6 minute read

Realitasmodatransportasi: Perempuandankebutuhannya akanrasaaman.

Next Article
HalloSobatFamcos!

HalloSobatFamcos!

Perempuan di masa kini memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Menurut perspektif mutu modal manusia (human capital), keterlibatan perempuan di sektor publik adalah pengaruh dari pembangunan dan modernisasi yang tidak dapat dihindari. Peluang perempuan untuk aktif dalam sektor publik membuka jalan baru bagi mereka untuk menentukan pilihan yang lebih baik dalam mengembangkan diri dan kondisi hidup (Effendi dalam Santoso, 2004) Dengan semakin tingginya tingkat partisipasi perempuan di ranah publik, maka perempuan juga akan semakin banyak menggunakan transportasi baik transportasi publik maupun jasa transportasi online. Namun, dengan fakta tersebut, muncul beberapa keresahan perempuan sebagai penumpang dari layanan transportasi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada tahun 2021 tercatat sebanyak 8.730 kasus kekerasan seksual terjadi pada perempuan di transportasi umum Data tersebut merepresentasikan bahwa keamanan perempuan untuk menggunakan layanan transportasi umum masih rendah.

Advertisement

Keamanan merupakan faktor penting bagi perempuan dalam menentukan keputusannya setiap hari, bahkan saat pemilihan penggunaan transportasi umum atau pribadi Topik tentang perempuan dan layanan transportasi kembali naik saat akun @iamadeadstar dengan nickname ale, memposting di akun Twitter-nya tentang penyediaan opsi “Grabcar for Women” dari perusahaan transportasi online Grab Indonesia. Postingan tersebut viral dan mengundang banyak pertanyaan tentang segregasi atau eksklusivitas yang dialami oleh perempuan dalam layanan transportasi. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa membayar lebih untuk keamanan bukan merupakan solusi dari permasalahan perempuan dalam layanan jasa transportasi

Sebenarnya apa sih keamanan yang diinginkan untuk perempuan itu?

Perempuan dan layanan transportasi umum tidak lepas dari aspek perspektif gender. Perspektif gender menekankan perbedaan antara perempuan dan lakilaki dari segi konstruksi sosial lingkungan yang mengiringinya. Dalam kasus ini, perempuan mengalami ketidakadilan akibat adanya suatu konstruksi sosial yang menyebabkan perempuan dianggap lebih lemah dan menyebabkan mereka menjadi sasaran tindak kejahatan. Konstruksi sosial tersebut menciptakan kondisi dimana perempuan ada dalam suatu ruang dengan rasa ketidakamanan dan ketakutan yang konstan akan menjadi korban kekerasan atau kejahatan.

Perempuan masih belum merasa aman bahkan untuk menggunakan transportasi publik. Walaupun sudah ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah guna memastikan kenyamanan dan keamanan perempuan untuk bisa beraktivitas di ranah publik, khususnya dalam berbagai sistem transportasi publik seperti: adanya ruang khusus bagi wanita di Bus Transjakarta, gerbong khusus wanita di KRL, hingga beberapa instalasi CCTV di berbagai area terbuka. Meskipun demikian, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2022 mencatat dari 3.539 responden perempuan dari 4.236 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan 23% terjadi di transportasi umum termasuk sarana dan prasarana Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh para penyedia transportasi publik masih belum merata bagi semua kalangan, terutama perempuan. Padahal, perempuan merupakan mayoritas pengguna transportasi publik secara global. Kementerian Perhubungan juga mengakui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang. Lembaga transportasi publik juga sejauh ini baru fokus terhadap ibu hamil, penyandang disabilitas, dan manula

Bentuk rasa aman yang diinginkan oleh para perempuan, tua-muda, adalah rasa aman dimana mereka bisa bebas dari perasaan was-was akan menjadi korban kejahatan.

Rasa aman dimana mereka tidak perlu dipisahkan untuk merasa aman.

Rasa aman dimana mereka bisa duduk tenang walaupun tidak bersama perempuan yang lain.

Rasa aman dimana mereka tidak harus membawa alat perlindungan diri kemanapun mereka pergi.

Rasa aman untuk bisa merasa santai sesaat di dalam gerbong atau kendaraan.

Realitas gender dan transportasi publik atau transportasi online di Indonesia

Pengguna transportasi publik di Jakarta dan Surabaya, khususnya busway, jumlah proporsi penumpang perempuan sebesar 55%, sementara proporsi penumpang laki-laki sebesar 45%. Dapat disimpulkan bahwa transportasi publik busway lebih banyak digunakan oleh penumpang perempuan. Dalam hal tersebut, laki-laki mendominasi menggunakan kendaraan pribadi dikarenakan dalam susunan keluarga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga memegang peranan penting sebagai pencari nafkah dan cenderung menggunakan transportasi yang paling efisien untuk diri sendiri (Ubogu 2010) Perempuan cenderung melakukan perjalanan pendek sehingga lebih banyak menggunakan angkutan umum.

Perempuan biasanya memiliki kegiatan rutin di luar rumah selain bekerja, seperti sekolah atau kuliah, belanja, mengantar anak sekolah atau pergi ke tempat rekreasi Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, perempuan menggunakan transportasi yang beragam seperti angkutan umum, pribadi, ataupun transportasi online Namun, terdapat banyak hambatan dan masalah bagi perempuan yang menggunakan transportasi publik. Hambatan dan masalah dalam penggunaan transportasi publik diantaranya, hambatan dalam biaya, kebijakan, dan paling mengkhawatirkan adalah adanya kekerasan seksual terhadap perempuan. Jika dilihat dari waktu dan tempat, rata-rata korban mengalami kekerasan seksual di angkutan umum, di tempat yang sepi, dan rata-rata terjadi pada subuh atau malam hari (Djafar 2011).

Transportasi dianggap netral gender karena layanan atau infrastruktur yang menunjang. Namun, hal tersebut menjadi pengaruh pengguna transportasi dalam memilih moda. Bahkan seringkali faktor keamanan juga menjadi dasar dalam memilih transportasi. Fenomena kekerasan yang sering terjadi dalam transportasi publik maupun online menunjukkan bahwa aspek keamanan belum diperhatikan

Sangat disayangkan keamanan dan keselamatan pengguna ruang publik masih dianggap hanya sebagai tanggung jawab pribadi Prihono (2011) menyatakan bahwa untuk menciptakan sistem layanan kendaraan umum yang sesuai dengan kebutuhan penumpang perempuan, hal terpenting dan menjadi prioritas kebutuhannya, yaitu rasa aman.

Kacamata perempuan sebagai konsumen dari transportasi publik/online

Jika dianalisis dari teori perlindungan konsumen, hak perempuan sebagai pengguna layanan transportasi seringkali dilanggar. Konsumen merupakan setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat (UU Nomor 8 Tahun 1999). Perempuan sebagai konsumen dari layanan transportasi menyumbang berbagai isu yang perlu dibenahi lebih lanjut oleh pelaku usaha atau lembaga penyedia layanan jasa transportasi Sebagai seorang konsumen, perempuan memiliki beberapa hak yang seharusnya bisa terpenuhi menurut UU

Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa

Hak untuk memilih dan mendapatkan kondisi barang atau jasa sesuai dengan nilai tukar atau jaminan

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif

Hak konsumen tersebut seringkali tidak terpenuhi untuk perempuan sebagai konsumen dari layanan transportasi Pada poin pertama, tertera bahwa perempuan seharusnya memiliki rasa aman dan perlindungan dari risiko kejahatan dalam penggunaan jasa. Hal ini belum terealisasi karena menurut data-data pendukung diatas terlihat bahwa perempuan masih ada dibawah rasa ketidakamanan yang besar saat menggunakan layanan transportasi. Kemudian perempuan juga memiliki hak untuk diperlakukan tanpa diskriminasi, apa hubungan antara realitas layanan transportasi Indonesia dengan diskriminasi?

Diskriminasi merupakan kata yang sangat kuat untuk menunjukkan adanya keterpisahan atau eksklusi. Keterpisahan merupakan kata yang lebih cocok dalam konteks perempuan dan layanan transportasi, karena lebih menunjukkan kausalitas hubungan dan perlu dipahami dari dasar bagaimana solusi yang ditawarkan kepada perempuan untuk keamanan mereka. Seperti yang telah disinggung pada bahasan diatas, pelaku usaha layanan transportasi memberikan solusi berupa hadirnya opsi “khusus perempuan” untuk menghindari adanya kasus kejahatan kepada perempuan Untuk layanan transportasi publik seperti KRL commuterline, segregasi gender dilakukan tanpa dipungut biaya. Hal tersebut menunjukkan opsi yang dinilai lebih baik dalam menghindari terbukanya peluang terjadi kasus kekerasan seksual. Walaupun disisi lain perlu dipertimbangkan kembali apakah opsi ini adalah jalan akhir dari penyelesaian kekerasan seksual yang terjadi di kereta

Baru-baru ini, perusahaan penyedia layanan transportasi Grab menghadirkan opsi “Grabcar for women” dengan deskripsi “non-smoking, certified driver”. Melihat opsi tersebut secara sekilas terasa mirip dengan gerbong khusus perempuan pada KRL. Namun, jika dipahami lebih dalam dengan perspektif perempuan sebagai konsumen, hal ini sangat melanggar hak-hak perlindungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab grab sebagai pelaku usaha Dengan hadirnya opsi ini, keamanan untuk perempuan dijual dengan harga yang lebih mahal, padahal keamanan seharusnya merupakan bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh pelaku usaha. Untuk merasa aman, pelaku usaha menjual kebutuhan perempuan dengan dalih “menghindari kekerasan pada perempuan”. Non-smoking dan certified driver seharusnya memang menjadi layanan yang diberikan kepada semua pelanggan atau konsumen dari layanan transportasi, baik perempuan atau laki-laki Solusi yang diberikan Grab tidak menunjukkan sensitivitas gender, kebutuhan perempuan akan keamanan bukan merupakan ajang untuk meningkatkan harga dari layanan

Jadi, segregasi gender solusi atau bukan ya?

Berdasarkan hasil diskusi pada forum “Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi Atau Eksklusivitas?” yang diselenggarakan oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 14 Desember 2017, Daud Joseph (Direktur operasional Transjakarta) mengatakan bahwa penyediaan ruang khusus bagi perempuan sangat penting pada transportasi publik. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang menyatakan bahwa pelecehan seksual mayoritas terjadi di jam-jam sibuk, peluang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual adalah ketika berdesak-desakan

Disisi lain, Iriantoni Almuna (National Programme Officer for Safe City, Gender and HIV di UN Women Indonesia) memberikan perspektif baru dalam hal ini. Kebijakan segregasi gender pada layanan transportasi dianggap sebagai satu langkah awal adanya kesadaran bahwa akses perempuan ke transportasi publik memang sulit karena mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Dengan demikian, pemisahan dianggap sebagai solusi cepat dan bukan akhir, ujarnya Namun, perlu dipahami bahwa tidak semua perempuan dapat menggunakan akses tersebut. Terbatasnya infrastruktur yang mendukung segregasi tersebut menyebabkan terbukanya peluang penyalahan perempuan jika menjadi korban kekerasan seksual di gerbong atau tempat yang tidak “khusus perempuan”. Iriantoni mengatakan, pengadaan infrastruktur harus dibarengi dengan pengadaan layanan, tindakan, dan tindak lanjut, serta respons yang memadai. “Kekerasan terhadap perempuan terjadi bukan hanya karena infrastruktur yang kurang, tetapi karena adanya pendekatan hukum dan kebijakan yang tidak mengatur penanganan (korban pelecehan dan kekerasan). Korban juga tidak mau melaporkan karena takut disalahkan dan tidak tahu mekanisme pelaporannya. Selain itu, petugas tidak tahu bagaimana menanggapinya,”. Sebagai sesama pengguna layanan transportasi, baik laki-laki maupun perempuan, harus lebih responsif dan menjadi active bystander dan tidak diam saja ketika melihat pelecehan atau kekerasan seksual terjadi

This article is from: