MIQOT VOL. XXXIV NO 2. Juli-Desember 2010

Page 1



EKSISTENSI SANAD DALAM HADIS Zulheldi Fakultas Tarbiyah IAIN Bonjol Padang. Jl. Kampus IAIN Imam Bonjol Lubuk Lintah, Padang 25153 e-mail: zulheldi@yahoo.co.id

Abstract: The Existence of Chain of Transmitters of Prophetic Tradition. The chain of transmitters (sanad) plays an important role not only in determining the qualification of prophetic tradition but also in Islamic studies in general. In addition, scholars of hadîth have regarded chain of transmitters as citadel and mace of Muslim society. The author argues that the existence of sanad distinguishes Islamic community from other religious groups in reconstructing the authenticity of the teaching of the Islam. It is for this reason that scholars of hadîth have invested a great deal of efforts and serious study on sanad until they were finally capable of formulating a general theory that shall become guidelines in the study of prophetic tradition. This paper is an attempt to discuss the historical origin of sanad criticism as well as analyze the extent to which this theory contributes to verifying the authenticity of Islamic precepts.

Kata Kunci: sanad, matn, shahîh, hadis maudhu‘

Pendahuluan Secara umum, pengajaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. dan beberapa periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat berusaha semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan, dan taqrîr rasul dalam memori mereka. Banyak informasi yang menegaskan bahwa hanya sebagian kecil sahabat yang membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran bercampurnya hadis dengan alQur’an merupakan alasan paling asasi dari realitas ini, karena ketika itu al-Qur’an belum dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah hadis yang disampaikan secara lisan oleh nabi menyampaikan materi pelajaran yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak hadir-sebagaimana pesan rasulullah-juga secara lisan. Metode pengajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak hanya menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang menjadi sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh al-hadîts akan mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengar atau melihat hadis yang 163


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format transmisi hadis dengan menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara mendapatkannya tersebut menjadi tradisi dalam beberapa generasi. Tulisan ini akan mendiskusikan seberapa besar nilai dan peran sanad dalam sebuah hadis. Apakah deretan nama sebelum matan ini benar-benar dapat mengukuhkan isi pesan rasul? Atau, apakah seperti persepsi sebagian orang awam, hanya sekedar pamer ranji ala Arab yang tidak ada manfaatnya? Bahkan, mungkinkah keberadaan sanad itu hanya mengganggu, karena sementara awam sangat kesulitan menemukan pesan inti dari hadis tersebut?

Pengertian Sanad Secara bahasa, sanad ( ) berarti “sesuatu yang dijadikan pegangan”, “sesuatu yang tinggi dari bumi dan yang menghadang di gunung.” Kata ini juga berarti “tempat sandaran,” karena memang kata sanada, fi‘il mâdhi-nya, berarti “bertelekan” atau “bersandar.”1 Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan matan ( ), yaitu rangkaian nama-nama perawi yang menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan ( ).2 Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, istilah sanad digunakan dalam hal ini karena orang yang memiliki sanad senantiasa menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan matan kepada sumbernya, atau para huffâzh selalu berpedoman kepada sanad dalam menilai apakah sebuah hadis itu shahîh atau dha’îf. Dengan demikian, dalam hal ini sanad benar-benar menjadi tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas matan hadis.3 Ulama hadis juga menggunakan istilah isnâd ( ) untuk menyebutkan rangkaian periwayat ini. Dengan kata lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad dengan isnâd. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan mereka . Kadang-kadang, untuk maksud yang sama, kata asnâd dalam ungkapan di atas diganti dengan asânîd.4 Dalam tulisan ini, sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad dan isnâd juga dipakai untuk pengertian yang sama.

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh (Beirût: Dâr alFikr, 1975), h. 32; Mahmud Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd (Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, 1412/1991), h. 138; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 181. 2 Ibid.; Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî (Riyâdh: Jamî’ah alRiyâdh, 1396), h. 391. 3 Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 33. 4 Ibid.; Ahmad al-’Utsmani al-Tahanawî, Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah alGhaddad (Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 26; Akram Dhiya’ al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirût: Basath, 1984), h. 47. 1

164


Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Urgensi Sanad Dalam wacana urgensi sanad hadis, akan ditemukan cukup banyak qaul ulama yang dapat dijadikan referensi. Dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan sanad merupakan suatu keniscayaan. ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H/797 M) pernah mengatakan sebuah ungkapan yang sangat populer dalam khazanah ilmu hadis bahwa sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad, maka siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya ( ).5 Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) juga pernah mengatakan “Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu ( ).6 Statemen kedua ulama tersebut mengukuhkan bahwa sanad menempati posisi sangat vital. Sanad inheren dengan ajaran Islam karena hadis merupakan sumber kedua ajarannya, dan hitam-putih sanad berpengaruh secara langsung pada pilar kedua bangunan Islam itu. 7 Maka tidaklah keliru jika ‘Alî bin Madinî (w. 234 H) mengatakan (mengetahui rijâl atau sanad merupakan setengah dari ilmu [agama]). Sanad juga benteng dan kebanggaan umat Islam yang membuat mereka berani menegakkan kepala ketika berhadapan dengan umat lain. Ia adalah senjata umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Sufyan al8 Tsaurî (w. 161 H/772 M) (isnâd adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka siapa saja akan mudah untuk membunuhnya). Sanad melindungi umat Islam dari ketergelinciran dan serangan musuh yang tidak diduga. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad bahwa perumpamaan orang yang menuntut ilmu agama tanpa sanad sama halnya dengan orang yang menaiki tempat yang tinggi tanpa menggunakan tangga.9 Syâfi’î (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan, “Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut.” 10 Beberapa nilai lebih sanad, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sanad menjadi pembeda umat Islam dari umat lainnya. Sanad merupakan suatu potensi

Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 412; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matn (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984), h. 155; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53. 6 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh; Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah (Azhâr: Majmâ’ al-Turâts, 1969), h. 37. 7 Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 47. 8 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 54. 9 Ibid., h. 155. 10 Ibid. 5

165


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 kekuatan Islam yang tidak dapat ditandingi oleh umat lainnya. Dengan adanya sanad, secara umum, ajaran Islam dapat steril dari segala macam bentuk perubahan, infiltrasi dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul selain dari Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Abû Hatim al-Radzî (w. 227 H) mengatakan, “Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as. diciptakan yang memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari umat Islam ini.” Muhammad bin Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT. telah memuliakan dan melebihkan umat Islam dengan isnâd.”11 Secara lebih lugas Ibn Taimiyyah yang menyatakan, “Ilmu sanad dan riwayat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan membuat mereka selamat. Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan digunakan untuk meriwayatkan al-manqûlât (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan tanpa sanad.12 Abû Muhammad ‘Alî bin Hazm turut menegaskan hal yang sama. Beliau berkata “Penukilan suatu hadis oleh seorang yang tsiqah dari yang tsiqah lainnya sampai kepada Rasul hanya ada pada umat Islam, tidak terdapat di kalangan selainnya. Pondasi asasi Islam dan syari’ah serta segala yang terkait dengan semua itu menjadi kokoh karena dinukilkan dengan menggunakan sanad.”13 Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa sanad merupakan karakteristik khusus umat Muhammad ini. Sebaliknya, kelemahan pokok dari umat-umat selain Islam adalah tidak adanya tradisi penggunaan sanad di kalangan mereka. Hal ini menjadikan ajaran-ajaran yang ada pada mereka tidak bisa dipertanggung-jawabkan sampai pada tingkatan yang meyakinkan bahwa semua itu benar-benar diajarkan oleh rasul mereka.

Penggunaan Sanad Awal Penggunaan Sanad dalam Hadis Menurut keterangan dari Mushthafa Muhammad ‘Azamî, sanad telah digunakan secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam dengan makna yang tidak jelas. Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair-syair pada zaman Jahiliyah. Akan tetapi, sama keadaannya dengan persoalan di atas, tidak ditemukan keterangan lebih lanjut tentang realitas tersebut.14 Ibid., h. 162. Ibid., h. 162-163. 13 Ibid., h. 163. 14 Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana: American Truth Publication, 1977), h. 32; Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 97. 11 12

166


Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Tradisi sanad dalam Islam telah ada sejak zaman rasul. Seperti digambarkan di atas, ketika seorang sahabat mengajarkan atau menyampaikan sebuah hadis kepada sahabat lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu dipelajarinya sampai kepada Rasul sendiri. Sahabat menjelaskan apakah dia menerima langsung atau tidak, lengkap dengan cara penerimaannya. Menurut Imâm al-Nawâwî (w. 676 H/1277 M), seringkali dalam rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga dalam sanad yang lain terdapat empat orang tabi’în.15 Dalam hal ini, al-Nawâwî ingin menegaskan bahwa sahabat dan tabi’în sangat jujur dan mementingkan deskripsi sanad secara utuh, tanpa adanya rasa rendah diri dan takut dilecehkan. Sahabat yang berguru kepada tiga sahabat lain secara bertingkat, sebenarnya “berpeluang” mengklaim bahwa dia menerima langsung dari nabi karena sezaman dan sering bertemu. Begitu juga dengan tabi’în yang melewati tiga tabi’în lainnya. Namun hal itu tidak mereka lakukan. Kejujuran ilmiah semacam ini, akhirnya, tidak menggerogoti nilai hadis, tapi memberikan nilai tambah. Bahkan, menurut Imâm Suyuthî (849-911 H/1445-1505 M), karena tingginya perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari tabi’în karena tabi’în tersebut telah menerima suatu hadis dari sahabat lain yang mendengarkannya langsung dari Nabi. 16 Untuk memastikan sebuah sanad, para muhadditsîn pernah melakukan perjalanan panjang, walau hanya untuk satu sanad hadis saja. Jabîr bin ‘Abd-Allâh (w. 78 H/697 M) pernah melakukan rihlah dari Mekah ke Mesir untuk menanyakan sanad hadis “‫ ﻣﻦ ﺳﺘﺮ ﻣﺆﻣﻨــﺎ‬...” kepada ‘Uqbah bin ‘Amîr. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin Musayyab (w. 94 H/712 M), sebagaimana diungkapkannya sendiri, “Saya pernah berjalan siang malam untuk mencari sanad sebuah hadis.”17 Adapun mereka yang ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga memberikan informasi yang benar. Dia tidak akan mengajarkan suatu hadis yang diketahuinya memiliki cacat (‘ illat) pada sanad-nya kepada orang lain, atau mau mengajarkan tetapi dilengkapi dengan penjelasan sebenarnya tentang realitas sanad hadis tersebut. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H), di mana dia menjelaskan dengan terus terang bahwa di dalam sanad yang dimilikinya terdapat pemalsuan (tadlîs), ketika dia ditanya tentang hal itu oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H).18 Mushthafa Siba’î menunjuk tahun 40 Hijrah sebagai batas pemisah antara kemurnian

Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh wa Ittijâhâtuh (Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981), h. 36-37; Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924), h. 83-85. 16 Al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah, h. 37. 17 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 156. 18 Ibid., h. 157. 15

167


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 hadis dengan pemalsuannya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat Islam, antara ‘Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/661 M) dengan Mu’awiyah bin Abî Sufyan (60 H/680 M).19 Ketika itu, orang menjadi sangat kritis terhadap sanad sebuah ungkapan yang dikatakan sebagai hadis. Realitas seperti itu dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin Sirin bahwa “Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Namun, setelah terjadi fitnah, jika menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan rijâl-mu (orang-orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!.” Hadis itu akan diterima jika rijâl-nya adalah ahl al-sunnah dan akan ditolak jika rijâl adalah ahl al-bidâ’.20 Setelah terjadi peperangan Shiffin, mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mulai mempertanyakan secara ketat guru-guru hadisnya dan menelitinya dengan cermat. Di penghujung abad pertama hijrah, ilmu sanad (dalam arti mencermati sanad hadis dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian lebih. Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir Qatadah (w. 117 H) untuk bisa membedakan apakah Qatadah mendapatkan hadis itu lewat tangan pertama atau kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa al-‘dâ’ yang digunakannya.21 Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang “meributkan” masalah ini, tetapi juga pernah seorang Arab Badui (A’râbî) menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada Sufyan bin ‘Uyainah (w. 194 H).22 Dalam iklim lain, studi sanad hadis di kalangan sementara orientalis lebih diarahkan kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sanad. Mereka terkesan menyembunyikan kenyataan dan tidak mengakui bahwa sanad sudah mulai diberlakukan sejak zaman rasul. Dengan demikian, mereka “berkesimpulan” bahwa sanad baru mulai dipakai sekitar setengah abad setelah kematian Rasulullah. Tendensi mereka dalam hal ini bisa ditebak. Logika yang ingin mereka kemukakan adalah kalau di masa nabi dan khalîfah al-râsyidîn belum digunakan sanad dalam meriwayatkan hadis nabi, berarti bangunan ajaran Islam didirikan di atas fondasi yang sangat rapuh. Jika hal ini dibenarkan, maka untuk meruntuhkan bangunan Islam itu hanyalah menjadi persoalan waktu. Seorang orientalis yang bernama Caetani, misalnya, mengatakan bahwa penggunaan sanad baru dimulai antara masa ‘Urwah bin Zubair (w. 94 H/ 712 M) dengan Ibn Ishaq (w. 151 H/ 768 M). Dia menambahkan bahwa sebagian sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis hanyalah hasil kreasi ulama hadis abad kedua dan ketiga Hijrah.

Muhammad Mushthafa al-Siba’î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî (Beirût: Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75. 20 Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; ‘Abd al-Majid Mahmud, Amtsâl al-Hadîts wa Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Turâts, 1975), h. 25; al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 152-153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 49. 21 ‘Azamî, Hadis Nabawi; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 48. 22 Ibid., h. 54. 19

168


Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Pendapat yang tidak memiliki dasar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ini didukung oleh seorang orientalis lainnya, Sprenger. 23 Di lain pihak, orientalis Horovitz berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanad sudah mulai dipakai pada penggal ketiga abad pertama Hijrah (sekitar tahun 70-an Hijrah). Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja sanad sudah mulai digunakan pada pertengahan abad pertama Hijrah. Puncak dari kekeliruan kajian sanad dari orientalis ini terlihat dari pendapat Josept Schacht yang mengusung teori the projecting back. Menurutnya, sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang belakangan dengan mencoba mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu.24 Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Mushthafa ‘Azamî25 mengatakan bahwa kesalahan besar mereka berasal dari kesalahan metodologi yang mereka gunakan, suatu ironi terjadi di kalangan sarjana Barat yang mengklaim diri mereka sebagai pelopor studi ilmiah. Kesalahan mereka itu, menurut ‘Azami, adalah meneliti sanad hadis dari objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab sejarah, biografi dan fiqih yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis nabi. Mereka tidak melakukan studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.

Beberapa Usaha dalam Studi Sanad Para ulama hadis telah melakukan upaya yang relatif maksimal dalam mengkoreksi dan mengkritik setiap ungkapan yang dikatakan sebagai hadis Nabi, baik dari segi sanad ataupun matan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh keberanian, keikhlasan dan tanggungjawab. Muhadditsîn abad kedua Hijrah sangat selektif dalam menerima hadis, di antaranya Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 125 H/ 741 M), Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H) dan al-A’masî (w. 147 H). Mereka selalu kritis dalam memandang sanad hadis, apakah ittishâl (bersambung) sampai kepada Nabi dan di dalamnya terdapat orangorang yang berkompeten.26 Begitu juga dengan ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H) yang sangat kritis ketika Abû Ishaq Ibrâhîm bin ‘Isya al-Thalaqanî yang menyampaikan hadis tentang shalat dan puasa yang dilakukan oleh seorang anak untuk kedua orang tuanya.27 Keseriusan ulama abad kedua Hijrah ini terhadap studi sanad dapat dibuktikan dengan munculnya kitab-kitab musnad (jamaknya al-masânîd) di awal abad itu. Kitabkitab tersebut yang masih dapat dijumpai pada masa sekarang, di antaranya, musnad

‘Azamî, Hadis Nabawi, h. 532; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 99. Ibid., h. 533; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 100. 25 Ibid., h. 582. 26 Ibid., h. 583. 27 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153-155. 23 24

169


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Ma’mar bin Rasyîd (w. 152 H) dan musnad al-Tayalisî (w. 204 H), yang dijadikan salah satu pegangan penulis kitab kutub al-sittah yang ditulis pada abad ketiga Hijrah. Begitu juga dengan kitab musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ahmad bin Hanbâl (w. 241 H) dan musnad Abû Ya’la al-Maushilî (w. 307 H).28 Muhadditsîn menganalisa sanad, di antaranya, dengan cara membandingkan beragam versi sanad, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat, apakah sanad hadis yang bersangkutan dapat diterima atau tidak. Mereka menyusun kaedah penelitian sanad yang bisa dibuktikan keilmiahannya, membuat klasifikasi sanad dari segi diterima atau ditolaknya, dan membuat istilah-istilah khusus untuk memudahkan dalam upaya identifikasi sanad. Ulama hadis juga mengelompokkan para periwayat menjadi ahl alsunnah (orang yang riwayatnya dapat diterima) dan ahl al-bidâ’ (orang yang, secara umum, riwayatnya harus ditolak). Ulama hadis memutlakkan adanya kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad) sebagai salah satu syarat hadis shahîh,29 sekalipun terdapat berbagai pandangan tentang kriteria sanad yang disebut dengan ittishâl tersebut. Menurut Imâm Bukharî (194-256 H/810-870 M), sanad dapat dikatakan bersambung jika seorang periwayat dengan periwayat lain yang dekat dengannya terbukti hidup dalam satu zaman (mu’âsharah) dan pernah bertemu walaupun hanya satu kali. Sementara menurut Imâm Muslim (206-261 H/821-875 M), menurut kesimpulan beberapa ulama hadis yang mengkaji kitab Muslim, menekankan pada mu’âsharah-nya saja, sedangkan pertemuannya tidak mesti dapat dibuktikan. 30 Untuk membuktikan bersambung-tidaknya sanad, ulama hadis harus mengkaji dengan tekun biografi setiap periwayat. Mereka juga melakukan kajian yang mendalam terhadap lafal-lafal yang digunakan untuk menghubungkan seorang periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat (seperti haddatsanâ, ‘an akhbaranâ dan sebagainya). Pendeknya, ulama hadis mengkaji sanad dari berbagai dimensi sehingga setiap kebohongan, sampai kepada hal-hal kecil sekalipun, dapat terdeteksi dan diangkat ke permukaan. Seperti yang dituturkan oleh al-Tsaurî (w. 161 H/772 M) bahwa “Jika seorang periwayat berbohong, maka kita akan mengujinya dengan menggunakan pendekatan historis” ( ).31 Maksudnya, jika seorang periwayat mengatakan bahwa dia berguru kepada seseorang dan menerima hadis darinya, maka hal itu harus dibuktikan dengan hasil kajian sejarah-otentik. Dari kajian historis terhadap keduanya (mengenai biografi, siapa saja guru dan murid, penilaian orang-orang yang Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 56. Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305. 30 Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 108; ‘Abd al-Mun’im al-Nimr, Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Wasalat Ilainâ (Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987), h. 102. 31 Jamila Syaukat, Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, vol. VI, h. 20. 28 29

170


Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

hidup pada masa itu dan sebagainya) akan dapat dibuktikan apakah di antara keduanya memang pernah terdapat relasi guru-murid. Melihat besarnya usaha ulama dalam melakukan studi sanad, sangatlah beralasan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Mushthafa ‘Azamî, “Kitab-kitab hadis yang ditemui sekarang selalu siap untuk diperiksa, dikoreksi dan diteliti kembali sepanjang hal itu memenuhi kriteria ilmiah dan objektif, bukan dimotivasi oleh rasa kebencian dan bermodalkan ketidaktahuan.”32 Ini merupakan tantangan bagi setiap orang yang meragukan validitas hadis.

Pengaruh Kualitas Sanad terhadap Nilai Hadis Ijma’ di kalangan ulama hadis, seperti ditulis Muhammad Luqmân al-Salafî,33 bahwa sanad sangat penting artinya bagi sebuah hadis. Tidak mungkin adanya matan tanpa sebuah sanad, sebagaimana tidak mungkin adanya sebuah bangunan tanpa fondasi atau jasad yang hidup tanpa roh. Urgensi sanad terhadap hadis sama dengan pentingnya nasab bagi seseorang. Sanad sangat berperan dalam menentukan nilai sebuah hadis. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh al-A’masî, Syu’bah dan Bahz bin Asad. 34 Sanad menjadikan ukuran yang sangat menentukan dalam menerima dan menolak sebuah hadis. Hadis tersebut akan diterima jika rijâl-nya adalah orang-orang yang tsiqah. Menurut Imâm al-Nawawî bahwa “Jika sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut tidak shahîh maka hadis itu ditolak.”35 Secara logika, lemahnya sanad suatu hadis belumlah menjadikan hadis tersebut secara absolut tidak berasal dari Rasulullah. Hanya saja, sanad yang tidak shahîh dari sebuah hadis tidak dapat memberikan bukti yang meyakinkan bahwa hadis itu memang benar-benar berasal dari Rasul. Karena hadis merupakan salah satu dasar yang pokok dari ajaran Islam, maka dia mesti steril dari segala macam bentuk keraguan, termasuk ketidakyakinan seperti ini. Jadi, hadis yang sanad-nya tidak shahîh ditolak karena dia diragukan berasal dari Rasul. Dengan demikian, sanad hadis yang dapat diterima itu adalah yang muttashil (bersambung), bukanlah sanad yang tergolong sebagai munqathi’ (terputus atau adanya mata rantai yang hilang) dengan segala ragamnya. Sanad hadis yang diterima harus terdiri atas orang-orang yang benar-benar terbukti keamanahannya dan ketangguhan intelektualnya (al-‘adl wa al-dhabth atau tsiqah). Mereka bukanlah orang-orang yang majhûl (tidak jelas) dan matrûk (ditinggalkan).

‘Azamî, Hadis Nabawi. Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn., h. 157. 34 Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53-54. 35 Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, h. 88; Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 24. 32 33

171


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Sanad dan Hadis Maudhû’ Sesuai dengan makna bahasa, yaitu sandaran, pegangan, referensi, pengaman dan benteng, sanad merupakan pengayom matan hadis. Eksistensi matan, apakah diterima atau ditolak, sangat tergantung pada kualitas dan kemampuan sanad dalam mempertahankan, melindungi dan membentenginya. Apalagi, jika sebuah matan tidak memiliki sanad, maka keberadaannya tidak bisa dipertahankan, atau matan itu harus ditolak dan disingkirkan dari perbendaharaan hadis. Sebagai sebuah benteng, sanad sangat berperan melindungi hadis nabi dari segala macam bentuk serangan. Sebuah ilustrasi yang bagus dikemukakan oleh Imâm al-Syafi’î, seperti dikemukakan pada bagian terdahulu. Pada intinya, menurut Syafi’ î, jika tidak ada sanad maka akan terbuka peluang yang sangat besar untuk menyerang dan memporak-porandakan hadis Nabi. Karena, tanpa sanad, hadis telah mengidap cacat internal yang sangat fatal, sewaktu-waktu bisa menjatuhkan hadis itu sendiri sekalipun tanpa serangan yang berarti dari luar. Dalam bahasa Syafi’î bahwa “(bahaya itu) seperti seekor ular ganas yang berada dalam ikatan kayu bakar yang dibawa oleh seorang petani. Ular itu telah bersiap-siap mematoknya, sedang petani itu tidak menyadarinya.”36 Hadis maudhû’ merupakan salah “korban radikalisasi” muhadditsîn dalam penerapan uji-sanad. Berbagai penipuan dan pemalsuan yang terdapat di dalam “hadis” tersebut dapat dibongkar karena sanad yang membentenginya sangat rapuh. Maka “hadis-hadis” itu berguguran satu demi satu dalam umur yang tidak panjang. Kriteria kritik sanad yang tidak mengenal kompromi merupakan salah satu tembok penghalang yang sukar ditembus oleh “hadis-hadis” ini. Dengan mengetatkan penggunaan sanad (dalam arti mempertanyakan keabsahan sanad secara tajam), ternyata sangat efektif dalam meredam gerakan pemalsuan hadis. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahwa salah satu usaha untuk membela sunnah dari pemalsuannya adalah dengan memperketat penggunaan sanad. Sahabat, tabi’în dan generasi setelah mereka sangat menuntut eksistensi sanad dari seseorang yang mengajarkan hadis kepadanya, dan mereka selalu menggunakan sanad dalam mengajarkan hadis kepada orang lain. 37 Memang benar bahwa bukanlah kritik sanad satu-satunya instrumen untuk mengetahui hadis palsu, tetapi bisa juga dengan kritik matan. Sekalipun demikian, kontribusi kritik sanad sangatlah signifikan dalam membongkar gerakan makar terhadap hadis nabi tersebut. Salah satu bukti sahihnya adalah bahwa kritik sanad diterapkan pertama kalinya dengan ketat sebagai reaksi keras atas munculnya hadis-hadis palsu pada masa itu. Dari studi sanad akan dapat diketahui orang-orang yang menciptakan jalur sanad sendiri 36 37

Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155. Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.

172


Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

untuk dipasangkan pada “matan hadis” yang diciptakannya. Dan juga, dari studi ini akan diketahui lebih lengkap keadaan seorang perawi, berkenaan dengan siapa saja guru dan muridnya, kemana saja dia melakukan rihlat al-hadîts, berapa banyak hadis yang diriwayatkannya beserta kualitas masing-masingnya, terutama kualitas sanad dan sebagainya. Dengan adanya data yang relatif lengkap ini, maka akan sangat membantu menanggapi setiap informasi tentang perawi yang diketahui itu dan akan segera terdeteksi manakala nama seorang perawi terkenal dipasang seenaknya pada sebuah jalur ‘sanad’ imajinatifnya.

Penutup Sanad memiliki peran vital dan menentukan dalam sebuah hadis nabi. Dalam kaitan ini, al-Nawâwî memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Katanya bahwa “hubungan hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.” 38 Hal itulah yang menyebabkan ulama hadis, sejak zaman rasul, terlihat sangat concern terhadap sanad. Mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bidang ini. Hasil kerja mereka itulah, di antaranya, yang membuat bangunan ajaran Islam tetap berdiri kokoh hingga hari ini. Formulasi metodologi kritik sanad telah sampai pada tahap yang meyakinkan dan, meminjam istilah ‘Azami, tahan banting. Perjalanan intelektualisme Islam, terutama kajian ilmu hadis dan sejarah, telah membuktikan kesahihan formulasi tersebut. Realitas tersebut semakin menjustifikasi dan mengukuhkan peran sentral sanad dalam hadis dan membuktikan kecemerlangan kultur distribusi informasi bertuan (menyebutkan sumbernya) yang dimiliki masyarakat Islam awal. Adalah sebuah anti-klimaks petualangan intelektual Barat (baca: orientalis) ketika mereka memasuki ranah sanad, terutama tentang masa awal penggunaannya. Kesimpulan kajian mereka “memaksa” penulis menyimpulkan bahwa mereka memiliki keawaman, bahkan niat yang tidak terpuji, terhadap Islam. Dengan mengatakan bahwa pada masa rasul dan khalifah yang empat belum dipergunakan sanad, berarti mereka sedang mencoba menggoyang bangunan ajaran Islam, karena sanad merupakan salah satu nyawa dari fondasinya. Namun, nampaknya mereka kekurangan bukti yang dapat mendukung berbagai kesimpulan tersebut. Bahkan, berbagai kajian kontemporer membuktikan adanya something wrong pada metodologi yang digunakan.

Pustaka Acuan Abû Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah. Kairo: Majmâ’ al-Turâts, 1969. 38

Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim; Ismail, Metodologi.

173


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî. Riyâdh: Jamî’ah al-Riyâdh, 1396 H. ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indiana: American Truth Publication, 1977. ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’cub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Ismail, Muhammad Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh. Beirût: Dâr alFikr, 1975. Mahmûd, ’Abd al-Majîd. Amtsâl al-Hadîts wa Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts. Kairo: Dâr alTurâts, 1975. Al-Muthalib, Rif’at Fauzî ‘Abd. Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh wa Ittijâhâtuh. Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981. Al-Nimr, ‘Abd al-Mun’im. Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Washalat Ilainâ. Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987. Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924. Al-Salafî, Muhammad Luqman. Ihtijâj al-Muhadditsîn bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matan. Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984. Al-Siba’î, Mushthafa. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî. Beirût: Maktab alIslâmî, 1978. Syaukat, Jamila. Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, no. 14, vol. VI, 1995. Al-Tahanawî, Ahmad al-‘Utsmanî. Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah alGhaddad. Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t. Thahhan, Mahmûd. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, 1991. Al-‘Umarî, Akram Diya’. Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4. Beirût: Basath, 1984. Ya’cub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

174


KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HADIS Misrah Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 e-mail:Â dramisrah@yahoo.com

Abstract: Religious Freedom in the Perspective of Prophetic Traditions. Al-Qu’ran Paradigm concerning to belief have the character of personal-privat and cannot be forced the becoming one of the Islam peaching to constructing the harmonious relation and foundation between religion and fellow being. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). This matter indicated to shall no constraint for someone in embracing a religion, including to embrace the Islam. If to embrace the just religion of others may not be forced, more than anything else punish to kill the others prohibited in Islam. War in Islam only resistance effort done to the enemy attack bother, menace safety and dissipate the Islam people through clear orders (not abysmal of boundary).

Kata Kunci: keyakinan, kebebasan, perdamaian, hadis

Pendahuluan Islam senantiasa mengajarkan umatnya agar menjadi ummat al-wasatha yang akan menjadikan dirinya bersifat toleran dan moderat dalam menyikapi setiap persoalan, termasuk dalam menyikapi perbedaan agama. Sebab, disadari atau tidak, di dunia ini terdapat keanekaragaman agama dan semakin terbuka eksistensinya selama dunia terus berputar. Kenyataan ini membawa umat Islam pada tantangan dalam berinteraksi dengan agama-agama lain tersebut. Dalam sejarah hubungan antar agama, banyak bukti menunjukkan terjadinya konflik, friksi, ketegangan dan bahkan peperangan antar agama. Konflik, friksi, ketegangan, dan peperangan tersebut seringkali diwarnai dengan sentimen keagamaan, sehingga selalu dinisbahkan kepada ajaran agama. Konflik antar agama ini sangat pelik dan dapat dikatakan sulit untuk diselesaikan karena identitas keagamaan seringkali terkristal menjadi identitas kepribadian seseorang. Bangsa Indonesia juga terdiri dari berbagai suku, agama, etnis dan ras yang majemuk. Agama-agama yang berkembang dan dianut bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen, 175


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Hindu, Budha dan Konghucu. Menyadari hal ini, supaya tidak terjadi konflik antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya, dan terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, diperlukan sikap yang terbuka dan menerima keberadaan keyakinan agama lain. 1 Alasan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada yang lain sangat sederhana, bahwa keberadaan agama yang dianut itu sama halnya dengan orang lain yang sama-sama memiliki truth claim (klaim kebenaran). Yang paling esensial adalah bahwa keyakinan terhadap agama adalah bagian yang paling personal, individual, eksklusif, tersembunyi dari manusia, dan karena itu tidak ada kekuatan apapun selain kekuasaan Tuhan yang bisa memaksa suatu keyakinan. Nabi Muhammad SAW. sekalipun tidak bisa memaksa siapapun agar mengikuti ajarannya, “lasta ‘alaihim bi mushaithir,” kamu bukan orang yang bisa menguasai mereka.(Q.S. al-Ghâsyiah/88: 22). “Afa anta tukrihu al-nâs hattâ yakûnû mukminîn” yaitu “apakah kamu hendak memaksa manusia sehingga mereka beriman?”(Q.S. Yûnus/10: 99). Sedangkan pada ayat lain, Allah melarang umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain (Q.S. al-An‘âm/6: 108). Paradigma al-Qur’an tentang keyakinan dan kepemelukan agama yang bersifat personal-privat dan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun seperti tersebut di atas, menjadi salah satu inti ajaran Islam yang luhur dalam membina hubungan harmonis dan rukun antar sesama manusia di atas bumi ini. Karenanya, dengan tegas Allah menyebutkan “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada paksaan bagi seseorang dalam memeluk suatu agama, termasuk untuk memeluk agama Islam. Lalu bagaimana pandangan hadis terhadap kebebasan beragama, apakah sama seperti prinsip al-Qur’an di atas. Tulisan ini akan coba mendeskripsikan dan mengkaji kebebasan beragama dalam perspektif hadis.

Pengertian Kebebasan Beragama Secara etimologi kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu ‘bebas’ yang artinya merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya, dan ‘beragama’ yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu.2 Dari pengertian ini, maka ‘kebebasan beragama’ dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk sesuatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Kemudian, secara istilah, kebebasan beragama menunjukkan paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agamaagama lain yang ada di dunia ini sebagai agama yang harus dihormati dan dihargai. Selain itu, untuk menunjukkan sikap kesadaran yang dalam akan adanya kemajemukan.3 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativasi atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 6. 2 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 73-43. 3 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), h. 41. 1

176


Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Istilah kebebasan beragama menurut David E. Apter pada mulanya mengacu kepada masyarakat-masyarakat yang majemuk. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat majemuk adalah masyarakat yang penduduknya tidak homogen, tetapi terbagi ke dalam kelompok suku, etnis, rasial, agama dan kebudayaan. Ini artinya bahwa pluralisme di Indonesia disebut dengan istilah majemuk yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri dan memiliki tanda-tanda seperti tidak ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan agama, sosial dan politik, tidak adanya kehendak bersama, sistem nilai yang berbeda-beda, anggota masyarakatnya kurang memiliki homogenitas kebudayaan, dan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4 Kebebasan beragama akan memberi pengaruh kepada toleransi agama, yaitu timbulnya integrasi dan disintegrasi kelompok satu dengan kelompok masyarakat lain. Menurut Pierre L. Van Bergke, ada beberapa karakteristik dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu: 1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-ajaran (madzhab) yang berbeda satu sama lain. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. 3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat. 4. Secara relatif integrasi sosial dan agama tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan dengan kelompok lain.5 Dari pengertian bahasa dan istilah di atas dapat ditegaskan di sini bahwa kebebasan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Kebebasan beragama berada di atas Sunnah adanya kemajemukan dalam sebuah kerangka kesatuan dan keseimbangan. Dengan demikian, bahwa kebebasan beragama merupakan suatu prinsip dan sikap seseorang dalam menghormati dan menghargai orang lain untuk memeluk sesuatu agama apapun dengan pilihannya sendiri.

Identifikasi Hadis Sebagai hasil identifikasi terhadap hadis yang memiliki content kebebasan beragama tercermin paling tidak dalam 3 (tiga) hadis yang dianggap penting dan relevan berikut ini:

David O. Moberg, The Church as A Sosial Institution (New Jersey: Prentice-Halla Inc, 1962), h. 29. 5 Dikutip dalam Muhammad Sofyan, Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi (Jakarta: Media Pressindo, 1999), h. 81. 4

177





Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

kepada kami, katanya Asy’ats bin ‘Abd Allâh – yaitu al-Sijistanî – telah menyampaikan kepada kami. (Pada jalur yang lain Abû Daud berkata:) Muhammad bin Basysyar telah menyampaikan kepada kami, katanya Ibn Abî ‘Adî telah menyampaikan kepada kami, ini adalah ungkapannya. (Pada jalur yang lain pula, Abû Daud berkata:) al-Hasan bin ‘Alî telah menyampaikan kepada kami, katanya Wahb bin Jarîr telah menyampaikan kepada kami, dari Syu’bah dari Abî Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbâs, ia berkata: Dahulu ada seorang perempuan yang setiap kali anak yang dilahirkannya selalu meninggal, maka dia pun berjanji, kalau sekiranya nanti anaknya bisa hidup, dia akan memasukkan ke agama Yahudi. Maka ketika suku Bani Nadir telah masuk Islam, mereka masih punya anak-anak Anshâr (yang masih beragama Yahudi). Mereka mengatakan: Kita tidak akan membiarkan begitu saja agama anak-anak kita. Maka Allah menurunkan ayat: “Tidak ada paksaan dalam beragama, telah jelas yang benar dari yang sesat”. (HR. Abû Dâud). Hadis di atas mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadis di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-nâs) tidak dipandang dari perbedaan agama. Hadis ini berkaitan dengan perempuan-perempuan Madinah (belakangan disebut Anshâr) yang pada waktu beragama Yahudi mereka tidak memiliki anak, sehingga mereka “bernazar” kalau saja mereka mendapat anak, mereka akan menjadikan anak mereka beragama Yahudi. Ketika mereka memeluk Islam, mereka bertanya kepada Rasul SAW.: “Ya Rasulullah, anak-anak dan saudara-saudara kami masih Yahudi, bersama mereka yang belum memeluk Islam”. Lantas Rasul SAW. terdiam. Maka turunlah ayat:

                 

         

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Ayat yang paling sering dijadikan landasan toleransi adalah Q.S. al-Baqarah/2: 256 berbunyi “‫ ”… ﻻَ إِ ْﻛـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺮَاﻩَ ﻓِـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺪﱢﻳ ِﻦ‬seperti yang telah disebutkan di atas. Abû Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keimanan didasarkan atas suatu pilihan secara sadar dan bukan atas suatu tekanan. 12 Menurut Muhammad

12

Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafatih al-Ghaib, jilid IV (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 16.

181


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Nawawî al-Jawî, ayat ini menyatakan bahwa pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tidak dibenarkan.13 Artinya, para ulama sepakat bahwa ayat itu merupakan fondasi atas dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Agar lebih jelas perlu diketahui sabab al-nuzul-nya, diceritakan bahwa ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshâr, Abû al-Husein. Abû al-Husein adalah seorang sahabat Nabi asal kota Madinah (Anshar) yang sangat taat beragama. Dia mempunyai dua orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pedagang minyak. Suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagangan ke Makkah dan Madinah. Para saudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang mereka melakukan tugas misionaris (dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arabia. Kedua anak Abû al-Husein kerap membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti biasanya, para pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah, termasuk kepada kedua anak Abû al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan barang-barang dari para saudagar itu, kedua anak tersebut akhirnya memutuskan diri masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar itu, sebelum mereka kembali ke Syam. Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abû al-Husein sangat terpukul. Ia pun mendatangi Nabi dan mengadukan perkara yang menimpanya itu. Lalu, turunlah ayat terkenal “lâ ikrâha fî al-dîn…” tidak ada paksaan dalam beragama. (Q.S. al-Baqarah/2: 256).14 Dalam mengomentari ayat tersebut, Muhammad Bâqir al-Nashirî, ahli tafsir asal Iran, menjelaskan bahwa ada lima pendapat berkaitan dengan ayat tersebut. Pertama, pelarangan itu hanya khusus kepada Ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen). Kedua, pelarangan itu ditujukan kepada semua orang non-Islam. Ketiga, orang-orang yang masuk Islam setelah perang tidak merasa dipaksa, tetapi mereka masuk secara sukarela. Keempat, ayat tersebut ditujukan hanya kepada kaum Anshâr. Kelima, pilihan beragama bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari Allah, tapi ia merupakan pilihan manusia, karena persoalan agama adalah persoalan keyakinan individual.15 Dari kelima pendapat di atas, Rasyid Ridha lebih cenderung setuju dengan pendapat kelima. Yakni, bahwa maksud ayat “lâ ikrâha fî al-dîn…” adalah bahwa tidak boleh ada pemaksaan kepada seseorang untuk menentukan agamanya. Pesan ini bersifat umum (‘am) dan ditujukan bukan hanya untuk kaum tertentu saja. 16 Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyarî (w. 528) dalam kitab tafsirnya yang terkenal, al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’an,

Muhammad Nawâwî al-Jawî, Marah Labib, jilid I (Kairo: Dâr al-Kutub, 1976), h. 74. Ibid., h. 31. 15 Muhammad Bâqir al-Nashirî, Mukhtashar Majma’ al-Bayân (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, t.t), h. 169. 16 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1964), h. 31. 13 14

182


Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

menafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya. Menurut mufassir yang terkenal karena keahliannya dalam balâghah dan sastra Arab itu, ayat “lâ ikrâha fî al-dîn …” merupakan konsekuensi dari firman Allah yang lain, yakni:

                 Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya? (Q.S. Yûnus/10: 99). Al-Zamaskhsyarî menegaskan bahwa persoalan keimanan adalah persoalan pilihan pribadi manusia, dan tidak boleh ada unsur paksaan. Upaya pemaksaan untuk memilih atau beragama bertentangan dengan sunnah Allah yang tercakup dalam surah Yûnus di atas. 17 Setelah turun ayat di atas Rasul SAW. mengatakan: “saudara-saudaramu itu memiliki pilihan, jika anak-anak dan saudaramu itu memilih kamu, maka mereka bagian daripadamu (seagama denganmu). Jika anak-anak dan saudaramu itu memilih yang belum masuk Islam itu, maka mereka bagian dari yang belum masuk Islam itu”.18

Pemahaman terhadap Konsep Kebebasan Beragama Islam memandang bahwa warna kulit, suku, ras (etnis), bangsa tidak membedakan manusia, kecuali hanya nilai-nilai ketakwaannya:

               

      

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujarât/49: 13) Barangkali ayat di atas bisa diperluas pemahamannya termasuk kekuasaan, pangkat, jabatan dan kekayaannya, tidak menjadi ukuran ketakwaan seseorang. Lebih jauh, bagi Islam manusia itu dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), dengan anugerah

Menurut Ibn Abbas, ayat ini turun ketika Nabi berusaha supaya pamannya, Abû Thalib beriman kepada Allah. Al-Qurthubî, Al-Jami’ lî Ahkâm al-Qur’ân, juz IV (Kairo: Dâr alMa’rifah, t.t.), h. 680. 18 Abd al-Rahmân bin al-Kamal Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Al-Durr al-Mansûr, juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 20. 17

183



Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

“(Pasal Delegasi Najran menghadap Rasul SAW.) Ibn Ishaq berkata: Delegasi Kristen Najran diutus menemui Rasul SAW. di Madinah. (kata Ibn Ishaq): Muhammad bin Ja’far bin al-Zubair telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: tatkala delegasi Najran menghadap Rasul SAW., mereka memasuki Masjid Nabawi setelah waktu shalat Ashar. Ketika tiba waktu kebaktian, mereka melakukannya di Masjid Nabawi. Para sahabat ingin mencegat mereka, lantas Rasulullah mengatakan: “Biarkan mereka”!. Para delegasi Najran itu melakukan kebaktian menghadap ke Timur”. Melalui kisah ini bisa disimpulkan bahwa non-Muslim diperbolehkan memasuki masjid. Ada pandangan ulama yang bisa dijadikan pegangan seperti Abû Hanifah. Menurutnya, orang Yahudi dan Nasrani diperbolehkan masuk masjid termasuk Masjid al-Haram. Abû Hanifah berpendapat bahwa bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani diperbolehkan masuk masjid, tetapi seluruh umat non-Muslim yang menjalin hubungan baik dengan orang Islam. Menurut Abû Hanifah, sekalipun tidak ada keperluan, orang kafir zimmi diperbolehkan masuk masjid.21 Pendapat Abû Hanifah ini ditentang oleh mazhab lain (Syafi’î, Malikî, Hanbalî), bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani boleh memasuki masjid manapun dengan tujuan kebaikan tetapi tidak Masjidil Haram karena “innamâ almusyrikûna najisun” artinya sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, sehingga Masjid al-Haram diharamkan bagi selain yang beragama Islam memasukinya. Kenapa Hanafî berpendapat demikian?. Karena selain pedagang yang membutuhkan relasi dari berbagai kalangan, ia juga berpendapat bahwa yang dimaksud najis itu ialah pemikirannya, maka ia membolehkan melakukan hubungan baik terhadap non-Muslim meskipun di Masjid al-Haram, hubungan yang dilakukannya sebatas hubungan mu’amalah. Jadi, kebebasan beragama di sini adalah bebas melaksanakan hubungan baik serta berbuat adil terhadap sesama manusia. Artinya, hubungan baik itu dilakukan terhadap siapa saja walaupun agama berbeda hal ini merupakan perwujudan toleransi dan hubungan yang terjadi sebatas hubungan muamalat, bukan akidah maupun ibadah, karena dalam agama Islam telah diatur tentang bagaimana seharusnya berhubungan dengan orang lain baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang selalu disebut dengan habl min al-nâs. Sekalipun ibu kandung, apabila melarang beribadah kepada Allah dan memerintah agar beriman kepada selain Allah, maka tidak perlu dipatuhi tetapi tetap melakukan hubungan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Luqmân/31:15

                                

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya

21

Pendapat ini dikutip oleh al-Qurthubî, Al-Jami’ lî Ahkâm al-Qur’ân, h. 450.

185


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Luqmân/31:15). Dalam kitab Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an, ayat di atas berkaitan dengan peristiwa masuk Islamnya seorang anak yang menyebabkan ibunya marah. Alkisah, seorang anak bernama Sa’ad ibn Malik bersitegang dengan ibunya lantaran ia masuk Islam. Si ibu mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa’ad kokoh dengan pendiriannya walaupun ibunya makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sa’ad berkata kepada ibunya, “Ibu, demi Allah, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa yang engkau keluarkan satu demi satu, niscaya aku tidak akan keluar dari agamaku. Kalau ibu mau makan atau tidak silahkan.” Menghadapi keteguhan iman anaknya, akhirnya si ibu makan juga. Kebebasan di sini bukan membiarkan agama yang satu memerangi agama yang lain. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yang artinya Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. (Q.S. al-Baqarah/2: 190). Selain itu juga kebebasan beragama bukan berarti mengakui kebenaran agama orang lain, tetapi bebas bagi setiap penganut agama untuk menilai dan menganggap agamanya itu adalah agama yang paling benar dan melaksanakan ajaran sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan demikian akan terjadi hubungan yang harmonis antar umat beragama dan intern umat beragama. Di sinilah sebenarnya yang menjadi kunci hidup damai meskipun dalam perbedaan, dengan berlaku baik dan bersifat adil serta memberi kesempatan kepada siapapun (non-Muslim) untuk mengamalkan ajaran agamanya, hal ini bertujuan untuk kerukunan beragama. Pendapat yang mengatakan berlaku baik kepada non-Muslim ini didukung oleh al-Qur’an surah al-Mumtahanah/60: 8.

                 

    

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 8). Ayat al-Qur’an di atas dikuatkan lagi oleh ayat berikutnya bahwa Allah tidak membolehkan menjadikan teman yang jelas-jelas memerangi dan mengusir kita dari kediaman atau kampung halaman kita.

                      

186


Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 9). Dua ayat di atas menjelaskan bahwa boleh berbuat baik kepada Yahudi dan Nasrani sepanjang mereka tidak mengganggu akidah dan ketentraman hidup. Maka berbuat baik yang dimaksud di sini adalah sebatas toleransi di bidang mu’amalah seperti silaturahmi, menghormati tetangga, menjamu dengan baik, berlaku adil kepada orang-orang musyrik yang telah melakukan perjanjian. Dalam bidang akidah dan ibadah tidak ada toleransi sebagaimana disebutkan dalam surat al-Kâfirûn/109: 6, “‫“ ” ﻟَ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ دِﻳﻨُ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ َوﻟِـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻲ ِدﻳ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻦ‬bagimu agamamu bagiku agamaku.” Artinya bahwa seluruh agama apapun mereka akan mempertanggungjawabkannya di sisi Allah, Allah akan memberi keputusan di antara mereka di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah akidah dan ibadah tidak ada toleransi, bagi Allah yang menduakan Tuhan dan mencari Tuhan selain Allah adalah kafir, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Syurâ/42: 11, “...ٌ‫ـﺲ َﻛ ِﻤﺜْﻠِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ َﺷـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْـﻲء‬ َ ‫ ﻟَْﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬...” tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Surah-surah lainnya yang mengungkapkan kemahasucian Allah yang berbeda dengan makhluk-Nya.

Tinjauan Sejarah Kebebasan Beragama di Negara Madinah Masyarakat madani adalah “lukisan ideal” Islam masa lalu yang dikenal dengan masyarakat salaf,22 yang telah melahirkan sebuah negara (state), yang sudah sangat maju dibandingkan dengan negara-negara pada masanya atau yang pernah ada dalam sejarah sebelumnya. Ini digambarkan oleh Robert N. Bellah, sosiolog Amerika terkemuka: Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah Nabi Muhammad masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Tatkala struktur yang telah terbentuk dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu imperium dunia, hasilnya sesuatu masa dan tempat yang sangat modern. Ia modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat jelata sebagai anggota masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan kepemimpinannya untuk dinilai, kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalitas dan dilambangkan dalam upaya melembagakan kepemimpinan yang tidak bersifat turuntemurun. Meskipun pada saat-saat yang paling dini muncul hambatan-hambatan tertentu yang menghalangi masyarakat untuk sepenuhnya melaksanakan model yang dicontohkan Nabi itu. Namun mereka sudah sedemikian cukup dekatnya Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 92-93. 22

187


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 menampilkan suatu model bagi susunan masyarakat modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan. Upaya orang-orang Muslim modern untuk melukiskan masyarakat dini tersebut sebagai contoh yang sesungguhnya terlihat dari nilai-nilai nasionalisme, partisipatif dan egaliter yang sama sekali bukanlah suatu pembentukan ideologis yang tidak historis. Eksperimen itu terlalu modern pada masa itu. 23 Masyarakat salaf ini, menurut Nurcholish, dalam bahasa modern sekarang menjadi generasi yang menerapkan secara empiris prinsip normatif Islam tentang egalitarianisme, demokrasi, partisipasi dan keadilan sosial sebagaimana dikatakan oleh Bellah di atas. Masyarakat ini telah menyajikan kepada umat manusia, sebuah gambaran tatanan sosial politik yang telah mengenal kehidupan berkonstitusi, di bawah naungan konstitusi yang dikenal dengan sebutan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).24 Dalam kaitan ini, istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain yang sering kali digunakan orang untuk menyebut masyarakat sejahtera, padanan katanya adalah civil society. Di samping masyarakat madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya.25 Istilah civil society juga identik dengan masyarakat berbudaya (civil society). Lawannya, adalah masyarakat liar (savage society).26 Pemahaman yang melatari arti ini, untuk memudahkan orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial keagamaan (termasuk dalam kehidupan politik), sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes, bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap “keadaan alami” (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial dihadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami (natural society).27 Berdasarkan itu pulalah perlunya manusia kembali membangun suatu “masyarakat madani” yang pernah dibangun oleh Nabi SAW., di mana ketika nabi berhijrah serta hidup mapan di kota tempat hijrahnya itu, Nabi segera merubah nama Yatsrib menjadi al-Madinah. Secara konvensional, perkataan “madinah” memang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasan perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi “madinah” pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan

Ibid., h. 32, 33 dan 35. Oleh banyak ahli sejarah klasik Islam, seperti Ibn Ishâq (w. 152 H.) dan Muhammad Ibn Hisyam (w. 218 H.) telah mendokumentasikan Piagam Madinah. 25 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 3. 26 Lihat, Abdul Aziz Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 27 Culla, Masyarakat Madani, h. 5. 23 24

188


Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirîn dan Anshâr hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab. 28 Membangun masyarakat madani atau masyarakat yang berperadaban itulah yang dilakukan nabi selama sepuluh tahun di Madinah, di mana masyarakat demokratis, masyarakat yang adil, terbuka, serta terwujudnya kebebasan beragama dengan landasan takwa kepada Allah SWT. dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya. Masyarakat tersebut bercirikan egalitarianisme, yakni terbuka dan menghargai siapa saja. 29 Menurut Philip K. Hitti, hijrah yang menandai berakhirnya periode Makkah berganti dengan periode Madinah merupakan peristiwa sejarah yang penting dalam catatan kehidupan Muhammad, telah berakhirlah zaman penganiayaan, pengasingan dan penindasan, berganti dengan zaman kesuksesan dan kejayaan Islam. Selama di Makkah nabi diremehkan bahkan disakiti, sebaliknya di Madinah nabi tidak hanya sebagai pemimpin yang dihormati tetapi sekaligus sebagai kepala negara Republik Madinah. 30 Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, nabi segera meletakkan dasar-dasar kehidupan beragama masyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan dan mempertalikan jiwa mereka. Kedua, adalah ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan sesama Muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirîn dan Anshâr. 31 Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orangorang Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar. Piagam Madinah sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan beragama umat Islam. Ia dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis yang pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Sebelum Nabi Muhammad, para penguasa dunia tidak menyertakan undang-undang tertulis untuk mengatur dasar-dasar kekuasaannya. Bila dirujuk kepada teks Piagam Madinah dan diteliti secara cermat prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya lebih luas dan lebih kaya. Prinsip-prinsip dimaksud adalah persamaan, umat dan persatuan, kebebasan, toleransi beragama, tolong-menolong dan membela yang teraniaya, musyawarah, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, hidup Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an. no. 2, h. 51. Ibid., h. 52. 30 K. Ali, Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 42. 31 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 26. 28 29

189


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 bertetangga, pertahanan dan perdamaian, amar ma’rÝf dan nahi munkar, ketakwaan, dan kepemimpinan yang terangkum dalam butir-butir piagam yang terdiri dari 47 pasal.32 Namun, dukungan tersebut belum membuat posisi beliau benar-benar mantap. Karena penduduk Madinah menurut pembagian geneologi maupun etnis dan keyakinan terbagi ke dalam beberapa kelompok sosial yang saling berbeda dalam cara berpikir dan kepentingan. Untuk itu, beliau membuat perjanjian tertulis yang dapat diterima oleh semua kelompok sosial. Nabi Muhammad SAW., dalam membuat piagam tersebut, bukan hanya memperhatikan kepentingan atau kemaslahatan masyarakat non-Muslim. Piagam itu menjadi landasan bagi tujuan utama beliau, yaitu mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Beliau tidak hendak menciptakan persatuan orang-orang muslim saja secara ekslusif, terpisah dari komunitas-komunitas lain di wilayah itu. Karenanya, ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua kelompok sosial memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, dan politik sehingga dapat diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi. Fakta historis ini, menurut Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan bangsa dan agama di Madinah. Disebut piagam (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsipprinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut konstitusi (constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah. Munawir Sjadzali menulis bahwa batu-batu dasar yang telah ditetapkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan etika bagi kehidupan beragama untuk masyarakat di Madinah adalah sebagai berikut: 1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. 2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela yang teraniaya, saling menasehati, menghormati sesama kebebasan beragama, dan piagam itu sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak menyebut agama negara. 33

Ibid. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 15-16. 32 33

190


Misrah: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Hadis

Muhammad bukanlah hanya sebagai penyebar agama (Rasul), tetapi beliau sekaligus sebagai seorang negarawan yang besar. Negara Madinah membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah negarawan terbesar, tidak hanya pada zamannya tetapi juga sepanjang sejarah. Pasal-pasal yang dirumuskan dalam Piagam Madinah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya bermaksud memperkuat kekuasaannya untuk menghadapi serangan musyrik Makkah, tetapi tujuan utama justeru untuk menggalang kerukunan bagi warga negara di kota Madinah.

Penutup Dari uraian sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mengajarkan kepada umat Islam agar tidak memaksakan agamanya kepada siapa pun. Islam memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai agamanya. Sikap pemaksaan menganut agama terhadap orang lain dapat menimbulkan sikap antipati dan menodai keluhuran ajaran Islam sendiri. Perbedaan agama tidak membatasi umat Islam untuk berhubungan, berinteraksi dan bersilaturrahmi dalam urusan dunia dengan penganut agama lain. Pada masa Rasul SAW. sudah dicontohkan bagaimana hubungan ideal antara penganut beberapa agama yang dapat hidup damai dan berdampingan dalam bingkai Piagam Madinah.

Pustaka Acuan Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativasi atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ali, K.. Sejarah Islam: Tarikh Pra-Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Ibn Ishaq. Al-Sîrah al-Nabawiyah, juz II. Kairo: Quththa’ al-Tsaqafah, 1998. Ibn Katsir. Al-Bidâyat wa al-Nihâyah. Kairo: Dâr al-Hadits, 1992. Al-Ja fî, Abû Abd Allâh Muhammad bin Ismâ îl al-Bukharî. Shahîh al-Bukhârî, juz III, cet. 3. Beirut: Dâr Ibn Kasîr, 1987. Al-Jauziyah, Muhammad bin Abî Bakar bin Ayyûb bin Sa ad Syams al-Dîn Ibn Qayyim. Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al- Ibâd, juz V. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1994. Al-Jawî, Muhammad Nawawî. Marah Labib. Kairo: Dâr al-Kutub, 1976. Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish. “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an. no. 2, 1996. Moberg, David O. The Church as A Sosial Institution. New Jersey: Prentice-Halla Inc, 1962. Al-Naisaburî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairî. Shahîh Muslim, juz VII. Beirut: Dâr al-Jail, t.t. 191


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Al-Nashirî, Muhammad Baqîr. Mukhtashar Majma’ al-Bayân. Kairo: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Salman, 2000. Al-Razî, Fakhr al-Dîn. Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1964. Al-Sijistanî, Abû Daud Sulaiman bin al-Asy as. Sunan Abî Dâud, juz III. Beirut: Dâr alKitâb al- Arâbî, t.t. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998. Sofyan, Muhammad. Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi. Jakarta: Media Pressindo, 1999. Al-Suyuthî, Abd al-Rahman bin al-Kamal Jalâl al-Dîn. Al-Durr Al-Mantsûr, juz II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. Al-Qahtanî, Sa id bin Alî bin Wahhab. Fiqh al-Da’wah fî Shahîh al-Imâm al-Bukhârî, juz IV. t.t.p.: Dâr al-Ifta lî Idârât al-Buhûs al- Ilmiyah, 1421 H. Al-Qurthubî. Al-Jami’ lî Ahkâm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Thaha, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

192


LIBERALISME GOLONGAN INKARUSSUNNAH DI INDONESIA DAN MALAYSIA Sulidar Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara, Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20731 e-mail: ahmad.suid@yahoo.co.id

Abstract: Liberalism of Anti-Prophetic Tradition in Indonesia and Malaysia. Liberalism thought which is pursuant to free understanding in comprehending nas the syariat of non solely one branch of habit thought supported by people of Islam in this world specially in Indonesia and Malaysia. Liberalism thought supported by this Moslem people in fact form the system of aqidah is which finally concluding of conception and religious service ‘separate’. The perpective Study of Hadith, inkarussunnah basically support the liberalism thought which in fact ‘ trussed’ with the free understanding in comprehending nas of the syariat especially from text of Hadith of Prophet. This article will elaborate the aspect of liberalism of faction inkarussunnah trod in Indonesia and Malaysia and its bearing with the past history forming liberalism rationale. This article will become the theory base in liberalism thought in inkarussunnah focusing to field study especially in Indonesia and Malaysia.

Kata Kunci: liberalisme, inkarussunnah, hadis

Pendahuluan Pemikiran liberal yang berdasarkan kepada pemahaman bebas di dalam memahami nas hukum syariat bukan semata-mata satu cabang pemikiran biasa yang didukung oleh segolongan umat Islam di dunia ini, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Pemikiran liberal yang didukung oleh segolongan umat Islam ini sebenarnya membentuk sistem akidah (kepercayaan) tersendiri yang akhirnya menyimpulkan konsep dan praktik ibadah yang ‘tersendiri’. Di dalam perspektif pengkajian hadis, golongan inkarussunnah pada dasarnya mendukung pemikiran liberal yang sebenarnya ‘terikat’ dengan pemahaman bebas di dalam memahami nas hukum syariat, terutama dari teks-teks hadis Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini akan menguraikan aspek liberalisme golongan inkarussunnah yang telah bertapak di Indonesia dan Malaysia dan kaitannya dengan sejarah lampau yang membentuk dasar-dasar pemikiran liberalisme. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi dasar 193


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 teori di dalam merinci pemikiran liberal dalam inkarussunnah yang berfokus kepada kajian lapangan, terutama di Indonesia dan di Malaysia.

Golongan Inkarussunnah dan Liberalisme Siapapun yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber hukum Islam, maka tergolonglah ke dalam golongan yang sesat. Inilah yang dikenal dengan kelompok anti-hadis.1 Ada tiga jenis kelompok anti-hadis.2 Pertama. Kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah SAW. secara keseluruhan.3 Kedua. Kelompok yang menolak hadis-hadis yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat atau yang bertentangan dengan akal sehat manusia. 4 Ketiga. Kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir5 dan menolak hadis-hadis ahad6 walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat, “sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun

Pengertian anti-hadis sebagaimana dikemukakan oleh Ramli Abdul Wahid adalah sebuah gerakan intelektual untuk tidak mempercayai autentisitas dan originalitas Sunnah Rasul SAW. secara keseluruhan atau sebagian saja. Hal itu dilakukan bukan atas dasar legitimasi ilmu hadis, melainkan karena alasan rasionalitas atau hawa nafsu semata. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 270. 1

Ishak Hj. Suliaman, et al., Autoriti Hadis: Menangani Gerakan Anti-Hadis (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2007), h. 145-147. 3 Menurut kelompok ini, hadis sudah terdapat dalam al-Qur’an sendiri, jadi tidak perlu lagi dengan keterangan hadis. Mereka beranggapan Rasulullah SAW. tidak ada hak dalam urusan agama. Sebab, tugasnya hanya menyampaikan al-Qur’an saja. Lihat, Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jakarta: Media Dakwah, 1981), h. 3-4. 2

Memang ada sebagian kaum Muslimin yang beramal dan berhujjah dengan hadis, dalam hal-hal ibadah secara umum seperti sembahyang, zakat, dan haji. Namun, mereka tidak mau percaya dan berpegang kepada hadis yang bertentangan dengan akal pikiran yang sehat, terutama pada sebagian hadis-hadis yang menerangkan masalah ghaib, contohnya berkenaan dengan terjadinya perjalanan Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW. kelompok ini tidak menerima semua hujjah hadis. Mereka menolak hadis yang menurut penilaiannya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat. Jadi, mereka mengatakan tidak mungkin hadis yang sahih bertentangan dengan akal manusia. 4

Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’ yakni yang (datang) berturut-turut dengan tidak ada jaraknya. Bila ditinjau dari terminologi, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. (Jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya. Lihat, Ahmad bin Muhammad al-Fayyumî, AlMishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî al-Rafi’î, juz II (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1978), h. 321; Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadis: ‘Ulûmuhu wa Mustalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 301. 5

Secara bahasa, kata ahad, atau wahid berarti satu, maka khabar ahad atau khabar wahid, adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Adapun yang dimaksud dengan hadis ahad adalah “hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (mâ lam yajma’ syuruth al-mutawatir). Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyutî, Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 120, Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1979), h. 22. 6

194


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

terhadap kebenaran” (Q.S. al-Najm/53: 28). Cara mereka berhujjah dengan ayat ini, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri. Berdasarkan kepada fakta ini, membuktikan bahwa pegangan dan sistem kepercayaan golongan inkarussunnah adalah bersifat liberal, yaitu bebas di dalam memahami dan mempercayai otoritas dan autensitas hadis Nabi Muhammad SAW. sebagaimana yang diimani oleh golongan paling awal di kalangan sahabat dan tabi’în. Pemahaman ini terus berkembang mengikuti zaman dan didukung oleh sekelompok umat Islam yang berguru kepada dua musuh utama Islam, yaitu Kristen dan Yahudi. Fakta ini dikemukakan berdasarkan kepada perkembangan yang berlaku di dunia Islam, seperti di Indonesia dan di Malaysia. Dalam konteks Indonesia, di antara kelompok inkarussunnah yang ada, salah satunya ialah kelompok yang mengikuti pemikiran dari Rashad Khalifah, seorang insinyur kimia lulusan Universitas Arizona. Gerakan ini dinamakan The Qur’anic Society. Gerakan ini hadir menyusul seminar missionaris Kristen dan Yahudi, di mana Rashad Khalifah menyampaikan makalahnya yang berjudul “Islam: Past, Present and Future”. Kampanye mendistorsi Islam di Indonesia ini memang sangat digalakkan oleh pihak Amerika Serikat, antara lain melalui program iklan kampanye citra positif AS, 7 menyusul ditolaknya alasan penyerangan ke atas Irak dan Afghanistan. Gerakan ini dilembagakan melalui USAID, dan juga Asia Foundation. Seorang aktivis jaringan Islam liberal, Ulil Abshar Abdalla pernah mengaku secara terbuka bahwa dia menerima dana dari Asia Foundation sebesar Rp. 1,4 Milyar pertahun.8 Pada tahun 2002, media-media di Indonesia memasang iklan mengenai kehidupan muslim di Amerika dengan tawaran Rp. 250 juta untuk setiap iklannya. Pada tahun 2003, Washington juga menyalurkan dana sebesar 170 juta U$ (sekitar Rp. 1,428 trilyun) untuk sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren di Indonesia untuk membendung ajaran-ajaran radikal di Pesantren.9 Bantuan itu disalurkan ke sekolah negeri dan sekolah Islam yang “dinilai moderat”. Ramli Abdul Wahid menjelaskan bahwa secara historis, inkarussunnah sudah muncul pada abad kedua Hijriah. Al-Syafi î (150-204 H) mengemukakan dialognya dengan Inkarussunnah secara panjang lebar dalam kitabnya, al-Umm jilid VII. Kemudian, pada zaman modern muncul pula sejumlah pemikir yang mengikuti, baik secara total maupun secara parsial, corak berpikir inkarussunnah liberal, antara lain Taufiq Sidqi dan Ali Hasan Abd. al-Qadir di Mesir, Said Ahmad Khan, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Melalui Konsulat Jenderal Amerika di Medan-Indonesia, agen Amerika membagikan buku-buku tentang Amerika Serikat secara gratis kepada mahasiswa IAIN-SU Medan tahun 2004. Buku-buku tersebut, berkenaan dengan gambaran politik, ekonomi, sosial budaya di Amerika, yang maju, demokratis dan toleran terhadap penganut agama lain. 8 Suara Hidayatullah (05 Juni 2004). 9 “Weekend Australia,” dalam Indopos (5 Oktober 2003). 7

195


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Abdurrahman, Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, dan Dailami Lubis di Sumatera Barat.10 Sebelum mereka, terdapat dua orang tokoh orientalis sekaligus inkarussunnah liberal terkenal yang juga boleh disebut sebagai perintis aliran sesat dan inkarussunnah zaman moden yang bernama Prof. Dr. Ignaz Goldziher (1850-1921)11 dan Joseph F. Schacht (1902-1969).12 Pemikiran kedua tokoh ini telah banyak dibantah oleh ulama dan ilmuan Islam, di antaranya Mushtafa al-Siba’î, dalam bukunya al-Sunnah wa mâ kânatuha fî alTasyri’ al-Islâmî (1949), Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah Qabl alTadwîn (1964), dan Muhammad Mushtafa Azamî dalam bukunya Studies in Early Hadis Literature (1967). Sedangkan di Indonesia, Ali Mustafa Yakub juga menangkal pemikiran kedua tokoh Inkarussunnah tersebut dalam bukunya Kritik Hadis (1995).13 Selanjutnya, menurut Ramli Abdul Wahid, hukum orang yang mengingkari Sunnah yang berkualitas mutawatir adalah kafir, sedangkan orang yang mengingkari hadis ahad adalah fasik.14 Dalam ilmu Hadis, dikatakan sesuatu itu hadis apabila ia berasal dari rasul dan terdiri dari sanad (orang yang meriwayatkan hadis) dan matan (isi atau redaksi dari hadis tersebut). Manakala suatu hadis tidak ada sanadnya, maka itu tidak dikatakan hadis. Hadis Nabi Muhammad SAW. secara periwayatannya ada yang berlangsung secara mutawatir dan ada yang ahad. Hadis yang berkategori mutawatir tidak perlu diadakan penelitian terhadapnya dan wajib mengamalkannya, sementara untuk hadis yang berkategori ahad perlu diadakan penelitian, baik sanad maupun matannya. Jika hadis ahad itu sudah masuk dalam kategori maqbûl, maka wajib menerimanya sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. 10

Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.

Goldziher ialah seorang keturunan Yahudi. Beliau dilahirkan di Hongaria sekitar tahun 1850-an dan meninggal sekitar tahun 1921. Kedua orang tuanya adalah seorang tukang emas di Hongaria dan beragama Yahudi. Dalam usianya yang cukup muda yaitu 19 tahun (1869), Goldziher dilantik menjadi Doktor dalam bidang Islamologi di Jerman di bawah bimbingan Prof. Rodiger. Beliau mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, pada tahun 1873 hingga 1974 guna memperdalam agama Islam. Beliau adalah sarjana Yahudi pertama yang mendapat gelar Profesor di Universitas Budapest tahun 1894. Beliau mempublikasikan bukunya yang cukup kontroversi, Muhammedanische Studien (1890) buku inilah yang menguraikan bahwa hadis bukanlah sumber hukum Islam. Lihat, Patricia Crone. Roman, Provincial and Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 3. 11

Joseph F. Schacht ialah seorang orientalis, yang lahir pada 15 Maret 1902 di Ratibor (Upper Silesia), Polandia. Beliau meninggal di Englewood, pada tanggal 1 Agustus 1969. Beliau ialah seorang keturunan Inggris-Jerman. Beliau adalah Profesor dalam bidang kajian Arab dan Islam di Universitas Columbia, New York. Beliau merupakan pembimbing para sarjana Barat dalam bidang Hukum Islam. Bukunya yang terkenal ialah Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950). Lihat, Jeanette Wakin, Remembering Joseph Schacht (1902 1969) (Cambridge-Amerika Serikat: Occasional Publications, 2003), h. ix-x. 12

Bukunya ini diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995. Dikemukakan beliau dalam memberikan kuliah Hadis di PPS. IAIN-SU, Sabtu, 20 April 2002. 13 14

196


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Beberapa ajaran pokok inkarussunnah yang liberal sesat, 15 yaitu: 1. Dasar ajaran Islam hanyalah al-Qur’an, karena al-Qur’an sudah lengkap dan sempurna. 2. Tidak percaya dan menolak seluruh hadis Nabi Muhammad SAW. 3. Nabi Muhammad SAW. tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang al-Qur’an. 4. Syahadah mereka adalah Isyhadu bi annanâ Muslimûn (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam). 5. Jumlah Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan ingat saja. Sedangkan waktunya hanya tiga kali saja dalam sehari semalam. 6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat faman syahida minkumusy syahra falyashumhu (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa) (Q.S. al-Baqarah/2:183). 7. Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya ban, dan Zulhijjah. 8. Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi. 9. Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam al-Qur’an. 10. Pengajian-pengajian Inkarussunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Dalil-dalil Inkarussunnah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu dalil al-Qur’an dan alasan akal. Dalil al-Qur’an antara lain adalah: 1. Q.S. al-Nahl/16: 89, yang artinya Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu. 2. Q.S. al-An âm/6: 38, Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Qur’an. 3. Q.S. al-Mâ’idah/5: 3, Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagi kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu. Ketiga ayat ini dan ayat-ayat yang senada menunjukkan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu sehingga al-Qur’an tidak memerlukan keterangan tambahan lagi karena penjelasannya tentang Islam sebagai agama sudah sempurna. 4. Q.S. al-Najm/53: 3-4, Dan ia (Muhammad) tidak bertutur menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan itu sudah termaktub dalam al-Qur’an. 5. Q.S. al-Haqqah/69: 44-46, Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian Tentang hal ini lihat, Ramli Abdul Wahid, Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar Sunnah (Medan: Pusat Penelitian IAIN-SU, 2007); Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti-Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006); M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). 15

197


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 perkataan atas nama Kami niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami akan potong urat tali jantungnya. 6. Q.S. Âli Imrân/3: 20, Q.S. al-Mâ’idah/5: 92, 99, Q.S. al-Ra d/13: 40, Q.S. al-Nahl/ 16: 35, 82, Q.S. al-Nûr/24: 45, Q.S. al- Ankabût/29: 18, dan Q.S. al-Syûrâ/42: 48. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad SAW. hanyalah menyampaikan pesan Allah SWT. dan tidak berhak memberikan penjelasan apa pun. 7. Q.S. Fathir/35: 31, Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni al-Qur’an, maka itulah yang benar (haq). Q.S. Yûnus/10: 36. Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. 8. Hadis itu hanyalah persangkaan yang tidak layak dijadikan hujah. Adapun dalil ’aqli-nya adalah sebagai berikut:16 1. Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang jelas. Orang yang paham bahasa Arab akan memahami al-Qur’an. Kelompok Inkarussunnah mengatakan bahwa ketika seseorang itu memahami bahasa Arab, ia pun tidak memerlukan penjelasan lain. Sebab, alQur’an diturunkan dengan bahasa yang jelas. Sebab itu, Rasul tidak diperlukan dalam menjelaskan al-Qur’an yang memang sudah jelas. 2. Perpecahan umat Islam karena berpegang kepada hadis-hadis yang berbeda-beda. 3. Hadis hanyalah dongeng, karena baru muncul di zaman tabi’în dan tabi’it tabi’în. 4. Tidak satu hadis pun dicatat di zaman Nabi. Dalam periode sebelum pencatatan hadis, manusia berpeluang untuk melakukan pembohongan. 5. Kritik Sanad baru muncul setelah satu setengah abad Nabi Muhammad SAW. wafat. 6. Konsep tentang seluruh sahabat adil muncul pada akhir abad ketiga Hijrah.

Gerakan Inkarussunnah Liberal di Indonesia Golongan Inkarussunnah liberal, sebagaimana dikemukakan di atas adalah mereka yang tergolong mengingkari hadis Nabi SAW. sebagai dasar hukum Islam. Mereka hanya mengakui dan meyakini dasar hukum Islam satu-satunya adalah al-Qur’an. Keyakinan mereka ini tidak hanya untuk kalangan sendiri, tetapi juga mempengaruhi orang lain dengan menyebarkan paham mereka melalui berbagai dakwah yang dilakukannya seperti majelis ta lim, penerbitan buku, sehingga membuka website dan e-mail group (milis) di internet dengan nama Pengajian_Kantor@yahoogroups.com, dengan moderatornya bernama Abdul Malik. Milis ini telah menimbulkan reaksi keras dari para pembela hadis, di antaranya adalah seorang Ustadz bernama Abduh Zulfidar Akaha 17 sehingga terjadi

16 17

Ibid. Abduh Zulfidar Akaha, adalah Manajer Redaksi penerbit Pustaka al-Kautsar, Jakarta.

198


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

dialog terbuka di internet. Hasil dialog tersebut telah dibukukan oleh Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, dengan judul Debat Terbuka Ahlu-Sunnah Versus Inkar-Sunnah yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun 2006. Bila membaca buku di atas, maka bagi orang Muslim yang memiliki keyakinan bahwa Islam berlandasan al-Qur’an dan Hadis akan terpicu emosinya. Sebab, uraian-uraian inkarussunnah dalam buku tersebut terkadang melontarkan kata-kata penghinaan kepada para ulama hadis, dan juga orang-orang Muslim pada umumnya. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa para perawi hadis seperti Bukharî dan Muslim adalah pendusta dan penipu umat, sehingga umat terkecoh serta banyak menimbulkan perpecahan. Selanjutnya, ibadah kelompok ini memang tidak berdasarkan hadis, contohnya salat hanya tiga waktu saja, dengan tata caranya berdasarkan al-Qur’an; tidak ada shalat Idul Fitri dan Idul Adha, sebab tidak ada dalam al-Qur’an; khitan tidak ada; dan puasa dilakukan dari mulai subuh dan malam hari (Isya) baru berbuka, bukan maghrib sebagaimana dilakukan umumnya masyarakat Islam. 18 Fakta ini jelas membuktikan penghayatan liberalisme yang mendasari sistem kepercayaan golongan Inkarussunnah. Ramli Abdul Wahid secara khusus telah mengulas inkarussunnah di Indonesia, pada sub bab Inkarussunnah, dalam bukunya, Studi Ilmu Hadis.19 Ia menulis bahwa berdasarkan penelitian Huda Ali, di Indonesia telah lahir Inkarussunnah pada tahun 1978. Merujuk penelitian Huda Ali, para inkarussunnah memandang al-Qur’an sudah cukup menjadi dasar syariat. Alasannya adalah al-Qur’an sebagai wahyu, isinya sudah lengkap dan sempurna. Karena itu, Islam menurut inkarussunnah tidak perlu lagi kepada penjelasan tambahan selain al-Qur’an. Bahkan, penjelasan tambahan di luar al-Qur’an, seperti Sunnah atau Hadis dapat menyesatkan karena kandungan Sunnah itu sendiri saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Berdasarkan pemahaman liberal demikian, kelompok inkarussunnah ini menamakan dirinya sebagai kelompok Qurani. Sementara itu, masyarakat menyebutnya kelompok Inkarussunnah. Huda Ali melakukan penelitiannya pada masjid al-Burhan yang terletak di sudut Barat Daya Kompleks Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Observasi dan wawancara dilakukan juga di berbagai tempat pengembangan paham Qur’an dan orang-orang yang Beliau adalah alumnus dari Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadis, Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir, tahun 1997, selepas itu melanjutkan tingkat Master pada Universitas yang sama, juga di Institute of Islamic Studies Zamalek, Kairo. Namun, pada tingkat Master-nya, karena sesuatu hal belum selesai hingga kini. Beliau sangat aktif dalam menulis, baik karya sendiri maupun terjemahan, serta sebagai editor, di antara karya tulisnya yang sudah diterbitkan adalah Al-Qur’an dan Qira’at (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996); Bila Kiyai Dipertuhankan (Jakarta: al-Kautsar, 2001); 160 Kebiasaan Nabi SAW. (Jakarta: al-Kautsar, 2002); Terorisme dan Konspirasi Anti Islam (Jakarta: Al-Kautsar, 2002); 13 Orang Terbaik Dalam Islam (Jakarta: al-Kautsar, 2004); Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti Hadis (Jakarta: Al-Kautsar, 2006). 18 19

Baca Akaha, Debat Terbuka Ahl Sunnah. Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 262-266.

199


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 mengetahuinya. Pimpinan Jamaah Masjid al-Burhan pada mulanya adalah seorang Ustadz yang menganut aliran PERSIS (Persatuan Islam). Ia memiliki kemampuan dalam ilmu agama dan bahasa Arab sebagai hasil belajarnya di berbagai pesantren. Akan tetapi, tidak pernah mengikuti pendidikan umum formal, sehingga hanya mampu membaca huruf Latin. Ustadz ini terkenal di kalangan jamaah yang mengikuti pengajarannya. Pada tahun 1982, ustadz kelahiran Jakarta yang sudah berusia 50 tahun lebih dan berprofesi sebagai pengusaha tukang jahit, berubah pandangan keagamaannya dari paham PERSIS yang sangat kuat berpegang pada sunnah kepada paham Qurani yang menolak Sunnah dan memandang al-Qur’an satu-satunya sebagai dasar Islam. Karena itu, masyarakat sekitarnya menyebut Inkarussunnah. Pengembangan pemahaman ini berasal dari sepucuk surat yang disampaikan kepadanya ketika mengajar di satu masjid di kampung masjid belakang Pasar Rumput. Surat ini dikirim oleh seorang ustadz yang lebih muda dan telah mengembangkan paham Qurani di Jakarta sejak tahun 1978. Isinya adalah ajakan masuk al-Qur’an. Ustadz sepakat dengan jemaahnya untuk membalas surat tersebut dengan mengajukan argumen dari ayat-ayat dan hadis. Demikianlah terjadi polemik keras antara jemaah ustadz pimpinan Masjid al-Burhan yang berpaham PERSIS dan ustadz langgar Menara Air yang sejak tahun 1978 mengembangkan paham Qur’an. Ternyata, Ustadz Masjid al-Burhan secara diam-diam telah menelaah argumen ustadz Langgar Menara Air. Telaahnya terhadap argumen tersebut ternyata membuatnya berubah sikap. Sejak itu, ia memandang hadis menyesatkan dan menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Pandangan ini menambah keyakinannya terhadap paham Qur’an ketika ia berdiri hendak melaksanakan salat atas jenazah. Menurutnya terdapat perbedaan cara menyalatkan jenazah menurut Sunnah. Dia khawatir kalau ia mengikuti cara yang berbeda dengan cara yang lazim dilakukan makmumnya. Situasi itu menimbulkan kesimpulan dalam dirinya bahwa hadis hanyalah penyebab perpecahan di kalangan umat. Karena itu, pada akhir tahun 1982 Ustadz ini menyatakan diri masuk kelompok Islam Qur’an. Jemaahnya keberatan atas pernyataan itu dan mendesak agar ia menjelaskan alasannya. Berbagai alasan dikemukakannya, namun jemaahnya menolak. Akhirnya, Ustadz tersebut mengeluarkan pernyataan menantang, “Kalau ada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kita mesti menjadikan hadis Shahih al-Bukharî menjadi dasar dalam agama Islam, maka saya akan tetap memegang hadis.” Pernyataan di atas jelas menunjukkan keyakinan yang kuat atas paham baru yang dianutnya, yaitu paham Qur’an dan penolakannya terhadap seluruh hadis nabi. Sejak itu pula, jemaah pengajian-pengajian PERSIS yang diasuhnya menolaknya. Karena itu, ustadz ini tidak mengajar berkeliling lagi, tetapi hanya mengajar orang-orang yang datang mempelajari paham Qur’an darinya. Orang-orang inilah yang menjadi jemaah pengajian ustadz tersebut pada setiap pagi dan malam di Masjid al-Burhan. Mereka membawa al-Qur’an dan terjemahan dan ustadz tersebut memimpin untuk membaca, menelaah, dan menganalisis al-Qur’an sesuai dengan pemahaman Qurani. 200


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Berbeda dengan ustadz Masjid al-Burhan, ustadz Langgar Menara Air menemukan paham Quraniyah berdasarkan telaahnya sendiri terhadap al-Qur’an. Sebelum tahun 1978, ia tidak memihak kepada paham keagamaan tertentu. Dengan telaahnya, Ustadz ini berkesimpulan bahwa apa yang dipahami oleh mayoritas umat Islam dewasa ini, terutama tentang taat kepada Allah dan kepada Rasul kurang tepat. Pengertian tentang Sunnah juga keliru. Menurut beliau, yang dimaksud dengan hadis sebagai wahyu tidak lain dari al-Qur’an. Karena itu, al-Qur’an satu-satunya dasar hukum Islam. Uraian di atas menunjukkan bahwa pemahaman atau doktrin Qurani di Indonesia berasal dari ustadz Langgar Menara Air. Kemudian, paham liberal ini diterima dan dikembangkan ustadz Masjid al-Burhan. Doktrin Qurani ini memiliki sejumlah argumen yang antara lain adalah: 1. Kandungan al-Qur’an sudah lengkap dan sempurna menjadi pegangan bagi umat Islam. 2. Sunnah atau Hadis yang diyakini berasal dari Nabi SAW. hanyalah penyebab perpecahan umat Islam. Sebab, hadis-hadis ini bertentangan antara satu dan lainnya. 3. Hadis yang dipercayai sebagai wahyu tidak lain dari al-Qur’an yang dibacakan Nabi kepada umat. Secara resmi, gerakan Inkarussunnah ini telah dilarang oleh para ulama dan Pemerintah Indonesia sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat tahun 1983 yang ditetapkan di Jakarta, 16 Ramadhan 1403 H/27 Juni 1994 M. dan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, nomor KEP. 169/J.A/9/1983 dan nomor KEP.085/J.A/9/1985. Tokoh-tokoh Inkarussunnah yang menulis tentang penolakannya terhadap hadis Nabi SAW. yang disebutkan namanya oleh Keputusan Jaksa Agung RI di atas ialah, Abdul Rahman, Moch. Ircham Sutarto, Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis. Adapun buku-buku yang menyangkal pemikiran Inkarussunnah yang ditulis oleh orang Indonesia, antara lain: 1. Ahmad Husnan, Gerakan Inkar al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta: Media Dakwah. 2. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. 3. Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus 1995. 4. Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlu Sunnah Versus Anti Hadis, Al-Kautsar, Jakarta, 2006. 5. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005 Penolakan tehadap inkarussunnah di Indonesia, pada dasarnya cukup banyak, terutama mereka menulis di pelbagai majalah dan surat kabar yang terbit di Indonesia.20

Dapat disebutkan majalah tersebut antara lain Suara Muhammadiyah, Tabligh, Sabili, Suara Hidayatullah, Majalah al-Sunnah, dan al-Furqan. Sedangkan surat kabar antara lain Pelita, Republika, dan Waspada. 20

201


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Berdasarkan ini, jelas masyarakat Islam pada umumnya menolak pemahaman inkarussunnah yang telah merusak ajaran Islam.

Gerakan Inkarussunnah Liberal di Malaysia Golongan Inkarussunnah di Malaysia, memiliki pelbagai latar belakang. Adapun Inkarussunnah di Malaysia bermula pada tahun 1980-an dengan pelbagai alasan. Hanya saja pada saat itu tidak sebanyak ketika munculnya karya Kassim Ahmad, sehingga beliau boleh disebut sebagai pelopor inkarussunnah di Malaysia. Hal itu, berdasarkan penelitian Deden Suparman dalam disertasinya 21 yang berjudul, Inkarussunnah dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara Malaysia dan Indonesia, menyatakan tokoh yang masyhur dan utama berkenaan dengan Inkarussunnah ialah Kasim Ahmad. 22 Bukunya yang kontroversi berjudul, Hadis: Satu Penilaian Semula menguraikan secara gamblang penolakannya terhadap hadis nabi sebagai landasan ajaran Islam. Menurut Kasim Ahmad, apabila umat beriman kepada hadis sebagai sumber rujukan setelah al-Qur’an ialah dasar utama perpecahan umat. Karena itu, dia menyarankan supaya umat Islam meninggalkan hadis. Sebab, menurutnya hadis ialah palsu dan pikiran-pikiran yang menyesatkan manusia dari jalan Tuhan. Dengan demikian, menurutnya umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an sebagai panduan hidup.23 Pada awalnya, Kasim Ahmad tertarik pada kajian hadis setelah berguru dengan Rashad Khalifah.24 Selanjutnya, Kasim Ahmad membentuk Jama’ah Ahl al-Qur’an, dan menyebarkan pemahamannya melalui website Jama’ah Ahl al-Qur’an Malaysia. http://members.tripod.com.25 Deden Suparman, Anti Hadis dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara Malaysia dan Indonesia (Disertasi: Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam, 2003), h. 188. Disertasi ini sangat sedikit membicarakan tentang gerakan anti hadis, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Disertasi ini lebih banyak menguraikan berkenaan dengan hadis dan sunnah secara normatif. 21

Kasim Ahmad ialah dilahirkan pada tanggal 9 September 1933 di Bukit Pinang, Kedah, Malaysia. Beliau adalah seorang sarjana lulusan Universitas Malaya (Singapura, 1954-1958; Kuala Lumpur, 1959-1961). Ijazah Sarjana Muda (B.A. Honours) 1958; Ijazah Sarjana (M.A) 1961. Beliau berpengalaman sebagai pensyarah Bahasa Melayu di School of Oriental & African Studies, University of London (1960-1962), sebagai pengurus Partai Sosialis Malaya (19681984) dan pernah mendapat anugerah ijazah Doktor Kehormatan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia (1985). Lihat, Kasim Ahmad, Hadis: Satu Penilaian Semula (Petaling Jaya: Media Intelek, 1986), h. 33. 22

23

Ibid., h. 65.

Ibid., h. 190. Rashad Khalifah adalah pemimpin gerakan anti-hadis di Amerika dan Eropa. Tujuan gerakan ini ialah menggunting para sarjana-sarjana Barat yang telah memeluk Islam supaya mereka tidak sampai pada sumber Islam yang sebenarnya yaitu, berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-hadis). Golongan anti hadis ini menamakan dirinya sebagai Golongan Qur’ani. Lihat, Hj Isa Ismail dan Yusof Hj Wanjor, Inkarussunnah Jarum Yahudi (Selangor: Thinker’s Library SDN. BHD, 1996), h.10. 24

25

Ishak Hj. Suliaman, Autoriti Hadis, h. 153.

202


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Dalam hal menanggapi aktivitas yang dilakukan oleh Rashad Khalifah, Syaikh Abd al- Azîz Baz, yang pada waktu itu sebagai Direktur Umum, Urusan Penyelidikan Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia, mengemukakan tausiyahnya dalam majalah al-Dakwah, yaitu: Gerakan Inkarussunnah yang dilakukan oleh Rashad Khalifah ialah gerakan batil dan berbahaya, yaitu mengadakan kegiatan Inkarussunnah dengan cara memutar balikkan tafsir al-Qur’an secara batil. Atas nama Kerajan Arab Saudi, Ibnu Baz menyerukan kepada seluruh kaum Muslimin/Muslimat agar berhati-hati terhadap gerakan yang dilakukan oleh Rashad Khalifah dan jangan sampai terpengaruh dengan ajaran sesat tersebut.26 Apabila ditelaah, gerakan inkarussunnah di Malaysia, memang tidak secepat sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Namun, pengaruh dari Indonesia dan negaranegara lain yang masuk ke Malaysia boleh jadi tidak membuat cepatnya perkembangan gerakan Inkarussunnah ini. Kendati demikian, secara resmi paham Inkarussunnah telah dilarang di Malaysia lewat fatwa ulama Malaysia berdasarkan Akta Pentadbiran UndangUndang Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) tahun 1993, yang ditetapkan dengan jelas pada tanggal 15 Januari 1996 (JAWI/A/145: PN. (PU2) 530) yang disahkan oleh Tan Sri Dato’ Abdul Kadir Bin Talib, Mufti Wilayah-wilayah Persekutuan. Adapun buku-buku yang dilarang dalam keputusan di atas ialah: 1. Hadis: Satu Penilaian Semula, karya Kasim Ahmad 2. Hadis: Jawapan Kepada Pengkritik, karya Kasim Ahmad. 3. Pendedahan Kebenaran Adalah dari Tuhanmu-Hadis di dalam al-Qur’an, karya Idris Abdul Rahman. 4. Bacaan, karya Othman Ali. 5. The Computer Speaks-God’s Message to The World, karya Rashad Khalifah. 6. Risalah Iqra’, terbitan Jamaah Al-Qur’an Malaysia. Semua buku tersebut mengandung tentang penolakan terhadap hadis nabi sebagai landasan ajaran Islam. Adapun buku-buku yang ditulis oleh ulama Malaysia berkenaan dengan penyangkalan terhadap pemikiran Inkarussunnah, antara lain: 1. Amalududin Darus, Kasim Murtad atau Muallaf: Sanggahan Terhadap Kassim dan Bukunya Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Pustaka Abad, 1986. 2. Mahyuddin Haji Yahaya (penyunting), Penjelasan Mengenai Hadis dan Kod 19: Reaksi Terhadap buku Hadis: Satu Penilaian Semula. Kuala Lumpur: Persatuan Bekas Mahasiswa Timur Tengah, 1986. 3. Panel Penyelidik Hadis MAIK, Salah Paham Terhadap Hadis: Satu Penjelasan. Kota Bharu: MAIK, 1986. 26

Al-Dakwah (Agustus, 1983).

203


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 4. Nahmar Jamil, Dari Kod 19 Kepada Anti Hadis: Nahmar Menjawab Cabaran Kassim Ahmad. Kuala Lumpur: Pustaka al-Mizan, 1986. 5. Muhammad Abdul Rauf, Irrationality of the Anti-Hadis Heretics. Kuala Lumpur: JAKIM, t.t. 6. Said Hj. Ibrahim, Penolakan Terhadap Penilaian Semula Hadis. Kuala Lumpur: Media Hasda, 1987. 7. Abdul Ghani Shamsuddin dan Engku Ibrahim Ismail, Kedudukan Hadis dalam Islam. Kuala Lumpur: Persatuan Ulama’ Malaysia, 1987. 8. Panel Fakulti Pengajian Islam UKM, Jawapan kepada Buku Hadis Satu Penilaian Semmula. Bangi: FPIUKM, 1988. 9. Mohd. Khir Zahri Abdul Ghani, Ulasan Buku Hadis Satu Peninjauan Semula, 1989. 10. Mahmud Saedon Awang Othman. Al-Sunnah: Kedudukan dan Peranannya di dalam Syariah Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990. 11. Abd. Halim El-Muhammady, Islam dan al-Hadis: Satu Analisis ke Atas Usaha-Usaha Merosakkan Peribadi dan Autoriti Rasulullah SAW. Petaling Jaya: ABIM, 1991. 12. Mahmud Zuhdi Abd. Majid, Beberapa Pemikiran Tentang Ijtihad, Islam dan Tajdid. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994. 13. BAHEIS, Clarification on the Inkarussunnah Concept. Kuala Lumpur: BAHEIS, JPM, 1996. 14. Mustaffa Suhaimi, Kemelut Terkini Anti Hadis, Kuala Lumpur: Milia Publications, 1996. 15. Hj Isa Ismail/Yusof Hj Wanjor, Anti Hadis-Jarum Yahudi, Selangor Darul Ehsan: Thinker’s Library SDN. BHD, 1996. 16. Abdul Fatah Haron Ibrahim, Kod 19 Menyesatkan, Kuala Lumpur: Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia. 17. Akmal Hj. Mhd. Zain, Membongkar Kekeliruan Firqah Inkar al-Sunnah. Kuala Lumpur : JAKIM, 1998. 18. Adlan bin Abd. Aziz, Soalan Hadis, Kuala Lumpur, 2005 19. Ishak Hj. Suliaman, at al., Autoriti Hadis Menangani Gerakan Antihadis. Kuala Lumpur : Penerbit Universiti Malaya, 2007. Dari gambaran di atas, bisa dikatakan masyarakat Malaysia menolak segala bentuk pemahaman Inkarussunnah. Kendati demikian, paham Inkarussunnah tidak dapat dihentikan, karena ia dipublikasikan lewat website yang mereka miliki. Tetapi, dengan adanya pelbagai buku, majalah, surat kabar dan pelbagai bentuk lainnya yang menolak paham Inkarussunnah dapatlah mencegah tersebarnya paham Inkarussunnah di lingkungan masyarakat Islam.

Penutup Bila ditelah gerakan Inkarussunnah, baik di Indonesia maupun di Malaysia, ada beberapa hal yang melatarbelakanginya, kendatipun tidak persis sama, yaitu Pertama. 204


Sulidar: Liberalisme Golongan Inkarussunnah di Indonesia dan Malaysia

Gerakan liberalisme Inkarussunnah sangat berbahaya lantaran telah menyelewengkan akidah dan ibadah Islam yang bersumberkan dalil naqli dan aqli yang sahih. Kedua. Gerakan liberalisme Inkarussunnah didukung oleh misi-misi missionaris dan orientalis Kristen dan Yahudi. Ketiga. Tidak valid-nya kesimpulan-kesimpulan dari para pengusung gerakan ini karena mereka mengeneralisasikan semua kajian hadis. Misalnya, setelah mengutip satu hadis, kemudian mereka mengemukakan kesalahannya atau kelemahannya, kemudian mengatakan bahwa seluruh hadis sama seperti itu. Artinya, jika satu hadis salah, maka hadis lainnya juga salah. Keempat. Melakukan penafsiran bebas atau liberal terhadap nas al-Qur’an. Mereka dalam menafsirkan al-Qur’an tidak memperhatikan Asbab al-Nuzûl, kaidah Ma’tsur, dan lain sebagainya. Karena itu, pada umumnya mereka menyelewengkan ayat tanpa yakin apa sebenarnya makna dari ayatayat yang bersangkutan. Kelima. Penganut paham liberalisme Inkarussunnah tidak melakukan telaah atau penelitian terhadap kaedah-kaedah yang telah berlaku sebelumnya, dan membuat penolakan tanpa sebuah bukti yang nyata, hanya menurut angan-angan saja. Meskipun begitu, biasanya polanya dibuat sedemikan rupa sehingga pada akhirnya melahirkan wacana untuk diopinikan. Keenam. Penganut gerakan ini melakukan ibadah menurut perasaan saja, tidak pada dalil-dalil yang nyata. Pada umumnya, umat Islam menempatkan al-Qur’an sebagai hukum dan al-Sunnah sebagai petunjuk pelaksanaan. Tetapi tidak demikian dengan gerakan Inkarussunnah, boleh jadi bangkai ikan pun dihukum haram. Hal ini, karena menurut al-Qur’an semua bangkai itu haram. Setelah itu, mungkin saja pada akhirnya nanti ada kejadian sebelum dikonsumsi, maka ikan itu harus disembelih terlebih dahulu. Ketujuh. Peranan Amerika Serikat sangat berpengaruh pada gerakan ini dengan tujuan untuk mendistorsi atau menyelewengkan ajaran Islam.

Pustaka Acuan Ahmad, Kasim. Hadis: Satu Penilaian Semula. Petaling Jaya: Media Intelek, 1986. Akaha, Abduh Zulfidar. Debat Terbuka Ahl Sunnah Versus Anti-Hadis. Jakarta: Al-Kautsar. 2006. Crone, Patricia. Roman, Provincial and Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Al-Dakwah. Agustus, 1983. Al-Fayyumî, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbah al-Munîr fî Gharib al-Syarh al-Kabîr lî al-Rafi’î, juz II. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1978. Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya. Jakarta: Media Dakwah. 1981. Indopos. 5 Oktober 2003. Ismail, Hj. Isa dan Yusof Hj. Wanjor. Inkarussunnah Jarum Yahudi. Selangor: Thinker’s Library SDN. BHD, 1996. 205


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushûl al-Hadits ‘Ulûmuhu wa Mustalahuh. Beirut: Dâr alFikr, 1989. Suara Hidayatullah. 05 Juni 2004. Suliaman, Ishak Hj. et al.. Autoriti Hadis Menangani Gerakan Anti-Hadis. Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2007. Suparman, Deden. “Inkarussunnah dan Engkar Sunnah: Suatu Kajian Perbandingan Antara Malaysia dan Indonesia.” Disertasi, Jabatan Sejarah dan Tamaddun Islam Universiti Malaya, 2003. Al-Suyuthî, Jalâl al-Dîn. Tadrib al-Rawi fî Syarh Taqrib al-Nawâwî, juz II. Beirut: Dâr alFikr, 1988. Al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadits. Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1979. Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005. Wahid, Ramli Abdul. Telaah Terhadap Paham dan Argumen Inkar Sunnah. Medan: Pusat Penelitian IAIN-SU, 2007. Wakin, Jeanette. Remembering Joseph Schacht (1902 1969). Cambridge: Occasional Publications, 2003.

206


QISHÂSH: HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN Chuzaimah Batubara Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 email: chuzaimahb@yahoo.com

Abstract: Qishâsh: Capital Sentence in Qur’anic Perspective. A great deal of controversy exists globally over capital sentencing or death penalty, which has a number of staunch opponents and defenders. In Islam, however, although a number of the text of revelations deals with such an issue, typically, capital crimes are very carefully outlined in the works of Qur’anic exegetes and Islamic legal scholars. The author argues that Islam guarantees and protects every single life and thus capital sentence should be used in very rare cases and should be avoided as much as possible, but this does not necessarily mean to stop the possibility of it entirely. In addition, if capital sentence is finally justified and executed this is not aimed at killing people but rather maintaining and protecting lives from threatening forces. This paper is an attempt to analyze the Qur’anic verses thematically pertaining to capital sentence, how they should be understood and practiced.

Kata Kunci: hukuman mati, qishâsh, al-Qur’an

Pendahuluan Telah dipahami secara umum bahwa syariat diturunkan oleh Allah dalam bentuk hukum-hukum taklîfî, baik berupa perintah maupun larangan yang ditujukan untuk mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara spesifik, pembebanan syariat bagi manusia ditujukan kepada lima hal, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.1 Ketika kelima hal pokok ini tidak terjamin atau terusik, maka kemaslahatan, keselamatan dan perkembangan individu manusia, keteraturan sosial dan kesejahteraan masyarakat menjadi mustahil didapatkan. Jadi, bila salah satu dari lima unsur penting ini tidak terpelihara, akan lahirlah malapetaka

‘Alî Hasballah, Ushûl al-Tasyrî‘ al-Islâmî (Mesir, Dâr al-Ma‘ârif, t.t.), h. 296.

1

207


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 bagi manusia. Atas dasar ini, segala tindakan yang dapat mewujudkan dan memelihara lima pokok ini harus dilakukan dan diperintah oleh agama, dan sebaliknya setiap tindakan yang mengancam kelimanya diharamkan atau harus dihindarkan. Tindakan pidana (jarîmah) yang mengancam lima unsur kemaslahatan umat manusia tersebut terbagi kepada dua bentuk, yaitu: Pertama, tindak pidana yang mengganggu kepentingan pribadi (haqq al-‘âdami); kedua, tindak pidana yang mengganggu kepentingan publik (haqq Allâh). Yang pertama berhubungan dengan kehormatan nyawa dan anggota tubuh manusia, dan yang kedua berhubungan dengan kehormatan agama, keturunan, dan keamanan publik.2 Pada prinsipnya dalam hukum pidana Islam, seluruh tindak pidana, baik yang melanggar hak-hak pribadi individu maupun kepentingan umum, sebenarnya juga melanggar hak-hak Allah SWT., sebab adalah hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya agar mereka menjauhi segala larangan-Nya. Penempatan jenis hukum pidana Islam apakah hak manusia atau hak Allah semata hanya untuk melihat kepentingan mana yang lebih dirugikan, dan siapa yang berwenang dalam proses eksekusi terhadap pelaku tindak pidana. 3 Secara garis besar, kejahatan pidana dalam hukum Islam terbagi dalam beberapa jenis, yaitu: Pertama, pidana hudûd seperti berzina, mencuri, keluar dari agama Islam (riddah), memberontak terhadap pemerintahan yang sah (bughah), menuduh orang lain berzina (qadzf), minum minuman yang memabukkan (syarb al-khamr), dan merampok. Kategori ini dikelompokkan kepada tindak pidana yang lebih banyak mengganggu kepentingan umum (public interest), walaupun kepentingan individu juga turut terganggu. Pelakunya akan dieksekusi oleh hakim atau penguasa (waliy al-amr) sebagai public authority. Kedua, pidana qishâsh seperti membunuh dan setiap tindakan pelukaan tubuh atau anggota badan.4 Salah satu permasalahan hukum pidana Islam yang mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum adalah hukuman mati yang termasuk dalam bentuk pidana qishâsh meskipun pelukaan anggota badan atau tubuh juga masuk kategori qishâsh. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan qishâsh, khususnya hukuman mati, telah membangkitkan respons dari setiap lapisan masyarakat dengan berbagai pendapat meski semuanya bermuara pada pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati ini. 5 Praktik penjatuhan hukuman mati masih tetap dijalankan untuk berbagai jenis tindak pidana seperti pembunuhan, kasus narkoba dan penyerangan. Bahkan permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan di

Lihat Abû al-Hamid Ahmad Mûsâ, Al-Jarâ’im wa al-‘Uqûbât fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyah (Kairo: Jâmiah al-Azhar, 1975), h. 36-37. 3 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tasyrî‘ al-Jinâ’i al-Islâmi (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 206. 4 Ibid., h. 205. 2

Seputar opini para ahli dan masyarakat dapat dilihat, Hendardi, “Hak Hidup dan Hukuman mati,” di dalam http://artikel.sabda.org/hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 2008; Pan Muhamed Faiz, “Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup,” di dalam http://jurnalhukum.blogspot. 5

208


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

Indonesia terutama menjelang dan setelah dilakukannya beberapa eksekusi terpidana mati terhadap penjahat teroris bom Bali II, Amrozi dan kawan-kawan Kuasa hukum terpidana mati yang terkait dengan kasus narkotika mempertanyakan konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia, dan mereka untuk pertama kali mengajukan judicial review masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), di mana ketentuan pidana mati dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Menurut mereka, hukuman tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 (Amandemen Kedua) menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Menimbang banyaknya kontroversi seputar hukuman mati, amatlah penting untuk menghadirkan pembahasan masalah hukuman mati ini dari berbagai perspektif keadilan sosial dan hukum, terutama perspektif al-Qur’an. Dalam kerangka upaya memadukan yurisprudensi yang progresif dan realis sesuai perkembangan waktu, urgensi penyelesaian permasalahan yang telah muncul sejak masa klasik ini merupakan salah satu yang harus dilakukan jika masyarakat Muslim Indonesia, khususnya para pemerhati hukum Islam, benar-benar ingin menyelesaikan permasalahan hukum Islam dan menerapkannya di negara ini secara sungguh-sungguh. Tidak terlalu banyak studi yang pernah dilakukan secara intensif dan cukup serius dalam permasalahan ini. Beranjak dari pemikiran bahwa polemik mengenai permasalahan ini belum berakhir, maka kajian serius mengenai hukuman mati dalam perspektif hukum Islam perlu dilakukan. Makalah singkat ini mencoba menganalisis apa makna hukuman mati yang dalam hal ini terkait dengan istilah qishâsh dalam al-Qur’an, bagaimana metode penerapan qishâsh, dan jenis kejahatan apa yang mungkin dikenakan sanksi dengan qishâsh atau hukuman mati serta bagaimana penerapan qishâsh dalam konteks negara Indonesia.

Makna Terminologi Qishâsh (Hukuman Mati) Hukuman mati dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah qishâsh. Makna ‫ص‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫( اﻟْ ِﻘ‬al-qishâsh) terambil dari kata ‫ ﻳﻘـ ـ ـ ــﺺ – ﻗ ــﺺ‬- ‫( ﻗﺼﺼـ ـ ـ ــﺎ‬qashsha, yaqushshu, qashashan) yang arti umumnya adalah ‫( ﺗﺘﺒـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻊ اﻻﺛـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺮ‬tatabu’ al-‘atsar, mengikuti jejak), dan ‫اﻟﻘﺼـ ـ ـ ـ ــﺺ‬ (al-qashashu) bermakna bekas/jejak, seperti firman Allah: ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ ً‫ﺼ‬ َ َ‫ﻓَﺎ ْرﺗَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺪﱠا َﻋﻠَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ َآﺛَﺎ ِرِﻫ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻗ‬ (lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.6 Dari akar kata yang sama lahir com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-dan-hak.html, diunduh 17 Oktober 2008; “Hukuman Mati tidak Memberi Efek Jera,” dalam Kompas, 14 Agustus 2008. 6

Q.S. al-Kahfi/18: 64.

209


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 kata qishshâh (kisah) karena “orang yang berkisah mengikuti peristiwa yang dikisahkannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologis kejadiannya,”7 sebagaimana tertuang dalam beberapa ayat Al-Quran: ‫ﺺ اﻟْ َﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡﻖ‬ ُ ‫ﺼـــــــ‬ َ ‫( إِ ﱠن َﻫ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬَا ﻟَ ُﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َـﻮ اﻟْ َﻘ‬Sesungguhnya ini adalah kisah yang 8 benar); ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱠﻦ َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ ﺑِ ِﻌ ْﻠ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ٍـﻢ َوَﻣ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ُﻛﻨﱠ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻏَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﺋِﺒِﻴ َﻦ‬ ‫( ﻓَـﻠَﻨَـ ُﻘ ﱠ‬Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka);9 ‫ـﺺ‬ ِ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ‬ َ ‫ـﻚ أَ ْﺣ َﺴ ـ ـ ـ ـ ـ َﻦ اﻟْ َﻘ‬ َ ‫ﺺ َﻋﻠَْﻴـ ـ ـ ـ ـ‬ ‫( ﻧَ ْﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻦ ﻧَـ ُﻘ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡ‬Kami 10 menceritakan kepadamu kisah yang paling baik); ‫ـﺎب‬ ِ ‫ﺼ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻬ ْﻢ ِﻋ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َـﺮةٌ ﻷُِوﻟِـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ ْاﻷَﻟْﺒَـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ِ‫ﺼ‬ َ َ‫ﻟَ​َﻘ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﺪ َﻛـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َن ﻓِـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ ﻗ‬ (Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal);11 dan ayat ‫ـﺺ‬ َ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ َ ‫ﺺ َﻋﻠَْﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ اﻟْ َﻘ‬ ‫( َوﻗَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱠ‬dan menceritakan kepadanya cerita 12 (mengenai dirinya). Sementara qishâsh sendiri bermakna, 13‫ ﺗﺘﺒ ـ ـ ـ ـ ــﻊ اﻟ ـ ـ ـ ـ ــﺪم ﺑ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻘﻮد‬artinya mengikuti/membalas penumpahan darah dengan bentuk perbuatan yang sama. Ibn Manzhûr dalam bukunya Lisân al-‘Arab menyebutkan: ‫ اﻟ ِﻘﺼ ـ ـ ــﺎص وﻫ ـ ـ ــﻮ أَن ﻳﻔﻌ ـ ـ ــﻞ ﺑ ـ ـ ــﻪ ﻣﺜ ـ ـ ــﻞ ﻓﻌﻠ ـ ـ ــﻪ ﻣ ـ ـ ــﻦ ﻗﺘ ـ ـ ــﻞ أَو ﻗﻄ ـ ـ ــﻊ أَو ﺿ ـ ـ ــﺮب أَو ﺟ ـ ـ ــﺮح‬14, maksudnya qishâsh itu ‘suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan’ seperti bunuh dibalas bunuh atau pelukaan dibalas dengan melukai. Mufassir Muhammad ‘Alî al-Sâis menyatakan qishâsh berarti diperlakukan (kepada seseorang) sama dengan apa yang dilakukan. Ketika seseorang diperlakukan seperti apa yang dia lakukan, maka itu akan memberikan bekas (dampak yang sama) kepadanya.15 Hukuman mati masuk kategori hukuman qishâsh karena hukuman ini sama dengan tindak pidana yang dilakukan, yang mengakibatkan hukuman qishâsh tersebut, seperti membunuh dibalas dengan membunuh dan memotong kaki dibalas dengan pemotongan kaki pelaku tindak pidana tersebut. Al-Quran sendiri memberikan isyarat bahwa yang dimaksud dengan qishâsh ialah sanksi hukum yang ditetapkan dengan semirip mungkin (yang relatif sama) dengan tindak pidana yang dilakukan sebelumnya. Isyarat semacam ini dapat ditemukan pada Q.S. al-Baqarah/2: 178-179 dan al-Mâ’idah/5: 45.16 Dengan kata qishâsh, al-Quran

Al-Râghib al-Ashfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, Cet. III (Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah, t.t), h. 671. 8 Q.S. ‘Ali Imrân/3: 62. 9 Q.S. al-‘Arâf/7: 7. 10 Q.S. Yûsuf/12: 3. 11 Q.S. Yûsuf /12: 111. 12 Q.S. al-Qashash/28: 25. 13 Al-Ashfahânî, Mufradât, h. 672. 14 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz VII (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), h. 73. 15 Muhammad ‘Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Jilid II (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t.t.), h.129. 16 Penjelasan umum mengenai makna ini, lihat Cholidi, “Qishâsh”, di dalam Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, ed. M. Quraish Shihab (et al), vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 772-774. 7

210


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya hanya mengikut cara dan akibat perlakuannya terhadap si korban. Kata ‫ص‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫( اﻟْ ِﻘ‬al-qishâsh) tercantum dalam Al-Quran sebanyak 4 kali, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah/2: 178, 179, dan 194 serta Q.S. al-Mâ’idah/5: 45. Keempat ayat ini menggunakan kata qishâsh yang merujuk kepada salah satu dari alternatif sanksi hukum bagi tindak pidana tertentu. Alternatifnya dimaksud adalah jenis hukuman qishâsh termasuk hukuman mati dan diyah (hukuman berupa pembayaran dengan sejumlah unta atau sesuatu yang bernilai ekonomis lainnya). Hukuman dasarnya adalah qishâsh. Dengan demikian apabila tidak dilakukan kebijakan tertentu oleh yang berhak dan berwenang maka hukum qishâsh yang harus dilakukan.

Ketentuan al-Qur’an Mengenai Qishâsh Hukuman Mati Ketetapan qishâsh diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW. sebagai respons atas perilaku masyarakat Jahiliyah yang memperlakukan para pembunuh secara berlebihan. Dalam masyarakat Jahiliyah terkait masalah pembunuhan berlaku ketentuan hukum adat yang menekankan pada keadilan pribadi suatu sistem yang memprioritaskan balas dendam. Apabila terjadi pembunuhan atas anggota suatu kabilah atau suku oleh suku lain, maka suku pihak pembunuh harus membayar dengan nyawa anggotanya, baik ia sendiri yang membunuh sendiri atau orang lain. Sebelum dendam itu terlampiaskan, hati pihak korban tidak akan bisa tenang. Akan tetapi, satu nyawa tidaklah cukup untuk membayar satu nyawa yang terbunuh, karena kabilah atau suku cenderung menilai anggotanya secara berlebihan. Untuk itu mereka menuntut dua nyawa atau lebih, sebab kabilah secara kolektif bertanggung jawab atas masing-masing anggotanya.17 Jadi, kecenderungan masyarakat Jahiliyah adalah mereka tidak saja menuntut dilakukannya pembunuhan atas pelaku yang membunuh sebagai wujud keadilan, tetapi terkadang juga melaksanakan pembunuhan beberapa orang bahkan satu suku untuk balasan atas pembunuhan satu orang. Tradisi ini sangat berbeda setelah kedatangan Islam. Al-Qur’an menetapkan untuk kasus pembunuhan atau melukai badan patokan hukum berupa pembalasan yang adil dalam artian setara. Dinyatakan secara tegas bahwa “satu mata mengganti satu mata, dan satu nyawa menjadi ganti satu nyawa,” tertuang dalam firman Allah :

        Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata.18

17

N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964),

18

Q.S. Al-Mâ’idah/5: 45.

h. 18.

211


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Kewajiban pelaksanaan qishâsh untuk pertama sekali diturunkan Allah dalam surah al-Baqarah/2: 178, yang berbunyi:

                

                 

      

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. 19 Imam Ibn Katsir menerangkan di dalam tafsirnya asbâb al-nuzûl ayat ini. Imam Abu Muhammad ibn Abi Hatim meriwayatkan, “Telah diinformasikan kepada kami oleh Abu Zur‘ah, Yahya ibn Abdullah ibn Bukair, Abdullah ibn Luhi’ah, dan `Atha’ ibn Dinar dari Sa’id ibn Jubair mengenai firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, yakni apabila dilakukan dengan sengaja orang merdeka dengan orang merdeka.” Mereka mengatakan bahwa pada waktu itu ada dua suku bangsa Arab saling berperang pada masa jahiliyah, beberapa waktu sebelum datangnya Islam. Maka, di antara mereka terjadilah pembunuhan dan pelukaan, sehingga mereka membunuh budak-budak dan kaum wanita, kemudian sebagian mereka tidak membalas atas sebagian yang lain sehingga datangnya agama Islam. Salah satu dari kedua suku itu bertindak berlebihan terhadap yang lain dalam jumlah dan harta. Lantas mereka mengadakan janji setia secara internal bahwa mereka tidak rela sehingga mereka membunuh orang merdeka sekalipun orang itu cuma membunuh budak saja, dan membunuh laki-laki meskipun laki-laki itu hanya membunuh seorang perempuan. Kemudian turunlah ayat di atas, “Orang merdeka (dibalas) dengan (membunuh) orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan.”20 Secara umum ayat di atas bermakna penetapan syariat hukuman qishâsh berkenaan orang yang dibunuh, yang dilakukan dengan sengaja, yaitu orang merdeka diqishâsh karena membunuh orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Tetapi jika keluarga teraniaya ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan. Ayat ini dimulai dengan suatu panggilan yaitu: ‫( ﻳَـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَﻳﱡـ َﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ اﻟﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬِﻳ َﻦ َآ َﻣﻨُـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮا‬hai orangQ.S. al-Baqarah/2: 178. Abû al-Fidâ’ Isma‘îl bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I (Dâr Thaibah Linnasyar wa al-Tauzi‘, 1999), h. 489. 19 20

212


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

orang yang beriman), yang mengisyaratkan adanya hukum yang akan diterangkan. Dari panggilan ini seolah-olah Allah mengatakan: “Karena kamu telah menyatakan keimananmu kepada-Ku, maka dengarkanlah perintah (taklif) berikut ini.” ‫ص‬ ُ ‫ﺼ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻢ اﻟْ ِﻘ‬ َ ‫ُﻛﺘِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ‫( ﻓِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟْ َﻘ ْﺘـﻠَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh). Artinya, Allah mewajibkan orang-orang mukmin untuk melaksanakan qishâsh seperti kewajiban melaksanakan shalat dan puasa, 21 sebagaimana yang Dia firmankan:

               Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Pembebanan ini diterapkan Allah hanya kepada orang-orang yang beriman karena identitas (iman) memiliki konsekuensi bahwa yang bersangkutan akan mau menerima segala sesuatu yang datang dari Allah. Mereka beriman kepada Allah tentang pensyariatan qishâsh ini. Kata ‫ـﺐ‬ َ ‫( ُﻛﺘِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬kutiba) dalam ‫ص ﻓِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟْ َﻘ ْﺘـﻠَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻢ اﻟْ ِﻘ‬ َ ‫( ُﻛﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) (yang berbaris depan atau madhmum) juga menunjukkan bahwa orang yang beriman ikut berperan dalam pelaksanaan ketetapan hukum ini. Berbeda dengan kata ‫ـﺐ‬ َ ‫( َﻛﺘَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬kataba) yang tertuang dalam firman-Nya: ‫ـﺐ اﻟﻠﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﻪُ ﻷَ​َ ْﻏﻠِﺒَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱠﻦ أَﻧَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َوُر ُﺳـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﻠِﻲ‬ َ ‫( َﻛﺘَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬Allah telah menetapkan Aku dan 22 rasul-Ku pasti menang, yang lebih kepada penunjukan tidak terdapatnya peran serta manusia dalam kemenangan yang tercantum di dalamnya. 23 Lebih jauh, Imam Sya‘rawi menegaskan bahwa kata ‫ـﺐ‬ َ ‫( ُﻛﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬kutiba) mengisyaratkan sebuah kemaslahatan. Hal ini terlihat dari kelanjutan ayat berupa penetapan sanksi qishâsh kepada pembunuh yang dengannya lahir sebuah kemaslahatan bagi kerabat yang dibunuh (wali ad-dam) agar dapat menuntut. Begitu pula sebaliknya, karena setiap orang mungkin menjadi pembunuh atau yang dibunuh. Ketika ia menjadi pembunuh, maka qishâsh menjadi beban yang harus diterima. Namun, ketika ia terbunuh, maka qishâshmerupakan kemaslahatan baginya. Dengan demikian syariat itu menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat. 24

Jenis Pembunuhan Untuk Pemberlakuan Qishâsh Hukuman Mati Dari penggalan ayat ‫ص ﻓِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟْ َﻘ ْﺘـﻠَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻢ اﻟْ ِﻘ‬ َ ‫ﻳَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَﻳﱡـ َﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ اﻟﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮا ُﻛﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ‫( اﻟْ ُﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡﺮ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْﺤ ﱢُﺮ وَاﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﺪ ﺑِﺎﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﺪ وَاﻷﻧْـﺜَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻷﻧْـﺜَﻰ‬Hai orang-orang yang beriman, Abû Ja‘far Al-Thabarî, Jâmi`u al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz III (Mu’assasah al-Risâlah, 2000), h. 357. 22 Q.S. al-Mujâdilah/58: 2. 23 Muhammad Mutawally Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, jilid V (t.t.p., t.t.), h. 758. 24 Ibid. 21

213


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita),25 para ulama fiqh dan tafsir sepakat bahwa ayat ini menetapkan kewajiban menerapkan qishâsh untuk pembunuhan yang sengaja atau diniatkan, namun terjadi perbedaan pemahaman di antara para ulama dan pakar hukum mengenai bentuk dari pembunuhan sengaja, apakah orang yang merdeka diqishâsh atas pembunuhan yang dia lakukan terhadap seorang hamba atau tidak?, atau orang muslim kepada orang kafir atau ahli dzimmi? Imam Abû Hanîfah menilai bahwa ayat di atas bersifat umum untuk seluruh pembunuhan, baik yang dilakukan oleh orang merdeka kepada seorang hamba dan sebaliknya, ataupun seorang dzimmi kepada seorang Muslim dan sebaliknya. 26 Selain dasar pikiran di atas, Imam Abû Hanîfah juga menyatakan bahwa pernyataan

         hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh dan ungkapan

orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita merupakan dua ungkapan yang terpisah. Masing-masing merupakan kalimat yang sempurna dan berdiri sendiri. Kalimat pertama menjelaskan secara umum mengenai hukum qishâsh, sedangkan kalimat kedua merupakan penjelasan atau penyangkalan terhadap kekeliruan orang-orang jahiliyah yang pada waktu itu, sering melakukan pembalasan yang tidak seimbang. Sebagaimana yang tersebut di dalam asbâb an-nuzûl ayat ini; yaitu apabila ada salah seorang dari kelompok mereka yang terbunuh maka mereka menuntut balas lebih dari satu orang; yakni dengan membunuh beberapa orang. Bukan merupakan pembatasan status sebagai hamba dengan hamba, melainkan pembatasan satu banding satu.27 Sedikit berbeda, Sya‘râwî menyatakan bahwa kata ‫ اﻟْ ُﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡﺮ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْﺤ ﱢُﺮ‬secara zahir menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh atau dihukum mati (qishâsh) karena membunuh hamba-sahaya. Namun, bagaimana halnya jika seorang hamba membunuh orang merdeka, atau seorang wanita membunuh laki-laki? Pada dasarnya maksud ayat

Q. S. al-Baqarah/2: 178. ‘Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid II (Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.), h. 131. 27 Ibid. 25 26

214


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

tersebut adalah menghilangkan dendam berkepanjangan. Jadi, bukan berarti bahwa seorang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba. Tujuan penetapan qishâsh di sini lebih pada keadilan hukum. Artinya bahwa apabila yang membunuh seorang merdeka, maka yang dibunuh adalah yang merdeka juga, dan seorang hamba dibunuh karena membunuh hamba, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita. Jika terjadi sebaliknya, maka qishâsh tetap dijalankan. Dengan demikian, balasan atas pembunuhan setimpal dengan perbuatannya.28 Sementara jumhur ulama (Malik, Syâfi‘i, dan Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa seorang merdeka tidak boleh diqishâsh karena membunuh hamba sahaya. Dari ayat 178 surah al-Baqarah di atas, terdapat pengertian bahwa Allah mewajibkan persamaan karena di antara makna qishâsh itu sendiri adalah seimbang. Adapun penggalan berikut ayat ‫َاﻷُﻧْـﺜَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْـﺎﻷُﻧْـﺜَﻰ‬ ْ ‫( اﻟْ ُﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡﺮ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْﺤ ﱢُﺮ وَاﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﺪ ﺑِﺎﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﺪ و‬orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) merupakan penjelasan selanjutnya dari pengertian seimbang untuk penjelasan awal ayat. Dengan kata lain, ayat tersebut harus dipahami secara menyatu. Oleh karena di antara orang merdeka dan hamba sahaya tidak seimbang maka seorang merdeka yang membunuh hamba sahaya tidak dapat dihukum qishâsh.29 Jumhur ulama dan Imam Qurthubi juga berpendapat bahwa orang Muslim tidak diqishâsh karena membunuh orang kafir, sebagaimana tertuang dalam hadis nabi: ‫( ﻻ ﻳﻘﺘ ـ ـ ـ ـ ــﻞ ﻣﺴ ـ ـ ـ ـ ــﻠﻢ ﺑﻜ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻓﺮ‬Tidak dibunuh seorang Muslim karena membunuh orang kafir). (HR. Bukhari).30 Dalam kasus ini terlihat bahwa para ulama dan Imam Qurthubî meletakkan ketentuan ayat ‫ص ﻓِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟْ َﻘ ْﺘـﻠَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻢ اﻟْ ِﻘ‬ َ ‫( ُﻛﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) dan juga ayat ‫ْﺲ‬ ِ ‫ـﺲ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻨﱠـﻔ‬ َ ‫َوَﻛﺘَْﺒـﻨَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ ﻓِﻴ َﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَ ﱠن اﻟﻨﱠـ ْﻔـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ (dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,31 sebagai lafaz ‘âm (umum) yang kemudian ditakhshîsh (dikhususkan) oleh hadis di atas. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ‫ص ﻓِـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ اﻟْ َﻘ ْﺘـﻠَـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬ ُ ‫ﺼـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺐ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﻢ اﻟْ ِﻘ‬ َ ‫( ُﻛﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) dinasakh oleh ayat 45 surah al-Mâ’idah ‫ْﺲ‬ ِ ‫ـﺲ ﺑِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻨﱠـﻔ‬ َ ‫( َوَﻛﺘَْﺒـﻨَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ ﻓِﻴ َﻬ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَ ﱠن اﻟﻨﱠـ ْﻔ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa) yang turun sesudahnya dan yang menjadikan pembalasan pembunuhan terhadap suatu jiwa dengan dihukum bunuh juga si pelaku sendiri secara mutlak. Akan tetapi, menurut Sayyid Quthb, surah al-Baqarah ayat 178 itu memiliki tempat yang berbeda dengan ayat “an-nafsu bin nafsi” (jiwa dibalas dengan jiwa, Q.S. al-Mâ’idah/ Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, h. 759. Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi` al-Ahkâm alQur`ân, juz IX (Cairo: Dâr al-Hadîts, t.t.), h. 636. 30 Ibid., h. 636-637. 31 Q.S. al-Mâ’idah/5: 45. 28 29

215


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 5: 45 dan masing-masing memiliki bidang yang berbeda. Ayat ‫ْﺲ‬ ِ ‫ـﺲ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻨﱠـﻔ‬ َ ‫ أَ ﱠن اﻟﻨﱠـ ْﻔ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬itu bidangnya adalah permusuhan yang bersifat perseorangan, dari seseorang tertentu terhadap seseorang tertentu pula, atau dari beberapa orang tertentu terhadap seorang yang tertentu atau terhadap beberapa orang tertentu. Maka, si pelaku tindak pidana itu dijatuhi hukuman kalau dia membunuh tadi dengan sengaja hendak membunuh. Adapun ayat yang menyatakan ‫َاﻷُﻧْـﺜَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْـﺎﻷُﻧْـﺜَﻰ‬ ْ ‫( اﻟْ ُﺤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ﱡﺮ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْﺤ ﱢُﺮ وَاﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ُﺪ ﺑِﺎﻟْ َﻌ ْﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﺪ و‬orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) adalah dalam konteks pelanggaran kolektif, seperti keadaan dua suku Arab jahiliyah, di mana terjadi pelanggaran oleh satu keluarga atas keluarga yang lain, satu kabilah atas satu kabilah, atau satu jamaah atas satu jamaah. Sehingga, terjadinya pelanggaran (pembunuhan) itu bisa atas orang merdeka, budak, dan wanita. Karena itu, apabila timbangan hukum qishâsh ditegakkan dan ada orang merdeka yang dibunuh oleh satu pihak, balasannya ialah harus dibunuh pula seorang merdeka dari pihak pembunuh itu, seorang budak dengan seorang budak, dan seorang wanita dengan seorang wanita. Sebab kalau tidak begitu, maka bagaimana akan dapat dilaksanakan qishâsh (hukum pembalasan) terhadap keadaan seperti ini di mana satu kelompok melakukan kejahatan terhadap kelompok lain?32 Dari pendapat di atas, jelas bahwa Sayyid Qutb cenderung menafikan penasakhan (penghapusan) ayat 45 surah al-Ma’idah terhadap ayat 178 al-Baqarah, dan tidak ada kontradiksi di dalam ayat-ayat qishâsh.

Pemaafan dan Penetapan Diyat Kelanjutan ayat 178 surah al-Baqarah yang berbunyi: ٌ‫َﺧﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ َﺷ ـ ـ ـ ـ ـ ْـﻲء‬ ِ ‫ﻓَ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ ﻋُ ِﻔـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻲ ﻟَـ ـ ـ ـ ـ ـﻪُ ِﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ أ‬ ‫ُوف َوأَدَاءٌ إِﻟَْﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ ﺑِ​ِﺈ ْﺣ َﺴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ٍن‬ ِ ‫( ﻓَﺎﺗﱢـﺒَ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎعٌ ﺑِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)), menjelaskan bahwa qishâsh itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Keumuman ayat yang pada awalnya menetapkan kewajiban qishâsh kemudian diberi pengkhususan (takhshîsh), yaitu bila dimaafkan oleh saudaranya (ahli waris korban) maka qishâsh dibatalkan. Pembunuhan tergolong tindak pidana yang secara langsung mengganggu fisik seseorang, walaupun kepentingan umum juga terganggu di sini, tapi sifatnya tidak langsung. Pelakunya akan dituntut atau diberikan ampunan (maaf) atas tindakan yang dilakukannya tersebut oleh korban yang bersangkutan atau keluarga korban. Ia akan diproses dalam kepentingan si korban dan keluarganya, baik dalam penyelidikan delik pidana (investigating the crime), pengusutan atau penuntutan hukum qishâsh (prosecuting the punishment). Pemerintah sebagai public authority dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk memberikan intervensi. 32

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz I, al-Maktabah al-Syâmilah, h. 136.

216


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

Kata ‫َﺧﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ‬ ِ ‫( أ‬saudaranya) menurut sebagian ulama terutama ulama Syafi’iyah merujuk kepada saudara seagama, karena qishâsh itu hanya berlaku terhadap orang yang seagama saja. Tidak diberlakukan qishâsh bagi orang Islam yang telah membunuh seorang kafir dzimmi.33 Makna saudara ini juga banyak dipahami dengan saudara kandung sesuai dengan firman Allah: ‫( َوَﻣ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ ﻗُﺘِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻞ َﻣﻈْﻠُﻮًﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻓَـ َﻘ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﺪ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻟ َِﻮﻟِﻴﱢ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ ُﺳ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻠﻄَﺎﻧًﺎ‬dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya).34 Asal dari kata ‫ أخ‬adalah yang memiliki pertalian darah (kandung satu ibu dan ayah), atau salah satu daripadanya (seibu saja atau seayah), dan juga satu susuan.35 Dalam al-Qur’an terkadang dijumpai kata ‫ أخ‬berarti saudara sekandungan, dan terkadang bermakna saudara seiman seperti firman-Nya: ٌ‫( إِﻧﱠ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨُـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮ َن إِ ْﺧ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َـﻮة‬Sesungguhnya mukmin itu bersaudara). (Q.S. al-Hujurât/49: 10). Pada dasarnya persaudaraan itu adalah persaudaraan seayah. Sedangkan kata ‫ اﺧــﻮان‬juga didapati dalam Al-Quran yang berarti persaudaraan tanpa adanya hubungan darah, ‫ﻳَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَﻳﱡـ َﻬ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ اﻟﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬِﻳ َﻦ َآ َﻣﻨُـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮا َﻻ ﺗَﻜُﻮﻧُـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮا ﻛَﺎﻟﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬِﻳ َﻦ َﻛ َﻔـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺮُوا َوﻗَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟُﻮا ِ​ِﻹ ْﺧ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮَاﻧِ ِﻬ ْﻢ‬ (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka).36 Apabila persaudaraan itu semakin erat yang ditandai dengan iman yang sama, maka ketika itu berubah dari ‫اﺧــﻮان‬ menjadi ‫اﺧﻮاة‬. Seakan-akan persaudaraan seiman itu seperti persaudaraan seayah. Firman Allah, ‫ﺻ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺒَ ْﺤﺘُ ْﻢ ﺑِﻨِ ْﻌ َﻤﺘِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ إِﺧْﻮَاﻧًـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ ْ َ‫ﱠﻒ ﺑَـ ْﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻦ ﻗُـﻠُـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮﺑِ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺄ‬ َ ‫وَاذْ ُﻛـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺮُوا ﻧِ ْﻌ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺔَ اﻟﻠﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ إِ ْذ ُﻛ ْﻨﺘُـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ أَ ْﻋ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺪَاءً ﻓَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺄَﻟ‬ (Dan ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika kamu bermusuhan maka Allah menyatukan hati kamu maka jadilah kamu bersaudara berkat nikmat-Nya).37 Kata ‫ اﺧــﻮان‬dalam ayat ini menunjukkan bahwa masih terdapatnya pertentangan dan pertikaian antara mereka. Oleh karena itu, Allah tidak menyebutkan kata ‫ اﺧــﻮاة‬dalam menjelaskan tali persaudaraan yang terjalin antar mereka. Terkait dengan pemikiran ini, ungkapan ‫َﺧﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ‬ ِ ‫( أ‬saudaranya) pada Q.S. al-Baqarah/ 2: 178 menurut Sya‘rawi mengisyaratkan suatu keindahan makna Al-Quran. Allah menggunakan kata ini untuk melunakkan hati mereka yang sedang bertikai, serta menunjukkan bahwa sekalipun pertikaian terjadi, namun persaudaraan seiman jangan sampai terputus. Meskipun ‘saudara’ berhak menuntut balas karena korban memiliki aliran darah yang sama, namun Allah lebih mengedepankan hubungan seiman dari semua hubungan persaudaraan.38 Menurut Imam Syafi‘i, ayat ini menegasi tentang kemaafan untuk konteks tindak pidana pembunuhan dengan sengaja.39 Tawaran pemberian maaf kepada pelaku pembunuhan Al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ al-Ahkâm al-Qur’ân, juz IX, h. 636-637. Q.S. al-Isrâ/17: 33. 35 Al-Raghib al-Ishfahânî, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, h. 68. 36 Q.S. Âli ‘Imrân/3: 156. 37 Q.S. Âli ‘Imrân/3: 103. 38 Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, h.761. 39 Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î, al-Umm, juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 4, 6, 13. 33 34

217


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 dengan sengaja ini lagi-lagi dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi pada sebagian masyarakat Jahiliyah dimana mereka menuntut dengan tegas agar setiap orang yang membunuh orang lain juga dibunuh. 40 Jauh sebelum masa Jahiliyah, umat Nabi Musa juga sudah mengenal adanya hukum qishâsh yang diberikan kepada pelaku pembunuhan. Namun, ketentuan hukum mereka tidak mengenal adanya pemberian maaf bagi yang menghilangkan nyawa orang lain. Bertolak belakang dengan ketentuan ini, pada umat Nabi Isa justru pemberian maaf merupakan sebuah kewajiban agama yang harus dilaksanakan, dan qishâsh cenderung dilarang untuk diterapkan. Setelah Islam datang, kewajiban qishâsh pada umat Nabi Musa dan kewajiban pemberian maaf pada umat Nabi Isa dipadukan, sehingga kedua kewajiban itu menjadi semacam tawaran atau pilihan hukum dengan tambahan tawaran pemberian diat bagi keluarga korban untuk menentukan pilihan hukumnya karena salah seorang di antara mereka dilenyapkan nyawanya secara sengaja oleh orang lain.41 Ketentuan pemberian maaf dipertegas oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi dari Abu Syuraih al-Ka’bi yang isinya: 42

‫ﺃﹶﻥﹾ‬

‫ﺇﹺﻣﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ‬

Barangsiapa yang salah seorang anggota keluarganya dibunuh maka keluarganya dihadapkan pada dua pilihan hukum, jika mereka mau, mereka dapat mengeksekusi mati (qishâsh) si pembunuh, dan jika mereka mau, mereka dapat menerima diat. (HR. Al-Tirmidzi). Pemaafan ini dengan diterimanya diat oleh keluarga terbunuh dari pembunuh sebagai imbalan sehingga pelaku kejahatan (pembunuh) itu tidak dibalas bunuh. Apabila keluarga si terbunuh itu menerima dan merelakannya, maka dia dapat menuntut pembayaran itu dengan cara yang baik, rela hati, dan sikap kasih sayang. Dan sebaliknya, si pembunuh atau walinya wajib membayarnya dengan baik dan sempurna, untuk membuktikan kejernihan hati, mengobati luka jiwa, dan menguatkan unsur-unsur persaudaraan di antara mereka yang masih hidup, ‫ُوف َوأَدَاءٌ إِﻟَْﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ ﺑِ​ِﺈ ْﺣ َﺴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ٍن‬ ِ ‫( ﻓَﺎﺗﱢـﺒَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎعٌ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula).43 Dengan kata lain, pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Allah telah memberi nikmat kepada orang-orang yang beriman dengan syariat

Ibid., h. 9. Ibid., h. 10. 42 Al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, juz IV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h. 56. 43 Q.S. al-Baqarah/2: 178. 40 41

218


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

diat ini, karena diat mengandung keringanan dan rahmat, sebagaimana terungkap dalam kelanjutan ayat: ٌ‫ـﻒ ِﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ َرﺑﱢ ُﻜـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ َوَر ْﺣ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺔ‬ ٌ ‫ـﻚ ﺗَ ْﺨ ِﻔﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ َ ‫( ذَﻟِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬yang demikian itu adalah suatu 44 keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat). Akan tetapi, syariat ini tidak berlaku bagi Bani Israel sebagaimana disebutkan dalam Taurat. Dalam kitab ini hanya berlaku qishâsh ‫ْﺲ‬ ِ ‫ـﺲ ﺑِـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻨﱠـﻔ‬ َ ‫( َوَﻛﺘَْﺒـﻨَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ ﻓِﻴ َﻬـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَ ﱠن اﻟﻨﱠـ ْﻔـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa).45 Diat hanya disyariatkan bagi umat Islam untuk memberi kesempatan hidup kepada yang bersangkutan manakala telah terjadi saling kerelaan dan kebersihan hati. Bila ahli waris si korban – sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishâsh dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih, sesuai dengan penjelasan akhir ayat: ‫َاب أَﻟِﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ٌﻢ‬ ٌ ‫ـﻚ ﻓَـﻠَ ـ ـ ـ ـ ـ ـﻪُ َﻋ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺬ‬ َ ‫( ﻓَ َﻤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻦ ا ْﻋﺘَ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺪَى ﺑَـ ْﻌ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﺪ ذَﻟِـ ـ ـ ـ ـ ـ‬Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih).46 Inilah siksa yang terberat bagi setiap yang melanggar ketentuan Allah, yaitu siksa akhirat yang sangat pedih. Jadi, hukum pidana Islam menyediakan dua bentuk hukuman atau sanksi, yaitu sanksi langsung (qishâsh atau hukuman mati) di dunia dan sanksi di akhirat. Karena, pelanggaran sesudah masing-masing pihak saling merelakan dan saling menerima, berarti merusak perjanjian dan mengabaikan kerelaan, serta membangkitkan dendam setelah hati jernih. Apabila wali (keluarga) si terbunuh telah menerima diyat maka si pembunuh tidak boleh menariknya kembali, lalu menyiksanya dan memusuhinya. 47 Sayyid Quthb menyatakan bahwa pembunuhan atas jiwa yang tidak bersalah menimbulkan amarah dalam diri keluarga korban. Kemarahan terhadap orang yang menumpahkan darah adalah sesuatu yang fitri dan alami. Maka, Islam menyahuti rasa itu dengan mensyari’atkan qishâsh atau hukuman mati. Keadilanlah yang dapat mematahkan kemarahan jiwa, meredakan kebencian dalam hati, dan menjerakan si pelaku kejahatan dari meneruskan tindakan jahatnya. Namun demikian, pada waktu yang sama Islam menganjurkan memberi maaf, membuka jalan untuknya, dan menentukan batas baginya.48 Sehingga, seruannya untuk memaafkan setelah ditetapkannya hukum qishâsh itu merupakan seruan untuk melakukan anjuran yang sangat tinggi nilainya, bukan sebagai kewajiban yang memasung fitrah manusia dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak dapat dipikulnya. Dari pensyariatan qishâsh dan diyat ini, kita mengetahui betapa luasnya cakrawala hukum Islam, dan betapa jelinya pandangan Islam terhadap relung-relung jiwa manusia ketika mensyariatkan diyat, dan betapa ia mengerti dorongan-dorongan yang ada dalam Ibid. Q.S. al-Mâ’idah/5: 45. 46 Q.S. al-Baqarah/2: 178. 47 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz I, al-Maktabah al-Syâmilah, h. 136 48 Ibid. 44 45

219


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 jiwa itu. Tujuan inilah yang tidak banyak dipahami oleh banyak orang yang mengkritik dan menolak ketentuan pidana Islam terutama qishâsh hukuman mati secara frontal tanpa mempelajarinya. Jadi, sangat sulitlah menerima pendapat yang mengatakan bahwa penerapan hukuman mati dalam hukum Islam benar-benar melanggar hak azasi manusia.49 Mereka tidak memahami bahwa hukuman mati atau qishâsh bukanlah keputusan akhir tanpa dapat dielakkan. Karena, Islam menawarkan diyat sebagai ganti dari qishâsh, dan tindakan pemberian maaf adalah sebuah prilaku yang sangat terpuji dan diagungkan oleh Allah, sebagaimana juga dinyatakan Al-Quran

‫ﻟﹶﺎ‬ Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.50 Perilaku pemberian maaf juga merupakan bentuk dari sikap sabar atas cobaan, sebagaimana diungkapkan Allah:

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.51 Meskipun untuk kasus pemaafan berupa pembatalan qishâsh ini beberapa pakar hukum Islam masih meragukan efektivitasnya khususnya terkait kasus pembunuhan sengaja. Penegasan al-Qur’an dan Sunnah mengenai pemberian maaf lebih pada bentuk tawaran bukan kemestian. Pemberian maaf untuk kasus pembunuhan dengan sengaja ini menurut Ibrahim Hosen, seorang pakar hukum Islam Indonesia, bertentangan dengan salah satu tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam, yaitu untuk membuat pelaku menjadi jera.52 Artinya, ketika banyak keluarga korban pembunuhan sengaja memberikan

Lihat penjelasan Yesmil Anwar & Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 69-76; Lihat juga tulisan Hendardi, “Hak Hidup dan Hukuman mati,” dalam http://artikel.sabda.org/hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 2008; Pan Muhamed Faiz, “Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup,” dalam http://jurnalhukum.blogspot. com/2007/05/penelitian-hukum hukuman-mati-dan-hak.html, diunduh 17 Oktober 2008; dan “Hukuman Mati tidak Memberi Efek Jera,” dalam Kompas, 14 Agustus 2008 49

Q.S. al-Syûra/42: 40. Q.S. al-Nahl/16: 126. 52 Ibrahim Hosen, “Jenis-jenis Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam 50 51

220


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

maaf kepada pelaku pembunuhan, maka penerapan hukum pidana tidak berjalan efektif untuk menekan laju kriminalitas pada masyarakat dan tidak ada lagi perasaan takut bagi seseorang untuk menyengaja menghilangkan nyawa orang lain. Jika ini terjadi maka ini akan menjadi ancaman besar bagi kemanusiaan. Untuk itulah, Imâm Abû Hanîfah dahulu lebih menekankan pemberian maaf hanya untuk tindak pidana tersalah, pemukulan, penghilangan (salah satu anggota tubuh), dan jika kualitas tindak pidana tersebut sampai pada tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja maka pemberian maaf itu batal secara hukum. 53 Untuk konteks Indonesia di mana saat ini terjadi tingkat perkembangan kasuskasus pembunuhan semakin tinggi dan memprihatinkan – karena bentuk pembunuhan yang begitu sadis dan kejam hingga pemotongan (mutilasi) anggota tubuh – pendapat Abu Hanifah ini layak untuk dipertimbangkan. Dengan penolakan pemberian maaf dan diyat sebagai ganti qishâsh mungkin dapat menimbulkan rasa takut dan efek jera individu untuk melakukan kejahatan pembunuhan sengaja yang kejam.

Maqâshid Syar‘iyah Qishâsh (Hukuman Mati) Terjadinya perdebatan para ahli hukum mengenai penerapan qishâsh khususnya terkait hukuman mati di negara-negara Islam termasuk Indonesia dikarenakan kurangnya pemahaman sebagian mereka mengenai tujuan ditetapkannya (maqâshid syar‘iyyah) dari qishâsh tersebut. Hukuman qishâsh merupakan sanksi hukum terhadap kejahatan atau prilaku yang jelas bertentangan dengan norma masyarakat berbeda dengan prilaku pengguna riba yang masih menimbulkan perdebatan seberapa jauh dampak yang ditimbulkan standar-standar etis (patokan moral/psikologis) nya. Jika pada Q.S. al-Baqarah/2: 178 sebelumnya Allah telah menyatakan pensyari’atan qishâsh bagi orang-orang mukmin, maka pada ayat berikutnya (Q.S. al-Baqarah/2: 179, Dia menerangkan hikmah syariat ini, dan dibangkitkannya mereka (orang mukmin) agar memikirkan dan merenungkan hikmah tersebut, sebagaimana terhimpun di dalam hati mereka perasaan takwa, yang merupakan perekat dan pengaman dalam masalah pembunuhan dan qishâsh. Allah berfirman:

         Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.54

Penerapannya,” dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995 (Jakarta: al-Hikmah DITBINPERA Islam), h. 16. 53 Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsî, al-Mabsûth, jilid II (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), h. 155. 54 Q.S. al-Baqarah/2: 179.

221


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Qishâsh bukanlah pembalasan untuk menyakiti, bukan pula untuk melampiaskan sakit hati. Tetapi, ia lebih agung dan lebih tinggi, yaitu untuk kelangsungan kehidupan, di jalan kehidupan, bahkan ia sendiri merupakan jaminan kehidupan. Kemudian untuk dipikirkan dan direnungkan hikmat difardhukannya, juga untuk menghidupkan hati dan memandunya kepada ketakwaan kepada Allah, supaya kamu bertakwa. Ketakwaan menjadi ikatan yang menahan jiwa dari melakukan kejahatan, yakni kejahatan pembunuhan maupun kejahatan penyerangan membabi buta sebagai pembalasan. Ikatan dan tambatan itu adalah takwa. Kepekaan hati dan rasa takutnya kepada Allah, yang menjadikannya bersedih kalau dimurkai Allah, dan menuntutnya untuk terus mencari ridha-Nya. Tanpa ikatan dan tambatan ini tidak mungkin syariat dapat berdiri dengan tegak, undang-undang tidak akan dapat berjalan, pelaku kejahatan dan pelanggaran tak akan merasa bersedih hati dengan tindakannya itu, dan tidaklah memadai peraturanperaturan dan segala undang-undang yang kosong dari ruh, sensitivitas, rasa takut, dan antusiasme terhadap kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan manusia sendiri.55 Inilah faktor yang menyebabkan jarangnya terjadi tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman had pada zaman Nabi SAW., dan zaman Khulafaur Rasyidin. Kalau terjadi tindak kejahatan maka kebanyakan pelakunya datang atas kemauan sendiri dan dengan penuh kesadaran mengakui kesalahannya. Hal itu terjadi karena di dalam hatinya ada rasa taqwa. Sesuai dengan makna kata ‘taqwa’ itu sendiri yang berarti menjaga sesuatu dari hal yang menyakiti atau membahayakannya atau berjaga-jaga dan melindungi diri dari sesuatu. Orang yang melakukan kesalahan, pada hakikatnya telah melakukan kesalahan pada diri sendiri. Dengan kata lain, akibat negatifnya, akan kembali kepada diri sendiri. Jadi, ‘takwa’ berarti juga melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat.56 Manakala ‘takwa’ hadir dalam jiwa, maka ia menjadi penjaga yang selalu sadar di dalam nurani, di seluruh relung kalbu, yang menahannya agar tidak mendekati pagar pembatas. Sebaliknya, dibawanya hati ini ke sisi syariat yang terang cemerlang dan selalu memandang kepada relung-relung fitrah dan unsur-unsur bangunan kalbu. Di sini tampak, adanya saling melengkapi antara peraturan-peraturan dan syariat dari satu segi, dan pengarahan-pengarahan serta ibadat dalam sisi lain. Orang yang bertakwa jelas adalah orang yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya memadukan antara peraturan dan praktik (ibadah). Semuanya bekerja sama untuk membangun masyarakat yang sehat pandangan dan perasaannya, suci gerakannya dan bersih perilakunya, karena inti utama taqwa ada dalam hati nuraninya sendiri. Dari firman Allah berikut juga tertangkap sisi lain dari hikmah disyari’atkannya qishâsh: Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz I, h. 138. Lihat Waryono Abdul Ghafur, Strategi Qur’ani: Mengenali Diri Sendiri dan Meraih Kebahagian Hidup (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2004), h. 170. 55 56

222


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

                 

                       

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolaholah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi (Q.S. al-Ma’idah/5: 32). Penyebutan Bani Isra’il secara khusus dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kaum tersebut telah mencapai puncak keburukan dalam pembunuhan karena yang mereka bunuh adalah manusia-manusia suci yang diutus Allah sebagai nabi dan rasul-rasul. Penetapan bagi Bani Isra’il ini tidak berlaku khusus, ketentuan ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Allah menyebut Bani Isra’il untuk menunjukkan model aplikatif terhadap aturan dan ajaran untuk mengarahkan manusia pada penerapan hukum Allah. Para ulama ushul fiqh dan juga ahli fiqh menjadikan ayat di atas dan yang seumpamanya sebagai dalil yang menyatakan bahwa ‫أن ﺷ ـ ـ ــﺮع ﻣ ـ ـ ــﻦ ﻗﺒﻠﻨ ـ ـ ــﺎ ﺷ ـ ـ ــﺮع ﻟﻨ ـ ـ ــﺎ‬, syariat bagi orang-orang sebelum kita adalah syariat bagi kita juga 57 – istilah ushul fiqhnya syar’u man qablanâ, jika syariat itu dikeluarkan melalui ketetapan dan belum dinasakh. Penggalan ayat ‫ْض ﻓَ َﻜﺄَﻧﱠ َﻤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻗَـﺘَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻞ‬ ِ ‫ـﺲ أ َْو ﻓَ َﺴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ٍد ﻓِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ ْاﻷَر‬ ٍ ‫َﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ ﻗَـﺘَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻞ ﻧَـ ْﻔ ًﺴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﺑِﻐَْﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﺮ ﻧَـ ْﻔ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ‫ـﺎس َﺟﻤِﻴ ًﻌ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ـﺎس َﺟﻤِﻴ ًﻌ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ َوَﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ أَ ْﺣﻴَﺎ َﻫ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻓَ َﻜﺄَﻧﱠ َﻤ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ أَ ْﺣﻴَ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ اﻟﻨﱠ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ َ ‫( اﻟﻨﱠ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya, (Q.S. al-Ma’idah/5: 32) di atas menegaskan mengapa Allah mewajibkan pelaksanaan qishâsh bagi para pembunuh. Dari ayat ini termaktub persamaan antara pembunuhan terhadap seorang manusia yang tidak berdosa dengan membunuh semua manusia, dan sebaliknya yang menyelamatkan seorang anak manusia sama dengan menyelamatkan semua manusia. Dengan logis dan menawan Quraish Shihab menggambarkan logika dari pernyataan ayat di atas. Peraturan baik apa pun yang ditetapkan oleh manusia atau oleh Allah, pada hakikatnya

57

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Juz III, h. 121.

223


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 adalah untuk kemaslahatan masyarakat manusia. Dan kalau kita menyebut kata masyarakat maka kita semua tahu, bahwa ia adalah kumpulan dari saya, Anda dan dia, kumpulan dari manusia. Adalah sangat mustahil memisahkan seorang manusia selaku pribadi dan masyarakatnya. Pemisahan ini hanya terjadi pada dataran alam teori, tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan psikologis, manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya, walau ketika ia hidup di dalam gua sendirian. Bukankah manusia yang berada sendirian di gua menemukan makhluk lain bersamanya, kalau bukan makhluk sejenisnya, maka hantu yang menakutkannya atau malaikat yang mendukungnya. Demikian, manusia membutuhkan selainnya. Pada saat manusia merasakan kehadiran manusia-manusia lain bersamanya, saat itu pula, seorang atau ribuan anggota masyarakatnya mempunyai kedudukan yang sama bahwa semua harus dihargai. Sehingga, barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian juga sebaliknya.58 Thabâthabâ’î, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menguraikan makna dari persamaan itu. Menurutnya, setiap manusia menyandang dalam dirinya nilai kemanusiaan, yang merupakan nilai yang disandang oleh seluruh manusia. Seorang manusia bersama manusia lain adalah perantara lahirnya manusia-manusia lain bahkan seluruh manusia. Manusia diharapkan hidup untuk waktu yang ditetapkan Allah, antara lain untuk melanjutkan kehidupan jenis manusia seluruhnya. Membunuh seseorang yang berfungsi seperti yang dijelaskan di atas adalah bagaikan membunuh semua manusia, yang keberadaannya ditetapkan Allah demi kelangsungan hidup jenis manusia. 59 Di sini terlihat bahwa pendapat Quraish Shihab dan Thabâthabâ’î sejalan dengan teori-teori sosial yang menyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, yang hidup bersama dan memiliki ketergantungan antara satu sama lainnya. 60 Tidak seorang pun manusia di muka bumi ini dapat bertahan hidup sendiri. Setiap individu secara alamiah akan mencari dan bergabung dengan manusia lain dan membentuk sebuah komunitas (masyarakat). Pemisahan satu individu atau anggota komunitas berarti mematikan jantung masyarakat tersebut. Senada dengan pendapat di atas, Thâhir Ibn ‘Âsyûr menegaskan bahwa perumpamaan yang ditampilkan Al-Quran surah al-Ma’idah ayat 32 di atas lebih pada penekanan untuk mencegah manusia melakukan pembunuhan secara aniaya. Seorang yang melakukan pembunuhan secara aniaya pada hakikatnya memenangkan dorongan nafsu amarah dan keinginannya membalas dendam atas dorongan kewajiban memelihara hak asasi manusia serta kewajiban mengekang dorongan nafsu. Siapa yang menuruti kehendak nafsu seperti M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 81-82. 59 Ibid., 60 Lihat, Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 43. 58

224


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

itu, maka tidak ada jaminan untuk tidak melakukan hal serupa pada kesempatan yang lain dan berulang-ulang, walau pun dengan membunuh semua manusia. 61 Dapat dikatakan juga bahwa pernyataan ‫ـﺲ أ َْو ﻓَ َﺴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ٍد‬ ٍ ‫َﻣـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻦ ﻗَـﺘَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻞ ﻧَـ ْﻔ ًﺴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﺑِﻐَْﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﺮ ﻧَـ ْﻔ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ‫ـﺎس َﺟﻤِﻴ ًﻌ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ َ ‫ْض ﻓَ َﻜﺄَﻧﱠ َﻤ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻗَـﺘَـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ َﻞ اﻟﻨﱠـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ِ ‫( ﻓِ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻲ ْاﻷَر‬Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, Q.S. AlMa’idah/5: 32) merupakan penegasan kehendak Allah tentang pembentukan kesatuan iman dalam rangka menciptakan ikatan masyarakat yang beriman. Kata ‫ أَ ْﺣﻴَ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬menurut Sya’rawi62 memiliki makna yang beragam. Namun, dapat ditetapkan dalam dua makna: Pertama, mempertahankan eksistensi ruh yang menggerakkan materi; Kedua, menghidupkan ruh atau spirit keimanan seperti yang dinyatakan Alllah: ‫ـﻮل إِذَا‬ ِ ‫َﺠﻴﺒُﻮا ﻟِﻠﱠ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ِﻪ َوﻟِﻠ ﱠﺮ ُﺳـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ ِ ‫ا ْﺳ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـﺘ‬ ‫( َد َﻋـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ُﻛ ْﻢ ﻟِ َﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﻳُ ْﺤﻴِﻴ ُﻜ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ْﻢ‬Jawablah, apabila Allah dan Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, (Q.S. Al-Anfal/8: 24) Kesatuan iman membuat seluruh mukmin ibarat sebuah badan, apabila ada salah satu anggota tubuhnya yang sakit, maka anggota lainnya ikut merasakan. Berdasarkan hubungan semacam ini, bila ada yang menyakiti mukmin, maka yang lainnya tidak boleh hanya berpangku tangan atau membuang badan tanpa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Apabila ada seorang manusia membunuh manusia, namun masyarakat sekitar hanya berdiam diri melihat perbuatan tersebut, maka timbullah kejahatan di muka bumi ini. Karenanya, masyarakat harus mengambil tindakan tegas akan hal ini, bukan saja berdasarkan bahwa orang tersebut telah membunuh satu nyawa, tapi bertolak dari anggapan bahwa seolah-olah orang tersebut telah membunuh seluruh manusia. Tentunya, pembunuhan tersebut bukan pembunuhan yang legal, seperti pembunuhan karena pemberlakuan qishâsh atau karena kejahatan yang dilakukannya. Sebaliknya, pemeliharaan kehidupan seorang anak manusia juga merupakan bentuk keimanan dalam melestarikan kelangsungan masyarakat, sebagaimana kelanjutan ayat:

       Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Q.S. Al-Ma’idah/5: 32). Inilah ciri-ciri kesatuan iman. Penindasan atas seseorang yang tidak berdosa, bagaikan penindasan atas seluruh manusia. Begitu juga, menolong seorang dari suatu malapetaka dan bencana, ibarat menolong seluruh kehidupan manusia. Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz II, h. 124, dalam alMaktabah al-Syâmilah. 62 Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, jilid V h. 3095-3096 61

225


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Penutup Dari uraian di atas terlihat bahwa berkali-kali Al-Quran dan Sunnah memperingatkan betapa bernilainya hidup makhluk Allah. Jangankan manusia yang telah menginjakkan kaki di persada bumi, janin yang baru berada di perut ibu pun tidak diperkenankan untuk dicabut hidupnya, kecuali berdasar ketentuan yang dibenarkan Allah. Pembunuhan terhadap pembunuh harus memenuhi sekian banyak syarat yang dibenarkan-Nya. Itulah yang dinamai qishâsh, banyak orang mengatakan dengan ‘hukuman mati, dalam arti ‘mengikuti jejak/persamaan. Yakni, persamaan perlakuan terhadap yang membunuh dengan perlakuannya terhadap yang dibunuh. Selanjutnya perlu digarisbawahi bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman. Bahkan Al-Quran dan Sunnah memberi peluang yang cukup besar untuk menghindari jatuhnya sanksi apalagi yang berkaitan dengan nyawa atau badan. Karena itu, upaya terbaik yang dianjurkannya adalah mendorong keluarga korban untuk memaafkan terpidana, antara lain, dengan firman-Nya:

     Memberi maaf lebih dekat kepada takwa. (Q.S. Al-Baqarah/2: 237). Oleh karenanya Rasulullah bersabda:

‫ﺇﹺﻟﹶﻰ‬

63

“Tidak satu pun ketetapan yang diajukan Rasul SAW., kecuali beliau menganjurkan kepada (keluarga korban) untuk memaafkannya.” (HR. Ibn Majah dan lain-lain). Dengan dasar pemikiran ini penulis sepakat sepenuhnya, bahwa sedapat mungkin qishâsh/hukuman mati hendaknya dihindarkan. Tetapi kemungkinan hukuman mati jangan dihilangkan. Prosesnya terus menerus disempurnakan, agar sedapat mungkin tak ada hak siapa pun yang dilanggar. Hukumnya terus menerus ditinjau ulang, agar semakin adil. Bentuk hukumannya juga dipilih sedemikian rupa, sehingga menimbulkan penderitaan dan kesakitan yang seminim mungkin bagi si terhukum. Tapi yang jelas, terlepas dari berbagai pendapat pro atau kontra hukuman mati, satu prinsip ini hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang. Yaitu prinsip untuk bersikap tegas dan nonkompromistis terhadap kejahatan, terhadap ketidakbenaran, terhadap dosa. Pengampunan sama sekali tidak berarti memandang ringan kesalahan. Pengampunan adalah sisi lain dari pertobatan. Tidak ada pertobatan, tidak ada pengampunan. Yang

Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Bab Al‘afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. 63

226


Chuzaimah Batubara: Qishâsh (Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an)

ada ialah hukuman. Hukuman mati, kalau pun dijalankan, ia tidak dilaksanakan dengan maksud membunuh. Satu-satunya tujuan hukuman mati yang sah adalah untuk memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya.

Pustaka Acuan Anwar, Yesmil & Adang. Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum Pidana. Jakarta: Grasindo, 2008. ‘Audah, ‘Abd al-Qadir. Al-Tasyrî’ al-Jinâ’i al-Islâm. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993. Al-‘Awwa, Muhammad Salim. “The Basis of Islamic Penal System,” dalam The Islamic Criminal Justice System, ed. M. Cherif Bassiouni. New York: Oceana Publication, Inc, 1991. Al-Ishfahânî, al-Ghârib. Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, cet. 3. Beirut: Dâr Asy-Syâmiyyah. t.t. Cholidi, “Qishâsh,” dalam M. Quraish Shihab, et al. (ed.). Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Coulson, N. J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964. Faiz, Pan Muhamed. “Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup,” dalam http:// jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/penelitian-hukum-hukuman-mati-danhak.html, diunduh 17 Oktober 2008. Ghafur, Waryono Abdul. Strategi Qur’ani: Mengenali Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan Hidup. Yogyakarta: Belukar Budaya, 2004. Hasballah, ‘Alî. Ushûl al-Tasyrî‘ al-Islâm. Mesir, Dâr al-Ma‘ârif, t.t. Hendardi, “Hak Hidup dan Hukuman mati,” dalam http://artikel.sabda.org/ hak_hidup_dan_hukuman_mati, diunduh 17 Oktober 200. Hosen, Ibrahim. “Jenis-jenis Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya,” dalam Mimbar Hukum No. 2, Tahun VI, Mei-Juni 1995. “Hukuman Mati Tidak Memberi Efek Jera,” dalam Kompas, 14 Agustus 2008. Ibn Katsîr. Abû al-Fidâ’ Isma’îl ibn ‘Umar. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I. Dâr Thaibah Linnasyar wa al-Tauzi’, 1999. Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah, Bab Al’afw fî al-Qishâsh, hadis ke 2682, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. Ibn Manzhûr. Lisân al-‘Arab, juz VII. Beirut: Dâr Shâdir, t.t. Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân. Beirut: Dar Ihya’ Turats ‘Arâbi, t.t. Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, juz II, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. Mûsâ, Abû al-Hamd Ahmad. Al-Jarâim wa al-‘Uqûbât fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah. Kairo: Jâmi’ah al-Azhar, 1975. 227


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Al-Qurthubî, Abî ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî. al-Jâmi’ al-Ahkâm alQur’ân, juz 9. Cairo: Dâr al-Hadîts, t.t. Qutb, Sayyid. Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz I, dalam al-Maktabah al-Syâmilah. Sanderson, Stephen K. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajidi, S. Menno. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Sya‘râwî, Muhammad Mutawally. Tafsîr al-Sya’râwî, jilid t.P: t.p., t.t. Al-Sâis, Muhammad ‘Alî. Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid 2. Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t. Al-Sarakshsi, Muhammad ibn Ahmad. al-Mabsûth, jilid II. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t. Al-Syâfi’î, Muhammad Ibn Idrîs. al-Umm, juz V. Beirut: Dâr al-Fikr, 1985. Al-Thabarî, Abû Ja’fa. Jâmi’u al-Bayân fi Ta’wil al-Qur’an, juz III. Mu’assasah al-Risâlah, 2000. Al-Tirmîzî. Sunan at-Tirmîzî, juz IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.

228


CORAK PENDEKATAN DALAM USHÛL AL-FIQH Arip Purqon Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Tangerang, Banten e-mail: arippurqon@gmail.com

Abstract: Approaches to Islamic Jurisprudence The Islamic legal theory (ushûl al-fiqh) is one of the most important sciences in the development of Islamic thought used for legal deduction. As a legal theory, the scientific community (‘ulamâ’ al-ûshûl ) has developed a variety of approach to ushûl al-fiqh. This article tires to discuss these approaches which constitute language approach and maqâshid al-syarî‘ah (public goods). The author argues that these two approaches are important means to comprehend how the Islamic jurisprudents deduce law. Linguistic approach is required to understanding the text of the revelation, whereas the maqâshid al-syarî‘ah is needed to consider the very objective of the law as well as to see the values of human interest for every obligation sent down by God. Not denying the importance of language approach, this article put forward the significance of the maqâshid al-syarî‘ah in order to catch God’s messages in the Qur’an.

Kata Kunci: pendekatan bahasa, pendekatan maqâshid al-syarî ah, hukum syar‘i

Pendahuluan Metodologi fiqih Islam atau ushûl al-fiqh merupakan salah satu ilmu yang sangat signifikan dalam khazanah perkembangan pemikiran Islam. Para ulama ushûl mendefinisikan ushûl al-fiqh dengan dua cara: definisi yang didasarkan pada susunan dua lafaz (tarkîb idhâfî), yaitu pengertian yang diambil dari dua kata yang membentuknya yaitu ushûl dan al-fiqh sebagai suatu rangkaian kata yang membentuk sebuah istilah khusus. Pemberian pengertian terhadap ushûl fiqh secara idhâfî ini memerlukan pemahaman terhadap arti kata demi kata yang membentuk istilah ushûl al-fiqh tersebut. Kedua adalah definisi secara ilmiah, yaitu pengertian yang diambil dari rangkaian kata-kata yang digunakan sebagai nama bagi suatu ilmu tertentu. 1 Jumhur ulama sepakat bahwa objek kajian ilmu ushûl al-fiqh adalah kaidah-kaidah 1

Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 15.

229


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 atau metode-metode istinbath hukum.2 Kaidah-kaidah itu biasanya disebut dengan dalildalil syara’ yang umum (al-adillah al-syar iyyah al-kulliyyah). Kemudian yang termasuk al-adillah al-syar iyyah al-kulliyyah di antaranya adalah kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqih untuk menetapkan hukum syara’ dari nash, kaidahkaidah qiyâs dan kehujjahannya, batasan-batasan umum, perintah (al-amr) dan indikatornya, kaidah-kaidah larangan (al-nahy), kaidah muthlaq, muqayyad dan umum.3 Jadi dengan kata lain, objek pembahasan ushûl al-fiqh bermuara pada hukum syara’ (al-hukm al-syar’i) ditinjau dari hakikat, kriteria dan macam-macamnya, pembuat hukum (al-hâkîm) dari segi dalil dan perintahnya, orang yang dibebani hukum (al-mahkûm ‘alaih) dan cara berijtihadnya.4 Berbeda dengan dogma agama atau pengetahuan semisal metafisika, ilmu membatasi diri hanya pada objek yang bersifat empiris. Artinya objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia, di mana objekobjek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam penelaahan ilmu tersebut.5 Metode pengambilan hukum juga berada dalam batas ini, dalam pengertian ia membantu manusia mengenal hukum Tuhan sesuai dengan batas kemampuannya sebagai manusia. Dengan kata lain, ia menjadi ilmu yang mencoba untuk menjembatani antara kehendak Tuhan dengan pemahaman yang bisa ditangkap oleh manusia. Upaya penggalian hukum Islam dari sumber-sumbernya (istinbâth al-ahkâm) tidak akan membuahkan hasil yang memadai, kecuali dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama menyangkut sumber hukum. Ali Hasaballah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushûl al-fiqh dalam melakukan istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqâshid al-syarî‘ah).6 Apa yang telah dikemukakan oleh Ali Hasaballah, telah disinyalir pula oleh Fathi al-Daraini. Ia menyebutkan bahwa materi apa saja yang akan dijadikan objek kajian, maka pendekatan keilmuan paling tepat yang akan diterapkan terhadap objek tersebut hendaklah sesuai dengan watak objek itu sendiri. Sebab itu, jika yang akan menjadi objek kajian ialah istinbath hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu, pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan maqâshid al-syarî‘ah. Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks) syariat, sedangkan Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-’Arâbî, 1987), h. 8-9. ‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (Kuwait: Dâr al- Ilm, 1978), h. 12-13. 4 Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 9. 5 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 15-16. 6 Ali Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmi (Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1971), h. 3. 2 3

230


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

pendekatan melalui maqâshid al-syarî‘ah adalah karena kajian akan menyangkut kehendak syâri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqâshid al-syarî‘ah.7

Pendekatan Kebahasaan Sumber asasi hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis diungkapkan dalam bahasa Arab. Untuk dapat memahami hukum-hukum yang ada di dalamnya, maka seorang mujtahid yang akan menggali hukum-hukum tersebut harus memahaminya secara komprehensif. Untuk itu, ia harus memahami Bahasa Arab dengan segala aspeknya, sebagai bahasa al-Qur’an dan hadis. Suatu hal yang tidak masuk akal kalau seseorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbath hukum secara maksimal dari al-Qur’an dan hadis yang berbahasa Arab. Sebab itu, al-Ghazâlî menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar ushûl al-fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari sumber-sumbernya. 8 Setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks al-Qur’an dan Sunnah sangat bergantung kepada kemampuan memahami Bahasa Arab. Untuk maksud itu, maka para ahli ushûl al-fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada kaidah kebahasaan. Dalam hal ini mereka berpegang pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah, serta petunjuk nabi dalam memahami hukum-hukum al-Qur’an dan penjelasan Sunnah atas hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafaz arâbî dipahami dalam ruang lingkup hukum syara’.9 Kaidah pemahaman lafaz arâbî itu mencakup empat segi pokok pembahasan yaitu pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz, pemahaman lafaz dari segi penunjukannya terhadap hukum, pemahaman lafaz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian (afrâd) dalam lafaz dan pemahaman lafaz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum (taklîf).10 Hal pertama yang menjadi perhatian ulama ushûl al-fiqh adalah pengertian lafazlafaz dalam kaitannya dengan posisi lafaz-lafaz tersebut dalam nash. Dalam hal ini, ulama ushûl al-fiqh membaginya atas dua bentuk, yaitu: a. Al-asmâ al-lughawiyyah (isim-isim yang dipakai dalam tradisi kebahasaan, seperti Fathî al-Darainî, Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra’yi fi al-Tasyrî’ al-Islâm (Damaskus: Dâr al-Kitab al-’Arabi, 1975), h. 27. 8 Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993), h. 180. 9 Amir Syarifuddin, Ushul al-Fiqih, jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000), h. 2. 10 Ibid., h. 2. 7

231


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 lafaz al-dâbbah (segala sesuatu yang melata), tetapi dalam tradisi kebahasaan dipakai untuk menunjuk binatang yang memiliki empat kaki. b. Al-asmâ al-syar‘iyyah (isim-isim yang dipakai sebagai istilah syariat) seperti shalât, untuk menunjuk suatu bentuk ibadah tertentu. 11 Kajian tentang lafaz itu kemudian berlanjut dengan pembahasan lafaz itu dari berbagai sisi. Kajian pertama dimulai dengan pandangan dari sisi keterkaitan lafaz tersebut dengan makna yang dikandungnya. Dalam hal ini, oleh para ulama ushûl al-fiqh klasik dibahas secara panjang lebar dalam beberapa bab dalam kitab-kitab mereka. Namun oleh para ulama ushûl al-fiqh kontemporer, seperti Wahbah al-Zuhailî, mencoba mengelompokkannya dalam empat kategori yang secara ringkas dapat diungkapkan seperti di bawah ini: Pertama. Dilihat dari sisi penempatan suatu lafaz terhadap suatu makna. Dalam hal ini, ada satu lafaz yang ditempatkan untuk menunjukkan satu makna tertentu (khâsh) dan ada pula satu lafaz yang ditempatkan untuk menunjukkan makna umum (‘amm), ada suatu lafaz yang ditempatkan mengacu kepada dua makna atau lebih (musytarak) dan ada juga dua lafaz atau lebih yang mengacu kepada satu makna (murâdif). Kedua. Dilihat dari sisi penerapan suatu lafaz terhadap suatu makna. Dalam hal ini, ada suatu lafaz yang digunakan menunjuk kepada pengertiannya yang asli (alhaqîqah) dan ada pula yang digunakan menunjuk kepada pengertian lain, yang bukan makna asli, karena ada suatu indikasi yang menghendaki demikian (al-majâz). Di lain pihak, ada pula suatu lafaz yang mengacu kepada pengertian yang jelas karena pengertian yang demikianlah yang telah lazim dipakai (sharîh), sementara ada juga lafaz yang samar maksudnya, dan lafaz tersebut baru diketahui karena ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya. Lafaz ini disebut kinâyah. Ketiga. Dilihat dari sisi penunjuk lafaz atas maknanya dalam hal kejelasan dan ketersembunyiannya. Dalam hal ini, ada suatu lafaz yang petunjuk maknanya jelas, tanpa memerlukan lafaz lain untuk memperjelasnya dan ada pula yang tidak jelas petunjuk maknanya, dan ia baru menjadi jelas setelah ada lafaz lain yang membantu untuk menjelaskannya. Lafaz yang petunjuk maknanya jelas, menurut ulama Hanafiyah, ada empat, yaitu: al-zhâhir, al-nash, al-mufassar dan al-muhkâm. Sedangkan menurut Syafi ‘iyyah, lafaz yang demikian hanya dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu al-zhâhir (yang masih mungkin menerima ta’wîl) dan al-nash (yang tidak menerima ta’wîl). Adapun lafaz yang petunjuknya tidak jelas, menurut ulama Hanafiyyah, ada empat pula, yaitu al-khafî, al-musykil, al-mujmâl dan al-mutasyâbih. Sedangkan Syafi‘îyyah membagi lafaz yang petunjuknya tidak jelas ini menjadi dua, yaitu al-mujmâl dan al-mutasyâbih. Keempat, dilihat dari sisi cara pengungkapan kalimat dalam kaitannya dengan makna yang dikandung oleh kalimat tersebut. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah 11

Hasaballah, Ushûl al-Tasyrî,’ h. 205-208.

232


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

membaginya atas empat bentuk, yaitu ‘ibârah al-nash, isyârah al-nash, dalâlah al-nash dan iqtidhâ’ al-nash. Sedangkan jumhur ulama ushûl fiqh membagi petunjuk kalimat dalam bentuk ini atas dua, yaitu al-mantûq dan al-mafhûm. Selain membicarakan lafaz yang berupa wacana kata ataupun kalimat, para ulama ushûl fiqh juga membicarakan huruf al-ma’ânî, yaitu kata-kata penghubung yang mengandung beragam makna. Kata-kata tersebut menjadi penting dalam istinbath hukum karena dapat membawa berbagai pengertian terhadap makna nash.12 Pendekatan melalui kajian kebahasaan seperti di atas telah menyita bagian terbesar dari kitab-kitab ushûl al-fiqh klasik. Hal demikian memang wajar karena untuk mengistinbathkan suatu hukum dari sumbernya yang berbahasa Arab tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam. Sekalipun demikian, menurut al-Syâtibi, yang lebih penting lagi adalah pendekatan melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syâri’ dalam menurunkan syariat, yang disebut maqâshid al-syarî ah. Untuk itu, al-Syâtibi menganjurkan untuk tidak terlalu berlebihan dalam pendekatan kebahasaan, karena bangsa Arab sendiri adalah umat yang ummi. Sebab itu, pendekatan kebahasaan yang dilakukan adalah bersangkutan dengan kondisi kebahasaan umat ketika al-Qur’an diturunkan. 13

Pendekatan Maqâshid al-Syarî ah Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks al-Qur’an dan hadis, maka dalam pendekatan melalui maqâshid al-syarî‘ah kajian lebih dititikberatkan untuk melihat nilai-nilai berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan dalam bentuk ini penting dilakukan, terutama karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan. Secara etimologi, maqâshid al-syarî‘ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum dalam Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya satu hukum.14 Ulama berpendapat bahwa sejak zaman Rasulullah SAW. sudah ada petunjuk yang mengacu pada peranan penting maqâshid al-syarî‘ah dalam pembentukan hukum Islam.

Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, h. 197-203. Abû Ishâq al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah, jilid II (Kairo: Al-Maktabah alTaufîqiyyah, 2003), h. 73-74. 14 Ahmad al-Raisunî, Nazhariyat al-Maqâshid ‘inda Al-Syâtibi (Rabath: Dâr al-Aman, 1991), h. 67. 12 13

233


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Misalnya dalam sebuah hadis Rasulullah melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging kurban kecuali sekedar bekal untuk tiga hari. Beberapa tahun kemudian ada beberapa sahabat yang menyalahi ketentuan tersebut. Tetapi Rasulullah membenarkannya serta menjelaskan bahwa “dahulu aku melarang kalian menyimpannya karena kepentingan al-daffah (para pendatang dari perkampungan badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging), sekarang simpanlah daging-daging kurban itu.”15 Dari peristiwa ini dapat terlihat arti pentingnya maqâshid al-syarî‘ah dalam penetapan hukum. Dalam persoalan daging kurban di atas, larangan menyimpan daging kurban adalah untuk memberi kelapangan bagi fakir miskin yang datang dari perkampungan Badui. Ini adalah maqâshid al-syarî ah dari larangan menyimpan daging kurban tersebut. Akan tetapi, setelah orang-orang miskin dari perkampungan Badui tersebut tidak lagi membutuhkan daging kurban, larangan menyimpan daging kurban pun tidak lagi diberlakukan Rasulullah SAW. Seandainya di suatu saat berikutnya orangorang Badui kembali membutuhkan daging kurban, maka ketentuan Rasulullah SAW. dalam hadis tersebut akan berlaku kembali. Peranan penting maqâshid al-syarî‘ah sebagaimana yang ditunjukkan Rasulullah SAW. tersebut diteruskan para sahabat dalam berijtihad, karena perubahan kondisi sosial zaman sahabat jauh lebih pesat jika dibandingkan dengan di zaman Rasulullah SAW. Karena itu, dalam berbagai praktik ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, khususnya di bidang muamalah, selama dapat diketahui tujuan hukumnya, maka dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qiyâs atau yang lainnya dalam rangka menjawab persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW. Dengan demikian, ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas akan mampu menjawab perubahanperubahan yang tidak terbatas jumlahnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khatab ra. Beliau antara lain tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, jatuhnya talak tiga sekaligus dan yang lainnya. Perubahan hukum secara formal nampaknya dilakukan Umar karena adanya pemahaman yang komprehensif terhadap pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun perubahan itu telah terjadi, tetapi hal ini bukan berarti beliau meninggalkan apalagi membatalkan nash-nash al-Qur’an. Adalah merupakan suatu kekeliruan bagi orang yang memahami kebijakan Umar sebagai tindakan yang meninggalkan sebagian nash-nash al-Qur’an demi kemaslahatan dan pertimbangan pribadi. Akan tetapi yang sebenarnya Umar telah menerapkan dengan baik dan memahami secara kreatif terhadap tujuan-tujuan syariat.16

Kisah lebih lengkap dapat dilihat dalam Muslim, Shahîh Muslim, jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 252. 16 Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arâbî, t.t.), h. 20. 15

234


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

Urgensi Maqâshid al-syarî‘ah Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diadakan penelitian terlebih dahulu hakikat dari persoalan-persoalan tersebut. Penelitian terhadap masalah yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menerapkan nash terhadap satu kasus baru, kandungan harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan hukum tersebut. Setelah itu perlu diadakan studi kelayakan (tanqîh almanâth), apakah ayat atau hadis tertentu layak untuk diterapkan pada kasus yang baru itu. Karena bisa jadi, ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Padahal setelah diadakan penelitian yang seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber hukum yang utama tersebut. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan umum disyariatkan hukum dalam Islam. Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum ini telah dilakukan oleh para ahli ushûl al-fiqh terdahulu. Al-Juwainî dapat dikatakan sebagai ahli ushûl al-fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqâshid al-syarî‘ah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-Nya.17 Kemudian beliau mengelaborasi lebih lanjut maqâshid alsyarî‘ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan ‘illat pada masalah qiyâs. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan ‘illat, ashl dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu dharûriyyat, al-hâjat al-‘ammat, makramat, sesuatu yang tidak masuk dharuriyyat dan hâjiyyat dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.18 Kerangka berpikir al-Juwainî kelihatannya dikembangkan oleh al-Ghazâlî. AlGhazâlî menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munâsabat al-mashlahiyyat dalam qiyâs.19 Sementara dalam kitabnya al-Mustashfâ, beliau membicarakan hal ini dalam pembahasan istishlâh.20 Mashlahah baginya adalah memelihara maksud pembuat hukum (Allah). Kemudian beliau merinci mashlahah itu menjadi lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima aspek maslahat ini berada pada tingkat yang berbeda bila ditinjau dari segi tujuannya yaitu peringkat dharûrat, hâjat dan tahsînat.21 Ahli ushûl al-fiqh berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama maqâshid al-syarî‘ah adalah ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm. Beliau banyak mengelaborasi hakikat Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh, jilid I (t.t.p.: Dâr al-Anshâr, 1400 H), h. 295. Ibid., h. 923-930. 19 Al-Ghazâlî, Syifâ al-Ghîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta’lîl (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1971), h. 159. 20 Ibid., h. 250. 21 Ibid. 17 18

235


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 mashlahat dalam bentuk menghindari mafsadat dan menarik manfaat (dar’u al-mafâshid wa jalbu al-manâfi’).22 Baginya, maslahat duniawi tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu dharûriyyat, hajiyyat dan tatimmat atau takmilat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa taklîf bermuara pada kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. 23 Adapun ahli ushûl al-fiqh yang membahas teori maqâshid al-syarî ah secara khusus, sistematis dan jelas adalah Al-Syâtibi. Dalam kitabnya al-Muwâfaqât fî Ushûl al-syarî ah, beliau menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini. Beliau secara tegas menyatakan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena itu, taklîf dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, beliau juga membagi peringkat mashlahat menjadi tiga peringkat yaitu dharûriyyat, hâjiyyat dan tahsîniyyat. Yang dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 24 Dalam kaitannya dengan upaya untuk memahami maqâshid al-syarî‘ah, para ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama, ulama yang berpendapat bahwa maqâshid al-syarî ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian yang pada gilirannya bertentangan dengan kehendak bahasa. Pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyâs. Kelompok ini disebut ulama al-zhâhiriyyah.25 Kelompok kedua, ulama yang tidak menempuh pendekatan zhâhir al-lafzh dalam mengetahui maqâshid al-syarî‘ah. Kelompok ini terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, yang berpendapat bahwa maqâshid al-syarî‘ah bukan dalam bentuk zahir dan pula yang dipahami dari penunjukan zahir lafaz. Maqâshid al-syarî‘ah merupakan hal lain yang ada di balik tunjukan zahir lafaz. Kelompok ini disebut ulama al-bâthiniyah. Kedua, adalah yang berpendapat bahwa maqâshid al-syarî‘ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafaz. Artinya, zahir lafaz tidak harus mengandung penunjukkan mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahir lafaz dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian nalar. Kelompok ini disebut ulama al-mu’ammiqîn fî al-qiyâs.26 Kelompok ketiga adalah ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan tersebut dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafaz dan tidak pula merusak kandungan makna, agar syariat tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut ulama al-râsikhîn.27 Ibn Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, jilid I (Kairo: al-Istiqamat, t.t), h. 9. 23 Ibid., jilid II, h. 60-62. 24 Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, h. 5-6. 25 Ibid., jilid II, h. 332-333. 26 Ibid. 27 Ibid. 22

236


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

Sejalan dengan al-Syâtibi, Yûsuf al-Qaradhâwî juga membagi aliran dalam memahami maqâshid al-syarî‘ah ini menjadi tiga, yaitu pertama. Aliran yang hanya memperhatikan nashnash yang juz’î serta memahaminya dengan pemahaman yang literal tanpa melihat maksud yang ada di balik nash syari’ah tersebut. Mereka adalah kelompok yang disebut neo-al-zhâhiriyah (al-zhâhiriyyah al-judûd). Mereka adalah para pewaris aliran al-zhâhiriyyah yang mengingkari adanya illat dalam hukum atau menghubungkannya dengan maksud tertentu.28 Kedua. Aliran yang sangat memperhatikan masalah maqâshid al-syarî‘ah dan spirit agama, namun tidak peduli dengan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah yang sahih. Mereka lebih senang berpegang dengan ayat-ayat mutasyabihât dan selalu berpaling dari yang muhkam. Jargon mereka adalah pembaharuan. 29 Ketiga. Aliran moderat, yaitu aliran yang tidak memahami nash secara terpisah dari maqâshid al-syarî‘ah yang kulli tetapi selalu memahaminya dalam koridor maqâshid al-syarî‘ah yang kulli tersebut.30

Pembagian dan Metode Memahami Maqâshid al-syarî ah Ada tiga cara untuk memahami maqâshid al-syarî ah, yaitu cara pertama dengan melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan. Fokus cara ini adalah melakukan penelaahan pada amr dan nahy yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah secara jelas sebelum dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya, kembali pada perintah dan larangan secara hakiki. Dalam konteks ini, suatu perintah harus dipahami menghendaki sesuatu yang diperintahkan itu diwujudkan atau dilakukan. Perwujudan isi dari perintah itu menjadi tujuan yang dikehendaki oleh syâri’ (Allah). Begitu pula halnya dalam masalah larangan. 31 Adapun cara kedua adalah dengan melakukan penelaahan illat pada amr dan nahy. Pemahaman maqâshid al-syarî‘ah dapat pula dilakukan melalui analisis illat hukum yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an atau hadis. illat hukum ini adakalanya tertulis secara jelas dan adakalanya tidak tertulis secara jelas. Apabila illat itu tertulis secara jelas, maka harus mengikuti apa yang tertulis itu. Apabila tidak tertulis secara jelas, maka pada dasarnya tidak dibenarkan melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nash. Namun hal itu dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui. 32 Cara ketiga adalah dengan menganalisis terhadap sikap diam syâri’ dari penetapan hukum sesuatu. Cara ketiga yang digunakan dalam memahami maqâshid al-syarî‘ah Yûsuf al-Qaradhâwî, Al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Dau Nushûsh al-syarî ah wa Maqâsidiâ (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), h. 228. 29 Ibid. 30 Ibid., h. 229. 31 Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 333-334. 32 Ibid., h. 334-336. 28

237


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 adalah dengan melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh syâri’. Permasalahan hukum tersebut pada hakikatnya sangat berdampak positif dalam kehidupan.33 Dilihat dari segi objeknya, Muhammad Thahîr ibn ‘Asyûr membagi maqâshid al-syarî‘ah menjadi tiga macam, yaitu pertama, apa yang disebutnya al-maqâshid al-‘ammah (tujuan-tujuan umum), yaitu sesuatu yang dipelihara syariat serta diusahakan untuk dicapai dalam berbagai bidang syariat, seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh. Adapun yang kedua adalah al-maqâshid al-khâshshah (tujuan-tujuan khusus), yaitu tujuan yang hendak dicapai syariat dalam topik tertentu, seperti tujuan yang hendak dicapai syariat dalam hukum yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga, tujuan syariat yang hendak dicapai dalam masalah ekonomi, tujuan syariat yang hendak dicapai dalam bidang muamalat yang bersifat fisik, tujuan yang hendak dicapai syariat dalam masalah hukum pidana, peradilan dan amal-amal kebaikan. Ketiga adalah al-maqâshid al-juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syariat dalam menetapkan hukum syara’ yaitu hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah terhadap sesuatu atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat atau mani’ (penghalang). Misalnya salat itu diwajibkan untuk memelihara agama dan perzinaan diharamkan untuk memelihara keturunan dan kehormatan.34 ‘Allal al-Fasî mengemukakan bahwa pembagian maqâshid al-syarî‘ah dari segi objeknya ini menunjukkan bahwa syâri’ dalam mensyariatkan berbagai hukum tidak bermaksud hanya membebani umat manusia dengan berbagai hukum, tetapi juga melalui hukum-hukum tersebut manusia mendapatkan sesuatu kemaslahatan sekaligus terhindar dari kemudaratan, baik di dunia maupun di akhirat. 35 Al-Syâtibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut seorang mukallaf akan mendapat kebahagian dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama terhadap berbagai nash, kelima masalah pokok itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.36 Lima kemaslahatan pokok ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu pula didatangkan syariat yang mengandung perintah, larangan dan izin yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf. Akan tetapi para ulama berbeda tentang urutan kelima pokok tersebut. 37 Ibid., h. 336-338. Muhammad Thahîr ibn ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Salâm, 2005), h. 67. 35 ‘Allal al-Fasî, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu (t.t.p: Dâr al-Gharbi al-Islâmi, 1993), h. 11-12. 36 Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8. 37 Uraian lebih lanjut lihat misalnya dalam Jamal al-Dîn ‘Athiyah, Nahwa Taf’îl Maqâshid al-Syarî‘ah (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), h. 28-48. 33 34

238


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

Dalam mewujudkan dan memelihara kelima pokok di atas, ulama mengkategorikannya dalam beberapa tingkatan sesuai dengan kualitas kebutuhannya, yaitu tingkatan pertama adalah kebutuhan al-dharûriyyat, yaitu kemaslahatan mendasar yang mempunyai peranan penting dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok di atas. Apabila kemaslahatan ini hilang, maka kehidupan manusia bisa hancur, tidak selamat, baik dunia maupun akhirat. Menurut Al-Syâtibi, di atas kelima hal inilah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi. 38 Adapun tingkatan kedua adalah kebutuhan al-hâjiyyat, yaitu dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok tersebut, tetapi kadar kebutuhannya berada di bawah kebutuhan al-dharûriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan al-hâjiyat tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa pada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. 39 Tingkatan yang ketiga adalah kebutuhan al-tahsîniyyat, yaitu dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar manusia tersebut dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan akhlak mulia. Tidak terwujudnya kebutuhan al-tahsiniyyat ini tidaklah membawa terancamnya eksistensi kelima pokok tersebut serta tidak pula membawa pada kesulitan, tetapi hanya dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi atau masyarakat. 40 Dalam upaya penerapan maqâshid al-syarî‘ah dalam ijtihad, ada dua corak penalaran yang berkembang, yaitu corak penalaran ta’lîli dan corak penalaran istishlâhi. Corak penalaran ta’lîli adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illat-‘illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Berkembangnya corak penalaran ta’lili ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash al-Qur’an maupun hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan ‘illat-‘illat hukumnya.41 Atas dasar ‘illat yang terkandung dalam suatu nash, permasalahan-permasalahan yang muncul diupayakan pemecahannya melalui penalaran terhadap illat yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushûl fiqh, corak penalaran ta’lili ini antara lain berbentuk metode qiyâs dan istihsân. Adapun corak penalaran istishlâhi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan Sunnah. Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan secara umum yang Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, jilid II, h. 3-8. Ibid. 40 Ibid., h.9. 41 Muhammad Mushthafa Syalabî, Ta’lîl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Nahdah al-’Arabiyah, 1981), h. 14-15. 38 39

239


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 ditunjukkan oleh kedua sumber hukum Islam. Artinya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan pada suatu ayat atau hadis secara langsung, melainkan dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.42 Dalam perkembangan pemikiran ushûl fiqh, corak penalaran istishlâhi ini antara lain tampak dalam metode al-maslahah al-mursalah dan al-dzarî’ah. Di samping dua corak penalaran tersebut, sebenarnya terdapat pula corak penalaran bayânî, yaitu upaya penggalian hukum dari suatu nash dengan bertumpu pada kaidah-kaidah lughawî (kebahasaan).43 Corak ini dipakai juga oleh Al-Syâtibi, terutama dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Dalam hal ini, maqâshid al-syarî‘ahnya berbentuk “sebab” yang tidak langsung membawa pada kemaslahatan. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi agar suatu perkara dianggap menjadi bagian dari maqâshid al-syarî‘ah, yaitu bersifat tetap (tsubût), dalam arti bahwa tujuan yang dianggap maqâshid al-syari’ah harus dapat dipastikan dengan pengukuhannya atau dianggap dengan anggapan yang mendekati pasti; jelas (zhâhir), dengan pengertian bahwa tujuan yang dianggap itu harus jelas serta diketahui tidak adanya perbedaan di kalangan ulama ahli fiqih. Misalnya hifdz al-nasab itu merupakan bagian dari tujuan syariat di dalam penetapan pernikahan. Hal ini adalah jelas karena perempuan itu hanya dapat ditentukan anaknya apabila ia memiliki pasangan tertentu. Selain itu, sesuatu yang akan dijadikan maqâshid al-syarî‘ah dimaksud harus dapat dibatasi (inzhibâth), yaitu adanya maksud dari tujuan yang dicapai tersebut harus memiliki kadar atau batas yang tidak diragukan lagi, dan pemberlakuannya bersifat universal (ithrâd), yaitu bahwa adanya maksud dari tujuan yang dicapai tersebut tidak berbeda dalam berbagai zaman dan tempat. 44

Penutup Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi ilmu ushûl alfiqh secara umum adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Tuhan secara benar. Artinya, dengan mempelajari kaidah dan teori ushûl (al-qawâ’id alushûliyah), seseorang dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, ia menjadi ilmu yang mencoba untuk menjembatani antara kehendak Tuhan dengan pemahaman yang bisa ditangkap oleh manusia. Sebab itu, karena yang menjadi kajian dalam ilmu ushûl al-fiqh adalah istinbath hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu, pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan maqâshid al-syarî‘ah. Al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh, jilid II, h. 1069. Ibid. 44 Ibn ‘Asyur, Maqâshid, h. 50. 42 43

240


Arip Purqon: Corak Pendekatan dalam Ushûl al-Fiqh

Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan menjadi penting karena kajian akan menyangkut nash (teks) syariat, sedangkan pendekatan melalui maqâshid alsyarî‘ah menjadi penting karena kajian menyangkut kehendak syâri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqâshid al-syarî‘ah.

Pustaka Acuan Abû Zahrah, Muhammad. Târîkh al-Mazâhib al-Islâmiyah. Mesir: Dâr al-Fikr al-‘Arâbî, t.t. Abû Zahrah, Muhammad. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arâbî, 1987. ‘Athiyah, Jamâl al-Dîn. Nahwa Taf’îl Maqâshid al-syarî‘ah. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Al-Darainî, Fathî. Al-Manâhij al-Ushûliyah fî al-Ijtihâd bi al-Ra’yi fî al-Tasyrî’ al-Islâmî. Damaskus: Dâr al-Kitab al-‘Arâbî, 1975. Al-Fasî, Allal. Maqâshid al-syarî‘ah al-Islâmiyah wa Makârimuhu. Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1993. Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1993. Al-Ghazâlî, Abû Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Syifâ al-Ghalîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhil wa Masâlik al-Ta’lîl. Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1971. Hasaballah, Alî. Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî. Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1971. Ibn ‘Asyur, Muhammad Thahîr. Maqâshid al-syarî‘ah al-Islâmiyah. Kairo: Dâr al-Salâm, 2005. Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Beirut: Dâr alFikr, 1993. Al-Juwainî, Al-Burhân fî Ushûl Fiqh. Dâr al-Anshâr, 1400 H. Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kuwait: Dâr al-‘Ilm, 1978. Al-Raisunî, Ahmad. Nazhariyat al-Maqâshid ‘inda Al-Syâtibi. Rabath: Dâr al-Aman, 1991. Al-Qaradhâwî, Yûsuf. Al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Dhau Nushûsh al-syarî‘ah wa Maqâshidihâ. Kairo: Maktabah Wahbah, 1998. Al-Salâm, Ibn Abd. Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Kairo: al-Istiqamat, t.t. Syalabî, Muhammad Mushthafa. Ta’lîl al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Nahdah al-‘Arâbiyah, 1981. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2000. Al-Syâtibi, Abû Ishaq. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-syarî‘ah. Kairo: Al-Maktabah alTaufîqiyyah, 2003. Al-Zuhailî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.

241


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH Sehat Sulthoni Dhalimunthe STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Jl. Tengku Chik Ditiro No. 9 Lhokseumawe, Aceh Utara, 40327 e-mail: lanawalakum@yahoo.co.id

Abstract: Foundation of Muhammad ‘Abduh’s Philosophy of Islamic Education. This article attempts to elaborate four philosophical concepts used by Muhammad ‘Abduh in constructing his thought in Islamic education. These key concepts constitute his views on man, society, knowledge and morale (akhlâq). In his capacity as a reformer, Muhammad ‘Abduh did not only explain and emphasize the interrelation of these concepts in education, but also emphasize man’s need to maintain his faith in God, as well as build interaction amongst man at social level. The writer argues that this synergic interaction can only be achieved by an effective means through Islamic Instrument.

Kata Kunci: konsep manusia, hakikat masyarakat, ilmu pengetahuan, akhlak

Pendahuluan Muhammad Abduh (w. 1905) adalah seorang pemikir Muslim yang hasil-hasil pemikirannya selalu dibicarakan dan dirujuk oleh banyak kalangan. Karenanya, masih banyak pemikiran Muhammad Abduh yang hidup sampai sekarang, termasuk dalam bidang pendidikan. Selain sebagai ahli tafsir, Muhammad Abduh dikenal luas sebagai pembaharu, dan salah satu aspek pembaharuannya adalah dalam bidang pendidikan. Menurut Nurcholish Madjid, Abduh memiliki pemikiran modern yang dipengaruhi oleh Ibn Taimiyah dalam berijtihad, dan dipengaruhi oleh paham Wahabi dalam hal pemurnian akidah. Ia juga dipengaruhi oleh pemikiran Mu’tazilah, dipengaruhi oleh filosof rasionalisme Islam dan juga sosiolog Muslim Ibn Khaldûn dalam kajian empirik. Karena wawasan modernnya, membuat Abduh menjadi tokoh yang berpengaruh. 1 Ia juga, lanjut Nurcholish Madjid, mampu menangkap kembali ajaran Islam yang dinamis

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 4 (Jakarta: Paramadina, 2000), h 173-174. 1

242


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

dan otentik.2 Komentar ini telah menempatkan Abduh sebagai seorang yang istimewa dalam bidang pemikiran Islam, karena terbukti warisan ilmiahnya masih dinikmati para ilmuan sampai sekarang ini. Salah seorang guru Abduh yang turut signifikan mempengaruhinya adalah alAfghânî. Ia pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang membuktikan pernyataan itu adalah Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India. 3 Fazlur Rahman mengatakan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu dalam bidang pendidikan di Universitas al-Azhar. 4 Setelah ia mengajar di Universitas al-Azhar, pelajaran filsafat diajarkan kembali. Pengajaran filsafat ini merupakan modernisasi yang dilakukan oleh Afghânî dan Abduh. 5 Al-Afghânî adalah pembaharu yang menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan.6 Lebih lanjut Fazlur Rahman mengatakan, “Ia adalah seorang teolog berpengalaman pada garis-garis tradisional, yang merasa yakin bahwa sains dan Islam tidak mungkin bertentangan, dan ia menyatakan bahwa agama dan pekerjaan ilmiah bekerja pada level yang berbeda. Karena itu, ia menyuguhkan ajaran dasar Islam dalam batasan-batasan yang bisa diterima oleh pikiran modern.” 7

Riwayat Hidup Muhammad Abduh Charles C. Adams, sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis, membagi periode kehidupan Muhammad Abduh8 menjadi tiga yaitu periode pertumbuhan, periode kemunculan di publik, dan periode puncak karir.9 Nurcholish Madjid, Kaki Langit dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 22. Lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 53. Dikatakan juga bahwa gerakan pembaharuan Muhammad Abduh ini diilhami oleh pemikiran Ibn Taimiyah. Tentang pengaruh pemikiran pendidikan Abduh di Indonesia, baca: Mona Abaza, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Universitas al-Azhar (Jakarta: LP3ES, 1999). 2

3

Ibid., h. 318.

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 280. Lihat juga, Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Tafsir al-Qur’an Kontemporer: Visi dan Paradigma, terj. Moh. Magfur Wachid (Bangil: al-Izzah, 1997), h. 4. Dikatakan bahwa menurut ‘Abbas al-’Aqqad bahwa Muhammad Abduh adalah ‘Abqariu al-Ishlah wa al-Ta’lîm (orang yang genius dalam bidang pembaharuan dan pendidikan). Dengan kata lain, Abduh adalah seorang ahli pembaharuan Islam dan ahli dalam bidang pendidikan. 4

Rahman, Islam, h. 176. Ibid., h. 318. 7 Ibid., h. 319. 8 Lihat Muhammad Quraish Shihab, “Kata Pengantar,” dalam Muhammad Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, terj. Muhammad Baqir, cet. 5 (Bandung: Mizan, 1999), h. v. 9 Charles. C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (New York: Pussel & Russel, 1993), h. 18. 5 6

243


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Periode Pertumbuhan (1848-1877 M) Periode ini berlangsung 29 tahun, dimulai tahun 1848 sampai tahun 1877. Periode ini selain ditandai oleh pertumbuhan fisik juga pertumbuhan mental. Periode ini berbicara tentang kelahiran Muhammad Abduh dan pengalaman pendidikannya. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1265 H bertepatan dengan tahun 1848 M 10 di sebuah desa Propinsi Gharbiyyah, Mesir.11 Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan KhairAllâh. Ia lahir dalam keluarga petani yang hidup sederhana dan cinta ilmu pengetahuan.12 Muhammad Abduh pertama kali belajar membaca dan menulis al-Qur’an kepada orang tuanya. Selanjutnya, ia belajar al-Qur’an dengan seorang hafiz. Dari guru itu, ia mampu menghafal al-Qur’an selama dua tahun.13 Pendidikan berikutnya, ia menempuh pendidikan di Mesjid Ahmadi Thanta. Ia ingin belajar di Thantha selama dua tahun, tetapi karena dominasi metode menghafal yang diberikan gurunya, maka ia pulang kampung sebelum dua tahun dan dengan niat tidak akan kembali belajar lagi di sana.14 Pada tahun 1866 M, ia menikah dan empat puluh hari dari umur perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali ke Thanta untuk belajar.15 Muhammad Abduh tidak pergi ke Thanta, diduga karena kekesalannya dengan metode pengajaran yang menurutnya tidak tepat. Muhammad Abduh akhirnya pergi ke tempat pamannya Syekh Darwisy Khadr.16 Atas pengaruh pamannya ini, perubahan mental Muhammad Abduh terhadap belajar menuju ke arah yang positif, sehingga ia siap kembali ke Mesjid al-Ahmadi Thanta untuk belajar. Beberapa bulan di Thanta kemudian ia meneruskan studinya ke Universitas al-Azhar, Kairo.17 Dalam rangka memantau perkembangan studi Muhammad Abduh, Syaikh Darwisy Khadr meluangkan waktunya untuk datang ke Mahallat Nasr. Di kampung itulah, Khadr berdialog dengannya tentang pelajaran-pelajaran di al-Azhar. Mereka juga berdialog secara khusus tentang ilmu-ilmu umum yang tidak diajarkan di al-Azhar.18 Menurut Ahmad Amîn, Abduh juga membaca buku ilmu alam, filsafat, geografi, dan ilmu-ilmu lainnya dianggap haram.19 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: UIP, 1987), h. 58. Lihat Arbiyah Lubis, “Muhammad Abduh dan Muhammadiyah” (Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989), h. 112. 12 Muhammad Mushthafa Hidarah, Min A’lami al-Tarbiyah al-Islâmiyah, jilid V (Kairo: Maktabah al-Tarbiyah al-’Arâbi li al-Daui al-Khaliji, 1989), h. 290. 13 Ibid.;Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, “Rasionalitas Tafsir Syaikh Muhammad Abduh” (Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993), h. 35. 14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), h. 11. 15 Tidak diketahui pasti siapa identitas istrinya dan apakah ia mengikuti Abduh ke Thanta yang akhirnya ia ( Abduh) lari ke desa Kanisah Urin tempat pamannya tinggal. 16 Lihat Abd Allah Mahmud Syahata, Manhaj, h. 9. 17 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 12. 18 Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13. 19 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13. 10 11

244


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Abduh memperoleh ilmu-ilmu dunia yang ditanyakan oleh pamannya di luar Universitas al-Azhar. Filsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik Abduh pelajari dari Syekh Hasan al-Tawil. Pelajaran dari Hasan al-Tawil20 ini tidak memuaskan Abduh sebagaimana pelajaran di Universitas al-Azhar, sehingga ia lebih tertarik membaca buku di perpustakaan. Meskipun ia tidak tertarik dengan pelajaran di Universitas al-Azhar, tetapi ia tetap hadir kuliah, hanya saja di kelas ia membaca buku-buku yang ia bawa dari rumah.21 Dalam suasana ketidakpuasan wawasan keilmuan dan metode pengajaran, baik di Universitas al-Azhar maupun di luarnya, Jamal al-Dîn al-Afghânî datang ke Mesir, ketika itu Afghânî dalam perjalanan ke Istanbul. Muhammad Abduh bersama temantemannya mengambil kesempatan untuk berdialog dengan Jamal al-Dîn al-Afghânî di penginapannya. Dalam dialog itu Jamal al-Dîn al-Afghânî mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka tentang arti ayat al-Qur’an. Kemudian al-Afghânî memberikan tafsirnya sendiri secara rinci dan luas. 22 Metode pengajaran yang diterapkan Jamal al-Dîn al-Afghânî dinamakannya dengan metode praktis yang mengutamakan pengertian dengan cara berdiskusi. Di samping itu, al-Afghânî juga mengajarkan pengetahuan teoritis. Pendidikan praktis lainnya berupa pidato, menulis artikel, dan sebagainya.23 Aktivitas Abduh di luar Azhar tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa, terbukti tahun 1877 M, ia berhasil lulus dengan gelar ‘Alîm dan dipilih untuk mengajar di almamaternya. 24

Periode Penampilan di Publik (1877-1882 M) Periode ini dimulai setelah Abduh tamat dari Universitas al-Azhar tahun 1877 sampai ia diasingkan ke Beirut 1882. 25 Pada periode ini selain kegiatan mengajar di berbagai sekolah,26 Abduh juga rajin menulis artikel untuk surat kabar, terutama alAhrâm, yang mulai terbit tahun 1876. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab, karang-mengarang, politik, agama, dan sebagainya. 27 Selain kegiatan intelektual, atas pengaruh gurunya al-Afghânî, ia juga terlibat dalam kegiatan Lihat juga Syahata, Manhaj, h. 13. Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 13. 22 Darmu’in, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 1999), h. 184. 23 Arbiyah Lubis, “Muhammad Abduh,” h. 114. 24 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 161-162. 25 Arbiyah Lubis, “Muhammad Abduh,” h. 115. 26 Lihat Hidarah, Min A’lami al-Tarbiyah al-Islâmiyah, h. 294. 27 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 15. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan, h. 61-62. Tentang sepuluh prinsip pembaharuan Universitas al-Azhar, lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid VIII (Kairo: Dâr al-Manar, t.t), h. 470-476. 20 21

245


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 politik. Campur tangan kolonial Inggris dan Perancis terhadap Mesir sangat ditentang oleh al-Afghânî. al-Afghânî membangkitkan nasionalisme Mesir yang telah dirintis oleh al-Tahtawî dan selanjutnya ia mendirikan al-Hizb al-Wathani, Partai Nasional Mesir. Pandangan-pandangan politik al-Afghânî ditransfer oleh Muhammad Abduh dalam kuliah-kuliah dan tulisan-tulisannya di surat kabar. 28 Meskipun Muhammad Abduh telah terlibat dalam pemikiran dan aktivitas politik al-Afghânî, namun pada dasarnya ia tidak setuju dengan ide nasionalisme Mesir. Karena itu, Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya menentang penguasa dan parlemen tidak terlibat aktif. Menurutnya, rakyat Mesir belum matang untuk kehidupan parlemen. Namun setelah gerakan Urabi Pasya berubah arah untuk perlawanan terhadap Barat, ia melibatkan diri dalam gerakan itu dan akhirnya ia pun dipenjarakan selama tiga bulan.29

Periode Puncak Karir (1822-1905 M) Kesan keterlibatan Muhammad Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati Khedewi Taufik. Permohonan Muhammad Abduh untuk mengajar di Dâr al-’Ulûm ditolaknya. Ia menawarkan kepada Muhammad Abduh jabatan hakim di luar kota Kairo, karena jabatan ini dianggap Khedewi tidak dapat menjadi sarana ampuh bagi penyebaran pikiran politik Abduh.30 Tetapi, berbagai jabatan yang diemban oleh Muhammad Abduh dibuatnya menjadi sarana untuk pembaharuan. Ada tiga sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum, dan wakaf. Pembaharuan dalam bidang pendidikan ia pusatkan di Universitas al-Azhar. Kedudukan Abduh sebagai wakil pemerintah Mesir dalam dewan pimpinan Universitas al-Azhar yang dibentuk atas usulnya dimanfaatkan untuk mengadakan pembaharuan pendidikan Universitas al-Azhar, yang tidak hanya menyangkut sistem pengajaran seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan guru, tetapi juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.31 Pada tahun 1899, Abduh diangkat menjadi mufti menggantikan Syekh Hasunah al-Nadawî. Kesempatan ini ia gunakan untuk melakukan pembaharuan dalam bidang

Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 15-16. Thahir al-Thanahî, Muzakkirat (Kairo: Dâr al-Hilâl, t.t.), h. 124. Lihat juga Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 16-17. 30 Lihat Rasyid Ridha, Târikh al-Syaikh Muhammad Abduh (Mesir: Dâr al-Manâr, 1931), h. 392 dan 398. Lihat juga ‘Abd al-Muta’al al-Sha’idî, Al-Mujaddidûna fî al-Islâm: Min al-Qarni al-Awwâl ila al-Qorni al-Rabi’ ‘Asyar (Kairo: Maktabah Adab, t.t.), h. 400-403. 31 Arbiyah, “Muhammad Abduh,” h. 117. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VII, h. 488-490. 28 29

246


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

hukum. Usahanya yang pertama adalah merubah pandangan masyarakat tentang mufti yang ditunjuk negara sebagai penasihat hukum bagi kepentingan negara. Ia memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk menggunakan jasanya. 32 Pada tahun 1892, Abduh mendirikan organisasi sosial Jami’at al-Khairiyat alIslâmiyyat untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yang tidak mampu dibiayai orang tuanya. Ide ini timbul atas aspirasi pengalamannya di Eropa. 33 Wakaf merupakan salah satu institusi penting karena merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu. Karena administrasi wakaf saat itu tidak tertib, maka Abduh membentuk Majlis Administrasi Wakaf dan ia duduk sebagai salah satu anggotanya. Dalam kedudukannya sebagai anggota Majlis Administrasi Wakaf, ia berhasil mengadakan perbaikan-perbaikan masjid. Pada tanggal 11 Juli 1905, Abduh meninggal dunia. 34

Filsafat Manusia Menurut Muhammad Abduh Untuk membangun konsep pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh, tulisan ini akan menggali dari pemikiran filsafatnya tentang manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Berdasarkan Q.S. al-’Alaq/96: 2, menurut Abduh, pada masa janin, hari-hari pertama, proses manusia dimulai berupa darah yang beku (al-‘alaq). Tidak ada yang mampu menciptakan dari segumpal darah yang beku itu menjadi seorang manusia yang dapat berbicara.35 Dengan ilmu-Nya, Allah dapat dengan mudah melakukannya, karena Dia Maha Kuasa untuk mencipta. Ia Pencipta alam semesta dan segala isinya dengan keteraturan yang menakjubkan. Semua isi langit dan bumi diciptakan untuk manusia dan sebab itulah manusia adalah ciptaan Allah SWT. yang terakhir. Proses penciptaan manusia yang sudah termaktub dalam al-Qur’an sekaligus pengingkaran terhadap teori evolusi pada masa filsafat zaman Yunani kuno dan teori evolusinya Darwin pada abad ke-19. Muhammad Abduh tentu bukanlah orang yang pertama kali menafsirkannya. Pandangan orisinilnya barangkali bisa dilihat dari uraian berikutnya, ketika menafsirkan Q.S al-Tîn/65: 4.

       Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia adalah makhluk yang paling serasi

Rasyid Ridha, Târikh, h. 429. Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Manâr, jilid VIII, h. 467-468. Rasyid Ridha, Târikh, h. 429. 34 Ahmad Amîn, Zu’amâ al-Ishlâh, h. 353. 35 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1994), h. 37. 32

33

247


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 dan memiliki kepribadian yang paling sempurna. Manusia sempurna bukan saja dari segi fisik yang terdiri atas panca indera dan seluruh anggota tubuhnya, tetapi lebih dari itu, manusia makhluk yang sempurna yang dapat berpikir untuk berkreasi dan dengan kreasinya ia bisa menjadi makhluk yang taat dan bijaksana kepada Allah. Uraian yang menarik dari Abduh tentang manusia, pendapatnya tentang makhluk yang paling serasi dan memiliki kepribadian paling sempurna. Jelas Abduh melihat manusia dari potensi yang positif. Tafsiran potensi positif yang dimaksud Abduh adalah potensi akal. Potensi positif itu ternyata tidak semua diaktuskan oleh semua manusia. Sebagian mereka berbuat sama seperti binatang, melakukan apa yang dilakukan oleh binatang tanpa ada rasa malu yang mencegah kehormatan diri yang mengekang. Lebih-lebih lagi, sebagian orang menyatakan bahwa manusia tercipta dalam keadaan cenderung pada kejahatan. Di sinilah, Allah menegaskan bahwa Dia telah menciptakan manusia dengan fitrah yang sebaik-baiknya, baik jiwa maupun fisik.36 Allah memuliakan manusia dengan akal yang dengannya mereka mampu menjadi pemimpin bagi seluruh alam duniawi. Dengan akal itu pula, mereka mampu menyaksikan apa saja yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dari keterangan Muhammad Abduh tentang salah satu proses penciptaan manusia (al-’alaq) di atas dan kedudukan manusia yang paling sempurna di antara makhluk lain (ahsan taqwîm), jelaslah bahwa manusia makhluk yang paling sempurna, karena keunggulan roh (rûh) yang terdiri dari akal dan jiwa. Dengan kata lain, manusia tercipta dari bahan materi dan imateri seperti yang dikatakan Harun Nasution atau jasad dan ruh seperti yang dikatakan Fazlur Rahman. Dengan akal dan jiwa inilah manusia dapat tumbuh dan berkembang sehingga bisa melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi. 37 Menurut Muhammad Abduh, dalam keaslian fitrahnya, manusia adalah makhluk yang jauh dari egoisme, dengan hati yang peka dalam berkasih sayang, sebagaimana yang dapat disaksikan pada diri anak-anak yang tidak berdosa, mereka hidup penuh kebahagiaan. Demikian juga anggota masyarakat hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Tetapi sayang, hal itu hanya berlangsung di masa-masa tertentu saja seperti di masa kehidupannya yang pertama. Keadaan manusia sesungguhnya mirip dengan buah Tîn yang dapat dimakan semuanya, tidak ada sedikit pun yang harus dibuang. 38

36

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV (Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 270.

Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), h. 26. Senada dengan Fazlur Rahman, Abbas Mahmud ‘Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin berbeda atau terpisah. Abbas Mahmud Aqqad, Manusia Diungkap al-Qur’an, cet. 3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 32. 37

Lihat Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1999), h. 37. Unsur manusia yang terdiri dari jasad dan roh telah dipahami para filosof Yunani, Kristen dan Hindu sebagai suatu substansi yang berbeda dan bertentangan. Pendapat itu tidak didukung oleh al-Qur’an 38

248


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Muhammad Abduh berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah bibit unggul yang baik, memiliki sifat-sifat ilâhiyah yang diimplementasikan dalam nilai-nilai kemanusiaan. Kemuliaan ini tentu berlandaskan kepada daya rasa manusia. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, jiwa manusia tidak stabil lagi. Ketidakstabilan jiwa inilah yang menyebabkan manusia menjadi tidak mulia.

Filsafat Masyarakat Menurut Muhammad Abduh Muhammad Abduh mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk bermasyarakat.39 Sifat bermasyarakat, kata Muhammad Abduh, tidak diberikan oleh Allah pada lebah dan semut. Allah memberikan akal kepada manusia untuk dapat bermasyarakat.40 Bermasyarakat yang dimaksud Abduh berakal dan dengan akalnya ia berkreasi secara dinamis. Kalau dilihat dari cara hidup lebah, mereka hidup tidak egois, tetapi mereka hidup bermasyarakat dan, kata Harun Yahya, mereka memiliki organisasi luar biasa. Pertama kali datangnya Islam, masyarakat Makkah ketika itu berada pada zaman Jahiliyah yang tidak bermoral. Mereka menyembah berhala-berhala, suatu perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Mereka berperilaku buruk menuju yang lebih buruk lagi. Di Makkah, ketika itu manusia berbuat jelek menuju yang lebih jelek lagi. Allah ingin merubah masyarakat yang tidak bermoral itu dengan mendatangkan Nabi Muhammad SAW. Ia membawa petunjuk dan agama yang benar. Dalam merubah perilaku jahiliyah manusia, Islam datang dengan cara-cara yang “keras”. Agama yang dibawa Muhammad SAW. memadukan urusan agama dan urusan duniawi, baik dalam syariat maupun caranya. Tujuan Islam adalah menyatukan alam bumi dan alam langit untuk bermasyarakat. 41 Masyarakat Muslim membangun penghambaan yang Esa, ketaatan yang Esa, bukan ketaatan kepada para penguasa atau ke manusia lainnya.42 Ketika penghambaan menyatu kepada Allah, maka derajat manusia kembali meningkat dan keadilan mulai ditegakkan. Dengan membangun masyarakat yang bertauhid Islam dapat membangun masyarakat yang besar, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi persamaan derajat. Masyarakat Muslim dengan segala usahanya membangun masyarakat yang diidam-idamkan oleh orang banyak. 43 meskipun masa ortodoksi Islam belakangan karena pengaruh al-Ghazâlî mendukung pendapat itu. Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, h. 26. Senada dengan Fazlur Rahman. Abbas Mahmud al-Aqqad mengatakan bahwa roh dan jasad adalah dua esensi pokok dan dengan keduanya manusia hidup, yang satu dengan yang lain tidak mungkin berbeda atau terpisah. ‘Aqqad, Manusia Diungkap al-Qur’an, h. 32. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz I, h. 63. Ibid. 41 ‘Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1977), h. 46. 42 Lihat kandungan Surat al-lkhlas dalam Muhammad Abduh, Juz ‘Amma. 43 Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Qarni al-Râbi’ al-Hijri (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 46. 39 40

249


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa Muhammad Abduh melihat manusia wajib bermasyarakat. Dalam bermasyarakat, ada misi-misi yang diperjuangkan agar hidup dapat tenteram dan aman, yaitu penegakan keadilan, persamaan derajat, yang pada gilirannya penghambaan hanya kepada Tuhan. 44 Islam membangun masyarakat yang berlandaskan kebersamaan. Islam menentukan prinsip-prinsip kerjasama dari segala unsur dan bentuk. Ada aturan kerjasama individual, kerjasama individu dengan keluarganya, kerjasama individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan suku dengan suku. Kerjasama individual membuat manusia tidak berbuat sewenang-wenang. Semua orang mendapatkan apa yang mereka perbuat sesuai dengan usaha mereka. Kerjasama individu dengan kelompok mengikuti aturan-aturan sebagai berikut: 45 1. Amal Kebajikan. Perbuatan yang baik adalah ibadah kepada Allah karena hasil perbuatan yang khusus adalah milik kelompok. 2. Hendaknya individu-individu bekerjasama dengan kelompok masyarakat untuk kepentingan orang banyak dengan batasan-batasan yang baik (al-birr wa al- ma’rûf). 3. Setiap orang bertanggung-jawab terhadap urusan kebaikan. Jika tidak, maka ia berbuat dosa dan seakan-akan setiap individu dibebankan untuk menghilangkan kemungkaran-kemungkaran yang mereka lihat. Setiap individu yang melihat kemungkaran dan membiarkannya, maka ia akan mendapat hukuman. 4. Setiap individu bertanggung-jawab untuk menjaga kepentingan masyarakat seakanakan ia menjadi penjaga kepentingan masyarakat dan beban itu diwakilkan kepadanya. Kewajiban-kewajiban kelompok terhadap individu antara lain: 46 1. Sesungguhnya masyarakat bertanggungjawab atas masyarakat yang lemah. Menjaga kepentingan masyarakat miskin baik laki-laki, perempuan, maupun orang tua. 2. Masyarakat bertanggung-jawab atas orang-orang fakir. Mereka memberi sebagian harta mereka untuk keperluan masyarakat yang fakir. Mereka kaum yang lapar mungkin merupakan azab Tuhan. 3. Masyarakat wajib menjaga kebersaman dengan ikatan iman kepada Allah dan rasulNya Muhammad SAW. Jika mereka berselisih, maka kembalikanlah hukumnya kepada Allah dan rasul-Nya. 4. Adapun yang memimpin masyarakat Islam harus berdasarkan syariat Allah dengan tetap menjaga keadilan. Prinsip-prinsip kepemilikan baik individu dan kelompok adalah: 1. Setiap individu bekerja untuk hartanya. Sesungguhnya secara umum kepemilikan 44 45

Lihat Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, h. 54. ‘Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah, h. 47. Lihat juga Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid I. h. 369.

250


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

adalah milik masyarakat. Masyarakat juga bertanggungjawab kepada Allah tentang kepemilikan itu.47 2. Tidak ada individu yang dibolehkan untuk memonopoli harta atau barang tanpa diikutsertakan orang lain, agar harta itu berputar tidak saja pada orang kaya. 3. Ada harta benda yang tidak boleh dimiliki oleh individu, yaitu air, udara, dan api karena tiga unsur itu sangat penting bagi kehidupan manusia. 4. Bagi setiap orang Muslim memiliki kewajiban atas Muslim lainnya. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan, inilah gambaran masyarakat Islam. Masyarakat yang dibangun atas akidah Islam, syariat Islam, perundang-undangan Islam yang tidak boleh menindas orang lain untuk kepentingan mereka. Masyarakat hendaknya didorong untuk tumbuh dan berkembang. Masyarakat didorong sekuat tenaga agar mereka berhasil dalam menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan demokratis. Masyarakat harus didorong untuk berilmu yang benar dan membukakan bagi mereka kebudayaan dan peradaban yang maju terhadap apa-apa yang benar dan baik. Masyarakat yang diinginkan Islam adalah masyarakat yang jenius mencakup peradaban. Peradaban itu harus menghasilkan jiwa-jiwa yang bermoral baik dalam bidang industri dan perdagangan. Inilah filsafat bermasyarakat menurut Islam. 48 Dalam rangka menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat yang berorientasi pada kemuliaan, menurut Muhammad Abduh, diperlukan pendidikan. Pentingnya pendidikan itu bagi keseimbangan hidup, bagaikan pentingnya dokter untuk menjaga kesehatan badan.49 Untuk mencapai ketenteraman hidup bermasyarakat, para penyelenggara negara yang mengurusi pendidikan hendaknya mengarahkan pendidikan tersebut pada pembinaan akhlak yang baik. Memberi pendidikan akan bahaya perilaku-perilaku yang tercela dan manfaatnya perilaku-perilaku yang terpuji, sehingga manusia menuju kemuliaan dan kesempurnaan bagaikan dokter yang menguasai ilmu tentang perilaku manusia, ilmu tumbuh-tumbuhan dan hewan. Selain itu dokter juga mengetahui penyebab suatu penyakit dan mendiagnosa kualitas suatu penyakit antara yang ringan dan kronis.50 Para rohaniawan dan rohaniawati juga wajib menguasai ilmu-ilmu tentang jiwa, sehingga manusia dapat berkonsultasi untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan batin (al-rûh).51 Selain itu rohaniawan dan rohawaniawati Ibid, h. 48. Lihat kandungan Q.S. al-Hadîd/57: 6. 48 ‘Abd al-Hasan, Al-Tarbiyah, h. 49-50. 49 Ibid., h. 50. 50 Rasyid Ridha, Tarikh, h. 720. 51 Menurut al-Ghazâlî, nafs atau jiwa itu memiliki beberapa makna, dua di antaranya tempat tumpukan sifat marah dan syahwat. Nafsu dalam arti kedua mempunyai sifat yang 46 47

251


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 juga harus menguasai ilmu-ilmu sosial dan sejarah kebudayaan masyarakat. Mereka juga hendaknya bisa mendiagnosis penyakit jiwa dan bukan meresahkan jiwa. Dari uraian tentang masyarakat di atas jelas bahwa Muhammad Abduh memiliki pemikiran akan pentingnya kehidupan bermasyarakat dan tidak bisa hidup menyendiri. Bermasyarakat bagi manusia adalah kebutuhan hidup. Dalam teori bermasyarakat, sepertinya Muhammad Abduh lebih dekat dengan teori integralistik dari pada teori organisme dan atomistik.

Filsafat Ilmu Pengetahuan Menurut Muhammad Abduh Abdurrahman Saleh mengatakan bahwa kata ilm dalam al-Qur’an salah satu istilah yang menunjukkan pada pengetahuan. Rosenthal mencatat frekuensi munculnya ushlûb kata ‘alima’ dipertimbangkan dengan segala kecermatannya. Pentingnya ilmu pengetahuan juga ditemukan dalam al-Qur’an. Ayat-ayat ini beriring untuk menunjukkan peranan pentingnya ilmu pengetahuan yang bisa membuat seseorang mencapai derajat yang tinggi. Ibn Mas’ud mengatakan bahwa orang yang diberikan ilmu mempunyai derajat yang tinggi daripada orang yang mempunyai iman tapi tidak berilmu. 52 Menurut pandangan al-Qur’an, seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama, ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa usaha manusia dan kemudian disebut ilmu laduni.53 Kedua, ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia dan kemudian disebut ilmu kasb. Menurut Quraish Shihab,54 ayat-ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa ilmu kasb lebih banyak jumlahnya dari pada ilmu laduni.55 Dalam pembahasan ini, ilmu yang dibicarakan adalah ilmu kasb.

beraneka ragam sesuai dengan keadaannya, nafs muthmainnah ketika nafs itu tenang terhindar dari gangguan syahwat, nafs al-ammarah bi al-su jika nafs itu pada syahwat, dan nafs lawwamah, jika nafs itu selalu menentang nafs syahwat sehingga ketenangan nafs tidak sempurna. Lihat al-Ghazâlî, Keajaiban Hati, terj. Tim Penerjemah Tintamas (Jakarta: Tintamas, 1984), h. 34. Roh juga memiliki dua arti, roh jenis yang halus bersumber dari rongga hati jasmani dan roh yang halus pada manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian. Roh dalam artinya yang kedua inilah yang terkandung dalam ayat “qul al-rûh min amri rabbî”. Ibid., h. 2-3. Menurut Quraish Shihab, nafs terkadang diartikan totalitas manusia yang menghasilkan tingkah laku manusia. Terkadang nafs diartikan untuk menunjukkan diri Tuhan seperti (Q.S. al-An’âm/6: 12). Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 285-286. 52 Lihat Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, terj. M. Arifin dan Zainuddin, cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 89-90. 53 Mengenai ilmu laduni ini terkandung dalam Q.S. al-Kahf/18: 65. 54 Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Selawesi Selatan, 16 Februari 1994. Ia memperoleh gelar Doktor di Universitas al-Azhar dengan yudisium summa cum laude tahun 1982. 55 Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 435-436; Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid III, h. 119.

252


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Ilmu pengetahuan ditinjau dari epistemologinya menurut Muhammad Abduh terbagi dua, akal dan wahyu. Akal digunakan untuk memahami wahyu dan meminta konfirmasi kepada wahyu untuk memperkuat pendapatnya (dari akal). Sementara wahyu selain memberi informasi dan memperkuat pendapat akal, ia (wahyu) juga berfungsi untuk meluruskan pemikiran akal yang salah. 56

Akal Keharusan berpikir bukan saja naluri kemanusiaan, tetapi terdapat juga perintah dalam al-Qur’an untuk mendorong berpikir dan melarang manusia untuk bertaklid. 57 Ayat-ayat al-Qur’an menyebut sifat-sifat Tuhan, kata Muhammad Abduh, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu saja. 58 Falsafah wujud menurut Muhammad Abduh bukanlah bersumber dari wahyu saja tetapi juga akal. Akal, dengan kekuatan yang ada pada dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang tuhan dan wahyu. Muhammad Abduh, kata Harun Nasution, kelihatannya penganut falsafah emanasi yang mengatakan bahwa jiwa manusia dapat mengadakan komunikasi dengan alam abstrak (intelliggibles).59 Allah, menurut Muhammad Abduh, memilih manusia tertentu yang jiwanya mencapai puncak kesempurnaan, sehingga mereka dapat menerima pancaran ilmu yang disinarkan-Nya.60 Di tempat lain, Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada jiwa-jiwa manusia yang begitu suci sehingga mereka dapat menerima limpahan cahaya-Nya (al-fâidh al-ilâhi). Jiwa-jiwa yang suci itu dapat sampai mengetahui Tuhan. 61 Kualitas akal yang dianugrahkan Allah kepada manusia, menurut Muhammad Abduh, tidak sama. Mereka yang dianugerahkan oleh Allah akal yang berkualitas tinggi62 disebut kaum khawas, sedangkan yang memiliki kualitas rendah63 disebut kaum ’awam. Pendapat ini didasarkan Abduh pada Q.S. al-Baqarah/2: 164, yang berbunyi:

                                   Lihat Harun Nasution,  Muhammad 33, juga  Abduh,  h. 38,  dan 44.  Baca   kembali  Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, juz I, h. 63-64. 57 Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd (Kairo: Dâr al-Manâr, 1366 H.), h. 23. 58 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 44. 59 Ibid., h. 6. 60 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 93. 61 Ibid., h. 111. 62 Yang dimaksud akal berkualitas tinggi menurut Muhammad Abduh adalah mereka yang sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 34. 63 Yang dimaksud akal berkualitas rendah menurut Muhammad Abduh adalah mereka 56

253


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010                                            

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. al-Baqarah/2: 164) Muhammad Abduh menafsirkan kalimat laâyat liqaum ya’qilûn mereka yang mengetahui sebab-sebab gejala alam, mereka tahu hukum sebab-akibat dan rahasia di balik kejadian itu. Mereka bisa membedakan yang bermanfaat dan yang berbahaya, mereka juga berargumentasi pada teori-teori hukum alam (sunnah Allâh).64 Ayat ini menunjukkan golongan kaum khawas sebagaimana ia maksud. Di lain tempat Allah berfirman:

         Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishash itu, hai orang-orang yang berakal, mudah-mudahan kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah/2: 179) Kembali lagi kata “ûlu al-bâb” diartikan Muhammad Abduh sebagai mereka yang mempunyai akal yang sempurna. Ayat ini juga menunjukkan golongan kaum khawas.65 Muhammad Abduh juga mengartikan “ûlu al-bâb” barang siapa yang memiliki esensi (lub) dan akal.66 Hanya sedikit manusia pilihan Tuhan yang pandangannya tajam dan sempurna. Mereka yang dimaksud selain nabi. 67 Perbedaan daya akal ini, menurut Muhammad Abduh, disebabkan bukan hanya oleh perbedaan pendidikan, tetapi juga terutama perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak dan kekuasan manusia. 68 Dari uraian Muhammad Abduh tentang daya akal manusia yang bervariasi itu, kelihatannya ia penganut teori konvergensi yang mempercayai dan menghargai fitrah bawaan sejak lahir dan juga tidak menolak peran pendidikan. Namun sejauh mana yang tidak sampai untuk mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya. Baca Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77; Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 34. 64 Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II (Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H), h. 63-64. 65 Ibid., h. 133. 66 Ibid., h. 229. 67 Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 77. 68 Ibid., h. 110.

254


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

kecenderungan Muhammad Abduh pada teori Nativisme dan Empirisme lebih lanjut tidak diketahui. Dari kalimat, “terutama oleh perbedaan pembawaan alami…” dapat dipahami bahwa ia lebih condong pada teori Nativisme. Namun satu hal yang pasti, ia sangat apresiatif terhadap kerja akal. Dengan demikian kelihatannya ia lebih condong pada Empirisme, hanya saja dalam mengetahui Tuhan dan alam abstrak lainnya mungkin ia condong pada teori Nativisme. Dalam kata lain, pemikiran Konvergensi Muhammad Abduh tentang daya akal lebih banyak dipengaruhi oleh teori Empirisme.

Wahyu Muhammad Abduh mendeskripsikan bagaimana bahasa al-Qur’an atau wahyu berkembang sesuai dengan perkembangan akal manusia. Menurutnya, manusia itu pada mulanya kecil, lalu menjadi dewasa. Demikian juga, Allah bagaikan orang tua bagi anak-anaknya. Umat terdahulu masih anak-anak, sehingga perintah pun mutlak dikerjakan, larangan keras harus ditinggalkannya, sehingga setelah dewasa manusia ini, Tuhan pun berbicara dengan akal. 69 Umat manusia ketika Islam datang sudah menjadi dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Karena itulah kita tidak sulit mendapatkan bagaimana al-Qur’an berbicara bukan saja pada perasaan manusia, tetapi pada akal mereka. Demikian juga nabi berbicara dengan akal bahkan menjadikan akal sebagai hakim antara yang benar dan yang salah.70 Kualitas akal manusia ada yang tinggi derajatnya dan ada yang rendah, kemudian orang-orangnya disebut kaum khawas dan kaum awam. Sungguh pun akal kaum khawas mempunyai daya yang kuat, tetapi akal mereka tidak dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya tentang Tuhan dan alam gaib.71 Sifat-sifat Tuhan seperti berbicara, melihat, dan mendengar yang kemudian disebutkan oleh Muhammad Abduh sifat-sifat yang wajib bagi-Nya tidak dapat diketahui oleh akal.72 Manusia dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan hanya dari wahyu. Selain itu, akal juga tidak dapat mengetahui hakikat hidup di alam gaib nanti. Secara rinci, akal tidak mengetahui kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti. Lebih lanjut, Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui cara menghitung perbuatan baik dan buruk di akhirat nanti.73 Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka manusia membutuhkan wahyu untuk membantunya 69 70

Ibid., h. 148. Ibid., h. 143.

Muhammad Abduh tidak memiliki katagori gaib sebagaimana Murthadha Muthahhari yang membagi gaib menjadi dua juga, yaitu gaib relatif, dan gaib yang absolut. Gaib yang absolut itulah esensi Tuhan, sedangkan gaib relatif adalah tersembunyi, karena terhalang tempat maupun waktu. Rasulullah bagi kita sekarang gaib, padahal dahulu bagi Abu Bakar tidak gaib, itu karena persoalan waktu. Mulyadi Kertanegara, Nalar Religius (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 101. 71

72 73

Ibid., h. 44-47. Ibid., h. 77.

255


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 memperoleh pengetahuan lebih luas tentang Tuhan dan masa depannya di alam gaib nanti.74 Sebagai konsekuensi pembagian manusia menurut kualitas akal pada kaum khawas dan ’awam, Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan ada juga wahyu yang ditujukan untuk kaum awam.75 Hanya saja Muhammad Abduh mengatakan bahwa, agar para nabi berhasil dalam dakwah, mereka harus berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti umat mereka masingmasing, karena mayoritas tiap-tiap umat terdiri dari kaum awam. Karena itu, bahasa dakwah para nabi harus dapat dipahami oleh kaum awam dan kaum khawas.76 Meskipun kaum khawas memiliki kualitas akal yang tinggi, tetapi tidak semua bahasa kaum awam dapat dimengerti oleh mereka. Ada ucapan-ucapan para nabi yang ditujukan untuk kaum awam. Kaum khawas tidak mengerti ucapan-ucapan itu kecuali setelah melalui proses interpretasi.77 Menurut Harun Nasution, kelihatannya maksud dari ucapan-ucapan yang dapat dipahami oleh kaum awam, tetapi belum dapat dipahami kaum khawas kecuali setelah proses interpretasi itu, sifat-sifat jasmani Tuhan dan wahyu tentang kehidupan kelak di alam gaib.78 Ada juga firman Tuhan yang tidak mampu dipahami oleh kaum awam kecuali setelah adanya penjelasan panjang lebar yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sementara kaum khawas dapat menangkap maksud firman itu. Wahyu semacam ini, menurut Muhammad Abduh ditujukan kepada kaum khawas.79 Menurut Harun Nasution, firman Tuhan yang dimaksud itu ialah tanda-tanda Tuhan yang terdapat di alam, seperti matahari, bulan, planet-planet, serta gerak masing-masing yang bersifat tetap itu.80 Tujuan tanda-tanda itu menurut Muhammad Abduh untuk menarik perhatian orang pada rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya dan hikmah penciptaannya.81 Baik wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas maupun wahyu yang ditujukan untuk kaum awam jumlahnya hanya sedikit.82 Selain kedua wahyu yang jumlahnya sedikit itu, menurut Muhammad Abduh ada wahyu bentuk ketiga. Wahyu itu adalah sebagian Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 36. Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123. Sayang, Muhammad Abduh tidak menjelaskan secara rinci tentang pembagian wahyu ini dan ia juga tidak memberi contohcontohnya. 76 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 36. 77 Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 123. 78 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 36. Lihat juga Muhammad Abduh, Risâlah alTauhîd, h. 202-203. 79 Ibid., h. 123. 80 Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 37. 81 Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, h. 122. 82 Ibid., h. 123. 74 75

256


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

besar dari ayat-ayat al-Qur’an. Yang dimaksud dengan wahyu yang ketiga ini menurut Harun Nasution, antara lain ayat-ayat yang mengandung perintah kepada manusia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan dan alam sekitarnya. 83 Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh ada tiga macam wahyu: 84 1. Wahyu yang ditujukan untuk kaum khawas dan awam. Wahyu itu sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an. 2. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum awam. Jumlah wahyu ini dalam al-Qur’an hanya sedikit. 3. Wahyu yang ditujukan khusus untuk kaum khawas. Jumlah wahyu ini dalam alQur’an paling sedikit. Di antara dua sumber ilmu di atas, akal dan wahyu, apakah keduanya bertentangan? Menurut Muhammad Abduh bahwa antara wahyu dan akal tidak mungkin ada pertentangan. Benar bahwa akal harus percaya kepada semua apa yang dibawa wahyu dan mungkin ada di antaranya yang tidak bisa diketahui hakikatnya. Begitu pun akal tidak wajib menerima apa yang mustahil, seperti bersatunya dua ayat yang bertentangan atau adanya dua yang berlawanan di satu tempat pada waktu yang sama, karena agama suci dari hal-hal yang serupa itu. Jika wahyu membawa sesuatu yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, demikian ia lebih lanjut menjelaskan, wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiah, akal kemudian mempunyai kebebasan memberi interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud sebenarnya dari wahyu bersangkutan kepada Allah.

Filsafat Akhlak85 Ilmu akhlak, menurut Muhammad Abduh, adalah ilmu yang membahas keutamaankeutamaan dan cara mendidik manusia agar dapat memperolehnya. Selain itu, ilmu ini juga membahas tentang perilaku-perilaku tercela dan cara mendidik manusia untuk berhenti melakukannya.86 Menurut Abduh, ilmu akhlak yang sangat penting ini ada dalam al-Qur’an, Hadis, riwayat dari sahabat dan tabi’în. Tiga sumber ini dengan panjang lebar banyak membahas 83 84

Ibid., h. 190-200. Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 37-38.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘akhlak’ diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Meskipun akhlak diambil dari bahasa Arab, namun kata itu tidak ada dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an hanya ada kata “khuluq”. Kata “khuluq” ada dalam Q.S. alQalam/68: 4. Kata “akhlak” ditemukan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Malik yang berbunyi innamâ bu’itstu li utammima makârim alakhlâq. Artinya “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 253. 85

86

Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 41.

257


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 ilmu akhlak. Dalam bidang akhlak, Abduh sangat terkesan dengan ucapan sahabat Umar bin Khattab tentang kehidupan berkeluarga. Umar mengatakan bahwa ada seorang istri yang dengan terus terang mengatakan kepada suaminya bahwa ia tidak suka (cinta) sama suaminya. Kemudian Umar bin Khattab mengatakan, “jika ada di antara kalian (istriistri) yang tidak menyukai laki-laki (suami), maka kalian jangan perhitungkannya lagi (tidak berterus terang, sehingga suami sakit hati), karena kehidupan rumah tangga sedikit sekali yang dibangun atas dasar kasih sayang. Sesungguhnya manusia paling berkesan dengan posisi dan akhlak.87 Kalimat tersebut menurut Muhammad Abduh tidak akan keluar dengan indah kecuali dari mulut orang yang bijaksana, di mana pada dirinya telah meresap ilmu akhlak dan ilmu sosial.88 Dari definisi akhlak dan ungkapan Umar bin Khattab dapatlah disimpulkan bahwa ilmu akhlak menurut Abduh adalah ilmu yang membahas perilaku baik dan buruk. Dipelajarinya ilmu tentang perilaku yang baik untuk dapat ditauladani. Dipelajarinya ilmu perilaku tentang yang buruk untuk dapat menghindarinya. Dalam hidup ini, manusia berbuat harus penuh perhitungan dan berdasarkan ajaran Islam. Akhlak juga menurut Muhammad Abduh bersumber dari al-Qur’an, Hadis, dan perkataan para sahabat dan tabi’în.89 Muhammad Abduh lahir dan tumbuh dewasa sampai ia meninggal dalam keadaan yang kurang membahagiakan di mana merajalelanya taklid dan khurafat. Sikap khurafat ini tentu mengandung kebejatan moral (akhlak). Karena itulah, maka ia tidak banyak mengungkapkan konsep akhlak, tetapi dalam karya-karyanya termasuk karya tafsirnya ia sering menyebut “akhlak”. Untuk menelusuri pemikirannya tentang akhlak, akan diteliti tulisan-tulisannya yang berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap akhlak. Guna melengkapi pemahaman terhadap pemikirannya tentang akhlak, di antaranya akan ditelusuri tafsiran Abduh tentang kata-kata dalam al-Qur’an yang berarti kebaikan atau yang serupa dengannya. Kata-kata itu ialah al-khair, al-ma’rûf, dan al-birr-al-hasan. Selain itu, akan dilihat penafsirannya tentang sifat-sifat Rasulullah SAW. yaitu shiddîq, amânah, tablîg, dan fathânah. Terakhir, ditelusuri konsep akhlak yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam Q.S. al-Nisâ‘/4: 5, Allah SWT. berfirman:

                 Janganlah kamu berikan harta-harta orang bodoh kepadanya, sedangkan Allah menjadikan kamu untuk memeliharanya dan berikanlah belanja dan pakaian untuk mereka daripada hartanya itu, serta katakanlah kepadanya perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ‘/4: 5).

Ibid. Ibid., h. 41-42. 89 Menurut Muhammad Abduh bahwa manusia berpeluang untuk menjadi baik dan buruk, tetapi ia lebih potensial untuk menjadi baik. Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 61. 87 88

258


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Muhammad Abduh menafsirkan al-ma’rûf apa-apa yang diketahui oleh jiwa-jiwa yang mulia (al-nufûs al-karîmah). Yang baik (al-ma’rûf) lawannya mungkar (al-munkar). Kebaikan juga meliputi kebaikan-kebaikan hati. 90 Dalam Q.S. al-Nisâ‘/4: 8, Allah SWT. berfirman:

              Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib-karib (yang diada mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang-orang miskin, berilah mereka itu sekedarnya dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik. (Q.S. al-Nisâ/4: 8) Muhammad Abduh menafsirkan al-ma’rûf dalam ayat ini apa-apa yang membuat jiwa-jiwa orang yang membutuhkan menjadi tenang tetapi ia tidak berat melakukannya. Kebaikan juga termasuk meridhai apa-apa yang diberikan oleh pemberi (Allah). 91 Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 177, kebaikan dengan kata “al-birr” ditafsirkan oleh Muhammad Abduh bahwa secara bahasa berarti kebaikan yang luas “al-tawâssu’ fî alkhair,” luasnya kebaikan itu bagaikan laut. Secara terminologi, al-birr apa-apa yang mendekatkan seseorang kepada Allah yang terdiri dari iman, akhlak, dan amal shaleh.92 Dalam menafsirkan ayat ini juga ia mengutip surah al-Ahzâb/33: 21.

                  Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh mengatakan “Hendaknya kamu berakhlak dengan akhlaknya para nabi”. 93 Yang menarik lagi ia mengatakan bahwa mengeluarkan zakat adalah termasuk rukun kebaikan (al-birr)”.94 Ketika menafsirkan Q.S. al-Nisâ’/4: 35, Abduh mendefinisikan akhlak suatu kebaikan dalam bermu’amalah dengan Allah dan bermu’amalah dengan makhluk lain.95 Lebih lanjut, Muhammad Abduh mengatakan bahwa meskipun dalam ayat ini membahas hubungan keluarga, tetapi Allah menginginkan perintah kebaikan (ihsân) secara umum, yaitu hubungan baik antar sesama manusia. Perbuatan baik itu dijadikan suatu kebiasaan Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 385. Ibid., h. 396-397. 92 Lihat Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, h. 110-111. 93 Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid II, Ibid., h. 114-115. 94 Ibid., h. 115. 95 Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 81-82. 90 91

259


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 seperti ibadah. Akhlak itu bagaikan petani yang menanam sawahnya untuk kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yang dimaksud ibadah di sini bukan saja tentang tauhid tetapi ibadah secara umum. 96 Dari definisi akhlak di atas, Muhammad Abduh membagi akhlak kepada dua, akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk. Akhlak kepada makhluk ini dapat dijabarkan menjadi akhlak kepada manusia, akhlak kepada hewan, akhlak kepada tumbuh-tumbuhan, dan akhlak kepada benda mati. Apabila dilacak kepribadian Muhammad Abduh, maka akan ditemukan akhlaknya yang mulia dan dikatakan bahwa risalah atau misinya adalah pembaharuan agama berdasarkan akhlak.97 Setelah meninggalkan Universitas al-Azhar, ia menghabiskan waktunya untuk memperhatikan masalah akhlak dan perbuatan masyarakat. Indikasi ini bisa dilihat dari aktivitasnya ketika ia dibuang ke Beirut dan kemudian ke Eropa. Di Eropa, ia dan Jamal al-Dîn al-Afghânî mendirikan al-‘Urwah al-Wutsqâ (suatu organisasi surat kabar), di mana setiap langkah mereka berorientasi pada peningkatan akhlak. 98 Gerakan pembaharuan agama yang dilaksanakan Abduh berawal dari perbaikan akidah dan pada gilirannya dapat memperbaiki akhlak manusia yang tercela. Selanjutnya ia mengatakan dengan terus terang “maksud semua gerakan yang saya lakukan dalam membangun masyarakat Islam adalah untuk membenarkan atau meluruskan akidah atau keyakinan kepada Allah.” Menurutnya, jika akidah masyarakat selamat dari khurafat, maka pada gilirannya bersinarlah ilmu-ilmu yang benar, baik ilmu-ilmu dunia maupun ilmu agama, dan perbaikan akhlak. 99 Agama adalah sarana pendidikan akhlak karena tidak perlu lagi dijelaskan lebih lanjut.100 Menurut Muhammad Abduh, agama adalah sarana yang paling efektif dalam membina akhlak, sehingga perbuatan manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka juga akan tenang dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan dapat ditegakkan.101 Muhammad Abduh sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang baik dengan melalui pendidikan prosesnya sangat lambat, tetapi pengaruhnya sangat baik bagi kehidupan masa yang akan datang. Inilah cara Muhammad Abduh dalam menegakkan akhlak yang baik dalam dunia Islam khususnya di Mesir. 102 Ibid., h. 82. Muhammad ‘Imârah, Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîd al-Dîn (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H.), h. 61. 98 Ibid. 99 Ibid., h. 62. 100 Agama yang dimaksud adalah menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk, karena itu wahyu tidak perlu diragukan kebenarannya lagi. 101 Ibid., h. 62. 102 Meskipun Muhammad Abduh dalam menggunakan akalnya mengarang berbagai buku, tetapi ia tetap saja kepribadiannya masih dominan pada akhlak yang mulia. Ibid. 96 97

260


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan akhlak atau tingkah laku yang diharapkan oleh Abduh sesuai dengan doktrin al-Qur’an dan Hadis. Dalam kata lain, bahwa ukuran akhlak itu harus sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Jika ada perilaku baik yang diakui oleh masyarakat tertentu (tradisi) tetapi bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis, maka hendaknya tidak diikuti. Tetapi jika tradisi-tradisi dalam masyarakat itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an, maka perilaku itu dapat dibenarkan.

Penutup Dari uraian di atas, di antaranya dapat disimpulkan bahwa landasan filsafat pendidikan Islam Muhammad Abduh sebagai berikut. Pertama. Muhammad Abduh melihat manusia dari potensi yang positif. Tafsiran potensi positif yang dimaksud Abduh adalah potensi akal. Potensi yang positif itu membuat manusia bisa kreatif dan kreativitasnya bisa menjadikannya makhluk yang taat kepada Allah SWT. Potensi positif itu ternyata tidak semua diaktuskan oleh semua manusia. Sebagian mereka berbuat sama dengan binatang, melakukan apa yang dilakukan oleh binatang tanpa ada rasa malu yang mencegah kehormatan diri mereka. Kedua. Muhammad Abduh memandang bahwa manusia wajib bermasyarakat. Dalam bermasyarakat ada misi-misi yang diperjuangkan agar hidup dapat menjadi tenteram dan aman, yaitu penegakan keadilan, persamaan derajat. Pada gilirannya, penghambaan seorang manusia pun hanya kepada Tuhan saja. Islam membangun masyarakat yang berlandaskan kebersamaan. Islam menentukan prinsip-prinsip kerjasama dari segala unsur dan bentuk. Ketiga. Pemikiran Muhammad Abduh tentang ilmu pengetahuan berhubungan dengan pandangannya tentang akal dan wahyu. Dalam persoalan akal, ia penganut konvergensi yang menggabungkan unsur Nativisme dan Empirisme dengan batasan yang sangat jelas. Sejak dalam kandungan sampai dua tahun umur manusia, masa Nativisme dan setelah dua tahun masa bersinegirnya Nativisme dan Emperisisme. Pada pemahaman inilah Abduh berpendapat bahwa pendidikan sangat dibutuhkan. Keempat. Filsafat akhlak menurut Muhammad Abduh berbicara tentang perilaku baik dan buruk. Akhlak itu bersumber dari al-Qur’an, hadis, dan perkataan para sahabat dan tabi’în. Menurutnya, akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak kepada Allah SWT dan akhlak kepada makhluk. Akhlak kepada makhluk dalam pandangannya tidak terbatas kepada habl min al-nâs, tapi termasuk makhluk hidup lainnya dan juga benda mati.

Pustaka Acuan Abaza, Mona. Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Universitas al-Azhar. Jakarta: LP3ES, 1999. Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz ‘Amma. terj. Muhammad Baqir. cet. 5. Bandung: Mizan, 1999. 261


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Abduh, Muhammad. Risâlah al-Tauhîd. Kairo: Dâr al-Manar, 1366 H. Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran, terj. M. Arifin dan Zainuddin, cet. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Adam, Charles. C. Islam and Modernism in Egypt. New York: Pussel & Russel, 1993. ’Aqqad, ’Abbas Mahmûd. Manusia Diungkap al-Qur’an. cet. 3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Darmu’in. Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Al-Hasan, ’Abd. al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Qarni al-Râbi’ al-Hijri. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997. Al-Hasan, ’Abd. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1977. Hidarah, Muhammad Mushthafa. Min A’lâmî al-Tarbiyah al-Islâmiyah. jilid V. Kairo: Maktabah al-Tarbiyah al-’Arâbî lî al-Dau’ al-Khalijî, 1989. ’Imârah, Muhammad. Al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddidu al-Dunyâ bi Tajdîd al-Dîn. Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H. Kertanegara, Mulyadi. Nalar Religius. Jakarta: Erlangga, 2007. Lubis, Arbiyah. “Muhammad Abduh dan Muhammadiyah.” Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989. Al-Muhtasib, ‘Abd al-Majîd ‘Abd al-Salâm. Tafsir al-Qur’an Kontemporer: Visi dan Paradigma, terj. Moh. Magfur Wachid. Bangil: al-Izzah, 1997. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramdina, 1997. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. cet. 4. Jakarta: Paramadina, 2000. Madjid, Nurcholish. Kaki Langit dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1997. Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1999. Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press, 1987. Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: UIP, 1987. Nawawi, Rif’at Syauqi. “Rasionalitas Tafsir Syaikh Muhammad Abduh.” Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993. Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1996. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid II. Kairo: Dâr al-Manâr, 1365 H. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid IV. Kairo: Dâr al-Manâr. 1365 H. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. jilid VIII. Kairo: Dâr al-Manâr, t.t. Ridha, Muhammad Rasyid. Târikh al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh. Kairo: Dâr alManâr, 1931. Al-Sha’idî, ’Abd al-Muta’al. Al-Mujaddidûna fî al-Islâm: Min al-Qarni al-Awwâl ila al-Qorni al-Rabi’ ‘Asyar. Kairo: Maktabah Adab, t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1994. 262


Sehat Sulthoni Dhalimunthe: Landasan Filsafat Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Shihab, Muhammad Quraish. “Kata Pengantar,” dalam Muhammad Abduh. Tafsîr Juz ‘Amma, terj. Muhammad Baqir, cet. 5. Bandung: Mizan, 1999. Al-Thanahî, Thahîr. Muzakkirat. Kairo: Dâr al-Hilâl, t.t.

263


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

INTEGRASI ICT DALAM PENDIDIKAN ISLAM Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Masa Depan Promadi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Syarif Qosim Riau. Jl. KH. Ahmad 94 Pekanbaru 28129 e-mail:Â promadikarim@hotmail.com

Abstract: Integration of ICT in Islamic Education: An Alternative Approach of Future Learning The importance of the use of information and telecommunication technology in Islamic education is undeniable. The merit of the use of such kind of technology not only because it provides great number of up-to-date collection of information but more importantly this also makes it more accessible, faster and economical. The author traces the historical root of information and communication process in Islam and compares it to the emerging E-education in the last decades. It is argued that E-education will provide more room for optimum use of virtually equipped education facilities which is developing faster than ever predicted. The challenge for the future is that the integration of information and communication technology in Islamic education is not something to be avoided but rather an alternative learning approach which becomes a necessity in the competing professional educators.

Kata Kunci: ICT, E-Learning, Virtual, Multimedia, PAIKEM, Consctructivism

Pendahuluan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau Information and Communication Technology (ICT) dewasa ini digunakan secara global, karena ICT, khususnya internet, menyediakan sejumlah koleksi informasi terkini dengan berbagai variasinya yang dapat diakses secara cepat, mudah dan murah dari ribuan jaringan global yang saling terkoneksi.1 Penggunaan ICT memiliki banyak keunggulan terutama dalam membantu manusia untuk mendapatkan informasi guna menyelesaikan segala urusan dengan efektif dan efisien. Revolusi ini telah menyebar ke semua sektor kehidupan masyarakat,

Budi Sutedjo Dharma Oetomo, Education: Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2002), h. 11. 1

264


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

termasuk dunia pendidikan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa internet adalah motor terbentuknya New Educational System atau yang populer disebut e-Education, eSchool, e-Campus, e-Learning atau e-University. Teknologi internet merupakan jenis media e-Education yang dapat digunakan untuk mengadakan interaksi dua arah secara online. Media ini semakin populer digunakan untuk pengembangan proses pembelajaran, karena selain bersifat interaktif, juga terkoneksi dengan jaringan global, sehingga jangkauan aksesnya tidak terbatas. Teknologi internet telah menyebabkan pola pendidikan tradisional menghadapi tantangan perubahan, karena sejumlah sarana pendidikan berbasis internet telah tercipta, seperti e-Book, e-Magazine, e-Library, Virtual Class atau kelas maya dan sebagainya. Internet telah menawarkan berbagai manfaat pada sektor pendidikan, seperti kecepatan dalam pengkomunikasian bahan ajar, materi yang up to date, adanya fasilitas untuk melangsungkan diskusi kelompok secara virtual, kebebasan memilih waktu, tempat, dan suasana belajar yang dinamis, perhatian terhadap perbedaan individu dan sebagainya. Keefektifan penggunaan ICT dalam dunia pendidikan, tergambar pada peningkatan kualitas pembelajaran. Penggunaan ICT dapat membantu pengajar mengadakan variasi dalam penggunaan metode pembelajaran, sehingga mampu meningkatkan minat belajar. Peningkatan minat belajar diikuti pula oleh peningkatan aktivitas belajar, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sebagai contoh, menjelajahi segala informasi yang tersedia dalam ruang lingkup ICT agar penguasaan bahan pelajaran semakin meningkat, sehingga membantu tercapainya tujuan pembelajaran, yakni untuk menghasilkan out put yang kompetitif. Internet sebagai jaringan universal dengan berbagai aplikasinya memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis teknologi informasi (IT-Based Education). Dengan demikian, akan terbuka peluang bagi lembaga pendidikan untuk memperluas kesempatan belajar bagi siapapun yang memenuhi persyaratan akademis. Dengan menerapkan konsep dasar domain teknologi pengajaran (domain of instructional technology), maka IT-Based Learning merupakan suatu peluang dan sekaligus tantangan bagi lembaga pendidikan untuk memulai mengimplementasikan IT-Based Education.2 Melahirkan sumber daya insani yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang seimbang dari segala aspek bukanlah merupakan persoalan yang mudah, karena untuk mengaktualisasikannya, apalagi di zaman sekarang ini, memerlukan kepakaran, tidak hanya keahlian dalam bidang keilmuan dan pedagogik, tetapi juga dalam pemanfaatan teknologi tepat guna dan teknologi kreatif. Karena integrasi ICT dalam pendidikan dapat memudahkan proses pembelajaran yang akan membawa kepada pencapaian hasil yang maksimal dan sempurna, yaitu terciptanya SDM yang unggul dan kompetitif, maka aplikasi dari integrasi ICT dan pendidikan perlu disosialisasikan. Muhammad Adri, Guru Go Blog: Optimalisasi Blog untuk Pembelajaran (Jakarta: Komputindo, 2008), h. 1. 2

265


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Bagaimanapun, penggunaan internet juga mendapat kritik dan tantangan dari kalangan pendidik Muslim, karena bahayanya yang dapat merusak proses pendidikan sehingga dikhawatirkan akan merusak genarasi Muslim. Salah satu penyebabnya adalah mudahnya bahan-bahan pelajaran dimasuki dan ditumpangi oleh situs-situs pornografi yang berseberangan dengan tujuan pendidikan Islam. Banyak link pendidikan yang sengaja dihubungkan oleh pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan dengan situs-situs non-pendidikan, yang membuat pengguna semakin keasyikan menikmati informasi yang disuguhkan, berselancar dari satu informasi ke informasi berikutya, sehingga melupakan tujuan semula dalam rentang waktu yang sudah dipersiapkan. Dengan menggunakan ICT, terutama internet, berarti membawa anak didik memberi jalan serta peluang kepada mereka untuk mulai mendekati perbuatan zina, padahal itu dilarang Islam. Bila anak didik kerajinan berselancar di internet, dikhawatirkan nilai-nilai pendidikan Islam yang semula ingin dituju, justru malah berbalik arah menjadi semakin terjauhi. Lalu pertanyan yang muncul adalah bisakah ICT diintegrasikan dengan Pendidikan Islam? Bagaimanakah model pengintegrasian ICT dan pendidikan Islam? Apakah integrasi ICT dan Islam merupakan satu kemestian untuk pola pendidikan Islam masa depan? Beberapa aspek yang akan dilihat adalah ICT dalam pendidikan menurut perspektif Islam, peran ICT dalam mengefektifkan pembelajaran, problematika penggunaan ICT dalam pendidikan, dan tanggungjawab pendidik Muslim dalam pengintegrasian ICT dalam pendidikan, serta tantangan masa depan.

ICT dalam Pendidikan Menurut Perspektif Islam Pesan pertama agama Islam yang diajarkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW. melalui malaikat Jibrîl merupakan model awal komunikasi pembelajaran dalam konteks pendidikan Islam. Komunikasi pembelajaran pada tahap ini berlangsung secara manual-tradisional, tanpa sentuhan teknologi kreatif, terutama teknologi komunikasi. Rasulullah Muhammad SAW. berupaya menyimpan informasi yang diterimanya dengan cara menghafalnya, sehingga informasi itu dapat diberikan kembali saat diminta persis sebagaimana ia diterima. Melalui kemampuan daya hafal Muhammad SAW. dan sahabatsahabatnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, sehingga tidak satu pun ayat al-Qur’an yang mengalami distorsi sebagai bukti jaminan Allah tetap memelihara kemurniannya.3 Hal ini dapat menjadi sinyal betapa perlunya bantuan teknologi untuk menyamai kemampuan mereka, khusus bagi umat yang tidak memiliki daya kognitif seperti mereka. Dengan adanya bantuan teknologi, maka proses penghafalan al-Qur’an bisa dipercepat, mudah dan sebagainya. Dalam kajian Psikologi Kognitif, kemampuan ingatan seseorang terbagi kepada tiga jenis yaitu kemampuan menerima, menyimpan dan

3

Q.S. al-Hijr/15: Innâ nahnu nazzalnâ al-dzikra wa innâ lahu lahâfizûn.

266


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

memunculkan kembali informasi. Ingatan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Semakin baik kemampuan ingatan seseorang, maka semakin banyak informasi yang dapat dia terima, simpan, dan munculkan kembali. 4 Dengan bantuan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau ICT, kemampuan menerima, menyimpan, dan memunculkan kembali ini dapat diakselerasi, sehingga lebih efektif dan efisien. Penyimpangan informasi dan pengrusakan selama dalam perjalanan dapat dihindari. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran dapat ditingkatkan. Di sinilah terlihat, betapa Teknologi Informasi dan Komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu manusia mengolah pesan, menyimpan dan memunculkannya kembali saat diminta guna menghindari distorsi dan reduksi semantik. Salah satu bentuk sinyal Teknologi Informasi dan Komunikasi terawal dalam Islam adalah proses saving data dengan cara menghafal ayat-ayat yang diturunkan secara periodik kepada Muhammad SAW. dengan metode manual. Proses ini sebenarnya merupakan sinyal akan kebutuhan TIK yang lebih canggih di kemudian hari, sebagai pengembangan teknik menghafal menggunakan multimedia. Karena komunikasi merupakan pertukaran makna di antara beberapa orang dengan menggunakan sistem tanda yang umum (“the exchange of meanings between individuals through a common system of symbol”), maka paling tidak, kedua belah pihak harus saling mengerti kode yang digunakan, karena komunikasi tidak akan wujud kalau kedua belah pihak saling tidak memahami kode bahasa yang digunakan. Dalam kasus al-Hallâj, perbedaan semantik “Anâ al-Haq” antara al-Hallaj dan kaum Muslim kemungkinan tidak menemukan titik temu, dan differensiasi telah mencatat sejarah duka dalam perkembangan mistik Islam. Melalui Malaikat Jibrîl, proses peleburan bahasa dapat terjadi, sehingga antara Jibrîl dan Rasulullah SAW. terjadi komunikasi, karena Jibrîl menggunakan simbol-simbol dan kode bahasa yang digunakan Rasul. Kemudian Rasulullah SAW. mempresentasikan dan mensosialisasikan ajaran-ajaran Allah melalui bahasanya yang sekaligus bahasa yang dipahami umatnya.5 Ini membuktikan bahwa Allah memang tidak pernah mengutus utusan-Nya kecuali yang menguasai bahasa kaum yang bersangkutan, agar informasi yang diberikan jelas dan komunikatif. 6 Dalam komunikasi, kedua belah pihak harus saling mengerti kode, tiada komunikasi kalau saling tidak memahami kode. Komunikasi yang efektif terjadi apabila kedua belah pihak mengerti tanda dan sistem masing-masing, komunikasi akan sukar terjadi apabila kedua belah pihak menggunakan sistem atau kode (morfologis, sintaksis dan semantik) yang berbeda. Promadi, “Psikologi Kognitif dalam Perspektif Islam: Aplikasinya dalam Pembelajaran Kuantum Untuk Pembentukan Kepribadian Islam,” dalam Khaidzir Hj. Ismail (ed.), Psikologi Islam: Falsafah, Teori dan Aplikasi (Kuala Lumpur: Institut Islam Hadhari UKM, 2009), h. 113. 5 Wamâ arsalnâ min rasûlin illâ bilisâni qoumihi, liyubayyina lahum (Q.S. Ibrâhîm/14: 4). 6 Saya tidak bisa membaca. 4

267


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Ketika Jibrîl meminta Muhammad SAW. membaca pesan pertama Allah yang beliau bawa berbentuk teks, Muhammad SAW. selaku seorang yang tidak pernah mempelajari dan tidak memiliki pengetahuan tentang representasi sinyal-sinyal grafis terhadap fonologis walaupun terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu bagi beliau, menolak untuk membaca dan dengan jujur mengakui keterbatasan pengetahuan kognitifnya dengan mengatakan “Mâ Ana bi Qari’.7 Bahkan sampai tiga kali diminta membaca, beliau tetap saja tidak melakukannya. Penolakan Rasulullah SAW. untuk membaca ternyata membuahkan hasil terhindarnya distorsi komunikasi. Selain itu terciptalah efektifitas komunikasi, karena keefektifan komunikasi ditentukan oleh kemampuan seseorang mengenal tanda-tanda daripada seseorang, mengetahui bagaimana tanda-tanda itu digunakan dan memahami maksudnya.8 Meskipun al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, akan tetapi apabila seseorang tidak mengerti simbol-simbol grafis yang merepresentasikan fonologisnya, maka tidak akan terjadi komunikasi. Setelah gagal melakukan transaksi komunikasi melalui media teks, Jibrîl mengubah pesan teks menjadi pesan audio yang dibacakannya langsung kepada Muhammad SAW. Kata pertama ‘iqro’ diterima Rasulullah SAW., melalui ketrampilan mendengar terhadap informasi yang disampaikan oleh Jibrîl dalam bahasa Arab. Sistim informasi yang berlangsung kala itu adalah dalam bentuk face to face antara Jibrîl dan Muhammad SAW. Berbicara tentang sinyal visual yang diterima Rasulullah SAW. beberapa saat setelah beliau kembali dari Isra’, satu perjalanan malam yang jauh, dari dan kembali ke Masjid al-Haram melalui Masjid al-Aqsa dan Sidrat al-Muntaha, adalah berupa video Masjid alAqsa. Dengan sistem informasi berupa penayangan bentuk fisik Masjid al-Aqsa kepada Muhammad SAW., telah membantu beliau menjelaskan setiap karakteristik masjid tersebut yang ditanyakan kaum Quraisy sebagai respon atas ketidakpercayaan mereka akan peristiwa Isra’. Bentuk pesan lain yang menarik ketika Isra’ adalah gambar animasi tentang peristiwa yang bakal dialami umat manusia di akhirat kelak, sebagai gambaran balasan atau ganjaran atas aktifitas yang dilakukannya selama di dunia. Peristiwa yang diperlihatkan dalam bentuk gambar bergerak, seperti orang yang sedang memukulmukul kepalanya sendiri, merupakan gambaran balasan atau hukuman yang bakal diterima. Gambar animasi itu adalah proyeksi futuristis tentang akibat pelanggaran hukum Allah dan sebagai sinyal diperlukannya teknologi kreatif dalam menyampaikan informasi agar akurat dan tidak mengalami perubahan bahkan penyimpangan. Sistim informasi dalam bentuk teks, grafis, audio, visual dan animasi yang dialami Rasulullah SAW., ketika menerima wahyu pertama, saat menjalani perjalanan Isra’, dan 7

h. 13.

Joseph A. DeVito, Communication (t.t.p.: Englewood Cliffs, N.J: Prenctice Hall, t.t.),

An Ta’abbuda al-Lâh Kaannaka Tarahu, Fain Lam Takun Tarahu, Fainnahu Yarâka (HR. Bukharî & Muslim) 8

268


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

ketika baru saja kembali dari Isra’, akhirnya menjadi trend kehidupan manusia abad ini dengan mendapat sentuhan teknologi kreatif. Meskipun teknologi kreatif ini bukan hasil kajian yang intensif terhadap sinyal-sinyal teknologi informatika dari kehidupan dan pengalaman Rasulullah SAW. tersebut. Bahkan penggagas, penemu, serta pemain di sektor ini mayoritas bukan dari kalangan Muslim sendiri. Bagaimanapun, sistem informasi ini mampu direkonstruksi, diaktualisasikan dan digunakan untuk kemudahan hidup modern di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Sesuai perjalanan waktu dan perkembangan kemajuan teknologi kreatif yang semakin canggih, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diilhamkan Allah kepada manusia, belakangan ini, ditemukan berbagai konsep yang tertuang dalam teknik informatika untuk membantu mempermudah manusia berkomunikasi dan mengirim informasi dengan lebih akurat, efektif dan efisien. Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa ICT sudah digambarkan sejak masamasa awal kemunculan agama Islam dan diikuti pada proses perjalanan kehidupan Rasulullah SAW. terutama ketika menjalani proses pembelajaran konsep-konsep agama Islam saat menerima wahyu. Beberapa sinyal teknologi kreatif tentang kelahiran ICT di kemudian hari merupakan tonggak kekuatan agama ini yang perlu dikaji dan dikembangkan oleh umatnya. Dengan demikian, kaum Muslim hari ini tidak hanya sebagai pengguna ICT, tapi sebagai penemu dan pencipta teknologi kreatif untuk pemajuan Islam dan kaum Muslim dalam tataran global. Umat Islam diharapkan menjadi umat yang maju karena memanfaatkan ajaran Islam, dan tidak lagi sebagai umat yang tertinggal, karena meninggalkan ajaran agamanya.

Pesan-pesan Religius dan Isyarat Teknologi Multimedia Interaktif Allah, yang eksistensinya dalam perspektif kaum sufi jauh dan dekat secara terintegral, merupakan sosok virtual yang dapat didekati bila diadakan upaya kontak komunikasi zikir antara manusia dengan-Nya. Sebaliknya, betapa Dia akan terasa sangat jauh bila ketiadaan komunikasi, meskipun Dia ada di sekitar kita. Konsep Ihsân, yang menganjurkan agar seorang Muslim beribadah sambil membayangkan bahwa seolah-olah dia melihat Allah dan jika dia tidak mampu melihat-Nya, cukup meyakini bahwa saat itu Allah melihatnya,9 juga merupakan isyarat sains informatika tentang betapa “dekat” dan mudahnya berkomunikasi dengan Allah. Tugas manusialah berupaya memilih dan menentukan teknik bagaimana berkomunikasi dengan-Nya yang tidak jauh itu. Allah juga mensosialisasikan konsep “Ud’ûnî Astajib Lakum” untuk menunjukkan betapa Dia tidak “jauh” dari umat. Dengan pemberitahuan bahwa Dia akan merespon setiap pemintaan atau do’a hambaNya, menunjukkan bahwa Dia begitu mudah dihubungi melalui jalur komunikasi religius.

9

Q.S. Qâf/50.

269


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Beberapa ayat al-Qur’an memberikan isyarat sains dan teknologi informatika yang kemudian dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, ayat wa nahnu aqrabu ilaihi min hubl al-warîd,10 yang menggambarkan betapa dekatnya Allah dengan manusia, bahkan lebih dekat daripada urat leher mereka sendiri, adalah isyarat sains informatika untuk mengatasi jarak lewat media komunikasi. Dengan adanya komunikasi, dua pribadi yang “berjauhan” dan tidak dapat melakukan kotak fisik secara face to face, justru merasa dekat dengan terjadinya komunikasi. Di sinilah peran komunikasi jarak jauh (distant communication) dan komunikasi maya (virtual communication) menunjukkan andilnya dalam mendekatkan dua pihak yang berada tidak pada waktu, lokasi, dan situasi yang sama. Persoalannya adalah bagaimana mendekati dan berkomunikasi dengan Allah? Adakah Allah memberikan isyarat tentang teknologi komunikasi dan informasi terutama bila mengadakan komunikasi interaktif dengan-Nya? Apa alat bantu komunikasi virtual dengan-Nya? Isyarat dari al-Qur’an tentang peran bantuan media informasi dan komunikasi, sekarang lebih populer ICT, dalam kaitannya dengan pendidikan sudah tersirat dalam Q.S. al-‘Alaq/96: 4.

      Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. Dalam ayat ini, Allah SWT. menjelaskan bahwa Dia mengajar manusia, atau menyampaikan informasi yang berisi pesan-pesan pendidikan, dengan perantaraan media tulis baca atau media teks. Isyarat lain dalam Islam tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah sebuah hadis, di mana Rasulullah SAW. memberikan instruksi untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada sesama, meskipun dalam kuantitas yang sangat minim, satu kalimat.11 Sangat disayangkan, apabila satu kalimat ini disampaikan hanya terbatas kepada satu individu, padahal hadis ini hanya membatasi batas minimal pesan dan bukan audien. Karenanya, sangat memungkinkan pesan yang terbatas ini disampaikan kepada audien yang tidak terbatas, baik pada tataran geografis, waktu, situasi dan kondisi, serta media, baik media komunikasi sinkroni maupun a-sinkroni. Untuk mencapai kuantitas yang memuaskan, seorang Muslim harus berupaya sedemikian rupa menyampaikan ke sesama Muslim sebanyak-banyaknya tanpa adanya limitasi. Hadis ini juga tidak membatasi secara spesifik teknik yang digunakan dalam penyampaian, mulai dari teknologi manual-tradisional sampai ke teknologi canggih multimedia. Ketiadaan penentuan bentuk komunikasi dalam penyebaran 10 11

Ballighu cannî walau ayatan (Hadis). Ananda Setyo G, Anti Kaget Internet (Jakarta: Creative Media, t.t.), h. 5.

270


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

informasi ini, memberikan peluang kepada umat untuk menciptakan teknologi kreatif sistim informatika. Akan tetapi, satu rambu-rambu perlu diperhatikan agar penyampaian informasi disesuaikan dengan calon pener pesan. Bahkan Rasulullah SAW. memberikan petunjuk psikologis agar pesan yang disampaikan efektif. Ungkapan Rasulullah SAW. “Khatibu al-Nas calâ Qadri ‘Uqûlihim”, adalah bimbingan Rasulullah agar penyampaian informasi berlangsung efektif dengan mempertimbangkan karakteristik audien, dari berbagai latar belakang sosial terutama aspek kognisi. Secara keseluruhan, bentuk ICT grafis, audio, visual, dan multimedia yang digunakan Jibrîl dalam proses presentasi ajaran Islam kepada Rasulullah SAW. dapat dikembangkan dengan menggunakan integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi terkini untuk proses pembelajaran dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam yang lebih efektif, efisien dan menarik.

Peran ICT dalam Mengefektifkan Komunikasi Pembelajaran Dilihat dari kacamata komunikasi, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses komunikasi informasi dari pendidik kepada peserta didik yang berisi informasiinformasi pendidikan. Pendidik sebagai sumber informasi, media sebagai sarana penyajian materi pendidikan, serta peserta didik itu sendiri merupakan unsur-unsur dari komunikasi pendidikan. Beberapa bagian unsur ini mendapat sentuhan media teknologi informasi, sehingga mencetuskan lahirnya ide tentang e-learning. Dewasa ini, ICT telah mengubah cara hidup manusia dalam berkomunikasi dan beraktifitas dalam berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan. Tantangan dalam pendidikan ini membawa implikasi yang besar kepada pembelajaran. Prasarana telekomunikasi dan sistem informasi berbasis multimedia memungkinkan pembelajar berinteraksi secara aktif dengan menggunakan komunikasi sinkroni atau a-sinkroni. Piranti tambahan seperti CD ROM interaktif, teknologi video dan digital telah menyediakan satu lingkungan media yang serbaguna untuk keperluan pengajar, pembelajar dan desain pembelajaran. Komputer, berbeda dari koran, radio, atau televisi, bukanlah secara otomatis menjadi media informasi, tanpa terhubung dengan jaringan internet. Sesuai namanya, internet merupakan suatu sistem informasi global dari jaringan komputer yang terorganisir dan terinterkoneksi antara satu dengan lainnya. Aplikasi dasar internet adalah TELNET (TELeNETworking) yaitu cara penggunaan paling awal yang fungsinya mirip seperti penggunaan terminal komputer, menghubungkan sejumlah komputer yang sedang digunakan dengan komputer induk (server) dan menstimulasikan seakan pengguna sedang berada di depan komputer induk tersebut. Dengan aplikasi ini, seorang pengguna bisa secara langsung menggunakan semua sumber daya yang terhubung dengan komputer induk. 12 Ann Jones, et al., Personal Computers for Distance Education: The Study of an Educational Innovation (London: t.p., 1992), h. 1. 12

271


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Komputer sudah digunakan dalam bidang pendidikan sejak tahun 1960-an. Di Inggris, penggunaannya berkonotasi pada Belajar Berbantukan Komputer atau ComputerAssissted Learning (CAL), di mana komputer digunakan sebagai media untuk memberikan tutorial, latihan, praktek, simulasi dan sebagainya terhadap bahan pelajaran.13 Awalnya, penggunaan komputer dalam pendidikan hanyalah dalam bentuk “drill and practice� (latihan dan praktek) berupa pengulangan terhadap bahan yang sudah dipelajari di kelas, terutama bidang studi matematika dan bahasa dengan tujuan agar pembelajaran lebih bersifat personal dan mengakomodir perbedaan individu dalam belajar, juga agar pelajar dapat belajar sesuai dengan kepribadiannya. Kemudian diikuti oleh model tutorial, di mana bahan pelajaran disampaikan dalam bentuk teks, diagram, gambar, animasi dan sebagainya, baru diikuti drill and practice. Diikuti kemudian oleh model simulasi, untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa terutama aspek-aspek yang tak mungkin diadakan eksperimen di dalam dan di luar kelas, seperti reaksi nuklir, dan sebagainya. Melalui peragaan simulasi dengan komputer, pembelajar dapat memahami dan mengalami sendiri.14 Saat ini, internet benar-benar merupakan sistem jaringan komputer lintas batas, lintas negara, karena terdapat ratusan juta pengguna yang terhubung lewat jaringan ini. Belakangan ini internet, perlahan tapi pasti, juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat umum dan sangat berpotensi menjadi kanal komunikasi dan pertukaran informasi terpenting di masa mendatang yang dijadikan target pertumbuhan infrastruktur oleh berbagai negara. Menurut sudut pandang kebutuhan sehari-hari akan informasi terkini yang mudah, murah, cepat dan akurat, dan melihat akan pesatnya pertumbuhan pembangunan di bidang infrastruktur telekomunikasi dan internet yang membantu banyak peluang bisnis, maka kelak kebutuhan internet juga akan menjadi kebutuhan sehari-hari sebagaimana kebutuhan rumah tangga lainnya seperti air bersih, listrik dan lainnya. Untuk masuk ke internet yang merupakan jalan raya super ini, seseorang harus menggunakan Web Brouser, tidak obahnya bagaikan menaiki sebuah kenderaan tertentu bisa melaju di atas jalan raya tol yang akan menerjemahkan informasi yang tersedia sehingga dapat dibaca, dilihat, didengar dan ditambah atau dikurangi. Dewasa ini Web Brouser yang paling terkenal adalah Internet Explorer (IE), Netscape, Opera7, Mozilla’s Firefox, Mosaic, dan Lynx. Mozilla merupakan yang terbaru dan merupakan yang terbaik menurut versi perusahan Amerika.15 Bagaikan sebuah jalan raya super atau Super Highway, penggunaan internet bagi Jones, Personal Computers, h. 5-6. Rachel E. Khan, Internet 101 (t.t.p.: The New Mass Medium for Filipinos, Pasig City: Anvil Publishing, Inc, t.t.), h. 34. 15 Promadi, Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Arab Melalui Kelas Maya (Pekanbaru: Suska Press, 2008), h. 113. 13 14

272


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

masyarakat umum tergantung pada jenis kendaraan yang meluncur di atas jalan raya super ini, dan yang paling populer adalah Electronic Mail, News Group, World Wide Web (WWW), Internet Voice, dan Internet Relay Chat (IRC). Semua aplikasi di atas dapat digunakan untuk tujuan pendidikan. Penggunaan ICT dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk memberikan tutorial, latihan, pencarian, dan aplikasi riil atau praktek, yang berperan dalam membantu meningkatkan minat belajar. Keadaan ini secara tidak langsung akan memudahkan proses pembelajaran, dan akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Dalam kajian Psikologi Kognitif, kemampuan ingatan seseorang terbagi kepada tiga jenis yaitu kemampuan menerima, menyimpan dan memunculkan kembali informasi. Ingatan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Semakin baik kemampuan ingatan seseorang, maka semakin banyak informasi yang mampu dia cerap, semakin banyak informasi yang bisa dia simpan, dan semakin banyak pula informasi yang mampu dia munculkan kembali.16 Dengan bantuan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau ICT, kemampuan menerima, menyimpan, dan memunculkan kembali dapat diakselerasi, sehingga lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran dapat ditingkatkan. ICT juga dapat meningkatkan komunikasi pembelajaran dalam arti yang lebih luas, mencakup interaksi antara pembelajar dan pengajar, dan antara sesama pembelajar. Komunikasi Pembelajaran ini bahkan dapat diperluas lagi menjadi interaksi antara pelajar dan program dalam komputer, interaksi face tao face antara pelajar dan pelajar lain berbasis program dalam komputer, dan bahkan interaksi pelajar dan pelajar lain melalui media komputer secara maya atau melalui kelas virtual. Dua bentuk utama komunikasi berbasis komputer adalah surat elektonik (e-mail) dan konferensi komputer (computer conference). Keduanya menyediakan fasilitas di mana seseorang memungkinkan baginya untuk berkomunikasi dengan orang lain baik secara individu atau kelompok melintasi jarak dan waktu, computer conference memberikan fasilitas lebih dimana para peserta dapat berbincang berdasarkan topik tertentu. Ada dua karakteristik utama Komunikasi Berperantaraan Komputer (Computer Mediated Communication) atau CMC untuk tujuan pendidikan yaitu bisa digunakan untuk komunikasi lisan, dan bisa digunakan untuk komunikasi kelompok.17 Dalam pembelajaran bahasa asing, misalnya, kemudahan berkomunikasi berbantukan komputer ini memungkinkan pelajar untuk berinteraksi langsung dengan native speakers atau penutur asli selama proses pembelajaran. Komunikasi dapat dilaksanakan secara lisan atau tulisan. Sedangkan prosesnya bisa antar individu atau kelompok. Dengan demikian, pembelajaran bahasa benar-benar berlangsung secara alami dan kontekstual.

Jones, Personal Computers, h. 3. Khurshid Ahmad, et al. Computers, Language Learning and Language Teaching (Cambridge: Cambridge University Group, 1985), h. 4. 16

17

273


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Dengan adanya interaksi ICT dalam pendidikan, terjadi pelibatan yang aktif antara pengajar dan pembelajar, yang selanjutnya dapat mengakselerasi pembelajaran sehingga lebih efisien. Dengan demikian, integrasi ICT dalam pendidikan memainkan peranan yang besar dan penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Bahwa komputer pribadi dapat mengubah metode pembelajaran tradisional, di mana biasanya pengajar memberi instruksi, berpindah ke pendekatan ‘hands on’ yang sepenuhnya menggunakan sifat inkuiri yang ada dalam diri pembelajar. Komputer pribadi memungkinkan mereka menjelajahi alam raya guna mencari informasi sesuai kesanggupan dan kemampuan masing-masing. Pengenalan kepada ICT dapat membawa kepada sikap positif. Hal ini dikarenakan bahwa ICT menyediakan peluang yang luas dalam aktivitas pembelajaran dibandingkan metode tradisional. Melalui penggunaan internet, pembelajar boleh menimba ilmu pengetahuan serta contoh-contoh yang praktis dan kontekstual serta ril. Kemudahan hypermedia dan multimedia telah memudahkan pendekatan dan metode belajar yang tidak mungkin dapat dilaksanakan sekiranya menggunakan metode tradisional. ICT menyediakan metode tidak hanya dalam model penerimaan ilmu secara satu arah saja, akan tetapi juga dengan memberi penekanan kepada penciptaan dan penjelajahan atau penerokaan ilmu secara aktif, inovatif, kreatif, efektif dan bahkan menyenangkan. Konsep Pembelajaran PAIKEM dapat diciptakan dengan penggunaan multimedia dengan pengintegrasian ICT ke dalam pembelajaran. Inisiatif untuk mengintegrasikan ICT dalam pembelajaran adalah tepat. Dalam konteks pembelajaran, penggunaan ICT dapat dikategorikan sebagai tutorial, latihan, pencarian, aplikasi dan komunikasi. Dalam konteks pengajaran, ICT digunakan sebagai tutor dan alat demonstrasi. Untuk mencapai tujuan menciptakan masyarakat modern mewujudkan masyarakat yang informatif, maka inisiatif untuk mengintegrasikan penggunaan ICT dan multimedia dalam pembelajaran adalah perlu. Beberapa menunjukkan bahwa ICT dapat membantu mengatasi kelemahan pendidikan sains yang diajar secara tradisional serta dapat meningkatkan pelibatan pengajar dan pelajar dalam penggunaan komputer secara lebih produktif. Pengajar harus mampu mengintegrasikan kemahiran teknologi dan peluang pembelajaran konstruktivis untuk melihat keefektifan penggunaan teknologi. Meskipun demikian, integrasi ICT dalam pembelajaran memerlukan kemahiran khusus dan komitmen pengajar secara terfokus. Beberapa karakteristik unik yang dimiliki internet, yaitu akses universal, kaya akan multimedia resources, media publishing, dan media interaktif.18 Komputer memiliki kemampuan menyimpan, mengorganisir, mengubah, mengirim dan menyajikan sejumlah besar data dalam kecepatan yang tinggi, baik data berbentuk angka, teks, grafik, suara, dan bahkan mungkin ke depan data berbentuk sentuhan dan bau. Fasilitas ICT yang mampu menyimpan, mengatur dan menyajikan kembali sejumlah besar informasi memberikan sumber belajar berbasis pengetahuan yang sangat kaya kepada pelajar. 18

Avril Loveless, The Role of ICT (London: Continum, 2003), h. 7.

274


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

Dengan menggunakan media internet dan CD/DVD, pelajar dapat mengakses informasi yang tidak tersedia di dalam kelas atau perpustakaan sekolah, seperti gambargambar artefak dari musem manapun di seluruh dunia, koran, majalah, rekaman pidato, atau film dan sebagainya. Informasi multimedia mencakup topik-topik sejak zaman kuno. Dokumen-dokumen dan database yang berada di wilayah-wilayah terpencil, dapat diperoleh melalui jaringan komputer internasional. Komunikasi elektronik dapat dilaksanakan antara dua pihak yang saling memerlukan di seantero dunia, bahkan dapat melakukan pembicaraan dengan para profesor melalui chatroom atau ruang mengobrol.19

Integrasi ICT dan Pendidikan: Konsep dan Penerapan Dewasa ini dunia pendidikan terus bergerak secara dinamis, khususnya untuk menciptakan pendekatan, metode, strategi pembelajaran, media dan materi pendidikan yang semakin interaktif dan komprehensif. Era Teknologi Komputasi Multimedia merupakan satu era baru dalam dunia informasi modern yang sudah berkembang pesat dan berintegrasi dengan dunia pendidikan. Secara umum multimedia diartikan sebagai kombinasi teks, gambar, seni grafik, animasi, suara dan video. 20 Aneka media tersebut digabungkan menjadi satu kesatuan kerja yang akan menghasilkan suatu informasi yang memiliki nilai komunikasi yang sangat tinggi. Konsep teknologi ini sebenarnya adalah bagaimana menyajikan infomasi dalam bentuk yang menarik, mudah dan interaktif bagi pemakainya. Penyampaian materi pelajaran dapat disesuaikan dan mengakomodir berbagai penentuan gaya belajar peserta didik, baik auditif, visual, maupun kinestetik dengan konsep Pembelajran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Pembelajaran berbasis teknologi ICT bisa mengatasi pembelajaran konvensional yang cenderung monoton dan hanya sesuai untuk gaya belajar tertentu saja, seperti ceramah yang hanya sesuai bagi pembelajar yang memiliki gaya belajar auditif. Untuk menciptakan suatu komunikasi interaktif dari sebuah informasi, maka teknologi komputasi multimedia mengintegrasikan teks, grafik, suara, animasi dan video yang mampu mempengaruhi banyak indera yang dimiliki manusia seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan serta perbuatan. Bila teknologi multimedia ini diaplikasikan dalam pembelajaran, maka sistem pendidikan lewat internet secara interaktif dan komprehensif dapat terlaksana. Electronic Mail merupakan alat komunikasi antar pribadi menggunakan komputer yang saling terkoneksi melalui jalur telepon. Sebagaimana surat biasa, penggunaannya adalah untuk mengirim pesan dari seseorang kepada orang lain, atau kepada banyak orang sekaligus, hanya saja yang ini dilakukan secara elektronis. E-Mail dapat digunakan untuk saling berbagi informasi bahan pelajaran antara sesama pelajar, atau mengajukan pertanyaan kepada pengajar secara tak terbatas dan personal. 19 20

Oetomo, Education, h. 109. Khan, Internet 101, h. 28-30.

275


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Newsgroups adalah papan pengumuman elektronik yang diorganisir untuk lebih dari sepuluh ribu pengguna dengan sistem penamaan yang mudah bagi mereka untuk menemukannya. Newsgroup digunakan untuk sebagai forum diskusi tentang berbagai topik, di mana mereka dapat saling membaca, mengirim artikel dan saling bertukar pikiran dengan peserta lain secara global. Mereka mempunyai Chatroom atau ruang khusus untuk berdiskusi tentang topik-topik tertentu. Newsgroup sangat potensial digunakan untuk mendiskusikan bahan pelajaran antar sesama pelajar yang mengambil bidang kajian serupa. World Wide Web (WWW) merupakan salah satu inovasi teknologi komunitas internet yang berfungsi menyebarluaskan informasi dalam bentuk grafik, teks, suara, gambar, video, atau animasi dari berbagai sumber di seluruh dunia. Juga digunakan untuk mensosialisasikan informasi-informasi yang muncul secara tradisional dalam surat kabar, majalah, jurnal, poster, buku, televisi atau film. WWW sangat berguna untuk memperkaya sumber belajar bagi pelajar, sehingga mereka diberikan bahan yang tidak terbatas, termasuk bahan yang kemungkinan sang guru sendiri tidak mengetahui dan menguasainya. Internet Voice juga dikenal dengan Voice-over-Internet-Protocol (VoIP) merupakan jenis teknologi yang memungkinkan seseorang melakukan panggilan telepon menggunakan koneksi internet berkecepatan tinggi dibanding menggunakan sambungan telepon biasa.21 Internet Voice sangat tepat digunakan dalam penyampaian presentasi yang panjang karena dapat mencakup sejumlah besar materi pelajaran dan mencakup sejumlah besar audien dengan biaya yang sangat minim. Internet Relay Chat (IRC) merupakan sistim komunikasi mirip sistim komunikasi Orari yang memungkinkan seseorang melakukan percakapan di internet dalam bentuk teks. Percakapan bisa dilakukan oleh banyak pihak, beberapa, puluhan dan bahkan ratusan orang pada saat bersamaan. Dalam sistem IRC ini, untuk tempat percakapan dibuat sendiri semacam ruang secara virtual yang biasa disebut Channel. Dalam perkembangannya, IRC sudah tidak lagi hanya dalam bentuk teks, namun juga bisa menggabungkan suara ataupun video dalam percakapannya. 22 IRC sangat potensial digunakan agar para apelajar bisa berdebat, berdiskusi, bahkan berbincang secra tak terbatas. Para pakar pendidikan telah mencoba untuk mengadakan penelitian dengan mengadakan eksperimen untuk menciptakan metode belajar yang baru, sebut saja Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Cara Belajar Siswa Mandiri (CBSM), Metode Belajar Kumon, Sempoa, Active Learning, PAIKEM, dan Quantum Learning. Semua usaha tersebut dirumuskan dengan tujuan agar pembelajar dapat lebih mudah dan sederhana untuk mencerna secara logis materi pendidikan yang sudah ditetapkan. Melalui integrasi ICT dalam pembelajaran, corak pendidikan akan banyak berubah karena, teknologi yang terintegral mempunyai kelebihan menggabungkan visual realistik 21 22

Setyo G., Anti Kaget Internet, h. 7. Promadi, Analisa Linguistik Teks Arab (Pekanbaru: Suska Press, 2008), h. 119.

276


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

dengan teks dan suara. Melalui integrasi ICT beberapa perubahan pada pendekatan proses pembelajaran dapat dilaksanakan. Di antaranya perubahan fokus pembelajaran berpindah dari pengajaran berpusat pada pengajar (teacher centered) kepada pengajaran yang berpusatkan pada pembelajar (learners centered). Aktifitas pembelajaran terfokus pada aktifitas yang berorientasi pada proses pencarian dan penemuan berdasarkan pada teori belajar Construktivisme. Dalam teori belajar Constructivism dipercayai bahwa belajar merupakan proses seseorang membentuk pengetahuan, apakah berdasarkan stimulus atau rasa ingin tahu yang kuat. Integrasi teknologi dalam pembelajaran memerlukan pengajar yang siap pakai serta fleksibel dalam menggunakan teknologi sesuai dengan jenis mata pelajaran yang diampu. Sekedar mempelajari bagaimana cara menggunakan komputer belum cukup untuk membuat seorang tenaga pengajar untuk mampu menggabungkan teknologi dalam pembelajaran. Elemen yang penting dalam pengintegrasian teknologi ialah pemahaman pengajar terhadap isi pengajaran dan implikasi yang berkaitan dengan teknologi. Kegagalan pengajar dalam membuat desain yang baik dan teliti akan merugikan pembelajar dan akan menjadikan proses pembelajaran menjadi kurang efektif. Secara keseluruhannya, walaupun tidak dapat dipastikan sejauh mana integrasi efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, namun bila ini dipraktekkan semaksimal mungkin dalam pembelajaran, maka hal ini tentu akan dapat memperlihatkan keefektifan yang unggul. Dalam bidang pendidikan, ICT di gunakan untuk menjadikan pembelajaran lebih berkesan dan menarik serta mampu menarik minat murid-murid untuk belajar. Dengan adanya intergrasi ICT dalam pendidikan akan menjadi lebih mudah dan banyak informasi dapat didistribusikan kepada pelajar. Selain itu, ia dapat membantu murid untuk menguasai lebih banyak ilmu dan berdaya saing dalam era pendidikan yang lebih menantang. Bagi pengajar, ICT dapat membantu memvariasikan metode pembelajaran supaya ia tidak membosankan. Multimedia dalam ICT yang menggabungkan bentuk grafis, audio, video dan animasi serta interaksi menjadi trend model pendidikan abad ini. Pembelajaran Jarak Jauh yang interaktif dapat dilakukan bahkan dalam kelas maya. Dalam pembelajaran bahasa, misalnya, pendekatan VCLT (Virtual Communicative Language Teaching) dapat membantu pelajar untuk belajar bahasa dengan mempraktekkan langsung bahasa yang sedang dipelajari dengan penutur asli (native speakers) melalui komunikasi sinkroni dan asinkroni menggunakan e-mail, chatting, dan telekonferens.23 Para pakar metodologi pembelajaran bahasa sepakat bahwa kesukesan belajar terjadi di mana terdapat ekspos yang bermakna terhadap bahasa target dan interaksi yang intensif dalam dan dengan bahasa target, baik dengan atau tanpa kehadiran fisik native speaker. Memang banyak Michael D. William, Integrating Technology Into Teaching and Learning: Concept and Appllication (New York: Prentice Hall, 2000), h. 15. 23

277


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 kasus ditemui di mana pelajar bahasa mencapai tingkat kesuksesan tanpa mengadakan kontak langsung dengan masyarakat target (target population). Walaupun demikian tetap diakui pula bahwa interaksi psikologis dengan bahasa asing membantu proses pemerolehan bahasa asing. Kemudahan yang ditawarkan ICT adalah memungkinkan pelajar bahasa asing untuk mengadakan kontak langsung dengan bahasa target. Peran seorang guru dalam pengintegrasian ICT dengan pendidikan menjadi tumpang tindih atau redundant, di mana fungsi pengajaran mereka digantikan oleh mesin, sedangkan guru hanya rileks. Akan tetapi, peran mereka sebenarnya menjadi semakin penting, karena peran tersebut akan berbeda-beda sesuai tahap-tahap pembelajaran, sebelum pelajaran dimulai, selama proses pembelajaran, dan setelah pelajaran berakhir. Sebelum pelajaran dimulai, guru adalah sebagai perancang, mengecek sumber belajar dan perlengkapan IT, melakukan peninjauan awal (preview) terhadap bahan pelajaran, dan mengantisipasi berbagai kemungkinan permasalahan yang akan timbul selama proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran, guru memonitor aktivitas instruksional dan memfasilitasi berbagai variasi belajar yang memproses pengalaman belajar siswa. Selesai pembelajaran, guru perlu mereview materi dan pengalaman belajar siswa berbasis ICT, dan mempastikan adanya keterkaitan yang jelas materi dan pengalaman belajar dengan kurikulum dan prosedur penilaian. 24 Integrasi ICT dalam pendidikan mengakomodir teori belajar Behaviorits yang dipopulerkan oleh B.F. Skinner, di mana pelajar akan mengembangkan bentuk responnya secara bertahap terhadap stimulus ketika respon mereka diikuti oleh reinforcement tertentu. Tugas yang diberikan melalui komputer sebagai stimulus direspon oleh siswa dengan memberikan jawaban, kemudian diberi penguatan oleh program, umpamanya dengan memunculkan wajah yang tersenyum, apabila jawaban mereka benar. Dengan cara ini, pelajar akan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya. Tugas-tugas merespon dan reinforcement ini diambil alih oleh mesin komputer dan programnya. Integrasi ICT dalam pendidikan juga mengakomodir teori belajar Cognitivism, di mana dengan bantuan ICT, siswa melakukan proses bagaimana informasi diterima (teks, suara, gambar, grafis, animasi atau multimedia interaktif), diproses dan disimpan dalam komponen memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cara kerja otak siswa dalam pembelajaran berbasis ICT diarahkan mengikuti cara kerja komputer, yang oleh Melvin L. Silbermann, Guru Besar Kajian Psikologi Pendidikan di Temple University Amerika Serikat,25 dianalogikan tidak jauh berbeda, karena keduanya tidak hanya sekedar menerima informasi, tetapi mengolahnya. Sebagaimana komputer, otak perlu dihidupkan terlebih dahulu, baru dia akan menerima input data. Ketika kegiatan belajar sifatnya

Melvin L. Silbermen, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject (Boston: Allyn and Bacon, 1996). 25 Rhonda Byrne, The Secret, terj. Susi Purwoko (Jakarta: Gramedia, t.t.), h. 14. 24

278


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

pasif, itu berarti otak tidak sedang hidup atau berada pada posisi off, dan perlu dihidupkan terlebih dahulu. Siswa dibimbing untuk menginterpretasikan data agar dipahami dan kemudian disimpan agar bisa diminta kembali bila diperlukan. Interaksi pendidikan dalam ICT atau interaksi komputer berbeda dari interaksi pendidikan tanpa ICT. Interaksi membaca buku berubah menjadi membaca layar monitor. Mencari buku, berubah menjadi membuka file, membuka halaman berikut berubah menjadi klik “halaman berikutnya� atau the Next Page. Mendengarkan ceramah guru berubah menjadi mendengarkan suara rekaman audio, pemecahan masalah berkelompok berubah menjadi pemecahan masalah melalui jaringan komputer atau berdialog dengan komputer pintar. Banyak model interaksi pembelajaran akan dapat dilakukan dengan ICT berbanding pembelajaran konvensional, seperti berinteraksi dengan versi software yang variatif, interaksi dengan data rill, dengan software lain, dengan pengguna lain, dengan lingkungan dunia luar, dan dengan informasi yang didistribusikan dari berbagai sumber informasi luar. E-Education memberi peluang untuk melakukan jangkauan kepada pembelajar yang lebih luas dengan sarana pendidikan yang serba virtual, seperti perpustakaan elektronik, laboratorium elektronik, buku elektronik, koran elektronik, majalah elektronik, jurnal elektronik, konsultasi elektronik, disain pembelajaran, diskusi, chatting, e-mail, video conference, dan web page. Kemudahan-kemudahan yang disediakan internet ini dapat diaplikasikan dan diintegrasikan kepada dunia pendidikan untuk menyampaikan materi pelajaran, memberi tugas pendalaman materi kepada pelajar, memberi kesempatan kepada pelajar untuk menjelajahi informasi yang tak terbatas, bertanya, berdiskusi, berdebat, mengirimkan makalah, opini, kritik, membuat temuan, berdialog dengan profesor, saling berkomunikasi dalam upaya mempreaktekkan bahasa asing yang sedang dipelajari, termasuk praktek berbahasa asing dengan native speaker melaui Internet Voice atau media lainnya. Apa yang dahulu kala tidak pernah terpikirkan ketika zaman ICT belum ada, sekarang sudah bukan merupakan mimpi lagi. Tinggal bagaimana penerapannya oleh pelaku pendidikan terutama pendidikan Islam dalam menjalani proses pendidikan Islam di masa datang yang semakin banyak tantangan global.

Problematika Penggunaan ICT dalam Pendidikan Islam Walaupun model e-Education memiliki daya pikat yang sangat besar, beberapa persoalan besar terdapat dalam kontek budaya integrasi dan aplikasi ICT dalam pendidikan. Hal ini karena integrasi ICT dalam pendidikan, terutama di Indonesia lebihlebih lagi pada tataran sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Agama, masih berada pada usia bayi dan belum mencapai tahap yang membanggakan. Hambatan eEducation di Indonesia adalah: 279


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Pertama. Belum terbentuknya high trust society yaitu perubahan budaya belajar dari pola belajar konvensional, terutama pola pondok pesantren dan madrasah, ke budaya berbasis ICT. Etika pendidikan berbasis internet belum terumuskan dan tersosialisasi, begitu juga tingkat kepercayaan masyarakat yang masih meragukan validitas hasilnya. Perubahan pola pembelajar dari yang cenderung pasif menunggu materi pendidikan kepada pembelajar yang aktif mencari materi pendidikan. Kedua. Sarana dan prasarana belum memadai, sehingga fasilitas yang disediakan masih belum lengkap, dan kebanyakan sekolah cuma dilengkapi dengan beberapa projektor LCD saja dan setiap kelas masih belum mempunyai satu LCD projektor. Akibatnya, guru yang sudah memiliki ketrampilan mengintegrasikan ICT dalam pembelajaran, justru tidak mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran. Guru bidang studi TIK sendiri hanya mampu mengajarkan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dia sendiri terlibat langsung dalam pengintegrasian TIK dalam pembelajaran. Ketiga. Minimnya SDM yang memahami dan menguasai dengan baik konsep dan implementasi ICT dalam pendidikan. Sehingga cara pembelajaran mereka masih berbentuk tradisional yaitu dengan menggunakan papan tulis (hitam atau putih) dan kapur tulis atau spidol. TIK hanya menjadi mata pelajaran yang hanya dihafal berdasarkan buku teks dan berada pada tataran level kognitif yang paling bawah yaitu sekedar knowledge, dan tidak sampai pada level aplikasi. Ini mengakibatkan para peserta didik hanya tahu tapi tidak trampil menjalankannya, apalagi terampil merawat peralatan TIK dan mengembangkan program yang ada di dalamnya. Kealpaan ilmu dan ketrampilan menjalankan ICT ini menjadi penghalang dalam integrasi ICT dalam pendidikan. Keempat. Walaupun harga pendidikan dapat ditekan, namun biaya untuk menyediakan teknologi pengaksesnya bertambah. Kelima. Etika dan moralitas masih belum mendapat tempat yang tepat, sehingga sistem e-Education dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran etika dan moralitas, seperti menjajakan situs pornografi. Keenam. Terbatasnya persediaan aliran listrik. Contohnya sekolah-sekolah di pedalaman, kebanyakan tidak dilengkapi dengan peralatan ICT, malah ada yang penggunaan listrik hanya untuk 12 jam. Masalah listrik merupakan persoalan besar dan utama bahkan juga di perkotaan di mana listrik tidak stabil. Â Terdapat gap yang sangat besar antara sekolah di perkotaan dan di pedesaan dalam ketersediaan fasilitas ICT. Di perkotaan, para tenaga pendidikan dapat mengelola kelas ICT dengan lancar dengan adanya aliran listrik yang cukup dan memadai. Â Dengan demikian siswa dan guru tidak terekspos langsung dengan penggunaan ICT. Â Akhirnya, komputer, sebagaimana disebutkan di atas, hanya dijadikan bahan pajangan saja. Ketujuh. Adanya persepsi yang kurang positif di kalangan para pendidik tentang 280


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

ICT, seperti phobia komputer yang menganggap ICT sebagai barang mewah dan untuk mengapilkasikannya memerlukan keahlian khusus. Persepsi ini mengakibatkan para pendidik tidak mau menggunakan komputer, karena takut akan terjadi kerusakan. Akhirnya, mereka tidak mau menggunakan komputer untuk membantu mereka dalam profesinya sebagai tenaga kependidikan, padahal ini merupakan satu kemestian di abad ini. Salah satu sebab mengapa orang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan adalah karena mereka lebih memikirkan apa yang tidak mereka inginkan daripada apa yang mereka inginkan. Hukum tarik menarik tidak membedakan apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkan. Ketika pikiran seseorang berfokus pada sesuatu, terlepas dari apa pun sesuatu itu, sebenarnya dia sedang memanggil sesuatu itu untuk hadir. 26 Ketika seorang guru memancarkan sinyal keputusasaan dalam pikirannya dan menganggap komputer sulit dioperasikan, maka itulah yang ada dalam kehidupannya, sehingga komputer baginya menjadi sesuatu yang benar-benar sulit untuk dioperasikan. Ketika seseorang tidak ingin sesuatu menjadi jelek, seperti rusaknya komputer, dan pikirannya setiap saat memancarkan sinyal-sinyal itu ke udara, maka justru yang jelek itulah yang muncul dalam kehidupannya, karena sinyal-sinyal yang dipancarkannya setiap detik itu benar-benar kembali kepadanya.

Tanggungjawab Pendidik dalam Pengintegrasian ICT dalam Pendidikan Dalam rangka memodernisasikan pembelajaran dengan penggunaan ICT, bagaimanapun, para pengajar harus terlebih dahulu menguasai kemahiran penggunaan ICT dalam pembelajaran. Para pembelajar juga harus memanfaatkan peluang untuk memperkaya keterampilan mereka dengan ICT. Tidak dapat disangkal lagi bahwa integrasi ICT dalam pendidikan hanya akan efektif jika ketersediaan perangkat dan fasilitas ICT lengkap dan para pengajar memiliki asumsi yang positif dan tidak ada phobia komputer. Para pendidik, terutama pendidik masa depan, diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ekpositori, inkuiri, dan teori belajar Consctructivism dengan ICT. Penggunaan ICT dalam pembelajaran expositori, inquiry dan constructivism menuntut pengajar lebih berperan. Mereka perlu kreatif dalam pembelajaran untuk menarik minat dan kesiapan belajar para peserta didik. Untuk mensukseskan integrasi ICT dalam pendidikan juga perlu ada interaksi antara pengasuh matapelajaran dengan pembelajar. Pengajar juga dapat mengkoordinir pembelajar khususnya pelajar yang atraktif di dalam kelas, sehingga penggunaan ICT dalam pembelajaran akan menarik minat pembelajar bermasalah ini untuk mengikuti pembelajaran di dalam kelas. Pengajar berperan menjadi konselor dan pemantau untuk membimbing, di samping mengekspos mereka terhadap teknologi ICT. Â Selain itu, pengajar dapat memberi latihan pengayaan untuk membatu pembelajar yang cepat dan remedial bagi yang lemah melalui ICT dengan menggunakan berbagai fasilitas ICT dan program atau model belajar yang ada di dalamnya. 281


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Sebagai tanggungjawab tenaga kependidikan yang profesional, walaupun terdapat halangan di sekolah-sekolah pedalaman dalam penggunaan ICT, pengajar harus tetap mengajarkan ICT dan menggunakan ICT dalam pembelajaran. Sekurang-kurangnya mereka tidak buta ICT. Contohnya sebagai dasar, pengajar memperkenalkan sistem komputer, software, kegunaan keyboard, mouse, dan sebagainya. Tujuannya ialah supaya pembelajar ini mampu mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam mempelajari semua bidang studi dan juga apabila melanjutkan pembelajaran ke tingkat yang lebih tinggi nanti. Selanjutnya, para pelaku pendidik, apalagi pendidik profesional masa depan, harus memiliki keilmuan dan ketrampilan menggunakan ICT dalam pembelajaran, kalau memang sejak sekarang memiliki impian untuk menjadi tenaga kependidikan yang professional dan memiliki nilai kompetitif di dunia global.

Penutup Perkembangan ICT sudah menyentuh hampir semua aspek kehidupan modern secara global. Pengintegrasian ICT dalam pendidikan membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan, baik pada tataran konsep, teori dan aplikasi. Pendekatan, metode dan teknik pembelajaran baru bernuansa ICT kian berkembang sesuai perkembangan ICT itu sendiri. Software pendidikan berlabel e (e-education, e-learning, e-book, e-library) kian menjamur di tataran aplikasi. Pengintegrasian ICT dalam pendidikan Islam sebagai satu sistem dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia adalah satu kemestian. Konsep edutainment, yang merupakan penggabungan pendidikan dan hiburan, memasuki babak baru dunia pendidikan, termasuk Pendidikan Islam. Belajar ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) seperti al-Qur’an, Salat, Haji, Iman, Sejarah, Akidah, Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan sebagainya tidak lagi sekedar dipresentasikan secara manual-tradisional, akan tetapi secara modern-interaktif menggunakan multimedia dalam berbagai bentuk dan tersedia di berbagai tempat di dunia global, disediakan oleh berbagai sumber dan dapat diakses dengan mudah, cepat, dan murah, dapat digunakan dalam kelas tradisional maupun dalam kelas maya atau virtual. Kondisi ini akan kian terus berkembang mengikuti kemajuan berpikir para pakar dan pelaku pendidikan profesional. Phobia IPTEK, terutama ICT, tidak hanya akan membuat guru, dosen dan para pendidik akan ketinggalan, bahkan akan tidak memiliki ruang dan kesempatan untuk berkarya dalam bidangnya, karena era globalisasi mengutamakan aspek kompetitif guna menjamin mutu pendidikan. Pendidik yang tidak memiliki kompetensi dalam memenangkan percaturan global, akan dengan secara teratur tersisihkan oleh kondisi yang tidak direncanakan. Masa depan adalah sesuatu yang pasti berubah, dan arah serta bentuk perubahan itu adalah sesuatu yang tidak pasti. Pendekatan, Metode, Strategi, dan Model Pendidikan Islam masa depan pasti mengalami perubahan akibat persentuhan dengan berbagai aspek termasuk perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Akan tetapi, model 282


Promadi: Integrasi ICT dalam Pendidikan Islam

dan bentuk perubahan pendidikan Islam tidak dapat dipastikan. Beberapa prediksi perlu dibuat berdasarkan fenomena yang berlaku saat ini. Agar seorang pendidik bisa eksis di masa depan, diperlukan visi jauh ke depan, dan merancang sejak dini kesiapan dan persiapan apa yang hendak dibawa guna eksis di masa depan. Pendidik memiliki tugas dan tanggungjawab mempersiapkan anak didik supaya bisa hidup tidak di zaman dia menerima ilmu pengetahuan dan ketrampilan, tapi setelah dia dewasa. Perkembangan ICT ke depan tampaknya akan semakin lebih hebat dari yang ada saat sekarang. Phobia teknologi, hanya akan mendatangkan phobia itu sendiri ke dalam kehidupan kita, karena hukum tarik-menarik tidak mengecualikan apa yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan. Apa yang selalu dikirim oleh pikiran kita, justru itu yang akan kembali dan benar-benar kembali kepada kehidupan kita. Tantangan ke depan, Integrasi ICT dalam pendidikan Islam adalah bukan suatu yang harus dihindari akan tetapi merupkan suatu alternatif pendekatan pembelajaran yang merupakan satu kemestian. Kalau mau tidak tersisihkan di masa depan dalam kompetisi profesional para pendidik, seorang calon pendidik dan pelaku pendidik saat ini harus memasuki dan beradaptasi dengan perkembangan ICT. Paling tidak bisa sebagai pengguna dalam memanfaatkan ICT untuk pembelajaran, bila tidak mampu sebagai pencipta mendisain dan menciptakan sendiri software pendidikan Islam. Inilah juga barangkali termasuk selemah-lemah upaya dalam analogi konsep Iman. Untuk kebutuhan pendidikan anakanak Muslim sendiri, adalah suatu yang mustahil diserahkan kepada para pendidik dari kalangan non-Muslim, karena akan tidak menghasilkan seperti yang dikehendaki dalam tujuan pendidikan Islam. Kerjasama pakar ICT dan pendidikan Islam akan semakin mengubah wajah pendidikan Islam ke depan. Himbauan dan ajakan kepada para pelaku profesi pendidikan Islam dan calon pendidikif Islam, agar menjadikan ICT sebagai satu alternatif dalam perilaku berkarya dalam profesi sebagai pendidik dalam tataran pendidikan Islam.

Pustaka Acuan Adri, Muhammad. Guru Go Blog: Optimalisasi Blog untuk Pembelajaran. Jakarta: Komputindo, 2008. Ahmad, Khurshid, et al. Computers, Language Learning and Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Group, 1985. Byrne, Rhonda. The Secret, terj. Susi Purwoko. Jakarta: Gramedia, t.t. DeVito, Joseph A. Communication. Englewood Cliffs, N.J: Prenctice Hall, t.t. Jones, Ann, et al.. Personal Computers for Distance Education: The Study of an Educational Innovation. London: t.p., 1992. Khan, Rachel E. Internet 101: The New Mass Medium for Filipinos. Pasig City: Anvil Publishing, Inc, t.t. 283


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Oetomo, Budi Sutedjo Dharma. Education: Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2002. Promadi, Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Arab Melalui Kelas Maya. Pekan Baru: Suska Press, 2008. Promadi. “Psikologi Kognitif dalam Perspektif Islam: Aplikasinya dalam Pembelajaran Kuantum Untuk Pembentukan Kepribadian Islam,� dalam Khaidzir Hj. Ismail (ed.). Psikologi Islam: Falsafah, Teori dan Aplikasi. Kuala Lumpur: Institut Islam Hadhari UKM, 2009. Promadi. Analisa Linguistik Teks Arab. Pekanbaru: Suska Press, 2008. Setyo G., Ananda. Anti Kaget Internet. Jakarta: Creative Media, t.t. Silberman, Melvin L., Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon, 1996. William, Michael D. Integrating Technology Into Teaching and Learning: Concept and Appllication. New York: Prentice Hall, 2000.

284


TUJUAN DAKWAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Mempertajam Fokus dan Orientasi Dakwah Ilahi Iftitah Jafar Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Jl. Sultan Alauddin No. 63, Makassar, 90221 e-mail: hasbihmu@ymail.com

Abstract: The Purposes of Religious Mission in Islamic perspective. Many experts has contributed to the formulation of da’wa objectives. Their objectives are mostly based on the people who conduct da’wa activity (dâ’i) or religious organizations that hold da’wa affairs. The objectives can also be designed on the consideration of the audience (mad’u), da’wa approaches as well as contemporary social context. However, as a holy task, da’wa should be based on the objectives that Qur’an proposed. As a book of da’wa, Qur’an pointed some da’wa objectives namely: transforming community from darkness (zulumât) to the divine light (nûr). This can be achieved partly by enhancing people’s faith (îmân) and improving their worship (‘ibâdah). Da’wa is also directed to win God-consciousness (taqwâ) over immoral doings (fujûr) and empowered natural disposition (fithrah). In addition, motivating people to surrender themselve wholly unto God and achieving final spiritual adventure that is piety are other da’wa objectives. Above all, da’wa activities should be focused on the above objectives.

Kata Kunci: tujuan dakwah, fithrah insaniyah, dakwah Qur’ani

Pendahuluan Dakwah dalam berbagai bentuknya senantiasa mengisi relung-relung kehidupan. Dakwah dilakukan dengan variasi strategi dan metode, serta melibatkan berbagai kalangan baik individu maupun kelompok atau lembaga. Dakwah ini pun menggunakan seluruh media komunikasi yang memungkinkan sesuai kebutuhan. Bahkan dalam waktu tertentu, khususnya di bulan suci Ramadan, ceramah agama membahana di seluruh mesjid dan musala, baik di malam hari maupun pada siang harinya. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah sejauhmana keberhasilan dakwah tersebut dan apa kriteria dan indikator yang digunakan untuk menilai berhasil tidaknya dakwah. Sebagai suatu kegiatan komunikasi, seharusnya aktivitas dakwah bisa terukur, meskipun memang memerlukan skala pengukuran dan standar tersendiri. Pakar dakwah diharapkan dapat 285


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 menciptakan kriteria dan teknik pengukuran keberhasilan dakwah. Hal ini dimaksudkan supaya kegiatan dakwah itu lebih efektif dan lebih efisien. Pada hakikatnya, dakwah dapat dikatakan berhasil bilamana mencapai tujuan yang telah digariskan. Tujuan ini pun harus dibuat lebih spesifik sesuai dengan skala kegiatan dakwah yang dilakukan. Al-Qur’an sebagai kitab dakwah hanya memberikan tujuan-tujuan yang bersifat umum yang berfungsi sebagai payung pelaksanaaan dakwah, sebagai alat kontrol, fokus dan orientasi. Tujuan yang dikedepankan al-Qur’an memerlukan elaborasi dan disain yang lebih spesifik disesuaikan dengan level dakwah yang dilakukan. Di samping itu juga, dibuatkan skala pengukuran dalam bentuk kriteria dan standar penilaian. Yang jelas kegiatan dakwah apapun yang dilakukan, semuanya harus merujuk pada tujuan dakwah yang ditawarkan al-Qur’an. Hal ini untuk memberi bobot dan nilai tersendiri terhadap dakwah sebagai agen perubahan sosial. Dalam perspektif al-Qur’an, dakwah berarti mengajak manusia ke jalan Allah (sabîl Allâh), dâr al-salâm, al-jannah, agar mereka mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai tugas suci, dakwah juga seharusnya diarahkan pada tujuan yang suci sebagaimana ditunjukkan al-Qur’an sebagai kitab dakwah. Tulisan ini bermaksud membahas tujuan dakwah dalam perspektif al-Qur’an? Untuk keperluan ini, tulisan akan menempuh sistimatika sebagai berikut: pendahuluan, review terhadap tujuan dakwah dan tujuan dakwah Qur’an.

Review Terhadap Tujuan Dakwah Telah cukup banyak rumusan tujuan dakwah yang dikemukakan para pakar dakwah. Tujuan-tujuan ini tampaknya berbeda satu sama lain disebabkan perbedaan tinjauan dalam mencermati dakwah itu sendiri. Ada yang mendasarkan tujuan dakwahnya pada pola dan model dakwah yang diterapkan, ada juga yang melihat dari segi metode, strategi dan pendekatan dakwah. Di samping itu, sebagian mendasarkannya pada siapa yang menjadi sasaran dakwah, dan sebagian lainnya menekankan pada konteks sosial politik. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa formulasi tujuan dakwah dimaksud. Dalam pandangan M. Syafaat Habib, tujuan utama dakwah adalah akhlak yang mulia (akhlâq al-karîmah). Tujuan ini, menurutnya, paralel dengan misi diutusnya Nabi Muhammad SAW. yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Berdasarkan hadis “innamâ bu‘itstu li utammima makârim al-akhlâq” (aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). 1 Dengan akhlak yang mulia ini, manusia akan menyadari fungsinya sebagai manusia, yakni abdi atau hamba Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya akan berbakti kepada-Nya, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, kemudian menegakkan prinsip “amar ma’rûf nahy al-munkar”.2 Tujuan

1 2

Lihat M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1982), h. 129. Ibid., h. 129.

286


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

tersebut akan lebih menukik jika dikuatkan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam kaitan ini, menarik untuk mencermati klaim ‘Alî Gharishah, bahwa ibadah yang pertama sebelum salat diwajibkan adalah akhlak atau ajaran moral. Lama sebelum salat diwajibkan, di Makkah telah turun wahyu Allah tentang moral, yaitu ajaran tentang budi pekerti mengenai baik dan buruk. Ayat-ayat dimaksud bisa dilihat dalam Q.S. Al-An‘âm/6: 151153 dan Q.S. al-Isrâ’/17: 23-39.3 Jamaluddin Kafie mengklasifikasi tujuan dakwah ke dalam beberapa tujuan. Pertama. Tujuan hakiki yaitu mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya dan mempercayai-Nya sekaligus mengikuti jalan petunjuk-Nya. Kedua. Tujuan umum, yaitu menyeru manusia untuk mengindahkan dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Ketiga. Tujuan khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu tatanan masyarakat Islam yang utuh (kâffah).4 Rumusan tujuan ini agaknya telah mencakup sebagian besar prinsipprinsip dasar pengejawantahan ajaran Islam yaitu iman, ibadah, ketundukan pada hukum-hukum Allah dan terwujudnya kehidupan masyarakat yang islami. Tidak seperti Kafie, Abdul Rosyad Saleh membagi tujuan dakwah ke dalam dua bagian yaitu tujuan utama dan tujuan departemental. Tujuan pertama adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan kedua adalah nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai Allah SWT. sesuai dengan bidangnya.5 Tujuan pertama ini sejalan dengan rumusan pengertian dakwah yang diajukan oleh Syaikh ’Alî Mahfûzh bahwa dakwah adalah “mengharuskan manusia melakukan kebaikan dan petunjuk memerintahkan yang ma’rûf dan mencegah yang munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” 6 M. Bahri Ghazali, dengan berdasarkan pada aspek kelangsungan suatu kegiatan dakwah, membagi tujuan dakwah kepada tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Yang pertama dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada masyarakat sasaran dakwah. Yang kedua, mengadakan perubahan sikap

Ajaran moral yang terdapat dalam Q.S. al-An’âm/6: 151-153, adalah larangan-larangan mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, membunuh anak-anak karena takut kemiskinan, melakukan perbuatan keji, membunuh orang kecuali dengan hak, dan mempergunakan harta anak yatim. Sedang perintah-perintah yang dimuat adalah berbuat baik kepada ibu bapak, menyempurnakan timbangan, berlaku adil dan menepati janji. Adapun ajaran moral yang dicakup dalam Q.S. al-Isrâ’/17: 23-39, antara lain perintah bersikap sopan santun dan hormat kepada kedua orang tua. Perintah ini diikuti dengan larangan-larangan boros dalam menggunakan harta dan kikir, mendekati zina, mengikuti sesuatu yang tidak diketahui, dan berjalan di muka bumi dengan sombong. Lihat Alî Gharishah, Du’âtun la Bughâtun, terj. Abu Ali (Solo: Pustaka Mantiq, 1979), h. 11-18. 3

Lihat Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya: Offset Indah, 1993), h. 66. 5 Lihat A. Hasymi, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18. 6 Lihat Syaikh ‘Alî Mahfûzh, Hidayat al-Mursyidîn (Kairo: Dâr al-Kutub al-’Arâbîyyah, t t.), h. 27. 4

287


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 masyarakat itu sendiri. Dengan tujuan pertama diharapkan pemahaman masyarakat tentang Islam, sehingga masyarakat akan terhindar dari perbuatan munkar. Sedangkan dengan tujuan kedua, diharapkan terwujudnya perubahan sikap dan perbuatan masyarakat dari kecenderungan berperilaku tidak terpuji menjadi masyarakat yang terbebas dari segala bentuk kemaksiatan. Kedua tujuan ini, menurutnya, tergambar dalam Q.S. Âli ‘Imrân/3: 104.7 Ayat ini dinilainya, selain mengandung tujuan dakwah jangka pendek dan jangka panjang, juga menekankan sasaran dari tujuan itu yakni tercapainya masyarakat sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat (istilah al-Qur’an almuflihûn). Implikasinya adalah dakwah komunikatif tidak hanya menarik, mempesona dan lucu, melainkan juga mencerminkan esensi dakwah yaitu terwujudnya perubahan sikap mental yang positif bagi masyarakat. Dengan kondisi ini akan tercipta ketenteraman lahir dan batin dalam kehidupan masyarakat. 8 Rumusan tujuan dakwah tersebut kelihatannya sejalan dengan tujuan kegiatan komunikasi yang menekankan terjadinya perubahan pada tiga aspek mendasar pada audien setelah mendapatkan informasi keagamaan. Yang pertama adalah perubahan aspek kognitif dalam artian dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang kurang ilmu menjadi lebih banyak ilmu. Kedua, perubahan pada aspek sikap, yakni dari sikap acuh dan tidak apresiatif menjadi concern pada nilai-nilai ajaran agama yang didakwahkan kepadanya. Ketiga, perubahan pada aspek konasi yaitu dari tidak melakukan menjadi tekun mempraktekkan apa yang disampaikan kepadanya. 9 Inilah tujuan yang tertinggi dari kegiatan komunikasi yang tentunya juga sebagai tujuan yang dikehendaki dalam setiap pelaksanaan dakwah. Yang menjadi catatan penulis adalah ayat yang digunakan sebagai landasan disain tujuan dakwah tersebut. Q.S. Âli ’Imrân/3: 104, dalam kajian tafsir dakwah, ayat ini dipahami antara lain: (1) sebagai landasan kewajiban dakwah apakah fardhu ’ain atau fardhu kifayah, (2) dasar pembentukan lembaga dakwah, dan (3) janji keberuntungan bagi orang yang berdakwah. Abû Zahrah mengklaim bahwa ayat tersebut menunjukkan tiga hal. Pertama, kewajiban berdakwah pada kebaikan. Kedua, perlu adanya suatu kelompok yang akan mengajak kepada ma’rûf dan melarang yang munkar. Ketiga, jika tidak berbuat ma’rûf dan nahî munkar, maka kezaliman akan berkembang subur di tengah-tengah masyarakat.10 Sayyid Quthb sendiri meyakini bahwa ayat tersebut mengimplikasikan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama yang bertugas

M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997), h. 7. 8 Ibid, h. 8. 9 Bandingkan dengan Sasa Djuarsa Sandjaja, et al., Pengantar Komunikasi (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 1993), h. 45. 10 Lihat Abû Zahrah, Al-Da’wat ilâ al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 32. 7

288


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

mengajak kepada kebaikan (yad’ûna ilâ al-khayr) dan kelompok yang memerintahkan yang ma’rûf dan melarang yang munkar (ya’murûna bi al-ma’rûf wa yanhawna an almunkar). Kelompok kedua, menurutnya, adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Ajaran ilahi bermuara pada dua sisi. Pertama, nasehat dan penjelasan dan kedua, melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma’rûf dapat terwujud dan munkar dapat sirna.11 Dalam konteks yang berbeda, Amrullah Ahmad, sebagaimana dikutip Enjang AS. dan Aliyuddin, juga membagi tujuan dakwah ke dalam tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek menukik pada upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas, pembinaan insan-insan saleh, dan perubahan stratifikasi sosial ke arah yang lebih terhormat. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah membangun kehidupan masyarakat yang berkualitas, masyarakat madani yang meliputi nuansa iman dan takwa, atau dalam terma “baldat thayyibat wa rabb ghafûr.” Rumusan tujuan jangka pendek searah dengan tujuan jangka panjang dalam pengertian kalau tujuan jangka pendek tercapai, maka akan terwujud bentuk masyarakat yang diinginkan dalam tujuan jangka panjang. Namun perlu ditegaskan bahwa baik tujuan departemental maupun tujuan jangka pendek, hendaknya dirumuskan memenuhi prinsip-prinsip dalam penentuan tujuan. George A. Steiner, pakar strategi, seperti dikutip Wayudi, misalnya, menyebutkan tujuh prinsip, yaitu suitable (sesuai), achieveable (dapat dicapai), flexible (lentur), motivating (memotivasi), understandable (dapat dimengerti), linkage (terkait) dan measurable (dapat diukur).12 Dengan mendasarkan diri pada kelompok sasaran dakwah, H. A. Timur Djaelani menulis bahwa dakwah kepada intern kaum muslimin bertujuan untuk menyempurnakan Iman dan Islam mereka, sedang dakwah kepada non-Muslim bertujuan mengajak mereka memeluk agama Islam.13 Tujuan dakwah internal ini sejalan dengan Q.S. al-Baqarah/ 2: 208 dan Q.S. Âli ’Imrân/3: 102, yang menekankan peningkatan kualitas kehidupan beragama. Tujuan dakwah eksternal menekankan pada pengenalan aspek-aspek keunggulan dan keistimewaan nilai-nilai ajaran Islam, disertai ajakan secara komunikatif dan persuasif atau melalui debat. Dengan mengacu pada al-Qur’an sebagai kitab dakwah, Syukri Sambas, sebagaimana dikutip Agus Ahmad Safe’i, merumuskan tujuan dakwah sebagai berikut. Pertama. Membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang (Q.S. alBaqarah/2: 257). Kedua. Menegakkan shibghah (celupan) Allah dalam kehidupan (Q.S. al-Baqarah/2: 138). Ketiga. Menegakkan fitrah insaniyah (Q.S. al-Rûm/30: 30). Keempat. Lihat Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, juz II (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 25. Lihat penjelasannya dalam Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), h. 74-75. 13 Lihat, H. A. Timur Djaelani, “Pembahasan Umum Mengenai Dakwah,” dalam Forum Dakwah (Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia, 1972), h. 183. 11

12

289


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Memproporsikan tugas ibadah (Q.S. al-Baqarah/2: 21). Kelima. Mengestafetkan tugas kenabian dan kerasulan (Q.S. al-Hasyr/59: 7). Keenam. Menegakkan aktualisasi pemeliharaan agama, jiwa, akal, generasi dan kualitas hidup. Ketujuh. Perjuangan memenangkan ilham takwa atas ilham fujûr.14 Sebagian besar rumusan ini sesuai dengan poin-poin tujuan dakwah Qur’ani yang diajukan penulis dalam pembahasan inti tulisan ini, khususnya rumusan pertama, ketiga, keempat dan ketujuh. Sebagian penulis, seperti Enjang AS. dan Aliyuddin berpendapat bahwa salah satu tujuan dakwah menurut al-Qur’an adalah membentangkan jalan Allah di atas bumi agar dapat dilalui umat manusia. Landasan skripturalnya adalah firman Allah dalam Q.S. Yûsuf/12: 108 “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”15 Membentangkan jalan Allah yang dipahami dari ayat ini tidak mencerminkan tujuan dakwah, melainkan sebagai bagian dari upaya dakwah atau proses dakwah. Ayat ini di mata penulis tidak menunjukkan tujuan dakwah, melainkan sebagai dasar bahwa pesan dakwah hendaknya didasarkan pada argumen rasional, pembuktian logis termasuk hasil-hasil penelitian para pakar di bidangnya.

Tujuan Dakwah Qur’an Dalam pandangan Muhammad Husain Fadh Allâh, sejak permulaannya, al-Qur’an diturunkan Allah SWT. sebagai kitab dakwah, yakni kitab yang memuat ajakan untuk menuju Allah SWT. dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena al-Qur’an berada dalam atmosfir dan realitas dakwah, maka ia mendorong terlaksananya dakwah. Selain itu, al-Qur’an juga menawarkan metode dan teknik pelaksanaannya, demikian pula menegaskan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai tambahan, al-Qur’an juga menunjukkan jalan pembinaan dai dalam mengemban tugasnya. 16 Menurut Sayyid Quthb, sebagai sebuah kitab dakwah, al-Qur’an berfungsi sebagai pembangkit, pendorong dan pengawas dalam pelaksanaan dakwah. Lebih dari itu, al-Qur’an juga menjadi rujukan para penyeru dakwah dalam menyusun konsep gerakan dakwah dan melakukan kegiatan dakwah.17 Agus Ahmad Safe’i, “Kajian Aksiologi Ilmu Dakwah,” dalam Aep Kusnawan, et al. Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, hingga Paradigma Pengembangan Profesionalisme (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 104. Lihat pula Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 147-148. 14

Lihat Enjang AS. dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis (Bandung: Widya, 2009), h. 98. 16 Lihat Muhammad Husain Fadh Allâh, Ushlûb al-Da’wah fî al-Qur’ân, terj. Tarmana Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 11. 17 Lihat Sayyid Quthb, Fiqh al-Da’wah: Mawdhu’ât fî al-Da’wah wa al-Harâkah, terj. Suwardi Effendi, BIS dan Ah. Rosyid Asyofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 11. 15

290


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

Sebagai kitab dakwah, al-Qur’an tidak hanya menetapkan dakwah sebagai kewajiban, memberikan tuntunan pelaksanaannya, tetapi juga telah menggariskan arah dan tujuan dakwah yang akan dicapai. Dakwah bagaimanapun bentuknya, demikian pula metodenya dan siapapun pelaksananya, seharusnya diarahkan pada tujuan dakwah yang telah digariskan al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam fokus dan orientasi dakwah dan menghindarkan bias-bias yang dapat mengaburkan hakikat tujuan dakwah itu sendiri. Sejauh pengamatan penulis, tujuan dakwah Qur’ani antara lain dapat dilihat sebagai berikut:

1. Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang Tujuan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 257, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa seseorang yang ingkar pada Thagut dan beriman kepada Allah, maka ia berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus, tujuan dakwah tersebut sangat sejalan dengan pengertian dakwah yang dikemukakan oleh Bakhyul Khûlî dalam karyanya Tadzkirat al-Du’ât, yaitu dakwah adalah memindahkan manusia dari suatu situasi ke situasi yang lain.18 Tentunya dari situasi negatif ke situasi positif atau dari yang positif kepada yang lebih positif lagi. Menurut al-Raghib al-Ishfahânî, istilah zhulumât dalam ayat ini mengandung dua makna, yaitu pertama kegelapan, dan kedua kebodohan, kemusyrikan dan kefasikan. Makna kedua menurutnya dapat dilihat dalam Q.S. Ibrâhîm/14:5. Muhammad ‘Alî al-Shabunî melihat bahwa lafazh zhulumât yang terdapat pada ayat 1 dan 5 surah Ibrâhîm bermakna kebodohan, kesesatan dan kekafiran.19 Penafsiran yang lebih elaboratif berasal dari Sayyid Quthb, dia menafsirkan lafal zhulumât pada ayat 1 surah Ibrâhîm dengan “kegelapan akibat angan-angan, kegelapan yang berpangkal pada tradisi, kegelapan akibat politeistis, kegelapan akibat kerancuan tata nilai dan pertimbangan-pertimbangan.” 20 Dalam ayat lain disebutkan bahwa pengutusan Rasul untuk mengemban tugas yang sama yaitu mengeluarkan manusia dari belenggu kegelapan kepada cahaya Allah. Allah berfirman dalam Q.S. Thalâq/65: 11 “(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia Lihat Bakhyûl Khûlî, Tadzkirat al-Du’ât (Beirût: Dâr al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.), h. 17. Lihat Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Shafwat al-Tafâsir, vol. II (Beirût: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1981), h. 90-91. 20 Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, vol. IV (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 2085. 18 19

291


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh dari kegelapan kepada cahaya...” Selanjutnya, di ayat lain diinformasikan tentang Allah memberikan kitab kepada nabi-Nya, dengan kitab ini manusia akan dikeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Firman Allah dalam Q.S. al-Mâidah/ 5: 16, “Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” Sebagai tambahan, Allah berfirman dalam Q.S. al-Hadîd/ 57: 9 “Dia-lah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya... “ Mengeluarkan manusia dari situasi kekafiran kepada cahaya ketuhanan menandai terutusnya Rasul-rasul Allah. Di saat syariat agama yang dibawa oleh seorang Rasul, karena perjalanan waktu, mulai redup dan umat mulai terperosok ke dalam kegelapan, maka Allah mengutus Rasul yang baru untuk membawa mereka kepada cahaya ketuhanan. Kemunculan agama Yahudi tidak lepas dari upaya ilahi menunjuki manusia ke arah kehidupan sesuai dengan hidayah Allah setelah ajaran yang dianut masyarakat telah dirasuki dengan berbagai paham-paham yang mengaburkan prinsip-prinsip agama yang benar. Dalam kasus yang sama, kemunculan agama Nasrani sesungguhnya dimaksudkan untuk menolong manusia yang telah menyimpang jauh dari syariat yang tedapat dalam agama Yahudi. Dalam pentas sejarah, Nabi Isa as. telah memainkan peran penting dalam membimbing masyarakat dalam kehidupan yang penuh cinta kasih. Sebagai tambahan, kasus serupa, kedatangan agama Islam, pada hakekatnya untuk menyelamatkan manusia yang hanyut dalam arus jahiliyah. Dalam konteks historisnya, Nabi Muhammad SAW. telah menunjukkan usaha keras dan tidak mengenal lelah melepaskan manusia dari cengkeraman jahiliah menuju kehidupan yang penuh rahmat dalam genggaman Islam.

2. Menegakkan fitrah insaniyah Landasan teologis tujuan ini adalah Q.S. al-Rûm/30: 30 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Menurut Muhammad Asad, terma fithrah berarti kecondongan alami, melukiskan kemampuan intuitif untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang haq dengan yang bathil, hingga makna keesaan dan eksistensi Tuhan.21 Dalam hadis riwayat Bukharî Muslim disebutkan “Setiap anak yang lahir dilahirkan menurut fitrahnya, orang tuanyalah yang menyebabkan 21

h. 621.

Lihat Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dâr al-Andalus, 1980),

292


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

dia menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.” Dalam pandangan Muhammad Asad, ketiga formulasi agama ini, sangat dikenal pada zaman Nabi, adalah mereka yang dikontraskan dengan “disposisi alami” yang terdapat dalam kognisi instinktif pada Tuhan dan penyerahan diri (Islam) kepada-Nya. Terma “orang tua” di sini memiliki makna yang lebih luas yaitu pengaruh sosial (social influence) atau lingkungan (environment).22

3. Memotivasi untuk beriman Dakwah bertujuan untuk mengantarkan obyek dakwah (mad’û) untuk beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Dalam bingkai akidah islamiyah dikenal dua pengesaan kepada Allah. Pertama, pengesaan Allah dalam arti meyakini bahwa pencipta alam semesta dan segala isinya adalah Allah SWT. Pengesaan seperti ini disebut tauhîd rubûbiyah. Kedua, pengesaan Allah dalam arti hanya tunduk, taat dan pasrah kepadaNya. Pengesaan ini disebut tauhîd ulûhiyah atau tauhîd ilâhiyah.23 Dasar tujuan dakwah ini adalah firman Allah dalam Q.S. al-Fath/48: 8-9 “Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” Nilai dan aspek dakwah dalam ayat ini terwakilkan dalam fungsi rasul sebagai pembawa berita gembira (mubasysysiran) dan pemberi peringatan (nazîran). Sementara ungkapan “litu’minû billâhi wa rasûlih” yang mencerminkan tujuan dakwah yang akan dicapai, yaitu agar manusia mempercayai Tuhan dan Rasul-Nya dengan iman yang baik, keimanan yang tegak di atas keyakinan, tidak mengandung persangkaan dan keraguan. Dakwah mendorong orang agar beriman dengan sebenar-benarnya. Ciri-ciri orang beriman seperti ini antara lain apabila disebut nama Allah hatinya gemetar, jika dibacakan ayat-ayat Allah imannya bertambah, dan bertawakkal kepada Allah. Di samping itu, mereka mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang diberikan Allah (Q.S. al-Anfâl/8: 2-3). Orang-orang yang beriman sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’rûf dan mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya (Q.S. al-Tawbah/9: 71). Orang-orang yang beriman dengan sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah (Q.S. al-Hujurât/49: 15). Dakwah diarahkan pada upaya pembinaan keimanan yang berbasis pada tauhid. Menurut Osman Bakar, kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan keesaan Tuhan. Memiliki kesadaran akan keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran Ibid., h. 621. Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 28. 22 23

293


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan dalam Perbuatan-Nya. Satu konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral ini adalah bahwa orang harus menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta. Kosmos terdiri atas berbagai realitas yang membentuk suatu kesatuan, karena ia mesti memanifestasikan ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya yang dalam agama disebut Tuhan. Pada kenyatannya, al-Qur’an dengan tegas menekankan bahwa kesatuan kosmis merupakan bukti yang jelas akan keesaan Tuhan (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 22). 24 Agar lebih fungsional, dakwah diarahkan pada upaya mewujudkan keimanan yang dapat memotivasi kehidupan. Menurut Syahrin Harahap, ada empat ciri keimanan yang berfungsi sebagai motivasi ke arah dinamika dan kreativitas. (1) Keimanan yang dapat mengembangkan sifat positif dan menekan sifat negatif dari manusia. (2) Keimanan yang mempunyai daya tahan terhadap guncangan perubahan. (3) Keimanan yang menjadi penggerak pandangan positif terhadap dunia, etos kerja, etos ekonomi dan etos pengetahuan. (4) Keimanan yang berfungsi sebagai pengendali keseimbangan. 25 Pembinaan keimanan antara lain dengan memfungsikan dakwah sebagai pemelihara iman, agar tetap konstan bahkan meningkat. Iman diarahkan agar dapat mewujudkan kesalehan individual dan kesalehan komunal. Di samping itu, pemeliharaan juga dilakukan dalam bentuk menghindarkan diri dari kemungkinan terkontaminasi dengan gerakan yang merusak prinsip-prinsip akidah yang dihembuskan kelompok-kelompok sempalan Islam, misalnya Ahmadiyah, al-Qiyadah, dan Lia Eden, yang banyak bermunculan lima tahun terakhir ini.26 Demikian juga menjauhi segala bentuk praktek penyimpangan akidah seperti takhayul, bid’ah dan khurafat. Dalam konteks ini, termasuk praktek pedukunan, ramalan dan pemujaan pada jin atau roh-roh. Adapun hikmah di balik pelarangan praktek kemusyrikan ini antara lain, karena syirik menyamakan makhluk dengan Khalik yang berarti menurunkan derajat Tuhan dan meninggikan derajat ciptaan-Nya.27 Menjauhkan

Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, cet. 2 (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 11. 25 Lihat Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 75. 24

Di Sulawesi Selatan, misalnya ada kelompok/komunitas yang menyebut dirinya alNadzir yang melaksanakan salat Idul Fitri dua hari sebelum yang ditetapkan pemerintah. Penetapan satu Syawal tidak didasarkan pada bulan, melainkan pada pasang surutnya air laut. Bahkan di daerah Palopo Selatan, muncul suatu aliran yang dipimpin oleh seseorang yang mengklaim dirinya sebagai nabi pembawa pencerahan. Menurut kelompok ini, tugas Nabi Muhammad SAW. berakhir 2010, dan dia-lah yang diutus Tuhan untuk melanjutkan risalah kenabian. Kemunculan sempalan-sempalan ini antara lain disebabkan: 1. Mereka menilai lembaga-lembaga keagamaan yang ada sudah tidak mampu membimbing umat kepada kesejahteraan, 2. Mereka menginginkan penghargaan dan menjadi panutan di saat sulitnya mencari sosok yang layak diteladani, dan 3. Keterbatasan pengetahuan agama. 26

Lihat ‘Abd al-Hâmid al-Khatîb, Asmâ’ al-Risâlât, terj. Bey Arifin, jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 271. 27

294


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

penyakit-penyakit rohani, seperti riya’, takabbur, egoisme, dan dengki. Memelihara diri dari kecintaan yang berlebihan pada harta, tahta dan hasrat seksual,28 karena semua ini dapat menurunkan derajat manusia ke tingkat hewan atau bahkan lebih rendah dari itu.

4. Memotivasi untuk beribadah Dakwah juga bertujuan untuk mendorong dan memotivasi orang agar beribadah kepada Tuhannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 21 “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” Al-Thabathaba’î mengemukakan munasabah ayat ini sebagai berikut. 19 ayat terdahulu menjelaskan posisi tiga kelompok yaitu orang saleh yang selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, orang kafir yang hati, telinga dan matanya tertutup, dan orang munafik yang terdapat penyakit dalam hatinya dan Allah menambah penyakit tersebut, sehingga mereka bisu tuli. Pada ayat ini, Allah memanggil manusia untuk menjadi hamba yang baik, menyembah-Nya, bukan terhadap orang kafir dan munafik tetapi kepada orang-orang saleh yang bertakwa kepada Allah SWT. 29 Dari penggalan ayat “yâ ayyuha al-nâs u’budû rabbakum,” diperoleh informasi tentang ajakan/dakwah kepada manusia untuk beribadah. Ibadah ini sangat fundamental dalam Islam, antara lain ia merupakan manifestasi tujuan penciptaan (Q.S. al-Dzâriyât/51: 56), sebagai kewajiban (Q.S. al-Baqarah/2: 21) dan tanda syukur (Q.S. al-Kawtsar/108:1-3) kepada Allah SWT., sebagai Pencipta manusia, bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia. Ibadah sangat relevan dengan dakwah, karena ia dapat berfungsi sebagai materi dan media dakwah itu sendiri. Sesudah Allah mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya pada ayat tersebut, maka dalam ayat berikutnya, Allah SWT. menerangkan sebagian dari rahmat dan karunia-Nya sebagai landasan argumen di balik perintah beribadah. Ayat berikutnya juga memuat larangan mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu, karena hanya Dia-lah satu-satunya yang menciptakan manusia dan menyiapkan fasilitas kehidupan.30 Untuk penjelasan ketiga hal tersebut, lihat Muhammad Imaduddin Abdulrahman, Kuliah Tauhid, cet. 3 (Jakarta: Kuning Mas, 1993), h. 64-72. 29 Lihat Muhammad Husain al-Thabathaba’î, Al-Mîzan: An Exegesis of the Qur’an, vol. I (Jakarta: Institute for the Study of Religion and Philosophy, 1983), h. 84. 28

Term firasy (resting place) dalam Q.S. al-Baqarah/2: 22, tidak hanya bermakna istirahat atau ketenangan, tetapi juga mengandung konsep yang menyenangkan dan hangat dengan cuaca yang sedang. Frasa sama’ berarti udara tebal dengan massa gas yang menyelimuti bumi, tebalnya ratusan kilometer. Konsep sama’ sendiri mencerminkan peran langit sebagai payung yang melindungi manusia. Perlindungan berasal dari sistim gravitasi yang menjaga isi bumi sehingga tidak terlontar ke angkasa. Perlindungan juga datang dari lapisan atmosfir yang membungkus bumi sehingga aman dari segala benturan benda-benda angkasa. Sebagai tambahan warna biru pada langit sangat cocok untuk penglihatan. Warna biru ini sendiri sesungguhnya hanya refleksi sinar matahari yang dipantulkan atmosfir yang tebal dan berlapislapis. Fasilitas lainnya adalah dengan curahan air hujan menjadikan tanah subur sehingga menghasilkan berbagai jenis buah-buahan. Proses menghasilkan buah-buahan menjadi bukti 30

295


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Dakwah dengan ajakan untuk beribadah ini juga terlihat dalam tahapan dakwah yang dilakukan oleh Muadz bin Jabâl ketika diutus ke Yaman sebagaimana diperintahkan Rasul dalam salah satu hadisnya. Rasulullah berkata kepada Mua’dz bin Jabâl sebelum beliau melepasnya ke Yaman: Sesungguhnya engkau akan mendatangi negeri yang penduduknya Ahl al-Kitab. Jika kamu telah sampai ke sana, dakwahilah mereka untuk mengikrarkan kalimat syahadat. Jika mereka merespon dakwahmu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka salat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaati perintah ini, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya untuk didistribusikan kepada orang miskin di antara mereka. Jika mereka menaati perintah ini, maka berhati-hatilah dengan harta-harta berharga mereka, dan berhati-hatilah pula dengan doa orang terzalimi, karena doa mereka tidak berhijab untuk sampai kepada Allah.31 Untuk mencapai tujuan tersebut, dakwah difokuskan pada upaya mengajak orang beribadah secara kontinyu, meningkatkan ibadah mereka secara kuantitas dan kualitas, menjaga ibadah mereka agar tetap konsisten. Menjelaskan hikmah-hikmah dan manfaat di balik pelaksanaan ibadah. Masyarakat dijauhkan dari perasaan menganggap telah banyak melakukan ibadah, atau tidak hati-hati dalam ibadah mereka. Ibadah dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, diposisikan sebagai suatu kewajiban, tujuan hidup, sebagai tanda syukur bahkan sebagai kebutuhan mendasar manusia. Ibadah hendaknya dilakukan sesuai petunjuk syariat, dengan niat ikhlas dan sesuai salat yang dicontohkan Rasulullah SAW.

5. Memenangkan ilham takwa atas ilham fujûr Tujuan ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Syams/91: 8-10, “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” Dalam banyak kasus, term nafs mempunyai cakupan makna yang sangat luas. Pada ayat ini, ia didenotasikan diri atau kepribadian manusia sebagai suatu keseluruhan, yakni sesuatu yang terdiri dari fisik dan jiwa. “al-Fujûr” berarti melakukan perbuatan yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan pada diri seseorang, sedangkan “altaqwâ” adalah melakukan perbuatan yang dapat mencegah seseorang dari akibat buruk atas sikap dan tindakannya. Setelah menafsirkan kedua kata kunci ini, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa di antara penyempurnaan penciptaan jiwa manusia adalah yang sangat berharga tentang eksistensi Tuhan. Dari air tidak berwarna Tuhan dapat menciptakan ribuan warna dalam buah-buahan dan biji-bijian yang memiliki kegunaan yang berbeda bagi manusia. Elaborasi selengkapnya, lihat A Group of Muslim Scholars: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an, terj. Sayyid Akbar Sabr Ameli (Isfahan: Islamic Republic of Iran: Amir al-Mu’mineen Ali Library, 1998), h. 111-116. 31

Imâm Muslim, Shahîh Muslim (Riyâd: Dâr al-Salâm, 1999), h. 125.

296


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

dengan memberinya akal yang mampu membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Perbuatanperbuatan yang menyengsarakan dapat diketahui dengan akal, sebagaimana halnya perbuatanperbuatan yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Dengan demikian, Allah SWT. telah melengkapi manusia dengan potensi tamyîz (kemampuan membedakan antara yang baik dan yang buruk), sebagaimana juga mengaruniai potensi ikhtiyâr (kemampuan memilih). Karena itu, barang siapa yang mengutamakan jalan kebaikan, ia akan beruntung, dan barang siapa mengutamakan jalan kedurhakaan, ia akan kecewa dan menyesal. 32 Muhammad Asad menafsirkan “fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ” dengan realitasnya adalah manusia setara dalam liabilitas untuk meningkat pada level spiritualitas yang hebat atau terjatuh ke dalam tindakan amoral sebagai suatu karakter esensi watak manusia. Dalam maknanya yang paling dalam, kemampuan manusia bertindak salah sebanding dengan kemampuannya untuk bertindak benar. Dengan kata lain, polaritas inheren dari berbagai kecenderungan yang memberikan pilihan yang benar suatu nilai dan karenanya mempengaruhi manusia dengan moralitas kehendak bebas. 33

6. Mendorong orang menjadi Muslim seutuhnya Kalau ayat ini dipahami sebagai dakwah internal, maka tujuannya adalah peningkatan kualitas keislaman seseorang yakni menjadi muslim paripurna. Landasan skripturalnya adalah Q.S. al-Baqarah/2: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan musuh yang nyata bagimu.” Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini orang beriman diminta untuk masuk ke dalam keislaman secara totalitas, dalam artian melaksanakan seluruh ajaran Islam. Tidak hanya percaya dan mengamalkan sebagian dan menolak atau mengabaikan sebagian yang lain. 34 Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menafsirkan ayat ini dengan bahwasanya kalau seseorang telah mengaku beriman dan telah menerima Islam sebagai agamanya, hendaklah mengamalkan seluruh ajaran Islam secara konsekwen. Hendaknya seluruh isi al-Qur’an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti, diakui kebenarannya yang mutlak, meskipun misalnya, belum diamalkan semuanya. Tidak boleh dibantah dan tidak boleh mengakui adanya peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Dalam pada itu, hendaklah umat Islam melatih diri agar sampai meninggalkan dunia yang fana ini tetap menjadi orang Islam 100%.35

Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr Juz ‘Amma, terj. Muhammad Bagir (Jakarta: Mizan, 1998), h. 192. 33 Ibid., h. 954-955. 34 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 420. 35 Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II (Jakarta: Panjimas, 1984), h. 50. 32

297


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Dakwah dalam konteks ini diarahkan pada upaya-upaya untuk senantiasa meningkatkan kualitas keislaman seseorang. Dalam dataran teoretis ilmiah, umat Islam didorong untuk senantiasa menambah dan meningkatkan ilmu agamanya. Sementara dalam dataran praksis aplikatif, mereka diharapkan agar dengan tegas menjauhi pengamalan Islam secara minimalis, karena ini menyangkut keselamatan mereka bukan hanya di dunia, tetapi teristimewa di akhirat kelak. Peningkatan kualitas keislaman ini antara lain dilihat dari segi apresiasi, penghayatan dan pengamalan terhadap dimensi keyakinan, ibadah dan akhlak.

7. Mendorong pencapaian takwa Takwa termasuk satu tindakan kesalehan yang diperintahkan untuk dicapai dan ia juga merupakan bekal yang paling baik untuk menghadap ke hadirat Ilahi (Q.S. alBaqarah/2: 197). Menurut M. Isa Anshari, takwa adalah tujuan terakhir dari perjalanan spiritual umat Islam. Umat takwa ialah umat yang senantiasa menjaga, memelihara, mengawasi dan mengendalikan dirinya. 36 Di mata ’Abdullah Yusuf Ali, kata takwa mempunyai tiga arti: (1) Takut kepada Allah, (2) Menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala bentuk kejahatan, dan (3) Kesalehan, ketaatan dan kelakuan baik.37 Dalam pandangan Fazlur Rahman, term “taqwâ” biasa diterjemahkan dengan “takut pada Tuhan (fear of God) dan “kesalehan” (piety). Meskipun terjemahan ini tidak salah, Muslim menolaknya karena mereka mengira frasa ini menyimpang dalam melihat gambaran salah yang secara luas dipahami Barat, hingga dewasa ini, bahwa Tuhan Islam adalah diktator atau tiran, dalam konteks di mana “takut pada Tuhan” mungkin tidak bisa dibedakan dengan, katakanlah takut pada serigala. Akar kata takwa adalah “wqy”yang berarti “menjaga atau melindungi dari sesuatu.” Karenanya, takwa berarti melindungi diri dari akibat yang berbahaya dari perbuatan. Lalu jika takut pada Tuhan seseorang memahaminya dengan takut dari konsekuensi perbuatan, apakah di dunia atau di akhirat (takut pada siksaan hari kemudian) orang itu benar. Dengan kata lain, takut yang lahir dari rasa tanggung jawab, di dunia dan di akhirat, dan bukan takut pada serigala atau tiran, karena Tuhan dalam al-Qur’an memiliki kasih sayang yang tak terbatas, meskipun Dia juga menyiapkan pembalasan, baik di dunia maupun di akhirat.38 Di mata peneliti Muslim, takut banyak jenisnya: (1) Takutnya para pengecut, (2) Takutnya seorang anak yang belum berpengalaman menghadapi bahaya yang tidak diketahui, (3) Takutnya orang pantas yang ingin menghindari bahaya pada dirinya atau

Lihat M. Isa Anshari, Mujahid Dakwah, cet. 3 (Bandung: Diponegoro, 1984), h. 265. Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (Maryland: Amana Corporation, 1989), h. 17. 38 Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), h. 28-29. 36 37

298


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

orang-orang yang ingin dilindungi, (4) Penghormatan yang berhubungan dengan cinta, karena ia takut melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan obyek cinta. Takut jenis pertama tidak bermanfaat bagi manusia, yang kedua, perlu bagi orang yang belum dewasa, ketiga, tindakan pencegahan secara jantan melawan kejahatan sepanjang ia tidak terkalahkan, dan keempat, adalah cikal bakal kesalehan. Mereka yang dewasa dalam iman akan memilih yang keempat, pada tingkatan-tingkatan lebih awal, ketiga atau kedua mungkin perlu, mereka takut namun bukan kepada Allah. Yang pertama, suatu perasaan yang setiap orang seharusnya merasa malu. 39 Bagi orang-orang takwa disiapkan surga dan kenikmatan, dan mereka kekal di dalamnya (Q.S. al-Thûr/52: 17). Perintah dan anjuran bertakwa ini sangat penting kedudukannya dalam dakwah, karena itu disyaratkan dalam khutbah Jum’at atau ’Id, baik khutbah pertama maupun khutbah kedua. Dasar perintah bertakwa antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ’/4: 1 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu...” Selanjutnya dalam Q.S. Âli ’Imrân/3: 102, Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Ayat ini didahului dengan informasi bahwa orang yang berpegang teguh pada agama Allah akan diberi petunjuk jalan yang lurus. Sedangkan dalam ayat sesudahnya, memuat perintah untuk berpegang teguh pada agama Allah dan larangan bercerai-berai. Adapun ciri-ciri orang bertakwa berdasarkan petunjuk al-Qur’an antara lain sebagai berikut. Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, menafkahkan sebagian hartanya, percaya kepada kitab-kitab yang telah diturunkan serta yakin adanya kehidupan akhirat (Q.S. al-Baqarah/2: 3-4). Ciri-ciri lainnya adalah berinfak di waktu lapang maupun sempit, menjaga amarahnya, memaafkan kesalahan orang. Kalau melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka mengingat Allah dan memohon ampun atas dosa-dosanya dan tidak meneruskan perbuatan kejinya (Q.S. Âli ’Imrân/3: 134-135). Terdapat beberapa kelebihan bagi orang-orang yang bertakwa, antara lain akan diberi jalan keluar dari masalah yang dihadapinya dan akan diberi rezki dari sumber yang tak terduga (Q.S. al-Thalâq/65: 2-3), akan dimudahkan segala urusannya (Q.S. al-Thalâq/65: 4), akan dihapus segala kesalahannya dan diberi ganjaran yang besar (Q.S. al-Thalâq/65: 5). Untuk formulasi insan takwa yang lebih luas, menarik untuk dicermati rumusan yang diajukan Syahrin Harahap. Dengan berdasar pada petunjuk kitab suci, referensi tradisi yang dikemas dengan idiom-idiom modern, Harahap memformulasi orang bertakwa adalah orang beriman yang: (1) Dapat memainkan fungsi-fungsi kekhalifahannya

Lihat The Presidency of Islamic Researches, Ifta’, Call and Guidance, The Holy Qur’an: English Translation and Commentary (Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H), h. 170-171. 39

299


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 dan mampu membaca ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah, (2) Senantiasa menegakkan salat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Maha Gaib, (3) Memiliki iman yang fungsional, yang dibuktikan dengan aktivitas dan amal saleh, (4) Mempunyai visi yang jelas mengenai masa depan yang hendak dibangunnya, (5) Menangani pekerjaan secara team work yang kompak yang tercermin dalam ukhuwah islâmiyah, (6) Mampu menunda kesenangan sesaat, karena mengutamakan kesenangan abadi. 40

Penutup Sebagai kewajiban dan tugas suci, dakwah seharusnya diarahkan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan agar dakwah tetap berjalan di atas tujuan yang telah dirumuskan al-Qur’an. Tujuan-tujuan tersebut ditentukan oleh Tuhan yang mewajibkan dakwah itu sendiri. Tugas dai atau lembaga dakwah adalah menyesuaikan dan mengarahkan dakwahnya pada tujuan dimaksud. Munculnya agama Islam pada awalnya memang dimaksudkan untuk melepaskan manusia dari alam kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Tujuan ini akan tercapai bilamana manusia mengenal Tuhan, Penciptanya dan bagaimana mereka bersikap dan berbuat kepadaNya. Iman yang benar dari upaya dakwah akan terefleksi dalam ibadah dan akhlak. Dakwah yang berhasil akan mampu memenangkan ilham atas fujûr, mampu mengantar manusia menemukan fitrahnya, mendorong tercapainya manusia paripurna. Tujuantujuan ini sesungguhnya akan bermuara pada terwujudnya insan-insan yang bertakwa.

Pustaka Acuan Abduh, Muhammad. Tafsîr Juz ‘Amma, terj. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1998. Abdulrahman, Muhammad Imaduddin. Kuliah Tauhid, cet. 3. Jakarta: Kuning Mas, 1993. A Group of Muslim Scholars. An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an, trans. Sayyid Akbar Sabr Ameli. Isfahan: Amir al-Mu’mineen Ali Library, 1998. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary. Maryland: Amana Corporation, 1989. Anshari, M. Isa. Mujahid Dakwah, cet. 3. Bandung: Diponegoro, 1984. AS, Enjang dan Aliyuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis. Bandung: Widya, 2009. Asad, Muhammad. The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dâr al-Andalûs, 1980. Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, cet. 2. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

40

Untuk penjelasan detail, lihat Harahap, Islam Dinamis, h. 111-112.

300


Iftitah Jafar: Tujuan Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an

Djaelani, H. A. Timur. “Pembahasan Umum Mengenai Dakwah.” dalam Forum Dakwah. Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia, 1972. Fadh Allâh, Muhammad Husain. Ushlûb al-Da’wah fî al-Qur’ân, terj. Tarmana Ahmad Qosim. Jakarta: Lentera Basritama, 1997. Gharishah, Alî. Du’âtun lâ Bughâtun, terj. Abu Ali. Solo: Pustaka Mantiq, 1979. Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997. Habib, M. Syafaat Buku Pedoman Dakwah. Jakarta: Widjaya, 1982. Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II. Jakarta: Panjimas, 1984. Harahap, Syahrin. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Hasymi, A. Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Kafie, Jamaluddin. Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan. Surabaya: Offset Indah, 1993. Al-Khatîb, ‘Abd al-Hâmid. Asmâ’ al-Risâlât, terj. Bey Arifin, jilid II. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Khûlî, Bakhyûl. Tadzkirat al-Du’ât, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Arâbîyyah, t.t. Mahfûzh, Syaikh ’Alî. Hidayat al-Mursyidîn. Kairo: Dâr al-Kutub al-’Arâbîyyah, t.t. Muhiddin, Asep. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Muslim, Imâm. Shahîh Muslim. Riyâdh: Dâr al-Salâm, 1999. Quthb, Sayyid. Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân, juz II dan IV. cet. 17. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1992. Quthb, Sayyid. Fiqh al-Da’wah: Mawdhu’ât fî al-Da’wah wa al-Harakah, terj. Suwardi Effendi dan Ah. Rosyid Asyofi. Jakarta: Pustaka Amani, 1986. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994. Safe’i, Agus Ahmad. “Kajian Aksiologi Ilmu Dakwah,” dalam Aep Kusnawan, et al.. Dimensi Ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, hingga Paradigma Pengembangan Profesionalisme. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009. Sandjaja, Sasa Djuarsa, et al. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 1993. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Shafwat al-Tafâsir, vol. II, cet. 4. Beirût: Dâr al-Qur’ân alKarîm, 1981. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid I. Jakarta: Lentera Hati, 2000. Sri Wahyudi, Agustinus. Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996. Al-Thabathaba’î, Muhammad Husain. Al-Mîzan: An Exegesis of the Qur’an, vol. I. Jakarta: Institute for the Study of Religion and Philosophy, 1983. 301


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 The Presidency of Islamic Researches, Ifta’, Call and Guidance, The Holy Qur’an: English Translation and Commentary. Madinah: King Fahd Holy Printing Complex, 1410 H. Ya’qub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Zahrah, Muhammad Abû. Al-Da’wat ilâ al-Islâm, terj. Ahmad Subandi dan Ahmad Sumpeno. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

302


ACUAN PEMBANGUNAN ACEH PASCA TSUNAMI Ke Arah Pembangunan Berasaskan Islam Sukiman Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara Medan. Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20731 e-mail: winsukiman@yahoo.com

Abstract: Reference of Development in the Post-Tsunami Aceh: An Analysis Toward Islamic Based Development. Tsunami disaster occurred in Aceh causes not only in the lost of a great number lives but also in very serious destruction of infrastructure and every aspect of lives. Thus, in post Tsunami, rebuilding Aceh becomes the priority of the government. This article tries to analytically describe various government programs in rebuilding Aceh in the post Tsunami. In such a context, the author argues that besides referring to national development program (Propenas) rebuilding Aceh also refer to the regulation of Qanun of Aceh, a regulation of which constitutes the principles of Islamic teachings to be used as a blue print for rehabilitating and reconstructing in the post-Tsunami Aceh.

Kata Kunci: pembangunan, propenas, qanun Aceh

Pendahuluan Rakyat Aceh yang menduduki salah satu provinsi paling Barat Sumatera mayoritas beragama Islam, mereka telah menjadikan Syariat Islam sebagai asas kehidupan seharihari. Islam yang dianut itu telah berakar sejak Islam masuk ke wilayah Aceh sekitar abad ketiga belas di pesisir Perlak. 1 Kawasan ini merupakan kerajaan Islam di Asia Tenggara yang telah ada sejak abad keenam belas dan ketujuh belas Masehi. Sejak itulah Islam terus berkembang, sehingga Aceh menjadi pusat Islam di Asia Tenggara. Menurut

Wilayah Aceh ketika itu telah pula menjadi kerajaan Islam Samudra Pasai, bahkan dalam kitab “Izhar al-Haqq fi Silsilah Raja Perlak” menyebutkan bahwa sejak abad kesembilan di Perlak sudah berdiri Kerajaan Islam. Kitab ini ditulis oleh seorang penulis sejarah bernama Abu Ishâq al-Makranî al-Fasî. Ia berasal dari keluarga Mekran Baluchistan (Pakistan Barat) yang sejak lama tinggal di Pasai. Dalam kitab itu dikatakan, kerajaan Perlak didirikan pada tahun 225 H/847 M, dan diperintah berturut-turut oleh delapan Sultan. Taufik Abdullah, et al. (ed.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiyar Baru van Hove, 2002), h. 12. 1

303


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Taufik Abdullah, Aceh telah mengamalkan Islam secara kaffah (sempurna) dan mencapai kejayaan pada masa kesultanan Aceh dari tahun 1514-1912 M. Menurut beliau, kejayaan Aceh ini diraih karena pemimpin mereka mampu membangun masyarakatnya sebagai umat yang saleh, struktur pemerintah Islam yang jelas, 2 integrasi antara Islam dengan adat istiadat Aceh,3 dan memiliki pendidikan yang berkualitas. Ini terbukti dengan terangkatnya Aceh menjadi pusat pendidikan di Asia Tenggara, memiliki tujuh belas fakultas dalam berbagai bidang ilmu yang telah masyhur pada masa Sultan Iskandar Muda. 4 Pada awal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Aceh telah memiliki semangat keislaman yang mampu mempertahankan kedaulatan Aceh dari penjajah Belanda, sehingga Aceh wujud sebagai daerah modal5 dalam rangka meraih kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Walaupun baru menghirup suasana merdeka dari penjajah Belanda tahun 1946, Aceh mengalami revolusi sosial dengan terjadinya perang Cumbok yang mengorbankan 1.500 orang penduduknya.6 Meskipun demikian cita-cita masyarakat Aceh untuk mempertahankan Islam di tanah Aceh 7 seakan-akan selalu mendapat hambatan dari Pemerintah Pusat Indonesia, bahkan Provinsi Aceh dihapuskan dan digabungkan dengan Sumatera Utara. Sebab itu, pada 21 September 1953 meletuslah peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Daud Beureueh. 2 Dalam struktur kesultanan Aceh terdapat dua kelompok tentara yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan batas dan kekuasaan masing-masing. Pertama, fungsionaris dalam masalah dunia (adat) 1. Sultan dalam unit kesultanan; 2. Ulebalang dalam unit Nanggro; 3. Panglima Sagoe dalam unit sagi; 4. Kepala Mukim dalam unit mukim; 5. Keucik dalam unit meunasah atau gampung. Kedua, fungsionaris dalam masalah agama (syariat) yaitu: 1. Qadhi Malik ‘Adil pendamping sultan; 2. Qadhi ulebalang pendamping ulebalang; 3. Imum Mukim pendamping kepala mukim; 4. Teungku Meunasah pada unit meunasah atau gampung. Ibid., h. 220.

Dalam pelaksanaan Islam Aceh menyesuaikan praktik agama dengan tradisi atau adat istiadat itu tercermin dalam ungkapan Aceh yang sangat populer yaitu ‘adat ngon hukom hanjeut cree zat ngon sifeut’ artinya “adat dan syariat Islam tidak dapat dipisahkan, seperti zat dengan sifat”. Di sini kaedah Islam sudah merupakan bagian dari adat istiadat Aceh. Dalam masyarakat Aceh ada dua bentuk hukum yang berlaku, ialah pertama, adalah yang hana ubah siumu masa (ketentuan Allah SWT.) yang tidak berubah sepanjang masa. Kedua, adalah alMuhakkamah (adat kebiasaan masyarakat berdasarkan masyarakat Islam. Ibid, h. 219. 3

4

Abu Jihad, Asal Usul Kerajaan Aceh Sampai Aceh Merdeka (t.t.p: t.p., 2002), h. 2.

Daerah modal bermakna bahwa Aceh telah tampil sebagai satu-satunya wilayah di Republik Indonesia yang sanggup menahan penyerbuan Belanda dalam dua kali penyerangan, sehingga setelah itu disanjung setinggi langit oleh Presiden Soekarno ketika berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948. Presiden memberi gelar kehormatan bagi Aceh dengan Daerah Modal. Lihat A. Hasjmi, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 396. 5

Perang Cumbok adalah kasus pembunuhan terhadap kaum ulebalang di Sigli, karena kaum ulebalang berkeinginan mengembalikan kekuasan Belanda dan melakukan kerjasama dengan kerajaan Belanda. Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 1. 7 Dalam kunjungan Presiden Soekarno ke Aceh bulan Juni 1948 itu, Presiden telah menjanjikan akan memberi hak otonomi luas bagi Aceh sehingga dapat menjalankan Syariat Islam. Ibid., h. 96. 6

304


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Aceh mengalami masalah sekali lagi. Pemerintah Pusat tidak begitu adil kepada Aceh, terutama ketika proyek-proyek besar Aceh Utara mulai dirintis. Tingkat penyerapan tenaga kerja lokal senantiasa dipinggirkan tetapi tanah mereka digunakan untuk pembangunan.8 Hasil kekayaan bumi seperti minyak, gas dan produk lainnya banyak diambil dari bumi Aceh sehingga rakyat merasa dirugikan. Akibatnya, sekitar tahun 1976 kembali meletus perjuangan Aceh Merdeka (AM) yang merupakan lanjutan gerakan DI/TII. Gerakan ini bertujuan mewujudkan kerajaan Islam di Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Hasan Tiro.9 Gerakan ini dapat diatasi oleh pemerintahan Soeharto dengan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. DOM di Aceh ini dilakukan dengan alasan untuk memulihkan keamanan. Perilaku tentara di Aceh ini telah memberi pengaruh negatif kepada masyarakat Aceh sehingga menciptakan suasana yang mencengkam terhadap rakyat Aceh. Keadaan demikian berlaku sehingga kekuasaan Soeharto jatuh melalui unjuk rasa nasional pada tahun 1998. Pada masa Orde Reformasi, di bawah Presiden B.J. Habibie yang menerapkan prinsip keterbukaan termasuk memberikan hak demokrasi dan otonomi daerah yang dapat memperluas wilayah masing-masing. Keadaan ini memberi peluang kepada rakyat Aceh untuk melakukan referendum (menentukan pilihan sendiri melalui jajak pendapat rakyat Aceh). Lebih-lebih lagi pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang sangat memberi peluang untuk bangkitnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Presiden Abdurrahman Wahid setuju mengadakan referendum di Aceh dan ia yakin bahwa rakyat Aceh mempunyai komitmen terhadap Republik Indonesia. Namun sekitar 2 juta rakyat berkumpul di halaman Masjid Raya Baiturahman di Banda Aceh menyerukan kemerdekaan dan meneriakkan Gerakan Aceh Merdeka. Mereka menyebut acara ini sebagai Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR). Tiga hari kemudian mahasiswa Aceh menolak opsi referendum yang ditawarkan Presiden Abdurrahman Wahid karena tidak ada pilihan untuk merdeka. Beliau hanya menawarkan referendum untuk rakyat Aceh dengan memberi pilihan antara otonomi khusus dengan autonomi total maupun dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Isu referendum tersebut semakin kuat, sehingga warga Aceh terutama etnis Jawa meninggalkan Aceh secara ramai-ramai karena khawatir akan terjadi perang saudara ketika referendum itu dilaksanakan.10 8

Ibid., h. 81.

Muhammad Hasan Tiro adalah orang Aceh yang merasa terpanggil untuk memperjuangkan daerah Aceh menjadi kerajaan Islam yang berpisah dari Republik Indonesia. Beliau ketika itu tinggal di New York, Amerika Serikat, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Columbia University, dan sebagai staf Perwakilan Indonesia di New York. Sejak bulan September 1954 secara mengejutkan Hasan Tiro tidak saja dikenal masyarakat Indonesia, akan tetapi dikenal juga oleh dunia internasional. Ia muncul sebagai Duta Besar Republik Islam Indonesia di Amerika dan Persatuan Bangsa-Bangsa. M. Nur El Ibrahimy, Tengku Muhammad Daud Bereueh (Jakarta: Gunung Agung, 1986), h. 13. 9

10

h. 148.

Prabudi Said, Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada (Medan: Prakarsa Abadi Press, 2006),

305


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Kedaaan Aceh semakin konflik inilah pada hari Minggu, 26 Desember 2004 kirakira pukul 08.58 pagi waktu Indonesia bagian Barat terjadilah gempa bumi yang berkekuatan 9.0 pada Skala Richter (SR) yang menimbulkan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.11 Gempa bumi dan tsunami ini telah menghancurkan beberapa kota besar seperti Banda Aceh, Meulaboh, Sigli, Singkil, Lhokseumawe dan kota-kota kecil di sepanjang pantai Aceh. Musibah ini telah menghancurkan bangunanbangunan, rumah-rumah penduduk, dan pusat-pusat pasar raya. Pendeknya, bencana ini telah merusak kehidupan masyarakat Aceh seperti kehilangan sanak saudara, kehilangan pekerjaan dan ketertinggalan pendidikan dan usaha. Peristiwa gempa bumi dan tsunami dengan beberapa deretan konflik yang berpanjangan ini telah merusak kehidupan masyarakat Islam Aceh. Ia telah mengembalikan masa lalunya yang penuh derita, kesengsaraan dan ketinggalan. 12 Tsunami merupakan puncak penderitaan masyarakat. Kenapa musibah besar ini berlaku di Aceh?. Sebelum ini pun, pada tahun 1953 telah terjadi banjir besar sehingga menenggelamkan seluruh Aceh. Pada tahun 1964 terjadi kembali gempa bumi berskala 6.7 skala richter. Pada tahun 1983, telah berlaku sekali lagi banjir besar dan gempa bumi kuat. Pada tahun 1999, terjadi lagi banjir yang besar hingga menenggelamkan Banda Aceh.13 Mengenang musibah ini, H. Sayed Fuad Zakaria, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ketika itu mengatakan: Bahwa banyak rakyat di sekitar kita bertanya mengapa malapetaka yang dahsyat itu terjadi justeru di tanah serambi Makkah yang penduduknya hampir seluruhnya beragama Islam. Mengapa musibah yang amat tragis itu, dirasakan oleh rakyat di bumi Iskandar Muda yang telah dinyatakan sebagai daerah yang berlaku syariat Islam. Mengapa tanah rencong yang telah melahirkan ribuan ulama dan pahlawan/

Gempa bumi pada tanggal 26 Desember 2004 jam 08.58 dengan kekuatan 9,0 pada Skala Ricter (SR), ebisenternya pada 3 0 LU DAN 95 0 BT berada di lepas pantai Sumatera di Utara pulau Simeulue. Pusat gempa dengan kedalaman 30 KM tergolong gempa dangkal dan sangat merusak, berada pada bagian Selatan lempeng tektonik Birma, lempeng tektonik mikro Myanmar berada di Samudera India pada posisi geografis antara + 2 0 LU – 6 0 LU dan + 92 0 BT – 96 0 BT Jonantan Tarigan, aktivitas lempeng tektonik Myanmar ancaman permanen. Lihat Harian Waspada (10 Januari 2005). 11

Keadaan seperti ini terjadi di awal masa jabatan Gubenur A. Hasjmi dilantik pada tanggal 27 Januari 1957 mewarisi bumi Aceh yang telah hancur, porak-poranda, penduduknya telah amat menderita, kebanyakan anak-anak usia sekolah tidak berkesempatan belajar, ekonomi rakyat telah berantakan, sawah dan ladang terbengkalai, rumah-rumah banyak yang terbakar, pasar-pasar sunyi, kereta api menjadi mati karena relnya yang memanjang dari Selat Malaka telah dibongkar, jalan-jalan raya telah terpotong-potong, perpecahan dan permusuhan mencengkam masyarakat, kecemasan dan ketakutan penduduk, iri hati, hasut dan fitnah merobek-robek kerukunan dan perdamaian. Hasjmi, Semangat Merdeka, h. 555. 12

Azman Ismail, et al., Hikmah Tsunami di Baiturrahman (Banda Aceh: Pengurus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh kerjasama dengan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 2005), h. 106. 13

306


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

syuhada terus menerus penduduknya hidup dalam derita dan sengsara yang berpanjangan.14 Dalam pandangan teologi Islam, musibah atau bencana yang ditimpakan kepada manusia sering dikaitkan dengan kesalahan atau penyimpangan dari syariat Islam yang diturunkan Allah SWT. Satu negeri yang aman, tenang dan sejahtera, tetapi oleh karena kufur terhadap nikmat Allah, maka Allah kirimkan peringatan berupa kelaparan dan ketakutan (Q.S. al-Nahl/16: 112).15 Cobaan berupa teguran dari Allah itu boleh saja datang dari atas kepala (min fauqikum) atau dari bawah kaki (min tahti arjulikum) atau dari sesama manusia (yalbisakum siyaa) (Q.S. al-An’âm/6: 65).16 Gubenur Aceh masa itu H. Azwar Abu Bakar berkata: Musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004, setidaknya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ia sebagai peringatan dari Allah SWT. dan kedua, sebagai pembelajaran. Sebagai peringatan mengharuskan kita melakukan penilaian terhadap iman dan melakukan dalam bentuk amal kita selama ini, sebagai sebuah daerah yang telah pula menyatakan diri untuk melaksanakan syariat Islam, apakah kita sudah melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Atau jangan-jangan kita masih setengah hati dengan syariat Allah Yang Maha Kuasa. Jika pun masa ini masih saja terdapat berbagai bentuk maksiat pada tingkat pejabat serta dalam kehidupan masyarakat, maka saatnya segera kita hentikan. Sebagai sebuah pembelajaran, hendaknya kita boleh hidup cerdas dan bermartabat.17 Mungkinkah bencana ini merupakan peringatan dari Allah SWT. agar sistem kehidupan di Aceh menggunakan acuan pembangunan Islam, karena syariat Islam diberlakukan

14 15

Ibid., h. 106. Bacaan ayat tersebut:

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. 16 Bacaan ayat tersebut :

“Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan (merasakan kepada sebahagian) kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (nya).” 17 Ismail, Hikmah Tsunami, h. 106.

307


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 di Aceh. Sebab itu, acuan pembangunan Islam Aceh sangat sesuai dan potesial untuk digunakan karena: Pertama. Aceh mempunyai sejarah kegemilangan dan semangat Islam yang kukuh. Kedua. Aceh memiliki wilayah yang subur dan memiliki sumber alam yang melimpah. Daerah ini ibarat sepotong tanah dari surga seperti negeri Saba’ yang telah dikisahkan oleh al-Qur’an.18

Rancangan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami Program Pembangunan Nasional (PROPERNAS) Salah satu kewajiban Pemerintah Pusat ialah memberi arahan terhadap pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Pada masa lalu, arahan ini wujud melalui keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan daerah. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah juga memiliki hak untuk membuat rencana program pembangunan daerah masing-masing berdasarkan arahan Pemerintah Pusat. Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) telah dilaksanakan di Aceh sebelum tsunami, meskipun belum terlaksana dengan baik. Rancangan ini terkendala karena berlakunya musibah tsunami. Keadaan pemerintah Aceh pada masa itu dalam keadaan lumpuh sehingga Pemerintah Pusat mengambil alih aktivitas pembangunan Aceh. 19 Selama beberapa waktu, nadi pembangunan Aceh terasa redup dan nyaris berhenti. Mereka hanya melakukan pembangunan seperti memperbaiki kerusakan akibat hantaman tsunami, melalui program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. 20

Kisahnya terdapat dalam Q.S. al-Saba’/34:15 yang menyatakan bahwa penduduk negeri Saba’ memiliki dua bidang kebun di sebelah kanan dan kiri subur, makmur dan memperoleh ridha Allah SWT. Menurut Sayid Qutub, kaum Saba’ ialah satu kaum yang tinggal di sebelah selatan Yaman, keadaan tanah yang subur ditanam secara terus-menerus untuk meningkatkan taraf hidup yang sejahtera, memiliki lembah antara dua gunung. Mereka membuat irigasi antara selatan dan timur, sehingga menjadi sumber mata air yang mengalir dan tertutup, serta mereka manfaatkan untuk kemakmuran negeri, irigasi itu mereka namakan dengan ma’rib. Lihat Sayyid Qutub, Ma’alim fî al-Tharîq (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1973), h. 290. Menurut al-Marâghî bahwa penduduk negeri Saba’ ini terdiri atas raja-raja Yaman, hidup dalam kenikmatan besar dan rezeki yang luas, mereka mempunyai kebun yang subur dan tanaman-tanaman yang lapang di sebelah kanan lembah dan kirinya. Begitu pula telah mengutus kepada mereka rasul-rasul-Nya yang menyuruh mereka supaya memakan rezeki dari Allah, agar mereka bersyukur kepada Allah dengan cara mengesakan dan beribadah kepadaNya sebagai imbalan atas karunia-karunia tersebut. Lihat: Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Maraghî (Beirut: Dâr Fikr, 1974), h. 117. 19 Said, Berita Peristiwa, h. 1650. 20 Kemudian lahirlah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam-Nias. Misi dari lembaga ini ialah untuk memulihkan keadaaan dan memperkukuh masyarakat Aceh dengan merancang dan mengawasi pembangunan yang terorganisasi dan tertumpu pada masyarakat tempatan dengan standar profesionalisme Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias. Lembar Fakta, 2005, h. 1. 18

308


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Salah satu isi ketetapan PROPERNAS ialah Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan ini mengungkapkan berbagai masalah bangsa seperti nilai-nilai agama dan budaya tidak dijadikan sumber etika dalam pembangunan bangsa dan negara. Akibatnya, terdapat krisis akhlak dan moral seperti ketidakadilan, pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. 21 Krisis akhlak dan moral telah ada yang berlaku di Aceh sebelum Tsunami, walaupun secara umum masih lebih banyak mengamalkan Islam, tetapi pada hakikatnya wujud kebebasan untuk melakukan maksiat seperti judi, minuman keras, ganja dan obat-obat terlarang telah banyak pula terjadi. Menurut Apridar, 22 sebelum tsunami anak-anak muda melakukan maksiat di tepi-tepi pantai. Ada yang mengatakan Aceh bukan lagi sebagai Serambi Makkah tetapi telah berubah menjadi serambi maksiat. 23 Apalagi pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan, perampokan dan pembunuhan24 tidak dapat dihitung lagi, sehingga telah merusak keadaan masyarakat Aceh. Untuk memperbaiki keadaan tersebut diperlukan arahan PROPERNAS yang menghendaki wujudnya nilai-nilai agama dan budaya sebagai sumber etika untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan tercela yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Arahan tersebut menghendaki agar nilai-nilai agama dan budaya bangsa dijadikan sebagai sumber etika pembangunan kehidupan bangsa dan negara dalam rangka memperkukuh akhlak penyelenggara negara dan masyarakat. 25 Selain itu, menularnya gejala korupsi, kolusi dan nepotisme yang menguntungkan satu pihak atau kelompok pengusaha mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi, pengangguran semakin meningkat serta perbedaan sosio-ekonomi yang semakin tajam, dan keadaan ekonomi rakyat Aceh terus mengalami kemiskinan. Untuk memperbaiki keadaan itu, program pembangunan ekonomi Aceh ialah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu kepada menumbuhkan ekonomi rakyat dan daerah. 26 Selain itu, Ketetapan MPR tentang visi Indonesia 2020 ialah wujudnya masyarakat Indonesia yang beragama, manusiawi, terpadu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara.27 Visi tersebut sangatlah mulia karena cita-

TAP MPR RI (2003), h. 77. Apridar, Tsunami Aceh Adzab atau Bencana (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 2. 23 Bisik-bisik ini menurut pengamatan sementara di Aceh terutama di pantai-pantai ramai tempat-tempat maksiat seperti pelacuran dan judi yang didukung oleh sebagian pejabat dan tentara yang gagah perkasa. Ibid., h. 5. 24 Banyak kejadian yang memilukan hati atas pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka (Jakarta: Penebar Buku Madani, 2003), h. 13. 25 TAP. MPR RI (2003), h. 79-80. 26 Ibid, h. 77-81. 27 Cita-cita ini sebenarnya merupakan inspirasi berasaskan amanat Undang-Undang Dasar RI, yang berbunyi “Dan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang 21 22

309


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 cita Indonesia 2020 akan membangun negeri ini meraih tujuan kemakmuran, dan kesejahteran rakyat. Untuk mencapai visi tersebut, MPR telah mengarahkan semua penyelenggara negara agar berpedoman kepada visit Indonesia 2020 bagi menetapkan kebijaksanaan program pembangunan kehidupan bangsa dan negara. 28 Sejalan dengan ketetapan MPR tersebut, telah ditetapkan rancangan pembangunan Aceh seperti berikut. (i) Melaksanakan, memantapkan dan memperluas otonomi daerah secara bertingkat dengan menitikberatkan kepada daerah tingkat Kabupaten/Kota sehingga terciptanya kemandirian dan mempercepatkan pembangunan untuk mendukung pembangunan nasional. (ii) Menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian masyarakat Aceh yang berwawasan nusantara dan pertanian dalam rangka meningkatkan kualitas suber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang selaras, adil dan menyeluruh. 29 Untuk mencapai kesejahteraan rakyat Aceh dilakukan berbagai usaha pembangunan seperti dalam bidang ekonomi, 30 pariwisata, pos dan telekomunikasi, perumahan dan pemukiman, tata ruang dan lingkungan hidup, pendidikan, kebudayaan daerah, pemuda dan olah raga, kependudukan dan keluarga sejahtera, kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja. 31

Rancangan Pembangunan Dalam QânĂťn Aceh Delapan bulan pasca tsunami Aceh pada 15 Agustus 2005 berlangsung penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki Finlandia. Memorandum kesepakatan ini sebagai suatu usaha penyelesaian konflik Aceh secara komprehesif melalui upaya kemanusiaan. Salah satu isi kesepakatan itu ialah penyelenggaraan pemerintahan di Aceh berdasarkan undang-undang. Hal ini bertujuan untuk mengatur sistem pemerintahan yang kokoh, bersih dan berwibawa. Sebagai realisasinya telah disahkan dan diterbitkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 tahun 2006 yang terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Dalam undang-undang Pemerintahan Aceh itu, terdapat pernyataan-pernyataan tentang Islam. Antaranya berbunyi “urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan pemerintahan Aceh, antara

berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.� 28 TAP. MPR. RI (2003), h.133. 29 Bapeda Aceh, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007-2012 (Banda Aceh: Bapeda NAD, 2007), h. 3. 30 Pembangunan industri, pertanian dengan sasaran meningkatkan produktivitas, peningkatan ekspor, keberhasilan makanan, lapangan kerja, pemanfaatan lahan kosong dan pengembangan komoditas utama dan perdagangan, pengembangan usaha daerah, koperasi, pembinaan pengusaha kecil dan menengah. Ibid., h. 7-20. 31 Ibid., h. 23.

310


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

lain penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama.”32 Kata Islam dipakai sebagai asas pemerintahan Aceh. 33 Tetapi asas Islam ini belum secara rinci dijelaskan dalam penyenggaraan pemerintahan di Aceh. Demikianpun, pernyataan ini telah menunjukkan adanya kemauan dari semua pihak untuk menjadikan Islam sebagai asas pemerintahan Aceh pasca tsunami. Pesanan ini sebagai satu isyarat agar para penyelenggara pemerintahan Aceh beriman dan bertakwa kepada Allah,34 serta istiqamah mengamalkan Islam. Walaupun pesan tersebut belum lagi sebagai syarat utama pemerintah yang Islam. 35 Tanggung jawab pucuk pemerintahan bagi menegakkan Islam di Aceh dalam UUPA terletak pada pelaksanaan tugas Gubenur dan Bupati yang berbunyi “bahwa tugas dan wewenang Gubenur dan Bupati ialah melaksanakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh.” 36 Untuk menjalankan amanat ini, Gubernur Aceh telah menetapkan visi pemerintahan Aceh yaitu mewujudkan masyarakat Aceh yang madani berdasarkan Islam. 37 Pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada dasarnya telah dikeluarkan melalui keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.” 38 Amanat ini telah ditampung pula dalam UUPA pada bab 17 pasal 125 menyatakan: (1). Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi UUPA (2006), h. 21. Ibid., h. 25. 34 Pada pemilihan Gubernur tahun 2005 yang lalu seorang calon Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Walikota dan wakilnya harus memenuhi salah satu syarat kelulusan membaca al-Qur’an yang diuji oleh tim yang dilakukan oleh Komisi Pilihan Umum. 32 33

Al-Farâbî menyebutkan syarat seorang kepala pemerintahan ialah pertama, sempurna anggota jasmaninya. Kedua, luas pengetahuannya. Ketiga, bagus tanggapannya. Keempat, sempurna ingatannya. Kelima, pandai dan bijaksana. Keenam, mencintai pengetahuan. Ketujuh, tidak hidup berfoya-foya. Kedelapan, tidak serakah makan, minum dan hubungan seks. Kesembilan, cinta kepada kebenaran dan membenci kebohongan. Kesepuluh, cinta kepada keadilan dan benci kepada kezaliman. Kesebelas, sanggup menegakkan keadilan. Keduabelas, mampu ekonominya. Menurut al-Mawardî, syarat menjadi pemimpin haruslah berlaku adil dengan segala persyaratannya. Syarat adil haruslah lebih dahulu berlaku amanah. Pendapat al-Ghazâlî mensyaratkan pemimpin harus wara’ dan sikap ini diterjemahkan dengan akhlak, dan salah satu ajaran akhlak ialah ‘amanah. M. Jalal Syaraf, Al-Fikr al-Siyâsi fî al-Islâm (Kairo: Iskandariyah Dâr al-Jannah, 1978), h. 395. 35

UUPA, h.45. Al Yasa Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2006), h. 23. 38 Dinas Syariat Islam, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun Instruksi Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam NAD, 2006), h. 6 36 37

311


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 akidah, syari’ah dan akhlak,39 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi ibadah Ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga), Mu’âmalah (hukum muamalat), Jinâyah (hukum jenayat), Qadâ (peradilan), Tarbiyah (pendidikan), da’wah, syiar dan pembelaan Islam.40 Dalam melaksanakan Syariat Islam, Gubernur Aceh telah mengeluarkan satu peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No 33 Tahun 2001 tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam Aceh. Dinas ini bertugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggungjawab di bidang pelaksanaan Syariat Islam. Karena itu, tugas dinas ini ialah membuat qânûn pelaksanaan syariat Islam, pembinaan sumber daya manusia, melancarkan pelaksanaan peribadatan, penataan sarana dan penyemarakan syariat Islam, membimbing serta mengawasi pelaksanaan Syariat Islam serta pembinaan penyampaian syariat Islam.41 Selanjutnya, dikemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat Aceh yang madani ini ditemukan tujuh misi seperti berikut: Pertama, mewujudkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan masyarakat serta Adat Aceh yang berjiwa Islami. Kedua, menciptakan tegaknya supremasi hukum dan hak azasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran yang bersifat universal. Ketiga, meningkatkan profesionalisme dan spiritualisme aparatur Pemerintah Daerah yang berfungsi melayani masyarakat, produktif dan bebas dari rasuah, persekongkolan dan nepotisme, sehingga dapat melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Keempat, meningkatkan kualitas masyarakat dan sumber modal insan melalui peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan yang memiliki akhlak mulia, iman dan takwa serta memiliki keunggulan kompetitif dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, membangun dan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berasas pada sumber alam dan modal insan yang produktif serta berwawasan alam sekitar dan berkelanjutan. Keenam, menetapkan perekonomian Aceh pada posisi yang kompetitif dalam arus globalisasi dan liberalisasi wilayah dan Internasional. Ketujuh, mewujudkan pelaksanaan keistimewaan Aceh secara menyeluruh. 42 Untuk melaksanakan misi di atas ditetapkan pula empat rencana stategis (Renstra).43 Dua di antaranya berkenaan dengan penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Lebih dari itu sebenarnya ajaran Islam tidak terbatas hanya tiga aspek, tetapi mencakup bidang lain yang jauh lebih luas, seluas kehidupan itu sendiri. Jadi, di dalam Islam ada aspek ekonomi, pendidikan, politik, kesenian, dan olah raga. Abu Bakar, Syari‘at Islam, h. 19. 40 Adapun pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Aceh No. 5 Tahun 2000, di antaranya pada bab 4 aspek pelaksanaan Syariat Islam terdiri dari, (a). Akidah, (b). Ibadah (c). Muamalah, (d). Akhlak, (e). Pendidikan dan Dakwah Islamiyah, (f). Baitul Maal, (g). Kemasyarakatan, (h). Syiar Islam, (i). Pembelaan Islam, (j). Qada Jinayat, (k) Munakahat. (m). Mawaris. Dinas Syariat Islam, Himpunan Undang-Undang, h. 98. 41 Ibid., h. 3-4. 42 Abubakar, Syari‘at Islam, h. 23. 43 Rencana stategis ini telah dibuat pada tahun 2001 beberapa tahun sebelum tsunami, 39

312


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Pertama, mengandung: (a) Pembangunan sektor pendidikan, (b) Pembangunan bidang agama, (c) Pembangunan bidang adat, dan (d). Peningkatan peranan ulama44 dalam menetapkan arahan pembangunan daerah. Kedua, menumbuhkan ekonomi masyarakat seperti penyempurnaan infrastruktur, pengangkutan, meningkatkan produktivitas dan kualitas pertanian, bantuan modal untuk usaha kecil dan rumah tangga, meningkatkan dan pengembangan badan usaha milik daerah, usaha kecil, menengah dan koperasi serta meningkatkan dan mengembangkan usaha pemasaran.45 Bidang pendidikan dalam UUPA, pasal 216 yang berbunyi “bahwa setiap penduduk Aceh berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan Islami bahkan pendidikan diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai Islam, budaya dan kemajmukan bangsa.”46 Sedangkan pendidikan non-formal telah ditampilkan wacana-wacana baru, 47 tetapi bahannya sudah lama ada di Aceh seperti pelaksanaan Syariat Islam berbasis masjid dan Meunasah pada setiap desa (kampung). Menurut al Yasa Abubakar, meunasah (madrasah) dan masjid mempunyai fungsi berikut. Pertama, dapat menyusun azan di setiap salat fardhu. Kedua, penyediaan fasilitas yang memadai untuk kebaikan salat. Ketiga, tempat aktivitas tazkirah dan pengajian al-Qur’an. Keempat, tempat menetapkan jam belajar kampong. Kelima, pusat aktivitas salat berjamaah dan tarawih, peringatan maulid Nabi. Keenam, pusat zakat, infak dan sedekah. 48 Jika masjid dan meunasah difungsikan dengan baik, maka pendidikan Islam akan dapat

keempat Renstra itu ialah, Pertama, penyelesaian konflik. Kedua, penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Ketiga, menumbuhkan ekonomi masyarakat, dan Keempat, pembangunan wilayah perbatasan dan kawasan tertinggal, Ibid., h. 24. Sejak zaman kesultanan Aceh, peranan ulama untuk menetapkan kebijaksanaan pemerintah berjalan dengan baik. Hal ini telah dimulai ketika Sultan Mansyur Syah yang saleh dan adil. Ia membuka kesempatan luas kedatangan guru-guru agama dan ulama dari luar Negeri, pemerintah Islam dijalankan salat lima waktu dan puasa Ramadhan. Namun, peranan ulama dan cendikiawan di saat syariat Islam diberlakukan, lebih-lebih pada pasca tsunami sangatlah berat, tugasnya antara lain, menyegerakan pemahaman rakyat Aceh tentang syariat dan menerapkan konsep syariat seperti ijma’, syara’, ijtihad. Hal lain yang dapat menjauhkan umat daripada bid’ah dan a’dah. Bid’ah adalah praktik keagamaan yang tidak diperkenankan oleh syariat, sedangkan a’dah adalah perubahan kebiasaan perilaku dan adaptasi yang terjadi akibat munculnya faktor produksi atau teknologi. Serambi Indonesia (19 Januari 2007), h. 18. 44

45 46

Abubakar, Syari at Islam, h. 92. UUPA, h. 158.

Wacana-wacana itu berkaitan dengan pengenalan Syariat Islam dalam pendidikan formal di sekolah seperti belajar membaca al-Quran, belajar dasar-dasar pengetahuan tentang ibadah dan keterampilan mengamalkannya serta memperoleh sosialisasi nilai-nilai keagamaan kurikulum pendidikan agama di berbagai lembaga pendidikan ini diharapkan akan terintegrasi dengan kurikulum mata pelajaran lain, artinya bahwa kesadaran pengetahuan dan pengamalan agama akan menjadi semangat dan roh pendidikan. Abubakar, Syari‘at Islam, h. 183. 47

Al Yasa Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 142. 48

313


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 mencegah perbuatan maksiat. Terutama dengan memperbaiki kualitas salat dan ibadah lainnya karena pengamalan salat secara benar dapat mendorong pelakunya untuk melakukan amar ma’rûf nahi munkar untuk dirinya dan orang lain.49 Penghayatan dan pengamalan Islam sangat diperlukan melalui pendidikan berasaskan salat50 dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pendidikan keluarga 51 diawali dari pemilihan jodoh dan perkawinan. Perkawinan dalam Islam bukan saja sekedar menghalalkan hubungan seksual atau kelezatan fisik, akan tetapi perkawinan akan berlangsung untuk mencapai kebahagiaan dan abadi sampai akhir hayat penuh sakinah, mawaddah dan rahmah, dikaruniakan anak dan keturunan sebagai generasi penerus yang taat kepada Allah SWT.

Rancangan Pembangunan dalam Blue Print Rekonstruksi Aceh Blue Print Rekonstruksi Aceh ialah salah satu rancangan pembangunan Aceh pascatsunami. Rancangan ini sangat sistematik, lengkap dan mencakup seluruh sektor pembangunan Aceh. Ia dibuat atas kerjasama antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Pemerinah Daerah Provinsi NAD dan Universitas Syiah Kuala. Proses pembuatannya pada awalnya melalui pendapat, aspirasi dari seluruh elemen rakyat Aceh mengenai pembangunan kembali Aceh pasca tsunami. 52 Kerjasama itu mewujudkan memorandum kesepakatan yang diikuti oleh lima universitas, yaitu Universitas Syiah Kuala (UNSIAH), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Sumatera Utara (USU). Kerjasama ini untuk mencari aspirasi masyarakat melalui seminar dan lokakarya untuk

Ibid., h. 192. Salat berfungsi sebagai media mengingat Allah SWT. atau sebagai media berkomunikasi dengan Allah SWT., dan untuk mencegah manusia dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2006), h. xvi. 49 50

Menurut M. Natsir Jamil bahwa membina ketahanan rumah tangga sebagai asas pembinaan masyarakat belum berperan secara optimal. Keluarga semakin rapuh, bertambahnya kasus perceraian, munculnya sakit kelamin pada kaum remaja, terlihat ketidaksesuaian antara nilai ajaran agama dan pemahaman serta pengamalan. Untuk menyelamatkan keluarga ini diperlukan taman-taman pengajian al-Qur’an, pengajian kaum ibu, pengajian remaja, pemuda dan kalangan kaum bapak haruslah menjadi bagian dari nadi kehidupan di kampung–kampung Aceh. Serambi Indonesia (19 Januari 2007), h. 18. 51

Secara terperinci aktivitasnya adalah, Pertama. Mencari pendapat, keperluan, aspirasi dan harapan masyarakat Aceh pasca bencana. Kedua, Ide mengenai pengembangan asas dan informasi bagi proses pembangunan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian rehabilitasi dan rekonsruksi masyarakat pasca bencana. Ketiga, Usulan dalam upaya peranan dan kerjasama pelaku kepentingan dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian proses rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat Aceh pasca bencana. Keempat, Usulan dari aspek pengembangan masyarakat, perekonomian, infrasuktur, pemahaman, kelembagaan serta penataan ruang, pertanahan dan alam sekitar. Kelima, Pendapat dalam upaya peningkatan kapasitas lembaga Pemerintah Daerah, lembaga masyarakat serta pemeliharaan lembaga ekonomi. Lihat Nota Kesepakatan (7 Februari 2005). 52

314


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

mendapatkan konsep-konsep pembangunan Aceh pasca tsunami. Mereka dibagi kepada lima kelompok kerja53 untuk merumuskan aspirasi rakyat Aceh dalam berbagai sektor dan hasil seminar itulah yang dituangkan dalam Blue Print pembangunan Aceh. Adapun sektor pembangunan yang direncanakan meliputi: Pertama. Tata ruang pertanahan, mencakup penataan kepemilikan tanah (land owner shif), kesesuaian tanah untuk permukiman dan penyangga serta pembuatan site plan (pertanian, pemukiman, tempat usaha, fasilitas pendukung). Selanjutnya penataan kawasan meliputi pembuatan rencana terperinci zona, tata bangunan dan lingkungan, kawasan khusus, membuat rencana konstruksi dan kode bangunan. Demikian juga tentang penataan perumahan terdiri dari pengkajian konstruksi bangunan tahan gempa dan tsunami, bentuk rumah, sistem pelan, struktur jalan, rumah untuk pemukiman, penataan kawasan khusus. 54 Kedua, Lingkungan dan sumber daya alam dimulai dari menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga alam lingkungan dan kesanggupan mengenal pasti kejadian bencana alam.55 Kedua hal itu sangat berkaitan dengan nilai-nilai agama. Juga direncanakan tentang kesiapan ‘Early Warning System’, dan persiapan pembangunan kawasan penyangga berjarak 1.5 km dari garis pantai. Selain itu usulan-usulan yang ditawarkan sangatlah positif bagi pembangunan alam lingkungan. Rencana pembangunan alam sekitar memperhatikan prinsip-prinsip seperti berikut: (a) Rekonstruksi sumber alam berasas keadilan antara generasi, (b) Keadilan dalam satu generasi, (c) Prinsip pencegahan awal, (d) Perlindungan keanekaragaman hayati, (e) Keseimbangan tiga aspek pembangunan meliputi unsur ekonomi, sosial dan lingkungan. 56 Ketiga, Prasarana dan sarana umum berupa perbaikan jalan yang rusak ringan 207. 48 km, dan jalan yang rusak parah 57.17 km agar baik kembali. Selain pembangunan jalan, dilakukan pula pembangunan seperti berikut (a) Merehabilitasi prasarana perhubungan, (b) Melakukan pengalihan lokasi, (c) Membangun jalan-jalan alternatif, (d) Membuka bahagian pelosok dan pulau NAD. Selain itu, dilakukan pembangunan sarana pengangkutan darat, laut dan udara, 57 rehabilitasi sumber air dan telekomunikasi.

Kelompok kerja dibagi kepada tata ruang dan pertanahan, lingkungan hidup dan sumber alam, prasarana dan sarana umum, ekonomi dan ketenagakerjaan, sistem kelembagaan, sosial budaya dan sumberdaya manusia, hukum, akuntabilitas dan pemerintahan. Ibid. 54 Team Taskforce, Blue Print Rekonstruksi Aceh (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2005), h. 16. 55 Dalam Islam ada ikhtiar manusia seperti firman Allah yang maknanya: “Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka itulah yang dapat merubahnya. Q.S. al-Ra’d/ 13:11. 56 Team Taskforce, Bule Print, h. 105. 57 Perbaikan pengangkutan darat untuk bagian timur, barat, tengah, kepulauan. Pengangkutan ini sangat strategis bagi kemajuan sebuah kota. Perbaikan terminal bus, pelabuhan laut, dan perbaikan pengangkutan udara. Ibid., h. 105. 53

315


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Keempat. Ekonomi dan tenaga kerja telah direncanakan tiga tahap pembangunan yaitu program keutamaan rekonstruksi (Priority Reconstruction Program) seperti berikut: (a) Rekonstruksi aset fisik (pusat-pusat perlayanan umum), (b) Menghidupkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi lokal seperti perikanan, pertanian, perkebunan dan pariwisata, (c) Membangun lembaga-lembaga ekonomi dan menyampaikan informasi tentang rancangan pembangunan, (d) Menjaga suasana perdamaian abadi yang telah dimulai dan berlangsung secara berkelanjutan, (e) Dukungan penyediaan pelayanan masyarakat bagi penduduk yang akan kembali ke rumah-rumah (antara lain perumahan, air bersih, fasilitas pendidikan, kesehatan dan pengangkutan).� 58 Kelima. Sistem kelembagaan yang dilakukan ialah dengan melaksanakan pendidikan dan pelatihan khusus. 59 Pendidikan dan latihan ini diawali dari proses pelayanan pejabat, bahan pengajaran dalam pendidikan yang bernilai keIslaman. Selain itu, diperlukan usaha pemerintah untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas-tugas pembangunan. Salah satu usaha antara lain penyusunan organisasi yang profesional sesuai dengan fungsi dan tugasnya secara tepat (right-sizing).60 Selain itu, diperlukan langkah-langkah konkrit dari program ini, dengan memperbaiki prosedur, data dan informasi yang tepat serta pengawasan. Dengan cara seperti itu, masyarakat Aceh dapat mengerti tentang pembangunan Aceh di masa depan. Keenam. Pendidikan sosial budaya, sumber daya manusia dan kesehatan meliputi: (a) Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan untuk semua jenis, (b) Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka pelayanan pendidikan, (c) Pemberian beasiswa. (d) Penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum, (e) Pengadaan guru-guru bantu, (f) Peningkatan kualitas dan kemampuan guru, (g) Perbaikan lembaga pendidikan dan tenaga pendidikan, (h) Pemberdayaan dan peningkatan program pendidikan luar sekolah, (i) Mengupayakan santunan kepada keluarga guru/karyawan di lembaga pendidikan.61 Demikian juga dengan pembangunan budaya Aceh yang kaya itu mencakup pola makan,62 58

Ibid., h. 133.

Program Pendidikan dan Latihan (diklat) ini sudah menjadi kelaziman mulai dari administrasi umum (Adum), Kepemimpinan I (Pim I) dan Pim IV. Adapun bahan diklat ini ialah Pertama, teknologi informasi dalam pemerintahan. Kedua, teori atau indikator pembangunan. Ketiga, kepemimpinan di alam terbuka. Keempat, teknik-teknik pengurusan. Kelima, analisa kebijakan umum. Keenam, sistem pengurusan pembangunan. Ketujuh, memberdayakan sumber daya manusia. Kedelapan, pembangunan daerah sektor dan nasional. Kesembilan, Hukum, administrasi negara, Kesepuluh, Tawar menawar, kolaborasi, dan jenjang kerja. Kesebelas, pengembangan pelayanan yang utama. Keduabelas, kepemimpinan dalam organisasi. Ketigabelas, membangun pemerintahan yang baik. Keempatbelas, pengembangan kekuatan diri. Kelimabelas, aktif dan pengukuran kinerja. Lembaga Administrasi Negara, 2004-2005. 59

60 61

Team Taskforce, Blue Print, h. 148. Ibid., h. 157.

Mengutamakan makan nasi, ikan dan sayur sebagai pendamping nasi, makanan yang tahan lama seperti dodol, wajik, haluwa, loyang, keukarah, bungong pala, ikan kayu dari 62

316


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

kesehatan dan gizi,63 pola peradatan,64 hubungan kerabat,65 pola berkeluarga,66 dan pola berpakaian.67 Perilaku mereka diterima dan diikuti oleh masyarakat generasi berikutnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2007-2012 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2001-2012. RPJM ini dibuat sebagai penyederhanaan dari Blue Print pembangunan Aceh yang diprediksikan akan memerlukan dana yang cukup besar. Program ini pun berdasarkan usul dan saran dari seluruh elemen Pemerintah Daerah, masyarakat umum, ulama dan cendikiawan Muslim. Usul-usul pembangunan yang ditawarkan lebih kurang sama dengan pola pembangunan daerah masa orde baru. Strategi yang dibuat untuk membangun sektor agama ini adalah sebagai usaha penangkal bahaya demoralisasi di kalangan pemuda sebagai akibat dari judi, minuman keras, pergaulan bebas dan pornografi.� 68 Berbagai perilaku masyarakat yang bertentangan dengan moral dan etika keagamaan itu jelas menggambarkan ketidaksesuaian antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalan. 69 Tragedi tsunami telah memberi kesan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang menemui beberapa hambatan politik, ekonomi dan lingkungan, kelemahan institusi, ketidakmampuan sumber daya manusia, kekurangan dalam bentuk teknik, kurangnya pemusatan dan antisipasi, pengaturan waktu, sistem informasi yang kurang mendukung, perbedaan agenda tujuan antara pelaku, dukungan yang berkelanjutan.70 Keadaan itulah

tongkol, ikan tuna dibuat tahan lama. Makan daging tiga kali (ma’meugang puasa, ma’meugang woe raya du woe haji) seperti tradisi sakral, jika tidak ada daging pada tiga waktu ini merupakan keaiban. Ibid., h. 173. Penyakit yang ditakuti orang Aceh ialah busung lapar dan malaria, para orang tua mengatakan yang penting anak kenyang perutnya dan tidak digigit nyamuk. Obat mereka hanya herbal khususnya pededang air rebusan, makjun ramuan daun 44 dan madu lebah. Tetapi pola makan orang Aceh yang tidak variasi membuat kesehatan tidak prima, bahkan orang Aceh tidak kuat minum air. Ibid., h. 75. 63

Polanya ialah hukum, adat, qanun dan reusam. Adat daripada raja, hukum daripada ulama, Qanun daripada permaisuri, resam daripada pimpinan kerajaan. 65 Dari pihak lelaki disebut wali, dari pihak perempuan disebut karong, wali pihak ayah dan karong dari pihak ibu. 66 Hubungan suami isteri, ayah dan ibu di Aceh sangat sepadu masing-masing punya peranan dalam membina keluarga saling membantu. 67 Pada umumnya pola berpakaian orang Aceh itu longgar untuk mudah bergerak, pakaian jenis celana ada pada lelaki dan perempuan. Untuk perempuan diikat sedikit dililit di pinggang, sedangkan lelaki digantung separas lutut. 68 Bapeda, Rencana Pembangunan, h. 40. 69 Ibid., h. 41. 70 Ibid., h. 68. 64

317


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 yang menyebabkan pekerjaan pegawai pemerintah Aceh menjadi kurang kreatif dan tidak berdaya bagi kepentingan masyarakat Aceh, 71 termasuk pelayanan umum.72 Berdasarkan beberapa persoalan di atas, maka RPJM menetapkan langkah-langkah pembangunan Aceh yang dimulai dengan visi pembangunan Aceh ialah mewujudkan perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan pemerintah yang menjunjung tinggi asas keterbukaan dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintah Aceh yang bebas dari praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam kemakmuran. Untuk mencapai visi tersebut, perlu dilakukan beberapa langkah pembangunan Aceh seperti berikut: a. Kepemimpinan yang aspiratif, inovatif dan intuitif. 73 b. Pegawai pemerintah yang bersih, kompeten dan berwibawa, serta bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.74 c. Penegakan hukum, pengembangan sumber daya manusia perekonomian, politik, sumber alam, adat istiadat, kebudayaan dan olahraga. 75 Untuk wujudkan visi dan misi yang telah dipaparkan di atas, ditetapkan strategis pembangunan Aceh yang meliputi bidang pemerintahan dan politik, membina struktur organisasi pemerintah, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemerintah, membina mekanisme dan menerima Pegawai Negeri Sipil, menciptakan kesejahteraan negara. 76

Keperluan tersebut meliputi listrik, air minum, pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum. Ibid., h. 72. 72 Pertama, pelayanan Catatan Sipil bagi aktivitas penduduk seperti kelahiran, kematian, perpindahan, perkawinan, perceraian, dan perubahan status. Kedua, perizinan usaha rakyat. Ketiga, keimunisasian, dan Keempat, ketertiban umum termasuk pelayanan penegakan hukum, penegakan yang bukan kriminal, pengelolaan ketertiban masyarakat. Ibid., h. 77. 71

Pemimpin Aceh dari tingkat Gubernur, Bupati, Walikota dan Camat menjadi contoh teladan yang baik, taat beragama, hidup sederhana, menegakkan keadilan, taat hukum, tidak melakukan rasuah, karena mereka pemimpin yang mengemban amanah. Ibnu KhaldÝn, Muqaddimah (t.t.p: t.p, t.t.), h. 193-194, mengemukakan Kepala Negara (pemimpin) harus adil, menurutnya adil penting karena imâmah ialah lembaga yang mengawasi lembaga-lembaga lainnya yang memerlukan keadilan. Pimpinan yang adil akan melenyapkan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, dan ia akan mampu menegakkan hukum. 73

Untuk mengatasinya telah dibuat konsep Good Governance, yaitu penyelenggara negara hendaknya mampu memberdayakan masyarakat partisipasif, responsif, demokratis, bersih dan bebas korupsi. Paradigma ini terus berkembang sehingga menempatkan keseimbangan peranan sektor publik (pemerintah) swasta dan masyarakat untuk menjalankan pemerintahan dalam rangka menuhi keperluan dasar kehidupan masyarakat. Lembaga Kantor Berita Antara, Aceh Dalam Berita (Jakarta: Kantor Berita Antara, 2004), h. 35. 74

75 76

Bapeda, Rencana Pembangunan, h. 1-6. Selain itu, prioritas pembangunan meliputi meningkatkan pelayanan politik, memberantas

318


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Program Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pemerintah Pusat membentuk suatu Badan Rehabilitasi dan Rekonsruksi Aceh dan Nias untuk membangun Aceh pasca tsunami. Tugas utamanya ialah merancang dan mengawasi pelaksanaan pembangunan serta bertumpu pada masyarakat lokal dengan standar profesionalisme. 77 Adapun aktivitas-aktivitas lembaga ini adalah dapat disebutkan seperti berikut: a. Bertindak sebagai tempat yang menampung dan menyalurkan proposal-proposal proyek dengan memadukan keperluan-keperluan penting dengan keuangan yang tersedia. b. Memberi kemudahan terhadap pelaksanaan proyek bagi pemerintah daerah dan pengembangan keuangan (capacity building) apabila diperlukan. c. Sedapat mungkin meningkatkan sumber daya pemangku kepentingan seperti sumbangan institusi-institusi luar dan mekanisme yang sudah berjalan. d. Memantau perkembangan proyek yang sesuai dan tidak sesuai dengan anggaran keuangan serta melakukan pengawasan keuangan langsung di tempat secara menyeluruh apabila diperlukan. e. Memfokuskan diri pada pengembangan kapasitas (capacity building) badan dan mempercepat proyek-proyek yang sesuai di 60 hari pertama.

Penutup Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, kejayaan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda disebabkan atas dasar pembangunan Islam, sehingga seluruh komponen rakyat Aceh taat kepada ajaran Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Kedua, aceh beberapa dekade mengalami diskriminasi dari Pemerintah Pusat, sehingga menciptakan konflik berkepanjangan sampai datangnya musibah tsunami yang menyebabkan pembangunan Aceh jadi hancur dan dapat menimbulkan penderitaan rakyat Aceh. Ketiga, acuan pembangunan Aceh pasca-tsunami meliputi PROPERNAS, Qanun-Qanun Aceh, Blue Print Pembangunan Aceh, RPJM dan Program BRR yang masih mengarah kepada pembangunan lazim yang bersumber dari Barat yang tidak mengedepankan nilai keimanan, ibadah, dan akhlak. Apabila acuan ini dilakukan di Aceh tentu kurang bersesesuaian dengan Aceh sebagai daerah otonomi yang melaksanakan syariat Islam. Keempat, sebaiknya Aceh menggunakan prinsip pembangunan Islam, sehingga sangat bersesuaian dengan status

korupsi, politik demokratis, ketertiban umum dan keamanan, penyiapan tanah dan pemukiman penduduk, dan meningkatkan keterampilan masyarakat Muslim yang duafa. Ibid., h. 4. 77 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami (Banda Aceh: BRR dan Mitra Pelaksana, 2006), h. 1.

319


MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010 Aceh sebagai daerah serambi Makkah dan mengamalkan Syariat Islam. Pengamalan Islam kaffah di Aceh merupakan kriteria yang dapat memajukan Aceh ke depan sehingga rakyat Aceh akan makmur, aman, damai, dan bahagia dunia akhirat.

Pustaka Acuan Abdullah, Taufik, et al.. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Abubakar, Al Yasa. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005. Abubakar, Al Yasa. Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2006. Al Chaidar. Aceh Bersimbah Darah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988. Al Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Penebar Buku Madani, 1999. Apridar. Tsunami Aceh: Adzab atau Bencana. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. A. Hasjmi, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta Bulan Bintang, 1985. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh. Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami. Banda Aceh: BRR dan Mitra Pelaksana, 2006.. Bapeda Aceh. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007-2012. Banda Aceh: Bapeda NAD, 2007. El Ibrahimy, M. Nur. Tengku Muhammad Daud Beurueh. Jakarta: Gunung Agung, 1986. Harian Waspada. 10 Januari 2005. Ibn Khaldûn. Muqaddimah. t.t.p: t.p, t.t. Ismail, Azman. Hikmah Tsunami di Baiturrahman. Banda Aceh: Pengurus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh Kerjasama dengan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, 2005. Abu, Jihad. Asal Usul Kerajaan Aceh Sampai Aceh Merdeka. t.t.p: t.p, 2002. Lembaga Kantor Berita Antara. Aceh Dalam Berita. Jakarta: Kantor Berita Antara, 2004. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafa. Tafsîr al-Marâghî. Beirut: Dâr Fikr. 1974. Qutub, Sayid. Ma’âlim fî al-Thariq. Beirut: Dâr al-Syurûq, 1973. Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada, 1990. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. Syaraf, Muhammad Jalâl. Al-Fikr al-Siyâsi fî al-Islâm. Kairo: Iskandariyah Dâr al-Jannah, 1978. Said, Prabudi. Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada. Medan: Prakarsa Abadi Press, 2006. Serambi Indonesia. 19 Januari 2007. TAP MPR RI. 2003. 320


Sukiman: Acuan Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Team Taskforce. Blue Print Rekonstruksi Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 2005. Al-Zuhailî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî: Madkhal ila al-Ushûl Mashâdir al-Tasyri’ alHukm al-Syar’î. Damaskus: al-Maba’ah al-Jadidah, 1975.

321


MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman;


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@uinsu.ac.id. 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫= ا‬a

‫ = خ‬kh

‫ = ش‬sy

‫ = غ‬gh

‫=ن‬n

‫=ب‬b

‫=د‬d

‫ = ص‬sh

‫=ف‬f

‫=و‬w

‫=ت‬t

‫ = ذ‬dz

‫ = ض‬dh

‫=ق‬q

‫=ه‬h

‫ = ث‬ts

‫=ر‬r

‫ = ط‬th

‫=ك‬k

‫’=ء‬

‫=ج‬j

‫=ز‬z

‫ = ظ‬zh

‫=ل‬l

‫ = ي‬ya

‫=ح‬h

‫=س‬s

‫`=ع‬

‫=م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan


MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016 Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.