

LEMBARKONTRIBUSI
Penulis:
ShafaAnidiaSaharaniPakpahan
TiaraAzaliaZahra
FadiyyaMiamoiraKaramoy
MariaAngelica
FideliaNatasya
DhaifinaKhafifah
UmiSalamah
MelaniDwi
KayleeYovellaUno
YasminaSalsabilaSaputro
ZahraAnindya
DianaPutri
RasyaLuvena
EvelynAlia
Penyunting:
LatifatulFauziaFirdausi
TiaraAzaliaZahra
DhaifinaKhafifah
DesainSampul:
DepinaNatasya
ShafaAnidiaSaharaniPakpahan
TiaraAzaliaZahra
Pengawas:
LatifatulFauziaFirdausi
KayethaleaWiwaradrisa
TiaraAzaliaZahra
DhaifinaKhafifah
KATAPENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan kajian yang berjudul Menggagas Kesetaraan: Mengupas Makna UU No. 7 Tahun 2017 bagi Perempuan dalam Ranah Politik Formal dan Informal yang proses penyusunannyapenuhdenganpembelajaranberharga.
Disusunnya kajian ini bertujuan untuk memberi pemahaman terhadap pembaca mengenai partisipasi perempuan di ruang politik formal dan informal yang hingga detik ini masih dihadapkan oleh banyak tantangan pelikakibatkonstrukmasyarakatpatriarkisyangmembudaya di Indonesia. Dengan begitu, besar harapan penulis agar kajian ini dapat membantu pembaca dalam bersama-sama memahami dimensi penindasan terhadap perempuan dan mengawal setiap upayadangerakandalammendoronginklusivitasgenderdalamranahpolitik.
Dengan rampungnya kajian ini, terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada keluarga besar Departemen Research & Advocacy 2024 yang sudah saling bahu-membahu penuh kasih sayang, departemen lainnya, serta pihak-pihak lain yang sudah membersamai dalam meniti setiaplangkahprosespenulisankajianinihinggasampaipadatitikpublikasi.
Akhir kata, menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan berharap atas segala kritik dan saran membangun demi meningkatkan kualitasrisetDepartemenResearch&Advocacy2024kedepannya. Semarang,14Agustus2024
Penulis
KEBIJAKANAFFIRMATIVEACTIONDANKETERWAKILANPEREMPUAN: EVALUASIDANTANTANGANDALAMLANSKAPPOLITIKFORMALDI
PEMBERDAYAANPOLITIKPEREMPUAN:INTEGRASIGERAKANDALAM POLITIKFORMALDANINFORMALGUNAMENGATASIKETIDAKBERDAYAAN
PENDAHULUAN
Kehadiran kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat memiliki fungsi serta peranan yang sangat penting. Namun, di masamodernsaatini,perempuanmasihseringkalimenjadigolongan subordinat dalam tatanan masyarakat, terutama dalam bidang politik. Budaya patriarki dan pandangan tradisional masih menganggap perempuan tidak layak terlibat dalam kegiatanpublik
seperti politik dan lebih pantas bekerja di sektor domestik atau rumah tangga. Kondisi ini mencerminkan adanya ketimpangan gender yang masih kuat mengakar dalam tatanan masyarakat.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, kehadiran regulasiyangmendukungpartisipasiperempuandi ranah politik – baik formal maupun informal – menjadi sangat krusial. Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan salah satu produk hukum yang diharapkan mampu mendorong kesetaraan gender dalam politik Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai dampak reformasi terhadap partisipasi politik dan representasi perempuan di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam politik, serta makna dan implikasi dari UU No. 7 Tahun 2017 bagi perempuan. Dengan memahami esensi dan tantangan dari regulasi ini, kita dapat menggagas strategi yang lebih efektif untuk mencapai kesetaraangenderyangsejatidalampolitikIndonesia.
Oleh karena itu, penting untuk menyoroti regulasi seperti UU No. 7 Tahun 2017 yang dapat menjadi pendorong perubahan dalam memperjuangkan hak dan peran perempuan di bidang politikgunamenghapusstigmadanketidakadilanyangmasihmerekahadapi.
Dilihat dari sejarah partisipasi perempuan dalam ranah politik formal di Indonesia, rendahnya keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga politik merupakan tombak awal kurangnya akomodasi untuk menyuarakan kepentingan dan masalah kaum perempuan pada masa kolonialisme. Hal ini memicu kaum perempuan untuk membentuk Poetri Mardika sebagai organisasi perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1912 yang menjadi cikal bakal perjuangan perempuan dalam menyuarakan haknya terutama perihal perolehan ruang publik yang salah satunyaberupapartisipasisosialdanpolitikgunamelepasbelengguadatistiadatyang bersifatpatriarkis.
Berawal dari organisasi Poetri Mardika, kemudian muncul berbagaiorganisasinasionalisseperti Jong Java Meisjekring, Young Javanese Girls Circle, WanitaOetomo,PoetriIndonesia,danlain sebagainya. Hingga akhirnya organisasi perempuan dapat mencapai puncak persatuan dari gerakan perempuan yang terjadi pada tahun 1928 yang ditandai dengan diselenggarakannya
Kongres Perempuan I di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta yang kelak menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan yang berasal dari Jawa dan Sumatera dengan tujuan membicarakan pendidikan untuk kaum perempuan,nasibyatimpiatudanjanda,perkawinananak,reformasiundang-undangperkawinan Islam, dan kejahatan kawin paksa. Meski begitu, organisasi Poetri Mardika yang berhasil menjadi gebrakan awal partisipasi perempuan dalam politik nyatanya tetap menghadapi hambatan dalam pelaksanaanya karena masyarakat pada abad ke-20 masih banyak yang menganut adat yang kental akan patriarkisme. Haliniditandaidenganmaraknyasebutan“konco wingking” dalam budaya Jawa yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia berarti “bagian belakang”, yang mana sebutan ini hanya disematkan pada perempuan. MenurutAvriliya(2014), sebutan ini merupakan gambaran kepasifan perempuan karena tugasnya hanyaberkaitanseputar rumah tangga dan tidak dilibatkan dalam urusan publik. Padahal, kepasifan perempuan dalam ruang publik juga disebabkan oleh penentangan keras pengambilan peran perempuan oleh laki-laki terutama perihal keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan berpolitik. Laki-laki menentang keras adanya peran perempuan dalam pengambilan keputusan terutama dalam ranah politik salah satunya disebabkan oleh “konco wingking” yang merupakan sebuah hasil dari konstruksi budaya patriarkis yang hidup dan berkembang di masyarakat yang mengakibatkan penentangan keras pengambilan peran perempuan oleh kaum laki-laki dan juga penyebab gerakan Poetri Mardika yang berupaya untuk menyetarakan perempuan dan laki-laki ditentang oleh kaum laki-laki karena menurut mereka kedudukan laki-laki dan perempuantidaklahsejajar danlaki-lakitidakdapatdisamaratakandenganperempuan.
Bergeser ke masa kemerdekaan, perempuan – seperti yang dideskripsikan dalam buku memoir “Sarinah” karya Sukarno – sering ditempatkan pada posisi inferior yang karena itu segala nasibnya ditentukan oleh laki-laki. Pada zaman tersebut, laki-laki dianggap sebagai pemilik hak untuk mengatur hidup perempuan sementara perempuan dituntut untuk menerima segala keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Oleh sebab itu, hak-hak perempuan menjadi terokupasi
sedemikian rupa sehingga pada era pemerintahan Sukarno, pemerintah mencoba memberikan perhatian yang lebih terhadap perempuan dengan cara mengakui hak pilih perempuan dalam pemilu tahun 1955 dan dikeluarkannya UU No. 80 Tahun 1957 yang mengatur mengenai kesetaraan upah. Setelah kedaulatan Indonesia diserahkan oleh Pemerintah Belanda pada masa
kemerdekaan, Indonesia membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) pada 15
Februari 1950, yang kemudian dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Dalam periode tersebut, demokratisasi dan keterlibatan perempuan dalam proses politik serta pengambilan keputusan mulai tercermin dengan adanya tiga perempuan yang menjadi anggota legislatif. Kehadiran perempuan dalam politik ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi dan kepentinganperempuansebagaiwarganegara.
Keterlibatan perempuan dalam politik mulai menguat pada pemilu pertama yang dilaksanakan pada tahun 1955 dengan terpilihnya 16 perempuan di antara 257 anggota parlemen. Hal ini merupakan buah hasil dari strategi pembentukan organisasi perempuan sayap partai oleh partai politik dan menjalin komunikasi dengan organisasi perempuan guna mendulang suara. Meski begitu, perempuan yang sudah menjadi anggota legislatif masih sangat dipengaruhi oleh kelompok fraksi dan politik yang maskulin. Sangat disayangkan, kebebasan dan otonomi legislator perempuan dalam menyuarakan ide serta kepentingan mereka masih terbatas karena dominasi dan kontrol dari fraksi-fraksi politik yang mayoritas beroperasi dalam kerangka kerja yangmengutamakankepentinganlaki-lakidenganpolapikirmaskulin.
Berbeda dengan masa kemerdekaan dibawah kepemimpinan Soekarno, pada pemerintahan era Jenderal Soeharto, keterlibatan perempuan dalam ranah politik bisa dikatakan sangat minim akibat pengaruh konsep Ibuisme Negara yang menekankan peran sentral ibu dalam struktur sosial untuk mengembangkan dan membentuk nilai-nilai kebangsaan. Menurut Djajadiningrat (1992) dalam tulisannya yang berjudul Ibuism and Priyayization: Path to Power?, Ibuisme Negara adalah sebuah ideologi yang mendukung setiap tindakan yang diambil oleh ibu dalam menguruskeluarga,kelompok,kelas,perusahaan,ataunegaranyatanpamenuntutkekuasaanatau prestise sebagai imbalan. Konsep tersebutmenempatkanperempuanpadaposisiyangmerugikan karena perempuan dipahami hanya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak bisa berdiri
sendiri, selalu bergantung pada individu lain, dan harus mendahulukan kepentingan keluarga di ataskepentinganpribadi.
Konsep Ibuisme Negara pada pemerintahan era Jenderal Soeharto ini turut memengaruhi ideologi gender di Indonesia yang mengarah pada domestikasi atau “pengiburumahtanggaan”, dimana perempuan dianggap hanya berperan dalam urusan rumah tangga. Domestikasi ini merupakan perwujudan daribudayapatriarkiyangmengakardalamkonstruksisosialmasyarakat Indonesia. Budaya patriarki menempatkan perempuan dalam peran pekerja reproduksi sosial, mempersempit ruang gerak partisipasi perempuan di ruang publik, dan menggiring mereka ke dalam peran rumah tangga tradisional. Salah satu bentuk domestikasi perempuan adalah depolitisasi perempuan atau pengurangan partisipasi politik perempuan dimana hal tersebut menempatkan perempuan pada kondisi pasif dalam ruang publik, terkhususnya dalam ranah politik formal. Domestikasi ini akhirnya juga turut memiliki andil dalam memengaruhi cara berpikir perempuan yang membuat para perempuan menganggap bahwa ruang domestik adalah dunia mereka dan ruang publik adalah dunia laki-laki sehingga perempuan menjadi apatis dan menyerahkantanggungjawabyangberkaitandenganruangpublikkepadalaki-laki.
Terlepas dari terbatasnya representasi perempuan di parlemen, hambatan yang signifikan terhadap partisipasi mereka dan narasi resmi yang membatasi perempuan pada peran domestik perempuan telah memainkan peranan sangat penting dalam lanskap politik Indonesia. Selama pemerintahan era Jenderal Soeharto, kelompok-kelompok perempuan merupakan aktor politik yang berpengaruh, baik yang sejalan dengan agenda pemerintah maupun yang lantang mengkritik rezim otoriter. Namun, rezim Soeharto melahirkan berbagai macam kebijakan dan aturan terhadap perempuan yang di antaranya adalah kebijakan tertinggi yang ditulis dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang mendefinisikan perempuan ke dalam lima bentuk partisipasi. Pertama, perempuan didefinisikan dalam bentuk kodrat yangberbedadengan laki-laki. Kedua, perempuan dapat memilih perannya dalam proses pembangunan tanpa harus meninggalkan posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, perempuan dapat dilihat sebagai pemegang peran penting dalamrumahtangga.Keempat,perempuanbaikdikotamaupundidesa harus terlibat dalam memecahkan masalah nasional. Kelima, kerja perempuan sangat berkaitan erat dengan pembangunan, terutama yang berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian dan keterampilan. Dari kebijakan-kebijakan tersebut, terlihat bahwa pendefinisian tentang perempuandantugas-tugasnyasangatsubordinatdanmarjinal.Disisilain, konstruksi negara tentang ideologi gender pada pemerintahan era Jenderal Soeharto mencerminkan ideologi militeristik. Implementasi dari konstruksi ini dapat dilihat dari struktur organisasi Dharma Wanita yang merupakanorganisasiyangberawaldariPersit(PersatuanIsteri Tentara) dan Bhayangkari (Persatuan Isteri Polisi)karenaABRImemilikistrukturdansifatyang sama seperti Dharma Wanita. Jika dipahami lebih mendalam, Dharma Wanita tidak memiliki
kekuasaan yang signifikan, melainkan semata-mata kekuasaan melalui suami mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak hanya organisasi Dharma Wanita, organisasi lain yang berfokus terhadap hal-hal seperti agama, pemuda, partai, dan mahasiswa juga telah mengadopsi gaya militer. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ideologi militer telah tertanam dalamberbagaiorganisasipadapemerintahaneraJenderalSoeharto.
Manifestasi kebijakan pemerintahan era Jenderal Soeharto mendorong peran-peran feminin perempuan dalam ranah politik. Pada awal tahun 1998, sebuah kelompok perempuan yang dikenal sebagai Suara Ibu Peduli (SIP) yang terkenal beranggotakan perempuan dari kalangan borjuis menggelar aksi protes di wilayah Jakarta Pusat. Mereka mengungkapkan keprihatinan terhadap peningkatan drastis harga-harga kebutuhan pokok dengan argumen bahwa hal tersebut menghambat kemampuan mereka dalam memenuhi peran sebagai penanggung jawab keluarga, terutama sebagai ibu rumah tangga. SIP menggunakan nomenklatur “ibu” dan “susu” sebagai kamuflase karena politik pada pemerintahan era Jenderal Soeharto menggunakan bahasa “wanita” dan cenderung bersimpati pada kegiatan “ibu-ibu” (seperti Dharma Wanita). Aksi protes dilakukan secara singkat di Bundaran HI dan penangkapan pemimpin SIP berlangsung cepat. Penangkapan tiga pemimpin kelompok ini menarik perhatian media secara substansial yang kemudian menyoroti visibilitas kelompok tersebut. Suara Ibu Peduli (SIP) mencerminkan fenomena yang dikenal sebagai "politisasi keibuan" dimana perempuan menggunakan peran sosial mereka untuk mengajukan pernyataan politik yang kuat. Dampak potensial dari politisasi keibuan ini memiliki karakter ambiguitas yang mencolok. Di satu sisi, para perempuan ini menunjukkan kesiapan dan kemampuan mereka untukberpartisipasidanmempengaruhilanskap politik bangsa meskipun mereka berposisi di luar pusat politik formal. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa politisasi keibuan melanggengkan stereotip bahwa perempuan hanya akan
terlibat dalam ranah politik publik yang didominasi laki-laki ketika peran tradisional mereka sebagai istri dan ibu terancam. Pelestarian politik seperti iniyangberkontribusipadapengucilan perempuan dari perwakilan politik secara umum atau dalam kasus-kasus dimana perempuan berhasil masuk, membatasi mereka pada peran-peran yang biasanya diasosiasikan dengan feminitas.
Selain dampak depolitisasi perempuan akibat domestikasi yang mengarah pada konsep Ibuisme
Negara, keterlibatan perempuan pada lembaga legislatif juga banyak dipengaruhi oleh pihak ketiga yaitu laki-laki dalam lingkunganmerekasepertisuami,bapak,ataukerabatdekat.Adanya
Fenomena ini disebabkan oleh anggapan bodoh yang mengatakan bahwasanya perempuantidak
dapat berdiri sendiri dan selalu bergantung pada orang lain. Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar perempuan yang menjadi anggota dewan memiliki suami yang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) atau anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang secara tidak kasat mata menunjukkan bahwa politisi perempuan pada pemerintahan era Jenderal Soeharto memiliki keterkaitan dengan pekerjaan suami. Selain itu, politisi perempuan tersebut umumnya juga berasal dari organisasi yang dibentuk oleh pemerintah yang mengembangkan budaya peran perempuan sebagai istri dan ibu yang mendukung suami seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Persit Kartika Chandra, dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Organisasi keperempuanan yang dibentuk pada pemerintahan era Jenderal Soeharto ini secara kasat mata terlihat humanis dan sangat memberdayakanperempuan.Namun,padakenyataannya organisasi seperti PKK melarang gerakan yang mengartikulasikan kepentingan perempuanyang strategis dan mewujudkan hak-hak kesetaraan dan keadilan. Program PKK dibuat berorientasi untuk memperkuatcirifemininitasyangdianggapsebagaikodratperempuanyangmengacupada sifat-sifat perempuan yang lemah-lembut, tidak bersuara keras, tidak mementingkan kebutuhan pribadi, tidak mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami, dan harus mendahulukan pekerjaandiranahdomestik.
Konsep Ibuisme Negara yang diperkenalkan pada era pemerintahan Soeharto ini juga memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan partisipasi perempuan dalam ranah politik formal. Hal ini dibuktikandengantingkatpartisipasiperempuandalampemiluyanghanyasebesar8,8%.
Angka tersebut jelas menurun dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang rata-rata
mencapai 10%. Penurunan partisipasi perempuan dalam ranah politik formal di era ini juga disebabkan karena dibatasinya segala bentuk upaya yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen. Hal lain yang menjadi faktor turunnya angka partisipasi perempuan dalam ranah politik formal adalah kondisi pasca reformasiyangmanadalamkondisi tersebut banyak ditemukan ketidakstabilan politik akibat periode transisi yang kompleks sehingga membuat kaum perempuan enggan atau sulit terlibat secara aktif dalampolitikformal.
Oleh karena itu, guna meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah politik formal, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan kebijakan affirmative action dalamundang-undang politik. Affirmative action ini merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu memperoleh peluang yang setaradengankelompokataugolonganlain.Dalam ranah politik, kebijakan affirmative action ini diwujudkan melalui UU Pemilu 2004 yang menetapkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% berdasarkan Pasal 65 ayat 1.
Dampak dari implementasi konsep keterwakilan perempuan ini terlihat pada pemilu tahun 2004
dimana jumlah keterwakilan perempuan meningkat menjadi 11,82%. Selanjutnya, kebijakan affirmative action terhadap perempuan dalam politik semakin diperkuat dengan masuknya tiga pasal penting dalam UU No. 2 Tahun 2008. Pasal-pasal tersebut mencakup pencalonanminimal 30% perempuan, penempatan yang menjamin calon perempuan berada di urutan teratas (zipper system), dan penetapan calonterpilihdenganmemastikan30%BilanganPembagiPemilih(BPP) dan nomor urut (proporsional semi terbuka). Hasilnya pada pemilu tahun 2009 keterwakilan perempuan kembali meningkat menjadi 17,86%. Pada pemilu 2014, keterwakilan perempuan di DPR mencapai 17,32%, sementara di DPRD provinsi sebesar 15,85%, dan di DPRD kabupaten/kotasebesar14,2%.
PEMBAHASAN
REPRESENTASIPEREMPUANDIINDONESIA
Reformasi 1998 telah memberikan dampak terhadap lanskap politik di Indonesia. Salah satu dampak dari perubahan perpolitikan pada saat itu adalah dengan meningkatnya kebebasan dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasiaktifdidalamranahpolitikdiIndonesia.
Karena pada pemerintahan era Jenderal Soeharto, partisipasi politik sangat dibatasi dan dikendalikan oleh pemerintah dengan hanya beberapa partai politik yang diizinkan untuk beroperasi. Namun, pasca Reformasi 1998 regulasi politik menjadi lebih terbuka dan memungkinkan pembentukan partai politik baru di Indonesia. Partai politik ini pada umumnya berperan sebagai “kendaraan” bagi masyarakat yang ingin terlibat dalam parlemenataumenjadi anggota legislatif. Kebebasan dalam politik tidak hanya terbatas pada pembentukan partai politik,tetapijugadalamlembagaeksekutif.
Kebebasan tersebut dapat pula diakses melalui pencalonan jalur independen. Hal ini berarti individu dapat mencalonkan dirisebagaikepaladaerahataubahkanpresidentanpaharusmelalui partai politik. Kebijakan ini tentu dapat membuka ruang bagi siapa saja termasuk mereka yang tidakterafiliasidalamsistempolitikdanpemerintahan.Kebijakanyangdemikiantidakterkecuali telah memberikanlebihbanyakruangbagiperempuanuntukterlibat.Pemerintahmulaiberupaya untuk memfasilitasi kesetaraan gender di ruang publik, dimana hal ini terlihat dari peningkatan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen. Pada pemilu tahun 1999 hanya sebanyak 9% dari anggota parlemen yang merupakanperempuan.Kemudian,padapemilutahun 2014 jumlah perempuan dalam parlemen meningkat dengan angka yang cukup signifikan yaitu sebanyak 17%. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif dapat menjadi suatu berkah bagi keberlanjutan dan kemajuan dari suatu negara. Kehadiran perempuan dapat membawa perspektif baru dalam pengambilan keputusan yang dapat memperkaya kebijakan dan program pemerintah. Maka dari itu, dapat dipastikan bahwasanya perempuan di ranah politik memiliki andilyangluarbiasadalammengaturkehidupanberbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, peran perempuan di Indonesia masih dimarjinalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini dapat menunjukkan bahwasanya dunia perpolitikan di Indonesia masih didominasi oleh kontrol fraksi yang maskulin dan membuat peran gerakan perempuan di 14
luar parlemen menjadi sangat krusial. Tekanan dan dukungan dari gerakan-gerakan ini dibutuhkan untuk memperkuat posisi dan peran perempuan dalam politik serta untuk memastikan bahwa isu-isu seputar kesetaraan gender tetap menjadi prioritas dalam agenda politik.
Begitu banyak rintangan yang dihadapi perempuan dalam usaha-usaha mewujudkan keterwakilan perempuan dalam ranah politik. Mulai dari akses yang tidak adil dalam proses pemilihan, representasi yang tidak proporsional di lembaga legislatif maupun eksekutif, hingga rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan strategis. Selain itu, perjuangan representasi perempuan dalam politik di Indonesia menghadapi berbagai tantangan lainnya, mulai dari kebijakan pemilu yang setengah hati hingga keterbatasan kapasitas dari politisiataucalonlegislatorperempuan.
Perempuan dan politik merupakan dua hal yang sulit dibayangkan, terutama di negara-negara berkembang. Adanya budaya yang menekankan bahwa peranan perempuan hanya berkisarpada ranah domestik menghambat partisipasi perempuan dalam ranah politik terutama karena politik seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan “power” atau kekuasaan dan dianggap sebagai hal yang maskulin serta selalu berkaitan dengan dunia laki-laki, maka jika ranah ini dimasuki oleh perempuan akan dianggap sebagai suatu hal yang “tabu”. Anggapan-anggapan tersebut akan berdampak pada legitimasi yang kuat dalam dunia politik sehinggasecaratidaklangsung memunculkankeberpihakanpadabudayapatriarki.
Budaya dan nilai patriarki yang telah terkonstruksi secara sosio-historis membuat peran perempuan seringkali diopresi, yaitu ditempatkan dalam posisi subordinat di berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, perempuan seringkali dianggap hanya memiliki nilai sebagai pengelola rumah tangga seperti dapur dan urusan domestik lainnya. Budaya patriarki menciptakan stereotip gender yang membatasi ruang gerak perempuan, menjadikan perempuan terikat pada peran tradisional yang sempit. Norma-norma ini menganggap bahwa perempuan tidak layak untuk mendapatkan peran dalam ranah publik atau profesional yang signifikan, seperti keterlibatan perempuan dalam politik karena dianggap kurang kompeten atau kurang berwenang dibandingkan laki-laki. Stigma-stigma ini menghasilkandiskriminasisistematisyang
membatasi akses perempuan ke pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Perempuan yang mencoba melampaui peran tradisional ini sering kali menghadapi penolakan, prasangka, dan hambatan tambahan yang tidak dihadapi oleh laki-laki. Pandangan masyarakat pun belum mampu menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap perempuan terutama dalam hal yang berkaitan dengan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Minimnya dukungan dan kesadaran dari masyarakat terhadap pentingnya representasi perempuan dalam politik dapat terjadi karena tidak sedikit dari masyarakatyangmasihmemegangnormasosialdantradisiyang secara tidak langsung telah membatasi hak dan kesempatan perempuan untuk terlibat dalam ranah politik. Misalnya, dalam budaya Jawa perempuan sebaiknya menikah sejak muda karena dianggap sebagai pilar utama untuk menghasilkan keturunan yang baik. Hal ini membuat perempuan-perempuan yang adadiJawadiharapkanuntukdapatmenikahdiusiatidaklebihdari 22 tahun untuk menghindari julukan “perawan tua” dan gunjingan lainnya dari masyarakat sekitar Lebih jauh dari itu, beban ganda yang harus dipikul ketika perempuan yang sudah menikah tetapi masih memiliki karir di luar rumah dapat menambah tekanan dan kritik jika perempuandianggaptidakdapatmemenuhiekspektasitersebut.
Stigmatisasi yang mengakar kuat akibat nilai dan budaya patriarki ini memicu terjadinya pemarjinalan keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Marjinalisasi yang terjadi pada perempuan dalam ranah politik tak hanya dilatarbelakangi oleh nilaidanbudayapatriarki,tetapi turut diperkuat oleh interpretasi dari ajaran-ajaran agama tertentu yang mendukung pembatasan peran perempuan dalam ranah politik. Tak sedikit dari laki-laki yang menggunakan agama dan budaya sebagai tameng untuk menjustifikasi praktik-praktik dari nilai dan budaya patriarki terhadap perempuan. Misalnya, ada beberapa ulamayangmenafsirkanayat-ayatdariAl-Qur’an dan mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan, dimana hal ini akan semakin memperkuat supremasi laki-laki atas perempuan. Dalam interpretasi ini ditekankan bahwa peranan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan menganggap bahwa politik adalah domain laki-laki, bukan perempuan. Interpretasi ini tidak sedikit digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk dapat mempertahankan status quo yang mana berarti mempertahankan kebijakan, struktur, atau norma yang telah lama dianut dan seringkali digunakan untuk menjaga stabilitas atau keuntungan dari kondisi tertentu. Kelompok-kelompok yang mendukung status quo ini mungkin merasa bahwa perubahan dapat membawa ketidakpastian dan kerugian,
sehingga kelompok-kelompok ini akan cenderung menolak reformasi atau inovasi yang dapat mengubah keadaan saat ini. Pada konteks marjinalisasi perempuan didalamranahpolitik,status quo yang didukung oleh nilai dan budaya patriarki serta interpretasi dari ajaran-ajaran agama tertentu dapat menghalangi upayauntukmencapaikesetaraangender Kelompok-kelompokyang mendapat keuntungan dari struktur patriarki akan menentang perubahan yangdapatmengancam posisi atau kekuasaan mereka. Maka dengan itu, kelompok-kelompok ini akan berupaya untuk mempertahankan status quo dimana dengan kelompok-kelompok ini mempertahankan status quo dapat berdampak pada keterwakilan perempuan yang seringkali terpinggirkan, baik secara strukturalmaupunsosialdalamprosespengambilankeputusanpolitik.
Rendahnya kuantitas atau jumlah representasi perempuan dalam ranah politik linear dengan rendahnya kualitas kemampuan perempuan dalam ranah politik formal. Eksistensi perempuan dalam politik cenderung hanya memainkan peranan sekunder karena telah melekatnya stigmatisasi dimana politik identik dengan kemaskulinitasan. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya keterwakilan dan representasi perempuan telah meningkat, tetapi pada realitanya di lembaga legislatif maupun eksekutif tingkat nasional, provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masihlah rendah. Cacatnya proses perekrutan perempuan dalam politik formal dianggap karena perempuan gagal dalam memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, sepertimenyediakanpersyaratankompetensiyangcukupdalammengaksesinformasi yang relevan dan akurat untuk memahami isu-isu politik yang dapat memungkinkanperempuan untuk dapat berpartisipasiaktifdalamproseskeputusanpolitik.Persyarataninidapatberupadata statistik, laporan keuangan, analisis kebijakan, daninformasitentangprosespolitikyangterbuka dan transparan.Dimanadalamkonteksini,pendidikandapatmempengaruhikualitasrepresentasi perempuan dalam politik. Pemberdayaan perempuan dalam pendidikan politik dapat membantu kesadaran perempuan terhadap pentingnya partisipasi politik dan peranan dalam pengambilan keputusan sekaligus untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya keadilan gender dan bagaimana cara untuk dapat berkontribusi penuh pada upaya peningkatan kesetaraan gender dalam politik. Partisipasi perempuan dalam ranah politik dijadikansebagaisalahsatucarauntuk dapat mengakomodir kepentingan perempuan secara praktis yang mana perempuan-perempuan yang terlibat dalam ranah politik dapat secara inklusif untuk menangani isu-isu yang dapat memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka sebagai seorang perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Umumnya, isu-isu ini akan berputar pada
perlindungan dari kekerasan seksual, kesetaraan gender dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya, serta hak kesehatan reproduksi, dan lain sebagainya. Isu-isu ini memang penting untuk dikaji mengingat banyaknya permasalahan praktis yang memerlukan perhatian khusus karena isu-isu tersebut dapat mempengaruhi hajat hidup perempuan-perempuan di luar sana. Namun, partisipasi perempuan dalam politik harus mampu melampaui batasan ini. Perempuan yang telah diedukasi melalui pemberdayaan dalam pendidikan politik akan mampu terlibat secara aktif dan lebih jauh dalam proses demokrasi serta pengambilan keputusan strategis, dimana hasilnya kelak dapat memberikan pengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan karena jika tidak, hal ini sama saja dengan membatasi danmengkerdilkanperan perempuan dalam ranah politik. Melalui pendidikan politik yang memadai, perempuan akan mampu untuk melawan stereotip dan diskriminasi gender yang sering menghalangi partisipasi perempuan dalam ranah politik. Perempuan akan memiliki suatu bekal untuk menentang dan mengubah norma-norma sosial yang diskriminatif serta meningkatkan representasi perempuan dalam ranah politik. Dengan begitu, dalam ranah politik perempuan dapat memainkan peran penuh dan signifikan dalam pembangunan politik dansosialsertadapatmenjadiagenperubahan yangmempromosikankesetaraangender,keadilansosial,danmemastikanbahwakebijakanyang dihasilkanlebihinklusifdanrepresentatif.
Keterbatasan kesempatan akan akses pendidikan tersebut dapat mempengaruhi pemahaman perempuan dalam dunia politik. Perempuan yang terjun dengan tanpa adanya bekal yang memadai dapat berpengaruh terhadap rendahnya jumlah keterwakilan perempuan dalam politik. Meski begitu, keterwakilan perempuan dalam ranah politik tidak hanya dapat diukur dari kuantitas atau jumlah keterwakilan tetapi juga kualitas dari peran yang perempuan mainkan dalam ranah politik. Ketika perempuan memasuki ranah politik tanpa memperoleh akses pendidikan dan pelatihan yang memadai, maka potensi dari kehadiran perempuan dalam ranah politik hanya akan dimaknai sebagai “keterwakilan simbolik” dimana perempuan yang ditempatkan dalam posisipolitikhanyamenjadisimbolyangmengakibatkanperananperempuan sebagai pajangan. Hal ini dapat memungkinkan perempuan tidak memiliki kekuatan yang nyata untuk membuat keputusan ataupun membawa perubahan yang berarti. Selain itu, hal ini akan berdampak terhadap kurangnya dukungan pada agenda perempuan tanpa memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai isu-isu seputar gender ataupun agenda perempuan memungkinkan politisi perempuan tidak mampu berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan
kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Sehingga politisi perempuan menjadi tidak memilikikapasitasuntukdapatmemahamidanmengadvokasiperubahanyangdiperlukan.
Mirisnya, sistem birokrasi yang ternyata juga mengadopsi nilai dan budaya patriarki seringkali menjadi penghalang utama bagi perempuan yang tengah berupaya mengembangkan karir dan meningkatkan status mereka dalam lembaga politik formal. Nilai dan budaya yang diadopsi ini memberikan kecenderungan yangakanhanyamemberikankeuntunganterhadaplaki-lakidengan norma-norma sosial yang memposisikanlaki-lakidalamperankepemimpinanyangdominandan mengabaikan atau bahkan meremehkan potensi serta kontribusi yang dapat dilakukan oleh perempuan. Sistem birokrasi dalam representasi perempuan memiliki implikasi yang signifikan terhadap kesetaraan gender. Nilai dan budaya patriarki yang kuat di dalam birokrasi dapat mempengaruhi perilaku dan keputusan individu sehingga perempuan tidak dianggap sebagai pilihan yang layak untuk posisi strategis. Hegemoni maskulinitas dalam tatananmasyarakatdan minimnya posisi strategis yang diduduki perempuan menyebabkan persaingan, bahkan dengan cara yang tidak sehat. Akibatnya, perempuan akan semakin sering menghadapi hambatan-hambatan ketika akan menduduki posisi-posisi yang penting, pengakuan yang layak, atau memiliki pengaruh yang setaradalamprosespengambilankeputusan.Sistembirokrasiyang masih mempertahankan kerangka maskulin cenderung akan menghambat perubahan menuju
lingkungan kerja yang lebih inklusif dan berkeadilan gender Kebijakan dan praktik yang tidak sensitif terhadap kebutuhan ataupun aspirasi perempuan yangseringkalitetapdipertahankandan bahkan ketika terdapat upaya untuk memperkenalkan reformasi atau kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan gender. Dimana dalam konteks ini akan mengakibatkan perpetuasi dari kesenjangan gender dalam politik formal dengan perempuan seringkali terpinggirkan dari kesempatan untuk mengambil peran yang semestinya mereka dapatkan berdasarkan kualifikasi dankompetensiyangmerekamiliki.
PARTISIPASIPOLITIKPEREMPUANDIINDONESIA
Di Indonesia, upaya penguatan partisipasi politik perempuan ditandai dengan diundangkannya
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dalam salah satu pasalnya, tepatnya pada Pasal 65 nomor 1 tertuang bahwa, “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang kurangnya 30%.”
Undang-undang ini menjadi tonggak awal dari upaya penguatan partisipasi politik perempuan karena sejalan dengan beberapa perubahan yang ditetapkan pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2004. Pada Pemilu tahun 2004, sistem yang digunakan untuk memilih calon anggota legislatif adalah sistem proporsional terbuka. Sistem ini memungkinkan masyarakat untuk memilih wakil rakyat secara langsung, bukan hanya memilih partainya saja seperti sistem proporsional tertutup yang diterapkan pada Pemilu sebelum Tahun 2004. Dalam sistem proporsional tertutup, calon anggota legislatif dipilih oleh petinggi partai tanpa adanya transparansi kriteria ataupun penilaian yang diketahui secara umum. Hal ini meningkatkan
subjektivitas dari calon legislatif terpilih dan memperlancar praktik nepotisme yang subur di Indonesia sehingga patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan nilai demokrasi yang selalu digembar-gemborkan. Penerapan sistem proporsional terbuka diharapkan akan meminimalkan intervensi pendapat subjektif para petinggi partai dan mulai dapat mendorong partisipasi politik perempuan karena terdapat variabel pembangunan citra melalui kampanye pada masyarakat.
Sehingga masyarakat kembali memegang keputusan tertinggi mengenai siapa yang akan mewakilimerekadalamranahlegislatif.
Di sisi lain, sistem proporsional terbuka juga masih memiliki kekurangan yang melemahkan calon anggota legislatif perempuan dari segi ekonomi karena sistem tersebut menuntut calon anggota legislatif untuk memenangkan hati rakyat dalam rangka mendapat suara mereka pada pemilihan legislatif (Pileg). Hal ini biasa dilakukan para calon dengan gencar melakukan kampanye melalui pengoptimalan penggunaan sumber daya yang mereka miliki, salah satunya adalah uang. Calon anggota legislatif dituntut untuk mengemban tanggung jawab dalam
pengelolaandanpembiayaansegalakeperluankampanye,yangpadasistemproporsionaltertutup sepenuhnya menggunakan dana partai. Berbanding terbalik dengan keperluan kampanye pada sistem proporsional terbuka yang umumnya bersumber dari dana pribadi calon dan donasi dari para relawan. Persaingan dalam sistem proporsional terbuka akhirnya tidak lagi berfokus pada persaingan ideologi dan aspirasi masing-masing calon, melainkan persaingan material untuk loyalitas politik. Dengan hal ini, perempuan kembali dirugikan karena berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki.
Meskipun ada sumber dana lain, yaitu dana donasi dari para relawan, calon anggota legislatif tidak bisa sepenuhnya bergantung pada dana ini karena lagi-lagi pemberian dana ini bersifat “seikhlasnya” tanpa ada aturan khusus yang mendasarinya. Sehingga kedua sistem pemilu di Indonesia masih memiliki hambatan struktural yang merugikan perempuan dan memungkinkan adanyapenurunanminatperempuanuntukberpartisipasidiranahpolitik.
Walaupun UU No. 12 Tahun 2003 sudah diundangkan, keterwakilan perempuan dalam DPR RI pada pemilu Tahun 2004 hanya mencapai 11,8%, DPD sebesar 22%, rata-rata DPRD Provinsi sebesar 12%, dan rata-rata DPRD Kabupaten/Kota sebesar 6% yang bahkan tidak mencapai setengah dari persentase dalam undang-undang yang ditetapkan atau 30%. Dari data yang didapatkan ini, maka ada dua hal yang menjadi sumber penyebab rendahnya keterpilihan perempuan dalam ranah legislatif, yaitu dari segi masyarakat dan partai yang dalam hal ini adalah birokrasi pencalonannya. Dari segi masyarakat, salah satu faktor penyebab kegagalan penerapan UU ini adalah budaya patriarki yangmenempatkanperempuandalamperandomestik dan reproduksi saja. Banyak anggapan bahwa keterlibatan perempuan di luar domestik dan reproduksi akan mengganggu “keseimbangan rumah tangga” yang standarnya sudah terbentuk dari masyarakat, yaitu laki-laki bekerja dan perempuan mengurus rumah tangga. Meskipun kita sudahberadadizamanmodern,tampaknyamasihadaindividu-individuyangmemilikianggapan bahwa perempuan adalah makhluklemahdancenderungemosionalsehinggatidakpantasmasuk dalam dunia politik. Anggapan kuno ini muncul sebagai buah dari proses internalisasi yang melahirkan stereotip bahwa laki-laki adalah sosok yang mandiri, agresif, berdaya saing, memimpin, berorientasi ke luar, penegasan diri, inovasi, disiplin, dan tenang. Sedangkan perempuan adalah sosok yang bergantung, pasif, lembut, non agresif, tidak berdaya saing, dan mengandalkan naluri. Dua anggapan ini menjadi pondasidarikonstruksisosialdimanalaki-laki
dianggap sebagai makhluk yang mengutamakan logika daripada naluri, sehingga lebih cocok dijadikan pemimpin karena segala keputusan yang diambil sifatnya rasional. Menurut Max Weber, salah satu jenis rasionalitas adalah rasionalitas nilai. Rasionalitas nilai ini memiliki arti tindakan rasional yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting
seperti etika, estetika,agama,danlain-lain.Seharusnya,setiaptindakanyangdilakukanmakhluk yang mengutamakan logika memenuhi definisi dari rasionalitas nilai itu sendiri, yakni segala tindakannya didasari olehnilaimoralyangmemungkinkanmakhluktersebutuntukmembedakan mana hal yang benar dan mana hal yang salah. Namun faktanya, laki-laki masih mendominasi kluster terdakwa salah satu tindak pidana yang tentunya melenceng dari pedoman nilai moral yaitu korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch di semester I tahun 2020, data historis terdakwa kasus korupsi menunjukkan 814 orang laki-laki dan 82 orang perempuan sehingga persentase terdakwa kasus korupsi dengan jenis kelamin laki-laki sebesar90,84%.Hal ini tidak sejalan dengan konstruksi sosial yang menganggap bahwa “makhluk yang mengutamakan logika” lebih cocok memimpin daripada “makhluk yang mengandalkan naluri”. Lalu, apakah masih patut dikatakan bahwa jenis kelamin menentukan baikatautidaknyakinerja seseorang dalam ranah politik? Selain dari faktor sosial, halangan yang dialamiperempuanjuga bersumberdarifaktorekonomi.Parakandidatperempuanharusmengeluarkanlebihbanyakuang di luar pembuatan atribut kampanye, seperti untuk dibagikan pada pemilih melalui pembiayaan proyek ataupun dana tunai langsung. Pembiayaan yang dilakukan calon legislatif perempuan biasanya berfokus padapermasalahaniburumahtangga,sepertipembiayaanposyandu,pelatihan memasak, edukasi kesehatan (KB), dan lain-lain. Bentuk kampanye ini menunjukkan bahwa calon legislatif perempuan dapat dikatakan lebih paham dengan masalah yang dihadapi perempuan terutama yang sudah berumah tangga, sehingga diharapkan dapat menjadi representasi tepat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di negara kita dan lebih memahami permasalahan perempuan secara komprehensif, seperti di luar urusan domestik itu sendiri.
Selain dari segi masyarakat, halangan yang dihadapi perempuan juga berasal dari birokrasi dalam partai itu sendiri. Berdasarkan aturan KPU, penentuan nomor urut caleg menjadi kewenangan penuh dari para petinggi partai politik. Sebesar 65% dari kandidat laki-laki yang terpilih adalah mereka yang ditempatkan di nomor urut 1. Sementara itu, hanya 47% dari
kandidat perempuan terpilih yang berada di nomorurut1.Kandidatperempuanpadanomorurut
3 yang terpilih jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan kandidat laki-laki terpilih dari nomor urut yang sama. Fakta ini menunjukkan adanya pengurangan partisipasi politik perempuan dari melaluipemaknaanUUNo.7Tahun2017pasal246ayat(2):
"Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon."
Pernyataan satu orang perempuan bakal calon dari tiga orang akandimaknaidengannomorurut satu dan dua diisi oleh laki-laki dan nomor urut tiga baru diisi oleh perempuan. Minimnya partisipasi perempuandalampetinggipartaipolitikinimemengaruhikeputusanpenomoranbakal calonyangcenderungmerugikanperempuan.DiIndonesia,calonlegislatifyangberadadiurutan nomor satu memiliki peluang lebih besar untuk mendapat suara karena faktor psikologis dari pemilihnya. Banyaknya jumlah calon legislatif, seringkali membuat para pemilih kurang memperhatikan atau bahkan samasekalitidaktahumengenaiparacalonlegislatif.Sehingga,ada kecenderungan untuk memilih calon pada nomor urut teratas, karena tidak mau repot untuk membaca daftar nama calon legislatif yang bahkan tidak mereka kenal. Selain penomoran yang cenderung merugikan, bakal calon dalam partai juga harusmemenuhipersyarataninternalpartai yang bersumber pada AD/ART, keputusan kongres partai, peraturan partai, keputusan DPP partai, instruksi partai, serta mengikuti aktivitas internal partai yang kadanggagaldipenuhioleh perempuan. Sebagai contoh, adanya kaderisasi berjenjang yang harus diikuti dari awal sampai tingkat akhir dengan mengikuti kegiatan-kegiatan partai dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan yang menjadi kewajiban ini sering gagal diikuti oleh perempuan karena mayoritas peran perempuan di Indonesia yang dituntut untuk mengutamakan tugas domestik terutama untuk perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. Perempuan yang mengutamakan karir, apalagi yang bersifat “gambling” seperti mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, masih dipandang sebelah mata karena dianggap cenderung merugikan. Merugikan ini dalam artian mengorbankan sumber daya ekonomitanpahasilyangpastidanmengesampingkanperangender tradisionalnya untuk mengurus anak, suami, serta rumah tangga secara keseluruhan. Sehingga perempuan ditempatkan dalam posisi yang sulit dimana ia harus membagi waktu untuk mengikuti kegiatan internal partai dan mengerjakan tugas domestik yang telah dibebankan
kepada perempuan. Hal inilahyangbisamenjadihalanganbagiperempuanuntukmenyelesaikan kaderisasi berjenjangnya, karena perempuan dituntut untuk memprioritaskan kewajiban sebagai makhluk yang “masak, macak, lan manak” jika waktu antara kaderisasi dengan tugas domestiknya bertabrakan. Syarat ini jugatidaksejalandenganaturanlaindaripartaipolitikyang membuka ruang pencalonan bagi orang non kader yang menyanggupi pembayaran sejumlah “uang" kepada partai. Anggota partai non kader – baik yanggagalmengikutikaderisasiataupun tidak mengikuti kaderisasi sama sekali – diberikan kesempatan untuk mencalonkandirimenjadi calon legislatif jika menyanggupi pembayaran sejumlah uang tertentu pada partai. Hal ini melanggengkan terjadinya politik uang di Indonesia, terutama pada internal partai itu sendiri. Padahal,jikadilihatdarisisiekonomi,menurutdatadariKementerianPemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di tahun 2023,sebanyak9,68%dariperempuanIndonesiahidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini lebih tinggidibandingkanpersentaselaki-lakiyaitu9,4%.
Kemiskinan perempuan ini disebabkan oleh adanya kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya, perempuan lebih memilih pekerjaan yang fleksibel karena adanya tuntutan budaya yang mengharuskanperempuanuntuktetapmengutamakanpekerjaandomestik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya ini mengeksklusi perempuan dariranahpolitik.Dari kedua segi ini, segi masyarakat dan partai, ada korelasi yang cukup jelas yaitu budaya patriarki yang masih kental serta petinggi partai yang didominasi oleh laki-laki sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa segala keputusan yang dibuat oleh petinggi ini juga masih terpengaruh budaya patriarki yang mengakar Sebagai kelanjutan dari UU No. 12 Tahun 2003, pemerintah terus mendorong kebijakan afirmasi ini terus dikembangkan dengan tambahan peraturan, penempatan minimal satu perempuan dari tiga orang. Ketentuan ini berhasil menaikkan persentase keterwakilan perempuan dalam DPR RI menjadi sebesar 18% di tahun 2009 namun masih bersifat fluktuatif, ditandai dengan penurunan keterwakilan perempuan dalam DPR RI di tahun2014menjadi17,3%.
Kebijakan afirmasi terakhir yang diupayakan oleh pemerintah adalah pengesahan UU No. 7 Tahun 2017. Pengesahan ini didorong kuat dengantujuanterwujudnyaprinsipkesetaraanpolitik dan keadilan sosial yang mengacu pada pemahaman dan pandangan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan politik. Salah satu perbedaan yang jelas dapat dilihat dari perbedaan biologis seperti kebutuhan menstruasi, kondisi hamil dan
melahirkan, kebutuhan menyusui dan ketersediaan ruang laktasi yang tentu membutuhkan representasi dari kaum terkait agar keputusanyangdihasilkanrelevandenganapayangterjadidi lapangan. Perbedaan ini mencerminkan bahwasanya ada beberapa kebutuhan yang tidak akan terpenuhi dengan maksimal jika keputusannya diwakilkan oleh pihak yang bahkan tidak memerlukanpemenuhankebutuhaninididunianyata.
Pengesahan UU No. 7 Tahun 2017 pasal 245 dan 246 ini seharusnya menjadi bentuk pengembangan dari UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65. UU No. 7 Tahun 2017 pasal 245 yang meliputi:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).”
SedangkanPasal246berisi:
“1) Nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 disusun berdasarkan nomor urut; 2) Di dalam daftar bakat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon; 3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai pas foto diri terbaru.”
Namun, antara dua undang-undang ini tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini menjadi sangat rawan jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakanatauregulasiyangmenjadi solusi dari masih rendahnya partisipasi politik perempuan, baik dari segi masyarakat maupun segi partai politiknya. UU No. 7 Tahun 2017 hanya memiliki tambahan pada pasal 246 terkait penomoran bakal calon dimana perempuan tidak hanya ditetapkan pada nomor tiga dan seterusnya, melainkan dapat juga ditetapkan pada nomorurutsatudan/ataudua.Sampaisaatini, belum ada kebijakan lebih lanjut mengenai aturan internalpartai,tentangdanayangdikeluarkan maupun kaderisasi bertingkat. Pengembangan kebijakan afirmasi yang kurang dan cenderung hanya mengulang kebijakan yang ada dikhawatirkan akan semakin menurunkan partisipasi perempuandalampolitik.
Pemerintah IndonesiamasihmemilikiPRbesardalammengembangkankebijakanafirmatifyang berfokus pada penyelesaian hambatan sistemik yang dihadapi perempuan dalam serangkaian proses yang harus dilalui untuk berpartisipasi dalam ranah politik. Penyelesaian hambatan sistemik ini dapat dimulai dari penghapusan budaya patriarki yang terlanjur mengakar dalam masyarakat. Penghapusan budaya patriarki ini sangat kompleks karena sejatinya budaya akan terus lestari jika ada individu-individu atau kelompok masyarakat yang masih memegang erat ajarannya. Edukasi mengenai budaya yang merugikan perempuan ini sangat diperlukan bagi masyarakat, serta dalam konteks partisipasi politik ini juga sangat perlu ditanamkan pada pihak-pihak yang terkait dalam pencalonan legislatif mulai dari petinggi partai, pemangku kepentingan di KPU, maupun bakal calon itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus memasukkan materi mengenai pengarusutamaan gender dalam kurikulum di seluruh sekolah di Indonesiagunamempersiapkangenerasimendatangyangmenjunjungtinggikesetaraangender
Selain dari segi sosial budaya, pemerintah juga perlumemperhatikankondisiperekonomiandari perempuan. Ketidakselarasan antara biaya pencalonan legislatif dengan tingkat kemiskinan perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki menjadi faktor besar penyebab gugurnya perempuan dalam proses pencalonan legislatif. Perekonomian perempuan harus dikuatkan dengan penghapusan pengerdilan perempuan dalam kerja publik hanya karena tuntutan budaya masyarakat yang menempatkan perempuan dalam sebagai pekerja domestik saja. Hal ini juga berkaitan dengan birokrasi internal partai yang mengutamakan“uangmahar”dalampencalonan, padahal keadaan perempuan sendiri masih sangat dibatasi oleh kemiskinan karena perempuan
seorang diri dibebani tanggung jawab untuk melakukan kerja-kerja domestik tak berupah, sehingga konstruksi tersebut mengakibatkan perempuan tereksklusi dari pekerjaan publik yang berupah.
Di sisi lain, kebijakan afirmatif ini memiliki pengaruh positif, ditunjukkan oleh partisipasi perempuan dalam bidang politik yang telah mengalami peningkatan sejak terbitnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dimana dalam Pasal 245 dan Pasal 246telahditegaskan bahwa daftar calon anggotalegislatifharusmemuatketerwakilanperempuanpalingsedikit30%.
Perempuan harus mendukung Undang-Undang ini karena Undang-Undang tersebut merupakan bentuk perwujudan dari affirmative action, yaitukebijakanyangdibuatdengantujuanagarsuatu kelompok tertentu dapat memperoleh peluang yang setara dengan kelompok lain dalam bidang
yang sama, dalam konteks ini yakni partisipasi perempuan dalam ranah politik formal. Namun, selain mendukung, perempuan dan masyarakat juga perlu mengkritisi Undang-Undang ini. Apakah Undang-Undang tersebut telah diterapkan dengan baik sehingga dapat merepresentasikan para perempuan secara keseluruhan atau apakah Undang-Undang ini merupakan suatu upaya simbolis dari pemerintah untuk “mendukung” kesetaraan gender? Perlu adanya partisipasi perempuan dalam ranah politik formal sangatlah penting agar perempuan dapat menjalankan peran mereka sebagai agensi bagi para perempuan secara keseluruhan.
Sebagai agensi, perempuan dapat menggunakan hak-hak dasar mereka untuk mengakomodir aspirasi serta suara dari para perempuan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengalaman dan kesulitan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, permasalahan perempuan dari hal terkecil pada kehidupan sehari-hari belum tentu dapat diselesaikan dengan pemikiran yang muncul dari sudut pandang laki-laki. Contohnya, ada pada kebutuhan perempuan dalam hal menstruasi, melahirkan, dan ruang laktasi yang kemudian hanya dapat dipahami dengan baik oleh perempuan. Apabila kebijakan terbentuk oleh seseorang yang tidak memiliki perspektif sebagai seorang perempuan, maka harapan untuk membuat kebijakan yang dapat menyelesaikan isu seperti diskriminasi, kekerasan, dan subordinasi terhadapperempuantidakakandapatterlaksana secara maksimal. Keterlibatan perempuan dalam legislasidapatmenjadiwujudsuaraperempuan yang mampu memimpin dan juga menjadi salah satu aspek yang berkontribusi besar terhadap proses demokrasi serta pembentukan regulasi yang dapat lebih inklusif dan menampung kepentingansemuagender
Dalam konteks ini, affirmative action dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah perempuan di lembaga legislatif agar menjadi lebih representatif terhadap perempuan. Namun pada kenyataannya, subordinasi terhadap kaum perempuan hingga saat ini masih mendarah daging dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat sehingga kapabilitas perempuan dalam kepemimpinan seringkali hanya dipandang sebelah mata. UU ini juga masih memiliki beberapa poin yang kemudian memunculkan perdebatan seperti argumen bahwa partisipasi dan tokoh politik seharusnya didasarkan olehkompetensidankualitas,tidakterfokusolehgender Terlebih, masyarakat cenderung menutup mata akan eksistensi perempuan yang membuat partisipasi mereka bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun terbatas. Argumen lain mengatakan, apakah kemudian kuota 30% cukup untuk menjadi keterwakilan suara perempuan di ranah politik
formal, dan apakah kuota ini akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kebijakan pemerintahandaripemerintahanyangsaatinididominasiolehlaki-laki.
KETERWAKILANPEREMPUANDALAMPOLITIK:TANTANGAN,
KEBIJAKAN,DANPERSPEKTIFSUBSTANTIF
Partisipasi politik, representasi politik, dan keterwakilan politik sangat erat kaitannya satu sama lain. Partisipasi politik yang tinggi merupakan hal yang diperlukan untuk memastikan bahwa sistem politik bersifatrepresentatifdanakuntabel.Dalamhalini,sistemrepresentasiyangefektif harus memastikan bahwa semua kelompok masyarakat diwakili secara adil dalam proses pengambilan keputusan. Kepercayaan pada pemerintah dan partisipasipolitikmeningkatdengan keterwakilan politik yang tinggi. Partisipasi perempuan di ranah politik tidak hanya membutuhkan dukungan partaipolitik,tetapijugadariseluruhelemenmasyarakat.DiIndonesia, ambang batas keterwakilan perempuan di parlemen adalah 30%. Artinya, partai politik harus mencalonkan minimal 30% perempuan dalam pemilu. Penetapan dari kuota keterwakilan sebanyak 30% perempuan tak hanya menimbulkan kegaduhan di partai politik, tetapi juga di mata publik. Anggapan mengenai pelaksanaan penetapan kuota ini sebagai tindakan pengurangan efektivitas kinerja aktor politik karena ‘dipilih’ berdasarkan gender, bukan kompetensi.Lantas,alasanapayangakhirnyamenjadibasisdaripenetapankuota30%ini?
Keterwakilan Perempuan di politik formalmasihrendahdiIndonesiameskipunterdapatambang batas 30%, representasi perempuan di DPR hasil Pemilu 2019 hanya mencapai 20%, hal ini terlihat jikadibandingkandengannegaralain,seperti,Rwanda(56%),Bolivia(53%),UniEmirat Arab (50%), Meksiko (48%), Afrika Selatan (46%), Selandia Baru (45%), Kuba (43%),Swedia (40%). Berdasarkan fakta di atas, ambang batas parliamentary threshold 30% masih jauh dari cukup untuk mencapai kesetaraan gender di parlemen, terlebihjikadibandingkandengannegara lain yang telah mencapairepresentasiperempuanyanglebihtinggi.Partisipasiperempuandalam ranah politik turut menjadi bentuk keterwakilan masyarakat dalam penentuan kebijakan. The political ideas,merupakansituasidimanawakilpolitikmampuuntukmenghadirkangagasandari orang yang diwakilinya sehingga denganadanyawakilperempuandiparlemensudahsepatutnya para wakil itu mampu untuk menyuarakan berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan. Meskipun dalam upaya menyuarakan persoalan tersebut antara agensi perempuan dan laki-laki memiliki rasio yang sama, kepentinganperempuanseringkalitidakdilibatkandalamperwujudan kebijakan publik. Minimnya pertimbangan dan pengambilankeputusandalamprosesperumusan
kebijakan yang melibatkan kepentingan orang banyak – tidak terkecuali perempuan – karena didasarkan oleh keterwakilan laki-laki yang mendominasi menjadi penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan sebagai sesama warga negara Indonesia. Suara perempuan dalam memperjuangkan nilai, prioritas,dankaraktermerekabarubisadiperhatikandikehidupanpublik apabila suaranya mencapai minimal 30-35%. Maka dari itu, dengan ramainya agensi politik perempuan memiliki pengalaman serupa dengan perempuan lainnya diharapkan mampu untuk memproduksi berbagai kebijakan yang didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan perempuan ditengahramainyadominasilaki-lakidiranahpolitik.
Penerapan kuota 30% di satu sisi mampu mendorong partisipasi perempuan untukdapatterlibat dan dibahasakan sebagai keterwakilan perempuan dalam perpolitikan negara. Selanjutnya, kebijakan untuk penetapan nomor urut yang perlu mendahulukan perempuan dalam urutan merupakan langkah yang progresif. Sibarani (2024) menyatakan bahwa kebijakan ini memberi jaminan bahwa setidaknya akan ada calon perempuan yang mendapatkan urutan kecil (teratas).
Parliamentary Threshold – juga dikenal sebagai ambang batas – adalah persyaratan minimal untuk perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik yang berpartisipasidalampemilu. Ambang batas ini menentukan apakah partai dapat berkompetisi untuk kursi di DPR atau tidak.
Dengan kata lain, ambang parlemen dimaksudkan untuk membatasi jumlah partai politik yang dapat berpartisipasi dalam pemerintahan. Selain besar persentase keterwakilan, parliamentary threshold juga menjadi bagian penting yang perlu diperhatikan dalam menentukan keterwakilan perempuan di Indonesia, yang mana parliamentary threshold sudah ditentukan sebesar 4%.
Dalam Sibarani (2024), Surbakti menyatakan bahwa penerapan parliamentary threshold dalam praktik pemilihan proporsional sebenarnya menguntungkan perempuan. Hal ini karena terdapat kecenderungan dimana semakin besar angka parliamentary threshold, semakin sedikit partai politik yang masuk parlemen, dan semakin besar perolehan kursinya sehingga jumlah calon perempuanyangterpilihjugasemakinbesar.
Lebih jauh, penyebab minimnya partisipasi perempuan adalah ketidakadilan struktural dan stereotip gender yang membuat perempuan masih menghadapi berbagai hambatan untuk maju dalam politik formal. Problematika yang biasa menghantui perempuan biasanya berkutat pada diskriminasi dan pelecehan, perlakuan tidak adil dalam dunia politik formal, kurangnya akses pendanaan, serta masalah stereotip gender.Kasusyangseringdijumpaidibeberapapartaipolitik
yaitu kecenderungan memilih lebih sedikit kandidat perempuan untuk maju dalam pemilihan meskipun memiliki calon yang berkualitas karena dalam politik sering kali dihadapkan pada stereotip bahwa mereka kurang kompeten atau tidak cukup kuat untuk menangani tanggung jawab politik yang besar Stereotipinidapatmempengaruhipersepsipublikdanmendiskreditkan prestasi dan kualifikasi mereka. Hal ini dapat menghambat perempuan dari mendapatkan kesempatan yang sama untuk bertarung dalam kontes politik. Hambatan-hambatan ini membuat perempuan sulit untuk bersaing secara setara dengan laki-laki dalam politik formal sehingga ambang batas 30% saja belum cukup untuk mengatasi ketidakadilan struktural dan stereotip genderini.
Keterwakilan perempuan dalam ranah politik pada dasarnya diharapkan untuk dapat membuka akses terkait penentuan kebijakan-kebijakan yang berdampak pada keberjalanan hidup perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu urgensi adanya representasi perempuan dalam politikadalahuntukmerealisasikanketerwakilansubstantif.Keterwakilansubstantifdapat terwujud ketika terdapat tindakan oleh agensi perempuan. Selanjutnya, agensi perempuan harus bertujuan untuk kepentingan yang diwakili. Lalu, agensi harus bersikap responsif terhadap orang-orang yang diwakilinya. Hal inilah yang perlu sama-sama dievaluasi dari representasi perempuan yang sudah hadir hari ini di parlemen. Apakah perwujudan perempuan di parlemen hari ini sudah menunjukkan tindakan perwakilan? Apakah perwujudan perempuan di parlemen hari ini sudah menunjukkan adanya tujuan untuk kepentingan perempuan? Dan apakah perwujudan perempuan di parlemen hari ini sudah bersikap responsif terhadap perempuan-perempuansebagaisubjekyangmerekarepresentasikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita tinjau bersama bagaimana praktik perumusan kebijakan yang dilakukan oleh parlemen hari ini. Keterwakilan yang baik selayaknya menerapkan kebijakan-kebijakan dengan melibatkan perspektif gender di segala lini sebagai bentuk kesadaran eksistensi perempuan sebagai manusia dan rakyat di berbagai sudut negeri. Nyatanya, masih banyak perempuan yang termarjinalisasi di berbagai aspek kehidupan. Pada perempuan buruh misalnya, upah murah masih menjadi masalah signifikan yang masih sering dihadapi. Buruh perempuan kemudian mengalami subordinasi atas pekerjaannya sehingga dianggap tidak lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Rentangupahyang rendah pada buruh selanjutnya menjadi semakin rendah apabila diberikan kepada buruh
perempuan. Kemudian, pada isu Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang saat ini didominasi oleh perempuan belum dilindungi secara jelas melalui ketetapan hukum negara. Rancangan Undang-Undang yang diajukan belum juga rampungselamahampir20tahunprosesberjalannya penetapan Undang-Undang.AkibatdarikelambananRUUiniadalahluntang-lantungnyaPekerja Rumah Tangga (PRT) dalam melakukan kewajibannya sebagai pekerja. Sementara kesemena-menaan pihak yang mempekerjakan di dalam rumah tangga semakin marak terjadi. Hal ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga marak terjadi di luar negeri. Akibatnya, para Pekerja Rumah Tangga (PRT)seolahharusmenggantungkannasibnyapadasang“majikan” yang memegang kendali pada hampir seluruh nasib hidup PRT-nya. Hal ini juga didukung dengan ketidak lengkapannya UU No.18 Tahun 2017 yang membahas tentang hak-hak pekerja migran, namun tidak dapat digunakan secara konkret ketika terjadi permasalahan kekerasan khususnya kekerasan berbasis gender yang dialami pekerja migran. Sebagai contoh, pada tahun 2021, mengutip dari VOA Indonesia, memaparkan data yang dipaparkan oleh Migrant Care dimana terdapat 5 dari 10 Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mengalami kekerasan seksual selama bekerja. Padaartikelinimembahastentangkekosonganpayunghukumdalammenangani situasi darurat yang membuat tidak adanya kepastian hukum bagi korban yang mengalami kekerasanberbasisgender.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat kita pahami bahwa kebijakan terkait party quotas dalam politik di negara hari ini belum tepat sasaran.Selanjutnya,keterwakilansubstantif yang diharapkan juga belum terpenuhi pada anggota parlemen yang sudah mendapatkan kursi.
Maka selain memperhitungkan kuota, penting kiranya mempertimbangkan kematangan kompetensi individu dalam ranah politik. Secara garis besar, perempuan-perempuan hari ini perlu lebih banyak dicerdaskan terkait kondisi aktual masyarakat di negara. Perlu juga kiranya setiap calon pemimpin memahami kepentingan substansial yang dibutuhkan perempuan, terkhusus untukperempuanyangtermarjinalkandarisisiekonomi,sosial,budaya,maupunaspek politik itu sendiri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasiperempuandalampolitik.Lebihbanyakperempuanyangmendudukikursi parlemen dapat menginspirasi perempuan lain untuk terlibat dalam politik dan menjadi pemimpin.
KEBIJAKAN AFFIRMATIVE ACTION DANKETERWAKILAN
PEREMPUAN:EVALUASIDANTANTANGANDALAMLANSKAP
POLITIKFORMALDIINDONESIA
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa; “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Pasal ini secara tegas mengakui adanya kebijakan affirmative action. Kebijakan ini membuat perempuan sebagai kelompok termarjinalkan berhak atas perlakuan khusus dari negara. Adapun penerapan kebijakan affirmative action di beberapa negara ternyata efektif dalam meningkatkan jumlah partisipasi perempuan dalam politikformal. Pengaturan mengenai bentuk affirmative action tertuang dalam Pasal245danPasal246UUNo.
7 Tahun 2017. Pengaturanmengenaibentukkebijakanafirmatiftersebutterakomodirdalam30% keterwakilan perempuan di politikformalgunamemperolehpeluangyangsetaraantarkelompok atau golongan tertentu. Sejak Pemilu 2004, affirmative action mulaiterakomodirdanberdampak pada peningkatan jumlah anggota DPR perempuan menjadi 11,09% dibandingkan hasil pemilu 1999 sebesar 9%. Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan di dalampolitik formal semakin disempurnakan. Hal itu dapat dilihat dari progresivitas DPR dalam menyusun
RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang mana semuanya mengatur terkait syarat keikutsertaan perempuan secaraaktifdalamprosespemilihanlegislatifsebagaiwujuddari tindakan politik formal yang menaungi hak-hak perempuan. UU No. 2 Tahun 2008 secara eksplisit mengharuskan partai politik menempatkan sedikitnya 30% perempuan di dalam ranah politik formal. Lebih lanjut, aturan mengenai kebijakan 30% kuota perempuan hingga saat ini masih berlaku dan tertuang dalam Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan dalam Pasal 246 UU No. 7 Tahun 2017 menempatkanpalingsedikitsatuperempuan dari tiga orang bakal calon. Namun, sebagian besar bakal calon legislatif perempuan masih ditempatkan pada nomor urut tiga dan enam. Dengan demikian, zipper system yang diharapkan dapat meningkatkan angkapartisipasiperempuandibidangpolitikformaldapatdikatakanbelum efektif.
Hingga saat ini, pemenuhan kuota dan kualitas sumber daya manusia belum berefek secara signifikan karena angka keterwakilan perempuan di politik formaltingkatkabupatendankotadi
Indonesia masih rendah dan terdapat ketimpangan antar daerah. Selain itu,perempuandipolitik formal seringkali tidak berada di posisi strategis sebagai penentu kebijakan. Studi yang
dilakukan Puskapol UI menunjukkan bahwa sekitar 40% anggota perempuan tidak pernah terlibat dalam penyusunan anggaran. Wajarbilasangatsulitbagiperempuandapatterlibatdalam penentuan anggaran yang pro-perempuan. Ketidakterlibatan ini tidak selalu terkait dengan kualitas anggota perempuan, tapi karena kuatnya budaya patriarki. Adanya budaya patriarki dalam kepengurusan politik formal membuat perempuan hanya dipandang sebelah mata. Dalam
Theorizing Patriarchy dijelaskan bahwa bahwa budaya patriarki termanifestasi dalam institusi keluarga, dimana begitu seorang perempuan menikah denganlaki-laki,makaperbedaanbiologis akan melahirkan peran-peran gender yang erat kaitannya dengan masalah biologis. Teori ini beranggapan bahwa perempuan tidak pantas untuk berada di ranah politik, perempuan harus menyelesaikantanggungjawabdiwilayahdomestiksebelummerekaberangkatkeranahpolitik.
Jika ditelaah melalui aspek konstitusionalitas, pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal245dan246menggambarkansebuahlangkahstrategisgunamewujudkan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dijamin oleh konstitusi. Pasal-pasal ini memberikan landasan hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak fundamental terhadap perempuan yang hingga saat ini masihmenjadikaumyangtermarjinalkan dalam sebagian besar aspek kehidupan, terutama dalam ranah politik. Melalui pengesahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245 dan 246, konstitusi menegaskan pentingnya keterlibatan aktif perempuan dalam ranah politik guna mewakili suara-suara perempuan yang telah lama terdiskriminasi akibat budaya dan tradisi yang mengakar dalam masyarakat. Selain itu, pengesahan Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Pasal 245 dan 246 ini juga menegaskan bahwasanya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait berkomitmen untuk mengatasi ketimpangan gender dalam politik dan mendorong pemberdayaan perempuan sebagai bagian penting dari proses demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Dengan demikian, pengesahan
Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Pasal 245 dan 246 ini tidak hanya memperkuat prinsip-prinsip konstitusi tentang kesetaraan gender, tetapi juga memperkuat pondasi demokrasi yang sehat dan responsif terhadap kebutuhan serta hak-hak seluruh rakyat tanpa terkecuali. Hal
ini sejalan dengan teori feminis kontemporer yang bertujuan untuk mendapat kesetaraan gender dalam berbagai segi aktivitas, termasuk pekerjaan. Pengesahan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 245 dan 246 dapat dilihat sebagai langkah konkret dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam ranah politik dan bukan hanya sekadar memastikan representasi perempuan di lembaga legislatif, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245dan246juga menciptakan landasan untuk transformasi struktural dalam sistem politik yang saat ini masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, pengesahan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 245 dan 246 seharusnya bukanlah langkah administratif semata, tetapi merupakan manifestasi dari komitmen untuk merombak dinamika kekuasaan yang ada dan menciptakan ruangyanglebihinklusifdansetarabagipartisipasiperempuandalamranahpolitikformal.
Kebijakan keterwakilan perempuan paling sedikit sebesar 30% di parlemen yang dituangkan dalam Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut dalam penerapannya memberi dampak positif dan negatif terhadap perempuan. Di satu sisi,dengandikategorikannya kebijakan ini sebagai affirmative action yang merupakan sebuah intervensi struktural dalam memperbaiki sistem dan struktur dalam kurun waktu yang cepat, penetapan kuota keterwakilan
30% perempuan di parlemen ini menjadi langkah konkret yang berhasil diambil pemerintah dalam setidaknya memandang perempuan sebagai subjek setara yang mana aspirasi dan hak mereka juga dilihat sebagai basis penting dalam perumusan kebijakan yang mengakomodir kepentingan semua kalangan. Hal ini dibuktikan oleh hasil survei Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menyatakan bahwa keterwakilan perempuan meningkat dari angka 20, 5% atau 118 dari 575 kursi pada Pemilu 2019 menjadi 22,1% atau128dari575kursi pada Pemilu 2024. Meskipun demikian, pengimplementasian kebijakan ini selama keberjalananyamasihsangatterlihatsimbolik.Halinitercermindarimasihrancunyasanksiyang ditetapkan bagi partai-partai politik yang gagalmemenuhikuotaini.Meskipundigadang-gadang bahwa partai-partai politikyangtidakmemenuhikuota30%akanditolaksebagaipesertapemilu, nyatanya, dari pemilu 2024 kemarin dapat dilihat bahwa 17 dari 18 partai politik gagal memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuannya. Satu-satunya partai yang memenuhi syarat tersebut adalah PKS dengan angka 39,4% atau 212 orang calon legislatif perempuan. Berkat kekaburan sanksi yang diberikan kebijakan ini, calon-calon legislatif dari partai yang gagal memenuhi kuota tersebut tetap tersanding pada surat suara yang sama di kontestasi pemilu legislatifFebruari2024kemarin.
Kenyataan bahwa kebijakan ini diimplementasikan sebatas persyaratan administratif semata membuat partai-partai politik ini berlomba-lomba untuk memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan hanya untuk memasuki arena pertarungan legislatif tanpa memberi pembekalan melalui kaderisasi partai yang komprehensif untuk menunjang kompetensi calon legislatif perempuan yang diusung. Studi dari Puskapol UI menyatakan bahwa sebanyak 40% anggota parlemen perempuan tidak dilibatkan dalam proses perancangan anggaran atas dasar dua hal, yakni kurangnya kompetensi mereka dan dibenturkan dengan budaya patriarki yang masih melekat kuat. Hal inilah yang menjadi rintangan besar bagi anggotaparlemenperempuandalam mengakomodasi kepentingan perempuan dalam suatu kebijakan. Manifestasi masyarakat yang gagal diakomodasi oleh kebijakan yang dirumuskan tersebut pada akhirnya membuat para anggota legislatif perempuan menjadi subjek yang paling ditekan oleh masyarakat dibanding anggotalegislatiflaki-lakikarenadianggaptidakprokepentingankalangannyasendiri.
KETIDAKBERDAYAANDANSUBORDINASI
Memahami bahwa pemberdayaan politik perempuan sebagai sebuah gerakan menjauh dari ketidakberdayaan multidimensional, agenda dan gerakan perempuan di ranah politik formaldan politik informal tentu tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan kekuatan yang berkelindan dan memengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengakomodasian hak dan kepentingan perempuan tidak serta-merta dapat dimanifestasikan hanya melalui kebijakan affirmative action yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017. Hal tersebut dikarenakan kebijakan affirmative action ini tidak mengikutsertakan agendadangerakanperempuandiranah politik informal yang pada umumnya menyentuh lebih dekat hak dan kepentingan perempuan akarrumput.
Meskipun penguatan partisipasi politik formal maupun politik informal bagi perempuan memiliki tujuan yang sama – yakni pembebasan dari subordinasi dan relasi kuasa – nyatanya perempuan di ranah politik formal dan informal tidak dihadapkan dengan realitas yang sama.
Membudayanya patriarki, tekanan ekonomi, diskriminasi kultural, latar belakang pendidikan, dan lainnya dirasakan dalam porsi yang berbeda antara perempuan di ranah politik formal dan informal. Maka dari itu, penguatan melalui pendekatan formal prosedural dari pemerintah nampaknya masih belum mampu menyentuh setiap dimensi penindasan yang dirasakan perempuan karena kompleksitas realita yang dialami perempuan akar rumput nyatanya tidak dapatdisamakandenganrealitayangdirasakanolehperempuandiranahpolitikformal.
Dalam meninjau lebih jauh peliknya permasalahan ini, selain solusi yang berorientasi pada analisis top-down – yakni sebuah pendekatan yang menekankan pada penyaluran secara formal prosedural dalam bentuk kebijakan dari pemerintah ke masyarakat – juga dibutuhkan solusi melalui pendekatan bottom-up dimana penyelesaian juga diorientasikan pada pengakumulasian kebutuhan dan kepentingan masyarakat dari bawah yang kemudian diformulasikan menjadi sebuahbasistuntutan.
Dalam wacana ini, hal yang menjadi tantangan istimewa dalam upaya melepas belenggu subordinasi politik perempuan akar rumput adalah krisis pondasi kesadaran atas hak dan kepentingan perempuan akar rumput ini sendiri. Perempuan akar rumput gagal merekognisi dimensi-dimensi penindasan yang mereka alami dan berakibat pada tidak terakomodirnya kepentingan mereka dalam kebijakan. Sempit atau bahkantiadanyaaksesterhadapfasilitasyang membebaskan seperti pendidikan dimana perempuan kerap dianggapbahwakodratnyahanyalah dapur, sumur, dan kasur menyebabkan mereka tidak memiliki kemerdekaan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Di sektor kesehatan, yang mana hak-hak kesehatan reproduksi perempuan masih sangat disepelekan dapat dilihat dari masih maraknya pernikahan anak yang tercatat oleh UNICEF bahwa Indonesia menempati posisike-8dengantotalmencapai1.459.000 kasus pernikahan anak. Tingginya kasus pernikahan anak ini adalah bentuk abainya pemerintah dalam memberi perhatian penuh atas hak-hak kesehatan reproduksi, utamanya bagi anak di bawah umur Anakdibawahumurdisebutlebihriskanterhadappenyakitreproduksikarenapada anak-anak yang menikah di bawah umur akan terjadi kecenderungan dimana mereka menyembunyikan pernikahan mereka. Penyembunyian status pernikahan bagi anak-anak di bawah umur ini berimplikasi pada menyempitnya akses mereka terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan. Selain dari pernikahan anak, penyepelean hak-hak kesehatan reproduksi juga terus dilanggengkan melalui sulitnya perolehan izin sakit bagi pekerja perempuan yang sedang menstruasi. Hal ini terjadi karena konstruk sosial kita tidak pernah memandang kondisi perempuansebagaikondisi default yangsamapentingnyauntukdiperjuangkan.Tidakberhentidi situ saja, pemarjinalisasian perempuan juga terus berkembang subur di ranah kerja produksi. Perempuan secara kultural dibebankan dengan tanggung jawab domestik sehingga perempuan yang juga berkecimpung di kerja produksi harus menanggung beban ganda hasil konstruksi masyarakat patriarkis. Perempuan yang telah menjadi seorang “istri” atau seorang “ibu” dibebankan dua tugas, yaitu sebagai yang menafkahi dan yang mengurus rumah tangga. Hal ini mendorong beban ganda yang berat kepada perempuan. Pelekatan perempuan denganpekerjaan domestik merupakan pelanggengan ideologi patriarki yang paling efektif. Pekerjaan domestik tidak pernah dianggap sebagai sebuah pekerjaan asli karena dianggap tidak menghasilkan uang maka pekerjaan domestik tidak dapatdikategorikansebagaipekerjaanbernilaiekonomis.Halini pun mendorong perempuan untuk bekerja di ranah publik dan juga dibebani pekerjaan rumah tangga sepertimengurusanak,memasak,dansebagainya.Selainitu,perempuanjugadibebankan
pekerjaan emosional dimana ia harus menanggung keharmonisan keluarga. Lebih daripada itu, perempuan yang berhasil masuk di ranah kerja produksi masih harus bergulat lebih kuat untuk setidaknya dianggap sebagai rekan setara oleh pekerja laki-laki. Sektor kerja yang tidak jarang dirancang dengan kerangka maskulin hanya akan mengokupasi perempuan dari hak dan kepentingannya baik sebagai karyawan atau sepenuh-penuhnyasebagaiperempuan.Haltersebut dapat dilihat dari bagaimana pekerja perempuan kerap kali tidak dipercayakan posisi-posisi strategis terhadap mereka karena selalu dianggap sebagai subjek inkompeten. Dipandangnya perempuan sebagai sosok yang inkompeten juga merupakan buah tangan patriarki yang selalu mengasosiasikan perempuan dengan stereotip-stereotip seperti emosional, harus selalu dituntun, tidak dapat berpikir rasional, dan lainnya yang lebih jauh lagi membuat gagalnya hak dan kepentingan perempuan gagal diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan perusahaan. Selain dipandang sebagai subjek inkompeten, perempuan seringkali tidak dipercayakan untuk memegang posisi strategis dalam perusahaan. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwasanya ruang gerak perempuan terbatas akibat fungsi reproduksi dan tanggung jawab domestik yang dimilikinya. perempuan seringkali tidak diberikan kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam pemegangan posisi strategis atas pertimbangan akan fleksibilitas yang dimilikinya akibat pandangan bahwasanya tanggung jawab domestikmerupakantanggungjawabperempuansecara penuh sehingga mereka dianggap kurang bisa diandalkan untuk mendudukiposisitinggidengan jam kerja yang terbilang panjang. Tidak berhenti di situ, fungsi reproduksi perempuan juga dianggap menghambat kinerja mereka akibat adanya cuti hamil dan melahirkan yang terbilang cukup lama. Cuti hamil dan melahirkan seringkali dianggap sebagai inkonsistensi yang mempengaruhi kontinuitas kinerja perempuan. Padahal jikadiselamilebihdalam,cutihamildan melahirkan sertatanggungjawabdomestikseharusnyatidakhanyadimilikiolehperempuansaja, namun laki-laki yang sudah menikah juga memiliki tanggung jawab domestik danberhakuntuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan. Seperti yang disebutkan oleh The Parent Magazine dengan judul “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”, seorang suami hendaknya ikut aktif dalam kegiatan rumah tangganya, termasuk dalam mengurus anak. Hal ini karena anak memerlukan kasih sayang ayahnyauntukperkembanganmentaljugakedekatanantaraanakdanorangtuanya. Seorang istri pun memerlukan istirahat dalam kesehariannya, sehingga suami hendaknya dapat mengurus rumahtanggasaatistrisedangberistirahat,sepertimemasakdanmembersihkanrumah sehingga istri akan merasa bahagia. Selain itu, cuti hamil dan melahirkan yang seharusnya
didapat oleh laki-laki juga berfungsi untuk menurunkan risikokecelakaankerjaakibatkelelahan dan tidak tercukupinya waktu tidur yang ideal. Konstruksi-konstruksi maskulin dan patriarkis tersebut nampaknya sukar dibabat habis jika hanya mengandalkan kebijakan affirmative action yang hingga detik ini tidak kunjung menunjukkan keterwakilan substantif perempuan di ranah politik formal. Halitudisebabkankarenadalammewujudkanketerwakilansubstantifdibutuhkan sebuah gerakan masif yang mendorong perempuan dalam membangun kesadaran dan pengetahuan mereka yang kemudian dapat digunakan sebagai basis dalam menuntut hak dan kepentinganperempuandalamsebuahkebijakan.
Menyikapi hal tersebut, dalam mendorong perempuan – utamanya akar rumput – dalam membangun kesadaran atas apa-apa saja yang menindas mereka, dibutuhkan sebuah porosyang menjadi katalisator pergerakan perempuan akar rumput dalam mencapai keberdayaan dan kesetaraan di segala sektor, utamanya politik. Dalam hal ini, organisasi swadaya non-partisan yangarahgeraknyaberorientasipadakemanusiaandanpenguatanmasyarakatmarjinalatauyang lebih akrab dikenal dengan NGO (Non-Governmental Organization). Selain berperan sebagai pendorong kekuatan masyarakat marjinal, NGO juga hadir sebagai kontrol demokratis terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Maka dari itu, dalam membersamai perempuan akar rumput, NGO dapat dijadikan poros yang tepat dalam memobilisasi aspirasi dan sumber daya agarkepentinganperempuandapatterakomodasidalamkebijakan.
Di Indonesia sendiri, sudah banyak organisasi-organisasi swadaya masyarakat yang berorientasi pada pergerakan perempuan, salah satunya Institut KAPAL Perempuan. Institut KAPAL Perempuan yang merupakan kependekan dari Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan dibentuk pada 8 Maret 2000 sebagai bentuk keprihatinan para aktivis-aktivis perempuan terhadap pelanggaran hak-hak asasi perempuan. Dalam mengadvokasikan isu-isu strategisnya, Institut KAPAL Perempuan menggunakan tiga pendekatan koordinasi yang di antaranya adalah kerja garis depan (front lines), kerja basis (ground-underground works), dan kerja pendukung (supporting units) Membedah masing-masing dari tiga pendekatan koordinasi ini, kerja garis depan (front lines) menempatkan Institut KAPAL Perempuan sebagaijurubicara yang membawa tuntutan-tuntutan dalam perundingan kebijakan bersama pemerintah dan aksi-aksi advokasi lainnya. Sedangkan itu, kerja basis (ground-underground works) di Institut KAPAL Perempuan berorientasi pada penguatan pendidikan kritis terhadap perempuan dengan
harapan bahwa dengan membekalkan para perempuan dengan edukasi dan pelatihan berbasis feminisme – sebuah tesis yang menekankan pada pembebasan dari subordinasidandiskriminasi – dapatmendorongpembebasanperempuandarisegaladimensipenindasan.
Dengan fokusnya dalam penguatan perempuan melalui pilar pendidikan kritis, Institut KAPAL
Perempuan bekerja sama dengan MAMPU (Kemitraan Indonesia-Australia) mendirikan 18 sekolah-sekolah perempuan yang tersebar di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Timur, NTB, hingga NTT. Pendirian sekolah perempuan yang pertama kali diinisiasikan
pada 2018 ini berangkat dari keresahan Institut KAPAL Perempuan dan MAMPU terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum sebagai pedoman penyelenggaran pendidikan yang seharusnya menjadi basis dalam menciptakan pendidikan sebagai suatu hal yang membebaskan justru terdistorsi akibat adanya bias genderyangterinternalisasidalamkegiatan-kegiatanbelajar
Sebagai contoh, bias gender yang mengantarkan pada diskriminasi terhadap perempuan dapat dilihat dari bagaimana sekolah-sekolah – baik secara intensional maupun tidak–memberiakses yang lebih luas terhadap laki-laki dalam pengembangan keahlian. Katakanlah bidang studi otomotif dan teknik terbuka untuk umum, baik untuk siswa laki-laki maupun perempuan.
Namun, kenyataannya bidang-bidang studi tersebut akan tetap lebih didominasi oleh laki-laki.
Tesis ini dibuktikan oleh sebuah penelitian yang dilakukan di SMKN Bali Mandara yang menunjukkan bahwa jumlah siswa laki-lakidanperempuandijurusanTeknikKendaraanRingan dan Otomotif (TKRO) memiliki ketimpangan jumlah yang cukup besar Siswa laki-laki di jurusan TKRO mencapai 40 siswa, yakni dua kali lipat jumlah siswa perempuan pada tahun
2019. .Meskipun menunjukkan adanya peningkatan minat siswa perempuan di jurusan TKRO, gap antara siswa laki-laki dan perempuan terlihat tidak kunjung menyempitdaritahunketahun.
Realitas lapangan yang membatasi ruang gerakperempuandiranahakademistersebutberangkat dari proses pembelajaran sehari-hari yang menginternalisasi bias gender melalui media-media belajar.Menyikapifaktalapanganyangdemikian,InstitutKAPALPerempuanbersamaMAMPU mendirikan sekolah-sekolah perempuan dengan harapan bahwa sekolah-sekolah ini dapat menjadi alternatif dalam membebaskan perempuan dari pendidikan yang diskriminatif dan memberiruangedukasidaneksplorasiyangseharusnyadanseluas-luasnyabagiperempuan.
Sedangkan itu, pendekatan koordinasi ketiga atau kerja pendukung (supporting units) dari
Institut KAPAL Perempuan ini lebih menekankan pada penguatan pendidikan tingkat lanjut melalui penelitian-penelitian dalam memperoleh data faktual yang digunakan untuk menunjang kerja-kerja garis depan dalam mengakumulasikan tuntutan terhadap pemerintah.Pada2022lalu,
Institut KAPAL Perempuan bersama dengan lembaga riset Equal Measures 2030 (EM2030)
meluncurkan hasilpenelitianterkaitindeksgenderSDGSpadatahun2020dengantemuanutama pencapaian kesetaraan gender terhadap 14 nilai dan 56 indikator SDGS di 144 negara masih
terlalu lambat, rapuh, dan terfragmentasi. Penelitian-penelitian inilah yang kemudian digunakan untuk mendukung kerja-kerja garis depan (front lines) Institut KAPAL Perempuan dalam mengakumulasikantuntutandanmendorongkebijakanterhadappemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian yangkamisusun,dapatkitapahamibahwamasihbanyakpermasalahanyang tidak dapat dijawab apabila hanya mengandalkan affirmative action. Pergerakan pemberdayaan perempuan dalam ranah politik masih dibenturkan dengan krisis pondasikesadaranatashakdan kepentingan perempuan akar rumput sendiri. Kemudian, di sektor kesehatan, hak-hakkesehatan reproduksi perempuan masih sering disepelekan. Tanggung jawab domestik juga masihmenjadi permasalahan kultural yang sulit untuk dilepaskan. Permasalahan struktural yang berkesinambungan juga berdampak pada karir perempuan yang kerap dianggap sebagai subjek yanginkompeten.
Untuk menjawab permasalahan secara komprehensif,diperlukanpulaanalisis bottom-up melalui gerakan yang dilakukan oleh masyarakat-untuk masyarakat. Gerakan akar rumput melalui pemberdayaan masyarakat oleh masyarakat lainnya dipandang penting untuk menggerakkan kesadaran masyarakat dengan lebih baik dan konkret. Selanjutnya, pemberdayaan masyarakat oleh masyarakat membantu mengenali masalah dengan lebih dekat, lebih faktual, dan mampu memberikan solusi yang lebih sesuai. Hal ini tentunya dengan melakukan akomodasi yang komprehensif terhadap pergerakannya. Akomodasi pergerakan akar rumput selanjutnya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mampu mengakomodasi kebijakan, menjalankan peran sebagai wadah aspirasi, melakukan edukasi dan pemberian informasi yang substansial, serta mampu memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap segala aktivitaspergerakanperempuan.
DAFTARPUSTAKA
BUKU
Aspinall, E., & Sukmajati, M. (2015). Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014.PolGov.
Locher-Scholten,E.,Niehof,A.(1987). Indonesian Women in Focus.ForisPublications.
Lovenduski, J. (2005). State Feminism and Political Representation. Cambridge University Press.
Sears,L.J.,dkk.(1996). Fantasizing the Feminine in Indonesia DukeUniversityPress.
Wardana, S. B. E. (1999). Aspirasi Perempuan Anggota Parlemen terhadap Pemberdayaan Politik Perempuan YayasanJurnalPerempuan.
ARTIKELDALAMJURNAL
Fatimah, S. (2007). Perempuan dan Kekerasan Pada Masa Orde Baru. Jurnal Demokrasi, 4(2), 99-110.
Intari, P., Noak, P., & Apriani, K. (tanpa tahun). Strategi Marketing Politik Caleg Perempuan Dalam Pemilihan Legislatif Tahun 2019. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
Irfandi, I., & Muhdar, M. Z. (2022). Tinjauan Hukum Terhadap Batas Minimal 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan yang Diajukan oleh Partai Politik Pada Pemilu Legislatif. Qawanin Jurnal Ilmu Hukum,3(1).
Kasim, S. S. (2022). PengaruhBudayaPatriarkiPadaPeranPolitikPerempuandanPengambilan KebijakanPublikdiParlemen. Journal Publicuho,5(2),267-276.
Komalasari, D. (2019). Jalinan Kepentingan dalam Ekonomi Politik dan Perilaku Politik AnggotaParlemenPerempuan. Jurnal Perempuan,24(2),30-54.
Ningrum, S. U. D. (2018). Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita: KesetaraanGender dalamRumahTanggadiIndonesia,1950-an. Lembaran Sejarah,14(2),194–215.
Nimrah, S., & Sakaria. (2015, Juli 2). Perempuan Dan Budaya Patriarki Dalam Politik (Studi Kasus Kegagalan Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislative 2014). Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2), 176-180. https://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/view/229
Pratiwi, E., Sendratari, L. P., Wirawan, I Gusti Made. A. S. (2021). Stereotipe Gender Pada Jurusan Teknik Kendaraan Ringan dan Otomotif di SMK Negeri Bali Mandara: Implikasinya TerhadapPrestasiBelajarSiswadanSiswi. e-Journal Pendidikan Sosiologi,3(1),10-20.
Priandi, R., & Roisah, K. (2019). Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan dalam PemilihanUmumdiIndonesia. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia,1(1),106-116.
Rajab, B. (2018). Representasi Perempuan dalam Lembaga Politik di Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya,20(2),211-222.
Ramadhani, D., & Rahmawati, D. (2020). Modal Caleg Perempuan dan Politik Patriarki dalam Pemilihan Umum di Indonesia: Keterwakilan Perempuan pada Pemilu 2019 di Kabupaten Sleman. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,10(1),39-62.
Sauki, M. (2022). Menabur Benih Active Citizenship di Desa: Studi Aktivisme NGO dalam PemberdayaanPerempuan. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP),6(22),2598-9944.
Sibarani, R. E. H. (2024). A Comparison Study of the Quotas and Conditions for Women’s Representation in Parliament in Indonesia, Timor-Leste, and Finland. Indonesian Journal of Socio-Legal Studies,3(2),1-29.
PROSIDING
Sufriaman, & Murham, K. (2023). Implementasi UU Pemilu dalam Mempertahankan Keterwakilan Perempuan Paling Sedikit 30% pada Pencalonan DPR dan DPRD. Prosiding Seminar Nasional Sistem Informasi dan Teknologi (SISFOTEK).
DISERTASI
Josmira, I. (2022). Keterwakilan PerempuandalamLegislatifTerkaitBudayaPatriarkidiDewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Doctoral dissertation,InstitutPemerintahanDalamNegeri.
MAKALAH
Wijayanti, M. N. (2019). Peran Institut Kapal Perempuan dalam Mewujudkan Perlindungan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender di Indonesia
WEBSITE
Andriansyah, A. (2021). “Darurat Kekerasan Seksual di Balik Dunia PRT Migran dan Domestik.” Diakses dari
https://www.voaindonesia.com/a/darurat-kekerasan-seksual-di-balik-dunia-prt-migran-dan-dome stik/6364619.html
Fatma, R. S. (2019). Peran Institut Kapal Perempuan dalam Mewujudkan Perlindungan Hak Asasi Manusia Berperspektif Gender di Indonesia. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/338221649_PERAN_INSTITUT_KAPAL_PEREMPU AN_DALAM_MEWUJUDKAN_PERLINDUNGAN_HAK_ASASI_MANUSIA_BERPERSPE KTIF_KEADILAN_GENDER_DI_INDONESIA?_tp=eyJjb250ZXh0Ijp7ImZpcnN0UGFnZSI6 InByb2ZpbGUiLCJwYWdlIjoicHJvZmlsZSJ9fQ
Janti, N. (2019). “Perempuan dalam Pemilu Pertama.” Diakses dari https://historia.id/politik/articles/perempuan-dalampemilu-pertama-6k4qn
Wulandari, L. (2013). Peta Politik Perempuan Menjelang Pemilu 2014. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/335740294_PETA_POLITIK_PEREMPUAN_MENJE LANG_PEMILU_2014
PAPER
Bessell, S. (2004). Women in Parliament in Indonesia: Denied a Share of Power. Discussion paper, Asia Pacific School of Economics and Government, Australian National University. Diakses dari
https://openresearch-repository.anu.edu.au/bitstream/10440/1170/1/Bessell_Women2004.pdf