Kajian Famcos : Maraknya Pelecehan Seksual, Masihkah Ada Harapan untuk Masa Depan

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Kajian Famcos 1 Maraknya Pelecehan Seksual, Masihkah Ada Harapan untuk Masa Depan?

Menurut Kementrian Pendidikan, Pelecehan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu. Pelecehan seksual dapat juga diartikan setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dipahami sebagai merendahkan dan menghinakan pihak yang dilecehkan sebagai manusia. Pelecehan seksual diidentifikasi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang besar dan tersembunyi di sebagian besar institusi/organisasi. Pelecehan seksual sering kali menjadi permasalahan yang tersembunyi karena korban biasanya enggan untuk melaporkan pengalamannya.

Pelecehan seksual sendiri pada dasarnya tidak hanya pelecehan yang berbau seksual saja. Berbagai perilaku pelecehan yang terjadi karena korban berasal dari jenis kelamin tertentu juga merupakan bentuk dari pelecehan seksual (Sulandjari 2017). Beberapa ahli berpendapat bahwa pelecehan sosial terjadi ketika korban direndahkan, diejek, atau dihina sebagai seorang manusia di mata orang lain. Selain itu pelecehan juga merupakan tindak pelecehan yang dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang, seperti melakukan intervensi dalam pekerjaan seseorang, atau menciptakan suasana pekerjaan yang mengintimidasi, tidak nyaman dan bersifat ofensif di tempat kerja (Mukhlishotin 2017).

A. Kasus Pelecehan Seksual Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual baik yang disampaikan melalui kontak fisik maupun kontak nonfisik dan dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan baik fisik maupun mental. Pelecehan seksual terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) Pelecehan gender

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Contoh: merendahkan, penghinaan, menyinggung terkait gender seseorang sehingga korban merasa malu.

2) Perilaku menggoda Contoh: menggoda di tempat umum, ajakan seksual yang tidak diinginkan, memaksa ketika hendak mengajak pergi, mengirimkan pesan/telepon mengganggu.

3) Pemaksaan seksual Contoh: memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual, dapat disertai ancaman yang membuat korban takut dan tidak memiliki kekuatan untuk menolak.

4) Menjanjikan imbalan Contoh: ajakan untuk melakukan kegiatan intim dengan menjanjikan imbalan tertentu.

5) Sentuhan fisik yang disengaja Contoh: menyentuh, menempelkan bagian tubuh tertentu.

CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan BADILAG (Badan Peradilan Agama) terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.092 kasus, dan BADILAG 372.629 kasus. Pada tahun 2022, CATAHU merekam isu khusus yang muncul dari kasus yang ditangani oleh Komnas Perempuan, yang pertama adalah terjadinya KBG terhadap perempuan oleh pejabat publik, ASN (Aparatur Sipil Negara), tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri dengan persentase 9% dari jumlah total pelaku. Kedua, terjadinya kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) yang diidentifikasi mengalami penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan. Selain itu, juga terjadi bentuk penyiksaan seksual seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan verbal, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik. Ketiga, adanya kekerasan terhadap PPHAM pada tahun 2021, dan yang terakhir konflik Papua dan pandemi terkait penurunan kualitas hidup perempuan Papua. Dalam penanganannya, Komnas Perempuan mencatat 15% informasi penyelesaian yang tersedia dari total kasus yang dicatatkan, dengan rincian upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum sebesar 12%, nonhukum sebesar 3%, dan kasus yang tidak ada informasi penyelesaian sebesar 85%.

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Kasus pelecehan seksual di kalangan perguruan tinggi juga terus bermunculan seiring dengan banyaknya korban yang berani mengungkapkannya.

Kasus yang muncul di beberapa perguruan tinggi sempat menjadi perbincangan hangat. Berikut beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi: 1) Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Riau yang terkuak pada awal November 2021 terkait mahasiswi yang dilecehkan oleh Dekan FISIP. 2) Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Sriwijaya yang terkuak pada 26 September 2021, kemudian pada 6 November 2021 BEM Unsri menerima 2 laporan baru terkait kasus pelecehan seksual yang dimana pelakunya adalah Dosen dari Universitas Sriwijaya.

3) Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Brawijaya yang terkuak pada Januari 2020. Korban melaporkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di tahun 2017 dan pelakunya adalah kakak tingkat dari korban.

4) Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta terkait dosen yang mengirim sexting atau chat mesum dan rayuan ke beberapa mahasiswi.

Korban pelecehan seksual harus mendapatkan penanganan yang tepat, karena pelecehan seksual dapat mengakibatkan munculnya trauma pada korban yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk itu, peran pemerintah maupun lembaga nonpemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini agar korban mendapatkan penanganan dan keadilan.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, kerap terjadi di berbagai lingkup masyarakat. Kebanyakan, perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Umumnya, hal tersebut terjadi akibat pola asuh orang tua kepada anak. Acapkali, orang tua membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya kuat, berani, dan tak toleran kepada segala sesuatunya. Namun, hal ini dapat menjadi pedang bermata dua yang justru mengakibatkan seseorang menjadi pelaku.

Akibatnya, ada tiga penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan. Pelaku kekerasan juga dapat terbentuk akibat korban yang tidak mendapat pengalaman yang tepat. Menurut Michael Kaufman, laki-laki menunjukkan kekuasaannya melalui patriarchy power (kekuasaan patriarki), privilege (hak istimewa), dan permission (sikap permisif atau sikap yang memperbolehkan) (Novian et al. 2018).

Dengan demikian, ada kesenjangan antara kekuasaan maupun pengambilan

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

keputusan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan hanya mengikuti tanpa memberi pendapat pribadi.

Di sisi lain, ada faktor penyebab lain secara garis besar. Menurut Setiani et al. (2017), faktor yang memengaruhi kekerasan seksual, yakni faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor nilai, dan faktor individu. Seseorang yang memiliki masalah keluarga akan menunjukkan peningkatan risiko terhadap ketidakstabilan emosi. Biasanya, orang tersebut mencari orang atau tempat melindungi diri.

Depresi, kecemasan, hingga ketidakyakinan diri akan muncul. Apalagi, anggota keluarga menjalin komunikasi yang tidak maksimal sehingga tak ada kesempatan dalam berkomunikasi dengan pikiran anggota lainnya. Selanjutnya, kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat maupun tidak kondusif bisa mengarahkan seseorang kepada perilaku yang tidak wajar. Ketiadaan mekanisme kontrol sosial dapat memicu kekerasan atau pelecehan seksual. Selain itu, pernikahan usia dini serta kehamilan di luar menikah menandakan bahwa ada penyimpangan nilai-nilai.

Terakhir, faktor internal dan eksternal seseorang seperti cacat tubuh, gangguan tingkah laku, lugu, temperamen lemah, ketidaktahuan atas hak, dan sebagainya yang menciptakan ketergantungan kepada orang lain.

Terlepas itu, ada faktor kejahatan pelecehan seksual, yaitu ketidakberanian korban pelecehan dalam melapor kejadiannya alias menutup diri. Korban menganggap bahwa pelecehan seksual sangat memalukan. Lebih lanjut, beberapa korban sulit mengidentifikasi ciri pelaku pelecehan seksual (Ikhwantoro dan Sambas 2018). Maka dari itu, pelaku seksual kian tak terkendali. Bahkan, pelaku kekerasan serta pelecehan seksual meningkat.

C. Dampak Psikologis Dalam Fuadi (2011), kemungkinan dampak psikologis yang muncul dari kekerasan seksual adalah depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama, merasa terbatasi dalam berhubungan dengan orang lain, terbatasi dalam berhubungan seksual, serta merasa ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari pemerkosaan. Korban pemerkosaan yang mengalami trauma psikologis sangat hebat kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih dan Faturochman 2002 dalam Fuadi 2011).

Menurut hasil penelitian Fuadi (2011), dampak psikologis yang dialami dapat digolongkan menjadi tiga bagian sebagai berikut: a) Gangguan perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

b) Gangguan kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri. c) Gangguan emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.

Dari hasil penelitian Fuadi (2011) pun didapatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya, karena korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang awalnya ditujukan kepada orang yang melecehkannya kemudian menyebar kepada objek atau orang lain.

Setelah mengalami kekerasan seksual, berbagai masalah yang dialami korban mulai bermunculan seperti perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal, bingung, hingga rasa tidak berdaya.

Sementara itu, penelitian Bahri dan Fajriani (2015) menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual menjadi suka menyendiri, suka mengurung diri, terisolasi dalam pergaulan, imun tubuh menurun, merasa tak berguna, dan trauma mendalam.

Selain itu, dampak besar lainnya secara psikologis pada anak yang mengalami pelecehan seksual yaitu mengalami depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), gangguan penyesuaian diri, permasalahan perilaku, hingga gangguan kepribadian.

Menurut Bahri dan Fajriani (2015), derita psikologis anak tersebut tidak sebanding dengan jumlah masa tahanan pelaku yang hanya beberapa tahun.

Tidak mudah untuk menyembuhkan luka trauma secara psikologis pada korban pelecehan seksual, dibutuhkan usaha yang keras dan waktu yang tak dapat ditentukan untuk memulihkannya. Menurut Bahri dan Fajriani (2015), bisa jadi upaya pemulihan korban membutuhkan waktu bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidup untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalunya, serta upaya untuk menyembuhkan trauma dan gangguan-gangguan lain yang dialaminya.

D. Hukum Terkait Pelecehan Seksual 1) Hukum yang Melindungi Korban Secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas, perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Kejahatan terhadap Kesusilaan ini diatur dalam BAB XVI Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu sebagai berikut: a) Kejahatan akibat pelanggaran secara terbuka kesusilaan umum (Pasal 281)

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

b) Kejahatan pornografi (Pasal 282) c) Kejahatan pornografi kepada anak (Pasal 283) d) Kejahatan pornografi ketika melaksanakan pencahariannya (Pasal 283b) e) Kejahatan zina (Pasal 284) f) Kejahatan melaksanakan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 28) g) Kejahatan bersetubuh dalam kondisi tak sadarkan diri dan tak berdaya tanpa melakukan perkawinan (Pasal 286) h) Kejahatan bersetubuh dengan anak perempuan (Pasal 287) i) Kehajatan bersetubuh dengan perempuan yang belum cukup umur untuk kawin sehingga menyebabkan luka ringan bahkan berat (Pasal 288) j) Kejahatan perkosaan berbuat percabulan atau perilaku yang menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 289) k) Kejahatan berbuat cabul terhadap orang yang tak sadarkan diri dan belum cukup umur untuk kawin (Pasal 290) l) Apabila kejahatan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka berat (Pasal 291) m) Kejahatan berbuat cabul terhadap anak pada sesama kelamin (Pasal 292) n) Kejahatan mendorong orang berbuat cabul dengan orang yang belum cukup umur (Pasal 293) o) Kejahatan berbuat cabul dengan anak (Pasal 294) p) Kejahatan mempermudah berbuat cabul bagi anak (Pasal 295) q) Kejahatan mempermudah berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296) r) Kejahatan menjualbelikan baik perempuan atau laki-laki yang belum cukup umur (Pasal 297) s) Kejahatan menjadikan sebagai sumber pekerjaan dari aktivitas pencabulan yang dilaksanakan oleh orang lain (Pasal 298) Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga melanggar hak asasi yang dimiliki oleh korban. Sistem hukum Indonesia menjamin hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya.

2) Hukum untuk Pelaku

Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP kejahatan kekerasan seksual seperti pemerkosaan dianggap

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata.

Akibat fenomena kekerasan seksual (pemerkosaan) terhadap anakanak, Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016 menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 20169 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. PERPU 1/2016 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tanggal 9 November 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UndangUndang (selanjutnya disebut dengan UU 17/2016)10, yang mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selanjutnya pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik.

Penanggulangan tindak kekerasan seksual dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penanggulangan dengan menggunakan jalur hukum (penal) dan penanggulangan di luar jalur hukum (nonpenal). Dalam hal penanggulangan dengan jalur hukum, maka ada kebijakan-kebijakan hukum dalam hal pemberian sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan tindak kekerasan seksual. Dalam KUHP, beberapa Pasal mengatur mengenai pemberian sanksi (hukuman) pidana diantaranya Pasal 287, Pasal 288, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 294, serta Pasal 298.

E. Upaya Pemerintah dalam Penanganan Pelecehan Seksual Pelecehan seksual terhadap perempuan tidak hanya sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tapi juga bagian dari bentuk pelanggaran HAM. Upaya untuk menghapus pelecehan seksual telah diupayakan sejak lama, baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara negara sudah semestinya bertanggung jawab penuh dalam memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya, termasuk dalam hal perlindungan terhadap kekerasan seksual (Hairi, 2015).

Permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan kekerasan atau pelecehan seksual terhadap wanita didukung penuh oleh Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan memiliki tujuan, manfaat dan wewenang dalam menindak

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

lanjuti permasalahan yang berkaitan dengan perempuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini menyebutkan bahwa segala tindakan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, termasuk ke dalam kekerasan seksual.

Tindakan kekerasan bertentangan dengan kehendak seseorang, yang kemudian menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dengan bebas. Hal ini disebabkan oleh adanya ketimpangan relasi gender yang mengakibatkan ketimpangan relasi kuasa, dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, seksual, psikis, ataupun kerugian secara sosial, budaya, ekonomi, serta politik.

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual adalah melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) merupakan upaya pemerintah dalam menangani pelecehan atau kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak secara utuh dan terintegrasi mulai dari pengaduan hingga pendampingan korban. Layanan ini tidak hanya menyediakan layanan pengaduan melalui telepon, tetapi juga sudah terintegrasi dengan layanan lainnya. Layanan SAPA yang diberikan meliputi pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.

Kehadiran layanan SAPA dalam hal menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual dinilai oleh beberapa pihak masih kurang efektif. Hal tersebut dikarenakan layanan SAPA tidak membantu korban yang membutuhkan pertolongan saat tindak kekerasan atau pelecehan terjadi. Masih belum ada program atau kebijakan dibuat pemerintah untuk menangani atau setidaknya mengurangi kasus kekerasan atau pelecehan seksual. Selain itu, sanksi yang diberikan kepada pelaku atau calon kekerasan seksual juga tergolong rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.

F. Upaya dari Lembaga Nonpemerintah dalam Penanganan Pelecehan Seksual Pelecehan seksual dapat dialami oleh siapa saja dan dimana saja. Menurut Noviana (2015), fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara. Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Dalam mencegah pelecehan seksual dan merehabilitasi korban pelecehan seksual dibutuhkan upaya dari nonpemerintah agar pencegahan dan rehabilitasi dapat berjalan lebih maksimal.

Upaya tersebut dapat berupa konseling, pendidikan seks dan edukasi kesehatan reproduksi, media sosial, dan peran orang tua.

Konseling menjadi salah satu media pencegahan kekerasan seksual dan penyembuhan bagi korban kekerasan seksual. Konseling merupakan sistem dan proses bantuan untuk mengentaskan masalah yang terbangun dalam suatu hubungan tatap muka antara dua orang individu (klien yang menghadapi masalah dengan konselor yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan) (Wulandari dan Suteja 2019). Konselor memiliki peranan penting dalam mencegah maupun tempat bercerita bagi korban kekerasan seksual.

Menurut Fathiyah (2010), konselor sesungguhnya dapat berperan optimal dalam penanganan kasus kekerasan seksual karena memiliki waktu cukup untuk mengamati kejanggalan-kejanggalan perilaku anak yang diakibatkan oleh kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku. Selain itu, Konselor hendaknya dapat menjadi teman berbagi yang nyaman bagi anak untuk hal apa pun. Pada akhirnya anak akan mempercayai konselor atas masalah yang mereka hadapi, dan meyakini konselor pasti melakukan aksi nyata dalam membantu masalahnya, bukan hanya kata. Dengan demikian anak akan selalu membawa masalah mereka kepada konselor kapan saja tanpa khawatir kritikan maupun hukuman.

Upaya lain dalam mencegah pelecehan seksual yaitu, memberikan pendidikan seks dan edukasi kesehatan reproduksi sejak dini. Seperti halnya anakanak yang masih terdapat dalam masa perkembangan. Perkembangan anak adalah sesuatu yang sangat krusial, perlu dampingan orang dewasa guna mengarahkan kepada hal yang positif dan bermanfaat bagi apa yang ia perlukan kedepannya.

Pendidikan seks sangat bermanfaat bagi masa depannya maka dari itu pendidikan seks menjadi sesuatu yang penting bagi anak anak. Pendidikan seks menjadi sangat penting sekaligus menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Pendidikan seks yang tepat sejak dini dapat menghindarkan anak dari hal-hal yang buruk dan berbahaya karena dapat menjerumuskan pada hal yang negatif seperti seks bebas dan sejenisnya. Arah pendidikan seks sendiri tergantung pada pribadi masing-masing dan peran pendidik sebagai pembimbing pada hal-hal positif (Wulandari dan Suteja 2019).

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Penerapan pendidikan seks dan edukasi kesehatan reproduksi harus disesuaikan dengan umur siswa dan siswi. Pendidikan tersebut dapat berupa penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi menggunakan alat bantu yakni media sketsa bergambar, musik dan lagu serta video drama dan role play dengan melibatkan guru dan orang tua/wali anak. Role play yang dilakukan anak-anak bersama guru dan tim pelaksana. Kegiatan lain adalah pembagian perlengkapan PHBS (sikat gigi, odol, sabun mandi dan jajanan/sarapan sehat) (Hinga 2019).

Selain upaya konseling dan pendidikan seks dan edukasi kesehatan reproduksi, upaya pencegahan kekerasan seksual dapat berbasis media sosial.

Media sosial menjadi wadah yang sering digunakan oleh kalangan muda maupun tua. Selain itu, media sosial juga dapat menjangkau banyak pihak. Sesuai dengan penelitian Adiyanto (2020), dibutuhkannya wadah diskusi menggunakan media sosial karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Wadah ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih edukasi terkait upaya pencegahan, perlawanan, literasi gender, dan juga perbaikan konstruksi sosial di masyarakat terkait pelecehan seksual. Hal itu dilakukan dengan cara menggunakan berbagai fitur yang terdapat di media sosial contohnya adalah live Instagram.

Diantara seluruh upaya tersebut, ada satu upaya yang memegang peranan penting dalam mencegah kekerasan seksual. Upaya tersebut adalah peran orang tua dalam pencegahan kekerasan seksual. Menurut Noviana (2015), orang tua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orang tua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Orang tua sebagai guru pertama bagi anak dapat memberikan pendidikan mengenai seks. Oleh karena itu, orang tua harus membangun suasana keakraban, keterbukaan, dan komunikasi yang harmonis kepada anak-anaknya terutama membicarakan mengenai permasalahan-permasalahan seksual. Orang tua disarankan agar berterus terang kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan tentang pendidikan seks (Wulandari dan Suteja 2019).

G. Cara Pengaduan Jika anda mengalami kekerasan seksual berikut 3 posko aduan yang dapat diakses untuk melaporkan kasus kekerasan seksual: 1) Call Center SAPA 129 Call Center SAPA, Menyediakan beberapa layanan berikut : - Pelayanan pengaduan - Pelayanan penjangkauan

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

-

Pelayanan pengelola kasus Pelayanan akses penampungan sementara Pelayanan mediasi Pelayanan pendampingan korban

Cara melaporkan : a) Simpan nomor 129 di ponsel b) Panggil nomor 129 jika mengalami kasus c) Pilih layanan yang dibutuhkan d) Petugas layanan akan membantu korban 2) Komnas Perempuan a) Melalui nomor WhatsApp Komnas Perempuan (08111129129) b) Melaporkan langsung ke unit pelayanan teknis daerah Perlindungan Perempuan dan anak yang ada di daerah anda c) Laporkan kasus melalui situs resmi di www.kemenpppa.go.id 3) Komnas HAM a) Mengetahui Pelayanan Komisi HAM Dimulai Dari jam 08.00 s.d 16.00 b) Menyimpan Nomor Konsultasi Pengaduan (081226798880) c) Pengaduan disampaikan dalam Bentuk tertulis yang memuat dan dilengkapi dengan identitas pelapor mulai dari nama hingga identitas lainya serta bukti yang nyata. d) Setelah melengkapi keterangan dan bahan, dapat dikirimkan melalui berbagai cara antara lain : - Diantar langsung ke Komnas HAM - Dikirim mrlalui jasa pos atau kurir - Dikirim melalui Faximilu ke nokor : 0213925227 - Dikirim melalui e- mail ke pengaduan @komnasham.go.id

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Daftar Pustaka Adiyanto W. 2020. Pemanfaatan media sosial Instgram sebagai ruang diskusi upaya pencegahan pelecehan seksual di lingkungan akademis. J Ilm Pangabdhi. 6(2):78–83. doi:10.21107/pangabdhi.v6i2.7594.

Bahri S, Fajriani. 2015. Suatu kajian awal terhadap tingkat pelecehan seksual di Aceh. Jurnal Pencerahan. [diakses 2022 Mei 25]; 9(1): 50-65. doi:10.13170/jp.9.1.2491 Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. 2022 Maret 8. komnasperempuan.go.id. Siaran Pers. [diakses 2022 Mei 25]. https://komnasperempuan.go.id/siaran-persdetail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncurancatatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan.

Fathiyah KN. 2010. Peran konselor sekolah untuk penanganan kekerasan seksual pada anak.

Paradigma.

9(5):75–88. https://journal.uny.ac.id/index.php/paradigma/article/view/5916.

Fuadi MA. 2011. Dinamika psikologis kekerasan seksual: Sebuah studi fenomenologi. Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam. [diakses 2022 Mei 25]; 8(2): 191-208. doi:10.18860/psi.v0i0.1553 Galih Pangestu Jati. Catat! Ini 10 cara melaporkan kasus Penganiayaan dan Kekerasan Seksual [Diakses 2022 mei 29]https://id.theasianparent.com/caramelaporkan-kasus-kekerasan Hairi PJ. 2015. Problem kekerasan seksual: Menelaah arah kebijakan pemerintah dalam penanggulanganya. Negara Hukum. 6(1):1-15 Hinga IAT. 2019. Pencegahan kekerasan seksual pada anak melalui edukasi kesehatan reproduksi berbasis media pada murid sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD). GEMASSIKA J Pengabdi Kpd Masy. 3(1):83–98. doi:10.30787/gemassika.v3i1.395.

Ikhwantoro D, Sambas N. 2018. Faktor penyebab terjadinya kejahatan pelecehan seksual terhadap perempuan dewasa yang terjadi di Kota Bandung ditinjau secara kriminologis. Pros Ilmu Huk. 2:907–913. Retrieved from: https://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/hukum/article/view/10964/pdf

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Gedung Departemen IKK-FEMA Lantai 2 Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Web: himaiko.Ik.ipb.ac.id;e-mail:ipbhimaiko@gmail.com CP: Maitsaa’ Rifdah (081289350310)

Ishak D. 2020. Pelecehan Seksual Di Institusi Pendidikan: Sebuah Perspektif Kebijakan.

AKSELERASI J Ilm Nas. 2(2):136–144. doi:10.54783/jin.v2i2.462.

Noviana I. 2015. Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanangannya.

Sosio Inf. 1(1):13–28. doi:10.33007/inf.v1i1.87.

Novian UZ, Arifah R, Cecep C, Humaedi S. 2018. Mengatasi dan mencegah tindak kekerasan seksual pada perempuan dengan pelatihan asertif. J Penelit dan Pengabdi kpd Masy. 5(1):48–55. doi:10.24198/jppm.v5i1.16035. Retrieved from: https://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/download/16035/pdf Paradiaz R, Soponyono E. 2022. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual. J Pembangunan Hukum Indonesia. 4(1):61-72. https://doi.org/10.14710/jphi.v4i1.61-72 Putri, N. H. (2021) Mengenal Bentuk Pelecehan Seksual yang Kerap Tidak Disadari. Available at: https://www.sehatq.com/artikel/jenis-jenis-perlakuanyang-termasuk-pelecehan-seksual (Accessed: 3 July 2021).

Redaksi Halodoc (2018) 5 Hal Ini Masuk Kategori Pelecehan Seksual, Apa Alasannya? Available at: https://www.halodoc.com/artikel/5-hal-ini-masukkategori-pelecehan-seksual- (Accessed: 3 July 2021).

Riana F. 2021 Des 10. Deretan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus.

Tempo.co.

Rubrik Nasional. [diakses 2022 Mei 25]. https://nasional.tempo.co/read/1537859/deretan-kasus-dugaan-pelecehanseksual-di-kampus.

Setiani FT, Handayani S, Warsiti Warsiti. 2017. Studi fenomenologi : faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual pada anak perempuan di Kabupaten Wonosobo.

J PPKM. 2:122–128. https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/ppkm/article/view/414.

Wulandari R, Suteja J. 2019. Konseling pendidikan seks dalam pencegahan kekerasan seksual anak (KSA). Prophet Prof Empathy Islam Couns J. 2(1):61–82. doi:10.24235/prophetic.v2i1.4751.

Detiknews,Kekerasan terhadap perempuan - anak dilaporkan ke SAPA 129, ini Caranya https://news.detik.com/berita/d-5856123/kekerasan-terhadapperempuan-anak-bisa-dilaporkan-ke-sapa-129-ini-caranya/2