










”During my lifetime, I realized that discrimination was not accidental, that there were structural roots and causes to it. So if we wanted to change women’s lives, we need to deal with those root causes.”
Michelle Bachelet -
”During my lifetime, I realized that discrimination was not accidental, that there were structural roots and causes to it. So if we wanted to change women’s lives, we need to deal with those root causes.”
Michelle Bachelet -
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Kajian Famcos adalah salah satu program kerja ASA
HIMAIKO yang membahas mengenai isu atau masalah di bidang keluarga, anak, dan konsumen dalam bentuk booklet Kajian ini dibuat dengan harapan para pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai isu yang dibahas, khususnya dalam Kajian Famcos I ini, yaitu isu di bidang konsumen. Apresiasi dan ucapan terima kasih kepada penyusun Kajian Famcos I, yaitu Alvina, Amanda, dan Ghina. Penyusun terbuka terhadap kritik, saran, dan masukan dari pembaca
Kajian famcos kali ini hadir untuk menggaungkan isu hangat seputar perempuan dan kebutuhannya. Inisiasi ide awal dalam penyusunan kajian ini di awali dari keresahan yang seringkali teman-teman perempuan rasakan saat menggunakan moda transportasi Rasa was-was tidak berkesudahan yang timbul, membuat tim kajian ASA melakukan beberapa riset yang menghasilkan data dan fakta mengenai hubungan perempuan dan moda transportasi yang menarik untuk disajikan kepada teman-teman pembaca. Harapannya, setelah membaca kajian ini temanteman semua lebih aware dan memahami bahwa permasalahan ini tidak akan selesai dengan opsi segregasi, tetapi harus diselesaikan dari akar permasalahan yang lebih dalam.
Perempuan di masa kini memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Menurut perspektif mutu modal manusia (human capital), keterlibatan perempuan di sektor publik adalah pengaruh dari pembangunan dan modernisasi yang tidak dapat dihindari. Peluang perempuan untuk aktif dalam sektor publik membuka jalan baru bagi mereka untuk menentukan pilihan yang lebih baik dalam mengembangkan diri dan kondisi hidup (Effendi dalam Santoso, 2004) Dengan semakin tingginya tingkat partisipasi perempuan di ranah publik, maka perempuan juga akan semakin banyak menggunakan transportasi baik transportasi publik maupun jasa transportasi online. Namun, dengan fakta tersebut, muncul beberapa keresahan perempuan sebagai penumpang dari layanan transportasi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada tahun 2021 tercatat sebanyak 8.730 kasus kekerasan seksual terjadi pada perempuan di transportasi umum Data tersebut merepresentasikan bahwa keamanan perempuan untuk menggunakan layanan transportasi umum masih rendah.
Keamanan merupakan faktor penting bagi perempuan dalam menentukan keputusannya setiap hari, bahkan saat pemilihan penggunaan transportasi umum atau pribadi Topik tentang perempuan dan layanan transportasi kembali naik saat akun @iamadeadstar dengan nickname ale, memposting di akun Twitter-nya tentang penyediaan opsi “Grabcar for Women” dari perusahaan transportasi online Grab Indonesia. Postingan tersebut viral dan mengundang banyak pertanyaan tentang segregasi atau eksklusivitas yang dialami oleh perempuan dalam layanan transportasi. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa membayar lebih untuk keamanan bukan merupakan solusi dari permasalahan perempuan dalam layanan jasa transportasi
Sebenarnya apa sih keamanan yang diinginkan untuk perempuan itu?
Perempuan dan layanan transportasi umum tidak lepas dari aspek perspektif gender. Perspektif gender menekankan perbedaan antara perempuan dan lakilaki dari segi konstruksi sosial lingkungan yang mengiringinya. Dalam kasus ini, perempuan mengalami ketidakadilan akibat adanya suatu konstruksi sosial yang menyebabkan perempuan dianggap lebih lemah dan menyebabkan mereka menjadi sasaran tindak kejahatan. Konstruksi sosial tersebut menciptakan kondisi dimana perempuan ada dalam suatu ruang dengan rasa ketidakamanan dan ketakutan yang konstan akan menjadi korban kekerasan atau kejahatan.
Perempuan masih belum merasa aman bahkan untuk menggunakan transportasi publik. Walaupun sudah ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah guna memastikan kenyamanan dan keamanan perempuan untuk bisa beraktivitas di ranah publik, khususnya dalam berbagai sistem transportasi publik seperti: adanya ruang khusus bagi wanita di Bus Transjakarta, gerbong khusus wanita di KRL, hingga beberapa instalasi CCTV di berbagai area terbuka. Meskipun demikian, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2022 mencatat dari 3.539 responden perempuan dari 4.236 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan 23% terjadi di transportasi umum termasuk sarana dan prasarana Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh para penyedia transportasi publik masih belum merata bagi semua kalangan, terutama perempuan. Padahal, perempuan merupakan mayoritas pengguna transportasi publik secara global. Kementerian Perhubungan juga mengakui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang. Lembaga transportasi publik juga sejauh ini baru fokus terhadap ibu hamil, penyandang disabilitas, dan manula
Bentuk rasa aman yang diinginkan oleh para perempuan, tua-muda, adalah
rasa aman dimana mereka bisa bebas dari perasaan was-was akan menjadi korban kejahatan.
Rasa aman dimana mereka tidak perlu dipisahkan untuk merasa aman.
Rasa aman dimana mereka bisa duduk tenang walaupun tidak bersama perempuan yang lain.
Rasa aman dimana mereka tidak harus membawa alat perlindungan diri kemanapun mereka pergi.
Rasa aman untuk bisa merasa santai sesaat di dalam gerbong atau kendaraan.
Pengguna transportasi publik di Jakarta dan Surabaya, khususnya busway, jumlah proporsi penumpang perempuan sebesar 55%, sementara proporsi penumpang laki-laki sebesar 45%. Dapat disimpulkan bahwa transportasi publik busway lebih banyak digunakan oleh penumpang perempuan. Dalam hal tersebut, laki-laki mendominasi menggunakan kendaraan pribadi dikarenakan dalam susunan keluarga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga memegang peranan penting sebagai pencari nafkah dan cenderung menggunakan transportasi yang paling efisien untuk diri sendiri (Ubogu 2010) Perempuan cenderung melakukan perjalanan pendek sehingga lebih banyak menggunakan angkutan umum.
Perempuan biasanya memiliki kegiatan rutin di luar rumah selain bekerja, seperti sekolah atau kuliah, belanja, mengantar anak sekolah atau pergi ke tempat rekreasi Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, perempuan menggunakan transportasi yang beragam seperti angkutan umum, pribadi, ataupun transportasi online Namun, terdapat banyak hambatan dan masalah bagi perempuan yang menggunakan transportasi publik. Hambatan dan masalah dalam penggunaan transportasi publik diantaranya, hambatan dalam biaya, kebijakan, dan paling mengkhawatirkan adalah adanya kekerasan seksual terhadap perempuan. Jika dilihat dari waktu dan tempat, rata-rata korban mengalami kekerasan seksual di angkutan umum, di tempat yang sepi, dan rata-rata terjadi pada subuh atau malam hari (Djafar 2011).
Transportasi dianggap netral gender karena layanan atau infrastruktur yang menunjang. Namun, hal tersebut menjadi pengaruh pengguna transportasi dalam memilih moda. Bahkan seringkali faktor keamanan juga menjadi dasar dalam memilih transportasi. Fenomena kekerasan yang sering terjadi dalam transportasi publik maupun online menunjukkan bahwa aspek keamanan belum diperhatikan
Sangat disayangkan keamanan dan keselamatan pengguna ruang publik masih dianggap hanya sebagai tanggung jawab pribadi Prihono (2011) menyatakan bahwa untuk menciptakan sistem layanan kendaraan umum yang sesuai dengan kebutuhan penumpang perempuan, hal terpenting dan menjadi prioritas kebutuhannya, yaitu rasa aman.
Jika dianalisis dari teori perlindungan konsumen, hak perempuan sebagai pengguna layanan transportasi seringkali dilanggar. Konsumen merupakan setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat (UU Nomor 8 Tahun 1999). Perempuan sebagai konsumen dari layanan transportasi menyumbang berbagai isu yang perlu dibenahi lebih lanjut oleh pelaku usaha atau lembaga penyedia layanan jasa transportasi Sebagai seorang konsumen, perempuan memiliki beberapa hak yang seharusnya bisa terpenuhi menurut UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa
Hak untuk memilih dan mendapatkan kondisi barang atau jasa sesuai dengan nilai tukar atau jaminan
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif
Hak konsumen tersebut seringkali tidak terpenuhi untuk perempuan sebagai konsumen dari layanan transportasi Pada poin pertama, tertera bahwa perempuan seharusnya memiliki rasa aman dan perlindungan dari risiko kejahatan dalam penggunaan jasa. Hal ini belum terealisasi karena menurut data-data pendukung diatas terlihat bahwa perempuan masih ada dibawah rasa ketidakamanan yang besar saat menggunakan layanan transportasi. Kemudian perempuan juga memiliki hak untuk diperlakukan tanpa diskriminasi, apa hubungan antara realitas layanan transportasi Indonesia dengan diskriminasi?
Diskriminasi merupakan kata yang sangat kuat untuk menunjukkan adanya keterpisahan atau eksklusi. Keterpisahan merupakan kata yang lebih cocok dalam konteks perempuan dan layanan transportasi, karena lebih menunjukkan kausalitas hubungan dan perlu dipahami dari dasar bagaimana solusi yang ditawarkan kepada perempuan untuk keamanan mereka. Seperti yang telah disinggung pada bahasan diatas, pelaku usaha layanan transportasi memberikan solusi berupa hadirnya opsi “khusus perempuan” untuk menghindari adanya kasus kejahatan kepada perempuan Untuk layanan transportasi publik seperti KRL commuterline, segregasi gender dilakukan tanpa dipungut biaya. Hal tersebut menunjukkan opsi yang dinilai lebih baik dalam menghindari terbukanya peluang terjadi kasus kekerasan seksual. Walaupun disisi lain perlu dipertimbangkan kembali apakah opsi ini adalah jalan akhir dari penyelesaian kekerasan seksual yang terjadi di kereta
Baru-baru ini, perusahaan penyedia layanan transportasi Grab menghadirkan opsi “Grabcar for women” dengan deskripsi “non-smoking, certified driver”. Melihat opsi tersebut secara sekilas terasa mirip dengan gerbong khusus perempuan pada KRL. Namun, jika dipahami lebih dalam dengan perspektif perempuan sebagai konsumen, hal ini sangat melanggar hak-hak perlindungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab grab sebagai pelaku usaha Dengan hadirnya opsi ini, keamanan untuk perempuan dijual dengan harga yang lebih mahal, padahal keamanan seharusnya merupakan bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh pelaku usaha. Untuk merasa aman, pelaku usaha menjual kebutuhan perempuan dengan dalih “menghindari kekerasan pada perempuan”. Non-smoking dan certified driver seharusnya memang menjadi layanan yang diberikan kepada semua pelanggan atau konsumen dari layanan transportasi, baik perempuan atau laki-laki Solusi yang diberikan Grab tidak menunjukkan
sensitivitas gender, kebutuhan perempuan akan keamanan bukan merupakan ajang untuk meningkatkan harga dari layanan
Berdasarkan hasil diskusi pada forum “Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi Atau Eksklusivitas?” yang diselenggarakan oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 14 Desember 2017, Daud Joseph (Direktur operasional Transjakarta) mengatakan bahwa penyediaan ruang khusus bagi perempuan sangat penting pada transportasi publik. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang menyatakan bahwa pelecehan seksual mayoritas terjadi di jam-jam sibuk, peluang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual adalah ketika berdesak-desakan
Disisi lain, Iriantoni Almuna (National Programme Officer for Safe City, Gender and HIV di UN Women Indonesia) memberikan perspektif baru dalam hal ini. Kebijakan segregasi gender pada layanan transportasi dianggap sebagai satu langkah awal adanya kesadaran bahwa akses perempuan ke transportasi publik memang sulit karena mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Dengan demikian, pemisahan dianggap sebagai solusi cepat dan bukan akhir, ujarnya Namun, perlu dipahami bahwa tidak semua perempuan dapat menggunakan akses tersebut. Terbatasnya infrastruktur yang mendukung segregasi tersebut menyebabkan terbukanya peluang penyalahan perempuan jika menjadi korban kekerasan seksual di gerbong atau tempat yang tidak “khusus perempuan”. Iriantoni mengatakan, pengadaan infrastruktur harus dibarengi dengan pengadaan layanan, tindakan, dan tindak lanjut, serta respons yang memadai. “Kekerasan terhadap perempuan terjadi bukan hanya karena infrastruktur yang kurang, tetapi karena adanya pendekatan hukum dan kebijakan yang tidak mengatur penanganan (korban pelecehan dan kekerasan). Korban juga tidak mau melaporkan karena takut disalahkan dan tidak tahu mekanisme pelaporannya. Selain itu, petugas tidak tahu bagaimana menanggapinya,”. Sebagai sesama pengguna layanan transportasi, baik laki-laki maupun perempuan, harus lebih responsif dan menjadi active bystander dan tidak diam saja ketika melihat pelecehan atau kekerasan seksual terjadi
Melihat jumlah kasus pelecehan yang tidak sedikit dan penanganan hukum yang mungkin belum efektif, upaya segregasi ini menjadi cara instan untuk menghindari kejadian tindak kriminal kepada perempuan. Penyediaan layanan atau ruang khusus wanita membuat perempuan memiliki pilihan dan merasa sedikit lebih "aman dan nyaman" saat menggunakan moda transportasi Saya sebagai perempuan secara pribadi setuju dengan adanya ruang khusus wanita di bus atau krl, bukan menginginkan eksklusivitas, tetapi lebih kepada preferensi untuk menghindari campur baur antara perempuan dan laki-laki. Meskipun, pada moda transportasi lain memang disayangkan jika ada biaya tambahan yang harus dibayarkan untuk mendapatkan sebuah keamanan dan kenyaman. Padahal, seharusnya itu menjadi standar minimum pelayanan transportasi umum yang diberikan kepada konsumen perempuan ataupun laki-laki
Menurut saya, upaya segregasi ataupun eksklusivitas bagi perempuan belum menyelesaikan akar masalah dari kasus pelecehan seksual. Hal mendasar yang seharusnya dilakukan adalah mengedukasi dan menyebarkan awareness kepada masyarakat. Ini memang bukan hal yang mudah. Maka dari itu, pihak yang perlu terlibat bukan hanya pihak yang terkait dengan transportasi umum, tetapi semua lapisan masyarakat, mulai dari keluarga, sekolah, media massa, pemerintah, dan lain-lain. Pendidikan mengenai pelecehan dan seksualitas, pendidikan karakter, serta pengetahuan tentang hukum tindak kriminalitas pelecehan harus terus diedukasikan kepada seluruh masyarkat.
Peredaran transportasi umum yang menyediakan fasilitas khusus perempuan sudah mulai tersebar luas, mulai dari ojek online, kereta api, sampai bus umum juga sudah menyediakan tempat khusus perempuan. Sebenarnya saya paham niat baik yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Namun, menurut saya sedikit missing the point dari akar permasalahan yang sesungguhnya. Letak masalahnya belum bisa selesai hanya dengan memisahkan antara laki-laki dan perempuan, karena yang menjadi permasalahan utama adalah otak dari pelaku pelecehannya Jadi menurut saya, fasilitas yang tersedia itu tidak dapat menjamin penyelesaian masalah dalam jangka panjang Jika diibaratkan, kita sakit lalu hanya diberi obat untuk meringankan gejala saja, bukan obat yang dapat mengobati sampai ke akar permasalahan dari penyakit tersebut.
Ale. [@iamadeadstar]. 2023. This grabcar for woman option is actually kinda wild karena harusnya grab regular pun bisa ngasih kenyamanan dan keamanan buat perempuan selama berkendara. [Tautan dengan thumbnail terlampir] [Tweet]. [Twitter]. [Diakses pada 2023 APR 11]. Tersedia pada: https://twitter.com/iamadeadstar/status/1638481211634098177
Amalia Y. 2022. Pelecehan di transportasi umum jakarta meningkat. [Internet]. [Diakses pada 2023 APR 11]. Tersedia pada: https://www.merdeka.com/jakarta/pelecehan-seksual-di-transportasiumum-jakarta-meningkat.html
[BBC]. 2019. Ribuan perempuan dilecehkan di transportasi umum, 'saya harus selalu waspada setiap naik kereta dan bus'. [Internet]. [Diakses pada 2023 APR 11]. Tersedia pada: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50570430
[ITDP Indonesia]. 2017. [Urban transport discussion #5] perempuan di transportasi publik: segregasi atau eksklusivitas?. [Internet]. [Diakses pada 2023 APR 11]. Tersedia pada: https://itdpindonesia.org/2017/12/urban-transport-discussion-5-perempuan-di-transportasi-publik-segregasiatau-eksklusivitas/
[KEMENPPPA]. 2023. KEMENPPPA dukung gerakan stand up lawan pelecehan seksual di transportasi umum. [Internet]. [Diakses 2023 APR 9]. Tersedia pada: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4457/kemenpppa-dukung-gerakanstand-up-lawan-pelecehan-seksual-di-transportasi-umum
Nurhaliza AF 2021 Melibatkan perspektif perempuan dalam desain layanan transportasi publik [Internet] [Diakses 2023 APR 10] Tersedia pada: https://m kumparan com/azzahrafanny/melibatkan-perspektif-perempuan-dalam-desain-layanan-transportasi-publik-1x67F7rw4mW
Raditya D 2021 Gender dalam pembangunan [Internet] [Diakses pada 2023 APR 11] Tersedia pada: https://chub fisipol ugm ac id/2021/12/21/gender-dalam-pembangunan/
Sutrisno B 2023 Layanan GrabCar khusus perempuan tuai kritik publik [Internet] [Diakses 2023 APR 10] Tersedia pada: https://id techinasia com/grabcar-khusus-perempuan-dikritik
Tangkudung CMM, Rompis SYR, Timboeleng JA 2019 Pengaruh gender terhadap pemilihan moda transportasi di Kota Manado J Sipil Statik 7(7):827–834
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 1999
Wahyuni A, Mudjanarko SW 2021 Transportasi Publik dari Sisi Perempuan Mudjanarko SW, editor Surabaya: Scopindo Media Pustaka
Wardhani WK 2017 Pemisahan gender pada transportasi umum, perlukah? [Internet] [Diakses pada 2023 APR 11] Tersedia pada: https://magdalene co/story/pemisahan-gender-padatransportasi-umum-perlukah