MIQOT VOL. XXXIX NO. 1 Januari-Juni 2015

Page 1


MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Terbit dua kali dalam setahun, edisi Januari-Juni dan Juli-Desember. Berisi tulisan atau artikel ilmiah ilmu-ilmu keislaman, baik berupa telaah konseptual, hasil penelitian, telaah buku dan biografi tokoh Ketua Penyunting Mhd. Syahnan Penyunting Pelaksana Hasan Asari Al Rasyidin Muhammad Iqbal Harun Al Rasyid Sakti Ritonga Penyunting Ahli Zulkiple Abd. Ghani (Universiti Sains Islam Malaysia, Kuala Lumpur) Ahmad Hidayat bin Buang (University of Malaya, Kuala Lumpur) Sapora Sipon (Universiti Sains Islam Malaysia, Kuala Lumpur) Khoiruddin Nasution (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Suaidi Asyari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi) Saiful Akhyar Lubis (IAIN Sumatera Utara, Medan) Andi Faisal Bakti (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Yusuf Rahman (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Amiur Nuruddin (IAIN Sumatera Utara, Medan) Amroeni Drajat (IAIN Sumatera Utara, Medan) Dja’far Siddik (IAIN Sumatera Utara, Medan) Amirul Hadi (UIN Ar-Raniry, Banda Aceh) Salmadanis (IAIN Imam Bonjol, Padang)

Tata Usaha Asrul Daulay Muhammad Nasir Saidatul Khairiyah Ja’far


MIQOT

Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Daftar Isi

Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern Afrizal M ................................................................................................

1 - 20

Positifikasi Asketisme dalam Islam dengan Pendekatan Paradigma Klasik dan Modern Nurkhalis ...............................................................................................

21 - 43

Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010) Dimyati Sajari .......................................................................................

44 - 62

Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Interaksi Agama dan Negara M. Zaki ...................................................................................................

63 - 77

Paradigma Bermazhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan Sukarni...................................................................................................

78 - 93

Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Alfitra .....................................................................................................

94-109

Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri: Telaah terhadap Buku al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh Jamal Abdul Aziz .................................................................................

110-127

Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics: A Study on Modern and Traditional Market Regulations in Indonesia Mustapa Khamal Rokan ......................................................................

128-147


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Perspektif Al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak Sehat Sultoni Dalimunthe ..................................................................

148-166

‫ ﲢﻠﻴﻞ ﺃﻓﻜﺎﺭ ﺍﳌﺎﻭﺭﺩﻱ ﰱ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻷﺧﻼﻗﻴﺔ‬:‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‬ Mohd. Nasir ..........................................................................................

167-183

Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf Muslih ....................................................................................................

184-198

Pendidikan Karakter pada Anak dalam Pendekatan Islam dan Psikologi Nurussakinah Daulay ..........................................................................

199-217


PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM DI MESIR MODERN Afrizal M Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Jl. H.R. Soebrantas No. 155 Km 15 Simpang Baru Panam, Pekanbaru, 28293 e-mail: afrizal_mansur@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini mengungkap perkembangan filsafat Islam di Mesir kontemporer. Dengan menggunakan metode historis, deskriptif, dan analitis, artikel ini membahas aspek kajian yang meliputi akar filsafat Islam, perubahan orientasi filsafat Islam menjadi pemikiran Islam, isu-isu filsafat Islam, tokoh penting, metode dan sistem perkuliahan. Dalam kajian ini penulis menemukan bahwa filsafat Islam berasal dari Yunani melalui proses migrasi orang-orang Yunani ke Mesir. Tidak terlepas dari unsur politik, di abad modern terjadi perubahan orientasi filsafat Islam menjadi pemikiran Islam karena cakupan filsafat meluas ke ranah kajian kalam, tasawuf dan usul fikih. Persoalan yang sedang dihadapi adalah munculnya pemikiran salafi yang tidak memberi peluang untuk memberi interpretasi terhadap nash, bertentangan dengan pemikiran Barat yang terbuka lebar dan liberal dalam pemikiran. Ada tiga metode yang dipakai dalam filsafat Islam dengan mengikuti tokoh penggunanya. Metode kritik analitik Musthafâ ‘Abd al-Râziq, metode komparatif Muhammad Iqbal dan metode historis Ibrâhîm Madkûr. Abstract: The Development of Islamic Philosophy in Modern Egypt. This article deals with the current development of Egyptian Islamic philosophy. Using descriptive and historical methods of analysis, this study discusses the very root of this philosophy in the modern Egypt, its orientation which gradually turns into popular thought, its methods and luminous figures, and current situation amidst the intellectual approaches of Muslim fundamentalists. In the final analysis this study reveals that the Egyptian Islamic philosophy originates from the Greece brought by her migrating people to the land of Pharaoh. It also suffers changing orientation since it deals with Islamic theology, mistisism, ushûl fiqh. As for its methodological inquiries, modern Islamic philosophy in this country follows either Mustafâ ‘Abd al-Râziq’s method of critical analysis, Muhammad Iqbal’s comparative method or Ibrâhîm Madkûr’s historical analysis.

Kata Kunci: filsafat Islam, perkembangan pemikiran, modern, Mesir

1


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Pendahuluan Bangsa Mesir adalah bangsa yang memiliki tradisi cukup terkenal semenjak zaman kuno dengan kebudayaannya yang cukup tua dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. “Karena itu banyak sekali orang-orang Eropa yang ingin mengetahui keadaan Mesir secara mendalam”.1 Mereka ingin mengetahui lebih jauh apa konkritnya kemajuan dan kelebihan yang telah diraih Mesir. Kemajuan itu telah ditunjukkan melalui kebudayaan itu diwariskan secara turun temurun kepada setiap generasi sehingga setiap anak bangsanya sangat bangga dengan kebudayaan yang mereka miliki, termasuk budaya berfilsafat. Sebagai bangsa yang sudah tua, Mesir sangat banyak mengalami pergantian penguasa. Sebagian informasi yang ditemukan, kemajuan Mesir bukan berarti terlepas dari penaklukan, melainkan juga pernah diambil alih oleh berbagai bangsa. “Pada tahun 525 SM., Mesir ditaklukan oleh bangsa Parsi, tahun 332 SM., oleh Bangsa Macedonia, tahun 30 SM. oleh bangsa Rum, di awal Islam oleh bangsa Arab, kemudian oleh bangsa Inggris. 2 Setelah dikuasai pemerintahan Islam, Mesir sudah banyak mengalami pergantian kekuasaan seperti dinasti Abbasiyah, Dinasti Fathimiyah, Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Mamalik, dan yang paling terakhir Kerajaan Usmani, semuanya pernah berkuasa di Mesir. Di abad modern, setelah kekuasaan Islam melemah Mesir ditaklukan oleh bangsa Prancis.3 Di Mesir filsafat tumbuh dan berkembang semenjak adanya hubungan Mesir dan Yunani. Hubungan ini terkait dengan penaklukkan Alexander the Great4 terhadap kerajaan Persia pada tahun 323 atau 331 M.5 Asimilasi kebudayaan juga terjadi karena Alexander berhasil menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Alexander tampil di tengah-tengah masyarakat dengan gaya Persia, memakai pakaian Persia dan mengambil pengawal dari Persia, dan menikah dengan orang Persia. 6 Ketika Alexander wafat, kerajaannya pecah menjadi tiga, yaitu Kerajaan Macedonia

Tohir, Negara-Negara Maju pada Jaman Kuno (Semarang: Badan Penerbit & Percetakan Istana Buku Abede, t.t.), h. 26. 2 Anwar Sanusi, Sejarah Dunia (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 8. 3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 28-33. 4 Alexander the Great adalah seorang politikus Yunani yang sangat terkenal, hidup semasa dengan Aristoteles. Konon kabarnya, Aristoteles dan Alexander mempunyai nama yang samasama terkenal, tetapi dengan keahlian yang berbeda, satu di bidang filsafat dan satu lagi di bidang politik. Gabungan dari dua keahlian yang berbeda membuat Yunani menjadi terkenal dan bergengsi di dunia. 5 Terdapat perbedaan pendapat tentang tahun penaklukkan Alexander ke Asia. Menurut ‘Abd al-Fatah Musthafa Ganimah, penaklukan itu terjadi tahun 323 SM. Lihat ‘Abd al-Fatah Musthafa Ganimah, al-Tarjamah fi al-Hadhârah al-‘Arabiyyah al-Islâmiyah (Kairo: Jumhuriyah Misra al-‘Arabiyyah, Wizarah al-Auqaf, Majlis al-‘Ala li Syu‘un al-Islâmiyah, Sya‘ban 1428 H / Agustus 2007 M.) Sementara Harun Nasution mengatakan penaklukkan itu terjadi pada tahun 331 SM. Lihat Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1978), h. 10. 6 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme, h. 10. 1

2


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

di Eropa, Kerajaan Ptolemeus di Mesir (Afrika) dan Kerajaan Seleocid di Asia.7 Kerajaan Ptolemeus berpusat di Iskandariah menjadi markas penting bagi ilmu pengetahuan Yunani. Dengan demikian, kebudayaan Yunani menjadi berpengaruh besar di Mesir dalam masa yang tidak sebentar.8 Ketika Islam menaklukkan Mesir di bawah komando Amr ibn Ash pada tahun 641 M., dan mengambil-alih kekuasaan atas wilayah itu, semua madrasah Iskandariah (sesungguhnya Yunani), mau tidak mau telah berubah dan menyatu menjadi kebudayaan Mesir. Melalui madrasah inilah menyebarnya ilmu pengetahuan Yunani ke negara-negara Arab. Sebab lain dari pengembangan dan penyebaran budaya Yunani adalah menjadikan kota Iskandariah menjadi bagian dari kerajaan Islam.9 Sejalan dengan itu, Islam sangat konsen memelihara aset kerajaan yang sangat berharga itu. 10 Jadi, filsafat sebagai bagian dari budaya Yunani sudah ada di Mesir semenjak Alexander Agung berkuasa. Inilah yang dikembangkan kembali oleh pemikir Muslim belakangan. Kota Iskandariyah yang telah menjadi pusat studi filsafat dan teologi Yunani menjadi sangat penting di abad ke tujuh. Metodologi filsafat Yunani juga telah menjadi kunci dalam memahami naskah-naskah teologi di Mesir, Siria dan ketika itulah berbagai risalah filsafat dan teologi diterjemahkan ke bahasa Arab. Pada zaman klasik, kajian filsafat Islam sudah berkembang di Mesir hampir sama dengan di Persia. Di Mesir memang tidak lahir filosof-filosof muslim seperti al-Kindî, alFarâbi, dan Ibn Sînâ.11 Namun demikian Mesir juga memiliki sejumlah filosof bahkan lebih tua seperti Philo (Yahudi) dari Alexandria, Plotinos, dan Musa ibn Maimûn. Para filosof Mesir masih mengambil nama yang dibangsakan kepada Yunani. Di abad modern filsafat berkembang melalui perguruan tinggi yang ada di Mesir. Universitas al-Azhar yang sudah berumur lebih dari seribu tahun telah banyak sekali melahirkan pemikir ternama dalam filsafat. Sekarang berbagai universitas di seluruh Mesir telah mewarisi banyak filsafat kepada para penerusnya. Yang banyak berkiprah dalam filsafat adalah di Universitas al-Azhar sendiri, Universitas Kairo, Universitas Ain al-Syams, Universitas Alexandria, dan Universitas Almania. Pada abad modern, walaupun tidak menyamai masa klasik, filsafat juga berkembang di Mesir. Tetapi dalam perkembangan itu filsafat tidak terlepas dari perdebatan antara tokoh yang mendukung dan yang menentang. Di Univeristas al-Azhar sendiri telah terjadi pro dan kontra. Muhammad ‘Abduh dan beberapa murid dan pengikutnya banyak berbeda pendapat dengan tokoh al-Azhar. Perbedaan itu disebabkan pikiran sebagian mereka dipandang telah jauh menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Ahmad Thayyib, al-Jânib al-Naqdy fi Falsafah Abi al-Barakât al-Bagdâdy (Kairo: Dâr alSyuruq, 2005), h. 56. 8 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme, h. 11. 9 Ahmad Thayyib, al-Jânib al-Naqdy fi Falsafah, h. 56. 10 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme, h. 11. 11 Hasan Hanafi, Humûm al-Fikr al-Wathani (Kairo: Dâr al-Quba, 1998), h. 239. 7

3


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Di samping ‘Abduh, beberapa pemikir lain juga mengalami perlakuan yang sama seperti ‘Ali ‘Abd al-Râziq karena persoalan pemerintahan. Pada umumnya orang-orang alAzhar mempunyai pikiran bahwa persoalan pemerintahan sudah ada dasarnya dalam al-Qur’an. Sementara ‘Ali ‘Abd al-Râziq berpendapat bahwa soal pemerintahan tidak ada hubungannya dengan wahyu, hanya berdasarkan ijtihad. Thâhâ Husein dikucilkan karena pikirannya mengenai sekularisasi. Salah satu pendapat Thâhâ Husein yang sangat menggelikan orang-orang al-Azhar, bahwa untuk mengetahui kebenaran Syair Jahiliah itu perlu dilihat kepada al-Qur’an, karena al-Quranlah yang bisa mengungkap realitas syair jahiliah itu. Pendapat seperti sangat asing di kalangan orang-orang al-Azhar. Sebaliknya di Mesir terdapat beberapa pemikir yang bertentangan dengan tokohtokoh kontroversial di atas, seperti Hasan al-Banna, Sayid Qutub, dan Muhammad Quthb. Mereka tidak mau keluar dari koridor al-Qur’an, tidak mau terlalu jauh meng-gunakan logika, karena Islam adalah agama universal, sudah lengkap segala sesuatu yang diperlukan sebagai pedoman dalam kehidupan, sehingga tidak perlu dicari cara lain di luar Islam sebagai pedoman yang harus dipegang. Di Mesir tetap saja ada kelompok pemikir yang saling berbeda pendapat, dan hal itu sudah biasa dalam dunia ilmiah. Masing-masing mereka mempertahankan pendapat dengan argumentasi yang mereka miliki. Hasan Hanafi dipandang oleh sebagian besar ulama alAzhar sebagai pemikir yang menyimpang dari ajaran Islam dan menganggap-nya sebagai hasil ijtihadnya sendiri. Tuduhan ini mengemukan ketika Hasan Hanafi menyosialisasikan alYasar al-Islâmi yang kedengarannya asing di kalangan al-Azhar. Naser Abu Zaid mengeluarkan pendapat kontrovesial sekitar hermenetika al-Qur’an sehingga ia diusir dari Mesir karena pendapatnya bertentangan dengan pendapat sebagian pemikir al-Azhar. Terlepas dari dua tokoh ini, dinamika berpikir dan kebebasan berpendapat di Mesir masih tetap eksis dalam batas-batas tertentu. Di negara lain seperti Arab Saudi hal itu tidak ditemukan sama sekali. Di Arab Saudi hanya diakui mazhab Wahabi, tidak boleh ada mazhab lain. Buku-buku yang beredar tidak lain dari yang berbau Wahabi. Di Mesir terdapat kebebasan menulis buku dengan aneka pikiran yang majemuk. Perbedaan pendapat itu sangat banyak dijumpai di Mesir. Selain tokoh yang disebutkan di atas terdapat beberapa tokoh lain seperti, Abi alBarakat al-Baghdadi, Yaqob Sanua, Muhammad Ahmad al-Mahdi, ‘Abdullâh Nadim, Abû al-Wafâ al-Taftazâni, ‘Abd al-Rahmân al-Kawâkibî. Ada pula Muhammad al-Ghazâlî, Mahmûd Syaltût, Muhammad Rasyid Ridhâ, Luthfi Said, Salamah Mûsa, dan Syibli Samuel, mereka semua adalah pemikir yang tangguh dan sangat memahami filsafat. Perdebatan seperti itu tidak pernah berhenti dan kadang-kadang berbuntut panjang. Antara keduanya selalu saling menyalahkan dan sulit sekali untuk dikompromikan karena argumentasi dan sisi pandang memang sudah jauh berbeda. 12 Biasanya dalam setiap Sekadar perbandingan di Indonesia, terutama pada sejumlah perguruan tinggi Islam seperti

12

4


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

pertemuan seperti seminar, lokakarya perbedaan pendapat di antara mereka sudah menjadi hal yang biasa. Dalam perjalanan sejarah filsafat Islam, pada abad klasik, dijumpai nama-nama tokoh yang dikelompokkan sebagai filosof Muslim, seperti al-Kindî, al-Fârâbî, dan Ibn Sînâ. Di abad modern tidak dijumpai pengelompokan filosof seperti zaman klasik. Yang ada sekarang ialah para pemikir yang sukses menuliskan hasil pikiran dalam banyak buku. Di Mesir banyak sekali terbit buku-buku baru, walaupun kadang-kadang dijumpai buku-buku yang cetakan ulang. Mereka mengangkat berbagai persoalan seperti penyebab kemunduran umat Islam, apa penyebab umat Islam tertinggal dari umat lain, krisis apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam. Di zaman modern, tidak ditemukan filosof Muslim seperti yang dijumpai di zaman klasik, terutama di dunia Islam Sunni. Di dunia Islam Syi‘ah masih tetap lahir tokoh-tokoh atau filosof yang terkenal seperti ‘Ali Syari‘ati, dan Syihab al-Dîn Syirâzî. Di dunia Islam Sunni tidak ada buku-buku yang menjadikan indikasi keberadaan filosof Muslim, baik di Mesir maupun di beberapa negara Muslim lain termasuk di Indonesia. Lain halnya di Barat, masih dijumpai pengelompokan nama filosof Barat modern seperti yang ditulis Harri Hammersma. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, di Barat terdapat bermacam isme sebagai bukti adanya perkembangan paham kefilsafatan. Di Barat ada aliran idealisme, eksistensialisme, dan pragmatisme, semua itu adalah hasil pikiran tokoh-tokoh filsafat sebagai realisasi pikiran mereka yang berkembang. Fenomena di atas memberi indikasi bahwa perkembangan kajian filsafat masih kabur pada beberapa negara Muslim di abad modern ini. Mesir juga mengalami hal yang sama. Di Mesir kelihatan kajian filsafat juga kurang mengalami kemajuan, baik di kalangan akademisi, apalagi di kalangan masyarakat umum. Namun demikian bila dilihat secara keseluruhan antara kedua negara ini di Mesir kajian filsafat lebih menggeliat bila dilihat dari banyak hasil karya filosofis yang bermunculan setiap tahun. Di Universitas Kairo sering sekali diadakan seminar dalam berbagai bidang filsafat. Pada hari Kamis sampai Sabtu, tanggal 25 sampai 27 Oktober 2007 diadakan seminar yang diikuti oleh pakar-pakar filsafat dari dalam dan luar negeri. Fokus pembicaraan dalam tulisan ini ialah bagaimana perkembangan filsafat Islam di Mesir dewasa ini, apakah ada kontinuitas bagi kajian dari perjalanan dan geliat filsafat di Mesir, atau filsafat telah memasuki disiplin ilmu lain, dengan arti kajian filsafat sudah berubah, dan berkembang memasuki disiplin ilmu kalam, tasawuf, dan usul fikih. Dengan demikian, filsafat disebut pikiran dan tokohnya disebut pemikir. Tetapi tokoh-tokoh lain

UIN, IAIN dan STAIN, kajian filsafat sangat menurun. Banyak generasi muda yang tidak berminat sama sekali mempelajari filsafat. Ini merupakan suatu fenomena bahwa gaung filsafat itu jauh tertinggal dari pada kajian lain. Fakultas-fakultas filsafat relatif sepi dibandingkan dengan fakultasfakultas lain. Bahkan peminat fakultas sains mencapai sepuluh kali lipat peminat filsafat.

5


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 tetap mengatakan filsafat telah ada, namun arah dari pendapat mereka hampir sama. Menurut yang disebut terakhir ilmu-ilmu yang berkembang itu intinya filsafat Islam. Ilmu kalam, tasawuf, mantik adalah bagian dari filsafat. Perdebatan ini adalah bagian dari perkembangan filsafat Islam di Mesir. Sebelum melanjutkan pembahasan agaknya perlu dipertegas apa pengertian filsafat, paling tidak untuk menyegarkan kembali pikiran pembaca tentang filsafat. Seperti dikutip Sudarto, Karl Jesper mengatakan bahwa filsafat ialah ilmu yang menyelidiki dan menentukan tujuan akhir serta makna terdalam dari realitas manusia.13 Makna terdalam dari ini berhubungan dengan Tuhan, alam semesta dan manusia. Ketika filsafat digunakan oleh seseorang untuk membahas sesuatu, maka filsafat berfungsi sebagai sisi pandang orang tersebut. Ketika membahas Tuhan, alam semesta dan manusia sebagai objek penelitian, digunakan metode pembahasan yang logis, radikal, dan sistematis. Cara ini dipakai untuk meneliti perkembangan kefilsafatan di Mesir. Tiga perguruan tinggi ternama di Kairo tetap mengajarkan filsafat. Universitas al-Azhar menempatkan jurusan filsafat pada fakultas Ushuluddin, Universitas ‘Ain al-Syams menempatkan jurusan filsafat pada fakultas Adab. Universitas Kairo menempatkan filsafat pada fakultas Dâr al’Ulûm dan fakultas Adab. Selain itu di Mesir terdapat lembaga-lembaga yang konsen mempelajari dan menganalisa kajian filsafat termasuk persoalan-persoalan ilmu lain. Salah satunya ialah alMa‘had al-Alamî li al-Fikr al-Islâmî. Di lembaga ini berkumpul para ahli dari berbagai negara membahas salah satu topik tertentu yang kemudian dari seminar atau lokakarya dihasilkan kumpulan pembahasannya. Filsafat termasuk salah satu kajian favorit dibahas dalam lembaga ini. Timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan filsafat Islam di Mesir saat ini. Apakah kajian filsafat masih eksis dan berjalan dengan seperti dulu, karena negara ini pernah menjadi basis berkembangnya filsafat ketika Mesir menjadi kelahiran filosof Yunani berkebangsaan Mesir. Apakah pola pikir filosofis itu masih diwarisi oleh pemikir-pemikir Mesir sekarang atau sudah terjadi perubahan orientasi filsafat saat ini.

Dari Filsafat Islam ke Pemikiran Islam Ada indikasi telah terjadi redefinisi besar-besaran terhadap filsafat Islam. Ada yang mengatakan filsafat Islam masih ada, sebagian lagi mengatakan bahwa filsafat Islam telah berubah menjadi pemikiran Islam. Hasan Hanafî, dan Hamid Thâhir mengatakan bahwa filsafat Islam itu tetap ada. Tokohnya Shadr al-Dîn Shirâzî, dan Imam Khomeini. Jika ada orang berpendapat bahwa filsafat tidak ada lagi adalah salah besar. Ilmu-ilmu yang berkembang sekarang seperti tasawuf, ilmu kalam, dan usul fikih sebenarnya bagian Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1977), h. 7.

13

6


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

dari filsafat Islam karena menggunakan metode-metode filsafat.14 Sementara itu Jamal Marzûqi, salah seorang dosen, sekaligus ketua jurusan filsafat dan tasawuf Fakultas Adab Universitas ‘Ain al-Syams Kairo mengatakan bahwa filsafat Islam itu tidak ada lagi tetapi telah berubah menjadi pemikiran Islam. Jamal al-Dîn al-Afghânî, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, ‘Ali ‘Abd al-Râziq menurut Jamal bukan lagi filosof, tetapi pemikir Muslim, sementara Hasan Hanafî dan Hamid Thâhir tetap menganggap mereka sebagai filosof. Perbedaan yang agak jelas antara filosof dan mufakkir terletak pada pola kerja masingmasing. Pola kerja filosof bersifat global, sedangkan pola kerja mufakkir parsial. Para filosof mengemukakan pandangan umum, membahas faktor persoalan manusia, alam semesta sampai pada penciptanya. Al-Kindî membahas tentang akal dengan segala fungsinya, konsep kebenaran dan argumen filosofisnya untuk membuktikan kebenaran Allah. Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ mengangkat teori emanasi dengan segala aspeknya, dan pola yang berbeda, membahas tentang jiwa. Demikianlah cara kerja filosof sehingga pandangannya kelihatan menyeluruh. Sementara pemikir mengangkat bagian dari pembahasan filosof. Kebanyakan pemikir membicarakan persoalan umat langsung kepada hal-hal teknis. Atas dasar itu ada pemikir di bidang politik saja, ada pemikir bidang kalam saja, ada pemikir bidang tasawuf saja dan pemikir bidang ekonomi. Selain itu pola kerja filosof berbentuk sistem, artinya yang dihasilkan filosof itu menggambarkan adanya komponen-komponen setiap objek kajian. Ibn Sînâ mengangkat persoalan jiwa secara lebih sempurna dibandingkan dengan filosof lain. Penjelasannya mulai dari jiwa mulai dari jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang sampai jiwa tertinggi. Adapun pemikir menghasilkan aliran. Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab tidak disebut sebagai filosof tetapi disebut pemikir karena ia menghasilkan pikiran sistematis, menjurus pada satu persoalan dan mencarikan jawaban secara tuntas. Orang-orang yang sependapat dengan dia atau mengikuti pendapatnya disebut pengikut Muhammad ibn ‘Abd al-Wahâb bukan sebagai filosof. Pola kerja filosof menemukan dan merumuskan sesuatu sedangkan pola kerja mufakkir menyelesaikan dan merealisasikan sesuatu. Al-Fârabî menulis konsep negara utama. Ia merumuskan syarat-syarat dan kriteria pemimpin, sedangkan Jamâl al-Dîn alAfghânî, seorang-pemikir pergi ke berbagai negara, masuk dunia politik, ikut mencari siapa yang pantas diangkat menjadi pemimpin dalam suatu negara di mana ia ketika itu berada. Jamâl al-Dîn menunjukkan orang, sedangkan al-Fârâbî tidak menunjukkan orang, tetapi merumuskan kerja untuk orang.15 Yang menjadi catatan perubahan penggunaan Pendapat ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan Hamîd Thâher, mantan Wakil Rektor bidang akademik dan Profesor Filsafat pada Fakultas Dâr al-‘Ulûm Universitas Kairo pada tanggal 20 Agustus, dan dikonkritkan tanggal 22 Oktober 2007. 15 Dalam sistem kepemimpinan di Indonesia, Presiden diberi tugas menjalankan undangundang, mengatur pemerintahan yang baik, sementara undang-undang itu dibuat oleh DPR. 14

7


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 filosof menjadi mufakkir itu ialah ketika bertukarnya cara berpikir dari bersistem dan aliran menjadi berpikir parsial.16 Selain itu filsafat tidak bicara tentang benar dan salah, sementara pemikir lebih dititikberatkan kepada benar dan salah. Filsafat hanya membicarakan ciri-ciri sesuatu yang benar dan ciri-ciri sesuatu yang benar. Sementara pemikir berbicara tentang salah benarnya suatu perbuatan. Dari itu sedikit teranglah perbedaan antara pemikiran Islam dan filsafat Islam.

Akar-Akar Filsafat Islam di Mesir Abad Modern Zaman modern adalah lanjutan dari zaman klasik dan zaman pertengahan. Akar pemikiran modern itu terdiri atas tiga hal, yaitu turas lama yang jauh sebagai perpanjangan dari pemikiran Arab modern, turas lama yang dekat yaitu turas Barat semenjak terjadi kontak dengan dunia Islam gelombang pertama dengan Yunani dan Romawi, dan yang ketiga kontak dengan Barat modern semenjak kedatangan Prancis ke Mesir. 17 Menurut beberapa pemikir Mesir, zaman modern dimulai dengan masa kebangkitan dunia Arab sampai sekarang. Masa itu dimulai oleh tiga tokoh, yaitu Rifa‘ah Thahthâwî (1801-1873) sebagai peletak dasar Liberalisme modern, Jamâl al-Dîn al-Afghânî (18391897) sebagai peletak dasar gerakan pembaruan agama, dan Syibli Samuel sebagai penemu gelombang sekularisme.18 Tetapi Hamîd Thahir, Jamâl Marzûqî dan Yahya Farg berpendapat bahwa filsafat Islam modern itu dimulai semenjak perjuangan Muhammad ibn ‘Abd alWahâb sekitar tahun 1700-an. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahâb dianggap sebagai penggerak dan pelaksana tiga pemikir yang mendahuluinya yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Ibn Taimiyah, dan Ahmad ibn Hanbal sehingga kegiatannya lebih tepat disebut gerakan. Artinya, ia telah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman tiga pendahulunya.19 Ada lima faktor yang menyebabkan terbukanya pikiran pemimpin Islam untuk melakukan perubahan. Pertama, para utusan yang selalu membaca realitas budaya Barat dan tetap berkomuniTugas DPR tidak menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan, tetapi merumuskan apa yang akan dijalankan pemerintah. DPR berfungsi sebagai filosof, sedangkan pemerintah sebagai mufakkir. Hanya saja filosof adalah orang perorangan, sementara DPR adalah kelompok, namun tugas DPR dan tugas filosof dalam konteksnya sama, hanya figurnya yang berbeda, filosof adalah individual, sedangkan DPR adalah kelompok. 16 Pandangan seperti ini memperkuat pendapat Musthafa ‘Abd al-Râziq bahwa Usul Fikih itu termasuk bagian filsafat Islam. Dengan demikian, Imam Maliki, Imam Hanâfî, Imam Syâfi‘i dan Imam Hanbali termasuk filosof, karena hasil karya mereka merupakan sistem dan dari mereka masing-masing muncul mazhab. Tetapi karena nama fuqahanya sangat menonjol sehingga posisinya sebagai filosof dalam bidang fikih tersosialisasi. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Hamîd Thahir, al-Falsafah al-Islâmiyah fi al-‘Ashr al-Hadîs (Kairo: al-Nahdhah al-Misriyyah, 2005), h. 24.

8


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

kasi melalui terjemahan.20 Kedua, berkembangnya percetakan di dunia Islam, tersebarlah bermacam-macam turas klasik sehingga umat Islam mengetahui kebudayaan yang maju di zaman lampau. Ketiga, pendidikan dan pengajaran telah membuat para generasi mereka memiliki ilmu pengetahuan luas dan benar. Keempat, buku-buku yang banyak telah mengantarkan anak bangsanya menguasai ilmu pengetahuan. Kelima, koran-koran juga berperan penting memperkenalkan perhatian dan prinsip-prinsip Islam ke dalam masyarakat Islam di dunia.21 Penyebaran pikiran berlansung melalui lembaga-lembaga tertentu. Dâr al-‘Ulûm pada mulanya adalah sebuah sekolah tinggi yang kemudian menjadi salah satu fakultas di lingkunagn Universitas Kairo (Jami‘ah al-Qâhirah) yang terkenal dan bergengsi di Kairo dibangun untuk menghasilkan guru-guru dan dosen-dosen bahasa Arab dan ilmu pengetahuan keislaman yang berpikiran baru, mampu menghidupkan semangat zaman modern dan melahirkan budaya ilmiah yang handal dalam berbagai bidang.22 Dosen-dosen filsafat yang dilahirkan Dâr al-‘Ulûm ini antara lain, Abû al-‘Ala ‘Afifi, Ibrâhîm Madkur dan Mahmud Qâsim.23 Sekarang universitas ini telah melahirkan banyak pemikir dalam berbagai disiplin ilmu.

Antusias Keilmuan Dalam sejarah pembaruan dalam Islam telah diketahui banyak sekali pemikir-pemikir Mesir yang bersama-sama berupaya memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Mesir di abad modern. Hal utama tugas mereka adalah menemukan penyebabpenyebab kemunduran Mesir dengan semua permasalahannya dan kemudian mencarikan jalan keluar yang tepat untuk mengejar ketertinggalan itu. Pada posisi ini persoalan yang dihadapi antara lain sikap mempertahankan status quo, persoalan taklid. Ini kadang-kadang membuat sebagian tokoh putus asa untuk melakukan perubahan, ada pula yang berubah pendirian, ada yang terpengaruh oleh bantuan orang tertentu. Ini membuat pikiran mereka mati atau tertutup, dan kekuatan jahat telah menguasai upaya mereka sendiri.24 Adapun tokoh-tokoh yang menjadi panutan dalam pengembangan pemikiran Islam Ibid. Ibid., h. 24. 22 Ada anggapan yang mengatakan bahwa Kairo University ini dibangun untuk menandingi Universitas al-Azhar yang sangat terkenal itu. Dasar pendirian univeristas ini disebabkan sistem yang dibangun di Universitas al-Azhar sudah sangat kuno dan kurang merespon perkembangan yang terjadi di dunia modern. 23 Selain dosen filsafat Dâr al-‘Ulûm juga melahirkan penyair-penyair terkenal seperti ‘Ali alJarim, Mahmûd Hasan Ismâ‘il, para pemerhati ilmu, Muhammad ‘Abd al-Halîm ‘Abd Allâh, wartawan ‘Abd Allâh ‘Azîz Jawaisy, tokoh pembaru agama, Hasan al-Bannâ, Sayid Quthb, ahli Syari‘ah ‘Ali Hasb Allâh, ulama kemasyarakatan ‘Ali ‘Abd al-Wahîd Wâfi‘, dosen sastra ‘Umar Dasuqy dan Muhammad Ganimi Hilâl, ahli bahasa Ibrâhîm Anis, dan Tamâm Hasan. Ibid., h. 26. 24 Ibid. 20

21

9


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 di Mesir antara lain, Jamal al-Dîn al-Afghânî yang membangunkan dunia Islam dari tidurnya, Muhammad ‘Abduh menyuarakan metode pendidikan dan pengajaran baru. Al-Kawâkibi mengecam pemerintah yang sewenang-wenang, mengajak umat Islam bersatu dan mengurangi perbedaan, ‘Abdullâh al-Nadim mengecam kejahilan, khurafat, dan penyakitpenyakit masyarakat lain. Muhammad Rasyid Ridhâ menentang kebodohan dan khurafat, menafsirkan al-Qur’an secara modern. ‘Ali Yûsuf komunikator dengan pendahulu dan semua kolega di dunia. ‘Abd al-‘Azîz Juwaisy menyerukan kebebasan pers, mengharuskan pengajaran Bahasa Arab mengatasi bahasa asing. Khair al-Dîn al-Tûnisi mengutip apa yang ada di Barat untuk kemaslahatan dunia Islam, menyerukan keadilan, kemerdekaan. Madahat Basya merumuskan teori pembaruan dan pelaksanaan demokrasi modern sebagai gambaran musyawarah dalam Islam, dan beberapa pemikir lain seperti ‘Abd al-Hamîd ibn Bâdis, penentang metode sufi yang menumbuhkan semangat tawakal berlebihan, mempersenjatai generasi muda dengan iman dan amal yang sejalan agar dapat mencapai kemajuan.25

Semangat Pendalaman Filsafat Ada beberapa tokoh senior yang sangat konsen dengan filsafat walaupun keberadaan mereka tidak terlepas dari pandangan yang kontroversial. Di antara mereka adalah Qasim Amin, yang menganjurkan kebebasan kaum wanita, Âli Abd al-Râziq mengangkat persoalan khilafah, Salamah Mûsa mencanangkan dakwah untuk pemuda diilhami dan tidak terlepas dari semangat Barat kuno, Thâha Husein membahas persoalan kemasyarakatan dalam sejarah Islam. Karena pikiran tokoh-tokoh di atas terkenal cukup kontroverisal sehingga ditolak oleh masyarakat umum. Sebaliknya, Hasan al-Banna yang sangat agamis mengajak pelaksanaan ajaran Islam secara universal, termasuk dalam politik harus terwujud. Ia mendapat dukungan dari Sayid Quthb. Untuk Said Quthb menulis sebuah tafsir Fi Zhilâl al-Qur’an dalam rangka memperjelas gambaran ajaran Islam dengan metode tafsir yang memadai. ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqâd memperkenalkan Islam dengan bahasa modern. Muhammad Husein Haikal mengembangkan ilmu melalui pembelajaran sejarah hidup Nabi Muhammad Saw, dan para sahabat juga dengan gaya bahasa modern. Ahmad Amîn menulis berbagai buku sejarah dan pemikiran Islam dengan mengutamakan pembaruan. Al-Râfi‘i mengungkap kebesaran sastra al-Qur’an dan al-Zayyat membangun sastra Islam yang terkenal. 26 Pikiran tokoh-tokoh di atas sangat berpengaruh dan menghasilkan bentuk pengajaran untuk pengembangan berbagai Universitas di Mesir dan dunia Arab lainnya. Thâha Husein adalah orang universitas, tetapi kiprah dan pengaruhnya lebih banyak di luar kampus, terutama dalam hal kebudayaan dan peradaban. Sebaliknya, ‘Abbâs Mahmûd al-’Aqâd Ibid., h. 30. Ibid., h. 31.

25 26

10


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

adalah orang luar universitas, tetapi pengaruhnya sangat kuat ke dalam universitas. Keberadaan dua tokoh tersebut juga membawa dampak yang cukup positif bagi perkembangan filsafat di Mesir sampai abad modern. 27 Untuk pengembangan ilmu pengetahuan di Universitas al-Azhar terdapat beberapa orientalis yang pernah mengajar, tetapi sayangnya pandangan mereka terhadap Islam sangat tidak objektif sehingga mengurangi citra Islam, bahkan ada yang mengisukan pemikiran-pemikiran rasional sehingga menghalangi laju kemerdekaan berpikir di kalangan Islam. Ini jelas merugikan umat Islam di Mesir. Karena itu Musthafâ ‘Abd al-Râziq terdorong untuk mendalami filsafat Islam. 28 Salah satu hasil dan perannya yang terkenal adalah memasukkan usul fikih dalam lingkup filsafat Islam. Dengan demikian cakupan kajian filsafat Islam semakin meluas. Ketika dianalisis lebih jauh matapelajaran Usul Fikih yang sudah diajarkan semenjak dari pesantren di Indonesia yang sesungguhnya sangat filosofis dapat digunakan untuk menggali produk hukum.

Persoalan-Persoalan Terkini di Mesir Dalam masa lebih kurang lima puluh tahun terakhir masyarakat Muslim sudah sangat ketinggalan dalam banyak hal dibandingkan dengan masyarakat lain di dunia. Ini sebagai imbas dari penjajahan Barat yang sudah sangat mendalam terhadap dunia Islam. Suara pembaruan agama, masyarakat, dan budaya Islam pada umumnya kurang kuat dibandingkan dengan suara para penjajah itu. Salah satu penyebabnya adalah terjadi perselisihan berbagai negara Timur Tengah. Dunia Islam mendapat bencana karena ulah perpolitikan yang mengakibatkan sehingga mereka sendiri tidak mau bersatu. Ukhwah dan solidaritas sudah hilang dari umat Islam. Bangsa-bangsa Muslim di berbagai negara yang berbeda tidak lagi memiliki empati terhadap bangsa Muslim lain. Filsafat Islam ikut mendapat imbas dari problema ini. Umat Islam terpengaruh pada pola pikir Barat dan meresponnya mentah-mentah. Amat sulit mengubah cara berpikir sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama dan metode yang tepat untuk menanggulanginya. Selain bidang pemikiran, dijumpai dominasi Barat dalam berbagai segi yang berbahaya bagi umat Islam. Hal ini itu membuyarkan sendi-sendi filsafat Islam yang telah ada sehingga menghapus keinginan pengembangan filsafat Islam itu sendiri.29 Berdasarkan pengalaman yang telah berlalu diperkirakan filsafat Islam menghadapi beberapa persoalan karena dua faktor. Pertama, pola pikir aliran Salafi yang sangat ketat dan kuat berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber-sumber ajaran Islam dan tidak memberi peluang untuk menginterpretasikan nash-nash lebih jauh. Ketika terjadi benturan suatu doktrin dengan perkembangan yang terjadi pada abad modern, mereka tidak mau memperIbid., h. 32. Ibid. 29 Ibid., h. 26. 27 28

11


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 hatikannya. Kedua, pola pikir Barat mengatakan bahwa kemajuan hanya diperolah melalui satu jalan, yaitu melalui metode Eropa dan Barat Amerika. Alasannya mereka sudah berhasil mencapai kemajuan dan membuktikannya dalam kehidupan. 30 Hal ini telah menarik perhatian masyarakat Muslim sehingga merasa terpukau dan perlu mencontohnya dalam kehidupan.

Metode Pengembangan Filsafat Islam di Mesir Modern Dalam masa tiga puluh sampai lima puluh tahun terakhir, ada tiga metode pengembangan filsafat Islam yang dikembangkan di Mesir saat ini dengan meminjam metode yang dikemukakan tiga tokoh penting yaitu metode kritik analitis yang dibawa Musthafâ ‘Abd al-Râziq (w. 1947), metode rasional komparatif yang dibawa Muhammad Iqbal (w. 1938), dan metode historis yang dikemukakan oleh Ibrâhîm Madkûr.31 Musthafâ ‘Abd al-Râziq memakai metode kritik analitik dimulai dengan menyoroti pengajaran filsafat Islam yang digambarkan dalam sejarah. Dalam hal ini terdapat golongan orientalis yang berusaha menonjolkan unsur asing dalam filsafat Islam dan bersikeras mengembalikan posisi filsafat itu kepada sumber Arab, bukan sumber Islam. Apa pula sebagian golongan Islam yang mengabaikan nilai-nilai filsafat dan mengangkat keinginan mereka dalam mendapatkan posisi pada pemerintahan. Alasan mereka, filsafat Islam telah mendangkalkan paham kagamaan sehingga membahayakan bagi akidah umat. 32 Musthafâ Abd al-Râziq tidak setuju dengan dua pendapat itu karena pemikiran seperti itu telah menimbulkan kezaliman terhadap posisi filsafat Islam. Karena itu ia mengemukakan metode lain yang sejalan dengan agama Islam terutama untuk zaman modern yang disebutnya teori rasionalitas. Hal ini terbukti dari perintah al-Qur’an yang mendorong umat Islam memanfaatkan akal secara optimal untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw untuk mengambil hukum dari kedua sumber itu.33 Selanjutnya ia menggunakan metode tasawuf sebagai bagian dari filsafat Islam. 34 Musthafa ‘Abd alRâziq ingin menetapkan disiplin keilmuan yang menyeluruh sehingga filsafat Islam berfungsi kembali sebagai disiplin keilmuan yang universal. Di sisi lain al-Qur’an al-Karîm dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. memberi peluang dan arahan kepada manusia untuk menggunakan akal secara maksimal. Al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia untuk memperbincangkan segala hal termasuk soal akidah. Di samping itu, al-Qur’an mendorong manusia untuk mencari hikmah dan mengambil manfaat darinya. Banyak ulama-ulama besar dan mufasir yang tidak menyebutkan bahwa Ibid., h. 37. Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid., h. 63. 34 Ibid. 30 31

12


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

hikmah itu sesungguhnya akan berkembang untuk memahami agama Allah dan sekaligus mengamalkannya.35 Hikmah itu bersifat khusus sehingga tidak semua orang dapat memperolehnya. Di sini, Musthafâ ‘Abd al-Râziq mengatakan bahwa sudah saatnya muncul kewajiban memulai kembali berpikir filosofis, berpikir teratur secara kronologis di kalangan umat Islam, karena paling tidak hal ini berpengaruh pada masa depan umat Islam sendiri. Umat Islam di masa mendatang harus cerdas dan berpengetahuan luas. Pemikiran rasional dan pengetahuan luas adalah salah satu jalan untuk mencapai kemajuan di masa mendatang. Berbeda dengan Musthafâ ‘Abd al-Râziq, Muhammad Iqbal mengangkat metode komparatif,36 yaitu mengadakan perbandingan filsafat Islam yang berkembangan dan kritik-kritik yang muncul. Menurutnya salah satu tugas umat Islam adalah mengungkap kekurangan orientalis yang banyak berkomentar bahwa filsafat Islam hanya terjemahan dari filsafat Yunani. Muhammad Iqbal menolak dakwaan orientalis bahwa al-Qur’an itu hanya mengajak umat Islam untuk beramal dan tidak menyinggung anjuran untuk melakukan experimen yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Menurut Iqbal tuduhan orientasi ini menimbulkan pengaruh bahwa filsafat Yunani dapat memalingkan pandangan orang dari al-Qur’an.37 Menurut Muhammad Iqbal sebenarnya filsafat Yunani punya potensi yang besar dalam filsafat Islam, dengan arti kata banyak ilmuwan yang belajar dari filsafat tetapi sangat sedikit yang belajar al-Qur’an. Metode komparatif ini bertujuan untuk membersihkan pandangan orientalis dan sebagian aliran mutakallimûn yang terkontaminasi oleh pikiran Yunani. Dalam realitas selama ini, filsafat Yunani telah banyak mempengaruhi pikiran muslim sehingga pandangan mereka tertutup untuk memahami al-Qur’an. Kalau Mustafâ ‘Abd al-Râziq mengatakan pemikiran Islam berkembang menjadi fikih dan ushul fikih maka Muhammad Iqbal mengakui adanya pengaruh filsafat Greek bagi filsafat Islam. Tetapi metode ini dipelajari untuk menjadikan filsafat Yunani sebagai penguat untuk menggali dan mengungkap kebenaran al-Qur’an. filsafat dapat difungsikan sebagai metode untuk mendalami makna dan hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an. Kandungan al-Qur’an tidak dapat diperkirakan oleh manusia.38 Suatu makna ditemukan pada zaman tertentu, bisa terjadi perubahan makna itu pada masa lain bila dilihat dari konteks zamannya. Hal mendasar menurut Muhammad Iqbal yang menyebabkan kemunduran umat Ibid., h. 64. Jamal Marzuqi, Dirasât Naqdiyah fi al-Fikr al-Islâmi al-Mu‘âshir (t.t.p. : Dâr al-‘Afâq al‘Arâbiyyah, 2001 M), h. 169. 37 Ibid. 38 Dalam al-Qur’an dikatakan, “sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimatkalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.” Q.S. al-Kahfi/18: 109. 35 36

13


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Islam adalah pemikiran keislaman yang telah tertidur selama lima abad terakhir. Sementara di Eropa telah timbul kebangkitan baru sebagai manifestasi dari kontaknya dengan dunia Islam. Kesadaran yang muncul di Barat akan kelemahan mereka sendiri di masa lalu mereka pelajari kembali dan mereka berhasil memutar balikkan keadaan sehingga di abad modern Barat itu lebih maju. Barat itu sebenarnya berutang kepada pemikir Muslim karena telah menyelamatkan filsafat Yunani yang hampir mati di Abad Pertengahan. Perkembangan kebudayaan Barat, terutama sifat rasionalnya telah menampakkan keunggulan terhadap beberapa bagian penting dari kebudayaan Islam. Seiring dengan itu tidak ada peneliti atau tokoh dan ahli pikir Muslim di abad modern yang mampu mengikuti kebudayaan Barat. Pikiran Islam di abad modern ini seharusnya mampu berjalan seimbang dengan kebudayaan Barat.39 Muhammad Iqbal mengatakan bahwa kemajuan Eropa dalam beberapa abad yang silam telah mampu mendominasi sehingga menyebabkan umat Islam terjatuh pada pikiran jumud. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti persoalan-persoalan besar yang menjadi perhatian para filosof Muslim, semenjak abad pertengahan, terutama ketika para ahli kalam telah mengalami kemajuan. Efek samping dari perpanjangan kekuasaan manusia atas alam mengakibatkan keimanan dikuasai oleh kekuatan yang terbentuk oleh pikiran Barat. Akibatnya berpalinglah cara berpikir idealis filosofis kepada berpikir pragmatis sehingga ukuran sesuatu dilihat dari segi untung sepihak. Ini membawa akibat tidak adanya ukuran umum dalam pandangan manusia, dan tinggallah hukum untung rugi hukum penguasaan, dominasi dan penjajahan gaya baru. Langkah Iqbal membangun pikiran Islam adalah, Pertama, membangkitkan kembali kejayaan Islam seperti yang terjadi dalam sejarah Islam klasik. Kedua, mengembalikan teknologi keilmuan dan mengembangkannya sesuai dengan teori keilmuan modern. Ketiga, melakukan perbandingan dengan hasil pikiran Barat modern, sehingga jelas mana nilai-nilai insaniyah yang islami dan mana nilai-nilai sekuler. Berdasarkan tiga faktor ini Muhammad Iqbal dapat membangun beberapa pikiran dasar antara lain, teori kenabian yang bertujuan untuk memperkuat bukti bukti wujud Allah, merumuskan konsep ijtihad yang tepat dan menetapkan pelaksanaan ajaran keagamaan, kesufian, dan lain-lain. Berbeda dengan dua tokoh di atas, Ibrâhîm Madkûr mengangkat metode historis sebagai acuan dalam konteks ini. Ia adalah salah satu tokoh penting berkebangsaan Arab yang konsen terhadap filsafat Islam di abad modern. Dalam mempertahankan filsafat Islam Ibrâhîm Madkur tidak mengikuti metode Musthafâ ‘Abd al-Râziq maupun Muhammad Iqbal. Tetapi, ia mempertahankan filsafat Islam dengan metode filsafat Islam sendiri pula, yaitu menghubungkannya dengan turas Greek kuno.40 Pemikiran Greek kuno sudah menjadi Ibid., h. 67. Ibid.

39 40

14


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

dasar bagi kemajuan Islam. Metode filsafat yang dipedomani dari Yunani dan digunakan untuk mengembangkan Islam sehingga dengan ini dunia Islam menjadi maju. Ketika menyadari akan kemunduran itu, orang-orang Eropa kembali mempelajari filsafat melalui pemikiran para filosof Muslim di Andalusia. Seperti perputaran roda usaha Barat berhasil mengangkat martabat mereka dari keterpurukan yang mereka alami. Sebab itu, kalau asumsi ini benar, mungkin Ibrâhîm Madkur berpikiran bahwa metode filsafat yang sudah ada cukup mapan untuk mengembalikan kemajuan sehingga tidak perlu metode lain untuk mengembalikan kemajuan Islam. Ada beberapa hal yang mempengaruhi Ibrâhim Madkûr dalam menetapkan metode historis ini. Pertama, filsafat Islam berkembang memasuki wilayah ilmu kalam yang mencakup konsep salaf, pandangan Asy‘airah, Maturidiyah, Muktazilah dan Syi‘ah, karena pembahasan dalam Ilmu Kalam sarat dengam pola filsafat. Kedua, filsafat Islam sedikit banyak terpengaruh pada filsafat Yunani seperti Aristoteles, New Platonisme, yang kemudian terrealisasi di Timur yang dibawa oleh al-Kindî, al-Fârâbî, Ibn Sînâ, dan di Barat dibawa oleh Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd. Ketiga, filsafat Islam masuk kepada wilayah tasawuf. Tasawuf terbagi dua, tasawuf sunni dipelopori al-Junaid dan tasawuf falsafi dipelopori oleh Suhrawardî dan Ibn ‘Arabî.41 Semua itu telah menjadi ciri tertentu bagi kemajuan Islam. Para orientalis tidak mengetahui hubungan itu. Sesungguhnya filsafat adalah sistem yang menjadi titik awal ilmu, sementara ilmu yang dilahirkan filsafat itu sudah banyak sekali dan terpisah dari filsafat.42 Jadi ushul fikih serta kaidah-kaidah metodologinya, ilmu kalam dengan seluk beluknya, tasawuf dengan seluk beluknya adalah turunan dari filsafat Islam dan itu masih berlaku pada abad modern ini. Filsafat Islam sekarang tidak hanya terdapat pada dirinya sendiri, tetapi sudah menjelma pada ilmu-ilmu keislaman lain. Untuk melihat perkembangan filsafat perlu ditelusuri setiap wilayah ilmu yang terkait dengan filsafat, atau ilmu yang telah menjadi muara dari filsafat.43 Dalam pembahasan kalam dan tasawuf terdapat aliran dan pikiran yang tidak kurang rumitnya dari pikiran Aristotelian, tetapi banyak perbedaan. Ibrâhîm Madkur ternyata telah menempatkan gambaran yang luas untuk memahami filsafat Islam sama dengan Mustafâ ‘Abd al-Râziq. Ia telah memasukkan Ilmu Kalam dan

Dalam pandangan Hamîd Thahir, sebenarnya konsep filsafi dalam Islam tidak hanya terpaku pada tiga wilayah itu, tetapi berkembang pada wilayah ilmu lain seperti sastra, yang dapat dilihat pengaruhnya pada al-Mutanabbi, Abi al-A‘la al-Ma‘âri, Abi Hayyân al-Tauhîdi, kemudian pada ilmu Balagah seperti pendapat Qudamah ibn Ja‘far dan ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâni, pada Ilmu Usul Fikih yang menjadi jalur Tasyri‘ Islami, dan pada ulama Basrah yang kentara dalam metode kiyas, ‘illah, dan mereka mengutamakan teori dan praktik. Ibid., h. 73. 42 Lihat Mustafâ ‘Abd al-Râziq, Tamhîd li al-Falsafah al-Islâmiyah (Kairo: Maktabah al-Tsaqâfah al-Diniyyah, 2005), h. 131. 43 Bahkan lebih dari itu, untuk mempelajari ilmu kedokteran, kimia, falak, perindustrian juga harus memahami filsafat. Kadang-kadang ulama-ulama Islam dalam berpikir lebih berani dan lebih merdeka dari filsafat secara khusus. 41

15


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 filsafat (masyaiyah) Arisotelian, dalam lingkup filsafat Islam. Jadi, pengembangan filsafat Islam bukan hanya dari Aristotelian saja, tetapi juga dari filsafat Greek dan Plotinos, dan jalurnya yang khusus adalah pada sumber Islam. 44

Tokoh-Tokoh Filsafat Islam Mesir Modern Di Mesir, sebenarnya kajian filsafat tidak pernah berhenti. Di setiap perguruan tinggi, baik di Kairo sebagai ibu kota negara maupun di berbagai propinsi filsafat tetap diajarkan. Dengan demikian, pembelajaran filsafat Islam akan tetap diselenggarakan di Mesir. Banyak filosof yang fenomenal yang menjadi perhatian tersendiri di Mesir, tidak terbatas pada pemikir asal Mesir saja, tetapi termasuk tokoh dari luar Mesir. Di antara yang mereka bicarakan adalah Abû al-Barakat al-Baghdâdî, seorang filosof asal Yahudi, tetapi kemudian masuk Islam di penghujung hayatnya. Tokoh ini menyamai pola al-Kindî, al-Fârâbî, dan Ibn Sînâ. Ia berbicara tentang hakikat benda, hakikat gerak dan hakikat zaman. Abû al-Wafâ al-Taftazâni adalah seorang filosof yang menjadi kebanggaan orang Mesir. Tokoh ini adalah anak bangsa Mesir dan lahir di Mesir. Dalam pengalamannya ia banyak menduduki jabatan penting di perguruan tinggi, dari ketua jurusan sampai menjabat rektor. Jabatan itu tidak membuat dia terhalang untuk mengembangkan pikiran dalam filsafat Islam. Pikirannya banyak mengangkat persoalan tasawuf. Usahanya yang konkrit ialah mengkaji ulang konsep tasawuf dalam Islam dan menunjukkan argumen tasawuf seperti yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pikirannya ini dilatar belakangi oleh maraknya pandangan bahwa tasawuf dalam Islam itu tidak lahir dari dalam Islam, tetapi dipengaruhi oleh ajaran mistik di luar Islam. Ia merasa bertanggungjawab untuk mendudukan pendapat yang sebenarnya. Di samping menuliskan pendapat sendiri, Taftazani juga banyak menjawab persoalan-persoalan dari orang-orang yang ingin menyalahkan kedudukan tasawuf dalam Islam. Muhammad Ahmad al-Sudani diungkap pemikir Mesir sebagai tokoh dunia Islam yang perlu diketahui umum. Ia memproklamirkan dirinya sebagai Imam al-Mahdi al-Muntazar yang disampaikan Rasul. Tetapi dalam indikator-indikator yang ia kemukakan ternyata berbeda dengan yang disampaikan Nabi. Analisis sebagian pemikir Mesir mengatakan deklarasi diri Muhammad Ahmad al-Mahdi al-Sudani tidak terlepas dari unsur politik. Ia ingin menyatukan umat Islam dunia yang sudah terpecah belah dalam rangka menghadapi penjajahan Inggris di mana-mana. Dengan kesatuan umat Islam itulah penjajahan dapat dihentikan. Tetapi paham al-Mahdi yang dicetuskannya tidak semua disepakati ilmuwan dan umat Islam, bahkan ada yang menentang karena ada pikirannya yang tidak diterima. Tokoh mufakkir lain adalah ‘Abd al-Rahmân al-Kawâkibî, salah seorang pemikir yang

Thahir, al-Falsafah al-Islâmiyah, h. 74.

44

16


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

disinyalir mempunyai hubungan dengan ‘Ali ibn Abi Thâlib, tentu juga dengan Rasulullah. Ia termasuk anak yang cerdas semenjak kecil dan sudah hapal al-Qur’an semenjak dini. Pemikirannya antara lain melihat keunggulan orang Arab dari orang ajam. Orang Arab sudah lahir dengan bahasa dasar agama Islam yaitu bahasa Arab. Tetapi yang dituju oleh al-Kawakibi adalah menyatukan kekuatan umat Islam Arab dan menentang penjajahan. Umat Islam Arab sudah mendapat perintah langsung dari Allah dengan tugas menegakkan yang makruf dan menentang yang mungkar. Pendapatnya ini disampaikan merupakan umpan balik dari pemerintahan Turki yang sudah mengabaikan kelebihan orang-orang Arab, ketika khilafah Islamiyah yang berpusat di Istambul ini berkuasa. Adalah wajar al-KawâkibĂŽ mengemukakan pikiran untuk membangkitkan kesatuan umat Islam ketika telah terjadi kemunduran umat dari berbagai segi dan menggugah semangat umat Islam untuk bersatu dan membangun kembali tanah air mereka.

Penutup Filsafat Islam modern sudah mulai berkembang di Mesir semenjak abad ke delapan belas. Para pemikir dan pemerhati filsafat mengatakan bahwa filsafat Islam yang dikategorikan termasuk periode modern dimulai semenjak terjadi perubahan dari kondisi menurun menjadi naik, menggeliat kembali dari tidurnya, identik dengan renaisance filsafat Islam. Karena belum kelihatan secara gamblang paling tidak periode dianggap sebagai basis pemikiran modern. Walaupun demikian periode ini lebih tepat dikatakan sebagai gerakan pemurnian kondisi umat Islam yang lebih mementingkan perbaikan akidah. Di masa itu jelas marak sekali paham yang bercampur syirik sehingga ada pemikir yang mengatakan periode ini lebih tepat disebut periode pemurnian. Telah terjadi perubahan pemahaman di kalangan pemikir Mesir tentang pengertian filsafat Islam. Perubahan terjadi setelah bergesernya pola pikir para ilmuwan Islam dalam menyikapi dan merumuskan struktur kemasyarakatan Islam ini. Pemikir adalah istilah umum karena didasarkan atas segala bentuk kegiatan otak, sementara filosof adalah berpikir khusus yang tidak dilakukan semua orang. Mufakkir adalah ilmuwan yang dalam kegiatannya lebih menjurus pada hal-hal teknis sementara filosof berada pada posisi konsep dan pola kerja. Filsafat tidak lagi berada pada posisi yang tetap di singgasananya. Kontiuitas filsafat Islam tidak lagi murni seperti perkembangan awal, tetapi sudah menyebar ke berbagai disiplin ilmu lain. Ketika filsafat Islam muncul, yang diambilnya dari daerah asalnya Yunani adalah metodenya. Filsafat Islam tidak mengambil filsafat Yunani itu mentah-mentah. Dengan metode itu filsafat Islam berkembang sendiri terlepas dari induknya. Filsafat Islam membahas persolan kalam, persoalan fikih, persoalan tasawuf, persoalan politik, dan persoalan ekonomi. Filsafat memasuki persoalan ketuhanan serta hal-hal yang terkait dengan itu seperti 17


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 kenabian, wahyu, perbuatan manusia, persoalan takdir, persoalan hari akhirat, persoalan dosa dan pahala, persoalan iman dan kufur, persoalan janji Allah dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan filsafat masuk pada ilmu kalam, semua itu tidak ada sama sekali dalam filsafat Yunani. Banyak buku yang berbicara tentang ilmu kalam dan sarat dengan dialog dan perdebatan, yang tujuannya mendalami konsep ketuhanan dalam Islam, semua itu adalah filsafat Islam. Filsafat menjelajah bidang tasawuf karena ia membicarakan hal-hal yang terkait pendekatan diri terhadap Allah sedekat-dekatnya. Berbagai cara yang berkembang dalam tasawuf diperankan oleh tokoh yang berbeda dan dengan pendekatan yang berbeda itu sesungguhnya adalah bagian dari filsafat. Banyak perbedaan pendapat dan dialog yang terjadi di kalangan ahli tasawuf itu sebenarnya adalah bagian dari filsafat Islam. Tokohtokoh tasawuf itu sebenarnya adalah filsuf. Filsafat memasuki bidang fikih. Para imam mujtahid membahas persoalan fikih mulai dari persoalan ibadah secara universal sampai kepada persoalan sosial kemasyarakatan seperti politik, ekonomi, dan budaya. Itu sesungguhnya adalah menggunakan pendekatan filsafat. Metode yang dipakai para fukaha itu sebenarnya adalah pendekatan filsafat. Usul fikih yang dipelajari dan dikembangkan itu adalah bagian dari filsafat Islam. Di luar dari Islam tidak ada pelajaran usul fikih. Filsafat Islam di Mesir juga mengalami berbagai persoalan, terutama dalam pengambangan dan pendalaman. Faktor yang menjadi hambatan antara lain paham Islam yang sempit, tidak dapat melihat sisi pandang orang lain sebagai bagian yang mungkin mempunyai sisi benar. Sikap eklusifisme di antara pemikir muslim sendiri. Selain itu sikap ‘ashabiyah juga tidak sedikit menghambat perkembangan kajian filsafat Islam. Diketahui bahwa hambatan filsafat Islam di Mesir adalah ketertinggalan budaya. Memang Mesir adalah negara yang maju di zaman kuno. Tetapi pemerintah dan masyarakat Mesir larut dengan masa lalunya. Ilmu memang berkembang tetapi perkembangan itu tidak banyak membawa perubahan langsung kepada masyarakat. Di sini masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Pembaruan yang dimulai semanjak dua abad yang lalu dikembangkan terus berlangsung dengan penuh retorika. Betapa banyak tokoh-tokoh yang melahirkan pikiran-pikiran cemerlang dan jitu, mereka berbicara dalam berbagai persoalan kehidupan, semuanya menyangkut bagaimana memajukan Mesir, tetapi dalam realitas pikiran-pikiran itu tidak banyak membawa Mesir berubah ke arah kemajuan yang lebih realistis, sekarang sesungguhnya Mesir masih berada dalam kondisi tertinggal. Namun demikian rakyat Mesir tetap mendapatkan perhatian yang maksimal dari pemerintah. Biaya hidup di Mesir murah, ongkos transportasi murah, bahan kebutuhan pokok murah, dan bahan bakar murah. Bentuk bangunan perumahan dan tempat tinggal sama. Perbedaan kaya dan miskin tidak terlalu kelihatan. Perkembangan filsafat Islam di Mesir terdiri atas dua bentuk, yaitu pertama dalam bentuk usaha pelestarian kajian filsafat. Di sini usaha dilakukan mencetak ulang seluruh 18


Afrizal M: Perkembangan Filsafat Islam di Mesir Modern

turas filsafat yang pernah berkembang. Banyak buku filsafat lama, dan telah berumur ratusan tetapi selalu dicetak ulang. Usaha ini kebanyakan dilakukan oleh berbagai penerbit sehingga siapa saja yang menginginkan buku filsafat lama tetap ada persediaan. Kedua pengembangan filsafat yang dilakukan dengan mengadakan seminar dan diskusi tentang berbagai topik menarik. Seminar itu menghasilkan pikiran baru dalam berbagai bidang termasuk filsafat. Buku-buku itu dicetak dan disebarkan ke berbagai toko buku di sekitar Mesir. Dari situlah para mahasiswa dan alumni filsafat membaca dan memperluas pengetahuannya.

Pustaka Acuan Al-Bahsawi, Salim, al-Ghaz al-Fikr li Tarikh wa al-Sirah bain al-Yamin wa al-Yasar. Kairo: Dâr al-Wafâ’ 2004. Ganimah, ‘Abd al-Fatah Musthafâ. al-Tarjamah fi al-Hadhârah al-Arabiyyah al-Islâmiyah. Kairo: Jumhuriyah Misra al-Arabiyyah, Wizârah al-Auqâf, Majlis al-‘Ala li Syu’ûn al-Islâmiyah, 2007. Hanafi, Hasan. Hiwar al-Ajyal. Kairo: Dar al-Quba’, 1998. Hanafi, Hasan. Humûm al-Fikr al-Wathani. Kairo, Dar Quba, 1998. Hanafi, Hasan, al-Din wa al-Tsaqâfah wa al-Siyâsah fi al-Wathan al-‘Arabi. Kairo: Dar alQuba’, 1998. Hanafi, Hasan. Min al-Naql ila al-Ibdâ’. Kairo: Dar al-Quba, 2000. Hanafi, Hasan. al-Yasar al-Islâmi. Kairo: Hilyobolis, 1981. Imârah, Muhammad. al-Islâm fi Muwajahah al-Tahâdiyyah, t.t.p.: Nahdah Misr, 2006. Imârah, Muhammad. ‘Abd al-Rahmân al-Kawâkibi. Kairo: Dâr al-Syuruq, 2007. Al-Musairi, ‘Abd al-Wahâb. al-Falsafah al-Mâdiyah wa Tafkîk al-Insân. Damsyiq: Dâr alFikr, 2003. Marzûqi, Jamal. Dirâsât Naqdiyah fi al-Fikr al-Islâmi al-Mu‘âshir. t.t.p.: Dâr al-Afâq alArabiyyah, 2001. Marzûqi, Jamal. Madkhal ilâ al-Falsafah al-Islâmiyah. Kairo: Dâr al-Hidâyah, 2006. Nabi, Malik ben. Musykilah al-Afkâr fi al-‘Alam al-Islâmi. Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘ashir, 2006. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Al-Râfi’i, ‘Abd al-Rahmân. Tarîkh al-Harakah al-Qaumiyyah wa Tathawwur Nizhâm alHukm. Kairo: Maktabah al-Usrah, 1998. Al-Râziq, Mushthafâ ‘Abd. Tamhîd li al-Falsafah al-Islâmiyah. Kairo: Maktabah al-Tsaqâfah al-Diniyyah, 2005. Sanusi, Anwar Sejarah Dunia. t.t.p.: t.p.,t.t. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 1977. 19


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Thâhir, Hamîd. al-Falsafah al-Islâmiyah fi al-‘Ashr al-Hadis. Kairo: al-Nahdhah al-Misriyyah, 2005. Thayyib, Ahmad. al-Jânib al-Naqdy fi Falsafah Abi al-Barakât al-Bagdâdy. Kairo: Dar alSyuruq, 1425 H /2005 M. Tohir. Negara-Negara Maju pada Jaman Kuno. Semarang: Badan Penerbit & Percetakan Istana Buku Abede,t.t.

20


POSITIFIKASI ASKETISME DALAM ISLAM DENGAN PENDEKATAN PARADIGMA KLASIK DAN MODERN Nurkhalis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Jl. Syeikh Abd. Rauf Kopelma Darussalam, Banda Aceh, 23111 e-mail: nurkhalis_sf@yahoo.com

Abstrak: Asketisme identik sebagai moral tertinggi atau pencapaian asketis dalam menghiasi kehidupan agar memaknai eksistensi agama dalam keyakinannya. Asketisme sebanding dengan ketinggian etika atau ketinggian etos. Asketisme dipersepsikan tidak diarahkan kepada keengganan untuk bekerja adalah gejala dari kurangnya karunia. Asketisme dalam Islam dipersepsikan sebagai zuhud yaitu alienasi diri serta diidentikkan dengan faqîr, jû‘i atau ‘uzlah menjauhkan diri dari kebersamaan. Dengan demikian pengenalan asketisme Islam dengan zuhud masuk dalam kekangan masa lalu, sedangkan asketisme Islam yang kontemporer mesti masuk dalam ironcage modernitas. Asketisme Islam dilatar belakangi oleh etos dan etik yang bersifat sosiosentris bukan egosentris hanya mendambakan kesempurnaan dan kesalehan diri. Corak asketisme Islam tidak bersifat zuhud stagnan akan tetapi zuhud moderat. Dengan demikian zuhud moderat sama dengan zuhud produktif dan partisipatif. Abstract: Positivication of Asceticism in Islam in Classical and Modern Paradigm Approaches. Asceticism is known as the highest moral or the ascetic achievement in order to interpret the existence of religious life in his conviction. Asceticism is comparable with the height ethical or altitude ethos. Asceticism is perceived not turn to unwillingness to work is symptomatic of lack of grace. Asceticism in Islam is perceived as an ascetic self-alienation and identified with faqîr, jû’i or ‘uzlah. Thus the introduction of asceticism in Islam called zuhud can do ironcage entry in the past, whereas contemporary Islamic asceticism must be included in ironcaging modernity. Islamic asceticism motivated by ethos and ethic which is sociocentric not egocentric only for self-perfection and self-righteousness. The style of Islamic asceticism is not be stagnant zuhud but moderate zuhud. Thus moderate zuhud is identical with productive and participatory zuhud.

Kata Kunci: tasawuf, asketisme, Islam, klasik, modern

21


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Pendahuluan Kebanyakan orang terkadang bertukar penggunaan kata estetis dengan asketis, asketis berbeda dengan estetis, estetis tertarik pada keindahan sedangkan asketis menghindari dari kesenangan. Asketisme identik sebagai moral tertinggi atau pencapaian asketis dalam mengarungi kehidupan dalam memaknai eksistensi agama dalam keyakinannya. Asketisme juga dikenal dengan askese di Barat, asrama dalam agama Budha, yoga menurut agama Hindu, sedangkan Islam dengan istilah zuhud. Semua agama memiliki kecenderungan polarisasi asketisme compatible dengan ajaran kehidupan. Asketisme merupakan motivasi pembentuk perubahan sikap dari kealpaan menuju keselamatan. Kehidupan manusia selalu menimbulkan titik jenuh akibat pencarian ephoria kehidupan berakhir pada titik krusial yaitu terjatuh dalam dekadensi moral, maksiat, korupsi, prostitusi, dan gaya hidup bebas. Semua tindakan manusia terpatron dalam siklus kehidupan antara baik dan buruk yang saling bertabrakan karena kecenderungan manusia lebih dominan disibukkan oleh hal yang menyenangkan sehingga luput dari perbaikan diri secara kontinuitas antara pilihan melakukan instrospeksi dalam semua kesibukan. Kehidupan menawarkan berbagai performa negatif yang kadang diselimuti wajah positif. Manusia memilih pesona kehidupan yang cemerlang dengan mengabaikan nilai-nilai positif dalam koridor asketisme. Perkembangan global telah menempatkan manusia pada puncak kebahagian materi seperti ungkapan Max Weber manusia modern menginginkan ‘the orgy of materialism’ (pesta pora materialisme).1 Evolusi fasilitas modern telah mendorong pertumbuhan konsumtif manusia meningkat yang ditandai peningkatan sampah di tengah masyarakat. Kehidupan modern telah membangkitkan spirit ego sektoral terhadap kebebasan dalam menentukan arah hidup antara hedonisme, liberal ataupun kesalehan dalam istilah Max Weber yaitu panggilan jiwa (calling).2 Asketisme merupakan dasar manifestasi spirit Islam yang mencorakkan kehidupan dalam posisi kesiapan meraih esensi kehidupan seperti keteraturan, kealpaan dosa besar dan kecil, kesabaran dan kesalehan, mencintai dan mengingat Tuhan di mana pun keberadaannya.3 Ada tiga kesalahan pada asketisme selama ini yaitu perasaan tidak boleh berlebihan mencintai barang berharga, kekhawatiran berlebihan pada kehilangan kenikmatan duniawi, perasaan tidak menyenangkan membatasi (memenjarai) jiwa dari kesenangan, tidak suka kritikan dan abstain memperhambakan diri kepada Tuhan.4 Deviasi jiwa manusia cenderung ‘If capitalism begins as the practical idealism of the aspiring bourgeoisie, it ends, Weber suggests in his concluding pages, as an orgy of materialism’. Lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism’ (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), h. 3. 2 Max Weber, Sociology of Religion(t.t.p.: Routlefdge Taylor & Francis Group, t.t.), h. 117. 3 Fathullah Gulen, Key Concept in the Practice of Sufism: Emiral Hills of Heart, terj. Ali Unal, (New Jersey: The Light Inc., 2006), h. xvi. 4 Ibid, h. 43. 1

22


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

mengikuti asketisme semacam ini sebagai sikap penegasian hidup yang menyebabkan pola pikir manusia berada dalam kulminasi kegagalan selalu memilih pasif sehingga terjatuh dalam stagnan. Asketisme dalam Islam menurut pandangan Ibnu Khaldun lebih dipersepsikan sebagai zuhud yaitu alienasi diri dari masyarakat dan mengasingkan jiwanya untuk lebih fokus melakukan ibadah murni (mahdhah).5 Sedangkan Mawdudi mencoba mengkritisi kedudukan sufi asketisme terkadang perilaku sufi tersebut terjerumus antara atheisme dan politheisme hingga terjatuh ke dalam konflik kekaburan Islam. Asketisme dalam perkembangan Islam dihiasi oleh tindakan rasional sufi baik terkesan sebagai sugesti dari sifat sufi atau bawaan konsep interpolasi dari pribadi seorang sufi. Hingga jadilah konsep tersebut sebagai kekuatan tanpa daya pengaruh terhadap pergumulan sosial keagamaan akibat konsep tersebut terindikasi antara keyakinan, doktrin ataupun aturan hidup saja. Sebenarnya dasar asketisme dalam Islam secara umum berpandangan sesuai dengan apa ‘the Divine Will offers’ (usahausaha sesuai kehendak Tuhan). Asketisme mengandung kekuatan ilahiyah untuk ditanamkan ke dalam pribadi yang menjunjung tinggi nilai asketis. Persyaratan asketisme yang berat adalah ‘the denial of luxuries’ (melenyapkan kemewahan).6 Asketisme tidak bertujuan merubah keyakinan melainkan merubah dunia menjadi akumulasi etos dan etik yang diwujudkan dominan dalam kehidupan kebaikan sosial tidak hanya monoton pada kebaikan untuk dirinya.

Pengertian Asketisme Asketisme berasal dari bahasa Yunani yaitu askesis yang diartikan sebagai latihan spiritual yaitu kontrol terhadap jiwa dan akal yakni praktek mengurangi makan dan tidur, membujang dan alienasi.7 Asketis itu sendiri diartikan sebagai melatih diri meningkatkan nilai-nilai spiritual seperti halnya melatih fisik dengan memperbanyak senam dan atletik. Ada dualisme pandangan asketisme yang terinspirasi dari agama Hellenistik Yahudi dan filsafat Philo yang mengatakan askesis bermakna melenyapkan dunia lahir ataupun penolakannya. Asketisme sering berkoneksi dengan praktek monastik untuk membangkitkan sikapsikap seperti memelihara ucapan, menahan jiwa, kekurangan pangan, mengasingkan diri dan membatasi keperluan.8 Asketisme membuat pemikiran individu kembali kepada primitif dengan tidak menghiraukan tujuan-tujuan jangka pendek. Konsentrasi asketik berusaha menciptakan kebaikan atau keutamaan kekuatan lahiriyah, emosi dan suasana hati. Perubahan tersebut dipengaruhi dari akibat tindakan jiwa, ucapan dan akal. 9 Asketisme Ibn Khaldûn, Tarîkh Ibn Khaldûn: Muqaddimah, Jilid I (Beirût: Dâr al-Kutâb al- ‘Alâmiyah, t.t), h. 541. 6 David B. Perrin, Studying Christian Spirituality (New York: Routledge, 2007), h. 244. 7 Carl Olson, Religious Studies: the Key Concept (New York: Routledge, 2011), h. 194. 8 Juan E. Campo, Enciclopaidia of Islam (New York: Facts on File Inc., 2009), h. 65. 9 Randi Fredricks, Fasting: an Exceptional Human Experience (Bloomington: All Things Well Publications, 2013), h. 175. 5

23


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 membatasi jiwa, ucapan dan akal ke arah lebih satis meninggalkan cara berpikir dinamis atau ide-ide pencerahan. Asketisme didefinisikan secara umum yakni penyangkalan diri secara tersistem terhadap keinginan-keinginan yang ideal ataupun dapat dipandang sebagai doktrin agama di mana seseorang dapat mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi dengan ketat disiplin diri dan penyangkalan diri. Ataupun asketisme dipahami sebagai pencapaian kesempurnaan diri dalam artian menahan jiwa, ibadah, memelihara perkataan dari hawa nafsu yang terlarang.10 Asketisme lebih bersifat penyangkalan, pengingkaran dan pelenyapan idealisasi kehidupan yang berhenti pada kesederhanaan konsep kehidupan. Asketik lebih bersifat mengkoordinir keinginan yang tak akan terpenuhi bagaikan adagium ‘Ignis probat ferrum, et tentatio justum’ (bagai api membakar besi sebagaimana pula godaan membakar keinginan manusia).11 Sebagian orang theosofi dan mistik menganggap kehidupan duniawi tidaklah menjanjikan bagi kehidupan akhirat sehingga paradigma berpikir digeser untuk beralih bersikap asketisme. Sebenarnya asketisme mengajak orang untuk berdiri di atas kaki sendiri baik dengan cara memobilisasi, kepekaan, perasaan dan sewaktu-waktu dapat menjadi korban dari putusan yang diambilnya dalam kehidupan.12 Asketisme merupakan teori yang tergantung bagaimana digerakkan oleh penujuk jalan, dapat saja asketisme menjadi positif dan negatif. Pada dasarnya nilai asketisme tidak terindikasi amoral.

Perkembangan Asketisme Modern Pemikiran asketisme modern terlihat lebih dominan dari implementasi gaya berpikir Max Weber. Selama ini asketisme dikonotasikan sebagai sikap abstain dari kesenangan dan penaklukan terhadap cita-cita penghematan. Weber menggunakan asketisme sebagai potensi transformatif terhadap ‘the monastic empowerment of the self’ (pemberdayaan kekuatan monastik pada diri). Karena Asketisme metode pelatihan diri untuk tujuan transendental. Weber tertarik pada asketisme rasional yang berlawanan dengan ‘planless world flight’ (menerbangkan dunia tanpa rencana) ataupun mendambaksan asketisme yang sensual (Gefuhlsaskese). Akhirnya Weber mencetuskan pengembangan asketik Protestan dan kebangkitan monastik.13 Weber menarik asketisme dari diskursus keagamaan yang sifat metafisik dikembangkan menjadi ide asketisme yang realistis. Indikator sukses seseorang dalam beragama tergantung dari suksesnya hidup di dunia. Udo Schaefer, Baha’i Ethics in Light of Scripture: an Introduction, Vol. I (Oxford: George Ronald Publisher, 2007), h. 194. 11 Geoffrey Galt Harpham, The Ascetic Imperative in Culture And Criticism (Chicago: The University of Chicago Press, 1993), h. 56. 12 Ibid. 13 Lutz Kaelber, Schools of Asceticism: Idilogy and Organization in Medieval Religious Communities (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2003), h. 40. 10

24


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

Dorongan asketisme selama ini berupaya abstain dalam persoalan duniawi sehingga menahan dan mengekang diri dari berbagai pengaruh melalui dorongan diciptakan secara sistematis dari dalam diri jiwa. Adakah asketisme merupakan bahagian dari agama tetapi juga masuk dalam bidang sosial bahkan ekonomi? Persepsi Weber menegaskan bahwa asketisme merupakan ‘a rational method of living’ (cara hidup rasional). Di Barat, konsep agama yang ditanam dalam bentuk spirit ‘beruf’ dalam bahasa Weber ia menyebutkan dengan kata ‘calling’ (panggilan jiwa) seperti yang dinyatakan Weber dalam bukunya Protestant Ethic yakni asketisme yang dilandasai ‘beruf’ dan ‘calling’ sekarang melangkah ke tempat pamasaran (market-place) dan melakukan penetrasi dalam rutinitas kehidupan seharihari untuk menemukan pencerahan diri (enlightenment) dengan melenyapkan sikap anasir dalam kehidupan. Kehidupan yang bermakna hanya dapat diraih oleh diri sendiri melalui pencerahan yang dimulai dari kegiatan-kegiatan sederhana menuju kepada penguasaan pasar maupun pemasaran yang ada di sekitar tempat tinggal lambat laun menjadi perkembangan pesat. Asketisme dipahami sebagai persepsi bertujuan merubah dunia menurut keyakinannya. Asketisme yang berkembangan di Barat merubah pola pikir agama menjadi orientasi pasar sehingga panggilan hati (beruf ) melalui orientasi tersebut dapat dicapai secara mudah. Karena itu beruf dan calling tersebut bertujuan perbaikan nasib ketimbang perbaikan kesalehan. Urgensinya gagasan Weber untuk mengklasifikasikan antara asketisme dunia dalam (inner-worldly/inner-weltliche askese) lebih identik dengan ajaran calvinisme dan asketisme dunia lain (other-worldly/ausserweltliche askese) tidak bertujuan merubah dunia. Pandangan ini sesuai dengan ajaran monastisisme. Asketis monastik terbagi pada dua jenis yaitu setiap individu mencari keselamatan dan hirokratik organisasi untuk melatih kependetaan pada diri.14 Tindakan Weber telah mensponsori lahir berbagai ide-ide ekonomi modern untuk mengalih perhatian agama yang statis kepada pencerahan ekonomi sosial. Asketisme monastik merupakan suatu cara membangkitkan melalui pengendalian serta menundukkan sensualitas, hingga diraihnya dengan proses kerja keras sebagai perbaikan panggilan agama melalui peningkatan praktek dalam kebajikan dan berpegang teguh perintah agama, bahkan sebagai sikap semangat juang (heroic) untuk membangkitkan jiwa secara khusus.15 Ide puritan dalam agama Kriten Protestan digerakkan oleh panggilan jiwa (calling ) agar orang menjadi ‘acquire goods and earn a living’ (mendapatkan barang dan mencari nafkah).16 Asketisme dalam agama mempengaruhi keputusan dalam menghadirkan atau memanifestasikannya agar menjadi paling efektif diharuskan masuk dalam kelompok calling seperti yang dimaksudkan Weber.17 Weber menyatakan konsisten individu sesekali ada penyatuan antara mistisisme dengan etik yakni calling dalam makna menciptakan

Richard Swedberg dan Ola Agevall, The Max Weber Dictionary: Key Words and Central Concepts (California: Stanford University Press, 2005), h. 10. 15 Kaelber, Schools of Asceticism, h. 40. 16 Weber, The Protestant Ethics, h. 100. 17 Ibid. 14

25


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 sebuah disiplin hidup.18 Asketisme menurut Max Weber yaitu peka pada kepastian apa yang dimilikinya sebagai perhatian untuk membentuk motivasi yang dapat mengorganisir kehidupannya melalui metode yang ada dalam interpersonal. 19 Weber mengharapkan semua hak-hak dasar manusia menemukan justifikasi melalui keyakinan terhadap pencerahan (enlightenment) dengan aktifnya rasio individual karena setiap individu adalah sangat kompetensi mengetahui benar ketertarikannya sendiri terhadap keinginan yang akan dicapai. Weber menyatakan terdapat dasar makna hidup yang dimiliki pada setiap individu seperti Weber menyandarkan dasar makna hidup sama dengan karakteristik masyarakat modern yaitu ingin melepaskan diri dari ketertinggalan.20 Weber memberikan perhatian besar tentang apa yang diamatinya yaitu asketisme dalam elemen bisnis modern yang dipersepsikannya harus dikembalikan ke dalam paham Puritanisme (kemurnian). Dalam mencapai kesuksesan harus menolak tujuan lain ataupun kepentingan lain, bahkan mengabaikan anjuran agama yang sifatnya mengarah kepada ketertinggalan. Inilah bentuk sekuler dari Puritanisme dengan menggiringkan asketisme ke dalam istilah lain yaitu panggilan jiwa (calling ).21 Agama mengajak kepada askese tetapi Weber mengajak kepada calling yang diasumsikannya sebagai cara menumbhkan motivasi melebihi dari anjuran agama itu sendiri. Kebahagiaan hidup bisa saja datang dari keduanya tetapi Weber lebih menekankan panggilan jiwa (calling) untuk merubah sikap pasif individu agar tumbuh ethos dalam kinerjanya. Kemudian Weber menggeser kedudukan agama sebagai musuh rasionalitas asketisme,22 seperti ungkapan Weber yang mengatakan ‘modern work in a calling is ascetic in character is not a new one’ (karya modern dalam suatu panggilan jiwa adalah asketik dalam watak yang tidak baru).23 Akhirnya Weber menegaskan dalam pernyataan lainnya yakni ‘unwillingness to work is symptomatic of lack of grace’ (keengganan untuk bekerja adalah gejala dari kurangnya karunia).24 Kesalahan memahami asketisme ditanggapi Weber sebagai ketiadaan karunia Tuhan. Tuhan memberikan daya pencerahan dari mereka yang mau melakukan upaya apapun demi sukses kehidupannya di dunia. Asketisme menurut Weber memainkan peranan ‘spirit of modern rational capitalism’ (semangat kapitalisme rasional modern). Di mana konsep ini membantu membangkitkan manuver manusia untuk menumbuhkan spirit kerja keras, memperhatikan apa yang dapat dijadikan usaha sebagai celah manifestasi asketik dengan terus menginvestasikan berulang

Kaelber, Schools of Asceticism, h. 40. Weber, The Protestant Ethics, h. 100. 20 Roland Robertson, The Sociological Interpretation Of Religion (New York: Knopf Doubleday Publishing Group, 1972), h. 35. 21 Max Weber, “Socialism,” dalam W.G. Runciman (ed.), Max Weber: Selections in Translation (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), h. 117. 22 Weber, The Protestant Ethic, h. 167. 23 Weber, “Socialism” dalam W.G. Runciman (ed.), Max Weber, h. 170. 24 Weber, The Protestant Ethic, h. 159 18 19

26


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

kali demi keuntungan.25 Keuntungan selalu dibarengi oleh sebuah usaha keras, tidak mungkin keuntungan datang tanpa kreatifitas. Asketik dalam format Weber tidak menunggu akan tetapi penjabaran kreatifitas yang memungkinkan dilakukan tekad bulat akan sebuah kepastian mengenai tindakan melahirkan keuntungan. Maka keuntungan yang paling dekat yakni menjangkau market-place dengan latar belakang menguasai produk atau mobilisasi produk. Itulah kemudian dikenal sebagai tindakan ekonomi yang ditimbulkan dari spirit agama. Agama tanpa ekonomi nihil, tidak mungkin orang menunggu datangnya pencerahan diri tanpa usaha. Dalam konsep Weber, orang memiliki calling yang tinggi dapat dicerminkan dari keadaan ekonomi seseorang. Pentingnya rasionalitas menginterpretasi dunia melalui nilai-nilai yang didapat dari analisis historis mengevaluasinya sendiri sebagai pertimbangan untuk melahirkan gagasan pengalaman tak terbatas. Ini merupakan sebuah refleksi ide tentang theodesi penderitaan (theodicy of suffering) sebagai akibat universal dari motif agama.26 Agama dapat memompa semangat manusia untuk tujuan yang yang diinginkannya sampai kehebatan manusia menghadapi penderitaannya sekalipun. Spirit ini dijadikan Weber untuk membakar spirit manusia bahwa kesuksesan harus dibakar dengan susah payah harus diraih walaupun tubuh manusia terkadang tidak bisa menemukan itu namun tetap diupayakan sampai tercapai. Inilah dasar theodesi penderitaan dalam memotivasi kehidupan sukses hanya diraih dari tangan atau kreatifitas sendiri. Hal ini pula yang mengidentikkan pemikiran Weber dalam tataran eksistensi kebebasan nilai yang didasari pada etiket dalam prilaku kehidupan.27 Manusia mampu menentukan nilai kebebasan dari nilai universal tersebut tergantung pada sebuah idiologi subjektif yang diambil dalam melihat peluang-peluang yang tersedia pada lingkungan hidupnya. Weber secara etis mengagumi semua orang punya kharisma dan bertanggungjawab menembus terpenjarai (iron cage) dirinya sebagai orangorang yang lebih dulu mengarahkan dirinya menjadi ‘new re-enchantment in the future’ (kembali pesona baru masa depan).28 Asketisme telah terbukti tidak begitu berkembang pada masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional lebih dikenal sebagai masyarakat feodal sedangkan masyarakat sekarang digantikan oleh masyarakat yang terdiri atas kelas-kelas yang pada prinsipnya menjadikan masyarakat yang memiliki kelas-kelas tersebut akan dihadapkan dalam kompetisi terbuka hingga lebih besar persamaan kesempatannya. Masyarakat tradisional unit dasarnya adalah kelompok kecil disebut Gemeinschaft. Setelah adanya konsep modernisasi maka terbentuknya masyarakat besar yang impersonal disebut Gesellschaft. Sejarah tidak lazim berkembang dari Gemeinschaft (kelompok kecil) menuju ke Gesellschaft Richard Swedberg dan Ola Agevall, The Max Weber Dictionary, h. 10. Weber, The Social Psychology, h. 273–277. 27 Max Weber, Economy and Society: an Outline of Interpretive Sociology, Vol. I (California: University of California Press., 1978), h. 111-112. 28 Weber, “Socialism,” h. 351–369. 25 26

27


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 (masyarakat besar).29 Masyarakat kecil sering tidak sepadan tantangan yang dihadapkan seperti dalam masyarakat besar. Karena itu masyarakat kecil tidak semudah masyarakat besar dalam melakukan perubahan atas dirinya. Masyarakat besar lebih banyak pilihan aktifitas menuju perubahan dan pencerahan akibat banyak tersedia market-place. Dalam modernitas modus kehidupan manusia dirasionalkan atas dasar mekanik, ketika asketisme dipahami sebagai upaya membangun kembali dunia sebagai ekspresi diri dalam kehidupan, kebutuhan dunia eksternal dijamin akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan yang pada akhirnya tak terhindarkan tenaga atas manusia (power over men) untuk meraih sesuatu yang belum pernah dicapai dalam sejarah hidupnya.30 Kehidupan secara mekanik dalam artian semakin tinggi aktifitas semakin tinggi pula tingkat pemenuhan diri tercapai. Maka rasionalitas kehidupan memberikan motivasi agar ekspresi diri tetap dinamis dengan melakukan improvisasi dalam memanfaatkan kehidupan dunia dalam untuk dicapai puncak kesuksesan. Asketisme dunia dalam menjadikan agama sebagai motivasi penggerak agar pekerjaan yang dilakukan berimbas pada pahala. Spirit kerja tinggi bila dibangkitkan motif pahala pada diri dengan sendirinya akan membaguskan prasangka agar kerja tanpa pamrih hanya untuk memperbaiki taraf hidup diri. Setiap individu melakukan rasionalisasi tentang perilaku sehari-hari walau bagaimanapun diarahkan untuk pengaturan sistem kehidupan sipil untuk merancang pemenuhan diri sebagai cara hidup.31 Masyarakat sipil memiliki keinginan besar melalui rasionalisasinya dipastikan menemukan cara hidup sendiri-sendiri tanpa harus bergantung pada kehidupan orang lain. Prototip perkembangan ini adalah etika yang merupakan rasionalisasi sebagai metodologi yang melakukan penetrasi terhadap prilaku dalam kehidupan sehari-hari melalui produksi dan reproduksi, di mana dorongan sudah ada dalam perintah agama yang mengatur amal duniawi melalui kesadaran terhadap akuisisi uang (acquisition of money) sebagai cerminan asketisme duniawi. 32 Asketisme duniawi lebih dominan terhadap kemampuan menguasai atau memperoleh uang. Walaupun demikian sesuatu yang tidak rasional dipahami dalam dimensi dorongan konsistensi kemurnian religius yang membawa kepada kekecewaan dunia (disenchantment of the world).33 Banyak tawaran agama tidak secara langsung menganjurkan cari uang akan tetapi cari amal untuk kebahagiaan. Hal ini dikritisi Weber sebagai cikal bakal memunculkan kekecewaan terhadap dunia karena secara emperis tidak pernah orang-orang sebelumnya merasakan sukses dengan fokus dalam amal semata.

Guenter Roth,�Introduction,� dalam Max Weber, Economy and Society, h. lxxiv. Max Weber, The Sociology of Religion, h. 117. 31 Weber, Economy and Society, h. 524. 32 Weber, The Protestant Ethic, h. 83. 33 Ibid, h. 221. 29 30

28


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

Asketisme dalam Perspektif Islam Asketisme memiliki dua muatan nilai yakni qanu‘, iqna (merasa cukup dengan apa yang dimilikinya) dan tawassuth (keseimbangan kebutuhan). Istilah pertama dipahami sebagai keseimbangan dalam usahanya yang maksimal untuk memperbaiki masa depan serta memuaskan diri dalam semua kebutuhan dasar manusia dalam batas kelayakan standar hidup minimum. Sedangkan istilah kedua dimknai sebagai upaya menahan diri dari segala kebutuhan moderat yang banyak ditawari dalam kehidupan modern yang sifatnya euphoria yang ekstrem pengaruh dunia material. 34 Iqna‘ dan tawassuth tidak memotifasi diri ke arah pencarian kelebihan hanya saja merasa tentram dan nyaman dalam kepemilikan yang sudah ada di hadapannya. Sesungguhpun manusia dalam dirinya merasa tidak terpuaskan dengan apa yang dimilikinya menyebabkan Iqna‘ dan tawassuth hanya singgah sebentar lalu berpindah karena terbakar semangat dengan indahnya hidup dengan penguasaan materi lebih banyak. Istilah yang tepat mengenai asketisme dalam Islam yaitu dikenal denga kata ‘zuhud’. Sedangkan istilah yang lama dikenal dengan pemutusan dengan hal-hal duniawi (tabattul). Sedangkan istilah klasik mengenai asketik lebih identik dengan sebutan kesalehan (shalihât).35 Sayyed Hossein Nasr mengidentikkan kata asketisme sama dengan zuhud. 36 Asketisme lebih dikenal dalam mayoritas Muslim menyebutnya dengan istilah zuhud sedangkan praktek asketisme adapula yang menyamakan dengan kerelaan (riyâdhah).37 Kata-kata tersebut di atas merupakan elemen-elemen yang dapat disandarkan pada sikap asketisme dalam Islam. Namun dalam perjalanan sejarah Islam kata zuhud lebih masyhur disebutkan terutama dalam diskursus kehidupan tokoh-tokoh sufi. Para sufi selalu meraih hidupnya dalam memaksimalkan pencapaian zuhud sebagai sebuah idealisasi kehidupan dalam menempatkan kepentingan manusia di hadapan Tuhan. Asketisme dalam Islam secara implisit dapat diyakinkan sebagai tindakan filterisasi terhadap keserakahan materialisme. Manusia tidak mampu menempatkan dalam posisi ideal antara mencintai harta dengan kebutuhan memenuhi harta secukupnya. Pencarian dan penguasaan harta secara fantastis tidak membawa hikmah dalam kehidupan mengingat harta yang dimilikinya disinyalir merupakan bahagian dari hak fakir miskin. Maka dari itu penguasaan harta berlebihan diiringi dengan kewajiban menunaikan perintah zakat dan infaq selanjutnya melakukan revolusi nafkah terhadap kaum dhuafa diharapkan dapat

James T. Robinson, Asceticism, Eschatology, oppotion to Philosophy: The Arabic Translation and Commentary of Salmon Ben Yerohan on Qohelet (Ecclesiates) (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2012), h. 120. 35 G. B. Gupts (ed.), Religious Asceticism (India: Global Vision Publishing House, 2003), h. 107. 36 Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (New York: George Allen & Unwin, 1972), h. 79. 37 Muhammad ‘Ali Sabzari, Tuhfah Yi-Abbasi: The Golden Chain of Sufism in Shi’ite Islam, terj. Mohammad H. Faghfoory (Amerika: University Press of America, 2008), h. 122 34

29


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menumbuhkan keseimbangan psikologi untuk meredamkan sikap keserakahan. Hal ini dianjurkan al-Qur’an untuk introspeksi diri terhadap kelebihan harta bahkan percampuran harta antara harta yang didapat dengan jalan benar maupun keliru seperti yang terungkap dalam al-Qur’an sebagai berikut:

          Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (Q.S. al-Fajr/ 89: 19 dan 20) Dalam interpretasi pada ayat di atas menjelaskan bahwa asketisme dalam Islam memprioritaskan dalam koridor mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal. Sedangkan batas minimum dan maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan dalam al-Qur’an secara konkrit berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan menguasai harta yang banyak akan tetapi tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut secara berlebihan. Hal ini dimaksudkan bahwa pada harta yang banyak terdapat kepedulian pada zakat, infâq, shadaqah, hibah, waqâf, qurbân merupakan termasuk bahagian ibadah sosial. Sementara itu waqâf, hibah dan shadaqah dapat diimplementasikan secara tak terbatas nilai harganya bahkan tidak terikat. Sementara zakat, infâq dan qurbân memiliki nilai harga standar serta terikat dengan posisi kelebihan seseorang. Karena itu penumpukkan harta tidaklah relevan dalam kehidupsan Musim mengingat penumpukkan itu sendiri tidak mendatangkan banyak hikmah dan kemaslahatan. Di sini diperlukan jiwa besar untuk menumbuhkan spirit kontribusi terhadap kesalehan sosial dengan mengalihkan hub al-mâl (cinta harta) menuju kepada hub al-nâs (mencintai manusia). Hal ini mengindikasikan ibadah sosial sebanding dengan ibadah lainnya hanya saja ibadah sosial lebih identik dengan kontributif dan partisipatif. Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa asketisme dalam Islam selalu dipertahankan sejalan dengan syariat hingga anjuran yang mesti dilakukan adalah meninggalkan setiap sesuatu yang tidak bermanfaat untuk Hari Akhiratmu. Kemudian tetap konsisten dengan keyakinan yang tinggi dalam hati ditanamkan kerelaan penerimaan terhadap apa yang ada di sisinya yang diperoleh secara apa adanya.38 Akhirnya asketisme ditujukan sebagai upaya motivasi menghindari dari segala penguasaan materi dalam batas yang dilarang karena takut pada efek hukuman duniawi serta menghargai diri dengan sebesar-besarnya mengenai penguasaan yang boleh dimiliki manusia agar tumbuh sikap kehati-hatian dalam setiap pertimbangannya karena tersugesti dalam takut adanya pembalasan (azâb).39

Ibn Taimiyah, Majmu‘ah al-Fatawâ Syaikh al-Islâm, (Riyâdh: Matabi‘ Riyâdh, 1963), h.

38

361.

Sabzari, Tuhfah Yi-Abbasi, h. 122.

39

30


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

Asketisme dalam Dimensi Klasik Asketisme dalam Islam sering dipraktekkan oleh para sufi pada abad klasik yang dipopulerkan dengan diistilahkan dengan zuhud. Zuhud secara etimologi diartikan dengan ‘penolakan (al-harab), eksaminasi (al-jarâb) dan memperindah (al-‘arâb) terhadap jiwa’.40 Al-jarâb dimaksudkan di sini mengecilkan kedudukan tidak agressif dalam upaya menguasai duniawi lewat materi ataupun kedudukan dengan asumsi lebih mementingkan memperoleh kebaikan karena dipandang memiiki manfaat lebih daripada tujuan klimaks ujian (jarâb) itu sendiri.41 Zuhud identik dengan prilaku sufisme Islam yang mengingkari kesenangan duniawi hingga merubah sikap hidup memilih di bawah bayang-bayang kelezatan Ilahiyah. Orang yang lebih dekat dengan zuhud yaitu orang yang mengabaikan ‘madâhinât’ (prestise), dalam artian tidak dapat dibedakan antara ridhâ manusia dengan ridhâ Tuhan.42 Ibn Taimiyah mempersepsikan tingkat minimum asketisme dalam Islam bahwa setiap individu yang mengatur hidupnya untuk berbuat meraih kecintaan Allah dalam hati, akal dan jiwanya sudah dapat dikategorikan sebagai zuhud.43 Asketisme dalam Islam dibedakan dengan yang lain dengan sebutan mukmin muzahid, di mana individu yang menghiasi diri dengan asketisme sehingga terus-menerus mendorong kepribadiannya dalam sugesti sedikat harta dan sedikit makan. Sedangkan zuhud menurut syara‘ yaitu memenuhi kadar untuk menghilangkan kemudharatan dalam hidup yang diperolehnya dari segala yang halal dengan memastikan kehalalannya. Sementara zuhud orang sufi yang arifin yakni meninggalkan segala sesuatu yang dipastikan syubhat artinya tidak bergelimang makannya dengan yang diragukan kesucian (thaharah) serta halalnya, menerima pemberian dari orang yang dipastikan benar cara memperolehnya, berusaha dengan cara tidak menghimpit orang lain serta tidak menimbun sebagai sikap khawatir akan masa depan jatuh miskin. Sementara maqam zuhud tertinggi yaitu zuhud mutaqaribin yaitu zuhud yang tidak bergantung pada sesuatu selain Allah (mâ siwâ allâh) karena orang zuhud mutaqaribin memiliki maksud sampai kepada Tuhan dan dekat (qurbah) denganNya.44 Secara terminologi terdapat beberapa pengertian zuhud diantaranya zuhud diartikan dengan membawa pergi hati (safar al-qalb) dari pengaruh duniawi dengan mengambil fokus pada kecenderungan akhirat.45 Sedangkan essensi zuhud itu adalah kezuhudan hati (zuhud qalb) yakni zuhud dengan cara meninggalkan kreatifitas tangan atau anggota tubuh lainnya. Maka zuhud semacam ini lebih dominan hanya ingin mencari pencapaian Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn Qayyim al-Jawdzjiyah, Tahzîb Madârij al-Sâlikîn (Kairo: Dâr al-Salâm, 1991), h. 96. 41 Ibid. 42 Al-Ghazâlî, Adâb al-Shahâbat Wa al-Mu‘âsyirah (t.t.p.: t.p, t.t.), h. 79. 43 Ibn Taimiyah, Majmu‘ah al-Fatawâ, h. 135. 44 Muhammad ‘Âli al-Tahânawi, Mawsu‘at Kasyfu Ishtilâhat al-Funûn wa al-‘Ulûm, tahqîq. ‘Âli Dahruj, Juz. I (Beirût: Maktabah Libanûn Nasyîrûn, 1996), h. 914. 45 Al-Jawdziyah, Tahzîb Madârij, h. 92. 40

31


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 kezuhudan hati (takhalli qalb’) mengabaikan pentingya interaksi sosial bahkan zuhud ini hanya mendorong diri ke dalam pesona sikap kekososngan kreatifitas (khalwul yad).46 Al-Tahanawi seperti dikutip dari Sofyan Suri mengatakan zuhud diartikan dengan memendekkan harapan (qashr al-’amal’) dengan tidak makan yang bercampur (laukpauk) dan tidak pula memakai pakaian megah atau mahal. Menurut Ahmad ibn Hanbal yaitu memendekkan harapan (qashr al-’amal) serta mawas diri terhadap barang yang ada pada tangan manusia dengan melakukan mahabbah kepada Tuhan dengan tidak terpengaruh duniawi.47 Junaid berpendapat zuhud sebagai cerminan mengosongkan hati (khuluww al-qalb) dengan menjauhi dari keterpautan kreatifitas tangan. 48 Zuhud terkadang juga dipahami sebagai mengerdilkan dunia (istisghâr al-dunya).49 Hakikat zuhud memusatkan hatinya dengan membuat penuh ingatan dengan orientasi ikhlas terhadap Tuhan. Zuhud yang paling sederhana adalah meningkatkan pengetahuan dan praktek mengenai hakikat iman dan musyahadah untuk akhirat.50 Karena itu akumulasi interpretasi zuhud di dalam dunia terdapat beberapa persepsi di antaranya dipandang sebagai ‘thaib al-kasb (memperbagus usahanya), qashr al-’amal (memendekkan cita-cita), laisa bi akli al-ghalith (tidak memakan makanan bercampur/lauk-pauk) dan la lubsi al-‘abayah (tidak berpakaian jubah/kebesaran)’.51 Al-Jarrah mengutip Ibn Qayyim berpendapat bahwa zuhud terdapat klasifikasinya yaitu pertama, zuhud pada katagori perbuatan haram merupakan perbuatan wajib dihindari temasuk katagori kewajiban pokok (fardhu ‘ain). Kedua, zuhud pada katagori diragukan kepastian halal (syubhat) dengan perhitungan tingkat syubhat maka mengamati secara detail adalah wajib namun bila tidak dapat dipastikan maka hal tersebut menjadi disunatkan (mustahabban) untuk memastikannya kembali. Ketiga, zuhud pada perbuatan keutamaan (fadhail) yakni zuhud yang tidak menghendaki perdebatan (kalam) dan argumentasi (nadhar). Zuhud secara umum yakni kezuhudan bagi dirinya dengan standar memudahkan dirinya kepada Allah. Keeempat, zuhud jami yaitu zuhud terhadap sesuatu selain Allah (mâ siwâ Allâh). Zuhud maksimal yaitu sikap yang menyembunyikan zuhud, seadangkan zuhud minimal yaitu adanya peningkatan sedikit demi sedikit.52 Sementara itu kata zuhud yang terdapat dalam al-Qur’an seperti yang ada dalam Q.S. Yûsuf di bawah ini:

Ibid, h. 94. Al-Tahânawi, Mausu‘at Kasyfu, h. 915. 48 Abu al-Qâsim Junaid Ibn Muhammad Su‘âd al-Hakîm, Taj al- ‘Ârifin al-Junaid al-Baghdâdî (Beirût: Dâr al-Syurûq, 2004), h. 131. 49 Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Arabî, Kitâb fi Ma‘nâ al-Zuhd wa al-Maqâlat wa Sifat alZâhidîn (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1998), h. 63. 50 Al-Hakîm, Taj al-‘Âriîin al-Junaid, h.142. 51 Imâm Waki‘ Ibn al-Jarrah, Kitâb al-Zuhud, Juz. I (Saudî Arabia: Dâr al-Shami‘î, t.t.), h. 222. 52 Ibid., h. 125. Lihat pula Ibn Qayyim al-Jawdziyah, al-Fawâ’id, tahqîq ‘Ishâmu al-Dîn alShabâbithy (Beirût: Dâr al-Nafa’is li al-Thaba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawdzi‘, 1994 M/1415 H), h. 247. 46 47

32


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

          Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf” (Q.S. Yûsuf/12 : 20) Dalam ayat ini ditegaskan bahwa kata al-zâhidin dimaksudkan bahwa zuhud dipahami dengan batasan mengerdilkan dunia (qillat al-rughbah).53 Kebencian minimum itu sendiri mengindikasikan tidak tertarik untuk membeli apa yang diinginkan untuk menampilkan kelebihan seperti tersurat dalam ayat di atas. Dengan demikian zuhud tidak menumbuhkan ketertarikan untuk membeli apapun yang diinginkan dari semua yang tersedia di dunia sekalipun benda material tersebut halal dimanfaatkan hanya saja dimanfaatkan sesuatu yang dibutuhkan hidup tetapi untuk berlebihan. Zuhud dengan sendiri berkonsentrasi pada yang halal karena meninggalkan perbuatah haram adalah diwajibkan (fardhu). Dengan demikian zuhud berlaku pada orientasi menjaga haram. Sedangkan halal adalah nikmat Allah maka Allah mencintai bagi orang yang memanfaatkannya serta bersyukur kepadaNya serta tidak digunakan untuk euphoria kehidupan. 54 Ada beberapa corak pengkatagorian zuhud yang disandarkan pada prilaku asketisme dalam Islam. Katagori pertama mengklasifikasikan zuhud terbagi dua yaitu zuhud wajib (zuhud farhu) dan zuhud sunat (zuhud nâfilat). Maka zuhud wajib diutamakan dalam memberantas sikap keangkuhan (al-fakhru), takabbur (kibru) dan kesombongan (‘uluww), riya, mencari muka (sum‘ah) dan perasaan sempurna (tazayyin).55 Sementara zuhud sunat memiliki beragam pilihan sehingga tergantung pada alternatif pilihan dalam ruang lingkup pekerjaan baik dalam perintah agama. Ibn Qayyim membagi zuhud menjadi 4 yaitu zuhud pada haram itu adalah kewajiban pokok (fardhu ‘ain), zuhud pada masalah keraguan halal/ boleh (syubhat) maka ditinjau dari sudut tingkatan syubhat sehingga syubhat dapat diklasifikasikan kepada ringan, sedang dan berat, sedangkan syubhat berat mesti dicoba keras menghindarinya. Selanjutnya zuhud pada perbuatan keutamaan (fudhul) tidak terjadi perdebatan karena dipandang masih ruang lingkup katagori baik bahkan ingin menjadi lebih baik sehingga tidak ada persoalan dan hambatan padanya. Asketisme dalam dimensi zuhud diupayakan agar manusia didorong kuat untuk memperoleh kezuhudan dengan mempermudah dirinya terhadap pencerahan Ilahiyah. Keadaan Zuhud otomatis membatasi diri secara kuat dari terjebak dalam perbuatan haram, seperti perbuatan Nabi juga menikah, mengendarai, memakai pakaian, memakan

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=48& surano=12&ayano=20, diakses 13 September 2014. 54 Ahmad ibn al-Husain Bayhaqî, Kitâb al-Zuhd al-Kabîr, tahqîq Syaikh Amîr Ahmad Haidâr (Beirût: Dâr Multazâm al-Thab’i wa al-Nasyr wa al-Tawdzi‘ Dâr al-Jinân wa Mu’assasat al-Kitâb al-Tsaqâfiyah, 1987M /1408 H), h. 189. 55 Ahmad Ibn Hambal, Kitâb al-Zuhd (Beirût: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1999), h. 54. 53

33


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 makanan akan tetapi Nabi mencegah diri dari yang haram. 56 Nabi memberikan contoh melakukan semua perbuatan makruf hanya saja perbuatan tersebut memberikan gambaran efek positif terhadap dorongan untuk tidak melakukan perbuatan haram sekecil apapun sehingga perbuatan makruf dengan sendirinya dapat mengurangi sebanyak mungkin melenyapkan atau menghilangkan perbuatan haram itu dapat dicegah dalam jiwa seseorang. Sikap dan prilaku manusia dalam kepentingan zuhud maka setiap prioritas pekerjaan yang dilakukan selalu menjaga perintah (amar), menolak sekecil apapun perbuatan yang diharamkan dan menjauhkannya.57 Kategori kedua menempatkan zuhud terbagi pada tiga yaitu zuhud fardhu yaitu pertama, melenyapkan syirik mayor yaitu menghindari persekutuan Tuhan baik secara imajinasi maupun perbuatan yang mendangkalkan akidah. Kedua, dilanjutkaan dengan melenyapkan syirik minor yaitu setiap manusia ketika menjalankan amal ibadah baik berupa perkataan atau perbuatan yang ditujukan tidak selain kepada Tuhan. Dalam keyakinan manusia bahwa setiap amal tidak diarahkan untuk mencari popularitas, sensasionalitas atapun emosional lainnya mengingat praktek amal secara mudah dapat digerakkan untuk sebuah kepentingan lainnya. Asketisme dalam aktifitas zuhud diupayakan penghilangan riya pada amal ataupun mencari pengaruh (sum‘ah) pada amal yang sifatnya perkataan ataupun ucapan. Ketiga, melenyapkan dorongan perbuatan yang mendatangkan maksiat. Sementara menjaga zuhud pada perbuatan haram merupakan otonomisasi yang harus menjadi kesiapan semua orang. Kemudian asketisme dalam Islam sifatnya suplemen menghendaki perlunya menghayati serta memperbanyak dua aspek yang perlu dihindari yaitu meninggalkan intensitas pekerjaan yang diragukan akan kebolehannya (syubhat) bahkan anjuran untuk tidak menguasai berlebihan dalam memiliki yang halal. Karena itu tidak dikatakan zuhud kalau tidak mengurangi apapun yang dibolehkan (mubah) sekalipun sesuatu itu sudah nyata akan kehalalan dan kebaikannya. 58 Landasan asketisme dalam Islam adalah harapan satu-satunya yaitu meraih kerelaan (ridhâ) Tuhan. Dalam memperoleh kerelaan Tuhan harus mengikuti aspek-aspek terpenting seperti pertama, zuhud diidentikkan dengan kemandirian pribadi maksudnya orang-orang yang dapat memastikan keyakinannya dengan mempercayai keras pada perintah Allah dan ridha dengan pengaturanNya (tadbir), dengan tidak memerlukan manusia lain, tidak ada baginya sesuatu dari perkara duniawi. Kedua, zuhud memiliki kesempurnaan keyakinan bahwa Allah telah menjanjikan tidak mensia-siakan bagi orang-orang tidak melakukan maksiat dan taat kepada Allah.59 Kategori ketiga memposisikan zuhud terbagi dua yaitu zuhud positif (ijâb) dan negatif (salab), yakni zuhud positif di mana individu hidup bersama masyarakat serta menyibukAhmad Farîd, Min A‘lam al-Salaf (t.t.p.: Dâr al-‘Aqîdah li al-Turats, t.t.), h. 78. Jamal Bana, Da‘wah al-Ihya al-Islâmi (Beirût: Dâr al-Fikr al-Islâm, 2005), h. 25. 58 Al-Tahânawî, Mausu‘at Kasyf, h. 914. 59 Ibid. 56 57

34


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

kannya mencari halal semata dalam persoalan kehidupannya tanpa mengharapkan katinggian kelas di dalam kehidupan bermasyarakat. Zuhud negatif lebih bersifat memutuskan citacita (tabattul) sekaligus melemahkan pengharapan. Tidak ada upaya apapun untuk melihat masa depan sebagai sebuah harapan akan tetapi dilihatnya sebagai harapan semu yang tak berdampak sehingga memunculkan sikap pasif dan mandeg. Zuhud positif dirasakan terabainya sikap berbagi antar sesama manusia (al-‘athiyah) bahkan lebih cenderung memberdayakan kesucian jiwa dalam kesendiriannya. 60 Asketisme dalam Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai zuhud dalam cara menzuhudkan diri, sebagian sufi mengatakan mengabaikan harta, sebagian lagi mengatakan mengurangi makan, minum, pakaian dan tempat, sebagian lagi mengatakan meninggalkan kelezatan duniawi dan syahwat yang dapat melalaikan jiwa manusia. Karena itu permasalahan zuhud sesuai dengan hadis yang diambil dari Ibn Majjah yaitu (Zuhud di dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan bukan pula melenyapkan harta).61 Zuhud dalam dunia menghapuskan kecenderungan pada duniawi yakni menggugurkan kemauan manusia dalam hati dan menguatkan mahabbah pada kebenaran serta mencari ridhâ di atas ridhâ lainnya. Zuhud pada harta dengan syarat tidak menjadi senang dalam kelebihan hartanya. Essensi zuhud mempertahankan kezuhudannya pada apa yang dimilikinya. Adapun fakir (orang miskin harta) dalam pandangan zuhud memunculkan kekhilafan karena terdapat persepsi bahwa fakir selalu identik dengan tidak ada kepemilikan padanya. Pada orang fakir dimungkinkan tidak adanya sikap membenci (rughbah) kepada duniawi serta didapati pada orang fakir masih mencari akal untuk menghasilkannya walaupun tidak berhasil. Kalau demikian ‘meninggalkan angan-angan (ta’ammul), tuntutan (thalab) dan kegemaran (raghbah) itu dinamakan zuhud’.62 Perbedaan antara zuhud dan fakir dinyatakan bahwa fakir itu tidak otomatis setara dengan zuhud. Sama halnya pula bagi individu yang memiliki cita-cita (‘azam) ingin batinnya membenci duniawi. Sedangkan zuhud tidak diharuskan menjadikan diri dalam keadaan fakir, seperti orang memiliki sebab-sebab hal duniawinya akan tetapi tidak juga membencinya. Begitupula hal dengan ahli ibadah (‘abid) belum tentu dikatagorikan sebagai zuhud sekalipun mengingkari duniawi.63 Karena itu tidaklah absah kezuhudan seseorarng bila hatinya terikat syahwat (mu’allaq bi al-syahwat ).64

‘Abd al-Sattar al-Sayyid Mutawallî, Adâb al-Zuhd Fi al-‘Ashr al-‘Abbâs: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu wa ’Asyhur Rijâlihi (Amman: al-Hai’at al-Mishriyah al-‘Ammat li al-Kitâb, 1984), h. 317-320. 61 Muhammad Nashîr al-Dîn al-Banî, Dhaif Sunân Ibn Majjah (Riyâdh: Maktabah al-Ma‘arif li al-Nasyr wa al-Tawdzi‘, 1417 H/1997 M), h. 4175. 62 Muhammad ‘Ali Hajj Yusûf, Syamsu al-Maghrib: Sirah Syaikh al-Akbar Muhy al-Din Ibn ‘Arabi Wa Madzhabihi, cet, 2 (Kairo: Darâsat wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 2006), h. 108. 63 Al-Tahânawî, Mausu‘at Kasyf, h. 459. 64 Imam Waki‘ Ibn al-Jarrah, Kitab al-Zuhud, h. 125. 60

35


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Katagori keempat mengkhususkan zuhud dengan mengelompokkan kepada dua klasifikasi yaitu zuhud terukur (maqdur) yaitu zuhud yang meninggalkan tuntutan apapun yang tidak boleh ada di sisinya dan melenyapkan apapun yang ada di sisinya dengan meninggalkan tuntutan pada batin (hati). Sedangkan zuhud yang kedua yaitu zuhud tidak terukur (ghairu maqdur) yakni meninggalkan dengan penolakan hati terhadap duniawi dengan anggapan bahwa dunia ini hanyalah fatamorgana bangkai (kilabah) maka tidak dicintai padanya sekali-kali.65 Dunia ini disadari hanya sebuah duplikat bangkai sehingga apapun yang dimiliki, dipakai dan dicari pada dasarnya akan habis dimakan usia. Sehingga kesan hidup untuk menghiasi diri dari pelbagai sisi materi hanya untuk menyenangkan sesaat selagi sesuatu itu masih utuh ketika dihadapkan dengan kelapukan, ketuaan, karatan dan kesirnaan, maka kemudian keyakinan itu datang mengakui bahwa semua persoalan hidup hanya mengurusi barang, umur dan meteri lainnya hanya selagi masih diperlukan. Setelah semua menjadi bangkai maka tidak ada lagi yang berharga di mata manusia. Katagori kelima mengajak zuhud dalam posisi pilihan berat dalam kehidupan yaitu memisahkan diri dari sosial. Zuhud dalam pandangan sufi ini diidentikkan dengan mengasingkan diri (‘uzlah) dan menyendiri (halwat) memilih mengisolasi diri dalam mengutamakan kesempurnaan personal. Dalam pandangan Gulen seharusnya sufi melalui asketisme juga ikut mengadvokasi aktifitas kebersamaan, perhatian kolektif dan melakukan koreksi sosial.66 Kebaikan sosial tidak akan tercapai tanpa diikuti oleh kebaikan secara individual. Sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan sama-sama ditopang oleh asketisme yang dikendalikan secara seksama. Kejahatan sosial sering dimunculkan akibat kelemahan asketisme dalam masyarakat itu sendiri. Karena itu nilai-nilai asketisme ditumbuhkan dalam masyarakat sosial secara satu per satu sampai masyarakat berdikari dalam estetis dan etik. Al-Ghazâlî menegaskan tidak ada manfaatnya bila ‘uzlah dilakukan oleh orang ‘awwam ataupun orang tanpa ilmu yang diistilahkannya dengan juhhal (dungu) hingga al-Ghazâlî mempersepsikannya tidak bagus ibadah mereka dalam halwat. Hal ini akibat ketidakmampuan mereka dalam halwat sehingga dalam halwat terkadang mengalami sakit, sebenarnya si juhhal belum tahu pengobatan yang tepat dalam pengalaman sakit kesendirian. Alhasil tidak layah ‘uzlah bagi mereka yang tidak punya ilmu.67 ‘Uzlah dari masyarakat dapat saja dilakukan di rumah ataupun bersabar dengan mengurangi keterlibatan aktif di dalam majlis publik ataupun perbincangan publik.68 Keadaan halwat diartikan dengan pengasingan sama pula dengan ‘sendiri (wahda), terasing (infirâd)dan terputus jalinan (inqithâ‘)’.69 Al-Tahânawî, Mausu‘at Kasyf, h. 914. M. Enes Ergene, Tradition Witnessing The Modern Age: An Analysis of The Gulen Movement (New Jersey: Tughra Books, 2008), h. 160 67 Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabîyah al-Kubrâ, 1961), h. 210. 68 Ibid., h. 198. 69 Alexander Knysh, Mystism: Ashort History (Netherland: Koninklijke Brill NV, 2010), h. 311. 65 66

36


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

Eksistensi zuhud bersifat pengutamaan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak diperlukannya di dunia dan penolakannya terhadap sesuatu yang menggangu perhelatan akhiratnya.70 Kezuhudan artinya memelihara tanggung jawab amanah yang sampai kepadanya atau tinggal mencintai dunia (hub al-dunya), adakalanya zuhud dengan cara memprioritaskan pada sesuatu selain daripada Allah (mâ siwâ Allâh). Ketercapaian asketisme dalam Islam seperti zuhud dengan cara mengukur diri sampai kepada kesimpulan bahwa ketidakmampuan manusia mengjangkau zat hakikat (‘ainu al-haqîqah) sehingga semestinya manusia mencari sikap zuhud sebagai eksistensi diri dalam menemukan zat hakikat tersebut. Karena itu tidaklah zuhud melainkan pada perbuatan keutamaan (fadha’il).71 Urgensitas zuhud secara implisit dapat diinterpretasikan dari nilai Qur’ani bahwa kehidupan dunia memiliki sifat-sifat yang pada dasarnya tidak membawa kepada ketakwaan dan ketaatan. Adapuni jalan untuk menuju ke arah itu diperlukan pendekatan lain yaitu zuhud agar kehidupan manusia tidak bergelimang dengan persoalan yang dilarang secara tidak tegas seperti ungkapan la‘ib, lahw, zînah dan tafakur seperti dalam ungkapan al-Qur’an di bawah ini:

...              

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. (Q.S. al-Hadîd/57 : 20) Maksud pada ayat di atas bahwa untuk menghindari la‘ib, lahw, zînah dan tafakhur diperlukan zuhud syar‘î yang diimplementasi dalam terapan zuhud terpuji (mahmûd). Zuhud Mahmûd yang membedakan dengan yang lain yaitu kegemaran pada syari‘at. Dengan sendirinya seseorang akan cenderung pada kegemaran pada yang terpuji. Hal ini dapat membedakan antara keserupaan dengan perilaku zuhud dengan sebab malas, bosan dan batal menjauhi perintah-perintah syariat. Sebagaimana ungkapan al-Ghazâlî Wa nahy al-nafsa ‘an al-hawâ fa inna al-jannata hiya al-ma’wâ. Hawâ adalah lafazh plural‘ artinya bahagian-bahagian unsur duniawi. 72 Adapun zuhud pada eksoterik yaitu meninggalkan kelebihan materi dan immateri yang tidak membantu menuju jalan ketaatan kepada Allah baik makan, minum, pakaian, harta dan lain-lain sama ibaratnya makan yang bukan makan atau pakai yang bukan pakaian.73 Zû al-Nun mengatakan sifat zuhud tidak pernah menuntut kemampuannya Muhammad Ibn ‘Abdillâh al-Jurdân al-Damyathî, al-Jawâhir al-Lu’lu’ah (Beirût: t.p. t.t), h. 21. 71 Yusûf, Syamsu al-Maghrib, h. 36. 72 Muhammad Ruhani Ghazâlî, Tafsîr Imâm al-Ghazâlî (t.t.p.: Mu’assasat al-Buhuts wa al-Darâsah al-‘Alâmiyah, 2010), h. 235. 73 Ibn Taimiyah, Majmu‘ah al-Fatawâ, h. 361. 70

37


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menjadi terealisasi. Sa‘îd al-Kharrazî mengatakan orang zuhud adalah orang menghilangkan pengaruh duniawi pada dirinya serta membuangnya sikap kecenderungan dunia dalam hatinya. Ibn Masyruq mengatakan orang zuhud yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu beserta Allah. Orang zuhud memakan makanan apa yang ada padanya, memakai apa yang bisa tertutup, sedangkan tempatnya menurut apa adanya. Dengan demikian orang zuhud yaitu meninggikan hatinya dari apa yang membuatnya fana serta terikat dengan apa yang kekal dengan cara mensucikan Tuhan (tanzîh) dalam kerahasiaan hidupnya. Zuhud pada akhirnya dapat dirasakan sebagai cerminan tajarrud, tajallud dan tabarrî yakni hilang rasa pada duniawi (tajarrud min al-dunya ), konsentrasi utuh pada perintah Allah (tajallud li ’amrillâh) dan tidak terkontaminasi dari selain Allah (tabarrî min mâ siwâ Allâh).74

Kritisasi Asketisme Islam Kontemporer Zuhud selama ini lebih bersifat antithesis terhadap pembentukan etos pada masyarakat bahkan lebih cenderung melahirkan etik individualistis. Dalam kenyataan zuhud meruntuhkan idealisasi kehidupan. Semua individu setelah mengalami metamorfosis dengan dunia, dominan tidak melepaskan efek dunia dalam cara berpikir dan menatap masa depan. Zuhud identik sebagai harapan individu jangka tertentu di mana semua pembebabanan kehidupan hanya berkisar di dalam kesalehan individual. Ketika individu melihat agama dalam perspektif dunia maka disimpulkan pekerjaan agama dihimpit oleh aktifitas duniawi. Karena itu zuhud dihidupkan dengan cara familiar yang mengesankan bahwa nilai asketisme ada dalam berbagai bentuk lain yang lebih daripada zuhud itu sendiri. Setiap individu dapat memilih sesuai dengan kehendak dan keahlian yang mungkin diabadikan dalam hidupnya asalkan nilai asketisme dalam Islam masih menjadi motivasi ukhrawinya. Selama ini asketisme dalam Islam tidak memiliki dampak terhadap sosial dan politik. Kehidupan modern tidak terisolir dari dampak sosial dan politik yang begitu hebat yang ditawari oleh cara berpikir politik melalui demokrasi sedangkan ekonomi berkembang secara liberal. Dunia modern lebih cepat terciptakan perbedaan klas, srata dan budaya yang didorong kuat oleh tumbuhnya politik dan ekonomi dalam berbagai aspek perkembangan hidup manusia. Murtadha Muthahhari mengatakan batas asketisme positif itulah dikenal dengan zahid sedangan asketisme negatif yaitu pendeta Kristen (rahib). Asketisme yang relevan dengan era sekarang yaitu aktif melibatkan diri dengan partisipasi kesadaran diri dalam masalah sosial dan politik.75 Zuhud tidak lagi dominan didorong ke alam alienasi tetapi masuk ke alam ekspansif menciptakan nilai-nilai kebersamaan dalam mengarungi kehidupan yang sebagian orang Abu al-Hasan al-Sirjanî, Kitâb al-Bayâd wa al-Sawâd: min Khashâ‘is Hikâm al-‘Ibâd fi Na‘t al-Murîd wa al-Murâd (t.t.p: t.p, t.t), h. 97-98. 75 Hamid Dabashi, Theology Of Discontent: The Idiological Foudation of the Imamic (New Jersey: New Brunswick, 2006), h.193. 74

38


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

tergelincir dan sebahagiaan lagi harus mengupayakan penyelamatan eko sosial yang semakin hari terpacu dalam sikap liberalisme, modernisme dan hedonisme tanpa arah. Asketisme Islam sebagai sebuah solusi jangka panjang dalam rangka menciptakan Islamisasi sosial atau sosialisasi ‘calling’ bagi tumbuhnya ethos dan etik dalam ekosistem masyarakat. Sosial yang kaku disebabkan ethos yang nihil sedangkan deviasi sosial diakibatkan oleh etik yang nihil. Tidak ada suatu peradaban di dunia tumbuh tanpa ethos dan etik. Asketisme dalam Islam harus dilakukan elaborasi egohood yakni kerbersatuan jiwa manusia dalam Ilahiyah yang hanya dapat dirasakan oleh sebahagian orang yang memiliki kedudukan sufistik yang dipahaminya melampaui pemahaman orang lain. Didasari pada masalah tersebut maka sebaiknya asketisme pada umat Muslim sangat relevan dengan konsep kekinian bila spirit Islam ditumbuhkan dalam suatu tatanan sosiohood. Terdapat deviasi struktur sosial yang pincang akibat kelompok ataupun klas tertentu terusik oleh kehadiran pihak lain akibat ego sektoral manusia bertabrakan dengan ego individualistik lainnya. Maka kehadiran indinvidu yang memiliki sikap asketisme membentuk etos dan etik dapat merubah karakter melalui kekayaan interpersonal. Kesalehan individu lebih utama untuk meraih kesusksesan hidup akan tetapi kesalehan sosial lebih utama dalam kehidupan dewasa ini. Kesalehan sosial sebagai langkah wisdom agar wacana kesempitan, kepincangan, ketertinggalan dan ketidak-adilan dapat diselesaikan secara manusiawi. Transformasi realitas zuhud menjadi terapan pada semua orang maka diperlukan berbagai performa agar zuhud harus direkonstruksi tidak lagi menjadi suatu konsep apatis dengan mengupayakan nilai-nilai asketisme modern ditanamkan dalam saintifikasi zuhud yang dapat direpresentasikan dalam etos yang memungkinkan orang menjalankan syari’at yang peduli pada eko sosial seperti dalam al-Qur’an mengajak umat Muslim mengeluarkan zakat, wakaf, nafaqah/infaq, shadaqah, qurban, aqiqah dan hibah. Di sisi lain terdapat anjuran berantas kemiskinan, maksiat dan ketidak-adilan. Perintah semacam ini tidak menjadi perhatian serius bagi orang zuhud. Sementara syari’at menganjurkan hal-hal demikian ada yang dalam kapasitas wajib dan sunat. Bukankah perintah semacam ini dimanifestasikan dari ethos sedangkan etik menumbuhkan kasih sayang sebagai akibat interaksi umat Muslim antar sesama agar deviasi sosial dapat terciptanya equilibrium social (keseimbangan sosial). Asketisme dalam Islam semata-mata mengajak orang masuk dalam zuhud sebagai dunia sufistik tentu tidak menarik bagi mereka yang paham pada modernitas bahkan sebagian umat Muslim tidak kentara terhadap zuhud semacam ini. Modernitas menawarkan berbagai aktifitas provit, benefit dan ethos tindakan positif lainnya yang menarik perhatian terpacu dalam melepaskan diri dari terpenjarai masa lalu atau memilih masuk memenjarai diri dalam modernitas. Tawaran ini tentu zuhud masuk dalam terpenjarai diri dalam masa lalu (historis), sedangkan asketisme Islam yang kontemporer mesti masuk terpenjarai diri dalam modernitas. Asketisme Islam dilatar belakangi oleh ethos dan etik yang bersifat sosiosentris bukan egosentris hanya mendambakan kesempurnaan dan kesalehan diri. Asketisme dalam 39


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 kerangka sosiosentris mengakibatkan penyelamatan kerusakan di mana pun terjadi deviasi sosial dengan berbagai cara hidup yang ditempuh secara bersama-sama. Asketisme dalam Islam diperlukan sebuah rekonstruksi berdasarkan saintifikasi maupun Islamisasi agar zuhud menjadi familiar bagi umat Muslim dewasa ini dengan mengupayakan sikap zuhud yang dapat diterima bagi perkembangan dunia modern maka zuhud moderat sebagai solusi agar tidak lagi asketisme dalam Islam mengalami stagnan. Dengan demikian akan lahir zuhud produktif dan partisipatif di antara tawaran sufisme zuhud atau sufisme yang ingin berusaha merubah nasib diri (muktasib).

Penutup Asketisme merupakan dasar Islamic spiritual life yakni keteraturan, kealpaan dosa besar dan kecil, kesabaran dan kesalehan, mencintai dan mengingat Tuhan di mana pun keberadaannya. Asketisme klasik sangat berkembang pada masyarakat tradisonal. Masyarakat tradisional telah digantikan oleh masyarakat modern yang terdiri atas kelas-kelas, yang lebih besar persamaan kesempatannya. Masyarakat tradisional unit dasarnya adalah kelompok kecil (komunitas) disebut Gemeinschaft. Setelah adanya konsep modernisasi maka terbentuknya masyarakat luas yang impersonal disebut Gesellschaft. Sejarah tidak lazim berkembang dari Gemeinschaft (kelompok kecil) menuju ke Gesellschaft (masyarakat luas). Maka asketisme juga mengikuti pola kehidupan semakin besar masyakarat semakin kompleks sikap asketisme perlu dikembangkan dalam masyarakat itu sendiri. Asketisme Islam seperti pemahaman zuhud selalama ini masuk dalam ironcage masa lalu (historis), sedangkan asketisme Islam yang kontemporer mesti masuk dalam ironcage (tepenjarai) modernitas. Asketisme Islam dilatar belakangi oleh etos dan etik yang bersifat sosiosentris bukan egosentris hanya mendambakan kesempurnaan dan kesalehan diri. Dorongan asketisme dalam Islam lebih pro aktif memunculkan sikap kesalehan sosial yang concern pada kondisi kekinian masyarakat. Semua orang semestinya hidup dalam standar kelayakan hidup yang diraihnya melalui occupation (pekerjaan tetap) menjadi bukti nyata dari bantuan Tuhan untuk kehidupannya. Namun konsepsi pemenuhan diri (Bewahrung) dalam calling (Beruf) berkenan kepada Tuhan, dalam arti asketisme innerweltliche Askese (batin duniawi), artinya adanya kebaikan yang tinggi di dalam life world (kehidupan dunia) ini yang dapat dicapai oleh manusia berdasarkan kepada etos (kerja keras). Maka etos akan memberikan dorongan pencarian provit seperti pencarian provit yang paling dekat yakni menjangkau market-place dengan latar belakang menguasai produk atau mobilisasi produk. Itulah kemudian dikenal sebagai tindakan ekonomi yang ditimbulkan dari spirit agama. Agama tanpa ekonomi nihil, tidak mungkin orang menunggu datangnya pencerahan diri tanpa usaha. Akhirnya asketisme dalam Islam diperlukan sebuah rekonstruksi berdasarkan saintifikasi maupun Islamisasi agar zuhud menjadi familiar bagi umat Muslim dewasa 40


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

ini dengan mengupayakan sikap zuhud yang acceptable bagi perkembangan dunia modern maka zuhud moderat sebagai solusi agar tidak lagi asketisme dalam Islam mengalami stagnan. Dengan demikian akan lahir zuhud produktif dan partisipatif di antara tawaran sufisme zuhud atau sufisme muktasib.

Pustaka Acuan Al-Banî, Muhammad Nashîr al-Dîn. Dhaif Sunân Ibn Majjah. Riyâdh: Maktabah al-Ma‘arif li al-Nasyr wa al-Tawdzi‘, 1997 M. Al-Damyathî, Muhammad Ibn ‘Abdillâh al-Jurdân. al-Jawâhir al-Lu’lu’ah. Beirût: t.p. t.t. Al-Ghazâlî. Adâb al-Shahâbat Wa al-Mu‘âsyirah. t.t.p : t.p, t.t. Al-Ghazâlî. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabîyah al-Kubrâ, 1961. Al-Hakîm, Abû al-Qâsim Junaid Ibn Muhammad Su‘âd. Taj al- ‘Ârifîn al-Junaid al-Baghdâdî. Beirût: Dâr al-Syurûq, 2004. Al-Jawdziyah, Ibn Qayyim. al-Fawâ’id. tahqîq. ‘Ishâmu al-Din al-Shabâbithy. Beirût: Dâr al-Nafa’is li al-Thaba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawdzi‘, 1994. Al-Jawdzjiyah, Muhammad Ibn Abi bakar Ibn Qayyim. Tahzîb Madârij al-Salikîn. Kairo: Dâr al-Salâm, 1991. Al-Sirjanî, Abu al-Hasan. Kitâb al-Bayâd wa al-Sawâd: min Hasha‘is Hikâm al-‘Ibâd fi alMurîd wa al-Murâd. t.t.p: t.p, t.t. Al-Syabi‘, ‘Abd al-Illah Ibn ‘Utsmân. Fatawâ ‘An al-Katûb. Saudî Arabia: Dâr al-Shami‘î li al-Natsar Wa al-Tawqî‘, 2003. Al-Tahânawi, Muhammad ‘Âli. Mawsu‘at Kasyfu Ishtilâhat al-Funûn Wa al-‘Ulûm. tahqîq. ‘Âli Dahruj, Juz I. Beirût: Maktabah Libanûn Nasyîrûn, 1996. Banâ, Jamal. Da‘wah al-ihyâ’ al-Islâm. Beirût: Dâr al-Fikr al-Islâm, 2005. Bayhaqî, Ahmad ibn al-Husain. Kitâb al-Zuhd al-Kabîr. tahqîq. Syaikh Amîr Ahmad Haidâr. Beirût: Dâr Multazâm al-Thab’i wa al-Nasyr wa al-Tawdzi‘ Dâr al-Jinân wa Mu’assasat al-Kitâb al-Tsaqâfiyah, 1987. Behr, John. Asceticism And Antropology In Irenaeos and Clement. New York: Oxford Of University Press, 2000. Burton-Christie, Doglas. The World In The Desert. New York: Oxford Of University Press, 1996. Campo, Juan E. Enciclopaidia Of Islam. New York: Facts On File Inc., 2009. Dabashi, Hamid. Theology of Discontent: The Idiological Foudation of the Imamic. New Jersey: New Brunswick, 2006. Farîd, Ahmad. Min A‘lam al-Salaf. t.t.p. : Dâr al-‘Aqîdah li al-Turats, t.t . Fredricks, Randi. Fasting: An Exceptional Humn experience. Bloomington: All Things Well Publications, 2013. 41


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Ghazâlî, Muhammad Ruhani. Tafsîr Imâm al-Ghazâlî. t.t.p. : Mu’assasat al-Buhuts wa alDarasah al-‘Alâmiyah, 2010. Gulen, Fathullah. Key Concept in the Practice of Sufism: Emiral Hills of Heart, terj. Ali Unal. New Jersey: The Light Inc., 2006. Gupts, G. B. (ed.). Religious Asceticism. India: Global Vision Publishing House, 2003. Ibn Hanbal, Ahmad. Kitab al-Zuhd. Beirut: Dâr al-Basya’ir al-Islamiyah, 1999. Harpham, Geoffrey Galt. The Ascetic Imperative in Culture And Criticism. Chicago: The University Of Chicago Press, 1993. Ibn al-Jarrah, Imâm waki‘. Kitâb al-Zuhud. Saudî Arabia: Dâr al-Shami‘î, t.t. juz. I. Ibn A‘rabî, Ahmad Ibn Muhammad. Kitâb fi Ma‘nâ al-Zuhd wa al-Maqâlat wa Sifat alZâhidîn. Kairo: Dâr al-Kutâb al-Mishriyah, 1998. Ibn Khaldûn. Tarîkh Ibn Khaldûn: Muqaddimah, Jilid I. Beirût: Dâr al-Kutâb al- ‘Alâmiyah, t.t. Ibn Taimiyah. Majmu‘ah al-Fatawâ Syaikh al-Islâm. Riyâdh: Matabi‘ Riyâdh, 1963. Kaelber, Lutz. Schools of Asceticism: Idilogy and Organization in Medieval Religious Communities. Pennsylvania: Pennsylvania tate University Press, 2003. Knysh, Alexander. Mystism: Ashort History. Netherland: Koninklijke Brill NV, 2010. Mutawallî, ‘Abd al-Sattar al-Sayyid. Adâb al-Zuhd Fi al-‘Ashr al-‘Abbâs: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu wa ’Asyhur Rijâlihi. Amman: al-Hai’at al-Mishriyah al-‘Ammat li alKitâb, 1984. Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. New York: George Allen & Unwin, 1972. Olson, Carl. Religious Studies: the Key Concept. New York: Routledge, 2011. Perrin, David B. Studying Christian Spirituality. New York: Routledge, 2007.. Robertson, Roland. The Sociological Interpretation of Religion. New York: Knopf Doubleday Publishing Group, 1972. Robinson, James T. Asceticism, Eschatology, oppotion to Philosophy: The Arabic Translation and Commentary of Salmon Ben Yerohan on Qohelet (Ecclesiates). Leiden: Koninklijke Brill NV, 2012. Runciman, W.G. (ed.). Max Weber: Selections in Translation. Cambridge: Cambridge University Press, 1998. Sabzari, Muhammad Ali. Tuhfah Yi-Abbasi: The Golden Chain Of Sufism In Shi’ite Islam. terj. Mohammad H. Faghfoory. Amerika: University Press of America, 2008. Schaefer, Udo. Baha’i Ethics in Light of Scripture: an Introduction. Oxford: George Ronald Publisher, 2007. vol. 1. Swedberg, Richard Dan Ola Agevall. The Max Weber Dictionary: Key Words and Central Concepts. California: Stanford University Press, 2005. Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Sons, 1958. 42


Nurkhalis: Positifikasi Asketisme dalam Islam

Weber, Max. Economy and Society: an Outline of Interpretive Sociolog, Vol. I. California: University of California Press., 1978. Weber, Max. Sociology of Religion. Routlefdge Taylor & Francis Group, t.t. Yusûf, Muhammad ‘Ali Hajj. Syamsu al-Maghrib: Sirah Syaikh al-Akbar Mahyu al-Din Ibnu ‘Arabi Wa Madzhabihi. cet, 2. Cairo: Darasat wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 2006. Http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag= 1&bk_no= 48&surano=12&ayano=20

43


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

FATWA MUI TENTANG ALIRAN SESAT DI INDONESIA (1976-2010) Dimyati Sajari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, Tangerang, Banten, 15412 e-mail: dimyati@uinjkt.ac.id,dimyatisajari@yahoo.com

Abstrak: Sampai saat ini, tampaknya klaim kebenaran dan penyesatan, bahkan pengkafiran (takfîr), masih terus berlangsung. Di Indonesia, adanya Fatwa ‘Sesat’ Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengindikasikan adanya klaim ini. Tulisan ini berupaya melacak pemikiran aliran yang disesatkan MUI. Penulis berargumen bahwa berdasarkan penelitian terhadap Fatwa MUI Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan (1976-2010) dapat diketahui bahwa klaim ini semata-mata merefleksikan peran MUI sebagai pengawal dan penjaga aqidah umat. Selanjutnya, penulis menyatakan bahwa pemikiran aliran-aliran sesat di Indonesia berakar dalam sejarah Pemikiran Islam dan fatwa MUI tentang aliran-aliran sesat di Indonesia tidak lebih dari representasi sikap tegas kelompok mayoritas di sepanjang sejarah Islam terhadap kelompok minoritas yang dipandang telah sesat atau kafir keluar dari mainstream. Kendati demikian, kelihatannya aliran sesat akan tetap ada di bumi Indonesia. Abstract: The Ruling of Indonesian Council of Ulama on Heretical Sects in Indonesia (1976-2010). The claims of truth and deception, even condemnation of unbeliever (takfir), still continue to happen to the present time. In Indonesia, the introduction of the Council of Ulama (MUI) ruling or fatwa on misleading sect may proof the widespred claim. This paper attempts to trace the historical dynamics of acclaimed ambiguous sects by the MUI. However, the author argues that based on the study of the MUI fatwa section of Islamic faith and religious school of thoughts (1976-2010) it is revealed that such claim is purely a reflection of the MUI’s role as a safeguard and keeper of the faith of Islamic community. In addition, he further maintains that the thought of the misleading sects in Indonesia is deeply rooted in the history of Islamic thought and MUI fatwa of heretical sects in Indonesia is nothing more than a representation of a firm attitude of the majority throughout Islamic history against minorities of whom have been considered being misguided and go beyond the mainstreams, but nonetheless, it seems that such a sect will remain in the land of Indonesia.

Kata Kunci: fatwa, aliran sesat, takfîr, Majelis Ulama Indonesia (MUI), akidah 44


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

Pendahuluan Di Indonesia, sebagaimana di belahan Dunia Islam lain, dewasa ini masih sering terjadi suatu kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai kafir atau sesat dikarenakan beda paham, beda aliran atau beda amaliahnya. Sejak awal sejarah Islam, pengkafiran (takfîr)atau penyesatan ini terjadi dilatari adanya klaim diri bahwa dirinyalah yang benar dan orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau sesat dari jalan yang benar). Tampaknya, sepanjang klaim diri ini masih terjadi, apalagi kelompok pengklaim diri ini merasa memiliki kewenangan untuk menentukan benar-salahnya kelompok lain, maka pengkafiran atau penyesatan terhadap kelompok lain tidak akan terhindarkan di sepanjang sejarah umat Islam. Akibatnya, klaim kebenaran dan kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan tidak dapat dihindarkan, baik dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau pun, sebaliknya, dari kelompok minoritas kepada kelompok mayoritas. Dalam konteks keindonesiaan, kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan itu terjadi pula di antara dua kelompok. Sesat-menyesatkan dari kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas dapat dilihat di kelompok yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dapat dilihat dari Fatwa MUI, seperti Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah dan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah.1 Tulisan ini bukan untuk mengkaji tentang benar-tidaknya klaim kebenaran dan sesat-menyesatkan tersebut, tapi akan melihat Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (Tahun 1976 hingga Tahun 2010), hal-hal yang melatari lahirnya Fatwa MUI dimaksud, sekaligus menganalisa akar-akar pemikiran aliran sesat itu dalam Sejarah Pemikiran Islam. Dengan melihat akar-akar pemikiran aliran sesat itu dalam Sejarah Pemikiran Islam, maka dapat dilihat sifat representasi Fatwa MUI dan dapat pula diprediksi akan berakhir-tidaknya aliran sesat tersebut di masa mendatang.

Pengertian Fatwa, Sesat dan Takfîr Kata fatwa (fatwâ) merupakan bentuk tunggal, yang dalam bentuk jamaknya adalah fatâwâ. Istilah yang berasal dari Bahasa Arab ini sudah resmi mernjadi Bahasa Indoensia, sehingga orang Indonesia sudah akrab dengan istilah fatwa ini. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fatwa adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah. Fatwa diartikan pula sebagai nasihat orang alim, pelajaran baik atau petuah. 2

Fatwa tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010). 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 406. 1

45


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Pengertian itu sejalan dengan yang disampaikan Mohammad Atho Mudzhar yang mengatakan bahwa fatwa adalah suatu pendapat hukum Islam yang diberikan oleh seorang ahli hukum Islam sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan. Jawaban keagamaan ini bersifat sebagai nasihat yang tidak mengikat. Mudzhar menginformasikan, orang yang memberikan pendapat hukum tersebut disebut sebagai seorang mufti (penasehat hukum). Lebih lanjut Mudzhar memperbandingkan sifat dari produk kedua pewenang hukum ini: fatwa seorang mufti hanya bersifat sebagai nasihat yang tidak mengikat, tetapi keputusan hukum seorang qâdhî bersifat mengikat bagi yang bersangkutan dikarenakan berhadapan dengan lembaga peradilan.3 Dari pengertian itu dapat dipertegas bahwa yang dimaksud fatwa dalam penelitian ini adalah keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah agama, yang bersifat sebagai nasihat. Di dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.4 Dengan pernyataannya ini tampaknya MUI menyadari bahwa sifat fatwa itu tidak mengikat, tidak seperti keputusan peradilan, meski oleh umat Islam kadangkala Fatwa MUI itu seolah dianggap sebagai produk hukum yang mengikat. Di samping itu, ditegaskan bahwa fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.5 Artinya, kalau jawaban atau penjelasan itu diambil bukan melalui mekanisme rapat Komisi Fatwa, maka tidak dianggap sebagai fatwa MUI, meski yang memberikan jawaban atau penjelasan itu salah satu atau beberapa orang dari anggota Komisi Fatwa MUI. Kemudian, yang dimaksud MUI dalam penelitian ini adalah MUI Pusat. Dengan demikian, yang dimaksud fatwa dalam tulisan ini adalah Fatwa MUI Pusat tentang suatu masalah keagamaan yang telah disepakati atau disetujui dalam rapat oleh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, yang kemudian ditetapkan sebagai Fatwa oleh Pimpinan MUI Pusat. Selanjutnya, istilah sesat merupakan terjemahan dari kata dhalla-yadhillu-dhalâlâ/ dhalâlah dalam Bahasa Arab. Kata dhalla ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: sesat, menyimpang dari kebenaran atau menyimpang dari tuntunan agama. 6 Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah sesat dalam tulisan ini adalah menyimpang dari kebenaran agama atau dari tuntunan agama yang sebenarnya. Dalam penelitian ini, yang memandang sesat adalah ulama-ulama yang bergabung di MUI atau yang berada di Komisi Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975–1988 (Jakarta: INIS, 1993), h. 1-2. 4 “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010), h. 5. 5 Ibid. 6 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 826. 3

46


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

Fatwa MUI Pusat. Sebaliknya, yang dipandang sesat, berada di luar Islam dan atau yang dipandang murtad adalah orang-orang/aliran yang merupakan kelompok minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam yang sebenarnya. Adapun yang dimaksud dengan istilah takfîr—bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ—adalah mengkufurkan, menuduh kufur atau mengkafirkan (menganggap/memandang kafir). 7 Maksud pengertian ini, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, adalah “mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai kafir.”8 Orang yang dikutuk atau dipandang sebagai kafir ini bukanlah orang non-muslim, tetapi orang beriman (muslim) yang dianggap berfaham atau beraqidah sesat, sehingga dia dipandang sebagai orang kafir. Oleh karena itu, istilah takfir yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkafirkan (memandang orang lain sebagai kafir) atau mengutuk seseorang sebagai kafir. Dengan demikian, dalam penelitian ini takfir sama maknanya dengan memandang sesama muslim atau sesama orang beriman sebagai kafir, orang sesat atau orang yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya ada pula yang ditetapkan ajarannya sebagai ajaran yang haram; haram bukan dalam pengertian hukum, tapi dalam pengertian aqidah. Pada kasus tertentu, orang yang dipandang sebagai sesat ini divonis pula sebagai kelompok yang “berada di luar Islam.”Bahkan, ada yang divonis sebagai murtad. Dalam penelitian ini, yang memandang sesat atau kafir adalah ulama-ulama yang bergabung di MUI atau yang berada di Komisi Fatwa MUI dan yang dipandang kafir, sesat, berada di luar Islam dan atau murtad adalah orang-orang/aliran yang merupakan kelompok minoritas yang ajarannya telah dipandang menyimpang (sesat) dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Indikator Paham atau Aliran Sesat Dalam rangka itu, MUI menetapkan sepuluh indikator/kriteria ajaran atau aliran yang sesat, yang dirumuskan di dalam Rakernas-nya di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Tahun 2007 Mengingkari salah satu rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima; meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an; mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an; melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari kedudukan hadis Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam; menghina, melecehkan dan Ibid., h. 1218, Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, 1973), h. 378. 8 Toshihiko Izutsu ‘memperkenalkan’ istilah pengkafiran yang pertama kali dilakukan kaum Khawârij dengan istilah takfir, yang didefinisikan sebagai “mengutuk seseorang sebagai tidak percaya (kafir)” atau “mengecam seseorang sebagai kafir.” Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 6, 19. Penggunaan istilah takfir dalam tulisan ini mengikuti istilah yang digunakan Izutsu tersebut. 7

47


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 atau merendahkan para nabi dan rasul; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah dan salat wajib tidak lima waktu; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.9 Atas dasar sepuluh kriteria itu, MUI akan memfatwakan sebagai kelompok aliran sesat atau kelompok di luar Islam apabila ada kelompok umat yang memiliki salah satu di antara kriteria tersebut. Apalagi terdapat beberapa kriteria di suatu kelompok tertentu. Kelompok ini, sesudah diadakan penelitian atau pengkajian mendalam dan pembahasan sesuai prosedur penetapan di MUI,10 tentulah akan divonis sesat atau akan dinyatakan telah keluar dari Islam. Orang atau kelompok yang dinyatakan telah keluar dari Islam ini berarti dia orang murtad dan murtad berarti kafir atau, lebih dikenal dengan istilah, kafir murtad.

Fatwa ‘Sesat’ MUI Fatwa MUI yang memfonis suatu paham atau aliran kelompok tertentu sebagai sesat atau kafir itu tidak meliputi semua aspek fatwa yang pernah ditetapkan MUI, tetapi hanya fatwa yang berkaitan dengan Bidang Akidah dan Aliran Keagamaan. Bila dilihat di Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diterbitkan Tahun 2010, maka Fatwa MUI dari Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2010 dibagi menjadi empat bidang: bidang akidah dan aliran keagamaan (14 Fatwa); bidang ibadah (30 Fatwa); bidang sosial dan budaya (47 Fatwa); dan bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan dan teknologi (29 Fatwa). Di samping empat bidang fatwa ini terdapat Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia yang terdiri dari tiga keputusan. Pertama, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia I Tahun 2003 (terdiri dari Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Tiga Masalah Keagamaan (Masâ’il Waqi‘iyyah Mu‘âshirah); dan Sembilan Masalah Perundangundangan (Masâ’il Qanûniyyah). Kedua, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Kedua Tahun 2006 yang terdiri dari Empat Masâ’il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah; Tujuh Masâ’il Waqî‘iyyah Mu‘âshirah; dan Tujuh Masâ’il Qanûniyyah. Ketiga, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 yang terdiri dari Empat Masâ’il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah; Delapan Masâ’il Waqî‘iyyah Mu‘âshirah; dan Sembilan Masâ’il Qanûniyyah. Jawapos (Jakarta: Rabu, 07 Nov 2007) dan NU Online, dalam www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007. 10 Tentang pedoman penetapan fatwa ini merupakan ketetapan berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI Nomor U-596/MUI/X/1997 tanggal 2 Oktober 1997. Pedoman ini merupakan penyempurnaan terhadap keputusan Sidang Pengurus Paripurna MUI tanggal 7 Jumadil Awwal 1406 H/18 Januari 1986 M yang dipandang sudah tidak memadai lagi. “Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa,” h. 4. 9

48


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

Hal itu berarti, takfir atau fatwa ‘sesat’ MUI hanya berkaitan dengan bidang akidah dan aliran keagamaan, tidak mencakup bidang-bidang yang lain. Bahkan, dari keempat belas Fatwa Bidang Akidah dan Aliran Keagamaan ini hanya tujuh Fatwa yang bernada penyesatan, sementara tujuh Fatwa lainnya tidak demikian.Tujuh Fatwa yang tidak bernada penyesatan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, Empat Fatwa menyatakan sebagai “haram,” yakni Fatwa ke-5 tentang Perkawinan Campuran, Fatwa ke-10 tentang Terorisme, Fatwa ke-11 tentang Perdukunan (Kahânah) dan Peramalan (‘Irâfah), dan Fatwa ke-12 mengenai Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama. Kedua, Satu Fatwa (Fatwa ke-4) tentang Pendangkalan Agama dan Penyalahgunaan Dalil menetapkan telah “merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama.” Ketiga, Dua Fatwa, yaitu Fatwa ke-1 tentang Masalah Jama‘ah, Khalifah dan Bai‘at dan Fatwa ke-6 tentang Paham Syiah, hanya berisi penjelasan. Adapun Tujuh Fatwa yang bernada penyesatan adalah Fatwa ke-2 tentang Islam Jamaah; Fatwa ke-3 tentang Ahmadiyah Qadian; Fatwa ke-7 mengenai Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul; Fatwa ke-8 mengenai Darul Arqam; Fatwa ke-9 mengenai Malaikat Jibril Mendampingi Manusia; Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah; dan Fatwa ke-14 mengenai Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Lebih lanjut, ketujuh fatwa ini akan diteliti indikator kesesatannya di bawah ini disebabkan ketujuh fatwa MUI inilah yang secara langsung menfatwakan “sesat-menyesatkan.” Apalagi, empat fatwa (3, 7, 13, 14) menfatwakan pula “berada di luar Islam” dan Dua Fatwa (13, 14) menyatakan “pengikutnya sebagai murtad.” Di samping Tujuh Fatwa ini, Fatwa ke-12 mengenai Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama juga akan diteliti indikator keharamannya disebabkan fatwa ini cukup mendapatkan reaksi dari pendukungnya. Dengan demikian, terdapat delapan fatwa yang akan difokuskan dalam tulisan ini. Untuk memperjelas delapan fatwa MUI itu, dapat dilihat dengan melacak akar tradisi, asal usul atau kesamaan pemikiran ketujuh kelompok yang dipandang sesat oleh MUI tersebut dengan apa yang pernah terjadi di Sejarah Pemikiran Islam. Berikut akar tradisi dan indikator kesesatan ketujuh aliran dimaksud, yaitu:

Islam Jama‘ah Berkenaan dengan masalah Islam Jamaah ini, di dalam Ensiklopedi Islam dikatakan sebagai salah satu aliran keagamaan dalam Islam yang oleh sebagian umat Islam di Indonesia dianggap sebagai kelompok sempalan yang eksklusif, yang sejak tahun 1971 dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung RI.11 Sejalan dengan larangan ini, bahkan salah satunya atas dasar larangan ini, Dewan Pimpinan MUI memfatwakan Islam Jamaah sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan, mengganggu kestabilan negara serta sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya (Islam yang murni). Lebih jelasnya, keputusan dan pernyataan fatwa kedua tentang Islam Jamaah ini, yang tampak pula adanya himbauan. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 266. 11

49


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Pertama, bahwa ajaran Islam Jama’ah, Darul Hadits (atau apapun nama yang dipakainya) adalah ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan penyiarannya itu memancing-mancing timbulnya keresahan yang akan mengganggu kestabilan negara. Kedua, menyerukan agar umat Islam berusaha mengindahkan saudarasaudara kita yang tersesat itu untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni dengan dasar niat dan keinginan menyelamatkan sesama hamba Allah yang telah memilih Islam sebagai agamanya dari kemurkaan Allah Swt. Ketiga, agar umat Islam lebih meningkatkan kegiatan dakwah Islamiah melalui media pengajian atau media lainnya, terutama terhadap para remaja, pemuda, pelajar, dan seniman yang sedang haus terhadap siraman agama Islam yang murni terutama kepada calon-calon pengikut Islam Jama’ah dalam tahap pertama, dengan metode atau cara-cara penyampaian yang lebih sesuai dengan umat yang dihadapi. Keempat, agar segera melaporkan kepada Kejaksaan setempat dengan memberikan bukti-bukti yang cukup lengkap manakala gerakan atau kegiatan Islam Jama’ah (atau apapun nama lain yang dipakainya) sampai menimbulkan keresahan dan kegoncangan rumah tangga dan masyarakat. Adapun yang menjadi alasan diputuskannya Fatwa mengenai Islam Jama’ah tersebut dapat dilihat dari amar Memperhatikan yang terdiri dari tiga poin. Pertama, bahwa faham Islam Jama’ah mulai ada di Indonesia sekitar tahun 70-an. Karena ajarannya sesat dan menyesatkan serta menimbulkan keresahan di masyarakat, faham ini dilarang oleh pemerintah pada tahun 1971. Larangan pemerintah tersebut tidak diacuhkan. Mereka terus beroperasi dengan berbagai nama yang terus berubah hingga memuncak pada sekitar 1977-1978. Kedua, paham ini menganggap bahwa umat Islam yang tidak termasuk Islam Jama’ah adalah termasuk 72 golongan yang pasti masuk neraka, umat Islam harus mengangkat “Amirul Mukminin” yang menjadi pusat pimpinan dan harus mentaatinya, umat Islam yang masuk golongan ini harus dibai’at dan setia kepada “Amirul Mukminin” dan dijamin masuk surga, ajaran Islam yang sah dan boleh dituruti hanya ajaran Islam yang bersumber dari “Amirul Mukminin”. Ketiga, pengikut aliran ini harus memutuskan hubungan dari golongan lain walaupun orang tuanya sendiri, tidak sah salat di belakang orang yang bukan Islam Jama’ah, pakaian salat pengikut Islam Jama’ah yang tersentuh oleh orang lain yang bukan pengikutnya harus disucikan, suami harus mengusahakan agar isterinya turut masuk golongan Islam Jama’ah, dan jika tidak mau maka perkawinannya harus diputuskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang direstui oleh “Amirul Mukminin”, dan khutbah yang sah bila dilafazkan dalam bahasa Arab. 12 Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Islam Jama’ah ini sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kesesatan dalam hal keyakinan dan atau aqidah ini biasanya disebabkan melakukan penafsiran alQur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Akibatnya, merasa benar sendiri dan

Himpunan Fatwa, h. 38-40.

12

50


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

menuduh kelompok lain sebagai pihak yang salah. Bahkan, bukan saja memandang umat di luar kelompok mereka sebagai pihak yang salah, tetapi juga dituduh kafir. Hal ini berarti, mereka mengkafirkan sesama bukan atas dasar dalil syar’i, tetapi semata-mata dikarenakan tidak termasuk kelompok mereka. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan mereka, yakni meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Ahmadiyah Qadiyan dan Aliran Ahmadiyah Persolan Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan Fatwa ke-3 dalam tulisan ini dikaitkan langsung dengan Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah dikarenakan kedua Fatwa ini berkaitan erat, bahkan boleh dikatan, berisi mengenai masalah yang sama. Berkaitan dengan persoalan Ahmadiyah Qadiyan, MUI dalam Musyawarah Nasional II pada Tahun 1980 yang diselenggarakan di Jakarta memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.13 Adapun tentang Aliran Ahmadiyah, Fatwa MUI yang merupakan hasil dari Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005 ini memutuskan dan menetapkan 1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.14 Berbeda dengan Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan yang tidak diberikan penjelasan, Fatwa mengenai Aliran Ahmadiyah Dewan Pimpinan MUI memberikan penjelasan yang cukup panjang, yaitu sebanyak 12 halaman, satu-satunya Fatwa yang diberikan penjelasan paling panjang.15 Fatwa tentang Ahmadiyah Qadiyan tidak menjelaskan hal-hal yang membuat Ahmadiyah difatwakan sebagai jama’ah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan. Artinya, di mana letak kesesatannya tidak diungkap di dalam fatwa ini. Dewan Pimpinan MUI kemudian menyerukan: a. Agar MUI, MUI Daerah Tingkat I dan II, para ulama dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam; b. Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar; dan c. Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan paham yang sesat itu. Himpunan Fatwa, h. 41-2. 14 Ibid., h. 101-105. 15 Ibid., h. 106-118. 13

51


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 MUI hanya menginformasikan bahwa sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah, MUI menfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, karena Fatwa ke-13 tentang Aliran Ahmadiyah bersifat penegasan kembali Fatwa MUI tentang Ahmadiyah Qadiyan yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam), maka alasan-alasan yang melatari dikeluarkan, disesatkan dan dimurtadkannya (orang) Ahmadiyah pastilah tidak berbeda di antara Dua Fatwa ini. Apalagi MUI memberikan penjelasan yang cukup panjang, sehingga faktor-faktor itu dapat diketahui dengan jelas. Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa ada tiga poin yang harus digarisbawahi dengan fatwa. Pertama, aliran Ahmadiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Kedua, dengan adanya hukum murtad tersebut, MUI menyerukan mereka yang telah terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis (al-ruju’ ila al-haqq). Ketiga, pelaksanaan butir-butir fatwa yang terkait dengan pelarangan aliran Ahmadiyah di wilayah negara Republik Indonesia harus dikoordinasikan kepada pihak-pihak terkait, karena yang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi adalah Pemerintah selaku ulil amri. MUI tidak membenarkan segala bentuk tindakan yang merugikan pihak lain, apalagi tindakan anarkis terhadap pihak-pihak, hal-hal atau kegiatan yang tidak sejalan dengan fatwa MUI ini. 16 Selain itu, dilakukan pula kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Aqwal Ulama serta keputusan-keputusan fatwa ulama di dunia Islam. Mengenai fatwa ulama-ulama di dunia Islam MUI menyebut para ulama Pakistan dan India yang telah bersepakat menghukumi kafir kepada Mirza Ghulam Ahmad serta kedua kelompok pengikutnya sejak 70 tahun yang lalu. Di Pakistan, sejak tahun 1984 Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas non-Muslim, seperti Kristen dan Hindu. MUI juga mengatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah dilakukan pula oleh berbagai negara/pemerintahan Muslim seperti Malaysia, Brunei, Saudi Arabia dan berbagai negara Islam lainnya. Kemudian, diinformasikan bahwa para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan yang tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi OrganisasiOrganisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, di bawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami, merekomendasikan antara lain: setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka; mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai Ibid., h. 106.

16

52


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

minoritas non-Islam. Berikutnya, MUI menyatakan bahwa kekufuran Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa “Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad Saw.”17 Di dalam penjelasannya tersebut MUI juga menyatakan bahwa bukan saja Aliran Ahmadiyah Qadiyan yang merupakan jama’ah di luar Islam dan sesat-menyesatkan, tetapi Ahmadiyah Lahore pun sama. MUI beralasan bahwa kedua kelompok ini meski berbeda dalam beberapa hal, tetapi mereka sepakat pada hal-hal berikut: bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud, sebagaimana diberitakan Nabi Muhammad Saw; bahwa pada Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti oleh seluruh manusia; bahwa kedua kelompok ini sesungguhnya memiliki “konsep kenabian” Mirza Ghulam Ahmad, meski penjelasannya berbeda; bahwa apa yang didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebuah kebenaran; bahwa mereka yang mendustakan atau mengingkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir. 18 Karena itulah MUI menetapkan fatwa bahwa Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. MUI menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak lebih dari orang-orang yang mengaku sebagai nabi dengan cara menakwil makna nubuwwah dan risalah, sebagaimana Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-‘Unsa dan Thalaihah bin Khuwailid yang diperangi para sahabat Nabi Saw. 19 Bila dilihat dari indikator kesesatannya, maka Aliran Ahmadiyah, baik Qadiyan maupun Lahore, sesat dalam hal keyakinan dan atau aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an; melakukan penafsiran alQur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian, terdapat Ibid., h. 117. Ibid., h. 114-5. 19 Ibid., h. 115. 17 18

53


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 lima indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah yang, menurut Ali Mustafa Yaqub, merupakan produk kolonialis Inggris dan gerakan benalu dalam Islam ini. 20

Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul Berkaitan dengan Fatwa ke-7 ini MUI memutuskan dan menfatwakan bahwa aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber hukum syariat Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam; kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat; dan menyerukan kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. 21 Sebelum memutuskan dan menetapkan Fatwa tentang Aliran yang Menolak Sunah/ Hadis Rasul tersebut MUI menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. merupakan sumber Syari’at Islam. MUI mendasarkan pandangannya ini pada ayat-ayat al-Qur’an (di antaranya Q.S. al-Hasyr/59: 7, Q.S. al-Nisâ’/4: 59, 65, 80, 105 dan 150-151, Q.S. Ali ‘Imrân/3: 31-32, dan Q.S. al-Nahl/16: 44), hadis-hadis Rasulullah, dan Ijma’ para sahabat Rasulullah, baik selama hayatnya maupun setelah wafatnya. Di samping menyatakan bahwa Hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai sumber Syariat Islam, MUI juga mengatakan bahwa adanya aliran tersebut di tengah-tengah masyarakat akan menodai murninya agama Islam dan menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam, yang pada gilirannya akan mengganggu stabilitas/ketahanan nasional. Dua hal inilah yang mendasari atau melatari lahirnya Fatwa ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul. MUI tidak menambahkan penjelasan mengenai fatwa ini. Bila dilihat dari perspektif Sejarah Pemikiran Islam, maka sebelumnya telah ada kelompok yang menolak Sunnah/Hadis Rasulullah sebagai sumber syariat Islam. Fazlur Rahman,22 misalnya, menyebutkan telah adanya oposisi zaman klasik terhadap hadis (bukan sunnah), meski bukan dalam pengertian penolakan hadis secara keseluruhan, yaitu kaum Hanafiyah menolak hadis yang tidak mutawatir; kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah;23 dan kaum Muktazilah menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan akal, khususnya hadis-hadis tentang Ali Mustafa Yaqub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 93-100. Dua poin berikutnya berupa harapan dan permintaan, yaitu: 4. Mengharapkan kepada para Ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. 5. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad Saw.... sebagai sumber Syariat Islam. Himpunan Fatwa, h. 50-56. 22 Fazlur Rahman, Islam, h. 60-63. 23 Maksud Imam Mâlik atau kaum Mâlikiyah menolak hadis ahad dan lebih berpegang kepada sunnah (tradisi) Madinah ini harus dipahami secara baik supaya tidak salah paham dikarenakan Imam Mâlik, dalam pengelompokan al-Syahrastânî, termasuk kelompok mujtahid ahli hadis, yang dibedakan dengan ahli ‘Iraq atau Imam Abû Hanîfah dan pengikutnya yang dikelompokkan sebagai mujtahid ahli ra’yi. Al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, h. 166-7. 20 21

54


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

antropomorfisme.24 Penolakan zaman klasik ini, barangkali, menjadi cikal-bakal adanya kelompok inkâr al-hadîts dan inkâr al-sunnah. Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/18171898 M), menurut Rahman, yang awalnya mendesak untuk membedakan antara hadis yang asli dan yang tidak asli, pada akhirnya sama seperti rekannya, Charagh ‘Ali, menolak hadis. Dalam pandangan Rahman, sikap ini telah meninggalkan warisan yang permanen di anak benua India, di mana sekelompok umat telah muncul dengan menamakan diri mereka sebagai ahl al-Qur’an dan mereka menolak hadis secara keseluruhan.25 Dari informasi itu menunjukkan bahwa umat yang menolak hadis itu, pada dasarnya, tidak seragam. Umumnya, orang-orang yang menolak hadis/sunnah dikelompokkan menjadi tiga kelompok, sesuai dengan sikap mereka terhadap hadis/sunnah. Pertama, kelompok yang menolak seluruh hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah atau sebagai sumber kedua ajaran Islam. Bagi kelompok ini, satu-satunya sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an. Kelompok ini sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. yang kandungannya tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, baik secara implisit maupun eksplisit. Penolakan kelompok ini menunjukkan bahwa hadis tidak memiliki otoritas untuk menentukan hukum baru di luar yang ditentukan al-Qur’an. Kelompok kedua ini, sebagaimana kelompok pertama, sudah eksis di zaman Imam Syâfi‘î. Ketiga, kelompok yang tidak bersedia menerima hadis Rasulullah Saw. sebagai hujah kecuali hadis yang mutawatir. Mereka ini menolak hadis-hadis âhâd sebagai hujah, meski di antara hadis-hadis âhâd ini ada yang memenuhi syarat-syarat sahih. Kelompok ketiga inipun telah muncul di zaman Imam Syâfi‘î (Imam yang dikukuhkan sebagai nashr al-sunnah, pembela al-Sunnah).26 Argumen-argumen ketiga kelompok inkarsunah ini disanggah Imam Syâfi‘î dan sanggahan Imam Syâfi‘î terhadap kelompok inkarsunah ini telah berhasil membendung gerakan mereka (gerakan inkarsunah) untuk kurun waktu yang cukup panjang, sebab sejak saat Di kalangan mutakallimin di samping kaum Muktazilah, kaum Khawarij juga menolak hadis ahad sebagai hujjah. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: Alma’arif, 1987), h. 46. Sejalan dengan hal ini, Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa tidak tepat mengatakan bahwa semua golongan Khawarij menolak hadis disebabkan ada di antara kaum Khawarij, yakni kelompok Ibadhiyah, yang menerima hadis secara keseluruhan, baik yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thâlib, Aisyah isteri Nabi Saw..., ‘Utsman bin ‘Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik radhiya Allah ‘anhum maupun yang dari sahabat-sahabat lainnya. Demikian pula dengan kaum Muktazilah. Menurut Yaqub, Madzhab Muktazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar Sunnah, tetapi sebaliknya, mereka menerima Sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, Yaqub mengakui kemungkinan adanya beberapa hadis yang mereka kritik apabila hadis itu berlawanan dengan pemikiran madzhab mereka. Walau Yaqub mengakui adanya kemungkinan ini, tetapi Yaqub tetap menyatakan bahwa hal itu bukan berarti Muktazilah menolak hadis secara keseluruhan. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. -4 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 40-43. 25 Fazlur Rahman, Islam, h. 219. Di samping Sayyid Ahmad Khan dan Charagh ‘Ali, Ali Mustafa Yaqub juga menyebut tokoh-tokoh inkarsunah dari India yang lainnya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, Abdullah al-Jakr, Ahmad al-Din dan Ghulam Ahmad Parwez. Tokoh yang terakhir inilah yang mendirikan organisasi ahl al-Qur’an. Yaqub, Kritik Hadis, h. 50. 26 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 123-124. 24

55


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 itu tidak ada lagi catatan dalam sejarah pemikiran Islam akan adanya gerakan inkarsunah, kecuali di akhir abad ke-19 dan di abad ke-20 gerakan itu muncul kembali.27 Peran Imam Syâfi‘î sebagai pembela Sunnah itu diakui oleh Ali Mustafa Yaqub. Namun, Yaqub menunjukkan lebih jauh tentang cikal-bakal munculnya paham inkarsunah ini. Menurut Yaqub, cikal-bakal munculnya paham inkarsunah ini berawal dari adanya individu sahabat, di antaranya Umayyah bin ‘Abdullâh bin Khalid (w. 87 H) yang merupakan kemenakan ‘Abdullâh bin ‘Umar (w. 74 H), yang tidak peduli terhadap hadis. Akan tetapi, individu sahabat ini akan segera sadar akan kekeliruannya setelah disadarkan oleh sahabat lainnya. Kemudian, Ya‘qûb menunjukkan bahwa gejala inkarsunah ini pada akhir abad kedua hijri terjadi di Irak, khususnya Basrah. Sebagaimana telah disebutkan, berkat pembelaan Imam Syâfi‘î kelompok inkarsunah ini menjadi hilang dalam waktu yang cukup panjang, hingga kemunculannya kembali di abad keempatbelas hijri atau kesembilanbelas masehi dikarenakan adanya pengaruh kolonialisme yang melanda umat Islam dan ingin menguasai Dunia Islam. Karena itu, bila di era klasik kelompok inkarsunah itu hanya terjadi di Iraq, maka di era modern terjadi di berbagai belahan Dunia Islam, yang bukan saja terjadi di Mesir dan India (Pakistan), tetapi juga terjadi di Indonesia. 28 Tokoh-tokoh inkarsunah zaman modern yang terkenal adalah Tawfiq Sidqi (w. 1920) dan Rasyad Khalifa (keduanya dari Mesir, tetapi tokoh yang kedua menetap di Amerika serikat), Ghulam Ahmad Parvez (India, lahir 1920), dan Kassim Ahmad (Malaysia).Tokoh-tokoh inkarsunah di Indonesia, di antaranya, Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad. Oleh karena kelompok ini sempat meresahkan masyarakat dan banyak menimbulkan reaksi, maka atas kejadian ini keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No.Kep-169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunah di seluruh wilayah Republik Indonesia.29 Mungkin saja SK Jaksa Agung ini juga merupakan tindak lanjut dari Fatwa MUI yang ke-7 tentang Aliran yang Menolak Sunah/Hadis Rasul yang ditetapkan MUI dua bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H. atau tanggal 27 Juni 1983 M. Dari uraian itu dapat diketahui bahwa paham inkarsunah dapat dilacak asal-usulnya atau gejala-gejalanya sampai zaman Islam yang cukup dini, yakni pada zaman sahabat. Kalau dilihat dari indikator kesesatannya, maka aliran yang menolak Sunah/Hadis Rasul itu tampaknya hanya sesat dalam hal pengingkaran terhadap kedudukan hadis Nabi Saw. sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an.

Darul Arqam Fatwa MUI yang ke-8 tentang Darul Arqam ini, di antaranya, berbunyi: Mendukung sepenuhnya Keputusan Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh, Majelis Ulama Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid II, h. 225-227. Yaqub, Kritik Hadis, h. 39-51. 29 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 226. 27 28

56


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

Indonesia Tingkat I Sumatera Barat, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Riau, dan Keputusan Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta memperkuat kesepakatan Silaturahmi Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat 1, Tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru, yang pada intinya menyatakan bahwa Ajaran Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari Akidah Islamiyah. Selanjutnya, kepada Umat Islam yang sudah terlanjur mengikuti ajaran tersebut agar segera kembali kepada ajaran Islam yang benar, ajaran yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam amar keputusan dan ketetapan fatwa yang ditanda tangani pada tanggal 13 Agustus 1994 oleh Ketua Umum dan Sekretaris Dewan Pimpinan MUI ini, yakni KH. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, tidak terdapat klausul sesat dan menyesatkan, tetapi di awal tulisan tentang fatwa ini dinyatakan bahwa dalam Silaturrahmi Nasional pada tanggal 16 Juli 1994 di Pekanbaru diperoleh kesepakatan, di antaranya, Darul Arqam yang inti ajarannya Aurad Muhammadiyah adalah paham yang menyimpang dari akidah Islam serta paham yang sesat menyesatkan.30 Dengan demikian, dapat difahami bahwa ajaran Darul Arqam dalam fatwa ini dinyatakan sebagai faham yang bukan saja menyimpang dari Akidah Islamiyah, tetapi juga sesat menyesatkan. Ajaran Aurad Muhammadiyah (wirid-wirid Muhammad) yang dinilai menyimpang dan sesat-menyesatkan itu adalah ajaran tentang wirid (bacaan rutin) yang dibaca setelah salat, yang diterima secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. oleh sang pendiri Darul Arqam, Muhammad Suhaimi, dalam keadaan jaga di sisi Ka’bah. Menurut Yaqub, ada yang mengatakan kalau dari segi substansi wirid itu sendiri masih dapat dipertimbangkan, tetapi klaim bahwa wirid itu merupakan ajaran langsung dari Nabi Saw. merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Bagi Ya‘qub—dan tentu saja merupakan pandangan mayoritas umat—apabila klaim bertemu Nabi Saw. dalam keadaan jaga ini dibenarkan, maka suatu saat nanti akan ada lagi orang-orang yang mengklaim diri bertemu secara langsung dengan Nabi dalam keadaan jaga, di mana Nabi mengajarkan wirid-wirid tertentu untuk diamalkan dan disebarkan kepada orang lain. “Kalau ini terjadi,” tulis Yaqub, “maka akan kacaulah agama Islam.”31 Akan tetapi, kalau klaim bertemu Nabi itu dalam keadaan tidur (mimpi), maka klaim itu dapat saja dipertimbangkan dikarenakan Nabi sendiri membenarkan kemungkinan umatnya bermimpi bertemu dengan Nabi. Dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, maka kesesatan Darul Arqam adalah meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan alSunnah. Di samping indikator ini, tampaknya keyakinan Darul Arqam tentang penerimaan ajaran dari Nabi setelah Nabi tiada dapat pula dikategorikan pada pengingkaran terhadap otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an, dikarenakan al-Qur’an telah menyatakan akan kesempurnaan ajaran Islam. Karena itu, terdapat dua indikator kesesatan Darul Arqam ini. Himpunan Fatwa, h. 57-61. Yaqub, Islam Masa Kini, 103-105.

30 31

57


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia Fatwa ke-9 ini berawal dari surat permohonan Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 mengenai ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Lia Aminuddin, yang menyatakan bahwa dirinya (Lia Aminuddin) didampingi dan mendapatkan ajaran dari Malaikat Jibril. Setelah memberikan uraian yang cukup banyak tentang masalah ini MUI memutuskan dan memfatwakan bahwa Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (al-Qur’an dan Hadis). Menurut MUI, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada, dikarenakan ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaikat Jibril bertentangan dengan al-Qur’an karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan meyesatkan. Fatwa ini diakhiri dengan empat poin himbauan, satu di antaranya, kepada: Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari al-Qur’an dan hadis.32 Fatwa ke-9 tentang Malaikat Jibril Mendampingi Manusia yang diklaim oleh Lia Aminudin itu tidak diberi penjelasan tambahan, tetapi sebelum fatwa diputuskan MUI memberikan penjelasan atau argumen-argumen yang menjadi dasar fatwa ini diputuskan. Argumen yang disampaikan MUI ini cukup panjang sehingga Fatwa ke-9 ini terdiri dari empatbelas halaman. Salah satu argumen MUI adalah keyakinan umat Islam bahwa Islam merupakan agama yang sempurna, yang kesempurnaannya meliputi seluruh aspek ajaran, sehingga tidak diperlukan lagi adanya ajaran tambahan, dan dengan demikian Malaikat Jibril telah selesai tugasnya sebagai pembawa wahyu dengan wafatnya rasul terakhir, Muhammad Saw.: Malaikat Jibril tidak akan pernah turun lagi ke bumi setelah wafatnya Rasulullah Saw. karena tugas Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu telah berakhir dengan berakhirnya (wafatnya) Rasulullah Saw.;33 sesudah Nabi Muhammad wafat Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu maupun ajaran kepada siapapun, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan ajaran Allah untuk umat manusia telah dinyatakan sempurna. Argumen MUI lainnya adalah ketidakmungkinan Malaikat berbohong, sementara malaikat yang diklaim mendampingi Lia Aminudin melakukan kebohongan, seperti mengakui dirinya bernama Jibril, tetapi esok harinya atau hari sebelumnya mengaku bernama selain Jibril. 34 Himpunan Fatwa, h. 62-75. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islan, Ensiklopedi Islam, Jilid II, h. 136. 34 Himpunan Fatwa, h. 67, 70. 32 33

58


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

Atas dasar itu, klaim Ibu Lia Aminudin itu dinyatakan sesat-menyesatkan dan indikator kesesatannya adalah Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan alQur’an dan al-Sunnah. Di samping indikator ini, tampaknya Lia Aminudin dapat pula dinilai mengingkari kebenaran isi al-Qur’an, sehingga pengingkaran terhadap isi al-Qur’an ini dapat pula dijadikan indikator kesesatannya. Dengan demikian, terdapat dua indikator kesesatan Lia Aminudin.

Pluralisme, Liberalisme, Sekulerisme Agama Fatwa ke-12 ini merupakan salah satu produk Musyawarah Nasional MUI VII yang diselenggarakan pada tanggal 26-29 Juli 2005. Berkenaan dengan masalah ini MUI memutuskan dan menetapkan dua ketentuan sebagai berikut, Pertama: Ketentuan Umum. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Kedua: Ketentuan Hukum. 1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. 3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Setelah memutuskan dan menetapkan dengan kedua ketentuan ini MUI juga memberikan penjelasan tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama tersebut.35 Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa aliran atau paham sekularisme dan liberalisme agama ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran ini dipandang MUI telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam Ibid., h. 92-100.

35

59


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam. MUI juga memandang bahwa pendukung dua aliran ini telah melakukan penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun, sehingga melahirkan faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Kemudian, MUI melihat bahwa dalam pandangan pluralisme agama, semua agama dianggap sama. Anggapan ini dinilai MUI memunculkan relativisme agama yang dapat mendangkalkan keyakinan akidah. Bahkan, dalam penglihatan MUI, para penganjur prularisme, liberalisme dan sekularisme agama itu telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya oleh Allah Swt. sudah tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. 36 Apabila dilihat dari indikator kesesatan yang ditetapkan MUI, maka para pendukung pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama itu sesat dalam hal: meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an, dan melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Dengan demikian, terdapat tiga indikator kesesatan para pendukung pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama.

Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah Fatwa tentang Aliran al-Qiyadah Al-Islamiyah ini MUI memutuskan dan menetapkan bahwa Pertama: Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengajarkan ajaran, antara lain: 1. Adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilâha illa Allâh wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasûl Allâh”, 2. Adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad Saw., 3. Belum mewajibkan salat, puasa dan haji, adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua: Ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam); Ketiga: Bagi mereka yang terlanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haq). Ajaran aliran al-Qiyadah alIslamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. 37 Ajaran dan pendirian Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah itu, tampaknya, tidak jauh berbeda dengan Aliran Ahmadiyah. Kedua aliran ini sama-sama mengajarkan syahadat yang baru dan meyakini adanya nabi/rasul setelah Muhammad Saw. Aliran Ahmadiyah Kompas, 18/11/2002. Poin yang kelima berbunyi “pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Himpunan Fatwa, h. 119-123. 36 37

60


Dimyati Sajari: Fatwa MUI tentang Alirah Sesat di Indonesia (1976-2010)

meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma‘hud dan al-Masih al-Mau‘ud, yang kemudian diyakini pula sebagai nabi/rasul. Keyakinan Aliran Ahmadiyah ini bersumber dari klaim Mirza Ghulam Ahmad sendiri yang mengklaim diri sebagai al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau‘ud serta sebagai nabi/rasul. Demikian pula dengan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, meski ada perbedaan sedikit. Ahmad Moshaddeq, pendiri aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, mengklaim diri sebagai masih al-Mau’ud dan sebagai Rasul Allah sehingga ajaran syahadatnya berbunyi: Asyhadu allâ ilâha illa Allâh wa asyhadu anna masih al-Mau’ud Rasûl Allâh. Hal ini berarti, Ahmad Moshaddeq bukan saja mengajarkan syahadat yang baru, tetapi juga mengajarkan adanya rasul yang baru, yang tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Ahmad Moshaddeq pun mengajarkan bahwa salat, puasa dan haji belum wajib dilaksanakan. Jika dilihat dari indikator kesesatannya, maka kesesatan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah boleh dikatakan sama dengan kesesatan Aliran Ahmadiyah, yaitu sesat dalam hal keyakinan dan atau akidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah; meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an; melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidahkaidah tafsir; mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; dan mengkafirkan sesama tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya. Dengan demikian, terdapat lima indikator kesesatan Aliran al-Qiyadah alIslamiyah, sama dengan indikator kesesatan Aliran Ahmadiyah.

Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010) itu didasarkan pada sepuluh indikator atau kriteria sesat-tidaknya suatu aliran yang telah ditetapkan MUI sendiri. Dari ketujuh aliran sesat di Indonesia itu dapat diketahui bahwa di antara aliran itu ada yang hanya memiliki satu indikator kesesatan, tapi ada juga yang memiliki lima indikator kesesatan. Kedelapan aliran itu dipandang sesat disebabkan berkaitan dengan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam di Indonesia. Bila ada paham atau aliran yang sesat-menyesatkan, maka setelah dilakukan penelitian dan pengkajian secara mendalam MUI akan mengeluarkan fatwa tentang sesatnya paham atau aliran tersebut.Bahkan, ada yang dinyatakan telah kafir (berada di luar Islam) dan murtad. Paham atau aliran yang sesat itu, ternyata, dapat dilacak akar sejarahnya dalam tradisi Sejarah Pemikiran Islam, khususnya dalam pemikiran Kaum Khawârij. Bahkan, ada yang dapat dilacak ke zaman sahabat.Dengan demikian, Fatwa MUI itu boleh dikata merupakan representasi sikap tegas kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang sesatmenyesatkan yang telah terjadi di sepanjang Sejarah Islam. Hanya saja, tampaknya, aliran atau paham sesat itu akan tetap eksis di Indonesia meski sudah ada fatwa sesat dari MUI dikarenakan mereka tidak pernah bersedia melepas idiologi yang mereka jadikan untuk 61


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menjustifikasi gerakan mereka, yaitu ideologi: merekalah yang benar dan yang lain salah (sesat dan kafir).

Pustaka Acuan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jilid II dan III. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2010. Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1994. Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonsia 1975 –1988. Jakarta: INIS, 1993. Munawwir, Ahmad warson. Al Munawwir: Kamus Arab–Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Rahman, Fatchur. Ikhtishar Musthalahul Hadits, Cet. V. Bandung: PT Alma’arif, 1987 Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: The University of Chicago, 1979. Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Al-Thûsî, Abû Nashr al-Sarrâj. al-Luma‘. Kairo: Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, t.t. Yaqub, Ali Mustafa. Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Cet. 4. Jakarta: Pustaka Firdaaus, 2004. Yunus, Mahmud. Kamus Arab–Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al Qur’an, 1973. Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam. Jakarta: Perkasa, 1990. Jawapos, Jakarta: Rabu, 07 Nov 2007. NU Online, Jakarta:www.nu.or.id, Selasa, 6 November 2007

62


ARAH LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSI AGAMA DAN NEGARA M. Zaki Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jl. Lintas Jambi-Muaro Bulian, km. 16 Simp. Sungai Duren, Mendalo, Jambi, 36363 e-mail: muchzakisaleh75@gmail.com

Abstrak: Dalam mereformasi hukum di Indonesia, Islamisasi hukum nasional masih menjadi pilihan utama dibanding melakukan nasionalisasi, formalisasi, dan lokalisasi hukum Islam. Tulisan ini bertujuan mengungkap bagaimana hubungan agama dan negara berpengaruh pada arah legislasi hukum Islam di Indonesia. Melalui pendekatan kajian literatur, disimpulkan bahwa pengaruh tersebut umumnya merefleksikan tampilan formalitas semata. Hampir semua negara dengan sistem hukum berbasis agama atau berlatar belakang keagamaan pun bersentuhan dengan sekularisasi hukum. Demikian halnya negara-negara sekular, adopsi unsur agama menjadi pilihan dan semakin memperlihatkan signifikansinya sebagai kebutuhan dunia global. Di Indonesia, paradigma relasi simbiosis agama-negara masih akan mengawal politik hukum nasional yang memberi tempat peran syariah substantif mewarnai potret legislasi hukum Islam. Abstract: Direction of Islamic Law Legislation in Indonesia in the Perspectives of Religion and State Interaction. In the process of legal reform in Indonesia, the Islamization of national law has still become primary option instead of nationalization, formalization and localization of Islamic law. This paper aims to unveil the extent to which the influence of interaction between religion and state on legislation of Islamic law in Indonesia. By means of literature review approach, it is concluded that such influence generally reflects a mere formality. Almost all countries with religious based legal systems or religious background was involved in the secularization of law. Similarly in most secular countries, the adoption of the religious element has become as an alternative and demonstrated its growing significance as a global exigencies. In Indonesia, the symbiotic paradigm of religionstate relations still give an avenue for the role of sharia substantive legislation within diversity portrait of Islamic law.

Kata Kunci: hukum Islam, interaksi agama dan negara, legislasi, Indonesia

63


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Pendahuluan Saat ini hampir dapat diyakini tidak seorang pun hidup berada di luar pengaruh kekuasaan Negara, tak terkecuali umat Islam. Bersama komunitas masyarakat dunia lainnya, setiap individu Muslim kini berstatus sebagai warga negara dari satu negara yang memiliki wilayah tertentu di bawah sistem pemerintah tersendiri. Tegasnya, negara menjadi bagian tak ter-pisahkan dalam kehidupan masyarakat muslim modern. 1 Negara juga hadir dalam ragam praktik hukum Islam yang dijalankan oleh umat Muslim di dunia. Minimal di ranah publik, negara berperan penting dalam implementasi suatu aturan hukum. Tak jarang negara memengaruhi wajah dan corak hukum Islam yang akan dipraktikkan. Tulisan ini berfokus pada tema hubungan antara agama dan negara, dan bagaimana pengaruhnya terhadap arah dan corak hukum Islam dalam produk hukum negara, khususnya dalam konteks Indonesia.

Konsep Negara dalam Islam Beberapa ilmuwan, seperti Khuda Bakhs, von Kramer, Welhausen, Ignaz Goldziher, ketika bicara tentang kedudukan dan hubungan agama dan negara dalam Islam, berpendapat bahwa negara yang terbentuk pada masa Muhammad Saw. adalah negara teokrasi dalam arti negara yang di dalamnya kedaulatan ada pada Tuhan. Majid Khaduri menyebutkan nomokrasi, karena dalam pemerintahan itu syariat mempunyai peranan sangat penting. Al-Maududi menamakannya teo-demokrasi, karena selain dominannya syariat yang diwahyukan Tuhan, musyawarah antarumat juga mempunyai kedudukan utama. Muhammad Tahir Azhary, yang melihat dari sudut hukum, berpendapat bahwa predikat yang tepat untuk konsep negara dalam Islam adalah nomokrasi dan bukan teokrasi. Negara hukum (nomokrasi Islam) dalam penilaiannya dibangun atas prinsip-prinsip umum, yaitu: kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan ketaatan rakyat.2 Tinjauan terhadap hubungan antara Islam dengan politik dan sistem kenegaraan

Sebagian besar ulama dan intelektual Muslim menerima konsep negara-bangsa, dan semua negara Muslim telah menerapkannya, sembari tetap mempertahankan persatuan umat Islam (ummah). Piagam Organisasi Konferensi Islam (OKI) 1972 yang mengakui kedaulatan masingmasing negara menegaskan bahwa OKI bertujuan untuk mempromosikan solidaritas Islam di antara para anggota OKI. Masykuri Abdillah, “Ways of Constitution Building in Muslim Countries, The Case of Indonesia,� in Birgit Krawietz dan Helmut Reifeld (ed.), Islam and the Rule of Law Between Sharia and Secularization (Sankt Augustin/Berlin: Konrad-Adenauer-Stiftung e.V., 2008), h. 54. 2 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 226. 1

64


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

pada masa-masa awal Islam mengungkapkan fakta sejarah yang sangat kaya sekaligus kompleks. Seperti argumen banyak pemikir Muslim tradisional, Islam adalah sebuah sistem kepercayaan yang mempunyai hubungan erat dengan politik. Ini berarti, dalam realitasnya, komunitas Islam bersifat spiritual sekaligus temporal; agama sekaligus negara. Islam memberikan kerangka makna bagi hidup individu maupun masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Atas dasar tersebut, sebagian pihak mengklaim tidak ada pemisahan antara agama (dîn) dan politik (siyâsah) dalam Islam. Catatan faktual Nabi membangun suatu bentuk kota yang bersifat ketuhanan, negara kota (city-state) di Madinah, dengan “Piagam Madinah” sebagai konstitusinya paling tidak sebagai argumentasi historisnya. Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara. Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi juga bermuara dari aspek teologis-doktrinal. Walaupun Islam memiliki konsep khalifah, daulah, dan hukumah, alQur’an dan al-Sunnah belum menjelaskan konsep tersebut secara rinci. Dari sini muncul berbagai interpretasi mengenai kedudukan dan hubungan antara negara dan agama yang secara garis besar dapat dipetakan ke dalam tiga aliran: Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam persepsi Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan keempat al-Khulafâ’ al-Râsyidûn. Tokoh-tokoh sentral dari aliran ini antara lain Syaikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vokal adalah Maulana Abû al-A‘la alMaudûdî.3 Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur; dan tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini adalah ‘Ali ‘Abd al-Râziq dan Thaha Husein. Ketiga, aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga Al-Maudûdî, the Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1975).

3

65


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, namun terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah seorang tokoh dari aliran ini adalah Muhammad Husein Haikal.4 Dalam istilah lain, hubungan agama dan negara ini juga sering dipetakan menjadi tiga corak paradigma.5 Pertama, paradigma integratif, yaitu mengintegrasikan Islam ke dalam negara, sehingga negara atau politik menjadi wilayah agama. Paradigma ini dianut kelompok Syi‘ah, dengan konsep negara teokrasi dan al-Maududi dengan konsep teo-demokrasi. Kedua, paradigma simbiotik, yang memandang agama dan negara saling terkait, berhubungan timbal-balik, dan saling memerlukan. Paradigma ini dianut oleh al-Mawardi (w. 1058 M.) menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imâmah) merupakan instrumen untuk meluruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (harâsat al-dîn wa siyâsat al-dunyâ).6 Al-Ghazâlî menegaskan bahwa agama dan negara adalah saudara kembar, artinya agama dan negara itu sangat dekat dan sangat bergantung sama lain. Agama adalah dasar dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. 7 Sedangkan Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa menegakkan pemerintahan adalah perintah agama. Dibentuknya pemerintahan itu dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah, bukan alat untuk mencari pangkat. 8 Ketiga, paradigma sekularistik mengemukakan pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini dianut oleh ‘Ali ‘Abd al-Râziq yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah semata-mata utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara atau pemimpin politik.9 Hal senada juga dikemukakan oleh Thaha Husein. Menurutnya, politik adalah sesuatu dan agama adalah sesuatu yang lain. Sesungguhnya sistem pemerintahan dan pembentukan negara adalah atas dasar manfaat-manfaat ilmiah dan bukan atas sesuatu yang lain. 10 Menyikapi kemajemukan berbagai persepsi di atas, penulis cenderung berpendapat bahwa menyatakan Islam hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual, tanpa sangkut paut sama sekali dengan masyarakat dan negara, mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPress, 1991), h. 1-2. 5 M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam,” dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulum al-Qur’an, No. 2, Vol. IV, LSAF, Jakarta, 1993. h. 71. 6 Al-Mawardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (Kairo: t.p., 1950), h. 5. 7 Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h. 31. 8 Ibn Taimiyyah, al-Siyâsah asy-Syar‘iyyah fî Ishlâh al-Râ‘î wa al-Râ‘iyah (Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 138-139. 9 ‘Ali ‘Abd al-Râziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (Beirut: t.p., 1996), h. 42. 10 Thaha Husein, “Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Mishr,” dalam al-Majmû‘ah al-Kâmilah li Muallafât al-Duktûr Thâhâ Husaîn, Juz IX (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnani, 1973), h. 27. 4

66


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

politik yang menyeluruh dan terinci. Memang dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang dikemukakan al-Qur’an, yang memiliki keluwesan dalam implementasinya dengan memerhatikan perbedaan tempat, situasi, kondisi dan zaman yang dihadapi.

Sistem Kenegaraan di Dunia Islam Selama periode pasca-kemerdekaan hingga sekarang, terdapat tiga pola umum sistem kenegaraan di dunia Islam: sekuler, Islam, dan Muslim. Turki memilih jalan sekuler “total”, memisahkan Islam dari negara dan, karenanya, membatasi peran agama pada kehidupan pribadi; meskipun belakangan di Turki juga terdapat tanda-tanda meningkatnya keinginan kembali ke politik Islam. Negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan, atau Iran, paling tidak secara formal, menyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan sumber hukum tertinggi. Sedangkan kebanyakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Indonesia, tampil sebagai negara–negara Muslim. 11 Revivalisme Islam yang terus berlangsung dewasa ini telah melampaui perbincangan mengenai islamisasi dan sampai kepada implementasi aktual, sekaligus menyoroti berbagai isu mengenai hubungan Islam dan politik kontemporer. Dalam makna lebih umum, kalangan aktivis Muslim menyerukan suatu cara hidup yang lebih islami di negara-negara Muslim, yang disebut sebagai tatanan Islam (nizhâm al-Islâmi). Secara singkat, istilah ini mengacu kepada negara-negara “Muslim” yang ilham dan orientasi umumnya bersumber dari Islam. Lebih khusus, ia mengacu kepada cita-cita menegakkan negara Islam dimana agama dan politik berkaitan secara integral, baik politik, ekonomi, hukum, maupun sosial. Secara umum dalam Islam tidak diatur secara formal garis pemisah agama dari hukum dan politik.12 Saat ini negara-negara yang menjadikan Islam sebagai agama negara justru menyatakan dapat memberikan jaminan hak konstitusional atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang lebih baik dibandingkan dengan standar hukum internasional; dapat mempertahankan ketentuan konstitusi yang melindungi hak-hak kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul-atau hak-hak kesetaraan dan non-diskriminasi berkenaan dengan, antara lain, agama dan jenis kelamin-yang lebih baik dibandingkan dengan standar internasional; sementara sejumlah konstitusi negara mayoritas Muslim menggabungkan atau mengacu instrumen HAM internasional. 13 Harus diakui, kaum Muslim tidak memiliki model “negara Islam” yang jelas dan Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 20. Kristine Kalanges, “Sharia and Modernity,” dalam Peri Bearman and Ruud Peters (ed.), Ashgate Research Companion to Islamic Law (Burlington: Ashgate, 2014), h. 277-291. 13 Tad Stahnke and Robert C. Blitt, ”the Religion-State Relationship and the Right to Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of the Constitutions of Predominantly Muslim Countries,” dalam Georgetown Journal of International Law, Vol. XXXVI (2005), h. 4-5. 11 12

67


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 konkret dalam sejarah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kebingungan dan tidak adanya konsensus mengenai apa yang disebut sebagai negara Islam. Kebingungan ini disebabkan beberapa faktor: Pertama, negara ideal Madinah (di bawah pimpinan Nabi dan empat orang Khalifah) tidak menawarkan rincian yang bisa mengilhami penerapannya di alam modern dan masa kontemporer. Kedua, praktik kekhalifahan belakangan, yakni pada periode Bani Umaiyah dan Abbasiyah, hanya menyediakan kerangka sistem lembagalembaga politik, pajak, dan sebagainya. Ketiga, kegagalan secara penuh mendirikan negara Islam mengarah pada perumusan cita-cita ideal (hukum Islam dan teori politik) yang paling gencar menggambarkan masyarakat utopia yang melulu bersifat teoretis dan teridealisasi. Keempat, hubungan antara agama dan negara selama berabad-abad menjadi subjek multi-interpretasi.14

Islam dan Konstitusi Indonesia Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, mengisyaratkan pertautan hubungan antara paham kenegaraan modern dengan pandangan keislaman tentang kekuasaan negara. UUD 1945 memuat kandungan prinsip yang sangat kaya, yang secara substantif tidak dapat dilepaskan dari pengertian-pengertian yang berkembang di kalangan umat Islam yang merupakan penduduk utama atau mayoritas negeri ini. Doktrin kemahakuasaan Tuhan, paham kedaulatan rakyat, ide negara hukum, konsep kekhalifahan dan bentuk negara republik dan lain sebagainya dapat dipahami dalam harmoni pengertian antara teori dan tradisi Islam dengan pandangan kenegaraan modern di Indonesia. Jika diamati dari perspektif internal, ajaran kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan yang dianut oleh UUD 1945 mencakup yang pertama adalah kedaulatan Tuhan dan yang kedua adalah kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum.15 Ajaran kedaulatan Tuhan YME jelas tercermin dalam pengakuan bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-3 (“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya�) dan ke-4 (“... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�). Kesimpulan yang dapat diambil dari kedua alinea tersebut adalah bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya kekuasaan Yang Maha Kuasa atas manusia, yang atas berkat Azra, Pergolakan Politik Islam, h. 22. Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), h. 59-62. 14 15

68


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

rahmat-Nya bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada alinea keempat ditegaskan pula bahwa bangsa Indonesia menganut ajaran kedaulatan rakyat, yaitu bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang dibentuk adalah susunan negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa beserta prinsip-prinsip atau keempat sila lainnya dari Pancasila. UUD 1945 juga menegaskan kembali rumusan sila pertama Pancasila sebagaimana tertulis dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kemudian juga dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum” ditegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau konstitusi dan sekaligus sebagai negara hukum. Jika ketiga prinsip ajaran kedaulatan tersebut di atas dapat dibaca dalam satu konteks, pengertian kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi berbeda dari paham teokrasi, kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa itu secara operasional diimplementasikan dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sebagaimana mestinya. Dengan adanya keyakinan mutlak akan Kemahakuasaan Tuhan, maka setiap manusia dipandang setara antara satu sama lain. Dengan demikian, bahwa yang berdaulat dalam kegiatan bernegara adalah rakyat, bukan penguasa. Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa itu juga diwujudkan dalam prinsip-prinsip hukum berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi sumber hukum tertinggi. Dengan demikian, terdapat konstelasi yang saling berhubungan erat satu sama lain, yaitu prinsip Kemahakuasaan Tuhan, Kedaulatan Rakyat atau demokrasi, dan gagasan Negara Hukum atau prinsip negara konstitusional (constitutional state) yang memandang hukum sebagai penentu dalam segala aktivitas bernegara. Pengertian yang demikian itu jelas seiring dan sejalan dengan pengertian-pengertian yang berkembang dalam teori dan praktik tradisi politik Islam sebagaimana diuraikan di atas.16 Perlu dicatat, pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru Soeharto pada tahun 1998, Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, mengamandemen konstitusinya (UUD 1945) empat kali. Era reformasi telah membuka peluang bagi beberapa kelompok Muslim dan partai politik untuk mengusulkan pengenalan Syariah ke dalam Konstitusi. Setelah melewati perdebatan sidang yang cukup alot, proses dan hasil dari amandemen pada akhirnya mengadopsi pendekatan Syariah substantif. Dinamika aspirasi di parlemen telah mencerminkan kemampuan untuk berurusan dengan konstitusi modern tanpa meninggalkan prinsipprinsip dan tujuan Syariah. Islam dan konstitusionalisme dapat hidup berdampingan dalam

Jimly Asshiddiqie, “Islam dan Tradisi Negara Konstitutional” (Makalah Seminar IndonesiaMalaysia di IAIN Padang, 7 Oktober 2010), h. 24-26. 16

69


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 visi yang sama, bukan tanpa risiko ketegangan, akan tetapi tak menutup kemungkian justru indikator keberhasilan.17

Potret Hukum Islam di Indonesia Indonesia merupakan salah satu representasi negara Muslim yang mampu menjembatani kesenjangan antara corak negara agama dan negara sekuler. Secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation-state atau negara-kebangsaan yang beragama, negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dengan jelas tersurat pada sila pertama dasar negara Indonesia, Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa.”18 Kondisi tersebut memungkinkan hukum Islam untuk berkontribusi dalam wilayah hukum negara. Saat ini eksistensi hukum Islam secara bertahap mendapat tempat dalam sistem hukum nasional.19 Ekseptasi hukum Islam sebagai produk legislasi nasional memiliki landasan yang kokoh baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis, tiga kriteria standar keberlakuan suatu hukum dalam teori hukum modern.20 Cukup banyak produk legislasi yang bermaterikan atau sesuai dengan hukum Islam.21 Hal menarik, kehadirannya berawal pada masa kepemimNadirsyah Hosen, ”Sharia and Constitutional Reform in Indonesia 1999-2002” (Disertasi, National University of Singapore, 2005), h. 224. 18 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9. 19 Arskal Salim mengklaim upaya islamisasi intensif dan berkelanjutan atas hukum Indonesia berlangsung selama tiga dekade terakhir. Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), h. 169. 20 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 13. 21 Dilihat dari segi muatannya, produk legislasi tersebut ada yang secara langsung terkait dengan kepentingan umat Islam dan ada pula yang lebih bersifat mengakomodasi nilai-nilai Islami. Dalam format peraturan perundangan-undangan yang mengatur kepentingan umat Islam antara lain: UU No. 10/1974 tentang Perkawinan dan berbagai peraturan pelaksanaannya, PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 /1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji, UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 44/ 1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; UU No. 41/2004 tentang Wakaf, yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004, UU No. 3/2006 tentang Perubahan atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), UU No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Sementara berbagai peraturan perundang-undangan yang menyerap, mengakomodasi nilai-nilai Islami, dan melindungi kepentingan umat Islam antara lain: UU No. 9/1976 tentang Narkotika jo UU No 5/1997 tentang Psikotropika jo UU No. 22/1997 tentang Narkotika, UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional, UU No. 23/1990 tentang Kesehatan, UU No. 7/1992 tentang Perbankan jo UU No. 10/1998 tentang 17

70


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

pinan Orde Baru, rezim yang dinilai berkonfigurasi politik otoritarian.22 Jumlahnya semakin meningkat pada era pasca Orba (era reformasi), yang secara teori mencitrakan corak politik demokratis.23 Akan tetapi, kondisi tersebut tidak otomatis memberi kemudahan dan lebih akomodatif bagi aspirasi umat Islam yang notabene mayoritas di Indonesia. Sejumlah rancangan peraturan yang dipandang mengakomodasi aspirasi umat Islam Indonesia atau minimal tidak bertentangan dengan ajaran Islam diganjal pro-kontra dan prosesnya pun tidak berjalan lancar, seperti yang dialami Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi (RUU AP) pada tahun 2008 dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP).24 Hal lain yang juga menarik disorot adalah munculnya aspirasi sejumlah daerah yang mendeklarasikan pemberlakuan peraturan daerah tentang implementasi Syariah (Perda Syariah), yang direspons pro-kontra publik.25 Benang ideologis dari fenomena gerakan Perbankan, UU No. 7/1996 tentang Pangan dan Labelisasi Halal, UU No. 3/1997 tentang Peradilan Anak, UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 16/2000 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tentang Pakaian Seragam Sekolah (Jilbab), UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Penyempurnaan UU No. 2/1989), UU No. 44/2008 tentang Pornografi. 22 Ciri otoritarian pada konfigurasi politik Orde Baru terlihat pada: pertama, sistem kepartaiannya yang hegemonik, suatu sistem tidak kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik nasional adalah partai yang mendukung dan didukung dengan kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar. Pada saat yang sama terjadi emaskulasi terhadap Parpol selain Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat dominan, ditandai berbagai tindakan intervensionis dan pembentukan jaringanjaringan korporatis serta dominasi atas pembentukan berbagai produk hukum. Ketiga, kebebasan pers yang sangat terbatas. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 375. 23 Karakter produk senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter maka produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis. Ibid., h. 376. 24 Proses pensahan RUU Pornografi memakan waktu 5 tahun (2003-2008) yang diwarnai pro-kontra dan beberapa kali penundaan. Sementara RUU KUHP hingga kini belum berhasil disahkan, setelah melewati lebih 30 tahun dengan silih berganti tim perumus, saat ini RUU KUHP masih berada di tangan DPR RI untuk dibahas, tampaknya masih butuh waktu lagi untuk disahkan mengingat hingga masa jabatan DPR RI periode 2009-2014 berakhir RUU tersebut juga belum berhasil disahkan. Lihat http://www.dpr.go.id (diakses pada 14 Juni 2014). 25 Setidaknya hingga 2012 saja terdapat sekitar 145 peraturan daerah bernuansa Syariah. Umumnya berkaitan dengan tata etika-moral dan kesusilaan publik (rakyat) dan bukan soal etika pemimpin. Wanita, non-Muslim, etnis minoritas adalah kelompok objek yang paling rentan dari implementasi peraturan ini. Wasisto Raharjo Jati, “Permasalahan Implementasi Perda Syariah dalam Otonomi Daerah� dalam Manahij, Vol. VII (2 Juli 2013), h. 45. Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, sejumlah lembaga yang berbasis di Jakarta—Freedom Institute, Lembaga Survei Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII), dan Jaringan Islam Liberal (JIL)—dan perorangan yang peduli dengan penegakan hak-hak sipil, mencemaskan tumbuhnya perda-perda itu bisa mengancam kebebasan beragama, salah satu pilar utama kebebasan sipil, yang seharusnya dipertahankan dan terus diperkuat. Kebebasan untuk berbicara, berkumpul atau berserikat, beragama atau berkeyakinan, terlepas dari berbagai perbedaan primordial yang ada pada warganegara, seperti perbedaan gender, suku, dan agama. seharusnya pemerintah tidak boleh mengeluarkan peraturan atau kebijakan-kebijakan publik apa pun yang mengatur bagaimana keyakinan atau paham keagamaan

71


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Islam Syariat di berbagai daerah tersebut, menurut Syafi’i Ma’arif, adalah kredo “Islam adalah solusi” dan Integralisme Islam.26 Memang masih perlu waktu untuk menilai efektif tidaknya peraturan tingkat regional tersebut dapat memberikan efek positif dan solusi bagi kehidupan masyarakat. Beberapa peneliti justru menemukan fakta menarik. Terdapat determinan sosial dan politik di balik perkembangan peraturan daerah syariah di tingkat regional di Indonesia. Kebanyakan penelitian memaparkan bahwa kelompok-kelompok Islam adalah pendukung utama dari pelaksanaan syariah di arena publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan. Selain itu, pendukung peraturan daerah syariah di wilayah tertentu berasal dari sebuah gerakan budaya mengekspresikan identitas agama setempat. Dari perspektif ini, kelompok-kelompok Islam telah mempengaruhi para pemimpin politik lokal, legislatif dan berbagai aktor politik lainnya untuk menerapkan syariah di daerah mereka sebagai cara untuk mengenali identitas budaya mereka. Sebagian peneliti justru melihat bahwa elit politik sendiri yang telah memainkan peran penting dalam mengadopsi syariah sebagai dasar untuk peraturan daerah. Dalam setiap kasus ini elit telah memanipulasi sentimen agama untuk melayani kepentingan politik mereka sendiri. Hal ini membantu untuk menjelaskan stagnasi terbaru dalam pengenalan peraturan daerah syariah baru. Dalam banyak kasus, politisi yang awalnya mendukung diberlakukannya syariah kehilangan minat segera kembali politik mulai berkurang.27 Hampir senada, peneliti yang lain menemukan bahwa, pertama, kehadiran Perda umumnya dilatarbelakangi kepentingan elit. Kedua, pemberlakuan Syariah cendrung merupakan alat pencitraan romatisme sejarah yang ingin dikembalikan pada masa kini. Ketiga, regulasi terkait Syariah lebih menampakan design mengatur rakyat, bukan terhadap pemimpin. Keempat, kalangan non Muslim, wanita, dan etnis tertentu menjadi pihak yang paling rentan sebagai korban dari implementasi Perda Syariah tersebut.28 Bagaimanapun kenyataan tersebut mencerminkan dinamika hukum Islam di Indonesia masa akan datang akan terus berlangsung dan masih akan diwarnai tuntutan dan resistensi antara berbagai elemen masyarakat negeri ini. Sebagai gambaran, Arskal Salim dan Azyumardi Azra mencatat setidaknya ada tiga bentuk respons atas formalisasi hukum Islam di Indonesia: Pertama, dari kalangan internal pemerintah yang mengizinkan integrasi hukum Islam pada sistem hukum nasional, tetapi hanya dalam wilayah terbatas; Kedua, penolakan dari kalangan non-Muslim dan sebagian kecil Muslim terhadap implementasi syariat (hukum Islam) dalam masalah hukum harus dijalankan oleh seorang warganegara, karena setiap peraturan atau kebijakan publik yang dikeluarkan seharusnya berlaku bagi semua warganegara. Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani (ed.), Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), h. 2-7. 26 Lihat Pengantar in Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), h. 17. 27 Jamhari Makruf and Iim Halimatusa’diyah, “Shari’a and Regional Governance in Indonesia: A Study of Four Provinces,” dalam Australian Journal of Asian Law, vol. XV, No. 1, Article 4 (2014). 28 Wasisto Raharjo Jati,”Permasalahan Implementasi Perda Syariah dalam Otonomi Daerah” dalam Manahij, Vol.VII (2 Juli 2013), h. 45.

72


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

apa pun dengan alasan akan merusak prinsip persamaan hukum; Ketiga, dari kelompok Muslim tertentu yang berusaha lebih keras untuk mendistribusikan lebih banyak lagi unsurunsur hukum Islam agar dilegalisasikan dalam sistem hukum nasional. 29 Pola sikap beragam masyarakat juga terlihat pada aspirasi sebagian umat Islam yang berhasil dilegislasi menjadi hukum negara. Sebagai contoh, Amir Syarifuddin menunjuk UU Perkawinan No. 1/1974, setidaknya muncul tiga bentuk respons. Pertama, kelompok umat Islam yang tidak mengakuinya sebagai aturan yang menggantikan hukum fikih. Mereka tetap berpedoman dan hanya patuh kepada hukum fikih. Jumlah mereka yang mengambil sikap ini masih banyak, khususnya masyarakat yang berada di pedesaan. Kedua, kelompok umat Islam yang mengakuinya sebagai UU yang harus ditaati dalam konteks sebagai warga negara; sembari tetap mengakui dan menjalankan aturan fikih. Ketiga, kelompok umat Islam yang menganggapnya sebagai UU negara yang sah perihal mengatur urusan perkawinan umat Islam Indonesia. Mereka menilai bahwa UU Perkawinan, sepanjang yang mengatur perkara perkawinan umat Islam, merupakan format mutakhir fikih munakahat versi Indonesia. Bagi mereka, fikih yang ada tetap diberlakukan sejauh tidak diatur dalam UU Perkawinan.30 Sebuah proses legislasi nasional sepatutnya mencerminkan dan mempertimbangkan nilai agama sebagai unsur penting dalam pembangunan hukum. Kesadaran hukum masyarakat sebagai pilar pembangunan hukum sendiri berpangkal dari nilai-nilai hidup yang mereka yakini. Dalam kaitan ini, Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat Indonesia dapat dipastikan menjadi conditio sine quanon.31 Namun demikian, aspirasi integrasi hukum Islam dalam hukum nasional masih dihadapkan pada beberapa masalah, baik dalam wilayah teori maupun praktik. Pada wilayah pertama, antara lain, hukum Islam masih dipahami dan diinterpretasikan secara beragam oleh umat Islam, suatu kondisi yang menyulitkan bagi kodifikasi hukum yang dianut sistem hukum Indonesia. Sementara dalam wilayah kedua, masih terjadi pro-kontra di kalangan intern umat dan eksternal dengan umat penganut agama yang lain.32 Selain kedua wilayah itu, sebagian pihak menilai langkah legislasi hukum

Arskal Salim and Azyumardi Azra, “the State and Shari’a in the Persective of Indonesian Legal Politics,” in Arskal Salim and Azyumardi Azra (ed.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), h. 13. 30 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 49-50. 31 Abdul Gani Abdullah, “Hukum Islam dalam Sistem Masyarakat Indonesia,” dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Jakarta: Logos, 1998), h. 56. 32 Temuan sebuah lembaga survei pada 2006 mendapati kesan phobia mayoritas masyarakat Indonesia terhadap simbol dan label Syariat Islam. Hasil riset menyimpulkan bahwa mayoritas publik Indonesia, dari Aceh sampai Papua (69.6%), masih kokoh mengidealkan Indonesia mengembangkan sistem kenegaraan sendiri, sistem kenegaran Pancasila. Yang menginginkan Indonesia menjadi seperti negara demokrasi barat hanya 3.5%. Sementara yang menginginkan Indonesia menjadi seperti Negara Islam Timur Tengah hanya 11.5%. Mayoritas responden juga setuju (64.3%) 29

73


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Islam sarat dengan muatan politik, dan hanya mempersempit ruang gerak dan manfaat hukum Islam itu sendiri,33 serta mengantarkannya pada emaskulasi hukum Islam.34 Ada pula pihak yang menganggap bahwa campur tangan negara atas hukum agama sebagai upaya kekuasaan, atas dasar kepentingannya, menentukan corak dan muatan hukum Islam yang akan diberlakukan.35 Terlepas dari sejumlah masalah di atas, dapat dikatakan umat Islam Indonesia cukup leluasa menjalankan ajaran hukum Islam dalam lapangan keperdataan tanpa diwajibkan oleh negara. Sedangkan dalam lapangan hukum publik, tunduk pada hukum nasional yang bersifat unifikatif (berlaku sama untuk semua warga negara meskipun agamanya berbedabeda). Dalam ranah hukum publik seperti hukum tata negara, hukum tata pemerintahan, hukum pidana, hukum lingkungan hidup, dan lainnya, yang berlaku bukan hukum agama tertentu. Pandangan inklusif seperti itu merupakan konsekuensi dari pilihan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama yang dirajut dalam apa yang kita sebut sebagai negara Pancasila. Negara Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler. Sistem hukum Pancasila memastikan adanya landasan pelayanan hukum terhadap masyarakat Indonesia yang sejak awal ditakdirkan hidup dalam kemajemukan. Sebagian umat Islam Indonesia telah pernah memperjuangkan secara demokratis melalui parpol-parpol Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional yang formal. Sebagian umat Islam telah memperjuangkan “formalisasi Islam” itu melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, melalui Konstituante 1956-1959, dan melalui MPR 19992002. Namun, perjuangan yang telah ditempuh secara demokratis itu gagal karena tidak semua umat dan tokoh Islam menyetujuinya. Sebagian besar umat dan tokoh Islam sendiri memilih hukum nasional yang inklusif. Yakni, hukum nasional yang menyatukan ide hukum yang diterapkan di Indonesia, sebaiknya hukum nasional yang menjamin keberagaman, bukan hukum Islam. Lihat www.lsi.co.id. Dengan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan merupakan negara yang berpopulasi Muslim terbesar di Dunia hal tersebut dapat dikatakan cukup menjengangkan sekaligus menimbulkan kesan paradoks. 33 Ahmad Kamaruzzaman Bustamam, “the Application of Islamic Law in Indonesia: the Case Study of Aceh,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. I, No. 01 (Juni, 2007), h. 135-180. 34 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 4. 35 Ulasan serius terhadap masalah ini antara lain Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001). Hukum merupakan produk politik. Lihat Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, h. 7. Lev berpendapat bahwa yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Daniel A. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta: LP3ES, 1990), h. xii. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 126-130.

74


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

semua agama dan sub sistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Kaum muslimin Indonesia tetap dapat menjalankan perintah agama Islam melalui hukum-hukum nasional yang inklusif. Dengan menerima berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun. 36

Penutup Pengaruh relasi agama dan negara atas corak hukum suatu negara sesungguhnya lebih merefleksikan tampilan luar semata. Pada akhirnya, semua negara yang mempunyai sistem hukum dengan dasar agama atau setidaknya latar belakang keagamaan pun dihadapkan dengan masalah sekularisasi hukum. Tak terkecuali budaya hukum dan sistem politik di Barat yang berasal dari hukum alam atau norma Kristen, akan dipengaruhi transformasi sosial dan hukum dalam ruang global. Dengan kondisi tersebut, hubungan antara agama dan hukum tunduk pada persyaratan keadilan, demokrasi dan supremasi hukum. Hal ini berlaku sama untuk Islam modern dan hukum sekuler Barat. 37 Selama tidak ada perubahan ekstrem dan drastis pada ideologi dan konstitusi Indonesia, penulis memprediksi minimal jangka pendek dan menengah (dua dekade ke depan) tidak akan ada perubahan signifikan terkait relasi Islam dan negara di Indonesia. Begitu pula dengan relasi hukum Islam dan hukum negara. Paradigma relasi simbiosis agama-negara setia mengawal prinsip syariah substantif dalam konstitusi negara berideologi Pancasila (kalimatin sawâ’’), sehingga kontribusi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional mengalir searah politik hukum yang mempertimbangkan prinsip pluralisme, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, kebutuhan pembangunan dan respons global, serta— yang lebih prinsip—tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi negara (UUD 1945). Politik hukum nasional masih memberi tempat bagi peran Syariah substantif untuk mewarnai potret legislasi hukum Islam di Indonesia. Secara spesifik, hukum ekonomi Syariah merupakan bidang yang paling “aman” berkontribusi dalam pranata hukum nasional. Islamisasi hukum nasional masih jadi pilihan utama Indonesia dibanding nasionalisasi hukum Islam, formalisasi, dan lokalisasi hukum Islam.38 Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi aktor dan pilar terdepan dalam mengawal kehadiran hukum Islam di wilayah publik atau negara.39 Pada bagian lain, dinamika formalisasi syariat Islam (hukum Islam formalistik) akan berjalan melambat seiring dengan turunnya popularitas partai Islam dalam Pemilu terakhir ini dan sibuk berkonsentrasi bagi upaya konsolidasi dan “bersihbersih” internal. Kegagalan suksesi politik oleh kelompok Islam di sejumlah negara Timur Moh. Mahfud MD, “Hukum Nasional yang Islami,” dalam Jawapos, 04 September 2008. Birgit Krawietz dan Helmut Reifeld, Islam and the Rule of Law Between Sharia and Secularization, h. 7. 38 Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State, h. 170. 39 Simon Butt, “Islam, the State and the Constitutional Court in Indonesia,” dalam Pacific Rim Law & Policy Journal Association, Vol. XIX, No.2 (2010), h. 299. 36 37

75


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Tengah, yang dalam bagian tertentu menginspirasi pengusung khilafah dan syariat di Indonesia, telah mempertegas wajah Islam moderat dan syariah substantif sebagai pilihan yang sudah teruji dan relevan bagi Indonesia, termasuk negara Muslim di Asia Tenggara lainnya.

Pustaka Acuan ‘Abd al-Raziq, ‘Ali. al-Islâm wa Ushûl al-Hukm. Beirut: t.p., 1996. Abdullah, Abdul Gani. “Hukum Islam dalam Sistem Masyarakat Indonesia,” dalam Cik Hasan Bisri (ed.). Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Logos, 1998. Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru–van Hoeve, 1994. Asshiddiqie, Jimly. “Islam dan Tradisi Negara Konstitusional.” Makalah Seminar IndonesiaMalaysia di UIN/ IAIN Imam Bonjol Padang, 7 Oktober 2010. Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1996. Bustamam, Ahmad Kamaruzzaman. “the Application of Islamic Law in Indonesia: the Case Study of Aceh,” dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. I, No. 01, June, 2007. Butt, Simon. “Islam, the State and the Constitutional Court in Indonesia,” dalam Pacific Rim Law & Policy Journal Association, Vol. XIX, No. 2, 2010. Fauzi, Ihsan Ali dan Saiful Mujani (ed.). Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah. Jakarta: Penerbit Nalar, 2009. Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS, 2005. Al-Ghazâlî. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Juz I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Hanf, Theodor Hanf. “Preface,” dalam Jihad Nammour, State and Religion, Comparing Cases of Changing Relations. Beirut: Friedrich Ebert Foundation, 2011. Hosen, Nadirsyah. “Syari’ah and Constitutional Reform in Indonesia (1999-2002).” Disertasi, National University of Singapore, 2005. Husein, Thaha. “Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr,” dalam al-Majmû‘at al-Kâmilah li Mu’allafat al-Duktûr Thâhâ Husein, Juz IX. Beirut: Dâr al-Kitab al-Lubnâni, 1973. Ibn Taimiyyah. al-Siyâsah asy-Syar‘iyyah fî Ishlâh al-Râ‘î wa al-Râ‘iyah. Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1988. Jati, Wasisto Raharjo. “Permasalahan Implementasi Perda Syariah dalam Otonomi Daerah.” dalam Manahij, vol. VII, 2 Juli 2013. www. academia.edu/4278835/, diakses pada 23 Februari 2014. 76


M. Zaki: Arah Legislasi Hukum Islam di Indonesia

Kalanges, Kristine. “Sharia and Modernity,” dalam Peri Bearman and Ruud Peters (ed.). Ashgate Research Companion to Islamic Law. Burlington: Ashgate, 2014. Kamali, Mohammad Hashim. Shari‘a Law: an Introduction. Oxford: Oneworld Publications, 2008. Krawietz, Birgit dan Helmut Reifeld (ed.). Islam and the Rule of Law Between Shari‘a and Secularization, Sankt Augustin/Berlin: Konrad-Adenauer-Stiftung e.V., 2008. Lev, Daniel A. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990. Maududi, Abu al-A‘la. the Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication Ltd., 1975. Al-Mawardi, Abu al-A‘la. Adab al-Dunyâ wa al-Dîn. Kairo: t.p., 1950. MD., Mohd. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. MD., Mohd. “Hukum Nasional yang Islami,” dalam Jawapos, 04 September 2008. Makruf, Jamhari, dan Iim Halimatusa’diyah. “Shari`a and Regional Governance in Indonesia: a Study of Four Provinces.” dalam Australian Journal of Asian Law,Vol. XV, No. 1, Article 4, 2014. Nashir, Haedar. Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan, 2013. Salim, Arskal and Azyumardi Azra. “the State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” dalam Arskal Salim and Azyumardi Azra. Shari’a and Politics in Modern Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. Salim, Arskal. Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2008. Satjipto Rahardjo. Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Sjazali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1991. Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1982. Stahnke, Tad dan Robert C. Blitt.”the Religion-State Relationship and the Right to Freedom of Religion or Belief: a Comparative Textual Analysis of the Constitutions of Predominantly Muslim Countries.” dalam Georgetown Journal of International Law, Vol. 36, 2005. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: UI-Press, 1995. Syamsuddin, M. Din. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Islam,” dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulum al-Qur’an, No. 2, Vol. IV, LSAF, Jakarta, 1993. Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Mazhab Negara: Kritik atas Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001. http://www.dpr.go.id, diakses pada 14 Juni 2014. http://www.lsi.co.id. , diakses pada 12 September 2007. 77


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

PARADIGMA BERMAZHAB PONDOK PESANTREN DI KALIMANTAN SELATAN Sukarni Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Jl. A. Yani 9 km. Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 70235 e-mail: sukarni_muin@yahoo.com

Abstrak: Sebagai model pendidikan Islam tertua di Indonesia, pondok pesantren (pontren) mempunyai peran strategis dalam pelestarian ajaran Islam, terutama terlihat dalam transmisi tradisi bermazhab melalui kegiatan pembelajaran fikih dengan kurikulum dan referensi sejumlah kitab-kitab klasik yang bersifat doktrinal dan monoton. Hasil penelitian terhadap 12 (dua belas) pontren di Kalimantan Selatan dengan pendekatan studi kasus melalui metode wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi menunjukkan kuatnya tradisi bermazhab dalam fikih yang terinstitusionalisasi dalam kurikulum dan sistem pembelajaran fikih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran fikih, baik yang diselenggarakan melalui sistem klasikal atau nonklasikal, bandongan/wetonan, ceramah dan atau diskusi, pelembagaan mazhab terlihat pada bahan ajar/kitab fikih yang digunakan dan konsep serta paradigma guru tentang mazhab. Hal tersebut berimplikasi pada terciptanya alumni yang eksklusif dalam memahami dan menyikapi perbedaan pendapat. Abstract: the Paradigm of Islamic Legal School Adherents in Pondok Pesantren (Islamic boarding school) of South Kalimantan. As the oldest model of Islamic education in Indonesia, pondok pesantren has strategic role in the preservation of the thought of Islam, especially noticeable in transmission of the tradition follow mazhab through learning activities with curriculum and several classic books as references in doctrinal and monotonous approach. Result of study in twelve (12) pontren in South Kalimantan in case study approach through indepth interviews, observation, and documentation methods showed strong tradition in follow madzhab institutionalized in the curriculum and learning systems of fiqh. The study also showed that in the study of fiqh, both held by a classical (bandongan/ wetonan) or non-classical system (lecture or discussion), the institutionalization of mazhab appear on teaching materials/book of fiqh used, concepts and paradigms of teachers on mazhab. These conditions may lead to boosting the creation of exclusive alumni in understanding and addressing differences of opinion amongst Islamic legal schools.

Kata Kunci: hukum Islam, fikih, mazhab, pondok pesantren, salafi, khalafi 78


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

Pendahuluan Mazhab merupakan istilah Arab yang sangat populer dalam kajian keislaman, khususnya bidang fikih atau hukum Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ia diartikan sebagai “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam, dan juga golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian dan lainnya yang berusaha untuk memajukan hal itu.”1 Cyril Glasse mengartikan mazhab sebagai sistem pemikiran dan sebuah pendekatan intelektual, ia juga erat berkaitan dengan aliran-aliran hukum Islam. Dalam bahasa Arab sendiri, mazhab diambil dari kata “dzahaba-yadzhabu-dzahbân wa dzuhûban wa madzhaban yang berarti pendapat (opinion), jalan, metode atau sesuatu yang diikuti. Dari bahasa inilah kemudian berkembang makna lain, seperti kepercayaan (belief), ideologi, doktrin, paham, ajaran dan aliran atau organisasi dalam hukum. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara/jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli yang dinamakan mazhab adalah manhaj (metode) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikan mazhab sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.2 Ahmad Djazuli merinci lebih jauh bahwa mazhab adalah aliran-aliran dalam fikih yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan penggunaan metode sehingga berakibat pada perbedaan pendapat dan membentuk kelompok pendukung (murid imam) sebagai penerus imamnya dan terus berkembang menjadi madzhab tertentu. Dari penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa mazhab berporos pada suatu gagasan atau daya intelektual seseorang yang menggali sumber hukum Islam, kemudian dia mengajarkan hasilnya kepada orang sekitarnya, muridnya dan terus berkembang menjadi komunitas. Cik Hasan Bisri menyebutkan beberapa “rukun” (kata kunci) dalam mendefinisikan madzhab. Rukun tersebut adalah imam mujtahid, metode istinbâth hukum yang diterapkan, materi fikih, komunitas, kelompok pendukung atau pengikut, istilah hukum yang digunakan, dan karya imam atau para pengikutnya (kitab fikih). 3 Kesadaran terhadap mazhab, akhir-akhir ini muncul kepermukaan terutama dalam konteks membangun kesepahaman bersama agar mazhab didudukkan secara proporsional sebagai aliran pemikiran yang terkait dengan konteks sosiologis yang menjadi sebuah keniscayaan dari heteroginitas kontekstual umat Islam yang mendiami berbagai tempat disepanjang zaman. Karena itu, berbagai kalangan mulai menyerukan persatuan dan menyingkirkan sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan. Langkah pertama yang diambil untuk mewujudkan kembali persatuan umat ialah Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 2008), h. 931. M. Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 20. 3 Cik Hasan Bisri, Model Peneliti Fiqh Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 40. 1 2

79


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 melakukan pendekatan antar mazhab. Pendekatan inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para ulama al-Azhar dalam pengambilan keputusan perluasan pengkajian perbandingan fikih. Pengkajian tidak hanya terbatas pada pengertian nama-nama firqah yang ada, namun membahas perbedaan dalam pandangan dasar dan pemahaman dalam masalah far’iyyah. Langkah untuk mendekatkan antar madzhab ini dilakukan untuk menjernihkan akidah sebagai dasar untuk kekuatan Islam. Penjernihan yang dimaksud adalah penafsiran ajaran Islam dari berbagai unsur penyelewengan dan pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme mazhab, suku, dan ras. Pola perbandingan sebetulnya sudah ada sejak jaman dahulu. Para fukaha sudah melakukan rintisan perbandingan, diantaranya Ibn Rusyd dengan bukunya Bidâyat alMujtahid, Ibn Qudâmah dengan bukunya al-Mugnî dan Imam Nawawî dengan kitab alMajmû’. Walaupun telah digunakan metode perbandingan dalam karya-karya tersebut namun belum membentuk suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, hanya merupakan perbandingan sekilas saja dalam masalah-masalah fikih. Pada awal abad ke-20, barulah lahir ilmu perbandingan mazhab, suatu ilmu yang mempunyai corak tersendiri, karena mempunyai metode, sistematika dan tujuan tertentu sebagai suatu ilmu. Jika boleh dikatakan ilmu ini lahir pada tahun 1929. Hal ini terlihat dalam undang-undang kekeluargaan Mesir yang pembahasannya tidak hanya bermazhab pada Imam Hanafî tetapi mengambil pula pendapat mazhab-mazhab lainnya. Al-Marâghî adalah orang yang pertama mengusulkan adanya matakuliah perbandingan mazhab di fakultas-fakultas di Universitas al-Azhar. Usul ini diterima dan ditetapkan menjadi matakuliah wajib di setiap fakultas. Di Indonesia, matakuliah ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi Agama Islam baik negeri maupun swasta. Bahkan telah dibuka jurusan Perbandingan Mazhab di Fakultas Syariah IAIN dan UIN seluruh Indonesia. Penyajian mata kuliah ini di jurusan Perbandingan Mazhab memiliki dua alasan. Pertama, adanya fakta bahwa ada banyak masyarakat Indonesia yang mengikuti mazhab secara emosional sehingga mudah menyulut konflik dan perpecahan misalnya perbedaan pendapat masalah qunut, tahlil, menggerakgerakkan jari tangan ketika tahiyyah dan mengusap muka setelah salat. Kedua, adanya upaya di berbagai negara Islam untuk menjadikan fikih sebagai undang-undang yang berlaku mengikat baik untuk satu negara atau satu daerah.4 Sebagai lembaga pendidikan keagamaan tertua yang tetap eksis hingga hari ini, pondok pesantren secara faktual memberi andil besar dalam memberi sumbangan sumber daya manusia bagi kelestarian agama Islam. Karena itu, pontren harus selalu dipahami dalam konteks pengembangan Islam, khususnya kontinuitas ajaran mazhab yang melekat di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembelajaran fikih dan paradigma bermadzhab bagi pondok pesantren di Kalimantan Selatan yang meliputi Pondok pesantren Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, h. 102.

4

80


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

Darussalam Martapura Kabupaten Banjar (berdiri tahun 1914); Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara (berdiri tahun 1922); Pondok Pesantren al-Falah Kecamatan Landasan Ulin Kota Banjarbaru (berdiri tahun 1985); Pondok Pesantren Darul Ilmi Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru (berdiri tahun 1983); Pondok Pesantren Darul Hijrah Cindai Alus Martapura Kabupaten Banjar (berdiri tahun 1985); Pondok Pesantren Ibnul Amin Pemangkih Kabupaten Hulu Sungai Tengah (berdiri tahun 1959); Pondok Pesantren Nurul Muhibbin Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah (berdiri tahun 1986); Pondok Pesantren Assunniyyah Tambarangan Kabupaten Tapin (berdiri tahun 1967); Pondok Pesantren Darul Ulum Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (berdiri tahun 1986); Pondok Pesantren Darul Amin Negara Kabupaten Hulu Sungai Selatan (berdiri tahun 1996); Pondok Pesantren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara (berdiri tahun 1976); dan Pondok Pesantren Al-Madaniyah Jaro Kabupaten Tabalong (berdiri tahun 2000). Sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah paradigma bermazhab dalam pembelajaran fikih yang terdapat pada dua belas pondok pesantren tersebut. Data penelitian yang digali adalah bahan ajar; sistem dan metode pembelajaran yang diterapkan; konsepsi pengajar tentang mazhab; sikap pengajar terhadap mazhab; dan respon santri terhadap mazhab.

Konsepsi tentang Mazhab Secara etimologi, kata mazhab dalam bahasa Arab merupakan mashdar/gerund yang berasal dari kata kerja (fi‘il) dzahaba yang berarti pergi atau berjalan.5 Mazhab bisa diartikan sebagai pendapat, teori, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, aliran.6 Mazhab berarti pendapat, kelompok, aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad7 seorang imam dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum (fikih), teologi, dan politik.8 Secara ringkas, Ibn Manzhur, seorang ulama pakar bahasa Arab, menyebutnya sebagai suatu pendapat atau pemikiran yang dijadikan pegangan.9 Menurut terminologi (istilah) para ahli hukum Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Ali Hasan, mempunyai dua pengertian. Pertama, pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah. Kedua, kaidah-kaidah istinbâth10 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir (Bandung: Pustaka Progressif, 2002), h. 453. 6 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 87-92; h. 99-107; Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987), h. 139; Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 145-161. 7 Lihat dalam Mahmûd Hamîd ‘Utsmân, Qâmûs al-Mubîn fi Ishthilâhât al-Ushûliyyîn (Riyadh: Dâr al-Ziham, 2002), h. 16-17. 8 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2005), h. 214. 9 Jamal al-Dîn Muhammad ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, Jilid I (Mesir: Dâr al-Mishriyyah, t.th), h. 394. 5

81


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 yang dirumuskan oleh seorang imam mujtahid.11 Huzaemah Tahido Yanggo menyebutkan beberapa pengertian mazhab menurut para pakar, antara lain Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi yang mengatakan bahwa mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur’an dan hadis.12 Menurut K.H.E Abdurrahman, mazhab dalam istilah Islam adalah pendapat, paham, atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam, seperti mazhab Imam Hanafi, mazhab Imam Mâliki, mazhab Imam Syâfi‘i, mazhab Imam Hanbali, dan lain-lain.13 Sedangkan menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapatpendapat seorang alim besar dalam urusan agama.14 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, Huzaemah Tahido Yanggo menyimpulkan setidaknya terdapat dua pokok pikiran tentang mazhab. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis. 15 A. Djazuli menyebut “mazhab” sebagai aliran-aliran dalam fikih yang diawali dari perbedaan-perbedaan metode berakibat pada perbedaan pendapat yang akhirnya terbentuk kelompok pendukung (murid imam) sebagai penerus imamnya dan selanjutnya berkembang menjadi mazhab tertentu.16 Sedangkan menurut A. Qodri Azizy, mazhab merupakan wujud hukum Islam yang bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap suatu kejadian (wâqi’ah) yang ada. Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian diikuti oleh lain atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain, kemudian menjadi baku. 17 Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau meng-istinbâth-kan hukum Islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbâth imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum Islam. 18 Karena itu, mazhab Syâfi‘i berarti aliran pemikiran fikih yang didirikan oleh Imam al-Syâfi‘i dengan dasar-dasar ‘Utsmân, Qâmûs al-Mubîn fi Ishthilâhât al-Ushuliyyîn, h. 52. M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 1. 12 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997), h. 71. 13 K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Mazhab (Bandung: Sinar Baru, 1991), h. 8. 14 Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 72. 15 Ibid. 16 A. Djazuli, Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar (Bandung: Orba Sakti, 1991), h. 106. 17 A. Qodri Azizy, Refomasi BerMazhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai SaintifikModern. (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), h. 17. 18 Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 72. 10 11

82


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

metodologi istinbâth tertentu. Demikian pula dengan mazhab Hanbali yang berarti aliran pemikiran fikih yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.19 Bermazhab pada dasarnya ialah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang diyakini memiliki kompetensi (kewenangan/kemampuan) berijtihad. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa menjadi pengikut mazhab (al-mazhabiyyah) ialah sikap orang awam atau orang yang belum mencapai kemampuan berijtihad untuk bertaklid kepada mazhab seorang imam mujtahid, baik secara tetap kepada mazhab tertentu maupun pada saat yang lain berpindah kepada pendapat yang lain. Sebaliknya, sikap tidak bermazhab (lâ mazhabiyyah) ialah sikap orang awam atau orang yang belum mencapai kemampuan berijtihad untuk tidak bertaklid kepada mazhab seorang imam mujtahid pun, secara tetap atau pun tidak.20 Berdasarkan pengertian tersebut, menurut al-Buthi, setidaknya terdapat dua aspek yang menjadi patokan batasan bermazhab, yakni subjek dan objek bermazhab. Subjek bermazhab adalah orang awam atau orang yang tidak mampu berijtihad, sedangkan objeknya adalah pendapat imam mujtahid (imam mazhab). Ada beberapa model sikap seseorang dalam bermazhab. Pertama, seorang Muslim mengikuti mazhab tertentu dalam seluruh aspek hukum Islam. Sebagai contoh, seseorang menjadi penganut fikih mazhab Syâfi‘i. Klaim seperti ini banyak ditemukan pada masyarakat Indonesia yang memberikan pernyataan afiliasi kepada mazhab tersebut. Di kalangan ulama, pandangan seperti ini merupakan wujud kehati-hatian mereka dalam mengambil pendapat hukum dan ketidakberanian untuk menggali lebih dalam permasalahan istinbâth. Di samping itu, ada sebuah doktrin yang mewajibkan seseorang untuk mengikuti pendapat mazhab tertentu. Sedangkan di kalangan awam, mengambil mazhab tertentu adalah cara instan dan praktis untuk mengamalkan fikih tanpa harus menelusuri sumber dan metode penggunaan dalil (istidlâl). Meskipun demikian, pada tataran realitas hal tersebut tidaklah mudah karena mengamalkan satu mazhab tertentu secara keseluruhan seringkali akan menimbulkan kesulitan pada beberapa kasus. Akibatnya, penganut mazhab tersebut, secara ‘terpaksa” harus mengambil pendapat mazhab lain. Hal ini dianggap sebagai langkah terakhir apabila mengalami kesulitan yang memang tidak bisa diselesaikan. Kedua, seorang Muslim mengikuti mazhab tertentu secara “formal” tetapi tidak menutup diri dari mengambil pendapat mazhab lain. Tipikal penganut mazhab seperti ini merasa perlu untuk mengikuti pendapat salah satu mazhab disebabkan karena ketidakmampuan untuk berijtihad. Umat Islam pada masa ini dinilai tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan ijtihad, bahkan para ulamanya sekalipun tidak akan ada

Miftah Faridh, “Fiqh al-Ikhtilaf Menurut Perspektif Syah Waliyullah al-Dahlawi dan Yusuf al-Qaradhawi” (Tesis IAIN Antasari Banjarmasin, 2010). 20 Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-La Mazhabiyyah Akhthâr Bid‘ah Tuhaddid alSyari’ah al-Islâmiyyah (Damaskus: Dâr al-Farabi, 2005), h. 17 19

83


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 yang mampu menyamai keilmuan ulama terdahulu. Akan tetapi, secara objektif tetap menghargai keragaman mazhab lain sebagai manifestasi Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn. Ketiga, seorang Muslim yang tidak merasa perlu untuk terikat dengan pendapat mazhab tertentu. Model ketiga ini lebih tepatnya dikategorikan kelompok “bebas mazhab” atau lâ al-mazhabiyyah dengan meminjam istilah al-Buthi. Di dalam mengambil hukum Islam, mereka senantiasa menelusuri pendapat-pendapat fikih para ulama dan mujtahid terdahulu kemudian mengamalkan salah satu pendapat tersebut atau dengan cara menggabungkan sejumlah pendapat yang ada. Orang tersebut sangat toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat. Baginya, keanekaragaman mazhab merupakan kekayaan khazanah intelektual Islam yang sangat berharga sehingga keragaman tersebut harus tetap dipelihara. Di samping itu, cara bermazhab seperti ini, cenderung terkesan liberal, karena pemikiran hukum Islam yang diambil biasanya berpatokan kepada aspek kemaslahatan, relevansi, maupun “selera” orang tersebut. Keempat, seorang Muslim yang secara formal tidak menganut mazhab tertentu tetapi berusaha untuk memilih salah satu pendapat mazhab maupun ulama dari mazhab tertentu yang dinilai paling kuat (râjih) serta lebih mendekati kepada kebenaran. Cara bermazhab seperti ini menganggap bahwa mengikuti mazhab tertentu bukanlah suatu kewajiban, sebab Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat tidak pernah menetapkan hal demikian. Akan tetapi, kenyataan di masa sekarang, umat Islam tetap membutuhkan pendapat-pendapat ulama terdahulu sebagai referensi dan pembanding sehingga keberadaan mazhab tetap diakui. Mazhab dipandang sebagai produk pemikiran yang bisa diterima ataupun ditolak berdasarkan timbangan Alquran dan sunah serta metodologi keilmuan dalam istinbâth hukum Islam. Di Indonesia, ormas Islam Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai lembaga fatwanya menganut model bermazhab terakhir ini.21

Paradigma Bermazhab Pontren Kalimantan Selatan Bahan Ajar dan Metode Pembelajaran Pada umumnya, tujuan pembelajaran fikih yang dilaksanakan pada pondok pesantren salafi dan kombinasi di Kalimantan Selatan adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum-hukum pelaksanaan ibadah yang mengacu pada satu basis mazhab yaitu mazhab fikih Imam Syâfi‘î.22 Di samping itu, target pembelajaran fikih pada sebuah kitab adalah penguasaan kitab fikih tersebut sehingga dapat diterapkan atau diaplikasikan pada

Lebih lanjut dapat dilihat dalam Asymuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010). 22 Berlaku pada pontren Darussalam Martapura Kabupaten Banjar, Al-Falah Banjarbaru, DarulIlmi Banjarbaru, Assuniyyah Tambarangan Kabupaten Tapin, Darul Ulum Kandangan, Darul Amin Negara, Ibnul Amin Pamangkih, Nurul Muhibbin Barabari, Rakha Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Almadaniyah Jaro Kabupaten Tabalong. 21

84


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

kehidupan keagamaan dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Sedangkan pada pontren khalafi, pembelajaran fikih pada kurikulum utamanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum-hukum pelaksanaan ibadah hanya mengacu pada satu basis mazhab yaitu madzhab fikih Imam Syâfi‘î pada jenjang dasar dan pemahaman dengan pendekatan perbandingan mazhab pada jenjang tinggi/ulya. Peserta didik pada model pembelajaran fikih seperti ini tidak menekankan pada penguasaan kitab, melainkan kepada kemampuan peserta didik dalam menyikapi adanya perbedaan pemikiran mujtahid atau hasil ijtihad dari para imam mazhab terhadap masalah-masalah fiqhiyyah.23 Namun pada pontren khalafi yang menyelenggarakan pendidikan diniyah nonformal seperti majelis taklim meletakkan tujuan pembelajaran fikih semata-mata menambah wawasan fikih.24 Pembelajaran fikih pontren salafi dan kombinasi dengan menggunakan kitab-kitab fikih standar dimaksudkan sebagai upaya pelestarian ajaran Islam terutama pada mazhab fikih Imam Syâfi‘î. Karena itu, dalam tradisi pontren salafi adalah sebuah keharusan untuk menjaga konsistensi bermadzhab Syâfi‘î sebagai konsekuensi dari kontinuinitas sanad keilmuan dari para pengajarnya. Berbeda dengan kondisi pembelajaran fikih pada pada pontren khalafi yang menggunakan kitab-kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab bertujuan untuk menghindarkan santri-santrinya dari kekakuan bermazhab atau tidak terikat pada mazhab tertentu, namun juga memiliki wawasan yang memadai tentang fikih dari berbagai mazhab. Ditemukan bahwa bahan ajar yang digunakan pada pontren di Kalimantan Selatan menggunakan kitab-kitab fikih standar dari pontren-pontren yang lebih tua usia keberadaannya, seperti pontren Darussalam Martapura, Rakha Amuntai, dan al-Falah Kota Banjarbaru. Karena itu, pada pontren tertentu mereka menamakan kurikulum diniyah dengan nama kurikulum Darussalam yaitu proses pembelajaran fikih dengan standar bahan ajar sebagaimana yang diterapkan pada pondok pesantren Darussalam, Martapura. Namun demikian, dijumpai pula kitab fikih yang bernuansa perbandingan mazhab pada pontrenpontren tertentu. Dari 12 pontren tersebut, diketahui bahwa sepuluh pontren yang masih menggunakan kitab-kitab fikih bermadzhab Syâfi‘î yaitu pontren Darussalam Martapura, Rakha Amuntai, al-Falah Banjarbaru, Darul Ilmi Banjarbaru, Assuniyah Tambarangan, Darul Ulum Kandangan, Darul Amin Negara, Ibnul Amin Pamangkih Barabai, Nurul Muhibbin Barabai, dan Almadaniyah Jaro. Sedangkan dua pontren yang menggunakan kitab-kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab, yaitu pontren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio dan Darul Hijrah Cindai Alus Kabupaten Banjar. Khusus terhadap pembelajaran fikih di pontren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio yang menggunakan pendekatan perbandingan mazhab dapat dilihat dari kitab fikih yang Berlaku pada pontren Darul Hijrah Cindai Alus Banjarbaru dan Nurul Amin Muhammadiyah

23

Alabio.

Berlaku pada pontren Assuniyah Tambarangan Kabupaten Tapin, Nurul Amin Muhammadiyah Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Almadaniyah Jaro Kabupaten Tabalong. 24

85


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 digunakan. Di samping itu, pihak Muhammadiyah sendiri tidak menentukan kitab fikih standar yang digunakan untuk lembaga-lembaga pendidikan di bawah pembinaan Muhammadiyah. Namun demikian, kitab-kitab fikih yang digunakan oleh para pengajar di pontren ini tetap memperhatikan rambu-rambu pemikiran fikih Muhammadiyah yang kental dengan metodologi tarjihnya. Pada pembelajaran fikih di pontren Darul Hijrah Cindai Alus Kabupaten Banjar hampir mirip dengan pontren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio yang menggunakan kitab fikih perbandingan mazhab. Hal ini dapat dilihat dari kitab fikih yang diajarkannya yaitu kitab Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid karya Abû al-Wâlid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubî yang terkenal dengan nama Ibn Rusyd al-Hâfid (wafat tahun 595 Hijriyah). Karya monumental ini berisikan tentang cara-cara ber-istidlâl dengan pendekatan pemikiran dari empat madzhab fikih bahkan meliputi juga pemikiran fikih dari madzhab Zhâhirî yang dimasanya menyebar luas di tempat kelahiran beliau di Andalusia (sekarang Spanyol). Meskipun demikian, dalam proses pembelajarannya hanya diajarkan pada tema-tema tertentu saja terutama di bidang fikih ibadah. Pada pontren Nurul Muhibbin Barabai dijumpai kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab. Walaupun para santri pontren ini diajarkan kitab-kitab fikih yang bermazhab Syâfi‘î. Namun pada pontren ini dijumpai kelas khusus di mana santrinya mempelajai kitab Mizânul Qubrâ, sebuah kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab. Kelas khusus ini merupakan program pendidikan tambahan selama 1 tahun setelah santri menamatkan belajarnya secara formal selama 6 tahun. Berdasarkan keterangan dari bagian ta’lim/pengajaran dari sejumlah pontren salafi disebutkan beberapa alasan yang mendasari pemilihan tersebut. Pertama, mengikuti trend pemakaian kitab fikih tersebut oleh sejumlah pesantren lainnya, terutama yang digunakan oleh pontren Darussalam Martapura. Kedua, amanah dari pendiri pontren untuk melestarikan tradisi pemakaian kitab-kitab fikih tersebut. Ketiga, menghindari kebingungan dalam pengamalan ajaran agama walaupun di dalam pembelajarannya bersinggungan dengan pengamalan ajaran agama dari madzhab fikih lainnya. Adapun pada pontren Darul Hijrah Cindai Alus, Nurul Amin Muhammadiyah Alabio, dan Nurul Muhibbin pada kelas khusus, penggunaan kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab disebabkan oleh pandangan pengajarnya tentang bermazhab yang tidak hanya terfokus pada satu mazhab fikih saja, melainkan memahami mazhab fikih lainnya dalam rangka memperoleh pemahaman ajaran Islam yang holistik. Di samping itu, sebagai bekal siap bagi alumni pontren tersebut dalam menghadapi masalah-masalah fikih yang berkembang di dalam masyarakatnya.

Sistem dan Metode Pembelajaran Fikih Dijumpai dua sistem pembelajaran fikih pada pontren-pontren di Kalimantan Selatan, yaitu sistem pembelajaran klasikal, dan non klasikal. Pada pontren salafi dan khalafi, pem86


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

belajaran fikih dilakukan dengan sistem klasikal yaitu peserta didik dalam pembelajaran fikih dikelompokkan pada jenjang atau tingkatan kelas tertentu. Sedangkan pada pontren kombinasi, diterapkan sistem non klasikal, pembelajaran fikih diikuti oleh seluruh santri tanpa dikelompokkan atau tidak berjenjang. Keadaan ini juga dijumpai pada pontren khalafi maupun salafi yang menyelenggarakan pendidikan diniyah non formal berupa majelis taklim. Pada penyelenggaraan pendidikan diniyah non formal berupa pengajian kitab non klasikal dan majelis taklim, santri berada dalam satu halaqah pembelajaran fikih dengan materi tertentu dari kitab fikih yang berbeda dengan kitab fikih yang diajarkan di kelas pagi. Pembelajaran fikih dalam majelis taklim berlangsung monolog dan tematis. Seluruh pontren tersebut menggunakan sistem pembelajaran fikih secara klasikal, sedangkan non klasikal terdapat pada pembelajaran fikih dalam format majelis taklim yang dilaksanakan oleh pontren Darul Hijrah Cindai Alus Martapura dan pengajian kitab yang dilakukakan oleh pontren Assunniyah Tambarangan Kabupaten Tapin. Selanjutnya metode pembelajaran fikih yang digunakan adalah metode bandongan atau wetonan, ceramah (membaca dan menjelaskan), dan diskusi. Adapun tahapan-tahapan pembelajaran dari penerapan metode bandongan atau wetonan dimaksud sebagai berikut. Pertama, ustaz/ Guru yang mengajarkan fikih mendoakan atau bertawassul kepada si pengarang kitab fikih yang akan diajarkan, juga kepada alim ulama yang telah wafat. Kemudian ustaz memimpin pembacaan surah al-Fâtihah yang diikuti oleh para santrinya. Kedua, pada tahap selanjutnya, setelah pembacaan surah al-Fâtihah selesai, ustaz memerintahkan santri-santrinya untuk membuka halaman tertentu dari sebuah kitab fikih yang akan dipelajari. Kemudian ustaz membacakan, mengartikan secara harfiah dan menjelaskan kandungannya. Sedangkan para santri menyimak kitab fikih yang ada di tangannya, dan memberikan makna atas kata atau kalimat yang tidak dipahami dirinya. Ketiga, setelah selesai membacakan, mengartikan dan menjelaskan halaman atau bab tertentu dari kitab fikih tersebut, ustaz menyuruh santri untuk membaca ulang kalimat-kalimat atau paragraf demi paragraf dari halaman yang telah dibacakan oleg ustaznya. Ustaz menyuruh santri untuk membacanya secara bergiliran hingga seluruh halaman terbaca semua. Ketiga, apabila ada waktu yang tersisa dari alokasi waktu pengajaran, maka ustadz mempersilakan santri untuk bertanya hal-hal yang tidak jelas, atau permasalahan fikih lainnya. Keempat, pembelajaran fikih diakhiri dengan pembacaan doa yang dipimpin langsung oleh sang ustaz dan diaminkan oleh para santrinya. Kelima, pada Ulangan Semester diadakan evaluasi dari pelajaran fikih, yaitu satu per satu santri menghadap ustaz untuk diuji kemampuan membaca kitab fikih yang telah diajarkannya. Metode bandongan atau wetonan merupakan metode klasik dan bertahan hingga saat ini. Penyebabnya adalah para guru/ustaz berusaha keras menjaga kesinambungan ilmu fikih yang diajarkan oleh para pendahulunya. Penghormatan terhadap para pendahulunya diwujudkan dengan pelestarian tradisi bandongan /wetonan dalam pembelajaran kitabkitab kuning atau klasik. Para ustaz beranggapan bahwa memperoleh keberkahan dari ilmu yang didapatkan merupakan harga mati yang mesti diraih atau diupayakan di antaranya 87


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 dengan melestarikan apa yang telah dilakukan oleh gurunya. Di sisi lain, metode bandongan/ wetonan terbukti efektif untuk penguasaan kitab kuning oleh para santrinya. Selain didapatkan di kelas, pembelajaran fikih juga diperoleh dari majelis-majelis ta’lim yang diadakan di luar kelas, biasanya mengambil tempat di masjid dan rumah sang ustaz atau pimpinan pondoknya. Berbeda dengan pondok pesantren yang menerapkan metode ceramah yang di dalam proses pembelajarannya terpusat pada guru atau pengajarnya sedangkan santri bersifat pasif atau sebagai pendengar semata, sebaliknya metode diskusi lebih menekankan peran aktif peserta didik, sedangkan guru/ustaznya tidak semata-mata sebagai sumber belajar melainkan sebagai mitra belajar. Para santri yang belajar diberikan kesempatan terlebih dahulu mengungkapkan pemahaman atas isi kitab yang akan dipelajari. Apabila santri tidak mampu memahami isi kitab dimaksud maka barulah guru/ustaz memberikan keterangan atau penjelasan sekadarnya. Sang Ustaz pun tidak hanya mengacu pada satu kitab yang sedang ditekuni atau digunakan oleh santri, namun menggunakan variasi kitab. Evaluasi pembelajaran fikih dilakukan baik di dalam kelas atau menjelang waktu belajar berakhir dan pada saat Ulangan Umum Semester, baik secara lisan maupun tulisan yang menekankan pada aspek penilaian kemampuan membaca Kitab Kuning dan pemahaman isi kandungannya.

Konseps Pengajar tentang Mazhab Berdasarkan hasil wawancara terhadap sejumlah ustaz yang mengajarkan fikih pada pondok pesantren di Kalimantan Selatan tentang pernyataan sikapnya terhadap madzhab dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, bermazhab itu merupakan keharusan, tanpa mazhab menyebabkan kebingungan atau kebimbangan dalam beragama. Sebab jarang orang yang mencapai derajat mujtahid. Meskipun bermazhab Syâfi‘î, dituntut juga pengetahuan pendapat imam mazhab lainnya yang berguna sebagai solusi alternatif atas permasalahan fikih yang dijumpainya. Kedua, dalam pembelajaran fikih, terkadang menyinggung pendapat imam mazhab lainnya, namun pendapat itu pun dikuatkan kembali dari pendapat Imam mazhab yang dianut. Karena itu pada dasarnya, tetap mengutamakan pendapat Imam mazhabnya seperti pendapat Imam Syâfi‘î. Ketiga, dalam pembelajaran fikih terkadang diperkenalkan dan disebutkan pendapat mazhab lain, terutama dalam masalah-masalah yang dianggap darurat atau mendesak sehingga dapat dijadikan alternatif untuk berpindah ke madzhab tersebut. Keempat, dalam bermazhab harus konsisten, tidak boleh talfiq. Bila dalam satu rangkaian ibadah yang masih berkaitan, maka amal-amal ibadah itu berdasarkan satu mazhab. Karena itu konsistensi dalam satu mazhab sangat ditekankan untuk menghindari talfîq. Kelima, semua pemahaman mazhab adalah benar, karena dikeluarkan atau difatwakan oleh para imam mazhab yang mempunyai kriteria seorang mujtahid. Sedangkan mazhab yang dianut adalah mazhab Syâfi‘î. Belum ada keinginan untuk mengajarkan fikih dari mazhab lain, karena fikih mazhab Syâfi‘î yang dipedomani belum sepenuhnya dikuasai. Keenam, sebenarnya para Imam mazhab ber88


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

mazhabkan Rasulullah Saw. Karena itu, boleh diikuti pendapat mazhab Imam Syâfi‘îi, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Dengan demikian, bermazhab yang benar adalah bermazhab kepada Rasulullah Saw. Berdasarkan sikap terhadap mazhab dari beberapa pengajar fikih tersebut dapat diketahui bahwa ada dua sikap dalam bermazhab: sikap berpegang teguh pada satu mazhab, namun tidak menafikan kehadiran madzhab lain, dan sikap yang mentoleransi penggunaan lebih dari satu mazhab.

Respon Santri Terhadap Mazhab Mazhab sebagai aliran atau ‘ikutan’ kepada seorang imam dalam masalah-masalah fikih. Dalam hal ini yang ia pelajari adalah fikih mazhab Syâfi‘î. Ia mengetahui ada mazhab selain mazhab Syâfi‘î akan tetapi tidak mengetahui secara lebih detail perihal mazhabmazhab tersebut. Menurutnya, bermazhab itu sendiri hukumnya wajib dan setiap umat Islam idealnya mengetahui mazhab-mazhab lain. Hal ini tujuannya agar setiap orang dapat bersikap bijak dan tidak larut dalam perdebatan yang tidak berkesudahan. Pertama, mazhab sebagai sumber hukum dari imam-imam yang dipegangi dan pendapatnya dalam pengambilan suatu hukum. Bermazhab itu wajib, untuk mencegah kebingungan dalam beribadah. Terdapat empat madzhab dan boleh dipilih, tapi kebanyakan di dunia ini memakai mazhab Syâfi‘î, namun boleh berpindah mazhab ketika ada keperluan yang sangat urgen. Kedua, ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syâfi‘î. Mazhab merupakan hasil pemikiran orangorang/dari manusia, tentu berbeda-beda mazhabnya. Bermazhab itu tidak wajib, karena hanya sarana mempelajari hukum setiap amal ibadah, bila seseorang sudah memahami tentang asal usul pandangan imam mazhab, maka ia pun dapat memutuskan hukum dari amal ibadah yang ia lakukan. Ketiga, mazhab adalah ikutan dalam mengamalkan fikih. Mazhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia adalah madzhab Syâfi‘î. Manakala seseorang berhaji ke Makkah kemudian kesulitan dalam hal berwuduk (karena saat berdesakan kemungkinan besar akan tersentuh kulit lawan jenis), maka seseorang boleh memakai wuduk menurut mazhab lain, seperti mazhab Maliki. Dengan demikian, sewaktu-waktu dalam kondisi darurat atau mendesak seseorang bisa menggunakan mazhab lain sebagai alternatif. Meskipun demikian, apabila tidak ada keperluan, maka harus disesuaikan dengan mazhab yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, yakni mazhab Syâfi‘î. Keempat, mazhab adalah suatu jalan untuk mendapatkan ilmu-ilmu agama. Dengan demikian, mengikuti mazhab Syâfi‘î artinya jalan untuk mendapatkan ilmu cara-cara beribadah menurut Imam Syâfi‘î. Mazhab Syâfi‘î adalah mazhab yang banyak dianut di Indonesia, namun di Makkah, masyarakat Muslim di sana menganut Mazhab Maliki. Kelima, mazhab yaitu tempat berjalan. Mazhab disebut sebagai tempat kumpulan 89


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 pemikiran ulama mujtahid yang bersifat Zhanni. Karena itu, dalam permasalahan fikih tertentu terjadi perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab. Bermazhab dihukumkan wajib bagi orang awam maupun bagi ulama yang tidak mencapai derajat seorang mujtahid. Berpegang satu mazhab merupakan keharusan agar selalu dalam tuntunan. Berpegang lebih dari satu mazhab, atau memilih-milih mazhab dalam pelaksanaan satu amal ibadah cenderung mempermudah-mudah pengamalan ibadah (talfîq). Jadi cenderung menurut hawa nafsu atau keinginan mencari hal-hal yang meringankan dirinya dalam pelaksanaan amal ibadah. Keenam, mazhab adalah kumpulan pendapat ulama. Perbedaan pendapat di antara mazhab wajar terjadi karena akibat dari perbedaan konteks ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis. Berpegang terhadap satu mazhab adalah keharusan, namun boleh saja berpegang pada mazhab lainnya asalkan tidak dalam satu amal ibadah. Seperti salat bermazhab Syâfi‘î, sedangkan hajinya bermazhab Maliki. Ketujuh, mazhab adalah pendapat atau argumen ulama-ulama mazhab. Namun bermazhab sendiri tidaklah wajib, karena kita mesti berpegang kepada al-Qur’an dan hadis dengan pemahaman ulama salaf. Kedelapan, mazhab adalah pendapat-pendapat yang diikuti dalam pengamalan ibadah sehari-hari. Sedangkan bermazhab merupakan kewajiban karena dapat mengetahui cara-cara beribadah. Kesembilan, mazhab dalam fikih ialah hasil ijtihad dari seorang mujtahid yang ahli terhadap hukum, terutama yang menguasai al-Qur’an dan hadit, sedangkan hukum bermazhab adalah wajib. Kesepuluh, mazhab itu merupakan hasil pemikiran-pemikiran ulama fikih. Setiap orang wajib bermazhab agar mendapatkan pedoman yang pasti dalam menjalankan ajaran agama dan berpegang pada satu mazhab saja agar tidak terjadi kebingungan. Namun boleh berpindah mazhab bila dalam keadaan darurat. Ditemukan beberapa sikap bermazhab dari santri pondok-pondok pesantren tersebut. Pertama, pemahaman mazhab yang diartikan sebagai kumpulan pendapat ulama-ulama mazhab terutama dari imam mazhabnya. Kedua, perbedaan pendapat antar mazhab adalah sesuatu yang lumrah karena pendapat mazhab bersifat zhanni, bukan qath’i. Ketiga, harus berpegang terhadap satu mazhab tertentu, untuk mendapatkan tuntunan yang pasti dan terhindar dari talfîq. Namun boleh pindah mazhab pada masalah fikih tertentu bila dalam keadaan darurat. Secara personal/individual, santri mempunyai cara pandang yang sama tentang mazhab yaitu keharusan berpegang pada satu mazhab, namun boleh berpindah mazhab bila dalam keadaan darurat. Pandangan seperti ini sebagai buah dari pembelajaran fikih yang selama ini mereka terima, yaitu pola pembelajan fikih pada satu mazhab tertentu (Syâfi‘î). Sedangkan di kalangan pengajarnya, ditemukan dua cara pandang terhadap 90


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

mazhab yang berbeda. Pertama, sikap konsistensi berpegang pada satu mazhab yang ketat walaupun boleh berpindah mazhab dalam keadaan darurat dan menolak talfîq. Kedua, sikap konsistensi berpegang pada satu mazhab yang sedikit longgar dan menempatkan mazhab-mazhab dalam fikih sebagai proses menuju mazhab hakiki, mazhab Rasulullah Saw. Cara pandang para pengajar ini tidak terlepas dari pengetahuan maupun wawasan fikih yang mereka kuasai. Namun bila ditelisik lebih jauh, sikap fanatik terhadap mazhab tertentu menjadi sebab utama dari ketatnya seseorang dalam bermazhab. Bahkan sikap ini didukung dengan sikap saling mewarisi maupun mewariskan tradisi peng-ajaran, mulai dari bahan ajar yang digunakan sampai dengan cara pembelajarannya, sehingga wajar bila para pengajar di sejumlah pondok pesantren salafi maupun khalafi berada di dalam status quo. Di samping itu, kewenangan pengajar dibatasi oleh garis kebijakan pimpinan pontren dalam menentukan bahan ajar dan orientasi pembelajaran fikih yang diterapkan. Bahwa di dalam keterbatasan tersebut masih terbuka dalam mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih efektif dan efesien atau dengan kata lain, bahan ajar boleh sama seperti pada generasi sebelumnya, namun cara mengajar tentu harus berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman. Secara institusional, paradigma bermazhab pada pontren salafi maupun khalafi dapat dijumpai pada kebijakan pemakaian bahan ajar dan tujuan pembelajaran fikih itu sendiri oleh masing-masing pimpinan pontren, sehingga pemakaian kitab-kitab fikih bermazhab Syâfi‘î mengindikasikan sikap bermazhab yang ketat, meskipun pada proses pembelajarannya tidak menafikan keberadaan mazhab fikih lainnya, sedangkan pada pontren yang menggunakan kitab-kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab cenderung memiliki sikap bermazhab yang lebih longgar dan inklusif terhadap pemikiran fikih dari mazhab lain.

Penutup Dapat disimpulkan bahwa, pertama, bahwa pembelajaran fikih yang diselenggarakan oleh 12 pondok pesantren di Kalimantan Selatan baik yang bercorak salafi maupun khalafi mempunyai kesamaan tujuan dari pembelajaran fikih yang dilaksanakan, yaitu setelah mempelajari fikih pada kitab fikih tertentu, santri/santriwati diharapkan dapat mengetahui dan memahami tata cara ibadah serta dapat mengamalkannya dalam kehidupan seharihari. Demikian juga pada tujuan pembelajaran fikih secara khusus dijumpai kesamaan yaitu agar santri dapat membaca dan memahami kandungan kitab fikih yang dipelajari dengan baik dan benar. Kedua, bahan ajar dalam pembelajaran fikih yang digunakan dari sejumlah pondok pesantren yang diteliti pada umumnya adalah kitab-kitab fikih bermadzhab Syâfi‘î dan sedikit kitab-kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab. Pembelajaran dilaksasanakan dengan dua sistem, klasikal dan nonklasikal dengan metode bandongan atau wetonan, metode ceramah dan diskusi. Ketiga, konsepsi tentang mazhab mempunyai kesamaan pengertian yaitu kumpulan pendapat atau pemikiran imam mazhab maupun 91


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 ulama mazhab yang menjadi pegangan umat Islam dalam pelaksanaan fikih. Keempat, bagi para pengajar, sikap bermazhab menjadi dua golongan: pada umumnya berpegang teguh pada satu mazhab, namun tidak menafikan kehadiran mazhab lain; dan sikap yang mentoleransi penggunaan lebih dari satu madzhab. Kelima, bagi para santri, terdapat dinamika pemahaman dan sikap dalam bermazhab: pemahaman mazhab yang diartikan sebagai kumpulan pendapat ulama-ulama mazhab terutama dari imam mazhabnya; perbedaan pendapat antar mazhab adalah sesuatu yang lumrah karena pendapat mazhab bersifat zhanni, bukan qath’i; dan harus berpegang terhadap satu mazhab tertentu, untuk mendapatkan tuntunan yang pasti dan terhindar dari talfîq. Namun boleh pindah mazhab pada masalah fikih tertentu bila dalam keadaan darurat. Keenam, secara institusional, pondok pesantren salafi memiliki paradigma bermazhab yang ketat di mana pembelajaran fikih hanya diarahkan kepada mazhab tertentu (Syâfi‘îyyah) seperti tergambar dari kitabkitab fikih yang diajarkan, dan metode pembelajaran yang dipakai. Keadaan ini dimotivasi oleh tiga hal: mengikuti trend yang sedang berlaku, mengikuti amanah para pendiri, dan kekhawatiran terhadap kekacauan dalam pengamalan agama. Secara individual, para pengajar fikih memiliki konsep yang lebih longgar tentang madzhab dimana mereka menerima kehadiran madzhab-madzhab lain. Adapun pada pontren khalafi yang menggunakan kitab fikih dengan pendekatan perbandingan mazhab memiliki paradigma bermazhab yang lebih longgar atau cenderung inklusif terhadap eksistensi pemikiran fikih dari mazhab lain.

Pustaka Acuan Abdurrahman, Asymuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Abdurrahman, K.H.E. Perbandingan Mazhab. Bandung: Sinar Baru, 1991. Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. al-La Mazhabiyyah Akhthâr Bid‘ah Tuhaddid alSyari‘ah al-Islâmiyyah. Damaskus: Dâr al-Farabi, 2005. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987. Azizy, A. Qodri. Refomasi BerMazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai SaintifikModern. Jakarta: Penerbit Teraju, 2003. Bisri, Cik Hasan. Model Peneliti Fiqh Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian. Jakarta: Prenada Media, 2003. Depdikbud. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 2008. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid III. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2005. Djazuli, A. Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar. Bandung: Orba Sakti, 1991. 92


Sukarni: Paradigma Bermadzhab Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan

Faridh, Miftah. “Fiqh al-Ikhtilaf Menurut Perspektif Syah Waliyullah al-Dahlawi dan Yusuf al-Qaradhawi.” Tesis IAIN Antasari Banjarmasin, 2010. Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989. ‘Utsmân, Mahmûd Hamîd. Qâmûs al-Mubîn fi Ishthilâhât al-Ushûliyyîn. Riyadh: Dâr alZiham, 2002. Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab Fiqh. Jakarta: Rajawali Press, 2000 Hasbiyallah, M. Perbandingan Madzhab. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013. Ibn Manzhur, Jamal al-Dîn Muhammad. Lisân al-‘Arab, Jilid I. Mesir: Dâr al-Mishriyyah, t.t. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir. Bandung: Pustaka Progressif, 2002. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos, 1997.

93


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

PEMISKINAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM Alfitra Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Tangerang, Banten, 15412 e-mail: fitratira@yahoo.co.id

Abstrak: Penanganan terhadap persoalan korupsi merupakan tugas berat di setiap negara dalam mencapai good governance. Di Indonesia, sejak bergulirnya reformasi, terjadi peningkatan tindak pidana korupsi dan penyebaran pelakunya semakin meluas. Tulisan ini mencoba memberikan solusi tentang sanksi hukum pemiskinan koruptor, baik dari perspektif hukum pidana positif maupun hukum Islam. Menurut penulis, pemiskinan koruptor yang berarti sebuah hukuman untuk membuat tersangka menjadi miskin akibat aset dan harta benda yang dimilikinya sebenarnya mendapat preseden dari putusan-putusan hakim yang menyita harta koruptor. Dalam hukum pidana Islam, pemiskinan koruptor sebenarnya tidak sejalan dengan konsep ‘uqûbah atau penjatuhan sanksi bagi seorang terdakwa. Namun demikian, sebagai sebuah bentuk hukuman takzir berupa denda sejumlah uang yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap seorang terpidana kasus korupsi, tampaknya boleh dilakukan. Abstract: Impoverishment of Corruption Crime in the Perspective of Positive Criminal Law and Islamic Law. Dealing with corruption issue is a tough task of any country in achieving good governance. In Indonesia since reformation era began, there was an increase in the number of corruption crime This paper attempts to provide solution pertaining to sanctions to impoverish corruption crime, both in the perspectives of Islamic positive criminal law and Islamic penal law. According to the author, the impoverishment of corruption crime in the sense of sanction that causes the suspect in the state of poverty due to the fact that their property and asset prescribed in the precedent of the decisions of judges who confiscate criminals. In the Islamic perspective, the impoverishment of the corruption crime as punishment is not in line with a form of punishment named ‘uqûbah or impose sanctions for a defendant. Nevertheless, as a form of punishment in the form of fines as ta’zîr, an amount of money demanded by the public prosecutor against a convicted cases of corruption, perceived to be feaseable to be applied.

Kata Kunci: korupsi, koruptor, pemiskinan, jinâyah, hukum pidana 94


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Pendahuluan Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini ibarat penyakit kronis yang susah untuk diberantas. Bukti bahwa pemberantasan korupsi merupakan prioritas dari pemerintah bisa dilihat dari rentang waktu yang dibutuhkan. Perjuangan dalam pemberantasan korupsi sudah mencapai lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan diproklamirkan oleh SoekarnoHatta. Perjuangan memberantas korupsi tidak mengenal orde pemerintahan, dimulai sejak tahun 1950 an dan sudah melalui empat kali perubahan perundang-undangan dan berbagai instruksi Presiden yang dibentuk khusus untuk memberantas korupsi. Perbuatan korupsi yang telah mengancam sendi-sendi perekonomian negara bisa dilihat baik dalam laporan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada setiap sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melaporkan kasus-kasus korupsi telah merugikan negara. 1 Korupsi tidak terjadi hanya di pemerintah pusat saja, 2 melainkan telah merambah ke daerahdaerah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.3 Struktur pemerintahan yang diisi oleh pemimpin-pemimnpin yang bermental seperti itu akan menciptakan dan meningkatkan korupsi yang sistematik dan jangkauannya semakin meluas. Bahkan jika kondisi seperti ini dibiarkan tanpa suatu kebijakan yang komprehensif dan berkesinambungan, maka korupsi dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial seluruh rakyat Indonesia. Pada akhirnya korupsi yang demikian akan membentuk kelompok masyarakat yang sangat koruptif dan lahirnya budaya koruptif bahkan bisa membentuk area koruptif.4 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah banyak diatur oleh Undang-undang baik secara umum maupun secara khusus, begitu pun dalam Islam sesungguhnya telah menyediakan seperangkat doktrin yang dapat ditransformasikan sebagai elemen dalam pemberantasan korupsi. Dokrin Islam tidak hanya menyediakan himbauan moral dan sanksi hukuman yang tegas, tetapi juga menawarkan beberapa langkah strategis untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pada khususnya. Jika disimpulkan secara garis besar, dokrin Islam dapat menjelaskan persoalan-persoalan yang akan terjadi. Korupsi berasal dari bahasa Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun disampaikan dan tidak pernah sekalipun tidak terdapat kasus korupsi. 2 Beberapa kasus yang menonjol adalah pengadilan kasus korupsi terhadap beberapa exmentri dalam kabinet dan beberapa kasus yang tersangka/terdakwanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat 3 Di Jawa Barat saja bermunculan kasus-kasus korupsi dengan beraneka macam modus operandi, dari kasus kavling gate, Kasus APBD, Mobilisasi di DPRD Subang, Kemudian juga mantan gubernur, bupati/walikota dan pejabat daerah lainnya. Secara nasional mMendagri Gamawan Fauzi mengatakan pada rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah awal bulan Januari lalu bahwa ada 159 kepala daerah yang tersangkut korupsi, 17 orang di antaranya adalah Gubernur. Setiap minggu ada kepala daerah yang diproses dalam kasus korupsi. Bandingkan dengan data KPK yang melansir bahwa sampai Maret 2011 sudah 175 kepala daerah terdiri dari 17 gubernur dan 158 bupati/wali kota yang menjalani pemeriksaan di KPK. 4 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Indonesia (Jakarta: BPHN DepKeh & Ham, 2002), h. 3. 1

95


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 latin “coruptus� yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang dan penerimaan uang. Adapun arti dari korupsi dapat berupa perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, dan penerimaan uang sogok). Penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Korupsi dan Social Damage Tingginya angka korupsi di Indonesia5 telah menyebabkan semua sistem dan sendi kehidupan bernegara rusak karena praktik korupsi telah berlangsung secara merata dan membuat hampir semua elit politik di Indonesia. Jika dibiarkan terus berlangsung dan tanpa tindakan tegas, korupsi akan menggagalkan demokrasi dan membuat negara dalam keadaan bahaya karena kehancuran sistem. Kebijakan nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan negara telah menjadi rebutan para pejabat terutama dari kalangan Angkatan Darat. Perusahaan penting dikuasai dan di dalamnya terjadi korupsi besar-besaran. Misalnya kasus Pertamina dan Bulog. Perkembangan korupsi semakin meningkat ketika para birokrat, baik sipil maupun militer terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit maupun monopoli dan proteksi sampai privatisasi BUMN. Patronasi bisnis ini tumbuh, berkembang, dan mencapai puncaknya dan kini masih terus bertahan. Selain itu di kalangan militer dan kepolisian berkembang jaringan bisnis melalui pendirian yayasan sekalipun proyek-proyeknya sebagian dari negara. Aparat birokrasi yang seharusnya merupakan abdi negara dan pelayan masyarakat, dalam praktik birokrasinya justru terlibat penghamburan anggaran negara dan membocorkan dana pembangunan. Praktik tidak terpuji dari aparat birokrasi adalah mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terutama kebutuhan warga negara sebagai pelaku ekonomi berupa merajalelanya pungutan tidak resmi. Kebijakan pemberantasan korupsi melalui proses peradilan tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak birokrat dan para pegawainya yang korup. Suap menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah modus operandi dari apa yang disebut dengan “mafia peradilan� yang terus berlangsung hingga sekarang. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat.6

Kementrian Dalam Negeri menerima laporan adanya lebih dari 2000 rekening mencurigakan milik pimpinan daerah se-Indonesia serta pejabat daerah lainnya. 6 Kasus Artalyta dan Urip Santoso serta Jaksa Cyrus Sinaga menunjukan bahwa aparat peradilan telah terkena praktek korupsi yang dengan kasus ini semakin menebalkan keyakinan masyarakat bahwa mafia peradilan memang betul-betul ada. Kasus Hakim Syafrudin menambah daftar aparat penegak hukum yang korup. Lihat juga kasus Hakim Asnun dari PN Tanggerang 5

96


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik biasanya berhubungan dengan abuse of power dan abuse of offices hingga tepat apa yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa power ends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely. Praktik korupsi sejak zaman dulu selalu berhubungan dengan kekuasaan. Di era otonomi daerah, praktik korupsi semakin merajalela terutama pada elit lokal. Konsep desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit lokal sangat rawan terhadap korupsi. Karena praktik korupsi yang terjadi di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh pejabat publik, tidak mengherankan apabila penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat penegak hukum pada khususnya, dan pemerintah pada umumnya.7 Dari sudut pandang pendekatan yuridis yang diperlukan, dasar hukum untuk memberantas korupsi di Indonesia sudah memadai, karena sudah diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi antara lain Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980 tentang Pemberantasan Suap; Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jocto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999; Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005; Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri; dan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada halangan bagi aparat penegak hukum untuk mengadili kasus-kasus korupsi. Political will dari pemerintah tentang pemberantasan korupsi sudah dikumandangkan, tinggal sejauh mana tingkat profesionalisme dan sekaligus integritas aparat penegak hukum menjalankan amanat ini. Hukum yang baik dengan aparat pelaksana yang buruk akan menghasilkan yang buruk, tetapi hokum yang buruk dengan aparat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Korupsi Wujud Perbuatan Anomie of Success Menurut istilah ekonomi, korupsi menyebabkan alokasi sumber daya kearah yang salah dan mengendorkan pihak swasta untuk berinvestasi. Korupsi juga mempunyai pengorbanan sosial yang berarti, korupsi menimbulkan budaya melarat dan kriminalitas, Kusuma M. Tegaknya supermasi Hukum. Remaja Rosdakarya (Bandung: t.p., 2001), h 33.

7

97


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 serta merampas hak kaum miskin untuk memperoleh manfaat dari sumber daya negara. Lebih jauh lagi pengorbanan politik, korupsi dapat menimbulkan keruntuhan, korupsi menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan menggerogoti legitimasi lembagalembaga politik). Sama halnya dengan pendapat ini adalah apa yang dikemukakan oleh Romli Atma Sasmita yang mengatakan bahwa dalam sejarah bangsa-bangsa, tiga kata kunci yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan sumber runtuhnya suatu rezim.8 Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Algore menegaskan antara lain: “The reisnoquestion that aswemovein toglobalage, foreign corrupt practices threatento undermine both the growt handthestabili tyofour global trade and financial system. Now here are the consequencesmor evident than inemerging and developing economies. The Financial crisisin Russia and Asia havec learly been deepenedasa results of cronyism and corruption”.9 Menurut Badan Pemeriksa Keuangan Austria yang dibahas dalam kongres INTOSA (Perhimpunan BPK sedunia) ke XVI di Montevideo Uruguay bulan November 1998 pengertian korupsi mencakup10 bribery and extortion (penyuapan dan pemerasan): fraud, embezzlement, and theft (kecurangan, penggelapan dan pencurian); misapprovition of public resources (penyelewengan sumber daya negara); under vapor in exchange for gain (memberikan kebaikan untuk memperoleh imbalan keuntungan); abuse of office (penyalahgunaan jabatan atau wewenang); nepotism; over or under invoicing (melebihkan atau merendahkan nilai faktur); under changing of taxes and duties; menghindarkan pajak dan penyelundupan; dan unfair requirement. Para sarjana banyak juga yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian korupsi. Menurut David H. Bailey, korupsi adalah perangsang (seorang pejabat pemerintah) suapan agar melakukan pelanggaran kewajibannya.11 Menurut Purwadarminta, korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.12 Secara umum korupsi ini berkaitan dengan perbuatan merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya korupsi sebagai suatu istilah, mempunyai pengertian sangat luas. Dengan demikian pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula, pendekatan sosiologis akan lain artinya dengan pendekatan normatif, begitu pula dengan pendekatan politik atau ekonomi. Sebagai contoh Syed Hussein Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2001), h. 77. 9 Ibid. 10 Bandingkan dengan pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, dari mulai Pasal 2 sampai dengan pasal 14. 11 David H Bailey, “Akibat Korupsi pada Bangsa-Bangsa yang Sedang Berkembang,” dalam Mochtar Lubis (ed.), Bunga Rampai Korupsi (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 86-90. 12 Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1996). 8

98


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Alatas13 memasukkan nepotisme dalam kelompok korupsi, yang tentu saja sangat sulit mencari normanya dalam hukum pidana. Unsur-unsur korupsi selalu berkaitan dengan pemberian seseorang kepada pejabat negara dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan si pemberi. Fenomena lain yang dapat dipandang sebagai korupsi adalah nepotisme berupa pertimbangan saudara, teman atau rekan politik dan jabatan-jabatan penting lainnya tanpa melihat jasa mereka maupun konsekuensi pada kesejahteraan publik. Jadi, nepotisme adalah suatu kebijakan yang didasarkan atas hubungan keluarga yang muaranya bertujuan untuk mendapat keuntungan baik bersifat keuangan atau bukan. Ada empat fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan, pemerasan, gratifikasi dan nepotisme. Selanjutnya unsur korupsi yang berhubungan dengan fenomena tadi adalah14 bahwa pelaku biasanya mempunyai pengaruh yang kuat, baik status ekonomi maupun status politik. Merajalelanya kasus korupsi di kalangan pejabat publik karena akuntabilitas publik, prinsip tranparansi dan rasa tanggungjawab dalam mengemban amanat rakyat tidak dipegang teguh oleh pejabat publik tersebut. Prinsip anomie ofs uccess yang diterapkan oleh penyelenggara negara sangat vulgar. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh IS Susanto bahwa masa krisis yang melanda Indonesia merupakan buah kebijakan yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pelaku bisnis, birokrasi serta elit penguasa.15 Dalam rangka penanggulangan dan pemberantasan korupsi, kebijakan yang harus ditempuh bukanlah kebijakan yang sifatnya fragmentaris dan parsial saja. Selama ini kebijakan yang ditempuh lebih terfokus kepada upaya melakukan pembaharuan perundang-undangan (lawreform) pada hal masalah korupsi penuh dengan berbagai kompleksitas. Seyogyanya ditempuh pendekatan integral tidak hanya melakukan law reform, tetapi disertai dengan social, economic, political, cultural, moral, dan administrative reform.16 Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah) dan tanggungjawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi yang dikutuk oleh Allah Swt. 17 Syeid Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 11-14. 14 Bandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi, sebab pada hakikatnya korupsi termasuk dalam kejahatan ekonomi, a) pengawasan atau sifat tersembunyinya maksud dan tujuan kejahatan; b) keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan korban; c) penyembunyian pelanggaran. Lihat Muladi dan Barda nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), h. 5-6. 15 IS Susanto, “Kejahatan Korupsi di Indonesia: Produk Kebijakan Orde Baru,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip, Semarang, 1999, h. 2. 16 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 2003, h. 66. 17 Azyumardi Azra, “Agama dan Pemberantasan Korupsi,” dalam Pramono U. Tanthowi, 13

99


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Penegakan hukum terhadap kasus korupsi selama ini bergantung kepada manajemen pemerintah (management by order) dan lebih ditekankan pada kebijakan sesaat, sehingga sasaran kebijakan yang akan dicapai seolah-olah samar-samar. Dalam kaitan ini sudah saatnya digunakan manajemen sistem dengan mengurangi tolok ukur kuantitatif sebagai ukuran keberhasilan penegakan hukum, khususnya terhadap korupsi.18 Keberhasilan terhadap penanggulangan praktik korupsi, di samping sangat tergantung pada ketersediaan instrumeninstrumen hukum berupa ketersediaan aturan main yang jelas, perlu juga suatu komitmen yang jelas dan tegas dari aparat penegak hukum serta tingkat profesionalismenya.19 Romli Atma Sasmita mengatakan untuk mempersiapkan usaha pemberantasan korupsi yang efisien dan efektif pemerintah telah menyusun strategi nasional pemberantasan korupsi yang bertumpu pada empat pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan budaya, pendekatan ekonomi, dan pendekatan sumber daya manusia dan sumber daya lingkungan.20

Rekomendasi dalam Penegakan Hukum Sulitnya memberantas korupsi dan banyaknya kasus-kasus yang diputus pengadilan tetapi tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat berasal dari lemahnya penegakan hukum. Dalam penegakan hukum, paling tidak ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu unsur hukum, kualitas pelaksana, dan faktor lingkungan sosial. Di antara ketiga faktor tadi faktor kualitas pelaksana (aparat penegak hukum) merupakan faktor penentu. 21 Bagir Manan mengemukakan, ada berbagai syarat yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.22 Pertama, aturan hukum yang akan ditegakkan. Penegakan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil. Kedua, pelaku penegakan hukum. Pelaku penegakan hukum dapat disebut sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Di tangan pelaku penegakan hukum aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkret, berlaku terhadap pencari keadilan. Ketiga, lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku.

Membasmi Kanker Korupsi (Jakarta: t.p., 2004), h. 244-245. Lihat juga Q.S. al-Ma’idah/5: 33" sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka (dengan menyilang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan diaherat mereka peroteh siksaan yang besar. 18 Romli Atmasasmita, “Pemberantasan Korupsi Tergantung Kepada Presiden,” dalam Pikiran Rakyat, 11 Oktober 2004. 19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 1996), h. 112. 20 Atmasasmita, “Pemberantasan Korupsi Tergantung Kepada Presiden,” h. 29. 21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali Press, 1976), h.9 22 Bagir Manan, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” (Kumpulan bahan Kuliah Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Abad XXI, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003), h. 12-14.

100


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Penegakan hukum adalah the detection and punishment of violation of the law. This term is not limited to enforcemen to criminal law.23 Menurut Jimly as-Siddieqy, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.24 Berdasarkan kajian dari berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara bagaimana memberantas korupsi: pertama, sistem penggajian yang layak kepada aparat pemerintah; kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu; ketiga, perhitungan kekayaan para pejabat; keempat, keteladanan dari pemimpin. Pemberantasan korupsi akan berhasil bila para pemimpin bersih dari korupsi; kelima, hukuman yang setimpal dan tanpa diskriminasi; dan keenam adalah pengawasan dari masyarakat.25 Selain itu, seyogyanya sistem pembuktian terbalik lebih banyak digunakan dalam mengadili perkara koruspi.26 Asas pembalikan beban pembuktian terbalik merupakan suatu sistem yang berada di luar kelaziman teoritis27 pembuktian dalam hukum acara pidana. Dalam sistem hukum anglo saxon maupun eropa continental, beban pembuktian tetap berada pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam kasus-kasus tertentu diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai reversal of burden proof (omkering van bewisjlast). Alasan penggunaan asas pembalikan beban pembuktian terbalik dalam kasus korupsi adalah bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime, maupun seriousness crime sehingga kejahatan korupsi sering dikatakan sebagai “beyond the law” karena pelakunya melibatkan kalangan ekonomi tinggi dan birokrasi tingkat atas maupun kalangan politisi dan bentuk perbuatan korupsi ini “untouchab leby the law”. Dengan demikian, mengingat karakteristik dari korupsi seperti ini, maka memerlukan penanganan yang luar biasa (extra ordinary enforcement).

Implementasi Sanksi Pidana Pemiskinan Koruptor di Indonesia Pemiskinan koruptor merupakan langkah dan terobosan baru dalam memberantas korupsi. Banyak terdakwa kasus korupsi masih dapat menikmati banyak fasilitas, meskipun telah berstatus sebagai narapidana. Ketika pidana penjara sudah dirasakan tidak efektif

Bryan Gunner, Black Law Dictionary (Minnesota: Seven Edt.West Group, St Paul, 1999). Jimly Assiddiqie, “Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia,” dalam Jurnal Keadilan, Vol. 2 Nomor 2 Tahun 2002. 25 Muhammad Ismail Yusanto, “Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi,” http://www.esyariah.net. diakses tanggal 19 Maret 2005. 26 Alfitra, “Modus Operandi Tindak Pidana khusus di Luar KUHP,” dalam Penebar Swadaya, Jakarta, 2014, h. 102. 27 Herbert Packer, The Limits of Criminal Sanction (California: Stanford University Press, t.t.), h. 30. 23 24

101


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 dan tidak menjerakan koruptor, perlu terobosan baru dan tindakan konkrit. Sanksi pidana pemiskinan koruptor dirasa perlu diterapkan dalam beberapa kasus korupsi dengan harapan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.28 Pemiskinan koruptor di Indonesia dapat dilihat nyata dalam kasus Angelina Sondakh. Angelina Sondakh didakwakan terkait kasus korupsi penggiringan anggaran di Kemenpora dan Kemendiknas senilai 3 (tiga) miliar rupiah. Dalam putusan pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta, Angelina Sondakh divonis dengan hukuman penjara 4 tahun 6 bulan. Vonis hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Angelina Sondakh. Dengan hukuman 12 (dua belas) tahun penjara. Angelina Sondakh kemudian mengajukan kasasi yang ternyata hukumannya justru diperberat dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 (dua belas) tahun penjara. Selain itu juga dalam rangka pemiskinan koruptor, Angelina Sondakh didapuk membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta. Walau sebenarnya, putusan kasasi oleh Hakim Agung Artidjo merupakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang didakwakan kepada Angelina Sondakh sebelumnya. Putusan Hakim Tipikor yang menghukumnya lebih rendah dari tuntutan Jaksa dan putusan kasasi yang dipimpin oleh Hakim Agung Artidjo mengukuhkan tuntutan JPU tersebut. Vonis hukuman pembayaran uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta dalam kasus Angelina Sondakh ini tentu jauh dari angka besaran uang yang dikorupsi Angelina Sondakh. Angelina Sondakh terbukti melakukan korupsi sebesar 3 (tiga) miliar rupiah, namun hukuman pembayaran uang pengganti sangat jauh dari besaran uang yang telah dikorupsi. Dari kasus Angelina Sondakh tersebut, sudah menunjukkan iktikad dan juga tekad dari penegak hukum untuk memberantas korupsi dengan menghukum koruptor seberat-beratnya dan juga pemiskinan koruptor yang telah mengeruk uang rakyat dan menjarahnya. Pemiskinan koruptor sangat jelas terlihat dalam kasus Angelina Sondakh tersebut. Sanksi pidana pemiskinan koruptor belum mendapatkan konsep yang jelas dan mapan, bahkan belum ada persamaan persepsi diantara para pegiat anti korupsi mengenai konsep pemiskinan ini. Banyak berbagai pihak yang menyatakan setuju dengan adanya pemiskinan koruptor, namun disisi lain juga terdapat berbagai pihak yang menyatakan tidak setuju dengan adanya pemiskinan koruptor bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor yang selama ini dilakukan hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Perampasan aset tersebut dengan perampasan seluruh benda-benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Hal tersebut tidak dapat dikatakan memiskinkan koruptor karena koruptor masih dapat dengan bebas menggunakan aset yang dimilikinya yang tidak dirampas. 29

Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Media, 2009), h. 21. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 7.

28 29

102


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Pemiskinan Koruptor dalam Konteks Hukum Positif Korupsi telah berlangsung secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya kerugian keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.30 Jenis korupsi di Indonesia tidak hanya sekedar mengandung aspek ekonomis tetapi juga korupsi jabatan, korupsi kekuasaan, korupsi politik, korupsi nilai-nilai demokrasi, dan korupsi moral, tetapi yang lebih banyak terjadinya korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik. Sebagai sebuah extra ordinary crime korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik sudah mendapat perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam resolusi tentang corruption in government yang diterima Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 8 mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders tahun 1990 antara lain dinyatakan bahwa korupsi di kalangan pejabat publik dapat menghancurkan efektifitas sosial dari semua jenis program pemerintah, dapat menghambat pembangunan dan menimbulkan korban individual maupun kelompok. Kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi kepada tiga lembaga penegakan hukum yang ada sekarang yaitu Polisi, Jaksa dan KPK seharusnya memperlihatkan prestasi yang luar biasa dalam memberantas korupsi, tetapi dalam praktik sering terjadi tumpang tindih penyidikan terutama antara polisi dan jaksa. Ini akan menimbulkan kesan bahwa the due process of law tidak akan berjalan yang pada akhirnya akan merugikan pencari keadilan dan masyarakat. 31 Apabila melihat tantangan pemberantasan korupsi dan penyakit korupsi yang semakin meluas, sungguh ironis apabila antara penegak hukum saling menjatuhkan atau mengkerdilkan. Bukankah tugas penegakan hukum itu adalah menegakkan hukum dan keadilan untuk setiap orang?. Semestinya antara semua penegak hukum terjalin sinkronisasi dan kekompakan dalam pemberantasan korupsi. Dengan menata kelembagaan dan kewenangan dari ketiga lembaga penegakan hukum ini, akan dicapai mekanisme yang jelas dan tumpang tindih kewenangan akan terhindar. Pengaturan kewenangan tersebut bisa dilakukan dengan membagi bahwa kejahatan-kejahatan umum disidik oleh polisi, sedangkan tindak pidana korupsi disidik oleh KPK, selanjutnya kejaksaan hanya bertugas melakukan penuntutan saja, atau tetap mempertahankan kondisi ketiga lembaga penegakan hukum ini seperti sekarang tetapi dengan menata mekanisme yang ada sekarang secara jelas. Sebetulnya masyarakat masih membutuhkan ketiga lembaga penegakan hukum ini, tetapi dengan syarat bahwa mereka harus bekerja demi melindungi masyarakat dari tindak pidana kejahatan bukan mereka saja masyarakat supaya menjadi terdakwa.32 Di tengah kesulitan hidup yang dialami masyarakat seharusnya lembaga penegakan hukum ini bahu membahu memberantas kejahatan dengan fungsi masing-masing. Mereka seharusnya Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi (Bandung: Fakultas Hukum UNISBA, 2004), h. 11. Muhammad Ismail Yusanto, “Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi,� http//www.esyariah.net, Diakses Tanggal, 19 Maret 2010. 32 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariah dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 23. 30 31

103


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menjadi pahlawan dalam memberantas korupsi bukan menjadi pengkhianat. Pemiskinan koruptor berhubungan dengan masalah pemidanaan. Herbert Packer mengemukakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yaitu pandangan retributif dan pandangan utilitarian. Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing.33 Dalam memberantas kejahatan korupsi tujuan dan pola pemidanaan semestinya dirumuskan dengan komprehensif, ancaman pidana kurungan badan dan denda serta uang pengganti ternyata tidak membuat kasus korupsi menurun. Seolah-olah ancaman pidana yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan korupsi tidak menimbulkan efek jera apalagi sebagai alat pencegah. Perlu dipikirkan langkah konkrit supaya aset negara yang dikorupsi bisa diambil kembali. Sebelum sampai pada pemiskinan koruptor yang tentu saja ini berhubungan dengan kebijakan kriminal yang ditempuh, terlebih dahulu akan diuraikan langkah-langkah penegakan hukum untuk memberantas kejahatan korupsi. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan beban pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik dalam perkara pidana adalah langkah hukum luar biasa. Doktrin hukum pidana dan konvensi internasional perlindungan hak asasi manusia melarang pembuktian terbalik karena bertentangan dengan asas non self incrimination dan asas presumption of innocence. Akan tetapi karena kejahatan korupsi adalah extra ordinary crime, doktrin pembuktian terbalik ini diperkenalkan dalam undangundang tindak pidana korupsi walaupun beban pembuktian tetap ada pada jaksa dan jaksa berkewajiban membuktikan kesalahan pelaku. Secara sederhana dan praktis, langkah pencegahan terjadinya tindak pidana koupsi adalah dengan mengefektifkan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang dilengkapi dengan membuat undang-undang lain yang bersifat refresifnya sehingga bisa melengkapi Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring), sebelumnya dengan undang-undang Nomor 15 tahun 2002. Verifikasi dan klarifikasi laporan harta kekayaan ini sangat membantu dalam melaksanakan pembuktian terbalik sekaligus dapat “memiskinkan koruptor� karena beban pembuktian terbalik dapat terlaksana dan berhasil apabila didukung oleh data harta kekayaan penyelenggara negara yang akurat. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dapat merupakan entri point bagi jaksa atau hakim untuk membuat tuntutan dan membuat vonis sehingga perampasan aset dari hasil kejahatan korupsi dapat membawa hasil yang signifikan bagi negara. 34 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali Press, 1979), h. 75. Nurjana I.G.M., Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1983), h. 55. 33

34

104


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Langkah yuridis yang harus ditempuh dalam memiskinkan koruptor adalah membuat Undang-Undang Perampasan Aset Kejahatan, nantinya undang-undang ini harus menegaskan bahwa perampasan aset hasil kejahatan dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu: jalur penal sebagai primum remedium, dan jalur perdata sebagai ultimum remedium. Pelaksanaannya dilakukan secara komplementer. Selain itu dalam RUU KUHP harus dicantumkan denda yang berlipat-lipat dari nilai harta yang dikorupsi. Langkah berikutnya adalah melalui kerjasama intenasional misalnya program Stolen Asset Recovery Initiative yang digagas Bank Dunia sehingga aset koruptor yang berada di luar negeri dapat kembali lagi kepada pemerintah (banyak contoh program Stolen ini berhasil dilakukan misalnya di negara Amerika Latin). Hal lain yang harus diperhatikan pemerintah adalah mendayagunakan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 (United Nation Convention Againts Corruption/UNCAC) sehingga pemerintah bisa mengakses bantuan internasional bagi usaha-usaha perampasan, pembekuan, dan pengembalian aset kejahatan ke negara, termasuk membawa kembali koruptor yang kabur keluar negeri seperti yang ada di Singapura, China dan Taiwan.

Pemiskinan Koruptor dalam Konteks Hukum Islam Dalam sejarah Islam telah banyak contoh bagaimana para pejabat yang notabene sahabat Nabi memegang amanah jabatannya dengan tidak menerima suap. Hadis riwayat Abû Dâwûd menegaskan bahwa “laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasullullah berkata “hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad). Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak hanya mengatur hubungan makhluk dengan sang Allah Swt., tetapi juga mengatur manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan alam. Dalam beberapa hal, kualitas hubungan antara manusia merupakan refleksi dari kualitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena itu, Islam menyajikan beberapa prinsip agar hubungan antar manusia menjadi harmonis dan beradab. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘alaqah ijtima‘iyah dengan semestinya agar tercipta masyarakat yang harmonis dan beradab di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, amanah, secara etimologis berati “ jujur dan lurus” sedangkan dalam arti terminologis syar‘i, sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Karena pada dasarnya amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada orang lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya, karena kepercayaan bahwa apa yang diamatkan itu akan aman dan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.35 Orang yang mampu melaksanakan amanah disebut al-hâfizh, al-âmîn, dan al-wafy, sedangkan orang yang menyanyiakannya al-khain (pengkhianat). Di dalam al-Qur’an, kata amanah sering dikaitkan dengan ciri-ciri atau karakteristik sejati Tim Editor Kompas, “Belajar dari Cina: dalam Buku Sorga Para Koruptor,” dalam Kompas, 2004.

35

105


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 orang-orang yang beriman.36 Karena sifat ini senantiasa melekat dalam setiap aspek kehidupan orang beriman baik dalam bidang muamalah. Rasyid Ridha ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah/2: 283 menegaskan bahwa yang dimaksud amanah pada ayat tersebut bersifat umum, tidak hanya terkait masalah utang-piutang dan perdagangan saja, tetapi mencakup tugas-tugas lain. Apabila sesorang menerima tugas baik dari pemerintah maupun swasta, ia wajib melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya disiplin, dalam pengelolaan keuangan, dan sebaik-baiknya ia tidak boleh berkhianat sedikit pun sebab Allah senantiasa mengawasinya. Terlebih lagi jika peng-khianat itu dilakukan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka orang yang dibei amanah harta wajib menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya dan orang yang diberi amanah jabatan wajib melaksanakanya dengan sebaik-baiknya dengan tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau keluarga, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan, maka prinsip profesionalisme dan kualifikasi lainya sebagai penerima harus dilakukan secara ketat. Kedua, amanah adalah sumber keadilan, dan keadilan sumber keamanan dan kebahagiaan. Setelah Allah menyuruh manusia menyampaikan amanah, kemudian memerintahkan manusia agar menegakkan keadilan. Firman Allah menegaskan bahwa menegakkan dan menjunjung tinggi keadilan adalah wajib bagi setiap manusia, apalagi bagi aparat penegak hukum. Karena itu, perintah menegakkan hukum disebut dalam alQur’an secara berulang-ulang sekalipun dalam ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya menggunakan kata al-‘adl. Kata al-‘adl berasal dari kata ‘adala-ya‘dilu-‘adlan. Namun menurut Ibn al-Atsir, kata tersebut dapat dibaca dengan kasrah pada huruf ‘ain: al-‘idl yang artinya “menyamakan”. Pada awalnya, kata al-‘idl berarti “separuh muatan yang ada pada salah satu dari dua sisi punggung unta”. Sedangkan menurut istilah syar‘iyyah, sebagian ulama berpendapat al-‘adl adalah menjauhkan diri dosa besar seperti: zina, mencuri, membunuh tanpa hak serta menjauhkan diri dosa kecil, seperti makan dan buang air kecil di jalan. Sebagai ulama yang lain memahaminya sebagai memperlakukan dua orang yang berperkara dengan perlakuan yang sama dan tidak mengutamakan salah seorang yang berpekara tersebut sedikitpun. Karena itu, al-Râzî dengan mengutip pendapat al-Syâfi‘i mengatakan bahwa seorang hakim harus memperlakukan kedua orang yang berperkara dengan perlakuan yang sama dalam lima hal: ketika masuk menghadap hakim,ketika mereka duduk menghadap hakim, ketika hakim menghadapi mereka, ketika hakim mendengarkan mereka, dan ketika hakim memutuskan perkara bagi mereka yang dimaksud dengan persamaan adalah dalam masalah lahiriah, bukan hati. Apabila hati cenderung kepada salah satu di antara yang berperkara, maka tidaklah menjadi masalah,karena tidak mungkin menghindarinya. 37 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Jakarta: TII dan Yayasan Obor Indonesia 2003). Bambang Widjojanto, “Peran Masyarakat dalam Menghilangkan Budaya Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan pada acara Halakah Tarjih Muhammadiyah Solo 2005. 36 37

106


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Konsep atau terminologi yang sering dihubungkan korupsi karena melihatnya sebagai pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga di antaranya sebagai berikut. Pertama, ghulul, secara leksikal dimaknai akhdzu al-syai wa dassahu fi mata’ibi, mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya (dalam hukum pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiyah, pemberian atau komisi). Kedua, ghasab (mengambil paksa hak orang lain) menurut Abû Hanifah dan Abû Yûsuf, ghasab tidak dapat terealisasi kecuali dengan memindahkan yang dapat diambil dari tempatnya semula ke tempat lain. Ketiga, saraqah (pencurian) perpindahan hak atas harta secara melawan hukum dan praktek ini sudah lama dikenal kata pencurian pasal 362 KUHP. Keempat, intikhab dalam kitab fikih (akhdzu syai mughalabatah) merampas atau menjambret. Kelima, ikhtilash (gatfu syai jiharan bi hadhrat shahibihi fi ghaflah mimhu wal harab bih), mencopet/ mengutil. Keenam, aklu suht (makan barang haram) dengan asal kata sesuatu yang membinasakan, sedangkan sesuatu yang haram pasti membinasakan pelakunya. Ada juga yang menyamakan kata tersebut melukiskan binatang yang sangat rakus dalam melahab makanan. Seseorang yang tidak peduli dari mana memperoleh harta, maka ia dipersamakan dengan binatang yang melahab segala macam makanan, sehingga pada akhirnya binasa oleh perbuatannya sendiri. Dalam perspektif Islam, pemiskinan terhadap koruptor sebagai hukuman dapat dianggap sebagai sebuah bentuk hukuman takzir berupa denda sejumlah uang yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap seorang terpidana kasus korupsi. Namun demikian, istilah pemiskinan yang berarti sebuah hukuman untuk membuat seorang tersangka menjadi miskin akibat seluruh aset dan harta benda yang dimilikinya jelas sebagai sebuah tindakan yang tidak sejalan dengan konsep ‘uqubah atau penjatuhan sanksi bagi seorang terdakwa menurut perspektif hukum pidana Islam. Sebab menurut hukum Pidana Islam hukuman harus proporsional sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, sehingga ada istilah qisas yaitu hukuman pembalasan secara seimbang. Dalam perspektif hukum Islam, seseorang diberi imbalan pahala sesuai dengan buah karya baiknya dan seseorang dihukum sesuai kejatan yang dilakukannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 286,

...        ...

ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..

Di samping itu pemiskinan terhadap koruptor tidak sejalan dengan sunnatullah mengenai konsep kaya miskin yang merupakan hukum Allah di alam raya ini, adanya orang kaya dan orang miskin agar terdapat hubungan timbal–balik yang sehat antara keduanya, pihak yang kaya tidak boleh terlalu kikir dengan harta yang dimiliknya, dan pihak yang miskin tidak boleh iri dengan harta milik orang lain, apalagi sampai mencuri atau merampok. Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. al-Nahl/16: 71 107


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

                        

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu, maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah

Penutup Dalam kacamata hukum pidana positif, pemiskinan koruptor sebenarnya mendapat preseden dari putusan-putusan hakim yang menyita harta koruptor. Sementara dalam hukum pidana Islam, hukuman berupa pemiskinan terhadap pelaku koruptor dalam tindak pidana korupsi tidak bisa dibenarkan jika hukuman jenis ini dimaksudkan untuk membuat terpidana menjadi miskin, sebab kaya dan miskin adalah sunnatullah, dan hanya Allah yang menentukan apakah seseorang itu akan menjadi orang kaya, atau sebaliknya. Namun demikian, jika pemiskinan dipahami sebagai sebuah bentuk hukuman denda akibat korupsi yang dilakukannya, maka hal ini dapat dibenarkan dan pemiskinan dalam arti seperti ini merupakan sebauh bentuk hukuman takzir, yakni sebuah jenis hukuman dalam hukum pidana Islam yang ditetapkan oleh pemerintah, dan bukan secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.

Pustaka Acuan Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Media, 2009. Alatas, Syeid Hussein. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES, 1983. Alatas. Korupsi, Sifat, dan Fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987. Alfitra. “Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP: Korupsi, Money Laundring, dan Traffiking,” dalam Penebar Swadaya, Jakarta, 2014. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya, 1996. Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya, 2003. Assiddiqie, Jimly. “Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia,” dalam Jurnal Keadilan, Vol. 2 Nomor 2 Tahun 2002. Atmasasmita, Romli. “Pemberantasan Korupsi Tergantung Kepada Presiden,” dalam Pikiran Rakyat, 11 Oktober 2004. Atmasasmita, Romli. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Indonesia. (Jakarta: BPHN Dep.Keh & Ham, 2002. 108


Alfitra: Pemiskinan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2001. Azra, Azyumardi. “Agama dan Pemberantasan Korupsi,” dalam Pramono U. Tanthowi. Membasmi Kanker Korupsi. Jakarta: t.p., 2004. Bailey, David H. “Akibat Korupsi pada Bangsa-Bangsa yang Sedang Berkembang,” dalam Mochtar Lubis (ed.). Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1985. Gunner, Bryan. Black Law Dictionary. Minnesota: Seven Edt West Group, StPaul, 1999. I.G.M., Nurjana. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya laten Korupsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t. I.G.M., Nurjana. Wewenang Polri, dalam Penindakan KKN. Yogyakarta: t.p., 2003. Legowo, TA. “Otonomi Daerah dan Akomodasi Politik Lokal,” diakses Tanggal 20 Pebruari 2005. M., Kusuma. Tegaknya Supermasi Hukum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Manan, Bagir. “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” Kumpulan bahan Kuliah Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Abad XXI, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003, Packer, Herbert. The Limits of Criminal Sanction. California: Stanford University Press, t.t. Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: TII dan Yayasan Obor Indonesia 2003. Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1996. Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariah dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani, 2003. Setiadi, Edi. Hukum Pidana Ekonomi. Bandung: Fakultas Hukum Unisba, 2004. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press, 1976. Susanto, IS. “Kejahatan Korupsi di Indonesia: Produk Kebijakan Orde Baru,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip, Semarang, 1999. Undang-undang RI N0 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang RI N0 31 Tahun 1999 jo Undang-undang RI No 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan korupsi. Widjojanto, Bambang. “Peran Masyarakat dalam Menghilangkan Budaya Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan pada acara Halakah Tarjih Muhammadiyah Solo 2005. Yusanto, Muhammad Ismail. “Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi,” dalam http:// www.e-syariah.net. diakses tanggal 19 Maret 2005. Yusuf, Muhammad. Merampas Asep Koruptor. Jakarta: Gramedia, 2013.

109


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MUHAMMAD ‘ABID AL-JABIRI: Telaah terhadap Buku al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh Jamal Abdul Aziz Fakutas Syariah IAIN Purwokerto Jl. Jend. Ahmad Yani No. 40 A Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, 53126 e-mail: abdulaziz_jamal314@yahoo.co.id

Abstrak: Sistem politik di dunia Arab modern yang umumnya dikesankan sebagai otoriter dan despotis, menarik perhatian al-Jabiri untuk menelaah akar permasalahannya. Ia telah melakukan penelaahan secara jeli dan kemudian menemukan akar permasalahannya. Menurutnya, ada tiga hal mendasar dalam nalar politik bawah sadar masyarakat Arab yang memengaruhi realitas sistem politik dunia Arab yang cenderung tidak demokratis saat ini, yakni nalar qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah. Qabîlah merupakan representasi dari nalar politik yang nepotis dan sektarian, ghanîmah adalah manifestasi dari sistem keuangan negara yang tidak sehat (karena cenderung konsumtif), sedangkan ‘aqîdah adalah representasi dari paham ataupun ideologi politik yang doktriner. Untuk mengatasinya, ketiga pola pikir yang mendasar tesebut perlu diubah menjadi sistem partai yang egaliter dan profesional; sistem fiskal yang produktif dan sustainable; dan pola pikir yang rasional dan objektif. Abstract: Muhammad‘Abid al-Jabiri’s Islamic Political Thought: A Study of his al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh.The political system in theArab modern world generally perceived as authoritarian and despotic attracted al-Jabiri to examine the root of the problem. He has conducted a sharp review and then find the root of the problem. According to him there are three fundamental elements in political reasoning subconscious Arab society that affect the reality of the political system of the Arab world who tend not democratic today, the reasonof qabîlah, ghanîmah, and ‘aqîdah. Qabîlahwas a logical representation of political and sectarian nepotistic, ghanîmah is a manifestation of the country’s financial system that is not healthy, while ‘aqîdah is a representation of understanding or doctrinaire political ideologies. To overcome this, such the three basic proficiency level mindset needs to be changed, the mindset qabîlah who was nepotistic and ethnocentric converted into an egalitarian party system and professional; reason ghanîmah converted into productive systems and sustainable fiscal; and ‘aqîdahreason converted into a mindset that is rational and objective.

Kata Kunci: politik Islam, al-Jabiri, nalar qabilah, nalar ghanîmah, nalar ‘aqîdah 110


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Pendahuluan Bicara tentang politik Islam, pada umumnya persepsi masyarakat selalu mengarah kepada sistem khilafah. Sistem ini pada dasarnya merujuk pada sistem pemerintahan pada masa awal Islam, semenjak zaman Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw. memimpin masyarakat Muslim hingga pemerintahan zaman Turki Usmani, sebelum digantikan dengan sistem republik oleh Mustafa Kemal Pasha (Kemal Ataturk). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam menganggap khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang terus diterapkan dan dipertahankan dalam sepanjang sejarahnya. Bagi mereka khilafah merupakan bagian dari doktrin agama yang menuntut untuk dilaksanakan oleh umat Islam di mana pun dan kapan pun.1 Kendati sebenarnya sebagian ulama memiliki pandangan yang sebaliknya, yakni tidak wajibnya menegakkan khilafah, yang dikemukakan oleh al-Ashamm dari kalangan Muktazilah, sebagian Khawarij, dan sebagainya. Bagi mereka yang diwajibkan adalah melaksanakan hukum-hukum syara‘, sehingga manakala masyarakat telah mewujudkan keadilan dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan, maka tidak diperlukan lagi pemimpin serta tidak wajib pula mengangkatnya.2 Akan tetapi, pendapat mereka ini bukanlah pandangan mainstream di kalangan umat Islam. Sebagian mayoritas umat Islam masih menganggap bahwa khilafah merupakan sistem pemerintahan ideal yang menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah umat Islam semenjak meninggalnya Nabi Muhammad Saw. hingga zaman modern ini sebagian besar mereka terus berupaya menegakkan sistem khilafah dengan berbagai variannya—untuk tidak mengatakan penyimpangannya. Meskipun sistem tersebut sesungguhnya tidak lepas dari pro dan kontra dalam internal umat Islam sendiri. Sebagai sebuah sistem, khilafah sebenarnya netral, bisa baik dan bisa pula tidak baik, tergantung kualitas penyelenggaranya. Sebagaimana yang terjadi pada sejarah masa lalu, sistem khilafah yang ditegakkan ternyata tidak selalu menghasilkan pemerintahan yang bagus dan ideal. Sistem khilafah yang diterapkan pada zaman al-Khulafâ’ al-Râsyidûn dianggap yang paling ideal. Pemerintahan khilafah setelah itu hampir seluruhnya tidak ideal,yang oleh al-Baligh al-Qudsi dinilai telah berubah menjadi sistem kerajaan yang dilegitimasi dengan doktrin syari‘ah dan kemudian menjadi absolut sepenuhnya.3 Kenyataan ini banyak dijumpai hingga saat ini, terutama sistem pemerintahan di negara-negara Arab (Timur Tengah). Kendati bukan sistem khilafah, Sebagaimana dinyatakan oleh ‘Ali ‘Abd al-Râziq bahwa mayoritas ulama berpendapat wajibnya menegakkan khilafah. Apabila umat Islam tidak melaksanakannya, maka mereka berdosa semuanya. Kewajiban ini tidak berbatas waktu dan tempat berdasarkan ijmak. Lihat ‘Ali ‘Abd al-Râziq, “AlIslâm wa Ushûl al-Hukm,” dalam Muhammad ‘Imarah, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm li ‘Ali ‘Abd alRâziq: Dirâsah wa Watsâ‘iq (Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1972), h. 121. 2 ‘Abd al-Rahmân ibn Khaldûn, Muqaddimah ibn Khaldûn, Cet. 7 (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2006), h. 152. Bandingkan ‘Ali ‘Abd al-Rûziq, “al-Islâm wa Ushûl al-Hukm,” h. 121. 3 Azzam Tamimi, “The Origins of Arab Secularism,” dalam John L. Esposito dan Azzam Tamimi (ed.), Islam and Secularism in the Middle East (London: Hurst & Company, 2002), h. 21. 1

111


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 namun pemerintahan mereka yang pada umumnya otoriter senantiasa mencari landasan syariah untuk mengukuhkan kediktatoran mereka. Di mata para pengamat, masyarakat Arab di Timur Tengah sangat sulit diajak untuk berdemokrasi dikarenakan adanya berbagai benturan kepentingan dan ideologi. Kondisi masyarakat Arab seperti itulah yang dihadapi Muhammad ‘Abid al-Jabiri, di mana rasionalisme dan demokrasi tidak dihargai, bahkan dilecehkan oleh mereka. Menurut pengamatannya, keadaan semacam ini bila dilacak ke belakang bersumber dari dua peristiwa besar yang telah memalukan bangsa Arab, yakni kekalahan telak mereka dalam perang ArabIsrael pada tahun 1948 dan 1967. Kekalahan mereka pada tahun 1948 membuat eksperimen demokrasi, yang pada waktu itu baru pada taraf kelembagaan dan prosedural, di beberapa negara Arab kehilangan legitimasinya. Akibatnya terjadi perubahan politik dengan naiknya militer ke panggung kekuasaan di sejumlah negara Arab. Diawali dengan naiknya Jamal Abdel Nasser di Mesir. Wacana demokrasi pun dirontokkan dan diganti dengan revolusi, yang pada waktu itu membahana di dunia Arab sepanjang 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Masyarakat Arab pun ikut membantai demokrasi beserta konsep-konsep terkait, seperti liberalisme dan kapitalisme, atas nama revolusi dan sosialisme. Akan tetapi yang lebih parah dari itu adalah dominasi militer dalam kekuasaan yang kemudian melahirkan tiran (despot) yang membantai hak-hak masyarakat sipil dan penegakan demokrasi. 4 Menurut al-Jabiri, kekalahan bangsa Arab melawan Israel pada tahun 1967 membawa dampak yang lebih parah, yakni menyebarnya kultur irasionalisme. Mereka sejak itu tidak lagi mengakui kemampuan akal manusia. Mereka juga menolak proyek-proyek rasional ambisius. Mereka lebih percaya kepada produk-produk irasional dalam tardisi, seperti tradisi tasawuf atau pemikiran filosof Islam yang berorientasi ke spiritualisme. 5 Demikianlah pada akhirnya alam pikiran bangsa Arab yang cenderung anti demokrasi dan irasional tersebut justru membuat rezim-rezim penguasa otoriter semakin kuat mencengkeramkan kukunya di negara-negara Arab hingga saat ini. Kenyataan tersebut mendorong al-Jabiri untuk membedah latar belakang epistemologis bangsa Arab yang kemudian dituangkan dalam buku monumentalnya yang berjudul al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh. Bagaimana struktur pemikiran bangsa Arab dalam bidang politik, bagaimana pula manifestasi aktualnya saat ini, dan bagaimana pula merubah dan memperbaikinya akan dibedah dalam tulisan ini.

Biografi dan Corak Pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jabiri Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah seorang cendekiawan Muslim kelahiran Fejij (Fekik), Maroko, tahun 1936. Pendidikan tingginya ditempuh di Fakultas Adab Universitas Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. lii. 5 Ibid., h. liii. 4

112


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Muhammad V, Rabat, hingga meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1970, dengan disertasi berjudul Fikr Ibn Khaldûn, al-‘Ashabiyyah wa al-Dawlah: Ma‘âlim Nazhâriyyah Khaldûniyyah fi al-Târîkh al-Islâmî.6 Sejak tahun 1976, ia menjadi dosen Filsafat dan Pemikiran Arab-Islam pada Fakultas Sastra di universitas yang sama. Belasan buku telah ditulisnya, antara lain buku yang merupakan disertasi doktoralnya di atas7 (1971), Madkhal ilâ Falsafah al-‘Ulûm8 (1976), Nahnu wa al-Turâts: Qirâ’ah Mu`âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî9 (1980). Buku yang terbit berikutnya adalah buku serial tentang kritik terhadap cara berpikir bangsa Arab atau, meminjam istilah Ahmad Baso, “kritik nalar Arab”. Seri pertama berjudul Takwîn al-‘Aql al-`Arabî(1982), seri kedua, Binyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rîfah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (1986), dan ketiga adalah yang akan ditelaah di sini (terbitan pertama 1990).10 Al-Jabiri dikenal sebagai filosof Arab kontemporer yang ahli dalam bidang hermenetisme dan filsafat Islam. Ia termasuk dalam kelompok sebagian kecil orang yang mampu menelaah dengan seksama tradisi filsafat Islam klasik hingga dapat menyarikannya serta menyelaminya secara hidup. Ia memiliki kontribusi yang besar dalam memperkaya pemikiran Islam kontemporer dan menggugah kesadaran bahwa “masih ada yang bisa diperbuat” dan “masih banyak yang belum mereka lakukan (maksudnya: para pemikir muslim dahulu)”. Karya magnum opus-nya, trilogi kritik, dimunculkan untuk dan didasari oleh kesadaran seperti itu.11 Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya jika dikenali peta pemikiran Islam yang berkembang hingga saat ini sehingga kita dapat melihat letak pemikiran al-Jabiri di dalamnya secara tepat. Peta pemikiran Islam kontemporer yang belakangan ini bermunculan dapat diklasifikasikan dan dipetakan melalui kajian terhadap karakter dan sejarah kemunculannya. Sebagaimana dimaklumi tumbuhnya kesadaran akan kemunduran yang dialami umat Islam dalam berbagai bidang telah memicu lahirnya gerakan pembaruan (reformasi, tajdîd) yang diawali oleh gerakan Wahhabi di Arabia pada abad XIX M.12 Oleh Fazlur Rahman (1919-1988) gerakan ini, dan gerakan-gerakan lain yang sejenis, disebut sebagai gerakan revivalism.13 Sementara gerakan-gerakan yang serupa muncul di Afrika dan India, pada Ibid.,h. xix; Tilawah, Edisi 8/Th. XI/2002, h. 21; Muhammad Aunul Abid Shah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam M. Aunul Abid Shah, et al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), h. 301-302. 7 Buku ini membahas pemikiran Ibn Khaldun tentang negara. 8 Berisi tentang epistemologi ilmu pengetahuan sebagaimana dikenal dalam pemikiran Barat. 9 Buku ini sempat memicu kontroversi dikarenakan tesisnya tentang filsafat Islam sebagai ideologi dan menganggap filsafat Islam klasik Ibn Sina sebagai titik awal kemunduran peradaban Islam sebab Ibn Sina dinilai tidak rasional dan mengajarkan ilmu sihir dan astrologi. 10 Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. xiii, xiv, dan xix. 11 Abid Shah dan Mappiasse, “Kritik Akal Arab”, h. 299. 12 Di antara tema pokok gerakan ini adalah kembali kepada ajaran Islam murni dan pemberantasan terhadap bidah dan takhayul. 13 Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre 6

113


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 paruh kedua abad XIX M gerakan intelektual lainnya bangkit di kawasan Islam yang “lebih maju” (Turki, Mesir, dan India), di mana mereka umumnya di bawah pengaruh intelektual dan budaya Barat. Gerakan ini kemudian disebut sebagai Islamic modernism. Untuk membedakannya dengan usaha-usaha kalangan modernis yang muncul belakangan, maka yang pertama disebut sebagai classical modernism sedangkan yang terakhir sebagai neomodernism.14 Ide-ide kalangan classical modernism yang seringkali kelihatan begitu bebas (liberal) kemudian menyulut reaksi dari sebagian umat Islam yang bersimpati terhadap gerakan revivalism (pembaru) awal, sehingga mereka kemudian disebut sebagai neorevivalism.15 Reaksi mereka ini pun kemudian menyulut reaksi lain dari pihak yang bersimpati terhadap gerakan classical modernism, sehingga mereka disebut sebagai neo-modernis. Garis batas di antara berbagai corak gerakan ini tidak selalu mudah ditarik dengan tegas.16 Jadi, gelombang kebangkitan dan pembaruan dalam Islam memiliki corak yang beragam meskipun tujuan umumnya sama, yakni memberdayakan Islam dalam arus perubahan dan modernisasi. Gerakan-gerakan tersebut pada dasarnya terbelah menjadi dua sayap, yakni sayap revivalism, yang nantinya melahirkan neo-revivalism, dan sayap classical modernism, yang kemudian melahirkan neo-modernism. Dalam pada itu di luar hiruk pikuknya gerakan pembaruan ini terdapat sejumlah besar umat Islam yang merupakan silent majority, di mana mereka ini menjadi objek yang beroposisi terhadap pembaruan. Kalangan pembaru (modernis) umumnya menyebut mereka sebagai golongan tradisional-konservatif. Mereka dinilai memiliki paham yang kolot, kokoh memegangi tradisi dan sulit menerima perubahan. Sehingga kendati sebagai mayoritas mereka kurang kelihatan geraknya. Mereka baru bergerak ketika menyadari bahwa paham keagamaan yang selama ini mereka pegangi dan sakralkan diusik oleh ulah para pembaru. Demikianlah yang terjadi pada mereka dalam waktu yang lama. Cachia (ed.), Islam: Past Influence and Recent Challenge (Edinburgh: Edinburgh Univesity Press, 1979), h. 315. 14 Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan classical modernism antara lain Sayyid Ahmad Khan, Jamal al-Din al-Afghani, dan Muhammad ‘Abduh. Mereka mewarisi tradisi filsafat Muslim rasional Abad Pertengahan, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Di antara isu sentral yang mereka angkat adalah reformasi dalam bidang pendidikan, kedudukan wanita dalam masyarakat, dan pemerintahan dengan sistem perwakilan. Apa yang dilakukan oleh kalangan classical modernism ini sesungguhnya bertolak dari ide-ide dasar gerakan revivalism di era sebelumnya. Lihat Ibid., h. 316, 319, dan 320. Adapun neo-modernism agaknya digunakan Rahman terhadap kalangan Muslim saat ini (sekurang-kurangnya hingga masa hidup Rahman) yang simpati dengan ide-ide dari tokohtokoh classical modernism di mana ia sendiri termasuk di dalamnya. 15 Mereka, bersama-sama dengan kalangan tradisionalis-konservatif, misalnya, menuduh classical-modernis sebagai telah jelas-jelas mengorbankan Islam demi nilai-nilai sosial Barat. Gerakan neo-revivalism ini pada umumnya muncul dalam bentuk gerakan sosial politik yang terorganisir seperti Ikhwan al-Muslimin (Mesir), dan Jamaat Islami (Pakistan). Isu-isu favorit mereka seperti haramnya bunga bank, keharusan berjilbab bagi wanita, dan diharamkannya program Keluarga Berencana. Ibid., h. 321, 322, dan 323. 16 Lihat model-model gelombang kebangkitan dan pembaruan dalam Islam ini dalam Ibid., h. 315-316; Fazlur Rahman, “Revival and Reform in Islam” dalam P. M. Holt, et al. (ed.), The Cambridge History of Islam, Vol. II (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 635-652.

114


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Pada masa-masa belakangan muncul sejumlah tokoh yang berlatar belakang tradisionalis tetapi memiliki pemikiran yang modern dan progresif dalam menghadapi tantangan zaman. Bagi mereka tradisi Islam yang begitu melimpah tidak bisa ditinggalkan begitu saja demi modernitas. Gerakan yang ingin membaca tradisi dengan kritis dan rekonstruktif ini mendapatkan banyak simpati dari kaum muda umat Islam Indonesia, terutama kalangan muda NU, dan mereka lebih suka menyebut gerakan ini dengan post tradisionalisme Islam. Tokoh-tokoh yang menjadi rujukan mereka pada umumnya berasal dari Timur Tengah, seperti Muhammad Arkoun, Nasir Hamid Abû Zayd, Hasan Hanafi, Seyyed Hossein Nasir, dan termasuk di dalamnya Muhammad ‘Abid al-Jabiri.17 Kendati tidak sepenuhnya disepakati, menurut sebagian dari mereka post tradisionalisme Islam yang berkembang di Arab terbagi kepada tiga aliran. Pertama, aliran eklektis (alqira’ât al-intiqâ’iyyah) dengan tokohnya Fahmi Jad’an dan Zakky Nagueb Mahmud. Aliran ini berusaha menggabungkan antara orisinalitas (al-ashâlah) dan modernitas (al-mu‘âshirah) dengan tujuan memperbaharui pemikiran Arab serta menyingkap aspek-aspek rasionalitas dan irasionalitas yang ada di dalamnya. Kedua, aliran revolusioner (al-qirâ’ât al-tashwîriyyah) yang bertujuan mengajukan pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberasi pemikiran keagamaan. Tokoh-tokohnya seperti Thayed Tizini (min al-Turâts ilâ al-Tsawrah), Hassan Hanafi (min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah) dan Adones (min al-Tsâbit ilâ al-Mutahawwil). Ketiga, aliran dekonstruktif yang tokoh-tokohnya adalah Arkoun dengan ‘kritik nalar Islam’nya, Nasr Hamid dengan ‘konsepsi teks’-nya, ‘Ali Harb dengan ‘dekonstruksi teks dan kebenaran’nya, dan al-Jabiri dengan ‘kritik nalar Arab’-nya. Dalam membaca tradisi mereka menerapkan epistemologi yang berkembang di Eropa seperti post-strukturalisme, post-modernisme, semiotika, dan hermeneutika. Keberanian mereka membongkar tradisi dan kemudian memformulasikannya kembali secara komprehensif seringkali menyulut polemik dan kontroversi.18 Dengan demikian pada saat ini sekurang-kurangnya terdapat empat corak (aliran) pemikiran dalam Islam, yakni tradisionalisme, neo-revivalisme, neo-modernisme, dan post tradisionalisme. Dua aliran yang terakhir bisa dikatakan memiliki semangat yang sama dalam menyikapi modernitas kendati berbeda dalam hal dasar pemikirannya. Dalam Tilawah, sebuah majalah bulanan yang kelihatannya bersimpati dengan post tradisionalisme Islam, disebutkan sebagai berikut:19 Selanjutnya yang paling krusial adalah soal kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah…. Neo-modernisme membaca tradisi melalui al-Qur’an dan Hadis. Mereka juga mengandaikan transendensi lengkap serta mencakup segala hal. Sedangkan post tradisionalisme Islam membaca suatu konstruksi kenyataan bahwa justru Qur‘an dan Sunnahlah yang dibentuk oleh tradisi. Artinya ketika tradisi yang dominan adalah tradisi kekuasaan totaliter yang ingin menguasai dan mengawasi segala hal, maka pemahaman Tilawah, h. 21. Ibid., h. 23. 19 Ibid., h. 14. 17 18

115


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 tentang al-Qur’an dan Sunnah, juga tentang ‘Islam yang sejati’ tentunya juga menggunakan pemahaman tersebut.20 Dari uraian di atas jelaslah bahwa al-Jabiri adalah tokoh pemikir Islam kontemporer yang, oleh sebagian kalangan, dimasukkan dalam golongan post tradisionalisme Islam yang bercorak dekonstruktif. Dalam membaca tradisi pemikiran Islam ia menggunakan metode pendekatan historisitas (târîkhiyyah), objektivitas (mawdhû‘iyyah), dan kontinuitas (istimrâriyyah). Dua yang pertama merupakan bentuk distansiasi atau pengambilan jarak antara pembaca dan obyek bacaannya (fashl al-qâri‘ ‘an al-maqrû’), sedangkan yang terakhir berarti menghubungkan pembaca dengan objek bacaannya (washl al-qâri‘ ‘an al-maqrû’).21 Distansiasi bertujuan untuk menempatkan tradisi sebagai objek kajian kritis. Ini penting dilakukan karena umat Islam seringkali menampilkan tradisi masa lalunya sebagai pihak yang berbicara tentang kekiniannya, yakni sebagai pihak yang seakan-akan hadir di masa kini dengan segala kejayaan dan kegemilangannya yang tanpa cacat. Tentu saja pengagungan terhadap tradisi dapat melemahkan daya kritik terhadapnya. Metode distansiasi yang digunakan al-Jabiri dapat ditemukan dalam teori-teori strukturalisme. Menurutnya harus dihindari membaca makna sebelum membaca kata-kata. Artinya, harus dibebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini. Makna teks harus digali dari teks itu sendiri, yakni dalam strukturnya sebagai jaringan yang terbentuk dari unsur-unsurnya. Dengan demikian, dapat dilepaskan diri dari dominasi otoritas tradisi (teks) yang selama ini membelenggu dan mampu meletakkannya sebagai objek yang bisa dibedah secara bebas dan terbuka. 22 Di samping pendekatan strukturalisme (mu’âlajah binyawiyyah) ia juga menerapkan analisa sejarah (tahlîl târikhî) dan kritik ideologi (al-tharh al-îdiyûlujî). Tujuan digunakannya analisa sejarah adalah untuk mengembalikan sifat historisitas tradisi, yakni dengan menempatkannya dalam konteks sosial, politik, kultural, dan ideologinya. Penulis teks, misalnya, dikaitkan dengan lingkup historisitasnya dengan maksud tidak hanya untuk mengukur tingkat keabsahan logisnya tetapi juga keabsahan kemungkinan historisitasnya. Analisa terhadap kemungkinan kesejarahan semacam ini akan membantu menjelaskan makna yang mungkin dikandung oleh sebuah teks dan yang tidak mungkin dikandungnya. Adapun kritik ideologi digunakan untuk mengungkap fungsi-fungsi ideologis sebuah teks, yakni fungsi sosial politik yang diembannya dalam suatu ruang sejarah tertentu. 23 Di samping distansiasi, al-Jabiri juga menonjolkan pendekatan kontinuitas, yakni mempertautkan relevansi sebuah teks ataupun tradisi dengan situasi saat ini. Langkah ini Pernyataan ini patut dipertanyakan validitasnya, sebab Fazlur Rahman, sang lokomotif neo modernis, juga selalu menekankan agar Qur‘an dipahami menurut situasi sosial ketika ia diturunkan sebagaimana tercermin dalam teori ‘gerak ganda’-nya (double movement theory). 21 Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. xxii. 22 Ibid.,h. xii-xiii. 23 Ibid.,h. xxiv. 20

116


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

dilakukan setelah tahap sebeleumnya, yakni distansiasi (al-fashl), dilakukan lebih dulu. Jadi, prosesnya adalah menguasai dan memaknai secara rasional sebuah tradisi secara menyeluruh, baik aspek teologi, fikih, bahasa, filsafat, dan mistisisme, untuk kemudian melangkah pada tahap selanjutnya, yakni menggali relevansi dan kegunaan tradisi tersebut bagi kehidupan saat ini. Tahap yang terakhir ini disebut dengan tawzhîf atau istitsmâr.24 Di sinilah letak perbedaan al-Jabiri dengan kalangan neo-modernis. Sementara ia tetap menaruh perhatian besar terhadap tradisi, maka neo-modernis cenderung meninggalkannya. Teori ‘gerak ganda’ Fazlur Rahman, misalnya, sesungguhnya juga tidak jauh berbeda dengan metode distansiasi (al-fashl) dan kontinuitas (al-washl/istimrâr) di atas, di mana al-fashl merupakan bentuk langkah pertamanya sedangkan al-washl merupakan langkah keduanya. Perbedaannya terletak pada obyek yang dikaji, jika al-Jabiri obyeknya adalah tradisi, maka Rahman menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai objek utamanya.25 Demikian gambaran singkat tentang al-Jabiri dan karakter pemikirannya. Pada bagian berikutnya akan dibahas tentang isi buku al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî dari aspek metodologinya.

Telaah Metodologis Isi Buku Adapun nalar Arab (al-‘aql al-‘Arabî) yang dimaksud oleh al-Jabiri adalah himpunan aturan dan hukum (berpikir) yang diberikan oleh kultur Arab bagi masyarakatnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, aturan dan hukum tersebut ditentukan atau dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab. Menurutnya, sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan sekaligus juga merupakan struktur ‘bawah sadar’nya. Bawah sadar yang dimaksud di sini adalah himpunan konsep-konsep, persepsi, dan penalaran yang menentukan pandangan orang-orang Arab (dan juga mereka yang berafiliasi dengan kebudayaan Arab), tentang alam, manusia, dan sejarah. 26 Dalam seri pertama dari ketiga buku tersebut, al-Jabiri memfokuskan analisanya pada proses-proses kesejarahan, baik epistemologis maupun ideologis, yang memungkinkan terbentuknya pola pikir (nalar) bayânî,27 ‘irfânî,28 dan burhânî,29 termasuk interaksi di antara Ibid.,h. xxiv-xxv Mengenai teori gerak ganda ini baca Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, cet. 2 (Bandung: Pustaka, 1995), h. 6-9; bandingkan Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 244-245. 26 Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. xxx, xxxi, dan xxxii. 27 Nizhâm ma’rifî bayânî (‘aql bayânî) meliputi berbagai macam disiplin ilmu yang menjadikan ilmu Bahasa Arab sebagai tema sentralnya, seperti Balâghah, Nahw, fikih, usul fikih, dan kalam. 28 ‘Irfânî (‘irfân: gnosis) mencakup sejumlah disiplin ilmu yang menjadikan ilmu-ilmu kuno (‘ulûm al-awâ’il) sebagai sumbernya, seperti berbagai tradisi Persia Kuno, Hermetisisme, dan NeoPlatonisme. Bentuk-bentuk tradisi seperti ini dapat ditemukan pada pemikiran Syiah, para filosuf Isma’ili (Ikhwân al-Shafâ), dan Sufisme. 29 Burhânî (burhân: penalaran rasional/demonstration) meliputi berbagai disiplin ilmu 24 25

117


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 ketiganya dan berbagai krisis yang menyertainya. Sedangkan pada seri kedua ia berusaha menyingkap struktur internal dari ketiga nalar tersebut beserta segenap basis epistemologisnya. Di antara kesimpulan akhirnya adalah bahwa pola pikir yang diterima dan pergunakan saat ini untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan adalah pola pikir yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan (masa tadwîn). Karena itu ia menekankan perlunya membangun satu babak tadwîn baru agar dapat melampaui konservatisme pola pikir tersebut.30 Sasaran kritik nalar Arab tidak diarahkan pada konflik-konflik politik dan ideologis yang mempengaruhi proses pembakuan dan pembukuan disiplin keilmuan (tadwin) tetapi lebih diarahkan pada konflik epistemologis31 dalam lingkungan kebudayaan Arab. Sasaran kritik itu adalah unsur-unsur halus dan tersembunyi yang hingga kini tetap mempengaruhi pemikiran kebudayaan dan nalar Arab, yakni berupa otoritas teks dan lafaz, serta otoritas al-ashl (sumber, dasar), baik berupa masa lalu yang asli murni, otoritas imam atau wali, maupun yang berbentuk dasar-dasar penalaran analogi (qiyas).32 Jika pada buku pertama dan kedua objek kajiannya adalah nalar pemikiran Arab (‘aql al-fikr al-‘Arabî), yakni dasar-dasar operasionalisasi pengetahuan dan orientasinya dalam kebudayaan Arab, maka pada buku yang ketiga ini ia mengarahkan objek kajiannya pada ‘nalar realitas Arab’, artinya faktor-faktor penentu dari praktik pemerintahan (politik) beserta manifestasinya dalam kebudayaan Arab-Islam hingga saat sekarang. Jadi, dua yang pertama menjelaskan proses produksi pengetahuan sementara yang terakhir menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan (praktik) pemerintahan.33 Dengan ungkapan lain buku pertama dan kedua diproyeksikan untuk merekonstruksi kebudayaan Arab, sedangkan buku yang terakhir ditujukan untuk mengedepankan budaya demokrasi dalam tradisi politik Arab dengan cara meninggalkan budaya tradisional dalam berpolitik yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah.34 Buku ini secara garis besar terbagi atas dua bagian. Bagian pertama menguraikan tentang sejarah terbentuknya nalar (pola pikir) politik dalam kebudayaan Arab Islam. Sedangkan bagian keduanya berisi tentang manifestasi politik Arab Islam dari aspek teorinya, dalam arti ideologi politik. Mengenai sejarah terbentuknya nalar politik Islam al-Jabiri membaginya ke dalam tiga fase, yakni fase dakwah, fase riddah, dan fase fitnah. Pada fase dakwah fokus bahasannya diarahkan pada dimensi politik dari dakwah Nabi Saw. Pada yang menjadikan rasionalisme Aristoteles sebagai dasarnya. Ini dapat ditemukan pada tradisi pemikiran para filosof mulai dari al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sînâ, Ibn Bajjah, hingga Ibn Rusyd. 30 Ibid.,h. xxxviii, xxxix, dan xliii. Bandingkan Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London-New york: Rotledge, 1991), h. 10-12. 31 Yakni konflik tentang syarat-syarat kebenaran ilmiah. 32 Ibid., h. xlviii-xlix. 33 Al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyâsî al-’Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh, cet. 2 (Beirût: al-Markaz al-Tsaqâfî al-’Arabî, 1991), h. 7. 34 Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. lii.

118


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

fase riddah tema pokok yang dipaparkannya adalah mengenai pengadilan (sangsi) terhadap para pelaku riddah berikut usaha-usaha untuk mengokohkan kembali dasar-dasar pemerintahan. Di samping itu dibahas juga di dalamnya konflik (politik) internal yang terjadi pada bangsa Arab. Dalam fase fitnah muncul persoalan politik (pemerintahan) yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Ini terjadi pada tahun-tahun terakhir pemerintahan ‘Utsman dan baru reda setelah diperolehnya kemenangan salah satu dari dua pihak yang bertikai yakni kelompok Mu‘awiyah. Masa setelah Mu‘awiyah ini merupakan fase baru yang belum pernah dikenal oleh nalar politik Arab sebelumnya, yang dinamakan sebagai periode ‘kalam’ dalam bidang politik.35 Al-Jabiri melihat perkembangan ‘nalar politik Arab’ dalam perspektif Hegel. Sebagaimana diketahui Hegel membagi fenomenologi akal (kesadaran manusia) ke dalam tiga fase, yakni fase kesadaran subjektif, fase kesadaran objektif, dan fase kesadaran mutlak. Dakwah Muhammad, yang ditandai oleh turunnya wahyu pertama,36 merupakan fase kesadaran subjektif yakni tumbuhnya kesadaran akan ego keislaman. Berdirinya masyarakat Islam yang berdaulat, yang ditandai oleh pidato Abu Bakar setelah terpilih sebagai khalifah,37 adalah fase kesadaran objektif. Fase kesadaran mutlak dimulai ketika politik Islam telah meletakkan dasar-dasar bagi eksistensi dirinya, baik dasar agama maupun filsafat.38 Fase ini ditandai oleh pidato Abû Ja’far al-Manshûr.39 Nalar politik yang berkembang pada masa-masa sesudahnya di negara-negara Arab hanyalah mengulang fase-fase tersebut, meskipun dengan sedikit perbedaan di sana sini yang kurang berarti. Hal ini disebabkan oleh karena faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya masih tetap tidak berubah, yakni qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah.40 Qabîlah adalah istilah yang digunakan al-Jabiri untuk menggambarkan praktik atau pelaksanaan pemerintahan yang bertumpu pada sentimen nepotisme (kekeluargaan ataupun kekerabatan dalam pengertian yang luas). Lawannya adalah sistem pemerintahan yang bertumpu pada para teknokrat dan orang-orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat melalui prosedur yang demokratis. Di dalam lingkungan masyarakat industri maju nepotisme termasuk pada kategori ‘politik bawah sadar’, sedangkan di dalam masyarakat yang kurang maju ia justru mendasari ‘kesadaran politik’ mereka. 41 Al-Jabiri, al-’Aql al-Siyâsî, h. 364. Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq. 37 ”Aku telah diberi kewenangan untuk mengatur kalian padahal aku bukanlah yang terbaik, oleh karena itu jika kalian melihat aku benar maka bantulah aku, akan tetapi jika kalian melihatku keliru maka luruskanlah.” 38 Dalam hal ini ia menampilkan diri dalam tiga bentuk ajaran, yaitu mithologi kepemimpinan yang kemudian berlanjut dengan ideologi fatalistik Umayyah lalu diganti dengan ideologi kerajaan, filsafat politik, dan fikih kenegaraan (fiqh al-khilâfah). Lihat Ibid., h. 365. 39 ”Wahai manusia sesungguhnya aku adalah wakil Tuhan (sulthan Allâh) di bumi….” 40 Ibid. 41 Dalam hal ini ia mendasarkan pandangannya pada pandangan Georges Balandier, seorang peletak dasar antropologi politik. Ibid., h. 48-49. 35 36

119


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Ghanîmah adalah cara-cara negara memperoleh pendapatan (income), beserta skema pembelanjaan dan berbagai pertimbangan yang mendasarinya. Dalam hal ini income diperoleh melalui kharâj — yang meliputi ghanîmah, fay‘, kharâj, jizyah, dan berbagai pungutan lainnya— dan rî‘ (hasil alam yang masih mentah). Sedangkan yang dimaksud dengan ‘aqîdah di sini adalah keyakinan dan aliran yang mendasari nalar politik. Nalar politik, sebagai bentuk dari nalar kolektif, tidak didasarkan pada analogi pengetahuan tetapi lebih didasari oleh simbolsimbol imajinatif yang juga mendasari keyakinan. Jadi, keyakinan bertumpu pada simbol dan personifikasi (perlambang) bukan pada rasionalitas. Hanya saja harus diakui ‘aqîdah memang memiliki kekuatan untuk menggerakkan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Ideologi, seperti juga‘aqîdah, mendasarkan diri pada penjelasan-penjelasan kebahasaan (al-bayân) dan sedikit sekali ia bertumpu pada penjelasan empiris ilmiah (al-burhân).42 Kendati ketiga faktor penentu tersebut senantiasa mendasari pola pikir bangsa Arab dalam memandang politik sepanjang sejarah mereka, namun dominasi salah satu atau lebih faktor di atas yang lain tidaklah selalu sama antara satu situasi dengan situasi yang lain dan satu masa dengan masa yang lain. Secara umum nalar politik Arab pada masa pra-Islam, misalnya, didasari oleh faktor qabîlah dan ghanîmah, sementara pada masa Nabi didasari oleh ‘aqîdah, masa dinasti Umayyah didominasi oleh qabîlahsedangkan masa dinasti Abbasiyyah periode awal didominasi oleh ‘aqîdah. Pada masa-masa berikutnya peran dominan di antara ketiganya senantiasa berubah-ubah tergantung kepada kebijakan rezim yang berkuasa.43 Adapun manifestasi (tajalliyât) nalar politik Arab pada fase kesadaran mutlak (masa setelah Mu‘awiyah) dalam pengamatan al-Jabirimengambil bentuk kerajaan politik (almulk al-siyâsî). Di samping itu timbul mitos tentang pemimpin (mesianisme) yang dimunculkan oleh kaum Syi‘ah di satu pihak dan ideologi kesultanan (fiqh siyâsah) yang diusung dinasti Abbasiyah pada pihak lain. Yang disebutkan terakhir ini diadopsi Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran Persia, sementara fiqh siyâsah sebagai produk para fukaha merupakan semacam kompilasi hukum agama yang berkenaan dengan praktik kenegaraan yang memiliki tendensi kuat untuk mengabsahkan kekuasaan junta militer ashhâb al-syawkah. Ideologi kesultanan inilah yang hingga kini mendominasi praktik politik bangsa Arab dan membuat rakyat yang seharusnya berkuasa justru dikungkung oleh khurafat dan menyerah kepada takdir. Karena itu perlu adanya rekonstruksi nalar politik Arab dengan merujuk kembali kepada sejarah Islam masa awal.44 Istilah yang digunakan al-Jabiri adalah allâsyu‘ûr al-siyâsî dan al-syu‘ûr al-siyâsî. Berbeda dengan Ahmad Baso yang mengartikan istilah pertama dengan ketidaksadaran politik, penulis lebih suka mengartikannya dengan politik bawah sadar sebagai lawan dari kesadaran politik yang merupakan arti dari istilah kedua. Lihat penjelasan al-Jabiri mengenai istilah allâsyu‘ûr dan alsyu‘ûr dalam Ibid., h. 10. 42 Ibid.,h. 49-51. 43 Ibid.,h. 52. 44 Baca selengkapnya dalam Ibid., h. 231-362.; Abid Shah dan Mappiasse, “Kritik Akal Arab,” h. 325.

120


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Pelacakan al-Jabiri terhadap tradisi pola pikir bangsa Arab tentang politik hingga ditemukannya tiga faktor penentu beserta manifestasinya dalam sejarah sebagaimana tersebut di atas tampaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi disiplin ilmu yang meliputi filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, dan antropologi. Pada bagian pendahuluan dari bukunya ini ia banyak berbicara tentang metodologi yang ditempuhnya. Di sini ia banyak mengutip pandangan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk menjelaskan beberapa konsep dasar yang berkaitan erat dengan nalar politik. Pembahasannya tentang konsep bawah sadar, bawah sadar kolektif, politik bawah sadar, dan orientasi politik (al-majâl al-siyâsî) dirujukkan pada teori-teori dalam psikologi, sosiologi, dan politik.45 Sementara kajian kesejarahannya terhadap perkembangan politik Islam sejak masa awal hingga saat ini tentu tidak bisa dilepaskan dari analisa historis.46 Pendekatan antropologis tampak ketika ia menjelaskan tentang ‘kesadaran politik’ dan ‘bawah sadar politik’ serta penjelasannya tentang makna qabîlah.47 Adapun pendekatan kefilsafatan, terutama epistemologi, tampak jelas pada sasaran pokok dari ‘kritik nalar’-nya, yang dalam hal ini adalah nalar politik Arab. Sebagaimana diketahui al-Jabiri sangat menekankan pada pendekatan epistemologis dalam karya-karyanya, tidak terkecuali dalam buku ini. Oleh karena lapangan epistemologi merupakan salah satu obyek kajian dari metodologi, maka ia menyebut epistemologi sebagai metodologi dalam tingkatan kedua.48 Adapun metode analisis yang digunakan al-Jabiri dalam buku ini ada beberapa macam, di antaranya adalah fenomenologi,49 analisa historis,50 dan kritik ideologi.51 Hal ini selaras dengan corak pemikirannya yang telah diuraikan sebelum ini. 52 Metode fenomenologi tampak misalnya ketika ia menelaah perkembangan politik Islam dalam sejarah dengan Tokoh-tokohnya seperti Freud, Jung, Regis Debray, dan Max Weber. Lihat al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî, h. 10 dan seterusnya; bandingkan juga Abid Shah dan Mappiasse, “Kritik Akal Arabi,” h. 303. 46 Tokoh-tokoh yang disebutnya seperti Maurice Godelier dan Lukacs. Lihat al-Jabiri, al’Aql al- Siyâsî al-’Arabî, h. 21. 47 Tokoh-tokohnya seperti Marshall Sahlin dan Georges Balandier. Lihat Ibid., h. 33 dan seterusnya dan 48 dan seterusnya. 48 Untuk diketahui perbedaan antara pendekatan metodologis dengan pendekatan epistemologis adalah bahwa yang pertama lebih merupakan deskripsi analitis terhadap teknis rasional dan langkahlangkah operasional sebuah kajian, sementara yang terakhir telah melampaui batas-batas pendekatan deskriptif menuju ke tingkatan kritik yakni dengan menyarikan filsafat yang terkandung secara implisit dalam sebuah karya pemikiran. Lihat Abid Shah dan Mappiasse, “Kritik Akal Arab,” h. 301 dan 302. 49 Metode fenomenologi di sini artinya bahwa tradisi (teks) harus dikaji secara obyektif dengan melepaskan seluruh pemahaman apriori terhadapnya. 50 Analisa historis berguna untuk memahami historisitas dan genealogi pemikiran dari obyek yang dikaji, sehingga dapat diidentifikasi hal-hal yang secara historis mungkin dan yang tidak mungkin. 51 Kritik ideologis berfungsi untuk mengungkap peran ideologis yang terkandung dalam sebuah teks atau pemikiran tertentu. Lihat Tilawah, h. 19-20. 52 Lihat kembali h. 5-6. 45

121


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menggunakan kerangka teori dari Hegel, yakni tentang tiga fase fenomenologi akal (kesadaran manusia) sebagaimana telah disebutkan di atas. Analisa historis banyak berperan dalam usaha melakukan rekonstruksi terhadap sejarah politik Islam masa awal yang dianggapnya sebagai dasar paling asasi untuk mendapatkan prinsip-prinsip pokok pemerintahan dalam Islam.53 Sedangkan kritik ideologi diterapkan terutama dalam pembahasannya pada bagian kedua dari buku ini, yakni tentang manifestasi politik Islam. 54

Menuju Sistem Politik Islam yang Demokratis Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, buku ini memfokuskan diri pada usahausaha untuk mengembangkan demokrasi di dalam tradisi Arab Islam, yakni dengan cara membebaskan sistem politik yang otoriter (diktator) melalui penyingkapan terhadap sentralisasi ideologi, baik dalam bentuk sosial, keagamaan, maupun filsafat. Menurut al-Jabiri kesadaran akan perlunya demokrasi menuntut perombakan terhadap pola pikir yang mendasari munculnya otoritarianisme dan sentralisasinya. Perombakan pola pikir ini, yang merupakan bagian dari proyek ‘kritik nalar Arab’-nya, menjadi prioritas utama. 55 Berdasarkan bukti-bukti historis kebudayaan Arab Islam fase dakwah, diperoleh bukti bahwa Nabi Saw. tidak pernah suka dirinya diperlakukan sebagai seorang raja ataupun pemimpin yang berkuasa. Beliau lebih suka dipandang sebagai seorang nabi dan rasul. Dalam pada itu para pengikutnya juga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang dipimpin ataupun diperintah, tetapi mereka mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai sahabat Muhammad. Hubungan pertemanan seperti ini dikokohkan dan didasari oleh semangat al-Qur‘an yang menekankan prinsip syura (musyawarah) di antara Nabi dengan para sahabatnya. Di antaranya adalah Q.S. al-Syura/42: 36-39 yang menyebutkan: “……dan urusan mereka (hendaklah) dimusyawarahkan di antara mereka……”, Q.S. Âli ‘Imrân/3: 159 yang menyatakan: “……dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam segala urusan……”, dan didukung pula oleh hadis Nabi yang berbunyi: “……kamu lebih tahu urusan duniamu……”. Ayat-ayat dan hadis di atas, di tambah hadis lain yang berbunyi “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya……”, merupakan rambu-rambu yang dapat menutup kemungkinan munculnya otoritarianisme. 56 Prinsip syûrâ ini pada masa-masa berikutnya tetap dijalankan dalam proses suksesi kepemimpinan, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda, hingga masa peralihan dari ‘Umar kepada ‘Utsmân.57 Oleh karena dalam bidang pemerintahan memang tidak ada Lihat al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî, h. 372. Lihat penjelasannya pada Ibid., h. 52. 55 Ibid. 56 Ibid., h. 366. 57 Hal ini tercermin dari proses pemilihan Abu Bakar melalui apa yang disebut sebagai Saqîfah 53 54

122


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

nas syara’, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah, yang secara tegas mengaturnya maka menjadilah ia objek kajian manusia58 yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di antara mereka. Jika pada masa Abu Bakar perbedaan pendapat tersebut dapat diselesaikan dengan damai, maka pada masa ‘Utsmân perbedaan pendapat berujung pada pertumpahan darah hingga pada akhirnya memunculkan rezim diktator. Demikianlah ketiadaan aturan konstitusional yang jelas mengenai pemerintahan menyusul wafatnya Nabi mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan praktik yang pada gilirannya mengakibatkan pertumpahan darah. Ketiadaan aturan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut. 59 Pertama, tidak tegasnya prosedur pemilihan khalifah, sebagaimana tercermin pada suksesi kepemimpinan (khalifah) yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Kedua, tidak adanya batasan masa jabatan. Dari sini dapatlah dipahami keengganan Usman untuk meletakkan jabatannya meskipun banyak tuntutan untuk itu, karena ia merasa masih berhak (atau bahkan berkewajiban) menjabat berdasarkan mandat yang dulu diembannya. Keempat, tidak adanya batasan kompetensi khalifah. Singkatnya, ketiadaan sistem pemerintahan yang baku menurut Islam menyebabkan sistem tersebut disandarkan pada praktik masa awal. Sesudah wafatnya Nabi khalifah berperan layaknya seorang amîr (komandan) dalam pertempuran, dan memang demikianlah yang diperlukan waktu itu. Dengan berkembang luasnya negara Arab Islam menyusul penaklukanpenaklukan wilayah baru, konsep amîr al-harb menjadi tidak lagi memadai sehingga terjadilah kekosongan aturan dalam bidang pemerintahan sebagaimana tersebut di atas. Akibat akhirnya adalah pemerintahan ditegakkan dengan senjata seperti dilakukan pada masa Mu‘awiyah. Oleh karena prinsip syûrâ dan persetujuan masyarakat ditinggalkan mereka kemudian berpaling pada klaim ‘persetujuan Tuhan’.60 Di belakang mereka pemerintah Abbasiyyah menggantinya dengan doktrin ‘kehendak Tuhan’ (al-irâdah al-ilâhiyyah). Menurut doktrin ini khalifah memerintah berdasarkan kehendak Tuhan, sehingga keinginannya sama dengan keinginan Tuhan.61 Dari uraian-uraian dalam bukunya ini al-Jabiri kemudian menyimpulkan bahwa rekonstruksi pemikiran politik Islam haruslah bertolak dari faktor-faktor fundamental yang mendasari contoh yang dipraktikkan sejak fase dakwah Muhammad hingga pada masa Banî Sa’îdah, kemudian Abu Bakar di akhir masa jabatannya melakukan musyawarah untuk memilih penggantinya, dan Umar membentuk tim formatur (ahl al-syûrâ) untuk memilih khalifah dan akhirnya Usmanlah yang terpilih. 58 Dalam prsoalan ini berlakulah hadis: “kamu lebih tahu urusan duniamu”. 59 Ibid.,h. 368-369. 60 Jargon mereka berbunyi “qadha dan qadar Allah-lah yang mengarahkan pemerintah (negara)”. Lihat uraiannya pada Bab IX/2 dalam Ibid., h. 301-304. 61 Dari sini kemudian berkembang berbagai tulisan mengenai pemerintahan otoriter yang diwarisi dari kebudayaan Timur Kuno, Fir’aun, Babylon, Persia, yang merupakan dimensi penalaran (ra‘y) dalam pemikiran politik Islam, sementara dimensi naqlî-nya (fiqh siyâsah) telah jauh dari realitasnya. Di antara kaidah umum yang lahir dalam situasi fatalistik ini yakni kaidah yang berbunyi: “siapa yang kuat kekuasaannya wajib dipatuhi”. Ibid., h. 371-372.

123


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 akhir pemerintahan ‘Utsmân. Langkah awal yang harus dilakukan dalam rekonstruksi ini adalah menetapkan prinsip-prinsip konstitusional yang memberikan batasan tegas terhadap ketiadaan aturan yang berkaitan dengan khalifah (pemimpin negara) seperti telah disebutkan di atas.62 Karena persoalan pemerintahan dan kenegaraan merupakan masalah ijtihâdiyyah maka ia wajib tunduk pada situasi ruang dan waktu tertentu dengan tetap menerapkan prinsip syûrâ di dalamnya. Pendapat para fukaha terdahulu, seperti al-Mâwardî dan yang semacamnya, tidak harus diikuti bila ternyata pandangan-pandangan mereka tidak lagi relevan.63 Menurutnya, demokrasi modern merupakan pilihan satu-satunya yang ada pada saat ini. Ada tiga syarat utama bagi tegaknya prinsip syûrâ (demokrasi) ini, pertama, penegasan prosedur pemilihan kepala negara (pemerintah), yaitu melalui pemilihan yang demokratis dan bebas. Kedua, pembatasan masa jabatan kepala negara melalui sistem republik dan meminta pertanggungjawaban eksekutif di muka parlemen. Ketiga, pembatasan kewenangan kepala negara, kepala pemerintahan, maupun ketua majelis rakyat, dengan cara menjadikan lembaga yang terakhir ini sebagai satu-satunya sumber kekuasaan. 64 Rekonstruksi fundamental terhadap fikih kenegaraan Islam semata menurutnya masih belum memadai untuk memperbarui ‘nalar politik Arab’. Karena itu di bagian akhir bukunya ia mengusulkan pembaruan juga terhadap ketiga faktor dominan yang mempengaruhinya (qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah) dengan cara memadukan kritik terhadap masa kini dan masa lalu. Kritik terhadap masa kini, di mana objeknya adalah sisa-sisa masa lalu yang masih terbawa hingga saat ini, merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk perbaikan masa depan. Pembaruan yang dituntut dalam hal ini adalah sebagai berikut.65 Pertama, mengubah pola pikir ‘qabîlah’ menjadi ‘bukan qabîlah’, yakni dalam bentuk sistem sosial politik kewargaan (masyarakat madani), seperti partai politik, badan usaha, ornop (LSM), institusi kenegaraan, dan sebagainya. Dengan ungkapan lain membangun suatu masyarakat di mana sistem sosialnya membedakan dengan jelas antara masyarakat politik (politisi) dengan masyarakat non-politik, sehingga dapat dipilahkan antara kekuasaan pemerintahan dengan kehidupan rakyatnya. Kedua, mengubah pola pikir ‘ghanîmah’ menjadi sitem ekonomi fiskal, artinya mengubah sistem ekonomi yang konsumtif menjadi sistem ekonomi yang produktif. Ketiga, mengubah pola pikir ‘aqîdah menjadi pemikiran murni, artinya membebaskan pola pikir yang sektarian dan dogmatis, baik dalam bidang keagamaan maupun keilmuan, dan diganti dengan pola pikir yang inovatif dan kritis. Di sinilah kontribusi kajian al-Jabiri tentang Islam (Arab) dan demokrasi dalam buku ini. Ia telah melampaui persoalan-persoalan normatif-juridis dan memfokuskan Yakni prosedur pemilihan khalifah, masa jabatan, dan lingkup kewenangannya. Ibid.,h. 372. 64 Ibid. 65 Ibid., h. 373-374. 62 63

124


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

kajiannya pada aspek sosiologis-epistemologis untuk mendapatkan jawaban yang lebih operasional dan realistik terhadap persoalan demokrasi di lingkungan bangsa Arab-Islam saat ini. Temuannya tentang tiga faktor dominan (qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah) yang mempengaruhi nalar politik mereka selama ini merupakan sebuah temuan baru yang sangat berguna untuk memberikan arah dan titik tolak bagi perjuangan demokrasi di kawasan ArabIslam pada khususnya, dan umat Islam pada umumnya.

Penutup ‘Nalar politik Arab’ atau pola pikir bangsa Arab mengenai politik (kenegaraan) merupakan bagian dari ‘nalar Arab’ (al-‘aql al-’Arabî) yang lebih umum, yakni sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Muhammad‘Abid al-Jabiri. Berdasarkan pengertian ini maka ‘nalar politik Arab’ dapat dipahami sebagai himpunan tata pikir mengenai politik yang secara tidak sadar dipaksakan oleh kultur Arab terhadap masyarakatnya. Tata pikir ini senantiasa melandasi pandangan mereka terhadap politik dan kenegaraan sebagai sebuah pola pikir yang telah terstruktur di alam bawah sadar. Oleh karena ‘nalar politik Arab’ ini, berdasarkan kajian al-Jabiri, dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga faktor (pola pikir) dominan yang berupa qabîlah, ghanîmah, dan ‘aqîdah, maka sasaran utama kritik nalar Arab tentu saja diarahkan kepadanya. Menurutnya ketiga pola pikir tersebut tidak memadai bagi sebuah pemerintahan yang moderen dan efektif. Untuk itu ia mengusulkan perubahan dan pembaruan terhadap ketiganya. Pola pikir qabîlah (tributair) diganti dengan pola pikir yang bukan qabîlah, yakni sebuah pola pikir yang mampu membedakan antara organisasi sosial politik dengan organisasi ataupun masyarakat non-politik, pola pikir ghanîmah diganti dengan pola pikir yang berorientasi pada ekonomi produktif, dan pola pikir ‘aqîdah diganti dengan pola pikir yang inovatif dan kritis. Di samping itu dari usahanya merekonstruksi sistem politik (pemerintahan) Islam secara mendasar sejak pereode dakwah Nabi Muhammad Saw. hingga masa-masa terakhir pemerintahan ‘Utsmân ibn ‘Affân ia menemukan bahwa syûrâ merupakan sebuah prinsip pemerintahan dalam Islam yang sangat krusial. Prinsip ini senantiasa dipraktikkan dalam suksesi kepemimpinan selama masa-masa tersebut, meskipun bentuknya bervariasi. Hanya saja karena ketiadaan aturan konstitusional mengenai beberapa hal di dalamnya maka seringkali berakibat pada timbulnya konflik politik. Untuk itu langkah pertama yang harus dilakukan dalam konteks rekonstruksi ini adalah menetapkan aturan konstitusional yang tegas mengenai prosedur pemilihan khalifah (kepala negara), masa jabatan, dan kewenangannya. Menurut al-Jabiri tidak ada nas syara’ yang secara tegas menentukan sistem dan bentuk pemerintahan sehingga ia bisa disesuaikan menurut situasi masing-masing tempat dan waktu. Dalam pada itu ia memandang bahwa saat ini tidak ada pilihan lain yang lebih baik daripada sistem demokrasi moderen di mana menurutnya ia bisa disejajarkan dengan 125


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 prinsip syûrâ dalam Islam. Karena itu pemerintahan atau negara Islam (Arab) seharusnya menerapkan sistem ini. Ada tiga syarat bagi tegaknya sebuah sistem demokrasi (syûrâ), yaitu pemilihan kepala pemerintahan (negara) dilakukan secara bebas dan demokratis, pembatasan masa jabatan kepala negara, dan juga pembatasan kewenangannya. Kontribusi al-Jabiri di antara para pengkaji yang lain, mengenai persoalan Islam dan demokrasi, terletak pada fokus kajiannya. Jika para pengkaji yang lain pada umumnya menitikberatkan pada usaha untuk mencari landasan legitimasi bagi demokrasi dalam struktur ajaran Islam, maka al-Jabiri mengarahkan sasarannya pada pola pikir yang mendasari pandangan umat Islam (yang mewarisi kultur Arab) terhadap politik (negara). Dari analisis terhadap pola pikir tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang menentukan pandangan politik mereka serta bagaimana pola pikir tersebut diubah menuju terbentuknya sebuah pemerintahan modern yang demokratis dan efektif.

Pustaka Acuan Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî: Muhaddidâtuh wa Tajalliyâtuh. Beirût: al-Markaz al-Tsaqâfî al-’Arabî, 1991. Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKIS, 2000. Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London-New York: Rotledge, 1991. Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Usul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press, 1997. ‘Imarah, Muhammad. Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm li ‘Alî ‘Abd al-Râziq: Dirâsah wa Watsâ`iq. Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1972. Khaldun, Abd al-Rahman ibn. Muqaddimah ibn Khaldûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006. Rahman, Fazlur. “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre Cachia (ed.) Islam: Past Influence and Recent Challenge. Edinburgh: Edinburgh Univesity Press, 1979. Rahman, Fazlur. “Revival and Reform in Islam,” dalam P. M. Holt, et al. (ed.). The Cambridge History of Islam, Vol. II. Cambridge: Cambridge University Press, 1970. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995. Shah, M. Aunul Abid, et al. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001. Sulaiman, Sadek J. “Democracy and Shûrâ,” dalam Charles Kurzman (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook. New York-Oxford: Oxford University Press, 1998. 126


Jamal Abdul Aziz: Pemikiran Politik Islam Muhammad ‘Abid al-Jabiri

Tamimi, Azzam. “The Origins of Arab Secularism,” dalam Islam and Secularism in the Middle East, dalam John L Esposito dan Azzam Tamimi (ed.). London: Hurst and Company, 2002. Tilawah, Edisi 8/Th. XI/2002.

127


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

MARKET FAIRNESS IN ISLAMIC ECONOMICS LAW AND ETHICS: A Study on Modern and Traditional Market Regulations in Indonesia Mustapa Khamal Rokan Fakultas Syariah UIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V, Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: mustafa_rokan@yahoo.com

Abstrak: Keadilan Pasar dalam Hukum dan Etika Ekonomi Islam: Studi tentang Peraturan Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia. Studi ini dilatarbelakangi kondisi pasar yang tidak adil berupa ketersingkiran pasar tradisional di Indonesia disebabkan persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern. Tulisan ini berusaha menemukan formulasi hukum yang adil untuk menjaga keberadaan pasar kecil. Untuk menemukan formulasi hukum tersebut, penulis akan membahas pengaturan pasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, menganalisa serta menemukan hal yang harus dioptimalisasikan untuk membuat pengaturan pasar yang adil dalam perspektif hukum Islam. Studi ini mengajukan paradigma bahwa pasar bukan hanya sebagai institusi bisnis tetapi juga insitusi ibadah dan sosial berdasarkan persaudaraan yang mengharuskan saling menghormati, saling bertanggungjawab. Terdapat preskriptif hukum untuk menjaga keberadaan pasar tradisional di Indonesia, yakni mengoptimalkan konsep kepemilikan pasar sebagai bentuk kepemilikan umum dan mengoptimalkan regulasi kerjasama antara pasar tradisional dan modern berdasarkan doktrin hukum ekonomi Islam. Abstract: This study has been motivated by unfair market conditions in the form of marginalization of traditional markets in Indonesia due to unequal competition with the modern market. This article tries to find a fair legal formulation to maintain the existence of a small market (traditional). To find the legal formulation, the author attempts to discuss market regulation in Indonesian legislation, analyzed and found it to be optimized to create a fair market arrangements in the perspective of Islamic law. This study propose a paradigm that the market functions not only as an business institution but also as religious and social institutions based on brotherhood which requires mutual respect and responsibility. There are prescriptive law to maintain the existence of traditional markets in Indonesia, which optimizes the concept of ownership as a form of common ownership and optimize the regulation of cooperation between the traditional and the modern market economy based on the doctrine of Islamic law.

Keywords: Islamic business ethics, modern and traditional market, monopoly 128


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Introduction Modern market1 presence has created market problem in Indonesia. The presence of modern markets which led to marginalization of traditional markets into a trade mostly small and medium-sized businesses. This can be seen in terms of growth, the ratio of expenditure, which shows the modern market turnover has increased, otherwise growth, turnover and traditional market expenditure ratio decreased. In fact, most of the traditional market losses and marginalized. This can be seen of the following: In 2007 the number of outlets modern retail was 10.365 and in 2011 become 18.152 outlets, which it’s means that increased eight thousand or four stores per day. The number traditional market in 2007 was 13,750 outlets, in 2011 became 9,950 outlets, which it’s means that reduce 3,800 outlets, or 29 percent. In 2012 the number of modern market about 10,000 and the number modern market is 14,000 outlets with details of 358 convenient stores, 11 569 Minimarket, 1,146 supermarkets, 141 hypermarkets and 260 grocery or wholesale.2 In Jakarta, growth of Indomaret rose significantly, with details 525 outlets (in 2006), became 1,115 outlets (March 2009), became 1186 (July, 2010) and became 2162 outlets (in 2011),3 while the traditional market rose stagnantly at 153 outlet since 2000. The above facts indicate there is a problem in the Indonesian market. The problem is the market fairness. This paper will discuss the concept of a fair market in the perspective of Islamic law. Market fairness according to Islamic law based on the concept of ownership of the market and market legal principles and a number of anti-monopoly law docrine which will be explained. This paper uses qualitative methods with the case study approach and history, analyzing business norms contained in the muâmalah jurisprudence accompanied by historical approach market policies undertaken by the Prophet Muhammad at the heyday of Islam. While the case used is the decision of the Commission which is the authority in Indonesian market. The data collection method used is the literature that is the source of business law of Islam (al-Quran and al-Hadis), fatwas, market rules, scientific books written by experts of Islamic business law related to the topic.

Nature of Market Fairness According to Islam Nature of fairness is talk of freedom and human equality. Everyone is born in a free In Indonesia, modern retail market has been in practice since the early sixties. Sarinah on Jalan Thamrin Jakarta is one of the largest department store that was built in 1964, followed by Aldiron Plaza1979, Duta Merlin, Ratu Plaza, Pasar Raya, Hayam Wuruk Plaza 1980s. In 1998, foreign retailers began to enter the retail business in Indonesia with characterized by Carrefour which offers one stop shopping concept as well as hypermarkets etc. Further followed by Goro, Giant Hypermarket and Makro, M. Udin Silalahi, “Persaingan di Industri Ritel Ditinjau dari Aspek Hukum Persaingan Usaha,” in Jurnal Hukum Bisnis, Vol. I, No. 5, 2008, p. 27. 2 http/m.bisnis.com/industry/read. 3 Ibid. 1

129


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 position as a tribute to man.4 The position of human alignment bore the same rights and obligations in the conduct of expression.5 The consequences of human equality created two (2) things simultaneously the principles of freedom and the principle of responsibility. Freedom of expression in life, at the same time have an obligation to do good (ihsân) to everyone.6 Therefore, fairness correlated with doing good. The form of goodness is to help and protect those who are weak, especially those who are in the vicinity of our lives. Good works do not only protection but also empowering. Allah Said: “Allah command justice, the doing of good and giving to kith and kin, and He forbids Allah decendent deeds, and evil and rebellion. He instruct you, that ye may receive admonition.”7 The principle of freedom has implication to competition. Freedom to meet any need and want pose a competitive business, and even lead to economic problems. Therefore, economic freedom should be limited by the principles of sharia that required fairness. In the Islamic law for business, freedom of economic activity is limited into three requirement (1) The freedom that does not violate Islamic law.(2) The freedom that does not cause harm to his/ herself, (3) the freedom that does not cause harm to others.8 Islam teaches the principles of fairness,9 by way of compromise between freedom and responsibility. Compromise can be done by providing the opportunity for everyone to get something, but at the same time everyone should respect the rights of others to obtain something else (ihsân). Islam justify selfishness without damaging the community order.10 Therefore, every individual has the right to make freedom but also have a social responsibility to the people who were around him, especially against people or people who are weak and closest to any person whomsoever,11 thus forming a peacfull social co-existence. Based on the principle of equality, the Prophet Muhammad build fair economic system in the city of Mecca. Trading condition in Mecca is monopolistic,12 and reformed by the

Âli ibn Abî Thalib said …do not be al slave of others because Allah has created you free. See, Behechti & Bahonar, Philosophy of Islam (Iran: Ansyariyan Publication, 1990), p. 414-415. 5 Therefore, fairness can be divided to economic fairness in the distribution of income and economic fairness in equality which requires every individual should have the opportunity to access the economy. Mawardi, “al-‘adalah Concept in Islamic Economic Perspectives,” in Journal of Islamic Law: Vol.VII, No. 5, July 2007, p. 53. 6 Q.S. al-Nahl/16: 90. 7 QS. al-Nahl/16: 90. 8 Abdul Azhim Islahi, Economic Concept of Ibn Taymiyah (Leicester UK: The Islamic Foundation, 1998), p. 225. 9 Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), p. 2. 10 See Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf 1995), p. 10. 11 Q.S. al-Baqarah/2: 177. 12 According to Nurcholish Madjid, short letters that become verses in Makkiyah is criticism of monopolistic conditions and emphasizes the doctrine of monotheism and social fairness.See, Nurcholish Madjid, Islam, Kemodrenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan 1987), p. 158. Esposito 4‘

130


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Prophet with the principles of market fairness. It can be seen from the criticism of the Quran against exploitative trading activity, monopolistic, such as the prohibition of usury,13 taken advantage without an agreement,14 reducing the weight scale15and so on. The Qur’an also criticized the behavior of abandoning people who are weak and hedonistic and materialistic attitudes resulting in social inequalities. 16 The mission of Quran is to remove the socio-economic gap that is going on in the city of Mecca. 17 The essence of human freedom and equality comes from God (divine). Monotheism is the belief in the teachings of the unity of creation, human unity, the unity of life guidance and unity of purpose in life so that every human being has the same position and status (egalitarian) before God and history. 18Therefore, economic activity should be based on the values of Tawheed which contains the goodness that is universal as the values of honesty, brotherhood, silaturrahim, social, cooperation and mutual responsibility among business people(takâful al-ijtimâ’iyyah). Based on this, the market as a place of business transactions not only on the economic dimension as such, but part of the socio-cultural and living law based on divinity.Thus, the market is not only the legal norms relating to the economics of legal norms, but the sociocultural dimension of legal norms that are integrated in the values of divinity. Therefore, economic fairness can not be separated from social fairness. According to Sayyid Qutb social fairness based on the principles of providing adequate opportunity, and the principles of fairness among them.19 Fairness does not mean giving/treating the same to everyone. Fairness is giving/ attitude in accordance with the place, and any given situation. Attitude of leveling between the strong and the weak (bi taswiyatuhâ bi al-isti’dâdâti aldha‘îfah wa naghluhâ ‘anil ‘amal) is a form of tyranny. According to Qutb, the differences among humans (strong and weak) is constituting way to create social fairness by taking into account all the values and elements broadly.20 Different attention to those who has capacities and the weak ones aiming for a balance describe the current condition of injustice Mecca, However, the situation in commercial towns such as Makkah was different. Here markets operated freely and great differences in wealth left the poor, orphans and women at the receiving end of exploitation and injustice. See, John L. Esposito, “The Islamic Threat: Myth or Reality?,” in Zafar Iqbal and Mervyn K. Lewis (ed.), An Islamic Perspective on Government (UK: Edward Elgar Publishing Inc., 2009), p. 68. 13 See, Q.S. al-Baqarah/2: 278-279; Q.S. al-Rûm/30: 39; Q.S. al-Nisâ/4: 160-161; Q.S. Âli ‘Imrân/3: 130. 14 Q.S. al-Nisâ’/4: 11. 15 Q.S. al-Muthaffifîn/83: 1. 16 As not sympathize orphans, abandoned the poor. Q.S. al-Mâ‘ûn/107: 1-3. 17 W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, transl. Hamid Fahmi Zarkasyi (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), p. 4. 18 Amiur Nuruddin, Keadilan dalam al-Qur;an (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2008), p. 19. 19 Sayyid Quthb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyyah fi al-Islâm (Egypt: Dâr al-Syuruq, 1979), p. 36. 20 Ibid.

131


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 in society.21 In many verses, the Qur’an requires giving attention to those poor and weak in order to create a balance of society. Community imbalance is in contrary to the spirit and commitment as well as the principles of brotherhood and social fairness. The gap should be reduced even removed by providing economic access and protection to everyone actively in the process of good economic production, distribution, circulation and consumption. The balance of society can be realized by mutual guaranteeing basic needs fulfillment, and mutual guaranteeing social needs (Social economics security insurance, takâful al-ijtimâ).22

Market Fairness Doctrine Market fairness doctrine can be built with three doctrines i.e. market as public ownership, the doctrine of trade and ban deterrence doctrine (restraint of trade)in trade will be explained as follows:

Market Ownership in Islamic Law Market as a place for transactions are included in the category of public ownership (al-milkiyyah al-’âmmah). Common ownership market philosophy is that everyone can have the same opportunityto access the market as a source of economy. In simple terms that anyone who comes first then is entitled to obtain a trade on the spot. Ali bin Abi Thalib said that market for Muslims as our prayer place, whoever come first has the rght to occupy it unless otherwise rejected.23 In contrast to the concept of state ownership (al-milk al-Daulah) where countries are still allowed to give rights to individuals or private ownership, while the concept of common ownership (al-milkiyah al-’âmmah) that the state should not provide management rights to anyone24except for a shared and common interests.It is based on

Q.S. al-Dzâriât/51: 19; Q.S. al-Nisâ/4: 75; Q.S. al-Baqarah/4: 177. M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), p. 50. 23 ’Alauddîn ‘Alî Muttaqî Husâmuddîn al-Hindî, Kanz Al-‘Ummâl fi Sunan al-Aqwâl wa alAf’âl, Juz. V (Beirût: Muaasasah al-Risâlah, 1985), p. 816. 24 Restrictions on property rights is intended to realize the egalitarian distribution of wealth in accordance with the spirit of Islam. M. Umar Chapra, Islam and Economics Development (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007), p. 73-74. See also Ridwan, Kepemilikan Tanah terhadap Masyarakat dan Negara Menurut Hukum Islam (Jakarta: Training and Development Agency and the Ministry of Religious Affairs, 2010), p. 98 in the footnote number 57. 21 22

132


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

the principle of market fairness exemplified by the Prophet Muhammad and friends25 the time to manage the market of Medina which is universally applicable principles of all time. 26 Legal norms on the ownership in market as common ownership (al-milkiyyah al’âmmah) aims to prevent (sadd zarîah) any activity that may create the monopolistic practices by some people.If someone does (monopolies) or a group of people (oligopoly) with controls or has the market can lead to trouble and distress for the general public.27 Monopoly practices can occur by giving ownership of the free market (liberal) to businesses that have large capital capabilities that can make small businesses being eliminated so that the market is unfair. Concept common ownership market as the market requires the rule of law has no restrictions on the ownership of public ownership through the market as state power. Therefore, the market definition should impose limits on the authority of the development, management and ownership of government-run market as interest lives of many people.

Principles of Cooperation The principle of cooperation is a prerequisite for economic fairness. Al-Quran states that in order tha it may not (merely), make a circuit between the wealthy among you….”.28 The principle of cooperation will create market conditions of mutual respect, keep between,29 one party and another party in order to obtain mashlahah together. Thus, every business should not pursue individual interests and benefits without seeing the condition of the brothers in the vicinity. A businessman is not dissatisfied with personal success while others being marginalized in businesses. Moreover, the principle of cooperation aims to create a healthy economic system and orderly society (social order). Unhealthy economic system is the premise for the emergence The second legal basis is the practice of the policy pursued by ‘Umar when he saw a kiosk that was built by someone in the market of Medina and he knocked him out.In another narration the Prophet forbade the establishment of the building, this policy was continued by ‘Umar ibn al-Khattab that form the basis of ownership market including stores that are in it are whollyowned state that can not be delegated to those individuals or private legal entities. Abî Shaybah, Abu Bakr ‘Abd Allâh bin Muhammad (1409/1989). Juz. IV, Al-Kitab al-Musannif Al-Ahadis wa AlAtahar, 488, Ibn Shabbah, Abu Zayd ‘Umar b. Shabbah (1399/1979), Juz.II, Tarikh al-Madinah al-Munawwarah, (ed. H. Mahmud Ahmad). Jeddah, 750. Allamah Alauddîn ‘Alî Muttaqî Husâmuddîn al-Hindî, Kanz Al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, p. 815. See Note also, M. J. Kister, The Market of Prophet, Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 8, No. 3, Dec., 1965), p. 237. 26 Arief Hoetoro, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, (Surabaya: Bayumedia & BPFE Unibraw, 103 (2007), p. 103. in footnote number 8. 27 Abdul Azim Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah, Translated by Anshari Thayib, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), p. 144. 28 Q.S. al-Hasyr/59: 7. 29 Abdul Halim Hasan, et al, Tafsir Al-Quran Karim, Six Edition, (Medan: Firma Islamiyah, 1957), p. 77 25

133


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 of chaos, destruction and murder in the community. 30 Cooperation is the principle of creating unity of society so as to establish a harmonious society. Abûl A’la Maudûdî said: Important objective of economic system of Islam is promotion and sustainability of society’s unity and cohesion. Islam is the torchbearer of human unity and brotherhood, and is opposed to division and disharmony.31 The principle of cooperation in Islamic economic law is implemented in the form of contract-agreement. Philosophy covenants contained in the law of Islamic economics is to cooperate. Such contract is a contract mudhârabah cooperation agreement between the owners of capital (rab al-mal) with the fund users (mudharib) used for productive activities where profits are divided into two or by both agreement.32 Musyârakah agreement is cooperation between the owners of capital and skills, musâqah is an agreement in the field of plantation, muzhâra’ah is an agreement in the field of agriculture, contract ijârah (lease) and so on. Islamic economic laws have patterns of cooperation such as shirkah ‘Inan, shirkah’ Abdan, shirkah a-Wujuh, shirkah mufâwadhah, and shirkah a-profit.33 During its development, forms of cooperation pattern can be modified according to the current business developments, such as the provision of space cooperation, sales of products for small businesses, the coreplasma system, as long as not contrary to sharia and the principle of sharing. The principle of cooperation aimed at minimizing the income inequality among businesses. By cooperation, businesses profit gain together though with different portions, according to the abilities/skills of each economic actor. Conversely, without cooperation, profit and wealth is concentrated in one or a certain group of people. The opposite of cooperation is monopolies. Monopolistic practices and unfair makes business competition distributions concentrate only on one person or a group of businessmen. Strong business operators will dominate the market, while small businesses were eliminated. Allah Said: Oh ye who believe, eat nor up yor property amoung yourselves in vanities, but let there be amongst you traffic and trade by mutual good will: nor kill yourselves. 34 Business activities are categorized as tort (vanity) in the above paragraph is a business activity that is carried out by means of mutual cooperation not liking each other(al-ridha). One form of business activity that is not based on mutual respect is monopolistic practices

Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran (Jakarta: Al-Huda, 2004), p. 4. Sayyid Abu al-A‘la Maududi, First Principle of Islamic Economics, transl. Ahmad Imâm Shafaq Hashemi (UK: Islamic Foundation, 2011), p. 90. 32 M. Fahin Khan, Essay in Islamic Econmics (United Kingdom: the Islamic Foundation, 1995), p. 80. 33 Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah, p. 194. 34 Q.S. al-Nisâ’/4: 11. 30 31

134


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

such as strong businesses monopolizing weak businesses.35 This understanding is obtained in the next paragraph the phrase “do not kill yourself” are not defined in terms of killing the soul and blood, but also in trade. In a competitive business, business people can “kill” other businesses in order to earn huge profits.36 Based on the above paragraph, the requirements of fairness is a system of cooperation among businesses people. Cooperation in question is a partnership between strong businesses and weak businesses so that weak businesses are not eliminated who will not be able to compete with large businesses.

Principle of Prohibition on Trade Barrier Talaq Rukban Doctrine (Restraint Doctrine) Market fairness based on prohibition on trade barrier (talaq rukban). This Doctrine is the oldest doctrine in antitrust law that was born in the 5th century, when the Prophet Muhammad set the market of Medina. In the tradition of the common law doctrine of freedom of the barriers to entry of new market emerged in the 16th century as the doctrine of restraint of trade which is absorbed by the US Sherman Act.37 This doctrine is derived from the traditions of Muhammad that prohibits intercept traders who have made it to market. Doing barriers against other businesses into the market led to the market is not going to work according to the mechanism. Behavioral inhibition in the trade implications on market volatility as the price and so on. Prophet Muhammad wanted to make sure that the market price becomes stable and the price can not be manipulated by the intermediary and the price maker.38

Doctrine on Ihtikâr Prohibition Market fairnessbased on the doctrine of ihtikâr prohibition ‫اﻻﺣﺘﻜ ـ ـ ـ ـ ــﺎر‬.39 Ihtikâr M.Quraish Shihab defines “vanity” in general that as a violation of the terms or conditions agreed religion. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), p. 412. 36 Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar, Vol. V, as quoted by Sheikh Abdul Halim Hassan, et al., Tafsir al-Quran Karim, p. 77 with some editorial changes without losing the substance. 37 This case arose from the granting of a monopoly by the Queen of England to Edward Darcy with a company named Ralph Bowes & Co. to create or import of playing cards (playing cards). In the market has kind of playing cards traded by T. Allein, therefore, Darcy felt disturbed and may file a suit. More see Stephen F. Ross, Prinsiples of Antitrust Law (Wetbury, New York: The Foundation Press, Inc., 1993), p. 12-13. 38 It is known that the majority of traders in Medina is an importer that sells merchandise on arrival in Medina good for newcomers or to intermediaries (agents). (ba’y present li Bâdin). Mohammad Hashim Kamali, “Tas’ir (Price Control) in Islamic Law.” The paper was prepared for Colloquim Entitled “The Bazaar in the culture and civilization of the world of Islam, which was to been held in Tabriz, Iran, p. 31 39 The doctrine of ihtikar prohibition contained in the Quran and the hadith of the Prophet. 35

135


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 meansdamage the social ties (isa ul mu’asyarah), or holding goods for high price.40 By the term, means habsu al-sal’i an bay,41 (hoarding or detention of goods from circulation), or ba i’ussal’i yuakhir al-sal’i yanzhuru bihi ghala ‘al-as’ar (storage of goods by the seller to wait soaring food prices and the current selling price has soared). In a hadith mentioned “Anyone who do monopoly is sinner.” 42 Practice ihtikâr damaging relationships between businesses with other businesses shut down by holding certain goods and services. Ihtikâr goal is to withstand circulation (supply) that is smaller than the demand (demand) and take advantage of the the to situations. Traders detaining the goods will gain great advantage of these conditions. Umar bin Khattab has ever sentenced those who hold goods, because such actions can make other people die with unfair competition as the current economic crisis and inflation. 43 Ihtikâr can make the market run is not perfect, because the price of goods can be up high. Hoarding is a very easy way to make a profit, because scarcity will cause the price of goods to rise and that’s when the owner of the goods to sell goods in the market.

Doctrine on Ta’alluq Prohibition Ta’alluq term means conditional sale and purchase. A business operators will sell anything to other businesses, if other businesses do the terms specified. The reasons which led to the sale and purchase ta’alluq is prohibited due to gharâr element gharâr elements contained in uncertainty for businesses and consumers to the continuation of a contract between the parties, due to the conditions. According to Mazhab Hanafi make ta’liq (the hanging) in the transaction are included in the category qimâr (gambling).44 Ta’alluq doctrine has been adopted in the book of the law of civil law of the Turkish government Ottoman book Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Article 189 said: “A sale with a condition, which is not for the benefit of one of contracting parties, is lawful, but the condition is bad.”45

See Q.S. al-Mâ’idah/5: 2; Q.S. al-Baqarah/2: 279, Q.S. al-Hajj/22: 78, Q.S. al-Mâ’idah/5: 6. Some of the traditions of the Prophet Muhammad. which prohibits and condemns behavior ihtikar: 40 See, Imam Muslim, Sahih Muslim (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), p. 312. 41 Muhammad ‘Ali al-Syaukani, Nail al-Author (Egypt: Mustafa al-Babi al-Halabi, n.d), p. 235. 42 Imam Muslim, Sahih Muslim, p. 312. 43 Zulkifli Hasan, “Islamic Perspectives on the Competition Law and Policy ,” in files.wordpress. com/2008/.../Islam-and-competition-policy. 44 Al-Dâr al-Mukhtâr, Ibn Abî Dîn in Husain Syahatah, and Siddiq Muh. Amin Adh-Dhahîr, alGharar fi al-‘Uqud wa Atsaruhu fi al-Thabiqat a-Mu’ashirah, transl. Saptono Budi Satryo and Fauziah, Transaksi dan Etika Bisnis Islam (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), p. 160. 45 Justice S. A. Rahman, The Majelle (Lahore: Law Publishing Company, 1980), p. 26. See too. H.A. Jazuli, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam (Bandung: Kiblat Press, 2002), p. 33.

136


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Fair Market Regulation in the Perspective of Islamic Law: the Case of Indonesia Ownership Regulation in Indonesian Market Market regulation in Indonesia gives ownership and management of the market not only to the government but also to parties other than the government. It can be seen from the definition of the modern market that does not define the market on an aspect ownership, management and development. Likewise, the definition of traditional markets provide the right development and market management to the government, private, StateOwned Enterprises (SOEs) and the Regional Enterprise (ROE), or cooperation with the private sector.46 Regional Market Regulation governing the management of traditional markets to the authority of the market managers Provincial Market, Market District/ City, Village Market, Private Markets are managed directly by the local government (provincial, district/city, village) and Private. Private markets are defined as markets created, organized and managed by the private land or land held by the private sector.47 It can be concluded that the development and management of Indonesia’s market can be divided into five (5) agencies, the government, private, state enterprise, local enterprises and private cooperative. Thus, regulating the market ownership in Indonesia can be owned by anyone independently.

Market Fairness in Indonesia Based on the Market Ownership Fairness in the Indonesian market can be realized with the concept of the market as a public property ownership (al-milkiyah al-‘âmmah) so that the market can not be freely used by all parties. Regulating market in Indonesia, which allow the market created, organized and managed by the private land or land held by private is not in line with Islamic law. The concept of common ownership to the market because the market is of interest to everyone, because the absence in the public market could lead to disputes in society. Liberally granting permission to the private sector, including foreign retail companies could cause the market share held by only certain businesses as entrepreneurs who have capital and a strong network. Market regulation should cover aspects of ownership, capital and management rights to ensure the authority of state on the market as common ownership. The formulation of the modern market by looking at aspects of ownership, capital and management is essential to ensure ownership of businesses on the market. 48The distinction formulation capital

See Article Article 1 paragraph 2 The Trade Ministery Regulation No.53 Year 2008. Article 1 paragraph 8 of Batam City Regulation No.10 of 2009 on the Management and Development Market in Batam. 48 In some Regional Market Regulation has classified the modern shop with a modern shop with one hundred percent of domestic capital to create different rules.Modern shop with one hundred percent of domestic capital has sales floor area of less than 400 m2 for Minimarket, sales floor area of less than 1,200 m2 for Supermarket, sales floor area of less than 20002 for Department Store. See Article 21 paragraph (2) Regulation Megelang District Market. 46 47

137


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 ownership including foreign capital needed to maintain the sovereignty of the state on economic resources of society in the retail market. The debate occurred in two (2) things namely, first in terms of ownership with management rights, second, the right of every person to be able to gain access to the market as to its nature as a common ownership (al-milkiyyah al-âmmah) while the market is limited (limited sources) that not everyone is able to be accommodated to gain access to or benefit from the market. In terms of terminology ownership right and management rights. In principle of ownership right and management rights is a unity that can not be separated. Market philosophy as an institution of common ownership (al-milkiyah al-‘âmmah) aims to ensure that everyone can benefit from the market. In addition, the market also can not be monopolized by certain people who have a strong capital. Therefore, the right of ownership and management rights should be in the country. Therefore, countries are is a legitimate institution managing common ownership and given profusely to the people. The state does not have the right to act beyond its authority as the manager of such grant management rights to private parties.49 The common property rights that have been managed by the state through the state or a business entity may be the property of the state through nationalization as Stateowned enterprises (SOEs)/Regional Owned Enterprises (enterprises) where the benefits should be used as much as possible for the prosperity of the people thoroughly. 50 Strengthening of market regulation contained in the ownership arrangements by licensing system. Freely licensing conflict with the state’s duty to protect the public from monopolistic practices. It is based on legal norms “La dharara wa l â Dhirar” 51 (no loss or disadvantage).This method is prohibit property owners take advantage of the properties benefit that cause direct harm to others. The phrase “dharar” according Baqir Sadr means exacerbating someone both directly, and indirectly. 52 In the case where the market is limited (limited sources), where not everyone is able to be accommodated to gain access to or benefit from the market, then the state can make certain criteria based on the principles of equity and in accordance with the interests of the market such as the moral aspect, motivation etc.

Yusanto and Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, p. 151. Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), p. 206-207. 51 Muhammad Musthafa al-Zuhaili, Al-Qa’idah al-Fiqhiyyah wa Tathbiqiha fi Al-Madzâhib al-Arba‘ah, Juz I (Dimsyiq: Dâr al-Fikr, 2006), p. 199. 52 Muhammad Baqir al-Sadr Ash, Parent Book of Islamic Economics, (Iqtishaduna) (Jakarta: Zahra, 2008), p. 580. In case of fire Monday Market, Jakarta, for example, traders really hope the government does not submit pascakebakaran management to the private sector for fear prices stall traders increasingly expensive and troublesome. See, “Private Do not Go,” in Kompas, Monday, April 28, 2014, p. 1. 49 50

138


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Endowments Legal Entity: Alternative Market Ownership One of the Islamic economic instruments associated with common ownership is wakaf (endowment). Endowments are Islamic economic instruments at once continuous elastic nature. Called elastic, because the waqaf property does not have to be tied exclusively intended for certain groups such as charity but can be used for the benefit of mankind in general and can cover all aspects. Continuous called because one of the properties of waqf property must not be discharged (baqâ’), so that the nature of waqf property in philosophy requires continuous productive waqf property (sustain). One of the success of the waqf in economic development, especially the market in the history of Islam is in Yazd, Iran. Michael E. Bonine in his article titled Islam and Commerce: Waqf and the Bazaar of Yazd, Iran (Islamic und Handel: Waqf und der Bazar von Yazd, Iran) describes in detail the close relationship between endowments and market in Yazd, Iran which is influenced by the concept of endowments property ownership. 53 In Yazd, Iran, charitable institutions not only to build the infrastructure that is religion such as mosques, madrasas, tombs and so on but endowments also build infrastructure to meet the needs of many people, especially the infrastructure of commerce, namely market.Treasures in the form of endowments may take the form of ownership of the shops, and also connected with what is called the Bazaar in which there is the concept of trade and religion in an integrated manner. In the context of the protection of traditional markets in Indonesia, endowments instrument can be an alternative to protect and empower traditional markets in Indonesia.54 The nature of waqf property that still makes all businesses can access the markets. Thus, small businesses and large there is no difference in market access that market becomes a place that is open to everyone.

Aspects of Cooperation Regulating the Cooperation System Legislation in Indonesia has regulated trade cooperation. Government Regulation No. 44 of 1997 concerning the Partnership noted that the partnership is a business cooperation

In a broader scope, endowments not only affects the attitude and the religious domain but also directly affect the layout of the city (city structure) where there are markets, government offices, mosques, schools and so forth Michael E.Bonine, Islam and Commerce: Waqf and the Bazaar of Yazd, Iran (Islamic und Handel: Waqf und der Bazar von Yazd, Iran), Erdkunde, Bd. 41, H. 3 (September, 1987), p. 185. 54 The practice of such “market endowments” has actually been going on since a long time in Indonesia as well as the practice of “market shock, “bazaar” in a certain momentum and so on. However, if the market shock or bazar only temporary, while the market derived from waqf property market activity can be permanently so that management can be done in a planned and professionally. 53

139


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 between small businesses with medium and large businesses including mentoring and development initiated by medium and large enterprises with the principle of mutual need, mutually reinforcing and mutually beneficial.55 Trade Partnership also regulated in Presidential Decree No.112 of 2007 and the Regulation No. 53 of 2008 and the Regional Market Regulation, which requires a modern market implement partnerships with small businesses. As for some form of cooperation is in terms of marketing (marketing), providing a place of business (space), product acceptance, the sales price or rental fees in accordance with the capability of Micro, Small and Medium Enterprises.56 In principle that Indonesia legislation has reflected the principle of cooperation in Islamic law. However, this necessitates the strengthening regulation in two things:

Cooperation in a Balanced Position Perspective of Islamic law requires cooperation on an equal footing.57 Al-Qur’an forbids gain from the transaction unequally (al-ridhâ).58 In history, relations major market players and small market, trading system before the Islamic done unfairly between large market with a small market.59 Large market in the period before Islam dominated by foreign traders who trade expanding to various places in the Arabian peninsula. Trade relations between traders outside (nomadic) with local merchants do not have a mutual relationship that is based on a balanced mutual help and economic exchange. In a partnership arrangement between traditional and modern market in Indonesia puts traditional markets become part of the modern market, not equal partners. Although market regulation states based on the principles of equality and fairness between the two markets, but the majority of the patterns of cooperation puts the traditional market system dependent (subordinate) to the modern market. It can be seen from inequality cooperation in provision of land/space. Most of the Article Chapter I General Provisions Article 1 paragraph 38 of Government Regulation No.44 of 1997. See also Article 1 paragraph 15 Market Regulation Yogyakarta. Presidential Decree No. 112 In 2007, the Regulation No. 53 of 2008 and Regulation of Regional Markets make PP 44 of 1997 as a preamble in the regulation of the partnership. 56 Article 8 of Regulation Market Denpasar. See also Article 41 letter Kendal Market Regulation 57 See, Robert Simon, Meccan Trade and Islam (Problem of Origin and Structure), transl. Feodora Sos (Hungaria: Akademiai Kiado, Budapest, 1989), p. 79-90. 58 Q.S. al-Nisâ’/4: 29. 59 According to al-Afghani Saaid there are three types of market on the eve of the Islamic presence. First, markets are under foreign rule (Reviews those under foreign supremacy) which is like Hira Market, Busra and others. Second, the market is made by the Arabs themselves with their own wares like Ukaz Market. Third, the market due to its geographical location used as a meeting place for foreign merchants (outside) as Suhar Markets and Market Aden where there is a character that appears while the business of local character (national) backward or decreases (at-tabi alMuttahida) Robert Simon, Meccan Trade and Islam (Problem of Origin and Structure), p. 79-90 55

140


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Local Regional Market Regulation does not require modern markets provide land for the traditional market. While some regional market regulation has required that modern markets provide land/space for traditional markets but have not set up an equivalent system and mechanism in cooperation provision of land, for example, the system profit, cooperative mechanism mediated by the local government. In addition to not knowing the opportunities for cooperation with large businesses, small businesses are also difficult to get the opportunity to cooperate. Position of small business as request to to provider (large business), not as an equal partner. Equal in the relationship between traditional and modern market and the relationship between suppliers and modern shops can use profit sharing system. Profit Sharing System in relationship between the supplier and modern shops can use profit sharing scheme (Musharaka) or mudaraba or other forms. Distribution of the results based on a percentage of sales or profits in the provision of land will be created between the modern market and between suppliers and supplied equal and fair position.

Forming a Partnership Cooperation modern market with traditional markets should be done with a certain pattern. Cooperation system done without model will run in effectively. Market research results in Purbalingga about partnership implementation mandated by Presidential Decree No. 112 of 2007 and the Permendag Regulation No. 53 of 2008 shall not be able to run properly due to a partnership that does not exist.60 The results of the research shows small businesses are not aware of opportunities and model of cooperation that can be done with a larger player. Partnership model of modern shops and traditional markets can be adapted to the needs of the area where the market stands. For areas that have many manufacturers for example, a partnership should be more emphasis on joint marketing of production results in the local area.Whereas in densely populated areas, in addition to joint marketing, cooperation can be shaped pattern of land administration/ space, reprocessing (repackaging) and other patterns that can be customized with ba’y salâm,istishnâa, ijara, and so forth.

Cooperation Regulation on Type and Price of Product Cooperation of traditional and modern market should be done by arranging the type of product. Historically, one of the Medina market regulatory policy at the time of the Prophet Muhammadis setting the type of product. Although the nature of the arrangement are still simple, but setting the classification of goods/products for a wide range of goods Wede Kupita and Rahadi Wasi Bintoro, Zoning Policy Implementation Traditional Market and Modern Market (Studies in Purbalingga), Supra Note. p. 51. 60

141


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 has been made of the Prophet Muhammad. Prophet Muhammad arranged shopping area specific policies for certain goods. Samhudi said: The Prophet also made other arrangements to ensure an orderly market system. For example, he set up “departments” in the market by designating different sections for various goods. Sources report several traditions that mention special shopping areas for slaves, livestock, textiles, food-stuffs, perfumery, etc.61 Setting the type of product is also performed during the Abbasid Caliph in Andalusia market. In Andalusia Market differentiation is not only related to the type of goods, but also the price of the goods. Prices of goods are expensive separated by low freight rates which means the price of high-quality goods at prices differentiated quality goods lace h, local products and outdoor products and so on. More Mohammed Abdah Hatamlah in his essay: “The Andalusian Economic Era”: The goods sold in Andalusian markets were subject to determined specifications, which had to be strictly observed. The perfume tradesman, forinstance, was not allowed to adulterate high quality fragrances with low quality ones, or local brands with imported ones.62 The purpose of product differentiation regulatory cooperation is to close (sadd) some businesses being excluded from the competition with a larger player. With differences in the type and price of the product, it will automatically distinguish types of consumers making large and small markets waking existence. Moreover, regulating market by type of product is also an opportunity to empower certain products in the market. Therefore, the strengthening of setting different types of products on the retail market in Indonesia can be done in at least three (3) forms: First, strengthening the type of product differentiation between modern and traditional markets. Distribution of different types of products at all difficult to do, because it can cause difficulties for consumers to obtain the desired product. One of the advantages of the modern market is the completeness of all kinds of goods on hand so that consumers can buy all their needs and desires completely. Therefore, to apply fair market the distinction of products need to be strengthened. To specify the type of product it is necessary distinction survey on the establishment of the modern market area, because the difference between the market of products of modern and traditional markets associated with the condition, the potential and the type of typical regional products so typical regional products and types of products sold by the shops/stalls around the market Modern can be maintained its existence. Nûr al-Dîn Abû Hasan al-Samhûdi, “Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Dâr al-Mustafa,” in Muhammad Nejatullah Siddiqi (ed.), Encyclopaedia Islamic Economics, Principles, Definition and Methodology, Vol. I (London: FIF, 2009), p. 122. 62 Muhammed Abdah Hatamlah, “The Andalusia Economic Era,” in Muhammad Nejatullah Siddiqi (ed.), Encyclopaedia Islamic Economics, Principles, Definition and Methodology, Vol. I (London: FIF, 2009), p. 269. 61

142


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Ministry of Trade Decree No. 70 /2013 prohibits Minimarket to sell fresh product in bulk form is a form of progress in product differentiation with shops/stalls that are nearby location. However, further analysis is required the types of products that made the difference (distinction) between store Minimarket with traditional markets, especially in shops/stalls that are nearby distance, because in practice that there is no difference in the type of products sold in modern stores like Minimarket with stalls/shops in the surrounding areas. In general, the type of product differentiation can be done by dividing the type of product on the traditional market selling basic food ingredients, while the modern type of product on the market is the needs of people who are secondary needs.The existence of traditional markets will remain intact because the staple food ingredients a product which can not be ignored by society such as rice, vegetables, sugar, salt and so on. In addition, basic food needs do not require traditional processed so that market participants do not have to compete with businesses in the modern market. Second, the establishment of special markets. Some regional market regulation has made rules about the type of market division into a market selling a particular product called Special Markets such as Animal Market, Ceramics Market, Bird Market, and the like. Establishment of Special Markets associated with purchasing power and the level of consumer demand for a particular product.Government through market policies can establish niches. In some European countries, such as in the UK there are some specialized markets such as retail markets shoes and bags and other items that are not united with other product that can create competition and protection system will be easier. Third, the different market based on price of goods. Besides product differentiation, to protect traditional markets can be done with distinction price and quality of goods in the respective markets. Thus, consumers will be able to differentiate themselves shopping options.

Case of Cooperation: Analysis of Decision No.02/KPPU-L/2005 According to the Islamic Law Application of the principle of fairness in the market ta’alluq doctrine can be applied to the case of PT. Carrefour in the Commission’s Decision No. 02/KPPU-L/2005. Commission Decision No. 02 / KPPU-L/2005 regarding the application of trading terms conducted by PT. Carrefour Indonesia 63(hereinafter referred to as PT.CI) to its suppliers. Trade relations between PT. CI with suppliers is through trade agreements for supplies, along with the

PT.CI is a retail company that has business activities include general trading such as convenience stores, supermarkets, hypermarkets and the establishment of the building to be used as a place of business. PT RATAH TIMBER CI was established as PT Contimas Utama Indonesia (CUI) in 1995. On December 23, 2003, PT Cartisa Property Indonesia, PT Carti Satria Supermarkets and CUI merge into one company under the name of PT. CI.See, the Commission’s Decision 02/KPPU-L/2005. 63

143


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 terms of trade (trading terms) as listing feeminus margins and so on.64 Suppliers (suppliers) must follow a number of favorable conditions PT.CI in the competition in the retail market, and if the supplier does not meet these requirements will get a number of sanctions. Case 02 / KPPU-L / 2005 concerning the terms of trade (trading terms) PT.CI to suppliers (suppliers) are not directly related to the existence of traditional markets because matter and retail supplier relationships. Case 02 / KPPU-L / 2005 is a competition between retail companies are equivalent (equal playing field) that is between PT.CI with other retail establishments such as Giant, Hypermart and others. However, the case 02 / KPPU-L /2005 indirectly related to the existence of traditional markets at least by two (2) reasons namely: First, the application of the terms of trade (trading terms)minus margin to make a modern shop (in this case PT.CI) for supply of goods at lower prices from suppliers (suppliers) from other retailers.The imposition of terms of trade (trading terms) due to the supplier company is dependent upon the PT.CI that has consumers in the upper middle class, a strategic location in the Greater Jakarta and other factors. By obtaining the supply of cheaper goods from the supplier making the PT. CI can offer the product at a cheaper price than the traditional market. Thus prohibiting the application of the requirements of the trade (trading terms) in the Commission’s decision affects the tradisional market presence also in the retail sector. Second, Decree No. 02/KPPU-L/2005 gives a sense of fairness for the smallbusiness (in this case the supplier). Decision 02 / KPPU-L / 2005 can be categorized as progressive because the decision had been put on fairness even if contrary to the principles of competition. The principle of competition is being violated by the Commission in order to provide a sense of fairness for small businesses is the principle of non-discrimination. In this case the Commission’s Decision to give privileges to small businesses and provide discrimination to large businesses (PT.CI). Thus the decision 02 / KPPU-L / 2005 meets the principles of fairness in the inequality/ imbalances (al-’adalah al-tafâwut) by Sayyid Qutb.65 Principles of non-discrimination is a general principle in competition law, but in terms of the imbalance between large enterprises and small businesses, the principles of fairness should be based on fairness for businesses from the weaker position. Application of the terms of trade is in contrary with the principles of Islamic law that principle ta’alluq market i.e. conditional agreement.Principles of Islamic economic laws every business is free to determinethe transaction or agreement. Agreement with the requirements if the seller is not allowed to hold on to the condition because the agreement has the same sort of agreement with coercion and contains gharar (not clear), because a person may conduct a business transaction if agreed to do something.In the matters relating

Listing fee is a fee for registration of new products into existing systems and to programs on the computer(bar code)as well as for the cost of rearrange products that already exists. 65 Quthb, al-‘Adalah al-Ijtimaiyyah, p. 36. 64

144


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

to the terms of the sale and purchase that requires unequal conditions favorable to one party only.66

Conclusion Fair market built on the paradigm that the market not only as a business institution, but also religious and social institutions are based on brotherhood (ukhuwwah) and helping each other (ta’awun).The principle of brotherhood and mutual help necessitates every business to mutual respect, mutual responsibility and not feel self-satisfied look of success while others marginalized. Based on the principles of fraternity and the nature of ownership, the market as a place of economic activity that is needed by all people should become public property(almilkiyyah al-’ammah) where everyone can access the market without being hindered. Human equality to market access raises independence and responsibility for doing good (ihsan) to other businesses in the form of mutual cooperation between the guard and mutual businesses. In the context of the market in Indonesia, to achieve market fairness, it is necessary to optimize the concept of ownership of the market as a form of public ownership (al-milkiyah al-ammah) in a market regulation.The concept of common ownership market as intended to prevent the market is not only businesses which is owned by certain business (strong) and marginalize small businesses and thus creating a society that is not harmonious. Market regulation should restrict ownership only market owned and managed by the state. One form of legal entity offer is a legal entity of waqf market as an instrument of Islamic law that is common ownership in nature. Market fairness system can be realized by strengthening the cooperation between the traditional and the modern market with the principle of sharing, have a model of cooperation, the distribution of products as well as other forms are based on the principle of balance between the parties. The principle of cooperation and the results also prevent the occurrence of adverse cooperation of the parties as to carry out the terms of trade (trading terms) which harm small business.

References Abî Shaybah, Abû Bakr ‘Abd Allâh bin Muhammad. Al-Kitab al-Musannif fi al-Ahadis wa al-Athar, Juz. IV. t.t, 1409/1989. Al-Dâr al-Mukhtâr & Ibn Abî Dîn in Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Amin Adh-Dhahîr. Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo and Fauziah. Jakarta: Visi Insani Publish in 2005. H.A. Jazuli, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, p. 33.

66

145


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Al-Samhudi, Nûr al-Dîn Abû Hasan.” Wafa’ al-Wafa’ bi-Akhbar Dâr al-Mustafa,” in Cengiz Kallek, Madinah Market, Encyclopaedia Islamic Economics, Principles, Definition and Methodology, Vol. I. London: FIF, t.p., 2009. Al-Sadr, Muhammad Baqir Ash. Parent Book of Islamic Economic. Jakarta: Zahra, 2008. Al-Zuhaili, Muhammad Musthafa. Al-Qâ‘idah al-Fiqhiyyah wa Tathbiqiha fi al-Mâzahib al-Arba‘ah. Juz I. Dimsyiq: Dâr al-Fikr, 2006. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Tazkia Institut, 1999. Al-Syaukani, Muhammad ‘Ali. Nail al-Author. Egypt: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t. Bonine, Michael E. Islam and Commerce: Waqf and the Bazaar of Yazd, Iran (Islamic und Handel: Waqf und der Bazar von Yazd, Iran). Erdkunde, Bd.41, H. 3 September. 1987. Behechti & Bahonar. Philosophy of Islam. Iran: Ansyariyan Publication, 1990. Chapra, M. Umar. Islam and Economics Development. New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007 Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Esposito, John L. “the Islamic Threat: Myth or Reality?,” in Zafar Iqbal and Mervyn K. Lewis, An Islamic Perspective on Government. UK: Edward Elgar Publishing, Inc, 2009. Fazlurrahman. Islam and Modernity, Trasformation of Intelectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Hasan, Abdul Halim, et al. Tafsir al-Qur’an Karim. Medan: Firma Islamiyah, 1957. Hatamlah, Muhammed Abdah. the Andalusia Economic Era Encyclopaedia Islamic Economics, Principles, Definition and Methodology, Vol. I. London: FIF, 2009. Hoetoro, Arief. Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Surabaya: Bayumedia & BPFE Unibraw, 2007. Islahi, Abdul Azim. Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah, terj. Anshari Thayib, Surabaya Bina Ilmu, 1997. Imani, Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2004 Islahi, Abdul Azhim. Economic Concept of Ibn Taymiyah. Leicester UK: The Islamic Foundation, 1998. Ibn Shabbah, Abu Zayd ‘Umar Ibn Shabbah. Tarîkh al-Madînah al-Munawwarah, Juz II. Jeddah, 1979. Jazuli, H.A. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam. Bandung: Kiblat Press, 2002. Khan, M. Fahin. Essay in Islamic Economic. United Kingdom: the Islamic Foundation, 1995. Kamali, Mohammad Hashim. “Tafsir (Price Control) in Islamic Law,” the paper was prepared for Colloquim Entitled” The Bazaar in the culture and civilization of the world of Islam, which was to been held in Tabriz, Iran. 146


Mustapa Khamal Rokan: Market Fairness in Islamic Economics Law and Ethics

Kister, M. J. “The Market of Prophet,” Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 8, No. 3, 275, (Dec., 1965). Kupita, Wede and Rahadi Wasi Bintoro. Zoning Policy Implementation Traditional Market and Modern Market (Studies in Purbalingga). Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodrenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987. Maududi, Sayyid Abul A’la. First Principles of Islamic Economics, transl. Ahmad Imâm Shafaq Hashemi. UK: Islamic Foundation, (2011 M/1432 H). Al-Mawardi. “Al-‘Adalah Concept in Islamic Economic Perspectives,” in Journal of Islamic Law: Vol.VII, No. 5, July, 2007. Nuruddin, Amiur. Keadilan dalam al-Qur’an. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2008. Private Do not Go, Kompas, Monday, April 28, 2014. Quthb, Sayyid. al-‘Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islâm. Egypt: Dâr al-Syuruq. 1979 M. Rahman, Justice S. A. The Majelle. Lahore: Law Publishing Company, 1980. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Ridwan. Negara dan Rakyat: Konsep Kepemilikan Tanah menurut Hukum Islam. Jakarta: Training and Development Agency and the Ministry of Religious Affairs, 2010. Ross, Stephen F. Principles of Antitrust Law. Wetbury, New York: The Foundation Press, Inc. 1993. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Silalahi, M. Udin. “Persaingan Di Industri Ritel Ditinjau Dari Aspek Hukum Persaingan Usaha,” dalam Jurnal Hukum Bisnis, 2008. Simon, Robert. Meccan Trade and Islam (Problem of Origin and Structure, transl. Feodora Sos. Hungaria: Akademia Kiado, Budapest, 1989. The Commission’s Decision 02/KPPU-L/2005. The Trade Ministery Regulation No. 53 Year 2008. Watt, W. Montgomery. Pergolakan Politik Islam, terj. Hamid Fahmi Zarkasyi. Jakarta: Beunebi Cipta, 1987. Hasan, Zulkifli. “Islamic Perspectives on the Competition Law and Policy,” in files.wordpress. com/2008/.../Islam-and-competition-policy,

147


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK Sehat Sultoni Dalimunthe Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Jl. Cempaka No. 1 Lhokseumawe, 40327 e-mail: lanawalakum@yahoo.co.id

Abstrak: Akhlak merupakan topik penting dalam pendidikan Islam. Topik ini banyak dibahas oleh para pemikir Muslim. Perbedaan sistem pendidikan Islam dari sistem pendidikan Barat yang paling penting adalah dalam persoalan iman dan kesalehan, sebagai tujuan yang fundamental. Barat telah gagal menunjukkan kehadiran seperangkat nilai moral, sebagai salah satu tujuan yang harus dicapai. Tulisan ini mencoba menemukan tiga tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif al-Qur’an. Analisis ini akan mewujudkan bahwa al-Qur’an itu sebagai petunjuk untuk semua pengetahuan. Dalam pandangan al-Qur’an, ada tiga tujuan pendidikan akhlak, yaitu untuk mewujudkan rasa kasih sayang antar manusia, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, dan terakhir untuk mencapai rasa syukur kepada Allah. Ketiga tujuan ini hendaknya dapat diimplementasikan dalam semua jenjang pendidikan sekolah, dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke Universitas. Abstract: Qur’anic Perspective on Moral Education. The issue of akhlâq, plays an important topic in the Islamic education, because it is the dominant aims of Islamic education in the view of Muslim thinkers. The distinguishesthe Islamic system education from the modern Western system is the importence it attaches to faith and piety as one of its fundamental aims. The West fails to indicate how in the absence of a set of moral value (akhlâq), either of those aims can be realized.This article is aimed at exploring some aims of akhlâq education in the view of al-Qur’an. This analysis will embody the al-Qur’an as the guidance of knowledges. In the view of al-Qur’an, they are three aims of akhlak education, namely: to produce the love sense amang the human being, to produce the happy in the live and here after, and the last to produce syukur sense to god Allah. These three aims should be implemented at the school from the Kindergaten through to the University level.

Kata Kunci: karakter, pendidikan akhlak, al-Qur’an, tafsir

148


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

Pendahuluan Tujuan pendidikan akhlak tidak bisa terlepas dari tujuan pendidikan Islam. Kemudian tujuan pendidikan Islam dan tujuan pendidikan akhlak harus bisa dirujuk pada al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu yang bisa menjelaskan segala sesuatu. 1 Jika diperhatikan pendapat para ahli pendidikan Islam, maka akan ditemukan beragam pendapat mereka tentang tujuan pendidikan Islam. Pendapat yang paling dominan tujuannya adalah akhlak. Al-Abrâsyî mengatakan, “al-wushûlu ilâ al-khuluqi al-kâmil huwa al-ghardhu al-haqîqî min al-tarbiyah:2 Menuju akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari pendidikan”. Muhammad Munîr Mursyî menyebut, “…ahammu ahdâf al-tarbiyah alIslâmiyyah huwa bulûgh al-kamâli al-insânî:3 …Tujuan terpenting dari pendidikan Islam adalah mencapai kesempurnaan manusia.” Menurut al-Abrâsyî, al-Ghazâlî berpendapat “al-taqarrub ilâ Allâh: Mendekatkan diri kepada Allah.”4 Sedangkan M. Naquib al-Attas menyebut, “the aim of education in Islam is to produce a good man: tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik.”5 Manusia yang baik itu diartikan oleh al-Attas dengan manusia yang beradab.6 Pendapat ini tidak berbeda dengan tiga pendapat sebelumnya dan bisa disimpulkan berkenaan dengan akhlak. Lantas, apa tujuan pendidikan akhlak itu? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Beberapa Istilah Penting Akhlak, etika, adab, moral, sopan-santun, dan juga karakter boleh jadi dipahami sama, tetapi didalami, istilah-istilah itu memiliki penekanan-penekanan tertentu. Istilah etika lebih awal dibicarakan. Istilah ini telah ada sejak peradaban Yunani. Filosof Yunani Kuno, Sokrates, Plato, dan Aristoteles sama-sama membicarakan etika.7 Etika bagi mereka berbicara tentang baik dan buruk. Etika dalam bahasa Arab disebut âdâb. Arti adab ini berkembang seiring dengan evolusi Q.S. al-Nahl/16: 89. Muhammad ‘Atiyah al-Abrâsyî, al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa falâsifatuhâ, cet. 2 (Mesir: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 22; M. ‘Atiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S., cet. 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 10. 3 Muhammad Munîr Mursyî, al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Ushûluhâ wa Tatawwuruhâ fi alBilâd al-‘Arabiyah (Kairo: ‘Âlam al-Kutb, 1977), h. 18. 4 Al-Abrâsyî, al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa falâsifatuhâ, h. 22. 5 M. Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h. 1. 6 Ibid. 7 Inti dari etika Sokrates adalah budi. Budi adalah tahu. Dengan pengetahuan, manusia akan menjadi baik. Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Cet. 3 (Jakarta: UIP dan Tintamas, 1986), h. 83. 1 2

149


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 kultural bangsa Arab dan tidak pernah memiliki arti yang baku.8 Dalam perkembangannya kata âdâb dalam pendidikan bermakna dua, yaitu pendidikan anak-anak, sehingga gurunya disebut mu’addib dan yang kedua pedidikan untuk orang dewasa yang bermakna aturan tingkah laku praktis yang dipandang menentukan kesempurnaan kualitas proses pendidikan.9 Moral adalah seperangkat konsep antara pikiran (mind) dan kegiatan (activity). Teori moral digunakan untuk menyesuaikan dan idealitas dari suatu perbuatan.10 Sementara melakukan moral berdasarkan motif yang tulus itu adalah akhlak.11 Akhlak secara istilahi, kumpulan keunggulan seseorang yang dilakukan secara terus-menerus. 12 Sedangkan karakter menurut al-Syarîfî adalah syakhiyah.13 Kata ini sering diterjemahkan “kepribadian”. Lebih lanjut, al-Syarîfî mengatakan bahwa ulama tidak mengistimewakan istilah karakter karena ada konsep akhlak.14 Di sini al-Syarîfî berpendapat bahwa ulama menyamakan karakter dengan akhlak. Secara bahasa juga akhlak berarti kepribadian. Berdasarkan uraian pengertian di atas, karakter ada yang menyamakannya dengan akhlak, kepribadian, watak bawaan, dan juga sifat khusus. Karakter dan akhlak samasama sifat baik yang dilakukan secara terus-menerus. Pengertian terus-menerus tidak selalu baik, tetapi pluktuatif, hanya saja kecenderungannya konsisten yang memiliki peluang kecil untuk “melanggar kontinuitas yang baik” itu. Kemudian ada yang berpendapat bahwa karakter itu ada yang baik dan ada yang buruk seperti halnya akhlak ada yang mengklasifikasikannya pada baik dan buruk. Obyek kajian karakter tidak hanya manusia, termasuk juga hewan, benda, lingkungan dan keadaan, sementara obyek kajian akhlak secara ontologis hanya berhubungan dengan manusia. Zaqzûq mendefinisikan akhlak, ilmu yang menjelaskan kehidupan yang berhubungan dengan perilaku (al-akhlâqiyyah), membantu untuk mengetahui tujuan akhir dari hidup, menjelaskan standar hukum perilaku dalam perbuatan. Secara singkat katanya yang menjelaskan tentang baik dan buruk, memberi gambaran perilaku yang baik untuk dicontoh.15 Ahmad Amîn juga kurang lebih mendefinisikan akhlak sebagai perbuatan baik dan buruk (al-khair wa al-syarr) dan gambaran perilaku yang bisa dicontoh oleh manusia untuk bergaul.16 Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 1. Ibid., h. 2. 10 Robert S. Brumbaugh dan Nathaniel M. Laurence, Six Essays on the Foundations of Western Thought (Boston: Houghton Mifflein Company, 1963), h. 346. 11 Ibid., h. 347. 12 Muhammad ‘Âlî al-Khauli, Qâmûs al-tarbiyah (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyin, 1981), h. 61. 13 Muhammad Syauqî Sa‘id al-Syarîfî, Mu’jam Mushthalahâti al-‘Ulûm al-Tarbawiyah (t.t.p.: Maktabah Abikân, t.t.), h. 33. 14 Ibid. 15 Mahmûd Hamdî Zaqzûq, Muqaddimah fî ‘Ilmi al-Akhlâq (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1983), h. 17-18. 16 Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq (Kairo: Dâr al-Kutb al-Mishriyah, 1931), h. 2. 8 9

150


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

Imân ‘Abd al-Mu’min Sa‘d al-Dîn menyebutkan secara bahasa, akhlak itu adalah tabiat dan kebiasaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, akhlak (al-khulq) kebaikan lahir dan batin (husn al-zhâhir wa al-bâthin).17 Dari uraian Zaqzûq, Ahmad Amîn, dan Sa‘d al-Dîn dapat dipahami akhlak itu sendiri bisa disebut perbuatan baik dan buruk. Akhlak yang baik itu sebagai panduan untuk bisa dicontoh oleh manusia. Secara spesifik, akhlak itu perbuatan baik, lahir dan batin.

Tujuan Pendidikan Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an Al-Qur’an tidak menyebut kata al-akhlâq, melainkan kata al-khulq. Kata ini disebut dua kali, pertama dalam makna akhlak yang sesungguhnya dalam Q.S. Qalam/68: 4. Sementara satu kali lagi disebut dalam Q.S. al-Syu’ara/26: 137 dalam pengertian adat istiadat.18 Tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif al-Qur’an dapat ditelusuri dari kata perintah bertakwa “ittaqû” yang diikuti oleh kata la‘allakum, karena takwa merangkum semua unsur akhlak mulia dan la‘allakum sebagai kunci untuk memaknai tujuannya. Berdasarkan kata kunci penelusuran di atas, didapatkan bahwa tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif al-Qur’an ada tiga. Pertama, berkasih sayang antar sesama manusia. Kedua, mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga, bersyukur kepada Allah. Kasih sayang itu tingkatannya objective (tujuan jangka pendek), kebahagiaan itu goals (tujuan menengah), sedangkan syukur itu aims (tujuan akhir).

Berkasih Sayang Antar Sesama Manusia Konsep kasih sayang ini dibangun dari kata perintah takwa yang diikuti kalimat “la‘allakum turhamûn” yang disebut empat kali di dalam al-Qur’an, yaitu Q.S. al-An‘âm/ 6: 155, Q.S. al-A‘râf/7: 63, Q.S. Yâsîn/36: 45, dan Q.S. al-Hujurât/49: 10. Sedangkan kalimat yang diakhiri dengan kata “la‘allakum turhamûn”, yang tidak diawali dengan perintah takwa disebut delapan kali di dalam al-Qur’an. Empat ayat sebagaimana yang disebut di atas, empat ayat lainnya terdapat dalam Q.S. Âli ‘Imrân/3: 132, Q.S. al-A‘râf/7: 204, Q.S. al-Nûr/24: 56, dan Q.S. al-Naml/27: 46.

Nabi Pemberi Peringatan, Takwa, dan Rahmat Q.S. al-A’râf/7: 63 bicara tentang kenabian Muhammad Saw. dari golongan Arab. Imân Abd al-Mu’min Sa‘d al-Dîn, al-Akhlâqfî al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Rusy, 2002), h. 24-25. 18 Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, terj. Bahrun Abubakar, et al., Jilid XIX, Cet. @ (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 164. 17

151


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Muhammad Saw. membawa reformasi moral bagi orang-orang Arab secara khusus dan untuk umat manusia secara umum. Sebelum kenabian Muhammd Saw., di Arab terdapat budaya jahiliyah yang merendahkan kasih sayang sesama manusia. Di antaranya, bagi mereka wanita “tidak ada harganya”. Untuk itu, membunuh wanita hidup-hidup 19 itu sebagai warisan jahiliyah yang direformasi oleh Islam. Menurut Muhammad ‘Abduh, ada beberapa cara orang Arab Jahiliyah merendahkan martabat perempuan. Pertama, dipekerjakan hanya untuk menggembala unta. Kedua, dibiarkan hidup sampai umur enam tahun dan kemudian dikubur hidup-hidup.20 Ketiga, waktu kelahiran, jika bayinya berjenis kelamin perempuan, maka langsung dimasukkan dalam lubang dan dikubur hidup-hidup.21 Apa yang dijelaskan Muhammad ‘Abduh tentang tafsir ayat di atas, satu kesimpulan yang tidak bisa ditolak, bahwa hilangnya kasih sayang terhadap anak wanita bagi orangorang Arab Jahiliyah. Orangtua sendiri tidak merasa iba memperlakukan perbuatan yang keji terhadap anak kandungnya sendiri. Untuk itu, Nabi Muhammad Saw. membawa ajaran Islam untuk memperbaiki moral dan memelihara dan mengembangkan kasih sayang antar sesama manusia. Islam mengangkat derajat wanita secara revolusioner dari yang hina, tidak berharga menjadi manusia yang sejajar dengan laki-laki. Ukuran nilai menurut Islam, ternyata bukan apa jenis kelaminnya, tetapi dilihat dari derajat takwanya kepada Allah.22 Secara sosiologis juga dapat dilihat kedudukan wanita yang mendapatkan harta warisan setengah dari bagian laki-laki dalam Islam.23 Ini juga merupakan revolusi sosial dalam peradaban dunia. Islam merubah kebencian menjadi kasih sayang. Dalam perjalanan hidup manusia pernah juga semua bayi tidak dibolehkan hidup, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu pada pada zaman Raja Namrud. Akibat peraturan biadab itu, akhirnya Nabi Ibrahim as. terpaksa diasingkan oleh ibunya sampai berumur remaja. Sejarah buruk terhadap kehormatan manusia juga terjadi pada masa Nabi Musa a.s. dalam kandungan, di mana Fir‘aun juga mengeluarkan peraturan untuk membunuh semua bayi laki-laki yang lahir. Kedua peraturan raja yang zalim itu dimotivasi oleh ambisi kekuasaan yang berlebihan. Pada Q.S. Yâsîn/36: 45 kembali disebutkan bahwa takwa sebagai sarana untuk mendapatkan rahmat kasih sayang. Sayyid Qutb ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa rasa takut atau takwa untuk berbuat dosa akan menghindari marah dan siksa Allah.24 Baca Q.S. al-Takwîr/81: 8. Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Haidar Bagir, Cet. 5 (Bandung: Mizan, 1999),

19 20

h. 52. Ibid. Q.S. al-Hujarât/49: 13. 23 Q.S. an-Nisâ’/4: 11. 24 Sayyid Quthb Ibrâhîm, Tafsîrfî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid V (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t.), h. 2970. 21

22

152


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

Q.S. al-An‘âm/6: 155 disebutkan bahwa al-Qur’an kalau diikuti, maka akan melahirkan takwa. Ketakwaan itu juga akan melahirkan kasih sayang antar sesama manusia. Tidak ada pesan dari ayat al-Qur’an yang tidak mendukung kasih sayang, sekalipun dalam siksa dan azab.

Mendengar dan Menyimak Bacaan al-Qur’an Mendatangkan Kasih Sayang Q.S. al-A‘râf/7: 204 bicara tentang adab ketika mendengar ayat al-Qur’an dibacakan. Sebab turun ayat ini menurut suatu riwayat, pada salat berjamaah dengan nabi, makmum menyaringkan bacaannya. Ayat ini menyuruh agar mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam. Riwayat lain mengatakan bahwa pada saat salat, ada orang yang bercakapcakap. Ayat ini larangan untuk berbicara ketika dibacakan al-Qur’an. Riwayat lainnya juga mengatakan bahwa ada makmum yang mengikuti bacaan Rasulullah ketika salat berjamaah. Ayat ini larangan mengganggu orang yang sedang membaca al-Qur’an. 25 Menurut Ibn Katsîr, ketika al-Qur’an dibacakan, maka hendaknya yang lain dapat menyimaknya, karena ia berupa hidayah dan rahmat. Selain itu juga sebagai penghormatan terhadap al-Qur’an sebagai hidayah dan rahmat.26 Ayat ini sekaligus menyangkal upaya orang-orang kafir yang melarang kaumnya untuk mendengarkan al-Qur’an dan usaha mereka untuk menandinginya.27 Kata rahmat di akhir ayat ini sesuai dengan ayat sebelumnya yang mengatakan secara jelas bahwa al-Qur’an itu selain sebagai hidayah juga sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. 28 Pada ayat lain disebut rahmat bagi orang-orang Islam.29 Untuk itu menyimak dengan serius dan memperhatikan al-Qur’an dapat membawa rahmat bagi manusia, termasuk rahmat dalam berkasih sayang antara manusia. Menurut al-Biqâ‘î, rahmat kasih dan sayang adalah harapan dari yang menyayangi terhadap yang disayangi.30

Anomali Kasih Sayang Q.S. al-Naml/27: 46 bicara tentang kaum Tsamûd yang meminta disegerakan siksa sebagai tantangan atas tidak percayanya mereka terhadap kenabian saleh as. Karena mereka itu tidak tunduk dan patuh pada aturan Allah, maka mereka itu dihancurkan oleh

H.A.A. Dahlan, et al. (ed.), Asbabun Nuzul, Cet. II (Bandung: Diponegoro, 2000), h. 231-232. 26 Ismâ‘îl ibnu Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Jilid VI (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turâts, 2000), h. 498. 27 Baca Q.S. Fushshilat/41: 26. 28 Baca Q.S. Al -A‘râf/7: 203. 29 Q.S. al-Nahl/16: 89. 30 Burân al-Dîn Abî al-Husain Ibrâhîm ‘Umar al-Biqâ‘’î, Nazhmu al-Durar fî Tanâsub alAyât wa as-Suwar (Kairo: Dâr al-Kitab al-Islâmî, t.t.), Jilid VIII, h. 209. 25

153


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Allah sehingga keturunannya tidak ada yang tersisa 31 Bangsa ini dihancurkan dengan cara Allah mendatangkan angin topan yang sedahsyat-dahsyatnya. 32 Orang yang banyak istighfâr idealnya orang yang banyak berbuat dosa, tetapi kenyataannya dapat kita saksikan bahwa orang yang diduga tidak banyak dosanya lah yang lebih banyak ber-istighfâr kepada Allah. Dengan istighfâr kepada Allah, diharapkan bertambah dekat dengan Allah. Dengan dekat kepada Allah, maka rahmatnya pun akan didapat. Dapat disimpulkan bahwa istihgfâr dapat merajut kasih sayang.

Ketakwaan yang Nyata Melahirkan Kasih Sayang Q.S. Âli ‘Imrân/3: 132 bicara tentang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Rasyîd Ridhâ mengatakan bahwa orang-orang yang berkasih sayang kepada orang lain akan dikasih sayangi oleh Allah.33 Ibn Katsîr, menafsirkan ayat ini dengan menghubungkannya dengan ayat berikutnya, yaitu Q.S. Âli ‘Imrân/3:132. Artinya untuk menghindari api neraka atau takut terhadap api neraka dengan cara taat kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan cara demikian, akan mendapat rahmat dari Allah. 34 Ketika menafsirkan Q.S. al-Nûr/24: 56, al-Marâgî mengatakan, “dirikan salat dengan benar sesuai dengan aturan dan tunaikan zakat”. Kewajiban mengeluarkan zakat itu mengandung nilai kebaikan terhadap fakir miskin. Mereka itu orang yang susah dan membutuhkan kasih sayang orang-orang berzakat.35 Shalat dan zakat adalah bukti nyata dari takwa. Takwa sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Kata salat di dalam al-Qur’an 64 kali, tidak selamanya diikuti kata zakat. Sebaliknya kata zakat selalu didahului oleh penyebutan kata salat.36 Kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kesalehan sosial harus satu paket dengan kesalehan individual.Tidak tepat ada orang yang dermawan, tetapi tidak taat mendirikan ibadah salat. Tidak tepat ada orang yang perduli terhadap tetangganya, tetapi tidak berpuasa di bulan Ramadan. Sayyid Qutb ketika menafsirkan Q.S. al-Nûr/24: 56 menyebutkan bahwa cara berkomunikasi dengan Allah, mendirikan salat untuk menguatkan hati. Dengan menunaikan zakat, jiwa disucikan, mentaati dan meridai rasul-Nya, melaksanakan perintah Allah, Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Muhammad Bagir, Cet. 5 (Bandung: Mizan, 1999), h. 157. 32 Bey Arifin, Rangkaian Cerita Dalam Al-Quran, Cet. 12 (Bandung: al-Ma’arif, 1988), h. 56. 33 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, Cet. 2 (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 132. 34 Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Jilid III (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li at-Turâts, 2000), h. 183. 35 Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid XVIII (Mesir: Mushthafâ al-Bâb al-Halabî, 1946), h. 128. 36 Penyebutkan kata shalat yang tidak menyebutkan kata zakat setelahnya, di antaranya ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah/2: 238 dan Q.S. al-Nisâ’/4: 101. 31

154


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

baik yang kecil maupun yang besar. Semua ini akan membawa rahmat baik di dunia maupun di akhirat. Rahmat di dunia terhindar dari kerusakan, ketakutan, dan kekhawatiran, dan kesesatan. Sedangkan rahmat di akhirat terhindar dari amarah dan azabNya. 37

Kepedulian Sosial dan Kasih Sayang Q.S. al-Hujurât/49:10 bicara tentang persaudaraan, maka jika ada yang berselisih, hendaknya didamaikan. Hubungan kasih sayang, bukan saja dilakukan untuk keluarga, sahabat, dan tetangga saja, tetapi kasih sayang juga harus dilakukan terhadap musuh dalam perang. Sayyid Qutb ketika menafsirkan Q.S. al-Hujurât/49: 10, mengatakan bahwa terhadap tawanan perang jangan sampai dibunuh, jangan juga merampas harta mereka, karena tujuan perang bukanlah menghukum para musuh, tetapi mengembalikan mereka pada kebenaran dan mengumpulkan mereka dalam bendera persaudaraan. 38 Tidak ditemukan konsep membenci manusia dalam al-Qur’an. Ada konsep al-syiddâ’ (tegas: keras) terhadap orang-orang kafir dan bukanlah maknanya membenci.39 Ada juga konsep perang (qâtilû), bukan konsep membenci. Terhadap setan, Allah hanya menyebut “lâ tattabi‘û: jangan kamu ikuti”40 Kebencian di dalam al-Qur’an dihubungkan dengan perbuatan bukan terhadap pelakunya. Untuk itu, semua perbuatan buruk harus dibenci. 41 Artinya, mereka pelaku kesalahan itu tetap diperlakukan sebagai hamba Allah yang mendapat kasih sayang, tanpa harus menghapuskan sanksi hukumnya. Hukum pidana qishâsh bisa berubah menjadi hukum perdata, jika ahli waris yang dibunuh dapat memaafkannya. Perubahan hukum pidana menjadi hukum perdata ditentukan oleh manusia, yaitu ahli waris yang dibunuh. Itu sebagai bukti lain dari kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.42

Mencapai Kebahagiaan Dunia dan Akhirat Konsep ini dibangun dari kalimat, “la‘allakum tuflihûn” yang didahului oleh kata Sayyid Quthb Ibrâhîm, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid IV (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t.), h. 2530. Sayyid Quthb Ibrâhîm, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid VI (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t.), h. 3343. 39 Q.S. al-Fath/48: 29. 40 Syaitan itu sebagai musuh yang nyata “‘aduwun mubîn” disebutkan tujuh kali dalam al-Qur’an dan tiga kali diawali dengan kalimat, “lâ tattabi‘û: jangan ikuti”. Baca Q.S. al-Baqarah/ 2: 168, 208, Q.S. al–An‘âm/6: 142, Q.S. al-A‘râf/7: 22, Q.S. Yûsuf/12: 5, dan Q.S. Yâsin/36: 60. 41 Baca Q.S. al–Anfâl/8: 8, dan Q.S. al-Taubah/9: 32, 33. Dalam Q.S. al-Taubah/9: 46 disebutkan bahwa Allah membenci (kariha) orang-orang munafik yang minta izin kepada Rasulullah Saw. tidak ikut ke medan perang. Jika mereka ikut ke medan perang justru Allah membenci karena sifat kemunafikan mereka. Di sini juga membenci kemunafikan. 42 Baca Q.S. al-Baqarah/2: 178 37 38

155


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 perintah untuk bertakwa. Karena menurut al-Ashfahânî, makna al-falâh itu salah satunya kebahagiaan di dunia.43 Ayat al-Qur’an yang memuat kata perintah takwa yang diikuti oleh kalimat “la‘allakum tuflihûn” terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2: 189, Âli ‘Imrân/3: 130,200, dan Q.S. al-Mâ’idah/5: 35,100. Sementara kata “la‘allakum tuflihûn” yang tidak diawali dengan kata perintah takwa ada pada Q.S. al-Mâ’idah/5: 90, Q.S. al–A‘râf/7: 69, Q.S. al– Anfâl/8: 45, Q.S. al-Hajj/22: 77, Q.S. al–Nûr/24: 31, dan Q.S. al-Jumu‘ah/62: 10.

Mengingat Karunia Allah dan Bahagia Q.S. al-A‘râf/7: 69, Q.S. al–Anfâl/8: 45, dan Q.S. al-Jumu‘ah/62: 10 meng-hubungkan kata dzikir dengan kebahagiaan. Dengan mengingat dan menyebut nama-nama Allah, hati akan berbahagia. Q.S. al-A‘râf/7: 69 berbicara tentang kaum ‘Âd, umat Nabi Hûd as. yang dianugerahi oleh Allah berupa badan-badan yang tinggi lagi kuat. Kelak, mereka itu durhaka dengan nikmat Allah tersebut. Karena kedurhakaan mereka, kaum ini dihancurkan oleh Allah, sehingga tidak ada yang tertinggal keturunannya satu pun. Tidak mengingat dan mensyukuri nikmat Allah menurut Rasyîd Ridhâ akan menghalangi manusia untuk dapat bertemu dengan-Nya di akhirat. 44 Puncak kebahagiaan manusia menurut Islam adalah bertemu dengan Allah di akhirat. Bertemu dengan Allah merupakan kebahagiaan dan itu hanya memungkinkan di akhirat. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis, “puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang memberi ganjarannya, ia (yang puasa) meninggalkan syahwatnya, makan, dan minumnya karenaKu. Puasa itu adalah perisai. Bagi yang puasa dua kebahagiaan, kebahagiaan yang pertama sewaktu berbuka dan kebahagian yang kedua ketika bertemu Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah dari harumnya minyak kesturi.45 Al-Qur’an menyebutkan jiwa atau ruh yang tenang sebagai kebahagiaan yang bernilai tinggi, sehingga dengannya dapat “ber-mi‘râj” ke hadirat Allah Sw. Kemudian jiwa atau ruh yang tenang itu juga yang akan masuk surga.46 Q.S. al–Anfâl/8: 45 bicara tentang perang. Dalam perang itu yang diharapkan adalah kemenangan. Untuk mendapatkan kemenangan, ayat ini menyebutkan hendaknya berzikir dan berdo’a kepada Allah. Zikir dan do’a adalah alat penyambung dan pengikat hubungan dengan Allah Swt. Yang Maha Kuasa. Dengan mengingat Allah, maka Dia pun akan mengingat hambaNya.47 Ayat di atas kembali menguatkan bahwa mengingat Allah dapat membahagiakan hati manusia. Ketika kekasih mengingat kekasihnya, itu merupakan kebahagiaan, apalagi Al-Râgib al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), h. 385. Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VIII, Cet. 2 (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 499. 45 Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid VIII (Semarang: Toha Putra, t.t.), h. 197. 46 Q.S. al-Fajr/89: 27-30. 47 Q.S. al-Baqarah/2: 152. 43

44

156


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

sang kekasih menyebut-nyebut kekasihnya. Terlebih lagi kekasih itu Yang Memiliki Segala Sesuatu, termasuk pemilik segala kekuasaan. Sebagai analogi, jika presiden sang pemilik “kekuasaan” dalam suatu negara menyebut-nyebut dalam pengertian memuji rakyatnya, tentulah rakyat yang dipuji itu berbahagia. Itu baru presiden, yang memiliki “kekuasaan” dalam suatu negara, bagaimana yang mengingat atau yang memuji itu Allah Yang Berkuasa atas semua langit dan bumi? Semestinya lebih membahagiakan lagi. Menurut Rasyîd Ridhâ mengingat Allah yang dapat balasan dari-Nya adalah zikir dengan hati.48 Mengucapkan dan mengingat sesuatu yang berasal dari hati jauh lebih dalam maknanya dengan mengucapkan dan mengingat sesuatu yang berasal dari akal. Hal itu dapat dipahami bahwa yang berasal dari hati melahirkan pengetahuan ‘irfânî, sementara yang berasal dari akal melahirkan pengetahuan yang logis atau rasional.

Bulan Sabit Sinyal Kebahagiaan Q.S. al-Baqarah/2:189 bicara tentang bulan sabit dan hubungannya dengan haji dan Ka’bah. Rasyîd Ridhâ menyebutkan munâsabah Q.S. al-Baqarah/2: 189 yang menyebutkan persoalan ibadah haji dengan ayat sebelumnya Q.S. al-Baqarah/2: 188 yang berbicara tentang hukum harta, karena ibadah haji yang disyariatkan pada waktu tertentu membutuhkan dukungan finansial.49 Ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah/2: 189, Ibn Katsîrmenyebutkan hilal sebagai tanda menentukan waktu puasa, idul fitri, dan haji. Selain itu juga menentukan masa ‘iddah kaum wanita, juga waktu transaksi utang-piutang saat itu.50 Rasyîd Ridhâ menyebutkan bahwa hilal metode yang sangat mudah dalam menentukan waktu bagi setiap orang, baik buat orang awam apalagi orang pintar atau buat orang Badui, apalagi orang yang beradab.51 Al-Marâgî menambahkan bahwa hilal juga sebagai tanda-tanda dalam menentukan untuk melakukan cocok tanam, berdagang, kontrak dagang. Membaca tanda-tanda hilal ini jauh lebih mudah bagi orang awam dibandingkan membaca waktu dengan matahari (syamsiyah).52 Di akhir ayat tersebut disebutkan bertakwa kepada Allah agar manusia mencapai alfalâh, sehingga sampai menuju cita-cita mereka.53 Sayyid Quthb menyebut takwa sebagai pengikat hati dengan iman dan hakikat takwa ini diharapkan dapat diikat oleh al-falâh.54

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, Cet. 2 (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 31. 49 Ibid., h. 201. 50 Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Jilid II (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turâts, 2000), h. 211. 51 Ibid., h. 202. 52 Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid II (Mesir: Mushthafâ al-Bâb alHalabî, 1946), h. 84. 53 Ibid., h. 87. 54 Sayyid Quthb Ibrâhîm, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid I (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t.), h. 184. 48

157


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Dapat disimpulkan bahwa tujuan bertakwa kepada Allah adalah al-falâh. Al-Ashfahânî dalamal-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân menyebut bahwa al-falâh ada yang bersifat duniawi dan ada yang bersifat ukhrawi.55 Yang bersifat duniawi itu keberuntungan dengan wujud kebahagiaan (al-sa‘âdah).Kebahagiaan yang dimaksud seperti kekayaan dan kemuliaan. Sedangkan yang bersifat ukhrawi itu ada empat,yaitu kekekalan tanpa kehancuran, kekayaan tanpa kemiskinan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa kejahilan. 56

Meninggalkan Larangan Allah dan Kebahagiaan Q.S. Âli ‘Imrân/3: 130 bicara tentang keharaman riba dan Q.S. al-Mâ’idah/5: 90 bicara tentang keharaman khamr. Ketika suatu larangan ditinggalkan, maka akan melahirkan ketenangan dan ketenangan itu yang akan melahirkan kebahagiaan. Riba yang pada umumnya berhubungan dengan jual-beli, langsung berhubungan dengan keuntungan dalam makna al-falâh.Untuk itu, tujuan takwa dalam ayat ini adalah al-falâh. Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr al-Manâr menyebut bahwa baik dalam jihad perang Badar dan persoalan riba dalam ayat ini berhubungan dengan targhîb-tahdzîr (tidak menyebut targhîb dan tarhîb). Menurut Muhammad ‘Abduh, hubungan Q.S. Âli ‘Imrân/3: 123 dan 130, bahwa pada ayat 123, kaum Muslim menang dalam Perang Badar karena bertakwa kepada Allah, mengikuti perintah dan larangan Allah. Untuk itu dapat dipahami kenapa umat Islam kalah dalam Perang Uhud karena mereka tamak terhadap ghanîmah. Untuk itu, pada ayat 130 Allah melarang praktik riba. Karena praktik riba itu adalah bagian dari tamak terhadap harta.57 Untuk itu jugalah menurut Rasyîd Ridhâ pada ayat 130 didahulukan larangan memakan riba dari perintah takwa kepada Allah.58 Keuntungan langsung dari menghindari riba itu menurut Rasyîd Ridhâ, kasih sayang dan kerjasama.59 Dengan demikian al-falâh dalam ayat 130 menurut Rasyîd Ridhâ adalah kasih sayang, dan kerjasama.

Sabar, Tabah, dan Kebahagiaan Q.S. Âli ‘Imrân/3: 200 bicara tentang persoalan sabar, tabah, dan siap siaga ketika berperang. Disebutkan oleh Muhammad ‘Abduh bahwa sabar dalam hal menghadapi penyakit, tabah dalam menghadapi musuh. Mengikat kuda dalam ayat ini sebagai simbol kesiapsiagaan akan jihad. Sementara menurut Rasyîd Ridhâ, al-mutsâbarah wa al-murâbathah adalah persaingan dalam perang, sementara sabar adalah kunci untuk memenangkannya.60 Sayyid Quthb juga berpendapat bahwa al-falah itu ada dunia dan di akhirat. Baca Ibid. Al-Râgib al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 385. 57 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, cet. 2(Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), Jilid IV, h. 122-123. 58 Ibid., h. 123. 59 Ibid., h. 131. 60 Ibid., h. 318. 55 56

158


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

Adapun wasiat takwa diulang-ulang oleh Allah menurut Muhammad ‘Abduh, mengingat banyak orang yang sudah melupakannya dan melalaikannya, sehingga manusia tidak memikirkan maslahat mereka. Padahal takwa itu menghasilkan kemenangan (al-falâh wa al-fauz) dan kemenangan itu akan menghasilkan kebahagiaan.61

Aurat dan Kebahagiaan Q.S. al–Nûr/24: 31 bicara tentang aurat wanita dan batas-batasnya. Ayat ini juga paling sering kata Quraish Shihab digunakan sebagai dalil wajibnya berjilbab.62 Menurut Quraish Shihab maksud Q.S. al–Nûr/24: 31, pertama, bagi laki-laki yang mantap imannya, hendaknya menahan pandangan mereka terhadap hal-hal yang terlarang, termasuk melihat aurat wanita. Kemudian menjaga kemaluan63 mereka untuk mempergunakannya secara halal. Menjaga kemaluan itu termasuk tidak memperlihatnya sama sekali, walaupun kepada istrinya. Kedua, ayat ini bicara tentang perintah kepada kaum wanita seperti halnya kepada laki-laki.Di samping itu ada larangan untuk menampakkan perhiasan, yakni pakaian dan juga bagian tubuh yang dapat merangsang kaum pria, kecuali yang biasa tampak.64 Selanjutnya, salah satu hiasan pokok wanita menurut Quraish Shihab adalah dadanya. Untuk itu, Allah memerintahkan untuk menutupnya dengan kerudung. 65 Kaum wanita boleh memperlihatkan keindahan tubuhnya terhadap anak-anaknya, karena mereka pun tidak memiliki birahi terhadap ibunya. Demikian juga terhadap anak-anak tirinya yang laki-laki, karena mereka ini bagaikan anak dan juga mereka takut sama ayahnya. Demikian juga terhadap saudara-saudara laki-laki mereka dan anak-anak saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka. Mereka itu semua bagaikan anak kandung sendiri. Demikian juga terhadap wanita-wanita muslimah, karena mereka akan menjaga rahasia tubuh yang dilihatnya. Demikian juga terhadap budak laki-laki dan perempuan karena kewibaan tuannya atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki birahi karena suatu hal atau terhadap anak-anak yang belum dewasa karena mereka belum mengerti seks.66 Ibid., h. 319. al-falâh lebih luas dari al-fauz. Baca Al-Râgib al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 387. 62 M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, cet. 7 (Jakarta: Lentera Hati 2014), h. 89. 63 Sebagaimana dikutip oleh Ibn Kaair bahwa menurut Abu al-‘Âliyah bahwa semua ayat Al-Qur’an yang menyebut “hifz al-furuj” itu maksudnya adalah zina kecuali yang terdapat dalam Q.S. al–Nûr/24: 31. Baca Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Jilid X (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-Turâts, 2000), h. 217. 64 Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, h. 91-93. 65 Kebolehan memperlihatkan keindahan tubuh terhadap ayah dan ayah mertuanya dalam keadaan ruhani yang normal dapat diterima tidak mendatangkan nafsu birahi terhadap anak dan atau anak mertuanya. Untuk mengantisipasi “peran syaitan”, menurut penulis lebih selamat tidak memperlihatkan keindahan tubuh wanita terhadap ayah dan ayah mertuanya. 66 Ibid., h. 93-94. Kebolehan memperlihatkan keindahan tubuh wanita selain kepada suaminya menurut penulis sebaiknya tidak dilakukan dengan alasan dikhawatirkan gangguan 61

159


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Setelah larangan hal-hal yang tampak itu, sekarang larangan penampakan hal-hal yang tersembunyi,67 seperti menghentakkan kaki, sehingga akan kelihatan perhiasan, juga tidak boleh memakai wangi-wangian yang membuat pria di sekitarnya terangsang. Jika sekalikali tidak bisa dilakukan secara sempurna, maka pria dan wanita disuruh bertaubat. Tujuannya supaya beruntung mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. 68

Ketaatan dan Kebahagiaan Q.S. al-Hajj/22: 77 bicara tentang ibadah salat dan perbuatan baik lainnya. Dalam ayat ini, penyebutan rukuk dan kemudian sujud menunjukkan urutan gerakan salat. Sebutan kata rukuk dan sujud menunjukkan bahwa gerakan ini bagian dari ibadah. Bisa saja ada orang melakukan gerakan rukuk dan sujud tetapi bukan dalam konteks ibadah. Ayat ini juga menyebut kalimat, “waf‘ alû al-khair: dan lakukan kebaikan”. Makna kebaikan di sini kata al-Biqâ‘î seperti silaturrahim dan menjenguk orang sakit, bagian dari ketinggian akhlak, baik itu dilakukan dengan niat maupun tidak.69 Orang-orang yang bersentuhan dengan kebaikan ini menurut al-Biqâ‘î adalah orang yang beruntung. Keberuntungan yang dimaksud bersifat tetap.70 Sifat yang tetap ini maksudnya tidak datang dan pergi sekejap, tetapi dapat bertahan lama, itulah yang disebut dengan kebahagiaan. Jika keberuntungannya sesaat lebih tepat disebut kenikmatan. Rukuk dan sujud adalah simbol ketaatan kepada Allah. Ketaatan sebagai sumber kebahagiaan. Orang yang tidak taat pada suatu aturan, hatinya akan bergejolak, karena cepat atau lambat bakal ada sanksi yang akan ia terima. Ahmad Amîn berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah tujuan akhir dari kehidupan. Kebahagiaanlah yang menggerakkan semua manusia untuk berbuat. Orang belajar, orang menikah, orang bekerja, para ilmuwan menulis, para tukang membangun, tujuan akhir itu semua adalah kebahagiaan.71

Syukur Tujuan pendidikan akhlak yang ketiga dalam perspektif al-Qur’an untuk menjadikan manusia bersyukur kepada Allah. Konsep ini dibangun dari kalimat, “la‘allakum tasykurûn” setan lebih kuat dari iman kaum laki-laki tersebut. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan berbagai peristiwa terjadinya pelanggaran seksual yang menurut idealnya tidak terjadi seperti yang disebutkan dalam Q.S. al–Nûr/24: 31. 67 Kebiasaan wanita pada zaman jahiliyah kalau berjalan dan mereka menggunakan gelang kaki, maka mereka menghentakkan kakinya agar orang lain tahu bahwa ia punya perhiasan. Baca Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Jilid X, h. 224. 68 Ibid., h. 94-95. 69 Burhân al-Dîn Abî al-Husain Ibrâhîm ‘Umar al-Biqâ‘î, Nazhmu al-Durar fî Tanâsub alAyât wa al-Suwar (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, t.t.), Jilid XIII, h. 100. 70 Ibid. 71 Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq, h. 33.

160


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

yang didahului oleh kata perintah untuk bertakwa terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2: 52, 56, 185, Q.S. Âli ‘Imrân/3: 11, 23, dan Q.S. al-Mâ’idah/5: 6, 89, Q.S. al–Anfâl/8: 26, Q.S. al-Nahl/16: 14, 78, Q.S. al-Hajj/22: 36, Q.S. al-Qashash/28: 73, Q.S. al-Rûm/30: 46, Q.S. Fâthir/35: 12, dan Q.S. al-Jâtsiyah/45: 12.

Rasionalitas Alam dan Syukur Q.S. Fâthir/35: 12, al-Jâtsiyah/45: 12, al-Nahl/16: 14 bicara tentang rasionalitas fungsi sungai dan laut. Q.S. al-Qashash/28: 73, rasionalitas adanya siang dan malam. Q.S. al-Rûm/30: 46 bicara tentang proses turunnya hujan. Rasionalitas ayat-ayat tersebut bertujuan agar manusia bersyukur. Menurut al-Ashfahânî, syukur adalah abstraksi nikmat dan menunjukkannya. Syukur bentuknya ada tiga, pertama syukur dengan hati, yaitu abstraksi nikmat. Kedua, syukur dengan lisan, yaitu pujian terhadap yang memberi nikmat. Ketiga, syukur paripurna, yaitu memperlakukan nikmat sesuai dengan haknya.72 Macammacam syukur juga disebut oleh ‘Abd al-Qâdir Îsâ ada tiga, yaitu syukur lisan, syukur perbuatan, dan syukur hati.73 Kelihatannya substansi kedua pendapat itu sama.

Daya Tangkap Pengetahuan dan Syukur Q.S.an-Nahl/16: 78 bicara tentang bagaimana manusia lahir dari rahim ibunya tidak langsung pintar, tetapi tidak tahu apa-apa. Allah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati yang menurut al-Marâghî yang dipersiapkan untuk memahami sesuatu. 74 Dari tiga alat itulah kejahilan manusia kata al-Biqâ‘ î dapat dihilangkan.75 Sering orang tidak sadar bahwa telinga, mata, dan hati yang normal itu adalah nikmat yang sangat besar. Bagaimana manusia akan pintar, jika ia tuli, buta, dan hatinya pun tertutup. Dengan merenungi hal tersebutlah menurut al-Marâghî, manusia diharapkan bisa bersyukur kepada Allah.76

Taurat dan Syukur Q.S. al-Baqarah/2: 52 bicara tentang kaum Bani Israil yang setelah selamat dari kepungan tentara Fir‘aun, mereka meminta Nabi Musa as. mendatangkan kitab dari sisi Allah. Kemudian Allah menjajikannya untuk memberikan Taurat kepada Nabi Musa as. Al-Râgib al-Ashfahânî, Mu’jam Mufradât al-fâzh al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997), h. 265. 73 Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf.terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis (Jakarta: Qisthi Press, 2005), h. 278. 74 Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid XIV (Mesir: Mushthafâ al-Bâb alHalabî, 1946), h. 116. 75 Burhân al-Dîn Abî al-Husain Ibrâhîm ‘Umar al-Biqâ‘î, Nazhmu al-Durar fî Tanâsub alAyât wa al-Suwar, Jilid XI (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, t.t.), h. 222. 76 Ibid., h. 118. 72

161


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Sewaktu Nabi Musa as. akan menerima wahyu. Untuk itu, Nabi Musa as. meninggalkan umatnya selama 40 malam. Pada saat itulah kaum Bani Israil menyembah patung sapi. Ayat ini mengatakan, Allah masih memaafkan mereka yang tidak sabar menunggu Nabi Musa as. membawa wahyu. Kalau Allah tidak memaafkan kesalahan mereka, niscaya Dia datangkan siksa. Allah menginginkan Nabi Musa as. memberikan peringatan terlebih dahulu. Jika mereka tidak “mengindahkan” peringatan itu, maka akan disiksa dari kemusyrikan tersebut. Menurut Rasyîd Ridhâ yang harus disyukuri adalah nikmat Allah yang besar, yaitu Taurat.77 Sementara al-Marâghî berpendapat bahwa kaum Bani Israil hendaknya mensyukuri nikmat Allah yang menunda siksanya dengan harapan, mereka dapat bertaubat.78

Menunda Kematian dan Syukur Q.S. al-Baqarah/2: 56 kata Sayyid Quthb bicara tentang siksa awal yang diberikan oleh Allah, sebagai peringatan. Mereka ingkar atas perintah Allah, diberi peringatan oleh Nabi Musa as. tentang siksanya, tetapi mereka tetap ingkar, maka Allah memberikan siksa awal dengan cara disambar petir, sehingga mereka itu ada yang pingsan. Kemudian Allah sadarkan mereka dari pingsan, agar dapat menjadi pelajaran, dengan harapan mereka dapat mensyukuri nikmat penangguhan kematian yang sesungguhnya. 79 Muhammad ‘Abduh menurut Rasyîd Ridhâ menafsirkan “al-ba‘tsu” dengan “memperbanyak keturunan” setelah adanya keluarga mereka yang meninggal karena disambar petir. 80 Keturunan mereka tidak dengan sendirinya habis dengan kematian yang disambar petir karena siksa Allah. Allah masih memberi karunia mereka anak sebagai penerusnya. Kurunia Allah inilah yang harus disyukuri. Bukan Allah tidak kuasa untuk mematikan manusia dan kemudian tidak memberikan kesempatan bagi kaum wanita untuk melahirkan anak, sampai manusia ini punah karena tidak terjadi reproduksi anak. Jika akal dan hati aktif dalam memahami hal ini, maka manusia selayaknya bersyukur kepada Allah.

Menunda Kenikmatan dan Syukur Q.S. al-Baqarah/2: 185 bicara tentang ibadah puasa bagi umat Islam. Ibadah puasa perlu dipahami bukanlah siksa Allah dengan melarang sesuatu yang dibolehkan-Nya. Ibadah puasa justru bentuk dari kasih sayang Allah kepada hambaNya karena Allah menginginkan hamba-Nya sehat secara jasmani dan ruhani. Dalil kasih sayang Allah itu, ketika hamba-Nya sedang sakit atau sedang dalam perjalanan, bisa menggantinya di Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, Cet. 2 (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 317. Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid I (Mesir: Mushthafâ al-Bâb alHalabî, 1946), h. 113. 79 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid I, h. 72. 80 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, Cet. II (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 322. 77

78

162


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

hari lain. Allah tidak menginginkan kesulitan bagi umat-Nya, tetapi Dia menginginkan kemudahan. “Memberikan kemudahan dan tidak mempersulit” menurut Sayyid Qutb adalah kaidah besar dalam akidah Islam.81 Rasyîd Ridhâ mengatakan bahwa boleh tidak puasa bagi yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan bukan berarti sebagai dalil bahwa mereka itu tidak boleh puasa, tetapi ini sebagai rukhshah (keringanan) saja.82 Untuk itulah umat Islam perlu mensyukuri syariat Allah ini.

Perlindungan Allah dan Syukur Q.S. al–Anfâl/8: 26 tentang kaum Muhajirin sewaktu di Makkah dapat ancaman. Q.S. Âli ‘Imrân/3: 123 menang dalam Perang Badar karena bantuan Allah. Kaum Muhajirin yang pada awalnya mendapat ancaman dari penduduk Makkah, maka Allah memberi mereka kebaikan untuk hijrah ke Madinah. Kemudian di Madinah mereka mendapat rezeki yang baik-baik. Hal ini perlu disyukuri. Ketika menafsirkan ayat ini al-Marâghî mengatakan bahwa manusia hendaknya mengambil pelajaran dari apa yang pernah menimpa mereka. “kaifa kunnâ wa mâdzâ ashbahnâ: bagaimana kita dulu dan sekarang jadi apa?” itulah ungkapan yang tepat untuk ayat ini, yaitu bersyukur atas kasih sayang Allah karena telah memberi karunia yang tidak terhingga. Q.S. Âli ‘Imrân/3: 123 bicara tentang perang Badar, padahal umat Islam saat itu lemah karena sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Ayat-ayat yang mengajak manusia untuk bersyukur atas apa yang telah diperoleh sekarang, yang dulu tidak didapatkan. Di antaranya Q.S. al-Insân/76: 1 mengingatkan bahwa manusia dulu tidak jadi apa-apa yang berproses dari “setetes air yang hina” dan menjadi manusia seperti sekarang ini.

Kurban dan Syukur Q.S. al-Hajj/22: 36 bicara tentang berkurban pada musim haji sebagai syi‘ar. Al-budn adalah unta atau sapi yang dikurbankan di Makkah.83 Unta itu ada yang dimanfaatkan untuk kenderaan, bisa juga diambil susunya, dan untuk dimakan dagingnya. Dengan adanya syariat kurban di dalam Islam, maka setidaknya orang-orang fakir dan miskin dapat mengkonsumsi daging sekali setahun. Mengkonsumsi daging adalah simbol “kemewahan”. Untuk itulah syariat kurban dapat mendorong umat bersedekah bagi yang mampu untuk dibagikan sebagian bagi orang-orang fakir dan miskin. Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, Jilid I, h. 172. Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, Cet. II (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H), h. 151. 83 Ahmad Mushtafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Jilid XVII (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halbi wa Auladuhu, 1946), h. 114. 81 82

163


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Memberi itu simbol kemampuan, sementara menerima simbol kelemahan, walaupun menerima itu ada kalanya simbol penghormatan, seperti menerima hadiah atas suatu prestasi. Al-Qur’an kata Syafi’i Ma’arif pro orang miskin, tetapi anti kemiskinan. Untuk itulah katanya di dalam al-Qur’an ditemukan perintah “memberi” seperti mengeluarkan zakat dan bersedekah dan tidak ada perintah “menerima”. Allah memotivasi manusia untuk gemar memberi. Mereka yang ikhlas bersedekah contohnya akan mendapat ganjaran yang berlipat ganda.84 Mereka yang ikhlas bersedekah itu bukan saja mendapat ganjaran yang berlipat ganda, tetapi mereka itu tidak punya rasa takut kepada Allah dan tidak juga mereka bersedih. Rasa takut dan bersedih adalah simbol kesengsaraan. Untuk itu orang yang ikhlas bersedekah akan berbahagia. Sedekah yang ikhlas akan mendatangkan kebahagiaan. Bagaimana cara melihat keikhlasan itu, Q.S. al-Baqarah/2: 262 menyebutkan bahwa dua yang harus dihindari, pertama menyebut-nyebut pemberian (riyâ) dan tidak menyakiti hati yang diberi. Selanjutnya Q.S. al-Baqarah/2: 263 menyebutkan bahwa berkata yang baik, yaitu menyenangkan hati orang yang menerima, lebih baik daripada sedekah yang menyakitkan hati penerimanya. Sedekah yang tidak ikhlas itu digambarkan oleh Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 264.

Penutup Pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan Islam sudah semestinya mendapat prioritas karena agama ini dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang mengatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak. Latar belakang historis tempat kelahiran agama Islam yang tidak memperhatikan moral individual dan moral kolektif menjadikan ajaran Islam sangat penting dalam perkembangan kemanusiaan. Sepertinya sistem pendidikan Indonesia tidak secara serius memperhatikan pendidikan akhlak, walaupun kata takwa dan akhlak termaktub dalam tujuan pendidikan nasional. Secara parsial, pendidikan akhlak telah berjalan di berbagai pendidikan rumah tangga, sekolah, dan juga lingkungan. Pendidikan akhlak membutuhkan pembiasaan-pembiasaan sejak dini. Kebiasaan itu akan menjadikan yang susah menjadi mudah. Pembiasaan terkadang membutuhkan waktu yang relatif panjang dan untuk itu lembaga pendidikan sangat tepat untuk berperan dalam mencapai hal tersebut. Tauladan dari para penutur ilmu, apalagi ilmu akhlak sangat dibutuhkan, karena mereka seyogyanya adalah orang-orang yang “ditiru”. Ilmu tentang akhlak juga dibutuhkan, karena pada umumnya manusia mencoba melakukan kebaikan berdasarkan kaidahnya. Bagi mereka yang berusaha mencapai akhlak yang mulia itu sebagai tujuan pendidikan, hendaknya juga sadar bahwa pendidikan akhlak sendiri memiliki tujuan. Menurut al-Qur’an, Q.S. al-Baqarah/2: 261.

84

164


Sehat Sultoni Dalimunthe: Perspektif al-Qur’an tentang Pendidikan Akhlak

ada tiga tujuan pendidikan akhlak. Pertama, agar manusia berkasih sayang antar mereka. Ini merupakan tujuan jangka pendek (objective). Dengan demikian, jika para pendidik yang berusaha mencapai tujuan akhlak, dapat menilai keberhasilannya yang paling rendah, apakah peserta didik telah memiliki sifat kasih sayang dan mereka implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, agar manusia berbahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan ada yang berbentuk jasmani dan ada juga yang berbentuk ruhani. Kebahagiaan yang dituju akhlak sebagai tujuan menengah (goals) cenderung sebagai kebahagiaan ruhani yang lebih abadi dibandingkan kebahagiaan jasmani. Kebahagiaan jasmani sering disebut dengan kenikmatan. Ketiga, agar manusia pandai bersyukur kepada Allah (aims). Tujuan ini bersifat jangka panjang. Bersyukur kepada Allah merupakan puncak kesadaran manusia bahwa semua urusan mereka selalu ada peran Allah. Dalam bentuk yang sempurna, syukur sebagai pengakuan manusia bahwa kebahagiaan itu datangnya dari Allah. Al-Qur’an menyebut bahwa hanya sedikit manusia yang pandai bersyukur. Padahal, ketika manusia mensyukuri nikmat Allah, maka Dia akan menambahkan nikmatNya. Sebaliknya, jika manusia kufur terhadap nikmatNya, maka azab akan dijadikan sebagai sanksinya. Dari janji Allah itu, maka orang yang tidak pandai bersyukur adalah orang yang tidak bisa berpikir logis atau orang yang dipengaruhi oleh nafsu syaithaniyah. Manusia menurut al-Qur’an lebih banyak yang pandai bersabar terhadap penderitaan dan kesengsaraan daripada bersyukur atas nikmat Allah. Untuk itu, tidak ditemukan ada kalimat, “qalîlan mâ tashbirûn: hanya sedikit kamu yang bersabar” di dalam al-Qur’an. Ketiga tujuan ini hendaknya diusahakan dan selanjutnya dipraktekkan dalam dunia pendidikan.

Pustaka Acuan ‘Abduh, Muhammad. Tafsir Juz ‘Amma. terj. Muhammad Bagir, Cet. 5. Bandung: Mizan, 1999. Al-Abrasyi, M. ‘Atiyah. Dasar-Dasar Pendidikan Islam,terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S, Cet. 6. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Al-Ashfahânî, al-Râgib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t. Al-Ashfahânî, al-Râgib. Mu’jam Mufradât al-fâzh al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997. Al-Attas, M. Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979. Al-Biqâ‘î, Burhân al-Dîn Abî al-Husain Ibrâhîm ‘Umar. Nazhmu al-Durar fî Tanâsub alAyât wa al-Suwar. Kairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, t.t. Al-Bukhârî, Imâm. Shahîh al-Bukhârî, Jilid VIII. Semarang: Toha Putra, t.t. Al-Dimasyqî, Ismâ‘îl ibn Katsîr. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li at-Turâts, 2000. Al-Khauli, Muhammad ‘Âlî. Qâmûs al-tarbiyah. Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyin, 1981. 165


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Al-Khathîb, Ibn (ed.). Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathhîr al-A’râq li Ibn Miskawaih. Beirut: Dâr Maktabah al-Hayât, 1298 H. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî. Mesir: Mushthafâ al-Bâb al-Halabî, 1946. Al-Syarîfî, Muhammad Syauqî Sa‘id. Mu’jam Mushthalahâti al’-‘Ulûm al-Tarbawiyah. t.t.p.: Maktabah Abikân, t.t. Amîn, Ahmad. Kitâb al-Akhlâq. Kairo: Dâr al-Kutb al-Mishriyah, 1931. Arifin, Bey. Rangkaian Cerita Dalam Al-Quran, Cet. 12. Bandung: al-Ma’arif, 1988. Asari, Hasan. Etika Akademis Dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Brumbaugh, Robert S. dan Nathaniel M. Laurence. Six Essays on the Foundations of Western Thought. Boston: Houghton Mifflein Company, 1963. Dahlan, H.A.A. et al., (ed.) Asbabun Nuzul, Cet. 2. Bandung: Diponegoro, 2000. Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani, Cet. 3. Jakarta: UIP dan Tintamas, 1986. Ibrâhîm, Sayyid Qutb. Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t. Isa, Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis. Jakarta: Qisthi Press, 2005. Mursyî, Muhammad Munîr. al-Tarbiyah al-Islâmiyah:Ushûluhâ wa Tatawwuruhâ fi al-Bilâd al-‘Arabiyah. Kairo: ‘Âlam al-Kutb, 1977. Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr. Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H. Sa‘d al-Dîn, Imân ‘Abd al-Mu’min. al-Akhlâq fî al-Islâm. Kairo: Maktabah al-Rusy, 2002. Shihab, M. Quraish. Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah. Cet, 7. Jakarta: Lentera Hati 2014. Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih. Yogyakarta: Belukar, 2004. Zaqzûq, Mahmûd Hamdî. Muqaddimah fî ‘Ilmi al-Akhlâq. Kuwait: Dâr al-Qalam, 1983.

166


:‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‬

‫ﲢﻠﻴﻞ ﺃﻓﻜﺎﺭ ﺍﳌﺎﻭﺭﺩﻱ ﰱ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻷﺧﻼﻗﻴﺔ‬ Mohd. Nasir Fakultas Tarbiyah IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Gp. Meurandeh, Langsa, Aceh, 24411 e-mail: nasir_langsa@yahoo.co.id

Abstrak: Akutnya problem moral adalah penyebab utama yang kemudian menempatkan betapa urgennya penyelenggaraan dan aktualisasi nilai-pendidikan akhlak. Tulisan ini bertujuan untuk merespon tuntutan agenda konseptual pendidikan akhlak melalui pengkajian ulang secara kritis terhadap khazanah pemikiran Islam klasik karya al-Mâwardî, kitab Âdâb al-Dunyâ wa al-Dîn. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi lalu dianalisis dengan teknik analisis isi (content analysis). Al-Mâwardî menulis kitab Âdâb al-Dunyâ wa al-Dîn ini sebagai refleksi kritis terhadap instabilitas sosial-moral masyarakat pada masa itu. Menurutnya, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pendidikan yang diajarkan orang dewasa (seperti orangtua dan guru) kepada anak sejak masih kecil dan pendidikan yang diajarkan setiap individu kepada dirinya sendiri ketika dewasa, melalui proses pembiasaan/ tradisi (muwada’ah) dan proses penyadaran/latihan yang bersifat dogmatis (riyâdhah wa istislah). Abstract: Ethic Education in Ancient Islamic Treasure in the Perspective of al-Mawardi’s Thought. The critical of moral problem is the main concern that boost the importance of the implementation and actualization of the value of ethic education. This paper is an attempt to response to the demand of conceptual agenda of moral education through a critical reassessement of the treasures of classic Islamic thought in al-Mâwardî’s book Âdâb al-Dunyâ wa al-Dîn. Data is collected through document which is then analyzed by content analysis technique. The author finds that al-Mâwardî wrote this book as critical reflection of social instability on moral society of his time. According to him, moral education can be applied by two layers of steps, education that taught by adults (parents and teacher) to children since early childhood and education that taught to each individual to themselves when adult, through a process of habituation and awareness which is more practical though it is dogmatic. Kata Kunci: al-Mâwardî, pendidikan akhlak, karakter, sejarah Islam klasik

167


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

168


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪169‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

170


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪171‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

172


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪173‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

174


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪175‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

176


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪177‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

178


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪179‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

180


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪181‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

 ‫ﳎﻠﺪ‬

182


‫ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺍﻵ ﺩﺍ ﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬

‫ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ‪Mohd. Nasir: :‬‬

‫‪183‬‬


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

MENGGAGAS UNIVERSITAS ISLAM IDEAL: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf Muslih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Semarang, 50185 e-mail: muslihmz@gmail.com

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang konsep universitas Islam menurut Ashraf. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif di mana pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan datanya kemudian dianalisis dengan cara deskriptif. Idealnya, sebuah universitas Islam harus memiliki konsep yang luas tentang pendidikan Islam yang tidak membatasi dirinya hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman semata, tetapi harus mencakup pengajaran semua subjek karena semuanya berdasarkan pada tauhid. Selanjutnya, sebuah universitas Islam seharusnya tidak hanya memberikan pengajaran dan pelatihan yang hanya mengisi otak para mahasiswanya saja tetapi lebih dari itu harus bertujuan untuk menghasilkan manusia yang tercerahkan dengan ilmu pengetahuan yang benar dan watak yang mulia. Selain itu, para mahasiswanya harus mampu bekerja untuk kesejahteraan umat manusia berdasarkan landasan spiritual. Sebuah universitas Islam idealnya juga harus memberikan prioritas untuk melakukan penelitian sehingga harus memiliki pusat penelitian yang baik untuk memfasilitasi para penelitinya yang berkualitas untuk semua cabang ilmu pengetahuan. Abstract: Initiating an Ideal University: A Study of Syed Ali Ashraf’s Thought. The objective of this research is to study the concept of Islamic university according to Ashraf. This is a qualitative research whose data were collected through library research and using the method of descriptive analysis. An Islamic university should have a broad concept of Islamic education that does not limit itself only to give instruction of traditional Islamic sciences, but it should include all subjects since they are based on tawhid. Furthermore, an Islamic university should provide not only instruction and training to fulfill the mind of its students but more than that it should be aimed at producing enlightened people with sound knowledge and noble character. In addition, its students must be able to work for the welfare of human being on the basis of spirituality. It should also give priority to undertake research, therefore it must provide research center to facilitate qualified researches of all branches of knowledge.

Kata Kunci: pendidikan Islam, Universitas Islam, dualisme, Syed Ali Ashraf 184


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

Pendahuluan Beberapa tokoh intelektual Muslim meyakini bahwa pendidikan merupakan sarana paling baik untuk mencetak generasi muda Muslim yang tangguh dan capable dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, dan pada saat yang sama tidak kehilangan akar budaya dan jati diri mereka. Namun demikian, harapan semacam ini tidak mudah untuk diwujudkan. Dalam kata pengantar yang ditulisnya untuk buku Crisis in Muslim Education (1979), Abdullah Omar Nasef (Wakil Rektor King Abdulazis University Jeddah saat itu) mengatakan bahwa dunia Muslim sedang melalui masa transisi yang hebat baik dari segi transformasi geo-politik maupun perubahan sosial yang cepat. Hal itu dibarengi dengan datangnya metodologi Barat sekuler dan konsep-konsep ilmu pengetahuan sekuler yang mendominasi setiap cabang ilmu.1 Dampaknya adalah munculnya dualisme budaya di seluruh wilayah dunia Muslim. Dualisme budaya tersebut menurut Sajjad dan Asraf diakibatkan oleh adanya dualisme sistem pendidikan yang ada di masyarakat Muslim itu sendiri. Sistem pendidikan Islam yang tradisional menghasilkan kelompok Islam tradisionalis, dan sistem pendidikan modern menghasilkan kelompok modernis yang sekuler.2 Jadi bisa disimpulkan bahwa dualisme sistem pendidikan pada gilirannya akan menciptakan dualisme budaya sebagai konsekuensi logisnya. Di beberapa negara Muslim tampaknya dualisme sistem pendidikan ini juga masih berlangsung hingga sekarang, termasuk di Indonesia. Meskipun di Indonesia hanya ada satu sistem pendidikan nasional, namun dalam praktiknya dikenal dua jalur pembinaan lembaga pendidikan. Satu sistem pendidikan dijalankan di bawah otoritas Kementerian Pendidikan Nasional (kemendiknas) yang mengurusi pendidikan yang berkaitan dengan disiplin ilmuilmu umum, sementara satu sistem pendidikan yang lain dijalankan di bawah otoritas Kementerian Agama (kemenag) yang mengurusi pendidikan di bidang keagamaan saja. Bagi sebagian intelektual Muslim yang punya concern terhadap pendidikan, kondisi semacam ini tentu tidak ideal. Hal tersebut pada gilirannya akan menghasilkan dua aliran atau kubu yang ekstrim di masyarakat. Kubu yang satu adalah sekumpulan ilmuwan keagamaan yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan disiplin ilmu umum modern, dan kubu yang satu lagi adalah kelompok ilmuwan umum yang terpisahkan dari warisan moral keagamaan.3 Beberapa upaya telah diusahakan oleh para intelektual Muslim untuk menjembatani kesenjangan ini. Salah satu tokoh intelektual Muslim kontemporer yang peduli terhadap masalah ini adalah Syed Ali Ashraf yang telah menuangkan gagasannya dalam sebuah monograf yang berjudul the Concept of an Islamic University.Tentunya

Abdullah Omar Nassef, “Foreword,� dalam Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (ed.), Crisis in Muslim Education (Jeddah: King Abdulazis University, London: Hodder & Stoughton, 1978), h. vii. 2 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (ed.), Crisis in Muslim Education (Jeddah: King Abdulazis University, London: Hodder & Stoughton, 1978), h. 3. 3 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education in a Developing Country (London: Mansell, 1989), h. vii. 1

185


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 pemikiran tentang universitas Islam yang ideal tersebut telah menjadi bagian dari khazanah kekayaan intelektual keislaman yang berharga. Karenanya hal tersebut layak untuk diteliti dan jika perlu kemudian dikembangkan. Hal ini terasa lebih relevan lagi ketika civitas akademika dan pengelola IAIN sedang/telah menjadi Universitas Islam Negeri. Artikel ini akan mengkaji konsep Syed Ali Ashraf tentang ilmu pengetahuan dan universitas Islam yang ideal. Adapun manfaat dari kajian ini ialah bahwa dari hasil kajian ini akan diketahui apa dan bagaimana pemikiran dari seorang intelektual Muslim kontemporer yang bergerak dalam pendidikan Islam, yakni S.A. Ashraf, tentang ilmu pengetahuan dan universitas Islam yang ideal. Selain itu, kajian ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan pemikiran tokoh Muslim ini kepada para intelektual Muslim secara luas pada umumnya.

Biografi Syed Ali Ashraf Karena penelitian ini mengkaji pemikiran Syed Ali Ashraf mengenai konsep universitas Islam – sebagaimana yang tertuang dalam monografnya the Concept of an Islamic University– maka sebelum masuk ke pembahasan substansial tentang hal tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan sekilas informasi tentang penulis dari monograf tersebut. Monograf the Concept of an Islamic University yang menjadi kajian penelitian saat ini sebelumnya adalah artikel atau makalah yang disiapkan oleh pengarangnya yang pertama yakni Dr. Hamid Hasan Bilgrami ketika beliau menjadi panitia Konferensi Dunia yang Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Kemudian monograf ini direvisi dengan cermat oleh Prof. Syed Ali Ashraf yang juga menambahkan dua bab untuk melengkapi apa yang sebelumnya sudah ada. Karena alasan dan pertimbangan inilah maka dianggap bahwa ia bertanggungjawab terhadap isi monograf yang sekarang sedang penulis teliti. Profesor Syed Ali Ashraf adalah seorang cendikiawan Muslim yang lahir di Dhaka, Bangladesh pada 1 Januari 1925. Beliau adalah Profesor Bahasa Inggris dan Kepala Departemen Bahasa Inggris, Universitas Karachi tahun 1956-1973. Dia juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal dari Pusat Pendidikan Islam tingkat dunia pada tahun 1980-1998. Selain itu dia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Akademi Islam di Cambridge pada tahun 1983-1998. Dia juga menjadi Wakil Rektor Universitas Dhaka 1997-1998. Beliau meninggal di Cambridge, England pada hari Jumat, 7 Agustus 1998. Beliau menerima pendidikan dasar dan menengah di Dhaka. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat Master pada jurusan Bahasa Inggris di Universitas Dhaka, dia pergi ke Cambridge untuk menempuh pendidikan tingkat doktor di Fitzwilliam College. Ia memulai karirnya dengan menjadi dosen dan seorang reader bahasa Inggris di Universitas Dhaka pada tahun 1949, Ketua Jurusan Bahasa Inggris pada Universitas Rajshashi pada tahun 1954-1956, Guru Besar dan Ketua Jurusan Bahasa Inggris pada Universitas Karachi, Pakistan pada tahun 186


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

1956-1973, dan di Universitas King Abdul Azis, Makkah pada tahun 1974-1977, dan menjadi Guru Besar pada Universitas King Abdul Azis Jeddah pada tahun 1977-1984. Dia pernah menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas Harvard pada tahun 1971, dan Universitas New Brunswick pada 1974. Dia menjabat Sekretaris untuk Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada tahun 1977 dan membantu mengorganisir keseluruhan lima Konferensi Dunia, yakni Konferensi Dunia yang kedua di Islamabad (1980), Konferensi yang ketiga di Dhaka (1981), Konferensi yang keempat di Jakarta (1982), Konferensi yang kelima di Kairo (1987), dan Konferensi Dunia yang keenam di Afrika Selatan (1997). Dia juga merupakan Direktur Jenderal yang pertama Pusat Pendidikan Islam tingkat Dunia, yang didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam di Makkah pada 1980.4 Bisa dikatakan bahwa Ashraf merupakan tokoh yang menyimbolkan Islam dalam kehidupan dan cita-citanya. Dia telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap regenerasi pendidikan Islam yang disampaikan dari perspektif Islam yang telah memberikan fondasi yang kokoh untuk gerakan Islamisasi pendidikan di seluruh dunia dan telah memberikan efek yang cukup luas terhadap berbagai segi filosofi pendidikan Islam.

Karya Akademik Syed Ali Ashraf telah menginspirasi banyak orang lewat pemikiran-pemikiran yang dituangkan melalui karya-karyanya.Diantara karya-karyanya yang berkenaan dengan pendidikan adalah dia menjadi general editor dari enam buku dalam seri Islamic Education (yang diterbitkan oleh Hodder and Stoughton). Bersama-sama dengan cendikiawan Muslim lain ia menulis: Crisis in Muslim Education (1978), the Concept of an Islamic University (1985), New Horizons in Muslim Education (1985). Selain itu, ia merupakan pendiri dan editor jurnal Muslim Education Quarterly sejak1993-1998. Bersama Professor Paul Hirst, S.A. Ashraf menulis buku Religion and Education: Islamic and Christian Approcahes. Selain itu, S.A. Ashraf juga seorang puitis, kritikus sastra dan penulis baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Bengal. Bidang keahliannya meliputi Islamisasi pendidikan (terutama konsep Islam tentang pendidikan), desain kurikulum dan metodologi pengajaran, bahasa dan sastra Inggris, kebudayaan Islam, serta hubungan Islam dengan Barat. S.A. Ashraf merupakan seorang dengan visi spiritual dan intelektual pemikir yang hebat dengan energi yang tak kenal lelah meskipun dengan kehidupan yang sederhana. Dia merupakan pengejawantahan dari keyakinan sejati yang dibentuk oleh ilmu pengetahuan dan cinta.Oleh para koleganya dia dikenal sebagai seorang guru yang hebat, teman yang menyenangkan, pemikir dan cendikiawan Muslim yang teguh pendiriannya. Dia meninggal

Penulis memperoleh informasi ini dari sumber internet: <http://www.cis-ca.org/voices/ a/ali_ashraf.htm dan http://en.wikipedia.org/wiki/Darul_ihsan_uiversity, akses pada tanggal 21Agustus 2011. Informasi asli tersedia dalam bahasa Inggris, terjemahan oleh penulis sendiri. 4

187


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 di Cambridge pada 7 Agustus 1998, dan jasadnya dibawa ke Dhaka untuk dikebumikan di areal kampus Universitas Darul Ihsan, sebuah universitas yang dia dirikan pada 1989.5 Sebagaimana bisa dilihat dari karya akademik yang dipaparkan di atas, Ashraf telah melakukan pengkajian mengenai konsep ideal universitas Islam dalam bukunya the Concept of an Islamic University. Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan gagasan yang luas mengenai apa saja yang seharusnya ada dari sebuah universitas Islam. Abdullah Omar Nassef yang saat buku tersebut ditulis (1985) menjabat Sekretaris Jenderal Muslim World League menganggap buku ini sebagai pelopor dalam bidangnya. 6 Semenjak didirikannya Universitas Islam di Bahawalpur di Pakistan, istilah “Universitas Islam” telah menyita perhatian banyak kalangan, utamanya pemegang otoritas di beberapa negara Muslim. Hal itu bisa dilihat dari antuasiasmenya Organisasi Conferensi Islam (OIC), yang secara regular mengorganisasi pertemuan-pertemuan menteri luar negeri dari negaranegara Muslim, secara gencar membantu keuangan atau pendanaan kepada beberapa Negara Muslim untuk mendirikan dan mengembangkan universitas Islam di negera-nagara bersangkutan. Dari beberapa pola universitas yang sudah ada tampaknya universitas Islam di sini tampak menyerupai model al-Azhar dan merupakan perluasan dari madrasah. Kecenderungan yang muncul di sini adalah adanya keinginan untuk membedakan universitas Islam ini dari apa yang selama ini disebut dengan universitas “umum” yang tidak memiliki karakter Islam di dalamnya.7

Konsep Ilmu Pengetahuan Berbicara mengenai konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, Ashraf mengawali pembahasannya secara filosofis dengan memberikan definisi ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa Arab, al-‘Ilm memiliki makna yang sangat luas, meskipun secara leksikon sering dipersamakan dengan al-ma‘arif dan al-shu‘ur. Kata al-ma‘ârif mengimplikasikan pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman atau refleksi yang dengan demikian didahului oleh sebuah keadaan tidak tahu. Sedangkan al-shu‘ur adalah persepsi terhadap sesuatu yang detail yang mengandung keterbatasan dan dengan demikian tidak bisa digunakan untuk menerangkan ilmu Allah. Sementara al-‘ilm adalah sifat Allah yang paling utama yang masuk ke dalam tujuh sifat penting Allah yang dikenal dengan ummu shifat yang dengan demikian merupakan

Penulis memperoleh informasi ini dari sumber internet: <http://www.cis-ca.org/voices/ a/ali_ashraf.htm dan http://en.wikipedia.org/wiki/Darul_ihsan_uiversity, akses pada tanggal 21Agustus 2011. Informasi asli tersedia dalam bahasa Inggris, terjemahan oleh penulis sendiri. 6 Abdullah Omar Nassef, “Foreword,” dalam H.H Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic University (Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy, 1985), h. vi. 7 Syed Ali Ashraf, “Preface” dalam H.H. Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic University (Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy, 1985), h. vii-viii. 5

188


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

kata yang paling tepat untuk menerangkan ilmu Allah.8 Lebih lanjut Ashraf menjelaskan bahwa ilmu Allah itu meluputi seluruh fenomena dan alam semesta, baik itu yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh manusia. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah dalam Qur’an, Q.S. al-Hasyr/59: 22, “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”9 Ashraf berpandangan bahwa di atas ilmu tentang segala sesuatu adalah ilmu mengenai hubungan antara segala sesuatu tersebut, dan yang paling tinggi adalah hubungan antara segala sesuatu tersebut dengan sang Pencipta. Hubungan yang disebut terakhir ini merupakan hubungan yang paling penting untuk diketahui oleh setiap Muslim, ia mengatakan “this last relationship is of great importance to a Muslim who wishes to adore and glorify Him.”10 Perlu ditekankan bahwa sebagai kekuatan spiritual, al-Qur’an dan Hadis telah memberikan keleluasaan kepada setiap Muslim untuk membaca dan menulis. Dengan demikian nantinya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Muslim akan sangat luas cakupannya. “Thus the range of knowledge of Muslim scholars was subsequently wide enough to include all branches of knowledge”. Lebih lanjut Ashraf mengatakan bahwa al-Qur’an akan tetap menjadi pembimbing jalan berpikirnya tiga aspek utama ilmu pengetahuan, yakni yang bersifat etis, historis, dan eksperimen. “The Qur’an was their guide to a way of thinking, particularly in the three main aspects of knowledge: (a) Ethical, including Perceptual aspects of knowledge; (b) Historical and Psychological aspects of knowledge; (c) Observative and Experimental aspects of knowledge.”11 Menurut Ashraf, ilmu pengetahuan yang bersifat etis berkenaan dengan keyakinan, tindakan dan moralitas baik untuk individu maupun masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menyediakan sebuah sistem untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat historis dan psikologis berkenaan dengan perilaku dan cara berpikirnya manusia atau bangsa yang memegang teguh atau yang melenceng dari norma-norma yang diberikan oleh agama. Sementara itu, pendekatan ekperimen dan observasi dianggap sebagai sumber utama mendapatkan ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu dan relasi dari segala sesuatu tersebut, serta relasi (hubungan) antara segala sesuatu itu dengan sang Pencipta. Ketiga hal tersebut oleh Ashraf disebut sebagai sekedar sarana untuk menjadikan prinsip-prinsip tauhid hidup dalam pikiran dan hati setiap insan.”It is important to note that all the three ways of acquiring knowledge are only a means of making the principles of Tawhid as a ‘living factor in the intellectual and emotional life of mankind, which is the ultimate spiritual basis of Islam’ and Islamic education”.12 Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic University (Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy, 1985), h. 1. 9 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971), h. 919. 10 Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic, h. 1. 11 Ibid., h. 2. 12 Ibid., h.3. 8

189


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Ashraf juga menuturkan berbagai tingkatan realisasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki dalam sejarah umat Islam, yang mana karena adanya perubahan dan pengaruh keadaan dalam bidang ekonomi maupun sosial politik telah membuat masing-masing generasi memberikan perhatian yang lebih pada satu cabang ilmu pengetahuan tertentu. Sejarah tersebut dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan sebagai berikut: pertumbuhan teologi, mistisisme, dan studi ilmu bahasa, studi ilmu filsafat, sains dan sejarah, dan periode pembatasan dan penghambatan.13 Kondisi objektif pengalaman umat Islam dalam lintasan sejarah yang panjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan diuraikan secara detail dan cermat di sini. Perlu ditambahkan di sini bahwa berkenaan dengan konsep ilmu pengetahuan ini, dari sejarah bisa kita ketahui bahwa umat Islam telah memiliki rumusan yang tegas yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Menurut konferensi tersebut ilmu pengetahuan dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, ilmu-ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan pada wahyu, seperti al-Qur’an dan Sunnah dan semua cabang ilmu yang berasal dari keduanya. Kedua, ilmu-ilmu perolehan (acquired knowledge) seperti ilmu sosial, ilmu alam dan aplikasinya. Di dalam penyusunan kurikulum untuk pedidikan Islam maka kedua ilmu tersebut harus tercakup pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Setelah diselenggarakannya konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 tersebut, muncul berbagai upaya untuk mendirikan universitas Islam yang betul-betul mendasari sistem pendidikannya dengan filsafat pendidikan Islam.14

Konsep Universitas Islam Perspektif Sejarah Berbicara mengenai konsep universitas Islam berarti berbicara tentang lembaga pendidikan Islam. Ketika membahas lembaga pendidikan Islam Ashraf memulainya dengan menampilkan bahasan tentang awal mula keberadaan lembaga pendidikan Islam dari perspektif sejarah. Ashraf melakukan analisis terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada di dunia Islam, meliputi pendidikan pada masa Nabi, pendidikan masa awal Islam, pendidikan pada abad pertengahan, dan pendidikan modern di berbagai negara Islam. Dengan pengkajian terhadap ini semua akan didapatkan beberapa konsep yang dapat diterapkan untuk mewujudkan universitas Islam yang ideal. Pendidikan pada masa Nabi digambarkan oleh Ashraf secara detail mengenai bagaimana terbentuk dan berkembangnya ilmu pengetahuan pada masyarakat Muslim.Ada sembilan poin penting yang bisa diidentifikasi sebagai upaya-upaya mewujudkan pendidikan pada masa Nabi. Untuk lebih detailnya, dikutipkan secara utuh fakta dan kejadiannya, sebagai Ibid., h. 4. Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 133. 13 14

190


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

berikut: (1) Soon after Hijrah the Prophet of Islam gave top priority to the education of Muslims, in spite of his preoccupation with various problems and the precautionary measures he had to take to maintain peace and security in Medina. (2) The first Islamic Centre of Learning, Al-Suffah was established as a residential centre in an apartment of a house enclosed and connected with mosque of the Prophet (p.u.h). This place was actually meant for the newcomers and those local faithful and deeply committed people who were too poor to have any place to live. (3) The subjects taught at al-Shuffah were the Qur’an, Tajwid and all Islamic sciences, besides reading and writing. The teachers of Al-Suffah were the Prophet himself and those appointed by him. The entire education was under his supervision, and its chief object was to purify the hearts and enlighten the souls, so as to raise them from the level of iman (Faith) to the level of ihsân (Absolut submission). (4) The Prophet would himself see to the requirements for food and clothing of all the residents of al-Shuffah. He would also ask them to earn their own living by cutting wood or labouring in their spare time, with a view to inculcating in them the habit of self-help. (5) Sometimes the Prophet would ask his companions to accompany the tribal delegations. The dispatch of teachers to neighbouring areas was regular feature of the educational policy of the Prophet. In addition, he would ask his companions to teach those who were unable to read and write. (6) There were nine mosques in Medina in the days of the Prophet. Each mosque was also a school, where occasionally evening lectures were given. These were attended by a large number of students, sometimes over seventy in number. (7) History records that there was even specialization in the days of the Prophet i.e. those who wanted to learn the Qur’an had to go to a particular person, and those who wanted to learn tajwid or Law had to have recourse to other persons who were well-versed in this subject. (8) Women’s education was also given importance, and the Prophet reserved a day when he would give lectures exclusively to women. (9) The Prophet also gave instruction in shooting arrows, swimming, the rudiments of medicine, astronomy, genealogy and practical phonetics necessary in reciting the Qur’an.15 Dari apa yang dipaparkan dalam kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi memiliki concern atau perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan. Pada poin pertama, dikatakan bahwa ketika Nabi dan umat Islam baru memulai kehidupan di Madinah, beliau memberi prioritas utama pada pendidikan bagi umatnya meskipun di sana saat itu banyak problem yang harus dihadapi terutama yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan di Madinah. Hal ini bisa dijadikan inspirasi bagi para pemimpin di negeri ini bahwa dalam upaya pembangunan bangsa, diantara banyak bidang yang harus dibenahi adalah pendidikan yang harus diberikan prioritas utama. Poin kedua, yakni didirikannya tempat pembelajaran bernama al-shuffah, yang digabungkan dengan masjid Nabi dan dijadikan tempat tinggal bagi para pelajar yang miskin atau tidak memiliki tempat tinggal, mencerminkan bahwa Nabi begitu peduli terhadap pemerataan pendidikan bagi umatnya. Kalau penulis bandingkan dengan kondisi yang terjadi Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic, h. 17-18.

15

191


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 dewasa ini di beberapa negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya Muslim, ternyata spirit pemerataan pendidikan yang diusung oleh Nabi masih belum sepenuhnya bisa dijalankan, karena pendidikan masih belum bisa dinikmati oleh kalangan ekonomi lemah. Di beberapa perguruan tinggi favorit misalnya, ada fakultas tertentu yang hanya bisa diakses oleh orang kaya saja sementara yang miskin tidak diberi akses yang cukup. Tentunya, sebuah universitas Islam yang ideal yang dijalankan oleh umat Islam nantinya tidak boleh menutup akses bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Sistem harus dibuat sedemikian rupa supaya semua warga mempunyai hak dan akses yang sama untuk mengikuti pendidikan yang berkualitas. Poin ketiga menceritakan bahwa pembelajaran di al-shuffah dengan materi al-Qur’an, Tajwid dan ilmu-ilmu keislaman melibatkan diri Nabi secara langsung, karena beliau sendiri yang menjadi gurunya, yang dibantu oleh para sahabat yang ditunjuk langsung oleh Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi mau terjun langsung dan memberi contoh pengajaran kepada umatnya dan tidak hanya sekedar ucapan belaka. Hal ini membuktikan kalau Nabi selain sebagai konseptor juga sekaligus praktisi pendidikan yang langsung terjun dan ikut terlibat dalam proses pembelajaran. Tenyata jauh sebelum istilah blusukan menjadi popular dan dilakukan oleh presiden Indonesia, justru Nabi sudah melakukannya secara langsung dengan mengajar rakyatnya di Madinah. Poin keempat, yang menginformasikan bahwa Nabi menganjurkan para pelajar yang tinggal di al-shuffah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan cara memotong kayu dan bekerja pada waktu senggang merupakan contoh pendidikan enterpreneurship yang ditanamkan sejak dini oleh Nabi kepada umatnya. Di sini terlihat bahwa jiwa kemandirian sudah ditanamkan sejak dini oleh Nabi. Dalam konteks pembelajaran modern saat ini, kiranya spirit kemandirian yang diajarkan oleh Nabi perlu dikembangkan. Hal ini juga memberikan inspirasi bahwa dalam sistem pendidikan Islam, dari sisi lembaganya harus menerapkan kurikulum yang mencakup realitas kebutuhan masyarakat secara komprehensif. Karena pada dasarya pendidikan itu harus mentransfer tiga hal penting yaitu values (nilai), knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan). Karena itu pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan masyarakatnya.16 Harus disadari bahwa tantangan kehidupan semakin ke depan semakin kompleks dan menuntut manusia untuk hidup secara mandiri sehingga peserta didik harus dibekali dengan skill melalui muatan, proses pembelajaran, dan aktivitas lain dalam proses pendidikannya.17 Selain memberikan skill kepada peserta didik, lembaga pendidikan Islam harus menyiapkan generasi yang siap berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Ini berarti bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan

Qodri A. Aziziy, Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat) (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 19. 17 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, Implementasi, dan Inovasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 30. 16

192


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

harus memiliki relevansi yang kuat dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.18 Sebuah universitas Islam yang ideal nantinya harus memperhatikan hal-hal tersebut di atas, termasuk juga misalnya memasukkan pendidikan entrepreneurship atau kewirausahaan sebagaimana telah dipraktekkan oleh al-shuffah di Madinah pada zaman Nabi. Poin kelima menceritakan bahwa Nabi sering menyuruh sahabatnya untuk menemani para utusan dari suku lain serta mengirim guru-guru ke wilayah sekitar untuk mengajari mereka yang belum bisa membaca dan menulis. Hal ini merupakan kebijakan pendidikan oleh Nabi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Fakta ini menunjukkan bahwa semua wilayah mendapat perhatian yang layak dari Nabi dan diupayakan untuk memperoleh pendidikan. Pelajaran terpetik dari fakta ini adalah pemimpin nasional harus mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pelayanan pendidikan secara adil terhadap seluruh rakyatnya di semua wilayah yang menjadi tanggungannya. Jangan ada kesenjangan yang lebar antara pelayanan dan kualitas pendidikan di satu wilayah/daerah tertentu dengan wilayah/ daerah lain yang terpencil atau jauh dari pusat kekuasaan. Poin keenam menginformasikan bahwa kesembilan masjid yang ada di Madinah pada zaman Nabi semuanya juga merupakan sekolah yang mana pada malam hari sering dipakai sebagai tempat pembelajaran untuk memberikan kuliah. Tempat tersebut bisa dipakai oleh para pelajar dalam jumlah besar hingga mencapai tujuh puluh orang. Hal ini menunjukkan bahwa antara Masjid (simbol dari agama) dengan sekolah (simbol dari ilmu pengetahuan) tidak dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling melengkapi, dimana ilmu harus selalu dilandasi dengan spiritual. Fakta sejarah ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam Islam tidak ada dikhotomi keilmuan. Semua cabang ilmu, baik itu ilmuilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum semuanya penting dan dibutuhkan untuk kehidupan. Poin ketujuh menceritakan bahwa pada zaman Nabi sudah banyak ilmuwan Muslim yang memiliki spesialisasi atau keahlian. Hal ini memberikan keuntungan kepada para pelajar. Karena apabila seorang pelajar ingin mendalami ilmu tertentu misalnya al-Qur’an, tajwid atau hukum sekalipun sudah ada ahli di bidang itu yang memiliki pengetahuan yang memadai. Fakta ini menginformasikan bahwa spesialisasi sudah terjadi pada zaman Nabi dan ketika sebuah peradaban itu terus berkembang maka proses spesialisasi keilmuan nantinya juga akan terus berkembang semakin detail dan spesifik. Belajar dari ini, sebuah universitas Islam yang ideal nantinya harus tanggap dan antisipatif akan hal ini, misalnya memberikan pelayananan pendidikan pada bidang-bidang yang sangat spesialis apabila dibutuhkan oleh masyarakat. Poin kedelapan, yang menginformasikan bahwa Nabi menyediakan waktu atau hari khusus untuk memberikan kuliah bagi kaum perempuan, mengindikasikan bahwa Nabi sangat concern terhadap peningkatan kualitas sumber daya kaum perempuan. Sejarah Mudjia Rahardjo (ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang: UIN Press, 2006), h. 35-36. 18

193


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 telah membuktikan komitmen Nabi untuk mengangkat derajat kaum perempuan bahkan jauh sebelum gerakan kesetaraan jender (gender equality) dikampanyekan di Barat. Tuduhan kaum orientalis di Barat bahwa Islam menindas kaum perempuan dengan sendirinya terbantahkan oleh peristiwa ini, karena kalau perempuan tidak boleh maju tentu tidak diberi kesempatan untuk belajar. Nabi telah secara jelas membuktikan komitmennya memajukan kaum perempuan. Dalam hadisnya Nabi menegaskan kewajiban menuntut ilmu tidak hanya bagi kaum Muslim laki-laki saja tapi juga bagi kaum Muslim perempuan. Sesunguhnya Islam pun bersaha keras mendidik kaum perempuan agar tumbuh menjadi perempuanperempuan yang sempurna maka dari itu pendidikan tinggi selayaknya tidak hanya diberikan kepada kaum lelaki saja tetapi juga kepada kaum perempuan. Karena perempuanlah yang nanti akan mendidik anak-anak yang baik yang nantinya akan menyelamatkan bangsanya.19 Penguasa suatu negara harus adil di dalam memberikan peluang atau akses pendidikan kepada rakyatnya tanpa melihat jender atau jenis kelaminnya. Sebagian kalangan menilai lemahnya gerakan kesetaraan jender di kampus dapat membahayakan masa depan bangsa.20 Karena itu di dalam universitas Islam nantinya tidak boleh ada perlakuan diskriminasi terhahap mahasiswa perempuan. Sebuah universitas Islam yang ideal harus memberikan ruang yang cukup bagi pelajar atau mahasiswa perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Poin kesembilan, yang menginformasikan bahwa Nabi juga menginstruksikan rakyatnya untuk belajar melempar panah, berenang, mempelajari obat-obatan, belajar ilmu perbintangan, geneologi serta mempraktikkan ilmu fonetik dalam membaca al-Qur’an, merupakan pertanda bahwa Nabi juga menganggap ilmu-ilmu dunia juga penting untuk dikuasai, supaya bisa menjalani hidup dengan baik. Ini menegaskan bahwa selain ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ketrampilan juga penting untuk diajarkan kepada peserta didik. Universitas Islam yang ideal nantinya harus memadukan dalam kurikulumnya pengajaran ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulûm al-naqliyah) dan ilmu terapan (al-‘ulûm al-‘aqliyah). Dari analisis di atas dapat dipahami bahwa meskipun penekanan telah diberikan untuk pelajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu-ilmu keislaman, namun pengajaran akan materimateri yang dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan kesehatan jiwa dan raga baik bagi individu maupun masyarakat senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam pada zaman Nabi. Pendidikan terhadap anak-anak baik lakilaki maupun perempuan juga menjadi perhatian pada masa Nabi, dimana setiap orang dewasa diberi tanggungjawab untuk mendidik dan mengajari anak-anak muda mereka tentang keimanan dan praktik-praktik ajaran Islam.Untuk menemukan konsep dan membangun sebuah universitas Islam yang ideal para pemikir dan pengambil kebijakan dalam dunia

Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, terj. Muhammad Abdul Kadir Alcaff (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 153. 20 Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, Neo Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 100. 19

194


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

Islam, termasuk di Indonesia, bisa mengambil inspirasi dari model pendidikan yang pernah dilakukan oleh Nabi di Madinah tersebut. Berikutnya, pendidikan pada masa awal Islam (sepeninggal Nabi hingga abad 4 hijriah) juga dikaji oleh Ashraf untuk menemukan konsep universitas Islam. Dapat dikatakan bahwa pada masa ini umat Muslim mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi dalam menyelenggarakan lembaga pembelajaran, dimana semua maktab dan sekolah dilaksanakan di masjid atau dicantelkan di masjid. Hal ini untuk menjaga agar sekolah tersebut tetap memiliki basis spiritual dan menekankan idealisme dan filosofi yang akan membentuk proses pendidikan yang akan datang. Penekanan yang diutamakan di sekolah-sekolah ini adalah pelatihan moral dan pembentukan karakter. Hampir di setiap desa terdapat masjid yang juga difungsikan sebagai sekolah. Setiap murid yang ikut sekolah tidak boleh berhenti tanpa izin dari gurunya. Sehingga tidak banyak terdapat anak putus sekolah. Pada masa ini pendidikan tinggi dimaksudkan untuk pengajaran Fiqih dan juga pelajaran lain seperti ilmu kalam, ilmu berhitung dan bahasa Arab. Masjid sebagai pusat pendidikan tinggi yang dimulai sejak masa Nabi dilanjutkan oleh kaum Muslim selama berabad-abad. Bahkan sampai hari ini banyak pusat pembelajaran yang disebut jâmi‘ah atau dar al-‘ulûm yang bermarkas di masjid. Hal ini juga menyebabkan akselerasi pertumbuhan tablig bagi kaum Muslim. Selanjutnya, sejarah pendidikan Islam pada abad pertengahan juga dianalisis untuk mencari konsep dan bentuk universitas Islam. Masa ini dimulai pada awal abad ke-5 hijriah yang bertepatan dengan abad ke-11 masehi, dimana pada masa ini lembaga pembelajaran yang dikenal dengan sebutan ‘Madrasah’ sudah mulai memisahkan diri dari masjid dan pendidikan gratis sudah mulai digantikan dengan pendidikan yang pakai membayar. Dalam sejarah Islam masa ini berakhir pada kejatuhan Spanyol pada tahun 1570 M. Meskipun demikian, setelah masa ini masih banyak pusat pembelajaran yang beroperasi dan menjadi tempat penyebaran ilmu pengetahuan. Dikatakan bahwa keberadaan madrasah ini bukan disebabkan oleh kurangnya ruangan masjid yang bisa dipakai untuk pembelajaran, akan tetapi lebih disebabkan oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat yang mengharuskan seseorang untuk membentuk lembaga ini. Seorang orientalis berkebangsaan Jerman bernama Von Kreamer, yang dikutip oleh Bilgrami dan Ashraf, mengatakan, “it was not the want of room in the mosque that called into being the madrasah, but the progress and diffusion of knowledge created a body of men who found it difficult to make a decent living through abstract teaching.”21 Ashraf juga menyoroti keberadaan universitas al-Azhar di Kairo dan Madrasah Nizamiyah di Baghdad sebagai lembaga pembelajaran yang terkenal yang pernah dimiliki oleh kaum Muslim. Kedua lembaga pendidikan ini dianggap memiliki visi bahwa pendidikan di negara Muslim tetaplah sama bahwa ilmu pengetahuan yang sejati adalah Islamis dalam sifatnya. Bilgrami dan Ashraf, The Concept of an Islamic, h. 22.

21

195


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Jika sebuah cabang ilmu dianggap bermanfaat bagi kesehatan dan keseimbangan perkembangan kepribadian individu maupun masyarakat maka ia akan diserap atau dimasukkan ke dalam sistem pendidikan, tapi kalau tidak maka ia akan ditolak. Tetapi perlu ditekankan bahwa hanya ada satu sistem, yaitu sistem pendidikan yang menyatukan yang akan menghasilkan warga negara yang mulia dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem pendidikan seperti inilah yang menurut Ashraf belum ada dan diupayakan untuk dicapai segera lewat universitas Islam. “It is this unified system of education that we have yet to acquire from our past history and this spirit has yet to be recaptured by our universities.”22 Ashraf menekankan bahwa universitas Islam tidak sekedar tempat pengajaran matakuliah keislaman semata, karena hal itu bisa saja dilakukan di universitas sekular yang mengikutsertakan matakuliah teologi dalam kurikulumnya. Ia mengatakan: If it is a question of teaching Islamic subjects along with other subjects, the object can be achieved by introducing some theological subjects into existing universities and making a few papers on Islamic Studies compulsory for all students of all disciplines, as is done in some universities in Muslim countries. Similarly, if it means providing facilities of higher knowledge and research on Islamic subjects for its students, the object can be achieved by establishing an Institute of Islamic Studies or opening a Kulliyyah al-Shari‘ah at any existing university. But the object is neither.23 Demikian pula tujuan dari universitas Islam tidak sekadar memberikan pendidikan tinggi sebagai latihan bagi otak manusia untuk menghadapi kebenaran yang tinggi. Tetapi lebih dari itu ia bertujuan untuk menghasilkan manusia yang memiliki ilmu yang tinggi dan sifat mulia yang mau bekerja keras untuk perbaikan umat manusia secara luas: The aim of the Islamic university is not merely to provide ‘higher education’ as a training of the mind or to deal with the ‘high’ truth or to prepare for ‘high callings’. It has to produce men of higher knowledge and noble character, enlightened with higher values, having an urge to work for the betterment of their own inner selves, and of humanity at large. 24 Oleh karena itu universitas Islam harus mampu menghasilkan para sarjana yang terdidik secara Islami yang mau mengabdikan dirinya untuk penyebaran ilmu kepada pikiran modern. Selain itu universitas juga harus melahirkan manusia terdidik di semua cabang ilmu pengetahuan. “It has also to produce men of learning in all possible and conceivable branches of knowledge – technical and professional, social and cultural, natural and scientific– all masters in their own fields, but presenting the same truth through their differing studies.”25 Dengan demikian, universitas Islam akan membawa mahasiswanya kepada sebuah tingkatan kedamaian dan keyakinan yang menyatukan mereka di atas dasar prinsip tauhid dan menerima nasibnya di dunia ini dengan kerja keras dan hidup jujur. Ibid., h. 25. bid., h. 40. 24 Ibid. 25 Ibid. 22 23

196


Muslih: Menggagas Universitas Islam Ideal: Studi Terhadap Pemikiran Syed Ali Ashraf

Selanjutnya, Asraf menegaskan kalau universitas Islam tidak sama dengan universitas Barat, ia mengatakan: The Islamic University will differ from all universities of the West in its wide concept of knowledge. It will have to achieve its goal by taking inspiration of al-Suffah, the first-ever Islamic institution of learning established by the Holy Prophet in Medina. There cannot be complete education without a spiritual base. Only the acquisition of knowledge, strengthened by virtues enunciated by Islam for the moulding of man’s character and his daily life, can fulfill the purpose and aims of education. It would also prove beneficial for society and for mankind. 26 Dari kutipan ini jelas bahwa universitas Islam akan berbeda dari Universitas Barat dalam hal keluasan konsep ilmu pengetahuan yang ada dalam Islam. Universitas Islam akan menggapai tujuannya dengan inspirasi dari lembaga pendidikan al-shuffah yang pernah didirikan oleh Nabi di Madinah. Demikian pula tidak ada pendidikan yang lengkap kalau tidak didasarkan pada landasan spiritual. Hanya pemerolehan ilmu yang diperkuat oleh kebajikan Islam untuk membentuk karakter manusia yang dapat memenuhi tujuan pendidikan, yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan kemanusiaan.

Penutup Berdasarkan pada uraian atau pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Menurut Ashraf, ilmu pengetahuan (al-‘Ilm) memiliki makna yang sangat luas, dan merupakan sifat Allah yang paling utama yang masuk ke dalam tujuh sifat penting Allah yang dikenal dengan ummu shifat. Di atas ilmu tentang segala sesuatu adalah ilmu mengenai hubungan antara segala sesuatu tersebut, dan yang paling tinggi adalah hubungan antara segala sesuatu tersebut dengan sang Pencipta. Ini merupakan hubungan yang paling penting untuk diketahui oleh setiap Muslim. Menurut Ashraf, konsep Universitas Islam bukan sekedar lembaga pendidikan yang semata-mata mengajarkan matakuliah-matakuliah keislaman saja, karena kalau orientasinya hanya pemberian materi-materi keislaman saja hal itu juga bisa dilakukan di universitas modern sekuler dengan cara memasukkan matakuliah teologi di dalam kurikulumnya. Sebuah universitas Islam tidak hanya menyediakan pengajaran dan pelatihan yang hanya mengisi otak para mahasiswanya saja tetapi lebih dari itu ia bertujuan untuk menghasilkan orang yang mendapatkan pencerahan dengan ilmu yang tinggi, watak serta nilai-nilai yang mulia. Setelah itu, mahasiswa yang belajar di dalam sebuah universitas Islam harus mampu bekerja untuk melakukan perbaikan bagi kesejahteraan kemanusiaan yang lebih luas dengan landasan spiritual. Pemikiran tokoh intelektual Muslim kontemporer seperti Syed Ali Asraf ini, meskipun sudah disampaikan beberapa waktu lalu, namun masih relevan untuk dikaji, karena itu disarankan kepada kalangan akademisi di lingkungan pendidikan tinggi Islam untuk Ibid., h. 41.

26

197


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 menelaahnya sebagai tambahan literatur dalam wacana pengembangan UIN dalam rangka mengintegrasikan ilmu pengetahuan yang selama ini dirasakan masih terjadi adanya dikotomi. Karena penelitian ini masih pionir disarankan kepada peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai masalah ini.

Pustaka Acuan Ashraf, Syed Ali. “Preface,” dalam H.H. Bilgrami dan S.A. Ashraf. The Concept of an Islamic University. Cambridge: Hodder and Stoughton, Islamic Academic, 1985. Aziziy, Qodri A. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat). Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Bilgrami, H.H. dan S.A. Ashraf. The Concept of An Islamic University. Cambridge: Hodder and Stoughton, Islamic Academic, 1985. Daud, Wan Mohd Nor Wan. The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education in a Developing Country. London: Mansell, 1989. Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004. Husain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf (ed.). Crisis in Muslim Education. Jeddah: King Abdulazis University, London: Hodder & Stoughton, 1978. Khomeini. Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, terj. Muhammad Abdul Kadir Alcaff. Jakarta: Lentera Basritama, 1996 Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, Implementasi, dan Inovasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Nassef, Abdullah Omar. “Foreword,” dalam H.H. Bilgrami dan S.A. Ashraf. The Concept of An Islamic University. Cambridge: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy, 1985. Nassef, Abdullah Omar. “Foreword,” dalam Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf (ed.). Crisis in Muslim Education. Jeddah: King Abdulazis University, London: Hodder & Stoughton, 1978. Rahardjo, Mudjia, (ed.). Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam. Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN Press, 2006. Soenarjo. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971. Soyomukti, Nurani. Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, Neo Liberal, Marxis-Sosialis, Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

198


PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK DALAM PENDEKATAN ISLAM DAN PSIKOLOGI Nurussakinah Daulay Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail: daulayina@yahoo.co.id

Abstrak: Karakter atau akhlak anak yang baik tidak muncul secara tiba-tiba tanpa melalui proses pendidikan. Salah satu cara dalam pendidikan karakter anak adalah menerapkan pendidikan agama pada anak sejak dini. Tulisan ini mengkaji bagaimana pendidikan karakter anak dalam pendekatan Islam dan psikologi. Penulis menyimpulkan bahwa Islam dan Psikologi memiliki pandangan dan tujuan yang sama dalam memaknai pendidikan karakter pada anak. Setiap orangtua dituntut menggunakan teknik dan pendekatan yang tepat dalam mengembangkan kepribadian anak sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu mendidik budi pekerti dan jiwa. Salah satu metode yang harus difungsikan adalah agama. Dalam pendidikan agama Islam dan teori Psikologi diajarkan prinsip-prinsip penting, seperti keimanan, keteladanan, kedisiplinan, nasihat, hukum dan ganjaran yang diberikan orangtua kepada anak sejak dini dalam keluarga sehingga pendidikan agama bermakna melahirkan orang yang beriman, beribadah dan berakhlak. Ketiga domain ini menuju kepada terbentuknya karakter yang baik. Abstract: Child’s Character Building in Islamic and Psychological Approaches. Character or good morals of a child will not be materialized as such without going through the process of education. One way to improve the good character in children is to adapt to religious education from an early age. The author concludes that Islam and psychology perceive similar views and goals in comprehending child’s character building. In carrying outthe process of religious educationfor children in the family, the parentis requiredto use appropri atetechniques and approaches that it may affect personal development ofthe childin accordancewith Islamic educational objective, namely developing the character and psychological aspects. One of the methods that should be applied is the religion. In Islamic religious education and theory of psychology important principles are thought, such as: creed, exemplar, discipline, guidance, law, discipline, reward and punishment, all which will produce true believers, observance and good character. Thethree aspets will consequently lead tothe formation ofgood character, especiallymoral education.

Kata Kunci: Psikologi, pendidikan karakter, agama, akhlak, jiwa 199


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Pendahuluan Periode anak merupakan periode perkembangan yang spesial karena memiliki kebutuhan psikologis, pendidikan, serta fisik yang khas. Perkembangan pada periode anak akan berpengaruh pada perkembangan masa-masa selanjutnya, bahkan gangguan yang terjadi pada masa dewasa dapat dirunut ke sumber permasalahannya, yang berasal dari masa kanak-kanak. Jika anak sejak usia dini sudah diberikan pemahaman untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmĂťdah) dan menghilangkan sifat-sifat tercela (mazmĂťmah), akan didapatkan masa depan anak yang tidak membuat masalah bagi kedua orang tuanya. Keluarga sebagai pendamping anak pada saat anak berada di rumah akan membekali anak dengan jiwa yang sehat melalui agama yang berfungsi sebagai terapi bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Jiwa yang sehat tentunya akan ditampilkan dalam karakter yang baik serta berakhlak mulia. Di Indonesia, sedang marak perbincangan mengenai pendidikan karakter, baik dalam diskusi ilmiah, seminar nasional maupun internasional. Hal ini tentu karena dirasakan sekali di masyarakat betapa kemerosotan bangsa ini dalam bidang karakter. Banyak disaksikan kasus-kasus yang terjadi pada anak didik yang dapat merusak mentalnya sebagai generasi muda, seperti kasus kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh teman sebaya sehingga menjadi tempat suburnya praktek-praktek bullying, kasus anak melakukan seks pertama kali saat mereka masih duduk di bangku sekolah (SMP maupun SMA), kenakalan remaja (juvenile deliquence), penyalahgunaan obat-obatan, dan pornografi. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dari sejak usia dini sudah mengalami degradasi moral dan ini tentunya akan berdampak negatif bagi penerus generasi muda dalam membangun bangsa ini. Begitu pentingnya konsep pendidikan karakter juga ditekankan oleh Presiden Soekarno yang telah mengungkapkan perkataan nation and character building. Beliau melihat bahwa salah satu yang sangat penting dibangun pada masyarakat Indonesia adalah karakternya. Membahas soal karakter, ini adalah bagian dari membangun jiwa manusia, karakter yang baik tidak akan muncul tanpa diawali dengan penjiwaan terhadap karakter tersebut. Dari penjiwaan terhadap karakter itulah munculnya perilaku baik. Perilaku baik tidak akan muncul dengan tiba-tiba tanpa melalui proses pendidikan. Seseorang bersikap diawali dari mengenal yang baik, kemudian membiasakannya dan melatihnya terus menerus sehingga menjadi kepribadiannya. Ketika itu telah menjadi bagian dari pribadinya maka ia telah berbentuk karakter.1 Pembentukan karakter anak bangsa merupakan implementasi dari pendidikan moral yang berbasis religius di lingkungan sekolah.Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan

Haidar Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Prenana Media Group, 2014), h. 184. 1

200


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) ditekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua kehidupan, baik privat maupun publik. 2 Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada orang tuanya. Jika anak sejak dini telah dibiasakan untuk menerima konsep pendidikan yang berbasis pendidikan Islam, yang merujuk dan membimbing kepada fitrahnya manusia agar dapat mencapai satu tujuan yang hakiki yakni menjadi abdun (hamba). Panduan untuk membimbing dan mengarahkan potensi manusia adalah al-Qur’an.

               Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka (Q.S.Thaha/ 20: 113). Selain pendidikan Islam yang berpedoman kepada al-Qur’an, sistem pengajaran yang disampaikan lebih menekankan dari segi pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (motorik), ketimbang hanya pentransferan pengetahuan (kognitif). Zubaedi juga menekankan bahwa pendidikan karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nilai-nilai moralitas, sebab jika anak tidak tahu bagaimana bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Lagipula telah kita ketahui bahwa karakter dapat dilihat dari “tindakan” bukan hanya dari pemikiran.3 Hal ini juga sejalan dengan pandangan yang diungkapkan oleh Haidar Daulay, yang mengungkapkan bahwa dalam pendidikan formal seluruh mata pelajaran yang diajarkan oleh guru perlu dikaitkan dengan nilai (value). Seorang guru yang berdiri di depan kelas tidak hanya men-transformasikan knowledge (ilmu pengetahuan) kepada peserta didik, tetapi dia harus mengimplisitkan nilai (value) yang terkandung dalam bahan ajaran yang disampaikannya itu. Banyak nilai-nilai kebajikan yang bisa disampaikan dalam setiap bahan ajaran yang dapat membentuk karakter anak didik. Melalui pendidikan olahraga dapat dikedepankan pendidikan sportivitas, disiplin, semangat kejuangan. Tidak hanya sematamata terfokus kepada olahraganya saja, tetapi bisa diambil nilai (value).4 Rasulullah Saw. bersabda, “muliakan anak-anakmu dan didiklah mereka dengan adab (budi pekerti) yang baik” (HR. Ibn Majah).5 Pembentukan karakter pada diri seseorang harus ditanamkan sejak usia dini. Hal ini M. Takdir Illahi, Quantum Parenting (Yogjakarta: Katahati, 2013), h. 91. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter. Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h. 6. 4 Haidar Daulay, Pendidikan Islam, h. 186. 5 Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 24. 2 3

201


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 sangat jelas dalam ajaran Islam. Materi pelajaran agama Islam harus disampaikan secara utuh, bukan dalam bentuk parsial. Keutuhan tersebut tampak bila dilihat dari lapangan pendidikan Islam. Lapangan pendidikan Islam menurut Hasbi ash-Shidiqi meliputi, Pertama, tarbiyah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya. Kedua, tarbiyah ‘aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal menajamkan otak semisal ilmu berhitung. Ketiga, tarbiyah âdâbiyah, yaitu segala rupa praktik maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai. Tarbiyah adabiyah atau pendidikan budi pekerti/akhlak dalam ajaran Islam merupakan salah satu ajaran pokok yang mesti diajarkan agar umatnya memiliki/melaksanakan akhlak yang mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.6 Tugas utama Rasulullah SAW diutus ke dunia ini dalam rangka menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya “Aku diutus (oleh Tuhan) untuk menyempurnakan akhlak budi pekerti yang mulia. (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abû Hurairah ra.). Demikian pula dalam ajaran Islam, akhlak merupakan ukuran barometer yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai kadar iman seseorang, sebagaimana sabdanya, “sesempurna-sempurna orang mukmin imannya ialah yang lebih baik akhlaknya”. (HR. Turmudzi). Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas spiritualnya. Kecerdasan spiritual ini adalah suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Konsep kecerdasan spiritual menjadi sesuatu hal yang sangat penting dalam serangkaian konsep pendidikan yang harus diberikan orangtua kepada anaknya. Hal ini dikarenakan kedalaman spiritual adalah dasar yang harus dimiliki oleh anak demi mencapai akhlak mulia dalam mengarungi kehidupannya kelak, sehingga bidang apa pun yang akan ditekuni oleh anak di kemudian hari, jika secara spiritual anak sudah bisa menginternalisasikan nilai-nilai religi ke dalam kehidupannya, maka sudah dapat dipastikan ia akan mencapai kesuksesan baik di dunia dan di akhirat.7 Pribadi anak yang dibina sejak dini dengan pengintegrasian antara kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia dapat merupakan dasar dari pembentukan pendidikan karakter pada anak.

Hakikat Pendidikan Karakter Menurut al-Qur’an dan Hadis Konsep tentang karakter ternyata sudah dikemukakan sejak ribuan tahun yang lalu, sejak filosof Yunani dan juga Rasulullah Saw. Seorang filosof yakni Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik Ibid., h. 70. Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia: Kecerdasan Spiritual, Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ Dan EQ (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 22. 6 7

202


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

(good character).8 Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw., “sesungguhnya engkau itu manusia yang Allah telah membaikkan ciptaanmu, maka baikkanlah budi pekertimu”(HR. al-Kharaithi dan Abû al-‘Abbas al-Dakhuli).9 Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Nabi Muhammad Saw. bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.10 Nabi Muhammad Saw. juga bersabda “sesungguhnya seseorang itu dengan kebaikan akhlaknya (budi pekertinya) dapat menyusul orang yang berpuasa dan mendirikan (malamnya dengan ibadah). Dan kebaikan akhlak seseorang itu tidak sempurna sehingga sempurna akalnya.Ketika itu maka sempurnalah imannya, ia taat kepada Tuhannya dan mendurhakai musuhnya, iblis” (HR. Ibn Mahbar dari riwayat ‘Amr bin Syu‘aib dari ayah dan kakeknya).11 Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.12 Sedangkan pendidikan karakter itu sendiri adalah proses yang dilaksanakan oleh penanggung jawab pendidikan untuk membentuk kepribadian peserta didik yang berkarakter. Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; tabiat;watak. Dalam Kamus Psikologi disebutkan bahwa karakter adalah “Character a consisten and enduring property or quality by means of which of person, object, or events can be identified”.13 Imam al-Ghazâlî juga termasuk dari sekian banyak tokoh pendidikan Islam yang turut mengangkat pamor Islam di mata dunia. Imam al-Ghazâli adalah tokoh pendidikan Islam yang juga menyebutkan pentingnya pendidikan akhlak yang baik (budi pekerti/ karakter) dalam kehidupan manusia menuju jalan kebenaran.Beliau juga menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan kembali. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 5, Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),

8

h. 30.

Al-Ghâzalî, Terjemah Ihya ‘Ulumiddin, Jilid V (Semarang: Asy-Syifa. 2009), h. 98. Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, h. 30. 11 Al-Ghâzalî, Terjemah Ihya’ Ulumiddin, Jilid 1 (Semarang: Asy-Syifa, 2009), h. 266. 12 Akhmad Sudrajat, “Konsep Pendidikan Karakter,” (Wordpress.com. 2010). 13 Chaplin, J.P. Dictionary of Psychology (New York: Dell Publishing. Co.Inc, 1973), h. 79. 9

10

203


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Imam al-Ghazâlî mengutamakan penjelasan keutamaan kebaikan budi pekerti dan tercelanya keburukan budi pekerti.14 Allah Swt. telah berfirman,

    

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. al-Qalam/68: 4).

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Yang paling berat barang yang diletakkan pada timbangan di hari kiamat adalah takwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik”. (HR. Abû Dâwûd dan Tirmidzi dari Abû Darda’ ra.) Untuk dapat memahami pendidikan karakter maka perlu dipahami terlebih dahulu struktur antropologis yang ada dalam diri manusia. Struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh dan akal.15 Hal ini sejalan dengan komponen-komponen sifat dasar manusia yang merupakan dasar dalam tujuan pendidikan Islam yakni tubuh, ruh dan akal. Kegagalan dalam mencapai hasil memproduksi suatu pribadi akan menyebabkan hasilnya tidak kualified bagi peran manusia sebagai khalifah. Sebagaimana penghilangan salah satu dari ketiga komponen ini akan menyebabkan hilangnya ketiga komponen pokok sebagai kesatuan yang utuh dan bulat.16 Allah Swt. berfirman :

                 Kemudian Dia menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal pikiran); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (Q.S. al-Sajadah/32: 9). Secara keseluruhan perbincangan mengenai karakter ini tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi, manusia tidak hanya saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara, dan memakmurkan alam ini, tetapi juga dituntut berlaku adil dalam segala urusannya. Dalam hidup manusia ini dituntut menjalankan akhlaknya secara vertikal kepada Allah dengan baik serta berusaha mencapai kedudukan sebagai hamba yang patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah Swt. Manusia juga diperintahkan untuk tidak mengabaikan akhlaknya secara horizontal, yaitu manusia memiliki akhlak mulia dengan sesama manusia dan juga terhadap sumber daya alam ini. Pemeliharaan dan pembudidayaan manusia pada sumber daya alam ini akan mendatangkan ketentraman, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup manusia. Al-Ghâzalî, Terjemah Ihya ‘Ulumiddin, Jilid V (Semarang: Asy-Syifa. 2009), h. 96. Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 80. 16 Abdurrahman Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. M. Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 137. 14 15

204


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih Pendidikan adalah suatu kegiatan yang disengaja untuk perilaku lahir dan batin manusia menuju ke arah tertentu yang dikehendaki. Kata menuju arah tertentu yang dikehendaki ini akhirnya menimbulkan berbagai jenis pendidikan, seperti pendidikan guru, pendidikan Islam, dan sebagainya. Istilah-istilah ini memberikan adanya pembatasan pengertian jenis dan lembaga suatu pendidikan. Pendidikan akhlak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai Tahzîb al-Akhlâq dan al-Tarbiyat al-Akhlâqiyyat.17 Kata akhlâk bentuk jamak dari al-khuluq atau al-khulq yang secara etimologi berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, agama, dan kemarahan/gadab.18 Akhlak adalah perpaduan antara lahir dan batin. Seseorang disebut berakhlak apabila seirama antara perilaku lahirnya dengan batinnya. Karena akhlak itu juga terkait dengan hati oleh karena pensucian hati adalah salah satu jalan untuk mencapai akhlak mulia. Dalam pandangan Islam hati yang kotor akan menghalangi seseorang mencapai akhlak mulia, bisa saja seseorang melakukan kebajikan tetapi kebajikan yang dilakukannya itu bukanlah tergolong akhlak mulia, karena tidak dilandasi oleh hati yang mulia pula. Jika perbuatan itu perbuatan baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syariat Islam disebut dengan akhlak terpuji, tetapi jika perbuatan itu bukan perbuatan baik disebut dengan akhlak tercela. Al-Ghazâlî mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam pada jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Al-Ghazâli menyebutkan ada tiga yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yaitu ‘aql, ghadhab dan syahwat. ‘Aql adalah dorongan berpikir, dorongan berpikir ini akan melahirkan akhlak mulia apabila dia berpikir dengan hikmah. ‘Aql haruslah melahirkan hikmah, berpikir berlandaskan hikmah adalah berpikir yang benar. Ghadab adalah dorongan marah, dorongan marah ini akan menjadi akhlak mulia jikalau melahirkan syaja‘ah. Syahwat yang benar adalah jika melahirkan ‘iffah yaitu keinginan yang tidak diperturutkan untuk mengumbar hawa nafsu dan juga tidak membunuhnya, akan tetapi berjalan pada jalan tengah yang wajar dan semestinya.19 Hakikat pendidikan akhlak adalah inti pendidikan semua jenis pendidikan karena mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan bathin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya. Dengan demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau lembaga, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga.20 Miqdad Yaljun, Ahdaf al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Ghayatuha (Riyad: Mathabi’ al-Qashim, 1986), h. 18. 18 Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992), h. 102. 19 Al-Ghazâlî, Ihya ‘Ulumuddin (Beirut: Dâr al-Fikri, 1989), h. 58. 20 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 47. 17

205


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibn Miskawaih dikenal sebagai intelektual Muslim pertama di bidang falsafat akhlak. Semua karya Ibn Miskawaih tidak luput dari kepentingan falsafat akhlak. Sehubungan dengan hal itu tidak heran jika kemudian beliau dikenal sebagai seorang moralis. Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa‘âdat).21 Menurutnya, al-sa‘âdat merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness) dan kebagusan/kecantikan (beautitude).22 Usaha untuk mencapai al-sa‘âdat ini tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Menurut Ibn Miskawaih bahwa perkembangan jiwa manusia merupakan konsep pendidikan akhlak anak dan remaja. Daya jiwa yang muncul dan berkembang pertama kali pada anak-anak adalah jiwa al-bahimiyyat (daya bernafsu sebagai daya terendah), kemudian jiwa al-ghadabiyyat (daya berani sebagai daya pertengahan), dan akhirnya jiwa al-nathiqat (daya berfikir sebagai daya tertinggi).23 Terdapat perbedaan pokok antara arah dan metode pendidikan akhlak untuk anak dan remaja di satu pihak dengan pendidikan akhlak untuk orang dewasa/tua di pihak lain. Pendidikan akhlak untuk anak dan remaja ditekankan kepada tercapainya keutamaan jiwa al-bahimiyyat dan jiwa al-ghadabiyyat, sedangkan pada orang dewasa/tua pendidikan akhlaknya diarahkan untuk mencapai keutamaan jiwa al-nâthiqat. Perhatian utama Ibn Miskawaih dalam pendidikan akhlak untuk anak dan remaja adalah menyiapkan secara dini ketangguhan anak dan remaja tersebut untuk memperlemah sumber penyakit jiwa. Beliau juga mengungkapkan bahwa kebiasaan berbuat baik dan meninggalkan perbuatan jahat/hina yang dimulai dari masa kanak-kanak akan terasa ringan jika mereka sudah mencapai usia dewasa. Untuk tingkat prasekolah dan pendidikan dasar, Ibn Miskawaih sangat menekankan syariat (agama). Menurutnya, syariat akan berfungsi efektif bagi anak dan remaja untuk membiasakan diri berbuat yang diridhai, kesiapan jiwa untuk menerima al-hikmat, dan motivasi untuk memperoleh keutamaan.24 Sejarah yang berupa kisah-kisah ringan dan baik untuk dijadikan panutan dan sastra yang berwujud syair-syair yang berisi tuntunan yang baik, dapat disampaikan mulai pada anak usia prasekolah. Sedangkan ilmu hitung, matematika, gramatika, dan ilmu eksakta lain mulai dapat disampaikan pada pendidikan tingkat dasar dan diperkuat sampai tingkat menengah. Logika dan falsafat diberikan untuk tingkat pendidikan tinggi. 25

Ibn Miskawaih, Kitâb al-Sa‘âdat (Mesir: al-Mathba’at al-Mishriyyat, 1928), h. 34-35. M. Abdul Haq Ansari, “Miskawayh’s Conception of Sa’adat,” dalam Islamic Studies (2 Maret 1963), h. 319. 23 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlâq (Beirut: Mansyurat Dâr Maktabat al-Hayat, 1398 H), 62. 24 Ibid., h. 54. 25 Ibid., h. 155. 21 22

206


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

Secara keseluruhan pendidikan akhlak menurut Ibn Miskawaih didasarkan pada konsepnya tentang manusia.Tugas pendidikan akhlak adalah memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar mencapai tingkatan manusia yang seimbang/harmonis sehingga perbuatannya mencapai tingkat perbuatan ketuhanan. Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang semata-mata baik dan yang lahir secara spontan. Karena itulah pendidikan akhlak dalam Islam terkait erat dengan pendidikan hati (qalb).Dalam pandangan Islam pendidikan akhlak tidak hanya sekadar mendidik perilaku saja tetapi juga harus dididik dari mana sumber perilaku tersebut. Karena itulah orangorang yang ingin memperbaiki akhlaknya terus menerus harus melakukan pembersihan hati secara terus menerus dari sifat-sifat tercela, kegiatan ini lah yang disebut dengan takhalli. Setelah hati bersih baru diisi dengan sifat-sifat terpuji kegiatan ini disebut dengan tahalli. Setelah keduanya dilakukan maka memasuki fase ketiga yaitu tajalli. Pendidikan karakter adalah mendidik seseorang untuk memiliki perilaku yang baik sehingga perilaku itu menjadi ciri khasnya yang tidak bisa dipisahkannya dari dirinya dan kehidupannya. Karakter yang baik itu telah menjadi bagian dari dirinya. Dalam hal ini hampir serupa dengan apa yang digambarkan oleh Imam al-GhazâlÎ di atas, bahwa akhlak itu adalah sesuatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang melahirkan perbuatanperbuatan dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Pendidikan akhlak memiliki kaitan yang erat dengan pendidikan karakter, bahkan objek-objek pembahasan dalam kajian karakter adalah juga menjadi menjadi obyek bahasan dalam akhlak, demikian juga sebaliknya. Dengan mendididikkan akhlak secara utuh (kâffah) kepada anak telah tercakup di dalamnya sekaligus pendidikan karakter. Seseorang yang berakhlak mulia tentunya akan menikmati kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.

Pendidikan Agama dan Pendidikan Karakter Pada tahun 1946 BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Pusat) mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama dilaksanakan di sekolah, usul tersebut disambut baik oleh pemerintah, ditindaklanjuti oleh Menteri PP & K pada saat itu Mr.Soewandi (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) dengan membentuk panitia penyelidik pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara, hasil dari panitia itu dilaksanakanlah pendidikan agama di sekolah-sekolah tersebut dibuatlah beberapa peraturan bersama antara Menteri Agama dan Menteri PP & K.26 Pendidikan agama di sekolah mempunyai kedudukan yang kuat di Indonesia yang mencakup Landasan filosofis, konstitusi, yuridis, serta landasan sosial masyarakat. Bertolak dari visi yang ditetapkan oleh Kementerian Agama tentang visi pendidikan agama adalah “Terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter, watak dan kepribadian dengan landasan iman dan ketakwaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kukuh yang Daulay, Pendidikan Islam, h. 187.

26

207


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 tercermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari, untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa�. 27 Visi ini akan diaplikasikan dalam tiga mata pembelajaran pokok yaitu: keimanan (akidah), ibadah dan akhlak. Ketiga aspek ini berbeda konten (isi), tetapi menyatu dalam pembentukan karakter dan watak peserta didik akan berujung kepada pembentukan karakter, ibadah juga begitu tentu terlebih-lebih akhlak. Dengan demikian, pendidikan agama yang dirancang dengan baik dilaksanakan dengan baik pula akan dapat membentuk karakter bangsa. 28 Berdasarkan visi pendidikan agama yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama jelas sangat terlihat bahwa pendidikan agama wajib diberikan pada peserta didik di sekolah. Mengingat mata pelajaran dan jam pelajaran di sekolah umum lebih didominasi oleh bidang ilmu pengetahuan umum, sedangkan pendidikan agama sangat minim sekali. Peran nilainilai spiritual keagamaan menjadi sangat penting dalam setiap proses pendidikan yang terjadi di sekolah. Kesimpulannya terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlakul karimah tidak mungkin terbentuk tanpa peran dari nilai-nilai spiritual. Fakta yang tampak jelas di dunia pendidikan pada sekolah hari ini adalah siswa di SD, SMP, dan SMA/SMK seolah ditekankan hanya pada improvisasi intellectual intelligence (kecerdasan intelektual) semata atau dengan kata lain pada pengembangan ranah kognitif. Memang benar bahwa di setiap sekolah umum terdapat kurikulum dimana salah satu mata pelajaran yang diajarkan adalah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapkan mampu menstimulasi siswa pada penyadaran spiritual intelligence (kecerdasan spiritual). Sayangnya mata pelajaran PAI tersebut kurang efektif dalam pembenahan akhlak generasi bangsa khususnya generasi Islam.29 Kalaupun ada materi pendidikan keagamaan yang selama ini tercantum di kurikulum dan terimplementasi dalam proses pembelajaran di sekolah, namun materi tersebut dirasa masih belum mampu memberikan penanaman nilai-nilai spiritual yang baik terhadap perilaku siswa. Permasalahan ini mungkin dapat diantisipasi dengan penambahan jam pembelajaran keagamaan di sekolah-sekolah, ataupun dengan penanaman nilai-nilai spiritual pada kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini dirasa perlu mengingat ekstrakurikuler di sekolah adalah kegiatan tambahan di luar jam kurikulum inti sebagai penunjang bagi pengembangan potensi siswa. Adapun kegiatan ekstrakurikuler yang dapat diterapkan di sekolah diantaranya seperti pelatihan ibadah perorangan dan Jama’ah, tadabbur dan tafakkur alam, dan pesantren kilat. Tentunya kegiatan ekstrakurikuler ini agar dapat terlaksana dengan baik, pihak sekolah sekiranya dapat memfasilitasi sarana dan prasarana di sekolah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya tentang apa hakikat pendidikan agama dan Departemen Agama RI, Langkah Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum (Jakarta: t.p., 2001), h. 4. 28 Daulay, Pendidikan Islam, h. 189. 29 Asep kurniawan, “Penanaman Nilai-nilai Tasawuf dalam Rangka Pembinaan Akhlak di Sekolah Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan,� dalam al-Tahrir, 1 Mei 2013, h. 190. 27

208


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

pendidikan karakter, kedua hal ini memiliki titik singgung yang sangat erat sekali bahkan pada hakikatnya menyatu dan tak terpisahkan. Domain pokok dari pendidikan agama ada tiga, yakni pendidikan keimanan (akidah), pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlak. Dalam konsep Islam domain akidah dan ibadah terkait erat dengan akhlak. Akidah membuat orang menjadi berakhlak sebab selalu merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, pada ketika seseorang memiliki sikap yang demikian itu maka dia akan terhindar dari perbuatan tidak terpuji. Dengan pemberian pendidikan agama sejak dini pada anak diharapkan dapat mengembangkan potensi dan pemahaman dasar anak dalam bertingkah laku, bersosial, kepribadiannya sehingga anak tidak hanya cerdas dalam segi kognitif tetapi juga dari segi afektif dan spiritualnya. Pendidikan agama tidak hanya diberikan pada lembaga formal saja, seperti sekolah, pesantren, dan madrasah, tetapi juga dapat dilaksanakan di lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan, kelompok belajar, dan yang paling utama pendidikan agama di lembaga informal yakni di lingkungan keluarga. Pendidikan agama yang diberikan dalam keluarga adalah peletak dasar bagi pendidikan selanjutnya pada anak. Pendidikan agama berisikan tentang kepercayaan (iman), pengabdian kepada Allah (ibadah), dan akhlakul karimah. Pada pendidikan akhlak inilah terkait erat dengan pendidikan karakter. Bahkan pada aspek pendidikan iman dan ibadah dapat dikaitkan dengan pendidikan karakter. Dapat disimpulkan betapa urgennya pendidikan agama diberikan sejak dini dalam menciptakan dan mengembangkan karakter dan akhlak anak.

Perspektif Psikologi dalam Pembentukan Karakter Anak Karakter pada anak tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa ada pemberian rangsangan yang positif serta peran dari orang terdekat. Salah satu pembentukan karakter anak adalah pentingnya mengajarkan konsep moral sejak anak usia dini yang didasarkan pada berbagai pendapat bahwa pada usia dini, anak sangat mudah mempelajari sesuatu. Kemampuan belajar seseorang itu ternyata dikembangkan pada lima tahun pertama kehidupannya. Dalam tulisan ini, akan dikaitkan dari segi psikologi dan pandangan para tokoh psikologi mengenai peran moral yang dipersiapkan dan dilaksanakan orang tua sejak dini untuk menciptakan karakter yang baik pada anak. Moral berasal dari bahasa Latin mos (moris) yang berarti adat istiadat peratutan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsipprinsip moral. Nilai-nilai moral ini, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara hak orang lain; dan larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras,dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku ini sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi kelompok sosialnya.30 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Prenadamedia, 2013), h. 51.

30

209


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki skala nilai atau konsep pemahaman akan moral. Setiap anak harus diajarkan standar kelompok tentang yang benar dan yang salah sejak mereka dini. Hurlock adalah seorang pakar psikologi perkembangan menjelaskan bahwa belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Ini merupakan salah satu dari tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. 31 Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan yang salah.Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mampu mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka dalam mengambil keputusan moral. 32 Minat psikologi pada perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial. Secara bertahap minat psikologi bergeser ke arah perkembangan moral.33 Dengan adanya peningkatan yang serius dalam mengatasi kenakalan remaja, minat untuk mempelajari penyebab, penanganan, dan pencegahannya menjadi sasaran utama kajian Psikologi. Studi Psikologi mengenai perkembangan moral telah dipacu oleh teori-teori yang didasarkan atas hasil-hasil penelitian sehubungan dengan pola perkembangan moral pada masa kanak-kanak. Teori terbaik dan paling berpengaruh dalam perkembangan dan kompetensi moral adalah teori Piaget dan teori Kohlberg. Kohlberg, seorang pakar psikologi perkembangan anak menyatakan bahwa salah satu cara mengembangkan kompetensi pertimbangan moral pada anak adalah dengan melakukan diskusi isu-isu moral. Perilaku moral diperoleh anak dengan cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui proses modeling dan penguatan (reinforcement).34 Pada anak usia dini perkembangan moral telah terjadi. Sigmund Freud adalah tokoh pendiri aliran Psikoanalisa yang sangat fenomenal, menyatakan bahwa perkembangan moral telah terjadi pada anak usia 3 dan 6 tahun. Menurut Berk bahwasanya Freud meyakini moralitas muncul sebagai resolusi dari konflik Oedipus dan Elektra selama tahun-tahun prasekolah. Ketakutan hukuman dan kehilangan cinta orangtua mendorong anak-anak

Teori Tugas Perkembangan pada masa kanak-kanak oleh tokoh Psikologi Perkembangan yaitu Havighurst (1961). Setiap tahapan kehidupan manusia harus memiliki tugas-tugas dalam perkembangannya. Tugas perkembangan itu sendiri adalah tugas yang muncul pada saat suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan kebahagiaan dalam melaksanakan tugas berikutnya. Namun jikalau gagal, menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Salah satu tugas perkembangan yang harus dilewati pada masa kanak-kanak adalah mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata dan tingkatan nilai. 32 Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid II (Jakarta: Elangga, 1978), h. 75. 33 Ibid., h. 74. 34 Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization the Cognitive Developmental Approach�, dalam Thomas Lickona (ed.). Moral Development and Behavior Theory, Research, and Social Issues (New York: Holt Rinehart and Winston, 1976), h. 115. 31

210


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

untuk membentuk superego melalui identifikasi dengan orangtua yang berjenis kelamin sama dan untuk mengalihkan dorongan permusuhan kepada rasa bersalah dalam diri anak.35 Tokoh Psikologi Perkembangan Kognitif yaitu Jean Piaget juga menyatakan perkembangan moral pada anak telah terjadi sebelum usia 7 tahun. Tahap perkembangan moral anak sebelum usia 7 tahun disebut sebagai tahap heteronomous morality. Pada tahap ini anak membayangkan keadilan dan aturan-aturan lainnya sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara. 36 Pertama, pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan yang salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang terpenting adalah pendidikan moral seperti keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral. Kedua, identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru dan artis). Ketiga, proses cobacoba (trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara cobacoba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya. Albert Bandura adalah tokoh Psikologi Behaviorisme yang mencetuskan social learning theory dalam proses pembelajaran. Bandura berpendapat bahwa perilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan. Model-model yang efektif adalah sesuatu yang hangat, kuat dan menunjukkan hal yang konsisten antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Melalui pembelajaran modeling anak-anak usia dini terjadi internalisasi berbagai perilaku prososial dan aturan-aturan lainnya untuk tindakan yang baik. 37 Melalui belajar mengamati (modelingatau imitasi), anak secara kognitif akan menampilkan perilaku orang lain dan kemudian akan mengadopsi perilaku tersebut di dalam diri anak. Teori yang dikemukakan Albert Bandura tersebut mempercayai bahwa seorang anak memerlukan model/figur yang akanmemotivasi dirinya untuk mengidentifikasi diri seperti model atau figur tersebut. Jika seorang anak telah teridentifikasi oleh modelnya, maka perbuatan yang dilakukan model tersebut akan menjadi inspirasi baginya untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan perbuatan atau tindakan dari model tersebut. Pada tahap awal perkembangan anak, mereka akan belajar mengamati perilaku orang tua yang dianggap sebagai figur dominan dalam dirinya. Pada tahapan perkembangan inilah sebaiknya orang tua dan pendidik mampu menampilkan perilaku yang baik beserta penjelasan akan penalaran moral. Menampilkan perilaku yang baik saja tidaklah cukup, Laura Berk, Child Development (Boston: Pearson Education, 2006), h. 515. Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Prenadamedia, 2013), h. 52. 37 John W. Santrock, Perkembangan Masa Hidup, Jilid I (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 47. 35 36

211


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 namun harus dibarengi juga dengan penjelasan mengapa perilaku tersebut ditampilkan. Hal ini akan menumbuhkan pemahaman konsep anak terhadap penalaran moral, sehingga anak juga diajak untuk memahami dari segi kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Sehingga disini terjadi proses pendidikan yang mencakup transfer of knowledge, transfer of of value, dan transfer of skill. Mengenai langkah-langkah dalam pembentukan karakter anak dari segi psikologi, dapat disimpulkan seperti berikut. Pertama, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada anak sejak kecil sebelum dia mengenal baik dan buruk (usia anak sekitar 3 tahun), contohnya seperti anak dibiasakan untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan. Kedua, setelah anak mengetahui dan mampu membedakan perilaku yang baik dan buruk, kemudian anak diajak untuk diperkenalkan bahwa mengapa perilaku itu baik dan mengapa perilaku itu buruk. Jadi pada tahapan ini anak diasah untuk membentuk kognitifnya (usia anak sekitar 6 tahun/usia sekolah dasar). Ketiga, setelah anak diasah untuk membentuk kognitifnya dengan cara mengetahui penyebab perilaku tersebut muncul, kemudian anak diajak untuk diasah dari segi afektifnya. Anak diajak untuk menyukai perilaku yang baik tersebut dan menjelaskan mengapa perilaku baik itu disenangi dan baik untuk ditampilkan, kemudian menjelaskan mengapa perilaku buruk itu tidak baik dan tidak senangi untuk ditampilkan. Keempat, setelah anak mampu membedakan dan memahami perilaku yang baik dan yang buruk, maka anak diajak untuk mengamalkannya, dalam hal ini anak diajak untuk diasah psikomotoriknya. Misalnya, anak setiap hari diajak untuk berinfak di sekolahnya, anak diajak untuk membuang sampah pada tempatnya. Kelima, ketika anak sudah mampu mengamalkannya dengan baik, orang tua dan pendidik diharapkan mampu memberikan contoh yang baik dan menjadi uswatun hasanah bagi anak, mengingat pada tahapan ini anak akan meniru (imitation) perilaku dari figur yang dekat dengannya. Keenam, perilaku baik yang ditampilkan agar diberi penguat (reinforcement) atau pun reward dengan cara terus mengingatkannya. Sesuatu perilaku yang tidak baik agar diingatkan juga bahwa perilaku itu melanggar akhlak. Reward dan punishment tetap terus diberikan. Anak yang bagus akhlaknya tetap diberikan reward, dan bagi anak yang menunjukkan perilaku tidak sesuai dengan moral maka boleh diberikan punishment, tetapi dalam hal ini bukan punishment yang bersifat fisik. Intinya punishment (ganjaran) yang berguna untuk memperkuat perilakunya agar menjadi lebih baik. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa karakter anak dapat dibentuk sejak dini salah satunya dengan penanaman konsep moral yang dibiasakan dan diaplikasikan orang tua sebagai pendidik pertama, kemudian lingkungan sekolah dan masyarakat. Para tokoh Psikologi juga telah menjelaskan bahwa penerapan dan pembiasaan konsep moral dapat mencegah individu agar tidak melakukan hal-hal yang terlarang.

Peran Keluarga Muslim dalam Pembentukan Karakter Anak Secara alami, anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar 212


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh dengan sempurna, sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalam pikirannya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Pada tahap awal perkembangan ini, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. 38 Seorang anak lahir hanya dengan satu pikiran yaitu pikiran bawah sadar.Semua peristiwa, pengalaman, suara, atau emosi terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar dan menjadi program pikiran.Otak pada saat itu berfungsi sebagai hard disk yang merekam semua hal yang anak alami. Kemudian sejalan dengan proses tumbuh kembang, anak akan mengalami pemrograman pikiran terus menerus, melalui interaksi dengan dunia luar dan di dalam diri. Pada anak yang memprogram pikirannya adalah terutama orang tua, kemudian lingkungan sekitar bisa masyarakat, sekolah, bahkan televisi. Pada saat itu anak belum bisa menolak informasi yang diterimanya. Ketidakmampuan anak dalam menyaring informasi disebabkan pada saat itu faktor kritis dan pikiran sadar belum terbentuk. Seandainya sudah terbentuk faktor kritis masih lemah. 39 Pemrograman pikiran saat anak masih kecil hanya terjadi melalui dua jalur utama yaitu melalui imprint dan misunderstanding. Imprint adalah apa yang terekam di pikiran bawah sadar saat terjadinya luapan emosi atau stres, mengakibatkan perubahan pada perilaku. Sedangkan misunderstanding adalah salah pengertian yang dialami seseorang saat memberikan makna kepada atau menarik kesimpulan dari suatu peristiwa atau pengalaman. Baik imprint maupun misunderstanding, setelah terekam di pikiran bawah sadar, akan menjadi program pikiran yang selanjutnya mengendalikan hidup seseorang.40 Hal ini sejalan dengan pandangan Jean Piaget seorang tokoh psikologi perkembangan kognitif bahwa usia anak sejak lahir sampai dua tahun termasuk dalam kategori sensorismotorik. Pada usia ini anak masih menggunakan pancainderanya dalam mengenali lingkungannya, kemudian proses pengenalan terhadap suatu pola, dan perhatian. Pada usia tiga tahun sampai lima tahun, proses berpikir anak juga belum optimal, anak belajar memahami simbol-simbol, memiliki pemikiran yang sangat imajinatif, dan proses meniru (modeling) yang begitu cepat, serta kemampuan berbahasa yang mulai membaik. Jadi konsep berpikir anak belum mampu menguraikan sebab akibat dari suatu perilaku. Selanjutnya semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, televisi, internet, buku, majalah dan dari berbagai sumber lainnya akan menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Aktivitas melihat atau mengamati akan membantu menguatkan pikiran anak. Mulai dari sinilah, peran

Majid, Pendidikan Karakter. Perspektif Islam, h. 18. Tridhonanto, Membangun Karakter Sejaak Dini (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 28. 40 Ibid., h. 29. 38

39

213


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui pancaindera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran sadar.41 Berdasarkan konsep-konsep dasar pendidikan karakter yang telah dijelaskan di atas, sejumlah ahli psikologi menyatakan bahwa tahun-tahun awal perkembangan dapat dikatakan sebagai dasar pembentuk kepribadian seseorang. Mengapa demikian? Sebab pada usia ini anak begitu banyak dan cepat menyerap informasi dari lingkungan pertama sekali yang ia perhatikan yakni keluarga. Sifat dan sikap anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, bagaimana orang tua menanamkan dan mendidik anak.Islam memandang perilaku anak menjadi baik merupakan kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tua. Rasulullah Saw. bersabda, “Dari ‘Abd Allâh bin Mas‘ûd ia berkata kepada bapaknya tentang bagaimana memperlakukan anak-anak mereka. Biasakanlah mereka dengan perbuatan baik, karena sesungguhnya kebaikan itu akan membiasakannya.”(al-Tarbiyah al-Nabâwiyah li al--Thifl). Hadis di atas sebenarnya menjelaskan bahwa untuk menciptakan anak-anak yang baik, maka perlu pembiasaan sejak kecil dari orangtua dan keluarga lainnya. Karena itu, orangtua terlebih dahulu harus menjadikan perbuatan-perbuatan baik sebagai kebiasaan dan kepribadiannya sehari-hari, sehingga mudah dicontoh oleh anak-anak. Dalam berbagai literatur ditemukan bahwa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang. Hal ini dipertegas juga oleh Ibnu Sînâ (Avicenna), seorang dokter dan filosof Muslim tersohor yang lahir tahun 980 M. Beliau berwasiat “orang yang ditiru hendaklah menjadi pimpinan yang baik, contoh yang bagus, hingga tidak menginggalkan kesan yang buruk dalam jiwa anak-anak yang menirunya.”42 Anak-anak pada pendidikan tingkat dasar adalah anak-anak peniru. Karena itu bagi orang tua, pendidik untuk dapat menampilkan sifatsifat utama dan berakhlak, karena anak akan menuruti jejak mereka. Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya pintar dan cerdas, serta berakhlak. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah bagi orangtua, sebab di zaman modern sekarang ini, dimana banyaknya terjadi kenakalan yang dilakukan oleh anak akibatnya minimnya pemahaman akan pendidikan karakter serta penerapan pendidikan agama di lingkungan keluarga. Keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai peranan penting dalam membentuk generasi muda Muslim. Keluarga adalah lembaga pendidikan informal. Meskipun sebagai pendidikan informal dalam Islam, tetapi keluarga merupakan pendidikan pertama dan terutama bagi anak didik. Apa yang terjadi di dalam keluarga merupakan Ibid., h. 18. Amoh Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 107. 41 42

214


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

proses pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak selanjutnya. Sikap keagamaan, akhlak, akal pikiran, tingkah laku sosial, dan budaya anak banyak dibentuk oleh pendidikan dalam keluarga. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “sesungguhnya setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanyalah yang akan menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.43 Dengan demikian jelaslah bahwa karakter itu dapat dibentuk. Stimulus-stimulus yang diberikan ibu kepada janin yang masih dalam kandungan, kemudian ketika anak dilahirkan dan anak tumbuh dengan perhatian, kasih sayang serta pola asuh dan didikan ajaran Islam yang benar, maka anak akan hidup dan menyongsong masa depannya yang berkarakter Islam. Kesuksesan atau bahkan masa depan anak adalah tergantung bagaimana orang tua mendidik dan membimbingnya. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda dan dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal jika diasah oleh lingkungan (keluarga) dengan baik. Firman Allah Swt.:

                      

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. al-Tahrim/66: 6) Maksud ayat di atas adalah perintah memelihara keluarga, termasuk anak, bagaimana orangtua dapat mengarahkan, mendidik, dan mengajarkan anak dapat terhindar dari siksa api neraka. Hal ini juga memberikan arahan bagaimana orang tua harus mampu menerapkan pendidikan yang dapat membuat anak mempunyai prinsip untuk menjalankan hidupnya dengan positif, menjalankan ajaran Islam dengan benar, sehingga mampu membentuk anak menjadi anak yang mempunyai karakter yang baik.

Penutup Islam dan Psikologi memiliki pandangan dan tujuan yang sama dalam memaknai pendidikan karakter pada anak. Intinya anak sejak dini harus mendapatkan rangsangan yang positif, sebab tahun-tahun awal perkembangan dapat dikatakan sebagai dasar pembentuk kepribadian dan karakter seseorang. Pembentukan karakter (character building) yang seimbang, sehat dan kuat, sangat dipengaruhi oleh proses pendidikan dan internalisasi nilai-nilai baik. Idealnya agama menginternalisasi ke dalam jiwa anak yang tumbuh dan

Jamal al-Dîn ‘Abd Rahmân bin Abi Bakr al-Suyuthi, Al-Jami‘ al-Shaghir fi Ahâdîts al – Basyîr al-Nazhîr (Kairo: Dâr al-Katib al-‘Arabi, 1967), h. 194. 43

215


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 berkembang bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya, yang dimulai sejak anak berada dalam kandungan (prenatal) hingga mendapatkan pendidikan (dalam arti bimbingan dari orang lain), baik informal (keluarga), nonformal (masyarakat) maupun formal (lembaga pendidikan). Ketiga pusat pendidikan tersebut hendaknya berjalan secara paralel, sehingga diharapkan kepribadian yang terbentuk melalui proses pendidikan ini akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan cara bepikirnya. Dengan kata lain, dalam proses pembentukan karakter, anak juga diajak untuk memahami dari segi kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Sehingga disini terjadi proses pendidikan yang mencakup transfer of knowledge, transfer of of value, dan transfer of skill.

Pustaka Acuan Abdullah, Abdurrahman. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta. 1990. Al-Abrasyi, Amoh Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Ansari, M. Abdul Haq. “Miskawayh’s Conception of Sa‘adat,” dalam Islamic Studies, No. II/3, 1963. Al-Ghazâlî. Terjemah Ihya’Ulumiddin Jilid I, III, V. Semarang : Asy-Syifa. 2009. Al-Ghazâlî. Ihyâ ‘Ulumuddin. Beirut: Dâr al-Fikri, 1989. Berndt, Thomas J. Child Development. Florida: Rinehart & Winston Inc.1992. Berk, Laura. Child Development. Boston: Pearson Education, 2006. Chaplin, J.P. Dictionary of Psychology. New York: Dell Publishing. Co.Inc. 1973. Departemen Agama RI. Langkah-langkah Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum. Jakarta: t.p., 2001. Daulay, Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2014. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997. Hurlock, Elizabeth. Perkembangan Anak, Jilid II. Jakarta: Erlangga, 1978. Ilahi, M. Takdir. Quantum Parenting. Yogjakarta: Katahati, 2013. Ibn Miskawaih. Kitâb al-Sa‘adat. Mesir: al-Mathba’at al-Mishriyyat, 1928. Ibn Miskawaih. Tahzib al-Akhlâq. Beirut: Mansyurat Dâr Maktabat al-Hayat, 1398. Jamal al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Abi Bakr al Sayuthi. Al-Jami’ah al-Shaghr fi Ahâdîts al– Basyir al-Nazhir. Kairo: Dâr al-Katib al-‘Arabi, 1967. Jahja, Yudri. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media, 2013. Koesoema, A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern. Jakarta: Grasindo, 2007. 216


Nurussakinah Daulay: Pendidikan Karakter pada Anak

Kohlberg, Lawrence. “Moral Stages and Moralization the Cognitive Developmental Approach”, dalam Thomas Lickona (ed.). Moral Development and Behavior Theory, Research, and Social Issues. New York: Holt Rinehart and Winston, 1976. Kurniawan, Asep. “Penanaman Nilai-nilai Tasawuf dalam Rangka Pembinaan Akhlak di Sekolah Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan,” dalam al-Tahrir, Vol. 13 No.1 Mei 2013. Majid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Santrock, John. Perkembangan Masa Hidup, Jilid I. Jakarta: Erlangga, 1995. Sitorus, Masganti. “Optimalisasi Kompetensi Moral Anak Usia Dini.” Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, 2009. Sudrajat, Akhmad. “Konsep Pendidikan Karakter” dalam wordpress.com. 2010. Sukidi. Rahasia Sukses Hidup Bahagia. Kecerdasan Spiritual. Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ Dan EQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Suwito. Filsafat Pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih. Yogjakarta: Belukar, 2004. Tridhonanto. Membangun Karakter Sejak Dini. Jakarta: Gramedia, 2012. Yaljun, Miqdad. Ahdaf al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Ghayatuha. Riyad: Mathabi’ al-Qashim. 1986. Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter. Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group, 2012.

217


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

INDEKS

A. Qodri Azizy, 82

Dinasti Fathimiyah, 2

A. Jadzuli, 82

Dinasti Mamalik, 2

‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, 10

Fazlur Rahman, 55, 113

‘Ali Abdurrâziq, 4, 6, 10, 65

ghanîmah, 110, 118, 119, 121, 124, 125

‘Ali Syari‘ati, 5

ghasb, 107

Abu al-A‘lâ al-Maududi, 65

Hasan al-Banna, 4, 65

Abû Ja‘far al-Manshûr, 119,

Hasan Hanafi, 3, 6, 115

Abû Yûsuf, 107

Hasbi Ash-Shiddieqy, 202

Ahmad Mushtfafâ al-Marâghi, 154, 161

Hukum Islam, 63-75

Ahmad Syafii Maarif, 164

Ibn ‘Arabi, 15

Ahmadiyah, 45, 52, 53, 61

Ibn Katsir, 154, 155

Alexander Agung, 2, 3

Ibn Miskawaih, 206

Al-Farâbi, 3, 7, 15, 16

Ibn Qayim, 8, 32, 33

Al-Ghazali, 66, 37, 203, 205, 207

Ibn Rusyd, 80, 86

Al-Kindi, 3, 15, 16

Ibn Sînâ, 5, 16, 214

Al-Mâwardi, 66, 167-182

Ibn Taimiyah, 8, 30

Al-Qiyadah al-Islamiyah, 45, 60, 61

Ibrâhîm Madkûr, 1, 9, 14, 15

Amir Syarifuddin, 73

ihsân, 130

Aristoteles, 15

Imam Abû Hanîfah, 82, 89, 107

Arskal Salim, 72

Imam Ahmad ibn Hanbal, 8, 89

Asketisme, 21-41

Imam Mâlik, 82, 89

Awrad MUhammadiyah, 57 Azyumardi Azra, 72

Imam Syâfi‘î, 55, 56, 82, 84, 85, 88, 89, 106

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 95, 98

imâmah, 66

Bilgrami, 195

Inkar Sunnah, 54-56

BPUPKI, 74

Islam Jama‘ah, 49

Cik Hasan Basri, 79

Jamâluddin al-Afghânî, 7, 8

Darul Arqam, 56, 57

Jean Pigeat, 210, 211

Dinasti Abbasiyah, 2

Jimly as-Siddieqi, 101

Dinasti Ayyubiyah, 2

Jinayah, 94,

Dinasti Umaiyah, 2

Khomeini, 6 218


Indeks

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), 103

Sayyed Husein Alatas, 99

Konstituante, 74

Sayyid Quthb, 4, 131, 157, 162

Lia Aminuddin, 58-59

Seyyed Hosein Nasr, 29, 115

Macedonia, 2,

Soeharto, 69

Madjid Khadduri, 64

Suhrawardi, 15

Majelis Ulama Indonesia (MUI), 44-61 Mâlikiyah, 54

Syed Ali Ashraf, 185, 186, 187, 188, 189, 195, 197

market fairness, 128, 145

Syibli Sameul, 4, 8

Max Weber, 22, 24, 25, 26, 27, 28,

tahallî, 207

Mazhab Hanafi, 82

tajallî, 207

Mazhab Hanbali, 89

takhallî, 207

Mazhab Maliki, 82, 89

talfîq, 88, 90-92

Mazhab Syafi‘i, 82, 85, 89, 98

Thâhâ Husein, 3, 7, 65, 66

Mesir,1-19, 114

UNCAC, 105

Mirza Ghulam Ahmad, 53

Usmani, 2

Muhammad ‘Abduh, 2, 3, 7, 152, 162

UU No. 1/1974, 73

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, 110-126

UU No. 1/1999, 97

Muhammad Husein Haikal, 10, 66

UU No. 11/1980, 97

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb, 4, 7, 8

UUD 1945, 68, 69, 75

Muhammad Iqbal, 1, 13, 14

Wahhabi, 4, 113

Muhammad Quraish Shihab, 159

Yunani, 1, 2, 3, 6, 8, 17

Muhammad Quthb, 4

Zhannî, 90

Muhammad Rasyid Ridhâ, 4, 10, 65, 106, 157, 158, 162

zuhud, 29-41 Zun Nun, 37

Muhammad Thahir Azhari, 64 Musa ibn Maimûn, 3 Mushtafâ A. Raziq, 1, 11, 12, 13, 15 Mushtafâ Kemal Ataturk, 111 Naser Abu Zaid, 4 nizhâm al-Islâmi, 67 Persia, 2, pluralisme, 59, 60 Qasim Amin, 9 Rifa‘ah Thahthawi, 8 qabîlah, 110, 118, 119, 121, 124, 125 Salafi, 91, 92 Salamah Mûsâ, 10 219


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Kontributor Volume XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

Afrizal M, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Meraih gelar Master dan Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nurkhalis, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Pemikiran dalam Islam dari Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Kandidat Doktor dalam bidang Agama dan Filsafat Islam dari Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara, Medan. Dimyati Sajari, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. M. Zaki, Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Hukum Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan. Kandidiat Doktor dalam bidang Syariah dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sukarni, Dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari, Banjarmasin. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Studi Islam dari Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Doktor dalam bidang Studi Islam dari Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Alfitra, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memperoleh gelar Master Hukum dalam bidang Hukum Pidana dari Program Pascasarjana Universitas Muhamadiyah, dan Doktor dalam bidang Hukum Pidana dari Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung. Jamal Abdul Aziz, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Purwokerto. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Muamalat (Hukum Ekonomi Syariah) dari Program 220


Kontributor

Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mustapa Khamal Rokan, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara, Medan. Meraih gelar Magister Hukum dalam bidang studi Hukum Bisnis dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, dan Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Sehat Sultoni Dalimunthe, Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh, Lhokseumawe. Meraih gelar Master of Arts dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kandidat Doktor dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara, Medan. Mohd. Nasir, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Zawiyah Cot Kala, Langsa. Meraih gelar Magister Agama dan Doktor dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara, Medan. Muslih, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo, Semarang. Meraih gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Islamic Studies dari Universiteit Leiden, Nederland. Nurussakinah Daulay, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Magister dalam bidang Psikologi dari Universitas Sumatera Utara, Medan.

221


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari Juni 2015 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Ahmad Hidayat bin Buang (University of Malaya, Kuala Lumpur) 2. Prof. Madya Datin Dr Sapora Sipon (Universiti Sains Islam Malaysia, Nilai) 3. Prof. Dr. Zulkiple Abd. Ghani (Universiti Sains Islam Malaysia, Nilai) 4. Prof. Dr. Amirul Hadi, MA (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh) 5. Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta) 6. Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 7. Prof. Dr. Saiful Akhyar Lubis, MA (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 8. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 9. Dr. Yusuf Rahman, MA (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta) 10. Dr. Suaidi Asyari, MA, PhD (Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi). 11. Dr. Sahiron Syamsuddin, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

222


MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 223


MIQOT Vol. XXXIX No. 1 Januari-Juni 2015 9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@iainsu.ac.id. 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫= ا‬a

‫ = خ‬kh

‫ = ش‬sy

‫ = غ‬gh

‫=ن‬n

‫=ب‬b

‫=د‬d

‫ = ص‬sh

‫=ف‬f

‫=و‬w

‫=ت‬t

‫ = ذ‬dz

‫ = ض‬dh

‫=ق‬q

‫=ه‬h

‫ = ث‬ts

‫=ر‬r

‫ = ط‬th

‫=ك‬k

‫’=ء‬

‫=ج‬j

‫=ز‬z

‫ = ظ‬zh

‫=ل‬l

‫ = ي‬ya

‫=ح‬h

‫=س‬s

‫`=ع‬

‫=م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan 224


Petunjuk Pengiriman Naskah

Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

225


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.