Warta PKKMB 2018 Edisi II

Page 1

Lembaga Pers Mahasiswa

DIDAKTIKA Berpikir Kritis dan Merdeka

WARTA PKKMB

EDISI 2018 #2

PKKMB : Nama Baru, Substansi Lama Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 1


2 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB


Lembaga Pers Mahasiswa

DIDAKTIKA Berpikir Kritis dan Merdeka

Susunan Redaksi PEMIMPIN REDAKSI YULIA ADININGSIH

SAPA REDAKSI

SEKRETARIS REDAKSI ULY MEGA SEPTIANI

Salam Pemuda Sudah tiga hari kalian mengalami masa pembodohan. Bagaiamana apakah adik-adik sudah merasa lelah? Jangan khawatir adik-adik, masa pembodohan kalian akan segera usai. Sebelum memulai masa pembodohan kembali, sila baca situasi kampus yang ada di UNJ. Dalam warta PKKMB kedua ini, kita memiliki opini kritis tentang PKKMB dan juga berita mengenai perubahan nama PKKMB. Ada juga berita mengenai dresscode PKKMB yang tidak mencerminkan seorang mahasiswa. Selain itu semua, kita masih punya karya sastra untuk kalian. Silakan menikmati

REDAKTUR PELAKSANA ADITYA SEPTIAWAN TATA LETAK ADIT DAN HARUN REPORTER AHMAD QORY HADIANSYAH ILHAM ABDULLAH ADITYA SEPTIAWAN EDITOR ULY MEGA SEPTIANI ANNISA NURUL HIDAYAH SURYA FAISAL BAHRI HENDRIK YAPUTRA ILUSTRATOR MUHAMMAD MUHTAR

SEKRETARIAT Gedung G lt. 3 Ruang 304, Kampus A Universitas Negeri Jakarta E-mail lpmdidaktikaunj@gmail.com Website www.didaktikaunj.com Facebook/Twitter/Instagram LPM DIDAKTIKA UNJ/@lpmdidaktika @lpmdidaktika

DAFTAR ISI Cover 1 Open Recruitment 2 Berita 1 4-5 Opini 6-7 Laporan Utama 10-12 Resensi 13-14 Sastra 15

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 3


B E R I T A I

Baca, Tulis,

Kopiah Hitam, Atribut Baru PKKMB

A

da yang berbeda pada pembukaan Perkenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) 2018. Bukan persoalan mahasiswa baru yang kian berkurang jumlahnya atau panasnya matahari pagi di gor Velodrome. Melainkan, penggunaan atribut mahasiswa baru pada opening ceremony PKKMB tahun ini. Yaitu, kopiah atau yang biasa disebut peci. Hal ini mendatangkan berbagai tanda tanya di kalangan civitas akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Panitia PKKMB, beberapa mengaku tidak tahu esensi penggunaan atribut kopiah dengan warna hitam tersebut. “Gak tau, deh. Gak paham soalnya,” ujar Ilham Febrianto, mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro 2016, sekaligus panitia PKKMB Program Studi (Prodi). Bukan hanya Febrianto, Rosalia Indah selaku Tim Pengawas (TIPE) Fakultas Psikologi pun mengaku belum mengetahuinya. Bahkan, ia hanya mengira-ngira apa arti penggunaan atribut baru tersebut. “Gak tahu mengarah kemana, mungkin lebih ke Nasiona-

lis. Pake kopiah, seperti beberapa pahlawan. Tapi bisa juga ke Agamis, mendorong jadi kampus Islam,” tuturnya. Ada juga yang beranggapan bahwa peraturan ini dibuat untuk menghormati budaya Betawi. Aldo, Mahasiswa Pendidikan Geografi 2016, mengungkapkan bahwa kopiah merupakan ciri khas budaya Betawi. Penggunaan kopiah dalam PKKMB baginya ialah sebuah bentuk penghormatan. Tetapi jika begitu pun, kopiah yang dipakai seharusnya berwarna merah. Seperti yang biasa dipakai oleh Pitung ataupun pelaku Palang Pintu. Memang, pembukaan kali ini identik dengan ciri khas Betawi; terdapat Ondel-ondel, pembawa acara yang mengenakan pakaian adat Betawi, bahkan ditampilkan beberapa tarian adat Betawi pada awal acara. Sama halnya dengan panitia, ada juga mahasiswa baru yang tidak tahu esensi kopiah sebagai atribut PKKMB. Danny S, mahasiswa baru Teknik Elektro, menampakkan raut wajah kebingungan saat ditanya oleh tim Didaktika mengenai fungsi dari kopiah terse-

4 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB


dan Lawan

doc.didaktikaunj but. “Saya hanya disuruh pake peci aja sama panitia, gak tau fungsinya buat apa. Yang saya tahu, buat solat,” ujarnya. Hal ini menandakan kurang baiknya komunikasi yang terjalin antar panitia PKKMB maupun mahasiswa baru. “Dalam membuat acara seperti PKKMB, harusnya panitia bisa lebih aktif dalam komunikasi,” ujar Bella, mahasiswi Prodi Pendidikan Sejarah 2015. Sigit Galih Nugroho, selaku Ketua Seksi Acara PKKMB, menjelaskan penggunaan kopiah sebagai atribut disesuaikan dengan tema PKKMB tahun ini.Yaitu, Betawi dan Kampus Pendidikan. Namun, ia pun mengakui

bahwa komunikasi dengan panitia kurang merata karena keterbatasan waktu. “Mungkin berefek pada beberapa panitia yang akhirnya tidak memahami esensi dari atribut itu,” jelasnya. Sedangkan Sofyan Hanif, selaku Wakil Rektor III yang berkesempatan hadir untuk berpidato menggantikan PLT Rektor, menyatakan bahwa ia tidak ikut-ikutan dalam hal-hal seperti itu. “Saya percaya saja dengan mahasiswa,” ungkapnya.

Penulis :Ilham Abdullah Editor :Annisa Nurus H.S

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 5


OPINI

Baca, Tulis,

PKKMB : PEMBUNGKAM KESADARAN KRITIS MAHASISWA BARU oleh Ahmad Qori Hadiansyah

P

emandangan tidak biasa terlihat di Universitas Negeri Jakarta menjelang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Terlihat wajahwajah Mahasiswa Baru (maba)

obrolan mereka soal hal akademis. Seperti mendiskusikan permasalahan kampus. Ah, mungkin saja panitia menganggap kampus ini baik-baik saja, atau mungkin maba terlalu sibuk dan takut apa-

Gambar. Muhamad Muhtar

memenuhi pelosok-pelosok kampus sambil duduk melingkar layaknya orang yang sedang tahlilan. Aktivitas dan obrolan mereka tidak jauh dari tugas-tugas PKKMB. Ada yang membicarakan tugas kelompok ada pula yang sampai bersorak melatih kekompakan yel-yel mereka. Mimik wajah mereka juga beragam, ada yang bahagia, ada pula wajah murung. Dari kesemuanya, hampir tidak terdengar

bila tidak mengerjakan tugas, akan dibentak oleh kakak-kakak galak. Melihat para maba, timbul suatu pertanyaan yang menjadi bahan renungan. Sebenarnya, PKKMB ini mengenalkan kehidupan kampus, atau Pembungkam Kesadaran Kritis Mahasiswa Baru (PKKMB)? PKKMB tidak menggambarkan Kultur Akademik Sebelum jauh ke pembicaraan soal PKKMB, pertanyaan

6 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB


dan Lawan yang paling mendasar adalah apa itu kultur akademik? Robertus Robert, salah satu dosen sosiologi pernah mengatakan bahwa kultur akademik akan tercapai apabila ada suatu kebebasan akademik. Menurutnya, kultur akademik merupakan seperangkat aturan, nilai, praktik dalam lingkungan akademis yang bertujuan untuk mempertahankan kebenaran ilmiah. Kemudian, kultur akademik itu sendiri akan terwujud apabila ada kebebasan akademik. Dalam hal ini, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk berpikir. Kebebasan berpikir harus ada, karena dengan adanya hal tersebut, manusia bisa berpikir luas. Universitaspun perlu menjamin kebebasan tersebut. Dalam tataran PKKMB, yang semestinya dilakukan adalah memberikan kebebasan berpikir kepada para maba. Hal itu tidak akan terjadi apabila maba masih berada di bawah tekanan. Tekanan yang dimaksud adalah tekanan para senior. Dengan adanya tekanan dari senior, maba tidak berani mempertanyakan suatu hal yang diucapkan oleh senior-seniornya.

Terlebih lagi, ada peraturan konyol seperti "senior selalu benar". Peraturan tersebut sudah lawas. Namun, sampai saat ini masih dipertahankan guna menjaga wibawa para senior agar terlihat superior di hadapan para maba. Tidak adanya kebebasan juga bisa dilihat dari adanya penyeragaman. Dari kaki sampai kepala maba diseragamkan. Apabila hal itu tidak dilaksanakan, maba terancam dipermalukan di depan maba lainnya. Penyeragaman dilakukan dengan alasan kerapihan dan kedisiplinan. Akan tetapi, maba tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan dirinya. Parahnya lagi, konsekuensi yang didapatkan maba ketika melanggar adalah mendapatkan hukuman yang tidak rasional. Maba biasanya dihukum para panitia yang mengatasnamakan dirinya sebagai komisi disiplin (komdis) dengan hukuman layaknya anak Sekolah Dasar (SD) yang tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), yaitu disetrap, dihardik, atau disuruh bernyanyi di depan maba lainnya. Miris, mereka dijadikan seperti badut yang dipertontonkan di depan pertunjukan. Adanya penyeragaman juga membuat maba terlihat seperti

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 7


buruh pabrik ataupun pegawai perusahaan. Hal tersebut juga merupakan indikasi adanya usaha penyeragaman pola pikir agar selalu menuruti perintah para senior. Tidak adanya kebebasan akademis untuk para maba, membuat kesadaran kritis para maba terbungkam. Menurut Paulo Freire salah satu filsuf pendidikan, kesadaran kritis adalah suatu keadaan di mana manusia mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungannya. Freire juga mengatakan bahwa kesadaran kritis akan terbentuk apabila ada proses dialektika dalam lingkungan akademisnya. Hal itu bisa terjadi jika semua manusia menjadi subjek dalam proses akademis. Pada tataran PKKMB, hampir tidak ada proses dialog diantara mahasiswa baru dengan para panitia. Dalam hal penugasan, panitia hanya menyerukan tugas, tanpa memaparkan, mengapa maba harus melaksanakan tugas tersebut. Terlebih lagi, tugas yang diberikan kebanyakan tidak ada kaitannya dengan proses akademik maba. Padahal, di kelas maba harus berani bertanya, menganalisis suatu masalah secara mendalam. Namun, PKKMB yang harusnya

memperkenalkan kehidupan kampus, malah menjauhkan maba dari realitas akademis kampus. Tugas yang Pura-pura Akademis Guna menutupi kebobrokan PKKMB, terdapat suatu tugas, yang seakan-akan bersifat akademis, yaitu maba disuruh menulis essai. Biasanya, penulisan essai tersebut dengan tema yang telah ditentukan oleh panitia. Kemudian, mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengembangkan tema tersebut. Kendati demikian, apakah maba benar-benar mendapatkan kebebasan ketika tema sudah ditentukan? Memang terlihat maba itu bebas, tetapi sebenarnya kebebasan yang ada adalah kebebasan semu. Dalam hal ini, maba bebas mengembangkan tema, namun pikiran maba terkungkung dalam tema yang ditentukan oleh panitia. Padahal, akan lebih baik apabila maba bebas menuliskan apa yang ada di pikiran dia. Apabila hal tersebut dilakukan, maba menjadi lebih leluasa untuk mengembangkan pikiran dia tanpa batasan-batasan tema dari panitia. Dalam tataran teknis, penugasan essai juga tidak jelas. Ketika maba menulis essai dengan tema yang ditentukan, gaga-

8 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB


san murni maba tidak akan bisa tersalurkan lewat tulisan, karena maba akan sibuk mencari jawaban di internet tentang tema yang ditentukan panitia. Akhirnya, maba hanyalah mencomot dari internet sehingga timbul plagiarisme sejak dalam pikiran. Selain itu, ketidakjelasan pengkoreksian essai juga harus dipertanyakan. Bagaimana penilaian essai tersebut? Hebat! pengkoreksian essai sangatlah cepat, yaitu pagi dikumpulkan, sore sudah ada hasilnya. Sedangkan, satu fakultas saja terdapat mencapai ratusan mahasiswa. Panitia sudah seperti mesin pengkoreksi saja. Akhirnya, tugas ini hanyalah formalitas saja, dan lagi-lagi, gagal membangun kesadaran kritis mahasiswa. Koar-koar MAHASISWA HARUS KRITIS! Terdapat suatu hal yang unik dalam PKKMB, yaitu adanya organisasi yang menjadi pemerintah di kalangan mahasiswa. Biasanya, organisasi tersebut menampilkan ke-aktivisannya di hadapan maba. Seakan-akan, merekalah organisasi yang selalu menentang birokrat. Sebut saja, organisasi itu adalah Badan Elit Mahasiswa (BEM), hehehe. Teriakan yang selalu ter-

dengar di telinga maba. HIDUP MAHASISWA! Mereka menonjolkan dirinya sebagai organisasi yang berjiwa aktivis serta kritis. Tetapi, mereka tidak merasa berdosa, bahwa merekalah yang membuat maba menjadi badut, yang menggunakan pakaian yang mereka inginkan. Serta, mereka juga yang bertanggung jawab atas hilangnya daya kritis mahasiswa baru, karena sejak awal mereka hanya memberikan perintah-perintah kepada maba, tanpa mengadakan dialog bersama maba. Hal itu mereka lakukan, karena mereka menganggap dirinya sebagai pemerintah di kalangan mahasiswa. Begitu banyak yang harus dikritisi dari kegiatan PKKMB. Hal-hal di atas sudah sepatutnya menjadi bahan evaluasi, baik dari pihak kampus maupun pihak panitia dari kalangan mahasiswa. Karena, untuk mengenali kehidupan kampus tidak bisa disederhanakan menjadi rangkaian acara PKKMB. Mahasiswa baru semestinya mendapatkan kebebasan, bukan mendapatkan ketertindasan. Meskipun maba tidak menyadari ketertindasan tersebut. Kenyataannya, ketertindasan itu tertuang dalam penugasan dan penyeragaman.

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 9


LAPORAN UTAMA

PKKMB : Nama Baru, Substansi Lama

10 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB

Gambar: Muhtar


S

etiap tahun, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melaksanakan program untuk mengenalkan kehidupan kampus. Kegiatan yang sebelumnya bernama Masa Pengenalan Akademik (MPA), kini berganti nama menjadi Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Perubahan nama tersebut merujuk pada pedoman pelaksanaan PKKMB 2018 yang dikeluaran oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa). Ahmad Sofyan Hanif, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan mengatakan, perubahan nama tersebut juga dilakukan di seluruh Universitas di Indonesia yang berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Ia menambahkan, untuk pelaksanaan kegiatan diserahkan kepada mahasiswa dan dosen. Selain itu, Sofyan berharap PKKMB ini dapat membentuk mahasiswa yang kritis, inovatif, dan solutif. Sofyan juga menjamin bahwa PKKMB tahun ini tidak ada lagi perpeloncoan. Ia berharap dengan diadakannya PKKMB dapat mem-

buka wawasan tentang pembelajaran yang ada di kampus. Selain itu, dapat membentuk mahasiswa yang kritis, inovatif, dan solutif. Sigit Galih, Koor. Divisi Acara PKKMB UNJ, mengamini pernyataan Sofyan, bahwa perubahan nama tersebut berdasarkan panduan dari belmawa. Ia mengatakan, “begitupun konsepnya juga mengikuti peraturan dari belmawa.� Sigit juga akan mengenalkan kehidupan kampus dari segi intelektualitas sesuai dengan tema PKKMB 2018, yaitu Membangkitkan Intelektualitas Generasi Millenial, Intelek Berpikir, Intelek Bergerak. Pandangan yang berbeda tentang perubahan nama disampaikan oleh Fajar Subhi, Anggota Divisi Acara PKKMB Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Seharusnya, nama kegiatan diserahkan kepada masingmasing universitas agar muncul kreativitas dan inovasi dari mahasiswanya. Ia juga menambahkan, perubahan nama tidak membawa pengaruh besar terhadap konsep acara. Menanggapi tentang pengenalan intelektualitas ke maba, PKKMB Fakultas Ilmu Sosial akan memasukan materi tentang

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 11


literasi. Selain memberikan materi, Fajar mengaku akan memberikan penugasan essai sebagai bentuk pratik dari materi tersebut. Tema yang diangkat dalam penugasan essai adalah isu-isu yang ada di perguruan tinggi, seperti demokrasi kampus dan radikalisme kampus. Berbeda dengan Fajar, Hendi Roy, Mahasiswa Sosiologi 2014 mengomentari tentang pelaksanaan PKKMB. Ia berpendapat, program PKKMB tidak berdampak pada budaya akademik universitas. Sekalipun terdapat tugas yang sifatnya akademis, seperti penulisan essai. Hal itu tetap tidak berdampak apapun kepada maba, karena maba menganggap itu sebagai beban. Seharusnya, maba dibebaskan untuk mengembangkan potensi dirinya masing-masing Dalam memperkenalkan lingkungan akademik kampus, Roy berpendapat bahwa hal yang paling utama adalah memberikan kesadaran tentang proses pembelajaran di kampus. Ia berpandangan bahwa kampus adalah tempat berproses dalam melatih passion dan kemampuan mahasiswa. “Pembentukan kesadaran terhadap budaya akademik tidak akan tercapai jika masih ada dok-

trinasi dari para senior. Akan lebih baik apabila mahasiswa dibiarkan berproses untuk mengenal kehidupan kampusnya,” ujar Roy Pada PKKMB 2018 juga terdapat keluhan-keluhan dari beberapa mahasiswa baru. Jihan Firyaal, mahasiswa baru Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (P.IPS) mengungkapkan keberatannya terhadap tugas-tugas yang diberikan. “Misalnya, disuruh beli karton yang warnanya harus sama, padahal di daerah rumah saya sulit dicari,” ucap nya. Selain itu, Jihan juga mengeluhkan tentang penyeragaman yang ada di prodinya. Ia mengaku menghabiskan banyak uang untuk membeli seragam yang ditentukan oleh panitia, contohnya untuk membeli kemeja berwarna merah dan totebag berwarna biru. Tidak hanya Jihan, Fahri mahasiswa baru Prodi Seni Musik dibuat bingung dengan penugasan yang diberikan oleh panitia PKKMB prodi. Ia mengatakan, “saya disuruh minta tanda tangan 100 kakak tingkat (kating). Saya juga bingung tugas itu untuk apa.” Meskipun demikian, ia menerima dan tetap menjalankan perintah katingnya tersebut.

12 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB

Penulis : Ahmad Qori Editor : Uly Mega Septiani


Emosi Perantau di Lagu Rantau òleh Ilham Abdullah

P

etikan gitar sederhana dari Kharis, dan suara-suara berat Eki membuat Silampukau menjadi pengiring musik yang berhasil menghipnotis saya maupun penonton. Pada dua tahun lalu, di Taman Ismail Marzuki. Lagu rantau yang pertama kali saya dengar, saat itu membuat saya langsung terkena imbas dari sindiran satire yang bisa dikatakan ambisius tersebut. Bagaimana tidak, bagi perantau ataupun mahasiswa yang lebih lama hidup di kampus daripada di rumah akan merasa “haduh, ini lagu gue!�. Dari bait pertama saja sudah tak bisa ditolak kebenarannya,

bila lagu ini bercerita tentang penyesalan seorang perantau, penyesalan dalam arti rindu keluarga di rumah. Dimulai dari meyalahkan waktu yang kadang jahanam, kota yang semakin mencekam, hingga aktivitas yang menodai cita dan harapan. Karya musik duo folk besutan Eki Tresnowening dan Kharis Junandharu tersebut kian menampakan potensi yang luar biasa di ranah musik nasional. Tidak terlalu necis, namun ringan untuk dikonsumsi. Silampukau mengeluarkan karya-karyanya dengan hanya bermodalkan situasi Kota Surabaya. Murah meriah, namun sangat berkelas. Contohnya di lagu rantau ini, skeptis miring mengenai pengangguran sangat dalam dibahas,

Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 13


diputar di sekretariat. Bangun pagi, nyeduh kopi, baca koran lalu dengerin lagu silampukau, kesempurnaan yang paripurna. Perantauan adalah tempat asing, sedekat apapun pasti akan terasa asing. Rumah selalu menjadi nyinyiran dalam membandingkan dengan tempat perantauan. “O, demi tuhan, atau demi setan, sumpah aku ingin rumah untuk pulang!�. Sungguh penekanan yang kuat. Bisa apa? Mimpi terampas, uang tidak punya, hidup kere, ingin pulang rumah tak ada, pulang kampung malu. Pengemasan yang apik tentang kota. Lilitan hutang sampai dalam menaruh kota sebagai tunggakan kontrakan membebani tempat yang memorable, balada hidup di perantauan. Terpaksa ha- seorang perantau, sampai harus rus mengubur dalam cita-cita dan menjadi pegawai lalu bergantung pada kapitalis. Inilah lagu rantau, impian jadi kaya. Memang sangat mudah un- lagu penyemangat, penuh emosi. tuk jatuh cinta dengan lagu Rantau, Membawakan keyakinan pada apalagi emang benar-benar peran- pendengar bahwa musik sebagai tau seperti saya dan teman-teman. interval antara perantauan, rumah Setiap pagi, petang dan malam su- dan sejuta kenangannya. hanya bermodalkan baju dan seratus ribu, budak rantau memberanikan diri untuk pergi ketanah pahlawan, tanah sejuta harapan. Tujuh tahun yang lalu (Hanya bermodal baju dan seratus ribu) Impian membawaku (nasib kini...) Ke surabaya Berharap jadi kaya Tujuh tahun berlalu (kota menghisapku habis) Impianku tersapu (duitku makin tipis) Di surabaya Gagal jadi kaya (dompetku kembang kempis Namun lagi-lagi mereka terjebak dengan kata-kata klise

dah menjadi lagu wajib yang harus

Penulis : Ilham Abdullah Editor : Hendrik Yaputra

14 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB


SASTRA

Biarkanlah Dik

Biarkanlah ibumu mengais-ngais sampah Kuliah itu mahal dik Biarkan ayahmu menangis di depan Rektorat Kuliah itu mahal dik Biarkan saudara-saudaramu menertawakan ibumu Biarkan teman-teman ayahmu mencacinya Sadarilah kuliah itu mahal dik

Sabda Rektorat Dari dulu katanya mau mahasiwanya kritis Namun apa daya, mereka malah membungkam mahasiswanya Bilang demi keamanan dan ketertiban Bilang demi kesejahteraan Mahasiswa Bikin kebijakan seenaknya, Mahasiswa disuapi Apakah mereka lupa dari mana uang-uang mereka Mahasiswanya menjerit disini Sepertinya rektorat hanya diam Sepertinya mereka sedang tidur Atau sedang membuat sabda baru bagi mahasiswanya? oleh Aditya Septiawan Warta PKKMB || LPM DIDAKTIKA || 15


16 || LPM DIDAKTIKA || Warta PKKMB

0896 2008 9854

(Qori)

0857 2291 3171

(Adit)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.