dengan demikian, setiap manusia memiliki naluri beragama dan ketuhanan. Dalam perjalanan hidupnya, setiap manusia akan selalu membutuhkan dan memiliki ketergantungan kepada-Nya. Perilaku ini sudah merupakan fitrah bagi semua manusia, tanpa kecuali. Akan tetapi, fitrah bertuhan pada manusia sering mendapat gangguan dan rintangan, sehingga fitrah tersebut semakin menipis, berkurang, rusak, bahkan menyimpang. Dalam konteks inilah diyakini bahwa anak jalanan, sebagai manusia, memiliki naluri ketuhanan tersebut. Meskipun setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, tidak semua fitrah tersebut berkembang secara baik dan benar, sehingga terjadi penyelewengan terhadap fitrah tersebut. Dalam konteks ini perlu disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap fitrah bertuhan dalam diri manusia, antara lain adalah lingkungan sosial, keadaan ekonomi keluarga, dan pendidikan. Semua faktor ini membuat setiap manusia memiliki perbedaan keyakinan tentang Tuhan, dan cara berinteraksi dengan-Nya. Sebab itulah, banyak sekali corak pemahaman manusia tentang konsep Tuhan. Sepanjang sejarah, ada beberapa jenis kepercayaan manusia kepada Tuhan, antara lain adalah Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henoteisme, Monoteisme Deisme, Monoteisme Teisme, Ateisme, dan Agnostisisme.4 Setiap paham ini memiliki konsep berbeda tentang Tuhan. Tidak setiap manusia memang belum tentu memiliki status sosial yang tinggi, sebab ternyata sebagian manusia menyandang status sosial yang rendah, misalnya anak jalanan. Para ahli telah banyak membahas masalah anak jalanan ini. Dari satu sisi, ada beberapa istilah yang kerap digunakan untuk menunjuk kepada makna anak jalanan seperti tekyan, kere, gelandangan, anak mandiri, dan anak 505. Untuk anak jalanan berjenis kelamin perempuan, mereka sering disebut ciblek. Semua istilah ini menjadi istilah umum bagi penyebutan anak jalanan. Ada banyak definisi tentang anak jalanan. Anak jalanan biasa diartikan sebagai mereka yang menghabiskan sebagian atau semua waktunya untuk mencari nafkah di jalanan;5 atau kelompok anak yang tidak memiliki tempat tinggal, dan tempat tinggal mereka adalah alam terbuka, tidak memiliki hubungan dengan keluarga lagi, dan berkeliaran di berbagai tempat seperti pertokoan, stasiun, terminal, kolong jembatan dan taman kota;6 atau pekerja informasi yang mana mereka bekerja di jalanan; 7 atau anak yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota;8 atau seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan mela-

Lihat Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973); Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Medan: Rimbow, t.t.). 5 Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di Kodya Semarang (Semarang: Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, 1999). 6 Surya Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan (Bandung: Akatiga, 1996). 7 Ibid. 8 Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, Laporan Pemetaan. 4

212


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

kukan berbagai kegiatan tertentu untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.9 Dengan demikian, anak jalanan telah dipahami secara bervariasi, meskipun semua arti tersebut memiliki hakikat yang sama. Usia anak-anak jalanan relatif sangat muda. Batasan usia seseorang dikatakan anak jalanan adalah di bawah 16 tahun.10 Ada pula pendapat bahwa batas usia anak jalanan adalah usia di bawah 18 tahun.11 Dengan demikian, jika seorang anak jalanan telah berusia di atas 18 tahun, maka ia tidak dikatakan sebagai anak jalanan lagi. Dari sisi lain, para ahli telah melakukan pengelompokan terhadap anak jalanan. Ditinjau dari segi hubungan anak-anak jalanan dengan keluarganya, Sudarajat membagi anak jalanan menjadi dua kategori, yaitu anak jalanan yang tumbuh di jalanan (children of the street), dan anak-anak yang ada di jalanan (children on the sreet). Anak jalanan yang tumbuh di jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalanan, tidak memiliki rumah dan tidak pernah kontak dengan keluarganya. Umumnya mereka berasal dari keluarga berkonflik, dan jumlah mereka sekitar 10-15 % dari jumlah anak jalanan. Sedangkan anak-anak yang ada di jalanan adalah anak-anak yang berada sesaat di jalanan. Anak-anak dari kategori ini dibagi menjadi dua, yaitu kelompok anak dari luar kota, dan kelompok anak yang sesaat di jalan, dan masih tinggal bersama orang tua. Jumlah anak-anak dari kategori kedua ini adalah 40-44 % dari jumlah anak jalanan. Ditinjau dari segi kepentingan, anak jalanan dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, anak yang berada di jalanan disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan, karena tidak memiliki orang tua maupun keluarga asuh, sehingga mereka harus mempertahankan hidup dengan mencari nafkah di jalanan. Kelompok ini disebut Anak Tanpa Pilihan. Kedua, anak berada di jalanan karena desakan ekonomi keluarga, di mana anak harus ikut menopang ekonomi keluarga. Kelompok ini disebut Anak Penopang Keluarga. Ketiga, anak berada di jalanan karena kondisi yang kurang menguntungkan, yang antara lain karena mendapat tekanan dari orang tua dan sarana penghidupan kurang memadai. Kelompok ini disebut Anak Kondisi Keadaan. Keempat, anak berada di jalanan karena hobi dan senang mencari uang yang akan dipergunakan untuk membeli sesuatu. Kelompok ini disebut Anak Iseng di jalanan. Banyak ahli telah meneliti tentang faktor-faktor penyebab kemunculan anak jalanan. Menurut Munandar, ada sejumlah penyebab dari fenomena anak yang bekerja antara lain adalah tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua, diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain, dan pembenaran budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.12 Dewan Nasional

Odi Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan (Semarang: Yayasan Setara, 2000), h. 6. Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal, h. 34. 11 Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan, h. 6. 12 Mulandar (ed.), Dehumanisasi Anak Marginal, h. 177. 9

10

213


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab anak turun ke jalan adalah kemiskinan keluarga, kesibukan orang tua, penolakan masyarakat karena cacat atau anak haram, rumah tangga yang berkonflik, dan salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia. Menurut Whitemole dan Sutini bahwa sebab-sebab dan latar belakang dari anak jalanan adalah terkait dengan masalah ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua, hubungan dalam keluarga tidak harmonis, orang tua menjadikan anak sebagai sumber ekonomi, anak-anak mengisi peluang-peluang ekonomi jalanan secara individual maupun kelompok, dan adanya pihak yang mengorganisir anak-anak sebagai pekerja jalanan.13 Sedangkan menurut Salahuddin, faktor penyebab kemunculan anak jalanan adalah kekerasan dalam keluarga, dorongan keluarga, impian kebebasan, ingin memiliki uang sendiri dan pengaruh teman.14 Namun, banyak pihak meyakini bahwa kemiskinan adalah faktor utama pendorong kemunculan anak jalanan. Setiap individu dan kelompok manusia biasanya memiliki karakter tertentu. Dalam konteks anak jalanan ini, menurut Odi Salahuddin, ada enam ciri anak jalanan, yaitu cepat tersinggung, mudah putus asa, tidak terbuka dan cepat murung, butuh kasih sayang, perbedaan latar belakang keluarga, suku dan agama, masih sangat labil, dan mereka memiliki suatu keterampilan.15 Umumnya, setiap anak jalanan memiliki watak seperti ini. Anak jalanan, sebagai salah satu bentuk status sosial dalam masyarakat, memiliki pengalaman hidup secara silih berganti. Terkadang, mereka akan senang dan bahagian, karena memperoleh rezeki di luar harapannya. Namun terkadang, batin mereka menderita dan tersiksa, karena dihina oleh masyarakat, atau bahkan cemburu dengan anak-anak lain yang hidup mewah dan mendapatkan kasih dan sayang dari orang tua mereka. Tentunya, status sosial yang mereka miliki ini akan mempunyai hubungan dengan terbentunya perspektif tentang Tuhan dalam diri mereka. Sebagai sebuah karya ilmiah akademik, penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mengetahui faktor-faktor penyebab seseorang menjadi anak jalanan. Kedua, mengetahui kegiatan dan pengalaman hidup anak jalanan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Ketiga mengetahui pandangan mereka tentang tuhan, baik keberadaan maupun sifat-sifatNya. Keempat, mengetahui interaksi mereka dengan Tuhan. Kelima, mengetahui pembinaan keagamaan dari berbagai pihak terhadap anak jalanan tersebut.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, di mana data atau informasi Bandingkan Sri Sanituti Hariadi dan Bagong Suyanto (ed.), Anak Jalanan di Jawa Timur: Masalah dan Upaya Penanganannya (Jawa Timur: BK3ES-Depsos Tk. 1 Jawa Timur, 1999); Irwanto, et al, Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta-Surabaya-Medan (PKPM Atmajaya dan Unicef). 14 Salahuddin, Anak Jalanan Perempuan, h. 11. 15 Ibid., h. 8. 13

214


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara mendalam sehingga muncul makna yang hakiki. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan yang berkaitan dengan perspektif anak jalanan tentang Tuhan, baik secara sosiologis, psikologis dan kultural. Pendekatan ini dipilih karena belum diketahui secara mendalam tentang perspektif anak jalanan mengenai Tuhan. Penelitian ini diyakini akan mampu mengumpulkan data dan menyesuaikan dengan konteks. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti mengamati secara berulang dan mencatat data secara teliti dan sistematis, serta menganalisis data tersebut secara induktif. Karena itu, dalam penelitian ini, setiap perilaku anak jalanan dideskripsikan sehingga ditemukan makna dari suatu temuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami makna perilaku manusia secara murni dalam situasi tertentu. Karena itu, penelitian kualitatif memiliki tiga pola yaitu: 1) berbentuk siklus yaitu prosesnya dapat dilakukan berulang-ulang, 2) membuat catatan mengenai data, dan 3) menganalisis data yang dikumpulkan. Karena itu, dalam penelitian kualitatif, peneliti harus berpartisipasi dengan subjek penelitian. Sehubungan dengan keterlibatan peneliti sebagai partisipan, teknik yang digunakan untuk menghayati sistem makna (meaning system) antara lain adalah dengan melalui pengamatan berperan serta (partisipant observation), yaitu suatu pengamatan yang peneliti terlibat dalam penelitian itu. Pemahaman terhadap makna perilaku anak jalanan tentang Tuhan diposisikan sebagai objek dan subjek yang memerlukan keterlibatan langsung seorang peneliti. Demikian juga implikasi yang ditimbulkan dari anak jalanan, baik secara historis, sosiologis, psikologis dan kultural, memungkinkan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Adapun subjek penelitian ini adalah 6 orang anak jalanan Muslim di kota Medan, dengan usia antara 7 sampai 15 tahun, dan sudah terjun ke jalanan minimal 2 tahun, dengan rincian sebagai berikut: Pertama, 3 orang dari kelompok anak-anak yang seluruh waktunya berada di jalanan (children of the street), dan tidak memiliki hubungan dengan keluarganya. Ketiga subjek ini masing-masing diberi kode COFS-1, COFS-2, dan COFS-3. Kedua, 3 orang dari kelompok anak jalanan yang melakukan aktifitas di jalanan (children on the street), tetapi mereka masih mempunyai hubungan dengan keluarganya. Ketiga subjek ini masing-masing diberi kode CONS-1, CONS-2, dan CONS-3. Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga teknik. Pertama, melakukan wawancara mendalam dengan anak jalanan dengan usia 7-15 tahun. Kedua, melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Sosial kota Medan. Ketiga, pengkajian dokumen, yaitu mendapatkan data mengenai jumlah anak jalanan di kota Medan. Untuk memperkuat kesahihan data, penelitian ini menggunakan teknik versi Lincoln dan Guba, yaitu keterpercayaan (credibility), bisa ditransfer (transferability), bisa dipegang kebenarannya (dependability) dan bisa dikonfirmasikan (confirmability). Agar temuan dan interpretasi penelitian ini dapat terpercaya, maka dilakukan sejumlah cara yaitu 1) keikut215


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 sertaan peneliti dalam aktifitas anak jalanan dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa, 2) ketekunan pengamatan terhadap aktivitas anak jalanan, 3) melakukan triangulasi, yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber diperiksa silang antara data wawancara dengan data pengamatan, dan sumber informasi yang diperoleh dari seorang informan akan dibandingkan dengan informasi dari informan lain, 4) mendiskusikan dengan teman sejawat yang tidak berperan serta dalam penelitian, 5) analisis kasus negatif, yaitu menganalisis dan mencari kasus yang menyanggah temuan penelitian, sehingga tidak ada lagi bukti lain yang menolak temuan hasil penelitian, dan 6) pengujian ketepatan referensi terhadap data temuan dan interpretasi. Kemudian, peneliti akan semaksimal mungkin mendeskripsikan latar penelitian secara detail agar dapat menjadi acuan bagi karakteristik latar penelitian lain yang sejenis untuk membantu menjamin tingkat transferability. Agar data penelitian ini dapat diandalkan (dependability), maka diusahakan semaksimal mungkin untuk konsisten dalam keseluruhan proses penelitian. Setiap aktivitas akan dicatat dalam bentuk memo untuk membantu proses analisis data. Kamera akan digunakan sebagai alat bantu mengumpulkan data, sedangkan alat perekam akan digunakan sebagai alat bantu dalam menjamin keterandalan dan untuk menghindari bias interpretasi. Selain itu, aktifitas cross-checking dan triangulasi akan digunakan dalam proses analisis data untuk membantu usaha menjamin tingkat confirmability. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan data sesuai dengan tujuan dan kedalaman yang menjadi fokus penelitian ini. Untuk selanjutnya, deskripsi data tersebut akan diinterpretasikan secara lebih mendalam lagi. Metode penelitian seperti ini diharapkan bisa menjadi cara jitu dalam memahami perspektif anak jalanan tentang Tuhan.

Hasil dan Pembahasan Subjek penelitian ini adalah 6 orang anak jalanan yang beragama Islam, yang terdiri atas 3 orang dari kelompok Children on the Street, yaitu anak-anak jalanan yang memiliki keluarga di Medan, dan 3 orang dari kelompok Children of the Street, yaitu anakanak jalanan yang tidak lagi memiliki keluarga di Medan. Anak-anak jalanan dari kelompok pertama diberi kode CONS, dan anak-anak jalanan dari kelompok kedua diberi kode COFS.

Faktor-Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan CONS 1 adalah anak berusia sekitar 12 tahun. Ia masih memiliki kedua orang tua, dan anak keempat dari enam orang bersaudara. Saudara tertuanya adalah perempuan dan telah menikah, saudara keduanya juga perempuan namun tidak diketahui keberadaannya. Saudara ketiganya adalah lelaki dan tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan saudara kelima masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), dan saudara terakhir masih berusia 3 tahun. Menurut informasi darinya, ayahnya tidak memiliki pekerjaan, dan suka 216


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

mabuk-mabukan. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai tukang cuci tetangganya. Karena penghasilan ayahnya tidak ada, dan gaji ibunya tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka ia dipaksa ayahnya berjualan. Jika ia menolak dan pendapatannya kurang, maka ayahnya sering marah-marah dan terkadang memukulinya. Karena itulah, akhirnya CONS 1 menjadi anak jalanan. CONS 2 adalah anak berusia sekitar 15 tahun, dan seorang yatim. Ibunya adalah seorang guru honor di sebuah SD swasta. Ia adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Adik-adiknya masih sekolah dibangku SD. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas ketika membawa truk pengangkutan ke Jakarta sekitar 2 tahun lalu. Sejak itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan gaji cukup kecil. Sebagai anak pertama, ia harus membantu ibunya, dan karena tidak memiliki kemampuan tertentu, ia menjadi anak jalanan. CONS 3 adalah seorang anak berusia sekitar 9 tahun, anak pertama dari 3 bersaudara. Adik keduanya berusia 6 tahun dan adik bungsunya berusia 4 tahun. Ia sudah 3 tahun menjadi anak jalanan. Ibunya telah meninggal 3 tahun lalu, dan ayahnya telah menikah lagi. Ibu tirinya suka memarahi bahkan memukulinya. Kondisi keluarga seperti itu membuatnya tidak tahan di rumah, dan karena itulah ia mulai menjadi anak jalanan. COFS 1 adalah anak berumur 8 tahun, seorang anak tunggal, tetapi tidak pernah mengenal ayahnya. Dari pengakuannya, ia tertinggal di sebuah bus ketika masih balita. Ia tidak mengetahui secara pasti alasannya, apakah sengaja atau tidak ditinggal ibunya. Menurutnya, ia sudah ada di persimpangan lampu merah di Aksara (Medan), karena supir bus menurunkannya. Kini, ia tidak mengetahui posisi ibunya dan dari mana asalnya. Namun, ia masih sangat ingat wajah ibunya, dan meyakini tetap bisa mengenalinya ketika bertemu lagi. COFS 2 adalah seorang anak dari Nias berusia sekitar 13 tahun. Sekitar 5 tahun lalu, rumahnya terbakar dan peristiwa kebakaran ini membuat fisiknya cacat terbakar. Ia menjadi anak jalanan karena terpisah atau mungkin sengaja ditinggal orang tuanya. Dari pengakuannya, ia merasa sangaja dibuang oleh orang tuanya karena dianggap sebagai beban keluarga. Ia terpisah dari kedua orang tuanya ketika orang tuanya hendak pindah ke tempat lain. Kini, ia tidak mengetahui keberadaan keluarganya. Akhirnya, terpaksa ia menjadi anak jalanan, tanpa orang tua dan keluarga. COFS 3 adalah seorang anak berusia 16 tahun. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang buruh di perkebunan kelapa sawit. Ia sudah menjadi anak jalanan selama 7 tahun. Awalnya, ia tinggal bersama orang tuanya di Riau. Ekonomi keluarganya serba kekurangan. Ketika berhenti sekolah dan menjadi pengangguran, ia berteman dengan anak jalanan di daerahnya, sehingga ia terbiasa hidup di jalanan. Pada suatu sore, ketika ia pulang dari jalanan, tanpa sengaja ia melihat sepatu tetangganya di teras rumah, dan tanpa berpikir panjang, ia mengambil sepatu itu dan menjualnya. Beberapa hari kemudian, tetangga tersebut mengetahui bahwa sepatu itu dicuri olehnya. Sebab itu, 217


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 orang tuanya marah dan memukulinya karena dianggap telah membuat malu keluarga. Karena peristiwa ini, ia pergi dari rumah tanpa tujuan dan akhirnya ia pergi ke Medan menjadi anak jalanan. Berdasarkan informasi dari anak-anak jalanan tersebut, bisa disimpulkan bahwa mayoritas anak menjadi anak jalanan disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang lemah. Akibatnya, sebagian mereka terpaksa/dipaksa bekerja, dibuang dan diusir ke jalanan. Sebagian kecil disebabkan oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis. Karena tidak betah di rumah, akhirnya mereka memilih hidup di jalanan. Kenyataan ini ikut menguatkan pendapat para peneliti lain bahwa anak-anak menjadi anak jalanan dikarenakan oleh faktor ekonomi dan keharmonisan keluarga.

Aktivitas dan Pengalaman Anak Jalanan CONS 1 menjadi anak jalanan dengan berjualan rokok dan minuman gelas dalam bentuk gendongan. Ia berjualan setelah pulang sekolah, dan pulang ke rumah setelah pukul 20.00 WIB. Penghasilannya setiap berjualan sekitar 25 sampai 40 ribu rupiah. Sebenarnya, penghasilan tersebut masih kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena uang tersebut sering digunakan oleh ayahnya untuk mabuk-mabukan. CONS 2 menjadi anak jalanan karena gaji ibunya tidak mencukupi kebutuhan seharihari. Ia menjadi penjual asongan seperti rokok, aqua, permen dan tisu. Menurutnya, berjualan adalah perbuatan lebih terpuji dari mengamen atau mengemis, meskipun ia pernah meminjam gitar milik temannya sesama anak jalanan untuk mengamen. Hal itu dilakukannya karena ia memiliki bakat memainkan musik dan menyanyi, sehingga terkadang ia ingin menyalurkan bakat tersebut. Pada awal menjadi anak jalanan, ia lebih suka menjadi pengamen, namun ibunya melarang. Pendapatannya sehari-harinya adalah antara 30 sampai 40 ribu rupiah. Sebanyak 20 ribu rupiah dari pendapatannya diberikan kepada ibunya, 10 ribu rupiah digunakan sebagai pengeluaran selama di jalan, dan 10 ribu rupiah ditabung. Ia punya cita-cita, jika tabungannya sudah banyak, maka ia menggunakannya sebagai modal untuk memiliki kios lengkap dengan barang-barang jualan, menjadi pedagang sukses, sehingga dapat membantu semua adiknya untuk melanjutkan sekolah. CONS 3 menjadi anak jalanan karena kondisi keluarga tidak harmonis. Ia menjadi seorang pengemis, karena tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendapatkan uang sebagai biaya hidup di jalanan. Ia sangat jarang pulang ke rumah, dan selalu tidur di pelataran toko. Pada awal menjadi anak jalanan, ia selalu dimintai uang oleh seniornya di jalanan dengan alasan untuk uang keamanan atau uang sewa tempat tidur di pelataran toko tersebut. Karena sudah dianggap anak lama di jalanan, kini ia tidak pernah dimintai uang lagi oleh seniornya, namun malah ikut memintai uang kepada para juniornya. COFS 1 adalah seorang anak tanpa orang tua di kota Medan. Ia menjadi seorang pengamen. Ia mengamen bersama seorang anak seusianya, dan mereka berada di bawah 218


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

koordinasi seniornya di jalanan. Sebagian pendapatan mereka diberikan kepada seorang senior, dan mereka hanya diberikan sebesar 5 sampai 10 ribu rupiah sehari. Jika pendapatan kurang, maka ia harus berkongsi bersama temannya untuk membeli satu nasi bungkus dan dimakan bersama-sama. Pada malam hari, ia tidur di pelataran toko di sekitar Aksara (Medan). Menurut pengakuannya, ia sering mendapat perlakuan kasar dari para seniornya seperti dipukul, dibentak bahkan disodomi. COFS 2 menjadi anak jalanan karena ditinggal oleh kedua orang tuanya. Di jalanan, ia berperan sebagai seorang pengamen. Ia malu menjadi pengemis, sebab menurutnya, mengamen lebih baik dari mengemis, meski ia tidak memiliki suara yang bagus. Pendapatannya sehari-hari adalah 10-15 ribu rupiah. Pendapatan ini hanya cukup untuk makan sehari saja, karena itu keesokan hari ia harus mengamen lagi untuk mencari rezeki hanya sekadar untuk makan. COFS 3 menjadi anak jalanan karena pergi dari rumah setelah dimarahi dan dipukul kedua orang tua, karena telah mencuri barang milik tetangganya. Ia menjadi pengamen bersama sejumlah temannya dan bertugas sebagai pemain gitar. Penghasilannya seharihari mencapai 15 sampai 25 ribu rupiah, dan penghasilan ini dibagi dua dengan temannya. Dengan demikian, pada umumnya anak-anak jalanan tersebut lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menyanyikan lagu dengan nada dan lirik seadanya. Mereka tidak mengandalkan lagu-lagu terbaik masa kini. Alat musik yang mereka pakai juga sangat sederhana. Meski sebagian mereka sudah memiliki gitar, namun mereka belum mahir memainkan gitar. Alat musik khas hanya berupa kerincingan, sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol, atau botol aqua yang diisi batu dan pasir. Beberapa pendengar terkadang memberikan uang antara Rp. 500,- dan Rp. 1000,kepada mereka, tetapi sebagian pendengar sama sekali tidak berkenan memberikan uang. Bahkan sebagian pendengar melontarkan kata-kata kasar seperti “anak gembel.� Fakta ini sebenarnya lumrah, karena seperti dikatakan Khairul Amri, bahwa kehidupan publik yang lebih mapan sulit sekali meyakini bahwa orang-orang jalanan seperti anak jalanan bisa berlaku jujur dan bertindak benar.16 Banyak orang menganggap orang-orang jalanan sebagai sampah bahkan kriminal. Harus diakui bahwa sebenarnya ini adalah salah satu bentuk penderaan dan penghakiman sekaligus penzaliman terhadap anak-anak jalanan.

Pandangan Anak Jalanan Terhadap Tuhan Setiap manusia memiliki fitrah untuk mengakui bahwa Tuhan itu ada. Apapun status sosial seseorang, namun sorang tersebut tetap memiliki fitrah bertuhan. Anak jalanan, Khairul Amri, et al., Mencari Keadilan dalam Sistem Pengadilan Anak (Kisah Aneka Berkonflik dengan Hukum) (Medan: Pusaka Indonesia, 2004), h. 21. 16

219


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 sebagai salah satu status sosial dalam masyarakat, juga memiliki fitrah tersebut, dan penelitian ini menemukan bahwa anak-anak jalanan mempercayai keberadaan Tuhan, meskipun mereka memiliki perbedaan konsep tentang-Nya. Subjek penelitian ini mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Mereka menyatakan bahwa Tuhan itu ada di langit. Alasannya adalah karena setiap orang selalu berdoa menengadahkan tangan ke atas menghadap langit. Akan tetapi diketahui bahwa kepercayaan anak jalanan terhadap adanya Tuhan hanyalah karena doktrin semata. Fakta ini terlihat dari jawabanjawaban atas pertanyaan tentang keberadaan Tuhan tersebut. CONS 1, CONS 3, COFS 1 dan COFS 3, misalnya, mengakui bahwa Tuhan itu ada, dan Dia berada di langit. Namun mereka sama sekali tidak pernah memikirkan keberadaan Tuhan itu, bagaimana adanya Tuhan, dan mengapa Dia harus ada. Mereka hanya mengakui bahwa Tuhan itu ada, tetapi memikirkan dan peduli apakah Tuhan itu bersifat Pengasih (al-Rahmân), Penyayang (al-Rahîm) dan Adil (‘Adl). Bagi mereka, mengetahui hal tersebut tidak penting, tetapi uang lebih penting dari-Nya. Mereka meyakini bahwa mereka akan bisa bertahan hidup dengan uang, tetapi tanpa uang, mereka tidak akan mungkin bisa hidup. Dari pengakuan ini bisa disimpulkan bahwa mereka adalah kelompok manusia yang mempercayai Tuhan karena doktrin, karena sejak kecil telah didoktrin oleh orang tua dan masyarakat bahwa Tuhan itu ada, meski mereka tidak memahami alasan dan maksud bahwa Tuhan itu ada.17 Namun demikian, ada beberapa temuan menarik tentang pandangan anak jalanan lain tentang Tuhan. CONS 2, misalnya, mengakui bahwa Tuhan itu ada, Dia ada di langit, dan kadang-kadang Tuhan turun ke bumi karena Dia memiliki rumah di bumi ini. Maksud Tuhan memiliki rumah di bumi adalah masjid. Keyakinan ini ia peroleh dari pernyataan para penceramah di berbagai pengajian bahwa mesjid adalah bait Allâh (rumah Allah), dan bila setiap orang ingin berjumpa dengan-Nya, maka mereka harus menunaikan salat ke mesjid. CONS 2 meyakini bahwa Tuhan itu memiliki sifat Pengasih, Penyayang dan Adil terhadap para hamba-Nya. Ia mempunyai pandangan cukup baik tentang sifat Keadilan, Pengasih dan Penyayang Tuhan, bahwa setiap orang yang berbuat baik pasti akan dibalas Tuhan dengan kebaikan dan akan mendapat pahala, sehingga mereka akan hidup senang. Ia meyakini bahwa setiap orang yang berusaha pasti akan diberikan Tuhan jalan keluar dari penderitaan hidup. Ia juga berpendapat bahwa penderitaan dan kemiskinan yang sekarang dialami manusia adalah sebuah ujian dari Tuhan, karena itu setiap manusia harus tabah dan sabar menjalaninya. Karena, suatu saat nanti Allah akan memberikan jalan keluar, asalkan mereka terus berusaha untuk mengubah kehidupan yang mereka jalani. COFS 3 memiliki pandangan lain lagi. Ia memang mengakui bahwa Tuhan itu ada. Tetapi menurutnya, keberadaan Tuhan itu sama dengan ketiadaan Tuhan itu sendiri. Baginya, Lihat Agus Mustofa, Bersatu Dengan Allah (Surabaya: Fatma Press, 2005), h. 5.

17

220


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

Tuhan memang benar-benar ada, namun apa yang dilakukan Tuhan ketika melihat hambahamba-Nya menderita seperti dirinya. Adakah Tuhan memberikan pertolongan kepadanya ketika ia mengalami kesulitan hidup? Apakah Tuhan pernah memperhatikan kehidupannya saat ini? Apakah Tuhan memberikan jalan hidup lain yang lebih mudah dari yang dijalaninya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul dalam pikirannya, sehingga membuatnya menjadi ragu jika Tuhan itu bersifat Pengasih, Penyayang dan Adil. Pandangan COFS 3 ini bisa dikategorikan sebagai kelompok skeptisis yaitu orang-orang yang ragu tentang keberadaan Tuhan sebagai Zat yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil. Tentu saja, pandangan ini muncul sebagai akibat dari kerasnya kehidupan jalanan yang telah dialaminya. Berbeda dengannya, CONS 1, CONS 3, COFS 1 dan COFS 2 memang mengakui bahwa Tuhan itu ada, namun mereka tidak memedulikan diri untuk memikirkan eksistensi Tuhan. Karena itu, keempat anak jalanan ini dapat dikelompokkan sebagai golongan agnostisis (tidak mengetahui keberadaan Tuhan). Paham agnostisis adalah paham yang mengakui dan percaya kepada adanya Tuhan, tetapi tidak tahu siapa dan bagaimana sifat-sifat-Nya. Bagi agnostisis, Tuhan itu ada, tetapi tidak bisa diketahui di mana, apakah Dia satu atau lebih, apakah Dia baik atau buruk, Maha Mengetahui atau tidak, Maha Penyayang atau tidak18 Sekali lagi, situasi dan kondisi jalanan sangat memengaruhi pola pikir mereka tentang Tuhan ini. Beberapa penelitian mendukung kesimpulan ini bahwa anak jalanan tidak memiliki pemikiran konkret dan logis tentang keberadaan Tuhan, karena kondisi kehidupan mereka tidak mendukung untuk itu. Bagaimana mungkin mereka sempat memikirkan Tuhan, sementara mereka sendiri tidak sempat memikirkan kehidupan masa depannya. Mereka tidak pernah memikirkan kenapa mereka harus menjalani hidup sebagai anak jalanan. Bagi mereka, hidup harus diterima apa adanya, tanpa harus dipertanyakan mengapa, bagaimana, dan apa sesungguhnya di balik semua ini. 19 Anak-anak jalanan ini memang tidak memikirkan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu, namun mereka mengakui bahwa Tuhan umat Islam berbeda dengan Tuhan agama-agama lain seperti Tuhan agama orang Kristen, Hindu, dan Buddha. Mereka menyatakan bahwa Tuhan orang Islam adalah Allah, sedangkan Tuhan orang Kristen adalah Yesus. Sebab itulah, setiap agama memiliki Tuhan masing-masing. Keyakinan bahwa setiap umat beragama memiliki Tuhan masing-masing ini mirip dengan paham Henoteisme, yaitu paham yang meyakini bahwa agama mereka memiliki satu Tuhan, sedangkan agama-agama lain memiliki Tuhan lain.20 Paham anak jalanan ini tentu saja muncul dari kurangnya pendidikan agama mereka, selain karena kondisi sosial jalanan itu sendiri. Harun Nasution, Falsafat Agama, h. 24. Ibid., h. 31. 20 Amri et al., Mencari Keadilan, h. 19. 18 19

221


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Interaksi Anak Jalanan Dengan Tuhan Interaksi dengan Tuhan dipahami sebagai beribadah dan berdoa kepada Tuhan sebagai bentuk upaya berkomunikasi dengan-Nya. Karena itu, maksud interaksi anak jalanan dengan Tuhan adalah bagaimana anak jalanan beribadah dan berdoa kepadaNya. Bentuk ibadah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah salat dan puasa. Sebab, menurut hukum Islam, ibadah lain seperti zakat dan haji belum dibebankan kepada anak jalanan, karena mereka belum baligh. Dengan demikian, interaksi mereka dengan Tuhan hanya dilihat dari tiga aspek yaitu salah, puasa dan doa. Dalam konteks ini ditemukan bahwa lima dari enam anak jalanan tersebut mengaku tidak pernah melaksanakan salat, puasa dan berdoa. CONS 1, CONS 3, COFS 1, COFS 2 dan COFS 3 mengaku tidak pernah salat, puasa dan berdoa kepada Tuhan. Mereka menyatakan bahwa jangankan berinteraksi dengan Tuhan, bahkan untuk memikirkan sifat Pengasih, Penyayang dan Adil Tuhan pun mereka tidak pernah. Bagi mereka, memikirkan Tuhan, apalagi berinteraksi dengan-Nya adalah sesuatu yang merepotkan, dan tidak menghasilkan apapun. Mereka lebih suka mengamen dan berjualan sehingga bisa mendapatkan uang daripada salat, karena ibadah salat menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan uang. CONS 1 mengaku bahwa ia pernah mengetahui bacaan dan tata cara salat, tetapi kini ia sudah lupa, karena tidak pernah mempraktikkannya lagi. Sedangkan CONS 3, COFS 1, COFS 2 dan COFS 3 sama sekali tidak pernah mengetahui bacaan dan tata cara salat, karena mereka tidak pernah memperoleh pelajaran itu. COFS 3 memiliki pendapat yang cukup memprihatinkan. Ia menyatakan bahwa salat dan doa adalah perbuatan sia-sia dan tidak mendatangkan manfaat apapun kepadanya. Ia juga mengaku tidak pernah merasakan sifat kasih, sayang dan adil Tuhan. Ia bahkan pernah menyatakan bahwa daripada diajak salat, lebih baik ia diberikan uang rokok saja, karena salat tidak ada arti baginya. Dengan demikian, pola pikir anak-anak jalanan ini sangat pragmatis. Anak-anak jalanan ini hanya akan melaksanakan suatu pekerjaan, apabila pekerjaan tersebut mendatangkan hasil dan memberikan kesenangan kepada mereka. Sebab itulah, mereka lebih tertarik mengikuti kebaktian agama Kristen daripada melaksanakan salat, karena mengikuti kebaktian bisa memperoleh nasi bungkus, sedangkan salat sama sekali tidak mendatangkan hasil dan kesenangan apapun kepada mereka. Menurut mereka, salat malah bisa menghabiskan waktu mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk mencari uang. Akan tetapi, hanya satu anak jalanan melaksanakan ibadah dan doa tersebut, yaitu CONS 2. Ia menyatakan bahwa ia selalu mengerjakan salat fardhu dan ibunya selalu memerintahkannya untuk salat. Ia biasa mengerjakan salat Magrib dan ‘Isya`, sedangkan salat Subuh, Zuhur dan ‘Asar jarang dikerjakannya. Ia jarang salat Subuh karena ia malas bangun pagi, sedangkan waktu Zuhur dan ‘Asar sedang berada di jalanan. Ia juga mengaku 222


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

bahwa ia selalu mengerjakan salat Jum‘at. Setiap selesai salat Jum‘at, ia mengaku selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan kemurahan rezeki, diberikan kekuatan menghadapi penderitaan hidup, dan diberikan kesehatan dan keselamatan. Ia mengaku bahwa setiap bulan Ramadan ia selalu melaksanakan ibadah puasa, meski terkadang tidak penuh sebulan. Kondisi jalanan yang terik dan panas membuatnya tidak puasa secara penuh selama sebulan. Ia juga mengaku bahwa ketika berdoa dengan tulus selesai salat, ia merasa dagangannya laris terjual. Karena itu, ia sangat yakin bahwa kelak ia akan menjadi seorang pedagang sukses. Dengan demikian, CONS 2 lebih memiliki sikap religius dibandingkan teman-teman sesama anak jalanan. Sikap religius CONS 2 ini tidak terlepas dari pengaruh orang tuanya. Ibunya adalah seorang guru agama di sekolah swasta, dan selalu mengingatkannya untuk melaksanakan salat dan selalu berdoa. Melalui ibunya, ia meyakini bahwa penderitaan yang sedang melanda keluarganya saat ini adalah cobaan dan ujian dari Tuhan. Jika sabar dan selalu berdoa, ia yakin bahwa Tuhan akan mengeluarkan keluarganya dari penderitaan tersebut. Ia meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh keluarganya bukanlah karena mereka dihinakan oleh Tuhan. Sebaliknya, orang-orang kaya yang memperoleh karunia dari Tuhan tidak selamanya menunjukkan bahwa Tuhan memuliakan mereka. Ia mengemukakan contoh orang kaya tetapi tidak dimuliakan Tuhan seperti pejabat korupsi, bandar judi dan germo yang menjual anak gadis tidak berdosa. Tampaknya, peran ibu CONS 2 sangat penting bagi pembentukan watak religiusnya sebagai anak jalanan. Semua ini mengindikasikan bahwa mayoritas anak jalanan sangat jauh dari sifat religius seperti percaya akan keberadaan dan sifat kasih, sayang dan adil Tuhan. Karena itulah, sangat wajar jika banyak anak jalanan kerap melakukan perilaku menyimpang seperti main kartu, sodomi, mengonsumsi narkoba, dan minuman keras. Tentu saja, perilaku ini adalah wujud dari konmpensasi atas kekecewaan, kegagalan dan tekanan hidup yang mereka alami. Intinya, mereka melakukan berbagai perilaku menyimpang untuk melupakan sementara waktu semua kesulitan hidup mereka.21 Setelah selama seharian beraktivitas untuk mencari uang, mereka menghabiskan waktu malam mereka dengan melakukan berbagai perbuatan tersebut, sedangkan mereka mulai beristirahat menjelang Subuh.

Pembinaan Keagamaan terhadap Anak Jalanan Dari aspek agama, mayoritas anak jalanan di kota Medan beragama Islam. Sebagian dari mereka beragama Kristen, Hindu dan Buddha. Bila dipersentasekan, 70 % anak jalanan beragama Islam. Namun demikian, pembinaan keagamaan anak-anak jalanan Muslim ini sungguh memprihatinkan. Bandingkan dengan penelitian Katimin, Moralitas Anak Jalanan di Kota Medan: Studi Kasus SKA-PKPA Medan (Medan: PUSLIT IAIN-SU, 2005), h. 43. 21

223


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Berbeda dengan anak-anak jalanan Muslim, anak-anak jalanan yang beragama Kristen selalu mendapat pembinaan keagamaan dan bimbingan kebaktian dari pengembang agama Kristen. Menurut keterangan CONS 2, bahwa setiap hari Rabu, anak-anak jalanan yang beragama Kristen selalu diajak oleh dua orang pemuda Kristen untuk mengikuti kebaktian dan bimbingan rohani. Setelah acara kebaktian dan bimbingan rohani tersebut, kedua pemuda Kristen tersebut memberikan nasi bungkus kepada para anak jalanan yang mengikuti acara kebaktian. Kegiatan kebaktian ini ternyata telah menarik perhatian anakanak jalanan Muslim. Sebaliknya, anak-anak jalanan Muslim sama sekali tidak pernah mendapat pembinaan keagamaan dari individu-individu maupun kelompok-kelompok Muslim. Sebab itulah, pemahaman keagamaan mereka cukup memprihatinkan. Lebih ironi lagi, tidak jarang anak-anak jalanan Muslim mengikuti pembinaan keagamaan dari pihak Gereja. Menurut keterangan CONS-2, bahwa ia tidak pernah mengikuti acara kebaktian tersebut, karena ia adalah seorang Muslim dan kebaktian adalah acara agama Kristen. Tetapi menurut informasi darinya, banyak teman-temannya sesama anak jalanan yang beragama Islam mengikuti acara kebaktian tersebut. Alasannya cukup sederhana, namun rasional menurut mereka, yaitu mereka akan mendapatkan nasi bungkus setelah mengikuti acara kebaktian tersebut. Jika tidak mengikutinya, dan tetap bertahan di jalanan, belum tentu mereka akan mendapat uang untuk membeli nasi bungkus. Faktor ekonomi inilah menjadi alasan kuat bagi anak-anak jalanan Muslim tersebut mengikuti acara kebaktian dan bimbingan rohani tersebut. Seorang anak jalanan Muslim, yaitu COFS-2, menyatakan bahwa ia pernah mengikuti acara kebaktian dan bimbingan rohani agama Kristen. Namun, ia tidak memperhatinkan isi ceramah, sebab yang ada dalam pikirannya hanya untuk mendapatkan nasi bungkus secara gratis. Dengan nasi bungkus itu, ia bisa makan dengan nyaman sampai kenyang. Berbeda dengan kesehariannya, ia harus mencari makan siang sendiri dengan susah payah, dan ia pun harus berbagi dua dengan temannya sesama anak jalanan, karena uang mereka tidak mencukupi untuk membeli dua nasi bungkus. Dalam konteks ini, jika anak-anak jalanan Muslim hanya sekadar mengikuti kebaktian dan bimbingan rohani dari agama Kristen, dan perilaku tersebut, menurut pengakuan mereka, tidak mempengaruhi keyakinannya sendiri, namun kelak hal tersebut bisa menjadi masalah besar. Tidak mungkin prosesi agama Kristen tersebut tidak memberikan pengaruh kepada mereka, sekecil apa pun itu. Tidak mustahil, ketika anak-anak tersebut sudah dewasa, mereka akan berpindah agama, karena merasakan bahwa pihak Gereka selalu memberikan perhatian serius kepada mereka. Prediksi ini seharusnya menjadi perhatian umat Islam, khususnya institusi-institusi keagamaan Islam seperti ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, al-Washliyah, Nahdlatul Ulama, dan Ittihadiyah, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). 224


Hadis Purba: Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian terdahulu, bisa disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penyebab seorang anak menjadi anak jalanan di kota Medan. Mayoritas anak menjadi anak jalanan lebih disebabkan oleh masalah ekonomi keluarga, dan karena faktor ekonomi inilah mereka dipaksa/terpaksa bekerja, diusir, dan dibuang oleh orang tua kandungnya sendiri. Mayoritas anak jalanan di kota Medan adalah beragama Islam. Dari penelitian ini diketahui bahwa anak-anak jalanan Muslim di kota Medan masih meyakini bahwa Tuhan itu ada, meskipun kepercayaan tersebut hanyalah karena doktrin semata. Namun perspektif mereka tentang Tuhan tidaklah sama. Mayoritas anak jalanan meyakini bahwa Tuhan itu ada, namun mereka sama sekali tidak pernah memikirkan keberadaan, apalagi sifat-sifat-Nya. Seorang anak bahkan ragu terhadap eksistensi-Nya, sebagai akibat dari ketiadaan pertolongan-Nya terhadap penderitaan hidupnya. Namun seorang anak berpendapat bahwa Tuhan itu ada, dan Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil, dan keyakinan ini kebetulan diperoleh dari orang tuanya. Selain itu, anakanak jalanan ini sepakat bahwa setiap umat beragama memiliki Tuhan masing-masing, dan Tuhan dari tiap-tiap agama tersebut berbeda satu sama lain. Berkaitan dengan interaksi anak jalanan dengan Tuhan, diketahui bahwa mayoritas anak jalanan tersebut tidak pernah beribadah dan berdoa. Sebab menurut mereka, ibadah dan doa adalah perbuatan sia-sia dan merepotkan, karena keduanya tidak pernah mendatangkan hasil dan kesenangan kepada mereka. Ibadah dan doa malah akan menghabiskan waktu mereka mencari uang. Fakta ini lebih diperparah oleh kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dari anak jalanan ini mengetahui apalagi menghapal bacaan dan tata cara salat. Kendati begitu, hanya ada satu orang anak jalanan saja melaksanakan ibadah salat dan puasa, serta doa, sebab orang tuanya adalah seorang guru agama dan selalu memerintahkannya beribadah dan berdoa. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa mayoritas anak jalanan ini masih jauh dari pandangan dan perilaku religius. Namun demikian, anak-anak jalanan Muslim tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena berpandangan dan bersikap seperti itu. Pandangan dan perilaku mereka sebenarnya disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketiadaan pembinaan keagamaan dari lembaga-lembaga Islam. Berbeda dengan anak-anak jalanan yang beragama Kristen, karena mereka selalu mendapatkan pembinaan keagamaan dari pihak Gereja. Bahkan kegiatan kebaktian Gereja ini ternyata mampu menarik simpati sebagian besar anak jalanan Muslim, sebab kegiatan ini memberikan keuntungan kepada mereka, sekecil apapun keuntungan itu. Fakta ini sungguh ironi, mengingat mayoritas penduduk kota Medan adalah pemeluk agama Islam. Seperti telah dikemukakan bahwa kekeliruan pandangan anak jalanan tentang Tuhan adalah sebagai akibat dari tidak adanya perhatian dan pendidikan, pengaruh lingkungan dan kondisi hidup yang serba kekurangan, serta hidup dalam kondisi gersang dan keras, maka dipandang perlu menyampaikan beberapa saran. Pertama, hendaknya masyarakat 225


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 jangan memandang sinis dan mendiskreditkan anak-anak jalanan seperti pelaku kriminal. Perilaku positif dari masyarakat akan memberikan pengaruh kepada anak-anak jalanan menjadi dalam membentuk jiwa dan kepribadian yang mulia mereka. Apalagi ditambah dengan adanya partisipasi masyarakat dalam membantu meringankan beban hidupnya. Kedua, hendaknya pihak pemerintah lebih memaksimalkan pelaksanaan program pembinaan anak jalanan, dan program tersebut hendaknya dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan. Ketiga, hendaknya organisasi-organisasi sosial non-pemerintah ikut memberikan kontribusi yang jelas dalam menanggulangi anak-anak jalanan. Berbagai organisasi tersebut janganlah menjadikan anak jalanan sebagai objek dan alasan untuk mendapatkan bantuan dana dari berbagai pihak. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa banyak anak jalanan menyadari bahwa mereka telah dijadikan objek/alasan oleh banyak pihak untuk meraup keuntungan besar, tanpa ada kontribusi signifikan bagi anak-anak jalanan tersebut. Keempat, hendaknya lembaga-lembaga Islam menyadari salah satu masalah besar umat Islam ini, dan mulai mengarahkan perhatian dan program kerjanya kepada pembinaan kehidupan beragama anak jalanan. Hal ini penting, karena banyak lembaga-lembaga agama non-Islam sudah sejak lama menjadikan anak jalanan sebagai bagian dari sasaran pengembangan ajaran agama mereka.

Pustaka Acuan Amri, Khairul, et al. Mencari Keadilan dalam Sistem Pengadilan Anak (Kisah Aneka Berkonflik dengan Hukum). Medan: Pusaka Indonesia, 2004. Hariadi, Sri Sanituti, dan Bagong Suyanto (ed.). Anak Jalanan di Jawa Timur: Masalah dan Upaya Penanganannya. Jawa Timur: BK3ES-Depsos Tk. 1 Jawa Timur, 1999. Irwanto, et al. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta-Surabaya-Medan. PKPM Atmajaya dan Unicef, t.t. Al-Ja‘fî, Muhammad ibn Ismâ‘îl Abû ‘Abd Allâh al-Bukhârî. Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq oleh Mushthafa Dîb al-Bigâ, Juz V. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987. Katimin. Moralitas Anak Jalanan di Kota Medan: Studi Kasus SKA-PKPA Medan. Medan: PUSLIT IAIN-SU, 2005. Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah. Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di Kodya Semarang. Semarang: Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah, 1999). Mulandar, Surya (ed.). Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan. Bandung: Akatiga, 1996. Mustofa, Agus. Bersatu Dengan Allah. Surabaya: Fatma Press, 2005. Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Sou’yb, Joesoef. Perkembangan Teologi Modern. Medan: Rimbow, t.t. Salahuddin, Odie. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan Setara, 2000. Zaini, Syahminan. Arti Anak bagi Seorang Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas, t.t. 226


TELAAH SIGNIFIKANSI KONSEP MANUSIA MENURUT AL-GHAZÂLÎ M. Yasir Nasution Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371 e-mail: nasution_my@yahoo.com

Abstrak: Al-Ghazâlî lahir pada masa kejayaan pemikiran rasional Islam klasik abad ke-10. Setelah melakukan serangkaian petualangan intelektual—yang pada titik tertentu membawanya ke titik krisis mental—ia menjadi salah seorang pemikir multi disiplin yang berpengaruh sangat luas. Artikel ini berargumentasi bahwa pemikirannya tentang spiritualisme memiliki potensi besar untuk menjawab berbagai pertanyaan yang menghantui kehidupan manusia modern. Lebih khusus, penulis berpendapat bahwa manusia modern sangat membutuhkan teori al-Ghazâlî yang memadukan indera, akal, dan intuisi sebagai sumber pengetahuan yang absah. Teori ini dapat menyediakan dasar epistemologi yang kokoh sekaligus satu cara yang berimbang dalam melihat hidup manusia. Abstract: An Analysis of the Significance of al-Ghazâlî’s Concept of Men. Born at the heyday of Islamic classical rationalism of the tent century, and after going through series of intellectual adventures that at points bring him to mental breakdown, al-Ghazâlî established himself as an Islamic polymath of towering influence. The present article argues that his thought on spiritualism is of great potential in answering the many questions faced by modern man. More specifically, our present author is of the opinion that modern man is in dear need of al-Ghazâlî’s theory of integrating senses, reason, and intuition as equally legitimate sources of knowledge. This theory could provide not only a sound epistemological basis but also a balanced way of perceiving human life.

Kata Kunci: Al-Ghazâlî, spiritualitas, epistemologi, manusia, tasawuf

Pendahuluan Al-Ghazâlî (1058-1111 M) secara populis lebih dikenal melalui buku-bukunya yang bercorak tasawuf1 dan untuk tingkatan tertentu popularitasnya menonjol karena kritiknya Bukunya yang lebih banyak dibaca di pesantren-pesantren adalah Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn dan

1

227


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 terhadap sejumlah proposisi-proposisi metafisik para filosof Muslim,2 seperti Ibn Sînâ dan al-Fârâbî. Di samping itu, ia juga dipandang sebagai pelanjut teologi Asy‘arî.3 Sebab itu, al-Ghazâlî dalam gambaran masyarakat pada umumnya adalah seorang figur sufi yang anti filsafat dan penjaga paham teologi yang bercorak fatalistik. Berpijak pada gambaran seperti inilah, tampaknya, al-Ghazâlî dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam pada zaman sesudahnya; setidak-tidaknya dianggap memengaruhi kesadaran umat yang menyebabkannya terbelakang.4 Tuduhan itu memang bukan tanpa alasan. Tasawuf mempunyai potensi membuat orang meninggalkan dunia karena asyik dengan Tuhan. Kritiknya yang keras terhadap sejumlah pemikiran filosof dapat menyebabkan orang takut berfilsafat; dan teologi Asy‘arî yang sudah mulai bersifat dinamis di tangan al-Baqillânî dan al-Juwainî kembali bersifat fatalistik pada buku-buku teologi al-Ghazâlî. Di samping itu, al-Ghazâlî, didukung oleh faktorfaktor historis “terlanjur” menjadi besar. Ia dipandang sebagai “benteng” Islam (hujjat alIslâm),5 yang menyelamatkannya dari pengaruh unsur-unsur pemikiran luar yang dapat merusak. Ia bahkan pernah disebut sebagai Muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad.6 Kharisma al-Ghazâlî yang demikian besar dihubungkan dengan gambaran kesufian, anti filsafat, dan teologi fatalistiknya, dapat merupakan alasan yang kuat untuk menujukan tuduhan tersebut kepadanya. Meskipun demikian, agaknya, kurang tepat apabila segi-segi tertentu dari pemikirannya yang diasumsikan memengaruhi umat dijadikan dasar untuk menilainya sebagai penyebab kemunduran umat. Dengan cara seperti itu, seseorang dapat terjerumus ke dalam kesadaran a historis memahami figur-figur sejarah dan pemikiran-pemikiran mereka. Dengan cara itu, seseorang seperti mencabut al-Ghazâlî dari konteks zamannya atau memandang pikiranpikirannya sebagai akhir dari proses pemikiran yang berkembang, yang harus diikuti. Cara yang lebih tepat barangkali adalah meletakkan pikiran-pikirannya pada arus pemikiran zamannya untuk seterusnya merekonstruksi pikiran-pikirannya itu menjadi satu sistem dan mencari bagian paling substansial yang dianggap mendasari atau sekurangkurangnya memengaruhi keseluruhan pemikirannya. Dengan cara demikian lebih mudah dilihat signifikansi pemikirannya pada zaman yang senantiasa berubah. Tulisan ini tidak akan mengadakan rekonstruksi pemikiran al-Ghazâlî, tetapi membatasi diri pada usaha melihat signifikansi konsep manusianya dalam dunia modern. Sebab, konsep manusia Minhaj al-’Âbidîn, termasuk syarah Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn, yaitu Ithaf al-Sadat al-Muttaqîn oleh alZubaidî, yang corak tasawufnya sangat menonjol. 2 Hal ini dilakukannya terutama melalui buku Tahafut al-Falâsifah. 3 Bukunya yang lebih populer dalam hal ini adalah al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd. 4 Di Indonesia, tokoh yang secara terus terang menyatakan tuduhan ini adalah Sutan Takdir Ali Syahbana. 5 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 34. 6 William Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazâlî (London: George Allen and Unwin Ltd., 1953), h. 14.

228


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

dianggap sebagai bagian paling substansial dari sistem pemikiran seseorang. Menurut Ernst Cassirer, ia adalah pusat yang tetap dan tidak tergeser dari semua pemikiran filosofis.7 Sebab itu, segala persoalan yang dihadapi umat manusia selalu dapat dirujuk inti permasalahannya pada konsep tentang manusia. Ditemukan dua aspek pemikiran al-Ghazâlî tentang konsep manusia yang berkaitan dengan persoalan manusia modern, yaitu aspek epistemologi dan aspek orientasi hidup. Kedua aspek ini mengandung muatan spiritualitas yang jelas, yang mungkin dapat memberi sumbangan bagi perkembangan epistemologi dan pemenuhan diri manusia modern. Abad modern adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Penemuan metode ilmiah yang berwatak empiris dan rasional8 secara menakjubkan membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa. Industri dan berbagai macam penemuan ilmu pengetahuan membawa kemudahan-kemudahan hidup, membuka wawasan kehidupan baru, dan melahirkan pola pemikiran baru, yang disebut modernisme. Modernisme ditandai dengan rasionalisme, kemajuan, dan sekularisme.9 Bersamaan dengan itu, pengetahuan yang tidak didasarkan pada ukuran-ukuran ilmiah dan nilai-nilai religius tidak mendapatkan apresiasi yang memadai. Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan.10 Timbul berbagai kritik dan usaha pencarian baru. Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Kritik terhadap modernisme dan usaha pencarian ini sering disebut pascamodernisme atau neomodernisme. Fenomena spiritualitas tampak muncul pada pascamodernisme. Dari sudut pemunculan spiritualisme inilah terbuka jalan yang mudah melihat signifikansi konsep manusia al-Ghazâlî. Seperti dikemukakan di atas, signifikansi itu dihubungkan dengan dua aspek penting konsep manusia, yaitu aspek epistemologi dan aspek orientasi hidup.

Epistemologi al-Ghazâlî Al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H./1058 M. di Thus, salah satu kota di Khurasan yang penduduknya sangat heterogen, baik dari segi paham keagamaan maupun dari segi suku bangsa.11 Hidup di lingkungan keluarga agamis dan miskin, tetapi dengan kesungguhannya ia dapat mempelajari bermacam-macam ilmu yang berkembang pada masanya.

Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 3. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 10. 9 Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam (London-New York: Routledge, 1992), h. 29. 10 Hanna Djumhana Bastaman, “Dimensi ‘Spiritualitas’ dalam Teori Psikologi,” dalam Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. V, Tahun 1994, h. 16. 11 Al-Subkî, Thabaqat al-Syafi‘iyah al-Kubrâ, Juz IV (Mesir: Mushthafa al-Bâbî al-Halâbî, t.t.), h. 102. 7 8

229


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Ia belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain pada Ahmad al-Radzkanî di Thus dan pada al-Ismâ‘ilî di Jurjan. Pada tahun 473 H., ia pergi ke Naisabur untuk belajar di madrasah al-Nizhamiyah, dan mempelajari ilmu kalam dan logika dari al-Juwainî.12 Apabila diperhatikan, bidang-bidang ilmu yang diperolehnya sampai meninggalnya al-Juwainî tahun 478 H, terdiri atas bidang-bidang yang secara metodologis berbeda. Ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah ilmu-ilmu yang dirancang untuk kepentingan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara formal, dan pendekatannya, jelas, sangat formalistis. Ilmu kalam bertujuan untuk menanamkan dasar-dasar akidah dan sekaligus mempertahankannya. Pendekatannya, meskipun senantiasa menggunakan Kitab Suci dan Hadis sebagai rujukan, adalah bersifat rasional. Artinya, akal-lah pada praktiknya yang menjadi kriteria kebenaran dalam memahami makna ayat-ayat Kitab Suci dan Hadis tersebut dalam banyak hal. Selain ilmu kalam, ia juga belajar logika, yang tidak diragukan lagi rasionalitasnya. Apabila cerita yang dikutip oleh Sulaimân Dunia dari Zwemer bahwa al-Ghazâlî telah belajar tasawuf sebelumnya dari Yûsuf al-Nassaj,13 adalah benar, maka sampai di sini alGhazâlî sudah mempelajari setidak-tidaknya tiga sistem pemahaman keagamaan yang tidak saja berbeda, tetapi juga secara metodologis bertentangan, yaitu yang formalistis, yang rasional dan yang intuitif. Selanjutnya, setelah Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi tenaga pengajar di madrasah al-Nizhamiyah Baghdad pada tahun 484 H., al-Ghazâlî memperdalam pengetahuannya tentang filsafat yang sedikit banyaknya telah diperolehnya dari al-Juwainî.14 Setelah mempelajari ilmu-ilmu ‘aqliyat, al-Ghazâlî mempunyai kecenderungan yang sangat rasional. Dalam buku-buku yang ditulisnya sebelum ia mengasingkan diri dengan cara hidup sufi antara tahun 488 H dan 499 H., kecenderungan itu sangat terasa. Di dalam Mi`yar al-‘Ilm yang diperkirakan ditulisnya sebelum tahun 488 H., ia menegaskan bahwa tujuan buku itu, yang isinya sebenarnya adalah logika, adalah antara lain untuk memberitahu cara berpikir dan menalar.15 Ini menunjukkan kecenderungannya yang khusus terhadap logika. Di dalam al-Iqtishâd fî al-I’tiqad, ia memperlihatkan ketergantungan syara‘ terhadap akal. Ada proposisi-proposisi yang keberadaan syara‘ tergantung kepadanya, yaitu proposisi yang hanya diperoleh dengan akal, seperti adanya Tuhan.16 Penempatan kedudukan akal yang tinggi ini kemudian mengalami kegoncangan. Al-Ghazâlî mengalami kesangsian (al-syak). Kelihatannya, kesangsian al-Ghazâlî berpangkal dari keragaman pengetahuan yang dimilikinya yang masing-masing mempunyai ukuran ‘Abd al-Rahman Badâwî, Muallafat al-Ghazâlî (Damaskus: al-Majlis al-A’la li Ri‘âyat alFunûn, 1961), h. 4-5. 13 Sulaimân Dunia, Al-Haqîqat fî Nazhar al-Ghazâlî (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971), h. 19. 14 Ahmad Fu‘ad al-Ahwanî, dalam ‘Abd al-Karîm ‘Utsman, Sîrah al-Ghazâlî (Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 19. 15 Al-Ghazâlî, Mi’yar al-‘Ilm (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1960), h. 59. 16 Al-Ghazâlî, Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd (Kairo: Muhammad ‘Alî Shubaih, 1962), h. 107. 12

230


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

kebenaran sendiri. Menurutnya, kebenaran itu adalah satu, sumbernya adalah al-fithrah al-ashliyah. Sebab, berdasarkan hadis Nabi, setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi adalah kedua orang tuanya.17 Artinya, pengetahuan yang diajarkan orang tua atau guru itu adalah sesuatu yang datang kemudian dan menyebabkan keragaman dan pertentangan. Pengetahuan yang diperoleh melalui taklid yang didasari oleh talqin mengandung pertentangan dan perbedaan-perbedaan. Karena itu, ia merasa perlu mencari hakikat fithrah ashliyah dan membedakannya dari akidah-akidah yang datang kemudian serta memisahkan yang benar dari yang salah dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh secara taqlid itu. Dalam kenyataannya, membedakan yang salah dari yang benar, orang-orang juga berbeda pendapat. Karena itu, ia merasa perlu mengetahui hakikat segala sesuatu. Segala sesuatu, dilihat dari satu segi, adalah fakta objektif; tetapi dari sudut manusia, segala sesuatu merupakan ide-ide pada diri subjek (pengetahuan). Sebab itu, al-Ghazâlî menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakikat pengetahuan. Sesuai dengan titik tolaknya semula, yaitu kebenaran, maka pengetahuan yang dicarinya adalah pengetahuan yang diyakininya benar (al-‘ilm al-yaqîn). Tingkat kebenarannya tidak mengandung keraguan atau kemungkinan tersalah sama sekali, seperti kebenaran pengetahuan sepuluh lebih banyak daripada tiga. Tingkat kebenaran seperti itulah, selanjutnya, dicobanya untuk menjadi ukuran pengetahuanpengetahuan yang dimilikinya.18 Setelah memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, al-Ghazâlî merasa bahwa pengetahuan-pengetahuan itu tidak mencapai tingkat kebenaran dan keyakinan seperti di atas, kecuali (mungkin) yang tergolong al-hissiyat (yang diperoleh melalui indera) dan al-dharuriyyat (yang sifatnya a priori dan aksiomatis).19 Sebab, kedua jenis pengetahuan ini tidak berasal dari orang lain, tetapi berasal dari diri subjek sendiri (al-Ghazâlî). Ketika menguji pengetahuan inderawi, al-Ghazâlî melihat bahwa pengetahuan itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal, ternyata dapat membuktikan kesalahankesalahan inderawi. Bayang-bayang benda yang dalam pandangan mata, diam, ternyata dengan pengamatan dan eksperimen, akal menyimpulkan bahwa bayang-bayang itu bergerak.20 Dengan demikian, kepercayaannya kepada pengetahuan inderawi hilang. Kepercayaan selanjutnya tertumpu pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, seperti pengetahuan aksiomatis yang sifatnya a priori, sebab, akal telah berhasil memperlihatkan kelemahan indera. Kepercayaan terhadap akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar yang membuat akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal dipercaya, maka dasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya akal menjadi dasar kepercayaan Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl (Kairo: Silsilat al-Tsaqafat al-Islâmiyah, 1961), h. 7. Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid. 17 18

231


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 terhadap indera. Ketidakjelasan adanya dasar yang lebih tinggi daripada akal tidak mesti menunjukkan kemustahilannya.21 Dasar itu, semestinya, ada, sebab, kalau tidak ada, maka tidak ada alasan untuk mempercayai akal. Kalau akal tidak dipercaya, segala penge-tahuan tidak dapat dipercaya lagi. Kelihatannya, ada alasan lain yang membuat kepercayaannya kepada akal goncang. Ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuannya, ternyata, menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Akal pada dirinya seperti membenarkan pandanganpandangan yang bertentangan itu. Dengan akal saja takafu’ al-adillat (antinomi) bisa terjadi.22 Seperti disebut di atas, yang dicarinya adalah al-‘ilm al-yaqîn yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Pada akal ia tidak menemukannya. Kemungkinan adanya sumber pengetahuan suprarasional itu diperkuatnya dengan adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi (ahwal) tertentu, mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran akal, dan dengan hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mereka mati.23 Berdasarkan pengakuan para sufi dan hadis ini, ada situasi di luar situasi normal, yang kesadaran manusia lebih tajam padanya. Dengan mengemukakan pengakuan para sufi dan hadis tersebut, ia berhadapan dengan dua kemungkinan tentang ada atau tidaknya sumber pengetahuan yang lain itu di dunia ini. Kalau benar pengakuan para sufi, maka sumber pengetahuan suprarasional iu terdapat di dunia ini; tetapi kalau tidak, sumber pengetahuan itu diperoleh hanyalah sesudah mati. Di sinilah al-Ghazâlî mengalami puncak kesangsiannya. Ia tidak mempunyai sumber pengetahuan yang dapat dipercayainya lagi untuk menemukan jalan keluar, sebab, ia telah menyangsikan segalanya, taqlid, indera dan akal. Menurut pengakuannya, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya.24 Hanya dengan cahaya (nûr) yang diberikan Tuhan dengan tiba-tiba ke dalam hatinya, ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan yang a priori yang bersifat aksiomatis itu kembali. Kebenaran pengetahuan itu tidak diperolehnya melalui argumentasi yang terurai (al-adillat al-muharrarat), tetapi melalui nûr yang disebutnya sebagai kunci ma‘rifat, dan merupakan makna dari al-syarah yang terdapat dalam ayat 125 surat al-An‘âm.25 Hal yang ingin dikemukakannya dengan menceritakan proses kesangsian ini adalah bahwa al-dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan yang lebih tinggi kebenarannya adalah yang diperoleh melalui nûr yang dilimpahkan Tuhan ke dalam hati manusia. Ibid. Al-Farisi, dalam ‘Abd al-Karîm Utsman, Sîrah al-Ghazâlî, h. 45. 23 Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 10-11. 24 Ibid. 25 Ibid. 21

22

232


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

Sumber pengetahuan tertinggi itu disebutnya juga al-nubuwwat, yang pada nabinabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham. Ia menegaskan bahwa al-nubuwwat tidak dapat dimengerti dan dibuktikan dengan akal. Ia berusaha mendekatkan pengertian al-nubuwwat dengan jalan memperlihatkan kasus-kasus yang menunjukkan bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan langsung tanpa memperoleh bantuan indera dan argumen ‘aqli. Hakikat al-nubuwwat tidak dapat digambarkan, sebab, ia hanya dapat dimengerti melalui pengalaman langsung.26 Dalam buku-bukunya yang ditulis sesudah ia memasuki kehidupan sufi, indera dan akal tidak dikesampingkan sama sekali kedudukannya sebagai sumber-sumber pengetahuan, tetapi diletakkan di bawah al-nubuwwat. Urutan sumber-sumber pengetahuan, dengan demikian, berdasarkan tingkat kepercayaan kepadanya adalah al-nubuwwat (wahyu pada nabi-nabi, ilham pada wali-wali), akal, dan indera. Setelah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada sumber pengetahuan di atas akal, yaitu nûr yang dilimpahkan Tuhan secara langsung ke dalam hatinya, ia mulai memperhatikan aliran-aliran yang populer pada masanya, berdasarkan kategorisasi yang dilakukannya seperti disebut di atas, yaitu mutakallimun, para filosof, bathiniyah, dan para sufi. Menurutnya, kebenaran tidak mungkin keluar dari salah satu yang empat ini.27 Ilmu Kalam, menurutnya, dimaksudkan untuk mempertahankan akidah ahl al-sunnah dari gangguan ahl al-bid‘ah. Dalam beberapa hal ilmu kalam berusaha mencari hakikat itu, tetapi karena keterbatasannya maka hasilnya tidak sempurna dan tidak dapat menyelesaikan perbedaan yang membingungkan itu.28 Karena itu, ia tidak puas dengan ilmu kalam. Para filosof, menurutnya, berdasarkan pandangan mereka terhadap Tuhan, terdiri atas tiga golongan, yaitu materialis (al-dahriyun), naturalis (al-thabi‘iyûn), dan teis (al-ilâhiyûn).29 Yang secara khusus dibahasnya dan dikritiknya adalah golongan ketiga dari para filosof, yaitu al-ilâhiyûn. Sebab, yang berkembang di dunia Islam pada umumnya, menurutnya, adalah ajaran-ajaran dari golongan ini melalui filosof-filosof Islam seperti Ibn Sînâ (w. 1037 M) dan al-Fârâbî (w. 950 M). Bidang pengetahuan mereka secara garis besar terdiri atas enam bidang, yaitu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika. Ia menilai keseluruhan bidang pengetahuan para filosof dikelompokkan kepada tiga kategori, yaitu kufr, bid’ah, dan yang tidak harus diingkari.30 Kategori terakhir ini terdiri atas matematika, logika, fisika, politik, dan etika; sedangkan yang termasuk ke dalam dua kategori pertama pada umumnya adalah metafisika. Jelasnya, yang menyebabkan kufr itu adalah pandangan mereka dalam bidang metafisika, yaitu bahwa yang diberi ganjaran di akhirat adalah jiwa Ibid., h. 49-50. Ibid., h. 13. 28 Ibid., h. 15. 29 Watt, The Faith and Practice of al-Ghazâlî, h. 30. 30 Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 20. 26 27

233


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 manusia saja; bahwa Tuhan hanya mengetahui universal; dan bahwa alam ini bersifat qadim.31 Menjadikan filsafat sebagai jalan mengetahui kebenaran metafisik tidak dapat diterimanya, karena hal itu membawa banyak pertentangan. Keterangan dan penilaiannya yang disebutkan di atas adalah terhadap pengetahuanpengetahuan tertentu yang terdapat di kalangan filosof, bukan terhadap filsafat sebagai cara untuk menemukan kebenaran (pengetahuan). Terhadap bathiniyah, kritiknya yang paling pokok adalah mengenai otoritas imam yang ma’shum sebagai sumber kebenaran. Al-Ghazâlî sependapat dengan mereka bahwa pemberi informasi (mu‘allim) itu perlu bersifat ma‘shum, tetapi hanya terbatas pada tingkat Nabi; sesudah Nabi orang tidak memerlukan imam yang ma‘shum lagi, sebab Tuhan melalui Kitab Suci telah memberi kepada manusia ukuran (mîzan) dan alat untuk mengetahui kebenaran.32 Kesimpulannya tentang bathiniyah ialah bahwa sistem pemahaman ini tidak memenuhi harapannya karena bathiniyah mengesampingkan daya manusia untuk menemukan kebenaran. Di sini taqlid menjadi hal yang sangat penting, sedangkan taqlid membawa keragaman dan pertentangan. Pada ilmu kalam, al-Ghazâlî melihat kemandulan metodologi, kalau yang hendak dicari adalah hakikat-hakikat, sebab, ilmu ini tidak dipersiapkan untuk itu. Pada filsafat ia melihat ketidaklengkapan metodologi menyebabkan inkoherensi, karena, filsafat hanya mengandalkan akal semata. Pada bathiniyah ia melihat kekeliruan, karena dengan konsep al-ta‘lim, peran pengalaman, pengamatan, dan akal manusia sebagai alat-alat menemukan sendiri kebenaran dengan kitab suci sebagai pedoman, diabaikan, sehingga pengetahuan tidak diperoleh manusia dengan sendirinya. Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut alGhazâlî, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap ilmu dan tahap amal. Ilmu yang dimaksud dalam hal ini adalah pengetahuan tentang konsep-konsep dan langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam tasawuf, seperti zuhd, faqr, tawakkul, mahabbah, ma‘rifah, dan sebagainya. Selain itu, diharuskan pula mengetahui syari’at, ilmu-ilmu ‘aqliyah dan keimanan yang kuat terhadap tiga dasar keimanan.33 Yang dimaksud dengan amal adalah mengalami secara langsung konsep-konsep dan langkah-langkah yang harus dilalui itu. Ilmu dan amal menjadi menyatu. Kelihatannya, ia menganggaap bahwa pada sistem-sistem pemahaman lainnya ada keterpisahan antara ilmu dan amal, khususnya pada falsafat dan ilmu kalam. Kesan ini terlihat pada pernyataannya bahwa para sufi adalah arbab al-ahwâl (orangorang yang memiliki pengalaman langsung),34 bukan ashab al-aqwâl (orang-orang yang berbicara). Dalam tasawuf pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan saja, tetapi selain itu, harus dengan pengalaman langsung. Ibid. Al-Ghazâlî, Al-Qishthas al-Mustaqîm (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), h. 18. 33 Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, h. 42. 34 Ibid., h. 43. 31

32

234


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

Ketika ia menguji tasawuf, ia pada dasarnya tidak mengalami kesulitan tentang validitas sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya ia telah yakin adanya intuisi (al-dzauq) sebagai sumber pengetahuan di atas akal. Akhirnya melalui pengalaman tasawufnya secara langsung, ia menemukan apa yang dicarinya. Dari uraian tentang kesangsian al-Ghazâlî ini kelihatan bahwa akal dan al-dzauq merupakan persoalan yang penting. Keduanya adalah merupakan daya-daya terpenting dalam diri manusia.

Pemenuhan Diri Manusia, pada hakikatnya, mempunyai kecenderungan yang inheren pada dirinya untuk mencapai sesuatu yang secara moral diyakininya baik. Dengan ungkapan lain dikatakan bahwa manusia senantiasa berada dalam perjalanan eskatalogis menuju keutamaan moralitas. Moralitas, selanjutnya, dijadikan ukuran kesempurnaan manusia. Karena itu, moralitas adalah masalah paling sentral dalam semua agama. Moralitas tergolong kategori nilai.35 Agama-agama pada umumnya mengakui adanya nilai-nilai yang bersifat mutlak dan objektif, terutama dalam hal moralitas. Sebab, semua agama mengakui bahwa manusia dengan segala kemampuannya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam hal moralitas.36 Ketidakmampuan inilah yang menjadi dasar pikiran perlunya petunjuk dari Tuhan melalui rasul-rasul dan kitab-kitab suci. Pemenuhan diri yang dimaksud di sini adalah upaya penyempurnaan diri sesuai dengan tuntutan moralitas itu. Dalam sejarah pemikiran Islam, konsep pemenuhan diri ini lebih jelas kelihatan di kalangan filsuf dan sufi daripada di lingkungan mutakallimun dan fukaha. Sebab mutakallimun dan fukaha tidak berorientasi kepada hakikat manusia (ontologi), sedangkan hakikat manusia merupakan persoalan yang sangat mendasar dalam moralitas. Ada kaitan yang konsisten antara hakikat manusia dan tujuan hidupnya. Menurut al-Ghazâlî, manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda, yaitu tubuh yang bersifat materi dan jiwa yang bersifat immateri (al-nafs). Hakikat manusia adalah al-nafs.37 Sebab, substansi inilah yang membedakannya dari seluruh yang ada38. Manusia, sebenarnya mempunyai tiga tingkatan al-nafs, yaitu al-nafs al-nabatiyat (jiwa vegetatif), al-nafs al-hayawaniyat (jiwa sensitif) dan al-nafs al-insâniyat atau disebutnya James Hasting (ed.), Encyclopaedia of Religion and Ethics, vol. V (New York: Charles Scribner’s Sons, t.t.), h. 584. 36 Muhammad Abul Quasem, The Recitation and Interpretation of the Qur‘an (London: Kegan Paul International, 1982), h. 9. 37 Al-Ghazâlî, Ma‘arij al-Quds fî Madârij Ma‘rifat al-Nafs (Kairo: al-Jundi, 1968), h. 19, 24. 38 Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal (Kairo: Dâr al-Ma‘arîf, 1961), h. 209-210. Hakikat pada umumnya diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan sesuatu, menjadi dirinya sendiri. Lihat Murad Wahbah, et. al., al-Mu‘jam al-Falsafi (Kairo: al-Tsaqafat al-Jadîdah, 1971), h. 84, 201. 35

235


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 juga dengan al-nafs al-nathiqat (jiwa rasional). Yang membedakan manusia dari segala yang ada adalah al-nafs al-nathiqat.39 Al-nafs al-nathiqat mempunyai dua sisi. Sisi yang berorientasi ke badan dan berfungsi sebagai pengatur badan disebutnya al-‘aql al-‘amali (akal praktis) dan sisi yang berorientasi ke atas40 yang berfungsi sebagai penyempurna substansinya sendiri dinamakannya al‘aql al-‘ilmi (akal teoritis). Al-nafs selain mempunyai fungsi intelektual (nathiqah), juga mempunyai fungsi intuitif (al-dzauq).41 Al-Nafs sebagai hakikat manusia mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan tubuh. Al-nafs tidak berada di dalam kontinum ruang dan waktu, bersifat immaterial, berada dalam kekekalan dan mempunyai kemampuan menangkap hal-hal yang abstrak. Sedangkan tubuh berada dalam kontinum ruang dan waktu, bersifat materi dan tidak mempunyai daya apapun. Karena itu, al-Ghazâlî menyatakan bahwa al-nafs adalah prinsip penggerak bagi tubuh.42 Gerak di sini tidak hanya berarti gerak fisik, tetapi bermakna aktivitas, termasuk di dalamnya aktivitas mengetahui. Pengetahuan manusia terhadap objek-objek material diperoleh karena al-nafs. Tanpa al-nafs, tubuh manusia tidak ada bedanya dengan benda-benda mati (al-jamad).43 Perbedaan sifat-sifat dasar antara alnafs dan tubuh terjadi karena keduanya berasal dari dunia yang berbeda; al-nafs berasal dari ‘alam al-amr (disebutnya juga ‘alam al-‘aqli, ‘alam al-a‘la, ‘alam al-malakut), dan tubuh berasal dari ‘alam al-khalq (disebutnya juga ‘alam al-hiss, ‘alam al-sufla, ‘alam al-mulk).44 Pandangan tentang adanya dua dunia yang berbeda naturnya (thabi‘at) sekaligus menunjukkan perbedaan dalam kualitasnya. ‘Alam al-amr lebih tinggi tingkatnya daripada ‘alam al-khalq. Ini berarti bahwa al-nafs lebih tinggi daripada tubuh. Selanjutnya, klasifikasi ini membawa al-Ghazâlî kepada kesimpulan yang menempatkan tubuh hanya bermakna secara instrumental. Yang bermakna instrinsik pada dirinya hanyalah al-nafs. Asumsi yang mendasari ini adalah bahwa kesempurnaan mutlak adalah Tuhan. Tuhan adalah wujud immaterial, tidak berada dalam kontinum ruang dan waktu dan berada dalam keabadian. Substansi yang paling dekat kepada kenyataan ini hanyalah al-nafs. Menempatkan al-nafs sebagai hakikat manusia dan memandang daya-daya intelektual dan intuitif sebagai daya-dayanya yang terpenting menyebabkan al-Ghazâlî melihat kesempurnaan intelektualitas dan intuisi sebagai kriteria utama kesempurnaan manusia. Diri manusia dianggap penuh apabila intelektualitas dan intuisinya mencapai kesem-

Ibid., h. 27. Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 204-205. 41 Al-Ghazâlî, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 14. 42 Ibid., h. 291. 43 Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 209-210. 44 Al-Ghazâlî, Misykat al-Anwâr (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1970), h. 26; al-Ghazâlî, Ma’ârij alQuds, h. 23. 39 40

236


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

purnaan. Pemenuhan diri, dengan demikian, adalah peningkatan fungsi intelektualitas dan intuitif sesuai dengan perannya masing-masing. Peningkatan ini tidak hanya dilakukan dengan peningkatan kemampuan saja. Bersamaan dengan itu, pembersihan diri dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan material harus dihindari. Artinya, tuntutan-tuntutan hidup material harus diletakkan sebagai alat yang menunjang kesempurnaan diri. Pembersihan diri yang pertama tentunya adalah dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan material, yang di dalam istilah tasawuf disebut al-zuhd. Tetapi, pembersihan diri yang sesungguhnya adalah meninggalkan segala bentuk ma‘shiat. Ma‘shiat sering berasal dari pengaruh-pengaruh kehidupan material. Sebab, segala kegiatan ma‘shiat bermula dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan badani. Pemenuhan kebutuhan badani harus dilakukan dengan menempatkannya sebagai instrumen bagi pemenuhan kebutuhan al-nafs dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan syara‘.45 Pembersihan diri ini disebutnya juga dengan al-takhliyat, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela. Pengosongan ini sekaligus berlanjut dengan pengisian kembali dengan sifat-sifat terpuji yang disebutnya dengan al-tahliyat. Al-Takhliyat dan al-tahliyat dilakukan dengan latihan yang panjang. Apabila dengan latihan ini al-nafs mencapai tingkat tertentu di mana keinginan untuk selalu mengarah kepada Tuhan mencapai kestabilannya, al-nafs disebutnya al-nafs al-muthmainnat.46 Al-nafs yang selalu dalam perjuangan menentukan orientasi kepada Tuhan atau kepada tuntutan-tuntutan badani disebutnya al-nafs allawwamat. Al-nafs yang lebih rendah adalah selalu berorientasi kepada tuntutan-tuntutan badani.47 Dengan latihan yang terus-menerus, al-nafs al-muthmainnat, setelah melalui fase al-takhliyat dan al-tahliyat, mencapai tingkat al-tajalli. Pada tingkat ini pengetahuanpengetahuan abstrak dan informasi-informasi tentang dunia gaib terbuka kepada al-nafs. Manusia pada tingkatan ini telah mencapai kesempurnaanya.48 Pembersihan diri ini merupakan penanaman kesadaran moral. Latihan yang panjang itu akhirnya akan melahirkan kesadaran moral yang sangat dalam. Al-Ghazâlî senantiasa menekankan keharusan mempedomani syara‘ dalam kegiatan pembersihan diri. Sebab, menurutnya, manusia dengan sendirinya tidak mampu mengetahui baik dan buruk secara praktis. Akal manusia hanya mampu mengetahui baik dan buruk secara universal (kulli).49 Pemenuhan diri ini diperlukan karena merupakan tuntutan hakikat manusia. Hakikat

Al-Ghazâlî, Ma‘ârij al-Quds, h. 99. Ibid., h. 20; al-Ghazâlî, Ihya‘ ‘Ulûm al-Dîn, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 7. 47 Ibid. 48 Pengertian konsep-konsep al-tahliyat, al-takhliyat, dan al-tajalli dapat dilihat pada al-Ghazâlî, Al-Imla’ fî Isykalat al-Ihyâ‘ (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h. 9. 49 Al-Ghazâlî, Ma‘ârij al-Quds, h. 65. 45 46

237


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 manusia mengandung kecenderungan secara fithri untuk tauhîd.50 Tauhîd adalah pengetahuan yang lebih sempurna tentang Tuhan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pemenuhan diri menurut al-Ghazâlî mencakup penajaman daya-daya al-nafs, terutama fungsi intelektual dan intuitifnya, peningkatan kesadaran moral, dan ketaatan kepada ajaran-ajaran syara‘. Dengan demikian, al-Ghazâlî telah membuat satu kombinasi kreatif antara filsafat, tasawuf dan syari‘at. Ketiganya ditempatkan sebagai unsur-unsur yang bersifat komplementer untuk membentuk satu integralitas dalam pribadi seorang Muslim yang sempurna.

Modernisme dan Kritik Pascamodernisme Abad modern dimulai dengan revolusi ilmu pengetahuan. Revolusi ilmu pengetahuan ditandai dengan kemenangan Rasionalisme dan Empirisme dari dogmatisme agama di Barat.51 Perpaduan Rasionalisme dan Empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang disebut metode ilmiah. Dengan metode ilmiah, kebenaran pengetahuan hanya diukur dengan kebenaran koherensi dan kebenaran korespondensi.52 Pengetahuan diakui dari sudut ilmiah apabila secara logika bersifat koheren (runtut) dengan kebenaran sebelumnya dan didukung oleh fakta empiris (koresponden). Kepercayaan yang sangat tinggi terhadap metode ilmiah yang demikian tampaknya membawa kesadaran yang kurang atau bahkan tidak apresiatif terhadap pengetahuan yang berada di luar lingkup pengujian metode ilmiah, termasuk pengetahuan dan nilainilai religius.53 Ilmu betul-betul bersifat sekular sekular, dan manusia pun hanya diperhitungkan dari sudut biologis dan fisiologisnya. Ilmu-ilmu pengetahuan yang lahir dari penerapan metode ilmiah ini demikian pesatnya dan memberikan kepada manusia pengetahuan yang semakin tajam tentang alam semesta. Manusia semakin sempurna menaklukkan dan mengolah alam untuk tujuan memperoleh kemudahan dalam kehidupan. Hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, terutama yang berasal dari agama, pada tingkat yang ekstrim dianggap bersifat kontradiktif; sekurang-kurangnya ilmu pengetahuan terbebas dari nilai dalam arti menyeluruh.54 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kerangka berpikir keilmuan manusia modern berusaha melepaskan diri dari dimensi spiritual. Kesadaran manusia digiring ke arah yang sekular.

Al-Ghazâlî, Mîzân al-’Amal, h. 335. F. B. Burnham (ed.), Postmodern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1989),

50 51

h. ix.

Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, h. 11-12. Lihat misalnya pernyataan Betrand Russel mengenai kehidupan sesudah mati, dalam Bertrand Russel, Religion and Science (London: Oxford University Press, t.t.), h. 142; T.G. Masaryk, Modern Man and Religion (Westport-Connecticut: Greenwood Press, Publishers, 1970), h. 55. 54 Dari pandangan inilah muncul semboyan “ilmu untuk ilmu”. 52 53

238


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

Sebenarnya modernisme dengan segala cirinya adalah refleksi kritis terhadap kerangka berfikir dan kesadaran abad-abad pramodern yang bercorak otoritarianisme.55 Refleksi kritis ini muncul ketika kerangka berpikir dan kesadaran yang bercorak otoritarianisme dirasakan tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia. Demikian juga halnya dengan kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran modernisme, ketika dirasakan kelemahan-kelemahannya dan dampak-dampak negatif yang dibawanya kembali muncul kritik-kritik terhadapnya. Secara umum, yang dirasakan sebagai kelemahan pola berpikir keilmuan modern adalah kepercayaannya yang berlebihan terhadap akal dengan mengenyampingkan dimensi spiritual dan nilai-nilai keagamaan.56 Pertimbangan nilai dalam rangka pengembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mendapat tempat yang sewajarnya. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam banyak hal tidak menyelesaikan persoalan kehidupan, bahkan membawa persoalan baru yang lebih serius. Dalam hal kesadaran manusia modern, yang dirasakan kelemahanya adalah rapuhnya pegangan moral dan hilangnya orientasi hidup yang bermakna. Tujuan hidup terbatas pada pencapaian sasaransasaran yang bersifat material dan duniawi. Keadaan ini membawa manusia kepada keterasingan, frustasi, dan kehampaan eksistensial.57 Metode ilmiah yang sama sekali bebas nilai dan kesadaran manusia yang terlepas dari dimensi spiritual terbukti tidak membawa kebahagian dalam kehidupan manusia. Bersamaan dengan kritik-kritik itu timbul pula revisi dalam bentuk merelatifkan keabsolutan yang selama ini dinisbahkan kepada metode ilmiah, sekaligus berupaya membuka jalan bagi masuknya nilai-nilai ketuhanan dan dimensi spiritual ke dalam dasar ontologi dan dasar aksiologi keilmuan. Bahkan ada yang melihat bahwa nilai-nilai dapat masuk ke dalam proses metodologi keilmuan. Metode ilmiah tidak dapat lagi dipertahankan bersifat netral dalam arti yang mutlak. Dalam hal kesadaran manusia secara praktis timbul gejala pencarian makna hidup dan upaya pemenuhan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas. Organized religion tidak selamanya dapat memenuhi harapan. Sebab itu, bermunculan kecenderungan untuk kembali kepada orisinalitas (fundamentalis), kharisma yang menentukan (cults), dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic). Keberagamaan manusia pascamodern cenderung bersifat pencarian pribadi.58 Sudah tentu, ini selamanya tidak membawa hasil yang positif. Sejumlah kelompok keagamaan sempalan menunjukkan gejala-gejala yang negatif, bahkan bukan tidak mungkin dalam

Otoritarianisme selanjutnya dapat dilihat pada G.T.W. Patrick, Introduction to Philosophy (London: George Allen and Unwin Ltd., t.t.), h. 327-329. 56 Masaryk, Modern Man and Religion. 57 Bergin, “Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius,� h. 5. 58 Ahmed, Postmodernism and Islam, h. 10. 55

239


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 hal seperti ini terjadi manipulasi keadaan dengan maksud mengambil keuntungan dari kehausan manusia-manusia yang kehilangan pegangan dan orientasi hidup itu. Berbeda dengan kritik modernisme terhadap kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran pramodern, kritik pascamodernisme terhadap kerangka berpikir keilmuan dan kesadaran manusia modern lebih merupakan revisi penyempurnaan ketimbang penghancuran. Kritik pascamodernisme tidak menghilangkan rasionalitas dan tidak mengalihkan perhatian manusia dari fenomena material ke dunia spiritual, tetapi melengkapi rasionalitas dengan dasar-dasar filosofi yang memuat pandangan dunia59 dan moralitas keagamaan.

Penutup Dari uraian tentang epistemologi al-Ghazâlî di atas, tampak jelas bahwa pengamatan dan akal tidak dapat diandalkan sebagai dasar kebenaran pengetahuan secara mutlak. Ada daya lain di dalam diri manusia untuk menangkap pengetahuan tertentu yang lebih tinggi dengan sifat dan ukuran-ukurannya sendiri, yaitu intuisi (al-dzauq). Al-Ghazâlî tidak mengabaikan pengamatan dan akal, tetapi meletakkannya sesuai dengan watak masingmasing secara proporsional. Apabila dilihat dalam konteks modernisme dan pasca modernisme, signifikansi epistemologi al-Ghazâlî adalah pada penempatan ketiga daya itu secara proporsional sesuai dengan wataknya masing-masing, dan hubungan antara satu dan lainnya yang bersifat komplemeter. Ini membawa konsekuensi keharusan adanya landasan teologis dan moral bagi ilmu pengetahuan. Dari segi kesadaran manusia, dengan mudah dapat dilihat signifikansi pemikiran alGhazâlî. Manusia modern membutuhkan pegangan moral dan makna hidup. Al-Ghazâlî menawarkannya dalam bentuk pemenuhan diri yang diuraikan di atas, yaitu dengan meningkatkan fungsi daya-daya yang ada pada diri manusia dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dari pembahasan tentang epistemologi al-Ghazâlî dan pandangannya tentang orientasi hidup dihubungkan dengan konteks zamannya, kedua aspek pemikiran itu mempunyai signifikansi dengan kebutuhan perkembangan epistemologi dan kesadaran pasca-Modernisme.

Pustaka Acuan ‘Abd al-Rahman Badâwî. Muallafat Al-Ghazâlî. Damaskus: al-Majlis al-A’la li Ri‘ayat alFunûn, 1961. Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam. London-New York: Routledge, 1992.

Huston Smith, Postmodernism and World’s Religion (Makalah, disampaikan pada Inaugural Symposium: Islam and the Challenge of Modernity, ISTAC Kuala Lumpur, 1-5 Agustus 1984, h. 9. 59

240


M. Yasir Nst: Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut Al-Ghazali

Bastaman, Hanna Djumhana. “Dimensi ‘Spiritualitas’ dalam Teori Psikologi,” dalam Ulumul Quran, Nomor 4, Vol. V, 1994. Burnham, F. B. (ed.). Postmodern Theology. San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1989. Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan, terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia, 1987. Dunia, Sulaimân. Al-Haqîqah fî Nazhar al-Ghazâlî. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971. Al-Ghazâlî. Al-Imla‘ fî Isykalat al-Ihyâ’. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Al-Ghazâlî. Al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Kairo: Muhammad ‘Alî Shubaih, 1962. Al-Ghazâlî. Al-Munqidz min al-Dhalâl. Kairo: Silsilah al-Tsaqafat al-Islâmiyah, 1961. Al-Ghazâlî. Al-Qishthas al-Mustaqîm. Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970. Al-Ghazâlî. Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn, vol. VIII. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Al-Ghazâlî. Ma‘ârij al-Quds fî Madârij Ma‘rifat al-Nafs. Kairo: al-Jundi, 1968. Al-Ghazâlî. Mi’yar al-’Ilm. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1960. Al-Ghazâlî. Misykat al-Anwâr. Kairo: Maktabat al-Jundi, 1970. Al-Ghazâlî. Mîzân al-’Amal. Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1961 Hasting, James, (ed.). Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. V. New York: Charles Scribner’s Sons, t.t. Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Masaryk, T.G. Modern Man and Religion. Westport-Connecticut: Greenwood Press, Publishers, 1970. Patrick, G. T. W. Introduction to Philosophy. London: George Allen and Unwin Ltd., t.t. Quasem, Muhammad Abul. The Recitation and Interpretation of the Qur‘an. London: Kegan Paul International, 1982. Russel, Bertrand. Religion and Science. London: Oxford University Press, t.t. Smith, Huston. Postmodernism and World’s Religion. Makalah, disampaikan pada Inaugural Symposium: Islam and the Challenge of Modernity, ISTAC Kuala Lumpur, 1-5 Agustus 1984. Al-Subkî. Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubrâ, Juz IV. Mesir: Mushthafa al-Bâbî al-Halabi, t.t. Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia, 1983. ‘Utsman, ‘Abd al-Karîm. Sîrah al-Ghazâlî. Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t. Wahbah, Murad, et al. Al-Mu’jam al-Falsafi. Kairo: al-Tsaqafat al-Jadidah, 1971. Watt, W. Montgomery. The Faith and Practice of al-Ghazâlî. London: George Allen and Unwin Ltd., 1953.

241


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

MEMBANGUN TATANAN SOSIAL MELALUI MORALITAS PEMBUMIAN AJARAN TASAWUF Said Aqil Siradj Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 117, Surabaya, 60237 e-mail: said_aqil_sirodj@yahoo.com

Abstrak: Perkembangan dunia kontemporer memperlihatkan kecemasan global umat manusia. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak jarang manusia Modern melakukan hal-hal yang membahayakan kemanusiaan secara umum. Islam, dengan pandangan batiniahnya, menempatkan manusia sebagai makhluk Ilahiyah yang memiliki fungsi menjelmakan cahaya Ketuhanan di dalam kehidupan. Tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa pembumian ajaran-ajaran sufistik merupakan langkah signifikan dalam mengarahkan tatanan kehidupan dunia yang ramah, anggun dan penuh rahmat bagi sekalian alam. Penulis menyimpulkan bahwa bertasawuf pada hakikatnya adalah aktivitas berupa kesadaran manusia yang paling dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya, yang terilhami oleh kualitas asmâ‘ dan shifat Allah dan kemudian terwujud dalam perilaku sosialnya. Abstract: Developing Social Order through the Morality of the Application of Tasawuf Teachings. The rapid development of contemporary world results in global anxiety of humankind. With the prosperity of scince and technology, modern man has often performed actions that are against humanity in general. Islam with its esoteric perspective places man as godly creature functioning to existentiate the light of the Divine in life. In this writing is it is attempted to show that the application of sufistic teachings is a significant step in directing a friendly and peaceful life of the world order, merciful of God necessary for the whole creatures. The author concludes that in reality, applying tasawuf is an activity that reflect man’s deep consciousness of his relationship with God, the environment and his fellow man inspired by the quality of the names and character of God which are then persevered in the social activities.

Kata Kunci: tasawuf, ‘irfani, moralitas, dzawq

Pendahuluan Mencermati perkembangan Islam saat ini tampaknya begitu lekat dengan konflik sosial 242


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

bertabur kekerasan, sehingga seakan mengantarkan pada kita sebuah kesimpulan ekstrim bahwa Islam tidak lagi mampu melahirkan masyarakat yang harmonis, apalagi kreatif. Ajaran Islam yang secara substansi semestinya adalah kumpulan doktrin yang mendamaikan digeser menjadi ajakan kekerasan. Islam yang secara hermeneutis adalah kumpulan teks yang membebaskan bermetamorfosis menjadi gumpalan yang rigid. Ironisnya, penghayatan Islam yang demikian justru telah menginspirasi pandangan general tentang Islam, khususnya bagi non Muslim Barat, misalnya tulisan utama The New York Times yang berjudul “Seeing Green: The Red Menace is Gone. But Here’s Islam” (Momok Hijau: Bahaya Merah telah Berlalu. Tetapi Sekarang Islam).1 Pesan yang terdapat di dalam tulisan tersebut adalah “Islam itu berbahaya.” Hal itu memunculkan keprihatinan umat Islam, sebab bagaimanapun Islam bukanlah reprentasi kekerasan, dan bukan pula berposisi vis-à-vis dengan non Muslim. Melainkan bagaimana Islam dengan moralitasnya mampu memberi cahaya damai di tengah-tengah masyarakat yang plural. Karenanya, demi membungkam sekaligus mencerahkan terhadap pandangan tentang Islam yang dangkal itu, maka pemahaman Islam perlu dikembalikan pada penilaian yang subtantif. Yakni diperlukan penyegaran pada tingkat keberagamaan yang lebih bersifat mendalam dan peresapan. Karena itu, tawaran tasawuf merupakan representasinya. Dengan cara bertasawuf memberikan keniscayaan dalam melihat ajaran Islam secara seimbang, harmonis. Dan dari berbagai tepian sehingga tidak merusak tatanan kosmis yang seimbang dan harmonis ini. Dari persoalan tersebut, tulisan ini mengangkat nilai-nilai tasawuf sebagai tawaran yang diharapkan mampu bersenyawa dengan realitas sosial melalui spiritualitas agar memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, yang pada gilirannya nanti berperan sebagai arsitektur dalam tatanan sosial melalui moralitasnya.

Menakar Epistemologi Tasawuf Epistemologi Barat modern tidak dapat dilepaskan dari sejarah manusia tiga abad terakhir ini, yang disebut dengan renaissance. Rene Descartes (1596-1650) sumber idenya telah menformulasikan sebuah prinsip, cogito ergo sum (aku berpikir, karena itu aku ada).2 Dilansir Bruce B. Lawrence dari The New York Times Week in Review (21 Januari 1996). Lihat Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tungggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, terj. Harimukti Bagoes Oka (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 9. 2 Menurut Descartes (1596-1649), adalah keliru jika dikatakan bahwa kebenaran dapat dicapai dengan sesuatu yang sudah pasti dan tidak dapat diganggu gugat. Menurutnya, untuk mencapai kebenaran, seseorang harus melepaskan diri dari segala macam prasangka, termasuk prasangka yang berupa keyakinan dari dogma-dogma agama. Sebagai gantinya, ia harus menggunakan rasio dan pengetahuan berdasarkan fakta. Lihat Horald Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 78. 1

243


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Dengan prinsip ini, Descartes yang dikenal sebagai bapak rasionalisme telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Pandangan ini terinspirasi oleh ide Plato (427-347SM) yang beranggapan, pengalaman indera tidak mampu memberikan pengetahuan yang pokok karena sifatnya yang berubah-ubah. Sedang pandangan lain, bertolak belakang dengan pandangan di atas, diadopsi dari Aristoteles (384-322SM) yang beranggapan bahwa realitas sebenarnya adalah sesuatu yang dapat diindera, bukan diidea. Pandangan ini kemudian memunculkan John Locke (1632-1704) dengan penegasannya bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman atau empiris. Dalam perkembangannya, ide empiris ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), G. Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1779) yang kemudian diintroduksi oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi teori positivistik. Dalam pengertian positivistik ini maka kebenaran adalah yang tampak, sedang gejala-gejala di luar fakta adalah tertolak.3 Pandangan yang saling berlawanan antara rasionalisme dan empirisme tersebut menemukan sintesisnya melalui teori kritisme yang digagas oleh Immanuel Kant (1804). Menurut pandangannya suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari hanya pada kekuatan akal ilmiah sendiri melainkan justru membuka diri terhadap realitas empirik.4 Dalam garis besarnya, epistemologi yang berkembang di dunia Barat secara teoretik menampilkan tiga pola yang berbeda; pertama, teori korespondensi, yakni kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian (korespondensi) arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau fakta.5 Dapat pula dikatakan, bahwa teori dalam kebenaran ini dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif.6 Kedua, teori konsistensi atau koherensi, yakni suatu putusan adalah benar apabila putusan itu konsisten (consistent) dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu diterima dan ketahui benarnya. Putusan yang benar adalah suatu yang saling berhubungan (coherent) secara logis dengan putusan-putusan yang lainnya yang relevan. Dengan demikian, putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan. Dengan kata lain kebenaran adalah kecocokan (truth is consistency).7 Ketiga, teori pragmatis, yakni benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-semata bergantung berfaedah tidak ucapan, dalil, atau teori tersebut untuk bertindak dalam penghidupannya. Dengan kata lain, baik teori, hipotesis atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.

Ibid., h. 256. CA. Van Peusen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 86. 5 Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 242-243. 6 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 19. 7 Ibid., h. 24. 3 4

244


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi, kebenaran ialah apa saja yang berlaku (works).8 Teori korespondesi yang dekat dengan mazhab realisme menempatkan kebenaran yang diraih tergantung pada realitas objektif. Dengan titik tolak yang demikian, terdapat keberatan terhadap teori korespondensi, yakni mengabaikan kebenaran di balik realitas objektif seperti kebenaran dalam peristiwa fenomena alam fatamorgana. Sedang teori konsistensi atau koherensi yang berkembang di bawah pengaruh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang didukung mazhab idealisme menempatkan kebenaran subjektivitas, yakni kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan riil peristiwa-peristiwa. Dengan kata lain, manusia adalah ukuran segala-galanya.9 Kebenaran yang demikian bagi Suhrawardî tetap tidak akan dapat mencapai kebenaran secara keseluruhan, karena ada kebenaran yang tidak dapat dicapai seperti tidak mampu menjelaskan selurus eksistensi di luar pikiran seperti soal warna, rasa, dan bayangan. Di saat yang sama teori konsistensi atau koherensi yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir. Adapun teori pragmatisme yang menempatkan kebenaran disandarkan pada kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruh yang memuaskan (satisfactory consequences) pada gilirannya menghadirkan kritik terhadap kebenaran teori tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Pierce, bahwa “suatu ide tidaklah disebut benar karena memuaskan, ia dikatakan memuaskan karena ia benar.”10 Konsepsi-konsepi sumber pengetahuan di atas merupakan representasi dasar epistemologi yang berkembang di dunia Barat. Karakteristik epistemologi yang dilahirkan hanya berkisar pada segala sesuatu yang dapat diserap pancaindera dan alat bantu belaka. Hal tersebut membenarkan penegasan Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak disandarkan kepada pancaindera.11 Masih menurutnya, dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai “a transcendental illusion” (ilusi transenden). Masih menurutnya lagi, metaphysical assertion are without epistemological value (pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis).12 Kesimpulan dari epistemologi Barat yang demikian itu hanya kisaran dunia objektif dengan penekanan akal (rasio) dari pada alam perasaan (intuisi). Padahal sebenarnya masih banyak realitas lain yang memerlukan penelitian lebih mendalam sebagai upaya untuk mengungkapkan selubung misteri yang tidak semata-mata mampu diserap akal (rasio) maupun indera. Ibid., h. 26-27. Ibid., h. 24-25. 10 Ibid., h. 30. 11 Justus Harnock, Kant’s Theory of Knowledge, trans. M. Holmes H (London: Macmillan, 1968), h. 142-145. 12 Ibid. 8 9

245


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Sementara itu dalam Islam, dengan bersandar pada Rasullah SAW. sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia, telah ditegaskan bahwa pusat eksistensi manusia yang menentukan kualitas berpusat pada qalb (kalbu). Jika epistemologi Barat sebagai pengetahuan mengedepankan akal, maka sebenarnya telah membatasi potensi kecerdasan manusia hanya pada kecerdasan intelektual semata. Definisi cerdas dan berpikir manusia hanya dibatasi oleh bekerjanya simpul-simpul saraf di otak berdasarkan premis-premis logika yang telah dijadikan postulat sebagai kebenaran. Padahal dalam diri manusia terdapat kalbu sebagai anggota rohani yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa rasional (al-nafs al-nathîqah) dapat membedakan antara kebenaran (haqq) dengan kepalsuan (bathil).13 Abû Hamid al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn menjelaskan bahwa qalb (kalbu) adalah sarana pengetahuan intuitif (ma‘rifah), bukan indera atau akal.14 Selanjutnya, ia menggambarkan kalbu sebagai sarana ma‘rifah sebagaimana dalam bentuk cermin, yakni pengetahuan yang muncul adalah pantulan gambaran realitas yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian jika cermin kalbu itu tidak bersih, maka ia tidak akan memantulkan realitas-realitas pengetahuan. Menurutnya, yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh, di sisi lain ketaatan kepada Allah SWT. dan keberpalingan dari tuntutan hawa nafsu, justru akan membuat kalbu menjadi bening dan terang.15 Kemampuan mengolah kalbu inilah yang kemudian melahirkan realitas intuisi (intuision) dalam menjamah kebenaran (truth). Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzawq) yang bertalian dengan perspektif batin. Dengan kata lain, pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan dan dipatrikan pada kalbu seseorang sehingga tersingkap sebagian rahasia dan tampak sebagai realitas. Dengan kata lain perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan kesalehan (baca: sufi), karena seseorang memiliki kebeningan kalbu sehingga menghasilkan wawasan spiritual yang prima. Proses sampainya qalb (kalbu) pada cahaya Tuhan terkait erat dengan konsep takhalli, tahalli dan tajallî. Dalam kondisi takhallî seseorang mengosongkan diri dari akhlak yang tecela dan perbuatan maksiat melalui taubat, dilanjutkan dengan tahallî di mana seseorang menghiasi perilakunya dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah yang kemudian mengantarkan kepada kondisi tajallî di mana terbukanya hijab sehingga tampak jelas baginya cahaya Tuhan. Menurut Douglas V. Seere, dalam pengetahuan yang demikian, seseorang berada dalam kondisi yang amat sadar tentang kehadiran Yang Maha Riil (The condition of being over whelmingly aware of the presence of the Ultimity Real). Masih menurutnya, intuisi dalam mistik (sufi) memiliki implikasi yang lebih jauh, mungkin dapat menjelma menjadi persatuan aku dengan Tuhan pribadi (ittihâd) ataupun kesadaran kosmis (wahdat al-wujûd).16 S.M.N. al-Attas, The Concept Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), h. 14. Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ‘ ‘Ulûm al-Dîn (Kairo: Musthafâ Bâbî al-Halâbî, t.t.), h. 3. 15 Ibid., h. 12-13. 16 Douglas V. Seere, “Mysticism,” dalam Hand Book of Christion Theology (New York: World, 1958), h. 371-372. 246 13 14


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

Dengan membandingkan karakteristik epistemologi di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pandangan ilmiah yang ditawarkan oleh epistemologi Barat tampak sekali bersifat distorsif, dan dengan sendirinya terlindas oleh pandangan progresif tasawuf yang mampu memberikan makna mendalam tentang realitas. Misal dalam memandang alam semesta (kosmos) akan berkesimpulan realitas bukanlah satu-satunya, melainkan tanda-tanda dari “realitas sejati” yang ada di balik fenomena positif. Dengan kata lain, kosmos adalah cerminan “realitas sejati”. Karena itu kosmos berfungsi sebagai tanda-tanda eksistensi Tuhan. Pandangan progresitas tersebut menemukan dasarnya dalam hhadis qudsi yang sering dikutip para sufi ketika menyelami realitas sejati, sebagaimana firman-Nya, “kuntu kanzan makhfîyan fa`ahbabtu ‘an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabî ‘arafûnî” (Aku adalah khazanah yang tersembunyi, dan Aku ingin diketahui, karena itu Aku menciptakan makhluk agar Aku diketahui). Berangkat dari pandangan tersebut, para sufi memandang kosmos adalah tajallî (penampakan, representasi) dari Tuhan. Mereka berkesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara makhluk dengan Sang Khalik. Kaitan erat ini termanifestasi dalam konsep bahwa kosmos (alam semesta) beserta seluruh isinya dan apa saja yang berkaitan dengannya, tak lain adalah tajallî dari Allah. Dengan kata lain, realitas sejati yang bersifat spiritual telah diberikan bentuk ragawi oleh kosmos. Tegasnya, realitas samawi adalah tak berwujud dan bersifat spiritual, dan bumi memberinya bentuk ragawi. Analoginya, “ruh” tidak bisa berbuat banyak tanpa badan dan raga, yang berfungsi sebagai wahana atau sarana. Progresivitas epistemologi tasawuf di atas juga selaras dengan titah al-Qur’an dalam berbagai ayat yang mengajak manusia agar menggunakan kemampuan dirinya untuk mengamati dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi dalam kosmos ini, bahkan tentang hal ihwal dirinya sendiri.17 Karena di dalamnya terkandung bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan tentang adanya Allah pencipta jagad raya. Jadi dalam epistemologi tasawuf, realitas dan kebenaran bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah dan sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam epistemologi Barat mengenai dunia yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Bagi tasawuf realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak. Sayangnya, tawaran epistemologi yang progresif tersebut oleh sebagian umat Islam kini justru sulit untuk dijamah, sebaliknya mereka hanya memandang realitas sejati sekadar dipahami sebagai simbol lalu dianggap seperti “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Di sisi lain, cara pandang epistemologi Barat, khususnya positivistik yang jelas-jelas tidak mampu memberikan nilai rasionalitas terhadap ajaran-ajaran agama justru ditampilkan dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam, sebagaimana pandangan ‘skripturalisme’ yang menempatkan asumsi; “semakin harfiah seseorang memahami sabda Q.S. al-Fushilât/41: 53; Q.S. al-Kahfi/18: 51; Q.S. al-Rûm/30: 8; dan Q.S. Yâsin/36: 36.

17

247


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Tuhan, semakin dekat orang tersebut kepada kehendak-Nya; semakin ia asyik dan sembrono dalam penafsiran non literal, maka semakin jauh ia dari kehendak-Nya”. Asumsi ini dengan sendirinya mengeliminasi konteks yang tak terbatas sebagai realitas lain tertutup akibat berdasar pada teks yang terbatas. Cara pandang tersebut identik dengan positivistik yang telah disinggung sebelumnya. Dalam praktiknya, aktualisasi cara pandang tersebut mengantarkan pada pemerkosaan nilai-nilai substansi agama ke dalam bingkai, meminjam bahasa Abou El Fadl, otoritarianisme, yakni “tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu yang pasti dan absolut, dan menentukan.”18 Alhasil, akses terhadap kerangka kerja yang demikian senyatanya mengarah pada keyakinan absolutisme yang tidak kenal kompromi, yakni tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas plural sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.

Bertasawuf sebagai Sandaran Cermin Tuhan Sebagaimana paparan singkat di atas bahwa epistemologi tasawuf telah menyandarkan pada ma‘rifah (intuisi) untuk menggapai hakikat-hakikat batin yang tidak tercapai kesempurnaannya hanya oleh berpikir yang bekerja hanya pada simpul-simpul saraf di otak. Adapun puncak dari bertasawuf dengan sarana ma`rifah-nya adalah menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah merupakan manifestasi Tuhan. Semboyannya adalah; “awal kesempurnaan adalah ma`rifat tentang manusia, sedangkan ma’rifat Allâh adalah puncaknya”.19 Tegasnya, ma`rifat adalah sarana sampai pada keyakinan atas kesadaran penyatuan manusia dengan Tuhan. Kondisi seperti itu disebut dengan fanâ’. Dalam pengertiannya, fanâ’ adalah bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat ketuhanan. Untuk memudahkan pengertian esensi fanâ’ ada baiknya mengetahui penjelasan tipologi al- fanâ’ ’an al-nafs secara ringkas dari alQusyayri, “Ketika sufi fanâ’ dari diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran kesadarannya terfokus pada sifat-sifat Tuhan, maka dia baqa’ dalam penghayatan alam ghaib (kasyf al-hijâb), lalu ketika sufi fanâ’ dari penghayatan sifat-sifat Tuhan, maka dia baqa’ dalam penyaksian Tuhan (ma‘rifat Allâh), dan ketika pada puncak ma‘rifah, maka sufi mengalami fanâ’ al-fanâ.20 Kondisi fanâ’ tersebut yang mengantarkan Abû Yazid al-Bustâmî (364 H/877 M) sebagai tokoh pencetus paham ittihâd. Ke-fanâ’-an telah membawa al-Bustâmî kepada Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (England: Oneworld Publications, 2003), h. 92. 19 Said Aqil Siradj, Ma‘rifatullah: Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat (Jakarta: éLSAS, 2003), h. 13-14. 20 Abu Qasim al-Qushayri, al-Risâlah al-Qushayriyah, diedit oleh Abd Qadir Mahmud (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadithah, 1974), h. 231. 18

248


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

ittihâd. Fana’ sendiri merupakan pra kondisi menuju ittihâd. Kesadaran yang terserap dan luluh ke dalam kesadaran serba Tuhan inilah yang merepresentasikan ittihâd. Ketika ittihâd, sufi menyadari suatu wujud (Tuhan), sehingga dapat terjadi tukar peran antara sufi dan Tuhan; salah satu darinya dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “Yâ anâ” (Hai aku). Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi, “fa yaqûlu al-wâhidu lil al-‘âkhiri yâ anâ” (maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan aku). Kondisi semacam ini pernah dialami oleh al-Bustâmî. Ungkapan yâ anâ yang dimaksud bukan al-Bustâmî itu sendiri, melainkan ia telah bersatu batin dan ruhnya dengan Tuhan melalui ke-fanâ’-an. Ungkapan al-Bustâmî dalam kondisi seperti itu disebut syathahât, yakni ekspresi pikiran dan cita rasa yang berkecamuk dalam hati para sufi. Ekspresi itu bersifat bebas dan spontan tanpa tunduk terhadap wilayah murâqabah atau aturan. Singkat kata, mentrasfer isyarat–dari batin ke zahir– dengan ucapan.21 Dengan demikian syathahât adalah ungkapan perasaan ego bahwa ia adalah Allah dan Allah adalah ego, sehingga berdiri di ambang kesatuan. Fanâ’ juga mengantarkan al-Husain ibn Manshûr al-Hallâj (244/858-309H/921M) kepada paham hulûl. Tuhan, menurut al-Hallaj, adalah Yang Maha Cinta dan Kasih, cintakasih terhadap diri-Nya sendiri menjadi `illah (sebab) adanya semua makhluk, termasuk Adam (manusia) sebagai ciptaan-Nya paling sempurna karena pada diri-Nyalah Tuhan muncul dengan sîrah-Nya (gambarNya).22 Atas dasar ini al-Hallâj menyakini bahwa dalam diri Tuhan ada natur kemanusiaan yang disebut nâsût, dan pada diri manusia ada natur ketuhanan yang dia sebut lâhût. Dengan demikian, al-Hallâj mengakui eksistensi dualisme. Tuhan selain memiliki natur lahut sekaligus juga natur nâsût, begitu pula manusia, selain mempunyai unsur nasut sekaligus unsur lâhût. Dengan kerangka pemikiran inilah persatuan antara sufi dan Tuhan dapat terjadi. Meski demikian persatuan figuratif dalam hulûl masih mengakui “perbedaan” dan “pemisahan” ruh Tuhan dengan ruh sufi. Dengan demikian pernyataan “Ana al-Haqq” (Aku Yang Maha Mutlak) tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallâj untuk mengekspresikan diri sebagai al-Haqq (Tuhan); dengan kata lain, “Ana alHaqq” sama sekali tidak berkonotasi pada pengakuan diri al-Hallaj sebagai Tuhan. Bahkan al-Hallaj sendiri secara tegas menolak adanya anggapan bahwa dirinya adalah identik dengan Tuhan, sebagai dalam ungkapannya; “anâ sirr al-haqq mâ al-haqq anâ bal anâ haqq fafarriq baynanâ” (Aku adalah rahasia yang Maha Mutlak dan bukanlah yang Maha Mutlak itu aku. Aku hanya suatu yang Mutlak, maka bedakanlah antara kami). Representasi dari dua tokoh sufi di atas terkait implentasi ma`rifat-nya, tak pelak menimbulkan kontroversi yang tidak pernah ada habisnya. Komentar pedas dengan sendirinya hadir mengiringi baik ditujukan langsung kepada dua tokoh tersebut maupun

Muhammad ‘Abîd al-Jâbirî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyah Naqdiyah li Nazm al-Ma‘rifah fî al-Thaqâfah al-‘Arabah (Beirut: Markaz al-Thaqafî al-‘Arabî, 1993), h. 288. 22 ‘Abd al-Qâdir Mahmûd, al-Falsafah al-Sûfiyah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1967), h. 361. 21

249


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 kalangan sufi pada umumnya, sebagaimana komentar Ibn al-Jauzi, “kaum sufi menamai ilmu mereka dengan ilmu batin dan menganggap ilmu syariat sebagai ilmu zahir. Mereka ini berada pada posisi bid’ah. Kasyf adalah omong kosong. Orang-orang zindiq tidak berani menolak syariat sebelum datang kaum sufi. Mereka datang dalam bentuk orang-orang lancang. Allah pasti mendengar orang-orang yang kosong dari kepastian. Mereka ini hanyalah sekelompok orang zindiq.23 Ibn Taimiyyah juga mengomentari tentang praktik tasawuf khususnya Ibn ‘Arabî (dibahas kemudian) dengan komentarnya bahwa suatu paham yang mengatakan makhluk bagian dari Khaliq adalah kekufuran yang nyata. Hal ini merupakan ucapan musuh-musuh Allah; dari kaum Kristen, kelompok Rafidhah radikal dan sufi-sufi bodoh. Barang siapa menyakininya maka ia kafir. Orang mukmin yang ma`rifat terhadap Allah SWT. dan mencintai-Nya memang memiliki derajat-derajat qurb dan keyakinan yang nyaris tidak bisa diungkapkan dan terdeteksi dengan ma`rifat yang benar. Allah adalah Allah, dan hamba adalah hamba. Di dalam Zat-Nya tidak ada secuil pun makhluk-Nya, dan di dalam makhluk-Nya tidak ada secuil pun Zat-Nya. Tidak seorang pun yang ma`rifat kepada Allah menyakini inkarnasi Rabb di dalam dirinya atau makhluk lain dan tidak pula bersatu dengannya.24 Komentar Ibn Taimiyyah tersebut mendapakan kritikan balik dari Mahmûd al-Ghurab dalam Syarh al-Kalimât al-Shûfiyah. Menurutnya, Ibn Taimiyyah menyalahkan Ibn ‘Arabî hanya bersandar pada pemahaman dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabî bukan dari pemahamannya terhadap Ibn ‘Arabî itu sendiri, meskipun tak menembus kejiwaan Ibn ‘Arabî secara paripurna. Masih menurutnya, “orang yang memahami perkataan belum tentu memahami yang berkata, tapi orang yang memahami yang berkata sudah tentu memahami perkataan”. Dengan demikian, kritikan sangat pedas Ibn Taimiyah tersebut didorong oleh ketidakmengertiannya terhadap Ibn ‘Arabî sebagai seorang sufi yang berbicara atas nama ahli ma‘rifat. Bagaimana dengan Abû Hâmid al-Ghazâlî? Tokoh sufi besar ini mampu melakukan reapproachement terhadap kontroversi tasawuf pendahulunya dengan Islam yang berorientasi syari’ah, yakni dengan meminimalisir konflik dan mendamaikan keduanya. Menurut Abû al-‘Ala ‘Afifi, ketika menyelami Misykat al-Anwâr, karya al-Ghazâlî memberi gambaran sikap final al-Ghazâlî terkait dengan masalah-masalah yang telah dibahasnya dalam karya-karyanya terdahulu. Dalam kitab tersebut ia berani dengan terang-terangan mengungkapkan apa yang tidak berani diungkapkannya dalam karya-karyanya terdahulu. Dalam kitab ini ia dekat dengan doktrin wahdah al-wujûd. Ia memandang bahwa tidak ada yang ada sebenarnya dalam wujud kecuali Tuhan, karena wujud segala sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau berasal dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada pada hukum atau sifat apa yang tiada. Karena itu alam pada hakikatnya tidak mempunyai wujud.25 Siradj, Ma‘rifatullah, h. 30-31. Ibid., 62-63. 25 Abû al-‘Ala ‘Afifî, “Tasdîr ‘Âmm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî, Misykat al-Anwâr (Kairo: al-Dâr al-Qawmiyah, 1964), h. 7. 23 24

250


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

Bagi al-Ghazâlî, wujud adalah cahaya dan ketiadaan adalah kegelapan. Yang paling berhak memiliki nama cahaya adalah “sumber” cahaya itu sendiri, “cahaya pertama,” “cahaya yang sebenarnya,” “Cahaya Terjauh dan Tertinggi,” yang tiada cahaya di atasnya dan darinya turun cahaya kepada selainnya, Yaitu Allah. Nama cahaya untuk selain “Cahaya Pertama” adalah kiasan belaka, karena segala sesuatu selain Dia, bila dilihat dari dirinya, tidak mempunyai cahaya sama sekali. Cahaya pada segala sesuatu itu adalah pinjaman dari sesuatu yang lain. Cahaya yang sebenarnya adalah Dia yang di tangan-Nya penciptaan dan perintah, dan Dia adalah yang pertama memberi cahaya dan menjaga keberlangsungannya. Tidak sesuatu pun berbagi dengan Dia hakikat nama ini dan tidak pula kepemilikannya kecuali kiasan. Alam (kosmos) atau “apa yang selain Allah” pada dirinya adalah ketiadaan belaka dan wujud hakiki hanyalah Allah sebagaimana cahaya hakiki hanyalah Allah.26 Sementara itu wacana tentang manusia selaku tempat manifestasi Tuhan menjadi tuntas di tangan Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî melalui penegasan paham wahdah al-wujûd. Baginya, wujud Allah adalah satu dalam Diri-Nya, tetapi muncul melalui tajallî sebagai beragam benda eksisten. Dengan kata lain, “wujud” disifatkan kepada Allah dari segi ketiadataraanNya, dan “eksistensi” disifatkan kepada-Nya dari segi keserupaan-Nya. Pada yang pertama, Dzat Allah tidaklah terketahui dan tak terjangkau–Yang Wajib Wujud melalui Diri-Nya. Pada yang kedua, Allah memanifestasikan Diri-Nya dalam “eksistensi menurut bentuk” (al-wujûd al-shûrî)- Nafas al-Rahman, yang “mengambil” bentuk seluruh benda eksisten di kosmos. Ia yang ingin memasuki Allah hendaklah meninggalkan akalnya dan berpegang kepada syari’at, karena Allah tidaklah menerima pembatasan (taqyîd), di mana akal adalah terbatas. Milik-Nyalah tajallî dalam setiap bentuk sebagaimana “Dia menyusunmu sesuai dengan bentuk apa pun yang Dia kehendaki” (Q.S. al-Infithâr/82:8). Maka segala puji hanyalah milik Allah yang telah menyusun manusia menurut bentuk tertentu yang tidak membatasi dan tidak pula menentukan-Nya di dalam bentuk tersebut. Sebaliknya, kujadikan bagi-Nya apa yang memang milik-Nya sesuai pemberitahuan-Nya bahwa hal tersebut memang milik-Nya, yaitu tahawwul-Nya dalam bentuk-bentuk. Maka tiada yang “mengukur Allah dengan sebenar-benar ukuran-Nya” (Q.S. al-Anfâl/6: 91) kecuali Allah. Ia yang puas bersama Allah dalam apa yang Dia telah mensifati Diri-Nya dengannya pasti tidak akan membiarkan dirinya diatur oleh akalnya sendiri dari segi Kedirian-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut. Al-Haqq memiliki dua keterkaitan kepada wujud, yaitu keterkaitan-Nya kepada Yang Wajib Wujud dari Diri, dan keterkaitannya kepada “eksistensi menurut bentuk”. Dialah yang bertajalli di dalamnya kepada para makhluk-Nya, karena mustahil bagi-Nya untuk bertajalli dalam “Yang Wajib Wujud dari Diri”, karena manusia tidaklah memiliki mata yang dapat memahaminya. Baik dalam keadaan eksistensi maupun noneksistensi manusia, Ibid., h. 54-55.

26

251


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 manusia tetap menjadi entitas yang kepadanya penguatan diberikan. Karena aturan posibilitas tidak pernah meninggalkan manusia, maka ia tidak pernah melihat-Nya kecuali melalui diri manusia itu–apa yang diberikan oleh realitas manusia. Maka tajallî-Nya pasti terjadi di dalam “eksistensi menurut bentuk”, sebagai yang menerima tahawwul dan pergantian.27 Allah adalah Satu dalam Diri-Nya, sedangkan tajallî mengambil bentuk dari “yang banyak”. Pluralitas manifestasi adalah kembali kepada nama-nama Ilahi – yang “satu” dan “banyak” di saat yang sama. Ibn ‘Arabî menunjukkan hal ini ketika menafsirkan surat al-Ikhlâsh ayat pertama: “Dialah Allah Yang Satu”(Q.S. al-Ikhlâsh/112: 1), menunjuk kepada ahadiyyat al-ahad (Unitas Yang Satu), sedangkan ayat kedua: “Allah Maha Tempat Bergantung” (Q.S. al-Ikhlâsh/112: 2), menunjuk kepada fakta bahwa seluruh “hal banyak” adalah kembali kepada nama-nama dan bergantung kepadanya. Inilah yang kemudian mengantarkan Ibn ‘Arabî memiliki pandangan bahwa Allah merangkum sifat tanzîh (ketakterbandingan) dan tasybîh (keserupaan dan kedekatan). Pengejawantahan dari kedua sifat tersebut bisa diringkas oleh dua istilah kunci dalam al-Qur’an; hamba (‘abd) dan wakil (khalîfah). Sifat tanzîh Allah, menjadikan manusia dan makhluk lainnya adalah hamba-hamba-Nya dan harus tunduk pada kehendak-Nya. Akan tetapi, berkenaan dengan sifat tasybîh, manusia mempunyai peran yang harus dimainkan, di mana manusia diciptakan dalam citra Allah yang semua kualitas-kualitas Allah dapat ditemukan dalam dirinya. Karena itulah, manusia bisa menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi. Dari konsep tasybîh di atas, maka secara mendasar menempatkan manusia sebagai cerminan Tuhan adalah bermoral, sebab bagaimana pun, hanya dalam diri manusia menurut definisi di atas citra Tuhan akan terefleksikan secara penuh. Konsepsi inilah yang dikembangkan para sufi yang mengisyaratkan hubungan yang begitu dekat antara manusia dengan Tuhan. Sementara itu di luar konsepsi tersebut, menganggap hubungan manusia dengan Tuhan bersifat formal dan berjarak; hubungan kaku antara yang superior dan yang inferior. Tuhan harus ditakuti dan ketakutan akan balasan Tuhan yang menentukan kesalehan sejati, inilah konsepsi yang dibangun di atas pandangan normatif.

Tasawuf sebagai Arsitektur Moral dalam Membangun Tatanan Sosial Berbicara tentang watak manusia, Thomas Hobbes (1588-1679) dengan teorinya mengemukakan bahwa sifat dasar manusia adalah “homo homoni lupus” (manusia yang satu adalah serigala buat manusia yang lain) atau bellum monium coatra amnes (the war of all against: perang semua lawan semua). Teori Hobbes ini menunjukkan bahwa manusia dalam keadaan alamiahnya hanya ingin menaklukkan manusia lain. Hampir senada dengan Hobbes, tokoh yang mendewakan kematian Tuhan yakni Friedrich Nietzsche (1844-1900)

Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Al-Futûhât al-Makkiyah, Vol. III (Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah al-’Âmmah li al-Kitâb, 1972), 515.33, 516.14. 27

252


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

berpandangan, “kehendak berkuasa adalah realitas sejati dan fitrah manusia”.28 Artikulasi sifat dasar manusia yang seperti itu menarasikan akan keharusan semua orang menjadi tuan (baca: yang berkuasa). Ini artinya manusia berlomba dan bersaing meraih kekuasaan. Yang pada gilirannya, berbentur dan saling menjatuhkan tidak dapat dihindari, dan yang menang dalam pertarungan itu hanyalah siapa yang kuat. Pemaknaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah gerakan pemikiran yang disebut dengan renaissance. Ciri yang menonjol adalah pandangannya yang antroposentrik, yakni meletakkan otonomi manusia di atas segalanya. Kehidupan manusia ditandai dengan sikap materialistik, sekularistik yang tidak memperhatikan dan memedulikan kehidupan batin (esoteris). Meminjam bahasa Alasdair Macintyre (1921) manusia sekadar dimengerti semata-mata faktual.29 Akibatnya interaksi sosial yang dihasilkan oleh nilai norma esoteris dalam arti moral yang melekat pada diri manusia tercabut. Pemaknaan manusia yang distorsif tersebut sudah pasti memberikan efek terhadap tercabutnya moral. Oleh karenanya pemahaman manusia yang demikian, jelas bukan sebuah pilihan untuk mengawal tatanan sosial dalam kehidupan. Sadar akan keberadaan sisi moral dalam diri manusia, Francis Fukuyama dalam karya fenomenalnya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Order menyebutkan, “manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki kemampuan bawaan untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan individu. Tanpa harus didesak manusia akan menciptakan ketertiban dengan sendirinya begitu ia memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari dan bersinggungan dengan orang lain.”30 Pendirian ini menegaskan bahwa manusia tidak hanya secara fitrah bermoral akan tetapi dengan moralitasnya manusia mampu menciptakan serangkaian norma informal pemberi teladan yang digunakan bersama dalam mewujudkan tatanan sosial. Tentu saja pemaknaan bahwa manusia secara fitrah bermoral sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari unsur agama. Sebab bagaimana pun dalam konsepsi religius, agama merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana terekam dalam pernyataan dan kesaksian manusia sebelum hadir di muka bumi, bahwa akan menjadikan Tuhan sebagai Rabb, sebagai Tuhan yang menciptakan, memelihara, menguasai, mengatur kehidupan di alam semesta ini.31 Friedrich Nietzsche membagi manusia menjadi dua katagori: yaitu masyarakat elit yang kemudian disebut dengan tuan dan masyarakat yang disebut budak. Nietzsche menghubungkan “kehendak berkuasa” hanya pada manusia dalam katagori tuan atau disebutnya sebagai manusia “Superman”. Manusia katagori ini mempunyai kekuatan untuk meraih kekuasaan dan menindas orang lain. Lihat Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Filsafat: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke19 (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 198. 29 Frans Magnis Suseno, Etika Abad ke-20: 12 Teks Kunci (Yogjakarta: Kanisius, 2006), h. 209. 30 Francis Fukuyama, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, terj. Masri Maris (Jakarta: Gramedia Pustaka bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Jakarta Freedom Institute, 2005), h. 7 dan 285. 31 Q.S. al-A’râf/7: 172; Q.S. al-Rûm/30: 30. 28

253


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Konsepsi bahwa secara fitrah manusia bermoral merupakan kenyataan yang tidak bisa dilepaskan dari agama seperti paparan di atas, mulanya tidak dipahami dengan baik oleh tokoh sosiolog kenamaan Emile Durkheim (1858-1917). Dengan kata lain, ekspresi moral mengalami penyempitan makna dalam pemahaman positivistik Durkheim. Menurutnya, institusi-institusi moral adalah sesuatu yang eksternal, objektif dan mengikat. Di mata Durkheim yang positivistik, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kekangan moral dan kekangan fisik. Namun komitmen positivistik Durkheim ini menurut Talcott Parsons (1937) mengalami pergeseran teoretis ketika melakukan studi terhadap agama dalam karya The Elementary Forms of Religion Life, Durkheim menyebutkan tatanan moral eksternal –kesadaran kolektif– telah menjadi bagian subjektivitas individu via mekasnisme ritual religius.32 Pergeseran teoretis Durkheim ini dapat dipahami sebagai gerak teoretis yang melepaskan diri dari reduksionisme positivistik menuju telaah yang lebih apresiatif terhadap arti penting ritual religius dalam organisasi sosial dan menuju pada satu kesadaran bahwa cara pandang positivistik bukanlah alat ukur yang tepat untuk menentukan rasionalitas agama. Dengan menyadari arti penting peran agama dalam memberi pancaran aura terhadap moral, terekam dalam jejak perjalanan intlektual-spiritual al-Ghazâlî yang telah menemukan kebenaran hakiki setelah menempuh jalan sufisme. Bagi al-Ghazâlî, sufisme telah membebaskan dahaga dan krisis intlektualnya yang bersifat metodologi (manhajî), sekaligus memberikan kecerahan akan krisisnya spiritual (psikologis), hal itu menjadikannya sangat mengapresiasi sufisme melalui ungkapannya: “Perjalanan sufi merupakan perjalanan terbaik, jalannya adalah jalan benar, dan akhlaknya adalah akhlak yang paling bersih”.33 Ungkapan tersebut memberikan inspirasi dan peluang yang cukup besar bahwa tasawuf dapat dijadikan sebagai arsitek untuk menciptakan tatanan sosial. Dalam konteks menjadikan tasawuf sebagai arsitek tatanan sosial, perlu kiranya seseorang untuk kembali memahami konsep “manusia sebagai manifestasi Tuhan” khususnya dari Ibn ‘Arabî yang merupakan sufi agung dari Murcia, Andalusia (Spanyol). Menurut Ibn ‘Arabî, sebagaimana telah dsinggung sebelumnya, realitas alam semesta dengan berbagai varian dan kemajemukannya ini merupakan bukti ke-Maha-Esa-an Tuhan. Fenomenafenomena di alam kosmos, merupakan penampakan (tajjalî) dari nama-nama dan sifatsifat Tuhan. Dalam ke-Maha-Esa-an-Nya, menurut pandangan Ibn ‘Arabî, Tuhan melihat Sumbangan Durkheim tentang tatanan sosial menurut Talcott Parsons (1937) terbagi dalam dua fase. Fase pertama, yang terdapat dalam karya The Division of Labour in Society, Durkheim menempatkan sumber-sumber stabilitas sosial dalam seperangkat aturan obyektif yang terdapat diluar individu. Pada fase kedua, dalam The Elementary Forms, tatanan sosial mulai mendapatkan akarnya dalam subyektivitas internal individual. Maka makna aturan mengalami perubahan dari ekternal dan obyektif menjadi internal dan subyektif. Lihat: Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial: Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 86-87. 33 Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-Munqiz min al-Dhalâl (Istambul: Hakekat Kitabevi, 1983), h. 32. 254 32


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

diri-Nya yang immateri, sekaligus memperkenalkan diri-Nya. Maka, muncullah asmaasma dan sifat-sifat-Nya. Asma dan sifat tersebut masih belum bisa dikenal, masih suram, sehingga diperlukan penjernih. Mula-mula alam semesta, binatang, dan malaikat diproyeksikan sebagai cerminan Tuhan. Namun, semuanya belum menjadi cerminan Tuhan yang tepat. Setelah hadirnya Adam (manusia), barulah Tuhan bisa melihat forma atau bentuk-Nya secara tepat. Oleh karenanya, setiap gerak-gerik manusia pada hakikatnya merupakan pancaran diri-Nya. Tasawuf dengan akhlaq (ihsân) merupakan puncak subtansi keislaman. Seorang sufi sejati pasti akan bertemu dalam satu poros hakiki, meminjam filsafat Ibn ‘Arabî, yang disebut dengan wahdah al-wujûd. Titik temu inilah yang semestinya harus dikembangkan untuk membangun solidaritas di antara umat yang kosmopolit berdasarkan kesamaan moral (akhlak), dan bukan sebaliknya dengan mencari-cari perbedaan-perbedaan apalagi perbedaan kecil yang hampir pasti dimiliki semua orang sebagai bentuk keanekaragaman. Keanekaragaman sendiri bagi Ibn ‘Arabî, tidak dilihatnya sebagai sebuah sumber keraguan atau kesusahan. Berlawanan dengan itu, ia menganggap hal ini sebagai salah satu dari banyak tanda-tanda bahwa rahmat Tuhan mendahului kemurkaan-Nya, yang membimbing kepada kebahagiaan paripurna setiap makhluk. Karenanya ia menulis, “karena Tuhan adalah akar dari semua perbedaan kepercayaan di alam semesta, dan karena inilah Dia yang membawa kesempurnaan eksistensi setiap hal di alam semesta dalam sebuah susunan yang tak dimiliki oleh apapun juga, setiap orang akan berakhir dengan rahmatNya”.34 Uraian di atas menunjukkan bahwa pesan-pesan dalam tasawuf memiliki potensi kreatif sebagai arsitek dalam merancang kehidupan dengan mengimplementasikannya melalui dua dimensi yang saling beriringan. Yakni implementasi moral yang memiliki oreintasi keilahian yang diterjemahkan dan dikaitkan dengan orientasi praktis untuk menciptakan kedamaian di antara manusia. Dalam kondisi seperti ini, maka ketika individu melakukan suatu kebaikan moral dalam komunitas, ia tidak semata-mata hanya merasakan sebagai tuntutan hukum normatif dengan segala sanksi yang mengiringinya, tapi juga menghayati sebagai kebaikan yang berasal dari semangat intuisinya. Dengan kata lain adalah menghayati norma-norma dengan seluruh jiwanya sebagaimana ia menghayati ajaran agamanya yang bergetar karena tengah merasakan hidup bersama dalam kesatuan Tuhan. Sampai di sini, bertasawuf sesungguhnya bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, nilai-nilai tasawuf memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan individu. Tanpa harus didesak seorang (baca: sufi) akan menciptakan ketertiban dengan sendirinya begitu ia bersinggungan dengan orang lain. Dengan begitu, bagi seorang sufi, ikhtiar tidak menjadinya prinsip teologis statis. Tetapi, pembumian normaIbn ‘Arabî, al-Futuhât al-Makiyah, vol. III, h. 465.23.

34

255


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 norma kolektif dalam bermasyarakat ini disadur dari pesan-pesan moral substansial ajaran nilai-nilai tasawuf.

Penutup Dalam implementasinya, nilai-nilai tasawuf menempatkan manusia sebagai wakil (khalîfah) dan pusat kesadaran di bawah cahaya keilahian. Hal itu tidak lepas dari konsepsi sufi bahwa manusia bertindak selaku realitas perantara dalam eksistensi tempat Allah berinteraksi dengan kosmos secara langsung yang mengembang kualitas yang melekat pada sifat-sifat Allah. Karenanya, bertasawuf pada hakikatnya menyangkut aktivitas berupa kesadaran manusia paling dalam perihal relasi manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya yang terilhami oleh kualitas asma dan sifat Allah, yang kemudian terwujud dalam tingkah laku sosialnya. Dengan begitu, bertasawuf bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial, sebaliknya pengenjawantahannya adalah bagaimana pemahaman atas kualitas ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya.” Dari Tuhan menuju bumi, dari zat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan.35 Kondisi itu menempatkan pancaran keilahian menjadi tidak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Dengan bahasa lain, bertasawuf sejatinya membimbing manusia ke dalam harmoni dan kedamaian total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.

Pustaka Acuan Al-Attas, S.M.N. The Concept Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991. Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Kairo: Musthafâ Bâb al-Halibî, t.t. Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Al-Munqidh min al-Dhalâl. Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1983. El Fadl, Khaled Abou. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. England: Oneworld Publications, 2003. ‘Afîfî, Abû al-‘Alâ. “Tasdîr ‘Âmm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî. Mishkat al-Anwâr. Kairo: al-Dâr al-Qawmîyah, 1964.

Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development (Kairo: Egyptian Associated Company, 200), h. 11. 35

256


Said Aqil Siradj: Membangun Tatanan Sosial

Fukuyama, Francis. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, terj. Masri Maris. Jakarta: Gramedia Pustaka bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Jakarta Freedom Institute, 2005. Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World: Ideology and Development. Kairo: Egyptian Associated Company, 2000. Harnock, Justus. Harnock, Kant’s Theory of Knowledge, trans. M. Holmes H. London: Macmillan, 1968. Husserl, Edmund. Ideas: General Introduction to Pure Phenomenologi. New York: Collier Books, 1962. Ibn ‘Arabî, Muhy al-Dîn. Al-Futûhât al-Makkiyah, Vol. III. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah al’Âmmah li al-Kitâb, 1972. Al-Jâbirî, Muhammad ‘Abîd. Naqd al-‘Aql al-’Arabî, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîlîyah Naqdiyah li Nazm al-Ma‘rifah fî al-Thaqâfah al-‘Arabah. Beirut: Markaz al-Tsaqafî al-Arabî, 1993. Khun, Thomas S. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: the University of Chicago, t.t. Lawrence, Bruce B. Islam Tidak Tungggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan, terj. Harimukti Bagoes Oka. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Mahmûd, ‘Abd al-Qâdir. Al-Falsafah al-Sûfiyah fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1967. Peusen, CA. Van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1989. Al-Qushayriyah, Abû Qâsim. al-Risâlah al-Qushayriyah, diedit oleh ‘Abd al-Qâdir Mahmûd. Kairo: Dâr al-Kutûb al-Hadîtsah, 1974. Seere, Douglas V. “Mysticism” dalam Hand Book of Christion Theology New York: World, 1958. Siradj, Said Aqil. Ma’rifatullah: Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat. Jakarta: éLSAS, 2003. Suseno, Frans Magnis. 13 Tokoh Filsafat: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogjakarta: Kanisius, 1998. Suseno, Frans Magnis. Etika Abad ke-20: 12 Teks Kunci. Yogjakarta: Kanisius, 2006. Titus, Horald. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial: Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Munir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

257


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

PHILOSOPHICAL ARGUMENTS FOR BODILY RESURRECTION: Reconsidering Mullâ Shadrâ’s Eschatological Thought Saleh P. Daulay Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, Jakarta, 15419 e-mail: salehpd@gmail.com

Abstrak: Argumen Filosofis Kebangkitan Jasmani: Mengkaji Ulang Pemikiran Eskatologi Mullâ Shadrâ. Selain meneliti tentang makna kematian, hakikat ruh, bukti adanya kehidupan setelah mati, eskatologi juga mengkaji tentang kebangkitan ruh dan jasmani. Berkenaan dengan ruh, hampir seluruh filosof Muslim menyepakati tentang adanya kebangkitan ruh. Sementara terkait dengan jasmani, sebagian filosof mengatakan akan dibangkitkan dan sebagian yang lain berpendapat tidak mungkin dibangkitkan. Berbeda dengan para filosof essensialis sebelumnya, Mullâ Shadrâ yang menganut aliran eksistensialis menyatakan bahwa sebagaimana ruh, jasmani manusia pun akan ikut dibangkitkan di hari kemudian. Shadrâ berargumen melalui pendekatan filsafat eksistensialis yang bertumpu pada prinsip harakah aljauhariyah (trans-substantial motion). Melalui pendekatan ini, Shadrâ berhasil membuktikan secara filosofis tentang keharusan kebangkitan ruh dan jasmani secara bersamaan di hari kemudian. Abstract: Apart from investigating the meaning of death, reality of soul, proof of life after death, eschatology also studies the sole bodily resurrection. With regard to soul, almost all Muslim philosophers agree on soul resurrection, but they differ however, as far as the body is concerned. Different to the previous essensialists philosophers, Mullâ Shadrâ who adhered to existentialist school argued that as the case of soul, man’s body itsel would be similarly resurrected in the hereafter. Shadrâ supported his argument by existensialist philosophy approach leaned on the principle of trans-substantial motion. Through this approach, Shadrâ succeeded philosophically in proofing the necessity of soul and bodily resurrection simultaneously in the hereafter.

Key Words: eschatology, soul, body, mabda‘, ma‘ad, resurrection

Introduction The issues of eschatology and the afterlife have always generated a great deal of speculation. People speculate on when it will happen, how it is going to be done, how it is going to affect 258


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

them, and if such things really will occur or not. This issue is a very important dimension in all religions, especially Islam. According to Islam, human life has no meaning without resurrection. How can there be purpose if people are born, live, and die and are not judged for their deeds? How can there be justice if everybody is treated in the same way? To believe in the “last day” is a fundamental instrument of Islamic faith. In Islam, human and cosmic histories have an end just as they have a beginning. The word ma’âd (“return” or “place of return”) and mabda` (“origin” or “place of origin”) are keywords used to talk about the end and the beginning of human life. The concept of ma‘âd is closely bound to the concept of mabda` (“origin” or “place of origin”).1 The topic of “the origin and the return” covers everything that connects to a human’s effort in achieving his suitable place in creation or reaching his perfection, whether moral, spiritual, or intellectual.2 Unlike the problem of the origin, the problem of the return is much more controversial and has been studied since the early times of Islam. This topic is not only found in the works of Muslim theologians but also in the works of Muslim philosophers. There are several issues that frequently appear in their works such as the meaning of death, the nature of the human soul, the evidence of afterlife, the eschatological process, spiritual resurrection, and bodily resurrection. Of these issues, spiritual resurrection and bodily resurrection are the most studied by Muslim philosophers. Interestingly, all Muslim philosophers agree as to what is called spiritual resurrection. However, the Muslim philosophers’ agreement on spiritual resurrection was not followed by an agreement on the issue of bodily resurrection. This issue brought to a head a conflict between Islamic speculative theology (kalâm) and philosophy. In a broad sense, there are two major points of view about this topic. Firstly, there are those who believe that there is only a spiritual resurrection. Secondly, there are those who affirm that there is a spiritual and bodily resurrection in the world to come. Such a problem needs to be resolved by doing some philosophical investigation on the issue. Mullâ Shadrâ’s philosophical thought is a good source to begin with. There is no doubt that Mullâ Shadrâ has made a great contribution to the development of Islamic philosophy. His inquiries on Islamic philosophy are believed to be the most systematic that have ever existed.

The origin and the return are two major issues in Islamic cosmology. On the whole, Islamic cosmology deals with three main issues which are the problem of origin, meaning, and destiny. Cognizance of the origin and the return is the only way to earn the meaning. Cognizance of the origin is built on the proposition “Allah is the origin of all becoming and motion”, while cognizance of destiny is based on the proposition “everything returns to Allah”. For further information on this topic, see Idris Samawi Hamid, Islam Dynamic: The Cosmology and Spirituality of Walayah (New York: State University of New York Press, 2008), p. 133. 2 William C. Chittick, Islamic Spirituality Foundations, edited by Seyyed Hossein Nasr (New York: Crossroad, 1987), p. 378. 1

259


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

The Soul-Body Problem in Shadrâ’s Philosophy The discussions regarding the soul-body problem may be tracked back to the early period of philosophical inquiry.3 Based on historical sources, there were only two well-known theories regarding the soul-body problem. One upheld the theory of dualism, and the other took one of two antagonistic positions: idealism or materialism. Plato and Aristotle were predecessors to these two opposing views which later on became known as the dualistic and monistic views of man. Plato, and many other ancient philosophers, held a dualist view of soul and body. He considered the soul to be an immaterial reality independent of matter, which existed before the body and joined it when the body was well disposed to receive the soul. In their outlooks, the soul would accompany the body as long as the latter had necessary power. In this theory, the soul is regarded as the essential part, the essence of the self, which constitutes the mental life of the self and survives the dissolution of the body.4 Aristotle and his followers considered the soul to be the form of a being that defines or expresses the being’s modes of behavior in the public world. In his elucidation of the relation between the soul and body, he argued that the former was related to the latter as was a form to a matter. It is not dualistic, but in fact, the body is also the very instrument of the soul, for matter is merely potency and exists only in so far as it is necessary for the realization of a form, whereas, the soul is inevitably bound up with the body, and can have no life apart from it. In this sense, Aristotle considered the soul and the body as the two united, but separated in substance. For him, the soul can be known only through the functions of the body. Its capacity to receive the soul gives the body its nature and existential constitution, and it becomes a tool by which the soul goes on to act, that is, the soul gives life, actuality, and form to the body and is in fact tied and connected to the body. Without the soul, man’s body is lifeless, and man is not man.5 Mullâ Shadrâ, however, introduced a third theory. His theory of the soul can be regarded as a kind of synthesis of Plato and Aristotle theories. In his view, despite what Concepts of the soul vary from one religious tradition to another, and from one philosophical system to another. In some systems the term is almost synonymous with ‘spirit’; in others, the term virtually overlaps with ‘mind’. Some thinkers envisage the soul as existing independently of the body; other atheistic or empiricist thinkers reject both the credibility and intelligibility of the notion. Daniel Dennett, a contemporary atheistic philosopher, for instance, argues against philosophers of mind who still believe that human consciousness arises from an immaterial substance like a rational soul. As an atheistic philosopher, Dennett consistently rejects the Cartesian dualistic model which holds that mind is a nonphysical substance. Instead, he proposes the Darwinian materialism model which holds that human are complex machines, and the mind is just the motion of brain cells and neurological processes. To be more details, see Daniel C. Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), p. 302-306. 4 Anthony C. Thiselton, A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion (Oxford: Oneworld, 2002), p. 288. 5 Ibid., p. 289. 3

260


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

had been said by Plato, the soul is corporeal when it comes into being. It is as if oozes from the body and then makes a form for itself. Also, contrary to what the Aristotle and peripatetic philosophers believed, the soul is not a stationary and motionless substance, but a substance which is essentially an outcome of motion, and has motion in itself. At the same time, Mullâ Shadrâ accepted the definition of the soul provided by the peripatetic philosophers who define the soul as an immaterial substance, indivisible in its essence, and not of the same kind as material things. In its earthly or temporal plane of existence, the soul originated with the body, and has an essential and natural unity with that body, and cannot be escaped on this existential level. The connection between the soul and its body is similar to the connection between form and matter in that the two are mutually dependent upon each other for their own realization.6 The soul, as defining form for the matter of the body, represents the body’s final perfection and, Shadrâ says, is like its very “being” (wujûd), while the body is the soul’s “existence or existentiation” (maujûdiyyah); that is, the body facilitates the soul’s individuated and distinct existence apart from the undifferentiated wujûd of the Intellect, just as the soul individuates and distinguishes the body from undifferentiated matter. The body is moreover the means through which the privative soul can reach its own perfection, although Shadrâ cautions that the body should not be understood merely as an “instrument” at the disposal of the soul, as most previous philosophers have argued, for the connection between the soul and the body is stronger and more essential than the relationship between an agent and the instrument of his action.7 Through the process of trans-substantial motion, the soul traverses through the various levels or stations of being until it finally attains complete independence of all matter and potentiality and is capable of enjoying immortal life. According to the nature of soul and its various levels or stations, Shadrâ writes: The human soul has many levels and stations, from the beginning of its generation to the end of its goal; and it has certain essential states and modes of being. At first, it is a corporeal substance. Then it gradually becomes more and more intensified and develops through the different stages of its natural constitution until it subsists by itself and moves from this world to the other world, and so returns to its Lord. Thus, the soul is originated in a corporeal state, but endures in a spiritual state. The first thing to be generated in its state is a corporeal power; next is a natural form, then the sensible soul with its levels, then the cogitative and recollective; and then the rational soul.8 Sayyid Muhammad Khamenei, The Passions of the Soul in the Metamorphosis of Becoming, edited by Anna-Teresa Tymieniecka (London: Kluwer Academic Publisher, 2003), p. 18. 7 Maria Massi Dakake, “The Soul as Barzakh: Substantial Motion and Mullâ Shadrâ’s Theory of Becoming,” in The Muslim World, vol. 94, p. 107. 8 James Winston Morris, The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mullâ Shadrâ (Princeton: Princeton University Press, 1981), p. 131-132. 6

261


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Mullâ Shadrâ delineates the various stages of the development of the human soul from the vegetative soul (al-nafs al-nabâtiyyah) to the animal soul (al-nafs al-hayawâniyyah), and to the rational soul (al-nafs al-nâthiqah) with its practical intellect (al-‘aql al-‘amali) and theoretical intellect (al-nafs al-nazhâri) and to the subsequent stages of the development of the theoretical intellect from the intellect in potentiality (al-‘aql bi al-quwwah) to the intellect in actuality (al-‘aql bi al-fi‘il) which finally achieves union with the Active Intellect (al-‘aql al-fa‘âl).9 Shadrâ identifies the Active Intellect with the Holy Spirit (al-rûh alquds) or archangel Gabriel who is the Angel of Revelation in Islam. In order to attain the highest level of unity with the Active Intellect, human needs the Divine aid and grace.10 In addition to such process, Shadrâ contends that at each stage of its journey of becoming or ascent from a lower and less intense mode of being to a higher and more intense mode of being, the soul acquires a new set of faculties commensurable to its particular level or mode of being. To illustrate, as a mineral, it has the faculty of preserving its form. As a plant, it possesses the faculties of breeding, growth and the transformation of foreign substances into its own form. Then, as an animal it develops the faculties of motion and various forms of desire and the external senses. As a higher animal, the inner faculties of memory and imagination are added to its present set of faculties. Finally, as a human being, the five inner faculties are developed. These are the faculties of the perception of forms (hiss almusytarak), the apprehension (wahm) which perceives meanings, fantasy (khayyâl) which preserves forms, memory (dzâkirah) which preserves meanings and the faculties of imagination and thought. Mullâ Shadrâ contends that throughout these various stages of development, it is the one single soul which is involved. The faculties are not things added to the soul, rather they are the potential aspects of the soul becoming actualized.11 Turn to the distinction between the soul and the body, Mullâ Shadrâ sometimes refers to the capacity of the soul and the body to acquire forms and to deal with them independently. Following Ibn Sînâ and Suhrawardî, he maintains that the body can bear only one form or quality at a time; and, if it looses a quality, it cannot regain it without an external cause. But the soul can independently preserve, remember and reproduce any intelligible fort at any time. It is like a board containing various sciences and knowledge of innumerable objects. He also argues that man is capable of conceiving universals and intelligible forms which cannot be formed in the body. This is because the body is infinitely divisible; whereas an intelligible form is indivisible. In some extends, the development of the soul from an inanimate thing to vegetation, and then to animality and humanity are similar to the developments produced by heat in coal and iron. When iron is initially heated, it may be likened to the origins of vegetative life, when iron turns to hot red, it can be compared with the origins of animal life, and when iron is burned, it is like the origins of the rational faculty. The phenomenon is the same; it takes, however, various developmental forms. To be more details, see Khamanei, The Passions, p. 20. 10 Zailan Moris, Revelation, Intellectual Intuition and Reason in the Philosophy of Mullâ Shadrâ (London: Routledge, 2003), p. 156. 11 Ibid., p. 106. 9

262


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

Continuing his argument, Mullâ Shadrâ maintains that another evidence for duality of the soul and the body is their “opposite directions” in the process of development. While continuous and intense intellectual activities eventually lead the body to weakness, which may end in death and dissolution, they produce mental perfection and intellectual maturity. It is evident that it would be impossible for the same thing to be the cause of both the perfection and the destruction of a thing at the same time. Therefore, the soul or the mind is something other than the body. This is similar to what is offered in the classical argument in the Peripatetic tradition. They argue that intensive sense-perception eventually weakens the body, while intellectual activity brings the mind to maturity.12 In spite of this eagerness to prove a clear duality of the soul and the body, Mullâ Shadrâ attempts to show that an intimate and metaphysical link exists between them. He goes so far as to assert that the body and the soul are two levels of one existent. The body is the state or stage of hardness and heaviness for that being, whereas the soul constitutes a degree of lightness and subtlety. Here, one may ask how these two distinct existents come to be so intimately linked together. Leaving it unanswered, saying that it is a divine secret, Mullâ Shadrâ nevertheless gives an example. He states that just as the material of the wick gets ready to accept fire and then gradually becomes red and bright until it becomes luminous and burning, so the human sperm gets physically ready to accept the rational soul, which is a spark from heaven and then develops until it unites with the Active Intellect. As we shall see, Mullâ Shadrâ attempts to demonstrate that although the soul is an immaterial being, and quite distinct from body, its creation is based on a corporeal origination.13 Having said that, Shadrâ demonstrates that to prove the existence of the soul, one is not required to prove a being other than that of the body, for both of them (body and soul) exist through the same existence. Evidently, the body exists, and thus the existence of the soul is proved as well, for the soul is a faculty in the body. Thus, at the beginning of the origination of the soul and the body, the being of the soul is not separated from that of the body. It is like the existence of the accident, which is same as the existence of the substance in which the former is realized. The only difference is that once the substance is destroyed, the accident is destroyed as well; but when the body is destroyed, the soul will not perish, for the way in which the soul grows and perfects itself is other than the way of the body. Their beings are united in origination; in terms of substance, however, the change into two parallel beings.14 Another issue that is related to the soul is whether it has an eternal pre-existence (qadím), or whether it is created in time (hadits) just like the body. Moreover, if it is said to be a created existence, one may ask again whether the soul joins the body as a physical thing, which Abbas Ali Shameli, “A Comparative Study Concerning the Soul-body Problem in the Philosophical Psychology of Mullâ Shadrâ (1571-1640) and Ibn Sînâ (980-1037)” (Thesis, McGill University: Canada, 1995), p. 40. 13 Ibid., p. 41. 14 Khamanei, The Passions, p. 19. 12

263


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 then changes into an incorporeal existent, or it joins the body as a created incorporeal thing. Dealing with this issue, Mullâ Shadrâ maintains that the soul is physical only in its createdness (huduts) but changes gradually into immaterial quiddity after it has been created in the body.15 He argues that it is impossible for the soul to be eternal, since then it must pre-exist either in form of the soul or the intellect (‘aql). If it pre-exists in the form of the soul, it must be inactive (mu`awwal) waiting to connect to a body. If it rather pre-exists as an intellect, how can it bear any new accident when it is actual, without having any potentiality. In addition to this notion, Shadrâ argues that if the soul existed before the body, then there would have to be either a plurality of souls or one soul. The plurality of the souls, he claims, is impossible since in their prior existence they are immaterial and since matter is the individuating principle, these souls cannot be many. However, the supposition of one soul is equally impossible. In this sense, we cannot say that the soul of an individual like Joseph would be identical with soul of an individual like Salomon. If, then, in the supposed prior existence there can be neither a plurality of souls nor one soul, the prior existence of the soul to the body is impossible. Thereby, the soul cannot exist before the body but must exist with body.16 In line with this argument, Shadrâ explicitly writes in Kitâb al-’Arsyiyyah: The soul of Adam has a form of existence preceding the body, without this entailing the transmigration of souls, and without necessitating the pre-eternity of the (individual) soul, which is the well-known view of Plato. This (mode of pre-existence) does not require a multiplicity of individuals of a single species or their differentiation without reference to any matter or (material) preparedness; nor does it entail the soul’s being divided after having been one, in the manner of continuous quantities; nor does it presume the soul’s inactivity before (being connected with) bodies. Rather, soul’s pre-existence is as we have indicated and explained in our commentary on Hikmat al-Ishrâq in a way that cannot be surpassed.17 In addition to soul-body problem, Shadrâ Shadrâ avoids the dualism of his Platonic and Isyrâqi predecessors, who would see the body as dark, dead, lifeless matter, or as something that imprisons the soul. Rather, for Shadrâ, the body has an organic connection with the soul until the moment of death, which can be viewed as positive and nurturing, rather than simply limiting and inhibitive. He admits that the soul initially depends upon the body for the In Kitâb ‘Arshiyya, Shadrâ summarized this ideas by saying that the soul originates as body but subsists as spirit; jasmâniyyat al-huduth rûhâniyyat al-baqâ. In the beginning, the soul is connected with the body and is a corporeal substance, however, through the process of trans-substantial motion, the soul becomes gradually intensified and its mode of existence or being is likewise transformed until it attains independence from the body and finally subsists as spirit and returns to its Lord. For further information on this topic, see Mullâ Shadrâ, Kitab al-’Arsyiyyah (Beirut: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 2000), p. 33. 16 Shameli, “A Comparative,” p. 42. 17 Morris, The Wisdom, p. 140. 15

264


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

manifestation of its faculties. However, the soul eventually becomes independent of the body, such that the body’s passing away does not harm the soul, nor does it in any way compromise those faculties of the soul once facilitated by the body—such as the senses. For Shadrâ, those senses continue on the psychic plane, even after the death of the body. Thus, Shadrâ takes the position that the pleasures and torments of the next life will be experiences purely on the psychic level—not on the physical level as asserted by most Ash‘arite theologians, nor on a purely intellectual level, as asserted by many Islamic philosophers.

Shadrâ’s Philosophical Reflection on Bodily Resurrection As we have seen in the above discussion, Shadrâ’s theory of the soul and its transformation is characterized above all by the notion of fluidity and the rejection of any notion of ontological divisibility or discontinuity for the soul in its many faculties and levels of existence. He mentions that in the process of the soul’s realization of higher states, and at every progressive stage, the soul’s wujûd becomes “another wujûd.” This new “wujûd” is not really “new” in the sense of being created at every point of progress. Rather, for Shadrâ, all of the levels of wujûd are integrally related to one another such that, as we have seen, the relationship between the higher and lower intensities or degrees of wujûd is precisely the relationship of the cause to its effect. The lesser intensities of wujûd are contained within and emanate from the higher, just as the effect is contained within and emanates from its cause. The movement through higher and higher intensities of wujûd is ultimately nothing more than a re-integration of the lower levels of wujûd within the higher ones from which they had originally emerged.18 Accordingly, Mullâ Shadrâ avoids the transmigration of the soul.19 In line with his theory of trans-substantial motion, he argues that the process of human becoming is an irreversible progress and cannot be seen as a movement from a more perfect or developed to a less perfect and undeveloped rank of existence. A being, like a human soul in a developed human body, is not expected to take an animal body, which is less perfect than a human body and is at a lower rank of being. In other words, demotion in trans-substantial change is not only absurd but impossible.20 However, Shadrâ realizes that the human souls that achieve perfection are very extremely few in number. The vast majorities of individual souls are imperfect and have not accomplished the highest level of intellectual perfection Dakake, “The Soul,” p. 122. Shadrâ’s denial of the transmigration of the soul is surrounded by certain serious problems, some of which arise from religious texts and others from certain philosophic views concerning the destiny of undeveloped human soul. Among the religious difficulties are statements in the Qur’an that a group of people, because of their bad deeds, were changed into monkeys and pigs by God. The problem is that religious text seemingly recognizes the transmigration of the human souls with another body. To be more details, see Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullâ Shadrâ (Albany, NY: State University of New York Press, 1975), p. 248. 20 Ibid. 18 19

265


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 which is united to the Active Intellect. Elsewhere in Kitâb al-‘Arshiyyah, Shadrâ also rejects Aristotle’s and Alexander Aphrodisias’s21 thought which asserts that only the intellect in man to be immortal and therefore only that part of the human soul which has become actualized in the intelligible world to survive death. The question is how Shadrâ solve this problem? Mullâ Shadrâ’s treatment of this matter takes the middle position between the views of those who believe in the survival of the intellect after death, and those who accept the survival of the body as well. According to Shadrâ, Alexander Aphrodisias was wrongly to suppose that there exist only two kinds of worlds: the world of material bodies and the world of intellects. Consequently, there is no place for imperfect souls which have no become fully actualized. In response to this supposition, Shadrâ asserts that there is an imaginal world22 which is intermediate between the spiritual and sensible worlds. All the souls which have not attained perfection or unity with the Active Intellect will be placed in the intermediate world. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ explicitly writes: But it is not like that (Shadrâ is referring to Aphrodisias’s supposition). Instead, there is another world of being, alive and sensible (mahsûsah) by essence, unlike this (physical) world—a world that is perceived by these true (inner) senses (al-hawâs haqíqah), not by these transient external ones (al-hawâs al-dzâhirah). That world is divided into a sensible Paradise (al-jannah al- mahsûsah) containing the felicities of the blessed (na‘ím al-su‘adâ), including food, drink, marriage, sensual desire and all that could delight the soul and give pleasure to the eyes; and a sensible Hell (nâr mahsûsah) containing the punishments of the wretched (‘adzâb al-‘asyqiyâ`), including hellfire, torments, serpents and scorpions. If this imaginal world did not exist, what Alexander Aphrodisias mentioned would be undeniably true and that would mean that the Sacred Laws (syar‘iyyah) and divine books (al-kutub al-ilâhiyyah) were lying when they maintained the resurrection (ba’ats) for everyone.23 Alexander Aphrodisias (Iskandar Afradisy) is one of Neo-Platonic commentators whose works were very popular among Muslim philosophers. His commentaries were translated into Arabic along with the actual Aristotelean corpus. They contained some controversial issues among Islamic, Jewish, and Latin Christian philosophers. For further information, see Moris, Revelation, p. 149. 22 The central importance of the imaginal world in Islamic metaphysical discourse was brought out for the first time by Ibn ‘Arabi and then Suhrawardî. Mullâ Shadrâ expands the metaphysics of this world and brings out its epistemological, eschatological, and cosmological significance in a masterly way. By definition, the imaginal world is the intermediate world residing ontologically between the physical and the purely intellectual. In Shadrâ’s philosophy, the exposition of the imaginal world was integrated with his general ontology which are the unity of existence (wahdat al-wujûd), primacy of existence (awalat al-wujûd), and gradation of existence (tashkík al-wujûd). For further information, see Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), p. 230. 23 Shadrâ, Kitab al-’Arsyiyyah, p. 44. 21

266


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

Spiritual World

Imaginal World

Sensible World

The world of intellects

Trans‐substantial motion

Trans‐substantial motion

Physical world

According to such ideas, the bodies of the undeveloped souls, the souls that have committed sins, deteriorate at the time of death and are not reassembled as before. In order to survive physically, they create a material body for themselves by externalizing their inner psychic states in the form of a body in the imaginal world, where all psychic states and dispositions are transformed into concrete images. It is in the imaginal world that the souls will experience certain eschatological events described in the Qur’an and the Hadith.24 Shadrâ’s classification on spiritual, imaginal, sensible worlds can be illustrated as follows: In addition to such description, there are two essential themes largely discussed in the Kitâb al-’Arsyiyyah which are related to the issue of resurrection: (1) the nature of the human soul and its incredible potentiality, and (2) the immortality of the imaginative power of the human soul. According to the nature of human soul, Shadrâ asserts that the human soul is the conjunction of the terminal point of the sensible world and the initial point of the spiritual world. It has capacity to of having control over the sensible world and the capacity of entering into the spiritual world. For this notion, Shadrâ writes: The human soul is the fastest of all generated things so far as its changes in the physical, psychic, and intellective modalities of being. In the initial stages of its fundamental generated of nature, the soul is the ending of the sensible world (nihâyat al-‘âlam al-mahsûsah) and the starting of the spiritual world (bidâyat al-‘âlam al-rûhâniyyah). It is the greatest gateway to God (bâb allah al-a‘lâm), through which one can be brought to the Highest Kingdom (al-malakût al-A‘lâ). However, it also has all of the gates to the Hell. It is the separator standing between this world (al-dunyâ) and the other world (al- âkhirâh) because it is the form (shûrah) of every potency (quwwâh) in this world and the matter (mâddah) for every form in another world. Thus, the soul is the junction of the two seas

Rahman, The Philosophy, p. 248.

24

267


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 of corporeal and spiritual things; its being the last of the corporeal realities is a sign of its being the first of the spiritual ones.25 On the immortality of the imaginative power (quwwâh khayyâliyyah) of the human soul, Shadrâ contends that it is a substance which is independent of the sensible world; it is immaterial and immortal and it does not die when the body dies. Though the imaginative power is of a substance which is independent of the sensible world, it is not without connection to it. Shadrâ asserts that the imaginative power is not totally independent of the worlds of generated being (kawnain) which are this world and the next world. If the imaginative power were to be totally independent of both worlds, then it would be pure intellect (‘aql) or spirit. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ states: In man, the imaginal power is a substance which is independent of this world (jawhar mujarrad), that is, the world of physical beings (al-akwân al-tabi‘iyyah), the motions (harakah), and transformations of the material things. We set forth decisive proofs about this matter in our book al-Asfâr al-Arba‘ah. But this power is not totally independent of generated being (al-kawnain), since in that case it would have to be pure intellect (‘aql) and object of intellection (ma‘qûl).26 For Shadrâ, the imaginative power belongs to or is a part of the imaginal world. The imaginative power has it locus in the human soul. The relation between the imaginative power and the soul is not in the manner is not something inhering in another thing but in the way an act is related to its agent. The fundamental role of imaginative power is to perceive the imaginal forms.27 The complete manifestation of the imaginal forms and the imaginative power will be experienced fully after death when the soul is separated from the body. In the posthumous state, the individual will perceive the full manifestation and intensity of the imaginal forms and come to realize that the sensible forms of the material world are weaker and less real, relative to the imaginal forms. According to such ideas, Shadrâ says: The complete manifestation of these forms and the perfection of these forms and the perfection of the power of their being occur only after death. This is true to such a degree that compared to the forms man will see after death, the forms he sees in this world are like dreams. This is why the Commander of the truly faithful (Imam Ali) said: “Mankind Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 42-43. Ibid., p. 36. 27 The imaginal form is a level of being which is higher and more intense than that of the sensible world. The imaginal form is a kind of phantom image with objective existence or reality. For majority of the people, the imaginal forms are hidden from them and if manifested in the dream state are often weak due to their souls’ immense attachment with the body. According to Mullâ Shadrâ, the degree of manifestation (zuhûr) or hiddennesss (khifâ’) and intensity (shadda) or weakness (da’ íf) of the imaginal form which are perceived by the imaginative power is dependent on the strength of the imaginative power itself. To be more details, see Shadrâ, Kitab al-’Arsyiyyah, p. 37. 25 26

268


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

are sleeping; when they die, they awaken.” Then the unseen becomes immediate vision. This is the secret of the return and the resurrection of the body.28 In observing Imam ‘Ali’s Hadith which is stated above, Shadrâ contends that the natures of forms in the Afterlife, while resembling the imaginal forms experienced in our dream state or in mirrors in this life, are not essentially the same. The existence of things in the Afterlife, although resembling the existence of forms which people see in sleep or in a mirror in one respect, are not so in actuality. This is due to the fact that in the Afterlife, the things people see and experience are imaginal representations of the fruits of their actions in this world. But those forms which appear to us in sleep are not real in the way the images we experience in our waking state are, nor are they real in the way the forms presented to us in the Afterlife will be. Because of these considerations, Shadrâ goes on to say that the existent form which appears in sleep and in the mirror is an impotent thing whose appearance is pure fancy. Dreams imaginally represent to the dreamer the contents of his conscience. The same idea holds true for objects reflected in mirrors. The reflection of an object in a mirror is not the object itself. At the same time, it does capture something of the true nature of the object placed before the mirror. If it were otherwise, people would not, for example, brush their hair in front of mirrors, nor would they rely upon them for any representations of reality. The forms people receive in their dreams and in mirrors are therefore both real and unreal. In the Afterlife, those things which are the imaginalizations of our actions in this world, or, rather, the things which are represented to us as the physical manifestations of our deeds here on earth, also reflect something of the reality with which we were engaged in the previous world. On the other hand, these forms are not simply representations, as are the objects reflected in mirrors or those images produced in dreams. They are more real than either of these, since these forms belong to a different order of reality.29 The question is how are those forms represented to us in the Afterlife? To this question, Shadrâ states that when the soul is separated from the body, it carries along with itself the perceiving form which enables it to perceive sensible things through its inner sense (hissi al-bâthin). Therefore, although at death the soul is separated from the body and the external senses, the soul continues to perceive forms through its inner senses. At the same time, the imaginative power will originate imaginal forms by its own volition (irâdah). Concerning the origination of the form, Shadrâ states that it can be created by an individual either with the appropriate material or without the presence of the necessary materials. He supports this notion by giving the example of God’s creation of the planets and heavenly bodies which are created from nothing. In his interpretation, the term ibda‘ which is used Ibid. Mohammed Rustom, “Psychology, Eschatology, and Imagination in Mullâ Shadrâ Shirazi’s Commentary on the Hadith of Awakening,” in Islam & Science, Vol. XXXII, p. 10. 28

29

269


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 by many philosophers refers to God’s act of creating or originating something from nothing. In Shadrâ’s account, the soul is endowed by God with a similar power to originate forms from nothing. The imaginal forms which are originated from nothing by the human soul exist in the soul. For Shadrâ, these imaginal forms, once again, are more substantial, more firmly established and permanent in their reality than material forms which are constantly changing and being regenerated.30 Based on such reflective thoughts, Shadrâ rejects the transmigrationists’s claims which state that the union of the soul with the body in the hereafter is religiously supported, and since the body will be resurrected is not the same body to which the soul was related in its earthly existence, it clearly implies some kind of transmigration of the soul. To this claim, Shadrâ replies that that body, being a symbolic expression of the soul’s inner states, has no potentialities like the earthly body and possesses no existence of its own. It is a mere symbol of the soul and is related to the soul as a reflection or a shadow; it has no independent status or nature of its own. The opponent can say that the statements of the Qur’an apparently say that the body in hereafter will be the same earthly body and not a merely symbolic one. Shadrâ admits that this is so but adds that that body will have the same form as this earthly body and not the matter of the earthly body. Even in this earthly body, its identity is preserved by its form not by its matter, which is continuously changing. The body of a human at any given moment in this life is really its identical form plus an indeterminate matter. In the hereafter, this body will be pure physical form without matter—but that physical form will preserve the identity of this body.31 The complete arguments of Mullâ Shadrâ concerning the necessity and the possibility of bodily resurrection could be found in Kitâb al-‘Arsyiyyah. At the beginning of his second illumination about the true reality of the return and the manner of the bodily resurrection, he provides seven philosophical premises which are consistent with our previous discussion. The seven premises32 can be summarized as follows: 1. The subsistence of everything is by virtue of its form, not is matter. In this sense, the form is the actual ground of its quiddity, the completion of its reality, and the source of its ultimate differentia. Thus, although we suppose that form to be separate from its matter, the thing itself would remain regardless of that separation. 2. The individual identity of things is independent on their particular matter. According to Mullâ Shadrâ, the individual identity of a thing is an expression for its particular mode of being, whether it is material or separate from matter. For instance, Zayd is possible Moris, Revelation, p. 162. Rahman, The Philosophy, p. 249. 32 Shadrâ claims that his arguments on bodily resurrection were built upon the divine book (al-kitâb al-ilâhiyyah) and philosophical reflections. At the beginning of his arguments, he quotes some verses of the Holy Qur’an which are related to necessity of bodily resurrection. To see the full version of his argumentations, see Morris, The Wisdom, p. 153-157. 30 31

270


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

to change in position, quantity, qualities, and location in time and space; however, he is still precisely as Zayd. 3. The being remains one throughout the stages of its transformation, and that higher level of being subsume the lower. In order to achieve perfection, individual being always changes and transforms to a higher level of its position. The individuation of a being is an aspect which is continually transformed and intensified in its substantiality through a continuous motion with the property of continuous unity. Since it is one in continuity, it is also one with respect to its being and its individuation. 4. The soul originates forms of being by pure intention, without material preparedness. Without any association with a material container, location and preparedness, the forms may occur by immediate creation thorough the conceptions and formative directions of the maker (God). The forms subsist through the soul and exist in the domain of the soul. 5. The imaginal power of the soul is a substance essentially separate from the body. As has been mentioned, the imaginal power in man is a substance whose being is actually and essentially separate from this sensible body and physical frame. The imaginal power remains regardless the collapse and decline of the bodily frame. The separation of soul and body does not penetrate to its essence and its perceptions. 6. The soul’s perceptions are essentially of its own world, only accidentally related to physical forms. The soul’s perceptions, whether in this world or in the other world, are not things separate from his essence and different from his individuation. Its perception only exists in his essence, not in something else. The need of material things in perceiving imaginal forms of the soul is only at the very beginning of the development of sensation. Thus, in the state of separation between soul and body, there is nothing to prevent the soul from perceiving all that it perceives and senses in this life. 7. The soul can directly affect the body. The soul can directly cause external affects. In this case, Shadrâ points out some example in our daily lives. For him, frightened, embarrassing, and excitement of something are examples of how soul can directly affect our bodies. Having provided the philosophical argumentations of the necessity of the bodily resurrection, Shadrâ goes on to discuss the difference in mode of being between bodies in this world and those of the world to come. In Kitâb al-’Arsyiyyah, he presents six aspects of those differences: 1. Everybody in the other world is animated and alive, whereas in our world, there are bodies deprived of life and consciousness, and where living bodies never have more than an accidental and ephemeral life. In his own words, Shadrâ writes: …everybody in the other world possesses the spirit of life, and indeed is living by its very essence; one cannot even conceive of a body there not having life. That is quite different from this world, where there are many bodies that do not possess life and 271


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 consciousness—and even in those that do have life, their life is something that occurs to them accidentally and is added to them.33 2. The bodies of this world receive their souls at the end of a process that makes them fit to receive them, whereas the souls of the other world produce their own bodies in accordance with their own needs. In his own words, Shadrâ states: …the bodies in this world are receptive to their souls by way of their material preparedness, while souls in the other world make their own bodies, by way of immediate affirmation. Here, bodies and materials gradually ascend, according to their states of preparedness and transformations, until they attain to the ranks of souls. But in the other world, the command of creation and life descends from souls into bodies.34 3. In this world, the potentiality is chronologically antecedent to an actuality, while the actuality is ontologically antecedent to potentiality. In the other world, the potentiality is chronologically and ontologically antecedent to actuality. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ explicitly explains, “…in this world, potentiality precedes actuality in time, while the actuality is prior to the potentiality in essence. But there, the potentiality is prior to the actuality both in essence and in being.”35 4. In this world, the actuality is nobler than potentiality because it is its fulfillment, whereas in the other world, the potentiality is nobler than the actuality since it is that which produces the actuality. In Kitâb al-’Arsyiyyah, Shadrâ states, “Here, actuality is more exalted than potentiality since it is the end (the final cause) of the potentiality. But there, potentiality is more exalted than actuality, since it is the potentiality that actually makes the actuality.”36 5. Bodies and volume are in finite in the other world since they originate from the imaginations and perceptions of souls, which are both infinite. According to this view, Shadrâ writes: The bodies and objects of the other world are infinite, according to the number of conceptions and perceptions of souls. It is because the proofs for the finitude of (physical) dimensions do not apply to that world, but only within the confines and dimensions of material things. Nor (despite the unlimited number of bodies) is there any crowding or interference between things in the other world. And nothing there is in a direction “inside” or “outside” of anything else.37 6. The bodies of the other world and all of its marvels exist through a single being since each of them encompasses these things as a support from God. In his own words, Shadrâ asserts: Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 54. Ibid. 35 Ibid. 36 Morris, The Wisdom, p. 165. 37 Shadrâ, Kitâb al-’Arsyiyyah, p. 54. 33 34

272


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

…the bodies of the other world and all of its marvels, including the gardens, rivers, chambers, dwellings, palaces, pure companions, houris, and all of the other attendants, servants, slaves, and retinues of the people of Paradise—all of these exist though a single being, which is the being of each man among the people of blessedness. This is because each of them encompasses these things as a support from God and lodging from the Forgiving, the Merciful.38 In addition to such argumentations, Shadrâ also discusses three more topics which are related to the issue of bodily resurrection. The first issue is concerning the true nature of the other world of the soul. The second issue is concerning of his refutation to those who deny the Return and the resurrection of the body. The third issue is concerning what survives of the parts of a man in the other world. I will not go further on to talk about these issues since they have been discussed intensely prior to this section. It seems to me that what we have discussed so far is enough to know Shadrâ’s very basic philosophical reflection on bodily resurrection.

Conclusion The issue of eschatology and the afterlife is a fundamental instrument of Islamic faith. In the history of Islamic philosophy, there are many Muslim philosophers who have tried to provide the philosophical arguments regarding the necessity of spiritual and bodily resurrection. Of those philosophers, Mullâ Shadrâ (1572-1640) provides the most plausible arguments that we can study today. Mullâ Shadrâ begins his argument by examining the fundamental meaning of reality. In doing so, he turned his philosophy from the primary of essence (ashalah al-mâhiyah) to primacy of existence (ashalah al-wujûd). Based on his principle of the primacy of existence, Shadrâ goes on to next principle which is called al-harakah al-jawhâriyyah (trans-substantial motion). According to this principle, all existents in the world of nature are essentially transformable, and changeable, and all their parts are continually in the process of creation and extinction. This is what it is called the philosophy of becoming. In line with such notion, Mullâ Shadrâ asserts that the process of human becoming is an irreversible progression and cannot be seen as a movement from a more perfect or developed to a less perfect and undeveloped rank of existence. A being, like a human soul in a developed human body, is not expected to take an animal body, which is less perfect than a human body and is at a lower rank of being. In other words, demotion in trans-substantial change is not only absurd but impossible. However, Shadrâ realizes that the human souls that achieve perfection are very extremely few in number. The vast majorities of individual souls are imperfect and have not accomplished the highest level of intellectual perfection which is united to the Active Intellect. In response to such fact, Mullâ Shadrâ asserts that there is an imaginal world which is intermediate Ibid., p. 55

38

273


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 between the spiritual and sensible worlds. All the souls which have not attained perfection or unity with the Active Intellect will be placed in the intermediate world. In his effort to prove the necessity of bodily resurrection, Shadrâ introduces the imaginative power (quwwâh khayyaliyah) which is a substance, immaterial, immortal, independent of the sensible world, and does not die when the body dies. The fundamental role of imaginative power is to perceive the imaginal forms. According to Shadrâ, when the soul is separated from the body, it carries along with itself the perceiving form which enables it to perceive sensible things through it inner sense (hissi al-bathin). At the same time, the imaginative power will originate imaginal forms by its own volition. These imaginal forms are more substantial, more firmly established and permanent in their reality than material forms which are constantly changing and being regenerated. With regard to such ideas, the body which will be resurrected in the afterlife is a kind of symbolic expression of the soul’s inner state. That is why it has no potentialities like the earthly body and it possesses no existence of its own. However, the body will have the same form as this earthly body and not the matter of the earthly body. For Shadrâ, even in this earthly body, its identity is preserved by its form, not by its matter. In this sense, body of a human in this life is really its identical form plus an indeterminate matter. So, in the hereafter, this body will be pure physical form without matter—but that physical form will preserve the identity of this body.

References Chittick, William C. “Eschatology,” in Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality Foundations. New York: Crossroad, 1987. Dakake, Maria Massi. “The Soul as Barzakh: Substantial Motion and Mullâ Shadrâ’s Theory of Becoming.” in The Muslim World, Vol. 94, 2004. Dennett, Daniel C. Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon. New York: Viking, 2006. Hamid, Idris Samawi. Islam Dynamic: The Cosmology and Spirituality of Walayah. New York: State University of New York Press, 2008. Khamenei, Sayyid Muhammad. “Phenomenology of Soul in Mullâ Shadrâ’s School,” in Anna-Teresa Tymieniecka (ed.). The Passions of the Soul in the Metamorphosis of Becoming. London: Kluwer Academic Publisher, 2003. Moris, Zailan. Revelation, Intellectual Intuition and Reason in the Philosophy of Mullâ Shadrâ. London: Routledge, 2003. Morris, James Winston. The Wisdom of the Throne: An Introduction to the Philosophy of Mullâ Shadrâ. Princeton: Princeton University Press, 1981. Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. Albany: State University of New York Press, 2006. 274


Saleh P. Daulay: Philosophical Arguments for Bodily Resurrection

Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mullâ Shadrâ. Albany, NY: State University of New York Press, 1975. Rustom, Mohammed. “Psychology, Eschatology, and Imagination in Mullâ Shadrâ Shirazi’s Commentary on the Hadith of Awakening,” in Islam & Science, 2007. Shadrâ, Mullâ. Kitab al-‘Arsyiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 2000. Shameli, Abbas Ali. A Comparative Study Concerning the Soul-body Problem in the Philosophical Psychology of Mullâ Shadrâ (1571-1640) and Ibn Sînâ (980-1037). Thesis. McGill University: Canada, 1995. Thiselton, Anthony C. A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion. Oxford: Oneworld, 2002.

275



MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: Upaya Membangun Harmoni Teologi, Etika, dan Hukum Syamruddin Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Jl. K.H. Ahmad Dahlan 94 Kecamatan Suka Jadi, Pekanbaru, 28129 e-mail: mukhtarsyah@yahoo.co.id

Abstrak: Tulisan ini mencoba mendiskusikan teori hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman mencakup kritik Rahman terhadap teori sebelumnya, baik tradisional maupun kontemporer. Penulis menemukan bahwa Rahman menekankan pentingnya memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Rahman juga membedakan antara hukum umum (prinsip) dan hukum temporal, dan menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks untuk memahami al-Qur’an secara tepat. Penulis berargumen bahwa tujuan akhir teori Rahman adalah untuk membangun harmonisasi tiga aspek ajaran Islam dalam ranah hukum, etika dan hukum yang harus saling mendukung antara satu sama lain, yang didasarkan pada tiga prinsip dasar tatanan hubungan manusia yakni egalitarianisme, keadilan dan konsultasi mutual. Abstract: Fazlur Rahman’s Hermeneutics: An effort to Build Harmony Between Theology, Ethics and Law. This paper attempts to discuss the hermeneutical theory proposed by Fazlur Rahman. It includes therefore the discussion of Rahman’s critique on the existing theories both traditional and contemporary ones. The author finds that Rahman emphasizes the importance of understanding al-Qur’an integrally as a single whole. He also distinguishes between general laws and temporary laws as well as stresses the importance of considering context to understanding al-Qur’an correctly. The author argues that the ultimate purpose of the theory is to build a harmony among three aspects of Islamic teaching: law, ethics, and theology, each of which has to support one another. In addition, there are three principles on which laws on human relation have to be built, namely egalitarianism, justice, and mutual consultation.

Kata Kunci: Al-Qur’an, hermeneutika, Fazlur Rahman, penafsiran

Pendahuluan Ada tiga hal yang membedakan teori hermeneutika Fazlur Rahman dibandingkan dengan teori pemikir (scholars, ‘ulamâ`) lainnya. Pertama, perbedaan pendekatan dalam kajian. Konsep umum menggunakan pendekatan parsial/atomistik (juz‘î), sementara Rahman 276


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

menggunakan pendekatan holistik (kullî). Dengan kata lain, salah satu ciri hermeneutika Fazlur Rahman adalah pemahaman al-Qur’an secara keseluruhan (holistik). Rahman menyatakan, “satu bagian al-Qur’an menafsirkan bagian yang lain” atau “sekian bagian yang ada dalam al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain” (al-Qur’an yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan).1 Kedua, perbedaan penemuan Rahman dengan ulama lain dan merupakan kunci dasar hermeneutika Rahman adalah, beliau membedakan nash menjadi dua kelompok, yakni hukum umum di satu sisi dan hukum temporal di sisi lain. Sementara ulama pada umumnya tidak membedakan hal tersebut. Ketiga adalah penekanan Rahman tentang pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an. Dalam satu kesempatan Rahman menjelaskan, “pada kenyataannya al-Qur’an adalah seperti ujung gunung es, di mana sembilan persepuluh yang terendam di bawah air dan hanya sepersepuluh yang terlihat.”2 Rahman yang penekanannya pada pemahaman al-Qur’an secara holistik (kullî) menempatkan teorinya sebagai pendekatan holistik (kullî). Demikian pula penekanan Rahman pada pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an menempatkannya sebagai seorang kontekstualis. Tamara Sonn menyatakan, metode yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman untuk mencapai pemahaman yang tepat dari prinsip Islam adalah salah satu kontribusi Rahman paling signifikan dan sangat mempengaruhi pemikiran dunia Islam.3 Tulisan ini mencoba menjelaskan teori hermeneutika Rahman. Setelah pendahuluan diikuti dengan deskripsi kritik Rahman terhadap teori sebelumnya, baik tradisional maupun kontemporer. Pada bagian berikutnya merupakan deskripsi tentang penekanan Rahman terhadap pentingnya memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan menjadi satu kesatuan yang utuh, dan merupakan ciri pertama hermeneutika Rahman. Bahasan diikuti dengan penjelasan tentang pembedaan antara hukum umum (prinsip) dan hukum temporal. Bahasan kemudian dilanjutkan dengan karakter ketiga, pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an.

Kritik Rahman tentang Metode Tafsir Fazlur Rahman adalah seorang filosof Pakistan, pendidik dan pembaharu Islam terkemuka. Rahman lahir di Pakistan pada 1919, dan memperoleh gelar master dalam bahasa Arab dari Universitas Punjab, Lahore, pada tahun 1942, dan gelar doktor dalam Filsafat Islam dari Oxford University pada tahun 1949. Beliau juga menjadi Dosen di Studi Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham Institut Agama Islam 1958-1961, dan pernah berkunjung ke Pakistan sebagai profesor di Pusat Penelitian Institut Agama Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an,” dalam Afkar Inquiry: Magazine of Events and Ideas, May 1986, h. 45. 2 Ibid, h. 46. 3 Tamara Sonn, “Fazlur Rahman’s Islamic Methodology,” dalam Muslim World, No. 81, No.34 (July-October, 1991), h. 213. 1

277


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Islam 1961-1962. Ia meninggalkan Pakistan karena kritik dan pemikirannya yang reformis, ia kemudian diangkat menjadi Visiting Profesor di University of California, Los Angles, pada musim semi 1969. Pada musim gugur dia pergi ke Universitas Chicago dan diangkat sebagai Profesor Pemikiran Islam. Meskipun awalnya Rahman mencapai ketenaran internasional di bidang filsafat, dengan publikasi Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam (1958) dan Avicenna’s De Anima (1959), dia terkenal karena karya rintisannya di dalam hermeneutika Islam. Rahman meninggal dunia pada bulan Juli 1988.4 Fazlur Rahman yang tercatat sebagai sarjana pertama secara sistematis memperkenalkan penafsiran holistik, tidak secara eksplisit menyebut teorinya ‘holistik’. Dalam satu kesempatan Rahman menyebutnya sebagai pendekatan sejarah, dan dalam artikel yang sama disebutkan pendekatan sosiologis.5 Sedangkan di kertas lain disebut sebagai teori hermeneutis.6 Bahkan Abdullah Saeed menyebut Rahman sebagai seorang kontekstualis.7 Untuk menempatkan konsep Fazlur Rahman dengan benar, adalah penting untuk memahami komentar dan kritik Rahman terhadap teori-teori sebelumnya. Rahman mengkritik metode penafsiran klasik dan pertengahan yang menggunakan pendekatan atomistik, yaitu memahami atau menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat. Terkait dengan kritiknya tersebut, Rahman menyatakan: The classical and medieval commentators of the Qur’an have treated the Qur’an verse by verse; although sometimes they give cross-references to other verses of the Qur’an while commenting upon a verse, this has not been done systematically. The Qur’an commentaries therefore do not yield an effective ‘weltanschauung’ that is cohesive and meaningful for 4 Tamara Sonn, “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, diedit oleh John L. Esposito (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995) III: 408; Donald L. Berry, “Fazlur Rahman: A Life in Review,” dalam The Shaping of An American Islamic Discourse, diedit oleh Earle H. Waugh and Frederick M. Denny (Atlanta and Georgia: Scholars Press, 1998), h. 37-48. 5 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. I (1970), h. 329-330. Dalam bahasa Rahman, “a sober and honest historical approach must be used for finding the meaning of the Qur’anic text. The metaphysical aspect of Qur’anic teaching may not lend itself very easily to historical treatment, but the sociological part certainly will”. Ibid., h. 329; “difficulties and difference of interpretation will undoubtedly also on this sociological approach, but it is the only approach that can also lead to satisfactory solutions”. Ibid., h. 330. 6 Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45. Dalam bahasa Rahman, “Nevertheless there is a dire need for a hermeneutical theory that will help us understand the meaning of the Qur’an as a whole so that both the theological section of the Qur’an and its ethical and ethicolegal parts become a unified whole”. Ibid.; Selanjutnya dikatakan, “But the method of Qur’anic hermeneutics I am talking about is concerned with an understanding of its message that will enable those who have faith in it and want to live by its guidance - in both their individual and collective lives - to do so coherently and meaningfully”. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982), h. 4. 7 Abdullaah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London & New York: Routledge, 2006), h. 3, 6, 128.

278


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

life as a whole”.8 Artinya, para penafsir klasik dan pertengahan menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat. Walaupun kadang-kadang mufasir menghubungkan pembahasan dengan ayat lain, namun dilakukan bukan secara sistematis. Akibatnya, tafsiran al-Qur’an tidak menghasilkan ‘weltanschauung’ yang efektif, kohesif dan bermakna bagi kehidupan dalam segala aspek. Di tempat lain Rahman menulis, “there was a general failure to understand the underlying unity of the Qur’an, coupled with a practical insistence upon fixing on the words of various verses in isolation. The result of this “atomistic” approach was that laws were often derived from verses that were not at all legal in intent”.9 Artinya, ‘‘ada kegagalan umum dalam memahami kesatuan al-Qur’an, ditambah dengan desakan praktis memahami ayat al-Qur’an secara terpisah. Hasil pendekatan ‘atomistik’ ini sering mengambil dan menetapkan hukum dari ayat-ayat yang sebenarnya bukan bermuatan hukum”. Menurut Rahman, al-Qur’an sendiri menegaskan secara jelas bahwa al-Qur’an adalah sumber ajaran yang sangat terintegrasi dan kohesif: The contention that certainty belongs not to the meanings of particular verses of the Qur’an and their content but to the Qur’an as a whole, that is, as a set of coherent principles or values where the total teaching will converge, might appear shocking to many Muslims who have been for centuries habituated to think of the laws of the Qur’an in a discrete, atomistic, and totally unintegrated manner (even though the Qur’an loudly proclaims that it is a highly integrated and cohesive body of teaching).10 Artinya, bahwa kepastian bukan dari ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an melainkan isi al-Qur’an secara keseluruhan. Prinsip atau nilai koheren ini mungkin mengejutkan banyak muslim karena telah berabad-abad terbiasa memahami al-Qur’an secara terpisah-pisah (atomistik), dan benar-benar tidak terintegrasi, meskipun al-Qur’an tegas menyatakan bahwa alQur’an adalah sumber ajaran yang sangat terintegrasi dan kohesif. Salah satu contoh akibat negatif dari penggunaan pendekatan atomistik, pada saat yang sama menunjukkan pentingnya pemahaman yang koheren, adalah dalam hukum pembunuhan. Al-Qur’an memberikan dua kemungkinan hukuman bagi pembunuh, yakni membayar diyat atau dibunuh (qishas), dengan menambahkan bahwa memberikan ampunan lebih baik. Menurut Rahman, semua ahli hukum menyimpulkan bahwa pembunuhan masuk ke dalam kejahatan pribadi, yang karenanya hukumannya tergantung pada keluarga yang ditinggalkan, apakah pembunuh akan diampuni, membayar diyat, atau dihukum bunuh. Padahal al-Qur’an menetapkan prinsip yang lebih umum bahwa, ‘seseorang yang membunuh orang lain di bumi tanpa alasan atau bukan masa perang, seakan ia telah membunuh semua umat manusia’ (sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Mâ`idah/5: Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45. Rahman, Islam and Modernity, h. 2-3. 10 Ibid., h. 20. 8 9

279


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 32). Dari hal ini jelas bahwa pembunuhan lebih merupakan kejahatan (pidana) umum ketimbang pidana pribadi.11 Sebaliknya, pidana pencurian adalah kejahatan pribadi.12 Kritik lain dari Rahman terhadap pendekatan klasik dan pertengahan dalam studi Islam adalah kurang atau tidak memperhatikan konteks dan sejarah al-Qur’an, hanya berkonsentrasi pada teks al-Qur’an. Secara keseluruhan, Rahman menyebutkan bahwa ada tiga kelemahan pendekatan klasik dan pertengahan, yaitu: (1) Perhatian yang tidak cukup terhadap latar belakang historis pewahyuan al-Qur’an, (2) Berkonsentrasi pada teks al-Qur’an, dan (3) Atomistik dalam memahami al-Qur’an. Rahman setuju dengan pentingnya memahami bahasa; gaya, idiom, dan kiasan, seperti yang ditekankan ulama Klasik dan Pertengahan (bahkan beberapa pemikir kontemporer). Namun kepentingan analisis bahasa ini hanya untuk memahami teks al-Qur’an. Dalam ungkapan Rahman, “bahasa penting untuk memahami teks al-Qur’an, namun ada kebutuhan mendesak terhadap hermeneutis yang akan membantu kita memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga bagian teologis al-Qur’an, bagian etika, dan bagian hukum, menjadi satu kesatuan yang utuh”.13 Rahman juga menyatakan, ‘‘Jika kita perhatikan, al-Qur’an tidak memberikan banyak prinsip umum. Sebagian besar isi al-Qur’an memberikan solusi atau keputusan atau hukum terhadap masalah konkret yang muncul ketika itu. Tetapi seperti telah saya katakan, jawaban-jawaban terhadap kasus-kasus konkret tersebut menyediakan alasan-alasan, baik secara eksplisit ataupun implisit. Alasan-alasan di balik solusi atau keputusan atau hukum tersebut dapat disimpulkan dan dirumuskan menjadi prinsip-prinsip umum”.14 Dalam setidaknya tiga dari tulisan-tulisannya,15 Rahman menekankan tiga unsur dalam pendekatannya, yaitu: konteks ayat-ayat (konteks teks), susunan gramatikal teks, dan menjadikan semua teks al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai ‘weltanschauung’. Kritik lain dari Rahman terhadap metode klasik adalah penggunaan qiyas, istihsân, mashlahah mursalah, dharûrat, nâsikh-mansûkh, marhalîyah, serta ‘âmm dan khashsh. Kritiknya terhadap qiyas, istihsân, mashlahah mursalah, dan dharûrat adalah standar penggunaan yang subjektif. Kadang menggunakan standar sempit dan dangkal sedangkan pada saat lain menggunakan standar mendalam. Adapun terhadap konsep pembatalan (nâsikhmansûkh), Rahman melihat lebih sebagai dasar keyakinan bahwa konteks yang berbeda menghasilkan hukum yang berbeda, bukan ada ayat yang membatalkan ayat lain. Sedangkan Ibid., h. 144; Rahman., h. 46. Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 46. 13 Ibid., h. 45. 14 Rahman, Islam and Moderntiy, h. 20. 15 Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliothca Islamica, 1980); Rahman., “Some Key Ethical Concepts of the Qur’an,” dalam Journal of Religious Ethics, Vol. XI, No. 2 (1983), h. 170-185; Rahman., “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” dalam Islamic Studies, Vol. VI, No. 1 (1967), h. 1-19. 11 12

280


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

konsep ‘âmm dan khashsh menurut Rahman bahwa aturan umum (‘âmm) menjadi lebih mendasar, dan karenanya putusan-putusan spesifik (khashsh dimasukkan di bawah ketentuan umum.16 Oleh karena itu, Rahman memegang teori al-‘ibratu bi ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûsh al-sabab bukan al-‘ibratu bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafzh. Berkenaan dengan teori hermeneutik, Rahman menawarkan dua langkah utama dalam menerapkan metodenya, yang terkenal disebut ‘gerakan ganda’. Langkah pertama adalah bergerak dari kasus konkret/khusus/spesifik/temporal17, yang ditetapkan al-Qur’an untuk menemukan prinsip umum. Sementara langkah kedua adalah bergerak dari prinsip umum kembali ke kasus khusus. Baik untuk menemukan prinsip-prinsip umum dari jawaban spesifik al-Qur’an maupun ketika menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjawab atau menyelesaikan kasus-kasus khusus, adalah perlu memperhitungkan kondisi sosial yang relevan (konteks). Rahman menulis: Dalam membangun atau menetapkan hukum dan institusi Islam sejati dan layak, harus ada gerakan ganda: Pertama, kita harus bergerak dari kasus konkret yang diselesaikan alQur’an dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang relevan pada waktu itu, untuk menetapkan prinsip-prinsip umum yang di atasnya seluruh ajaran menyatu. Kedua, dari prinsip umum tersebut harus ada gerakan kembali ke legislasi khusus masa sekarang, juga dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang diperlukan dan relevan dengan kondisi dan tuntutan sekarang.18 Gerakan pertama dari dua gerakan tersebut terdiri dari dua langkah. Langkah pertama adalah memahami makna pernyataan yang diberikan dengan cara memahami situasi historis dari masalah, yang terhadap masalah tersebut jawaban diberikan. Langkah kedua adalah menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menempatkannya sebagai tujuan umum yang bersifat sosial-moral.19 Rahman mengatakan tentang pentingnya teori hermeneutis, ‘‘ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan membantu kita memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga bagian teologis al-Qur’an, etika alQur’an, dan hukum al-Qur’an, menjadi satu kesatuan yang utuh”.20 Karakteristik teori hermeneutik Rahman, oleh karena itu, ada tiga. Pertama, penekanannya pada kebutuhan untuk memahami al-Qur’an dalam kesatuan secara keseluruhan (satu kesatuan). Kedua, membedakan antara hukum umum dan hukum khusus (hukum temporal), yang di banyak tempat disebut etis dan ethico-hukum. Ketiga, pentingnya pemahaman latar belakang dan konteks historis untuk memahami al-Qur’an. Bagian berikut merupakan Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 49. Empat istilah untuk menunjukkan maksud sama, yakni hukum konkret, hukum khusus, hukum spesifik, hukum temporal. Semua dimaksudkan untuk menunjukkan subjek sama, sebagai lawan dari hukum umum (prinsip). 18 Rahman, Islam and Modernity, h. 20. 19 Ibid., h. 6. 20 Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45. 16 17

281


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 penjelasan tentang gerakan ganda hermeneutika Rahman; bagaimana kaitannya dengan pemahaman al-Qur’an sebagai satu kesatuan, membedakan antara hukum umum dan hukum khusus atau hukum temporal, dan hubungannya dengan pentingnya pemahaman konteks untuk memahami al-Qur’an.

Memahami al-Qur’an sebagai Satu Kesatuan Label yang sama untuk sebutan memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan (pendekatan holistik) adalah induktif dan integratif (al-istiqrâ’i). Rahman tidak menyebut teorinya dengan pendekatan ‘holistik’, melainkan ia menyebutnya teori hermeneutis,21 bahkan sebelumnya disebut teori atau pendekatan historis, atau pendekatan sosiologis.22 Rahman misalnya menyatakan, “ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan membantu kita memahami makna al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga aspek teologis al-Qur’an, aspek etika, dan aspek hukum menjadi satu kesatuan yang utuh”.23 Pendekatan holistik yang diajukan Rahman berbeda dengan pendekatan tematik yang diusulkan oleh beberapa sarjana, seperti Amin al-Khuli, al-Farmawî, Bint al-Syâthi‘, Shahrûr, Nashr Hamid Abû Zayd dan lain-lain. Namun, baik pendekatan tematik maupun holistik sama-sama menekankan perlunya pendekatan induktif atau lintas referensial (al-manhaj al-istiqrâ’i),24 yakni menghubungkan seluruh ayat yang membahas masalah atau subjek yang sama. Al-Ghazâlî (w. 505/1111) adalah sarjana pertama yang memperkenalkan pendekatan induktif dalam bukunya al-Mustashfâ min ‘ilm al-Ushûl. Sarjana lain yang memperkenalkan pendekatan serupa adalah al-Syâthibî (w. 790/1388), yang menawarkan pendekatan integral, dan menyatakan bahwa ‘‘satu bagian al-Qur’an menafsirkan yang lain” atau ‘‘bagian-bagian yang berbeda dalam al-Qur’an menjelaskan satu sama lain” (al-Qur`ân yufassiru ba‘duhu ba‘dhan), sebuah prinsip yang sudah ada sejak zaman sahabat. Al-Syâthibî, seorang ulama terkenal dari mazhab Mâliki, dalam bukunya Al-Muwâfaqât, mengulangi tentang pentingnya pendekatan induktif dalam tafsir. Bagi Al-Syâthibî penggunaan pendekatan induktif ini merupakan bagian dari konsep bahwa kalam Allah merupakan kalam satu kesatuan (kalâmun ilâhiyun huwa kalâmun wâhidun).25 Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, diedit oleh Richard C. Martin (Tucson: The University of Arizona Press, 1985), h. 198; Idem., Islam and Modernity, h. 5. 22 Rahman, “Islamic Modernism,” h. 330. Tamara Sonn meletakkan teori Fazlur Rahman sebagai ‘historicism,’ sama dengan Mohamad Arkoun (seorang sarjana dari Algeria) dan ‘Abdullah alNaim (seorang sarjana dari Tunisia). Sonn, “Fazlur Rahman’s, h. 227. 23 Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45. 24 Sahiron Syamsuddin, “An Examination of Bint Bint al-Syâthi‘’s Method of Interpreting the Qur’an” (Montreal: MA. Thesis, McGill University, 1998), h. 20, 44. 25 Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, diedit oleh Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hâmid (Kairo: Maktabat wa Mathba‘at Muhammad ‘Alî Shâbih wa Awlâdih, 1969), h. 284. 21

282


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

Demikian juga pendekatan induktif ini diletakkan oleh Ibn Taimîyah (d.728/1328) dan al-Zarkashî sebagai metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an.26 Namun demikian, penerapan pendekatan induktif ini belum ditemukan dalam kitab ‘ulamâ` (sarjana) brilian ini. Rahman, oleh karena itu, mencoba merumuskan metode tersebut secara sistematis dan menerapkannya dalam menanggapi isu-isu kontemporer. Rahman menyatakan bahwa seluruh elemen teorinya telah ada sejak zaman sahabat, bahkan sejak Nabi Muhammad SAW. Apa yang baru dari Rahman adalah merumuskannya untuk menjadi suatu metode sistematis. Dalam ungkapan Rahman, pendekatan yang dianjurkan di sini adalah baru meskipun, seperti yang saya katakan sebelumnya, seluruh materinya sudah ada sejak lama. Unsur baru dari yang ditawarkan hanya terdiri dari konsep, mempelajari al-Qur’an secara keseluruhan (total) dan spesifik, dan melakukannya secara sistematis sesuai dengan urutan sejarah (kronologi), bukan menafsirkan ayat demi ayat atau surah demi surah dengan memisahkannya (terisolasi) dari latar belakang (historical background/sha‘n al-nuzûl).27 Rahman menekankan pentingnya memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan. Beberapa kutipan tentang masalah ini telah disebutkan sebelumnya dalam hubungannya dengan kritik terhadap metode klasik dan modern. Pada saat yang sama Rahman mengusulkan pendekatan holistik, dan bahkan berpendapat bahwa al-Qur’an itu sendiri tegas menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber ajaran yang terintegrasi dan kohesif.28 Demikian juga al-Qur’an harus dipahami dengan latar belakang historisnya. Dengan kata Rahman, ‘‘bagian dari tugas memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya lengkap dengan latar belakangnya. Latar belakang langsung adalah kegiatan Nabi Muhammad sendiri dan perjuangannya yang berlangsung selama sekitar dua puluh tiga tahun di bawah bimbingan dari al-Qur’an”.29 Karena itu jelas bahwa selain menekankan pentingnya memahami al-Qur’an secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Rahman menekankan pentingnya memahami latar belakang dan konteks untuk memahami al-Qur’an. Memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan menyatukan aspek teologi, etika, dan hukum, muncul ketika Rahman mengkritik modernis dengan mengatakan, ‘‘modernis hanya sedikit berusaha memperlakukan al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan merumuskan pandangan dunia sebagai langkah pertama, kemudian menyusun etika dan akhirnya menetapkan hukum dan/atau aturan dan/atau undang-undang”.30 Rahman, oleh karena itu, ingin menghubungkan dan membuat satu kesatuan dari tiga aspek yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam, yang merupakan hasil dialog antara Nabi Muhammad dan Taqi al-Dîn Ibn Taimîyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr (Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1994), h. 93; dan Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, diedit oleh Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm (Kairo: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabîya, 1957), h. 175. 27 Rahman, Islam and Modernity, h. 145. 28 Ibid., h. 20. 29 Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 45. 30 Fazlur Rahman, “Islam: Legacy and Contemporary Challenge”, dalam Islamic Studies, 19, 4 (1980), h. 244. 26

283


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Jibrîl, yaitu iman (teologi, dalam arti pandangan dunia), Islam (undang-undang dan/ atau hukum dan/atau aturan), dan ihsan (etika). Rahman berupaya untuk membangun hubungan harmoni dan koheren antara tiga aspek dari ajaran Islam tersebut. Berdasarkan teori ini, etika berasal dari undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan sebagai hasil dari generalisasi. Generalisasi, yang berarti dari khusus ke umum ini merupakan langkah pertama dari teori hermeneutika Rahman. Selain itu, etika ini juga disebut sebagai tujuan, objektif, dan nilai dari undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan. Etika bagi Rahman merupakan nilai tertinggi dari prinsip umum, dasar al-Qur’an. Sebelum sampai pada level tertinggi ini, dimulai dari prinsip yang lebih rendah, dengan cara melakukan generalisasi dari atau berdasarkan pada sejumlah undang-undang dan/ atau hukum dan/atau aturan dalam al-Qur’an. Misalnya, kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip tertinggi dalam hubungan manusia. Prinsip ini merupakan hasil generalisasi dari beberapa prinsip yang lebih rendah yang ada di bawahnya, yang mengatur hubungan antara manusia, yang ditemukan dengan melakukan generalisasi terhadap undangundang dan/atau hukum dan/atau aturan yang lebih rendah, yang mengatur hubungan antara manusia. Akhirnya, prinsip terendah ditemukan berupa prinsip hubungan antara suami dan istri, juga dengan cara melakukan generalisasi dari undang-undang dan/ atau hukum dan/atau aturan khusus yang mengatur hubungan suami dan istri. Prinsip hubungan antara suami dan istri ini juga merupakan hasil generalisasi dari sejumlah undang-undang dan/atau hukum dan/atau aturan antara suami dan istri. Undangundang dan/atau hukum dan/atau aturan dimaksud adalah hukum yang diberikan alQur’an tentang hak dan tanggung jawab antara suami dan istri, tentang status poligami, status mahar, dan lain-lain dalam kehidupan rumah tangga. Dengan kata lain, apa yang disebut prinsip terdiri dari berbagai tingkatan. Maka prinsip yang paling tinggi itulah yang disebut etika. Etika sebagai prinsip tertinggi dinyatakan Rahman ketika mengkritik penggunaan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dharuri, ‘âmm dan khâshsh. Dalam ungkapan Rahman: Dalam rangka memperbaiki sempitnya qiyas, para ulama merumuskan prinsip-prinsip lain di luar qiyas berupa mashlahah dan istihsan yang umumnya berarti keadilan hukum dan kepentingan orang banyak (publik). Mereka misalnya mendefinisikan istihsan, sebagai prinsip yang lebih tinggi dari qiyas yang akan digunakan dalam kasus di mana qiyas tidak dapat menyelesaikan. Mashlahah didefinisikan sebagai kepentingan umum. Demikian pula, konsep darurat disusun untuk menciptakan fasilitas bagi kewenangan pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipandang perlu demi kepentingan masyarakat (orang banyak atau publik). Jika fukaha telah menetapkan prinsip secara sistematis dengan menggali illat hukum dari al-Qur’an dan prinsip-prinsip tersebut telah disusun secara hierarki dari yang lebih umum kepada yang lebih spesifik, dari yang lebih mendasar ke kurang mendasar. Maka mereka mestinya bisa menempatkan prinsip-prinsip yang lebih rendah di bawah prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Sayang, apa yang dilakukan bukannya melakukan kegiatan yang sistematis seperti itu, mereka malah menetapkan prinsip keadilan (istihsan), prinsip kepentingan umum (mashlahah 284


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

mursalah) dan prinsip kebutuhan (dharurat), yang menurut sifatnya prinsip-prinsip tersebut tidak mesti sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam al-Qur’an atau sunah nabi. Karena itu hasilnya malah saya takut melahirkan kekacauan.31 Berdasarkan berbagai tingkatan prinsip dan contoh-contoh yang dikutip Rahman, pemahaman al-Qur’an sebagai keseluruhan dan satu kesatuan, dimulai dengan memahami satu subjek atau tema tertentu. Hasil penggunaan pendekatan tematik dalam memahami subjek tertentu tersebut kemudian digunakan untuk memahami subjek lain dengan metode serupa. Akhirnya, semua subjek dalam al-Qur’an; teologi, etika dan hukum, dibangun menjadi satu sebagai keseluruhan dan kesatuan. Karena itu ada hubungan dan kesamaan antara pendekatan tematik dan holistik, meskipun ada perbedaan, yang dapat diketahui persamaan dan perbedaannya lebih jelas dengan menggambarkan penerapan pendekatan tematik berikut. Amin al-Khûllî (1895-1966), yang secara umum diakui sebagai sarjana Muslim pertama pada abad kedua puluh yang menekankan pentingnya pendekatan tematik dalam memahami al-Qur’an, tidak menulis definisi pendekatan ini. Dia memang menekankan pentingnya memahami dua sisi dari al-Qur’an dalam rangka memahami al-Qur’an secara sempurna, yakni: arti (ma‘na) dan tujuan (aghrâd) ayat-ayat al-Qur’an.32 Al-Khûllî bersikeras bahwa ada dua bidang utama pengetahuan (dirâsât) yang dibutuhkan agar memungkinkan pemahaman yang tepat terhadap al-Qur’an, yaitu: (1) Pemahaman al-Qur’an sendiri (dirâsât fî al-Qur’ân), dan (2) Pemahaman konteks atau latar belakang al-Qur’an (dirâsât mâ haul al-Qur’an). Wilayah pertama meliputi kata-kata (mufradât) al-Qur’an dan struktur (murakkabât) bahasa al-Qur’an,33 sedangkan pengetahuan tentang konteks atau latar belakang al-Qur’an terdiri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan awal Arab (al-bî’ah al-mâdîah), dan bî’ah al-ma‘nawîyah Arab, di mana situasi al-Qur’an diturunkan.34 Jadi, sosiologi masyarakat Muslim asli sangat penting untuk memahami latar belakang Kitab Suci (haul al-Qur’an).35 Penerapan pendekatan tematik, menurut al-Khûllî, melibatkan pertama: (1) Mengambil kasus/subjek tertentu (maudhû‘ al-wâhid), kemudian (2) Menemukan seluruh ayat yang berbicara subjek tersebut dalam seluruh al-Qur’an dari awal sampai akhir, dan terakhir (3) Memahami hubungan antara ayat-ayat (sâbiqihâ wa lâhiqihâ) ketika membahas subjek. Karena itu, al-Khûllî menekankan pentingnya pemahaman mulâbisât, munâbisât, dan asbâb al-nuzûl,36 sebelum membahas masalah secara tematis atau kasus per kasus.37 Rahman, “Interpreting the Qur’an”, h. 48. Amîn al-Khûlî, Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab (t.t.p.: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1995), h. 232. 33 Ibid., h. 238. 34 Ibid., h. 235. 35 Ibid., h. 240. 36 Ibid., h. 232. 37 Ibid., h. 233. 31 32

285


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Singkatnya, prosedurnya adalah sebagai berikut: (1) Mengumpulkan ayat tentang topik bahasan, kemudian (2) Menghubungkan semua ayat sebagai suatu kesatuan, dan (3) Mengatur hubungan ayat sesuai dengan implikasi dari topik. Binti al-Shâthi‘, murid (dan kemudian istri) al-Khûlî, yang juga menyukai pendekatan tematik (maudhû‘ al-wâhid), juga tidak memberikan definisi metode ini. Untuk memahami posisi dia, perlu memahami responsnya terhadap metode tafsir klasik pertengahan (salaf), yakni empat hal: (1) Di dalamnya masuk unsur-unsur asing, seperti Israilîyat (Yahudi-Kristen), (2) Menampilkan kecenderungan sektarian atau tendensius (al-ta‘milât al-‘ashâbiya); (3) Memaksakan penafsiran; (4) Tidak memahami kekhasan retorika al-Qur’an dan sering mengabaikan keajaibannya (i‘jâz al-Qur’an).38 Sebagai gantinya, Binti al-Shâthi‘ menawarkan metode interkonektif (cross referensial), seperti metode yang ditawarkan guru dan suaminya, al-Khûlî. Tetapi dia membuat tiga poin dalam teoretis. Pertama, menekankan pentingnya arti leksikal dari setiap kata al-Qur’an. Pengakuan terhadap arti asli dari sebuah kata, tentu saja, dapat membantu penafsir memahami makna (al-ma‘na al-murâd) dalam konteks teks. Kedua, menekankan pada keterlibatan dan keterikatan seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Dengan prinsip ini berarti al-Qur’an diberikan kewenangan untuk berbicara tentang al-Qur’an sendiri dan oleh al-Qur’an sendiri, yang dengan metode itu dapat menghasilkan penafsiran yang objektif. Ketiga, dalam upaya memahami kata-kata dan konsep al-Qur’an, perlu ada kesadaran tentang konteks tekstual khusus (al-siyâq al-khâshsh) dan konteks tekstual umum (al-siyâq al-‘âmm).39 Binti al-Shâthi‘ juga mengkritik penggunaan tafsir surah demi surah yang banyak digunakan penafsir kontemporer. Tawaran yang diberikan lagi-lagi tafsir interkonektif. Karena itu, di samping mengkritik mufasir Klasik dan Pertengahan, Binti al-Shâthi‘ juga menolak pendekatan tafsir surah demi surah yang banyak digunakan ilmuwan kontemporer. Sebaliknya, dia menyarankan pendekatan tematik. Dalam tafsir yang ditawarkan, di samping Binti al-Shâthi‘ berkonsentrasi pada kata-kata, kalimat dan struktur al-Qur’an, juga berusaha menanggalkan pemahaman yang bersumber dari luar al-Qur’an. Penjelasan al-Qur’an harus didasarkan pada teks al-Qur’an itu sendiri, berdasarkan bacaan dalam teks, bukan tanpa dan/atau di luar teks al-Qur’an. Baginya di antara masalah interpretasi adalah memurnikan dari gagasan non Islam dan/atau non Qur’ani. Dia memberikan kritik keras terhadap penafsiran yang bersifat mistis dan filosofis, yang menurut dia sebagian besar didasarkan pada ajaran-ajaran di luar al-Qur’an. Hal penting lain yang ditekankan oleh Binti al-Shâthi‘ adalah perlunya pemahaman konteks dalam memahami teks al-Qur’an. Baginya, untuk memahami teks al-Qur’an dengan benar membutuhkan pemahaman konteks, baik mikro maupun makro. Binti al-Shâthi‘, al-Qur`an wa Tafsîr ‘Ashr (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1970), h. 24-32; Syamsuddin Sahiron, An Examination of Binti al-Shâthi‘’s Method, h. 10. 39 Binti al-Shâthi‘, al-Tafsîr al-Bayânî, I: 10, dan II:7, Sahiron, An Examination of Binti alShâthi‘’s Method, h. 48. 38

286


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

Al-Farmâwî, penafsir lain yang juga dipengaruhi al-Khûlî, adalah sarjana pertama yang mencoba mendefinisikan dan merumuskan metodologi tematik secara sistematis, baik tematik berdasarkan subjek maupun tematik berdasarkan surah dari al-Qur’an. Tematik berdasarkan surah dilakukan dengan berkonsentrasi atau menekankan pada surah tertentu dari al-Qur’an. Idenya adalah bahwa setiap surah mempunyai penekanan pada subjek tertentu meskipun di dalamnya membahas topik berbeda-beda, dan semua ayat dalam surah tersebut berkaitan dengan subjek utama. Demikian pula, ayat lain yang terkait dengan topik utama dari surah-surah lain, juga harus disertakan dalam pembahasan, yang tujuannya adalah untuk menemukan koheren dengan tema bahasan. Karena itu, ayat dalam surah dan ayat-ayat terkait lainnya dari surah-surah lain digunakan dan dibahas secara koheren. Sementara tematik berdasarkan subjek dapat dilakukan dengan mengumpulkan semua ayat yang relevan dengan subjek bahasan dari awal sampai akhir al-Qur’an, dan kemudian memahaminya secara kronologis, sehingga ditemukan pemahaman yang komprehensif terhadap topik bahasan. Singkatnya, tafsir tematik dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni berdasarkan surah demi surah dari al-Qur’an, dan subjek atau masalah tertentu.40 Berdasarkan definisi tersebut, ada beberapa langkah yang harus diikuti dalam menggunakan pendekatan tematik berdasarkan subjek. Pertama, mengumpulkan seluruh ayatayat yang terkait dengan topik atau subyek bahasan. Kedua, menghubungkan seluruh ayat secara bersama-sama, koheren, dan tidak terpisah. Dalam membuat hubungan harus diletakkan ayat-ayat dalam urutan kronologis berdasarkan urutan wahyu. Langkah terakhir, semua ayat harus dipahami lengkap dengan memahami konteks (asbâb al-nuzûl), serta dalam sinaran tradisi Nabi (Sunnah).41 Apa yang dapat disimpulkan dengan membandingkan antara pendekatan tematik dan holistik. Pertama, keduanya sama-sama menyadari pentingnya pemahaman terhadap konteks historis, dan mengklasifikasikan konteks tersebut menjadi dua jenis. Pertama, peristiwa penyebab turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) sebagai konteks mikro (microsituation). Kedua, sosio-historis Arab sebagai konteks makro (macrosituation). Namun demikian, Rahman lebih menekankan pentingnya makro dibandingkan dengan al-Khûllî. Kedua, baik pendekatan tematik mapun holistik sama-sama menekankan perlunya pendekatan lintas-referensial atau induktif. Ini berarti semua ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang membahas topik bahasan sama, harus dipahami secara induktif, integratif, dan berkorelasi secara keseluruhan dan kesatupaduan. Perbedaan dasar antara pendekatan tematik berdasarkan subjek, dan pendekatan holistik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam tematik hanya konsentrasi Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 35-36. 41 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‘an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat (Bandung: Mizan, 1996), h. 74. 40

287


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 pada satu topik tertentu dari al-Qur’an, sedangkan dalam holistik masih diteruskan dengan langkah selanjutnya untuk membangun hubungan yang harmonis antara tiga aspek ajaran Islam; teologis, etika dan hukum. Karena itu, apa yang ditemukan dengan menggunakan pendekatan tematik barulah satu langkah tertentu dari pendekatan holistik, yang bertujuan untuk menemukan prinsip tertentu pada subjek tertentu tersebut. Sebagai contoh, untuk menemukan prinsip hak dan tanggung jawab antara istri dan suami dalam hidup keluarga, adalah akhir untuk pendekatan tematik, sedangkan untuk pendekatan holistik baru satu langkah, dan harus diikuti dengan langkah berikutnya, yakni menemukan prinsip yang lebih tinggi, yaitu prinsip hubungan antara istri dan suami, dan kemudian dilanjutkan lagi dengan langkah selanjutnya, yaitu untuk menemukan prinsip hubungan antara pria dan wanita, sampai ditemukan prinsip hubungan antara sesama manusia. Akhirnya, ditemukan hubungan yang harmonis antara aturan/hukum/undang, etika, dan teologi.

Perbedaan antara Hukum Umum (Prinsip) dan Hukum Temporal Pembedaan antara hukum umum dan hukum temporal oleh Rahman ditemukan dalam berbagai tulisannya. Sebagai contoh, seperti dinyatakan sebelumnya, Rahman menyatakan, ‘‘ada kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan membantu kita memahami isi al-Qur’an secara keseluruhan, sehingga bagian teologis, etis, dan ethico-hukum al-Qur’an, dapat dibangun menjadi suatu kesatuan yang utuh”.42 Dalam pernyataan ini, ditemukan istilah etika untuk menunjukkan hukum umum dan istilah ethico-hukum untuk menunjukkan hukum temporal. Rahman juga menyatakan, “Jika kita melihat al-Qur’an tidak banyak ditemukan hukum umum (prinsip). Sebagian besar isi al-Qur’an memberikan jawaban atau solusi atau keputusan terhadap masalah-masalah konkret. Tetapi, seperti telah saya katakan, solusi terhadap masalah konkret tersebut menyediakan hukum umum sebagai prinsip, baik secara eksplisit maupun implisit”.43 Kutipan ini menyatakan prinsip umum atau hukum umum (general principle, general law) di satu sisi, dan solusi atau aturan atau hukum temporal (solution, ruling, temporal law) di sisi lain. Masih ditemukan di beberapa tempat untuk menunjukkan istilah yang sama. Kaitannya dengan pengelompokan nash tersebut, al-Haddâd membedakan antara (1) Prinsip atau norma universal yang kekal, seperti kredo persatuan, persyaratan etika, keadilan dan kesetaraan, yang berlaku pada semua keadaan dan di semua tempat, dan (2) Hukum temporal yang tergantung pada kontinjensi manusia dan konteks sosial, terutama yang berkaitan dengan kondisi Jahiliyah (pra Islam) periode Arab.44 Al-Haddâd menambahkan Ibid., h. 45. Rahman, Islam and Moderntiy, h. 20. 44 Al-Thâhir al-Haddâd, terj. M. Adib Bisri, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat (Jakarta: 42 43

288


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

bahwa untuk memahami al-Qur’an lebih baik, adalah dengan memahami konteks historis. Demikian pula, Asghar Ali Engineer membedakan antara normatif dan kontekstual. Sebagaimana dalam tulisannya: Kita harus memahami bahwa ada normatif serta kontekstual dalam al-Qur’an. Apa keinginan Allah dinyatakan, dan demikian pula apa realitas empiris di dalam masyarakat juga disebutkan. Al-Qur’an sebagai sebuah Kitab Suci menunjukkan tujuan dengan ungkapan ‘harus dan/atau seharusnya’, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris dengan menyatakan ‘keadaannya adalah”’. Kemudian dialektika antara kedua normatif dan kontekstual berlangsung. Sehingga pada saatnya ketika situasi konkret telah kondusif akan ada penerimaan terhadap nilai normatif. Upaya ke arah penerimaan normatif setidaknya selalu diupayakan agar lebih dekat untuk diterima.45 Selanjutnya, Ismail Faruqi memberikan nama berbeda untuk menunjukkan substansi sama, yakni: etika dan kasuistik-cosmis;46 John L. Esposito dengan ethico-religius dan sosioekonomi;47 Abdul Aziz Sachedina dengan norma tebal dan tipis;48 Masdar F. Mas‘udi menggunakan istilah ushul fiqih, yakni qath‘î dan muhkamat untuk normatif, serta zanni dan juz’îyah untuk hukum temporal (kontekstual).49 Karakteristik masing-masing kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Masdar F. Mas‘udi: karakteristik nash normatif, bahwa kontennya bersifat universal, prinsip, dasar, dan tidak bergantung pada konteks tertentu; waktu, tempat, situasi, dan semacamnya. Karakteristik nash temporal, di sisi lain, bahwa konten dinyatakan secara rinci, dapat berlaku dan dilaksanakan secara langsung, dan pelaksanaannya tergantung pada konteks: waktu, tempat, situasi dan semacamnya. Boleh juga dikatakan bahwa hukum temporal kental dengan budaya Arab masa Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, hukum temporal berlaku dalam kehidupan sehari-hari masa Nabi Muhammad SAW. Abdullah Saeed menetapkan hierarki hukum (nilai) dari al-Qur’an lebih jauh menjadi lima tingkatan, yaitu: (1). Nilai wajib, (2). Nilai fundamental, (3). Nilai protectional, (4). Nilai implementational, dan (5). Nilai pembelajaran.50 Adapun aplikasi atau praktik gerakan Pustaka Pirdaus, 1972), h. 6; Norma Salem, “Islam and the Status of Women in Tunisia”, dalam Muslim Women, diedit oleh Freda Hussain, h. 144. 45 Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd., 1992), h. 10-11. Lihat teks hampir sama Asghar Ali Engineer, “Islam The Status of Women and Social Change,” dalam Problems of Muslim Women in India, diedit oleh Asghar Ali Engineer (Bombay: Orient Longman Limited, 1995), h. 10. 46 Isma‘il Ragi al-Faruqi, “Towards a New Methodology for Qur’anic Exegesis,” Islamic Studies, Vol. 1, No. 1 (March 1962), h. 41. 47 John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (Syracuse: Syracuse University Press,1982), h. 107. 48 Abdulaziz Sachedina, ‘The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance?. Makalah disampaikan dalam Public lecture in Leiden University by ISIM, Desember, 2003. 49 Masdar F. Mas‘udi, Islam & Hak-hak Reproduksi Perempuan, Cet. II (Bandung: Mizan, 1997), h. 29-30. 50 Saeed, Interpreting the Qur‘an, h. 132-133.

289


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 pertama dari teori gerakan ganda Rahman (double movements), dari khusus untuk umum, diterapkan pada nash ethico-hukum, hukum temporal, keputusan spesifik, jawaban sederhana yang diberikan al-Qur’an. Tujuan dari generalisasi dimaksud adalah untuk merumuskan hukum umum, prinsip, sasaran, tujuan, nilai (maqâshid).

Signifikansi Pemahaman Konteks dalam Memahami al-Qur’an Kunci penting ketiga dari hermeneutika Rahman adalah pentingnya pemahaman konteks historis untuk memahami teks al-Qur’an. Dalam ungkapan Rahman misalnya: ‘‘sebenarnya al-Qur’an adalah seperti ujung gunung es, sembilan persepuluh yang terendam di bawah air dan hanya sepersepuluh darinya yang terlihat”.51 Beberapa kutipan tentang masalah ini telah dikutip di atas dalam kaitannya dengan kritik Rahman terhadap pendekatan lain. Menurut Rahman, untuk memahami makna dan seluruh al-Qur’an adalah dengan cara mempelajari situasi historis dan masalah yang menjadi respons ayat-ayat al-Qur’an. Dengan mengutip Rahman: Kita harus memahami kepentingan atau makna dari pernyataan yang menjadi respons al-Qur’an, dengan cara mempelajari situasi historis pernyataan atau mempelajari masalah yang menjadi objek jawaban. Tentu saja, mempelajari konteks mikro ini sebelum mempelajari konteks makro (macrosituation), yakni konteks masyarakat, agama, adat, dan lembaga yang hidup di seluruh Arabia, khususnya di sekitar Makkah, tempat turunnya wahyu.52 Rahman berpendapat bahwa bagian dari tugas pemahaman pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajari lengkap dengan latar belakangnya.53 Latar belakang yang dimaksud adalah karir dan perjuangan Nabi Muhammad yang berlangsung selama dua puluh tiga tahun di bawah bimbingan al-Qur’an.54 Juga relevansi lingkungan Arab dalam hubungan pra Islam dan awal periode Islam, termasuk adat dan sosial, kelembagaan, ekonomi, dan politik, peran penting suku Quraisy dan cara hidup orang Arab. Memahami semua ini, menurut Rahman, adalah suatu usaha untuk memahami pesan al-Qur’an secara keseluruhan. Rahman menyatakan:55 Dalam seluruh proses hermeneutika ini harus memperhatikan tujuan ajaran al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga masing-masing makna yang diberikan dapat dipahami, masing-masing hukum dapat diucapkan, dan masing-masing tujuan dapat dirumuskan, dan akan koheren dengan unsur lain. Al-Qur’an sebagai keseluruhan benar-benar menanamkan sikap yang pasti terhadap hidup dan benar-benar memiliki weltanschauung konkret,

Ibid., h. 46. Ibid., h. 6. 53 Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 45. 54 Ibid., h. 45. 55 Ibid., h. 45-46. 51 52

290


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

demikian juga dengan demikian dapat menyatakan bahwa ajaran al-Qur’an tidak ada kontradiksi di dalamnya, tetapi koheren secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.56 Di tempat lain Rahman menjelaskan bahwa proses reformasi yang dilakukan Muhammad terhadap kehidupan sosial dalam al-Qur’an dikembangkan melalui dua prinsip, yaitu: (1) Prinsip berangsur-angsur, dan (2) Prinsip memahami konteks historis. Arti dari reformasi berangsur-angsur, bahwa sebelum memperkenalkan perubahan sosial, lebih dahulu dasarnya dipersiapkan. Sedangkan maksud memahami konteks adalah apa yang lebih populer dengan peristiwa yang menjadi sebab turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd).57 Pemikir lain yang sama-sama menekankan pentingnya memahami konteks untuk memahami al-Qur’an adalah ‘Izzu al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (577-660/1181-1262), dan berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan dalam keadaan sangat beragam dan selama lebih dari dua puluh tahun. Karena itu, dalam kondisi turun seperti ini tidak mungkin kontinuitas dan koherensi (irtibât). Tahir al-Haddâd adalah sarjana lain yang berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai respons langsung terhadap masalah-masalah yang muncul di masa Nabi Muhammad SAW.58 Karena itu, al-Qur’an lebih dari sebuah buku etika daripada buku undang-undang. Maka solusi yang diberikan muncul dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Namun karena ketidakmungkinan untuk melakukannya karena pada saat yang sama al-Qur’an harus relevan dengan masalah perlu ditemukan prinsip umum sebagai norma universal nanti. Memahami konteks historis al-Qur’an bagi Rahman, pertama untuk menemukan prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai. Dengan kata lain, dalam hukum tertentu selalu ada ada prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai. Karena itu, ada dua cara untuk menemukan prinsip menurut Rahman. Pertama, ditemukan dengan memahami konteks dan latar belakang historis dari teks al-Qur’an. Kedua, ditemukan berdasarkan putusan-putusan spesifik dengan melakukan generalisasi. Dalam melakukan generalisasi dari aturan-aturan khusus, harus dipahami sesuai dengan konteks.59 Prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai harus dipertahankan dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain dan selamanya, yaitu bersifat universal. Konsep dasar prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai ini sepintas sama dengan ‘illat dalam qiyas al-Syâfi‘î, yang terdiri dari tiga unsur, yaitu; hukum asal dinyatakan dalam teks nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.), hukum baru sebagai jawaban terhadap masalah kontemporer (furû‘), dan rasio logis (‘illah), sebagai dasar untuk menyamakan hukum antara apa yang disebutkan dalam nash dan terhadap masalah kontemporer.

Rahman, Islam and Modernity, h. 6. Ibid., h. 16-17. 58 Al-Haddâd, Wanita dalam Masyarakat, h. 5. 59 Rahman, “Interpreting the Qur’an,” h. 49. 56 57

291


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Karena itu, ada kesamaan antara konsep universal Rahman berupa prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai, dengan ‘illah dalam qiyas. Namun, ada perbedaan, dan Rahman mengkritik teori qiyas. Al-Syâfi‘î menemukan ‘illat (alasan di balik hukum) dengan berkonsentrasi pada teks nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.), sementara Rahman menemukannya melalui penggalian rasio logis (‘illah al-hukm) dari hukum alQur’an dan mensistematis prinsip-prinsip tersebut secara hierarkis.60

Penutup Setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara teori Rahman dan teori hermeneutika lainnya. Pertama, Rahman menekankan pemahaman al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan keseluruhan. Kedua, Rahman bergantung pada pembedaan antara hukum umum dan hukum temporal (hukum temporal merupakan jawaban terhadap pertanyaan atau masalah yang muncul). Ketiga, Rahman menekankan pentingnya pemahaman konteks untuk memahami al-Qur’an. Memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan keseluruhan berarti bahwa tiga aspek ajaran Islam dihubungkan dan dibangun menjadi satu bangunan yang saling terkait secara koheren dan harmonis. Tiga aspek ajaran Islam dimaksud adalah iman (teologi, pandangan dunia), ihsan (etika), dan Islam (undang-undang, aturan, atau hukum). Dengan kata lain, Rahman berusaha membangun hubungan yang harmonis dan koheren antara ketiga aspek ajaran Islam, lewat generalisasi terhadap hukum temporal untuk membangun hukum umum (prinsip), dengan menggunakan pendekatan tematik, intertekstual). Dari beberapa prinsip dalam satu level kemudian digeneralisir lagi menjadi satu prinsip yang lebih tinggi, dan kemudian lebih lanjut dengan prinsip yang lebih tinggi berikutnya, sampai ditemukan prinsip tertinggi, berupa monoteisme dalam teologi, kesetaraan dan keadilan dalam membangun hubungan antara sesama manusia, dan musyawarah (syûrâ) dalam memutuskan masalah yang dihadapi. Membangun hubungan harmoni dan koheren antara ketiga aspek ajaran Islam adalah tujuan akhir dari teori hermeneutika Rahman. Prinsipprinsip umum kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Tujuan memahami konteks historis al-Qur’an, bagi Rahman, adalah untuk menemukan prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai, yang selalu ada dalam dan di belakang hukum temporal. Prinsip, rasio logis, objektif, tujuan, dan nilai ini dicapai dengan memahami latar belakang teks (konteks). Kesimpulan penting lain, bahwa ada hubungan erat antara teori hermeneutik dan pendekatan tematik, terutama dalam kaitannya dengan mencari prinsip umum (generalisasi) dari hukum-hukum temporal dalam suatu subjek tertentu atau dalam tingkat prinsip tertentu. Perbedaannya adalah bahwa dalam tematik lebih terkonsentrasi pada suatu topik tertentu, sedangkan holistik memberikan perhatian lebih untuk membangun hubungan harmonis antara aspek teologis, etika dan hukum. Ibid., h. 48.

60

292


Syamruddin: Hermeneutika Fazrur Rahman

Selain itu, ada kesamaan antara teori Rahman dan qiyas al-Syâfi‘î, sama-sama menyetujui adanya substansi hukum pada satu sisi dan hukum temporal pada sisi lain. Substansi hukum ada dari satu tempat ke tempat lain, dan selamanya, sementara hukum temporal hanya berlaku untuk waktu tertentu atau tempat (konteks tertentu). Perbedaannya terletak pada cara menemukannya. Bagi Rahman didapatkan dengan mendialogkan teks dan konteks, sedangkan bagi al-Syâfi‘î ditemukan dengan konsentrasi melihat teks, dan melakukan rasionalisasi. Dengan perbedaan ini adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa Rahman berafiliasi dengan realisme, dan al-Syâfi‘î dengan idealisme.

Pustaka Acuan Berry, Donald L. “Fazlur Rahman: A Life in Review,” dalam The Shaping of An American Islamic Discourse, diedit oleh Earle H. Waugh dan Frederick M. Denny. Atlanta and Georgia: Scholars Press, 1998. Engineer, Asghar Ali. The Rights of Women in Islam. Lahore, Karachi, Islamabad, Peshawar: Vanguard Books (PVT) Ltd., 1992. Engineer, Asghar Ali. “Islam The Status of Women and Social Change,” dalam Problems of Muslim Women in India, diedit oleh Asghar Ali Engineer. Bombay: Orient Longman Limited, 1995. Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1982. Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Al-Faruqi, Isma‘il Raji`. “Towards a New Methodology for Qur’anic Exegesis,” dalam Islamic Studies, Vol. 1, No. 1. Maret, 1962. Al-Haddâd, al-Thâhir. Wanita dalam Masyarakat, terj. M. Adib Bisri. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1972. Ibn Taimîyah, Taqi al-Dîn. Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr. Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1994. Al-Khûlî, Amîn. Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab. t.tp.: AlHai’ah al-Mishriyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1995. Mas‘udi, Masdar F. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Cet. 2. Bandung: Mizan, 1997. Rahman, Fazlur. “Interpreting the Qur’an,” dalam Afkar/Inquiry, May 1986. Rahman, Fazlur. “Islam: Challenges and Opportunities”, Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979. Rahman, Fazlur. “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives,” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. I. 1970. Rahman, Fazlur. “The Concept of Hadd in Islamic Law,” Islamic Studies, Vol. IV 1965. Rahman, Fazlur. “Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on ‘Public Interest’ in Islamic Law,” International Law and Politics, Vol. XII. 1979. 293


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliothca Islamica, 1980. Rahman, Fazlur. “Some Key Ethical Concepts of the Qur’an,” dalam Journal of Religious Ethics, Vol. XI, No. 2, 1983. Rahman, Fazlur. “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man,” Islamic Studies, Vol. VI, No. 1 (1967), h. 1-19. “Review Essay” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, diedit oleh Richard C. Martin Tucson: The University of Arizona Press, 1985). “Review Essay”, dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Sachedina, Abdulaziz. “The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance?” Makalah disampaikan dalam Public lecture in Leiden University by ISIM, Desember, 2003. Saeed, Abdullaah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London & New York: Routledge, 2006. Salem, Norma. “Islam and the Status of Women in Tunisia”, dalam Muslim Women, diedit oleh Freda Hussain. Al-Syâthibî, Ibrâhîm ibn Mûsâ. al-Muwâfaqât, ed. Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hâmid. Kairo: Maktabat wa Mathba‘at Muhammad ‘Alî Shâbih wa Awlâdih, 1969. Al-Shâthi‘, Binti. al-Qur’ân wa Tafsîr ‘Ashr. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1970. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan, 1996. Sonn, Tamara. “Fazlur Rahman” dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York, Oxford: Oxford University Press, 1995. Sonn, Tamara. “Fazlur Rahman’s Islamic Methodology,” dalam Muslim World, No. 81, No. 3-4, July-October, 1991. Syamsuddin, Sahiron. “An Examination of Bint Bint al-Syâthi’s Method of Interpreting the Qur’an”. Thesis, Montreal: McGill University, 1998. Al-Zarkashî, Muhammad ibn ‘Abdillâh. al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, diedit oleh Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm. Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabîya, 1957.

294


GERAKAN PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA Suaidi Asyari Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124 e-mail: sudi531@yahoo.co.uk.

Abstrak: Cepatnya perubahan yang terjadi di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan di era globalisasi ini seringkali tidak seimbang dengan upaya pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam. Tampaknya, hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa karyakarya pemikiran ulama masa lalu dianggap sakral, sudah menjawab setiap tantangan yang ada sepanjang sejarah umat Islam dan karena itu dianggap final. Karenanya, setiap upaya untuk mengkritisinya dianggap sebagai “makar akademis� dan pelakunya bahkan dapat dituduh murtad. Akhirnya, timbul kekhawatiran di kalangan praktisi akademis untuk melakukan pembaharuan yang berakibat pada stagnasi pemikiran. Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk mendiskusikan problem-problem pembaruan pemikiran Islam di Indonesia lebih detail dan upaya-upaya solutif terhadap problemproblem tersebut. Abstract: Islamic Thought Reform Movement in Indonesia: From Part of Problem to be Part of Solution. The rapid development of social life in the era of globalization has often been run unparallel with the effort for thinking reform within the Muslim community. It appears that this may have arisen from the belief that the works of the past scholars of Islam are regarded to be sacred, capable of responding to any challenges in the span of the history of Muslim community and thus regarded final. Similarly, any attempt to criticize such views is seen as an academic assault the actor of whom may be accused of doing an act of apostasy. At the end, this lead to anxiety within the academicians to carry out reform that would have a logical consequence of thinking to be stagnant. This essay is an attemp to discuss the problems of Islamic thought reform in Indonesia in details as well as find solution to such problems.

Kata Kunci: pembaharuan pemikiran Islam, Indonesia

Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi kelesuan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang luar biasa. Para aktivis pembaharu terlihat sangat khawatir untuk mengemukakan gagasan barunya. Tulisan-tulisan di media masa berkaitan dengan pembaharuan 295


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 sudah jarang muncul.1 Diskusi-diskusi hanya dilakukan di ruang terbatas dan monolog serta homogen. Meskipun di sana sini terlihat ada gejala pemikiran umat Islam tertentu yang muncul melalui media khutbah misalnya, tetapi terkesan berjalan di tempat atau bahkan mundur beberapa langkah. Upaya kelembagaan juga dilakukan seperti apa yang dilakukan apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama melalui Annual Conference of Islamic Studies.2 Tetapi hal ini pun tidak luput dari tantangan yang disebutkan di atas. Salah satu contohnya adalah gagalnya Nasr Abu Zayd untuk menghadiri acara penting tersebut ketika dilaksanakan di Riau dan pada seminar internasional Islam, Democracy and Good Governance in Indonesia yang dilakasanakan oleh IAIN Riau pada tanggal 21-24 November 2007 dan Seminar Internasional dengan tema Muslim Intelectuals as Agents of Change oleh UNISMA Malang pada tanggal 27-29 November 2007 di Batu Malang. Pada saat itu, dari berbagai media diketahui bahwa penyebab gagalnya Nasr Abu Zayd menghadiri kedua acara tersebut, meskipun yang bersangkutan sudah sampai di Indonesia, adalah akibat adanya tekanan dari gerakan anti pembaharuan Islam oleh sejumlah gerakan Islam.3 Munculnya gagasan-gasan lama untuk mengembalikan kehidupan umat Islam ke abad-abad yang silam adalah pertanda jelas tantangan pembaharuan dalam Islam itu.4 Mengapa semua ini terjadi? Apa penyebab utamanya? Apa kemungkinan akibatnya bagi masa depan Islam yang semakin hari semakin berat tantangan yang dihadapinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu barangkali akan lebih baik untuk dibicarakan logika mengapa terjadi benturan dalam lalu lintas pemikiran yang bermuara kepada kelesuan, pemandegan, stagnansi pembaharuan pemikiran saat ini. Seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai aktivitas membangun pemikiran dan mengkritisi sebuah wacana tidak ubahnya seperti seseorang yang sedang menggunakan jalan raya (ruang publik). Ada begitu banyak orang yang simpang siur menggunakan jalan raya sesuai dengan asal dan tujuan serta kepentingannya masing-masing. Karena begitu banyak pengguna jalan, maka diperlukan seperangkat aturan atau rambu-rambu atau setidaknya etika, sehingga setiap orang bisa mengguna jalan dengan baik, aman bagi dirinya dan bagi orang lain. Dia

Lihat misalnya opini-opini yang muncul di harian Kompas, Media Indonesia, Republika, dan lain-lain terbitan tiga tahun terakhir ini di bandingkan dengan masa-masa setelah kejatuhan Orde Baru. 2 Salah satu publikasi dari proceeding annual conference ini lihat misalnya, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Proceeding the 9th Annual Conference on Islamic Studies 2009, Surakarta: 2009. Meskipun secara umum harus diappresiasi bahwa annual conference ini adalah salah satu upaya wahana bagi pembaharuan pemikiran dalam Islam di Indonesia, akan tetapi dari segi siapa yang diundang untuk berbicara terlihat tidak begitu representative. Karena relatif mereka adalah orangorang yang belum mempunyai reputasi yang luas. Dari sekitar 50 paper yang disajikan, tidak sampai 10 persen pembicaranya yang sudah mempunyai pengaruh di mata akademisi Indonesia. 3 Lihat misalnya komentar Henri Shalahuddin, “Pembelokan Makna ACIS,� dalam http:// insists.multiply.com/., diunduh tanggal 12 Maret 2011. 4 Hal ini khususnya apabila dikaitkan dengan gerakan-gerakan anti bid’ah yang menghambat munculnya pemikiran-pemikiran yang mengkritisi pendapat para pemikir (ulama) masa lalu. 1

296


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

bisa sampai kepada titik yang ditujunya dan orang lain tidak merasa terganggu untuk mencapai titik yang dia tuju baik sama atau berbeda dengan tujuan pengguna jalan lainnya. Sesungguhnya, untuk berangkat dari satu titik menuju ke titik lain di setiap jengkal bumi dengan menggunakan kendaraan, seseorang harus menggunakan jalan yang juga digunakan oleh orang lain. Pada umumnya, jalan raya yang digunakan oleh publik yang beragam mempunyai peraturan dalam menggunakannya untuk menciptakan keselamatan bagi pengguna jalan itu sendiri. Meskipun jalan yang hanya digunakan oleh kalangan terbatas mungkin tidak diperlukan adanya aturan, karena potensi terjadinya tabrakan tidak terlalu signifikan atau dikhawatirkan, tetapi tetap saja diperlukan etika penggunaan ruang publik. Artinya, peraturan atau rambu-rambu dibuat untuk menghindari adanya pengguna jalan yang mengambil jalur orang lain dengan arah yang berlawanan atau semaunya saja. Pertama, di setiap negara di dunia ini ada peraturan yang mengharuskan bahwa seorang yang mengendarai kendaraan, baik roda dua atau roda empat dan seterusnya, harus menggunakan lajur sebelah kiri di sejumlah negara dan lajur sebelah kanan di sejumlah negara lainnya. Ketentuan ini berlaku permanen dan bersifat umum, terkecuali dalam kondisi yang sangat darurat. Di negara-negara Eropa dan Australia serta negara yang pernah dijajah oleh Inggris, pengendara menggunakan lajur kiri. Sementara di Amerika, mereka menggunakan lajur kanan. Siapapun yang menggunakan lajur yang berlawanan akan berpotensi kuat menciptakan kecelakaan yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain yang berlawanan arah. Kedua, meskipun seseorang menggunakan lajur yang sama, ketika dia harus mendahului orang lain dengan menggunakan kecepatan yang lebih dari orang yang akan didahuluinya, maka dia harus menggunakan rambu-rambu dengan lampu sign-nya. Ini dilakukan ketika berada pada kondisi jalan yang memungkinkan seperti jalan lurus dan tidak ada pengendara yang berada dari arah yang berlawanan. Pengendara yang ada di depannya harus memberinya jalan selama itu memungkinkan. Tidak ada alasan bagi pengguna jalan yang untuk lamban menghambat dan tidak memberikan ruang bagi pengemudi lain yang ingin sampai lebih cepat ke tempat tujuannya. Ketiga, meskipun seseorang boleh menggunakan kecepatan tingggi untuk sampai pada tujuan yang ditujunya, pengendara yang bersangkutan tidak boleh menggunakan jalan semaunya, misalnya melebihi kecepatan yang dibolehkan, atau mengemudikan kendaraan dengan zig-zag yang berpotensi kuat terjadinya kecelakaan atau setidaknya mengkhawatirkan orang lain. Karena itu, di setiap negara, ada ketentuan kecepatan tertentu di jalan raya (tol atau high way). Tidak boleh terlalu cepat, karena berpotensi kecelakaan seperti menabrak kendaraan di depannya atau tidak boleh terlalu lambat, karena menghambat orang lain yang ingin lebih cepat. Jika seorang pengemudi tidak bisa menjalankan kendaraannya dengan cepat sesuai aturan kecepatan yang ada di jalan tol, maka pengemudi tersebut dipersilakan menggunakan jalan biasa. 297


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Keempat, semakin banyak kendaraan, maka jalan yang digunakan juga seharusnya semakin diperlebar atau peraturan penambahan kendaraan yang diperketat. Keduanya ini dilakuan untuk menghindari kemacetan. Akibat langsung dari kemacetan merupakan penghambat orang untuk mempercepat sampainya pengendara pada tujuannya. Sementara akibat tidak langsung munculnya penyakit stress, dan bahkan bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga seperti pelaku kriminal di jalan raya. Demikian juga halnya dengan aktivitas pemikiran, di mana seseorang yang menyampaikan sebuah wacana, pemikiran atau merespons pemikiran orang lain, sesungguhnya dia sedang menggunakan ruang publik yang juga digunakan oleh orang lain. Seabstrak apapun pemikiran itu, ketika ia memasuki ruang publik karena ia ditulis, dibaca, didengar dan disampaikan oleh atau kepada orang lain, maka ia akan bersentuhan dengan pemikiran orang lain, baik yang sependapat maupun yang tidak sependapat. Ada lalu lintas abstrak ibarat jalan raya tadi. Sesungguhnya, keruwetan arus lalu lintas pemikiran jauh melebihi arus lalu lintas pengguna jalan raya di atas tadi. Karena secara kuantitas, hampir semua orang mempunyai potensi aktif untuk menyampaikan gagasannya. Sementara, kendaraan bermotor di jalan raya hanya dimikili oleh kalangan terbatas saja. Dapat diasumsikan potensi tabrakan pemikiran jauh lebih besar dari pada tabrakan di jalan raya. Meskipun dengan argumen demokrasi bahwa setiap orang bebas menyatakan pendapatnya, tetapi apabila pendapat itu jelas akan berdampak negatif bagi kehidupan orang banyak, maka penyampaian pendapat seperti itu harus ada etika atau rambu-rambu. Dia juga harus memperhatikan rambu-rambu atau etika menggunakan ruang publik untuk itu. Jika tidak, maka hal yang sama yang tidak diinginkan dengan pengguna jalan di atas juga bisa terjadi, seperti tabrakan pemikiran. Rambu-rambu pengguna ruang publik ini seharusnya adalah rambu yang dibuat bersama dan untuk kepentingan bersama. Bukan rambu yang dibuat sekelompok orang terbatas yang hanya menguntungkan sekelompok orang dan merugikan atau bahkan menakutkan bagi orang lain. Jika orang-orang yang berpotensi baik untuk menyampaikan dan mengembangkan wacana pemkiran dalam rangka memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan merasa ketakutan menggunakan ruang publik di atas, maka terjadilah kelesuan pemikiran. Inilah yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ada sekelompok orang yang ingin menggunakan dan menyampaikan gagasan pemikiran pembaharuan tanpa batas (semaunya mungkin?) di satu pihak. Ada juga orang yang membuat rambu-rambu dan etika pengguna ruang publik ini semaunya juga. Ada sekelompok orang yang membuat rambu-rambu sendiri, yang tujuan mungkin saja baik, tetapi cara dan rambu-rambu yang dibuat tidak adil, karena merugikan pihak lain. Sebagai contoh adalah penghalalan darah orang tertentu setelah yang terakhir ini menyampaikan gagasan pemikirannya. Kebebasan seseorang menyampaikan pendapat tanpa batas yang disebutkan di

298


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

sini dalam konsep Isaiah Berlin5 disebut dengan negative liberty (kebebasan negatif). Menurut Berlin, ada dua konsep kebebasan yaitu kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Negative liberty adalah kebebasan yang dinikmati seseorang untuk melakukan apa saja yang dia kuasa dan inginkan untuk melakukannya, tanpa ada hambatan dan aturan dari orang lain. Ringkasnya, negative liberty adalah kebebasan semaunya untuk berbuat tanpa aturan. Sedangkan positive liberty merupakan kebebasan yang bisa dinikmati seseorang untuk mengekspresikan dirinya dalam berbuat dan menyampaikan pendapat demi kemaslahatan publik dengan mengikuti aturan, sehingga kebebasan ini betul-betul demi kemaslahatan, kebaikan atau kepentingan orang banyak. Ringkasnya, positive liberty adalah kebebasan di mana seseorang bebas untuk memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan rambu-rambu.6 Negative liberty, baik digunakan dalam ruang publik kongkrit seperti jalan raya di atas, maupun dalam ruang publik abstrak seperti pemikiran yang menjadi fokus tulisan ini, sama-sama berpotensi bagi terciptanya tabrakan atau setidaknya ketidaknyamanan publik. Karena itulah perlu ada rambu-rambu atau etika di mana seseorang harus membatasi diri ketika ruang publik yang dia pakai dengan kebebasan yang dia nikmati berpotensi menciptakan ketidaknyamanan bagi pengguna ruang publik lainnya. Meskipun demikian, ini tidak bisa diartikan pembatasan kebebasan berpikir, tetapi lebih tepat dan dapat diartikan sebagai pengaturan lalu lintas ruang berpikir yang dapat diistilahkan dengan ruang bagi positive liberty.

Alternatif Logika Pembaharuan Pemikiran dalam Islam Menarik mengutip dua pendapat tokoh berikut. David Dean Commins berkata “return to the Quran and the Sunnah, and understand them as the pious forefathers had. Call Muslims to act according to their religion’s teachings. Warn Muslims against polytheism in its various forms. Revive free Islamic thought within the bounds of Islamic principles. Set up an Islamic society and implement God’s law on earth.”7 Ziauddin Sardar berkata “all reformist work must start with recognition of the world as it is. We must see and understand the world as it exists and not as we would like it to be. Only when we appreciate the true dimensions of contemporary reality can we contemplate reforms that will create the world we want.”8 Dua kutipan di atas merepresentasikan dua pilihan yang telah dilakukan seorang Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press: 1969) Untuk lebih lanjut lihat Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press: 1969); Ian Carter, “Positive and Negative Liberty,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Spring 2003). 7 David Dean Commins, Islamic Reform: Politics and Social Change in Late Ottoman Syria (New York, Oxford: Oxford University Press, 1990), h. vii. 8 Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader (London: Pluto Press, 2003), h. 106. 5 6

299


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 pemikir pembaharu dalam Islam. Pilihan pertama apa yang mungkin disebut dengan. Sedangkan dari kutipan kedua dapat disebut reform or Islamisation, therefore, cannot be undertaken in isolation.9 Dalam kaitannya dengan arti penting adanya keragaman pemikiran dalam umat Islam, Ziauddin Sardar menyatakan: Ciri ketiga dunia kita adalah keragaman yang adalah esensi kelangsungan hidup. Bertentangan dengan mitos Darwin, bukan yang terkuat yang bertahan hidup, tetapi mereka yang menggunakan pluralitas berarti. Monokultur mendominasi, mengisolasi, mengasingkan, megurangi dan akhirnya melahirkan diri kematian dengan keseragaman. Analogi ini paling jelas ditunjukkan dalam pertanian: terlalu berat ketergantungan pada tanaman tunggal berakhir di kelaparan; monokultur memiliki masa depan yang terbatas. Namun banyaknya tanaman menghasilkan kelimpahan. Demikian pula, masyarakat plural memiliki kesempatan yang lebih tinggi kelangsungan hidup budaya dan biasanya berkembang.10 Cukup jelas apa yang dimaksudkan oleh Sardar di atas, bahwa beragamnya pemikiran dalam sebuah masyarakat akan menyebabkan masyarakat bisa dinamis dan bertahan lama. Karena itu, untuk menjadikan Islam sebagai rahmat li al‘âlamîn, membuktikan universalitas sistem nilainya, serta menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sekarang bergerak super cepat, maka kontinuitas pembaharuan pemikiran berbagai aspek oleh pemikir dari berbagai latar belakang berbeda dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ada tawar menawar, harga mati. Segala upaya untuk menggagalkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang merusak makna hakiki kehadiran Islam sebagai agama rahmat li al-‘âlamîn ini. Ada fakta bahwa sebagian besar masyarakat Muslim berpendidikan rendah adalah kelompok yang sangat rentan menjadi korban dari arus negatif globalisasi. Bagi umat Islam yang masih mementingkan agama sebagai pedoman utama dalam hidupnya, globalisasi bisa menjadi batu ujian yang sangat berat. Karena, melalui arus globalisasi bisa mengalir berbagai budaya yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai agama. Fakta lain adalah legasi sejarah bahwa pada kurun tertentu dari perjalanan sejarah Islam, umat Islam hanyut dalam taklid halal-haram oriented, ketimbang aspek pengembangan pemikiran. Setiap ada persoalan yang muncul masyakat Islam, dibiasakan merespons dengan melihat apa hukumnya, apakah halal atau haram. Bukan pertanyaan seperti mengapa dilakukan seperti yang dilihat, bukan dengan cara lain yang lebih progresif. Adanya periode tertentu dari sejarah Islam yang terlalu menekankan fiqih sebagai jawaban terhadap sebagian besar aspek kehidupan, telah memformat cara pikir umat Islam seperti itu. Di samping itu, tentu saja anggapan pintu ijtihad telah ditutup dan kampanye anti bid’ah adalah faktor Ibid., h. 107. Ibid.

9

10

300


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

lain yang tidak boleh dianggap kecil tanggungjawabnya terhadap petaka ketertinggalan Islam dari peradaban lain atau mungkin lebih tepat ketertinggalan Muslim dari nilainilai Islami dalam kehidupannya. Kembali mewabahnya gerakan anti pembaharuan di berbagai negara Islam, baik melalui lembaga pendidikan maupun kegiatan-kegiatan dakwah lainnya, jika tidak diimbangi oleh adanya keberanian untuk mengimbanginya, akan bisa berdampak besar bagi kelesuan kemandulan pemikiran dalam Islam. Lambat laun di suatu masa yang akan datang akan bisa memunculkan adanya generasi yang pemikirannya diamputasi, sebagaimana pengalaman sejarah pasca munculnya pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Akan tetapi, apa saja yang harus diperbaharui, sejauh mana hal itu dapat dilakukan serta bagaimana cara terbaik untuk memperbaharuinya adalah ruang yang amat luas dan mungkin tidak bertepi. Di sinilah sebenarnya, letak batu sandung besar penghambat gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini. Dalam komunitas umat Islam saat ini, ada bukti yang jelas bahwa di satu pihak ada keinginan luhur untuk memperluas ruang gerak bagi pemikiran Islam demi penyelarasan nilai-nilai Islam dalam kehidupan super Modern ini. Di samping tentu saja dalam rangka menghadapi kelesuan dan kemandulan internal sebagaimana disebutkan di atas. Namun di pihak lain, ada kekhawatiran yang luar biasa bahwa jika pembaharuan pemikiran dijalankan tanpa kendali (partner?), maka ia bisa keluar dari koridor yang mungkin bukan merupakan tujuan gerakan pembaharuan. Sulit untuk disangkal bahwa liberalisasi pemikiran “absolut” telah menjadi salah satu batu sandung besar yang seakan sekarang membuat gerakan pemikiran seperti terhenti.11 Namun liberalisasi “absolut” ini pun tidak boleh dijadikan satu-satunya kambing hitam, tanpa adanya pemikiran rigid yang ada pada sudut “absolut” lain, yaitu sikap anti pembaharuan. Hasil pemikiran fiqih, misalnya, sudah dianggap sesuci al-Qur’an, tidak bisa diganggu gugat lagi. Karena itu, tidak boleh dikaji apalagi dikritisi untuk diberi pendapat baru terhadap sebuah masalah yang belum ada jawaban tuntas dalam karya-karya fiqih Klasik. Terlepas dari ketidakmampuan, kemalasan semata atau apakah karena alasan keyakinan tertentu, sikap sebagian ulama dan pemikiran Muslim yang antipati terhadap gagasan pembaharuan adalah kutub lain dari penghambat gerakan pembaharuan saat ini. Di samping itu, perlu juga dicatat bahwa pada dalam sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia, seperti UIN, IAIN, STAIN atau universitas Islam lainnya, juga terlihat adanya semacam disorientasi mahasiswa dalam mengambil program Sarjana (S1) Magister (S2) atau program Doktor (S3), yaitu pragamatis dan akademis instan. Tentu saja, harus diakui Dalam berbagai disuksi mata kuliah “Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam (PPMDI) dengan mahasiswa S2 di PPs IAIN STS Jambi, seringkali muncul kritik bahwa gerakan pemikiran yang mengkritisi keberadaan al-Qur’an atau ayat-ayatnya merupakan gerakan pemikiran “liberalisasi absolut” yang dicurigai untuk mengkritisi Islam itu sendiri, bukan pemahaman atau tafsiran terhadap kita sucinya. 11

301


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bahwa problem ini tidak hanya problem perguruan tinggi agama Islam saja. Gelar magister dikejar bukan lagi untuk kepentingan keilmuan, tetapi lebih banyak untuk kepentingan pangkat, jabatan atau status sosial lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan supaya para guru atau dosen harus memperoleh sertifikat magister sebagai salah satu syarat untuk meningkatkan karir mengajar mereka. Demikian juga sejumlah calon atau anggota legislatif dan eksekutif yang tujuannya jauh sekali dari kepentingan akademis. Kehadiran mahasiswa pragmatis dan instan ini sungguh telah mengganggu idealisme akademis di sejumlah perguruan tinggi Islam. Selain itu, adanya sebagian dosen berlatar belakang pendidikan Malaysia dan Timur Tengah dengan gagasan salafiyah radikalnya, juga sering menjadi penghambat munculnya gagasan pemikiran pembaharuan, karena dianggap menyimpang dari Islam. Akibatnya, pemikiran pembaharuan tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik untuk dilirik. Bahkan mungkin bisa dianggap mereka sebagai suguhan basi yang perlu disingkirkan. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam dianggap sebagai bagian dari problem, bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran, Indonesia, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.12 Kemudian, di Mesir dilanjutkan dengan trio al-Afghanî-Muhammad ‘Abduh-Rasyid Ridhâ. Gerakan Pan-Islamisme yang diusung al-Afghanî merupakan responsnya terhadap dominasi Eropa di satu pihak, dan melemahnya persatuan umat Islam di pihak lain. Sementara, ’Abduh mengambil langkah pemurnian yang juga digabungkan dengan pembaharuan sistem pendidikan di Universitas al-Azhar.13 Hal ini bergulir ke berbagai negara Islam lain sampai beberapa dekade belakangan ini. Sebagian dari gerakan pembaharuan ini dapat dikatakan bukanlah bersifar refleksi-inisiatif murni yang muncul atas penggalian terhadap sumber Islam, yakni al-Qur’an. Di Indonesia, gerakan pembaharuan Islam secara kelembagaan atau organisasi keagamaan sudah dimulai sejak pergantian abad 20 ke abad 21 yang lalu. Salah satu organisasi yang paling berjasa dalam hal ini adalah Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memulai pembaharuannya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa peran pemikir muda Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi pembaharuan pemikiran di Indonesia. Sedangkan gerakan pembaharuan pemikiran secara perorangan dan signifikan baru dimulai pada pertengahan kedua dari abad ke 20. Nama-nama yang perlu disebutkan Commins, Islamic Reform, h. 34. Indira Falk Gesink, Islamic Reform And Conservatism: Al-Azhar And The Evolution of Modern Sunni Islam (London-New York: I.B. Tauris Publishers, 2010). 12 13

302


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

di antaranya Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Munawir Sjazali, dan Abdurrahman Wahid.14 Namun, sesungguhnya gerakan pemikiran yang menjadi pemicu utama gerakan pembaharuan belakangan ini adalah muara dari tragedi 9/11 2002, pengebomam World Trade Center (WTC), yang melenyapkan ribuan masyarakat sipil tidak berdosa. Gerakan Islam teroris telah dianggap satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap petaka kemanusiaan itu. Ada paksaan untuk memilih “you are either with us or with our enemy, the terorists” kata George W. Bush. Tentu saja tidak dapat dipungkiri adanya kesadaran kolektif, baik dari luar Islam maupun dari dalam Islam sendiri, bahwa ada persoalan dalam masyarakat Islam dalam memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang mereka yakini. Mengapa Islam yang salah satu pengertiannya “damai” bisa menjadi begitu brutal?. Islam yang begitu luwes dan lapang, mengapa seringkali dia menjadi begitu rigit dan sempit. Nilai Islam yang universal telah dijadikan mentalitas ghetto-parochialis (mentalitas sempit yang hanya senang berdiskusi dan bergaul dengan komunitas terbatas yang mempunyai gagasan tunggal saja). Gerakan pemikiran yang diusung oleh sejumlah aktivis pemikiran Islam di Indonesia belakang ini, seperti Islam Progresif, JIL (Jaringan Islam Liberal), the Wahid Institute, JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan saudara-saudaranya, berawal dari respons terhadap adanya gerakan-gerakan yang membela Islam dengan mentalitas di atas, setelah kran demokrasi dibuka lebar pasca kejatuhan rezim Soeharto dengan Orde Barunya. Dorongan untuk melakukan gerakan juga diperkuat oleh faktor eksternal, ketika terjadi kritik terhadap Islam pasca tragedi pengeboman World Trade Center 2001 di Amerika. Bahwa masing-masing gerakan ini menggunakan nama dan lembaga yang berbeda adalah persoalan pilihan saja. Dengan kata lain, pendirian gerakan-gerakan pembaharuan ini lebih banyak bersifat reaktif-responsif vis-à-vis reflektif-kontemplatif. Salah satu watak gerakan pemikiran reaktif-responsif adalah mudahnya muncul kejenuhan atau kelambanan, ketika terjadi kurangnya aksi berlawanan atau kurangnya daya respon dari masyarakat luas. Ketika gerakan pembaharuan pemikiran ini menampakkan dirinya secara terangterangan sebagai respons terhadap mentalitas ghetto dan rigid Islam radikal, maka reaksi balik dengan perlawanan sengit bahkan brutal muncul. Fatwa menghalalkan darah pengusung gerakan pembaharuan adalah bentuk kekesalan yang telah mencapai puncaknya. Contoh yang paling tepat untuk hal ini adalah fatwa yang dikeluarkan oleh pihak yang menghalalkan darah Ulil Absar Abdalla pada tahun 2004. Bentuk kekesalan ini juga ditunjukkan dengan cara penghinaan terhadap pembicara tertentu di ruang publik atau di sejumlah forum ilmiah. Jadi, ada aksi, reaksi serta reaksi kembali. Di sini terlihat relatif jelas bahwa yang terjadi adalah permusuhan akademis (untuk tidak mengatakan permusuhan sesungguhnya), Dalam pengertian yang lebih luas, sebenarnya ada banyak nama tokoh dan organisasi Islam yang juga memberikan kontribusi penting dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun untuk menyesuaikan dengan tema tulisan ini, maka nama-nama di atas ini dianggap lebih relevan untuk dimasukkan. 14

303


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bukan partner akademis. Perlu juga dimasukkan di sini adalah adanya sejumlah Islam yang sesungguhnya tidak mau memikirkan Islam (dengan bertaklid buta terhadap hasil pemikiran ulama Klasik), tetapi selalu memusuhi orang-orang yang berusaha berpikir sesuatu tentang Islam. Mengiringi peristiwa ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mengeluarkan fatwa haramnya sejumlah gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, termasuk apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla.15 Menurut Ziauddin Sardar dalam Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader, setiap gerakan pembaharuan seharusnya dimulai dengan pengakuan terhadap dunia sebagaimana adanya, tidak sebagaimana yang diinginkan. Hanya dengan merekognisi dimensi sesungguhnya dari realitas kontemporer sebuah masyarakat, barulah seorang pembaharu dapat mengkontemplasikan pembaharuan yang akan menciptakan dunia sebagaimana yang diinginkan.16 Meskipun ada kesan agak terlambat, beberapa tema workshop yang pernah dilakukan bisa dilihat sebagai pengakuan terhadap realitas as it is itu. Ini merupakan pertanda adanya kemajuan yang sangat berarti dan sangat penting bagi keberlanjutan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Secara implisit, diketahui bahwa para pengusung gerakan pembaharuan di Indonesia melalui network LSAF, Yayasan Paramadina, the Wahid Institut, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Rahima,17 menyadari adanya problem yang sedang dihadapi oleh gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Pertama, kesadaran bahwa gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia sedang mengalami stagnansi. Kedua, perlu ada upaya untuk menjawab pertanyaan mengapa terjadi stagnansi?. Ketiga, langkah atau solusi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi stagnansi itu? Keempat, siapa saja atau jaringan mana saja yang mungkin dapat dilibatkan untuk mencari solusi terhadap problem tersebut? Serta pertanyaan lain sebagai turunan dari pertanyaan-pertanyaan ini. Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan ini, akan dielaborasi lebih lanjut problem-problem yang dihadapi oleh gerakan pembaharuan pemikiran Islam di atas. Problem-problem ini juga berdasarkan pada asumsi bahwa gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia disadari sedang mengalami stagansi atau lebih tepat time out, setelah mendapat tantangan sengit, baik dari gerakan yang berseberangan maupun dari masyarakat luas yang mendukung gerakan yang berseberangan itu. Dari elaborasi ini, tulisan ini juga akan berusaha untuk menawarkan solusi alternatif untuk memecahkan kebekuan gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia.

Tentang aksi dan reaksi terhadap fatwa ini, lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2010), h. 5-12. Buku ini membahas dengan mendalam tentang problem yang dihadapi oleh perkembangan pemikiran Islam dari perspektif pelakunya dalam dekade terakhir di Indonesia. 16 Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, h. 106. 17 Charles Kurzman (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford and New York: Oxford University Press, 1998). 15

304


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Berbagai Problem Pembaharuan Pemikiran Jika sebuah gerakan pembaharuan diandaikan sebagai obat terhadap sebuah penyakit, maka diagnosa terhadap penyakit apa yang sedang diderita pasien menjadi sangat penting dan harus dilakukan dengan cara akurat. Hal ini dilakukan supaya menghindari mengobatan yang salah terhadap penyakit yang sesungguhnya diderita pasien. Pengakuan terhadap adanya penyakit setelah didiagnosa dan adanya keinginan untuk sembuh merupakan sesuatu yang lebih penting lagi. Dari sinilah titik tolak yang lebih jelas terhadap keberlanjutan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu penguraian problemnya dan mendiskusikan serta menindaklanjuti solusi yang mungkin ditawarkan.

Problem Definisi dan Orientasi Problem pertama dalam pembaharuan pemikiran di dunia Islam adalah problem definisi kedirian gerakan pembaharuan pemikiran itu sendiri, atau lebih tepatnya batasan wilayah kerja pembaharuan sejauh hubungannya dengan al-Qur’an atau dalam batas tertentu juga sunnah Nabi Muhammad SAW. Maksudnya, terlihat adanya kekaburan antara penafsiran dan mempertanyakan eksistensi dari kedua atau sebagian dari konten sumber sakral dan utama dalam Islam itu. Ada perbedaan yang sangat jelas antara pembaharuan terhadap Islam itu sendiri dengan pembaharuan pemikiran tentang Islam, dalam hal ini penafsiran terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Di dunia Barat-Kristen, ketika terjadi kritik keras dari gerakan sekularisme, penafsiran maupun eksistensi sumber dan konten keduanya menjadi sasaran dan wilayah kerjanya, tidak terbatas pada wilayah penafsiran saja. Kemenangan gagasan sekularisme dalam banyak wilayah kehidupan publik tidak lagi hanya menambah sistem nilai gereja yang ada, tetapi menggantinya. Substansi sistem nilai dari Injil dan gereja digantikan dengan sistem nilai sekuler. Gereja, kitab suci dan para gerejawan secara perlahan dimarjinalkan dari kehidupan publik, atau setidaknya distigmatisasi di ruang publik yang menyebabkannya sering lumpuh tidak berkutik lagi. Sementara, di dalam atau terhadap kedua sumber sakral itu (al-Qur’an dan Hadis) dan apa yang dapat atau harus diperbaharui adalah problem kedua terpenting yang perlu didudukkan dalam rangka memperkecil resistensi dari gerakan anti pembaharuan yang bermuara pada stagnansi tersebut. Dengan teori hudud-nya (keterbatasan), Muhammad Shahrur menghimbau dengan nyaring para intelektual Islam pendukung gerakan pembaharuan untuk membuka ruang penafsiran setiap ayat al-Qur’an dengan mengabaikan istilah ayat-ayat qath‘iyyah yang selama ini diyakini oleh sebagian besar mufassir. Semua ayat al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Namun pada saat yang sama, Shahrur juga mengingatkan bahwa kerja pembaharuan ini dilakukan dalam batas wilayah penafsiran, bukan menggugat eksistensi teks al-Qur’an. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan

305


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 apa yang dilakukan oleh Irsyad Manji dengan The Trouble with Islam-nya.18 Manji di sejumlah tempat secara jelas menggugat eksistensi ayat-ayat al-Qur’an. Hal seperti ini juga kelihatannya telah menginspirasi sebagian aktivis pembaharuan pemikiran di Indonesia. Gerakan-gerakan yang disebutkan terakhir ini lebih tepat disebut sebagai gerakan pembaharuan terhadap “Islam” itu sendiri, karena esensi dari sakralitas Islam terdapat pada kitab sucinya, al-Qur’an. Di sinilah diperlukan diskusi tentang definisi dan batasan pembaharuan ini. Jika yang dikritik adalah keberadaan “Islam” itu sendiri, bukan pemahaman terhadapnya atau terhadap kitab sucinya, maka inilah salah satu faktor munculnya resistensi keras dari sejumlah gerakan dalam Islam. Jika upaya pembaharuan yang dilakukan bertujuan untuk menggantikan Islam dengan “nilai-nilai kebebasan liberal dan sekuler” mutlak, yang bermuara pada menggantikan Islam dengan “sistem,” “nilai” atau “keyakinan” lain, ini bukan tujuan dari diskusi dalam tulisan ini. Problem definisi ini juga bisa dilihat dari perspektif “modernization” versus “revivalization”, pembaharuan modernis versus pembaharuan kembali.19 Modern reformis lebih banyak diinspirasi oleh Europeanisasi atau Westernisasi murni. Meskipun banyak dinilai yang dibawa gerakan ini dapat dijustifikasi oleh al-Qur’an sebagai huda, namun pelabelan gerakan yang Eurocentrisme atau Westernisme itu sangat sering menjadi persoalan. Pelabelan ini telah menyebabkan pengabaian terhadap substansi pembaharuan dan sangat pentingnya konten gerakan yang dilakukan bagi perbaikan umat Islam secara keseluruhan. Bukankah lebih baik kebebasan tanpa batas itu tidak perlu diberi embel-embel “Islam”. Sebab penggunaan Islam bisa merupakan plat form yang membatasi ruang gerak kebebasan berpikir. Termasuk problem besar dalam definisi ini adalah orientasi atau tujuan gerakan pembaharuan. Sebagian gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia saat ini dapat dikatakan sporadis, responsif dan reaktif, ketika gerakan-gerakan itu secara eksplisit sebagai upaya untuk menjadi lawan tanding dari gerakan radikal dalam Islam. Bahkan lebih problematis lagi, ketika gerakan itu hanya merupakan respons terhadap pemikiran sempit seorang tokoh Islam radikal. Gerakan pembaharuan tidak didasarkan nilai-nilai Islam universal yang berawal dari problem masyarakat Islam dalam konteks lebih luas sebagai warga masyarakat peradaban global. Ringkasnya, sebagian dari gerakan pembaharuan pemikiran di dunia akademis Islam tidak ubahnya seperti hulu sungai tanpa muara. Tidak ada tujuan akhir yang jelas dan secara definitif reachable (dapat terjangkau dan terukur), dapat dicapai dengan cara dalam batas tertentu untuk target-target tertentu.

Irsyad Manji, The Trauble with Islam (Australia: Random House, 2003). Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, edited by Ebrahim Moosa (Oxford: One-world Publications, 2000); John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History.” In Voices of Resurgent Islam, edited by John L. Esposito, 32–47 (New York: Oxford University Press, 1983); Seyyed Vali Reza Nasr, Mawdudi and The Making of Islamic Revivalism (New York dan Oxford: Oxford University Press, 1996); Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook (Oxford and New York: Oxford University Press, 2002). 18 19

306


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Problem Pendekatan Bagaimana cara memperbaharui serta apa tujuan pembaharuan dalam Islam adalah problem berikutnya yang perlu didiskusikan dari waktu ke waktu. Yang lebih diperlukan dalam pembaharuan pemikiran adalah diskusi bukan debat kusir, seperti perebutan pengaruh publik sebelum Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Diskusi dapat di-follow-up sampai sebuah gagasan dapat menciptakan perubahan sosial lebih luas. Diskusi bisa bermuara pada kesepakatan atau kesalingmengertian antara peserta diskusi. Meskipun tidak harus selalu terjadi kesepakatan. Sebaliknya, debat hampir selalu bermuara pada upaya mempertahankan diri atau apoligistik, ketimbang melihat kebenaran sebuah pemikiran. Pihak yang kalah dan lemah argumen dalam sebuah diskusi bisa saja bergabung dan mendukung argumen yang lebih unggul dan rasional. Sebaliknya, dalam sebuah debat, pihak yang menang bisa mengeliminasi pihak yang kalah sampai pada pengambil-alihan keberpihakan audiens yang tadinya lebih banyak berlaku pasif. Dalam sebuah perdebatan, pada umumnya yang lebih jernih mengambil kesimpulan adalah pendengar. Sedangkan dalam diskusi, baik partner diskusi maupun pendengar sama-sama bisa mengambil kesimpulan yang jernih. Di samping itu, dalam sebuah debat yang dicari adalah keunggulan sepihak untuk mengalah pihak lain yang bermuara pada ujung yang berbeda. Sedangkan dalam sebuah diskusi, fokus utama adalah mencari titik temu. Meskipun ada kalanya titik temu itu sendiri adalah kesepakatan untuk berbeda pendapat. Ciri lain dari debat adalah mempunyai keterbatasan waktu apabila sudah ada pihak yang lebih unggul atau memang masing-masing sepakat untuk mengakhiri. Sedang diskusi bisa saja menjadi sebuah serial yang berkembang sesuai dengan kondisi yang diciptakan. Dalam sebuah debat, audiens lebih banyak sebagai pendengar pasif yang bisa terpengaruh untuk mengambil sikap meskipun isu yang diperdebatkan bisa saja merupakan kepentingan mereka. Sedangkan dalam sebuah diskusi, audiens bisa terlihat secara aktif baik topik yang didiskusikan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka atau tidak. Salah satu etika diskusi adalah mengakui keunggulan argumen partner dikusi, apabila didukung oleh argumen dan fakta yang kuat. Hal ini jarang terjadi dalam sebuah perdebatan. Fenomena debat antara pengusung pembaharuan Islam dan penolaknya dalam wacana pembaharuan pemikiran di Indonesia kelihatannya diilhami oleh apa yang terjadi di sebagian besar negara Barat yang sekarang sekuler ketika mereka dulu mengalahkan argumen Gereja yang menguasai ruang publik. Apa yang terjadi di dunia Barat se yang dapat disaksikan pada hari ini adalah marginalisasi agama dari ruang publik, sampai akhirnya ruang publik hanya diisi oleh sekularisme murni. Agama menjadi sesuatu yang aneh yang seharusnya perlu masuk penangkalan, namun didesak sedemikian rupa, sehingga harus mencari tempat keluar dari wilayahnya. Jika sebagian besar pendekatan yang digunakan debat disebabkan oleh pengaruh tertentu, baik apa yang terjadi antara pihak Gereja dan sekularis di Barat maupun pengaruh pendekatan Timur Tengah masih dapat ditolerir, maka sebagian dari pendekatan yang 307


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 digunakan di Indonesia tidak jauh beda dari UFC (Ultimate Fighting Championship) yang sering bermuara pada kuncian mati, sehingga pihak yang kalah bertekuk lutut sampai tidak bisa berbuat apa-apa dalam sebuah forum. Padahal seharusnya, tidak ada istilah menang mutlak dalam sebuah pertarungan pemikiran. Karena, kebenaran pemikiran bersifat relatif yang sangat tergantung pada situasi ruang dan waktu. Stagnasi gerakan pemikiran beberapa tahun terakhir ini bisa dilihat dalam konteks ini, ketika gerakan yang berlawanan mendapat applous yang semakin kuat dan tempat yang semakin luas dalam masyarakat. Jika gerakan pembaharuan pemikiran mendapat giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan pembaharuan juga.

Problem Penamaan Gerakan Salah satu problem lain yang memperlambat pengaruh pembaharuan pemikiran dan menyempitnya ruang publik yang dapat digunakan adalah pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya selesai, yaitu antara substansi dan formalitas. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengingatkan para pengusung Islamis untuk tidak terlalu terfokus pada simbol “Islam” dan mengabaikan substansi. Ajaran moralitas tidak perlu diberi nama apapun, termasuk juga moralitas berbasis Islam, jika ia mau dijadikan moralitas universal. Sebenarnya, jika pengusung gerakan pembaharuan pemikiran bisa mengoreksi diri, maka apa yang diingatkan kedua tokoh pemikir ini terhadap gerakan yang berseberangan dengan “Islamis” juga bisa dijadikan salah satu hal yang perlu direnungkan. Sebagian penyebab munculnya resistensi, seperti dikemukakan di atas adalah kesalahpahaman yang muncul akibat simbol formalitas penamaan gerakan, seperti kata “liberal”. Seringkali sesungguhnya, ada substansi yang bisa dijadikan titik temu. Sudah sejak zaman penjajahan dulu, istilah “liberal” menghadapi problem di Indonesia. Meskipun sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia yang “terdidik” ada yang sudah dapat mengabaikan nama-nama asing yang bisa diidentikkan apa yang pernah dilakukan penjajah dulu. Seringkali sebuah gerakan dukungan atau penolakan sesungguhnya tidak terlalu besar, tetapi kemudian mendapat dukungan semakin besar dari masyarakat hanya karena hal yang tidak substantif itu, yaitu karena nama yang tidak familiar di tengah masyarakat. Mengapa sejumlah nama jurnal yang menyuarakan suara “liberal,” tapi dengan nama lebih ke-Arab-an tidak mendapat penolakan sebesar “liberal” belakangan ini, barangkali adalah contoh terbaik untuk direnungkan. Siapa saja bisa berargumen bahwa apalah arti sebuah nama. Namun, ketika sebuah nama yang betul-betul merupakan refleksi dari apa yang menjadi spirit dari sebuah gerakan pemikiran, maka sesungguhnya nama itu adalah gerakan itu sendiri. Mengapa sejumlah gerakan pembaharuan dalam Islam menggunakan istilah seperti pembaharuan kembali ke al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad, seperti yang pernah dilakukan oleh Muhammadiyah, 308


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

padahal tidak jarang juga membawa sistem nilai yang sesungguhnya bermuara dari Barat, tetapi mendapat dukungan luas?. Jawaban yang dekat adalah karena sedalam-dalam atau sekeras-keras kritik diajukan terhadap sebuah realitas, namun muaranya akan tetap mempertahankan Islam (al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.) Yang akan ditinggalkan atau dipinggirkan adalah tafsir atau pemahaman dan praktik keislaman yang diyakini tidak sesuai dengan tujuan utama Islam diturunkan sebagai sebuah agama yang mempunyai misi universal.

Problem Spirit Motivasi dan semangat yang melatar belakangi sebuah gerakan atau karya pemikiran pembaharuan bisa dilihat sebagai sebuah pedang bermata dua, bisa berdampak positif dan negatif. Jika seorang pembaharu dilatarbelakangi oleh “paksaan” agenda dari luar, maka ini bisa bermuara pada menyenangkan orang lain dan “dimusuhi” orang Muslim sendiri. Meskipun di sini bisa terjadi perdebatan panjang. Namun, seringkali terlihat kegiatan gerakan pembaharuan ketika motivasi tidak murni kepentingan internal Islam, setidaknya ada alasan untuk dicurigai. Salah contoh bisa dikemukan, ketika sebuah gagasan pembaharuan yang lebih sering disuarakan di hadapan audiens non-Muslim. Pada hal yang perlu diperbaharui adalah realitas yang ada dalam tubuh Islam. Di sinilah sering muncul tuduhan bahwa seolah gerakan pembaharuan merupakan agen luar yang dimasukkan ke Islam, sebuah tuduhan yang tidak selamanya atau belum tentu benar sama sekali. Problem lain yang bisa diasosiasikan dengan sikap dan karakter ini adalah apa yang disebut Ziauddin Sardar sebagai ghetto mentality, yaitu sebuah mentalitas senang berkumpul dengan orang-orang yang satu gagasan saja tanpa kritik. Ghetto mentality sesungguhnya bukan penyakit dari pengusung Islam radikal saja, tetapi juga secara tidak sadar merupakan mentalitas dari pengusung sejumlah gerakan pembaharuan. Upaya yang dilakukan JIL dengan melaksanakan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi untuk diskusi tematis sangat perlu diapresiasi. Namun, hal ini perlu dikembangkan dengan melibatkan gerakan serupa yang lebih luas dengan mengikutsertakan gerakan yang berbeda pada saat yang sama. Ketika animo masyarakat tidak besar terhadap kegiatan ini, maka pertanyaan “mengapa” sangat perlu untuk diajukan, untuk selanjutnya dicari jalan keluarnya melalui self-critics. Tidak malah menyerah dengan kenyataan dan bertahan pada cara yang tadinya tidak mendapat respons baik dari masyarakat, seperti yang terjadi sejak lebih kurang tiga tahun terakhir ini.

Problem Keterbatasan Ruang dan Waktu untuk Gagasan Besar Ketidakarifan atau mungkin keterpaksaan penggunaan ruang dan waktu sempit yang tidak seimbang dengan besar atau beratnya gagasan atau isu yang menjadi fokus wacana juga merupakan problem dan penghambat berjalannya pemikiran pembaharuan 309


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 di Indonesia. Seringkali pengusung pemikiran pembaharuan menggunakan ruang yang terbatas, seperti koran, talkshow baik TV maupun radio dan diskusi lepas, dibandingkan dengan penulisan sebuah buku yang “tuntas” ketika mendiskusikan isu-isu berat yang membutuhkan ruang yang memuaskan untuk menuntaskan sebuah topik pembicaraan. Seringkali pengusung pembaharuan pemikiran tidak sepenuhnya menyadari sudah masuk ke dalam skenario kerja jurnalis yang sering lebih mengutamakan popularitas dibandingkan menuntaskan pemahaman. Salah satu contoh terakhir adalah apa yang dilakukan oleh Teater Hutan Kayu satu hari setelah workshop “Menata Kembali Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia.” Pada diskusi serial JIL ini, Ulil Absar Abdalla menyampaikan papernya dengan judul “Doktrindoktrin yang kurang perlu dalam Islam”. Pada dasarnya, apa yang disampaikan Ulil dalam paper (pokok pikiran)-nya itu tidak begitu jauh dengan dengan kampanye anti bid’ah ala gerakan “salafi”. Tapi, dasar pemikiran yang disampaikan Ulil yang melandasi pemikirannya itu tidak dimuat dalam pokok pikirannya itu. Padahal, sebelas poin yang disampaikan Ulil adalah isu-isu yang sangat memerlukan landasan pemikiran yang kuat.20 Karena itu, sangat perlu disertai dalam pokok pikirannya itu, tidak dimuat secara terpisah. Demikian juga, sejumlah gagasan gerakan pembaharuan pemikiran yang pernah disampaikan Ulil sebelumnya seperti tentang haji, jilbab dan sebagainya. Argumen-argumen yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi Muhammad SAW yang sering dijadikan alasan oleh penantang pembaharuan pemikiran dalam Islam sama sekali tidak disentuh oleh Ulil. Sebagai contoh argumen bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup (khatam al-nabiyyîn) berdasarkan Q.S. al-Ahzab/33: 40. Sekiranya Ulil bisa membahas lebih jauh tentang tafsiran khatam al-nabiyyîn, maka tentu akan terjadi diskusi dan adu argumen. Ketika Ulil menyatakan kurang perlunya doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir/penutup dalam Islam, sehingga memungkinkan penganut Islam tertentu, seperti Ahmadiyah, berhak hidup di Indonesia, tidak begitu kuat ketika argumen yang mendukung doktrin ini tidak secara tuntas dijelaskan. Demikian juga doktrin-doktrin lain yang disampaikan oleh Ulil dalam pokok pikirannya tentang “Doktrin yang tidak perlu dalam Islam” itu. Terlalu sempit ruang yang disediakan untuk gagasan atau isu-isu yang sangat penting dan besar itu.

Problem Kelembagaan Meskipun masih memerlukan data dan kajian lebih lanjut, namun dari berbagai diskusi lepas dan korespondensi dengan berbagai teman, baik dalam maupun manca negara, dapat dikatakan bahwa faktor kelembagaan merupakan salah satu problem dalam pemUntuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok pemikiran Ulil Abashar ini, lihat “Doktrindoktrin yang Kurang Perlu dalam Islam”, disampaikan pada Dikuski serial JIL (Jaringan Islam Leberal”, Teather Hutan Kayu, Jakarta tanggal 30 Desember 2010. 20

310


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

baharuan pemikiran di Indonesia.21 Pertama, bahwa keberadaan dari sejumlah gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia yang berbasis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sebagaian besar pendanaan programnya tergantung pada penyandang dana, baik dalam maupun luar negeri, kemungkinan bagian dari penyebab lain tidak stabilnya perjalanan gerakan pembaharuan pemikiran yang dilakukan. Sebagai LSM, setidaknya ada empat faktor yang menentukan perjalanannya; adanya Sumber Daya Manusia, adanya program, adanya dana untuk menjalankan program dan adanya penyandang dana baik yang bersifat permanen maupun yang bersidat indisentil. Terlepas apakah dapat dibuktikan atau tidak, keberadaan sejumlah LSM berlabel Islam yang dibiayai luar negeri atau penyandang dana tertentu dari dalam negeri, sudah lama dicurigai mempunyai tujuan dan agenda yang “dipesan,� bukan egenda murni sebagai refleksi dari analisa problem masyarakat. Kedua, keberadaan LSM gerakan pemikiran Islam yang terkadang terlihat kasat mata berhubungan dengan lembaga-lembaga politik praktis juga dianggap bahwa LSM terkait sebenarnya mempunyai kepentingan-kepentingan praktis dan instan. Itulah salah satu sebab lain yang terkadang membuat idealisme gerakan pembaharuannya berjalan tersendat-sendat.

Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka langkah prioritas dalam menata kembali pembaharuan pemikiran dalam Islam Indonsia sebagai bagian terhadap kontribusi global adalah dengan menjadikan gerakan pembaharuan sebagai gerakan membangun “peradaban masyarakat universal� berbasis nilai-nilai yang bersumber dari Islam. Hal ini dilakukan atas pertimbangan keyakinan universalitas nilai-nilai Islam. Dengan demikian, ghetto mentality yang menyebabkan nilai Islam menjadi sempit, bringas, radikal, termasuk teror fisik maupun mental, dapat dihindari melalui perbaikan agenda dan perubahan pendekatan. Respons-respons sporadis terhadap gerakan yang berseberangan akan lebih baik dialihkan pada perhatian terhadap masyarakat luas, di mana gerakan yang berseberangan seringkali memperoleh dukungan. Menggunakan ruang publik dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh publik luas sebagaimana yang digunakan oleh gerakan anti-pembaharuan menjadi hal yang sangat perlu dipertimbangkan kembali. Dalam konteks inilah, kesan elitis gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia harus melihat situasi dan kondisi. Meskipun kesan elit dan arogansi akademis perlu dipertahankan pada saat tertentu, namun ada situasi dan kondisi tertentu di mana gerakan pembaharuan harus menanggalkan keelitisannya. Namun perlu diingat, bahwa gagasan dan perjalanan globalisasi saat ini hampir tidak memungkinkan adanya satu kontributor tunggal untuk membangun peradaban universal, tidak juga Barat yang sudah sangat maju itu.

Salah satu korespondensi penting dalam tulisan ini adalah dengan Mun’im A. Asirry yang sependapat dalam hal ini. Hal ini didukung oleh perbandingan yang dia buat antara Indonesia dan di Amerika. 21

311


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Dalam gagasan membangun peradaban (atau lebih tepatnya meneruskan) bangunan pondasi kemanusian global, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, sifat gerakan yang permanen, terus menerus dan menyeluruh. Artinya, para pengusung dan pejuang pembaharuan pemikiran Islam sangat dituntut untuk mendata problem masyarakat, membangun atau mencari teori untuk mengatasinya, serta melibatkan perorangan atau lembaga tertentu dalam mengatasi problem terkait. Kedua, program dan tema-tema gerakan disesuaikan dengan problem masyarakat yang diperoleh dari hasil penelitian tentang realitas kehidupan masyarakat. Dalam konteks semua inilah, membangun kerja sama yang “permanen” dengan lembaga perguruan tinggi menjadi sangat penting, dan mungkin niscaya. Lembaga peguruan tinggi adalah lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengantisipasi dan merekayasa perubahan sosial. Rekayasa perubahan sosial ini salah satu titik temu antara gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang ada di luar kampus. Namun dalam membangun kerjasama dengan perguruan tinggi, tentu ada persyaratan-persyaratan awal yang harus dipenuhi dan disepakati. Karena bagaimanapun perguruan tinggi tentu dalam hal ini mempunyai posisi bargaining yang lebih besar, karena ia bersifat permanen. Di sinilah perlu untuk diambil langkah-langkah mengantisipasi, menghindari dan mengatasi problem-problem yang disebutkan di atas. Pekerjaan menata kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia ini tidak mudah, tetapi jika pemikiran adanya stagnansi gerakan pemikiran di Indonesia dibenarkan, dan upaya untuk mengatasinya disepakati, maka pokok-pokok pikiran di atas menjadi sangat perlu dijadikan salah satu pintu masuk mengatasi stagnansi itu.

Pustaka Acuan Berlin, Isaiah. Four Essays on Liberty. Oxford: Oxford University Press: 1969. Carter, Ian. “Positive and Negative Liberty,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2003. Commins, David Dean. Islamic Reform: Politics and Social Change in Late Ottoman Syria. New York, Oxford: Oxford University Press, 1990. Gesink, Indira Falk. Islamic Reform And Conservatism: Al-Azhar And The Evolution of Modern Sunni Islam. London-New York: I.B. Tauris Publishers, 2010. Kurzman, Charles (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook. Oxford and New York: Oxford University Press, 1998. Kurzman, Charles. Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook. Oxford and New York: Oxford University Press, 2002. Nasr, Seyyed Vali Reza. Mawdudi and the Making of Islamic Revivalism. New York dan Oxford: Oxford University Press, 1996. 312


Suaidi Asyari: Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, edited by Ebrahim Moosa. Oxford: One-world Publications, 2000. Sardar, Ziauddin. Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader. London: Pluto Press, 2003. Shalahuddin, Henri. “Pembelokan Makna ACIS,” dalam http://insists.multiply.com/. Voll, John O. “Renewal and Reform in Islamic History,” In John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam. New York: Oxford University Press, 1983.

313


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

EFEK GANDA PENGELOLAAN WAKAF UANG Rozalinda Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Jl. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang, 25153 e-mail: roza_linda32@yahoo.com

Abstrak: Selama ini pemanfaatan wakaf cenderung tidak produktif dan mengabaikan kemungkinan potensi untuk kesejahteraan umum. Tulisan ini mendiskusikan perubahan dan implikasi yang timbul dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Penulis mengemukakan bahwa wakaf uang dapat berperan dalam menunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik pembangunan sumber daya manusia, maupun ekonomi dan sosial. Investasi wakaf uang dapat disalurkan untuk membantu biaya operasional lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial. Di sinilah wakaf uang berperan sebagai salah satu sumber pendanaan alternatif untuk peningkatan kesejahteraan umat. Menurut penulis, introduksi UndangUndang ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif. Abstract: The Multiplier Effects of Currency Endowment Management. The employment of wakaf or endowment thus far tends to be unproductive disregarding the possibility of its potential for the public interest. This writing discusses changes and implication brought by the introduction of Regulation No. 41/2004 concerning Wakaf. The author maintains that currency endowment may function to supporting the process of development throroughly, both in human resources and social economy. Currency endowment investment may be distributed as a mean of assisting operational funding of educational, health and social institutions. It is on this that currency endowment plays the role as an alternative financial resource for the betterment of social prosperity. According to the author, the introduction of this regulation would become an avenue for empowering endowment productively.

Kata Kunci: wakaf uang, ekonomi umat, UU No. 41/2004

Pendahuluan Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Dengan diaturnya wakaf uang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sektor 314


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umat. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang ini, konsep wakaf mengandung dimensi yang sangat luas. Wakaf mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan, tetapi juga untuk pemberdayaan ekonomi umat. Formulasi hukum yang demikian, jelas menunjukkan adanya suatu perubahan yang sangat revolusioner dalam wakaf. Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Meningkatkan peran wakaf tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Dari sini nampak jelas bagaimana kepentingan kesejahteraan sosial sangat kuat memengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional yang dikumandangkan undang-undang wakaf ini adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial keagamaan lainnya. Dengan dikembangkannya wakaf uang, akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah: Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf uang akan memudahkan wakif untuk berwakaf. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa dimanfaatkan dengan membangun gedung atau sarana lain yang lebih produktif untuk kepentingan umat. Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya sangat kekurangan. Pada gilirannya umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. Keempat, dana wakaf uang bisa memberdayakan usaha kecil. Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial.1 Ini membuktikan bahwa pengelolaan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang strategis. Tidak ditentukannya batasan dan kadar wakaf dalam perspektif fiqih memberi kesempatan kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi umat, tanpa harus menunggu menjadi kaya terlebih dahulu. Karena itu, seorang wakif dapat saja mewakafkan uangnya kapan saja dan dalam jumlah berapa saja. Berbeda dengan zakat yang ditentukan jumlah dan kadarnya, wakaf uang merupakan perbuatan sunat yang batas dan jumlahnya dibebaskan bagi wakif untuk mengeluarkannya seperti halnya Isbir, “Wakaf Tunai,� http://www.bimasislam.depag.go.id, 19 Desember 2007, 10.53 WIB.

1

315


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 sedekah. Seharusnya konsep ini dapat menjadi spirit keagamaan yang mendorong masyarakat untuk berwakaf sesuai dengan kemampuannya sehingga jumlah wakif akan terus bertambah dan jumlah dana wakaf yang terhimpun pun meningkat. Dari keunggulan wakaf uang tersebut, jelas pengelolaan wakaf uang menjadi sangat penting karena sarat dengan dimensi ekonomi yang memberikan pengaruh terhadap penciptaan keadilan distributif dan keadilan sosial.

Muatan Ekonomi dalam Wakaf Uang Pengelolaan wakaf uang sangat strategis dan dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi umat. Dari perspektif ekonomi, menurut Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi dalam The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management: an Optimal Control Theory Approach, wakaf dapat dilihat sebagai simpanan dan investasi secara bersamaan. Wakaf dari sudut pandang ekonomi bisa dikatakan sebagai instrumen saving sekaligus prosperity (kemakmuran), yakni sebagai dana yang potensial untuk diinvestasikan dalam asset produktif yang dapat memberikan hasil atau pendapatan. Ini yang dikatakan dengan wakaf uang mengombinasikan tindakan saving dan investasi secara bersamaan. Wakaf dapat juga diperlakukan sebagai investasi yang memberikan pengembalian investasi yang dapat digali untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Dari perspektif ini, wakaf dapat dilihat sebagai sarana untuk menciptakan multiplier effects (efek ganda) baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Dengan melaksanakan wakaf, berarti wakif mengorbankan kesempatan konsumsi hari ini dan secara berbarengan meletakkannya sebagai investasi yang dapat meningkatkan akumulasi modal sosial dalam ekonomi untuk tujuan peningkatan pelayanan sosial dan pendapatan masa yang akan datang.2 Wakaf uang, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu merupakan modal yang siap dijadikan sebagai alat produksi. Sejalan dengan itu, dalam Islam, perilaku konsumsi seseorang dimodifikasi dengan mempertimbangkan karakteristik konsumsi berdasarkan ketentuan syariah. Dengan adanya pengeluaran wakaf uang, pola konsumsi masyarakat (wakif) akan berubah ke arah pola konsumsi produktif. Uang yang diwakafkan akan lebih bermanfaat secara ekonomis kepada mustahik karena oleh nazir wakaf diinvestasikan untuk kegiatan-kegiatan produktif, misalnya disalurkan sebagai modal kerja bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan skema mudhârabah atau musyârakah. Jika potensi wakaf uang dalam meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dapat diwujudkan, lebih lanjut potensi ini akan mampu menjaga stabilitas politik. Investasi dana wakaf melalui sektor ril akan mengarah pada keseimbangan antara uang wakaf Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi, “The Dynamic of Cash Waqf Management an Optimal Control Theory Approach,â€? http://psekp.ugm.ac.id, h. 2, Diunduh 18 Juni, 2007, 13.07 WIB. 2

316


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

yang terhimpun dan sektor ril yang membutuhkan talangan dana. Hasil dari pengelolaan dana wakaf, dapat menjaga stabilitas politik akibat ketidakmampuan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi, yakni dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat dari peningkatan pendapatan dan tersedianya lapangan kerja. Keadaan ini akan dapat mengurangi beban APBN pemerintah karena tingginya angka kemiskinan.3 Di samping itu, wakaf dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menyediakan pelayanan sosial yang paling esensial tanpa dana dari pemerintah. Karena itu, menurut Murat Cizakca, Dosen Fakultas Administrasi Bisnis Universitas Bahcesehir Turki, pemerintah dapat menggunakan instrumen wakaf untuk menyelesaikan masalah defisit anggaran dan mengurangi utang negara.4 Gagasan wakaf uang yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan Sosial Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi masalah kesejahteraan sosial di negeri ini. Model wakaf uang adalah sangat tepat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi seperti yang telah dibuktikan di Bangladesh. Model wakaf uang juga bisa mengalahkan kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf uang sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat utang dan ketergantungan pada luar negeri.5 Menurut Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Jamal, peranan wakaf dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dapat dilihat dari beberapa segi, yakni: 1) melalui simpanan wakaf yang ditujukan untuk melayani proyek-proyek pembangunan, akan tercapai kekuatan finansial baru yang menyokong perekonomian negara. Aset-aset wakaf itu adalah kebutuhan finansial yang tetap eksis dan selalu membantu ekonomi negara; 2) membantu pendirian infrastruktur; 3) memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengurangi pengangguran; 4) berpartisipasi dalam menambah gerakan bisnis di masyarakat.6 Adapun peranan wakaf uang dalam pemberdayaan ekonomi umat dapat dilihat pada dua hal, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemeratan pertumbuhan ekonomi. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Islam dan Penyelengaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: t.t., 2005), h. 111. 4 Murat Cizakca, “Awqaf in History and its Implications for Modern Islamic Economic,” dalam Islamic Economic Studies Vol. 6 No. 1 November 1998 (Jeddah: Islamic Research and Training Institution (IRTI) Islamic Development Bank (IDB), h. 44. 5 Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai dan Sektor Volunter: Strategi untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri,” Makalah disampaikan dalam Seminar Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: 10 November 2001. 6 Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî fî al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah al-Mu‘âshirah (Kairo: Dâr al-Salâm, 2007), h. 135. 3

317


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi. Hal ini dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut ini.7 Jika ada 20 juta umat Islam Indonesia dari 210 juta umat Islam Indonesia mewakafkan uangnya sebesar Rp50.000,00 maka dalam hitungan sederhana akan diperoleh dana sebesar 1 triliun rupiah. Dana wakaf itu siap untuk diinvestasikan. Jika dana itu dititipkan di bank syari‘ah dengan bagi hasil 10% pertahun, pada akhir tahun sudah ada dana segar yang siap dimanfaatkan sebesar 100 miliyar rupiah. Perhitungan ini baru untuk satu kali wakaf, lantas bagaimana kalau umat Islam Indonesia yang mewakafkan uangnya sekitar 100 juta orang dan dilakukan secara berulang-ulang untuk beberapa periode, karena wakaf dapat dilakukan kapan saja. Tentulah dana wakaf itu akan terkumpul dalam jumlah yang besar dan sangat potensial untuk menjadi sumber dana investasi bagi pengembangan ekonomi umat. Berdasarkan ilustrasi di atas, bila 100 milyar rupiah sebagai hasil dari menginvestasikan dana wakaf 1 triliun rupiah, maka betapa banyak orang miskin akan mendapatkan manfaat dari dana tersebut melalui modal kerja. Sekian ribu anak yatim dan panti asuhan dapat disantuni, sekian puluh sekolah dapat diperbaiki, sekian balai kesehatan dapat didirikan dan sekian pedagang dan petani kecil dapat diberikan modal kerja. Wakaf uang tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga mampu menciptakan pemerataan pendapatan terutama bagi masyarakat yang semula tidak memiliki peluang usaha menjadi mendapat peluang usaha, dan bagi masyarakat yang semula tidak mempunyai pendapatan menjadi memiliki pendapatan. Melihat fenomena kemiskinan hari ini, wakaf uang sangatlah prospektif untuk membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Harta wakaf yang diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudhârabah) membantu masyarakat yang kekurangan modal atau belum punya usaha untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Kemudian, pendapatan bagi hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam melakukan pengelolaan ini, nilai uang yang diwakafkan harus tetap utuh jumlahnya, sedangkan yang disampaikan kepada mawqûf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang tersebut. Seperti yang dinyatakan Dian Masyita et al., dana wakaf uang dapat menjadi dana pengurangan kemiskinan di Indonesia terutama melalui program micro finance. Perusahaan mikro dapat menjalankan usaha secara optimal setelah dibiayai.8 Di sinilah wakaf uang itu dapat menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Wakaf uang menawarkan peluang untuk membantu masyarakat dalam meningDepartemen Agama RI, Wakaf Tunai, h. 106. Dian Masyita, et al., “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of the Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia,” makalah disampaikan pada The 23rd International Conference of the System Dynamics Society Massachussets Institute of Technology (MIT), Boston, Juli 17-21, 2005, h. 27. 7 8

318


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

katkan pendapatan dari bagi hasil yang diperolehnya. Lebih lanjutnya tentunya pendapatan ini memberi dampak positif bagi perubahan kehidupan ekonomi masyarakat. Apalagi investasi dana wakaf yang disalurkan diberikan dalam bentuk dana bergulir yang dijadikan modal usaha bagi masyarakat lainnya secara berkelanjutan. Betapa banyak masyarakat yang dapat diberdayakan kehidupan ekonominya dan betapa banyak masyarakat yang dapat menikmati manfaat investasi wakaf uang, sungguh suatu instrumen keuangan Islam yang sangat potensial. Wakaf merupakan instrumen finansial Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan ekonomi, seperti pemberdayaan ekonomi umat, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian wakaf sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan. Dalam jangkauan yang lebih luas, kehadiran wakaf uang dapat dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang ekonomi, terutama sekali jika wakaf dikelola dengan manajemen yang rapi, teratur dan profesional disertai kualitas para pengelolanya.

Pemeratan Pertumbuhan Ekonomi Wakaf uang sering dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Uang wakaf dapat digunakan sebagai modal yang siap untuk diproduktifkan. Salah satu kelebihan wakaf uang adalah pemberian peluang bagi penciptaan investasi di bidang ekonomi, termasuk bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Wakaf dalam bentuk ini lebih meluas sifatnya, dari pada sekadar benda bergerak yang lainnya.9 Melalui wakaf uang (cash waqf) aset-aset wakaf yang ada, seperti tanah kosong yang tidak produktif, dapat dimanfaatkan untuk pembangunan toko atau rumah sewa ataupun diolah menjadi lahan pertanian. Lahan tersebut dapat dikelola secara mudhârabah atau ijârah kemudian hasilnya dapat disalurkan kepada mawqûf ‘alaih. Dengan potensi dana yang cukup besar pada contoh perhitungan di atas, cara pengelolaan dana wakaf seperti ini dapat mengatasi masalah pengangguran. Orang yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap atau kekurangan dana dalam berusaha dapat mengatasi masalahnya dengan mendapat pembiayaan dana dari lembaga wakaf yang ada. Seperti yang telah dibuktikan Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhu‘afa, lembaga ini menyalurkan dana wakaf produktifnya kepada usaha kecil menengah yang tersebar di Indonesia, baik dalam sektor perdagangan, perkebunan maupun peternakan. Menurut al-Jamal, wakaf dapat mengatasi stagnasi (kelesuan) ekonomi. Wakaf memiliki peran efektif dalam menekan unsur-unsur produktivitas yang terabaikan, memiliki kemampuan http://www.halalguide.info, “Wakaf Produktif,” 6 Juni, 2007, 18.54 WIB.

9

319


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 maksimal dalam memerangi pengangguran, serta punya pengaruh jelas dalam pengalokasian pendapatan dan kekayaan. Usaha wakaf dalam pembangunan dan pemusatan eksperimen di bidang tersebut secara terus menerus membuat lembaga-lembaga wakaf berkembang menjadi suatu sistem yang bisa menghadapi krisis. Wakaf memenuhi standar stabilitas moneter minimal untuk beberapa bidang pembangunan sosial. Memelihara stabilitas moneter dari fluktuasi pendanaan pemerintah yang terkadang menghadapi krisis karena minimnya pendanaan atau meningkatnya pembelanjaan karena biaya tidak terduga.10 Dengan demikian wakaf merupakan payung pelindung dari fluktuasi dan badai ekonomi. Investasi wakaf sebetulnya memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan investasi lain. Pertama, investasi wakaf walaupun ditujukan pada sektor produktif yang dapat mendatangkan keuntungan secara pasti (provitable). Namun, pengembangan wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal saja, tetapi lebih mengedepankan unsur birr (kebajikan). Keunikan inilah yang membedakan investasi wakaf dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu uniknya sektor ini, Monzer Kahf memasukkan wakaf sebagai sektor ketiga (third sector).11 Kedua, aset yang diwakafkan harus terus terpelihara dan berkembang. Hal ini nampak dengan adanya larangan terhadap pengurangan aset wakaf dan membiarkannya terlantar tanpa dimanfaatkan. Menurut al-Jamal, seperti halnya zakat, wakaf dapat membantu setiap orang untuk berkesempatan mengolah aset-aset produktif serta mengoperasikan kemampuan yang terabaikan, sehingga pengangguran dapat dihilangkan secara bertahap. Di mana semua individu menjadi orang yang produktif.12 Ini berarti wakaf dapat mengentaskan pengangguran.Wakaf berpartisipasi aktif dalam memperbaiki ekonomi dan sosial dan masalah pengangguran. Karena itu, harta wakaf bisa dieksploitasi dalam skala besar sehingga bisa diberikan subsidi, penyediaan kesempatan kerja, dan penyediaan lembaga-lembaga pelatihan kewirausahaan.

Penciptaan Keadilan Distributif Dalam sejarahnya, substansi wakaf uang sebenarnya telah lama muncul. Bahkan, dalam kajian fiqih klasik seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih muamalah dalam perspektif maqâshid syarî‘ah yang bermuara pada mashlahah al-mursalah, termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. Wakaf uang adalah salah satu sumber pendanaan alternatif untuk program penang-

Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 165. Monzer Kahf, “Financing the Develpoment of Awqaf Property,” makalah disampaikan pada Seminar Development of Awqaf (Kuala Lumpur 2-4 Maret 1998), h. 8-9. 12 Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 135. 10 11

320


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

gulangan kemiskinan.13 Dengan menggalang dana wakaf uang dari orang-orang yang mampu, yang mempunyai kesadaran dan kepedulian sosial yang tinggi memberikan peluang kepada masyarakat untuk mendapatkan dan meningkatkan pendapatan. Wakaf yang terhimpun, dikelola secara produktif, kemudian keuntungannya disalurkan sebagai modal usaha kepada orang-orang yang kekurangan modal. Dari wakaf uang ini betapa banyak petani dan pedagang kecil yang mendapat tambahan modal usaha, betapa banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat merasakan manfaatnya. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa wakaf memberi banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat baik sosial maupun ekonomi. Dari perspektif sosial, wakaf dapat digunakan sebagai sarana untuk mengurangi kemiskinan, kontrol dan keharmonisan kehidupan sosial, serta meningkatkan perpaduan sosial. Wakaf dapat menghindari jarak kelas sosial antara orang kaya dan miskin karena orang yang mampu secara sukarela membagikan kekayaan mereka pada orang yang kurang mampu. Dana yang disalurkan ke lembaga pengelola wakaf dikelola secara produktif, yang kemudian surplus pengelolaannya disalurkan kepada orang-orang yang kekurangan modal usaha. Dengan demikian, seperti yang ditegaskan Duddy Roesmara Donna dan Mahmudi, produktivitas wakaf akan memicu terciptanya keadilan sosial yang dengan segera dapat menciptakan dukungan bagi kemakmuran masyarakat.14 Di sini terlihat adanya bentuk distribusi pendapatan dari pihak yang mempunyai pendapatan yang lebih kepada pihak yang berpendapatan rendah. Dari efek distribusi pendapatan ini jelas akan membuat pemerataan pendapatan secara adil. Inilah yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan kepada setiap individu dalam kegiatan ekonomi tanpa batas. Dalam sistem ekonomi kapitalis, individu mempunyai kuasa penuh terhadap hartanya dan bebas menggunakan sumber-sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki. Prinsip kebebasan mutlak ini menurut Afzalurrahman dalam Economic Doctrines of Islam, ternyata menimbulkan ketimpangan ekonomi, membawa pada rusaknya keseimbangan dalam distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Individu yang memiliki modal lebih besar akan menikmati hak kebebasan yang lebih baik dan mendapatkan hasil yang maksimal.15 Kondisi ini praktis membawa masyarakat kepada dua kelas, yaitu kelas hartawan dan kelas miskin. Kelas hartawan menguasai seluruh sumber-sumber produksi dan dapat bertindak sekehendak

Selama ini, dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari 1) Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda). 2) Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. 3) Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, CSR. 4) Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Masyita, et al., “A Dynamic Model for Cash Waqf Management, h. 27. 14 Donna dan Mahmudi, The Dynamic Optimization. 15 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin (Yogyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1985), h. 4-5. 13

321


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 hatinya dan memanfaatkan sumber-sumber produksi untuk kepentingan pribadinya. Keadaan ini menutup peluang bagi kelas miskin untuk memperoleh bagian dari sumbersumber produksi kecuali hanya untuk memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan minimal guna mempertahankan kelangsungan hidup sehari-hari yang diperoleh dari jasa melayani kepentingan kaum hartawan. Untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model wakaf uang sangat tepat dalam bentuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Terjadinya arus lancar (cash flow) penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat. Sebagaimana disebutkan al-Qur’an terhadap pelarangan konsentrasi kekayaan pada segelintir anggota masyarakat (dûlah bain al-aghniyâ’) serta resistensi terhadap status idle (menganggur) bagi segenap sumber daya dan aset yang bertentangan dengan konsep produksi perspektif ekonomi Islam. Melalui wakaf uang akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat sosial (social benefit). Sejalan dengan ini, menurut Habib Ahmed dalam Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation, dana wakaf juga dapat diberikan sebagai pinjaman kepada masyarakat yang kurang mampu. Seperti halnya zakat, wakaf dapat digunakan untuk pembiayaan sektor mikro. Keuntungan dari wakaf pun di samping sedekah dapat juga digunakan untuk pembiayaaan produktif sektor mikro.16 Wakaf uang yang dinvestasikan dalam format mudhârabah dapat membangkitkan pendapatan dari investasi yang digunakan untuk tujuan sukarela. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya operasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum dhuafa melalui wasiat wakif ataupun tanpa wasiatnya.

Dimensi Sosial dalam Wakaf Uang Instrumen wakaf yang ditawarkan Islam merupakan perwujudan dari aspek moral yang menekankan kepada nilai keadilan yang salah satu bentuknya terlihat pada keadilan sosial ekonomi. Konsep keadilan sosial ekonomi dalam perspektif Islam, didasarkan pada ajaran persaudaraan yang melampaui batas-batas geografis, suku, agama, dan ras. Hal ini dapat menciptakan hubungan antara sesama manusia hidup berdampingan secara damai dan bersahabat. Tentunya ini dapat diartikan sebagai bentuk dari universalitas Islam sebagai rahmat bagi semua umat (rahmatan lil ‘âlamîn). Keadilan sosial ekonomi (economic social justice) mengandung pengertian bahwa Islam sangat menekankan persamaan manusia (egalitarianisme) dan menghindarkan segala bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada segelintir orang, dan lain-lain.

Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jedah: Islamic Research and Training Institution, Islamic Development Bank, 2004), h. 127. 16

322


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis,17 akibat dari prinsip kebebasan mutlaknya ternyata menimbulkan ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Kondisi ini praktis membuat jurang yang dalam antara orang kaya dan orang miskin. Kesenjangan sosial tersebut mengakibatkan nilai-nilai persaudaraan, tolong-menolong tidak lagi berharga dan tidak dipedulikan masyarakat. Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam masyarakat, instrumen wakaf merupakan salah satu jawabannya. Wakaf dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. Karena di dalam instrumen wakaf, tercipta semangat tolong menolong (ta‘âwun) dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk diberikan kepada masyarakat. Terciptanya keadilan sosial ekonomi akan dapat menghindarkan manusia dari kesenjangan-kesenjangan di antara sesamanya. Salah satunya adalah kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Menurut al-Jamal, wakaf adalah salah satu bentuk jaminan sosial yang efektif dan sarana yang manjur untuk memerangi sikap konsumtif yang berlebihan. Wakaf juga dianggap sebagai penopang solidaritas sosial, dan salah satu media untuk mengatasi masalah kemiskinan di dalam masyarakat. Wakaf, shadaqah jâriyah yang selalu mengalirkan pahalanya kepada wakif, menjalankan sebuah peranan yang besar di bidang solidaritas sosial dalam masyarakat Islam, multi-aspek dan multi-dimensi. Ungkapan ini merupakan wujud nyata dari semangat solidaritas sosial yang secara hakiki digarap Islam dari dalam diri manusia, serta menjadikannya sebagai sistem sosial yang terpenting. Solidaritas yang terpusat pada wakaf dianggap lebih maju dibanding dengan sistem jaminan sosial yang banyak dipraktikkan pada masa sekarang ini. Sebab wakaf adalah kebajikan dan shadaqah mâliyah yang dilakukan oleh orang kaya dan memberi kemudahan untuk para fakir, miskin dan orang lemah, demi mengharap pahala di sisi Allah SWT.18 Wakaf merupakan pondasi yang didasari oleh kebajikan. Dalam sejarah peradaban Islam, Rasulullah adalah orang pertama yang memberikan contoh terbaik bagi umatnya untuk hal tersebut. Ia mewakafkan tujuh kebun yang diwasiatkan oleh seorang Yahudi yang bernama Mukhairiq. Ini merupakan wakaf pertama dari kalangan non-Muslim. Rasullullah kemudian mewakafkan sebagian hasilnya untuk kepentingan umat Islam.19 Aspek-aspek kebaikan, serta jaminan sosial yang muncul dari wakaf dalam masyarakat Islam sangat banyak. Di antaranya, wakaf diperuntukkan bagi anak terlantar dan anak yatim, serta untuk menjaga orang lumpuh, orang buta, orang jompo dan orang lemah.20 Wakaf

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 2; Abû al-A‘la al-Maudûdî, Dasar-dasar Ekonomi dalam Islam dan Berbagai Sistem Masa Kini, terj. Abdullah Suhaili (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), h. 7. 18 Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 159. 19 Lihat Monzer Kahf, Al-Waqf al-Islâmî Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), h. 19-22. 20 Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 160. 17

323


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 dalam sejarah Islam memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Wakaf ditujukan untuk mendukung kebutuhan masyarakat miskin atau kebutuhan yang lebih luas seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, penelitian ilmiah, perpustakaan, perlindungan lingkungan hidup, fasilitas umum pembiayaan bisnis, dan sebagainya.21 Di antara efek yang ditumbuhkan wakaf adalah berupa good deed effect, yakni efek yang berkaitan dengan moral. Orang-orang yang menyalurkan wakaf adalah orang-orang yang sangat konsern dengan kemakmuran orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti yang dikemukakan M.A. Mannan, motivasi konsumsi ini digerakkan oleh motivasi berbuat amal saleh (good deed). Pembelanjaan hasil wakaf mempunyai implikasi good deed effect, yakni sekali sumbangan diserahkan, sumbangan tersebut dianggap sebagai amal baik. Kepuasaan seseorang dengan memberikan sumbangan tersebut tidak tergantung dari hasil materi yang diperolehnya. Akan tetapi sangat tergantung pada banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dengan memberikan sumbangan tersebut.22 Misalnya wakaf yang disalurkan untuk pembangunan fasilitas rumah sakit, berapa banyak manfaat yang dihasilkan dengan membangun rumah sakit yang dapat memberikan layanan kesehatan kepada fakir miskin, ketimbang membangun gedung pertunjukan seni. Apalagi Islam menyarankan agar seseorang selalu menafkahkan harta yang sangat dicintainya di jalan kebaikan (Q.S. Âli ‘Imrân/3: 92). Dengan ungkapan lain, motivasi utama seseorang untuk berderma adalah karena motivasi agama. Survei yang dilakukan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) tahun 2000 di 11 kota besar di Indonesia menemukan bahwa ajaran agama sangat dominan (99%) memengaruhi seseorang untuk berderma.23 Wakaf uang membuka peluang penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari masyarakat dapat dimanfaatkan melalui penukaran sertifikat wakaf uang, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf uang tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai keperluan yang beragam, seperti pemeliharaan harta wakaf yang ada.24 Wakaf uang pun dapat mengubah paradigma masyarakat yang memandang bahwa kewajiban wakaf hanya atas orang kaya saja. Wakaf uang dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat, karena sertifikat wakaf uang dapat Donna dan Mahmudi, The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management, h. 2. M.A. Mannan, Cash-Waqf Certificat Global Opportunity for Developing the Social Market in 21st Century Voluntary Sector Banking, Proceeding of the Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Cambridge, Massachussets, Harvard University, 30 September-2 Oktober 1999, h. 250. 23 Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia (Jakarta: PIRAC, 2004), h. 79. 24 M.A. Mannan, “Mobilization Efforts Cash Waqf Fund at Local, National and International Levels for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishment of World Sosial Bank,” makalah disampaikan dalam International Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Sosial and Economic Empowerment of the Ummah, Malaysia, 11-12 Agustus 2008, h. 8. 21 22

324


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

dibuat dalam pecahan yang lebih kecil. Ini berarti masyarakat luas dapat berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Menurut M.A. Mannan, unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari menggunakan aset milik yang disertai dengan penyerahan kepada kemaslahatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan kontiniu, seperti doktrin amal jariah. Untuk menjembatani konsep tersebut, model Cash Waqf Certificate dianggap sangat tepat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi di tingkat masyarakat bawah. Belajar dari negara Bangladesh, melalui Sosial Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme produk funding baru berupa sertifikat wakaf uang (Cash Waqf Certificate). Dalam instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf uang merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis. Penerapan instrumen sertifikat wakaf uang ini mampu menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial.25 Hal itulah yang telah dibuktikan Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dengan mengerahkan dana wakaf dari masyarakat untuk dikelola secara produktif yang kemudian hasilnya disalurkan untuk layanan kesehatan dan pendidikan. Adapun dimensi sosial yang termuat dalam wakaf dapat dilihat dari terciptanya sarana layanan sosial, sarana pendidikan, dan layanan kesehatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara komprehensif.

Layanan Sosial Para ahli sejarah menyebutkan, seperti yang dikutip al-Jamal dalam Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî fî al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah al-Mu‘âshirah, Shalah al-Dîn al-Ayyûbi membuat saluran air yang mengalirkan susu dan air gula di salah satu gerbang benteng di Damaskus didanai dari wakaf. Ada juga wakaf untuk penginapan bagi para tamu, wakaf untuk melunasi utang-utang orang yang kesulitan, wakaf untuk pinjaman lunak (qardh al-hasan), serta wakaf untuk menyediakan benih pertanian dan irigasi. Di Mekah juga dibangun saluran air yang berasal wakaf Sayyidah Zubaidah, istri Hârun al-Rasyîd, yang dikenal dengan ‘Ain Zubaidah (Mata Air Zubaidah).26 Semua wakaf dan lembaga kebajikan sosial yang muncul menunjukkan peranan besar yang diemban oleh wakaf di bidang pengamanan sosial dan pengentasan kemiskinan. Sayyid Quthb (w. 1966), pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Islâm, seperti yang dikutip Umer Chapra berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya, Ibid., h. 7-8. Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 160.

25 26

325


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis belaka, melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan, dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan tidak mampu, antara kelompok yang kaya dan miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia. Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan sejarah Islam.27 Sebagai contoh, sepenggal fragmen sejarah solidaritas sosial di kalangan Sahabat seperti Abû Bakar Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abî Thâlib. Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan ‘Umar ibn al-Khaththâb sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi Muhammad SAW. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. ‘Usman ibn ‘Affân juga membeli sumur dan mewakafkannya untuk kepentingan kaum muslim.28 Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia. Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi bagi kesejahteraan sosial secara luas.29

Layanan Kesehatan Adapun wakaf yang berhubungan dengan layanan kesehatan, al-Jamal memaparkan bahwa wakaf telah memberikan kontibusi positif di seluruh negeri Islam, misalnya dalam bentuk pembangunan rumah sakit, laboratorium, dan gaji para dokter dan pembantunya dan pelayanan kesehatan bersumber dari wakaf. Dengan wakaf universitas kedokteran dan pengembangan studi farmasi dan kimia pun telah didirikan. Para peneliti telah membuktikan bahwa banyak dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan rumah rumah sakit yang tersebar di seluruh kota dan negeri Islam ditopang oleh wakaf. Rumah sakit umum pertama dalam sejarah Islam seperti di al-Bimaristan dan di Baghdad pada masa Harun al-Rasyid dibangun dari wakaf. Rumah sakit istri khalifah al-Muqtadir Billah, yang dinamakan dengan Rumah Sakit al-Sayyidah yang dibuka pada 1 Muharram 203 H pun dibangun dari harta wakaf.30 Di Mesir rumah sakit pun banyak dibangun dengan harta wakaf, seperti rumah sakit yang didirikan oleh al-Fath ibn Khafan, pada masa Dinasti Abbasiyah al-Mutawakkil ‘Alallah, Muhammad Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 58. 28 Kahf, Al-Waqf al-Islâmî, h. 19-22. 29 Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, h. 58 30 Ibid., h. 149-150. 27

326


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

rumah sakit yang didirikan oleh Ahmad bin Thulân, demikian juga rumah sakit yang dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi dibiayai dari wakaf. 31

Sarana Pendidikan Di samping itu, wakaf uang juga dapat disalurkan untuk membantu lembaga pendidikan yang selalu kekurangan biaya operasional, melalui pemberian beasiswa kepada peserta didik dan insentif untuk pengelola sekolah. Profit dari wakaf uang dapat membantu bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, termasuk masjid, dan lembaga sosial lainnya. Dengan adanya lembaga yang konsern terhadap pengelolaan wakaf uang, kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan, seperti yang sudah dicapai oleh Wizârat al-Awqâf kerajaan Yordania dari pengembangan wakaf dapat: 1) Membuka lembaga pendidikan tinggi seperti Fakultas Dakwah, Syariah dan Ushuluddin; 2) Mendirikan beberapa lembaga pendidikan di Amman dan Yerussalem, Junain, Khalil dan Qalqiliyyah; 3) Mendirikan 53 tempat belajar al-Qur’an dan Hadis; 4) Mengalokasikan dana wakaf pada madrasah, rumah yatim piatu; 5) Mendirikan percetakan mushaf al-Quran; 6) Mendirikan 250 perpustakaan mesjid; dan 7) Memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas Yordan.32 Sama halnya yang dilakukan Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun terkenal dengan wakafnya yang teramat besar. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf uang. Dengan wakaf yang amat besar itu, Universitas mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah maupun pembayaran SPP siswa dan mahasiswanya.33 Bahkan, universitas ini mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad. Hampir sekitar 300 sekolah dasar di Jazirah Shaqliyah (Sicilia) seluruhnya merupakan harta wakaf, dan seluruh studi dibiayai dari pendapatan wakaf. Kemudian, beberapa universitas terkemuka, di antaranya Universitas Qarawiyyin di Fes, Marokko, Universitas al-Azhar di Kairo, Universitas-universitas Nizhamiyah dan Mushtanshiriyah di Baghdad didirikan dengan harta wakaf. 34 Di Indonesia, wakaf sebagai sarana penopang lembaga pendidikan sudah dibuktikan oleh beberapa yayasan yang konsern melakukan pengelolaan wakaf produktif, seperti Amin, Al-Awqâf wa al-Hayât, h. 155-156; Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 150. Uswatun Hasanah, “Pemanfaatan Wakaf di Yordania,” dalam Modal No. 19/II-Mei 2004. 33 Pada tahun 1961, Pemerintah Mesir di bawah kepemimpinan Presiden Abdul Nasser, melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf al-Azhar. Al-Azhar pun kemudian dijadikan bagian struktur negara, anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh negara. Lihat Azyumardi Azra, “Memotret Filantropi di Indonesia,” pengantar dalam buku Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia (Jakarta, Piramedia, 2004), h. vii-viii. 34 A-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h. 143. 31

32

327


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 yang dilakukan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia dan Pondok Pesantren Gontor. TWI pun menyalurkan dana wakaf uang yang diperuntukkan bagi pendidikan gratis di Smart Ekselensia Indonesia. Ini berarti bahwa wakaf tidak hanya untuk penyediaan bangunanbangunan universitas-universitas dan sekolah-sekolah, tetapi juga menyediakan sarana dan prasana belajar mengajar, perpustakaan, asrama, beasiswa bagi para pelajar, termasuk gaji guru.

Penutup Dari bukti-bukti di atas jelaslah bahwa harta wakaf sangat berperan dalam membangun pendidikan dan menyemarakkan gerakan ilmiah dalam peradaban Islam. Sejarah banyak menyebutkan kebesaran dan kekaguman pada kaum Muslim seperti Shalah al-Dîn alAyyûbi, yang mengulurkan bantuan untuk pembangunan sekolah-sekolah di seluruh kota.35 Tidak mengherankan jika M.A. Mannan menegaskan bahwa wakaf uang berfungsi sebagai investasi yang strategis untuk menghapus kemiskinan dan menangani ketertinggalan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan riset.36 Dengan ikut serta dalam program ini, menurut pendiri Sosial Investment Bank Ltd. (SIBL) Bangladesh itu, seseorang telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasional social capital market, tetapi juga di bidang investasi sosial permanen. Dana yang terhimpun dari wakaf uang diinvestasikan sehingga dapat memberikan jaminan sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan. Wakaf uang yang sudah dikenal sejak zaman Usmaniyah tersebut, merupakan inovasi dalam keuangan publik Islam (Islamic Public Finance). Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat ini sangat diharapkan mensejahterakan masyarakat secara terkoordinasi, sinergis, sitematis, dan profesional. Di samping itu, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya. Dengan demikian wakaf uang terbukti dapat dijadikan sebagai penunjang proses pembangunan secara menyeluruh, baik dalam pembangunan sumber daya manusia, maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Melalui investasi wakaf uang di sektor riil, wakaf dapat mewujudkan keadilan distributif di tengah masyarakat. Wakaf uang dapat dijadikan instrumen penanganan masalah perekonomian negara dengan menciptakan pemerataan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyakarat melalui pembiayaan micro finance. Di samping itu wakaf uang mampu meningkatkan kualitas sumber daya insani dengan menciptakan keadilan sosial bidang pengadaan sarana layanan sosial, layanan kesehatan, dan pendidikan.

Amin, al-Awqâf wa al-Hayât, h. 234-235; Al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî, h.

35

143.

Mannan, Mobilization, h. 9; Masyita et al., A Dynamic Model for Cash Waqf Management.

36

328


Rozalinda: Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

Pustaka Acauan Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1985. Ahmed, Habib. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: Islamic Research and Training Institution, Islamic Development Bank (IDB), 2004. Amîn, Muhammad Muhammad. al-Awqâf wa al-Hayât al-Ijtimâ‘iyah fî Mishr. Kairo: Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyah al-Qahirah, t.t. Azra, Azyumardi. “Memotret Filantropi di Indonesia,” dalam Zaim Saidi dan Hamid Abidin. Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta, Piramedia, 2004. Chapra, Muhammad Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Cizakca, Murat. “Awqaf in History and Its Implications for Modern Islamic Economic,” Islamic Economic Studies, Vol. 6 No. 1 November 1998. Jedah: Islamic Research and Training Institution (IRTI) Islamic Development Bank (IDB). Cizakca, Murat. “Incorporated Cash Waqfs: Islamic Non-Bank Financial Instruments from the Past to the Future?,” dalam Cash Waqf and Benefits for Future Generations, Incef the Global University Islamic Finance, www.mcizakca.com/publications.htm, Diunduh 29 Juli 2009, 15.38 WIB. Departemen Agama RI. Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Islam dan Penyelengaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005. Departemen Agama RI. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Jakarta: t.p., 2007. Donna, Duddy Roesmara dan Mahmudi. The Dynamic Optimization of Cash Waqf Management: an Optimal Control Theory Approach, http://psekp.ugm.ac.id, h 2, Diunduh 18 Juni, 2007, 13.07 WIB. Hasanah, Uswatun. “Pemanfaatan Wakaf di Yordania,” Majalah Modal No. 19/II-Mei 2004. http://www.halalguide.info. “Wakaf Produktif,” Diunduh 6 Juni, 2007, 18.54 WIB. Isbir, “Wakaf Tunai” http://bimasislam.depag.go.id, Diunduh 19 Desember 2007, 10.53 WIB. Al-Jamâl, Ahmad Muhammad ‘Abd al-`Azhim. al-Waqf al-Islâmî fi al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah al-Mu`âshirah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2007. Kahf, Monzer. “Financing the Development of Awqaf Property,” makalah disampaikan pada Seminar Development of Awqaf, Kuala Lumpur 2-4 Maret 1998. Kahf, Monzer, Al-Waqf al-Islâmî Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh, Damaskus: Dâr alFikr, 2000. Mannan, Muhammad Abdul, Cash-Waqf Certificate Global Opportunity for Developing the Social Market in 21st-Century Voluntary Sector Banking, Proceeding of the Third Harvard 329


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 University Forum on Islamic Finance, Cambridge, Massachussets, Harvard University, 30 September-2 Oktober 1999. Mannan, Muhammad Abdul, Mobilization Efforts Cash Waqf Fund at Local, National and International Levels for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishment of World Social Bank, makalah disampaikan dalam International Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah, Malaysia, 11-12 Agustus 2008. Masyita, Dian, et al. “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for The Poverty Alleviation in Indonesia,” makalah disampaikan pada The 23rd International Conference of The System Dynamics Society Massachussets Institute of Technology (MIT), Boston, Juli 17-21, 2005. Al-Maudûdî, Abû al-A’la. Dasar-dasar Ekonomi dalam Islam dan Berbagai Sistem Masa Kini, terj. Abdullah Suhaili. Bandung: Al-Ma‘arif, 1984. Nasution, Mustafa Edwin. Wakaf Tunai dan Sektor Volunter: Strategi untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Utang Luar Negeri, Makalah disampaikan dalam Seminar Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: 10 November 2001. Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. Menjadi Bangsa Pemurah Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: PIRAC, 2004.

330


DILEMA SKIM MURÂBAHAH PADA PERBANKAN SYARIAH Syukri Iska Jurusan Syariah STAIN Batusangkar Jl. Jend. Sudirman No. 137 Kuburajo Limo Kaum Batusangkar, 27213 e-mail: syukri.iska@yahoo.co.id

Abstrak: Kesemarakan pertumbuhan perbankan syariah terutama di negaranegara Muslim pada beberapa dekade terakhir tidak dapat dipungkiri. Namun di balik pertumbuhan tersebut bank syariah sering dikritik hanya sekadar ganti “baju” dengan klaim bahwa bank ini mengambil beberapa konsep dari dari bank konvensional kemudian menggantikannya dengan idiom-idiom yang ada pada fiqih muâmalah. Tulisan ini memaparkan penjelasan terhadap pertanyaan tentang keberadaan bank syariah dengan merujuk pada skim murâbahah, bagaimana perasaan dan perbedaan antara kedua sistem Islam dan konvensional, serta implikasi sistem perbankan Islam dalam transaksi ekonomi yang menyeluruh. Penulis berargumen bahwa kendati skim murâbahah bukan merupakan instrumen ideal untuk mencapai tujuan riil ekonomi Islam, skim murâbahah ini ternyata mengandung banyak persoalan, terutama kalau dilihat dalam perspektif syariah secara puristik ataupun menurut paradigma tentang bank. Abstract: The Dilemma of Murabahah Skim in Shari‘a Banks. The flourishing development of Shari‘a Banks especially in Islamic countries for the last few decades are undeniable. However, despite such tremendous development it has often been criticized for being only changing suit claiming that it has taken some conventional system concepts which are then modified in acoordance with idioms found in Islamic jurisprudence discourse. This paper then sheds some lights on some questions of the existence of Shari‘a Banks with specific reference to murâbahah skim, how the two system similar to or different from each other, as well as the implication of the Islamic banking system in the general economic transaction. The author argues that although the murâbahah skim is not an ideal instrument in achieving the real objective of Islamic economy, its domination as an important skim, however, seems to be in dilemmatic position between the pragmatic demands of the need of pure Shari‘a laws as a genuine reference and the role of banks should fulfil.

Kata Kunci: perbankan syariah, murâbahah, ekonomi Islam 331


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Pendahuluan Kesemarakan perkembangan sistem ekonomi Islam saat ini dapat disandingkan dengan sistem ekonomi kapitalis yang telah lama hidup mengisi kebutuhan ekonomi masyarakat dunia. Kesemarakan itu terlihat dengan adanya kecenderungan yang sangat luar biasa pada pelaku ekonomi di mana pun berada untuk bertransaksi dengan lembagalembaga keuangan syariah, baik bank maupun non-bank. Kecenderungan itu di antaranya ditandai dengan berdirinya bank-bank syariah (Islamic banking) di mana-mana, baik di negara-negara sekuler seperti Amerika Serikat dan Singapura, maupun di negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia. Di Indonesia sampai saat ini telah berdiri 4 (empat) bank umum syariah, berpuluh-puluh bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah (dual banking system) dan beratus-ratus bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Namun di balik pertumbuhan perbankan syariah yang pesat dan menggembirakan tersebut, sering muncul perspektif miring yang menyatakan bahwa bank syariah tidak lebih hanya sekadar ganti “baju” dari bank konvensional. Stigma negatif tersebut bisa saja muncul karena ketidakpahaman umat Islam tentang bank syariah, atau bisa juga setelah memandang beberapa indikator pada bank syariah yang memang terkesan ganti “baju”. Artinya, ada beberapa konsep yang pada dasarnya diambil dari bank konvensional, kemudian diganti namanya dengan idiom-idiom yang ada pada fiqih muamalah. Sejauh mana kebenaran sinyalemen tersebut tentunya membutuhkan kajian dan pembuktian lebih jauh. Namun terlepas dari itu semua, akan diangkat sebuah persoalan saja, yakni masalah skim murâbahah yang telah menjadi skim “idola” bagi bank syariah di mana pun berada, tidak terkecuali di Indonesia, kendati bukan merupakan instrumen ideal untuk mencapai tujuan riil ekonomi Islam. Skim murâbahah telah menguasai rata-rata 75% dari total transaksi di bank syariah. Kenapa ini yang lebih besar? Mungkin karena alasan pragmatis, yakni karena skim ini memiliki risiko yang paling rendah dibandingkan dengan skim-skim yang lain, seperti mudhârabah. Akan tetapi di balik dominasi tersebut, skim murâbahah ini ternyata mengandung banyak persoalan, terutama jika dilihat dalam perspektif syariah secara puristik ataupun menurut paradigma tentang bank. Di saat seperti inilah terlihat bahwa skim murâbahah berada dalam nuansa dan suasana dilematis.

Pengertian Murâbahah Murâbahah, berasal dari kata ribh yang berarti pertambahan.1 Secara sederhana murâbahah dimaknai sebagai suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya Ibn Manzhur al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, Juz II (Beirut: Dâr al-Shadr, t.t.), h. 443.

1

332


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

kembali dengan keuntungan tertentu.2 Dalam ungkapan lain, Ibn Rusyd mengartikan murâbahah ini dengan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.3 Dari pengertian yang menyatakan adanya keuntungan yang disepakati, murâbahah memiliki karakteristik, yakni si penjual harus memberi tahu kepada pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.4 Perhitungan keuntungan itu boleh berdasarkan jumlah harga atau kadar persentase tertentu.5 Biasanya murâbahah ini berlaku dalam keadaan pihak pembeli tidak mengetahui harga pasaran sebenarnya dan memercayai kejujuran penjual yang mengatakan modalnya dan keuntungan yang direncanakan. Rencana itu bisa saja datang dari pihak penjual sendiri yang bertujuan untuk melariskan barang jualannya dengan menawarkan kepada pembeli dengan harga tertentu dengan mengatakan biaya dan jumlah keuntungan.6 Penjual bukan saja dikehendaki menyatakan harga asal yang dibelinya, malah juga dikehendaki menyampaikan beberapa hal lain yang berkaitan, yang bisa memengaruhi harga penjualan seperti pembelian secara bertangguh karena ini akan meningkatkan harga penjualan nantinya.7 Transaksi murâbahah ini, tidak pernah secara langsung dibicarakan dalam alQur’an, kecuali tentang jual beli secara umum, laba dan rugi, serta perdagangan. Demikian juga halnya dengan hadis Rasulullah SAW. yang membicarakan langsung tentang murâbahah, kecuali tentang jual beli tangguh (bay‘ bi tsaman ajil), yang lazim dilaksanakan oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya. Sebagaimana terungkap dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib al-Rûmî bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

Ibn ‘Abidîn, Radd al-Mukhtâr ‘alâ al-Ardh al-Mukhtâr, Juz IV (t.tp.: t.p., t.t), h. 19. Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz II (Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba‘ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Auladih, 1981), h. 210. 4 Ibid., h. 293. Menurut Ab. Mumin Ab. Ghani, Sistem Kewangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia (Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 1999), h. 410 yang dikutipnya dari al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âmm karya al-Zarqa`, cara jual beli Murâbahah ini tergolong dalam kategori Buyâ` al-Amânah. Dalam kitab tersebut diungkapkan bahwa Bay‘ itu terbagi kepada dua kategori, pertama, Bay‘ al-Musawwamah, yaitu harga jual tidak dikaitkan dengan harga pembelian barang, dan masing-masing pihak bebas melakukan tawar menawar terhadap harga barang tersebut. Kedua, Bay‘ al-Amânah, yaitu penentuan harga jual barang terikat dengan harga pembelian barang dan harus menyampaikannya kepada si pembeli. Salah satu bentuknya adalah murâbahah. Lihat al-Zarqa`, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âmm (al-Fiqh al-Islâmi fî Tsawbih al-Jadîd, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1968), h. 377. 5 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz II, h. 213. 6 Muhammad Idrîs al-Syâfi‘î, al-Umm, Juz III (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973), h. 39. 7 Abû Bakr Ibn Mas‘ûd Al-Kasânî, al-Badâ‘i wa al-Shana‘i fî Tartîb al-Syara‘i, Juz VII (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabî, t.t.), h. 3200. 2 3

333


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 8

“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan; (salah satunya) jual beli secara tangguh....” Para imam mazhab, seperti Malik dan Syâfi‘î secara khusus mengatakan bahwa jual beli murâbahah itu boleh, kendati tanpa memperkuat dalilnya dengan nashsh, melainkan menyamakannya dengan jual beli tangguh sebagaimana ungkapan hadis di atas.9 Imam Malik mendasari murâbahah dengan amalan penduduk Madinah. Imam Syâfi‘î tanpa teks syariah, namun secara jelas mengungkapkan “Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada orang lain dan berkata, belikan barang (seperti) ini untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian, lalu orang itu pun membelinya, maka jual beli ini adalah sah.” 10 Bagaimana halnya dengan biaya lain akibat dari transaksi jual beli murâbahah ini? Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hal itu. Ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait ataupun tidak terkait langsung dengan transaksi jual beli tersebut, dibebankan kepada harga jual barang. Sedangkan ulama mazhab Syâfi‘î membolehkan pembebanan biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu juga biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.11 Ulama mazhab Hanafi membolehkan pembebanan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun tidak dibolehkan terhadap biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual, 12 kecuali pembeli membenarkannya.13 Adapun ulama dari mazhab Hanbali menyatakan bahwa semua biaya langsung ataupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.14 Mazhab Maliki membagi biaya pembelanjaan tambahan itu kepada tiga kategori. Kategori pertama adalah semua pembelanjaan yang boleh dicampurkan kepada harga biaya dan ia menjadi dasar untuk perhitungan keuntungan yaitu pembelanjaan yang secara langsung memberikan pengaruh Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz II (Kairo: Mathba‘ah Dâr Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), h. 768. 9 Lihat al-Kasânî, al-Badâ‘i wa al-Shana‘i, Juz VII, h. 3192. 10 Al-Syâfi‘î, al-Umm, Juz III, h. 33. 11 Al-Syarbînî, Mughni al-Muhtâj ‘alâ Ma‘ârif Ma‘âni Alfâzh al-Minhâj (Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba‘ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Awladih, 1958), h.78. 12 Burhan al-Dîn al-Marghinânî, al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi, Juz III (Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba‘ah Musthafa al-Bâbî al-Halâbî wa Auladih, t.t.), h. 56; alKasânî, al-Badâ‘i wa al-Shana‘i, Juz VII, h. 3199. 13 ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Juz II (Bairut: Dâr Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1986), h. 280. 14 Manshûr bin Yûsuf al-Bahûtî, Kasyf al-Qinâ‘ ‘an Matîn al-Iqnâ (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), h. 234; Abû Muhammad bin Ahmad Ibn Qudamah, al-Mughnî, Juz IV (Riyadh: Riasah Idârah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal al-Ifta‘ wa al-Da‘wah wa al-Irsyâd, 1401 H), h. 201. 8

334


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

kepada barang. Kedua, pembelanjaan yang boleh dicampurkan dengan harga biaya tetapi tidak boleh dijadikan dasar perhitungan keuntungan yaitu pembelanjaan yang tidak memberi pengaruh langsung terhadap barang itu tetapi terpaksa dilakukan karena penjual tidak mampu melakukannya sendiri, seperti biaya pengangkutan atau penyimpanan. Ketiga, pembelanjaan yang tidak boleh dimasukkan ke dalam penentuan harga penjualan dan tidak boleh juga dijadikan dasar perhitungan keuntungan, yaitu pembelanjaan yang tidak memberi pengaruh pada barang itu dan ia tidak bisa dilakukan sendiri oleh penjual. 15 Dari perbedaan pendapat di antara ulama mazhab tersebut, terlihat adanya kesamaan yang dapat dipahami, yakni mereka sama-sama tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang. Jual beli dengan bentuk murâbahah ini dapat dalam bentuk pesanan, yang diistilahkan oleh Imam Syâfi‘î dengan al-amr bi al-syirâ`.16 Juga dapat disamakan dengan Bay‘ bi Tsaman `Ajil atau Bay‘ Mu`ajjal (jual beli yang barangnya diserahkan segera dan pembayarannya ditangguhkan atau dilakukan secara berangsur).17 Jadi, murâbahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang dihalalkan. Untuk itu pada dasarnya, ia harus sesuai dengan rukun dan syarat jual beli, seperti barang yang diperjualbelikan itu adalah barang yang sudah jelas adanya. Kendati ada juga persyaratan tersendiri dalam murâbahah ini, di antaranya: 1. Penjual harus menyatakan modal sebenarnya dari barang tersebut; 2. Harus ada persetujuan kedua belah pihak yang bertransaksi tentang kadar keuntungan yang ditetapkan sebagai kelebihan terhadap harga modal; 3. Seandainya kadar harga modal barang yang disampaikan tidak sesuai dengan yang sebenarnya, maka si pembeli boleh membatalkan kontrak tersebut.18

Transaksi Murâbahah di Perbankan Syariah Seperti di perbankan syariah lain,19 transaksi murâbahah merupakan suatu transaksi terbesar di perbankan syariah Indonesia, karena dipandang sebagai transaksi yang memiliki tingkat risiko teringan dibandingkan dengan yang lain, seperti mudhârabah.20 Secara umum, skema penerapan murâbahah dalam perbankan syariah antara bank dengan nasabah adalah: Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz II, h. 214; al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Juz II, h. 279. 16 Al-Syâfi’î, al-Umm, Juz III, h. 39. 17 Kedua jenis jual beli tersebut termasuk ke dalam kategori jual beli utang bertangguh (Bay‘ bi Dayn Mu’ajjal), sebagaimana dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi dalam Ahkâm al-Qur’ân, Juz I (Kairo: ‘Îsa al-Bâbî al-Halâbî wa Syurakah, 1967), h. 241. 18 Lihat Ibn Qudamah, al-Mughnî, Juz IV, h. 200 dan 206-207. 19 Pembiayaan murâbahah pada Dubai Islamic Bank mencapai 82% dan pada IDB mencapai 73%, silahkan lihat Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: a Study the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 78. 15

335


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 1. Nasabah yang memerlukan barang datang ke bank untuk melakukan transaksi murâbahah; 2. Nasabah menjelaskan spesifikasi barang yang diperlukannya kepada bank; 3. Bank melakukan pemesanan barang tersebut kepada supplier; 4. Bank melakukan pembayaran secara tunai kepada supplier; 5. Setelah itu supplier/bank menyerahkan barang tersebut kepada nasabah; 6. Nasabah melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan kepada bank. Dari skema di atas, terlihat bahwa bank secara langsung membeli barang kepada supplier dan menyerahkannya kepada nasabah. Dalam realitasnya, bank sering mewakilkan kepada nasabah untuk melakukan transaksi dengan supplier. Akan tetapi, bagaimana pun, peran bank adalah sebagai pedagang barang, dan didasari itulah bank mendapatkan keuntungan. Realitas seperti itu agak terasa rancu, bahwa pada prinsipnya fungsi bank bukanlah pedagang barang, melainkan penyedia jasa dalam memberikan fasilitas pembiayaan, atau dalam makna umum, bank sebagai penghimpun dan penyalur dana (intermediary). Namun kenyataannya, skim murâbahah inilah yang terbesar. Jenis barang yang diperjualbelikan dalam transaksi murâbahah ini ada yang berbentuk konsumtif, seperti untuk kendaraan bermotor, rumah dan sebagainya. Ada juga dalam bentuk produktif, seperti yang pernah dilakukan oleh salah satu bank syariah di Indonesia, dalam pembelian mesin-mesin untuk pabrik, kapal tongkang dari China, mesin pembuat makanan ayam, penggemukan lembu,21 dan sebagainya. Dalam aktivitas jual beli dengan cara mewakilkan kepada nasabah untuk memilih barang yang diinginkan dan tempat pembeliannya, disebut dengan sistem akad wakâlah. Pihak bank seterusnya akan meminta invoice (faktur) sebagai bukti pembelian barang tersebut. 22 Akad wakâlah dilakukan sebelum berlakunya akad murâbahah secara formal. Sebelum akad formal itu dilaksanakan, perlu diadakan pembicaraan awal antara nasabah dengan pihak bank tentang kualifikasi, harga barang dan kemungkinan nilai mark-upnya yang dapat dirundingkan.23 Setelah mencapai kesepakatan, nasabah yang mewakili pihak bank Secara akurat tidak ditemukan data pasti berapa banyak skim murâbahah ini dari total skim yang ada di bank syariah. 21 Hasil wawancara dengan salah seorang representasi salah satu bank syariah, dan bank juga pernah menawarkan murâbahah produktif dengan bentuk skim mudhârabah, namun penabung tidak bersedia. 22 Akad wakâlah dilakukan seharusnya sebelum akad murâbahah terjadi, karena bank sebagai penjual yang tentunya harus telah memiliki barang itu sepenuhnya, barulah boleh dijual kepada penabung dengan akad murâbahah. Lihat Syukri Iska, “Dilematis Lembaga Perbankan Syariah dalam Kultur Minangkabau,” dalam Jurtnal Ilmiah Syariah (Juris) STAIN Batusangkar, Vol. 5, No. 1/ 2006. 23 Akad wakâlah berdasarkan fatwa DSN MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2000 dinyatakan boleh, selagi memenuhi ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, seperti barang atau objek yang diwakilkan itu harus jelas oleh pihak yang mewakili, dan tentunya harus sesuai dengan kesepakatan tentang objek yang diwakilkan tersebut. Berdasarkan fatwa DSN MUI No. 04/DSN20

336


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

akan membeli barang sesuai dengan pembicaraan dan kesepakatan kedua belah pihak. Berdasarkan call memo atau invoice yang diserahkan oleh penabung, akan dibuat berita acara pembelian secara formal, seperti jenis barang, harga barang, dan nilai mark-upnya yang ditetapkan (diistilahkan juga dalam transaksi itu dengan margin atau keuntungan bank), di samping ada juga uang muka (urbûn).24 Jika diteliti naskah transaksi atau akad murâbahah pada salah satu Bank Syariah di Indonesia, maka jumlah pembiayaan murâbahah ialah harga barang di supplier, ditambah margin dan dikurangi uang muka (urbûn). Hal ini memberikan kesan bahwa akad murâbahah itu diperhitungkan terhadap jumlah pembiayaan bank, bukan terhadap harga barang sehingga sukar membedakannya dengan sistem perbankan konvensional. Kendati dibantah, saat dimintakan klarifikasi kepada pihak bank syariah tersebut.25 Salah seorang karyawannya menyatakan bahwa perhitungan akad murâbahah tetap terhadap harga barang di pasar, ditambah dengan margin, walaupun ada uang muka atau urbun. Keberadaan uang muka, menurut karyawannya, tidak akan mengurangkan harga jual.26 Perhitungan margin atau mark-up berdasarkan kepada sisa pembiayaan (harga barang awal dikurangi uang muka) yang dilakukan secara internal.27 Ungkapan terakhir inilah yang membuat perhitungannya sama dengan bank konvensional. Sebagai gambaran, penulis mengemukakan bentuk perhitungan pembiayaan murâbahah yang diambil dari sebuah naskah akad murâbahah pada salah satu bank syariah, dalam pembiayaan pembelian bahan bangunan rumah: a.

Nilai objek pembiayaan

:

Rp. 199.000.000,- (penggenapan)

b.

Self Financing/Urbun

:

Rp. 129.000.000,- (penggenapan)

c.

Pembiayaan Bank

:

Rp. 70.000.000,-

d.

Margin yang disepakati

:

Rp. 70.000.000,-

e.

Maksimum Pembiayaan

:

Rp. 140.000.000,-

Jangka masa yang diambil untuk masa angsuran ialah 120 bulan atau selama 10 tahun, dengan nilai margin diperhitungkan 10 peratus per tahun. Dari gambaran bentuk transaksi di atas, marginnya diperhitungkan berdasarkan

MUI/IV/2000, jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk pembelian barang, akad jual beli murâbahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Silahkan lihat Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006. 24 Wawancara dengan dua orang pegawai bank syariah yang berbeda, dan pengalaman empirik sebagai nasabah di salah satu bank syariah. 25 Wawancara dengan seorang pimpinan salah satu bank syariah. 26 Ibid. 27 Ibid.

337


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 kepada nilai pembiayaan oleh Bank (10 % x Rp. 70 juta x 10 tahun = Rp. 70 juta), bukan kepada nilai objek pembiayaan (10 % x Rp. 199 juta x 10 tahun = Rp. 199 juta). Pada hal dalam jual beli, keuntungan atau margin itu diperhitungkan kepada nilai harga barang di pasar, bukan diperhitungkan dari kadar dana bank yang digunakan dalam biaya pembelian barang tersebut. Inilah yang memberikan kesan tidak adanya perbedaan perhitungan kelebihan peminjaman uang pada bank konvensional yang perhitungannya berdasarkan kepada kadar pinjaman, dan inilah yang terkategori riba. Berdasarkan ilustrasi di atas, sesuai dengan aturan syariahnya, jumlah margin adalah Rp. 199 juta. Karena adanya urbun dari nasabah sebesar Rp. 129 juta, maka jumlah margin tersisa adalah Rp. 70 juta. Untuk itu jumlah uang yang akan diangsur oleh nasabah adalah margin sisa ditambah jumlah pembiayaan dari bank (Rp. 70 juta + Rp. 70 juta = Rp. 140 juta). Setelah dilakukan perhitungan syariah, terlihat bahwa nilai nominal utang nasabah yang akan diangsur selama 10 tahun terlihat sama dengan pola perhitungan pertama yang disinyalir sama dengan perhitungan bank konvensional di atas, namun dasar perhitungan marginnya berbeda, yakni pola konvensional diperhitungkan kepada nilai pembiayaan bank, sedangkan pola syariah perhitungan margin kepada nilai harga barang awal di pasar (nilai objek pembiayaan). Dalam bentuk lain, sistem perhitungan yang dilakukan sesuai dengan hakikat akad murâbahah, yaitu jual beli barang yang harganya terdiri dari harga pembelian di pasaran ditambah dengan margin dan dibayar secara angsur atau tunai. Berarti, perhitungan margin itu harus diperhitungkan kepada Rp. 199 juta, yaitu 10 % x Rp. 199 juta x 10 tahun = Rp. 199 juta (sebagaimana telah diilustrasikan juga di atas). Bagaimana dengan keuntungan bank akibat dari pembiayaan sebanyak Rp. 70 juta itu? Pertanyaan yang sama juga akan muncul, bagaimana dengan uang muka atau urbûn dari penabung sebanyak Rp. 129 juta itu, apakah penabung akan mendapat pembagian keuntungan? Kedua-duanya tentu akan mendapat perhitungan keuntungan. Dengan demikian margin sebanyak Rp. 199 juta itu dibagi secara proporsional antara bank dan penabung, akibat dari keikutsertaan dana pembiayaan dari kedua belah pihak. Tampaknya, telah terjadi dua akad, yaitu adanya musyârakah dalam akad murâbahah, atau murâbahah wa musyârakah. Walaupun dalam perhitungannya agak sulit, namun pihak bank akan menerima hal yang sama dengan perhitungan yang lazim dilakukan, seperti yang berlaku pada contoh di atas. Pihak nasabah sendiri, secara riil tidak akan menerima nominal keuntungan tersebut, karena pembagiannya ditempatkan untuk membayar angsuran kepada bank saja. Dengan demikian, dalam akad tersebut telah terlaksana hakikat murâbahah yang sebenarnya dan terbukti berbeda secara signifikan dengan sistem peminjaman uang yang ada pada bank konvensional. Persoalan riil yang ada pada bank syariah, sebagaimana ditemukan di atas, kalau dibiarkan terus oleh pihak perbankan syariah, dikhawatirkan akan semakin memperkuat adanya sinyalemen atau penilaian negatif masyarakat yang memandang bahwa tidak 338


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

ada perbedaan antara sistem bank syariah dengan bank konvensional. Berapa ketentuan margin atau keuntungan penjualan barang, dan apa yang mendasari perhitungan nilai margin tersebut? Menurut pihak bank syariah bahwa kadar keuntungan atau mark-up yang dibebankan bergantung kepada berapa lama masa angsuran yang diinginkan atau disepakati dengan penabung. Artinya, harga barang akan semakin tinggi karena masa pembayaran angsuran/ kredit yang semakin lama. Apa yang dilakukan oleh bank syariah di atas tentang perbedaan harga jual barang dengan transaksi murâbahah ini ialah wajar karena berbedanya masa pembayaran atau angsuran. Hal ini telah berlaku pada seluruh perbankan syariah, karena cara seperti itulah yang dapat memperlihatkan hakikat dan prinsip sebuah bank. Persoalannya, bagaimanakah Islam memandang perbedaan harga jual barang karena perbedaan masa angsuran pembayaran tersebut? Secara jelas (syarîh) al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menggariskan ketentuan hukum tentang harga kredit yang lebih tinggi dalam jual beli karena pembayaran yang ditunda, kecuali pendapat para fukaha klasik dan ulama kontemporer. Para fukaha seperti Imam Malik dan Imam Syâfi‘î, tidak setuju dengan harga kredit yang lebih tinggi dibandingkan harga pembayaran tunai, walaupun para pengikut mazhab Syâfi‘î membolehkannya.28 Ketidakbolehan menaikkan harga barang karena masa ialah karena masa bukanlah uang atau objek yang dapat menjadi nilai acuan kenaikan dalam suatu utang. Faqih mazhab Hanafi, Imam al-Syaibânî, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Saeed, tidak menyetujui penjualan dengan harga lebih murah untuk tunai dan lebih mahal untuk kredit. Seperti juga pendapat al-Râzî yang mengomentari mengenai ayat-ayat riba, menolak anggapan bahwa masa yang diberikan untuk pembayaran dapat menjadi acuan bagi kenaikan harga, sebab masa bukanlah barang atau sesuatu yang ditunjuk, untuk dijadikan nilai acuan.29 Seorang ulama Arab Saudi, ‘Abd Allah ibn Baz, dalam fatwanya dan Rafiq al-Mishrî dalam pembahasannya yang agak berani menjelaskan bahwa pembayaran tunda dimana tambahan diberikan karena penundaan pembayaran tersebut, maka berarti utang sama dengan bunga. Menurutnya lebih jauh, bunga ini mencerminkan perbedaan antara harga tunai dengan harga kredit.30 Pada masa ini pun, para pemerhati murâbahah seperti al-Kaff berpendapat bahwa kenaikan harga karena masa ialah riba. Council of Islamic Ideology (CII) Pakistan menyatakan

Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, h. 78. Lihat lebih jauh al-Syâfi’î, al-Umm, Juz III, h. 31-35; Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Authâr, Juz V (Kairo: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 152. 29 Ibid., h. 80-81; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, Juz VII (Kairo: al-Matba‘ah al-Bahiyyah, 1938), h. 97. 30 Ibid., h. 82; Kuwait Finance House, al-Fatâwâ al-Syar‘iyyah fî al-Masâ‘il al-Iqtishâdiyyah, Kuwait: KFH, 1985-1986 & 1986-1987, dan al-Mishr, Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmiy (Beirut: Mu‘assasat al-Risâlah, 1997), h. 195. 28

339


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bahwa keraguan mungkin muncul karena tambahan yang diterima penjual dalam jual beli dengan pembayaran tunda (yaitu sebagai pengganti tenggang masa pembayaran yang diberikan untuk pembeli), sehingga tambahan semacam ini dapat menyerupai riba. 31 Dalam sisi pandang yang berbeda, beberapa ulama dan pakar hukum Islam mengemukakan bahwa perbedaan harga barang tunai dengan angsuran dibolehkan. Di antaranya pendapat ulama mazhab Hanbali, Ibn al-Qayyim, yang mengatakan “ketika seseorang menjual sesuatu dengan harga seratus bila dibayar tunda, atau dengan harga lima puluh bila dibayar tunai, maka tidak ada haram dalam hal ini.32 Jika semenjak awal si penjual mengatakan bahwa ia akan menjual barang dengan harga sekian dan sekian untuk kredit, tidak ada masalah dalam hal ini.33 Ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar kebolehan harga yang lebih tinggi akibat pembayaran tunda atau angsur: a. Tidak ada satupun teks-teks syariah yang melarangnya. b. Adanya perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan yang tersedia di masa datang, seperti yang dikatakan oleh ‘Alî al-Khafîf, seorang faqih kontemporer, “kebiasaannya uang yang dibayarkan kontan mempunyai nilai yang lebih tinggi dari uang yang diberikan pada masa datang”. c. Kenaikan harga ini bukan sebagai akibat penjelasan tunda pembayaran. Ini berarti tidak sama dengan riba yang diharamkan al-Qur’an. d. Kenaikan harga dikenakan saat penjualan, bukan setelah penjualan berlaku. e. Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhi pasar, seperti permintaan dan penawaran, naik turunnya daya beli dan nilai uang sebagai akibat inflasi dan deflasi. f. Pedagang sedang melakukan suatu aktivitas dagang yang produktif. 34 g. Rafiq al-Mishrî menambahkan bahwa penjual boleh menetapkan harga berapa pun yang dikehendakinya, sebagaimana dikatakannya, “Penjual pada prinsipnya, bebas untuk menetapkan harga barang-barangnya. Jika harga-harga ini terlalu tinggi, pembeli boleh memilih untuk membelinya atau mencari pengganti, atau penjual lain yang sesuai.”35 Dalam versi lain, Warkum Sumitro mengemukakan bahwa ada beberapa konsep yang menjadi dasar penghitungan mark-up pada bank syariah, yaitu:

Ibid., h. 81. Dikutipnya dari al-Kaff, Does Islam Assign Any Value, dan CII., Consolidated Recommendations on the Islamic Economic System (Islamabad: Council of Islamic Ideology, 1983). 32 Syauqy Ismâ‘îl Syihata, Nazhariyyat al-Muhâsabah al-Mâliyyah min Mandûrin Islâmi (Kairo: al-Zahra li al-I‘lam al-‘Arabi, 1987), h. 104. 33 Syaukânî, Nail al-Authâr, Juz V, h. 152. 34 Syihata, Nazhariyyat al-Muhâsabah, h. 104-107. 35 Al-Mishrî, Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmi, h. 187. 31

340


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

a. Margin atau mark-up merupakan bentuk biaya yang terdiri dari biaya administrasi dan tingkat keuntungan yang layak. b. Biaya administrasi diperhitungkan dari beban bank syariah untuk membayar semua biaya operasional yang ada pada semua bank. c. Tingkat keuntungan yang layak ditentukan berdasarkan hasil tawar menawar nasabah dan bank syariah dengan melihat kepada kemampuan nasabah tersebut. 36 Memastikan perbedaan nilai mata uang antara masa pembayaran tunai dengan masa pembayaran tunda atau kredit, sehingga menjadi dasar untuk meninggikan harga kredit, itu jelas menafikan keberadaan sesuatu yang tidak akan mungkin dapat dipastikan oleh manusia, termasuk dalam hal ini kemungkinan nilai mata uang. Kemungkinan nilai mata uang itu bisa saja akan menurun dibandingkan sebelumnya (disebut inflasi), namun bisa juga akan menjadi naik, sehingga harga barang menjadi murah (disebut deflasi). Pada saat adanya kepastian inflasi pada masa yang akan datang itulah, dinyatakan oleh Adiwarman A. Karim bahwa time value of money tidak sesuai dalam Islam.37 Dengan demikian, apakah tidak dibolehkan menaikkan harga barang akibat tertundanya pembayaran/kredit, sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh bank-bank konvensional di dunia ini? Itu jelas tidak rasional dan tidak realistis. Bagaimana mungkin pihak bank akan bergerak secara baik jika tidak menjalankan hal di atas atau akan menimbulkan kemudaratan pada bank. Kalau boleh, didasarkan apa memperhitungkan perbedaan harga tersebut? Apakah mungkin perhitungan margin disesuaikan dengan tingkat inflasi dan deflasi yang terjadi atau diprediksi akan terjadi? Jelas ini amat susah bagi pihak bank untuk memperhitungkan, apalagi dengan pelayanan nasabah dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, dasar untuk membedakan harga tunai dengan harga kredit ialah karena adanya perbedaan pembiayaan operasional oleh bank. Artinya, semakin lama tenggang masa nasabah untuk menyelesaikan hutangnya, maka semakin banyak biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank, baik biaya administrasi maupun gaji bagi karyawan. Walaupun Warkum Sumitro, Azas-azas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: Bamui, Takaful dan Pasar Modal Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 75. 37 Aswath Damodaran, sebagaimana dikutip oleh Adiwarman, mendefinisikan time value of money dengan “A dollar today is worth more than a dollar in the future, because a dollar today can be invested to get a return�. Ini juga menjadi asas penetapan bunga pada bank konvensional. Menurut Adiwarman, definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat untung, rugi atau tidak untung tidak rugi. Itu sebabnya dalam teori keuangan (finance), selalu dikenal dengan risk-return relantionship (hubungan antara risiko dan pengembalian modal). Lihat Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 376; Pandangan lain bahwa time value of money (nilai uang dipengaruhi oleh waktu) ini menjadi dasar perlu adanya bunga, dengan pertimbangan bahwa nilai $ 1.000 hari ini tidak akan sama dengan $ 1.000 sepuluh tahun ke depan. Atau dengan pertanyaan boleh dijawab dengan konsep tersebut, manakah yang perlu dipertimbangkan $ 1.000 hari ini dengan $ 2.000 sepuluh ke depan. James C. Horne & John M. Wachowicz, Fundamentals of Financial Management (New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River, 1998), h. 36. 36

341


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 demikian sisi pandang seperti ini akan berada dalam ranah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab tentang biaya apa saja yang dibebankan kepada harga jual tersebut. Ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang berkaitan baik langsung dengan transaksi jual beli maupun tidak langsung. Ulama mazhab Syâfi‘î membolehkan pembebanan biaya yang timbul dalam suatu transaksi jual beli, kecuali biaya gaji pegawai sendiri karena hal itu termasuk dalam keuntungannya. Begitu juga halnya dengan biayabiaya yang tidak menambah nilai barang, tidak boleh dimasukkan sebagai biaya.38 Ulama mazhab Hanafi membolehkan pembebanan biaya-biaya yang timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun tidak membolehkan pembiayaan yang semestinya dikerjakan oleh si penjual.39 Sedangkan ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya baik langsung maupun tidak langsung boleh dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dijelaskan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai jual barang tersebut. 40 Perbedaan pendapat seperti di atas, tampaknya tetap menjadi pilihan bahwa harga jual dengan kredit memang harus berbeda dengan tunai. Dengan dasar perbedaan pembiayaan tersebut dianggap mempunyai tingkat kemudaratan teringan, dibandingkan alasan melarang oleh sebahagian ulama, yang itu pun ternyata berada pada ranah khilâfiyyah. Kenapa tidak didasarkan pada kaedah: 41

“Pada dasarnya segala bentuk mu‘amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 42

“Kemudaratan yang besar dapat dihilangkan dengan cara (melaksanakan) kemudaratan yang ringan.” Persoalan lain adalah, kenaikan harga dikarenakan mengangsur dan berdasarkan kepada perbedaan biaya operasional, maka muncul logika lain dan juga menjadi dasar bagi Warkum Sumitro sebagaimana tertuang di atas, yakni tentunya harus juga berpengaruh, seandainya terjadi percepatan untuk melunasinya sebelum berakhirnya masa angsuran. Artinya, bagi penabung yang ingin melunasi sisa angsuran sebelum jatuh tempo, maka harga barang seharusnya disesuaikan dengan perhitungan masa yang masih tersisa. Jadi kalau kenaikan itu dibatasi 10 persen pertahun, maka angsuran berkurang sebesar persentase yang masih ada tersebut. Namun dalam kenyatannya pada bank syariah, percepatan pelunasan Al-Syarbainî, Mughni al-Muhtâj, h. 78. Al-Kasânî, Bada‘i wa Shana‘i,, h. 223 40 Al-Buhuti, Kasyf al-Qinâ‘ ‘an Matn al-Iqnâ‘, h. 234; Karim, Bank Islam, h. 114. 41 Abd al-Hamid Hakim, al-Bayân (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 198. 42 ‘Ali Ahmad al-Nadâwî, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1986), h. 276. 38 39

342


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

yang dilakukan oleh nasabah sebelum habisnya masa angsuran, tidak memengaruhi harga barang, walaupun harganya berbeda karena berbedanya masa angsuran, kecuali hanya sekadar pemberian bonus saja dari bank untuk nasabah.43 Akhirnya, keinginan penabung untuk menyegerakan pelunasan, menjadi berkurang, walaupun mereka mampu. Karena melunasi sesuai masa tidak ada perbedaan secara signifikan, kecuali hanya bonus yang kadarnya tergantung kepada pihak bank semata. 44 Menurut analisis lebih jauh, Islam sangat menganjurkan agar yang berutang untuk berupaya menyelesaikan utangnya sesegera mungkin kalau sekiranya telah mampu. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî dan Muslim dari Abû Hurairah: 45

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu ialah kezaliman.” Kesimpulannya, tingginya harga barang karena lamanya masa mencicil, atau dalam istilah lain, kenaikan itu akan berbeda karena perbedaan masa angsuran. Berbedanya masa angsuran akan meningkatkan tambahan biaya oleh bank, sehingga akan memengaruhi harga barang. Sekiranya nasabah mempercepat pelunasan, tentunya biaya yang digunakan oleh bank akan berkurang, dan sangat tepat kalau juga memberikan akibat kepada berkurangnya utang. Namun itu bukanlah menjadi logika lebih jauh bagi bank syariah. Di sanalah perbedaan antara meminjam uang kepada bank konvensional (akadnya utang piutang) dengan membeli barang kepada bank syariah (akadnya jual beli). Pada akad jual beli, kalau telah disepakati harga barangnya sekian, tidak bisa lagi dilakukan perubahan harga di belakang hari, kendati membedakan harga tunai dengan kredit didasarkan kepada perbedaan biaya operasional dan percepatan pelunasan mengakibatkan terjadinya pengurangan biaya. Sedangkan pada bank konvensional, jumlah utang memang didasarkan secara eksplisit kepada bunga yang diperhitungkan dengan masa/tempo. Dengan demikian, agar benar-benar terlihat perbedaan antara skim yang ada pada kedua bank tersebut, dalam sistem akuntansinya bank syariah tidak dapat memilah secara jelas bahwa setiap kali angsurannya akan ada gambaran terpisah antara angsuran harga pokok barang dengan angsuran margin, bagaikan pada konvensional ada pengelompokan antara

Wawancara dengan dua pegawai bank syariah berbeda. Wawancara dengan salah seorang pegawai bank syariah, menyatakan bahwa pada hakikatnya pihak bank tidak menginginkan penabung itu untuk menyegerakan pelunasan, karena akan dikhawatirkan penabung tersebut akan berpindah ke bank lain, akibat percepatan mengakhiri interaksi. Penulis juga tidak mendalami lebih jauh apa yang dimaksudkan, kecuali prinsip bank tidak ingin agar penabung menyegerakan pelunasan angsuran sebelum masa yang disepakati. 45 Imam al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, bab Matl al-Ghanî Dzulm, no. hadis. 2225, Juz VIII, Maktabah Shamilah: CD Room, h. 238; al-Kahlany, Subul al-Salam, Juz III (Bandung: Dahlan, t.t.), h. 61. 43 44

343


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 angsuran utang dengan bunga. Untuk itu juga, pola hitungan angsuran dengan anuitas46 pada bank syariah, dalam konteks itu, menjadi tidak urgen.47 Sebaliknya pada bank konvensional, pihak bank punya kepentingan dengan pola anuitas ini, dalam konteks yang sama, yakni percepatan pelunasan. Kalau begitu, apa lagi yang menjadi dasar untuk perhitungan margin, selain masa? Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pegawai bank syariah, lembaga yang berwenang merperhitungkan nilai mark-up terhadap barang pada akad murâbahah pada bank syariah itu ialah komisi penghitung jaminan dan aset (Asset Liability Committee, ALCO). Seperti pada bank konvensional, ALCO, yang terdiri dari direktur utama dan para manajer kunci yang aktif dalam kredit dan investasi. ALCO memiliki wewenang membuat keputusan dan mengatur aset dan jaminan, strategi harga atas pinjaman (pembiayaan), membuat cara pengaturan dana-dana dan menentukan pilihan untuk alokasi pinjaman (pembiayaan), serta menyusun action plan berdasarkan sebab berlakunya variasi.48 Untuk memperhitungkan margin atau mark-up harga barang, pada bank syariah biasanya menggunakan dua bentuk; menjadikan bunga bank konvensional sebagai ukuran (benchmark), dan/atau tingkat margin yang ditetapkan oleh bank syariah lain sebagai pesaing. 49 Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Adiwaman A. Karim,50 bahwa ALCO bank syariah memiliki acuan dalam perhitungan margin, di antaranya ialah: a. Suku bunga rerata perbankan konvensional. Tingkat suku bunga rerata perbankan konvensional, dikenal pula dengan istilah Inderect Competitor’s Market Rate (ICMR), atau tingkat rerata suku bunga beberapa bank konvensional atau pada bank konvensional tertentu, yang dalam musyawarah ALCO ditetapkan sebagai kelompok pesaing, atau pesaing terdekat tidak langsung. b. Margin rata-rata perbankan syariah. Tingkat margin rata-rata perbankan syariah yang dikenal pula dengan Direct Competitor’s Market Rate (DCMR), atau tingkat margin rata-rata beberapa perbankan syariah yang ditetapkan oleh ALCO sebagai pesaing langsung. Dalam makna lain, tingkat margin keuntungan bank syariah yang ditetapkan dalam musyawarah ALCO sebagai pesaing langsung yang terdekat. c. Target bagi hasil bagi penabung. Yang dimaksudkan ialah target bagi hasil kompetitif yang

Pada setiap angsuran, porsi pokok semakin tinggi, sedangkan porsi margin semakin turun. Lihat Wiroso, Jual Beli Murabahah (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 113. 47 Urgensi anuitas pada bank syariah, akan terlihat kepentingan bagi hasil untuk pihak ketiga (penabung), karena mereka akan mendapatkan bagi hasil yang besar pada awal transaksi murâbahah terjadi. Namun penerimaan bagi hasil, semakin lama akan menurun kalau bank tidak melakukan ekspansi lebih jauh dengan murâbahah yang lain. 48 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 138; Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 152-153. 49 Wawancara dengan dua orang pegawai bank syariah berbeda. 50 Karim, Bank Islam, h. 280-281. 46

344


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

diharapkan untuk diberikan kepada dana pihak ketiga (Expected Competitive Return for Pelaburs /ECRI) d. Biaya yang dikeluarkan oleh bank yang berkaitan langsung dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga. e. Biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan yang kaku dalam penentuan harga barang. Artinya, Islam sangat memberikan kebebasan dan menghargai sistem operasi pasar bebas, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh lima perawi, kecuali al-Nasâ‘î, dari Anas:

51

“Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Harga pernah naik dengan mendadak di Madinah pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah! Tentukan harga untuk kita. Rasulullah menjawab: Allah sesungguhnya ialah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rezki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” Ada orang beranggapan bahwa apabila harga yang ditentukan oleh penjual itu berpuluh-puluh kali lipat, berarri menzhalimi pembeli. Artinya, menurut mereka penentuan harga yang sesuai dengan Islam ialah yang tidak boleh berlipat ganda. Hal ini susah dipahami, karena tidak ada ketentuan dalam Islam yang menggariskan demikian. Kecuali halnya harga yang berlipat ganda tersebut disebabkan karena penimbunan barang yang berpengaruh terhadap kelangkaan barang di pasaran. Secara rasional ialah harga barang yang sangat tinggi, akan memengaruhi daya beli masyarakat. Kalau peminat sebuah barang tidak ada atau sedikit karena harga yang mahal, sudah dapat dipastikan harga akan turun. Cara seperti inilah yang diterapkan pada sistem ekonomi modern masa sekarang. Namun Islam semenjak lama menggariskan bahwa harga barang dibiarkan ditentukan oleh pasar. Ini berarti cara bank syariah menentukan harga barang yang dijual dalam transaksi murâbahah misalnya, dengan mengambil perhitungan dari berbagai hal sebagaimana juga diperkuat oleh Adiwarman di atas, telah sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana seandainya terjadi penyalahgunaan uang oleh penabung, sebagai wakil bank, yang sudah disepakati semula untuk pembelian barang kemudian dialihkan tanpa sepengetahuan pihak bank, maka pihak bank tidak dapat mengantisipasinya. Karena tidak

Al-Kahlani, Subul al-Salâm, Juz III, h. 25.

51

345


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 ada pola yang dapat memantau penabung kecuali jika bukti pembelian barang tersebut diserahkan kepada pihak bank.52 Sekiranya berlaku tunggakan dalam pembayaran angsuran, karena ketidakmampuan penabung, maka jalan keluar yang biasa dilakukan oleh bank syariah ialah dengan memperbaharui akad atau memperpanjang masa angsuran, sehingga nilai setiap angsuran menjadi lebih kecil, tanpa penambahan harga barang.53 Cara seperti itu jelas sangat sesuai dengan prinsip mu‘amalah dalam Islam, karena adanya sifat menolong (ta‘âwun) bagi penabung yang sedang dalam kesusahan. Akan tetapi apabila, penabung dengan sengaja memperlambat atau menunda-nunda pembayaran, padahal ia mampu melunasinya, maka penabung akan dikenakan denda sesuai yang disepakati. Denda yang dimaksud, sebagaimana yang termuat dalam contoh naskah akad pada bank syariah, oleh pihak bank syariah dijadikan sebagai dana sosial. 54 Denda ini dikritik oleh Abdullah Saeed dalam bukunya, seperti juga penulis lainnya. Menurut mereka, sanksi atau “denda” menggambarkan kerugian yang diderita oleh bank akibat tidak dibayarnya utang tepat waktu. Bank syariah melihat adanya “tingkat laba secara normal” dengan adanya sanksi “denda” tersebut. Sehingga hal ini sama saja dengan tujuan-tujuan praktis sanksi bunga dalam bank konvensional, ketika utang tidak dibayarkan tepat waktu.55 Kritikan para pakar ini, tidak relevan dengan fakta yang ada di perbankan syariah Indonesia. Sanksi denda yang diterapkan dalam transaksi murâbahah yang sengaja lalai membayarkan angsurannya, tidak dapat disamakan dengan pola sanksi bunga yang ada di bank konvensional. Beberapa alasannya di antaranya: a. Denda tersebut tidak dimanfaatkan sebagai bagian pendapatan bank, kecuali dimanfaatkan untuk aktivitas sosial; b. Sanksi dimaksudkan lebih bersifat mendidik dan pencegahan untuk mengantisipasi kerugian pada bank, sebagai lembaga penghimpun dana publik (Dana Pihak Ketiga). Upaya pencegahan terhadap kemudaratan dalam Islam dapat dilandaskan kepada kaedah sadd al-dzarî‘ah.56

Wawancara dengan dua orang pegawai bank syariah berbeda. Ibid. 54 Ibid. 55 Saeed, Islamic Banking and Interest, h. 90; FIBE, ‘Aqd Bai‘ al-Murâbahah, dan Mohammed, Islamic Banks Practices in Murâbahah, makalah disampaikan dalam seminar tentang Ekonomi Islam di Abu Dabi, 18-20 Maret 1989. 56 Sadd al-dzarî‘ah dimaksudkan sebagai suatu metode istinbâth hukum dalam Islam dengan bentuk “menutup jalan agar jangan terjadi sesuatu kerusakan”. Lihat ‘Alî Hasballah, Ushûl al-Tasyri‘ al-Islâm (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971), h. 319, dan kitab-kitab ushul fiqih lainnya. Dalam konteks di atas, sanksi denda dimaksudkan sebagai upaya menutup jalan agar jangan timbulnya kerugian bagi bank dan penabung, akibat kelalaian pembayaran angsuran dengan sengaja. 52 53

346


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

Dalam perspektif lain, yang menjadi kritikan lebih jauh terhadap bank syariah dalam menjalankan akad murâbahah ini ialah kecenderungan pihak bank melaksanakan akad ini hanya dari sisi kemudahan, atau adanya akad wakâlah yang dikondisikan. Pihak bank syariah lebih tergambar sebagai organisasi “pembiaya” bukan “penjual” barang, walaupun dalam transaksi murâbahah, bank harus berperan sebagai penjual. Penilaian ini muncul, karena bank tidak memegang barang dan tidak juga mengambil risiko di atasnya. Dengan memandang bank syariah pada sisi ini, kecenderungan sebagian orang menilai tidak ada bedanya dengan bank konvensional, agaknya dapat dibenarkan juga. Bagaikan penilaian Abdullah Saeed yang menyatakan bahwa meskipun murâbahah di awalnya sebagai kontrak jual beli, namun sebenarnya ini sejenis pembiayaan berdasarkan keuntungan yang ditetapkan di muka, yang tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berdasarkan bunga tetap.57

Penutup Dari uraian di atas, terlihat bahwa betapa dilematisnya bank syariah dalam menerapkan skim murâbahah ini, antara tuntutan ingin berada dalam nuansa syariah Islam secara murni, sehingga tereliminir persepsi miring sekadar ganti “baju,” dengan tuntutan pragmatisme pasar dan realits sumber daya manusia bank. Dilema tersebut akan tereleminir kalau pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah terhadap pelaksanaan skim di lapangan bisa lebih optimal lagi, dan kemauan dari praktisi untuk tidak hanya memandang dari segi kepraktisan dan kemudahan semata, melainkan bagaimana menempatkan paradigma syariah ini menjadi landasan utama dalam setiap transaksi yang ada di perbankan syariah.

Pustaka Acuan Ab. Ghani, Ab. Mumin. Sistem Kewangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 1999. Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet, 2002. Al-Bahuti. Manshur bin Yûsuf. Kasyf al-Qinâ‘ ‘an Matn al-Iqnâ‘, Juz. III. Beirut: Dâr al-Fikr, 1982. Mohammed. Islamic Banks Practices in Murâbahah, Makalah di Abu Dabi, 18-20 Maret 1989. Hakim Abd al-Hamid. al-Bayân. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Hasballah. ‘Alî. Ushûl al-Tasyri‘ al-Islâm. Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1971. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006. Horne, James C. & Wachowicz, John M. Fundamentals of Financial Management, New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River, 1998. Saeed, Islamic Banking and Interest, h. 92.

57

347


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Ibn ‘Abidîn. Radd al-Mukhtâr ‘ala al-Ardh al-Mukhtâr, Juz IV. t.tp.: t.p., t.t. Ibn ‘Arabi. Ahkâm al-Qur’ân, Juz I, Kairo: ‘Îsa al-Bâbî al-Halabi wa Syurakah, 1967. Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Juz II. Kairo: Mathba’ah Dâr Ihya‘ al-Kutub al-’Arabiyah, t.t. Ibn Manshur, al-Afriqy. Lisân al-‘Arab, Juz II. Beirut: Dâr al-Sadr, t.t. Ibn Qudamah, Abû Muhammad bin Ahmad. al-Mughny, Juz.IV. Riyadh: Riasah Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal al-Ifta` wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1401 H. Ibn Rusyd, Abû al-Wâlid Muhammad. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz II. Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Bâbî al-Halabi wa Auladih, 1981. Imam al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, Juz VIII, Maktabah Shamilah: CD Room. Iska, Syukri. “Dilematis Lembaga Perbankan Syariah Dalam Kultur Minangkabau”, dalam Jurnal Ilmiah Syariah (Juris), STAIN Batusangkar, Vol. 5, No. 1/2006. Al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba‘ah, Juz II, Bairut: Dâr Ihya` al-Turats al-‘Arabî, 1986. Al-Kaff. Does Islam Assign Any Value, dan CII., Consolidated Recommendations on the Islamic Economic System. Islamabad: Council of Islamic Ideology, 1983. Al-Kahlany. Muhammad ibn Ismâ‘îl Subûl al-Salâm, Juz III. Bandung: Dahlan, t.t. Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Al-Kasânî, Abû Bakr Ibn Mas’ud. al-Badâ’i wa al-Shanâ’i fî Tartîb al-Syarâ‘i, Juz VII. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabî, t.t. Kasmir. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: RajaGrafindo, 2003. Kuwait Finance House. al-Fatâwâ al-Syar’iyyah fî al-Masâil al-Iqtishâdiyyah. Kuwait: KFH, 1985-1986 & 1986-1987. Al-Marghinani, Burhan al-Dîn. al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtady. Juz III. Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Bâbî al-Halabî wa Auladih, t.t. Al-Misr. Masraf al-Tanmiyyat al-Islâmiy. Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1997. Al-Nadawi, ‘Alî Ahmad. al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah. Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1986. Al-Râzî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr, Juz VII. Kairo: al-Matba‘ah al-Bahiyyah, 1938. Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden: E.J. Brill, 1996. Al-Syâfi‘î, Muhammad Idrîs. al-Umm, Juz. III. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1973 Al-Syarbini, Muhammad al-Khatib. Mughni al-Muhtâj ‘alâ Ma‘arif Ma‘âni Alfazh al-Minhâj. Kairo: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Bâbî al-Halabi wa Awladih, 1958. Al- Syaukânî, Muhammad. Nail al-Authâr, Juz. V. Kairo: Maktabah al-Da‘wah al-Islamiyyah, t.t. 348


Syukri Iska: Dilema Skim Murabahah Pada Perbankan Syariah

Syihata, Syauqy Ismâ‘îl. Nazhariyyat al-Muhâsabah al-Mâliyyah min Mandûrin Islâmi, Kairo: al-Zahra li al-I‘lam al-‘Arabi, 1987 Sumitro, Warkum. Azas-azas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: Bamui, Takaful dan Pasar Modal Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Wiroso. Jual Beli Murâbahah. Yogyakarta: UII Press, 2005. Al-Zarqa.’ al-Madkhal al-Fiqh al-‘Âm, Juz I (al-Fiqh al-Islâmi fi Tsawbih al-Jadîd), Beirut: Dâr al-Fikr, 1968.

349


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM PADA MASA RASULULLAH SAW. Ikhwan Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Jl. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang, 25153 e-mail: ikhwan_matondang@yahoo.co.id

Abstrak: Salah satu prinsip dasar ajaran Islam adalah penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang meliputi penghargaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pada masa Nabi SAW. sendiri penegakan terhadap pelanggaran ini dapat menjadi inspirasi bagi penegakan HAM pada masa sekarang. Dalam tulisan ini, penulis membahas tentang pengadilan HAM di dalam sistem peradilan Islam dan mengidentifikasi bentuk dan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Penulis menemukan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia dilaksanakan dengan tiga metode. Pertama, metode berperkara biasa di pengadilan yang diakhiri dengan keputusan hakim. Kedua, metode berperkara biasa di pengadilan yang diakhiri dengan ishlâh (perdamaian). Ketiga, metode pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi para pihak, tanpa melalui proses berperkara di pengadilan. Abstract: The Settlement of Human Right Violation Case in the Time of Prophet pbh. One of the basic principles of Islamic Teachings is the serious concern on the protection of human rights which include safeguarding religion, life, intellect, descendants and possessions. Human right violence law enforcement during the time of the Prophet may become a source of inspiration for the current problems. In this essay the author discusses human rigth court of justice in Islamic system of judicature and identify the form and mechanism of cases of human right violence settlements. The author finds that dispute settlements are carried out as in the normal litigation by bringing the case to the court which then followed by either decision by the judge or reconciliation. In addition, it may also be settled by reconciliation of the parties without filing the case to the court.

Kata Kunci: hukum Islam, pelanggaran HAM, Rasulullah SAW.

Pendahuluan Usaha terpenting yang dilakukan dalam rangka perlindungan hak asasi manusia di antaranya adalah mengusut, mengadili, dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran 350


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

hak asasi manusia. Upaya bersifat preventif, seperti pendidikan, penyuluhan, dan pembuatan peraturan-peraturan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat melindungi hak asasi manusia secara baik dan maksimal tanpa dibarengi dengan pendekatan represif dalam bentuk pemberian sanksi hukum melalui lembaga peradilan. Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia secara adil dan beradab serta penerapan sanksi hukum bagi pelakunya dapat menjadi pendidikan hukum yang baik bagi masyarakat, di samping dapat menimbulkan efek jera kepada pelakunya dan efek takut bagi orang yang berniat melakukannya. Semua upaya perlindungan hak asasi manusia yang bersifat represif tersebut hanya dapat dilakukan secara baik dan benar melalui proses berperkara di pengadilan. Pelaksanaan peradilan dalam rangka penegakan dan perlindungan hak asasi manusia telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II di mana pembunuhan masal, pemerkosaan, pemusnahan etnis, dan lainnya yang dilakukan oleh NAZI-Jerman diadili oleh Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nuremberg mulai Oktober 1945. Para petinggi NAZI didakwa telah melakukan kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace). Pada perkembangan selanjutnya, pengadilan ini diteruskan oleh pemerintah Republik Federasi Jerman. Sementara itu, Mahkamah Militer Internasional yang sama juga didirikan di Tokyo untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para pemimpin Jepang.1 Pada tahun 1993, PBB membentuk Pengadilan International (International Tribunal) untuk bekas Yugoslavia guna mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran serius terhadap hukum humaniter dalam wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991.2 Para terdakwa antara lain Slobodan Milocevic (Presiden Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), Nikola Sainovic (Deputi Perdana Menteri Yugoslavia), Dragoljub Ojdanic (Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Yugoslavia), dan Vlajko Stoplijkovic (Menteri Dalam Negeri Serbia).3 Pengadilan ini juga mengadili Milan Babic, pemimpin pemberontak Serbia-Kroasia, serta memburu pemimpin pemberontak Serbia-Bosnia, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic. Milan Babic akhirnya tewas bunuh diri dalam sel tahanan pada awal Maret 2006 dan Slobodan Milocevic juga tewas karena serangan jantung dalam tahanan pada 11 Maret 2006.4 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Mengadili Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Pengalaman Beberapa Negara,” Makalah pada Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan R.I., 16 Februari 2000), h. 1. 2 ”Statute of the International Tribunal for Former Yugoslavia,” Adopted 25 May 1993 as Amended 13 May 1998. 3 Djoko Soegianto, “Usaha untuk Mengenal Pengadilan HAM,” Makalah Pelatihan HAM bagi Calon Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika 4-10 Nopember 2001 (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2001), h. 26-27. 4 "Pembantai Muslim Bosnia Tewas di Sel,” dalam Indopos (Jakarta, 12 Maret 2006). 1

351


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Pada tahun 1994, PBB membentuk Pengadilan Internasional untuk wilayah Rwanda guna mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasinal dalam wilayah Rwanda dan negara-negara tetangganya.5 Pengadilan Internasional ini menyeret Jean Kambada (mantan Perdana Menteri Rwanda), Omar Serushago (pemimpin milisi Hutu), dan Ignace Bagilisheina sebagai terdakwa dengan tuduhan melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menewaskan sekitar 500.000 penduduk Rwanda, terutama dari suku minoritas Tutsi, sekitar tahun 1994.6 Mahkamah Internasional Nuremberg maupun Mahkamah Internasional di Rwanda dan bekas Yugoslavia tidak menyebutkan dirinya sebagai pengadilan HAM. Namun, proses peradilan yang terjadi diketahui secara luas sebagai proses peradilan terhadap para terdakwa yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdamaian. Jadi, esensinya bukan terletak pada nama pengadilan tersebut, tetapi pada peran dan kompetensinya. 7 Di samping praktik pengadilan kasus pelangggaran HAM berskala internasional di atas, beberapa negara sebenarnya juga memiliki pengalaman mengadili kasus pelanggaran HAM, seperti di Yunani dan Argentina. Pembentukan pengadilan hak asasi manusia oleh PBB untuk Timor-Timur sempat menjadi wacana karena ada dugaan kuat telah terjadi berbagai pelanggaran HAM yang serius pasca jajak pendapat. Keinginan itu mengendur setelah pemerintah Republik Indonesia melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mengadili sendiri kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut melalui suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang diselenggarakan di Jakarta. Bila ditelusuri lebih jauh, eksistensi pengadilan HAM sesunguhnya memiliki akar sejarah yang panjang. Beberapa tradisi budaya dan sistem hukum, seperti Romawi, Persia, Arab Jahiliyah, dan Islam, sejak zaman dahulu tercatat mempunyai aturan dan lembaga yang menjalankan peran sebagai pengadilan HAM. Kekayaan tradisi budaya dan sistem hukum yang ada tersebut perlu dipelajari dan diteliti sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan lembaga pengadilan HAM pada masa yang akan datang. Untuk itu, tulisan ini membahas tentang pengadilan HAM dalam sistem peradilan Islam, yaitu menjelaskan bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM diselesaikan dalam kerangka hukum Islam berdasarkan data-data yang diperoleh dari al-Qur’an, Sunnah, kitabkitab fiqih dan sejarah. Pembahasan dimulai dari menentukan unsur dan kriteria kasus pelanggaran HAM. Kemudian dipaparkan kasus-kasus yang pernah diadili di peradilan Islam. Selanjutnya dijelaskan bagaimana bentuk dan mekanisme penyelesaian kasus-kasus tersebut.

"Statute of the International Tribunal for Rwanda, 1994". "Pengadilan Paling Akhir”, dalam Gatra (Jakarta, 29 Januari 2000), h. 39-40; Soegianto, “Usaha untuk Mengenal Pengadilan,” h. 27-28 7 Garuda Nusantara, “Mengadili Kasus,” h. 2 5 6

352


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat definisi yang cukup baik tentang pelanggaran hak asasi manusia, yaitu: Setiap perbuatan seorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. (Pasal 1 angka 6). Menurut definisi ini, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang merugikan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Perincian hak asasi manusia yang dijamin tersebut diatur dalam bab III pasal 9 sampai pasal 66 yang meliputi hak hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak-hak wanita, dan hak-hak anak. Definisi di atas menyebutkan bahwa subjek pelaku pelanggaran hak asasi manusia dapat berupa individu atau sekelompok orang yang secara bersama-sama melakukan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Penambahan kata-kata “…termasuk aparat negara ….” merupakan suatu penekanan dan perhatian khusus karena secara faktual, pelanggaran hak asasi manusia banyak dilakukan oleh aparat negara. Penekanan ini merupakan salah satu ciri khas kasus pelanggaran hak asasi manusia. Nuansa khusus ini oleh para ahli disebut sebagai salah satu bentuk khusus dari kejahatan politik (political crimes). Kejahatan politik dapat dibedakan kepada kejahatan melawan penguasa (crimes against the goverment), seperti pemberontakan, demonstrasi ilegal, terorisme, gerakan subversif, dan kejahatan yang dilakukan oleh penguasa (crimes by government, state crimes, political policing, governmental crimes), seperti pelanggaran hukum oleh aparat pemerintah, militer, intelijen. Pelanggaran hak asasi manusia termasuk ke dalam kategori kedua dari kejahatan politik. Pelanggaran hak asasi manusia mempunyai nuansa khusus, yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah (committed within a govermental context and facilitated by governmental power). Bahkan, dikatakan juga bahwa perbuatan melanggar hak asasi manusia dilakukan dalam kerangka atau disertai asosiasi dengan status pemerintahan (within or in association with governmental status).8 Pada kenyataannya, pelanggaran hak asasi manusia umumnya dilakukan oleh aparat negara, terutama militer. Muladi, “Prospek Pengaturan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia,” Makalah pada Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM (Jakarta, 16 Februari 2000), h. 7. Pembagian tindak pidana politik kepada kejahatan melawan negara/penguasa dan kejahatan oleh penguasa merupakan perkembangan baru dalam hukum pidana. Pada pembagian hukum 8

353


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Penggalan terakhir dari definisi di atas, yakni: â€œâ€Śdan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlakuâ€?, merupakan ciri khas lain dari pelanggaran HAM. Kekhawatiran ini bisa disebabkan oleh kelemahan peraturan perundang-undangan dan bisa juga karena pengaruh pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana disinyalir, aparat negara adalah pihak yang paling berpeluang dan paling sering melakukan pelanggaran HAM, sementara mereka memiliki kekuasaan yang dapat diselewengkan untuk mempengaruhi proses dan hasil persidangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Pengadilan HAM hanya bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat (pasal 4), yaitu kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) (pasal 7-9). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (pasal 8). Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Yang dimaksud dengan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Kejahatan terhadap kemanusiaan dapat berupa pembunuhan; pemusnahan, meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk; perbudakan, termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa yaitu pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah di mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan, yakni dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; peng354


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

aniayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa, yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang; kejahatan apartheid, yakni perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu. Yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah dua elemen sebagai berikut. Pertama, perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan meluas (widespread) dan sistematik (systematic) yang ditujukan kepada penduduk sipil. Kedua, keharusan adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Menurut Muladi, adanya persyaratan pelaku harus memiliki pengetahuan bahwa serangan diarahkan kepada penduduk sipil (knowledge of the attack) harus diartikan sebagai kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya, seseorang yang turut serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, tetapi dia tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, maka dia dapat dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan, tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlu ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak disyaratkan pelaku (perpetrator) telah mengetahui karakteristik serangan, rincian pasti (precise details) perencanaan, atau kebijakan negara atau organisasi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.9 Dengan demikian, kasus pelanggaran hak asasi manusia memiliki nuansa khusus dan memenuhi kriteria berikut. Pertama, perbuatan melanggar hak asasi manusia. Kedua, pelanggaran pada umumnya dilakukan aparat negara sehingga terjadi penyalahgunaan

pidana secara konvensional, pembagian seperti itu tidak ditemukan. Tindak pidana politik hanya diarahkan kepada kejahatan melawan negara/pemerintah yang sah. Lihat antara lain: EY. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 3 (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 240; Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 102 dan Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. 6 (Bandung: Eresco, 1989). 9 Muladi, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan,� Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM bagi Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika Jakarta 7 Nopember 2001 (Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2001), h. 3-5.

355


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 kekuasaan di mana pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan atau difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Ketiga, dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar karena kekuasaan atau pengaruh pelaku. Keempat, dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil (kriteria ini khusus untuk pelanggaran hak asasi manusia berat). Pembahasan selanjutnya difokuskan kepada kasus-kasus yang memenuhi kriteria-kriteria kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dari eksplorasi dan penjelajahan terhadap berbagai kasus yang pernah diangkat ke peradilan Islam pada masa Nabi SAW. dan tercatat di dalam kitab-kitab hadis dan sejarah, ditemukan beberapa kasus yang memenuhi sebagian atau seluruh kriteria kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana tersebut di atas. Di antara kasus yang dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia adalah sebagai berikut:

Kasus Zubair bin Awwâm Kasus ini adalah persengketaan hak pengairan atau irigasi antara Zubair bin Awwâm dan seorang Ansar. Seorang sahabat dari kalangan Ansar menggugat Zubair kepada Rasulullah SAW. karena Zubair dianggap telah menahan dan merugikan haknya atas air dan pengairan, padahal hak tersebut merupakan hak umum yang mesti dijamin untuk setiap orang. Peristiwa ini termaktub dalam hadis berikut:

“Hadis yang berasal dari Yûsuf, dari al-Laits, dari Ibn Shihâb, dari ‘Urwah, dari ‘Abdillâh Ibn Zubair r.a. bahwa sesungguhnya seorang dari golongan Ansar berperkara dengan Zubair di hadapan Rasulullah SAW. mengenai aliran air (irigasi) di Harrah. Orang Ansar tersebut berkata: “Alirkanlah air itu!” Zubair menolak. Mereka lalu bersengketa di hadapan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. bersabda: “Pakailah air itu hai Zubair, lalu alirkan ke tetanggamu!” 356


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

Orang Ansar tersebut marah dan berkata: “Mentang-mentang Zubair anak bibimu.” Rona muka Rasulullah SAW. berubah mendengar ucapan tersebut. Lalu beliau bersabda kepada Zubair sekali lagi: “Pakailah air itu hai Zubair, lalu alirkan ke tetanggamu!” Zubair berkata: “Saya menduga ayat ini (Maka demi Tuhanmu, mereka belumlah beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut” (H.R. Bukhârî).10 Dari segi materi yang dipersengketakan, kasus ini dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena hak atas kebutuhan pokok merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mesti diakui dan dihormati. Namun, para ahli masih berbeda pendapat apakah kasus ini memenuhi kriteria dan unsur tindak pelanggaran hak asasi manusia (al-mazhâlim) sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebagian ahli berpendapat bahwa kasus ini termasuk kasus kezaliman penguasa terhadap rakyat dari sudut pandang bahwa Zubair bin Awwâm adalah kerabat dekat Nabi SAW. yang merupakan penguasa ketika itu. Zubair adalah anak dari Shafiyah binti ‘Abdul Muthalib, bibi kandung Nabi SAW. Dari garis ayah, silsilah Zubair bertemu pula dengan silsilah Nabi SAW. pada kakek mereka Qusay bin Kilab.11 Dengan demikian, terdapat salah satu unsur dan kriteria tindakan pelanggaran hak asasi manusia, yakni pelaku tindak pelanggaran hak asasi manusia adalah orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, baik karena memiliki sendiri kekuasaan tersebut maupun sebagai efek dari hubungan dekat dengan penguasa. Realitas ini menyebabkan terpenuhi unsur atau kriteria lain dari tindak pelanggaran hak asasi manusia, yakni adanya kekhawatiran kasus tersebut tidak dapat diselesaikan secara adil karena pengaruh dan kekuasaan pelaku bisa mempengaruhi proses dan keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan yang mengadili kasus tersebut. Sementara itu, sebagian ahli yang lain mengisyaratkan bahwa kasus ini bukan tindak pelanggaran hak asasi manusia sebab Zubair bin Awwâm bukanlah penguasa dan bukan pula kerabat dekat seorang penguasa. 12 Dengan demikian, dia tidak memiliki cukup pengaruh untuk mempengaruhi proses dan hasil persidangan di pengadilan. Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, secara faktual kasus ini memenuhi sebagian dari kriteria tindak pelanggaran hak asasi manusia. Pertama, obyek sengketa adalah hak pengairan yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak umum yang dimiliki setiap orang dan mesti dilindungi. Dalam konteks kasus ini, sahabat dari kalangan Ansar merasa haknya atas pengairan tidak terpenuhi dan terlindungi, dihalangi oleh Zubair yang kebetulan memiliki kebun di bagian atas atau bagian hulu dari kebunnya. Kedua, kekhawatiran adanya intervensi

Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, Cet. 3, juz II (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1987), h. 832 11 Abî al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Mawardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyah al-Dîniyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1380 H/1960 M), h. 75. 12 Nâshir ibn ‘Âqil ibn Jâbir al-Thârifî, al-Qadhâ’ fî ‘Âhdi ‘Umar ibn al-Khaththâb (Jeddah: Dâr al-Madanî, 1986), h. 563. 10

357


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 dan pengaruh kekuasaan dalam kasus ini demikian jelas mengingat hubungan kekeluargaan antara Zubair dan Nabi SAW. yang akan mengadili kasus tersebut. Kekhawatiran tersebut secara gamblang diungkapkan sendiri oleh sahabat Ansar ketika mendengar keputusan Nabi SAW. yang belum memenuhi keinginannya, ia berkata kepada Nabi SAW.: “Mentangmentang Zubair anak bibimu”. Ucapan tersebut mengindikasikan kecurigaan dan kekhawatiran sahabat dari kalangan Ansar tersebut bahwa Nabi SAW. telah mengeluarkan keputusan yang memihak dan tidak adil, walaupun sesungguhnya Nabi SAW. telah berlaku adil dan memberikan keputusan yang benar. Meskipun kasus ini mengandung muatan pelanggaran hak asasi manusia dan memenuhi beberapa kriteria tindak pelanggaran hak asasi manusia, tetapi belum dapat menggambarkan suatu proses penyelesaian kasus hak asasi manusia secara lengkap, luas, dan menyeluruh. Hal ini karena sifat kasusnya yang kecil, hanya melibatkan dua individu, dan pokok masalah yang tidak kompleks dan tidak terlalu penting. Contoh-contoh kasus berikut dapat mewakili bagaimana penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam sejarah peradilan Islam.

Kasus Khâlid ibn al-Walîd Masalah pokok pada kasus ini adalah tindakan pembunuhan, penganiayaan, dan kezaliman lainnya yang dilakukan oleh Khâlid bin Walîd dan pasukannya terhadap penduduk Bani Jadzîmah yang jelas-jelas melanggar bagian terpenting dari hak asasi manusia. Peristiwa ini dapat dirujuk antara lain pada hadis berikut.

“Hadis diterima dari Mahmûd, dari ‘Abd al-Razzâq, dari Ma’mar. Disampaikan juga dari Nu’aim, dari ‘Abdillâh, dari Ma’mar, dari al-Zuhrî, dari Sâlim, dari bapaknya yang berkata bahwa Nabi SAW. mengutus Khâlid bin al-Walîd kepada Bani Jadzîmah dan Khâlid lalu mendakwahi mereka untuk memeluk Islam. Orang-orang Jadzîmah belum biasa mengucapkan “aslamna” (kami telah masuk Islam), lalu mereka menjadikan ungkapan “shaba’na, shaba’na” sebagai gantinya. (Mendengar ungkapan tersebut) Khâlid membunuh sebagian mereka, menawan, dan membagikan tawanan kepada masing-masing pasukan Islam. Berselang sehari, Khâlid memerintahkan 358


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

pasukan Islam membunuh tawanan mereka masing-masing. Maka saya (ayah Sâlim) berkata: “Demi Allah, saya tidak akan membunuh tawanan saya dan sahabat-sahabat saya juga tidak akan membunuh tawanan mereka.” Sampai kami menemui Nabi SAW. dan menyampaikan peristiwa tersebut. Lalu Nabi SAW. mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, “Ya Allah, aku berlepas tangan kepada-Mu atas apa yang diperbuat Khâlid.” Ungkapan tersebut diulangi Nabi SAW. sampai dua kali” (HR. al-Bukhârî, al-Nasâ`î, Ahmad, dan Ibn Hibbân).13 Kasus Khâlid berawal dari kebijakan Nabi SAW. setelah pembebasan kota Mekkah untuk mengirim beberapa detasemen ke berbagai penjuru jazirah Arab untuk misi dakwah, bukan dalam rangka operasi militer. Di antaranya adalah satu detasemen di bawah pimpinan Khâlid ibn Walîd yang dikirim ke wilayah Tihamah bawah, daerah yang dihuni antara lain oleh Bani Jadzîmah. Ketika kabilah Bani Jadzîmah melihat kedatangan detasemen pimpinan Khâlid bin Walîd, mereka langsung bersiaga dan menyiapkan senjata untuk mempertahankan diri. Melihat gelagat demikian, Khâlid berkata: “Letakkan senjata kalian! Orang banyak telah memeluk Islam.” Jahdam, salah seorang Bani Jadzîmah, mengingatkan kaumnya: “Celakalah kalian hai Bani Jadzîmah! Orang ini adalah Khâlid!” Demi Allah, jika kalian meletakkan senjata, pasti dia menawan dan membunuh kalian. Demi Allah, Aku tidak akan pernah meletakkan senjata.” Beberapa orang kabilah Bani Jadzîmah memegangi Jahdam dan melucuti senjatanya sambil berkata: “Hai Jahdam, apakah kamu ingin menumpahkan darah kami? Sungguh orang banyak telah masuk Islam, meletakkan senjata, menghentikan perang, dan hidup aman”. Ketika kabilah Bani Jadzîmah telah meletakkan senjata, atas perintah Khâlid, tangan mereka diikat ke belakang pundak. Khâlid kemudian menghunuskan pedangnya kepada mereka sehingga ada yang terbunuh. Salah seorang Bani Jadzîmah berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. di Madinah. Nabi SAW. langsung melakukan penyelidikan dan bertanya kepada orang yang melaporkan, “Adakah orang yang menentang tindakan Khâlid tersebut?” Orang tersebut menjawab: “Ya, seorang yang berkulit putih dan bertinggi badan sedang, tapi orang itu kemudian diam setelah dihardik oleh Khâlid. Tindakan Khâlid juga ditentang oleh orang yang berbadan tinggi kurus. Silahkan cek kepada keduanya”. Setelah diselidiki diketahui bahwa yang menentang tindakan Khâlid tersebut adalah ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khathab dan Sâlim bekas budak Abû Hudzaifah.14

Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz IV, h. 1577. Hadis yang sama atau hampir sama dapat ditemukan didalam Shahîh al-Bukhârî, juz VI, h. 2628; Al-Nasâ‘î, Sunan al-Nasâ‘î, juz VIII (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1406 H/1986 M), h. 236; Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II (Mesir: Muassasah Qurthubah, t.t.), h. 150 dan Muhammad ibn Hibbân al-Taimimî, Shahîh Ibn Hibbân, juz XI, Cet. 2, (Beirût: Mu‘assasah al-Risâlah, 1414 H/1993 M), h. 53. Pemaparan lebih lengkap kasus Khâlid dapat dilihat pada: ‘Abd al-Malik Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq Thâhâ ‘Abd al-Raûf Sa’îd, juz. V, Cet. 1 (Beirût: Dâr al-Jail, 1411), h. 93-102. 14 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz. V, h. 93-96 dan Ibn Hajar Al-‘Asqalânî, Fath alBârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Tahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, juz VIII (Beirût: Dâr alMa’rifah, t.t.), h. 58 13

359


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Setelah memastikan adanya peristiwa tersebut, Nabi SAW. memanggil ‘Alî bin Abi Thâlib dan bersabda: “Hai ‘Alî, pergilah ke Bani Jadzîmah! Teliti dengan seksama kasus mereka dan adili perbuatan jahiliyah ini di bawah wewenangmu!.” ‘Alî r.a. lalu berangkat dengan membawa banyak harta yang diberikan Nabi SAW. ‘Alî mengadili kasus tersebut dan memutuskan memberikan diyat (denda) atas setiap kerugian darah (nyawa) dan harta Bani Jadzîmah sehingga harta yang dibawanya hanya tersisa sedikit. Lalu ‘Alî bertanya: “Hai Bani Jadzîmah, masih adakah darah dan harta yang belum dibayar diyatnya?” Mereka menjawab: “Tidak ada.” ‘Alî lalu berkata: “Sisa harta ini aku berikan kepada kalian sebagai bentuk kehati-hatian Rasulullah SAW. atas apa yang beliau tidak ketahui dan kalian juga tidak mengetahuinya.” ‘Alî kemudian pulang ke Madinah dan melaporkan tugasnya kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW bersabda: “Engkau telah bertindak tepat dan baik.” Setelah itu Nabi SAW. berdiri menghadap kiblat, menengadahkan kedua tangan sehingga kelihatan ketiaknya, dan berdoa: “Ya Allah, aku berlepas tangan kepada-Mu atas apa yang diperbuat Khâlid bin Walîd.” Ungkapan tersebut diulangi Nabi SAW. sampai dua kali. 15 Kasus Khâlid bin Walîd ini dapat dan tepat disebut sebagai contoh kasus tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia, termasuk jika ditinjau dari kaca mata hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang sekalipun. Beberapa unsur dan kriteria utama pelanggaran hak asasi manusia telah terpenuhi pada kasus ini. Pertama, adanya perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja dan melanggar hak asasi manusia. Dalam konteks kasus ini, hak asasi yang dilanggar adalah hak yang berkaitan dengan jiwa dan harta karena telah terjadi pembunuhan dan perampasan atau perusakan harta secara semena-mena. Kedua, perbuatan pidana dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang yang berstatus sebagai aparat negara. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, aparat negara disebut secara khusus di dalam definisi tindak pelanggaran hak asasi manusia karena mereka, secara faktual, merupakan pihak yang sering terlibat dalam berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusia. Pada kasus di atas, pelakunya adalah Khâlid dan pasukannya yang notabene adalah aparat pemerintah karena sedang mengemban mandat dan tugas khusus dari Nabi SAW., kepala negara dan kepala pemerintahan Islam ketika itu. Jadi, pada peristiwa tersebut telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat kejahatan dalam konteks pemerintahan dan menggunakan fasilitas kekuasaan pemerintah (committed within a govermental context and facilitated by governmental power). Dengan demikian, kasus ini dapat digolongkan al-mazhâlim dalam hukum Islam atau apa yang disebut para ahli hukum umum sebagai kejahatan yang dilakukan oleh penguasa (crimes by goverment, state crimes, political policing, govermental crimes) dan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan politik. Kasus Khâlid, dengan melihat kedudukannya sebagai panglima perang,

Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz. V, h. 96 dan al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, juz VIII,

15

h. 58

360


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

juga memperkuat anggapan dan kecenderungan umum bahwa aparat militer merupakan pihak yang paling banyak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, kasus Khâlid tersebut tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar karena pelaku pelanggaran hak asasi manusia memiliki kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil persidangan. Pada kasus di atas, kekhawatiran tidak adanya penyelesaian hukum yang adil bisa terjadi jika kasus tersebut hanya diselesaikan melalui pengadilan khusus dalam internal detasemen pimpinan Khâlid bin Walîd karena adanya pengaruh kuat Khâlid sebagai pimpinan detasemen. Kekhawatiran tersebut juga masih ada, minimal pada diri korban, jika kasus diselesaikan melalui mekanisme hukum dan pengadilan biasa mengingat besarnya pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki Khâlid sebagai salah seorang panglima pasukan Islam ternama, meskipun kekhawatiran semacam itu terlalu berlebihan mengingat keluhuran budi pekerti Nabi SAW. dan para sahabat ketika itu yang tidak mungkin berlaku zalim hanya karena membela sahabat yang bersalah. Keempat, kasus Khâlid dapat dikelompokkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat mengingat tindakan tersebut dilakukan secara sadar terhadap penduduk sipil dan telah memenuhi kriteria bersifat meluas dan sistematis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pelanggaran hak asasi manusia berat memiliki ciri khas yaitu suatu serangan bersifat meluas dan sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil. Di samping itu, harus ada pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.16 Tindak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Khâlid dan pasukannya jelas bersifat meluas karena sasarannya adalah seluruh warga Bani Jadzîmah, kecuali wanita, anak-anak, dan orang tua. Perbuatan tersebut juga dilakukan secara sistematis, dalam makna dilaksanakan secara terencana dan teratur. Khâlid dan pasukannya juga menyadari bahwa sebagian besar warga Bani Jadzîmah berstatus sipil, bukan kombatan yang boleh diperangi. Meskipun sebagian ada yang berupaya mengangkat senjata, tetapi akhirnya mereka meletakkan senjata setelah diperintahkan Khâlid dan dibujuk sebagian warga Bani Jadzîmah. Rasulullah SAW. memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap kasus Khâlid bin Walîd tersebut. Nabi SAW. langsung membentuk tim khusus, yaitu ‘Alî bin Abî Thâlib dan para pembantunya, yang diberikan kewenangan besar dan luas untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penyelesaian kasus. Langkah pertama yang dilaksanakan adalah melakukan upaya-upaya investigasi (penyelidikan dan penyidikan) yang dapat dilihat dari tindakan Nabi SAW. untuk mengorek keterangan dari pelapor dan melakukan cek silang dengan para saksi lain yang melihat langsung peristiwa. Nabi SAW. juga menasehati ‘Alî untuk meneliti kasus tersebut secara seksama sebelum mengadili dan Muladi, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan,” h. 3.

16

361


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 mengambil keputusan. Tindakan investigasi sangat diperlukan agar fakta-fakta yang berkaitan dengan peristiwa dapat terungkap secara jernih dan maksimal. Berdasarkan faktafakta tersebut, tindakan-tindakan selanjutnya dapat diambil secara tepat, objektif, dan bijaksana. Langkah kedua yang dilakukan adalah mengungkapkan kasus secara objektif, teliti, adil, dan bijaksana. Tugas pengungkapan kebenaran tersebut diserahkan Nabi SAW. kepada ‘Alî, seorang sahabat yang terkenal cerdas, jujur, adil, dan berani. Dengan kualitas dan kapasitas yang dimilikinya, ‘Alî berhasil mengungkapkan kasus secara transparan, objektif, jujur, dan adil yang dapat dibuktikan dengan diterimanya keputusan yang ditetapkan secara baik oleh berbagai pihak. Nabi SAW. sendiri tidak segan-segan memberikan pujian terhadap hasil kerja ‘Alî tersebut. Langkah ketiga yang diambil adalah melakukan upaya-upaya rekonsiliasi. Inti dari rekonsiliasi adalah pengakuan kesalahan, pemaafan, dan upaya menetralisir dampak negatif kasus yang terjadi melalui upaya perdamaian, rehabilitasi, kompensasi, dan sebagainya. Rekonsiliasi sangat dibutuhkan karena tidak mungkin seluruh kasus dan aspek pelanggaran hak asasi manusia bisa terselesaikan lewat mekanisme pengadilan semata, apalagi pada kasus-kasus yang sulit dan komplit. Pengadilan juga tidak bisa secara maksimal menyembuhkan semua duka batin dan luka sosial yang timbul sebagai dampak negatif dari peristiwa tindak pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks ini, rekonsiliasi merupakan mekanisme alternatif dan komplementer bagi pengadilan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia secara lebih komprehensif. Upaya rekonsiliasi pada kasus Khâlid bin Walîd terlihat jelas pada upaya Nabi Muhammad SAW. dan ‘Alî mengungkapkan secara jernih dan terbuka semua fakta dan kebenaran sekitar peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut. Nuansa rekonsiliasi juga terlihat jelas pada keputusan pengadilan yang dihasilkan, yakni penerapan sanksi hukum berupa denda darah dan ganti rugi harta. Upaya rekonsiliasi semakin kentara ketika ‘Alî memberikan kelebihan harta dari sisa pembayaran diat dan ganti rugi kepada warga Bani Jadzîmah sebagai bentuk perwujudan sikap hati-hati (ihtiyâth). Pemberian kelebihan harta memang dinyatakan ‘Alî sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyâth) agar tidak ada denda atau ganti rugi yang terluputkan karena keterbatasan informasi, tetapi pada sisi lain pemberian itu dapat pula dipandang sebagai bentuk kompensasi agar pihak-pihak yang dirugikan lebih mudah memaafkan, menghapuskan dendam, dan melupakan peristiwa pahit yang telah terjadi. Dengan demikian, kasus Khâlid bin Wâlid dan pasukannya telah menggambarkan secara relatif lebih utuh dan lengkap bagaimana kebijakan dan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat, pada sistem peradilan Islam di masa Nabi SAW. Kasus ini, pada kadar dan tingkatan tertentu, bisa dijadikan contoh dan yurisprudensi bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk oleh lembaga-lembaga yang berwenang dewasa ini. 362


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

Kasus Sawad bin Ghaziyyah Rasulullah SAW. tidak hanya menjalankan pengadilan untuk kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang besar dan penting saja, tetapi juga menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang sifatnya kecil, seperti kasus Sawad bin Ghaziyyah. Ketika perang Badar, Rasulullah meluruskan barisan para sahabatnya, sementara tangan Rasulullah memegang tombak yang memberi isyarat lurus kepada mereka. Ketika melewati Sawad bin Ghaziyyah yang agak menonjol ke luar barisan, Rasulullah menusukkan tombak yang ada di tangannya (tanpa melukai) ke perut Sawad seraya memberi perintah: “Luruskan barisanmu, hai Sawad.” Sawad menjawab: “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, padahal engkau diutus dengan membawa kebenaran dan keadilan. Aku mesti menuntut qishâsh kepadamu.” Rasulullah lalu membuka pakaian sehingga terlihat perutnya, dan bersabda: “Silakan, balaslah aku!” Melihat hal itu, Sawad lalu memeluk dan mencium perut Rasulullah SAW.17 Kasus Sawad di atas dapat saja dipandang tidak terlalu berarti sebagai yurisprudensi mengingat unsur material (al-rukn al-mâdî) yang hanya berupa kasus pemukulan. Namun, pada kasus tersebut terdapat beberapa unsur yang memenuhi kriteria tindak pelanggaran hak asasi manusia di samping mengandung beberapa pelajaran berharga yang penting bagi penghormatan dan penegakan hak asasi manusia. Pada kasus tersebut terdapat unsur pelanggaran hak asasi manusia, meskipun hanya dalam bentuk yang ringan dan tidak membahayakan. Memukul orang tanpa hak dan alasan yang dibenarkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak pemeliharaan diri/jiwa (hifz al-nafs) dalam tingkatan tahsinî (tingkat pelengkap dan penyempurna). Dengan demikian, orang yang merasa teraniaya dan dirugikan berhak untuk menuntut keadilan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku pemukulan. Dari sisi unsur moral (al-rukn al-adabî), kasus ini juga memenuhi kriteria tindak pelanggaran hak asasi manusia mengingat pelaku kasus pemukulan adalah aparat negara, dalam hal ini Rasulullah SAW. sendiri yang berkedudukan sebagai kepala negara dan panglima pasukan Islam ketika itu. Kasus Sawad di atas memberikan gambaran betapa Islam menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Sekecil apapun pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, layak mendapat perhatian dan penyelesaian yang semestinya. Kasus tersebut juga menunjukkan nilai-nilai persamaan di dalam Islam bahwa setiap orang memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum dan proses peradilan. Masih banyak kasus lain yang bernuansa pelanggaran hak asasi manusia pernah terjadi dan diselesaikan oleh Nabi SAW. Misalnya Nabi SAW. pernah memecat al-‘Ala’ ibn al-Hadramî, pejabat negara yang bertugas di Bahrain, setelah Nabi SAW. menerima informasi yang dapat dipercaya dari ‘Abd al-Qaits tentang penyelewengan kekuasaan yang dilakukan

Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, juz III, h. 174.

17

363


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 al-‘Ala’. Sebagai gantinya, Nabi SAW. mengangkat Abban ibn Sa‘id. 18 Kasus-kasus yang dipaparkan di atas dipandang cukup mewakili untuk menggambarkan bagaimana metode dan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelangggan hak asasi manusia pada masa Nabi SAW.

Format dan Mekanisme Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyediakan tiga mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia, melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, dan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masing-masing mekanisme diperuntukkan dan disesuaikan dengan karakteristik kasus yang terjadi. Kasus yang terjadi setelah terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia diselesaikan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan tempat kedudukannya. Sedangkan kasus yang terjadi sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc atau menempuh mekanisme perdamaian dan rekonsiliasi melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Format dan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini akan dilihat relevansinya dengan yang ada di dalam hukum Islam. Dari contoh kasus dan analisis yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa sesungguhnya kasus-kasus yang memenuhi sebagian atau seluruh kriteria pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur hukum Indonesia telah terjadi sejak masa awal Islam. Kasus-kasus tersebut dilakukan oleh aparat pemerintah atau kerabatnya dan secara khusus banyak melibatkan kalangan militer sebagaimana kecenderungan umum pada kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dewasa ini. Oleh sebab itu, penanganan kasus cukup sulit karena para pelaku memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dapat mempengaruhi proses dan hasil pengadilan. Para pemimpin Islam, sejak masa Nabi SAW., telah berupaya menyelesaikan kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia dengan baik dan adil. Dari contoh kasus yang dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia pada peradilan Islam dilakukan dengan tiga metode atau mekanisme. Pertama, melalui proses berperkara di pengadilan yang diakhiri dengan keputusan hakim. Metode ini terlihat pada kebanyakan contoh kasus, seperti kasus Zubair bin Awwâm. Meskipun lembaga dan mekanisme yang dijalankan belum sempurna seperti pada peradilan moderen, tetapi prosedur penyelesaian perkaranya dapat diurut dan dikonstruksikan kembali. Proses perkara biasanya dimulai dari pengaduan, tuntutan, atau gugatan dari pihak korban. Kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan perkara, meskipun ketiga proses itu terkadang sulit dibedakan dan dipisahkan. Selanjutnya, hakim mengadili Muhammad ‘Abd al-Rahmân al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhâ’iyyah wa al-Syakhshiyyah alQâdhî, (t.tp.: al-Zahrâ` li al-A’lam al-‘Arabî, 1408/1988), h.526. 18

364


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

dan memberikan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan untuk kemudian dilaksanakan (eksekusi). Metode yang pertama ini, pada prinsipnya, sama dengan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, baik yang bersifat permanen maupun Ad-Hoc. Perbedaannya hanya terletak pada badan pelaksana dan aspek teknis, dan itu wajar karena perbedaan zaman dan sistem hukum. Kedua, melalui mekanisme berperkara biasa yang diakhiri ishlâh (rekonsiliasi, perdamaian) di antara para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan. Metode seperti ini terlihat pada kasus Sawad bin Ghaziyyah. Metode kedua ini memiliki kesamaan dengan yang dipakai oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, khususnya dalam masalah perdata. Sebagaimana diatur pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, korban pelanggaran hak asasi manusia dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dalam putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Jakarta Pusat tanggal 20 Agustus 2004, Majelis yang diketuai Andi Samsan Nganro, menetapkan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia berat Tanjungpriok berhak mendapat kompensasi. Kompensasi Rp 1,015 miliar diberikan kepada 13 korban ataupun ahli waris korban.19 Perbedaannya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia hanya bisa menerapkan metode ini pada tataran perdata, tidak bisa pada masalah pidana. Sementara hukum Islam dapat juga menerapkan metode ini pada kasus pidana yang menyangkut hak perorangan, seperti perkara qishâsh-diyat. Ketiga, melalui pengungkapan kebenaran dan perdamaian (ishlâh), tanpa melalui proses berperkara di pengadilan. Metode ini diterapkan pada kasus Khâlid bin Walîd sebagaimana terlihat dari langkah dan proses yang ditempuh, yakni investigasi, pengungkapan faktafakta sekitar kasus secara obyektif dan transparan, upaya mewujudkan perdamaian, yang kemudian dilanjutkan dengan pembayaran diyat dan pemberian kompensasi. Sebagaimana metode kedua, metode ini hanya dapat dipakai pada perkara yang menyangkut hak perorangan dan perkara perdata. Metode ketiga ini tidak ada padanannya pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, tetapi dapat dikatakan sama dengan metode penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang khusus diperuntukkan bagi kasus yang terjadi sebelum pemberlakuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dari berbagai metode penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai di dalam sejarah peradilan Islam, metode ishlâh (rekonsiliasi,perdamaian) memiliki tempat istimewa. Metode ini cukup sering digunakan, bahkan pada kasus pelanggaran hak asasi Awalnya, permohonan kompensasi diajukan juga oleh 85 orang korban Tanjungpriok lewat Yayasan Penerus Bangsa pimpinan Syarifuddin Rambe, tetapi ditolak karena telah melakukan islah dengan pihak TNI yang diwakili Try Sutrisno. Mereka telah menerima uang, beasiswa, dan truk saat islah tahun 2001. Hukum Online.Com “Majlis Kabulkan Pemberian Kompensasi Korban Tanjung Priok,” Jakarta, 21 Agustus 2004. 19

365


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 manusia yang berat, seperti kasus Khâlid bin Walîd. Metode ini terbukti cukup berhasil menyelesaikan perkara secara lebih baik dan menyeluruh. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika perdamaian mendapat apresiasi yang sangat positif di dalam hukum Islam. Ishlâh atau shulhu secara bahasa berarti memutuskan atau menyelesaikan sengketa. Sedangkan secara istilah, ishlâh bermakna perjanjian untuk mengakhiri permusuhan antara pihak-pihak bersengketa.20 Karena sifatnya positif dan bermanfaat, ishlâh sangat dipuji dan dianjurkan oleh Islam dalam berbagai bidang kehidupan, seperti firman Allah di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 228: “… Dan suaminya berhak merujuki (isteri)-nya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah…..”. Pada ayat ini, rujuk disebut ishlâh karena menghilangkan kerusakan hubungan rumah tangga akibat perceraian. Ishlâh juga dianjurkan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana firman Allah di dalam Q.S. al-Hujarât/49: 9: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah (ishlâh) antara keduanya….”. Hukum Islam membolehkan penyelesaian perkara melalui ishlâh asalkan pada perkara yang dibolehkan, memenuhi kriteria keadilan, tidak bertentangan dengan syara‘, dan dapat diterima semua pihak. Ishlâh semacam ini dinamakan ishlâh yang adil. Sedangkan ishlâh yang bertentangan dengan ketentuan syara‘, seperti menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, meninggalkan yang wajib, menzalimi pihak yang lemah, tidak dibenarkan dan ditolak oleh hukum Islam. Ishlâh kategori kedua ini disebut ishlâh mardûd.21 Penyelesaian perkara melalui ishlâh hanya boleh dilakukan pada perkara hak manusia (perorangan),22seperti tindak pidana qishâsh-diyat dan pekara perdata, sebab masalah-masalah tersebut merupakan perwujudan hak perorangan. Ishlâh tidak boleh dilakukan pada wilayah hak Allah atau masyarakat, seperti pada perkara hudûd. Dasar hukum kebolehan penyelesaian perkara qishâh-diyat melalui ishlâh antara lain sebagai berikut. Allah berfirman di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 178:

                

                        

Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1403/1983), h. 305 dan Badr alDîn Syaddad, Dalâil al-Ahkâm, juz III (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), h. 147. 21 Ibn Qudamah al-Maqdisî, al-Mughnî, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), h. 177. 22 Para ulama membagi hak kepada tiga kelompok. Pertama, hak Allah murni, yaitu perbuatan yang dimaksudkan untuk memenuhi hak Allah (masyarakat umum). Di sini tidak ada pilihan lain dan mesti dijalankan. Kedua, hak manusia murni, yakni perbuatan untuk memenuhi hak manusia. Di sini ada pilihan untuk menjalankan atau tidak. Ketiga, hak Allah lebih kuat, disamakan dengan hak Allah murni. Keempat, hak manusia lebih kuat, disamakan dengan hak manusia murni. Klasifikasi ini biasa disederhanakan menjadi hak Allah dan hak manusia. Lihat: ‘Abd al-Wahâb Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, 1376 H/1956 M), h. 210-216. 20

366


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Nabi SAW. bersabda:

“Hadis dari Ahmad bin Sa’îd al-Dârimî yang berasal dari Habbân, yakni Ibn Hilâl, dari Muhammad bin Râsyid, dari Sulaimân bin Mûsâ dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, urusannya terserah kepada para wali terbunuh. Jika mereka menginginkan, mereka dapat menuntut pembunuhan balasan (qishâsh). Jika wali terbunuh mau memaafkan, mereka berhak mengambil diyat, yakni 30 hiqqah, 30 jiz’ah, dan 40 khilfah (100 ekor unta). Apa saja yang mereka perdamaikan (ishlâh), maka adalah untuk mereka. Hal itu ditujukan untuk menguatkan atau meninggikan akal” (H.R. al-Tirmidzî).23 Jika tercapai ishlâh, dalam arti wali korban memaafkan pelaku, maka gugur hukuman qishâsh bagi pelaku. Sebagai gantinya, wali korban berhak menerima diyat darah dengan jumlah dan perincian sebagaimana tercantum di dalam hadis atau yang senilai. Kalau wali korban sepakat memaafkan juga diyat tersebut, maka gugur pula hukuman diyat bagi korban. Meskipun begitu, belum berarti pelaku bebas dari segala hukuman. Ada kemungkinan penguasa atau hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa ta‘zir sebagai upaya perlindungan terhadap hak Allah (hak masyarakat). Menurut sebagian ulama, seperti Imam Mâlik, alLaits, dan ahli fiqih Madinah, pelaku pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh wali korban masih dapat dijatuhi hukuman ta‘zir oleh hakim berupa 100 kali cambukan dan penjara satu tahun. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat dari ‘Umar bin Khathâb. Kebijakan ini dapat diterapkan karena yang dapat digugurkan oleh pemaafan atau ishlâh hanyalah hak perorangan, seperti hukuman qishâsh dan diyat. Sedangkan hak Allah (hak masyarakat) Muhammad bin ‘Îsya Abû ‘Îsya al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, dkk, juz IV (Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.) h.11. 23

367


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 di dalam tindak pidana tidak dapat digugurkan sehingga dapat diwujudkan dengan penetapan hukuman ta‘zir kepada pelaku.24 Sementara itu, sebagian ulama lain yang terdiri dari Imam al-Syafi‘î, Ahmad, dan Ishâq berpendapat kalau wali korban telah memaafkan pelaku pembunuhan sengaja, maka ia terbebas dari segala hukuman dan tidak ada keharusan bagi penguasa atau hakim untuk menerapkan hukuman tambahan berupa ta‘zir. Sementara itu, Abû Tsaur berpendapat bahwa penguasa atau hakim berwenang memberikan hukuman pengajaran sekadar yang diperlukan apabila pelaku pembunuhan adalah orang yang terkenal dengan kejahatannya (residivis).Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, Ibn Rusyd menyatakan bahwa pendapat yang membebaskan terpidana setelah pemaafan lebih kuat sebab penetapan hukuman mesti melalui tauqîf (penjelasan syara‘), sementara tidak ditemukan tauqîf pada masalah ini. Pendapat yang membolehkan penambahan hukuman ta‘zir setelah pemaafan hanya didasarkan kepada riwayat yang lemah. 25 Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara yang berada di wilayah hak perorangan dapat dilakukan melalui mekanisme perdamaian atau ishlâh, termasuk di antaranya perkara qishâsh-diyat. Dengan demikian, perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia juga bisa diselesaikan dengan mekanisme perdamaian atau ishlâh asalkan perkara-perkara tersebut menyangkut hak perorangan, bukan hak Allah atau hak masyarakat. Di samping itu, perdamaian atau ishlâh tersebut mesti dijalankan berdasarkan prinsipprinsip keadilan, ketulusan, kebenaran, dan tidak bertentangan dengan aturan syara’. Jika diteliti lebih jauh, penyelesaian perkara melalui mekanisme ishlâh bukan hanya sekedar dibolehkan, melainkan juga dipuji dan dianjurkan. Kesan tersebut dapat dilihat dari ayat al-Qur’an dan hadis yang menjadi dasar hukum pembolehan ishlâh. Pada Q.S. al-Baqarah/2: 178, Allah SWT. menyatakan bahwa pemaafan dan pembayaran diyat secara baik (yakni ishlâh) pada kasus pembunuhan merupakan keringanan (takhfîf) dan rahmat dari Allah. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian perkara pembunuhan melalui ishlâh merupakan sesuatu yang positif dan terpuji. Pada hadis riwayat al-Tirmidzî di atas, Rasulullah SAW. menyatakan bahwa salah satu hikmah dari penyelesaian perkara pembunuhan melalui ishlâh adalah untuk menguatkan atau meninggikan akal (‫ﻟِﺘَ ْﺸـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺪِﻳ ِﺪ‬ ‫)اﻟْ َﻌ ْﻘـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِـﻞ‬, dalam makna pengutamakan pertimbangan akal sehat dan kemaslahatan yang lebih besar. Penyelesaian perkara melaluiishlâh atau perdamaian memang lebih mengedepankan aspek rasionalitas dari pada aspek emosi yang sangat mungkin ketika itu diliputi oleh perasaan marah, sakit hati, kekecewaan mendalam, dan bahkan dendam. Pujian Nabi SAW. tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian perkara melalui mekanisme Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, Bidâyah alMujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, jilid II (Semarang: Thâhâ Putra, t.t.), h. 303; Ahmad Fathî Bahnasî, al-Siyâsah al-Jinâ’iyyah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Dâr al-‘Urûbah, 1357 H/1965 M), h.190 dan ‘Abd al-Qadîr`Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islâmî: Muqâranah bi alQanûn al-Wad’i (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), h. 773. 25 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jilid II, h. 303. 24

368


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

perdamaian merupakan sesuatu yang dianjurkan. Oleh sebab itu, Nabi SAW. menganjurkan wali korban untuk mempertimbangkan secara matang dan komprehensif terlebih dahulu sebelum memilih antara menuntut qishâsh, diyat, atau memaafkan pelaku pembunuhan secara keseluruhan. Pertimbangan tersebut tentu meliputi semua aspek yang terkait dengan peristiwa pidana, keadaan pelaku dan keluarganya, keadaan korban dan ahli waris, pandangan masyarakat, penegakan hukum dan keadilan, serta aspek-aspek lainnya. Anjuran mempertimbangkan dengan seksama kebijakan yang akan diambil tersebut termaktub antara lain pada hadis berikut.

“Hadis disampaikan oleh Mahmûd bin Ghailân dan Yahya bin Mûsâ, keduanya menerima dari al-Walîd bin Muslim, dari al-Auzâ‘î, dari Yahya bin Abî Katsîr, dari Abû Salamah, dari Abû Hurairah yang berkata bahwa ketika Allah menaklukkan Makkah bagi Rasulullah, Rasulullah berdiri di hadapan orang banyak, memuji dan memuliakan Allah, kemudian bersabda: “Barangsiapa mempunyai keluarga yang dibunuh, ia boleh memilih yang terbaik dari dua pertimbangan, yakni memaafkan (dalam riwayat lain: menerima diyat) atau menuntut hukuman mati (qishâsh). Pada bab ini ada juga riwayat lain melalui Wa`il bin Hujrin, Anas, Abî Syuraih Khuwailid bin ‘Amru” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abî Dâud al-Nasâ`î, Ibn Mâjah, dan Ahmad).26 Penyelesaikan melalui ishlâh menghasilkan berbagai manfaat. Ishlâh adalah hasil kompromi sehingga lebih mudah diterima, menghapus dendam, dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Ishlâh lebih dapat menuntaskan masalah secara adil dan bermartabat, sebab ishlâh tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga aspek kemanusian, seperti masa depan korban dan keluarga, perbaikan hubungan silaturahim, dan sebagainya. Ishlâh memungkinkan korban atau wali/ahli waris menerima denda/kompensasi sehingga membantu secara ekonomis dan psikologis. Sementara pelaku berkesempatan bertobat dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, ishlâh dikatakan mendatangkan rahmat, berkah, dan dianjurkan Allah SWT. dan Rasul-Nya.

Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, jilid IV, h. 21. Hadis dengan redaksi matan yang hampir sama terdapat pada Shahîh al-Bukhârî, jilid I dan II, h. 53 dan 857, Shahîh Muslim, jilid II, h. 988, Sunan Abî Dâud, jilid IV, h. 172, Sunan al-Nasâ‘i, jilid VIII, h. 38, Sunan Ibn Mâjah, jilid II, h. 876, dan Musnad Ahmad, jilid II, h. 238. 26

369


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Penutup Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, dengan kriteria-kriteria sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundangundangan Indonesia, telah pernah terjadi dan diselesaikan pada sistem peradilan sejak masa Nabi SAW. Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia dilaksanakan dengan tiga metode. Pertama, metode berperkara biasa di pengadilan yang diakhiri dengan keputusan hakim. Kedua, metode berperkara biasa di pengadilan yang diakhiri dengan ishlâh (perdamaian). Ketiga, metode pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi para pihak, tanpa melalui proses berperkara di pengadilan. Metode yang diakhiri perdamaian lebih dihendaki dan dipuji di dalam hukum Islam, sepanjang menyangkut masalah hak perorangan. Metode yang pertama dan kedua, secara umum, memiliki kesamaan dengan metode penyelesaikan perkara pada Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, meskipun berbeda dalam ruang lingkup perkara yang dapat diselesaikan. Sedangkan metode ketiga sejalan dengan yang dilaksanakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan ruang lingkup perkara yang juga berbeda.

Pustaka Acuan Abû Dâud, Sulaimân bin al-Asyats al-Sijistânî al-Azadî. Sunan Abî Dâud, ditahqîq oleh Muhammad Muhyî al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Ahmad ibn Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Mesir: Muassasah Qurthubah, t.t. Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, ditahqîq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.t. ‘Audah, ‘Abd al-Qadîr. al-Tasyrî’ al-Jinâ‘i al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qanûn al-Wad’i. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992. Al-Bahnasî, Ahmad Fathî. al-Siyâsah al-Jinâ’iyyah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah. Kairo: Maktabah Dâr al-‘Urûbah, 1357 H/1965 M. Al-Bakr, Muhammad ‘Abd al-Rahmân. al-Sulthah al-Qadhâ’iyyah wa al-Syakhshiyyah alQâdhî. t.tp.: al-Zahrâ` li al-A’lam al-‘Arabî, 1408/1988. Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh. Shahîh al- Bukhârî. Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1408/1987. “Pengadilan Paling Akhir”, dalam Gatra. Jakarta, 29 Januari 2000. Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. “Majlis Kabulkan Pemberian Kompensasi Korban Tanjung Priok”, dalam Hukum Online.Com Jakarta, 21 Agustus 2004. Ibn Hibbân, Muhammad al-Taimimî. Shahîh Ibn Hibbân. Beirût: Mu‘assasah al-Risâlah, 1414 H/1993 M. Ibn Hisyâm, ‘Abd al-Malik. al-Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq Thâhâ ‘Abd al-Raûf Sa’îd. Beirût: Dâr al-Jail, 1411. 370


Ikhwan: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Pada Masa Rasulullah SAW.

Ibn Mâjah, Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abdillâh. Sunan Ibni Mâjah, Tahqîq Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Ibn Qudamah al-Maqdisî. al-Mughnî. Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Ibn Rusyd, Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid. Semarang: Thâhâ Putra, t.t. “Pembantai Muslim Bosnia Tewas di Sel,” dalam Indopos, Jakarta, 12 Maret 2006. Kanter, EY. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika , 2002. Khallâf, ‘Abd al-Wahâb. ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, 1376 H/1956 M. Al-Mâwardî, Abî al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyah al-Dîniyyah. Beirût: Dâr al-Fikr, 1380 H/1960 M. Muladi. “Kejahatan terhadap Kemanusiaan”, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM bagi Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika Jakarta 7 Nopember 2001. Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2001. Muladi. “Prospek Pengaturan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”, Makalah pada Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM. Jakarta, 16 Februari 2000. Al-Naisabûrî, Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî. Shahîh Muslim, Tahqîq Muhammad Fu‘âd ‘Abd al-Bâqî. Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turats al-‘Arabî, t.t. Al-Nasâ‘î, Sunan al-Nasâ‘î. Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1406 H/1986 M. Nusantara, Abdul Hakim Garuda. “Mengadili Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Pengalaman Beberapa Negara”, Makalah pada Seminar Nasional Rancangan UndangUndang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan R.I., 16 Februari 2000. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1989. Sâbiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirût: Dâr al-Fikr, 1403/1983. Soegianto, Djoko. “Usaha untuk Mengenal Pengadilan HAM”, Makalah Pelatihan HAM bagi Calon Hakim dan Hakim Ad Hoc di Hotel Santika4-10 Nopember2001. Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM R.I., 2001. Statute of the International Tibunal for Former Yugoslavia, Adopted 25 May 1993 as Amended 13 May 1998. Statute of the International Tibunal for Rwanda, 1994. Syaddad, Badar al-Dîn. Dalâil al-Ahkâm. Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991. Al-Thârifî, Nâshir ibn ‘Âqil ibn Jâbir. al-Qadhâ’ fî ‘Âhdi ‘Umar ibn al-Khaththâb. Jeddah: Dâr al-Madanî, 1986. Al-Tirmidzî, Muhammad bin ‘Îsya Abû ‘Îsya al-Tirmidzî. Sunan al-Tirmidzî, Tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, et al. Beirût: Dâr al-Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t. 371


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

HUDÛD DAN HAM: ARTIKULASI PENGGOLONGAN HUDÛD ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM Dedy Sumardi Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Jl. Ibn Sina Darussalam Banda Aceh, 23111 e-mail: dedyfasyarar@yahoo.co.id

Abstrak: Hudûd adalah ancaman hukuman yang ditegaskan al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan teori hukuman yang menganut aspek reformasi. Penggolongan hudûd ke dalam enam macam merupakan hasil ijtihad fukaha yang bersifat tekstual, dan nash sebagai sumber pengambilan hudûd masih diperdebatkan. Sehingga muncul reaksi pemikir hukum Islam Modern, terutama penerapan hukuman hudûd dalam konteks negara-bangsa berbenturan dengan prinsip penologis dan keuniversalan norma HAM. Tulisan ini mengkaji pemikiran an-Na’im dalam upaya menemukan kesesuaian antara syarî‘ah dan HAM. Hasil penelitian menunjukkan titik temunya adalah membatasi penerapan hudûd ke dalam empat jenis, sesuai dengan prinsip ayat Makkiyah yang mengandung nilai mashlahah terealisir dalam teori naskh. Abstract: Punishment and Human Rights: The Articulation of Abdullahi Ahmed an-Na’im’s Categorization of Hudûd. Hudûd is an offence for which punishment prescribed by the Qur’an and Sunnah based on the theory of punishment constituting reformation aspect. The classification of hudûd into six categories is the product of literal legal deduction of Islamic jurisprudents, and that the legal argument for hudûd is still debatable which lead to reactions of modern Islamic legal thinkers, especially on the application of hudûd in the context of those countries which are against penological principles and the universality of human right norms. This article studies the thoughts of an-Na’im in an attempt to seek confirmity between syarî‘ah. This research reveals that the meeting point between the two would be the restriction of the application of hudûd into four types, in line with the prinples of Meccan verses bearing public interest values realized in the theory of abrogation.

Kata Kunci: hudûd, HAM, mashlahah

Pendahuluan Dalam kajian fiqih klasik, hudûd merupakan ancaman hukuman yang telah ditetapkan bagi pelaku kejahatan. Para pelaku kejahatan diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman 372


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

yang telah ditetapkan secara tegas dalam al-Qur’an dan Hadis sebagai hak Allah tanpa ada upaya pertimbangan bagi pihak korban untuk meringankan, mengurangi atau melebihkan jumlah hukuman yang telah ditetapkan, apalagi menggantikannya dengan hukuman lain.1 Dari segi kuantitas, para ahli hukum Islam membagi kejahatan yang tergolong ke dalam jarîmah al-hudûd kepada enam macam, yaitu pidana zinâ, sarîqah (pencurian), qadzf (tuduhan zina), syurb al-khamr (minuman khamar), hirâbah (perampokan/pengacau keamanan), dan riddah (murtad).2 Keenam jenis kejahatan di atas adalah bentuk formulasi hukum yang dihasilkan dari ijtihad para ulama, yang kelihatan bersifat literalis dalam memahami aturan-aturan yang terdapat dalam nash. Baik al-Qur’an maupun Sunnah sendiri tidak membuat pembagian atas jenis-jenis hudûd ke dalam enam jenis. Jenis-jenis hudûd ini dibuat belakangan oleh para ulama untuk keperluan pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sekaligus untuk pengembangan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Karena itu, di kalangan para ahli sendiri terdapat perbedaan dalam menentukan dasar pengelompokan jenis-jenis hudûd. Pada tahap pelaksanannya, jenis-jenis hudûd sarat dengan berbagai sanggahan karena terdapatnya sebagian nash-nash yang dijadikan sumber pengambilan hudûd masih diperselisihkan di kalangan ulama. Dampak paling nyata dari sanggahan ini adalah ketika jenis-jenis hudûd ini dipantulkan kepada norma-norma hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) melahirkan benturan dengan prinsip penologis3 dan keuniversalan norma HAM.4 Benturan tersebut dapat dicermati pada sifat dasar dan watak dari hukuman yang menurut prinsip penologis memberi kesan diskriminatif. Pandangan di atas muncul karena dominannya bentuk-bentuk hukuman fisik atau badan pada semua jenis hukuman hudûd yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Hadis, seperti hukum potong tangan untuk pidana pencurian, cambuk dan dilempari dengan batu (rajam) untuk pidana zina, disalib dan hukuman mati untuk pidana perampokan/ pengacau keamanan. Tidak heran jika pada masa sekarang muncul upaya modifikasi hukum walaupun A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. 2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), h. 25. 2 Muhammad ‘Ata Alsid Sidahmad, Islamic Kriminal Law: The Hudud (First Published in Malaysia, 1995), h. 58-71; Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuh, Cet. 4, Juz VII (Dimasyq: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002), h. 5276. 3 Dalam bahasa Indonesia istilah penologis diartikan dengan ilmu pidana, yaitu suatu cabang ilmu yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 170. 4 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Oleh karena itu hak asasi manusia merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural dan ideologis yang akan menindasnya apabila tidak dibendung. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 40. 1

373


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 interpretasi yang dilakukan tetap terikat pada hasil ijtihad ulama terdahulu. Secara teoretis kajian terhadap paradigma dan teori hudûd di atas bertolak dari pandangan dasar tentang kemanusiaan. Tujuan kajian ini sendiri adalah untuk melahirkan suatu konsep hudûd yang dapat diterapkan di tengah masyarakat. Sedangkan secara praktis, perhatian utama penjatuhan hukuman hudûd adalah pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang orientasi keadilan sosial, membebaskan manusia dan masyarakat dari ketidakadilan dan penindasan. Refleksi hukum hudûd seperti ini kemudian diimplementasikan ke dalam masyarakat modern agar dapat memotivasi terjadinya keadilan. Mencermati persoalan yang timbul di seputar reinterpretasi terhadap jenis-jenis hudûd dan problematika penerapannya, maka di antara tokoh yang menawarkan solusi bagi pemecahan persoalan di atas adalah Abdullahi Ahmed an-Na‘im (selanjutnya disebut an-Na‘im). Baginya, penggolongan jenis hukum hudûd yang ditegaskan dalam al-Qur’an secara rinci adalah dibatasi pada empat jenis kejahatan, yaitu pencurian, perampokan, zinâ dan qadzf.5 Sedangkan pelanggaran terhadap minuman khamar dan riddah adalah jenis pelanggaran yang disepakati oleh para ahli hukum awal yang tidak mempunyai landasan hukum dalam al-Qur’an, karena hanya bersumberkan pada al-Hadîs semata. Karena itu sangat memungkinkan bagi hakim untuk menetapkan hukuman terhadap dua jenis kejahatan (yang diistilahkan an-Na`im dengan “pelanggaran”) di atas menurut kebijaksanaannya sendiri (ta‘zîr), baik dalam bentuk menambah, mengurangi atau menghapuskan jumlah hukumannya.6 Seperti pidana riddah, menurut an-Na‘im, penetapannya ke dalam jenis-jenis hudûd dianggap melanggar hak asasi kebebasan beragama karena al-Qur’an tidak menetapkan hukuman apa pun bagi pelaku riddah. Penggolongan riddah sebagai hukuman hadd yang bisa dihukum mati hanya merujuk kepada Sunnah.7 Ia juga menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki otoritas dalam menetapkan aturan hukum lebih tinggi. Di samping itu hadishadis yang menjelaskan pidana mati tersebut terkait dengan situasi tertentu, maksudnya hanya terbatas pada pelaku riddah yang memerangi Islam.8 Karena itu untuk menyingkirkan pelanggaran terhadap HAM, konsep hukum riddah dan semua konsekuensi perdata dan pidananya harus dihapuskan. Sedangkan otoritas sunnah yang menunjukkan kecenderungan pada konsekuensi pidana dan konsekuensi lainnya terhadap orang murtad dapat dijadikan sebagai suatu hukum peralihan.9

Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law (Syracuse University Press, 1996), h. 108. 6 Ibid. 7 M. A. Nasif, al-Tâj al-Jam‘i li al-Ushul, edisi IV (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 18. 8 Kedudukan ini telah dijelaskan oleh Muhammad ‘Abduh dan M. Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr, Jilid V (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 327. 9 An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 109. 5

374


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

Mengingat polemik yang muncul seputar persoalan hudûd, agaknya gagasan yang dikemukakan oleh an-Na`im di atas perlu dikaji dan diuji kebenarannya. Temuannya agar dapat dijadikan sebagai tawaran alternatif bagi kebekuan penerapan hukum pidana Islam. Pemikiran ini menarik untuk diangkat karena di satu pihak an-Na`im membagi hudûd ke dalam empat jenis, sedangkan fukaha10 umumnya membagi kepada enam jenis. Kajian ini sendiri dibatasi hanya pada pengelompokan yang ditawarkannya dalam kerangka konstitusional hukum pidana modern berpedoman pada sistem negara bangsa (nation state). Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan, terlihat bahwa masalah pokok yang menjadi objek tulisan ini adalah mengapa an-Na`im berbeda dengan fukaha dalam menetapkan jenis-jenis hudûd dan implikasi teori hudûd an-Na’im dalam kaitannya dengan norma-norma HAM. Pembahasan tentang hudûd dalam pandangan an-Na’im merupakan kajian yang amat dibutuhkan dalam konteks sekarang sehingga penilaian terhadap hukum Islam yang dianggap kejam dan melanggar HAM dapat dinetralisir. Di sisi lain menemukan dampak teori hudûd an-Na`imdalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana Islam dengan konsep universal HAM. Dengan demikian, ini akan menambah kejelasan antara hukum “pidana syariah” dan hukum “pidana fiqh” di satu sisi serta “hukum pidana” yang ideal di sisi lain guna diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern yang cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

Hudûd: Problem Definisi Secara khusus an-Na’im dalam karyanya tidak membuat rumusan yang jelas mengenai definisi hudûd yang sesungguhnya. Namun demikian bukan berarti an-Na’im tidak menyinggung sama sekali pandangannya mengenai definisi hudûd. Jika dicermati secara mendalam, ketika dia menguraikan pandangannya berkenaan dengan persoalan hudûd akan dapat diketahui bagaimana sesungguhnya konsep hudûd yang ditawarkannya. Bagi an-Na`im kendatipun konsep hudûd berasal dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan problem definisi yang serius.11 Karenanya, tidak berarti dapat diterima begitu saja sebab memungkinkan untuk ditelaah dan dicermati secara mendalam. Terutama sebagaimana tercantum dalam surat al-Thalâq/65: 1 dan al-Nisâ’/2: 14. Kata hudûd adalah bentuk jama’ dari kata hadd, yang artinya batas (limit), batasan atau faktor yang membatasi. Dalam yurisprudensi Islam, istilah hadd digunakan untuk hukuman yang membatasi tindakan kejahatan, dan ia disebut hudûd.12 Penggunaan Pengertian fukaha dalam tulisan ini mengacu kepada ulama mazhab sunni yang empat yaitu mazhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î dan Hanbalî. Pemilihan keempat mazhab ini didasarkan atas kepopuleran dan banyaknya sumber rujukan yang ditulis oleh ulama masing-masing mazhab ataupun oleh tokoh-tokoh lain yang membahas pemikiran mereka. 11 An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 109 . 12 Ibn Mandzûr, Lisân al-`Arab, Juz III (Bairut: Dâr al-Fikr, 1999), h. 140. 10

375


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bentuk jama` (hudûd) mengindikasikan bahwa hadd (batas) yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dalam mengomentari surat al-Thalâq/65: 1 dan al-Nisâ’/65: 14 di atas, Muhammad Syahrûr memberikan analisis terutama pada ayat 14 surat al-Nisâ’, kalimat mempunyai makna melanggar batas-batas (hukum)-Nya. Menurut Syahrûr, penggalan ayat ini menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk mengerjakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya., tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena otoritas penentuan hukum syarî’ah yang terus berlaku selamalamanya hanya milik Allah saja.13 Dalam kajian fiqih al-jinâyah, para fukaha mengartikan hudûd sebagai ‘uqûbah muqaddarah, yaitu ancaman hukuman yang kadar dan jenis hukuman telah ditetapkan dalam al-Qur’an, baik perbuatan maupun perkataan.14 Dalam penjabarannya, istilah ‘uqûbah muqaddarah, kemudian menjadi istilah teknis ketika menjelaskan hukuman-hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran jinâyah. Kewenangan dalam ’uqûbah muqaddarah hanyalah Allah. Oleh karena itu hudûd dikatakan sebagai hak Allah yang tidak ada kewenangan bagi hakim mengurangi apalagi menambah jenis hukuman. Di samping itu, konsep hudûd yang dirumuskan oleh fukaha ini didasarkan pada penggunaan sunnah dan tradisi yang ada selalu dijadikan salah satu pertimbangan hukum tentang otentisitas dan penafsiran tradisi yang relevan. Kondisi ini sebagai justifikasi fukaha dalam merumuskan hudûd menjadi ‘uqûbah muqaddarah. Pemahaman seperti ini berbeda dengan makna dasar hudûd sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Dasarnya term hudûd jamak dari hadd yang terdapat dalam kedua ayat di atas menengarai bahwa konsep hudûd yang disebutkan dalam al-Qur’an berarti batasan hukum yang ditentukan Allah dan tidak boleh dilanggar. Menurut al-Na‘îm, batasanbatasan hukum terhadap pelanggaran yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an terbatas kepada empat jenis kejahatan, yaitu sarîqah, hirâbah, zinâ dan qadzf, karena hanya itulah pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya disebut dalam nash al-Qur’an dengan jelas dan rinci.15 Argumen yang sama juga diungkapkan oleh Imâm al-Raghîb alIshfahânî mendefinisikan hudûd menurut makna leksikal al-Qur’an sekaligus menegaskan keempat jenis kejahatan yang ditegaskan dalam al-Qur’an sebagaimana dipaparkan anNa’im.16

Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ`ah Mu`asharah (Kairo: Sinâ li al-Nasyr wa al-Ahallî, 1992), h. 452. 14 ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qânûn al-Wadh’îy, Jilid I (Bairût: Muassasah al-Risâlah, 1997), h. 207. 15 An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 108. 16 Al-Raghîb al-Ashfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an (Bairût: Dâr al-Ma’rifah, 1986), h. 192-193. 13

376


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

Sedangkan sunnah yang dijadikan fukaha dalam menetapkan jenis hukuman yang termasuk ke dalam jarîmah al-hudûd hanya berlaku pada “kondisi tertentu”.17 Hal ini didasarkan pada asas kepastian hukum secara tegas dalam jarîmah al-hudûd, mengharuskan “kondisi tertentu” direkomendasikan demi pertanggungjawaban pidana. Seperti terlihat pada jarîmah syurb al-khamr dan riddah, baik al-Qur’an maupun Sunnah tidak menyebutkan hukuman secara khusus. Ini terlihat dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama terhadap banyaknya aspek pelanggaran yang memasukkan jumlah cambukan tertentu sebagai hukuman. Asumsi ini sebagai alasan an-Na`im menolak menggolongkan kedua jarîmah ini ke dalam hudûd.18 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hudûd yang dimaksudkan an-Na`im adalah pelanggaran yang ditegaskan secara rinci dalam al-Qur’an saja. Sedangkan sunnah menjelaskan hukuman pelanggaran yang disebutkan dalam al-Qur’an berlaku pada situasi tertentu, misalnya penjelasan Sunnah mengenai pelanggaran syurb al-khamr dan riddah. Asumsi seperti ini didasarkan kepada “otoritas penentuan hukum syarî`ah” semata-mata adalah kewenangan Allah. Terkait dengan asumsi di atas, an-Na’im bukan tidak menerima keabsahan sunnah Nabi dalam jarîmah al-hudûd, ia mengakui sunnah juga memiliki fungsi dalam menjelaksan nash-nash al-Qur’an, tetapi khusus berlaku pada kasus-kasus tertentu yang relatif erat kaitannya dengan kondisi pada saat itu saja. Kajian terhadap kasus-kasus jinâyah yang mendapat legitimasi dari sunnah dalam pandangan an-Na’im perlu diberikan pemahaman yang utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berhubungan dengan dinamika perkembangan masyarakat pada saat hukum itu diformulasikan menjadi hukum yang mengikat. Ketentuan hukum yang berasal dari Nabi SAW bersifat temporal (marhalî) sesuai dengan hikmah adanya Sunnah untuk ditaati di satu sisi, dan posisi Nabi sebagai teladan untuk berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah yang disesuaikan dengan kondisi objektif yang hidup dalam sejarah peradaban umat manusia.

Kriteria Hudûd An-Na’im membuat kriteria hudûd berbeda dengan kriteria yang ditetapkan oleh fukaha. Menurutnya, dalam jarîmah al-hudûd terdapat hak yang harus dilindungi untuk kepentingan masyarakat. Ditinjau dari segi kepemilikan, hak dapat dibagi kepada hak Allah dan hak hamba.

Haqq Allâh (Hak Allah) Menurut pandangan an-Na’im, yang dimaksud dengan hak Allah sama halnya seperti pemahaman ulama mengenai hak Allah yang terdapat dalam jarîmah al-hudûd. An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 110. Ibid. h. 108.

17 18

377


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Hak ini merupakan salah satu hak yang harus dilaksanakan tanpa ada seorang pun yang dapat menggugurkannya, mengingat hak Allah disebut hak masyarakat. Dalam fiqh aljinâyat, yang menjadi hak Allah adalah hukuman yang ditetapkan berdasarkan kepentingan masyarakat atau disebut juga hak negara/hak umum. Hukuman yang menjadi hak Allah tidak dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan (keluarga korban), karena hukuman ini ditetapkan untuk ke-mashlahat-an masyarakat (berlaku umum), bukan ke-mashlahatan individu. Seperti hukuman bagi pencuri tidak gugur dengan pengampunan korban atau damai dengan pelaku pencuri setelah perkara itu sampai ke hakim. Begitu pula dalam kasus zina, tidak gugur hadd zina dengan pengampunan suami atau lainnya atau kerelaan istri.19 Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran terhadap hak Allah diterapkan hanya sekali saja terhadap dosa yang dilakukan berulang-ulang. Sekalipun berzina atau mencuri dilakukan berulang-ulang, tidak dihukum berkali-kali, karena tujuan dari hukuman adalah al-zajr (peringatan) dan al-rad` (menakuti) dan dapat dicapai tujuannya dengan sekali hukuman.20 Kewenangan pelaksanaan hukuman ini adalah hakim, sebagai pelajaran (ta’dîb) bagi yang melanggarnya demi mencegah kekacauan dan sekaligus pemberi hukuman terhadap suatu kejahatan.21

Haqq al-Âdami (Hak Hamba) Hak manusia yaitu hukuman yang menyangkut dengan kepentingan individu (berlaku khusus) dan dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan (keluarga korban) atau oleh pemerintah.22 Atas dasar ini, menurut Ibrahim Hosen, jarîmah al-qishâsh dan jarîmah aldiyât tidak termasuk kepada jarîmah al-hudûd. Alasannya kedua jarîmah di atas dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan.23 Pada hakikatnya hak ini bertujuan untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Hak manusia yang bersifat umum seperti menjaga (menyediakan) sarana kesehatan, menjaga ketentraman, melenyapkan tindakan kekerasan (pidana), dan tindakan-tindakan lain yang dapat merusak tatanan masyarakat pada umumnya. Adapun hak yang bersifat khusus, seperti menjamin hak milik seseorang, hak istri mendapat nafkah dari suaminya, hak ibu memelihara anaknya dan hak bapak menjadi wali anak-anaknya, dan hak berusaha (berikhtiar) dan lain-lain yang bersifat untuk kepentingan pribadi (individu). Mengenai hak manusia ini seseorang Ibid. Syams al-Dîn al-Sarakhsî, Kitâb al-Mabsûth, Juz IX (Bairût: Dâr al-Ma‘rifah, 1998), h. 185. 21 Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz IV, h. 2845. 22 Ahmad Fathi Bahnisi, Nazhariyyât fî al-Fiqh al-Jinâ‘î al-Islâmî (Kairo: al-Syirkah al‘Arabiyyah, 1963), h. 55. 23 Ibrahim Hossen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam: Reinterpretasi terhadap Pelaksanaan Aturan,” dalam Jamal D. Rahman (ed.), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie (Bandung: Mizan, 1997), h. 93. 19 20

378


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

boleh menggugurkan haknya, memaafkannya dan mengubahnya, dan boleh pula mewariskannya kepada ahli waris. Di sini tampak adanya kebebasan berbuat dan bertindak atas dirinya sendiri. Termasuk pula hak asasi seperti hak hidup, merdeka, bertempat tinggal, mengeluarkan pendapat dan pikiran, terjaga kemuliaannya.24 Pada umumnya hak hamba tidak terdapat di dalam jarîmah al-hudûd, melainkan jarîmah al-qishâsh dan jarîmah al-ta’zîr. Khususnya pada jarîmah al-qadzf dicambuk 80 kali bagi orang yang menuduh (mahdzûf), terdapat dua hak yang harus dilindungi, yaitu hak Allah (menjaga kemuliaan manusia dan mencegah kerusakan di muka bumi) dan hak hamba (haqq al-mahdzûf) berupa penolakan kejahatan dituduh kepadanya untuk menjaga kemuliaan diri. Dari sinilah an-Na’im menilai bahwa dalam jarîmah al-hudûd terutama pada jarîmah al-qadzf hak hamba merupakan hak paling dominan daripada hak Allah. Dengan demikian hak hamba harus dilindungi karena ia termasuk ke dalam HAM.

Implikasi Hudûd dalam Norma HAM Sejumlah teks syarî‘ah yang berbenturan dengan HAM merupakan teks yang menurut ulama selama ini termasuk kategori qath‘î. Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa contoh kasus yang diangkat an-Na’im berkaitan dengan pelanggaran konsep universal HAM PBB. Di antara contoh alternatif mengenai penerapan syarî‘ah Islam yang dianggap berbenturan dengan konsep HAM adalah yang terjadi di Sudan selama Presiden Numeiri menjabarkan program Islamisasi pada 1983-1985 dan hukuman hadd yang dirancang oleh Hassan Turabi pada 1991.25 Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam bahasan studi ini adalah kebebasan beragama dan hak-hak perempuan. Kesemuanya ini akan dipaparkan beriringan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right.

Hudûd dan Kebebasan Beragama Kesan yang sering dimunculkan ke permukaan ketika membahas persoalan kebebasan beragama adalah toleransi terhadap perbedaan agama dan menyerahkan kepada mereka yang akan memilih agama apa saja sesuai dengan kehendaknya tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, warna kulit, suku dan ras. Para fukaha sepakat bahwa salah satu konsep tujuan dari maqâshid al-syarî‘ah sebagai benih lahirnya konsep HAM dalam Islam adalah kewajiban memelihara agama dari orang yang ingin menyelewengkannya, atau mempermainkannya, memaksa memeluknya atau berusaha mengeluarkannya (memurtadkannya). Hal ini diakui oleh fukaha dengan menetapkan adanya batasan (hukuman dan sanksi) murtad sebagai

Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, h. 2845. Mayer, Ambiguitas An-Na’im, h. 41-68.

24 25

379


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bagian dari syarî’at tanpa mempertimbangkan apakah dalil-dalil yang dijadikan dasar tersebut telah sesuai dengan prinsip kebebasan beragama.26 Kesepakatan (ijmâ`) ulama mengatakan bahwa orang murtad harus dibunuh bahkan dipaksa dengan segenap kekuatan untuk kembali kepada Islam, atau diberlakukan hukuman mati jika ia tetap menolak untuk kembali kepada Islam. Pertimbangan ulama adalah demi menjaga agama dari usaha-usaha pelecehan yang dianggap sebagai sumber pembentukan dan tegaknya kedaulatan umat Islam. Bagi an-Na’im ketetapan hukum bunuh bagi orang murtad adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap norma-norma HAM pasal 18 dan 19 DUHAM yang menganut prinsip kebebasan dalam hal memilih keyakinan dan agamanya tanpa ada paksaan dan kebebasan mengemukakan pendapat.27 Contoh kasus yang dikedepankan an-Na’im adalah vonis hukuman mati yang diberikan kepada gurunya Mahmûd Muhammad Thâha dengan tuduhan murtad akibat ide-ide yang dilontarkannya. Kasus ini terjadi di saat pemerintahan Sudan dipegang oleh Presiden Ja`far Numeiri yang didampingi wakilnya Hasan al-Turâbî. Pengadilan Sudan yang ditangani oleh hakim al-Kabasyî mengeksekusi Thâha yang ketika itu berumur 79 tahun tanpa ada gugatan dari Wakil Presiden. 28 Kasus serupa juga dialami oleh tokoh muslim kontemporer Nashîr Hamîd Abû Zayd yang telah dituduh dan divonis murtad. Bahkan salah seorang menuntut untuk dilakukan perceraian dengan istrinya karena alasan murtad. Kasus yang menimpa Nashîr Hamîd Abû Zayd ini membuat ia hijrah ke Eropa bersama Mohammad Arkoun dan menjadi penasehat bidang penerbitan Ensiklopedi Barat berkaitan dengan al-Qur’an serta menerima tawaran dari Universitas Leiden Belanda.29 Dua contoh kasus murtad di atas menunjukkan bahwa pemaksaan dalam beragama sama halnya dengan sebuah penegasan bahwa dalam Islam terdapat pemberangusan terhadap kebebasan berakidah dan pemasungan terhadap HAM. Memperkuat argumentasinya, an-Na’im mengutip sejumlah ayat al-Qur’an yang tidak mendukung kebebasan beragama Q.S. al-Baqarah ayat 256. Pasal 18 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) menyatakan setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik sendiri maupun tersendiri. Serta Pasal 19 menyatakan setiap orang berhak untuk bebas berpendapat dan menyatakan pendapatnya. Baik itu meliputi kebebasan untuk memiliki pendapat-pendapat tanpa campur tangan pihak orang lain dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun dan dengan tanpa memandang batas-batas. 28 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), h. 179. 29 Thaha Jabir al-Ilwany, Tidak Ada Paksaan dalam Islam, terj. A. Fuad Mukhlis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11. 26 27

380


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

dan bertentangan dengan prinsip HAM adalah surat al-Taubah/9: 11-12, 29 dan 36. Dalam hal penyebaran Islam, ayat ini menawarkan tiga pilihan, yaitu: (1) Masuk Islam, (2) Keharusan membayar jizyah30 jikalau tidak mau masuk Islam, (3) Perang sebagai pilihan terakhir apabila kedua tawaran di atas tidak diindahkan. Aspek kedua dari ayat ini mengandung perlakuan diskriminasi bagi non-muslim dan ini tidak saja membatasi kebebasan beragama, tetapi membatasi kemerdekaaan dan persamaan hak sebagai warga negara yang dapat digolongkan pelanggaran prinsip HAM. Adanya keharusan memilih salah satu dari tiga pilihan di atas, bagi an-Na’im ayat ini merupakan ayat yang tidak toleran terhadap kebebasan beragama. Padahal terdapat ayatayat lain yang bersifat toleran dalam beragama (al-Baqarah/2: 256). Ayat ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk menentukan pilihannya dalam memilih agama apa saja yang dia kehendaki, tanpa ada unsur paksaan dari siapa pun. Bagi al-Na‘îm, sekalipun ayat ini turun pada masa Madinah awal, tetapi ia dapat saja dipandang sebagai ayat-ayat Makkiyah dengan kandungan isi ayat menekankan toleransi. Pandangan serupa juga dilontarkan oleh M. Quraish Shihab. Ia mengatakan bahwa hukum bunuh bagi orang murtad sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial setiap masyarakat. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan indikasi keharusan menjatuhkan hukuman bunuh bagi orang murtad. Kalaupun ada hadis-hadis yang membicarakan tentang hukuman seperti itu, semata-mata hanyalah kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat.31 Boleh jadi berlaku dalam masyarakat tertentu, tetapi tidak berlaku di dalam masyarakat yang lain. Sekalipun hukum bunuh berasal dari kebijakan Rasul, harus diperhatikan dalam konteks bagaimana kebijakan itu dianjurkan, apakah dalam konteks sebagai Rasul, sebagai pemberi fatwa, sebagai hakim yang menetapkan putusan atau sebagai pemimpin suatu masyarakat yang arah kebijaksanaannya akan terjadi perbedaan disebabkan perbedaan kondisi suatu masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikatakan ‘Âbid al-Jâbirî, di mana kondisi hukum bagi orang murtad dalam ajaran Islam tidaklah ditentukan oleh otoritas kebebasan, kebebasan beragama, melainkan ditentukan oleh otoritas apa yang sekarang disebut dengan pengkhianatan negara atau menyulut perang melawan masyarakat dan negara.32 Dalam kondisi seperti ini, bagi al-Jâbirî pembicaraan mengenai isu-isu tentang HAM dan kebebasan beragama lebih cenderung kepada kebebasan beragama secara individu dan tidak memasukkan kebebasan mengkhianati negara, masyarakat dan agama, kebebasan merampok dan merampas Abdullahi Ahmed An-Na’im, “Toward an Islamic Reformatioan: Islamic Law in History and Society Today,” dalam Norani Othman (ed.), Shari’a Law and The Modern Nation-State: A Malaysian Symposium (Kuala Lumpur: Friedrich-Naumann-Stiftung, 1994), h.17. 31 Muhammad Quraish Shihab, “Wawasan al-Qur’an Tentang Kebebasan Beragama,” dalam Komaruddin Hidayat (ed.), Passing Over: Melintas Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 190. 32 Muhammad Abid al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas, terj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 131. 30

381


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 apa yang dimiliki orang lain. Hukum bunuh bagi orang murtad dalam pandangan ulama fiqih bukanlah semata-mata dikarenakan melanggar kebebasan beragama (pindah agama). Hukum bunuh tersebut ditujukan kepada orang murtad di samping pindah agama sekaligus melakukan pengkhianatan kepada agama dan negara serta membuat konspirasi dengan musuh.

Hudûd dan Kesetaraan Jender Kasus hukum yang dikemukakan an-Na`im dianggap diskriminatif dalam upaya penegakan HAM adalah kesaksian bagi wanita dalam masalah pidana zina (surat al-Nûr/ 24: 4). Di sini kesan diskriminasi didasarkan atas jenis kelamin, merupakan pelanggaran terhadap HAM yang tidak dapat dipertahankan lagi pada saat ini.33 Berkenaan dengan kesaksian, apakah wanita dapat dijadikan saksi hanya dalam bidang perdata saja atau lebih luas lagi. Para ulama baik di kalangan Syâfi’iyah, Hanafiyah, Mâlikiyah maupun Hanabilah berpendapat, sekalipun dalam redaksi berbeda, bahwa kesaksian wanita hanya terbatas pada masalah-masalah perdata, tidak dalam masalah-masalah pidana.34 Khusus ulama Syâfi’iyah sama sekali menolak kesaksian wanita dalam masalah pidana zina.35 Ini terlihat dari perkataan Syâfi’î yang kemudian diikuti oleh pengikutnya, bahwa tidak diterima kesaksian wanita dalam masalah hudûd, perwalian, wasiat, serta tidak pula dalam bidang yang bukan bersifat harta benda.36 Penolakan ini tidak hanya ketika wanita memberi kesaksian tersebut tanpa lakilaki melainkan juga bersama laki-laki. Ketentuan ini juga berlaku pada pidana zina yang menjadi bagian pidana hudûd.37 Ulama Syâfi’iyah berpendapat bahwa saksi dalam kasus pidana zina haruslah mencapai empat orang laki-laki saja, sedangkan kasus pidana selain zina, mereka menetapkan jumlah saksi itu haruslah dua orang laki-laki. Dengan demikian terlihat bahwa ulama Syâfi’iyah telah mensyaratkan saksi dalam kasus pidana haruslah laki-laki.38 Gambaran seperti di atas menunjukkan salah satu bentuk diskriminasi terhadap hak-hak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Kesaksian perempuan berbeda dengan laki-laki yaitu dua perempuan sama halnya dengan kesaksian seorang laki-laki. Pembedaan

An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 25-26. Ibn Ruysd, Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, terj. Drs. Imam Ghazali Said Juz II (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.), h. 384. 35 ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî, Jilid II, h. 481. 36 ‘Abd Allâh Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi’î, Al-Umm, Juz VII (Bairût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 50. 37 Muhammad Atha al-Sayyid Sid Ahmad, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami (Malaysia: Pustaka Negara Malaysia, 1995), h. 148. 38 Al-Syairazî, Al-Muhadzdzab, Juz II (Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), h. 333. 33 34

382


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

berdasarkan jenis kelamin inilah yang dimaksudkan an-Na`im dengan bias gender dan dianggap bertentangan dengan pasal 1 dan 2 Deklarasi HAM Universal.39 Bagi an-Na’im pasal ini problematis dan dilematis karena aturan syarî‘ah secara tegas membedakan perempuan dengan laki-laki dalam beberapa bidang kehidupan, termasuk dalam jarîmah al-hudûd. Ini berarti bahwa hak-hak perempuan lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki. Hak menjadi saksi hanya terbatas pada kasus perdata saja, yaitu dalam hal penetapan jumlah saksi (surat al-Baqarah/2: 282) satu berbanding dua, apabila dibandingkan dengan laki-laki (satu orang laki-laki berbanding dua orang perempuan). Ayat ini menunjukkan bahwa syarî‘ah menginginkan kesaksian dua orang perempuan sama halnya menempati kedudukan satu orang laki-laki dengan pertimbangan perempuan itu salah atau lupa. Inilah alasan yang diberikan al-Qur’an ketika jumlah saksi antara perempuan dan laki-laki dua banding satu. Hal senada diungkapkan oleh al-Sarakhsî, pada dasarnya perempuan tidak dapat diterima untuk memberikan kesaksian disebabkan oleh berbagai kekurangan yang mereka miliki, baik dari segi akalnya maupun agamanya. Mereka mudah sesat, pelupa, cepat terpedaya serta cenderung memperturutkan hawa nafsunya. Kendati demikian al-Sarakhsi mengakui bahwa keabsahan kesaksian wanita dalam hal-hal yang tidak diketahui oleh laki-laki adalah suatu pengecualian (istitsnâ), karena laki-laki tidak mengetahui hal tersebut, jadi tidak ada jalan lain kecuali menerima kesaksian wanita.40 Aturan syarî‘ah Islam yang bias gender ini umumnya didasarkan atas legitimasi alQur’an dan Sunnah, kelihatan cenderung menyudutkan kaum perempuan sebagaimana dipaparkan dalam ayat dan hadis di atas.41 Penilaian terhadap ayat tersebut mengisyaratkan kepada kekhawatiran seorang perempuan melakukan kesalahan atau lupa dalam memberikan kesaksian. Apalagi dalam masalah hudûd sangat diperlukan ketelitian dan kehati-hatian. Walaupun penilaian di atas hanya sebatas kehati-hatian, dalam pandangan ‘Âbid alJâbirî, sifat salah dan lupa bukanlah watak mendasar bagi perempuan, melainkan sematamata sangat terkait dengan kondisi sosial dan pendidikan yang ditempuhnya.42 Pasal 1 Deklarasi HAM berkaitan dengan hak-hak perempuan adalah: “Semua orang dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan sebaiknya bertindak terhadap sesamanya dalam semangat persaudaraan.” Sedangkan pasal 2: “Setiap orang mempunyai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, tahanan politik atau paham yang lain, nasional atau asal usul sosial, hak milik, kelahiran ataupun status yang lain.” 40 Al-Sarakhsî, Al-Mabsûth, Juz XVI (Bairût: Dâr al-Maktab al-Ilmiyah, 1993), h. 142. 41 Disinyalir bahwa al-Qur’an tidak terlepas dari bias gender mengingat ia turun di tengahtengah masyarakat Arab yang patriarkhi, masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan laki-laki. Dalam budaya Arab, kedudukan perempuan sangat rendah, bahkan diangap suatu aib sehingga kehadiran perempuan dapat dijadikan alasan menguburnya hidup-hidup. Azyumardi Azra, “Ketentuan Fiqh tentang Gender,” dalam Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), h. 125-130. 42 Al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas, h. 333. 39

383


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penolakan ulama Syâfi’iyah terhadap kesaksian wanita dalam jarîmah al-hudûd adalah segi kejiwaan wanita. Selain itu, faktor waktu, tempat dan kultur di mana mereka memformulasikan fiqih itu sendiri sangat mempengaruhi pola ijtihad mereka. Pada zaman mereka wanita lebih banyak aktif dalam rumah tangga dan mendidik anak sehingga kemungkinan menyaksikan tindak pidana sangat sulit, apalagi masalah tindak pidana ini sangat berhubungan dengan kehormatan seseorang yang hampir dikatakan tidak ditemukan atau disaksikan, kalaupun ini terjadi orang lebih memilih diam atau tidak membawa kasus tersebut ke pengadilan karena hal ini merupakan masalah yang memalukan. Jika asumsi ini diterima, inilah sebagai suatu alasan mengapa para ulama sangat jarang membicarakan tentang masalah ini, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi dalam suatu masyarakat pada waktu tertentu mengingat pola kehidupan modern yang telah memengaruhi kehidupan manusia. Oleh karenanya apa yang diungkapkan al-Jâbirî ke-mashlahat-an dan kondisi sosial merupakan sesuatu yang berada di balik hukum atau ruh syarî’ah.43 Ini dapat dirujuk pada kebijakan ‘Umar ibn al-Khaththâb ketika ia tidak membagikan tanah pertanian Irak kepada para tentara, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an. Pertimbangan ke-mashlahatan yang dapat dipahami dari kasus ini adalah tidak membaginya kepada para tentara melainkan membiarkan tanah tersebut berada di tangan pemiliknya dan memungut pajak darinya.44 Pendapat senada juga diungkapkan oleh al-Syawkânî dengan mengutip pendapat Imâm Ahmad bin Hanbal serta Abû Bakr al-Jashshash.45 Untuk itu, an-Na’im menilai bahwa ke-mashlahat-an itu ada di setiap tradisi masyarakat. Kata al-Na`îm, konsep mashlahah lebih potensial untuk direformasi. Dalam hal ini ia mengutip teori al-Ghazâlî (1058-1111 M) tentang maqâshid al-syar`î sebagai pertimbangan bagi masalah kemanusiaan, meliputi pemeliharaan lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.46 Dalam konteks ini an-Na’im juga setuju dengan teori yang menyatakan bahwa sejauh bukan menyangkut ibadah ritual, mashlahah dapat menentukan hukum bahkan melampaui nash al-Qur’an dan Sunnah, juga ijmâ’ ketika diketahui ada ke-mashlahatan umum.47 Menurut teori ini mashlahah lebih penting dan bila perlu dapat mengabaikan

Ibid. h. 135. Muhammad Baltâjî, Manhâj ‘Umar bin al-Khaththâb fî Tasyrî’ (Kairo: Maktabah al-Syabâb, 1998), h. 140. 45 Muhammad ibn ’Alî al-Syawkînî, Nayl al-Awthâr, Jilid VII (Bairût: Dâr al-Jayl, t.t.), h. 268. 46 An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 25-26. 47 Ibrahim Hosen “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: IPHI/Paramadina, 1995), h. 254-262. 43 44

384


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

teks.48 Dengan kata lain, sesuatu yang manshûsh belum tentu bernilai qath‘î, sebagaimana dikatakan Masdar F. Mas’udi, yang qath‘î adalah mashlahah itu sendiri.49 Mencermati dan menelaah uraian di atas, berdasarkan data-data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa pendapat an-Na’im yang keberatan menerima kesaksian wanita di bidang perdata saja, dan bukan di bidang pidana bukanlah sesuatu hal yang baru dan asing dalam khazanah pemikiran Islam, melainkan telah dibicarakan oleh para ulama terdahulu. Perlu ditegaskan bahwa yang dikatakan baru dalam pemikiran an-Na`im adalah ketika dia mengaitkan kasus di atas dengan menyebutnya sebagai bagian dari bentuk pelanggaran HAM. Jika diteliti lebih lanjut pendapat ulama terdahulu ditemukan bahwa Ibn Hazm menerima kesaksian wanita dalam berbagai hal, termasuk bidang pidana.50 Sejalan dengan pendapat di atas, Muhammad al-Ghazâlî memberi komentar terhadap pendapat yang menolak kesaksian wanita bahwa timbul penyimpangan dalam pemikiran muslim yang sama sekali menjauhkan kaum wanita dari kesempatan memberikan kesaksiannya dalam berbagai bidang peradilan menyangkut masalah qishâsh dan tindak pidana yang bersangkutan dengan nyawa dan kehormatan manusia.51 Uraian di atas menunjukkan beberapa contah kasus di mana mayoritas ulama menggolongkannya ke dalam jarîmah al-hudûd yang oleh an-Na`im dianggap diskriminatif sekaligus bertentangan dengan HAM. Dari uraian di atas persoalan yang menjadi perhatian utama gagasan al-Na`îm, adalah: Pertama, keinginannya mengurangi jumlah kasus yang termasuk hudûd, yaitu dari enam menjadi empat seperti sirqah, zinâ, hirâbah, qadzf. Sedangkan yang lainnya dikarenakan ketidaktegasan dalil Sunnah yang menunjukkan hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut maka an-Na`im memasukkannya ke dalam jarîmah al-ta’zîr. Kedua, keinginan untuk meminimalkan sanksi hukumnya. Sanksi hudûd yang disebutkan dalam al-Qur’an dipahami sebagai sanksi maksimal yang kejam dan mengurangi kehormatan atas martabat kemanusiaan, maka dalam praktiknya perlu diringankan (diminimalkan). Karena ayat-ayat yang mengaturnya cukup tegas, dan tidak ada cara yang sah untuk meniadakan hukum tersebut dan paling mungkin adalah membatasi pemberlakuannya. Di samping jenis-jenis hudûd di atas, persoalan selanjutnya yang menjadi perbincangan an-Na’im adalah berkenaan dengan sanksi hukum hudûd yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis adalah hukuman maksimal yang kejam dan mengurangi kehormatan atas martabat kemanusiaan. Oleh karena itu batas maksimal hukuman ini sudah seharusmya Dalam sebuah kaidah fiqh ditegaskan: “Jika kemaslahatan bertentangan dengan teks maka yang diambil adalah kemaslahatan karena ia merupakan dasar lahirnya teks itu. Masdar F. Mas’udi “Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syarî‘ah,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI, No. 3, 1995, h. 94-99. 49 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 20-21. 50 Ibnu Hazm, Al-Muhallâ, Juz IX (Mesir: Idârât al-Thaba’ah al-Munîriyyah, 1351), h. 195-196. 51 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1998), h. 76. 48

385


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 dilakukan upaya pembatasan penerapan hukuman maksimal menjadi hukuman minimal. Hukuman maksimal yang dimaksudkan oleh an-Na’im adalah seperti hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, hukuman rajam bagi pezina muhshan dan cambuk bagi pezina ghayr muhshan. Pandangan an-Na’im di atas sejalan dengan teori limit/batas (nazhariyyât al-hudûd) Muhammad Syahrûr yang memiliki batas atas (al-hadd al-a’lâ) dan batas bawah (alhadd al-adna).52 Dalam kasus pencurian yang menjadi batas atas adalah hukuman potong tangan sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang melebihi dari itu. Sedangkan batas bawah adalah hukuman lebih rendah selain potong tangan sesuai dengan kadar barang yang dicuri.53 Baik an-Na’im maupun Syahrûr sama-sama menginginkan diterapkannya hukuman minimal, bukan hukuman maksimal. Jika hukuman minimal diterapakan seperti kasus di atas, menurut ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah tidak dinamakan jarîmah al-hudûd, melainkan perbuatan ta’zîr yang seharusnya dikenakan hukuman hadd. Akan tetapi karena perbuatan itu tidak memenuhi persyaratan untuk dihukum hadd, maka yang demikian itu digolongkan sebagai perbuatan ta’zîr yang berkaiatan dengan hudûd.54 Lebih lanjut an-Na’im mengatakan hukuman yang terkandung di dalam jarîmah al-hudûd secara manusiawi hukuman-hukuman yang bersifat fisik seperti potong tangan bagi pencuri dan lemparan batu hingga mati bagi pelaku zina adalah hukuman terlalu kejam dan tidak manusiawi.55 Ditinjau dari perspektif HAM versi Barat, hudûd merupakan contoh hukuman yang menyalahi aturan, larangan atas perlakuan atau hukuman yang merendahkan martabat manusia.56 Kesan mengerikan dari potong tangan dan kaki, penyaliban, hukuman mati dan dera adalah ciri khas hukuman syarî‘ah yang harus diterapkan ketika terjadi pelanggaran hudûd. Bahkan Fazlur Rahman memberi komentar bahwa hukuman potong tangan itu sangat mengerikan dan sadis. Padahal hukuman potong tangan ini bukan berasal dari ajaran Islam melainkan lahir dalam tradisi masyarakat Arab sebelum Islam.57 Bagi Rahman

Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an, h. 453-454. M. Amin Abdullahi, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer,” dalam M. Amin Abdullahi et al., Mazhab Jogja (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), h. 136. 54 ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî, Juz I, h.133. 55 Lampiran Pasal 5 Deklarasi Universal dan Pasal 7 Perikatan Hak-Hak Politik dan Sipil; An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 113. 56 Mayer, Ambiguitas An-Na’im., h. 53. 57 Hukuman potong tangan merupakan pilihan yang paling rasional disaat itu yang berdampak pada melindungi eksistensi masyarakat karena tidak ada lagi batas-batas, pagar dan harta simpanan, dengan pertimbangan; Pertama untuk menghentikan sama sekali kemungkinan mengulangi pencurian. Kedua, untuk memberikan tanda pada seorang yang pernah mencuri agar ia dikenal dan orang berhatihati padanya. Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan, h. 167. 52 53

386


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

ayat (faqtha`û aydiyahumâ) ditafsirkannya sebagai perintah menghalangi tangan-tangan pencuri untuk mencuri, yaitu dengan cara perbaikan ekonomi.58 Kendati demikian bagi umat Islam, hukuman hudûd diyakini sebagai sesuatu yang patut dan akan mencapai ke-mashlahat-an individual dan sosial yang muncul dari aspek retribusi dan deterrence, karena ketentuan hukuman tersebut adalah ketetapan Tuhan. Ditinjau dari segi sistem, hukum pidana Islam lebih kuat mengadopsi aspek balasan/ganti rugi (retribusi) dan penjeraan (deterrence) jika di bandingkan dengan sistem pidana lain.59 Islam memandang sifat penjeraan merupakan hal yang paling utama dalam pemberian hukuman. Pandangan seperti ini dapat ditelusuri pendapat ulama berkaitan dengan tujuan dijatuhkannya hukuman. Karena pandangan seperti inilah al-Mâwardî mendefinisikan hudûd sebagai “hukuman pencegahan” yang diciptakan oleh Tuhan untuk mencegah manusia melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang-Nya dengan mengesampingkan apa yang diperintahkan-Nya.60 Sifat penjeraan dalam teori hukuman dalam Islam, baik penjeraan terhadap pelaku kejahatan maupun masyarakat. Aspek inilah yang menjadi argumen mayoritas para ulama mendukung pandangan teori penjeraan sebagai motivasi di balik ketetapan Tuhan tentang hukuman hadd. Mencermati argumen di atas, an-Na’im menilai pentingnya sifat rasional dalam pemberian hukuman yang lain selain dua aspek retribusi dan deterrence sebagaimana disebutkan pada penjelasan sebelumnya. Perhatian an-Na’im mengarah kepada sifat reformasi (reformation) dari suatu hukuman pidana.61 Bagi para kriminolog reformasi itu sendiri lebih sinonim dengan arti “pengobatan” (cure). Kecenderungan ini lebih didasarkan pada suatu pemikiran bahwa orang yang melakukan tindak kriminal tidak lagi tepat dipandang sebagai “orang yang jelek” akan tetapi “orang yang sakit”. Penekanan pada aspek reformasi ini mewarnai sistem hukum pidana yang berlaku di hampir semua negara Barat. Dri kenyataan di atas tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran an-Na`im lebih banyak dipengaruhi oleh teori hukuman yang berlaku di dunia Barat. Ia mengadopsi metode kerangka keilmuan Barat. Dengan cara pandang seperti ini, an-Na`im memandang Islam sebagai konsep legal, sehingga apa yang tertuang secara tegas dan eksplisit di dalam nash (manshush) dinilai prinsip dan bernilai qath‘î. Di sini an-Na’im terlalu simplistis dalam memandang syarî‘ah seakan identik dengan ‘uqûbah, dan ‘uqûbah identik dengan syarî‘ah sehingga dengan mereformasi masalah ‘uqûbah sama halnya seperti mereformasi syarî‘ah. Untuk menepis kegelisahan an-Na’im di atas, dalam sistem syarî‘ah ada hierarki pada tingkat tertinggi yaitu mashlahah, kemudian ‘adâlah (keadilan), kulliyah al-khamsah, Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka Salman, 1984), h. 330. Mohammad S. El-Awa, Punishment in Islamic Law (Budianapoliss: American Trust Publiations, 1982), h. 30. 60 ‘Alî bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Shulthâniyyah, Cet. 2 (Mesir: Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1996), h. 221. 61 An-Na‘im, Toward an Islamic, h. 112. 58 59

387


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 maqâshid al-syarî‘ah dan baru uqubah. Jika argumen ini diterima, hemat penulis Islam itu harus dipandang sebagai ajaran ethic, yaitu sebagai suatu sistem etika kehidupan dalam segala bidang yang bernilai mashlahah. Dalam konteks ini pada dasarnya yang dikembangkan dalam sistem syarî‘ah bukanlah aspek tanzîr, yaitu hal-hal yang menakut-nakuti melainkan aspek tabsyîr, ajaran yang membahagiakan dan mensejahterakan.

Penutup Berdasarkan pandangan al-Na‘îm, hudûd adalah hukuman yang secara tegas terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang didasarkan pada teori hukuman yang menganut aspek reformasi. Karena itu, jenis-jenis hudûd yang diakui keabsahannya secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis adalah empat jenis kejahatan yaitu qadzf, zinâ, sariqah, dan hirâbah. Sedangkan jarîmah al-khamr dan riddah -yang menurut fukaha termasuk dalam kategori hudûd- digolongkan ke dalam jarîmah al-ta‘zîr atau apa yang disebutnya sebagai hukum peralihan. Penolakan an-Na’im terhadap kedua jarîmah yang disebutkan terakhir mengingat nash-nash yang menjelaskan hukumannya tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an, melainkan hanya sebatas hukuman moral saja. Penjatuhan hukuman tersebut merupakan kebijakan penguasa yang disebut dengan siyâsah syar‘iyyah. Akan tetapi ketegasan hukumannya diperoleh dalam hadis Nabi yang statusnya masih diperselisihkan oleh para ulama dari segi keotentikannya. Di samping itu juga rasionalisasi teori hukuman dalam jarimah hudûd di kalangan fukaha hanya berdasarkan aspek retribusi (balasan) dan deterrence (penjeraan). Sedangkan an-Na`im cenderung melihat aspek reformasi yang umumnya digunakan dalam sistem hukum pidana yang berlaku di negara-negara Barat. Untuk menjembatani ketimpangan di atas maka an-Na’im mengkombinasikan hukum pidana Islam sekaligus memberi penghormatan kepada standar HAM internasional dengan cara membatasi pemberlakuan hudûd dibangun atas dasar aturan-aturan hukum yang termuat dalam ayat-ayat periode Makkah yang menghargai persamaan dan perbedaan sasarannya (khitabnya). Di sini an-Na’im menjadikan konsep mashlahah sebagai landasan dalam mencari titik temu antara syarî‘ah dan HAM. Bentuk mashlahah diperolehnya dalam teori nasakh terbalik yang dielaborasi dari gurunya Mahmûd Thâha. Melalui teori nasakh ini seluruh ayat Madaniyah dan norma hukum yang diatur dalam syarî‘ah berlawanan bagi penegakan HAM, dinyatakan tidak berlaku (mansûkh). Sebagai penggantinya adalah dengan cara mengaktualisasikan ayat-ayat Makkiyah yang bersifat universal dan toleran sesuai dengan prinsip HAM. Apa yang diinginkan an-Na’im adalah upaya memikir ulang (rethinking) bangunan hukum pidana Islam disesuaikan dengan norma-norma HAM dan lingkungan masyarakat modern yang plural dan terdiri dari berbagai nilai kultural yang dianut. Solusi yang ditawarkannya senantiasa umat Islam siap untuk mendesakralisasikan hukum Islam dan membawanya sesuai dengan alur sejarah peradaban umat manusia. 388


Dedy Sumardi: Hudud dan HAM

Pustaka Acuan ‘Abduh, Muhammad dan M. Rasyîd Ridhâ. Tafsîr al-Manâr, Jilid V. Kairo: Dâr al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t. Abdullah, M. Amin. “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqih, dan Dampaknya pada Fiqih Kontemporer, dalam M. Amin Abdullah (et al.) Mazhab Jogja. Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002. Ahmad, Muhammad Atha al-Sayyid Sid. al-Tasyrî‘ al-Jinâ‘iy al-Islâmi. Malaysia: Pustaka Negara Malaysia, 1995. Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Pangabean. Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004. Al-Ashfahânî, Al-Raghîb. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Bairût: Dâr al-Ma`rifah, 1986. ‘Awdah, ‘Abd al-Qâdir. al-Tasyrî’ al-Jinâ’îy al-Islâmî: Muqâranah bi al-Qânûn al-Wadh`îy, Jilid I. Bairût: Muassasah al-Risâlah, 1997. Azra, Azyumardi. “Ketentuan Fiqih tentang Gender,” dalam Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000. Bahnisî, Ahmad Fathi. Nazhariyyât fî al-Fiqih al-Jinâ‘î al-Islâmî. Kairo: al-Syirkah al-‘Arabiyyah, 1963. Baltâjî, Muhammad. Manhâj ‘Umar bin al-Khaththâb fî Tasyrî’. Kairo: Maktabah al-Syabâb, 1998. Djazuli, A. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997. El-Awa, Mohammad S. Punishment in Islamic Law. Budianapoliss: American Trust Publication, 1982. Al-Ghazâlî, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1998. Hazm, Ibn. Al-Muhallâ, Juz IX. Mesir: Idârât al-Thaba’ah al-Munîriyyah, 1351. Hosen, Ibrahim. “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: IPHI/Paramadina, 1995. Hosen, Ibrahim. “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam: Reinterpretasi terhadap Pelaksanaan Aturan,” dalam Jamal D. Rahman (ed.). Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan, 1997. Al-Ilwany, Thaha Jabir. Tidak Ada Paksaan dalam Islam, terj. A. Fuad Mukhlis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: LkiS, 2003. Al-Mâwardî, ‘Alî bin Muhammad bin Habîb. al-Ahkâm al-Shulthâniyyah, Cet. 2. Mesir: Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1996. Mandzûr, Ibn. Lisân al-‘Arab, Juz III. Bairut: Dâr al-Fikr, 1999. 389


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Mas’udi, Masdar F. “Meletakkan Kembali Mashlahat Sebagai Acuan Syarî‘ah,” dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3, t.t. An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law. Syracuse: University Press, 1996. An-Na‘im, Abdullahi Ahmed. “Toward an Islamic Reformatioan: Islamic Law in History and Society Today,” dalam Norani Othman (ed.). Shari’a Law and The Modern NationState: A Malaysian Symposium. Kuala Lumpur: Friedrich-Naumann-Stiftung, 1994. Nasif, M. A.. al-Tâj al-Jâm‘i li al-Ushûl, ed. IV. Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka Salman, 1984 Ibn Rusyd. Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz II, terj. Drs. Imam Ghazali Said. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t. Al-Sarakhsî, Syams al-Dîn. Kitâb al-Mabsûth, Juz IX. Bairût: Dâr al-Ma‘rifah, 1998. Al-Sarakhsî. Al-Mabsûth, Juz XVI. Bairût: Dâr al-Maktab al-Ilmiyah, 1993. Al-Syâfi‘î, ‘Abd Allâh Muhammad ibn Idrîs. Al-Umm, Juz VII. Bairût: Dâr al-Fikr, t.t. Al-Syairazî. Al-Muhadzdzab, Juz II. Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t. Al-Syawkânî, Muhammad ibn ’Alî. Nayl al-Awthîr, Jilid VII, h. 268. Shihab, Muhammad Quraish. “Wawasan al-Qur’an Tentang Kebebasan Beragama,” dalam Komaruddin Hidayat (ed.). Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Sidahmad, Muhammad ‘Ata Alsid. Islamic Kriminal Law: The Hudud. Malaysia: t.p., 1995. Sudarsono. Kamus Hukum, Cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 1986. Syahrûr, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu‘asharah. Kairo: Sinâ li al-Nasyr wa al-Ahallî, 1992. Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqih al-Islâmî wa Adillatuh, Cet. 4, Juz VII. Dimasyq: Dâr al-Fikr alMu‘âshir, 2002.

390


FATWA OF THE COUNCIL OF THE INDONESIAN ULAMA ON GOLPUT (VOTE ABSTENTION): A Study of Contemporary Islamic Legal Thought in Indonesia, 2009 Bahrul Ulum Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124 e-mail: irul70@yahoo.com

Abstrak: Fatwa MUI Tentang Golput, Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 2009. Isu tentang golput (golongan putih) merupakan fenomena baru dalam pemilihan umum di Indonesia yang banyak mengundang kontroversi. Sekalipun pemerintah telah meyakinkan untuk melaksanakan pemilihan umum yang aman, jujur dan adil, tampaknya golput mengarah pada sebuah gerakan yang dapat menggagalkan Pemilu 2009. Tulisan ini mengkaji fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2009 tentang pengharaman golput. Penulis mengemukakan bahwa fatwa ini telah mengundang kritikan dan mempertanyakan otoritas MUI. Sementara pihak yang medukung menganggap fatwa ini sebagai langkah cerdas dalam rangka meningkatkan peran serta pemilih sebagai sarana meningkatkan pembangunan bangsa. Penulis menyimpulkan bahwa fatwa ini mencerminkan pergulatan pemikiran hukum Islam dengan konteks sosialpolitik yang terus menjadi wacana sepanjang sejarah Islam di Indonesia. Abstract: The issue of vote abstention is a new phenomenon in Indonesia general election that appeals to controversy. Although the government has assured that the general election to be conducted fair, just and peacefull, it seemed that vote abstention tended to transform into a movement that would threaten the 2009 general election. This paper studies the fatwa of the Indonesian Council of Ulama (MUI) of 2009 on the prohibition of vote abstention. The author maintains that this fatwa has led to criticism and questioned the authority of MUI. Those who support, however, considered this fatwa as brilliant move to boost voters’ participant in improving the national development. The author concludes that this fatwa reflects the dynamics of Islamic legal thought in the socio-political context that would become a discourse in the Islamic history in Indonesia.

Kata Kunci: Islamic law, fatwa, council of Indonesian ulama, democracy.

391


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Background Golput which literally means “white group” or vote abstention in general election is not a new phenomenon in Indonesian political arena. However, since the Council of Indonesian Ulama (known and abbreviated as MUI) issued a legal opinion (fatwa) on the unlawfulness of golput1 at a national meeting of the MUI in Padangpanjang, many parties had showed their objections and criticisms. Not only did those criticisms come from an individual but also from the mainstream of Islamic organizations, i.e. Nahdlatul Ulama (NU)2 and Muhammadiyah. A democratic system provides room for the citizens either to use their rights or not and the case of the nonvoting of the citizen is not an exception. According to Komaruddin Hidayat, in reality nonvoting is found everywhere in the world. There is no election where all people participate, not even in the United States. In this state, the voters are not more than 60%.3 Indeed, as members of the nation, the MUI felt responsible and would participate in social development. Exercising Islamic legal thought is one of the efforts the MUI could do. Indeed, the role of MUI is important and Muslim people have received its benefit and observe what are recommended by the MUI. For example, in case of halal food, the fatwa is really helpful for Muslim in consuming food, and therefore no objection is heard to address against the MUI concerning this matter. The fatwa on nonvoting, however, was different. By issuing fatwa forbidding nonvoting, the MUI had entered a complicated case. There was a rumor that the MUI had got involved in political arena. In this case, the MUI’s fatwa was tested by the social phenomena whether it is still appropriate or not. Tobe responsible for issuing fatwa is not always compatible to social need, and this demonstrated the effectiveness of Islamic law.

Historical Background of MUI Majelis Ulama Indonesia or the Indonesian Council of Ulama (MUI) is an Islamic organization founded on 7 of Rajab 1395 H, or 26th of July 1975 in Jakarta, as a meetingpoint for Muslim leaders, especially as a counterpart for the government in its dealings with the Muslim community.4 At the beginning of its inception, the MUI had at least three main responsibilities: first, to issue fatwa and give advice on religious and social affairs to the government as well

The writer will use the term “nonvoting” instead of “golput” in the next pages. See for example www,nuonline.com, Accessed March 11, 2009. 3 Komaruddin Hidayat, “Memahami Fatwa MUI” in http://www.uinjkt.ac.id, Accessed March 12, 2009. 4 See Darul Aqsa et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to March 1993, (Jakarta: INIS, 1995), p. 197. 1 2

392


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

as to the Muslim community, as a part of amar ma’ruf nahi munkar (commanding right deeds and forbidding wrong deeds); secondly, to strengthen the ukhuwah Islamiah (Muslim brotherhood) and to keep and enhance the interreligious harmony in the framework of maintaining national unity and integrity; third, to represent the Muslim community in the interfaith dialog; and fourth, to bridge the ulamas and the government, and became the interpreter between the government and the religious community and vice versa in order to make the national development be successful.5 The MUI has a special commission called the Commission of Fatwa is whose responsibility is to issue fatwa to unify public opinion among Muslim community and give advices to the government of Islamic legal regulation to be considered in the formulation of certain policies. At the time of its creation in 1975 the the Commission had seven members but because of deaths and changes, the numbers can fluctuate; every five years the composition of the Commission is renewed through a recruitment. Today, this Commission is headed by K.H.Ma’ruf Amin. The meetings of the Commission are convened as the need arises or when the MUI is aksed by the public or the government for its opinion on certain issues of Islamic law. Such meetings are generally attended by, in a part from to the chairman and members of the Commission, invited outsiders consisting of independent ulama and scholars in secular sciences relevant to the subject under discussion. To issue a fatwa the Commission normally needs one meeting but, on occasion, a fatwa may need up to six meetings; on the other occasion the meeting may produce several fatwas as in the case of vasectomy, tubectomy, and cornea donation.6 As long as the issuance of fatwa is concerned, the MUI has divided the fatwas based on their respective fields, ranging from the religious matter to science and technology issues. Part One concerns on ritual issues which constitute fatwa on zakat (alms), fatwa on praying together with other religious adherences and fatwa on the beginning of Ramadhan, Syawal/‘Idul Fithr and ‘Idul Adha; Part Two deals with Religious Understanding and Sects which constitute fatwas on Ahmadiyah Qadiyan, Syiah, Secularism, Pluralism, and Liberalism; Part Three concerns Social issues which comprises fatwas on death sentence, corruption, Muslim’s attendance at Christmas celebration and fatwas on pornography and porn action, and Part Four deals with Science and Technology that constitute fatwas on mechanical slaughtering of animal, vasectomy and tubectomy, and fatwa on cornea donation.7 Azyumardi Azra et.al, Ensiklopedi Islam, vol. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), p. 123. See also Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of the Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), p. 54. Compare with Nurhadi, “Muslims’ Participation in Christmas Celebrations: A Critical Study on the Fatwa of the Council of Indonesian Ulama,” al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No 2 (July-December 2002), p. 284. 6 Mudzhar, Fatwas of the Council, p. 68-69. 7 See www.mui.or.id, Accessed March, 2009. 5

393


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 The drawing up and issuance of the fatwas are carried out by the MUI usually follows the mechanism of legal reasoning (instimbath) which is the combination of the text and the context. The legal reasoning applied by the MUI in stating the status of nonvoting can be traced back to the issuance procedures of the fatwas available in the Guidline of Issuing the Fatwas of the MUI (Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia) Number: U-596/MUI/X/1997. It is mentioned in Chapter 2 about General Bases of Issuing the Fatwas (Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa) that: 1. Each decree of the Fatwa must have reference to the Qur’an and the Tradition of Prophet Muhammad which is truswarthy, and it is not contrary to the benefit of the community. 2. If they are not found in the Qur’an and the Tradition as mentioned in chapter 2 point 1, the decree of the Fatwa should not be contrary to the consensus (ijmâ‘ ), the analogy (qiyâs) and other legal bases such as istihsân (preference), mashâlih mursalah (the interest of Muslim community), and sadd az-zarî‘ah (preventing harm). 3. Prior to the issuance of the decree it is suggested to consider legal arguments included other arguments used by those with different opinion.8 Furthermore, in chapter 3 about the Issuance Procedures of the Fatwas (Prosedur Penetapan Fatwa) said that: 1. Each problem addressed to the commission has to be studied thoroughly by the members of the commission or by special team not less than one week before being brought to the meeting. 2. As to the fixed matter (qath‘iy), the commission should deliver as it is, and the fatwa is automatically abrogated after being known to have bases in the Qur’an and the Tradition. 3. As to the controversial issue (khilâffiyah) among the mazhabs, the commission should declare the tarjih (the strongest opinion) after considering fiqih muqâran (comparative law) by using the method of comparative jurisprudence (ushûl al-fiqih al-muqâran) relevant to the effort of finding the strongest opinion (tarjîh).9 Given the guidelines elaborated above, the MUI appears to seek to implement what Mu’az bin Jabal had explained when he was sent by the Prophet to Yemen. The Prophet asked: “On what base will you decide the law?” Mua’az replied: “On the Book of Allah. If I don’t find in the Qur’an, then I will decide on the Tradition of the Prophet. And if I don’t find in the Tradition, then I will exercise my personal legal reasoning as well as I could.” Prophet Muhammad was reported to agree with his opinion.10 In Islam, especially in Sunni circle, it is only proper that system of legislation resembles See www.mui.or.id, Accessed Maret 11, 2009. Ibid. 10 Muchammad Ichsan dan M.Endrio Susilo, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukman UII, 2006), p. 51. 8 9

394


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

the system used by Mu’az bin Jabal above, opened with the Qur’anic bases followed by relevant Hadits/Tradition, Ijmâ‘ (consensus) and qiyâs (legal reasoning). Exercising Islamic legal thought, the MUI tends to follow this common procedure.

The Fatwa on Golput It is not surprising that the role of Muslim community in making democracy come to realize in Indonesia is amazing. Not only are they majority, but as Muslims, they also have successfully show a fantastic attitude in implementing democracy. In line with this phenomenon, Chairman of Central Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin said that Islam had played significant role in enhancing democracy in Indonesia. He further added in confident that “..democracy in Indonesia will not run well without participation of Muslim community.” He delivered this statement in a seminar held by the Commission of Uni-Europa (UE) entitled “Indonesian Perspective: Pluralism and Democracy” in Brussel, Belgium.11 The role of Islam in strengthening democracy in Indonesia has been done in various ways. Among others are by stating that both democracy and Islamic values are compatible, through judicial and legal reforms, encouraging management of good government, empowering bases of culture, promoting interfaith and interculture dialogues, and exercising general election. The success of Indonesian Muslims in conducting democracy was performed in the 2004 General Election that Jimmy Carter, a former President of the United State (19771981) had to deliver his appreciation saying “A hisotorical milestone for us, this general election is also an important step for democracy in the whole world. Indonesian people are showing us dramatical example of a peacefull political shifting, and firmly negating the claim that Muslim community are antidemocratic.”12 This amazing success, however, was not authomatically followed by the up-coming general election in 2009 because of the phenomena of skepticism among the people seeing all candidates. This skepticism cristilized and formed a massive movements of abstention. The phenomena of vote abstention can be traced back to Soeharto’s era, when the credibility of the election (and therefore his reelection every five years) depended on votes. Soeharto’s political legitimacy hinged on how many people voted. Intimidation and use of force was the rule, so much so that in 1993, East Timor, then under Indonesian military rule, officially recorded a 105 percent turnout. Knowing his obsession with the number, Soeharto’s critics as far back as 1971 began a civil disobedience movement to encourage people to vote with their feet, or to Kapangi.com, “Din: Islam Telah Mainkan Peran Penting Majukan Demokrasi Indonesia” dalam http://www.kapanlagi.com, Accessed July 18, 2010. 12 Gatra, No. 1-2 Tahun XI, 27 November 2004, p. 10. 11

395


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 spoil their ballots as opposed to Golkar, Soeharto’s political machinery that helped secure his five-yearly reelections until 1998. Soeharto has long gone from politics, golput or nonvoters continue to enjoy legitimacy today, more than it deserves. Once again, this turnout became phenomena at the Guvernor Election in West and Central Java where the nonvoters gained victory. In the West Java Governor Election, the couple had (Ahmad Heryawan and Dede Yusuf) successfully earned 7.3 million votes, while the nonvoters were 10 million. In addition, the nonvoters also won in Central Java. Given this situation, not only were the government and politicians but all-Madura MUI concerned that the later declared a fatwa forbidding golput or vote abstention. Golput was equalized with consuming pork or drinking wine, or even doing adultery. 13 Facing the 2009 general election, vote abstention became one of the hot news in mass media. Although this case was not a new phenomenon in Indonesian political arena as mentioned above, however since Abdurrahman Wahid (Gus Dur) encouraged the public to boycott the 2009 general election in protest over his party’s difficulties with recognition, many more parties had felt worried and considered that it was not natural anymore. The MUI was one of the parties who felt fear with this situation of scepticism. In addition, their fear was based on the increasingly low participation at local elections in the past year, ranging from 40 to 60 percent, and at the growing skepticisms about the political parties and the way the 2009 general elections were being conducted. People’s Consultative Assembly speaker Hidayat Nur Wahid had asked MUI to prohibit nonvoting fearing that Gus Dur’s statement will influence the grassroot. Wahid argued then that a fatwa against nonvoting could boost voter turnout in the 2009 elections. Being profoked with Gus Dur’s statement to boycott the general election and in answering Hidayat Nur Wahid’s invitation, the MUI launched a fatwa prohibiting nonvoting as a result of a national meeting of the MUI in Padangpanjang, West Sumatera in January 2009. The meeting was led by Chairman of Commission A of Fatwa session, K.H Ma’ruf Amin and Dr. H.M Masyhuri Na’im, as the Vice-Chairman. The meeting was composed of 115 teams of formulation, represented by Drs. Sholihudin Al-Aiyub M. Si., as a secretary, Dr. H. Fuad Amsyari (member), Drs. H. Slamet Efendi Yusuf M.Si. (member), K.H. Drs. Abdusshomad Buchori (member), K.H. Maman Abdurrahman (member), K.H. M. Jarir (member), dan K.H. Dani Hamdani (member).14 According to MUI General Secretary Ahmad Rofiq, the fatwa was launched just to show that MUI is participating in improving society. Besides, the fatwa was issued in response to a question posed by members of the general public.15 Slamet Widodo, “Fatwa Golput; Surga Dunia atau Surga Akhirat? in www.slametwidodo.com, Accessed April 15, 2009. 14 www.mui.or.id, Accessed11 Maret 2009. 15 “MUI: Vote abstention fatwa is non-binding” accessed in www.thejakartapost.com. See 13

396


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

By 26th of January 2009 / 29 of Muharram 1430 H, the Commission succesfully declared a fatwa forbiding golput (nonvoting) in the general election, on the bases of arguments that: 1. General Election in Islamic view is a way to elect a leader (president) and a vice-leader who are eligible to make common good come to realize based on people’s aspiration and the nation’s need. 2. Electing a Leader is compulsory in order to establish imamah (leadership) and imarah (state) in common life. 3. Imamah and imarah in Islam need certain conditions suitable to the Islamic provisions so that people’s benefit may come to realize. 4. Electing a Leader who believes in and fears of God, honest (shiddiq), accountable (amanah), active and aspirative (tabligh), inteligent (fathonah) and struggles for the sake of Muslim people, is compulsory (wajib). 5. Electing a Leader who does not fulfill the above conditions as mentioned in point 4 or rejecting to caste a vote while he/she knows that there is a candidate who fulfils the conditions, is unlawful (haram).16 Based on the above concerns, the MUI finally recommended that: 1. Muslims elect their leaders and representatives who are eligible to carry out the amar makruf nahi munkar. 2. The Government sosializes the general election to stimulate people’s participation so that their rights might be fulfilled.17 The declaration of the fatwa on the unlawfulness of golput can be viewed as a brave step taken by the MUI. This is due to the reason that the MUI as a religious organization has gone far beyond their formally religious authority. Besides, the MUI will be accused of having conspiracy with the ruling government or with certain political party after issuing the fatwa, though initially the declaration of it had nothing to do with this background. In fact, after the fatwa was issued, many parties considered that the MUI had gone too far without authority to declare golput as forbidden. In such a case, the MUI seemed to be very confused and undecided in accomodating the hopes of either the political parties, Islamic organizations, the govermnment of the lay community. In issuing the fatwa on the unlawfulness of golput, the MUI based their arguments from the Qur’an, hadits, and the saying of Companions as well as the ulamas. The following are the arguments of the fatwa by the MUI:

also Wiwit R Fatkhurrahman, “Fatwa Haram Golput, Efektifkah?” in http://wiwitfatur.wordpress.com, Accessed March 20, 2009. 16 www.mui.or.id, Accessed March 12, 2009. 17 Ibid.

397


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 1. Qur’an al-Nisâ‘/4: 59: “O you who believe! Obey Allah and obey the Apostle and those in authority from among you”. 2. Hadits of the Prophet P. B.U. H: “From Abdullah bin Amr bin ‘Auf al-Muzani, from his father, from his grandfather, the Messenger of Allah P.B.U.H said: “an Agreement is concluded among Muslim people, except the agreement in prohibiting the lawfulness and permitting the unlawfulness”. (Narrated by At-Tirmidzi). 3. Hadits of the Prophet P. B.U. H: “Whoever dies and has never given his/her oath (baiat), then he/she dies in ignorance (jahiliyah)”. (Narrated by Bukhari). 4. Hadits of the Prophet P. B.U. H: “Whoever chooses a leader while he/she knows that there is another one who is more qualified and has broader comprehension on the Book of Allah and His Prophet’s Tradition, then he/she has betrayed his God, His Messenger, and the believers”. (Narrated by AtThabrani). 5. The saying of Abu Bakar, when he delivered his first speech rightly after he was elected to be Khalifah: “O people, whenever I am doing good, please help me, but when I am committing bad things please remind me …please obey me as long as I command you in obeying God, and ignore me if I ask you to do bad things”. 6. The saying or Umar when he was elected to be Khalifah: “Whoever among all of you sees me in astray, then please take me to the right path …”. 7. Al-Mawardi’s argument in his Al-Ahkam as-Sulthaniyah, page 3: “Leadership (al-imamah) is a place to replace the Prophet in keeping the religion and managing the world, and according to the consensus (ijma) electing one who can take this position is compulsory”. 8. Al-Mawardi’s opinion in his Al-Ahkam as-Sulthaniyah, page 4: “If electing leadership is compulsory, then it’s (level of) compulsory is fardhu kifayah (communal obligation) as in jihad and pursuing knowledge. In this case, if there is one who is qualified (deserves) to uphold leadership (imamah), the others have no obligation to do so. If there is no one who can uphold it, two parties are elected among the community; one party is those who have the authority to elect (ahlul ikhtiyar), the other one is the candidate of the leaders (ahlul imamah) until one leader is elected”. 9. Ibn Taimiyah’s opinion in his Al-Siyasah al-Syar’iyah : “It is important to note that the existence of power in order to manage community’s affairs is compulsory in Islamic religion without which Islamic religion and the world will not stand. 398


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

Indeed, the descent of Adam will not be able to accomplish their duties without organization as they need each other, and in an organization there needs a leader”.18 The overall legal arguments drawn by the MUI basically state the obligation to obey the leaders and the necessity to uphold the imamah (leadership). In this matter, the normative arguments used by the MUI are thematical. That means, the MUI, in the process of elucidating, followed the regular procedure by referring to Qur’anic verses, Hadits, the saying of the Companion, and the saying of ulamas respectively relevant to the same topic. Nevertheless, the normative arguments used by the MUI, are weak to some extent. First, none of the the arguments, especially the Qur’anic verse and the Hadits, directly talks about the status of nonvoting judged unlawful by the MUI. In the other word, the MUI referred to the above arguments to judge the nonvoting unlawful just by analogy (qiyas).19 Second, there are many other verses, hadits, the saying of the Companions and the ulamas which might be contrary to the above conclusion. It is also interesting to note that the fatwa didn’t refer to the view of four mazhabs (Islamic schools of law). It has been recognized that the four mazhabs, very especially of Syafi’i, held firmly by the mainstream Muslims in Indonesia, let alone Nahdhatul Ulama.20 The fact that the MUI didn’t adopt any of the four mazhabs demonstrated that the fawa may not be acknowledged by such mainstream Muslims as Nahdhatul Ulama.

Responses to the Fatwa The issuance of the fatwa on the unlawfulness of the nonvoting by the MUI had led to controversy among the community. In some internet sites, the writer found that most people, including Muslim intellectuals, did not support the issuance of the fatwa. Some rejected the idea of the fatwa and even delivered bitter remarks on it. Only few who considered the fatwa was necessary to enhance the process of democracy and good politics in Indonesia. Even two biggest Muslim organizations in Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah, are included those who had different stance from the MUI’s. According to Hasyim Muzadi, in Indonesia many problems may cause people do

Ibid. In Sunni circle, qiyas is used both as a method as well as a source. Qiyas is used to solve legal problem through analogical reasoning. For further discussion about qiyas, see Ali Hasbullah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kuwait: Dar al-Ma’arif, no year), p.128-133. 20 In 1926 the NU in its first congress issued a fatwa stating that for present-day Muslims the adoption of the four Sunni mazhabs was obligatory (wajib); otherwise people could go astray. The fatwa added that, for the members of the NU, the Syafi’i school was the appropriate of the four Sunni mazhabs. See Atho Muzhar, fatwas, p.79-80. About NU, see also my work, and Bahrul Ulum, Bodohnya NU apa NU Dibodohi, Jejak Langkah NU di Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), p.56. 18 19

399


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 not cast their votes in general election. This because some people are too busy thinking of their food. Besides, no candidates are attracting so that people are being so skeptic. Therefore, whether or not people using their rights to vote do not matter. Hasyim, however, reminds if the nonvoting has been a movement asking people not to participate in the poll, that is a crime which is untrue.21 Din Syamsuddin, Central Chariman of Muhammadiyah, reminded that all ulamas be wiser and should always pay attention the people’s condition. In the case of nonvoting, he said that not all these matters can be related to Islamic law, between halal (permissible) and haram (forbidden)”. Another Muhammadiyah figur, Bahtiar Effendi, Chairman of the Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat (the Institution of Wisdom and Public Policy of National Leadership) of Muhammadiyah, said “It is better that the MUI withdraws the fatwa of golput”.22 In line with those opinions mentioned above, a member of Hizbut Tahrir Indonesia also launched his comment. In an Islamic site, responses of Hizbut Tahrir Indonesia were published especially in the form of paper by Muhammad Ismail Yusanto, the Spokesman of Hizbut Tahrir Indonesia. This paper seemed to have been prepared specially to counter the MUI’s fatwa. The argument by Hizbut Tahrir Indonesia, however, appeared to be much more ideologic.23 In other words, Hizbut Tahrir Indonesia criticized the idea of the fatwa because of the MUI’s stance which was in line with – or supported – secular leadership by launching a fatwa asking people to participate in democracy. Indeed, secular system, according to Hizbut Tahrir Indonesia, is forbidden in Islamic view. So, if the fatwa had been to forbid nonvoting in order to elect “Muslim leader”,24 Hizbut Tahrir Indonesia would have never launched their criticism. A month earlier before Hizbut Tahrir Indonesia launched the criticism, Drs. K.H. Yakhsyalloh Mansur, M.A., Mudir ‘Am (General Director) Pesantren Al-Fatah Bogor had published his comment at the same site. Yakhsyalloh Mansur seemed too much moderate

“Hasyim Muzadi: Golput Tak Perlu Diharamkan,” in http://www.surya.co.id. Accessed March 18, 2009. 22 Shodiq, “Ternyata Banyak Ormas Islam Menentang Fatwa MUI perihal Hukum Golput/Rokok” dalam http://shodiq.com, / Accessed February 20, 2009. 23 Muhammad Ismail Yusanto, “Tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap Fatwa MUI tentang Golput” in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca. Accessed March 15, 2009. 24 By “Muslim leader”, it means that a leader with Islamic vision and agenda, particularly in establish Islamic state. In Indonesian history, all presidents are Muslims in religion. However, to Hizbut Tahrir, to be Muslim in religion is not enough. Muslim has to be kaffah (all-Islam), not only by religion but also – and most important – by ideology, especially the readiness to established Khilafah (International Islamic state) and refer the Qur’an and the Hadits as the only foundations of the Constitution. 21

400


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

and logic in using argument. Yakhsyalloh Mansur reminded all ulamas not to be easy to issue a fatwa for it would be questioned before Allah.25 A political observer and former Rector of UIN Jakarta, Azyumardi Azra, who, according to the writer, was predicted to have different opinion from the MUI’s,26 in this chance showed his agreement and expressed his support on the decision of the Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III. According to Azra, by issuing fatwa on the unlawfulness of the nonvoting, that would help Muslims to have such a sense of religious responsibility that participate in the poll is compulsory that needs to be observed. So, from the perspective of the implementation of the general election, this is a very good way. Furthermore, the increasing percentage of the political particiapation was also significant in order to enhance democracy in demokrasi. He also added that the MUI’s fatwa was issued for the sake of Indonesian interest in general. Therefore, according to him, this summon of the fatwa has to be observerd and followed-up by any religious figures in Indonesia. 27 Although Azra admitted that it was permissible to issue a fatwa, he also warned that the fatwa had to be kept away from political consumtion, by which it became nothing more than an order of certain candidate or party. He added that the MUI’s fatwa was not authomatically binding. Every one has the right to follow or not. He further said that the term “haram” had to be understood as a religious advice and not a binding. Besides, in Indonesia the institution of fatwa did not solely become the authority of the MUI.”28 By his opinion above, Azyumardi Azra, seems to find a moderat way between the idea of supporting and the neglecting the fatwa. In this case, he appears to be more realistic seeing the fact that participation in the 2009 general election was very important as a means to find a qualified leader.29 Of the pro parties, Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party) or PKS is the most vocal party to support the fatwa. It is understood that from the very beginning, the top leader of PKS, Hidayat Nur Wahid was the one who firstly launched the idea to forbid the nonvoting, as mentioned above. In the other sides, Badan Pelaksana Pemenangan Pemilu (Bapilu)/the Winning Team of PKS, Muhamad Razikun, said: “The fatwa forbidding the nonvoting will indeed influence the number of nonvoters.

Yakhsyalloh Mansur, “Fatwa MUI tentang Tidak Ikut PEMILU; Dipaksakan dan Kontraproduktif” in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca. Accessed March 17, 2009. 26 To the writer’s understanding, Azyumardi Azra, is one of Muslim intellectuals in Indonesia who inclines to “liberal” view, the attitude that the MUI has always delivered severe criticism. To some degrees, the MUI even declares this view as misleading and, therefore, has to be forbidden. For further information about the fatwa on liberal view, see www.mui.or.id. Accessed March 11, 2009. 27 “Hasyim, golput, Accessed March 18, 2009. 28 Ibid. 29 Ibid. 25

401


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 If it was previously predicted that the number of nonvoters would increase ranging from 35 percent in 2004 general election to about 55-60 percent in 2009 general election, then the existence of the MUI’s fatwa will possibly help to reduce the number of the nonvoters at least equal with the 2004 general election.”30 In the context of democracy, the existence of the vote abstention or nonvoters a part of democracy and it is a legal choice. In the context of benefit, however, the citizens have to participate in order to elect the best leader, said Razikun. He added: “If people find none of the candidates is qualified, then in Islamic legal theory it can be learned that one has to choose anyway a leader who has least weakness,…The fatwa might be a spirit or support for the nation and the process of democracy, so that te number of nonvoters will be reduced athough many people have been disappointed with the political system as well as the political attitude in Indonesia”.31 The same call came from the members of PKS in America and Canada who completely support the MUI’s decision to issue a fatwa forbidding the nonvoting. The members of PKS view the fatwa as a smart action taken by the MUI. Muhammad Yusuf Efendi, Chairman of Pusat Pelayanan dan Informasi (Center of Service and Information) of PKS America and Canada, in San Francisco, California, for example, has been reported to have said that “the fatwa made by the MUI on the unlawfulness of the nonvoting is a smart action in order to ask all people of Indonesia to build the Indonesian people together.”32 According to Yusuf, one of the significant prerequisites to recover the condition of the Indonesian people is through the participation of all citizens to buid the country, included in electing the people’s representative and the leaders of the country. Yusuf also stated that the Ijtima’ of the MUI was important to take into account in order to make the 2009 General Election success. He saw that the government have allocated very much fund only to build this country. Therefore, he suggested that it was not wise to waste it (by not participating in the poll). Besides, the general election was a good chance for Indonesian people to revive from their crisis.33 At the end of his massage, Yusuf also said that peple who live in America would like to see the glory and the development of Indonesia. Hopingly he said: “Therefore, we, members of PKS of the United States are determined to struggle and

Administrator, “PKS Berharap MUI Keluarkan Fatwa Haram Golput” in http://pk-sejahtera. de/index.php?option=com. Accessed March 18, 2009. 31 Ibid. 32 “PIP PKS Amerika Dukung Fatwa MUI” in www.suaramerdeka.com, Accessed March 11, 2009. 33 Ibid. 30

402


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

participating in developing the nation from outside, and I hope my brothers in Indonesia will revive and unite answering this tone of resurgence.”34 Full support by PKS towards the MUI’s fatwa has rised suspicious among the people. Although it is not easy to prove whether or not the PKS has vested interest behind this issuance of the fatwa, at least the PKS as the solid party will lose vote if the general election was proved to fail. That means the PKS would get benefit from the fatwa. In the another side, no less than the General Elections Commission (KPU) had appealed to the public to ignore those growing skeptical opinions and to take part in the nation’s periodic democratic exercises in electing their leaders. The commission, as are those who are obsessed with numbers, fear that Indonesia’s nascent democracy will be undermined if voter turnout falls below a certain percentage. In other words, the KPU measures its success on this magic number. The PKS, however, have their own reason for seeing a high number: A lost vote is a wasted vote. Hence, the MUI is now recruited into their campaign to force or intimidate people into voting, lest they earn God’s wrath.35

The Implication of the Fatwa to the Indonesian Democracy As mentioned above, the issuance of the fatwa was hoped to increase the participantion in the 2009 General Election. The number of participation, however, was difficult to measure wheter or not it had relation with the fatwa or not. Acording to Azyumardi Azra, it was not easy to determine the impact of the fatwa in decreasing the number of the nonvoters. What was more obvious was that there were Muslims who were happy to obey and follow the MUI’s fatwa, and there were some others who felt free to decide themselves whether or not they follow the fatwa.36 Azyumardi was not sure whether or not the number of participants in the poll had significant relation with the issuance of the fatwa. Azyumardi, however, would prefer to see the positive sides of the fatwa in the context of developing and enhancing democracy in Indonesia. By the fatwa, Muslim people would have such a spiritual sense that participating in the poll was religious. He also asserted that the elected government would not be powerfull and credible if there were more people became nonvoters. The reason was simple, the elected government was not based on the majority.37

Ibid. www.thejakartapost.com, Accessed March 10, 2010. 36 Kurniasih Budi, “Fatwa Haram Golput Dinilai Dongkrak Partisipasi Pemilih” in http:// www.tempointeraktif.com, Accessed February 11, 2009. 37 Ibid. 34

35

403


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 As long as the impact of the fatwa is concerned, so far we do not have any information concerning the impact of the fatwa with the participation of the voters. It was clear, however, that the 2009 General Election had been criticized by many observers as the worst in performace. In fact, this has nothing to do with the fatwa. Besides, there are other factors that make people to be nonvoters because of technical factor, for example. Another reason why the fatwa seemed to have no significant impact to the constituents was that of constitutional reason. Voting in Indonesia, like in most democracies, is voluntary. There should be no legal consequences if people don’t vote, unlike in Australia or in Singapore where voting is mandatory. The flipside of this is that abstaining is a right that is protected by the Constitution. At last, the 2009 General Election had successfully brought Susilo Bambang Yudoyono as the President and Budiono as the Vice-President. We can say conclude that the democracy was success at this time through a process of General Election in good quality. The general election is said to be in good quality whenever the process and the outcome are also good. The process is good when the general election run democratically, trustful and fair, peace and smooth. The outcome is considered good when the general election bring about people’s representative and national leader who were deemed capable of bringing people to prosperity and high status before international people.38 Given the elaboration above, the role of the MUI’s fatwa in reducing the number of nonvoters is lest significant, except for those who initially introduced and supported the fatwa, such as the PKS members. For the later, the MUI’s fatwa is of course a moral as well as religious encouragement. The number of voters seems to be much more influenced by the level of their education and maturity, socialization from the KPU, and political as well as moral will of the government rather than a fatwa.

Conclusion It is understood that fatwa is one of a legal opinion exercise. In case of the fatwa forbidding nonvoting, the MUI appeared to have been confused and undecisived facing the dillemas whether to maintain good relationship with the government or being accepted by the Muslim community39 and, therefore, seemed to be opportunist. Declaring fatwa forbidding the nonvoting was a brave step in the situation of preparing the 2009 General Election for some reasons. First, nonvoting was of political affairs regulated in constitution. By issuing fatwa demonstrated the MUI’s involvement in the political arena which is definitely in contradiction with its mission as a religious

Rozali Abdullah, “Sistem Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Ditinjau dari Sudut Pandang Demokrasi,” in Journal Konstitusi, vol. II No. 1, June 2009, p. 12-13. 39 This conclusion is partly inspired by Mudzhar, fatwas, p. 68. 38

404


Bahrul Ulum: Fatwa of the Council of the Indonesia Ulama On Golput

body. Second, the fatwa is of Islamic in nature but seemed to summon all people including non-Muslim. Then, how could the later observe it? Third, from the argument used by the MUI, it was inferred that the fatwa was not produced by serious scrutiny. From the elaboration above, some important point have to be taken into consideration. First, the MUI has to be able to separate between religious matters and political affairs, though Islam doesn’t separate both in conscept. But in dealing with social matters it has to be so. Thus, for the first, the MUI can use the term “halal (permissible) and haram (forbidden), while for the later, the MUI has to use the term “should”, “it is better,” or “it is recommended/ suggested”, etc., instead of halal-haram. Objectivication40 is much better and saver to implement facing social or worldly problems. Second, issuing fatwa needs not only a highly qualified understanding of Islamic law, but also an accommodation with the spirit of modernity combined with a modern scientific approach and profound research methodology. Therefore, the MUI has to be more accommodative in order to produced objective and inclusive fatwa. In addition, in order to increase public participation at the polls the government needs to reform the political parties and the way elections are organized. In case of politics, fatwa should works nothing more than just a moral force. Therefore it is perhaps more appropriate to use the term “reccommendation” rather than stating “halal-haram.”

References Abdullah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Jalan: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Administrator. “PKS Berharap MUI Keluarkan Fatwa Haram Golput” in http://pk-sejahtera.de/ index.php?option=com. Accessed March 18 2009. Abdullah, Rozali. “Sistem Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Ditinjau dari Sudut Pandang Demokrasi,” in Journal Konstitusi 2:1, 2009. Aqsa, Darul, et al. Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to March 1993. Jakarta: INIS, 1995. Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-Modern. Jakarta: Teraju, 2003. Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam, 5 vols., Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Baso, Ahmad. “Problem Islam dan Politik Perspektif Kritik Nalar Arab Muhammad Abid al-Jabiri,” in Tashwirul Afkar 4:1, 1989. ”Objectivication” was introduced by Kuntowijoyo, meaning a value-based rational implementation of Islam. Objectivication is not to practice Islam as it is. It is to adjust Islam with social situation but still refers to the fundamental root of Islam. This is especially true in socialpolitical affairs. For further information see Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2004), p. 64-70 405 40


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Burhani, Ahmad Najib. “Ulama Dalam Perubahan Sosial,” in Gong Mahasiswa 7:V, 1996. Coulson, Noel J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1961. Fatkhurrahman, Wiwit R. “Fatwa Haram Golput, Efektifkah?” in http://wiwitfatur.wordpress.com, Accessed March 20, 2009. Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: the University of Chicago Press, 1976. Hasbullah, Ali. Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy. Kuwait: Dar al-Ma’arif, nd. Hidayat, Komaruddin. “Memahami Fatwa MUI,” in http://www.uinjkt.ac.id-/index.php/category-table/525-memahami-fatwa-mui.html. Hooker, M.B. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju, 2002. Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju, 2004. Kurniasih, Budi. “Fatwa Haram Golput Dinilai Dongkrak Partisipasi Pemilih,” in http:// www.tempointeraktif.com, Accessed February 11, 2009. Mansur, Yakhsyalloh. “Fatwa MUI tentang Tidak Ikut PEMILU; Dipaksakan dan Kontraproduktif,” in http://www.eramuslim.com /suara-kita/suara-pembaca. Accessed March 17, 2009. Mufrodi, Ali. “Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru: Studi tentang Perkembangan Majelis Ulama Indonesia,” Disertasi: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mudzhar, Mohammad Atho’. Fatwas of the Council of Indonesia Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993. Muzadi, Hasyim. “Golput Tak Perlu Diharamkan,” in http://nasional.kompas.com, Accessed July 25, 2010. Nurhadi. “Muslims’ Participation in Christmas Celebrations: A Critical Study on the Fatwa of the Council of Indonesian Ulama,” in al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 40:2, 2002. Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Islamabad: Islamic Research Institute, 1965. Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: the University of Chicago Press, 1979. Shodiq, “Ternyata Banyak Ormas Islam Menentang Fatwa MUI perihal Hukum Golput/ Rokok” in http://shodiq.com, Accessed February, 2009. Ulum, Bahrul. Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, Jejak Langkah NU di Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002. Widodo, Slamet. “Fatwa Golput; Surga Dunia atau Surga Akhirat?,” in www.slametwidodo. com, Accessed April 15, 2009. Yusanto, Muhammad Ismail. “Tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap Fatwa MUI tentang Golput,” in http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca, Accessed March 15 2009. 406


ISLAM, ETNISITAS, DAN POLITIK IDENTITAS: Kasus Sunda Abdul Syukur Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Jl. Raya Cipadung, No. 105, Cibiru, Bandung, 10614 e-mail: abdul_syukur05@yahoo.com

Abstrak: Dalam kerangka pemikiran struktural-fungsional masyarakat digambarkan terdiri dari sejumlah struktur yang memiliki fungsi sendiri sehingga menciptakan equilibrium yang harmonis berdasarkan solidaritas sosial yang dibangun oleh nilai dan norma kolektif. Begitu pula masyarakat Sunda terikat oleh nilai budaya bersama yang diwariskan secara turun temurun. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, yang mengindikasikan bahwa budaya masyarakat Sunda bersumber dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai ajaran Islam, sehingga melahirkan ungkapan bahwa “Sunda adalah Islam.” Kenyataan adanya kelompok yang bukan Muslim tetapi mereka masih bagian dari dan mengaku sebagai orang Sunda menunjukkan keterbatasan model pemikiran di atas. Tulisan ini berupaya membahas wacana “Sunda adalah Islam” dengan menggunakan teori identitas sebagai suatu kategori etnik, problematika dan implikasi yang mungkin ditimbulkannya. Abstract: Islam, Ethnicity and the Politics of Identity: The Sundanese Case. In the framework of structural-functionalist thought, society is depicted to constitute from structures belonging to separate function that create harmonious equilibrium based on social solidarity founded in collective norms and values. Accordingly, the Sundanese community is also bound by their communal cultural values received through their ancestors. The majority of the Sundanese are Muslims which indicate that their social culture originates from, or in line with, the values of Islamic teachings that led to the expression that “Sunda is Islam”. The fact that there exist groups of Sundanese who are non-Muslim but they still belong to and convicted to be Sundanese show the shortcomings of the above-mentioned model of thought. This writing is an attempt to discuss “Sunadanese Is Islam” discourse by utilizing identity theory as an ethnic category, problems and implication that minght be drawn there in.

Kata Kunci: antropologi, Sunda, Islam, etnisitas, politik identitas

407


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Pendahuluan Sebagian orang memahami bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu dan mereka membentuk masyarakat melalui ikatan kontrak sosial. Emile Durkheim (18581917)1 justru memandang bahwa tidak ada individu yang lahir dari belah batu dan terasing dari masyarakat. Sebaliknya, setiap individu lahir dari sebuah keluarga dan besar di tengahtengah masyarakat. Konsekuensi metodologis dari pandangan Durkheim ini ialah bahwa setiap penelitian sosial harus meletakkan perhatiannya pertama-tama pada masyarakat, yaitu adanya fakta-fakta sosial yang mengikatnya dan bersifat memaksa kepada setiap individu tersebut. Sebagai contoh, individu yang lahir dari orang-orang Sunda akan diperkenalkan dan dipaksa untuk berbicara bahasa Sunda, berperilaku menggunakan standar norma dan etika masyarakat Sunda, dan jika kebetulan orang tuanya beragama Islam, maka ia akan diperkenalkan tentang agama Islam dan diajari melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang dipeluk oleh kedua orang tuanya dan masyarakat di sekitarnya. Dalam konteks agama Islam, apa yang dikatakan Durkheim di atas mengingatkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan bahwa “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.� Sekalipun Rasulullah menyatakan hal tersebut dalam konteks agama, tetapi boleh jadi yang dimaksud beliau mencakup wilayah yang lebih luas, yaitu aspek-aspek budaya lainnya seperti bahasa dan norma. Mengapa masyarakat terintegrasi? Terhadap pertanyaan ini, Durkheim menjelaskan bahwa suatu masyarakat terintegrasi karena pada setiap masyarakat terdapat fakta-fakta sosial yang berfungsi mengikat setiap individu yang menjadi anggota ke dalam masyarakat tersebut. Fakta sosial ini dapat berupa aturan-aturan, norma-norma, dan tradisi yang secara kolektif berlaku atau dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan (conscience collective). Selanjutnya, fakta-fakta sosial ini menjadi semacam pegangan hidup bersama, dan karena menjadi pegangan bersama maka ia memiliki sifat memaksa. Artinya, setiap individu harus berperilaku sesuai dengan aturan dan norma-norma yang terdapat pada masyarakatnya. Karena kalau tidak demikian, maka ia akan menghadapi sanksi atau ancaman hukuman dari masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi individu yang ingin selamat dan memperoleh rasa aman kecuali tetap bergabung dengan masyarakat dan mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang ada yang dipaksakan oleh masyarakat tersebut. Herbert Spencer (1820-1903)2 mengidentikkan masyarakat dengan suatu organisme. Sebagai sebuah organisme, masyarakat terdiri dari bagian-bagian di mana setiap bagian Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Cet. 1 (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 158. 2 Paul Buhanan and Mark Glazer (ed.), High Points in Anthropology (New York: Alfred A. Knopf, 1988), h. 7. 1

408


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

memiliki fungsi tersendiri. Apabila setiap bagian yang masing-masing membangun struktur sosial berfungsi dengan baik, maka secara otomatis struktur-struktur itu akan membentuk bangunan masyarakat yang utuh. Sebaliknya, apabila ada bagian atau struktur sosial yang tidak berfungsi dengan baik, maka ia akan menjadi beban atau bahkan penyakit bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga akibat yang paling buruk yang mungkin terjadi adalah bagian tersebut harus diamputasi. Pandangan Spencer dan Durkheim ini kemudian melahirkan sebuah teori, yang dalam Sosiologi dan Antropologi dikenal dengan teori StrukturalFungsionalisme. Terdapat sebuah ungkapan di kalangan masyarakat Sunda yang menyatakan bahwa “Sunda adalah Islam,” sebuah ungkapan yang, kurang lebih maknanya sama, juga dapat ditemukan di kalangan orang-orang Melayu,3 Minang, dan juga Aceh. Akan tetapi, identifikasi demikian ternyata bukan tanpa masalah, karena identifikasi tersebut berimplikasi, paling tidak, pada kesimpulan sederhana tapi menyesatkan bahwa orang Sunda pasti beragama Islam. Di lain pihak, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua orang Sunda beragama Islam. Identitas adalah konstruksi sosial, yaitu bahwa identitas dikonstruksi oleh masyarakat dan dalam proses ini berkaitan erat dengan pemilahan siapa aku dan siapa kamu, siapa kita (we) dan siapa mereka (them).4 Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas ini menyangkut proses inklusi-eksklusi. Dalam konteks ini, identifikasi “Sunda adalah Islam” dapat berarti bahwa orang Sunda harus beragama Islam dan seperti dikemukakan Ekadjati,5 akan menjadi aneh apabila ada orang Sunda yang tidak beragama Islam. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan orang-orang Sunda yang beragama selain agama Islam, apakah dengan begitu berarti mereka sudah tidak menjadi orang Sunda lagi? Pertanyaan selanjutnya adalah adakah makna di balik pernyataan atau ungkapan tersebut, apa yang melatarbelakanginya, dan tujuan apa kira-kira yang hendak dicapainya. Dengan latar belakang masalah di atas, maka tulisan ini akan membahas pertamatama tentang arti dari pernyataan “Sunda adalah Islam,” alasan-alasan yang menyertainya, dan upaya-upaya politik mempertahankannya. Selanjutnya, akan dibahas tentang masalah Sunda itu sendiri sebagai suatu kategori “etnik,” problematika dan implikasi yang mungkin ditimbulkannya. Konsekuensi dari identifikasi semacam itu sangat luar biasa, karena secara logika berarti bahwa orang Sunda harus beragama Islam dan bahwa orang Sunda yang tidak memeluk agama Islam bukanlah orang Sunda, dan ini berarti adanya eksekusi terhadap 3 Jacob Sumardjo, “Islam dan Sunda dalam Mitos: Pandangan Manusia Sunda Masa Kini Hubungannya dengan Islam,” dalam dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 122. 4 Fiona Bowie, The Anthropology of Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 2001), h. 71. 5 Edi S. Ekadjati, “Islam: Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 81.

409


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 orang-orang Sunda lainnya. Terakhir, dalam kaitannya dengan aspek-aspek sejarah, geografis, serta budaya tersebut kemudian akan dibahas relevansi pernyataan “Sunda adalah Islam” dalam konteks hubungan antar etnik di Indonesia.

Seperti Gula dengan Manisnya Istilah lain yang memiliki pengertian yang sama dengan ungkapan “Sunda adalah Islam” adalah perumpamaan yang populer dalam bahasa Sunda bahwa orang Sunda dan agama Islam itu ibarat gula jeung peueutna, yaitu seperti gula dengan rasa manisnya. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hubungan antara orang-orang Sunda dengan Islam sangatlah erat, sehingga bahkan karena eratnya, keduanya tidak dapat dipisahkan lagi, karena meskipun tidak setiap yang manis itu gula, tetapi tidak ada gula yang rasanya tidak manis. Terkait dengan ungkapan “Sunda adalah Islam” di atas, Kahmad, dalam makalahnya yang berjudul “Agama Islam dan Budaya Sunda,”6 mengatakan bahwa antara kebudayaan Sunda dengan ajaran agama Islam memang sulit dipisahkan. Hal ini karena, menurut Kahmad, orang-orang Sunda dapat menerima dengan mudah ajaran-ajaran agama Islam. Penerimaan Islam dengan mudah oleh orang-orang Sunda ini selain dimungkinkan oleh adanya cara dakwah Islam yang telah disampaikan melalui pendidikan ketimbang penaklukan, juga karena karakter agama Islam yang tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda, yaitu bersifat sederhana, dan Islam yang masuk ke tataran Sunda telah dibungkus oleh kebudayaan Timur yang tidak asing lagi bagi orang-orang Sunda. Karena itu, proses Islamisasi masyarakat Sunda dapat berjalan dengan mulus dan lancar. Dengan kata lain, meskipun agama Islam berasal dari luar, tetapi karena unsur-unsurnya terdapat kesesuaian, maka Islam dapat diterima dengan kedua belah tangan terbuka oleh orang-orang Sunda, sehingga terjadilah proses asimilasi dan akulturasi antara berbagai budaya yang membungkus Islam dengan nilai-nilai budaya lokal Sunda. Umpamanya, sekalipun secara tradisi masyarakat Sunda masih melaksanakan upacara-upacara adat seperti babarit (upacara kehamilan) empat bulan atau tujuh bulan, memperingati kematian tiga hari (tiluna), tujuh hari (tujuhna), empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (natus), dan seterusnya, tapi upacara-upacara tradisional tersebut telah dipadukan dengan doa-doa yang bersumber pada ajaran agama Islam. Karena telah terjadi perpaduan antara ajaran Islam dan nilai-nilai budaya Sunda itulah, maka kini antara keduanya sulit untuk dipisahkan, ibarat gula jeung peueutna (gula dengan manisnya). Alwasilah,7 membuat rincian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Disajikan pada International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values yang diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of Religion and Society) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of America, The Islamic College, dan MIZAN tanggal 9 Januari 2009. 7 Chaedar Alwasilah, “Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 6

410


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

Sunda yang ditemukan dalam peribahasa, idiom-idiom, ungkapan-ungkapan yang populer di kalangan masyarakat Sunda, yaitu: 1. Manusia harus memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupannya. 2. Manusia adalah bagian kecil dari alam semesta, karena itu harus melestarikan alam dan jangan merusaknya supaya mendapat keuntungan daripadanya. 3. Manusia harus menyadari dan belajar dari alam, masyarakat, dan Tuhan. 4. Manusia memerlukan guru yang mengajari mereka tentang yang baik dan yang buruk. 5. Manusia harus belajar dari, terutama, orang tua dan kemudian dari orang lain. 6. Manusia harus menjaga dan menghormati nilai-nilai yang ada yang masih relevan sebagai petunjuk. 7. Manusia harus mencontoh orang tua dan leluhur dalam melakukan tradisi, sehingga orang tua harus memberikan contoh sebagai model perilaku yang baik. 8. Manusia harus memperhatikan kearifan-kearifan tradisional dalam menghadapi masa yang akan datang. 9. Manusia harus ingat pada kehidupan setelah mati. 10. Manusia harus saling menghormati, melaksanakan etika, bicara dan berperilaku sopan dan ramah. 11. Manusia harus melindungi yang lemah secara ekonomi, berpihak pada yang benar, dan bertindak tegas. 12. Manusia dianugrahi kekuatan oleh Tuhan, sehingga mereka harus tunduk kepada-Nya. 13. Manusia harus memiliki sifat-sifat ikhlas, sabar, cerdas, jujur, waspada, dan mental bertanggung jawab. 14. Manusia harus memperlihatkan sikap siger tengah (tidak bersikap keterlaluan). 15. Manusia harus memiliki sifat-sifat ideal seperti hurip (penuh semangat), waras (sehat fisik), cageur (sehat mental), bageur (baik pada sesama), bener (benar), pinter (pintar), ludeung (berani), silih asah (saling mengingatkan), silih asih (saling mencintai), dan silih asuh (saling menjaga). Menurut Alwasilah, nilai-nilai budaya Sunda sebagaimana yang diungkapkannya di atas ternyata sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Keterkaiatan erat antara agama Islam dengan budaya Sunda ini bahkan mengantarkan Ekadjati8 kepada kesimpulan yang dinyatakan secara mencolok dalam judul tulisannya yaitu “Islam: Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda.� Kesimpulan demikian diperoleh Ekadjati berdasarkan alasan adanya fakta bahwa sementara orang-orang Sunda dapat diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of Religion and Society) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of America, The Islamic College, dan MIZAN, 9 Januari 2009. 8 Ekadjati, Islam: Agama Pilihan Utama, h. 81.

411


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 dengan mudah menerima agama Islam, tetapi ternyata tidak demikian halnya terhadap agama-agama yang lain. Hal ini dibuktikan ketika kolonial Barat memperkenalkan agama Nasrani kepada mereka, tetapi mereka tetap tidak tergoda. Kesimpulan Ekadjati di atas tampaknya diperkuat oleh bukti adanya laporan yang merupakan hasil analisis para misionaris Belanda, J. Verhoeven, yang membandingkan antara karakter orang-orang Sunda dan orang Jawa, dan P.N. Gijsman. Menurut Verhoeven, orang-orang Jawa dalam keberagamaan memang kurang taat, namun dalam hal bekerja mereka termasuk orang-orang yang rajin dan ulet. Sebaliknya, orang-orang Sunda termasuk orang-orang yang malas bekerja, namun dalam hal keberagamaan mereka adalah orangorang yang taat. Karena ketaatannya kepada agama Islam itulah, maka orang-orang Sunda sangat antusias untuk melaksanakan ibadah haji dan masyarakat Sunda termasuk salah satu kelompok yang mengirim rombongan jemaah haji yang terbanyak. Gijsman, bahkan, mengatakan bahwa Islam bagi masyarakat Sunda sudah bukan lagi hanya sekedar bungkus, tapi sudah menjadi jiwa dalam tata perilaku dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Karena itu, para misionaris Belanda tersebut sampai kepada kesimpulan bahwa Kristenisasi di kalangan masyarakat Sunda sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin.9 Contoh lain adalah Gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Sekar Marijan Kartosuwiryo, menjadikan basis gerakannya di tatar Sunda, yaitu di Garut. Kartosuwiryo adalah orang Jawa yang menikah dengan gadis dari Kecamatan Malangbong, Garut. Ia kemudian berhasil menyebarkan pengaruhnya hampir di seluruh wilayah Priangan. Keberhasilan gerakan Katosuwiryo erat kaitannya dengan fakta bahwa masyarakat Sunda, khususnya Priangan, adalah orang-orang yang memiliki semangat keagamaan yang kuat yang menginginkan tegaknya syariat Islam. Salah satu indikatornya adalah bahwa pada Pemilu tahun 1955, dua partai yang berlandaskan agama Islam, yaitu Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), memperoleh suara yang sangat signifikan di Priangan dibandingkan dengan partaipartai lainnya. Amin Mudzakkir dalam tulisannya berjudul Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan, dengan mengutip Herbert Feith (1999: 97), mengemukakan tabel perbandingan perolehan suara antara lima partai besar di Priangan sebagai berikut:10 Partai

Suara Parlemen

Konstituante

Perbedaan

PNI

1. 541. 927

1. 586. 507

+44. 580

Masyumi

1. 844. 442

1. 761. 406

- 83. 036

NU

673. 466

692. 755

+19. 289

PKI

755. 643

827. 858

+72. 215

PSII

393. 174

384. 790

- 8. 384

De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-1963, doc. 97, h. 208 dan doc. 48, P.N. Gijsman, h. 144-5. 10 http://penelitianku.wordpress.com/2009/03/04/islam-priangan-pergulatan-identitasdan-politik-kekuasaan. 9

412


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

Pada masa sekarang, khususnya masa reformasi dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah (Otda), ekspresi keberagamaan masyarakat Sunda yang kuat itu di beberapa daerah dinyatakan dalam bentuk dibuatnya Peraturan Daerah (Perda). Dua daerah yang sangat bersemangat mengekspresikan agama Islam dalam bentuk penegakkan syariat Islam lewat Perda tersebut, menurut Mudzakkir, adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya. Di Cianjur, Wasidi Swastomo, sejak proses pengajuan calon Bupati, merupakan satusatunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan “syariat Islam.” Ketika akhirnya ia terpilih menjadi Bupati Cianjur untuk periode 2001-2006, maka pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001, ia pun memenuhi janjinya dengan mendeklarasikan “Gerbang Marhamah” (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Kemudian, melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 Wasidi membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang beranggotakan tokoh-tokoh kiai dan aktivis politik Muslim dan bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan “syariat Islam” di Cianjur. Langkah selanjutnya, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu mencakup (1) Membiasakan/membudayakan salat berjamaah terutama pada saat jam kerja (zuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswah al-hasanah). Bupati Cianjur berikutnya, Tjetjep Muhtar Sholeh, memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah yang diajukan oleh Bupati Wasidi sebelumnya. Maka, Raperda Gerbang Marhamah disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Bupati pun mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan Perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarus al-Qur’an. Di Kabupaten Tasikmalaya, sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap Pemerintah Daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan, kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa “syariat Islam” ke dalam renstra. Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Akan tetapi, terdapat bagian yang kontroversial dalam Perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan, yaitu adanya pencantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sekalipun begitu, Bupati Tasikmalaya tetap mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan sebagai 413


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 bentuk realisasi dari visi Kabupaten Tasikmalaya yang religius/Islami tersebut. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/2001, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/ 2003 di mana visi Kabupaten Tasikmalaya mengalami sedikit perubahan, namun masih tetap mempertahankan nuansa ke-Islam-an, menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Dikaitkan dengan visi Kabupaten Tasikmalaya yang tercantum dalam renstra, yaitu sebagai kabupaten yang “religius/Islami,” maka peraturan-peraturan tersebut dipandang sebagai “Perda Syariat.” Tetapi dengan peraturan-peraturan semacam itu, maka kemudian dapat dipertanyakan bahwa apakah dengan demikian Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya mencerminkan keterkaitan antara ajaran agama Islam dengan nilai-nilai budaya Sunda? Atau justru sebaliknya, hal itu mencerminkan bahwa terdapat kesenjangan antara orang-orang Sunda di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya dengan ajaran Islam, sehingga mereka harus disatukan (atau: dipaksa bersatu!) lewat perdaperda tersebut.

Mana yang Sunda? Di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia, etnik Sunda merupakan etnik nomor dua terbesar setelah etnik Jawa. Menurut Wikipedia, jumlah etnik Sunda adalah 31 juta dan mayoritas orang Sunda beragama Islam. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 jumlah pemeluk agama Islam di Jawa Barat sebanyak 37.606.317 yang, seperti dikatakan Kahmad, membentuk 98% dari seluruh penduduk Jawa Barat yang beretnik Sunda. Persoalannya sekarang adalah apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Jawa Barat merepresentasikan etnik Sunda dan bahwa “Sunda adalah Islam”? Karena, Wikipedia tidak hanya menempatkan etnik Sunda secara geografis di daerah Jawa Barat, tetapi juga di Banten dan Jakarta. Persoalan selanjutnya adalah manakah dan siapakah yang dimaksud dengan “Sunda”? Sebelum memisahkan diri dan menjadi provinsi sendiri tahun 2000, Banten memang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat, sehingga dapat dimengerti pernyataan bahwa mayoritas etnik Sunda terdapat di Jawa Barat. Sekalipun telah terpisah dari provinsi Jawa Barat, tetapi karena di Banten sendiri terdapat komunitas yang mengaku dirinya sebagai orang Sunda, maka dapat dimengerti kalau orang Sunda tidak hanya terdapat di Jawa Barat, tetapi juga di Banten. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak di Banten, misalnya, adalah komunitas warisan dari Kerajaan Sunda, yaitu Pakuan Pajajaran, yang mengasingkan diri bersamaan dengan terjadinya proses Islamisasi di tanah Sunda.11 Desa Kanekes terdiri dari 3 kampung utama yang terletak di 11 Dadan Wildan, “Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 86-87. Bandingkan dalam Harian Pikiran Rakyat (26 Maret 2003).

414


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

daerah Baduy Dalam (Kajeroan), yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, dan 28 kampung lainnya serta 8 kampung babakan (pemekaran) yang tersebar di wilayah Baduy Luar (Panamping, Pasisian).12 Tidak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya orang-orang Sunda bertempat tinggal di Pulau Jawa bagian barat, tetapi mengidentikan Jawa Barat (termasuk Banten) dengan Sunda tidaklah tepat. Karena ternyata pada umumnya penduduk di pantai utara daerah Jawa Barat maupun Banten berasal dari dan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi. Sebaliknya, dapat ditemukan komunitas Sunda di bagian barat provinsi Jawa Tengah, seperti di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Selain itu, Jakarta, yang dikatakan dalam Wikipedia juga sebagai daerah yang secara dominan etnik Sunda, beserta kota-kota besar lainnya di Jawa Barat dan Banten sekarang cenderung dihuni oleh penduduk campuran dari berbagai etnik. Identifikasi Sunda dengan bahasa pun bukan tanpa masalah. Hasbullah pernah mengungkapkan keluhannya tentang adanya dampak dari kehidupan multi-etnik di kotakota besar seperti di atas terhadap penggunaan bahasa Sunda di tanah Sunda. Menurutnya, terdapat kecenderungan di mana orang-orang Sunda di kota-kota besar, khususnya di Jawa Barat, lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi daripada menggunakan bahasa Sunda. Disebutkan bahwa dengan alasan gengsi dan takut dianggap tidak modern, maka keluarga orang-orang Sunda pun kini tidak suka lagi menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan dengan anak-anak mereka, sehingga kemudian anakanak mereka pun canggung berbahasa Sunda dan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan teman-temannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa mereka lebih merasa akrab memanggil “papih-mamih,” “papah-mamah,” “ayah-ibu,” kepada kepada orang tuanya dari pada memanggil mereka dengan sebutan “abah-ambu,” “emaapa” atau “indung-bapa.”13 Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi selain menyebabkan globalisasi yang menjadikan ruang menjadi sempit dan waktu menjadi pendek juga menyebabkan terjadinya deteritorialisasi. Seperti dikemukakan di atas, mengidentifikasi Jawa Barat dan Banten dengan Sunda selain bermasalah karena secara geografis Jawa Barat dan Banten tidak hanya dihuni oleh orang-orang Sunda, juga banyak orang-orang Sunda sekarang tidak lagi terkungkung oleh batas-batas geografis. Dapat juga ditemukan orang-orang Sunda di Jawa bagian Tengah maupun Timur, di Sumatra, Kalimantan, bahkan di Papua dan di luar negri. Seperti kebanyakan etnik lainnya, mereka pun rata-rata mengaku beragama Islam. A. Suhandi Sam, et al., Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986), h. 10. 13 Moeflich Hasbullah, “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 127. 12

415


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Tetapi apakah karena pengakuan mereka beragama Islam lantas dapat secara sederhana dikatakan bahwa “Sunda adalah Islam”? Bagaimana pun angka 98% yang menyatakan bahwa penduduk Jawa Barat beragama Islam, seperti yang dikatakan Kahmad,14 atau, sebagaimana dikatakan Ekadjati bahwa 95% orang Sunda menganut agama Islam,15 tetap menyisakan ruang kemungkinan bagi adanya orang-orang Sunda yang memeluk agama di luar Islam. Baik Kahmad maupun Ekadjati, begitu juga penulis dan peneliti tentang Sunda lainnya, mengakui bahwa di samping Islam, yang dipeluk secara mayoritas, juga terdapat agama-agama lain yang menjadi anutan orang-orang Sunda. Sunda Wiwitan, yaitu agama karuhun (nenek moyang) masyarakat Sunda, misalnya, masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Sunda. Begitu pun sebagian masyarakat Sunda di Cideres (Majalengka) dan Cikembar (Sukabumi) menganut agama Katolik dan Protestan. Bahkan, penganut Kebatinan atau Penghayat Kepercayaan pun dapat ditemukan dalam masyarakat Sunda Cigugur (Kuningan) dan Ciparay (Bandung). Fakta-fakta di atas memperlihatkan betapa problematis dalam mengidentifikasi yang namanya “Sunda.” Secara geografis, Jawa Barat dan Banten tidak lagi dihuni oleh manusia Sunda, dan orang-orang Sunda sudah tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Begitu pula dalam perspektif bahasa. Sekalipun di daerah-daerah yang relatif homogen orangorang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi, tetapi di daerahdaerah urban sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Sunda lagi. Pelajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah kurang diminati, apalagi oleh anak-anak yang dilahirkan dari proses perkawinan etnik campuran (anomali). Lantas, bagaimanakah dengan identifikasi bahwa “Sunda adalah Islam”?

Sunda: Antara Pajajaran, Majapahit, Banten dan Cirebon Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pengkonstruksian identitas berkaitan erat dengan proses inklusi-eksklusi. Ini berarti pula bahwa identitas merupakan aspek relasional, yaitu terjadi dalam hubungan dan interaksi sosial di mana suatu kelompok sosial akan mengidentifikasi dirinya dalam hubungannya dengan kelompok atau golongan lain (others), sehingga masing-masing saling mengidentifikasi. Proses pengidentifikasian ini terjadi dalam situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas dilakukan secara kontekstual sehingga apabila situasi dan kondisi berubah, maka otomatis konstruksi identitas pun akan mengalami perubahan.16 Sekalipun hubungan dan interaksi sosial mengDadang Kahmad, “Agama Islam dan Budaya Sunda,” makalah disampaikan pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 9 Januari 2009; Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010). 15 Ekadjati, Islam: Agama Pilihan Utama, h. 81. 16 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives (London: Pluto Press, 1995), h. 62. 14

416


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

andaikan keseimbangan, tetapi kenyataan sering kali memperlihatkan adanya ketidaksetaraan. Dalam hal ini, maka hubungan antar kelompok sosial kerap ditandai oleh adanya persaingan, kontestasi, resistensi, dan bahkan konflik. Secara historis, Pajajaran adalah kerajaan Sunda terakhir dengan rajanya yang terkenal yaitu Prabu Siliwangi. Namun cikal bakal kerajaan ini adalah Kerajaan Sunda di Pakuan (Bogor) dan Kerajaan Galuh di Kawali (Ciamis) yang dipersatukan di bawah kekuasaan Rakeyan Jamri, pewaris tahta Kerajaan Galuh, yang menikah dengan Tejakencana, Putri Mahkota Kerajaan Sunda, dan berkuasa antara tahun 723-732 dengan ibukotanya di Kawali (Ciamis). Di bawah kekuasaan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa antara tahun 1482-1521, ibukota kerajaan dipindahkan ke Pakuan (Bogor). Menurut prasasti Batutulis, Sri Baduga Maharaja, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi, mendirikan parit sebagai benteng pertahanan mengelilingi ibukota kerajaan. Karena Pakuan, ibukota Kerajaan Sunda, ini berada sejajar dengan dua buah sungai, yaitu Ciliwung dan Cisadane, maka nama kerajaan pun berubah menjadi Pakuan Pajajaran. Karena itu, kerajaan ini sering disebut Kerajaan Pakuan atau, lebih dikenal lagi, Kerajaan Pajajaran. Selain memindahkan ibukota dari Kawali ke Pakuan dan membangun benteng pertahanan yang kuat, Prabu Siliwangi juga berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dan keamanan. Di bawah kekuasaannya pula masyarakat Sunda dapat merasakan kesejahteraan dan menikmati kemakmuran, sehingga zaman Siliwangi kerap dianggap sebagai zaman keemasan Kerajaan Sunda Pajajaran. Karena alasan itu pulalah, Prabu Siliwangi mendapat tempat istimewa di hati sebagian masyarakat Sunda. Akan tetapi, sejarah Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran bukanlah awal dan akhir cerita. Sebelumnya telah bertahta raja-raja lain dengan riwayatnya sendiri. Prabu Maharaja Lingga Buana naik tahta di kerajaan Sunda Galuh di Kawali (Ciamis) pada tahun 1340. Meskipun menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Parwa II Sarga 3, terdapat hubungan darah antara Kerajaan Sunda Galuh dan Kerajaan Majapahit, sehingga raja-raja Majapahit enggan untuk menaklukan kerajaan Sunda, tetapi ambisi Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit untuk menyatukan kedua kerajaan di Pulau Jawa tersebut telah membawa orang Sunda kepada perasaan malu dan terhina serta memandang dengan sebelah mata terhadap orang-orang Jawa. Ketika Raja Hayamwuruk (berkuasa 1350-1389) dari Majapahit menyatakan keinginannya untuk mempersunting Dyah Pitaloka alias Citraresmi, putri Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan Sunda Galuh, kesempatan ini dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh Patih Gajahmada. Dengan tipu dayanya Maharaja Lingga Buana beserta keluarga kerajaan tidak menanti kedatangan Hayamwuruk yang akan mempersunting putrinya, melainkan mereka berangkat mengantarkan Sang Putri ke Majapahit. Akan tetapi, sebelum sampai di ibukota kerajaan Majapahit, rombongan Kerajaan Sunda Galuh tersebut beristirahat dan mendirikan perkemahan, yaitu di daerah Bubat, sambil menunggu waktu pernikahan dan jemputan dari Majapahit. Rombongan dari Majapahit memang datang, tetapi bukan untuk menjemput Sang 417


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Putri dan keluarganya dari Kerajaan Sunda Galuh. Pada kesempatan itu, malahan Gajahmada menyampaikan tuntutan kepada Kerajaan Sunda Galuh untuk takluk kepada Majapahit, dan alih-alih Dyah Pitaloka akan dijadikan permaisuri ia dianggap sebagai upeti atas takluknya Kerajaan Sunda Galuh tersebut. Merasa dipecundangi, maka keluarga Kerajaan Sunda Galuh tersebut menolak tuntutan Gajahmada, dan ketika Gajahmada dan pasukannya melakukan penyerangan, maka keluarga Kerajaan Sunda Galuh pun, meski pada akhirnya kalah dan luluh lantak, mengadakan perlawanan.17 Dyah Pitaloka sendiri, demi mempertahankan harga diri dan kehormatan keluarga, melakukan tindakan bunuh diri. Itulah sebabnya, maka nama Gajahmada, yang dalam buku-buku sejarah dikatakan sebagai pemersatu kepulauan Nusantara dengan Sumpah Palapanya yang terkenal, dimasukan ke dalam daftar hitam dalam memori masyarakat Sunda, sehingga tidak ada yang namanya Jl. Gajahmada di wilayah orang-orang Sunda. Kerajaan Pajajaran bukanlah satu-satunya kerajaan Sunda yang pernah berdiri di tanah Sunda. Ia hanyalah satu mata rantai dari rangkaian panjang sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah ada yang bermuara pada Kerajaan Tarumanegara yang didirikan oleh Purnawarman pada pertengahan abad 5 M. dan kerajaan ini masih berdiri hingga abad 7 M.18 Pada tahun 670, Tarusbawa, raja ke-13 yang naik tahta tahun 669 menggantikan mertuanya, mengganti nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Setelah itu kerajaan ini pun mengalami pasang surut. Terpecah menjadi Kerajaan Sunda di Pakuan (Bogor) dan Galuh di Kawali (Ciamis); bersatu kembali di bawah kekuasaan Rakeyan Jamri yang dikenal sebagai prabu Harisdarma atau Sanjaya; berganti-ganti ibukota kerajaan dari Galuh ke Pakuan atau sebaliknya. Mengalami masa kejayaan dan keemasan di bawah Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang bertahta dari 1482-1521 dan menjadi raja pertama dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya menderita kehancuran sejak masa Prabu Surawisesa Jayaperkosa alias Ratu Sang Hyang sampai Raja Mulya alias Prabu Surya Kencana, yang dalam Carita Parahyangan dikenal sebagai Nusa Mulya, yang bertahta dari 1567-1579. Patut dikemukakan di sini bahwa sebagai pewaris dan penerus tradisi Tarumanegara, Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi sendiri pada dasarnya adalah kerajaan dan raja Hindu di mana Purnawarman menganggap dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu. Atau, paling tidak perpaduan antara kepercayaan lokal, Sunda Wiwitan, dengan agama Hindu dan Buddha. Kalau Kerajaan Sunda Galuh ditaklukan oleh Majapahit yang sama-sama kerajaan Hindu, maka Pajajaran mengalami kekalahan oleh rangkaian serangan dari Kesultanan Banten dan Cirebon yang Islam. Kesultanan Banten dan Cirebon adalah perpanjangan tangan dari Kerajaan Islam Demak yang kemudian menjadi dua pusat kekuasaan Islam di Jawa Barat. Karena itu, mengiringi kekalahan Kerajaan Pajajaran oleh Kesultanan Banten George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, terj. Winarsih Partaningrat Arifin (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), h. 320. 18 Ibid., h. 88. 17

418


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

maka proses Islamisasi di wilayah Pajajaran pun semakin intens, sehingga akhirnya rakyat Pajajaran menerima dan menjadikan Islam sebagai agama anutan mereka. Meskipun rakyat Pajajaran telah menganut agama Islam, akan tetapi kenangan tentang Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran sebagai raja dan kerajaan Sunda tampaknya sulit dihapuskan dari memori kolektif orang-orang Sunda. Karena itu, menarik dikemukakan di sini apa yang dikatakan oleh Wibisana tentang ambivalensi orang-orang Sunda, bahwa sesungguhnya “junjungan orang Sunda sampai saat ini sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad (bila mereka menempatkan diri sebagai umat Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka sedang menyadari kesundaannya).”19 Menurut hikayat Carita Parahyangan, ketika kerajaan Pajajaran mengalami kemunduran dan kemudian hancur oleh kekuatan Banten yang Islam, ibukota kerajaan sudah tidak lagi bertempat di Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang atau di Keduhejo, Kecamatan Menes. Rakyat kerajaan Pajajaran yang tidak mau menerima agama Islam yang didakwahkan oleh kesultanan Banten inilah yang di kemudian hari menjadi bagian dari orang-orang Sunda dan dikenal sebagai orang-orang Baduy, dan mereka tetap mempertahankan kepercayaan lama dan tradisi leluhur Pajajaran yang kemudian disebut mereka sebagai Agama Sunda Wiwitan. Wildan, mengutip Djatisunda (1992:2-3), mengatakan bahwa orang-orang Baduy menyebut orang-orang Sunda yang beragama Islam sebagai “Sunda Eslam,” yang berarti bahwa sekalipun berbeda agama tetapi secara etnik mereka menganggapnya tidak ada perbedaan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang benar demikian adanya? Bowie mengatakan bahwa batas-batas identitas bersifat contested, yaitu bahwa penarikan batas-batas dilakukan dalam hubungan kontestasi antara berbagai kelompok sosial. Selain ini, bahwa orang-orang Baduy menyebut orang-orang Sunda Priangan sebagai Urang Wetan (Orang Timur). Ini berarti bahwa boleh jadi mereka menganggap orang-orang Sunda Priangan, seperti mereka, sebagai sama-sama orang Sunda. Tetapi istilah “Urang Wetan” bukanlah ungkapan biasa yang tanpa makna. Istilah “Urang Wetan” merupakan stereotype yang dibuat orang Sunda Baduy yang dikenakan terhadap Sunda Priangan untuk membedakan bahwa secara kultural mereka berbeda. “Urang Wetan” berarti orang-orang Sunda yang berada timur (mencakup Bandung, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor) di mana mereka telah mengalami dominasi Majapahit-Hindu dan Mataram-Islam dan, karena itu, budaya mereka telah dipengaruhi kebudayaan Jawa. Kalau orang Sunda Baduy masih mempertahankan cara bercocok tanam padi huma (berladang), maka orang Sunda Priangan dengan cara bersawah; kalau orang Sunda Baduy dalam pergaulan sosial masih memperlihatkan sikap egaliter, maka orang Sunda Priangan lebih bersifat feodal. Wahyu Wibisana, “Pengaruh Islam terhadap Budaya Sunda (Catatan Perbandingan dan Pencerahan,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda (Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati, 2010), h. 95. 19

419


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Adanya proses Islamisasi tatar Sunda yang dilakukan oleh kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon sebagai perpanjangan tangan Demak dan Mataram Islam yang berakibat pada terjadinya “Jawanisasi� terhadap kebudayaan Sunda diakui oleh Kahmad. Ia mengemukakan contoh pengaruh kebudayaan Jawa terhadap kebudayaan Sunda tersebut, selain dalam hal bertani dan pergaulan sosial di atas, juga ditunjukkan oleh adanya undakusuk (tatakrama) dalam bahasa Sunda yang mengindikasikan feodalisme dalam sistem sosial masyarakat Sunda. Undak-usuk dalam bahasa Sunda merupakan pengaruh dari tatakrama bahasa kromo-inggil (ditujukan kepada priyayi) dan ngoko (ditujukan kepada masyarakat biasa) sehingga dalam bahasa Sunda pun dikenal bahasa Sunda lemes (halus) yang ditujukan kepada para menak (priyayi) dan bahasa Sunda kasar yang ditujukan kepada masyarakat biasa.

Berharap pada Provinsi Pasundan Masa reformasi adalah masa euforia kebebasan. Dengan alasan demokratisasi maka rakyat bebas mengemukakan pendapat dan menyatakan kehendaknya. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah sendiri dengan mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah (Otda) untuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dan membaginya dengan pemerintah daerah. Sejalan dengan kebijakan Otda dan kebebasan menyatakan kehendak, maka inisiatif pemekaran wilayah atau daerah pun bermunculan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/ kota, bahkan sampai ke tingkat desa. Di Jawa Barat, salah satu daerah yang berusaha memisahkan diri dan membentuk provinsi sendiri terpisah dari Jawa Barat adalah Banten, yang sebelumnya dikenal sebagai Keresidenan Banten yang mencakup 3 kabupaten (Serang, Pandeglang dan Lebak) dan satu kota Cilegon. Dengan alasan menuntut realisasi janji pemerintah masa Presiden Soekarno dan kurangnya perhatian dari pemerintah provinsi Jawa Barat, maka akhirnya pada tahun 2000 Banten pun berdiri menjadi provinsi sendiri. Wacana pemekaran dan pembentukan provinsi dan kabupaten baru menjadi fenomena umum pasca Reformasi, dan pemekaran wilayah Jawa Barat dengan pembentukan provinsi baru yaitu provinsi Banten merupakan proses pemekaran yang terjadi pada masa-masa awal sekali. Pemisahan Banten dari provinsi Jawa Barat sangat melukai perasaan orangorang Sunda, khususnya di Priangan, bukan hanya karena pemerintah provinsi Jawa Barat telah berusaha memberikan perhatian yang lebih dengan melakukan pembangunan untuk kemajuan Banten, melainkan lebih disebabkan oleh faktor sentimen etnisitas di mana Banten dan Jawa Barat sama-sama daerah mayoritas etnik Sunda. Dalam konteks hubungannya dengan etnik Jawa perpisahan Banten dengan Jawa Barat menjadi pukulan tersendiri dan menorehkan rasa malu berikutnya pada sejarah orang-orang Sunda. Memang di kalangan etnik Jawa pun terdapat desakan di beberapa daerah untuk membentuk provinsi sendiri terpisah dari provinsi-provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sudah ada, seperti provinsi Banyumas, Daerah Istimewa Surakarta, provinsi Muria Raya, provinsi Jawa Utara, dan 420


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

provinsi Madura. Tetapi hal itu hanya menjadi wacana yang sampai sekarang tidak pernah terjadi. Setelah Banten memisahkan diri, sebagian orang Sunda berusaha memunculkan lagi isu ke-Sunda-an. Dengan mengemukakan alasan bahwa provinsi Jawa Barat sekarang tidak lagi berada di bagian barat Pulau Jawa dan mengenang kembali nama “Pasundan” pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), mereka pun mengajukan untuk mengganti nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi Pasundan. “Pasundan” berarti hal-hal yang berkaitan dengan Sunda dan, karena itu, dengan nama “Pasundan” diharapkan memberikan kesan khusus terhadap orang lain yang mendengarnya. Seperti nama “Priangan” atau “Parahyangan” yang menyiratkan tentang keindahan alam tatar Sunda sebagai tempat bersemayamnya para dewa (hyang) yang hidup di alam surgawi. “Pasundan” memang pernah menjadi nama dari sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu “Negara Pasundan.” “Negara Pasundan” adalah bentukan Belanda pada tanggal 24 April 1948 yang secara historis dianggap sebagai upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia. Karena itu, ketika “Negara Pasundan” didirikan, masyarakat Sunda terpecah. Sementara orang-orang Sunda Priangan menerima, tetapi orang-orang Sunda Banten menolaknya. Ketika Presiden Soekarno mengembalikan bentuk negara federasi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Banten mendukung kebijakan politik tersebut. Itulah sebabnya Presiden Soekarno merasa “berutang budi” dan berjanji kepada Banten untuk menjadikannya sebuah provinsi. Dalam pandangan orang Sunda Banten, keinginan orang-orang Sunda Priangan mengambil kembali nama “Pasundan” sebagai nama provinsi Jawa Barat dengan merujuk kepada sejarah “Negara Pasundan” justru menyiratkan sejarah kelam Sunda itu sendiri. Provinsi Pasundan memang kemudian tidak terwujud. Tetapi tidak teralisasinya provinsi Pasundan ternyata bukan karena bercermin pada sejarah masa lalu, melainkan karena adanya resistensi dari Cirebon. Keresidenan Cirebon yang mencakup Ciayumajakuning (Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indaramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan) menolak adanya usaha penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi Pasundan, dan seandainya usaha tersebut terus dilakukan maka mereka mengancam akan memisahkan diri dan membentuk provinsi sendiri. Sekalipun telah membentuk presidium dan pembentukan provinsi Cirebon telah dideklarasikan, namun kemudian provinsi itu ternyata tidak terbentuk, begitu pula provinsi Pasundan. Masyarakat di Wilayah Cirebon, khususnya Kota dan Kabupaten Cirebon serta Kabupaten Indramayu, kebanyakan adalah orang-orang Jawa. Karena itu, sekalipun Cirebon terletak di Jawa Barat yang didominasi oleh orang-orang Sunda, tetapi bagi orang-orang Cirebon nama “Pasundan” dianggap terlalu eksklusif. Selain itu, sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat Cirebon memiliki kebanggaan tersendiri dan ini menjadi bagian dari alat bagi orang-orang Jawa Cirebon untuk bernegosiasi dalam kancah wacana pembentukan provinsi Pasundan. 421


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Di lain pihak, gagalnya pembentukan provinsi Cirebon ternyata bukan karena gagalnya penggantian nama provinsi Pasundan, sehingga orang-orang Cirebon merasa masih terakomodasi dalam provinsi Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan dalam Berita Cirebon, gagalnya pembentukan provinsi Cirebon ternyata lebih disebabkan adanya penolakan untuk bergabung dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.20 Meski alasan yang dikemukakan Yudi Budyana, Ketua DPRD Kuningan, bahwa penolakan Kabupaten Kuningan bukan karena perbedaan kultur, melainkan terlalu dini, emosional, dan cenderung mengandung muatan politik dari pihak-pihak yang kecewa, tetapi tampaknya nuansa perbedaan etnik dan budaya tetap berperan. Mayoritas penduduk Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka adalah etnik Sunda. Sementara itu, masyarakat di Kota dan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu didominasi oleh etnik Jawa. Orang-orang Jawa di Wilayah Cirebon sendiri sebenarnya berada di persimpangan jalan, karena meski mereka Jawa tetapi kultur dan bahasa Jawa mereka ternyata sangat berbeda dengan kultur dan bahasa Jawa daerah lainnya.21 Mereka tampaknya menyadari hal itu. Karena itu, mereka lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai “orang Cirebon” dari pada sebagai orang Jawa, sehingga dalam Sensus Penduduk Tahun 2000 terdapat kategori kelompok etnik “Cirebon.”22

Nasib Orang yang Tidak Putus Dirundung Malang Apabila, seperti dikemukakan Wildan di atas, orang-orang Sunda Baduy yang mempertahankan Agama Sunda Wiwitan masih menganggap orang-orang Sunda yang beragama Islam sebagai sama-sama orang Sunda, tetapi mengapa orang-orang Sunda yang beragama Islam mengidentifikasi “Sunda” dengan “Islam”? Seperti dikemukakan di atas, secara kuantitas etnik Sunda adalah etnik nomor dua terbesar. Sekalipun demikian, jarang orang-orang Sunda yang muncul dalam percaturan sosial dan politik Indonesia. Dalam kaitannya dengan masalah ini menarik untuk disimak apa yang dikatakan Hasbullah dalam tulisannya di atas bahwa sejarah Sunda adalah sejarah kekalahan: Secara historis, sejarah Sunda –dibandingkan dengan Jawa misalnya- adalah sejarah yang kalah. Kerajaan-kerajaan Sunda seperti Tarumanegara, Galuh, Pajajaran dan Sumedang Larang, adalah kerajaan-kerajaan lokal dan tidak ekspansionis sehingga tidak memiliki supremasi besar seperti luasnya pengaruh dan banyaknya taklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Sunda adalah taklukan kerajaan Majapahit, Mataram Berita Cirebon, 10 Maret 2009 dan 19 Agustus 2009. Seorang teman dari Solo pernah menceritakan pengalamannya ketika ia bertandang ke Cirebon. Ia mengatakan bahwa ia merasa asing dan ketika berkomunikasi, ia tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang-orang Cirebon. 22 Leo Suryadinata, et al., Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), h. 7. 20 21

422


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

dan Demak. Identitas asli kebudayaan Sunda pun karam dalam hegemoni kebudayaan yang lebih besar seperti Jawa, Islam dan Barat.23 Dari pernyataan Hasbullah di atas maka dapat dikatakan bahwa, kecuali orangorang Baduy yang dianggap sebagai pewaris dan penerus budaya Sunda Pajajaran dengan agama Sunda Wiwitannya, orang-orang Sunda pada umumnya mengalami kehilangan identitas setelah mengalami penaklukan yang terus menerus oleh kerajaan-kerajaan Jawa sejak sebelum zaman Majapahit, Banten dan Cirebon. Penaklukan oleh Demak dan Mataram Islam memang membawa dampak pada diperkenalkannya agama Islam pada masyarakat Sunda sehingga terjadi proses Islamisasi Sunda. Akan tetapi, seperti dikatakan Kahmad, Islamisasi Sunda ini ternyata tidak lepas dari proses Jawanisasi sehingga secara kultural budaya Sunda pun mengalami “kontaminasi.” Kekalahan secara politik dan budaya masa silam ini berakibat pula pada kalahnya orang-orang Sunda masa kini dalam konteks percaturan politik-kekuasaan nasional. Pada masa kolonial Bandung pernah menjadi semacam kawah candradimuka bagi orangorang yang aktif dalam bidang politik. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh kaliber nasional, bahkan internasional, seperti Soekarno, M. Natsir, dan lain-lain. Ironisnya, Soekarno sendiri adalah orang Jawa, sedangkan M. Natsir berasal dari Sumatra.24 Bandung sendiri, bersama-sama dengan Garut, Tasikmalaya, dan Sukabumi, kini hanya melahirkan artis-artis25 dan hanya menjadi salah satu pusat seni dan mode. Setelah Pajajaran tidak dapat diharapkan, diperkenalkannya Islam sepertinya membawa angin segar bagi masyarakat Sunda yang ingin mempertahankan identitasnya. Dalam hal ini, Islam menjadi alternatif untuk membangun kembali budaya Sunda, sehingga Islam menjadi sumber rujukan dalam merajut kembali nilai-nilai budaya Sunda yang telah “terkontaminasi.” Dengan dijadikannya Islam sebagai sumber rujukan, maka akan memberikan ciri tersendiri bagi budaya Sunda dan dapat membedakannya dari budaya Jawa yang sarat dengan kepercayaan dan tradisi mistiknya. Memang Islam masuk ke masyarakat Sunda lewat penaklukan oleh kerajaan-kerajaan Jawa, dan mayoritas masyarakat Jawa menganut agama Islam. Tetapi Islam yang masuk ke Jawa dan diterima oleh masyarakat Jawa mengalami proses Jawanisasi dalam pengertian disaring dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa. Dalam terminologi antropologi, Islam yang masuk ke Jawa lebih bersifat asimilatif di mana Islam mengalami proses adaptasi terhadap kebudayaan Jawa. Orang Jawa lebih bangga dengan budayanya, sehingga para wali yang menyebarkan agama Islam pun harus menyesuaikan diri terhadap alam pemikiran Hasbullah, “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas,” h. 128. Pada masa kemerdekaan orang-orang Sunda yang pernah naik ke panggung kekuasaan tingkat nasional di antaranya adalah Ali Sadikin, Umar Wirahadikusumah, Ginanjar Kartasasmita, Agum Gumelar, Mochtar Kusumaatmaja, dan Rachmat Witoelar. 25 Seperti penyanyi dangdut Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Dessy Ratnasari, Nike Ardila, Iwa Kusuma, dan Evie Tamala. 23 24

423


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 orang Jawa. Sehingga, sekalipun para wali rata-rata berasal dari kalangan orang Jawa dan orang Jawa yang beragama Islam lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang Sunda, tetapi tidak pernah muncul di kalangan masyarakat Jawa ungkapan yang membanggakan bahwa “Jawa adalah Islam”. Di kalangan masyarakat Jawa justru lebih terkenal istilah “Kejawen” yang merupakan bentuk tradisi di mana berbagai kepercayaan yang diterima diramu dalam bingkai budaya Jawa. Dengan demikian, identifikasi budaya dan etnik Sunda dengan Islam, maka orang-orang Sunda dapat membedakan dirinya dengan etnik dan budaya Jawa.

Penutup Dalam karangka pemikiran Struktural-Fungsional masyarakat digambarkan sebagai terdiri dari sejumlah struktur yang memiliki fungsi sendiri sehingga menciptakan equilibrium yang harmonis. Supaya tercipta masyarakat yang harmonis, maka setiap individu anggota masyarakat diharapkan dan diharuskan menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai, normanorma dan aturan yang menjadi pegangan bersama, dan demi terciptanya masyarakat yang seimbang dan harmonis nilai dan norma-norma tersebut tidak hanya harus disosialisasikan melainkan juga harus dipaksakan, karena pelanggaran terhadap norma dan aturan bersama akan merusak ikatan solidaritas sosial. Dari kacamata ini maka perubahan budaya dan perubahan sosial merupakan sesuatu “haram.” Menjaga dan mempertahankan kebudayaan suatu masyarakat tidak lepas dari peranan para elit masyarakat yang bersangkutan. Di tangan para elit inilah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan anggota masyarakat dinilai sebagai sesuai atau tidak dengan kebudayaan mereka. Sebagai organisme masyarakat mengalami perkembangan. Kontak antara budaya, yang terjadi lewat individu maupun kelompok-kelompok sosial, memungkinkan terjadinya perubahan kebudayaan suatu masyarakat. Tetapi tetap saja di tangan para elit inilah unsur-unsur budaya yang masuk disaring, diolah, ditolak atau ditetapkan untuk menjadi bagian dari kebudayaannya. Dengan kata lain, perubahan diterima selagi tidak membuat struktur sosial yang lebih besar mengalami perubahan radikal. Itulah sebabnya pendekatan Struktural-Fungsional kerap dianggap sebagai pendekatan yang mendukung status quo. Dalam konteks hubungan antara Islam dan Sunda, pernyataan “Sunda adalah Islam” dapat dikatakan sebagai upaya dari sekelompok elit orang Sunda dalam mengkonstruksi identitas etnik Sunda, yaitu dengan membedakannya dari budaya etnik Jawa, di satu pihak; dan mengidentikkan Sunda dengan Islam, di pihak lain. Sejarah kekalahan etnik Sunda yang terus menerus oleh kekuatan etnik Jawa memberikan pelajaran kepada elit-elit Sunda untuk menarik batas yang tegas dengan mengidentikkan Sunda dengan Islam. Mereka menyaring, mengolah, menolak dan menegaskan unsur-unsur budaya apa saja yang harus menjadi identitas Sunda. Dengan mengolah, menolak atau membuat penegasan 424


Abdul Syukur: Islam, Etnisitas, dan Politik Identitas

terkait kebudayaan Sunda sama artinya dengan mereka mempertahankan statusnya sebagai kalangan elit, sedangkan status sosial kelompok elit pada suatu masyarakat tertentu adalah status istimewa yang berimplikasi pada hak-hak yang juga istimewa. Terkait dengan perilaku para elit Sunda di atas serta implikasinya maka seolah diingatkan oleh Henley dan Jamie Davidson26 yang mengatakan bahwa dalam melihat gerakan kebangkitan masyarakat adat dewasa ini harus diperhatikan sejauh mana mereka yang berbicara atas nama komunitas adat mewakili warga komunitasnya, karena bisa jadi gerakan ini hanya menjadi tunggangan politik segelintir orang demi mengejar dan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan pribadi. Dengan nada yang sama di sini bisa juga ditanya apakah dalam identifikasi Sunda dengan Islam atau pemberlakuan Perda Syariat di beberapa kabupaten di Jawa Barat merepresentasikan kehendak masyarakat Sunda atau jangan-jangan sekedar tunggangan politik para elit Sunda untuk mempertahankan status quo demi kekuasaan dan kepentingan pribadi belaka.

Pustaka Acuan Alwasilah, Chaedar. “Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 9 Januari 2009. Bowie, Fiona. The Anthropology of Religion. Oxford, Blackwell Publishers, 2001. Buhanan, Paul and Mark Glazer (ed.). High Points in Anthropology. New York: Alfred A. Knopf, 1988. Coedes, George. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, terj. Winarsih Partaningrat Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. End, TH. Van Den (ed.). De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-1963, Uitgave Van De Raad Voor De Zending der Ned. Herv. Kerk, De Zending Der Gereformeerde Kerken in Nederland En De Gereformeerde Zendingsbond in De Ned. Herv. Kerk, 1991. Ekadjati, Edi S. “Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010. Eriksen, Thomas Hylland. Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives. London: Pluto Press, 1995. Hasbullah, Moeflich. “Islam, Sunda dan Tantangan Modernitas,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010. Henley, David dan Jamie Davidson. “Pendahuluan: Konservatisme Radikal-Aneka Pajah David Henley dan Jamie Davidson, “Pendahuluan: Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat,” dalam David Henley, et al. (peny.), Adat dalam Politik Indonesia, terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), h. 6. 26

425


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Politik Adat,” dalam David Henley, et al. (peny.). Adat dalam Politik Indonesia, terj. Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti. Jakarta, Yayasan Obor, 2010. Http://penelitianku.wordpress.com/2009/03/04/islam-priangan-pergulatan-identitasdan-politik-kekuasaan/ Kahmad, Dadang. “Agama Islam dan Budaya Sunda,” makalah disampaikan pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, 9 Januari 2009. Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001. Sam, A. Suhandi, et al. Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986. Sumardjo, Jakob. “Islam dan Sunda dalam Mitos: Pandangan Manusia Sunda Masa Kini Hubungannya dengan Islam,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010. Suryadinata, Leo, et al., Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003. Wibisana, Wahyu. “Pengaruh Islam terhadap Budaya Sunda (Catatan Perbandingan dan Pencerahan,” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010. Wildan, Dadan. “Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda,” dalam Studi Sejarah Islam Sunda, dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Studi Sejarah Islam Sunda. Bandung: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, 2010.

426


Kontributor Volume XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

Hadis Purba Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) di bidang Pendidikan Islam dari IAIN Sumatera Utara, Medan. M. Yasir Nasution Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pengkajian Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Said Aqil Siradj Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) dan Doktor dalam bidang Tasawuf dari Universitas Ummul Qura, Madinah. Saleh P. Daulay Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.) dalam bidang Pemikiran Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Master of Arts (MA) dalam bidang Filsafat dari Universitas Indonesia dan Colorado State University, USA., sedangkan gelar Doktor dalam bidang Pemikiran Islam diperoleh dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Syamruddin Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Memperoleh gelar Magister Agama (M.A.g) dalam bidang Tafsir dari UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru dan Doktor dalam bidang yang sama dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Suaidi Asyari Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Islamic Studies dari McGill University, dan Ph.D dari University of Melbourne, Australia, serta Doktor dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

427


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 Rozalinda Dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol, Padang. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.) dalam bidang Ilmu Syari’ah dan gelar Doktor dalam bidang Ekonomi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Syukri Iska Dosen jurusan Syariah STAIN Batusangkar. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.) dalam pengkajian Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan gelar Ph.D di bidang Studi Keuangan Islam jurusan Shari‘a and Management, Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Ikhwan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Padang. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.) dan Sarjana Hukum (SH) Universitas Andalas, Padang, serta Doktor dalam bidang Hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dedy Sumardi Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Meraih gelar Magister Agama (M.Ag.) dari IAIN Ar-Raniry dalam bidang Fiqih Modern. Bahrul Ulum Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag.) dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kandidat Doktor pada program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Abdul Syukur Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Memperoleh gelar Master of Arts (MA) bidang Religious Studies dari School of Oriental and African Studies, University of London, Inggris dan Doktor bidang Antropologi dari Universitas Indonesia.

428


UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Volume XXXV Nomor 2, Juli-Desember 2011 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 2. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 3. Prof. Dr. Sofyan Safri Harahap (Universitas Tri Sakti, Jakarta) 4. Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 5. Prof. Dr. Gunaryo, MA (Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, Semarang) 6. Prof. Dr. Amiur Nuruddin, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 7. Prof. Dr. Syafrinaldi, MA (Universitas Islam Riau, Pekan Baru) 8. Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 9. Dr. Sahiron Syamsuddin, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

429


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

INDEKS PENULIS

MIQOT Vol. XXXV No. 1 dan 2 Tahun 2011 No

Penulis

Judul Tulisan

Halaman

1

Abd Mukhsin

Pergeseran Sikap Hakim Pengadilan Agama di Kota Medan dalam Penetapan Ahli Waris Pengganti Sebelum dan Sesudah KHI

142-161

2

Abdul Syukur

Islam, Etnisitas dan Politik Identitas: Kasus Sunda

408-427

3

Bahrul Ulum

Fatwa of the Council of the Indonesian Ulama on Golput (Vote Abstention): A Study of Contemporary Islamic Legal Thought in Indonesia, 2009

391-407

4

Dedy Sumardi

Hudûd dan HAM: Artikulasi Penggolongan Hudûd Abdullahi Ahmed an-Na’im

372-390

5

Faisar Ananda Arfa

Islam dan Etika Pluralisme

94-112

6

Hadis Purba

Perspektif Anak Jalanan Muslim di Kota Medan Tentang Tuhan t

209-226

7

Hamidah

Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid– KH. Abdurrahman Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam

78-93

8

Ikhwan

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM pada Masa Rasulullah SAW.

350-371

9

Jumino Suhadi

Methapor as a Stylistic Divice of Islamic Teaching

187-202

10

L. Hidayat Siregar

Tarekat Naqsyabandiyah Syaikh Abdul Wahab Rokan: Sejarah, Ajaran, Amalan dan Dinamika Perubahan

59-77

11

M. Yasir Nasution

Telaah Signifikansi Konsep Manusia Menurut al-Ghazâlî

227-241

12

Mhd. Asaad

Peningkatan Peranan Perbankan Syariah untuk Pembiayaan Usaha Pertanian

113-127

13

Muhibbuthabry

Peran LPTK dalam Pembentukan Tenaga Profesional Berbasis Syariat Islam di Aceh

174-186

14

Muzakkir

Relevansi Ajaran Tasawuf pada Masa Modern 430

37-58


Indeks Penulisan

15

Ridwan Nurdin

Pengelolaan Zakat di Aceh Pasca Deklarasi Syariat Islam

128-141

16

Rozalinda

Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang

314-330

17

Saleh P. Daulay

Philosophical Arguments of Bodily Resurrection: Reconsidering Mullâ Shadrâ’s Eschatological Thought

258-274

18

Said Aqil Siradj

Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf

242-257

19

Suaidi Asyari

Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: From Part of Problem to be Part of Solution

295-313

20

Syamruddin

Hermeneutika Fazlur Rahman: Upaya Membangun Harmoni Teologi, Etika dan Hukum

275-294

21

Syukri Isyka

Dilema Skim Murâbahah pada Perbankan Syariah

331-349

22

Tajul Arifin

The Application of Capital Punishment: An Analisys of the Social Impact in Saudi Arabia and the United States

162-173

23

Wan Jamaluddin Z.

Russian Scholars and the Qur’ân: Historical Perspective of the Development of Russian Orientalists in the 19-20th Centuries

26-36

24

William R. Darrow

Recent Trends in Historical and Literary Study of the Qur’ân

1-25

431


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 432


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com; 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫ا‬ = a

‫خ‬ = kh

‫ش‬ = sy

‫غ‬ = gh

‫ن‬ = n

‫ب‬ = b

‫د‬ = d

‫ص‬ = sh

‫ف‬ = f

‫و‬ = w

‫ت‬ = t

‫ذ‬ = dz

‫ض‬ = dh

‫ق‬ = q

‫ﻩ‬ = h

‫ث‬ = ts

‫ر‬ = r

‫ط‬ = th

‫ك‬ = k

‫ء‬ = ’

‫ج‬ = j

‫ز‬ = z

‫ظ‬ = zh

‫ل‬ = l

‫ي‬ = ya

‫ح‬ = h

‫س‬ = s

‫ع‬ = `

‫م‬ = m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (Çá baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224. 433


MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011 b. Pustaka Acuan Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

434


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.