Majalah LPM Didaktika Edisi 49

Page 1

DIDAKTIKA Edisi No.49/Th.MMXX/2020 ISSN 0215-7241

Berpikir Kritis dan Merdeka

Bibit Perlawanan dari Kampung Kota Harga : Rp20.000,-


Sapa Redaksi Salam Merdeka! Setahun belakangan, kita kerap kali mendengar kabar buruk dan duka. Pandemi masih menyelimuti dunia, termasuk Indonesia. Tetap bertahan hidup di situasi seperti ini tentu saja tidaklah mudah. Sebagai insan pers memberikan informasi dan laporan renyah selalu diupayakan. Meskipun, berbagai kendala menghadang, akhirnya majalah Didaktika Edisi 49 tahun 2021 bisa terbit dan berada digenggaman pembaca. Dalam majalah edisi ini kami memutuskan untuk mengangkat laporan utama mengenai penggusuran tanahtanah rakyat. Di tengah pandemi, dimana krisis ekonomi dan sosial di depan mata. Nyatanya, kebijakan pemerintah tidak juga berpihak pada keselamatan rakyat. Pemerintah malah sibuk mengambil kesempatan untuk mendukung industri besar melakukan akumulasi di tengah penderitaan rakyat. Imbasnya, perampasan tanah justru marak terjadi di masa pandemi. Pada liputan khusus kami mengangkat perjuangan perempuan desa dalam mempertahankan hak atas tanah. Di rubrik kampusiana kami menyoroti pembangunan gedung Saudi Fund for Development oleh UNJ yang tersendat. Pada rubrik terakhir, kami menyuguhkan wawancara khusus bersama praktisi pendidikan membahas bagaimana kerjasama antara pendidikan tinggi dan indsutri menyelipkan kurikulum tersembunyi. Akhir kata, selamat membaca!

Susunan Redaksi

Pelindung : Wakil Rektor III UNJ Pembimbing : Dr. Saifur Rohman, M.Hum Pemimpin Umum : Muhamad Muhtar, Sekretaris Umum : Faisal Bahri, Bendahara Umum : Annisa Nurul H.S, Pemimpin Redaksi : Uly Mega Septiani, Sekretaris Redaksi : Hastomo Dwi Putra, Sirkulasi : Vamellia Bella Staf Redaksi : Annisa Nurul H.S, Faisal Bahri, Rizky Suryana, Imtitsal Nabibah, Ahmad Qori Hadiansyah, Vamellia Bella. Ilustrasi dan Sampul : Muhamad Muhtar. Tata Letak : Ahmad Qori Alamat Redaksi : Gedung G, R.304, Universitas Negeri Jakarta. Jalan Rawamangun Muka No.1 Jakarta Timur 13220 @lpmdidaktika

LPM Didaktika UNJ

lpmdidaktikaunj@gmail.com

@lpmdidaktika

www.didaktikaunj.com


BERANDA Bertahan untuk Hak Hidup

P

ada tahun 2020, seluruh dunia dikejutkan dengan kedatangan pandemi Covid-19. Di Indonesia sendiri, pada 31 Maret pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai jenis virus yang menimbulkan kedaruratan kesehatan. Bersamaan dengan hal itu, Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) pun diberlakukan. Masyarakat dihimbau untuk membatasi kegiatannya dengan berdiam diri di rumah. Kala kedaruratan yang sedang berlangsung, masyarakat harus berjibaku, selain melawan penyakit, juga bertahan karena adanya pembatasan sosial. Pembatasan tersebut tentunya berdampak pada mata pencarian masyarakat. Untuk kelas menengah dan atas, mungkin hal tersebut bisa diantisipasi dengan bekerja secara daring dari rumah. Namun, bagi masyarakat kecil seperti para buruh pabrik, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal lainnya tentunya harus tetap bekerja di luar rumah. Sementara itu, kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah sangat tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Hal itu terlihat dari dirumuskannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cilaka) pada November 2020 lalu. Dalam UU tersebut sangat terlihat watak pemerintah yang ingin menyelamatkan para pemilik modal dan menindas masyarakat kecil. Sebagai salah satu contoh, di UU Cilaka sektor pertanahan telah mengangkangi apa yang telah diperjuangkan petani dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bukannya menjawab permasalahan konflik agraria yang semakin tajam dan melaksanakan Reforma Agraria, pemerintah lewat UU Cilaka justru akan membuat monopoli tanah dan konflik agraria semakin tajam. Dalam UU Cilaka disebutkan ada lembaga bernama Bank Tanah, lembaga yang berfungsi meinventarisir tanah-tanah terlantar (eks HGU, HGB, dan HTI). Padahal, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah mengenai Bank Tanah, lembaga ini menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan pusat dan daerah dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi dan investasi. Celakanya, sumber tanah yang dikuasai oleh Bank Tanah ditetapkan melalui klaim tanah negara. Hal ini diatur dalam kebijakan lain yaitu, PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dimana yang termasuk tanah negara adalah tanah petani, nelayan, masyarakat adat, dan tanahtanah yang belum dapat dibuktikan kepemilikannya. Melalui pasal tersebut, tentunya tanah-tanah milik petani, nelayan, masyarakat adat dan tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, akan lebih mudah untuk digusur dengan dalih proyek pembangunan ekonomi. Tentunya kita tahu, watak pembangunan ekonomi pemerintah saat ini berpihak pada pemilik modal dan menindas masyarakat kecil. Dengan dalih tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat akan semakin masif terjadi.


Tanah-tanah di perkotaan milik masyarakat miskin kota pun menjadi salah satu sasarannya. Akhir-akhir ini, kita sering melihat pula wacana yang berkeliaran di media sosial mengenai anak muda yang sulit memiliki rumah sendiri. Tentunya hal tersebut benar adanya. Bukan karena anak muda boros dan tak cakap mengelola keuangan, tapi monopoli tanah dan perampasan tanah membuat banyak anak muda, bahkan orang tua tidak memiliki tanah dan harus hidup melunta-lunta di perkotaan. Kita lihat saja dua kasus penggusuran yang baru-baru ini terjadi di Pancoran, Jakarta Selatan dan Pekayon, Bekasi. Masyarakat sudah tinggal di sana, membangun ekonomi, sosial, dan budaya selama berpuluh-puluh tahun, namun harus dipaksa meninggalkan ruang hidupnya. Tanpa tedeng aling-aling, pemerintah dengan aparatusnya menggusur paksa bahkan tak sedikit dari mereka yang mempertahankan tanahnya harus terluka dan diancam bui. Hal tersebut, tentunya membuat masyarakat kecil berada di situasi yang sangat sulit. Sebab, keberpihakan pemerintah hanya kepada mereka yang memiliki modal. Meskipun dihadap-hadapkan buldoser, senapan, dan aparatus negara, melawan adalah jawaban terakhir yang masyarakat punya untuk bertahan di tengah pandemi dan kegagalan pemerintah menjamin hak hidup masyarakatnya.


Surat Pembaca Refleksi Terhadap Metode Pembelajaran Jarak Jauh Terhitung sejak dikeluarkannya SK Rektor No. 7/UN39/SE/2020 pada tanggal 14 Maret 2020, Universitas mulai melakukan aktivitas pembelajaran secara daring. Seiring dengan pemberlakuan kebijakan tersebut, banyak tanggapan yang diberikan terhadap metode pembelajaran seperti ini, mulai dari tanggapan baik maupun sebaliknya. Beberapa tanggapan yang penulis rangkum diantaranya berhubungan dengan kendala teknis, mulai dari koneksi internet yang kurang menunjang, sarana dan prasarana yang kadangkala tidak memadai, hingga pertanyaan mengenai seberapa efektifkah metode pembelajaran seperti ini, yang pada gilirannya banyak dinilai kurang efektif pada setiap pelaksanaannya. Di sisi lain terdapat pula sekelumit persoalan mengenai transparansi keuangan yang dikelola oleh pihak universitas meskipun kegiatan pembelajaran tidak menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di kampus. Terhadap kendala teknis terutama pada kepemilikan sarana dan prasarana –yang penulis maksud sebagai kepemilikan perangkat teknologi yang memadai- terdapat potensi diskriminatif terhadap mahasiswa yang tidak memiliki smartphone yang begitu canggih atau paling tidak memadai untuk penggunaan PJJ, implikasinya bahwa mahasiswa tersebut terbatas pada penggunaan fitur-fitur tertentu, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk menghindari persoalan tersebut. Selanjutnya bahwa pertanyaan mengenai efektifitas metode PJJ ini sebetulnya dirasakan sendiri oleh penulis, tatkala perkuliahan tatap muka selalu menghadirkan diskusi hingga perdebatan di saat-saat perkuliahan, di masa ini, mahasiswa hanya berperan sebagai ‘audiens pasif ’ yang hanya mendengar materi yang disampaikan dosen. Belum lagi persolan mengenai penyampaian materi oleh dosen yang terkadang sangat minim penjelasan dan korespondensi dengan mahasiswa sehingga seolah-olah yang terjadi justru perkuliahan hanya sebatas formalitas belaka. Persoalan selanjutnya mengenai transparansi keuangan yang dikelola oleh universitas menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana alokasi dana tersebut tersalurkan, sementara banyak mahasiswa yang masih dituntut untuk membayar uang kuliah secara utuh sedangkan penggunaan sarana dan prasarana secara otomatis tidak digunakan. Andaikata pihak universitas berdalih bahwa beberapa pendanaan disalurkan untuk keperluan PJJ –kuota, pulsa, dan sebagainya- faktaya banyak terjadi kendala soal tersebut, mulai dari terlambatnya pulsa/kuota yang masuk, instruksi untuk merubah kartu perdana, dan segala macam tetek bengeknya. Akhirnya seluruh elemen civitas akademik harus berupaya untuk memonitor jalannya perkuliahan di masa pandemi ini melalui metode PJJ dan lainnya, dan mestinya memulai persiapan untuk melakukan perkuliahan tatap muka secara serius. Raihan Ghillman, Mahasiswa Sosiologi 2017


DAFTAR ISI Laporan Utama Perebutan lahan di tengah hiruk-pikuk Ibu Kota masih kerap terjadi. Sengketa lahan antara warga dengan institusi pemerintah, justru sering menimbulkan konflik horizontal. Dua kasus yang menjadi sorotan adalah Pekayon dan Pancoran laporan utama

6-33

liputan khusus 34-38 kampusiana

39-43

sastra

44-45

seni budaya

46-49

Liputan Khusus Pergerakan reforma agraria tidak hanya menjadi milik laki-laki. Justru, perempuan banyak mengambil peran di dalam perjuangan reforma agraria, seperti yang terjadi di wilayah Sulawesi. tamu kita

50-53

karya

54-57

opini

58-66

resensi

67-81

Kontemplasi

82-87


LAPORAN UTAMA UTAMA LAPORAN

Bibit Perlawan dari Kampung

7

LPM DIDAKTIKA

Dok. LPM Didaktika


nan g Kota P

ada Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2020, Melani Budianta, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, membawakan pidato bertajuk “Lumbung Budaya di Sepanjang Gang”. Melalui pidato itu, Melani menceritakan hasil dari temuan penelitiannya mengenai keberadaan kampung kota. Dia mengawali pidato tersebut dengan mengeluhkan kampung sebagai “yang Liyan” (asing) dari kota. Melani menyebutkan, kampung kota bukanlah wilayah administratif, melainkan pemukiman informal tidak terencana di tengah atau pinggiran kota. Kampung sering dimaknai negatif, ungkapnya, seperti dalam istilah “kampungan” yang menunjukan keterbelakangan. Di sisi lain, kampung pun dikenal dengan istilah “pulang kampung” atau “kampung halaman.” Bagi Melani, istilah ini diasosi-

asikan dengan perasaan nostalgia mengenai asal muasal yang bersifat tradisional. Dalam penelitian berjudul Smart Kampung: Doing Cultural Studies in The Global South, Melani menjelaskan makna kampung berarti kampung pedesaan di bahasa Melayu. Kemudian, istilah itu berubah sejalan dengan urbanisasi, sehingga maknanya menjadi tempat yang marjinal. Melani menghubungkan keberadaan urbanisasi ini dengan gerakan masyarakat dalam potensi menandingi hegemoni kapitalisme global. Oleh karena itu, Melani menuliskan bahwa konsep smart kampung tidak merujuk pada kegunaan teknologi sebagai penunjang kampung. “Istilah smart kampung tidak merujuk pada pemerintahan berbasis teknologi. Melainkan, strategi ganda kaum marjinal menangani ketimpangan sosial untuk melawan kooptasi negara beserta daya kapitalis. Tujuannya untuk merebut ruang demi kepentingan bersama,” tulisnya. Tidak hanya itu, dalam penelitiannya, Melani, menyinggung proses sejarah di balik keberadaan kampung kota. Perkumpulan warga lokal dalam bentuk kampung cenderung dipandang sebagai titik masalah semata. Dalam perkembangannya, kampung pun dipandang sebagai objek wisata, contohnya Kampung WarEDISI 49

8


LAPORAN UTAMA asal Belanda memulai proses modernisasi kampung dengan penyediaan air, pembuangan sampah, dan kebersihan. Dalam Pidato Kebudayaan, Melani mengutip tulisan dari laman daring Rujak Center For Urban Studies, menyebutkan proyek modernisasi serupa, juga dilakukan setelah kemerdekaan. Contohnya, proyek MH Thamrin di masa gubernur Ali Sadikin pada 1970-an. Senada dengan hal tersebut, tulisan Kompas mengenai Pidato Kebudayaan DKJ 2020 menyatakan, kondisi pandemi menjadi momen untuk mengubah cara pandang terhadap kampung. Melalui governing the commons yang digagas oleh Ilustrasi Muhamad Muhtar Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi 2009, Melani memanna-Warni di berbagai daerah. Pada masa dang pentingnya pembangunan kampung sebelum kolonial, istilah kampung meru- yang parsitif, inklusif, dan demokratis. juk pada pemukiman pesisir dan juga Persepktif Ostrom, bagi Melani, dapat daerah pedalaman (hinterland). Kemudi- menjadi alternatif dari privatisasi terhaan pada jaman kolonial, keberadaan kam- dap ruang hidup. Dewasa ini, Melani menceritapung kontras dengan rumah-rumah khas Eropa. Disinilah kampung mendapat cap kan gerakan kebangkitan kampung dan desa membuat gerakan solidaritas untuk buruk sebagai tempat yang terbelakang. Setelah itu, Melani juga menuliskan kepentingan bersama mulai bermuncubahwa pada awal abad 20, penata ruang lan pada 2010 sampai saat ini. Gerakan 9

LPM DIDAKTIKA


“Istilah smart kampung tidak merujuk pada pemerintahan berbasis teknologi. Melainkan strategi ganda kaum marjinal menangani ketimpangan sosial melawan kooptasi negara berserta daya kapitalis. Tujuannya untuk merebut ruang demi kepentingan bersama” serupa juga dapat dilihat dalam upaya perlawanan warga terhadap penggusuran yang sewenang-wenang. Dalam diskusi yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berjudul Tak Pupus Mengharap Pelangi: Pengalaman Menghadapi Penggusuran Paksa dan Banjir, beberapa warga korban penggusuran bercerita pengalaman traumatik mereka. Salah satunya Junis Aritonang, Warga Pekayon, Jakasetia, Bekasi. Ia menceritakan pengalaman bagaimana penggusuran menyebabkan hilangnya rumah dan ruang hidupnya. Sudah 4 tahun Aritonang dan warga Pekayon memperjuangkan haknya. Ia menceritakan, kini rumahnya sudah menjadi jalanan. Menurut Aritonang, tanah yang ia tempati merupakan tanah negara bebas. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 turunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hal tersebut merupakan dasar hukum

kepemilkan tanah bagi warga yang telah bertempat tinggal lebih dari 20 tahun. Kisah sama juga dialami Puspa Yunita, Warga Kapuk Poglar, Jakarta Barat. Setiap harinya, ia berhadapan dengan polisi yang mau merebut tempat tinggal mereka. Yunita melanjutkan, warga korban penggusuran juga selalu menghadapi intimidasi saat memperjuangkan haknya. Warga Poglar, berdasarkan penjelasan dia, setiap hari harus menyaksikan barisan polisi lengkap dengan pucuk senjata melakukan apel baris-berbaris. Selain itu, nasib warga Poglar juga diperberat dengan pemutusan akses terhadap air, bahkan sempat diancam dengan pemutusan listrik. “Imbasnya, warga lanjut usia jadi drop, orang yang sehat jadi sakit. Beruntung ada solidaritas dari pemuda dan mahasiswa, “ ungkapnya. Penulis : Faisal Bahri Editor : Uly Mega S. EDISI 49

10


LAPORAN UTAMA

Korban Penggusuran Pekayon-Jakasetia Masih Melawan

P

enggusuran ruang hidup di suatu tempat identik dengan rencana pembangunan pemerintah atau pengembang. Namun menjadi gusuran paksa apabila, warga di tempat tersebut menolak. Alasan penolakan penggusuran pun beragam, dari tidak mau menjual tanah adat pedesaan hingga masalah ganti rugi yang tidak sesuai. Pada 2016, hal tersebut dialami oleh ratusan kepala keluarga di sepanjang tujuh kilometer perluasan jalan di Pekayon Jakasetia, Bekasi Selatan. Salah satu diantaranya adalah Sukiyati (65) atau akrab dipanggil nenek Mul. Ia telah tinggal di sana sejak puluhan tahun yang lalu. Pertama kali kedatangannya, Jakasetia merupakan tanah terlantar. Ia bersama warga lain secara swadaya dan gotong royong membangun jalan diatasnya pada 1990. Kemudian pada 1997, Perum Jasa Tirta II menerbitkan surat izin pemanfaatan lahan sementara. Sukiyati ditemui oleh reporter Didaktika di dekat bekas rumahnya pada 24 Januari 2020. Lebih dari tiga tahun sejak 11

LPM DIDAKTIKA

Doc. Marhaenpress

warga Jakasetia digusur pada 3 November 2016. Saat ini warga Pekayon-Jakasetia didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sedang menyiapkan gugatan terhadap Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Sukiyati menceritakan pengalamannya menolak penggusuran paksa sejak 2016. Kabar penggusuran hanya datang lewat surat pemberitahuan sebanyak lima kali dari Juli sampai Oktober 2016. Saat ditanyai soal sosialisasi dari pemkot, Sukiyati hanya geleng kepala. Tidak pernah, ucapnya menegaskan. Ia pun mengatakan, warga hanya bisa pasrah saat terjadi penggusuran. Sebelum alat berat sampai ke lingkungan tinggalnya, gusuran terjadi lebih dahulu di Pekayon. Warga Jakasetia sebelumnya


turut menghadang aparat dan alat berat di Pekayon, Sukiyati mengingat saat itu aparat mengatakan, ‘’gusur dulu, hukum belakangan.’’ Akhirnya, Sukiyati dan warga lainnya bergegas menyuruh anak-anak untuk pergi ke sekolah sebelum ada barisan aparat dan alat berat. Belum sempat mengamankan barang-barang, sekitar rumahnya ramai oleh aparat gabungan bersama alat berat. Saat cucunya pulang sekolah, Sukiyati mengatakan, ia kaget melihat rumahnya sudah hancur. Ketika malam tiba, warga mendatangi rumah-rumah saudaranya. Namun, salah seorang tetangganya enggan angkat kaki dari sisa rumahnya meski warga-warga lain membujuknya. Mereka pun mengalah membiarkannya tidur di atas puing bangunan. Cerita Sukiyati berlanjut tentang kejadian akhir 2016. Jumlah warga terdampak mencapai 209 kepala keluarga. Sedangkan pada Januari 2020, tersisa hanya 22 kepala keluarga yang mengajukan gugatan ketiga. Selama perjalanannya, warga kian berkurang lantaran banyak memutuskan untuk menyerah. ‘’Mungkin sudah banyak yang lelah,’’ ucap Sukiyati sambil membakar rokok kretek. Pada akhir 2020, 14 kepala keluarga masih konsisten berjuang. Perjuangan warga terdampak gusuran Pekayon-Jakasetia pun menjadi tema

utama tuntutan Aksi Kamisan Bekasi di depan kampus Universitas Islam 45 Bekasi. Kegiatan serupa dilaksanakan di berbagai kota Indonesia, salah satunya Aksi Kamisan Jakarta di depan istana. Untuk pertama kalinya pada 2017, warga mengajukan gugatan ke Pemerintah Kota Bekasi. Sebelumnya, warga didatangi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Patriot untuk ditawari advokasi gugatan. Namun, gugatan tersebut tidak dapat diterima lantaran LBH Patriot gagal memenuhi panggilan pengadilan. Menurut Sukiyati, warga kecewa dengan hasilnya apalagi sudah dimintai uang dengan jumlah besar. ‘’25 juta,’’ ucapnya. Kemudian warga memutuskan untuk melaporkan LBH Patriot ke Perhimpunan Advokat Indonesia. Awal Januari 2017, warga didatangi oleh kelompok aktivis dan mahasiswa. Bersama-sama, mereka membentuk Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB). Sebab, hasil pengadilan yang mengecewakan. Selain itu, Sukiyati bersama warga membangun posko juang. ‘’Kita ramai-ramai dulu tidur di situ,’’ sambil menunjuk lokasi posko yang kini jadi jalanan. Upaya jalur hukum kembali ditempuh warga pada 2018. Kali ini, warga mengajukan gugatan class action terhadap pemkot Bekasi lewat pengadilan negeri Bekasi. Sayangnya bagi Sukiyati dan warga lainnya, hakim menghentiEDISI 49

12


LAPORAN UTAMA ‘’Kita ramai-ramai dulu tidur di situ,’’ sambil menunjuk lokasi posko yang kini jadi jalanan. kan gugatan karena tidak memenuhi persyaratan. Menurut, Pengacara FKPB, Sondang Harahap yang mewakili gugatan class action, warga tidak diberi waktu untuk menyebutkan anggotanya yang terlibat. Menerima hasil yang serupa dengan upaya gugatan pertama, FKPB kembali menyiapkan upaya gugatan ketiga kalinya. Kali ini warga meminta pendampingan ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pada 20 Juni 2019, perwakilan FKPB mendatangi kantor LBH Jakarta di Cikini. Sukiyati mentidaku baru pertama kali ikut serta dalam kegiatan aksi massa setelah rumahnya digusur. ‘’Biasanya mah takut kalo liat demo,’’ ujarnya. Kemudian ia menceritakan beberapa kali pengalamannya terlibat dalam aksi massa. Pada 11 September 2019, ia dan warga mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Bekasi dengan maksud mengajukan permohonan status quo atau pembekuan untuk tanah. Menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 13 tahun 2017 dalam Pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan tata cara 13 LPM DIDAKTIKA

blokir dan sita, pencatatan blokir adalah tindakan administrasi kepala kantor pertanahan untuk penenatan status quo atas tanah yang bersifat sementara. Proses status quo ini dibutuhkan untuk melindungi


atau pembekuan tanah tidak dikabulkan. Di saat yang bersamaan sepanjang 2019, FKPB dan solidaritas gusuran mencoba mencari dukungan dari berbagai sektor. Diantaranya mahasiswa dan buruh. Pada 6 September 2019, FKPB mendatangi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mereka menggelar mimbar bebas dan lapak baca di depan Plaza UNJ. Kemudian pada 9 September, FKPB mendatangi Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat. Sama seperti di UNJ mereka menggelar mimbar bebas. Selain itu, FKPB juga turut mengampanyekan isu penolakan revisi undang-undang ketenatidakerjaan begitupun UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Permasalahan penggusuran merupakan bagian dari masalah agraria dalam sektor Doc. Marhaenpress perkotaan. Namun sayangnwarga dari berbagai tindakan aparat dan ya, penyelesaianya seringkali lebih sulit intimidasi. Kendati demikian, BPN Kota dibanding dengan permasalahan agraria Bekasi mengeluarkan surat dengan no- pedesaan. Menurut Ferry Widodo, Konmer 1094/32.75/100/VII/2019 yang men- sorsium Pembarahuan Agraria (KPA), yatakan bahwa permohonan status quo ikatan warga dengan tanah perkotaan EDISI 49

14


LAPORAN UTAMA berbeda dengan pedesaan. Penduduk pedesaan memiliki beban sejarah berhubungan dengan tanah. Sementara kota dihuni oleh penduduk migran untuk kepentingan ekonomi. Sehingga, proses perjuanganya pun terdampak. “Naik surut”, ucapnya. Di atas itu semua, Ferry melanjutkan, konflik agraria perkotaan merupakan bagian dari masalah macetnya reforma agraria pemerintah. Akan tetapi, berdasarkan asumsi bahwa penggusuran tidak dibenarkan, Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum mengatur mekanisme ganti rugi terhadap warga. ‘’Sebelumnya sudah ada bangunan permanen, berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak,’’ ucapnya. Sebelumnya pun harus ada proses sosialisasi yang jelas. Bagi Ferry, kasus Pekayon ini aneh dalam hal pentidakuan negara terhadap warganya. Warga Pekayon rutin membayar retribusi tanah dan listrik. ‘’Ini bentuk pentidakuan negara, tapi waktu digusur, negara lupa menghitung,’’ ucapnya. Akhirnya, yang mempengaruhi semuanya adalah konsolidasi di tingkat warga agar kuat. ‘’Supaya warga tetap berupaya mengajukan kepemilikan tanah,’’ pungkas Ferry. Aktivasi Ruang Lintas Titik Gusuran FKPB telah menjalin hubungan 15 LPM DIDAKTIKA

dengan beberapa titik korban gusuran lain di Bekasi dan luar bekasi. Sedangkan solidaritas luar Bekasi, yakni Tamansari Melawan, KTP Kapuk Poglar, Warga Kampung Dadap, Warga Batu Ceper, dan Kampung Pilar. Warga dan solidaritas gusuran menggelar berbagai acara peringatan dan harlah tahunan gusuran. Acara tersebut merupakan rangkaian acara yakni, diskusi, bazar, dan pentas seni. Terakhir kali acara bertajuk Tiga Tahun Perjuangan Warga Pekayon Jakasetia, diadakan pada 23-24 November 2019. Sebelumnya, FKPB juga mengadakan festival kampung kota Rekonstruksi Cinta di atas Puing Kota, menampilkan panggung seni dan nonton bersama film dokumenter perjuangan warga Pekayon, Kami Masih Melawan. Menurut Khairin Sangaji, salah seorang pendamping warga serta solidaritas gusuran, kegiatan festival dan harlah bertujuan untuk menunjukan bahwa korban penggusuran masih konsisten melakukan perlawanan. Metode serupa dapat ditemui di beberapa titik penggusuran diantaranya, warga Dadap mengadakan Festival Dadap dan warga Tamansari dengan Pasar Melawan. Sejalan dengan itu, FKPB bergabung dalam Tamansari Gruduk Istana, sebagai upaya kampanye menolak penggusuran serta aksi massa di Jakarta. Pada 13 Januari 2020, warga dan solidaritas


Tamansari datang untuk membuka posko juang di gedung LBH Jakarta. Selama sepekan mereka menggelar unjuk rasa tiap harinya, kemudian dilanjutkan dengan diskusi dalam rangka ‘’aktivasi ruang’’ Pandemi Covid-19 Turut Mencekik Korban Penggusuran. Sejak awal sampai pertengahan 2020, masyarakat kian merasakan efek dari pandemi Covid-19. Dalam liputan Tirto.id mengenai tunawisma, masyarakat kian menghadapi masalah ekonomi. Liputan tersebut menyebutkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, buruh yang tidak mendapat pesangon serta tunjangan hari raya. Di saat yang bersamaan, warga turut terjebak dengan pinjaman serta tidak mampu membayar sewa tempat hunian. Bagi Sukiyati, hal tersebut merupakan realita kesehariannya. Walaupun dirinya mentidaku sehat, namun kesehariannya cukup menghadapi perubahan. ‘’Sehari-hari harus berhutang di warung,” ucapnya saat ditanya mengenai keadaannya. Sejak menghadapi penggusuran sewenang-wenang, ia harus bergantung ke anaknya. “Uang bulanan habis buat kontrakan, makan sehari-hari dan pulsa belajar tiga orang cucu,” tambah Sukiyati. Pengalaman serupa juga dialami oleh Sonang, dia mentidaku sebelum pandemi masih dapat membuka rumah

makan. Setelah pandemi Covid-19 membuat usahanya mandek, ia mentidaku pemasukannya sangat berkurang. Sedangkan salah seorang anaknya baru saja menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Saat ditanya mengenai langkah selanjutnya, ia berharap 19 kepala keluarga yang tersisa dijauhkan dari pandemi Covid-19. “Semoga perjuangan empat tahun menemukan jalan keluar,” ungkap dia. Ayu Ezra, pengacara LBH Jakarta yang menangani kasus ini, menyebutkan bahwa warga telah selesai mengumpulkan berkas tuntutan perdata Pemkot Bekasi. Ayu menjelaskan saat ini warga sedang mengajukan permohonan pembebasan biaya persidangan. Ia melanjutkan, sidang akan dilakukan secepatnya. Sayangnya, permohonan ini ditolak dengan alasan pengadilan Bekasi tidak memiliki dana.

Penulis : Faisal Bahri Editor : Uly Mega S. EDISI 49

16


Pertahankan Tanah, Warga Pancoran Dihujani Batu dan Gas Air Mata LAPORAN UTAMA

Puluhan warga dan massa solidaritas dari berbagai kalangan usia melakukan aksi di depan Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan, Rabu (17/3). Aksi dilakukan untuk menuntut dikeluarkannya ekscavator dari pemukiman, mengembalikan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang telah dijadikan pos penjagaan oleh PT Pertamina Training and Consulting (PT PTC), Polisi, dan Organisasi Masyarakat Pemuda Pancasila (Ormas PP), serta dihentikannya penggusuran selama belum adanya putusan dari pengadilan mengenai sengketa tanah tersebut. 17 LPM DIDAKTIKA Doc. Istimewa


A

ksi warga menolak penggusuran, bermula ketika PT PTC, anak perusahaan PT Pertamina, melakukan eksekusi paksa terhadap rumah nomor 12 pukul 10.00 WIB dengan penjagaan oleh kepolisian. Warga dan massa solidaritas yang melakukan penjagaan di Buntu II, lantas bersama-sama mencegah tindakan PT PTC tersebut. Bentangan spanduk yang berisi tuntutan, serta teriakan yang menandakan penolakan warga atas klaim PT PTC terhadap tanah yang telah ditempati warga. Negosiasi dengan pihak kepolisian pun berjalan gayal. Sekitar pukul 15.30, warga dan massa solidaritas memblokade sebagian jalan di depan Buntu II sebagai bentuk kemarahan atas sikap kepolisian tersebut. Pukul 16.00, warga dan massa solidaritas kemudian mengelilingi bangunan PAUD yang terletak di dalam pemukiman, tempat berjalannya negosiasi. Kepolisian akhirnya menuruti tuntutan warga dan massa solidaritas sekitar pukul 17.30, ketika Wakil Kepala Kepolisian Resort (Wakapolres) Metro Jakarta Selatan, Antonius Agus Rahmanto, datang dan menginstruksikan jajarannya untuk mengosongkan bangunan PAUD dan mengeluarkan ekskavator dari pemukiman. Bangunan PAUD pun kembali difungsikan sebagai ruang belajar anak-anak. Akan tetapi, sekitar pukul 20.00, beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Pancasila (PP) terus ber-

datangan menuju depan gang Buntu II. Warga dan massa solidaritas yang berjaga di depan PAUD, merasa terancam dengan hal tersebut. Untuk melindungi agar PAUD tak lagi dikuasai Ormas PP, warga dan massa solidaritas berkumpul dan membentuk barikade. Negosiasi sempat dilakukan, namun PP baru membubarkan diri pada 21.30. Alih-alih membubarkan diri dengan damai, salah satu anggota PP justru melempar batu hingga mengenai seseorang dari pihak warga Buntu II. Bentrokan pun pecah hingga kepolisian membubarkan bentrokan tersebut dengan tembakan gas air mata ke arah pemukiman warga sekitar pukul 23.00. Akibat bentrokan tersebut, Warso, seorang warga yang coba mempertahankan rumah yang ia tempati di Buntu II mengalami luka dibagian pipi dan bibir kirinya. Malam itu, Warso mempertahankan barisan depan bersama beberapa warga dan solidaritas agar PP tidak masuk ke dalam Buntu II. Warso terkena dorlop, senjata rakitan yang kerap digunakan pada tawuran antarkampung di Jakarta. Senjata tersebut berisikan benda-benda kecil dan tajam, seperti paku dan pecahan kaca. Darah yang membasahi wajahnya justru diketahui lebih dulu oleh temannya. Namun, Warso mentidaku tak gentar dan tetap berada di barisan depan. “Saya mundur bukan karena sakit, tapi karena capek,” tutur Warso. EDISI 49

18


LAPORAN UTAMA Usai bentrokan, Warso diberikan perawatan sementara oleh mahasiswa. Keesokan harinya, Ia datang ke rumah sakit namun tak juga mendapatkan penanganan setelah berjam-jam menunggu di loket pendaftaran. “Lebih dari lima jam, dari jam 3 sampai 11 siang, tidak kunjung ditangani. Saya mau keluar, tapi dibilang nanti takutnya infeksi. Saya yakin, InsyaAllah, akan sembuh,” jelas Warso. Warso yang bergabung dengan warga untuk menahan PP agar tidak masuk ke Buntu II, bukanlah tanpa alasan. Sebelumnya, kontrakan yang ia tempati sempat dihancurkan secara manual menggunakan palu godam oleh PP. Penolakan oleh warga membuat PP hanya dapat menghancurkan bagian pagar dan sebagian kanopi rumah tersebut. Padahal, pemilik kontrakan tersebut menolak kerohiman karena dinilai tidak sesuai prosedur. Ketika tim Didaktika mewawancarai Warso, ia mentidaku masih merasa nyeri di bagian bibirnya. Kendati demikian, Warso menyatakan akan tetap bertahan di tanah tersebut. “Kita sih asal mereka mengikuti prosedur. Tapi ini, surat perintah saja mereka tidak nunjukin. Kita menunggu keputusan, mengikuti undang-undang yang ada, dan prosedur yang ada,” tutup Warso. Enam hari pasca bentrokan, te19 LPM DIDAKTIKA

“Kita sih asal mereka mengikuti pro ini, surat perintah saja mereka ga nu menunggu keputusan, mengikuti und yang ada, dan prosedur yang patnya pada 23 Maret 2021, 31 warga Pancoran Gang Buntu II mendapatkan panggilan yang dilayangkan Polres Metro Jakarta Selatan atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan atas pengaduan PT PTC. Esoknya, atas permintaan warga, dua orang pendamping hukum warga Pancoran, yakni Safaraldy dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Dzuhrian Anandra Putra dari Paralegal Jalanan, mengantarkan surat penolakan warga atas surat panggilan tersebut ke penyidik Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Menurut siaran pers LBH Jakarta nomor 207/RILIS-LBH/III/2021, keduanya justru ditahan dan diperiksa selama kurang lebih delapan jam oleh penyidik Harda Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Mereka ditetapkan sebagai saksi tindak pidana atas Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP. Keduanya baru dilepaskan pada pukul 00.49 WIB, Kamis, 25 Maret 2021. Menurut pentidakuan Dzuhrian, selaku pendamping hukum warga dari Paralegal Jalanan yang sempat ditahan tersebut, dirinya tak menyangka akan


osedur. Tapi unjukin. Kita dang-undang g ada”

ditahan selama itu. Ia dan Safaraldy dilayangkan beberapa pertanyaan tentang pemberi surat yang dia antar, seputar kasus pancoran, dan lain-lain. Selama proses penulisan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ia mentidaku tak ada perlakuan intimidatif dari pihak kepolisian. Selaku mahasiswa yang aktif di Paralegal Jalanan wilayah Jakarta, Dzuhrian mentidaku mendampingi warga Pancoran Buntu II dengan memperhatikan hak-hak warga yang dilanggar, kesalahan dari cara-cara pemerintah dalam penanganan kasus ini, dan merumuskan cara yang semestinya dilakukan pemerintah. Dalam bentrokan yang terjadi 17 Maret lalu, Dzuhrian menanggapinya dalam konteks HAM, dimana negara, dalam hal ini kepolisian, melakukan pengabaian. Dzuhrian mempertanyakan Prosedur Tetap (Protap) penanganan bentrokan yang dimiliki kepolisian. “Warga seperti sengaja diadu. Padahal, jarak dari Polda ke lokasi hanya lurus saja. Apalagi kalau menggunakan sirine, pasti akan lebih cepat. Tapi ini kok lama banget datangnya?” Padahal, penanganan bentrokan oleh kepolisian telah diatur dalam lampiran Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No. 8 tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik

Sosial. Dalam Bab III, pencegahan konflik dilaksanakan demi terpeliharanya kondisi damai dalam masyarakat, dengan cara merespons dengan cepat setiap permasalahan yang dilaporkan melalui pelaksanaan tugas Polri. Pada butir (f), apabila kejadian tersebut berdampak pada pengumpulan massa, dilakukan langkah-langkah persuasif untuk mengimbau agar membubarkan diri. Namun, permasalahan yang disorot oleh Dzuhrian adalah lambatnya peran kepolisian dalam menangani bentrokan tersebut. Dzuhrian menambahkan, kejahatan penggusuran ini masuk dalam klasifikasi sebagai gross violations of human right, atau kejahatan HAM berat. Hal ini ia sampaikan dengan merujuk Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya), bahwa pengusiran paksa adalah sebuah pelanggaran berat HAM. Terlebih lagi, Ia menambahkan, Pertamina yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru melakukan pendekatan melalui Ormas. Menurutnya, Ormas sengaja digunakan agar konflik struktural tak terlihat yang nantinya dapat menciptakan gelombang penolakan besar-besaran. Dalam bentrokan kemarin, Ormas telah menyalahi konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 3 (c) UnEDISI 49 20


LAPORAN UTAMA dang-Undang No. 16 tahun 2017 tentang ar dari Gang Buntu II, diikuti timpukan Organisasi Kemasyarakatan. Pasal terse- batu oleh mereka. Bentrokan pun tak but mengatakan bahwa Ormas dilarang dapat dihindari. melakukan tindakan kekerasan, mengPadahal, Juple mendengar penuturganggu ketenteraman dan ketertiban an dari orang yang berada di luar Gang umum, atau merusak fasilitas umum dan Buntu II, ada sejumlah polisi disana selafasilitas sosial. ma bentrokan berlangsung. Polisi memIa menaruh harapan pada pemer- bubarkan bentrokan dengan menemintah melalui kasus Pancoran, di mana bakan gas air mata kearah pemukiman. pemerintah dapat “Kira-kira, ada “Ada yang kepalanya robek, m e nye l e s ai k an tiga sampai lima pipinya robek, bahu sama semasalah dengan kali tembakan gas langkangannya patah. ” bijak dalam hal air mata secara pengadaan tanah. “Di mana tanggung beruntun,” tutur Juple. jawab pemerintah untuk memberikan Setidaknya, 28 warga dan massa ruang hidup nyaman? Jangankan untuk solidaritas mengalami luka-luka akibat menyediakan, menjamin saja tidak ada,” bentrokan tersebut. Juple menambahkan, pungkas Dzuh. jumlah tersebut tidak termasuk dengan Menurut penuturan Juple (nama warga yang mengalami sesak nafas akibat samaran –red) selaku orang yang ber- gas air mata. “Ada yang kepalanya robek, solidaritas untuk menuntut hak warga pipinya robek, bahu sama selangkanganBuntu II, bentrokan itu terjadi karena nya patah,” Juple menambahkan. terprovokasi oleh Ormas. Ia melanjutkan, Sebagai bagian dari solidaritas warwarga merasa terancam karena selama ga Pancoran Buntu II selama dua bulan, ini Ormas tersebutlah lah yang mengusik Juple melihat kasus ini sebagai masalah warga. Ketika ditanya tujuan mereka ber- hak hidup warga yang dirampas secara kumpul, Juple menuturkan, mereka men- paksa. Sebab bagi Juple, perencana kota jawab ingin berjaga-jaga saja. Meskipun menilai kampung di tengah kota seperti tak jelas menjaga apa, situasi pun sema- Gang Buntu II ini mesti digusur karena kin panas dan terprovokasi oleh mereka. mengganggu pemandangan kota. NaMenurut penuturan Juple, mereka bah- mun, perencana kota tak melihat warga kan menunjukkan pisau yang bertujuan yang memiliki kehidupan di dalamnya. menakut-nakuti warga. Padahal, lanjut Juple, warga telah menJuple menambahkan, sekitar pukul diami kampung tersebut selama berpu22.00, ormas tersebut akhirnya kelu- luh-puluh tahun. 21 LPM DIDAKTIKA


Doc. Istimewa

Terlebih lagi, sudah sepuluh bulan warga mengalami intimidasi dan teror oleh pihak Pertamina. Menurut Juple, hal tersebut berdampak pada psikologis warga yang selalu dibuat tegang. Hal ini lah yang memicu dukungan dan solidaritas untuk membangun semangat warga dengan mengajak main anak-anak, mengajak ngobrol warga, memberikan pengetahuan ke warga kalau tanah ini hak mereka. Selain itu, warga dan massa solidaritas juga mengadakan kegiatan di Buntu II setiap akhir pekan. Kegiatan yang diberi nama Pancoran Ceria ini meliputi pasar gratis, cukur gratis, lapak baca gratis, lapak dagang warga dan solidaritas, pembacaan puisi, pertunjukan musik, hingga teatrikal.

Untuk menggalang dukungan yang lebih besar, menurut Juple, media sosial seperti Twitter dan Instagram digunakan sebagai media propaganda. Mereka memiliki akun Instagram @forumpancoranbersatu dan @pancoranbersatu untuk akun Twitter. Juple menyampaikan, dukungan berupa donasi seperti makanan, logistik, dan lain-lain, dapat disalurkan secara langsung ke Buntu II. Penulis : Hastomo Dwi Putra Editor : Uly Mega S.

EDISI 49 22


LAPORAN UTAMA

Perlawanan Warga Pancoran Hadapi Intimidasi PT Pertamina

Doc. Istimewa

B

entrokan antara warga Buntu II beserta massa solidaritas dengan Pemuda Pancasila (PP) bukanlah hal baru. Semenjak PT Pertamina melakukan perampasan tanah di Pancoran Buntu II. Menurut penuturan Muhammad Chandra, salah satu yang dianggap oleh warga sebagai tokoh masyarakat di RT.06/02, tanah tersebut merupakan tanah milik interub dan dibeli oleh ahli waris Mangku23 LPM DIDAKTIKA

sasmito Sanjoto melalui rekan bisnisnya, Anton Partono CS pada 1971. Namun, Anton CS melakukan kecurangan yaitu dengan menjual tanah tersebut ke PT Pertamina, meskipun Pertamina belum sepenuhnya menyerahkan uangnya. Sanjoto pun mengumumkan di koran, salah satunya di harian Sinar Harapan, bahwa tanah tersebut tidak dapat dibeli. Akhirnya, Sanjoto melakukan


gugatan kepada Anton CS ke Pengadilan Negeri (PN) sampai ke tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Gugatan pun dimenangkan oleh Sanjoto dengan putusan bahwa Anton Partono bukanlah pemilik, dan dinyatakan sebagai penjual yang tidak beritikad baik. Kemudian pada 1981, menurut putusan PN Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, Sanjoto mendapatkan hak eksekusi terhadap orang-orang PT Pertamina di tanah tersebut. “Bahkan, ada memorandum dari PT Pertamina itu sendiri untuk menarik orangnya dari sana,” ujar Chandra. Kemudian pada 1991, PT Pertamina mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas tanah tersebut. PK tersebut dimenangkan PT Pertamina pada 1992, yang menyatakan bahwa PT Pertamina merupakan satu-satunya pemilik yang sah atas tanah tersebut. Akan tetapi, PK tersebut hanya bersifat declaratoire dan tidak memiliki fungsi eksekusi. “Pertamina punya PK dan Hak Guna Bangunan (HGB) sebanyak 25 buah. Keputusan PK itu intinya mengatakan bahwa Pertamina merupakan satu-satunyanya pemilik yang sah dan pembantah yg benar. Tapi, tidak membatalkan putusan PN, PT dan MA yang mengatakan tanah ini sudah dieksekusi Sanjoto pada 1981,” Akan tetapi pada April 2020, pi-

hak PT PTC melakukan sosialisasi kepada warga Buntu II yang awalnya ingin melakukan pendataan dan pemulihan aset dengan bermodalkan PK. Namun dalam sosialisasi tersebut, pihak PT PTC justru menyuruh warga untuk segera mengosongkan rumah dan menjanjikan kerohiman. Padahal, warga mendapatkan penempatan dari salah satu orang yang dikuasakan oleh ahli waris, yakni Mulyono. Akan tetapi, dengan bujuk rayu dan intimidasi, beberapa warga pun merasa takut. Di antara mereka pun ada pula yang menerima kerohiman. Keluarga besar Sanjoto pun menggugat PT Pertamina ke PN Jakarta Selatan atas tindakan melawan hukum. Selain itu keluarga besar pun menuntut pemblokiran sertifikat-sertifikat dari pertamina. ya karna pertamina beli sertifikat dari siapa? sedangkan di pengadilan negeri, tinggi dan ma, anton partono bukan pemilik dan penjual yg tidak beritikad baik Seiring berjalan waktu, bagi yang tidak menerima kerohiman pun digusur secara paksa. Kejadian seperti ini sudah terjadi sejak Januari 2021 namun tidak sampai terjadi bentrokan yang berarti. Hingga pada 24 Februari 2021, bentrokan tak dapat dihindari antara warga dengan PP, ketika pihak PT PTC ingin merebut bangunan PAUD sebagai pos penjagaan mereka. Banyaknya personil PP serta EDISI 49 24


LAPORAN UTAMA polisi, membuat warga terpaksa menyerahkan bangunan PAUD. “Kalau mereka mau eksekusi itu kan mereka mesti mengundang tiga pilar, yaitu Satpol PP, Koramil, dan Polsek. Tiga pilar itu yang membantu eksekusi. Tapi, mereka tidak melakukan itu.” Menurut Chandra, yang mentidaku dikuasakan untuk tinggal di Buntu II oleh ahliwaris Mangkusasmito Sanjoto, bentrokan tersebut diawali ketika rumah ahli waris dieksekusi padahal tidak menerima kerohiman. “Akan tetapi, warga sini mengerti hukum. Kita tahu kalau perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Warga dan mahasiswa akhirnya melakukan perlawanan.” Sehari sebelum bentrokan tersebut, Chandra mengatakan bahwa akan ada mediasi antara warga dan mahasiswa, dengann pihak PT PTC. Dalam mediasi yang akan dilangsungkan tersebut, warga menuntut untuk portal bagian depan Buntu II dikembalikan depan kepada warga, dikeluarkannya ekskavator dari pemukiman, mengembalikan fungsi bangunan PAUD sebagaimana mestinya, serta meminta pihak PT PTC agar menghormati proses hukum yang sedang berjalan di PN Jakarta Selatan. Akan tetapi, mediasi ini gagal karena koordinator lapangan PT PTC tidak hadir. “Warga siap untuk keluar dari sini, ketika yang menyuruh keluar adalah 25 LPM DIDAKTIKA

orang yang menempatkan mereka, atau ketika putusan pengadilan sudah ketok palu. Kita menjunjung tinggi putusan hukum tersebut yang sifatnya eksekusi.” Saat ini, Chandra mentidaku bahwa jumlah warga yang masih bertahan berkisar 119 Kartu Keluarga (KK). Mereka yang bertahan, Chandra melanjutkan, masih menunggu putusan akhir dari gugatan Sanjoto melawan PT Pertamina. Menolak Digusur Paksa Rudi (nama samaran -red), salah satu warga yang telah tinggal di Buntu II selama tiga puluh tahun, menuturkan bahwa saat sosialisasi pertama kali diadakan pada April 2020, Aditya Karma yang mentidaku sebagai perwakilan PT PTC, mengatakan bahwa perusahaannya tidak akan menggusur pemukiman tersebut. Namun, penggusuran tetap saja dilakukan. Menurut Rudi, Aditya Karma hanyalah seseorang yang diberikan kuasa oleh managernya dengan masa berlaku Surat Kuasa selama sepuluh bulan sejak diterbitkan. Hal inilah yang menurut Rudi menjadi alasan bagi pihak PT PTC untuk mempercepat proses meratakan bangunan di Buntu II. “22 April habis Surat Kuasanya Aditya, makanya dia ngebut,” ujar Rudi. Menurut Rudi, ketika sosialisasi pertama kali diadakan, warga merasa ketakutan sehingga beberapa dari mere-


ka akhirnya menerima kerohiman yang ditawarkan PT PTC. Meski demikian, Rudi menilai penghitungan PT PTC untuk menentukan besaran kerohiman tidaklah jelas. “Kita juga tidak tahu cara mengukurnya. Pokoknya yang buat itu tidak manusiawi lah. Tidak sesuai dengan nilainya,” jelasnya. Selain itu, Rudi juga mengatakan bahwa besaran kerohiman yang akan diterima, tidak tertulis di dalam surat yang harus ditandatangani diatas materai oleh warga. Kejanggalan lainnya yakni uang yang diberikan pun melalui setor tunai dari bank. Dari hal ini, lanjut Rudi, ada kemungkinan terjadinya korupsi dari tangan si penyalur kerohiman di lapangan yang berdampak pada warga. “Bagaimana Pertamina bisa tahu orang ini dapat berapa kalau ini setor tunai? Surat pernyataannya juga tidak disebutkan jumlahnya. Kalau seperti itu kan bisa jadi ada korupsi.” Pungkas Rudi. Rudi pun menyayangkan tindakan PT Pertamina yang sekelas BUMN, namun menggunakan Ormas untuk menggusur warga dan melangkahi prosedur secara hukum. Bahkan, lanjutnya, PT Pertamina melayangkan gugatan kepada warga karena dinilai melakukan penyerobotan lahan, meskipun warga membayar sewa secara rutin. Tak hanya itu, intimidasi dari pihak PT PTC pun imbas pada Rudi. Contohn-

ya ketika dua hari pasca bentrokan 17 Maret lalu terjadi, Rudi mendapat surat panggilan dari Polres Metro Jakarta Selatan. Dirinya dituduh menghasut warga dan mahasiswa terkait bentrokan tersebut. Rudi pun diharuskan memberikan klarifikasi kepada Kepolisian. “Meskipun itu undangan klarifikasi, tapi bahaya juga kalau kita salah ngomong. Nanti akan saya buktikan bahwa saya tidak melakukan hal yang dimaksud,” ujar Rudi. Mafia Tanah Berujung Konflik Terkait konflik yang terjadi di Buntu II, Achmad Suyudi, Manajer Legal PT PTC, menuturkan dalam rilis siaran pers PT PTC pada 18 Februari 2021 bahwa apa yang terjadi di Buntu II merupakan upaya perusahaannya dalam memulihkan aset milik PT Pertamina, sesuai putusan PK yang dikeluarkan oleh MA. Lanjut Achmad Suyudi, pihaknya menganggap warga yang tinggal di Buntu II merupakan penghuni tanpa hak. “Sebagai pemegang hak yang sah secara hukum, Pertamina melalui anak usahanya, PTC, mengupayakan proses pemulihan aset dengan melakukan pengamanan dan penertiban aset dari penghuni tanpa hak di lokasi tanah tersebut,” tulis Achmad Suyudi dalam rilis siaran persnya. Selain itu, rilis tersebut juga EDISI 49 26


LAPORAN UTAMA menyebutkan Sertifikat HGB yang dimiliki Pertamina atas lahan tersebut dengan nomor 630, 631, 632, 633, 634, 635, 636, 637, 638, 639, 640, 641, 642, 643, 644, 645, 646, 647, 648, 649, 650, 651, 652, 653, 707. Pertamina juga memiliki Akta Pelepasan Hak nomor 103 tahun 1973. Sertifikat tersebut diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Selatan dan Badan Pertanahan Nasional Dalam siaran pers tersebut, PT PTC menganggap bahwa upaya tersebut telah berjalan baik dan aman, dengan melakukan sosialisasi secara persuasif, membangun komunikasi melalui tokoh masyarakat, aparat muspika dan Aparat Sipil Negara setempat. Klaim lainnya yakni lebih dari 75% lahan telah dikembalikan kepada Pertamina, dilakukan sesuai prosedur dan tidak ada cara-cara anarkis menggunakan ormas tertentu pada proses pemulihan aset tersebut. Achmad Suyudi juga mengatakan bahwa PK tersebut merupakan upaya hukum terakhir dan tak ada upaya hukum lain setelah itu. Lanjutnya, ia mentidaku pemulihan aset tersebut sudah melalui prosedur hukum yang benar. Sejak Juli 2020, Achmad Suyudi merasa pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada seluruh warga secara humanis, mengedepankan rasa kemanusiaan, dan jauh dari sifat anarkis. Namun, ketika tim Didaktika 27 LPM DIDAKTIKA

menanyakan alasan PT Pertamina mengajukan PK hingga MA mengabulkannya, Achmad Suyudi tak dapat memberikan komentar dengan alasan bahwa hal tersebut adalah materi persidangan. “Untuk pertanyaan bapak di atas, mohon maaf kami belum dapat menanggapinya lebih lanjut karena hal tersebut sudah masuk materi persidangan. Terima kasih,” ungkap Achmad Suyudi. Melalui siaran pers yang dirilis pada 21 Maret 2021, Edi Danggur, kuasa hukum ahli waris Mangkusasmito Sanjoto, menyangkal pernyataan pihak PT PTC yang mengatakan bahwa warga Buntu II merupakan penghuni tanpa hak. Dalam rilis tersebut, penempatan ahli waris dan warga dilakukan sebagai tindak lanjut dari eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan dimenangkan oleh Sanjoto, sesuai Berita Acara Pengosongan dan Penyerahan tahun 1981. Dalam rilis tersebut pun, dikatakan bahwa hingga hari ini, tak ada Penetapan Sita Eksekusi Ketua PN Jakarta Selatan yang memerintahkan para ahli waris dan warga untuk meninggalkan lokasi tanah dan bangunan rumah di lokasi tersebut. “Kami membantah berbagai rilis yang dikeluarkan PT Pertamina dengan tegas. Sebab yang dilakukan PT Pertamina sesungguhnya bukan eksekusi, tetapi tindakan perampasan tanah bangunan


milik ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan warga secara sewenang-wenang dan melawan hukum dengan menggunakan pengawalan polisi, brimob, dan ormas pemuda. Sangat ironis, karena tindakan perampasan tanah itu dilakukan oleh perusahaan plat merah yang jaraknya hanya sejengkal dari istana Jokowi,” tulis Edi Danggur dalam rilis siaran pers tersebut. Edi Danggur menuturkan, ahliwaris Mangkusasmito Sanjoto mempunyai surat-surat yang menguatkan kedudukannya, seperti Surat Putusan tingkat PN No. 255/1973 G tanggal 7 September 1974 yang telah berkekuatan hukum tetap, Putusan tingkat banding No. 16/1975 PT Perdata tanggal 1 September 1975, dan putusan tingkat kasasi yaitu Putusan MA No. 1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977. Selain itu, ahli waris Sanjoto juga memiliki Penetapan Sita Eksekusi dari Ketua PN Jakarta Selatan No. 136/JS/1980/GL tanggal 27 Desember 1980, teguran dari Ketua PN Jakarta Selatan kepada PT Pertamina untuk mengosongkan lahan Buntu II dan rumah-rumah diatasnya melalui Surat No. 028/1981/JS/136/80/GL, serta Berita Acara Pengosongan dan Penyerahan tanggal 26 Februari 1981 dan tanggal 21 Maret 1981 oleh Jurusita PN Jakarta Selatan. Edi Danggur pun menyampaikan, sampai detik ini belum ada putusan PK dari MA yang membatalkan Putusan PN,

PT, dan Putusan MA No. 1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977 tersebut. Selain melakukan perbuatan melawan hukum, lanjut Edi Danggur, PT Pertamina juga mengkriminalisasi para ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan warga. Mereka dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan dengan dugaan telah melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa ijin dari yang berhak (Pasal 167 KUHP) dan menggunakan tanah orang lain tanpa hak (Pasal 185 KUHP) yang sudah sampai dalam tahap penyidikan. “Atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh PT Pertamina, maka para ahliwaris telah mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang terdaftar di bawah Reg. No. 1013/Pdt.G/2020/PN.Jkt. Sel. di PN Jakarta Selatan tanggal 2 Desember 2020.” Bentrok dan Trauma Warga yang Tak Berkesudahan Oni Budiwantoro, salah satu warga yang rumahnya telah diratakan pada 8 Maret lalu, mengatakan dirinya diintimidasi untuk mengosongkan rumah yang ia singgahi oleh pihak Pertamina, Ormas PP, dan polisi. Menurut penuturan Oni, pemilik rumah tersebut sudah takut untuk terus berada di Buntu II. Namun, pemilik rumah berpikir jika rumah tersebut kosong, pihak Pertamina akan mudah EDISI 49 28


LAPORAN UTAMA merobohkannya. Maka, pemilik rumah akhirnya menugaskan Oni untuk menempati rumah tersebut. Kendati demikian, rumah tersebut tetap saja dirobohkan. Ketika hari pertama ia datang, bagian belakang rumah tersebut sedang dihancurkan oleh ekskavator. Penolakan oleh warga sempat membuat eksekusi rumah tersebut terhenti. Namun di hari berikutnya, dirinya dipaksa keluar oleh polisi, Ormas, dan pihak Pertamina. Begitu Ia keluar, rumah tersebut dihancurkan seketika. Barang-barang sudah dikeluarkan sehari sebelumnya. Itupun karena dipaksa mereka. “Mereka maksanya lewat ekskavator yang sudah ditempatkan di depan rumah, diteriakin Ormas juga. Otomatis kan yang punya rumah mau – tidak mau ngeluarin barang,” ujar Oni. Meski rumah yang ia tempati sudah rata dengan tanah, Oni tetap berada di Buntu II dan tinggal bersama warga lain. Alasannya, Oni merasa penggusuran tersebut tidaklah adil. Sebab, penggusuran tersebut terjadi ketika masih dalam proses persidangan dan berstatus sengketa. Selain itu menurut Oni, ganti rugi atas bangunan yang dirobohkan tidaklah sepadan. Bentrok antara warga dan massa solidaritas dengan Ormas PP pada 17 Maret lalu, menurut Oni disebabkan oleh Pertamina. Sebab, pihak Pertamina lah yang mendatangkan Ormas untuk 29 LPM DIDAKTIKA

mengintimidasi warga sejak awal penggusuran. “Walaupun saya orang baru di sini, saya juga merasakan penderitaan orang sini, bagimana rasanya digusur paksa. Saya tinggal disini sendiri, kemudian diusir paksa pakai beko, rasanya sedih, apalagi yang tinggal sekeluarga,” tutur Oni. Bentrokan pada 17 Maret lalu bukanlah kali pertama bagi warga demi melindungi tempat tinggalnya. Sebelumnya pada 24 Februari 2021, terjadi bentrokan dengan Ormas PP hingga beberapa warga dan massa solidaritas mengalami luka-luka. Hal ini diutarakan oleh Didi, kepala keamanan RT.06/02 Buntu II. Menurut pentidakuannya, dirinya, istri, kedua anak, serta keponakannya, menjadi korban luka-luka pada kejadian tersebut. Menurut Didi, kejadian tersebut berimbas pada anak-anak yang selalu dihantui ketakutan akan penggusuran. Contohnya ketika anak-anak sedang melakukan pengajian di mushola, mereka sontak keluar berhamburan dari dalam mushola dengan rasa takut. Semenjak kejadian tersebut pula, warga semakin terintimidasi dengan ke-


Ilustrasi : Muhamad Muhtar

hadiran Brimob yang melakukan keliling di Buntu II setiap malam hari. Babeh, sapaan akrab Didi, menceritakan bahwa Brimob tersebut selalu keliling menggunakan tiga unit sepeda motor dengan rotator, bersenjatakan laras panjang dan dilengkapi pengaman tubuh. Intimidasi masih berlanjut dengan adanya banjir hingga seleher orang dewasa. Padahal sebelumnya, lanjut Babeh, banjir di Buntu II tak pernah hingga seleher. Paling tidak, yang terparah, setinggi pinggang orang dewasa. Hal ini membuat

warga menduga, adanya sabotase dari pihak Pertamina dengan mengecilkan aliran air hujan di Buntu II dengan alat berat. Secara inisiatif, warga dan relawan dari luar bersama-sama membuka posko banjir di Buntu II. “Dengan cara apapun mereka lakukan agar orang-orang disini tidak betah. Padahal, belum pernah banjir separah itu.” tutur Babeh. Selama ada kesempatan, pihak Pertamina akan merobohkan rumah warga. Sebagai contoh, Babeh menceritakan seEDISI 49 30


LAPORAN UTAMA buah rumah yang pernah dieksekusi saat hujan di malam hari. Pemilik rumah yang berusia lanjut tersebut lantas diusir dari rumahnya di tengah hujan. Babeh telah menetap di Buntu II selama 32 tahun. Menurut pentidakuannya, sebelum menjadi pemukiman, Buntu II adalah rawa yang kemudian diuruk bersama agar dapat dibangun rumah-rumah di atasnya. Kini, mayoritas warga di sana bekerja sebagai pemungut dan pengolah barang-barang bekas untuk didaur ulang. Rata-rata penghasilan yang mereka dapatkan berkisar 50 ribu Rupiah per hari. Namun dengan adanya konflik di tanah tersebut, terjadi penurunan hingga 30 ribu Rupiah per harinya, selama delapan bulan berturut-turut. Mereka takut jika harus meninggalkan rumahnya terlalu lama untuk bekerja di luar. “Jelas berdampak ke ekonomi. Mereka buru-buru pulang, takut rumahnya dihancurkan,” ucap Babeh. Akibat bentrokan pada 17 Maret lalu, warga dan massa solidaritas mengalami luka fisik. Salah satunya adalah Warso, seorang warga yang coba mempertahankan rumah yang ia tempati di Buntu II. Malam itu, Warso mempertahankan barisan depan bersama beberapa warga dan solidaritas agar PP tidak masuk ke dalam Buntu II. Namun, tepat di bagian pipi dan bibir kirinya, Warso terkena dorlop, sen31 LPM DIDAKTIKA

Warga seperti sengaja diadu. Padahal, jarak dari Polda ke lokasi hanya lurus saja. Apalagi kalau menggunakan sirine, pasti akan lebih cepat. Tapi ini kok lama banget datangnya?

jata rakitan yang kerap digunakan pada tawuran antar kampung di Jakarta. Senjata tersebut berisikan benda-benda kecil dan tajam, seperti paku dan pecahan kaca. Darah yang membasahi wajahnya justru diketahui lebih dulu oleh temannya. Namun, Warso mentidaku tak gentar dan tetap berada di barisan depan. “Saya mundur bukan karena sakit, tapi karena capek,” tutur Warso. Usai bentrokan, Warso diberikan perawatan sementara oleh mahasiswa. Keesokan harinya, Ia datang ke rumah sakit namun tak juga mendapatkan penanganan setelah berjam-jam menunggu di loket pendaftaran. “Lebih dari lima jam, dari jam 3 sampai 11 siang, tidak kunjung ditangani. Saya mau keluar, tapi dibilang nanti takutnya infeksi. Saya yakin, InsyaAllah, akan sembuh,” jelas Warso. Warso yang bergabung dengan warga untuk menahan PP agar tidak masuk ke Buntu II, bukanlah tanpa alasan. Sebelumnya, kontrakan yang ia tempa-


ti sempat dihancurkan secara manual menggunakan palu godam oleh PP. Penolakan oleh warga membuat PP hanya dapat menghancurkan bagian pagar dan sebagian kanopi rumah tersebut. Padahal, pemilik kontrakan tersebut menolak kerohiman karena dinilai tidak sesuai prosedur. Ketika tim Didaktika mewawancarai Warso, ia mentidaku masih merasa nyeri di bagian bibirnya. Kendati demikian, Warso menyatakan akan tetap bertahan di tanah tersebut. “Kita sih asal mereka mengikuti prosedur. Tapi ini, surat perintah saja mereka tidak nunjukin. Kita menunggu keputusan, mengikuti undang-undang yang ada, dan prosedur yang ada,” tutup Warso. Enam hari pasca bentrokan, tepatnya pada 23 Maret 2021, 31 warga Pancoran Gang Buntu II mendapatkan panggilan yang dilayangkan Polres Metro Jakarta Selatan atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan atas pengaduan PT PTC. Esoknya, atas permintaan warga, dua orang pendamping hukum warga Pancoran, yakni Safaraldy dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Dzuhrian Anandra Putra dari Paralegal Jalanan, mengantarkan surat penolakan warga atas surat panggilan tersebut ke penyidik Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Menurut siaran pers LBH Jakarta

nomor 207/RILIS-LBH/III/2021, keduanya justru ditahan dan diperiksa selama kurang lebih delapan jam oleh penyidik Harda Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Mereka ditetapkan sebagai saksi tindak pidana atas Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP. Keduanya baru dilepaskan pada pukul 00.49 WIB, Kamis, 25 Maret 2021. Dzuhrian, selaku pendamping hukum warga dari Paralegal Jalanan yang sempat ditahan tersebut, tak menyangka jika akan ditahan selama itu. Ia dan Safaraldy dilayangkan beberapa pertanyaan tentang pemberi surat yang dia antar, seputar kasus pancoran, dan lain-lain. Selama proses penulisan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ia mentidaku tak ada perlakuan intimidatif dari pihak kepolisian. Selaku mahasiswa yang aktif di Paralegal Jalanan wilayah Jakarta, Dzuhrian mentidaku mendampingi warga Pancoran Buntu II dengan memperhatikan hak-hak warga yang dilanggar, kesalahan dari cara-cara pemerintah dalam penanganan kasus ini, dan merumuskan cara yang semestinya dilakukan pemerintah. Dalam bentrokan yang terjadi 17 Maret lalu, Dzuhrian menanggapinya dalam konteks HAM, dimana negara, dalam hal ini kepolisian, melakukan pengabaian. Dzuhrian mempertanyakan Prosedur Tetap (Protap) penanganan bentrokan EDISI 49 32


LAPORAN UTAMA yang dimiliki kepolisian. “Warga seperti sengaja diadu. Padahal, jarak dari Polda ke lokasi hanya lurus saja. Apalagi kalau menggunakan sirine, pasti akan lebih cepat. Tapi ini kok lama banget datangnya?” Dzuhrian menambahkan, kejahatan penggusuran ini masuk dalam klasifikasi sebagai gross violations of human right, atau kejahatan HAM berat. Hal ini ia sampaikan dengan merujuk Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya), bahwa pengusiran paksa adalah sebuah pelanggaran berat HAM. Terlebih lagi, Dzu menambahkan, Pertamina yang notabene adalah BUMN justru melakukan pendekatan melalui Ormas. Menurutnya, Ormas sengaja digunakan agar konflik struktural tak terlihat yang nantinya dapat menciptakan gelombang penolakan besar-besaran. Ia menaruh harapan pada pemerintah melalui kasus Pancoran, dimana pemerintah dapat menyelesaikan masalah dengan bijak dalam hal pengadaan tanah. “Dimana tanggung jawab pemerintah untuk memberikan ruang hidup nyaman? Jangankan untuk menyediakan, menjamin saja tidak ada,” pungkas Dzuh. Menurut penuturan Juple (nama samaran –red) selaku orang yang bersolidaritas untuk menuntut hak warga Buntu II, bentrokan itu terjadi karena terprovo33 LPM DIDAKTIKA

kasi oleh Ormas. Setelah warga berhasil merebut bangunan PAUD dari pihak PTC, Ormas PP kemudian berkumpul di depan portal dengan jumlah yang semakin bertambah. Warga pun merasa terancam, karena selama ini mereka lah yang mengusik warga. Ketika ditanya tujuan mereka berkumpul, Juple menuturkan, mereka menjawab ingin berjaga-jaga saja. Meskipun tak jelas menjaga apa, situasi pun semakin panas dan terprovokasi oleh mereka. Menurut penuturan Juple, mereka bahkan menunjukkan pisau yang bertujuan menakut-nakuti warga. Juple menambahkan, sekitar pukul 22.00, ormas tersebut akhirnya keluar dari Gang Buntu II, diikuti timpukan batu oleh mereka. Bentrokan pun tak dapat dihindari. Bentrokan pun usai sekitar pukul 23.00. Padahal, Juple mendengar penuturan dari orang yang berada di luar Gang Buntu II, ada sejumlah polisi disana selama bentrokan berlangsung. Polisi membubarkan bentrokan dengan menembakan gas air mata kearah pemukiman. “Kira-kira, ada tiga sampai lima kali tembakan gas air mata secara beruntun,” tutur Juple. Setidaknya, 28 warga dan massa solidaritas mengalami luka-luka akibat bentrokan tersebut. Juple menambahkan, jumlah tersebut tidak termasuk dengan warga yang mengalami sesak nafas akibat gas air mata. “Ada yang kepalanya robek,


Dimana tanggung jawab pemerintah untuk “ memberikan ruang hidup nyaman? Jangankan untuk menyediakan, menjamin saja tidak ada. pipinya robek, bahu sama selangkangannya patah,” Juple menambahkan. Sebagai bagian dari solidaritas warga Pancoran Buntu II selama dua bulan, Juple melihat kasus ini sebagai masalah hak hidup warga yang dirampas secara paksa. Sebab bagi Juple, perencana kota menilai kampung di tengah kota seperti Gang Buntu II ini mesti digusur karena mengganggu pemandangan kota. Namun, perencana kota tak melihat warga yang memiliki kehidupan di dalamnya. Padahal, lanjut Juple, warga telah mendiami kampung tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Terlebih lagi, sudah sepuluh bulan warga mengalami intimidasi dan teror oleh pihak Pertamina. Menurut Juple, hal tersebut berdampak pada psikologis warga yang selalu dibuat tegang. Hal inilah yang memicu dukungan dan solidaritas untuk membangun semangat warga dengan mengajak main anak-anak, mengajak ngobrol warga, memberikan pengetahuan ke warga kalau tanah ini hak mereka. Selain itu, warga dan massa solidaritas juga mengadakan kegiatan di Buntu II setiap akhir pekan. Kegiatan yang diberi nama Pancoran Ceria ini meliputi

pasar gratis, cukur gratis, lapak baca gratis, lapak dagang warga dan solidaritas, pembacaan puisi, pertunjukan musik hingga teatrikal. Untuk menggalang dukungan yang lebih besar, menurut Juple, media sosial seperti Twitter dan Instagram digunakan sebagai media propaganda. Mereka memiliki akun Instagram @forumpancoranbersatu dan @pancoranbersatu untuk akun Twitter. Juple menyampaikan, dukungan berupa donasi seperti makanan, logistik, dan lain-lain, dapat disalurkan secara langsung ke Buntu II.

Penulis : Hastomo Dwi Putra Editor : Uly Mega S.

EDISI 49 34


Liputan Khusus

35 LPM DIDAKTIKA Ilustrasi : Muhamad Muhtar


Langgam Perjuangan Perempuan Reforma Agraria “Petani adalah tuannya negara dan kuasanya adalah nyata. Perjuangan reforma agraria sejati yang mencangkup kedaulatan atas tanah dan pangan merupakan tanggung jawab bersama. Perempuan dan laki-laki bisa mengambil perannya masing-masing.”

T

anah bukan sebuah alat yang bisa digunakan untuk keuntungan yang sifatnya pribadi. Lebih dari itu, tanah memiliki fungsi sosial dan kultural. Bagi perempuan, tanah merupakan sumber hidup, tempat bercocok tanam, tempat berkumpul atau bersosialisasi, dan pada lokasi tertentu merupakan tempat diterapkannya ritual adat dalam bertani. Berangkat dari hal tersebut, fungsi tanah bagi perempuan umumnya berkaitan dengan perawatan. Pada dekade ini kita kerap kali melihat perempuan petani pemberani yang berperan dalam perjuangan kedaulatan tanahnya. Perjuangan tersebut tentu tidak mudah. Sebagai seorang perempuan petani, terkadang dibebankan dengan tugas-tugas domestik saja. Sebab perempuan petani biasanya bertanggung jawab mengatur terpenuhinya kebutuhan keluarga dari hasil pengelolaan tanahnya.

Namun, hal tersebut kini sudah terbantahkan. Perempuan-perempuan tani kini sudah aktif tak hanya urusan domestik. Di banyak kasus, perempuan tani di pedesaan kini telah aktif dalam serikat ataupun organisasi tingkat lokal di daerah masing-masing. Bahkan mereka banyak berkontribusi dengan berbagai cara demi tujuan hak atas tanah dan kedaulatan petani. Seliawati salah satunya, ia adalah petani perempuan asal Uraso, Sulawesi. Perjuangannya berawal saat lahan garapannya dirampas oleh PT PN (Perkebunan Nusantara). Setelah merampas tanah, pihak PT PN menanam kakao. Namun, setelah beberapa tahun lahan tersebut tak digarap lagi oleh PT PN (red-ditelantarkan). Saat itu Seliawati dan petani lainnya merasa ada kesempatan untuk merebut kembali lahan mereka. Petani mulai melakukan penanaEDISI 47 36


Liputan Khusus man kembali Kakao di lahan tersebut. Tapi, menurut Seliawati tanaman itu kurang produktif. Sedangkan, PT PN sudah mulai menanam sawit. Akhirnya, ia mengajak petani menanam jengkol untuk melawan sawit. Sebab, jika ia menanam komoditas yang sama dengan PT PN itu artinya sama saja dengan mendukung PT PN. Selain itu, menurutnya tanaman jengkol juga sangat menguntungkan bagi masyarakat. “Ini juga sebagai bukti bahwa petani yang memiliki tanah ini,” kelakarnya. Senada dengan Seliawati, petani asal Lumajang, Maryati, mengutarakan pengalamannya dalam memperjuangkan reforma agraria sangat rumit dan sulit. Tapi, itu semua tidak mematahkan semangat juangnya. Ia tetap pada pendiriannya memperjuangkan hak atas tanah yang sudah dikelola dan di duduki masyarakat. Menurutnya sebagai perempuan ada banyak hal yang hadapi di lapangan. Ada sekelompok orang yang masuk di dalam organisasi taninya untuk mengajukan Perhutanan Sosial (PS). Sebagai perempuan desa sulit rasanya untuk bersikap tegas, sebab masih ada anggapan bahwa perempuan hatus kemayu. Tapi, Maryati dengan tegas dan berani, sendirian menolak PS di Lumajang. “Saya menolak sendirian tapi saya mengatas-namakan Serikat 37 LPM DIDAKTIKA

Petani Lumajang demi perjuangan reforma agraria,” ujarnya dengan berani. Belum berhenti sampai di situ saja, Maryati kembali bercerita ada orang yang mau memperjuangkan tanah yang petani garap untuk dikeluarkan sertifikatnya. Orang itu mengatakan bisa langsung mengupayakan lewat staf kepresidenan. “Saya juga tolak, sebab ujung-ujungnya minta uang 2 juta dengan dalih buat ongkos ke Jakarta,” tuturnya. Ketika ia ditanyai alasan mengapa masih ingin terus berjuang atas kedaulatan tanah, Maryati hanya menyampaikan, jika petani berdaulat atas tanahnya, masyarakat akan sejahtera. Perempuan pun baginya harus ikut dalam perjuangan. Sebab perempuan lebih tahu tentang kebutuhan di dalam rumah tangga. Perempuan juga menggarap tanah dan juga mengelola penghasilan suami dari tanah garapan yang di klaim kawasan hutan. “Maka, perempuan harus berada di garda terdepan untuk memperjuangkan hak atas tanahnya,” ujarnya dengan berapi-api. Kunci kesuksesan berjalannya Reforma Agraria sejati selain kuatnya konsolidasi petani, dukungan pemerintah dan masyarakat juga penting. Sebab, pemerintah lah yang dapat menentukan kebijakan. Kepala Desa Lee, Sulawesi Tengah salah satunya. Namanya adalah


Doc. Istimewa

Almida, ia menjadi orang yang sangat mendukung dalam perjuangan reforma agraria. Ia menuturkan pengalamannya saat ikut membela hak tanah rakyat. Menurutnya perjuangan itu sangat penuh rintangan. Sebab yang dilawan adalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni, PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN). Konflik bermula saat PT SPN dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU) secara tiba-tiba merampas sawah dan rumah-rumah milik petani di Desa Lee. Ia merasa iba karena melihat perbuatan para pejabat yang tidak pro terhadap rakyat. Akhirnya, ia yang merupakan seorang perempuan dengan latar belakang bidan merasa harus membela

rakyat yang dirampas tanahnya. Demi membela hak tanah untuk rakyat ia bersama dengan petani menempuh berbagai cara. Dari mulai negosiasi dengan pihak perusahaan yang dimediasi oleh Pemerintahan Provinsi hingga ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Namun semuanya sia-sia.

“Maka, perempuan harus berada di garda terdepan untuk memperjuangkan hak atas tanahnya,” ujarnya dengan berapi-api. Akhirnya, ia dan petani menempuh jalur hukum dengan membawa kasus ini ke pengadilan. “Dengan segala daya dan upaya, kasus ini dimenangkan oleh rakyat. Dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) palu tanggal 24 EDISI 47 38


Liputan Khusus Juni 2018,” ujarnya. Tapi semua itu belum berakhir, perjuangan rakyat masih terus berlanjut, sebab Badan Pertanahan Nasional (BPN) Molewali Utara dan PT SPN naik banding memenangkan peradilan. Lalu, Almida bersama dengan petani pun mencari keadilan di tingkat kasasi. Pada tanggal 6 Oktober 2020 petani menerima putusan Mahkamah Agung bahwa BPN wajib untuk membatalkan SK HGU dan sertifikat HGU PT SPN dengan luas 1895 hektar yang salah satunya terdiri dari desa Lee. Betapa kecewanya petani, meskipun sudah menang di pengadilan. Nyatanya BPN dan PT SPN tidak menjalankan putusan tersebut. Malah mereka membayar segelintir masyarakat untuk bentrok dengan petani. “Semacam dibuat konflik horizontal, kami disuruh untuk perang saudara,“ ucapnya dengan rona kecewa. Di situasi seperti itu, Almida sangat mengharapkan pemerintah yang pro terhadap rakyat, bukan malah yang menindas rakyat. “Saya sangat yakin kami tidak sedang melawan negara, karena kepala desa itu adalah abdi negara dan rakyat itu adalah aset negara. Saya tetap optimis rakyat akan tetap mendapat dukungan,” seru Almida. Ia kembali bercerita mengenai pengalaman juangnya sebagai kepala desa perempuan. Ia pernah didatangi oleh empat orang aparat keamanan. Mereka 39 LPM DIDAKTIKA

“saya akan menurunkan perempuan dan anak-anak untuk menjadi pagar.” berkata akan mengamankan aset negara, karena ia dan para petani sudah melanggar ketetapan HGU. Mereka juga mengancam kalau ia melarang perusahaan untuk menggusur petani maka mereka akan menurunkan 100 orang persnonil untuk menertibkan petani. Lalu Almida hanya menjawab, silahkan turunkan personil, “saya akan menurunkan perempuan dan anak-anak untuk menjadi pagar.” Aparat tersebut lantas mengatakan kepala desa telah melanggar UU perlindungan anak dan perempuan. Lalu Almaida menjawab dengan percaya diri, bahwa tanah ini milik rakyat dan yang susah kalau tidak ada tanah adalah perempuan. Selain itu tanah ini untuk masa depan anak-anak, jadi kalau perusahaan akan ambil lebih baik tembak saja kami. “Supaya tidak ada yang akan susah kalau perempuan dan anak-anak sudah mati semua. Tapi kami akan berjuang sam-

Penulis : Uly Mega Septiani Editor : Faisal Bahri


Doc. Istimewa

Demi Reputasi Asia, UNJ Kejar Proyek Pembangunan Gedung

Visi Universitas Negeri Jakarta menuju reputasi di kawasan Asia menjadikan pihak kampus menyusun Rencana dan Strategi (Renstra) terbaru. Salah satu wujudnya adalah proyek pembangunan empat gedung perkuliahan yang didanai Saudi Fund for Development ada 2018, Universitas Negeri Jakarta Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan (UNJ) secara resmi mengganti visinya Pendidikan Tinggi No. 42/2018. Pasal ini lewat statuta. Visi tersebut adalah “menja- menyebutkan bahwa ada tiga hal yang di universitas yang bereputasi di kawasan perlu dilakukan oleh perguruan tinggi Asia,” yang tertuang dalam Pasal 25 di dalam menyusun Renstra; yaitu membuat Statuta UNJ tahun 2018. Tentunya, untuk Renstra jangka panjang selama 25 tahun, mencapai visi tersebut UNJ perlu meny- Renstra program lima tahun, serta Rensusun rencana dan strategi. tra operasional tahunan. Rencana dan Strategi (Renstra) PerWakil Rektor IV Bidang Perencaguruan Tinggi diatur dalam Pasal 29 (1) naan dan Kerja Sama, Totok Bintoro men-

P

EDISI 49 40


KAMPUSIANA yatakan bahwa setelah pergantian rektor pada 2019, UNJ mulai menyusun Renstra terbaru. “Karena Renstra yang lama sudah tidak berlaku lagi,” tuturnya. Masa berlaku Renstra jangka panjang sebelumnya sudah berakhir pada 2018. Terkait operasional kampus, Totok berkata bahwa Renstra lima tahunan (Renstra Bisnis) penyusunannya didahulukan mengingat status UNJ sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU). “Kalau kampus tidak menyusun Renstra Bisnis, maka BLU tidak akan berjalan,” ucap Totok. Renstra Bisnis ini sudah disusun oleh Senat Universitas sejak tahun 2018. Supaya mencapai universitas yang bereputasi di kawasan Asia, ada target yang harus dicapai oleh UNJ. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur yang tercantum dalam Renstra Bisnis berupa empat gedung perkuliahan baru. Empat gedung tersebut didanai oleh Saudi Fund for Development (SFD). Menurut Totok, tahun ini akan dilakukan penghancuran beberapa gedung perkuliahan Fakultas Bahasa dan Seni serta Fakultas Ekonomi pada April 2020. Namun, proses clear area atau penghancuran gedung perkuliahan di FE dan FBS sempat diundur ke Mei 2020 akibat kegiatan kampus terhenti karena pandemi Covid-19. Gedung-gedung tersebut akan digantikan oleh gedung sepuluh lan41 LPM DIDAKTIKA

tai yang ditargetkan selesai pada 2022. Jafar melanjutkan, zonasi pembangunan juga mencakup beberapa gedung di Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial yang akan dihancurkan dan dibangun pintu gerbang baru yang terintegrasi dengan Jalan Pemuda. “Nantinya dibangun ruang terbuka hijau dan saluran air di bekas gedung-gedung FT dan FIS untuk mengantisipasi banjir,” kata dosen Fakultas Teknik tersebut. Salah satu gedung yang juga dibangun adalah Gedung Pembangunan Karakter. Gedung ini akan menggantikan Masjid Nurul Iman yang berdiri di samping Gedung R.A. Kartini. Jafar menyatakan bahwa gedung ini akan menjadi gedung serbaguna untuk berbagai kegiatan. “Gedung ini [Gedung Pembangunan Karakter -red] nantinya bisa menampung kegiatan-kegiatan mahasiswa, jadi tidak hanya untuk ibadah aja,” ucapnya. Ge-

Ket. Data Anggaran SFD Project (Istimewa)


dung ini nantinya terdiri dari empat lantai dengan mezzanine, yang lantai keempatnya digunakan sebagai masjid. Selain itu, Jafar mengatakan bahwa nantinya ada area komersil di UNJ. Sesuai dengan Renstra bisnis yang dibuat, area komersil akan ditaruh di Gerbang Pemuda. “Dari segi kelayakan bisnis memang ditempatkan di Gerbang Pemuda, karena dekat dengan akses jalan raya. Bisnis jangan dianggap untuk mencari keuntungan aja, ini digunakan kampus untuk menyiapkan status sebagai PTN-BH,” ucapnya. Proyek SFD ini menggunakan pinjaman lunak sebesar Rp420 miliar. Proyek ini merupakan hasil kerja sama antara Indonesia dan Arab Saudi untuk bidang Pendidikan dalam bentuk pinjaman. Dalam pinjaman ini, menurutnya ada faktor-faktor penilaian sebagai syarat. Salah satunya terkait kebutuhan pembangunan gedung. “Kita harus membuktikan bahwa pembangunan gedung itu diperlukan Agenda Pembangunan SFD (Istimewa)

dengan indikator penerimaan mahasiswa baru yang semakin meningkat serta banyak sarana dan prasarana yang rusak,” ucapnya. Jafar menegaskan bahwa dana pembangunan gedung tersebut tidak menggunakan dana dari mahasiswa seperti UKT. “Selain SFD, kampus menyiapkan dana pendamping dari Pemerintah Indonesia sebesar Rp79 miliar. “Kalau dibilang membangun proyek ini dari UKT, tentu tidak,” tegasnya. Menanggapi proyek SFD di UNJ, Darmaningtyas selaku pengamat pendidikan turut berkomentar. Menurutnya, pembangunan di UNJ harus memerhatikan juga alokasi pendanaan untuk operasional gedung jika sudah terbentuk. Ia meminta kampus juga memberikan transparansi kepada mahasiswa soal operasional gedung. Darmaningtyas juga mewanti-wanti bahwa dengan adanya peningkatan fasilitas, sebaiknya kampus tidak menaikkan biaya kuliah bagi mahasiswa. “Karena fasilitas lengkap ini akan lebih banyak daya listrik serta jaringan internet,” katanya. Sementara, Totok Bintoro juga mengungkapkan, kerja sama dengan SFD ini tidak hanya berupa pembangunan infrastruktur, namun juga pembangunan sumber daya manusia di kampus. Totok mengatakan bahwa UNJ menargetkan pada EDISI 49 42


KAMPUSIANA 2045 sejajar dengan kampus-kampus di Asia. Tentunya, untuk mencapai target ini sistem perkuliahan di UNJ perlahan diubah. Nantinya, Totok menyatakan akan ada sistem perkuliahan blended learning yakni menggabungkan perkuliahan tatap muka dan tatap maya (online). “Ini dimaksudkan untuk membiasakan perkuliahan tidaklah harus di kelas.” Dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Irsyad Ridho mengatakan perkuliahan online ini dinilai dapat mengurangi beban kerja dosen. Dengan begitu dosen bisa lebih fokus melakukan penelitian, yang merupakan tugas lain dosen selain melakukan pengajaran. “Ya sebenarnya sistem ini membuat dosen fokus lebih untuk meneliti dan mengabdi kepada masyarakat. Karena dosen dibebankan kerja minimal 12 SKS, jadi waktu untuk meneliti berkurang,” katanya. Untuk perkuliahan, Jafar mengatakan bahwa nantinya ada digitalisasi kelas di UNJ. Akses kelas terintegrasi dengan data di Sistem Informasi Akademik (SIAKAD), sehingga menghindari pemalsuan presensi saat kuliah. “Ini bukan hanya berfungsi untuk menangani presensi mahasiswa aja, tapi untuk menghemat listrik. Karena menyalakan listrik di ruangan tersebut menggunakan kartu,” jelasnya. Mahasiswa turut mengomentari 43 LPM DIDAKTIKA

pembangunan yang tengah dilakukan UNJ tersebut. Guntur Widhiatmoyo, mahasiswa Prodi Manajemen berkata bahwa ia sama sekali belum diberitahu tentang lokasi perkuliahan untuk fakultasnya selama proyek berjalan. Tetapi, ia berharap proyek tersebut menambah jumlah kelas di fakultasnya. “Jadi kalau ada dosen yang minta ganti kelas, gampang dapat ruangannya,” kata Guntur. Sejauh ini, Guntur berujar, selama pembangunan berjalan pembelajaran mata kuliah di prodinya masih menggunakan sistem online. Sedangkan, Fachry Azkary, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah mengungkapkan, kampus terlalu memfokuskan pembangunan infrastruktur dan melupakan permasalahan yang seharusnya menjadi fokus kampus, seperti pembelajaran jarak jauh yang kurang efektif. Sementara itu, Rafif Masyhur, mahasiswa Prodi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer menekankan perlunya fasilitas non-akademik di dalam kampus seperti lapangan sepakbola. Ia yang turut serta dalam klub sepakbola UNJ mengatakan bahwa fasilitas lapangan sepakbola sendiri tidak layak pakai. “Seharusnya UNJ memperbaiki fasilitas lapangan di depan Masjid At-Taqwa. Rumputnya sudah tidak layak dan tidak enak kalau dipakai main sepakbola,” kesalnya. Penulis : Rizky Suryana Editor : Muh. Muhtar


EDISI 49 44 Doc. Istimewa


SASTRA

Tiga Sajak Kecil tentang Cinta -tinta

1. Setelah hari ketujuh

hanya kesepian yang tak bisa dirumuskan waktu sedang surga hanyalah gaung yang lekas senyap segenggam tanah menjadi manusia dan kini Ia belajar bagaimana seharusnya sejarah cinta dituliskan dalam kitab keabadian

3. Terjatuh

Ketika kau percaya akan cinta yakinlah akan riwayat masa lalu tentang hari penciptaan malaikat jatuh seekor ular yang menjelma apel dan pelukan sepasang kekasih yang terusir Ketika kau percaya akan cinta yakinlah bahwa tak selamanya air mata kau akan menemukan darah, hukuman yang tak dipinta dan sedikit tawa Dan hanya karena cintalah hari-hari tak terasa gila cinta dapat merumuskan waktu dan tak perlu menghafal warna alis matamu atau lentik yang berjatuhan itu semuanya, ketika kau percaya tentang cinta akan merasuk dada yang hampa Cinta adalah suaramu yang memecah gaung menjadi lebih sunyi! 45 LPM DIDAKTIKA

2. Eden, Suatu Masa Jangan ajarkan Adam memulai kata dengan menghafal karena selamanya ia hanya akan terus menghafal seperti apa nama sungai madu ini dan berapa sisir pisang emas yang harus ia simpan dalam otaknya atau siapakah nama malaikat yang membersihkan tubuhnya biarkanlah ia memulai kata dengan memahami detak di jantungnya atau nyeri di tubuh kiri sebab tulangnya telah hilang tetapi rongga di dadanya tetap tinggal biarkanlah ia memulai kata dengan mengeluarkan suara dari sangkut tenggorokannya untuk memanggil perempuan itu perempuan yang membuat degup jantungnya gaduh dan nyeri di tubuh kiri semakin terasa sebelum memulai kata ia meraba dadanya dan rongga itu seketika penuh

Jakarta, 2021


SASTRA

JAKARTA Hari-hari kerja masa depan suram cicilan juga keinginan membentuk tali gantung dan motivasi orang-orang sukses semakin berisik

Dua puisi ini ditulis oleh Raihan Robby. Ia merupakan mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Sempat aktif di Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia, kini Raihan sudah menulis satu buku kumpulan puisi yang diberi judul “Sisifus Berhenti Mendorong Batu”.

kesehatan berbentuk kartu pendidikan berbentuk kartu hari tua berbentuk kartu hari-hari tua penyakit gula diabetes, dan darah tinggi saran orang-orang sehat semakin mengusik Hanya tidur yang menjadi penghibur bagi tubuh yang tak pernah libur Jakarta, 2021

EDISI 49 46


SENI BUDAYA

Riwayat Kopi: Dari Petani Hingga ke Meja Kedai

Ilustrasi :

S

iapa yang tidak mengenal kopi? Mungkin jawabannya tidak ada. Sebab, kopi mengisi hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia, baik orang tua maupun anak muda. Pada awalnya, hanya kalangan elit saja yang bisa merasakan sensasi kopi. Dimulai sejak era kolonial, kopi mulai diprioritaskan untuk diekspor ke wilayah Eropa. Sampai ada bentuk pemaksaan penanaman kopi yang dilakukan oleh 47 LPM DIDAKTIKA

Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 M. Ini yang membuat kopi semakin dekat dengan masyarakat Indonesia. Kini, zaman sudah berubah. Kopi masih eksis hingga kini dan dapat dikonsumsi oleh semua lapisan sosial masyarakat. Bahkan, eksistensinya semakin populer. Salah satu faktornya yaitu industrialisasi kopi. Mulai dari kopi sachet yang dikeluarkan pabrik, kopi dari cafe lokal maupun internasional, sampai warung


kopi (warkop) Kalangan mahasiswa, khususnya tentu tidak asing dengan kopi. Meski tidak semua mahasiswa menjadikan kopi sebagai minuman favoritnya, namun istilah kopi kini menjadi sesuatu yang mainstream di kampus-kampus. Apalagi, dengan munculnya fenomena ‘anak indie’ yang kerap dilekatkan dengan stigma senja dan kopi. Semakin memperkuat pengaruh kopi di kalangan muda-mudi Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dari Fikrotul Azizah bertajuk Perilaku Ngopi di Kalangan Mahasiswa sebagai Upaya Manajemen Stres Mahasiswa, diketahui bahwa mahasiswa memilih meminum kopi sebagai : Muhamad Muhtar bagian dari manajemen stres yang mereka lakukan. Mereka menghabiskan malam mereka dengan menikmati kopi ketika merasa ada gejala stres yang datang pada tubuh mereka. Tentunya, para mahasiswa yang menyeruput kopi juga memiliki alasannya masing-masing. Seperti yang dituturkan oleh Zainab, mahasiswi Pendidikan Agama Islam. Menurutnya, kopi adalah pelengkap saat mengerjakan tugas kuliah. “Kopi hitam sachet aja cukup,” ungkapnya saat ditanya kopi yang sering ia konsumsi.

Lain halnya dengan Rivan Shiddiq, mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang memilih kopi sebagai ‘obat’ dari kepenatan riuhnya Jakarta. “Minum kopi tuh, bikin nyaman dan rasanya mau diskusi aja,” tutur Rivan. Sementara itu, Putri Rosa Adani selaku mahasiswi Pendidikan Sejarah menyatakan ketergantungannya terhadap kopi. “Gue suka kopi soalnya bisa redain maag,” ungkapnya. Ia menyatakan sudah dua tahun belakangan ini semakin intens mengkonsumsi kopi. Tidak semua orang yang menyukai kopi membuat mereka mencari tahu asal usul kopi dan bagaimana kopi itu bisa sampai di meja pelanggan untuk dikonsumsi. Zainab menyatakan ketertarikannya terhadap kopi masih dalam tataran biasa saja. Ia tidak tertarik untuk mengulik lebih jauh tentang kopi. Menurutnya, menyukai kopi adalah sebatas meminum kopi untuk menjadi kawan saat mengerjakan tugas kuliah. Lain halnya dengan Rivan. Ia menyatakan ketertarikannya terhadap kopi semakin kuat sejak September 2018. Hal ini membuatnya belajar berbagai jurnal tentang kopi. Ketertarikannya terhadap kopi pun membawanya jadi barista di Starbucks. “Saat masuk kesana, ada pelatihan tentang kopi dan makin tertarik belajar kopi,” ujarnya. Rivan mempelajari lebih jauh tentang kopi dan praktik pengolahannya dengan semangat. “Kopi itu unik. Dari EDISI 49 48


SENI BUDAYA proses penanaman yang harus ada pohon endemiknya, sampai proses penyajiannya lewat berbagai metode,” tutur Rivan. Tak jauh berbeda dengan Rivan, Putri Rosa juga berpendapat bahwa kopi adalah tanaman yang unik. Menurutnya, cita rasa kopi yang berbeda-beda menjadi poin utama kenapa kopi menjadi menarik. “Gue paling suka kopi Gayo. Minum kopi itu serasa minum wine,” ungkapnya. Ia pun menjelaskan tentang proses penyajian kopi yang ia pahami, yaitu kopi giling yang diolah dengan mesin. Namun, ia mengaku belum memahami betul jika ditanya soal proses penanaman kopi sampai bijinya siap dipasarkan ke industri. Berbicara soal industri kopi, Bara Prastama sebagai salah satu pemilik Jung Coffee Rawamangun menekuni hal ini. Ia menuturkan soal awal mula membentuk usaha kedai kopinya. “Sejak 2015 dibentuknya (Jung Coffee -red), awalnya dimulai dari keinginan untuk membuat perpustakaan. Kemudian, karena perpustakaan ini perlu dibiayai, makanya kita bentuk kedai kopi untuk support itu,” ucapnya. Bara melanjutkan bahwa dirinya menyediakan berbagai buku kepada masyarakat yang mengunjungi kedai kopinya. Terutama untuk mahasiswa. Ia kemudian menggandeng rekan komunitas kopi seperti Kopikoe untuk mewujudkan hal tersebut. Menurutnya, sempat ada forum di49 LPM DIDAKTIKA

skusi yang membahas kopi di kedainya. Bara melanjutkan bahwa diskusi soal kopi dilakukan bersama dengan pengunjungnya. “Ada lima volume diskusi yang kita gelar. Bahasnya soal sejarah kopi, kemudian proses kopi dari penanaman sampai pasca panen,” tambahnya. Terkait dengan penanaman kopi, Yono selaku Wakil Ketua Kelompok Tani Hutan Cibulao menuturkan pengalamannya dalam bertani kopi. Yono menanam jenis kopi robusta dan arabica. Kedua jenis kopi ini memiliki kualitas dan masa panen yang berbeda-beda pula. Kopi jenis robusta memiliki masa panen lima sampai enam tahun. Sedangkan jenis Arabica lebih singkat, yaitu empat sampai lima tahun. Mengenai kualitasnya, kopi tersebut diklasifikasikan dalam tingkatan speciality, grid, serta kopi pecah belah. Speciality merupakan kualitas terbaik, dengan harga termahal. Selanjutnya grid yaitu kualitas medium. Terakhir, kopi pecah belah, dengan kualitas terburuk dan harga paling murah. “Kopi jenis ini biasa dipakai untuk pabrik kopi sachet-an,” ujar Yono. Kopi pecah belah biasanya memiliki harga terendah. Sehingga menurut Yono bisa menekan harga produksi pabrik. Selain itu, Yono juga menyatakan bahwa kopi pecah belah ini--saat diproses di pabrik--biasa dicampur dengan jagung, minyak nabati, dan gula. Sebagai salah satu cara menekan harga produksi


“Minum kopi tuh, bikin nyaman dan rasanya mau diskusi aja.” yang sudah ditekan tadi. Senada dengan Yono, Bara menjelaskan dengan rinci soal jenis kopi yang ia sediakan. Menurutnya, industri kopi sudah memasuki gelombang ketiga. Artinya, kedai kopi memajang jenis kopi berdasarkan wilayah penanamannya. Serta, mengandalkan kualitas kopi bertipe speciality sebagai ciri khasnya. Banyak jenis kopi yang disediakan di Jung Coffee, diantaranya dari Toraja, Bajawa, Flores, dan Pangalengan. Bicara soal speciality, Bara berkata bahwa persepsi kualitas ini bisa ditentukan dari berbagai indikator. Salah satunya indikator penyeduhan kopi. “Mulai dari kualitas air, tingkat seduhannya, kualitas biji kopi, lalu ada sistem scoring dalam menilai hal tersebut,” ujarnya. Scoring yang dimaksud adalah kualitas kopi sejak dari proses panen. Biasanya, kata Bara, speciality kopi berada di tingkat 80 sampai 90 persen. Serta, ada lembaga yang mengukur standar tersebut. Yono kemudian menuturkan bahwa pohon kopi bisa dijadikan bibit apabila telah berusia delapan tahun. Tentunya dengan catatan harus mengerti bagian-bagian mana saja yang perlu dipotong dan tidak. Setelah pembibitan,

pohon kopi siap untuk ditanam. Hal yang patut diperhatikan, tambah Yono, adalah pohon endemik. Pohon pendamping yang ditanam sekitar pohon kopi, contohnya adalah rosela. Setelah itu, kopi siap memasuki tahap pengelupasan kulit, dilanjutkan dengan pencucian, dan dijemur. Tahap selanjutnya adalah melakukan proses sangrai kopi. Pada proses sangrai ini sangat dibutuhkan ketelitian. “Jangan sampai kelamaan, bisa gosong,” ujar Yono. Menurutnya, proses sangrai ini juga mempengaruhi cita rasa serta kualitas kopi yang dihidangkan ke masyarakat. Bara juga mengatakan ia bersama rekan pegiat kopi lainnya melakukan kerja sama dengan petani-petani lokal. Dengan cara mengikuti alur pertanian kopi dan membantu distribusi kopi dari daerah-daerah penghasil kopi. “Kita berusaha mengangkat potensi kopi Indonesia lewat para petani,” tutupnya.

Penulis : Annisa Nurul H.S Editor : Rizki Suryana EDISI 49 50


TAMU KITA

Pendidikan, Industri, dan Kurikulum Tersembunyi

*Wawancara Khusus dengan Edi Subkhan Dosen Kurikulum Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Doc. Google

P

ada 2 November 2020 Pemerintah Republik Indonesia (RI) resmi meneken UU nomor 12 tahun tentang Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang tersebut tak hanya membahas mengenai ketenatidakerjaan saja, nyatanya kluster pendidikan juga masuk didalamnya. Pada pasal 65 UU nomor 12 tersebut, pendidikan dikatakan sebagai badan usaha. Yang mana badan usaha artinya pendidikan tujuannya untuk profit (laba). Selain itu, arah pendidikan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI), sangat berorientasi kepada ekonomi. Seakan-akan menguatkan, tujuan pendidikan ialah untuk mencari lapangan kerja (menjadi buruh). Celakanya, di lapangan justru orang-orang yang mengenyam pendidikan malah sulit untuk mendapat51 LPM DIDAKTIKA

“Pendidikan harus untuk semua orang, bukan hanya untuk segelintir orang saja. Jika yang mendapat pendidikan hanya kelas atas, bangsa tidak akan tumbuh kuat. Pendidikan harus dimulai dari bawah, penyebarannya di kalangan itu adalah yang paling diperlukan, supaya menjadi lebih tertib dan kuat” -Ki Hajar Dewantara

kan lapangan kerja. Sebagian dari mereka yang mendapatkan pekerjaan juga berakhir dengan gaji yang murah dan tentu tidak sejahtera. Laporan dari BPS pada Februari 2020 penyumbang pengangguran terbesar ialah mereka yang mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yakni sebesar 8,49 persen. Padahal sebelumnya, pemerintah pada 2014 meberikan kebijakan link and match antara SMK dan industri. Namun, hal tersebut nyatanya tidak berdampak besar. Kebijakan link and match dengan industri tersebut tahun 2019 malah ingin diterapkan di perguruan tinggi, melalui kebijakan kampus merdeka. Hal tersebut rupanya juga dikeluhkan oleh pegiat sekaligus aktivis pendidikan, Edi Subkhan. Tim Didaktika mewawancarai dosen Universitas Negeri


Semarang tersebut melalui telepon seluler. Adapun bincang-bincang kami soal pendidikan dimulai dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan. Pada 2020 pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan baru untuk pendidikan, diantaranya kampus merdeka, Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI), dan masuknya klaster pendidikan dalam UU No.12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut bapak, apakah kebijakan tersebut berpotensi memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, atau justru sebaliknya? Bagi warga negara yang berasal dari kelas menengah ke bawah klaster pendidikan tersebut berpotensi membuat mereka tidak dapat mentidakses pendidikan. Sebab, dalam pasal 65 dalam UU No. 12 tersebut, pendirian sekolah dan sejenisnya boleh dikelola untuk mencari laba/ profit. Artinya, pendidikan hanya dijadikan alat untuk mencari laba. Dampaknya pendidikan biaya pendidikan menjadi mahal. Soal kerja sama pembiayaan dengan industri yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang sedang digenjot pemerintah. Adakah dampak negatif terhadap kurikulum atas kebijakan tersebut?

Dasarnya adalah link-and-match, imbasnya kurikulum berpotensi diarahkan sepenuhnya pada pemenuhan kebutuhan pasar. Artinya sekolah dan universitas mendidik siswa menjadi pekerja terampil siap pakai. Orientasi ini potensial menggeser peran dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan sebagai pendorong perubahan sosial, memanusiakan manusia, dan produsen budaya. Di UNJ sediri, kampus sudah mulai melakukan kerjasama dengan swasta, dari mulai pembangunan gedung, hingga distribusi kuota. Hal tersebut dianggap benar karena pembiayaan gedung memerlukan banyak biaya sehingga butuh bantuan dari swasta. Bagaimana menurut bapak? Bentuk kerjasama seperti itu sudah lama dilakukan sebetulnya, misal di Universitas Indonesia (UI) ada gedung dengan nama perusahaan yang memberi Corporate Social Responsibility (CSR) dan sejenisnya. Kalau sekadar membangun gedung maka imbas negatifnya tidak terlalu banyak, paling jauh adalah kampanye atau promosi perusahaan tersebut saja. Sering juga, dibayar dengan kerjasama riset antara dosen dan perusahaan tersebut. Yang problematik adalah ketika kampus negeri menjadi berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP). Hal tersebut menjadikan pengelolaan pendidikan tiEDISI 49 52


TAMU KITA dak ada bedanya dengan kampus swasta, karena pembiayaan dari negara dikurangi. Apa konsekuensi dari hal tersebut? Konsekuensinya kampus boleh cari dana sendiri, minimal harus punya dana saving 100 miliar di luar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Lalu, yang jadi korban adalah dosen kampus negeri. Ia punya beban tambahan, yaitu cari dana operasional kampus, pengetatan anggaran, dan sebagainya. Iming-imingnya adalah otonomi kampus yang sebenarnya bisa disalahgunakan menjadi cenderung otoriter atau korup jika dikelola oleh oknum yang tidak amanah. Soal lepas tangan negara dan masuknya swasta dalam hal pembiayaan Perguruan Tinggi. Apakah ada hidden curriculum yang disusupi oleh industri? Soal itu hidden curriculum yang banyak berlaku ya, soal cara pandang mengenai peran sosial mahasiswa, juga cara pandang mengenai mekanisme pasar bebas ekonomi neoliberal, atau cara pandang instrumentalisme. Misal, mahasiswa berpandangan bahwa kuliah tujuan utamanya mencari bekal untuk dapat bekerja, fokusnya di situ. Sehingga tidak perlu ikut-ikutan menjadi bagian dari gerakan sosial yang kritis terhadap kebijakan pe53 LPM DIDAKTIKA

merintah dan lain sebagainya. Cara pandang ini diinduksi sejak sekolah hingga di kampus oleh guru-guru. Sekolah juga menjadi tak punya daya kritis terhadap sistem ekonomi dan politik. Soal cara pandang mahasiswa yang berkiblat pada pasar bebas. Hal itu, akhirnya menyebabkan tak ada kolektivitas dalam menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan. Adanya hanya perasaan senasib sepenanggungan yang semu dan powerless. Imbas yang paling terlihat ya depolitisasi mahasiswa. Ia menjadi subjek yang acuh tak acuh dengan politik. Kalaupun terlibat sering tak didasari telaah yang akurat dan hanya ikut arus utama saja. Pembentukan cara pandangnya ada yang dalam bentuk mata kuliah langsung atau mata pelajaran (kalau konteksnya sekolah) pak? Sebab, cara pandang dibentuk langsung dan tidak langsung lewat doktrin guru maupun dosen atau pun melalui perilaku, kebiasaan, atau habitus barang kali pak? Kalau pelajaran ya pelajaran ekonomi di sekolah-sekolah itu, konsultasi karir di bimbingan karir dan konseling juga pengaruh. Kalau di kampus ya mata kuliah terkait keprofesian. Misalnya di Lembaga Penghasil Tenaga Keguruan (LPTK) mata kuliah terkait profesi keguruan atau pada masa awal-awal masuk


ahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar bebas dan sekaligus pengurangan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan publik.

Doc. Google biasanya ada program pengenalan akademik dan kemahasiswaan (ospek) di situ pengisinya sering memberi materi mengenai peran mahasiswa yang tumpang tindih. Biasanya ada satu pembicara yang progresif dan lainnya yang konservatif. Selebihnya peran dosen wali ketika perwalian, di organisasi mahasiswa juga demikian, dosen pendamping sering men-depolitisasi mahasiswa, ya tentu ada yang tidak ya. Selain menciptkan pendidikan yang mahal, liberalisasi pendidikan juga membuat pelajar dan mahasiswa terdepolitisasi. Bagaimana caranya untuk memutus rantai kebijakan pro liberalisasi pendidikan tersebut? Tentu ada, belajar dari dibatalkannya UU No. 9/2009 tentang BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Walau tentu tidak mudah, karena tidak semua orang sadar potensi negatif dari pengelolaan lembaga pendidikan yang diser-

Bagaimana pendidikan yang seharusnya di Indonesia? Apakah teknologi dan industri jawabannya? Pendidikan harus punya visi yang jelas. Pendidikan tinggi juga demikian, bukan sekadar menghasilkan lulusan sebagai pekerja, melainkan berkontribusi membangun bangsa, mengembangkan ilmu pengetahuan, mengawal demokratisasi serta perjuangan menuntut keadilan sosial.

“Pendidikan harus punya visi yang jelas. Pendidikan tinggi juga demikian, bukan sekadar menghasilkan lulusan sebagai pekerja, melainkan berkontribusi membangun bangsa, mengembangkan ilmu pengetahuan, mengawal demokratisasi serta perjuangan menuntut keadilan sosial.”

Penulis : Uly Mega Septiani Editor : Ahmad Qori EDISI 49 54


KARYA KMPA Eka Citra UNJ Mengarungi Sungai Vietnam

55 LPM DIDAKTIKA Doc. KMPA Eka Citra


KARYA

M

enaklukan gunung dan memanjat tebing sudah menjadi hal biasa bagi para atlet Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Eka Citra Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Seperti pada Ekspedisi Gamadhi Abiwana di Gunung Talamau. Kali ini, KMPA Eka Citra melaksanakan Ekspedisi Indonesia Merah Putih (EIMP) mengarungi Sungai Mae Taeng yang terletak di Chiang Mai, Thailand. Ekspedisi ini dilaksanakan pada 6 sampai 13 November 2019. Sungai Mae Taeng merupakan salah satu destinasi wisata di Utara Thailand. Sungai ini adalah anak sungai dari Sungai Ping. Sungai Mae Taeng berjarak sekitar 30 kilometer dari perbatasan Myanmar dan 60 kilometer dari Provinsi Chiang Mai. Sungai Mae Taeng dipilih sebagai tempat EIMP karena dianggap memiliki kesamaan secara geografis dan prosedur dengan sungai-sungai di Indonesia. Farizki Setyo, ketua pelaksana EIMP, mengatakan Sungai Mae Taeng memiliki kesamaan dengan Sungai Cisadane. Baik dari segi jeram, fasilitas, model trip, dan prosedur keselamatannya. Akan tetapi, menurut Setyo, Sungai Mae Taeng memiliki tingkatan kesulitan pengarungan lebih tinggi daripada Sungai Cisadane yang biasa menjadi tempat latihan atlet. “Kesulitan Sungai Mae Taeng

sekitar tiga sampai empat tingkat. Ia juga terkenal dengan karakteristik keganasan arus dan pola sungai yang berkelokkelok,” ujar Tyo, nama akrabnya. KMPA Eka Citra mengirimkan sembilan atlet untuk melakukan ekspedisi di Sungai Mae Taeng. Nantinya mereka akan melaksanakan tiga misi EIMP, yaitu pengarungan, pemetaan jeram, dan observasi pengelolaan wisata arum jeram. Untuk pengarungan di Sungai Mae Taeng dilakukan sejauh 25,1 kilometer selama dua hari satu malam. Dalam pengarungan atlet KMPA Eka Citra terbagi menjadi dua tim perahu. Pada hari pertama tim melakukan pengarungan sejauh 15,1 kilometer. Kemudian pada hari kedua, pengarungan dilakukan sejauh 10 kilometer. Selama pengarungan, para atlet juga melakukan pemetaan terhadap enam jeram di Sungai Mae Taeng. Dalam pelaksanaanya para atlet hanya berhasil melakukan pemetaan terhadap empat jeram saja. Dua jeram lainnya tidak berhasil diarungi. Sebab menurut Setyo, saat melakukan pengarungan debit air sungai sedang tinggi. Pemetaan jeram yang berhasil dilakukan menjadi referensi jika ada yang ingin melakukan pengarungan di Sungai Mae Taeng. Hasil pemetaan nantinya diolah menjadi bentuk peta arum jeram pada EDISI 49 56


KARYA umumnya. Seperti pada hasil salah satu peta yang menggambarkan jeram Dragon, salah satu dari enam jeram di sungai Mae Taeng. Jeram Dragon memiliki arus yang yang kuat dan memiliki standing wave dan arus yang kuat (gambar 1). Dalam arum jeram, istilah standing wave adalah gelombang yang terbentuk akibat adanya perbedaan kecepatan arus ketika melewati dasar sungai dengan kemiringan yang berbeda.

Setelah melakukan pengarungan dan pemetaan, KMPA Eka Citra juga melakukan observasi pengelolaan wisata arum jeram di Sungai Mae Taeng. Seperti mengobservasi pengelolaan manajemen objek wisata, susunan organisasi, dan sarana dan prasarana yang dimiliki untuk menunjang kegiatan arum jeram di Sungai Mae Taeng. Hasil dari observasi pengelolaan nantinya akan diolah dan diserahkan ke kementerian terkait. “Misalnya

GAMBAR 1

57 LPM DIDAKTIKA


KARYA

Doc. KMPA Eka Citra

ke Kementerian Pariwisata atau dikasih ke provider-provider arum jeram di Indonesia,” jelas Tyo. Tentunya bisa menambah pelayanan pariwisata arum jeram di Indonesia. KMPA Eka Citra tidak mengkomersialisasi hasil observasi dan pemetaan di Sungai Mae Taeng. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontribusi pemuda Indonesia untuk sektor pariwisata di Indonesia dan Thailand. Awalnya KMPA Eka Citra ingin semua divisi penjelajahan seperti hutan gunung, susur gua, panjat tebing, dan arum jeram melakukan ekpedisi. Namun karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh KMPA Eka Citra, maka rencana ini tidak terlaksana, “Akhirnya, kami lebih memfokuskan ekspedisi untuk divisi

arum jeram saja. Walaupun hanya satu divisi, tapi bisa ekspedisi go international,” ujar Tyo. Disiplin dan tekunnya latihan untuk espedisi memang tak sia-sia. Sejak April 2019, para atlet harus melewati serangkai proses yang panjang dan memakan waktu berbulan-bulan. Dari proses seleksi at-

let, pengambilan tes fisik awal, pelatihan materi dan latihan arum jeram di Sungai Cisadane, hingga tes fisik akhir yang menentukan kelayakan atlet dalam melaksanakan ekspedisi. Dalam rangkaian itu para atlet harus dikarantina selama satu bulan. Karantina ini dilaksanakan di kontrakan sekitar Utan Kayu, lokasi yang tidak jauh dari UNJ. Sehingga setelah berkuliah, mereka kembali lagi ke kontrakan untuk mendapatkan pelatihan materi agar lebih intensif, “Ga bisa pulang selama masa karantina,” kata Dhimas Qodhlizaka, atlet dan bagian teknis eskpedisi. Penulis : Imtitsal Nabibah Editor : Hastomo EDISI 49 58


OPINI

Ilustrasi : Muhamad Muhtar

Universitas Amoral

N

Oleh : Dr. Saifur Rohman*

urdin Halid memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), 11 Februari 2021. Seorang guru besar yang mengkritik pemberian gelar di lingkungan universitas itu dikeluarkan dari grup dalam sebuah media sosial, 15 Februari 2021. Ketika dikonfirmasi, Rektor Unnes mentidaku “tidak sengaja karena salah pencet” sehingga keluar dari grup. Di universitas berbeda, tahun lalu sebuah gelar Doktor Kehormatan diberikan kepada seorang menteri sementara itu pada saat yang sama sang rektor se59 LPM DIDAKTIKA

dang mencalonkan diri sebagai bupati. Kasus-kasus pemberian Gelar Doktor Kehormatan itu selama ini nyatanya memberikan persoalan serius dalam dunia akademik kita. Perlu dijawab apakah gelar akademik itu masih penting? Bagaimana metamorfosis sosiologi universitas di tengah-tengah masyarakat? Gelar dan Intelektualitas Gelar akademik dapat diperoleh melalui tata cara perkuliahan atau melalui kehormatan. Masing-masing telah ditetapkan berdasarkan mekanisme


yang telah disepakati universitas dan diundangkan dalam peraturan pemerintah. Secara umum, gelar akademik yang tertera di dalam ijazah menunjukkan sebuah capaian dari aktivitas ilmiah. Seseorang yang memiliki ijazah itu dianggap telah melewati sejumlah seleksi yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Karena itu, jika gelar itu diperoleh melalui tata cara perkuliahan, maka perlu proses yang diawali dari ujian saringan masuk perguruan tinggi, penilaian dalam perkuliahan, hingga tahapan ujian yang dipersyaratkan. Jika gelar itu diberikan karena sebuah kehormatan, maka mekanismenya diserahkan pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Peraturan Menristekdikti No 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan memberikan wewenang kepada universitas untuk menghadiahkan gelar doktor kepada siapa saja yang dinilai memiliki jasa luar biasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap universitas memiliki mekanisme pemberian gelar kehormatan, baik itu tertuang di dalam peraturan rektor maupun di dalam statuta. Bila diperjelas, penjaga gawang institusi pendidikan tinggi sebetulnya bukan senat, tetapi pejabat. Kekuatan senat universitas tak lebih sebagai penghias untuk pembenaran keputusan pimpinan. Bila peraturan itu direfleksikan pada kasus pemberian gelar kehormatan oleh Unnes Semarang, secara legal-for-

mal tidak ada mekanisme hukum yang dilanggar. Mengacu pada Peraturan Menristekdikti No 65 Tahun 2016 dan Peraturan Rektor Univeritas Negeri Semarang No 21 Tahun 2018 dinyatakan bahwa Doktor Kehormatan adalah gelar yang diberikan oleh universitas kepada seseorang yang dianggap memiliki jasa yang luar biasa dalam pengembangan disiplin ilmu, teknologi, dan kebudayaan. Kendati demikian, jika menilik lebih jauh figur yang memperoleh gelar Doktor Kehormatan dalam kasus di atas, sejumlah perdebatan pun muncul. Dalam jejak-jejak digital, sosok tersebut pernah terlibat dalam kasus pelanggaran impor beras tahun 2005 sehingga dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan. Pada tahun 2007 dia dijatuhi vonis dua tahun penjara atas keterlibatan kasus korupsi minyak goreng. Kasus pidana yang pernah menjerat figur penerima itu jelas membawa pada pertanyaan tentang integritas pribadi, ilmiah, dan sosial. Atas persoalan itu, pihak universitas menyatakan bahwa persoalan pribadi bukanlah bagian dari analisis akademik. Matinya Universitas Argumentasi tersebut memiliki kelemahan bila direfleksikan dalam peran universitas pada masa datang. Bertitik tolak bahwa perdebatan di tengah publik itu memberikan makna penting, sekurang-kurangnya ada tiga peran uniEDISI 49 60


OPINI versitas dalam pengembangan nilai-nilai kemasyarakatan. Pertama, universitas perlu lepas dari menara gading. Polemik yang muncul menunjukkan bahwa persoalan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai moral. Kita tahu dari Jurgen Habermas dalam buku Ilmu dan Teknolgoi sebagai Ideologi pada abad lalu yang menyatakan bahwa ilmu tidak bisa dipisahkan dari ideologi, nilai, dan moral. Pada masa kini, pernyataan itu nyatanya masih relevan. Universitas sebagai pencetak ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari peran dan fungsinya dalam mengembangkan ideologi kebangsaan. Kedua, universitas bukan tempat menemukan stempel gelar. Selama ini universitas hanya sebagai tempat meminta legalisir untuk produk yang disebut dengan gelar. Gelar itu memberikan pentidakuan tentang “intelektualitas” seseorang. Gelar akademik adalah pembenaran untuk intelektualitas karena kebenaran intelektualitas tidak sekadar mensyaratkan gelar akademik. Sudah menjadi rahasia umum, dalam perkuliahan, terdapat program perkuliahan singkat, reguler, atau kuliah rapelan. Universitas yang memiliki legalitas mengeluarkan ijazah tapi minim minat masyarakat akan dengan mudah mengobral ijazah. Padahal sebetulnya ijazah hanyalah oleh-oleh dari sebuah berpergian. Kenang-kenangan. Ketika Anda berhasil mendaki tang61 LPM DIDAKTIKA

ga di Tembok China, maka Anda akan mendapatkan sertifikat pendakian dari tembaga dan bisa dipajang di ruang tamu. Ketiga, sudah saatnya universitas bukan semata-mata berargumentasi “ilmiah” kepada masyarakat, tetapi menjadi benteng moral yang merefleksikan nilainilai utama. Pada masa lalu, Jean-Francois Lyotard dalam The Postmodern Condition mendambakan universitas sebagai inkubator ilmu pengetahuan. Dia mengkritik peran universitas yang selama ini menjadi tempat menyiapkan tenaga kerja bagi perusahaan melalui program link and match. Ketika universitas hanya difungsikan sebagai inkubator ilmu pengetahuan, maka universitas tersebut mengabaikan nilai-nilai yang (di)hidup(kan) di tengah-tengah masyarakat. Pendeknya, universitas tanpa dimensi moral (amoral). Tiga argumentasi tersebut dapat diperjelas, universitas haruslah berhenti melakukan eksperimentasi ilmiah yang cenderung kontraproduktif dalam pengembangan nilai-nilai di tengah masyarakat. Pada masa kini, kita membutuhkan universitas yang berpihak pada nilai utama atau kebutuhan-kebutuhan mendesak bangsa ini.

*Penulis merupakan pengajar program doktor di Universitas Negeri Jakarta


Pendidikan Era 4.0: Kolonialisme Tak Kasat Mata

EDISI 49 62 Ilustrasi : Muhamad Muhtar


OPINI

“…Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…”.

A

pakah kalian familiar dengan teks tersebut? Ya, itu merupakan penggalan preambule UUD 1945 yang tiap hari senin selalu dibacakan oleh protokoler saat upacara bendera. Tapi penulis kali ini akan lebih menekankan kepada frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa”, seperti apa sebenarnya tugas negara dan apakah kita sebagai warga negara sudah merasa hak kita tersebut terpenuhi?? Pendidikan menjadi sebuah hal yang penting bagi kemajuan suatu Bangsa. Dengan memberikan layanan pendidikan yang prima kepada para rakyatnya, harapannya adalah tingkat kualitas Sumber Daya Manusia semakin meningkat baik itu di sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Kemajuan di sektor-sektor formal dan informal seperti ini akan mendongkrak status quo dari masyarakat di negara tersebut menjadi lebih makmur dan bisa bersaing dengan negara lain di kancah internasional. Pendidikan dianggap sebagai jalan berkilau yang mampu mengantarkan manusia kepada kesuksesan. Di Indonesia sendiri, kesuksesan seseorang kerap di 63 LPM DIDAKTIKA

definisikan dalam bentuk materi. Baik itu nilai yang diperoleh maupun gaji yang didapat saat bekerja. Hal-hal seperti ini yang membuat publik mempersepit makna dan esensi dari pendidikan. Hingga paradigma yang terbentuk adalah “kalau mau sukses harus sekolah setinggi-tingginya”. Memang tidak salah, namun paradigma tersebut berkembang sedemikian rupa hingga menjadi sebuah doktrin. Semakin majunya teknologi, berarti perlu adanya reorientasi pendidikan yang lebih mutakhir. Pendidikan tidak hanya berkutat kepada ilmu-ilmu pasti tapi harusnya mulai mengajarkan siswa-siswanya menganalisa gejolak perubahan zaman guna melahirkan pemikiran modern di era modern. Melalui romanstisme yang dibangun di dalam ruang kelas antara guru dan siswanya, harusnya bisa mendiskusikan dan meningkatkan daya nalar dan kritis mereka dalam melihat perkembangan zaman. Bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan yang kemudian defisit wawasan. Indonesia sedari dulu selalu terjebak ke dalam kubangan sempit yang mana


terjadi karena perkembangan budaya yang panjang, mulai dari zaman kerajaan, lalu penjajahan, dan sampai pada revolusi industri yang kian pesat sekarang. Tenaga pengajar kerap kurang memahami metode pengajaran yang efektif. Alih-alih bisa bersaing di pasar global, guru-guru terkadang bahkan mendefinisikan dunia hanyalah sebesar ukuran ruang kelas. Yang lebih parah, siswa-siswi terkadang tak lebih dari sekedar gelas kosong yang ketika guru berbicara di depan kelas, mereka harus diam seribu bahasa menerima perkataan gurunya tersebut mentah-mentah tanpa adanya proses dialektika yang dibangun. Michael Foucault seorang Filsuf Perancis pernah mengemukakan konsepnya tentang governmentality, kombinasi dari hubungan government dan rationality. Dalam penjelasannya yang lebih canggih, kekuasaan bekerja melampaui cara-cara hegemonik. Governmentality ini juga disebut sebagai conduct of conduct, artinya negara mengatur tindakan atau perilaku masyarakat dengan caraa menginternalisasikan penundukan itu agar ia menjadi populasi yang patuh. Melalui pendidikan, pemerintah berupaya menundukkan masyarakat kepada orientasi yang dibangun oleh pemerintah saat ini demi kepentingan elite. (Umar Kamahi, 2017) Kementerian Pendidikan dan Ke-

budayaan (Kemendikbud) pun baru-baru ini mendeklarasikan bahwa pendidikan haruslah berorientasi kepada dunia kerja. Dilansir dari mediaindonesia.com, Mendikbud, Nadiem Makarim bahkan akan menutup program studi di perguruan tinggi yang serapan tenaga kerjanya kecil. Jelas hal ini adalah sebuah degradasi dimana setelah 70 tahun merdeka, pendidikan Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan saat pertama kali memproklamaskan kemerdekaannya. Bahkan cenderung menurun dari spirit untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan bergeser demi semata-mata memenuhi permintaan industri semata. Dari Athena sampai Cirebon Jauh sebelum penjajah datang ke Nusantara, di Indonesia sendiri belum terdapat pendidikan secara formal. Tidak ada kurikulum, tidak ada standarisasi kepandaian manusia lewat nilai-nilai yang diakumulatifkan. Nenek moyang kita juga tidak mengenal ijazah, tapi satu hal yang paling penting adalah mereka tetap belajar. Belajar tentang segala soal, bertani, berladang. Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah. Sedini mungkin kita harus pahami metafisika dari sekolah. Ketika mendengar kata ‘sekolah’ sudah barang tentu yang terbayangkan adalah suatu tempat dimana manusia menghabiskan waktunEDISI 49 64


OPINI ya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Padahal secara harafiah, kata skhole, scola, atau schola (Latin) berarti ‘waktu luang’. Dimana ketika zaman Yunani Kuno tepatnya di Athena, orang-orang sering menghabiskan waktu luangnya untuk mendatangi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mengetahui hal-ihwal yang mereka perlukan dan butuh untuk diketahui. Masih segar ingatan penulis yang sering jadi petuah orang tua, “Jangan sampai putus sekolah, kalau putus sekolah hidup menjadi susah”. Mengapa sekolah diyakini sebagai satu-satunya sarana pendidikan? Mengapa sekolah dianggap sebagai jalan hidup manusia modern untuk mencapai kesuksesan? Mengapa mereka yang tidak sekolah dianggap bodoh? Ivan Illich yang disebut sebagai seorang humanis radikal pernah menuturkan bahwa sekolah telah bergeser nilainilai mulianya tatkala dijadikan sebagai ruang komoditi. Ia menyoroti legitimasi dari sekolah-sekolah yang menjanjikan kesuksesan untuk para peserta didiknya. Illich menggedor kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat. Ivan Illich coba membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah paling tidak bisa membuat mas65 LPM DIDAKTIKA

yarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah. Dalam karyanya Deschooling Society (Masyarakat tanpa Sekolah), ia meyakini tujuan sekolah secara ontologis telah jauh dari harapan. Ia dengan keras mengkritik para ahli dan profesor, mereka lebih banyak menyumbang kerusakan akan ekosistem peradaban daripada memberikan manfaat. Sebagai contoh, mereka menganalisa situasi politik sekaligus mengambil keuntungan dari situasi tersebut, lalu mereka menentukan mana yang valid dan tidak. Di Indonesiapun kita telah diajarkan ketika duduk di Sekolah Dasar bahwa Bapak Pendidikan Nasional kita adalah Ki Hajar Dewantara. Dari segi historical approach, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Daendels 1 abad sebelumnya telah mendirikan Sekolah Ronggeng di Cirebon. Pada dasarnya Sekolah Ronggeng adalah sekolah pertama di Nusantara yang memadukan sistem pendidikan Barat dan sistem pendidikan Timur dimana siswa dididik baca-tulis huruf alphabet. Daendels juga mendirikan Sekolah Bidan pada tahun 1911 di Batavia, bisa dikatakan ini langkah awal sekolah kedokteran sebelum memasuki masa-masa mendatang yang lebih akademis. Daendels memberikan akses layanan pendidikan kepada rakyat Indonesia yang tak


dapat membaca aksara “Sekolah telah bergeser nilaijuga tidak dapat mennilai mulianya tatkala dijadikan genali lingkungannya. sebagai ruang komoditi” Melihat sepak terjang Daendels dan sumbangsihnya ter- wan borjuasi.” hadap pangkal pendidikan di Indonesia, apakah Daendels berupaya untuk menc- Menjawab Tantangan Pendidikan erdaskan Indonesia sebagai bangsa jajahBerbicara mengenai pendidikan annya? Oh tentu saja tidak. Jelas Daendels dan sekolah, saya langsung teringat permemiliki tujuannya sendiri, yaitu untuk kataan dari John Dewey, “Sebagaimana membantu proses jual-beli barang jaja- dalam agama, demikian juga dalam penhan guna melanggengkan kekuasannya. didikan: Mendapatkan seluruh pengetaDi sini, pendidikan disetir untuk menuju huan tapi kehilangan jati dirinya adalah kepentingan para elite, utamanya menjadi sesuatu yang memalukan.” Disini bisa tarprogram pendorong keberhasilan negara, ik kesimpulan dari perkataannya bahwa negara dalam persoalan Daendels, yai- akhir yang inklusif daripada pendidikan tu: kejayaan, kolonialisme dan monopoli lebih dari sekedar pengetahuan. perdagangan Hindia-Belanda. Lalu bagaimana kita harus bersikap Karl Marx, tokoh besar bagi penga- setelah pemaparan dibalik sistem pennut marxisme dalam Communist Mani- didikan diatas? Revolusi pendidikan!. festo, kelas penguasa dan pemilik kapi- Satu-satunya langkah mendasar dari pertal mengontrol kelas pekerja tidak hanya lawanan yang ada adalah melawan kemelalui kekuatan langsung yang konfron- bodohan. Pendidikan menjadi langkah tatif, tetapi juga melalui pembentukan intelektual untuk bisa mencetak generide-ide. “Di dalam segala perjuangan ini asi-generasi yang kritis tidak hanya tunborjuasi merasa terpaksa berseru kepa- duk kepada keinginan dan kehendak pasda proletariat, meminta bantuannya, dan ar, namun secara kontekstual memahami dengan begitu menarik proletariat ke da- esensi dirinya menjadi seorang manusia. lam gelanggang politik. Oleh karena itu, Pauolo Freire, seorang teoritikus borjuasi itu sendiri membekali proletariat pendidikan asal Brazil mengemukakan dengan elemen-elemennya sendiri dalam gagasannya tentang pendidikan, dimana pendidikan umum dan politik, dengan sistem pendidikan yang pernah ada dan perkataan lain, ia melengkapi proletariat mapan selama ini dapat diibaratkan seitu dengan senjata-senjata untuk mela- bagai sebuah “bank”. Dalam sistem ini, EDISI 49 66


OPINI

“Sebagaimana dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan seluruh pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu yang memalukan.” anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito peotensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya. Sistem ini memposisikan guru sebagai investor dan murid sebagai kreditor. Seringkali murid diposisikan sebagai benda yang kosong dan perlu diisi supaya menjadi berguna. Jadi tidak akan jauh beda keilmuan yang dimiliki oleh guru dan murid apabila murid tersebut tidak inisiatif untuk mempelajari hal lain. Manusia bukanlah robot yang bisa diprogram sedemikian rupa mengikuti keinginan user, inilah yang disebut sebagai pendidikan yang menindas. Salah satu kritik terhadap pendidikan modern saat ini yang sangat relevan adalah bahwa pendidikan tidak boleh menjajikan emansipasi (kebebasan dan kesetaraan). Kritik dari seorang Filsuf pendidikan, Jacques Rancière. Pendidikan itu seharusnya bermula dari emansipasi. Ia juga menyatakan bahwa guru yang paling baik adalah guru yang tidak tahu apa-apa karena dengan itu tidak ada proses transfer ilmu dari guru ke murid 67 LPM DIDAKTIKA

yang tidak tahu (karena murid sudah teremansipasi). Rancière menyebut sistem ini sebagai Pendidikan Universal Alamiah. (Rancière, 1987). Sudah sepatutnya kita kembali melihat pendidikan semata-mata bukan hanya melalui sekolah. Dengan mengembalikan marwah pendidikan sebagai sebuah wadah untuk mengasah pola berpikir manusia demi menjadikannya menusia seutuhnya lebih dari sekedar mesin yang diprogram untuk bekerja, dan demi menembus mitos paradigmatik masa kini tentang jutaan anak yang akan menyongsong masa depannya. Semangat untuk para penerus Bangsa, masa depan Negeri ini ada ditangan kalian –penulis tidak menuliskan kata semoga, karena ini bukan cuman sekedar pengharapan tapi kewajiban untuk kita semua.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Bandung jurusan Teknik Elektro


Mengkonkretkan Pendidikan Merdeka Judul : Sekolah Biasa Saja “Catatan Pengalaman Sanggar Anak Alam” Penulis : Toto Rahardjo Tahun Terbit : 2018 Tebal Buku : xxvii + 252 halaman ISBN : 978-602-0857-56-5

“Saya dengar, Saya lupa. Saya lihat, Saya ingat. Saya lakukan, Saya paham. Saya temukan, Saya kuasai.” (hlm. 138). Doc. Google

P

ada Hari Guru Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud Nadiem Makarim), mengucapkan slogan Belajar Merdeka pada pidatonya. Ucapan Nadiem sudah sepatutnya dijadikan bahan kontemplasi, tentang apa sebetulnya belajar merdeka itu? Serta, bagaimana seharusnya penerapan merdeka dalam belajar tersebut? Apakah saat ini sudah terimplementasikan atau belum sama sekali? Menukil Ki Hadjar Dewantara (KHD), “merdeka” berarti berdiri sendiri, berdiri tetidak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib (1977: 400) Ketiga makna tersebutlah yang patut diterapkan dalam membangun pendidikan yang memerdekakan. Tidak hanya itu, merdeka dalam pandan-

gan KHD mencakup ranah sosial, dalam arti kehidupan bersama. Berdasarkan konteks pemikirannya, KHD banyak dipengaruhi oleh keadaan Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Melihat banyaknya penindasan, serta penyelenggaraan pendidikan yang diskriminatif melatarbelakangi pemikirannya. Di samping itu, pengaruh-pengaruh pemikiran Friedrich Forebel, Tagore, dan Maria Montessori juga menjadi pendorong bagi KHD dalam membuat Sekolah Taman Siswa pada 1922. Jelas, pada saat itu, Taman Siswa menjadi antitesis dari penyelenggaraan pendidikan yang dipegang oleh kolonialisme Belanda. Taman Siswa menjadi sekolah, sekaligus tempat belajar dengan EDISI 49

68


RESENSI ideologi dan metode yang berbeda dengan sekolah ala barat. Penamaan Taman Siswa pun cukup menarik, untuk menggambarkan proses pendidikannya. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid. (hlm. 5) Setidaknya, pemikiran KHD turut menjadi pendorong berdirinya Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) dalam menyelenggarakan pendidikan alternatif. Toto Rahardjo sebagai pengarah Laboratorium Komunitas Belajar SALAM, menuliskan dalam buku “Sekolah Biasa Saja”, bahwa pendidikan alternatif menjadi pendidikan yang harus melakukan transformasi sosial, ditengah ketidakmampuan pendidikan formal. Secara ideologis, pendidikan alternatif harus memiliki visi yang berbeda dengan sekolah formal, serta diturunkan juga dalam praktek pendidikannya. Kemunculan SALAM sejak 2000 tidak terlepas dari keadaan pendidikan formal yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Bahkan, pendidikan cenderung menjadi lahan bisnis yang menguntungkan saja. Hal itu tidak terlepas dari wacana liberalisme pendidikan, yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Sehingga, tidak hanya dalam ranah ekonomis saja yang merugikan. Bahkan, sampai dalam ranah metode, teknik, dan cara-caranya turut memperkuat hegemoni kapitalisme. Se69 LPM DIDAKTIKA

bagai contoh, logika kompetisi yang sampai saat ini tumbuh subur di dalam ranah pendidikan. Kompetisi dengan pemeringkatan sebagai kendaraannya menghadirkan individu yang gagal dan berhasil. Terlebih, dalam pendidikan formal, kompetisi yang dibuat melakukan generalisasi atas potensi dan kemampuan individu. Padahal tiap-tiap individu, kata KHD, adalah secarik kertas yang memiliki guratan-guratan berbeda. Dalam arti, individu memiliki potensi dan kemampuannya masing-masing. Permasalahan itu hanya salah satu dari tumpukan masalah-masalah pendidikan di Indonesia ini. Pengkhianatan terhadap potensi dan kemampuan individu saja sudah keluar dari koridor pendidikan merdeka ala KHD. Padahal, KHD adalah Bapak Pendidikan Nasional, tetapi pemikirannya dibuang begitu saja. Ketidakmampuan Negara dalam memenuhi hak pendidikan rakyatnya,


Doc. Google

serta permasalahan yang disebutkan di atas, mendorong SALAM menjadi anti tesis dari pendidikan formal kini. Sama halnya dengan Taman Siswa di era 1920an, SALAM memiliki visi dan praktek yang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Berbasis Riset dalam Pembelajaran Berdiri di areal persawahan Kampung Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, dengan kesadaran bahwa Indonesia ada-

lah negara agraris. SALAM membuat ruang terbuka untuk pembelajaran peserta didik. Sejak tingkatan Sekolah Dasar (SD), peserta didik sudah dibiasakan untuk melakukan riset tentang peristiwa, permasalahan sosial, dan kebudayaan-kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Tujuannya, agar peserta didik tidak terasing dari akar sosial dan budaya yang mengelilinginya. Sementara itu, peserta didik sejak EDISI 49

70


RESENSI awal sudah diajari kemandirian berpikir, dengan melakukan proyek riset. Slogan yang terkenal di situ adalah “Saya dengar, Saya lupa. Saya lihat, Saya ingat. Saya lakukan, Saya paham. Saya temukan, Saya kuasai.” (hlm. 138). Pernyataan ini pun menegaskan, bahwa pengetahuan yang hakiki diperoleh dari penemuan dan pengalaman, di samping bahan-bahan bacaan. Selain bertujuan untuk memaksimalkan potensi dan minat setiap peserta didik, metode proyek riset juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai kerja sama satu sama lain. Bukan hanya antara peserta didik, tetapi orang tua dan guru juga turut bekerja sama dalam membantu proyek riset yang dilakukan. Interaksi inilah yang penting dilakukan dalam pendidikan. Sehingga, sekolah bukan hanya menjadi tempat penitipan anak dan sarana lepas tanggung jawab orang tua. Akan tetapi, sekolah menjadi mediator antara anak, guru, dan orang tua dalam melakukan proses pendidikan. Lain hal, riset juga dapat memunculkan domain afektif peserta didik. Sebab, dalam riset sosial misalnya, peserta didik melakukan wawancara dengan masyarakat, sehingga mengetahui dan memahami permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Pada tahap lanjut, hal ini mendorong sikap empati peserta didik dan berusaha mencari jawaban atas permasalahan itu. 71 LPM DIDAKTIKA

Sebetulnya, praktek-praktek yang dilakukan SALAM bermuara pada membangun kesadaran kritis dalam diri peserta didik. Kesadaran kritis di dalam terminologi Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brazil, adalah situasi ketika manusia mengetahui situasi sosial serta memahami akar permasalahannya. Lebih lanjut, dapat melakukan transformasi sosial pula, sesuai dengan tujuan pendidikan alternatif. Akan tetapi, kemunculan SALAM sebagai pendidikan alternatif hanya menjadi contoh untuk menjelaskan visi dan praktek pendidikan yang merdeka. Sebab, tidak semua orang bisa menikmati SALAM. Pemerintah harus tetap melakukan revolusi di dalam sistem pendidikan nasional, baik dalam segi pendistribusian dan kualitasnya. Terutama, pemenuhan hak-hak warga negara terhadap pendidikan, sesuai mandat UUD 1945 pasal 31. Buku “Sekolah Biasa Saja” yang ditulis oleh Toto Rahardjo ini berhasil membawa saya, selaku pembaca, masuk ke dalam alam pikiran SALAM. Buku ini juga secara elok mengemas pandangan-pandangan pihak lain tentang SALAM, sehingga dapat memperkaya sudut pandang pembaca terhadap SALAM. Lain hal, buku ini tidak hanya menjadi promosi, tapi turut memberi kritik atas situasi SALAM. Penulis : Ahmad Qori Hadiansyah Editor : Hastomo Dwi Putra


Sky Castle: Kritik Terhadap Ambisi Orang Tua dalam Pendidikan

Doc. Google

“SKY adalah kampus-kampus yang berada di atas langit.” IDENTITAS SERIES Penulis Naskah : Yoo Hyun-mi Sutradara : Jo Hyun-tak Jumlah Episode : 20 Produksi : HB Entertainment dan JTBC Durasi : 60 – 80 menit per episode Pemain : Yum Jung-ah, Lee Tae-ran, Yoon Se-ah, Oh Na-ra. Kim Seo-hyung

S

ky Castle merupakan sebuah series Korea Selatan berjumlah 20 episode yang dirilis oleh salah satu stasiun televisi swasta bernama JTBC dan didistribusikan oleh Netflix. Dirilis pada 2018, series ini menyajikan adegan demi adegan yang satir tentang sistem pendidikan

di Korea Selatan. Latar perumahan elite bernama Sky Castle menjadi tajuk utama dari series ini, karena keempat kepala keluarga di episode awal mempunyai profesi yang juga elite. Keluarga Kang, keluarga Woo, dan keluarga Park dengan masing-masing figur kepala keluarganya EDISI 49

72


RESENSI sebagai dokter bedah ortopedi; keluarga Cha dengan penggambaran kepala keluarganya sebagai professor hukum di salah satu univeritas. Salah satu hal menarik yang perlu diulas dalam series ini adalah bagaimana sutradara Jo Hyun-tak dan penulis naskah Yoo Hyun-mi mengemas kritik atas pendidikan menjadi adegan yang satir. Di beberapa episode awal, ada pernyataan Su-im (Lee Tae-ran) secara simbolik atas kritiknya terhadap metode diskusi yang dibuat oleh Professor Cha (Kim Byung-chul). Ia mengatakan, mengapa Professor Cha memberi bacaan Thus Spoke Zarathustra karya Nietzche kepada anak sekolah menengah, yang masih sulit dipahami oleh mereka. Su-im juga melihat watak kolot Professor Cha terlihat dalam setiap diskusi di klub buku. Alih-alih membuka ruang dialog bagi semua peserta, ia malah membicarakan kehebatannya dalam membedah karya Nietzche dan sering kali membantah dengan keras pendapat yang berbeda dengannya. Ada satu perdebatan dari U-ju dan Ye-seo (Kim Hye-yoon) dalam klub buku soal karyanya Nietzche. Ye-seo memandang bahwa Ubermensch (manusia super, salah satu pernyataan Nietzche soal manusia) adalah kemampuan untuk menjatuhkan orang lain dalam kompetisi masuk ke Seoul National University, dengan cara apapun. U-ju kemudian 73 LPM DIDAKTIKA

membantah pernyataan Ye-seo dengan memandang Ubermensch dari perspektifnya seperti ini: “Jika kamu mencintai takdirmu apa adanya dan berpikir positif, maka bahkan tanpa berpikir memanfaatkan teman untuk memperbaiki dirimu, kamu bisa mengatasi keterbatasan dan menjadi orang yang hebat. Itu adalah gagasan Ubermensch. (Eps. 4)” Pernyataan simbolik “sekolah adalah penjara” juga terlihat dalam series ini. Professor Cha mendesain ruang belajar anak-anaknya dengan nuansa yang gelap serta ada penghitung waktu dan piramida di atas mejanya. Bahkan anaknya dibuat tertekan dengan memaksa melihat piramida, dengan kata lain anaknya dipaksa menjadi individu yang diinginkan oleh Professor Cha. “Untuk mencapai tingkat yang paling atas, bahkan sampai tingkat Presiden, kau harus mengalahkan lawan-lawanmu di sekolah. Tidak usah peduli dengan situasi mereka,” begitu kata Professor Cha. Ini seperti membuat anaknya menjadi pribadi yang egois seperti dirinya. Berbeda dengan Professor Cha, Seung-hye (Yoon Se-ah) melihat hal tersebut seperti penjara bagi kebebasan anaknya. Baginya, manusia harus menjadi individu yang bebas. Memiliki keinginan yang bebas untuk dirinya sendiri. Ia pun menolak ruang belajar yang gelap


tersebut, kemudian menghancurkan tembok dan memberi udara segar dalam ruangan tersebut. Semua demi kenyamanan belajar anak-anaknya. Tutor Kim (Kim Seo-hyung) juga kemudian melihat ruang belajar gelap yang dibuat Professor Cha sebagai bentuk penindasan pikiran dengan metodemetode belajar yang intimidatif. Karena pada saat itu, ia diminta untuk menjadi tutor Seo-jun (Kim Dong-hee) dan Kijun (Jo Byung-gyu) oleh Professor Cha setelah Seo-jin membatalkan jasanya. “Ini bukan pendidikan. Anda mengurung mereka seperti hewan. Kamu tidak merasa ruang ini membuat anak-anakmu terintimidasi? Merasa terintimidasi bisa mengurangi aktivitas sel otak mereka. Kemampuan manusia berpikir logis dan kreatif serta memahami lebih efektif saat berada di ruangan yang membebaskan. (Tutor Kim kepada Professor Cha, Eps. 7)”

“Ini bukan pendidikan. Anda mengurung mereka seperti hewan. Kamu tidak merasa ruang ini membuat anak-anakmu terintimidasi? Merasa terintimidasi bisa mengurangi aktivitas sel otak mereka. Kemampuan manusia berpikir logis dan kreatif serta memahami lebih efektif saat berada di ruangan yang membebaskan. (Tutor Kim kepada Professor Cha, Eps. 7)”

Ulasan atas series ini kemudian berpindah ke keluarga Kang. Dokter Kang (Jung Joon-ho) memiliki ambisi untuk menjadi petinggi di rumah sakit. Bahkan rela menjilat pemimpinnya demi jabatan. Sementara itu anaknya, Ye-seo juga memiliki ambisi untuk masuk jurusan kedokteran seperti ayahnya. Ini juga didukung oleh ambisinya Seo-jin (Yum Jung-ah). Menyewa Tutor Kim menjadi jawaban atas ambisi tersebut, dan kemudian menjadikan bumerang bagi keluarga ini. Bumerang tersebut adalah kenyataan bahwa Ye-seo menggunakan cara curang dalam setiap ujian di sekolah. Bagi Seo-jin, menyewa Tutor Kim menjadikan Ye-seo tidak menggunakan kemampuannya sendiri. Ye-seo dibantu untuk mendapat nilai sempurna melalui kunci jawaban ujian yang dibocorkan oleh salah satu guru di sekolahnya yang bekerja sama dengan Tutor Kim. Ia merasa ditipu oleh Tutor Kim. Keluarga Su-im yang baru pindah ke Sky Castle kemudian menempati rumah kosong yang ditinggalkan keluarga Dokter Park. Ia melihat masalah kedua keluarga ini sebagai masalah yang serius. Baginya, pendidikan bukan dimaknai sebagai kompetisi untuk menjatuhkan satu sama lain. Pendidikan seharusnya digunakan untuk menyadarkan diri sendiri maupun orang lain atas ketertindasan di EDISI 49

74


RESENSI sekitarnya. Su-im dan suaminya, Dokter Hwang tidak terlalu memaksakan ambisi pendidikan dan jabatan setinggi-tingginya kepada anaknya, U-ju (Chani SF9) Bagi mereka, kebahagiaan dalam keluarga merupakan hal yang terpenting. Ada satu adegan dimana keluarga ini menghias rumah bersama dengan tanaman-tanaman segar, menyiratkan kedekatan di antara mereka. Mengingat apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan berawal dalam ruang lingkup keluarga. Ada tiga pendekatan pendidikan dalam keluarga menurut Ki Hajar , yaitu aqidah dan akhlak, intelektual, dan interaksi sosial. Terkait dengan konteks film, penulis rasa ambisi pendidikan yang ditanamkan oleh Professor Cha maupun Seo-jin merupakan ambisi yang buruk. Karena Hyunmi secara simbolik membuat naskah ini dengan menekankan kepada pendekatan pendidikan keluarga berdasarkan interaksi sosial. Ye-seo sejak awal episode diperlihatkan sebagai pribadi yang egois dan mengarah ke menghalalkan segala cara untuk masuk ke SNU. Sementara Seo-jun dan Ki-jun berusaha bertahan atas perilaku ayahnya yang mendoktrin mereka untuk menghalalkan segala cara. Seo-jun dan Ki-jun akhirnya melawan sifat keegoisan ayahnya dengan mengatakan bahwa mencapai puncak 75 LPM DIDAKTIKA

piramida tidaklah penting, yang penting adalah mereka belajar sesuai dengan kehendak dari diri sendiri (Eps. 16). Ini juga didorong oleh sifat ibunya yang muak melihat gaya pendidikan yang memaksa dari Profesor Cha. Sementara itu, Ye-seo tetap terhadap keegoisannya untuk terus belajar hingga terasing dari lingkungan sekitarnya, bahkan tidak menganggap kehadiran orang lain kecuali orang tuanya, neneknya, dan Tutor Kim. Ye-seo melakukan itu semua demi memuaskan mereka. Akhirnya, Ye-seo menjadi tidak yakin atas kemampuannya sendiri dan tergiur untuk mendapatkan nilai sempurna seperti yang dijanjikan oleh Tutor Kim dengan memakai bocoran soal. Pendek kata, Yeseo menjadi terasing atas eksistensi dirinya sendiri dan tujuan pendidikan yang ingin diraihnya. Karakter Kim Hye-na (Kim Bo-ra) juga menjadi antithesis dari Ye-seo dalam cerita ini. Jika Ye-seo menuhankan sistem ranking di sekolah demi langkahnya untuk masuk Seoul National University, maka Hye-na menolak dengan tegas bahwa sistem ranking membuat siswa menjadi berorientasi mengejar gelar dan esensi pendidikan yang didapat menjadi sia-sia. Hye-na menolak sistem ranking atas dasar dirinya yang berlatar keluarga miskin. Menurutnya, sekolah di tempatnya saja melakukan hal yang diskriminatif. Membagi tempat duduk berdasarkan


ranking seseorang. Hye-na muak melihat sekolahnya yang menempatkan orang “bodoh” menurut sistem ranking dalam posisi paling belakang di kelas. Tanggapan atas Ambisi Buruk Orang Tua dalam Pendidikan di Indonesia Banyak hal yang disampaikan secara tersirat di Sky Castle dan secara simbolik, Hyun-tak dan Hyun-mi mendesain sedemikian rupa drama satir ini. Sky Castle menggambarkan beberapa profesi dipandang sebagai prestige oleh orang tua. Menjadi buruh rendahan merupakan hal yang dibenci oleh orang tua, sehingga memaksa anaknya untuk lebih dari pencapaian orang tuanya selama hidup. “Nak, kamu harus sekolah setinggi-tingginya, biar menjadi dokter kayak Bapak. Kalau bisa melampaui Bapak,” seperti dialog yang disampaikan oleh Seo-jin ke Ye-seo, anaknya. Sama dengan hal yang pernah anak-anak alami di Indonesia, tinggal diubah saja diksinya. Paradigma ini pun juga dapat ditemui di Indonesia. Orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke bimbingan belajar berkualitas tinggi, sambil berdoa anaknya bisa masuk perguruan tinggi negeri. Tidak jarang kasus anak dipaksa belajar sampai larut malam demi memenuhi ambisi mengejar prestige perguruan tinggi. Kalau anak mendapat nilai yang jelek, sebagian orang tua kemudian

habis-habisan menyalahkan sang anak yang menghambat ambisinya. Membedah permasalahan pendidikan di Indonesia dengan melihat kasus di Sky Castle dengan menyelipkan situasi dan kondisi pendidikan di Korea Selatan menjadi hal yang menarik. Korea Selatan yang dianggap sistem pendidikannya bagus, ternyata tidaklah seperti itu. Sky Castle menarik kesimpulan lewat peran orang tua yang memaksakan anaknya untuk meraih jabatan setinggi-tingginya, lewat pendidikan tanpa melihat realitas kemiskinan dan ketertindasan yang tersebar di Seoul, dan kota-kota lainnya. Meminjam istilah filsuf Italia, Antonio Gramsci, mahasiswa menjadi intelektual menara gading. Akibatnya, pendidikan hanya sebatas meraih gelar ijazah untuk kerja di perusahaan yang prestige. Bagaimana di Indonesia sendiri? Masyarakat masih termakan paradigma bahwa pendidikan tinggi untuk mengejar gelar yang prestige. Lulusan dari kampus-kampus besar dijamin strategis posisinya di dunia kerja. Banyak bimbingan belajar yang hadir untuk mewujudkan impian siswa sekolah menengah untuk masuk ke perguruan tinggi besar. Bahkan ada paradigma yang jelek terhadap orang-orang yang tidak masuk ke perguruan tinggi. Akhirnya, pendidikan hanya dijadikan sebagai barang dagangan saja. Tidak menjawab secara solutif atas kesEDISI 49

76


RESENSI enjangan besar akses pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, kembali mengutip pesan dari Ki Hajar haruslah memiliki tiga pendekatan yang sinergis. Akhlak, intelektual, dan interaksi sosial perlu ditanamkan sejak dalam ruang lingkup keluarga. Orang tua memang perlu untuk membimbing sang anak agar bisa mencapai tujuan pendidikannya, tapi jangan membiarkan sang anak terasing dari interaksi dengan orang lain. Apalagi menganggap kawan-kawannya di sekolah sebagai musuh yang perlu dikalahkan. Bukan sebagai kawan yang sama-sama saling belajar tentang apapun di sekolah. Sistem ranking seperti yang dikatakan oleh Hye-na, menjadikan siswa sebagai orang yang egois dan menghilangkan sikap simpatik kepada orang lain. Selain itu, orang tua perlu menanamkan pembelajaran di setiap kegiatan anak. Bukan menekankan evaluasi yang hanya didominasi oleh orang tua. Anak sering kali tertekan untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicapainya. Tertekan yang dimaksud adalah ekspektasi orang tua yang berlebihan dalam pendidikan. Menurut saya, penting adanya dialog antara orang tua dan anak. Supaya anak juga punya lingkungan belajar yang kondusif dan tidak diintervensi oleh obsesi berlebihan orang tua soal gelar. Terlepas dari setiap episodenya yang 77 LPM DIDAKTIKA

runut dan detail dalam membahas setiap karakter dan permasalahannya, Sky Castle tentunya memiliki kekurangan. Kekurangan yang saya maksud adalah cerita mulai dipaksakan di penghujung episode. Ye-seo memutuskan berhenti dari sekolahnya dan mulai mengubah gaya belajarnya dengan sistem homeschooling. Hyun-mi seakan ingin memberi pesan tersirat bahwa gelar dalam pendidikan formal bukanlah segalanya, dengan cara mengubah gaya belajar dari Ye-seo. Namun, penutup dari series ini bagi saya hanya sebagai penebusan dosa Ye-seo atas tindakan curangnya selama di sekolah. Sky Castle secara satir mengkritik sistem pendidikan di Korea Selatan yang segala-galanya berorientasi ke ketiga kampus besar di Korea Selatan: Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University (SKY). Orangorang yang masuk ke ketiga kampus besar tersebut dijamin akan masuk ke jabatan strategis di perusahaan-perusahaan besar. Orang tua bahkan rela membayar tutor dengan mahal demi memuluskan ambisinya lewat anak-anaknya. Terus, bagaimana dengan siswa miskin? Ketiga kampus tersebut adalah hal yang sulit digapai oleh mereka. Makanya, ada sebuah anekdot: “SKY adalah kampus-kampus yang berada di atas langit.” Penulis : Rizky Suryana


Sumber : Historia.id

MEREBUT RUANG KOTA: PEREBUTAN RUANG, PERJUANGAN KELAS

J

Oleh : Ilham Hermansyah*

ika Silampukau lewat lagunya yang berjudul Balada Harian menyebut kota Surabaya saat ini sebagai kota yang tumbuh kian asing dan tak peduli, barangkali memang demikian. Alih-alih menjadi kota yang ramah bagi semua kalangan, Surabaya kini tumbuh menjadi kota yang penuh kontradiksi: banyak mall dan gedung-gedung berdiri dengan megah di tengah potret kemiskinan yang menjadi masalah akut. Dalam hal ini, kemiskinan menjadi permasalahan yang mengurat-akar dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan kota, khususnya kota Surabaya. Sejarah perkembangan kehidupan

kota di Surabaya tidak dapat dilepaskan dari apa yang pernah terjadi berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Pada medio 1900-1960an terjadi peristiwa yang merupakan permasalahan akut di perkotaan, yaitu perebutan untuk mendapatkan ruang. Banyaknya penduduk yang tertarik untuk tinggal di kota, sementara ruang di perkotaan sangat terbatas, pada akhirnya mendorong terjadinya kompetisi untuk mendapatkan ruang tempat tinggal di kota. Hal itu merupakan pengaruh dari industrialisasi kota, yang kemudian membuat masyarakat beranggapan bahwa kota adalah alat yang bisa dijadikan untuk mendapatkan keuntungan. NaEDISI 49

78


RESENSI mun, adanya relasi yang timpang antara rakyat miskin dengan negara dan pengusaha swasta dalam mentidakses ruang kota telah menempatkan rakyat miskin pada tempat-tempat yang kurang layak dalam perkotaan, baik secara estetis maupun secara ekonomis. Buku ini secara komprehensif membahas mengenai peristiwa perebutan ruang kota yang dilakukan oleh rakyat miskin kota Surabaya periode 1900-1960an, baik dalam konteks sejarah, sosial, maupun ekonomi politik. Buku yang ditulis oleh Purnawan Basundoro ini semula merupakan hasil penelitiannya untuk keperluan disertasi di Universitas Gadjah Mada. Penulisannya didasari oleh dua hal: melihat kenyataan bahwa banyak masyarakat kota Surabaya yang tidak memiliki rumah dan pengalaman dirinya menjadi gelandangan yang tidak jelas nasibnya dikarenakan menjadi korban dari peristiwa Lumpur Lapindo. Kenyataan banyaknya masyarakat kota Surabaya yang tidak memiliki rumah boleh jadi berkaitan dengan sejarah kepemilikan tanah di Surabaya yang terbagi dan dikuasai oleh tiga golongan besar: pemerintah pusat, pihak swasta/partikelir, dan Gemeente Surabaya. Dalam banyak hal, pembagian kepemilikan itu berujung kepada banyaknya masyarakat yang tidak memiliki dan sulit mentidakses tempat tinggal. Karena itu, akhirnya masyarakat miskin kota Surabaya melakukan perla79 LPM DIDAKTIKA

Judul : Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 19001960an Penulis : Purnawan Basundoro Penerbit : Marjin Kiri Cetakan : Pertama, Mei 2013 Jumlah Halaman : xiv + 338 halaman ISBN : 978-979-1260-22-0 wanan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhannya atas tempat tinggal dengan cara menghuni atau menempati setiap tempat-tempat kosong yang menurutnya bisa ditinggali. Dari sanalah terbentuknya perkampungan-perkampungan rakyat miskin di sudut-sudut kota Surabaya, yang kemudian dianggap menjadi mas-


alah dalam tata ruang perkotaan. “Sebagaimana dalam konteks Sebagaimana dalam konteks pembangunan kota, pembangunan kota, ruang perkoruang perkotaan merupakan taan merupakan sebuah arena sebuah arena yang tidak pernah yang tidak pernah selesai untuk selesai untuk diperebutkan.” diperebutkan. Hal itu yang membuat pertarungan ruang oleh para pihak mereka dalam bertarung melawan orang yang berkepentingan memiliki tujuan yang masih hidup, maka mereka memiyang sedemikian politis: mendominasi lihnya untuk bertarung dengan orang pemanfaatan atas ruang-ruang perkota- yang sudah mati. Dalam banyak hal, Basundoro mean sesuai dengan kepentingannya. Relasi kuasa yang timpang serta lemahnya nitikberatkan masyarakat miskin kota posisi rakyat miskin dalam kontestasi di dalam konteks penulisan sejarah. Hal ruang perkotaan telah menuntun mer- itu menjadi penting karena menurutneka pada kondisi yang rentan, untuk ya, salah satu kelompok masyarakat kota kemudian memantik mereka melaku- yang menjadi penggerak sejarah adalah kan perlawanan dalam berbagai bentuk. rakyat miskin. Selain itu, rakyat miskin Mulai dari mendirikan perkampungan selama ini hanya dipahami sebatas golondi sudut-sudut kota, okupasi lahan, hing- gan petani di pedesaan yang terpinggirga pengambilalihan ruang-ruang privat kan dan hanya bisa menunjukkan eksistensinya melalui pemberontakan. Hal maupun publik. Pengambilalihan ruang publik mis- itu, demikian dianggapnya, secara tidak alnya, dilakukan oleh sebagian orang langsung ikut mengabaikan peran rakyat dengan menempati bantaran-bantaran miskin di perkotaan dalam konteks penusungai, trotoar, dan kolong jembatan lisan sejarah di Indonesia. Konsep penulisan sejarah ini bedengan mendirikan gubuk-gubuk tempat tinggal. Sebagiannya lagi dilakukan rangkat dari teori yang digunakannya, dengan cara yang tidak lazim: menempa- yaitu teori yang digagas oleh Antonio ti makam atau kuburan di Surabaya un- Gramsci, seorang Marxis Italia mengetuk dijadikan tempat tinggal. Kelompok nai kelas-kelas yang terpinggirkan, atau yang kedua, sebagaimana dikatakan oleh yang lebih dikenal dengan nama SubalBasundoro, merupakan orang-orang yang tern. Belakangan, teori ini dikembangpaling lemah dalam proses perebutan ru- kan secara praksis oleh Gayatri C. Spivak ang kota. Mengingat apa yang dilakukan- dalam mempelajari kelompok subaltern.. nya adalah bentuk dari ketidakmampuan Menurut Gramsci, yang disebut sebagai EDISI 49

80


RESENSI Subaltern adalah kelompok masyarakat yang diabaikan oleh negara karena posisi mereka yang lemah secara sosial, politik, dan ekonomi. Maka menjadi relevan apabila Basundoro menekankan pentingnya peran rakyat miskin dalam penulisan sejarah dinamika kehidupan kota Surabaya, sekaligus menjadi refleksi kritis bagi penulisan sejarah di Indonesia yang kerap mengesampingkan kelas-kelas terpinggirkan. Dalam konteks yang lebih luas, Basundoro juga menggunakan analisis Marxis dalam melihat ketimpangan yang terjadi: bahwa perebutan ruang bisa dipahami sebagai perebutan alat-alat produksi antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Dalam hal ini alat produksi yang dimaksud adalah tanah, sebagai hal-ihwal yang vital bagi kebutuhan mendasar manusia, yang banyak diprivatisasi oleh kaum borjuis. Sebagaimana Basundoro mengatakan, bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi adalah dasar utama dari pembagian masyarakat ke dalam kelas. Dan meningkatnya penetrasi kapital dalam ruang-ruang perkotaan merupakan upaya dari kaum borjuis untuk melipatgandakan keuntungan dengan menciptakan beragam program dan rancangan yang dikonsepsikan, dengan dalih-dalih yang dapat dipahami dengan satu kata: pembangunan. Masifnya pembangunan tentun81 LPM DIDAKTIKA

ya berkonsekuensi kepada besarnya potensi perebutan ruang yang akan terjadi. Dengan demikian membuat rakyat miskin semakin terpinggirkan, kehilangan akses, dan tidak dilibatkan dalam proses pembangunan kota. Hal ini menjadi relevan dengan praktik-praktik penggusuran yang terjadi di sudut-sudut kota belakangan ini. Praktik tersebut didukung dan dipertegas dengan adanya program bernama MP3EI (Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang mengutamakan pembangunan infrastruktur sebagai kata kunci. Implikasinya jelas, praktik penggusuran terjadi di mana-mana, sebab keberadaan kampung-kampung kota dianggap sebagai penghalang dan pemerintah bersamaan dengan investor ramai-ramai mengubahnya dengan menanam beton dan membangun gedung-gedung tinggi. Seiring dengan derasnya ekspansi kapital, maka semakin banyak pula praktik-praktik penggusuran yang terjadi di perkotaan. Misalnya saja, apa yang terjadi di Bandung dengan hilangnya kampung-kampung kota seperti di lingkungan RW 11 Tamansari, Bandung merupakan bentuk konkrit dari perebutan ruang di perkotaan. Warga RW 11 Tamansari, Bandung menjadi korban dari program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang merupakan urgensi pembangunan


dalam jangka menengah ke depan di kota Bandung. Dari program tersebut, rencananya Pemerintah Kota akan membangun Rumah Deret (RUDET) sebagai upaya mempersolek wajah kota. Proyek ini

dengan melihat bagaimana perebutan ruang sedang terjadi. Kedua kasus tersebut cukup menjadi bukti bagaimana rakyat hanya dapat bertungkus-lumus dalam menghadapi

bahwa perebutan ruang bisa “ dipahami sebagai perebutan alat-alat produksi antara kaum borjuis dengan kaum proletar.

semakin memperjelas wajah kapitalisme dalam bentuk pembiayaan yang berasal dari lembaga donor luar negeri, yaitu World Bank, Islamic Development Bank, dan Asian Infrastructure Investment Bank. Dengan begitu, kasus yang terjadi di RW 11 Tamansari, Bandung menjadi bukti nyata betapa program yang dibuat oleh Pemkot hanya memperhatikan kepentingan masyarakat kelas menengah atas, alih-alih ramah untuk semua kalangan. Sementara di tempat lain, warga Pancoran Buntu 2, Jakarta sedang berjuang mempertahankan rumahnya dari penggusuran paksa yang dilakukan oleh korporasi pelat merah. Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Training and Consulting (PTC) melakukan penggusuran paksa dengan dalih pemulihan aset di atas tanah yang sebenarnya masih berstatus sengketa. Melihat apa yang terjadi di Pancoran Buntu 2 sama artinya

gempuran pembangunan kota. Maka, perebutan ruang kota yang dilakukan oleh rakyat miskin kota, baik rakyat miskin kota Surabaya, hingga warga Tamansari Bandung dan warga Pancoran Buntu 2 bukan hanya dapat dipahami sebagai perlawanan terhadap dominasi kelas yang berkuasa, melainkan juga merupakan bentuk dari perjuangan kelas.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UPNVJ. Bersenang-senang di Klub Baca TIKI-TAKA. Menyukai musik, buku, dan sepakbola. Sesekali menulis, namun lebih sering menjadi tukang bersih-bersih di rumah. EDISI 49

82


KONTEMPLASI

Mengintip Politik Kelas Menengah Oleh : Faisal Bachri

W

arga Pekayon Jakasetia yang tergabung dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB) mendatangi kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dengan tujuan, menyampaikan keadaan mereka lewat aksi kampanye di taman demokrasi depan Masjid Alumni. Kedatangan FKPB merupakan agenda mereka untuk mengjungi kampus-kampus dengan tujuan meminta bantuan berupa solidaritas. Sayangnya, warga pekayon tidak mendapatkan barang sedikitpun bantuan dari mahasiswa UNJ. ‘’Kita di sini untuk mengabarkan mahasiswa agar sadar terhadap masalah gusuran,’’ ucap Tumangor, 83 LPM DIDAKTIKA

warga Pekayon. Sudah sejak 2016, ia dan warga lain terus melawan pemkot. Bahkan beberapa menuntut pemkot Bekasi. Walau sudah dua kali hadapi kekalahan, warga Pekayon sedang menyiapkan gugatan ketiga. Tidak lama berselang datanglah 24 September 2019. Tanpa menemui kesulitan berarti, mahasiswa melakukan mobilisasi massa ke Senayan, gerbang DPR untuk membawa beberapa tuntutan. Seperti biasa, mahasiswa membawa diri seakan mewakili rakyat Indonesia. Bahkan para kepala BEM diakui oleh senior mereka (anggota dewan) sebagai perwakilan resmi rakyat Indonesia. Meskipun tidak


memiliki follow up yang jelas, mahasiswa mendapat pentidakuan kesejarahan. Mahasiswa telah menunda berbagai undang-undang bermasalah. Benar saja, gerakan september kala itu dengan cepat lenyap. Sampai setahun kemudian gerakan tersebut muncul kembali sebagai respon terhadap penolakan UU Cipta Kerja. Mahasiswa tidak dapat dipungkiri adalah penghuni kelas menengah dalam masyarakat. Secara akses ekonomi dapat mentidakses perguruan tinggi yang tidak semua orang dapat melihat pilihan demikian. Selain itu, secara kebudayaan mahasiswa memiliki akses terhadap pengetahuan lebih luas ketimbang masyarakat luar kampus. Mahasiswa hanya dibebani tugas kuliah dan tekanan agar lulus tepat waktu, sisanya waktu luang. Dengan kata lain, kebebasan untuk mengembangkan pikiran kritis terhadap realita. Berangkali potensi ini, pikiran kritis, yang diharapkan oleh Tumangor dan masyarakat sepertinya (red-korban ketidakadilan). Tapi kenyataanya mahasiswa (secara luas) tetap absen dari berbagai permasalahan luar kampus. Ignorance, barangkali adalah istilah yang tepat untuk mengambarkan absennya mahasiswa ini. Istilah itu tidak memiliki terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia. Namun, secara sederhana memiliki sinonim ‘’ketidaksadaran

atau ketidaktahuan’’. Walaupun demikian, ciri ignorance yang demikian tidak dapat menjelaskan keberadaan entitas mahasiswa sebagai kekuatan politik. Apa para mahasiswa ini berdosa jika tidak sadar ataupun tidak tahu? Entahlah. Toh tujuan tulisan ini bukan untuk menghakimi, justru memaklumi fenomena itu dengan membela kelas menengah, khususnya mahasiswa. Seperti judul di atas, jangan seenaknya menyuruh mahasiswa buat melawan negara. Kelas Menengah di Antara Tumangor dan Bulldozer Pemkot Apa itu kelas menengah? Kenapa bisa di tengah? Apa yang di atas dan di bawah? Takashi Shiraishi, akademisi ilmu politik Jepang, dalam ‘’The Rise of New Urban Middle Classes in Southeast Asia’’ mengatakan bahwa kelas menengah di Asia Tenggara merupakan hasil dari ledakan ekonomi pasca perang dunia di bawah pengaruh politik imperium Amerika. Produk politik yang demikian mensyaratkan globalisasi atau koordinasi bisnis lebih luas. Indonesia sebagai negara yang berada di bawah pengaruh yang sama turut menyesuaikan diri. Pada 1987-1997 keadaan tersebut mendorong perkembangan sektor swasta yang butuh tenaga kerja professional. Situasi ini yang kemudian membuat kelahiran kelas menengah EDISI 49 84


KONTEMPLASI baru Indonesia. Pada 1980, 400.000 orang merupakan tenaga kerja dengan kategori kelas menengah, dan meningkat pada 1995, mencapai angka 810.000 total 25 persen dari keseluruhan populasi pekerja. Secara ekonomi, seperti yang disinggung di atas, kelas menengah ini biasa diedentikan dengan hidup perkotaan dan memiliki ciri pekerja yang professional. Berbeda dengan kelas pekerja yang langsung berhubungan dengan alat produksi di pabrik (atau semacamnya), kelas menengah mengisi jabatan-jabatan yang mendukung proses akumulasi ekononomi yakni, menejemen, pelatihan, dan Pendidikan. Berbeda dengan buruh di garis depan produksi yang justru menjadi penggerak utama roda ekonomi. Hasil kelas menengah ini dapat posisi khusus yang berpotensi mengumpulkan kekayaan lebih efektif karena mendapat gaji lebih tinggi. Apalagi jika membandingkan gaji buruh menejemen dan buruh operator mesin. Mahasiswa jelas bagian dari kelas menengah, walaupun kasus mahasiswa sulit bayaran masih dapat ditemui tiap tahunnya. Secara kebudayaan, mahasiswa memiliki status sosial dan potensi karena bersentuhan dengan pengetahuan dan diskursus yang mendukung pengembangan diri. Sehingga mahasiswa lebih mungkin memiliki kesempatan untuk mengembangkan sudut pandang kritis terhadap 85 LPM DIDAKTIKA

realita. Sean Ruth, akademisi psikologi Irlandia, dalam artikel jurnal ‘’Middle Class Activists and Social Change’’ menulis bahwa kelas menengah seringkali memimpin atau pelopori berbagai gerakan social (perjuangan). Namun, kelas menengah dalam melakukan perjuangan memiliki rangkaian masalah yang khas berhubungan dengan identitas kelasnya. Ruth Menulis agar efektif (berjuang), kelas menengah harus menyadari posisi asalnya yang jauh dari penindasan langsung sekaligus jadi korban penindasan. Ruth dalam tulisanya menyingung peran ekonomi dan budaya, seperti yang disebutkan sebelumnya, mengalami pengkondisian. Sebagai rangkaian dari upaya pengkondisian, kelas menengah dapat menemukan internalisasi atau bentuk penindasan atas mereka. Artinya sekedar moral orang baik tidaklah cukup untuk melawan penindasan. Penindasan ini terjadi secara hegemonik lewat nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga sampai pendidikan. Di luar itu, diperkuat dengan berbagai rangkaian narasi dan konten media. Pengkondisian ini pula yang menyebabkan antogonisme antar kelas. Kelas menengah biasa dipisahkan dengan kelas pekerja secara budaya dan politik. Sementara kelas pekerja sibuk bertahan hidup dari hari ke hari, kelas menengah yang su-


dah mendapat keamanan finansial dapat membayangkan akumulasi kekayaan. Pengkondisian ini terjadi dimanapun, contoh (dari Sean Ruth) adalah orang kulit putih yang tidak memahami rasisme. Atau seperti yang dicontohkan di atas, paradoks mahasiswa yang tidak menaruh peduli pada masyarakat sekitarnya tapi mau melawan negara dengan mengatasnamakan rakyat. Perwujudan dari proses pengkondisian mahasiswa sebagai kelas menengah masyarakat tidak lain adalah dorongan tanpa henti untuk memenuhi tenaga kerja begitu diwisuda. Secara sederhana keadaan kelas menengah ini bisa ditemukan di liputan kanal Youtube Vice Indonesia, milenial kurang tidur karena kerja. Kebudayaan yang dimiliki entitas kelas menengah ini tidaklah datang dari langit. Sehingga kiranya mengutip ucapan lawas alaa marxist akan tepat. Suprastruktur, yang mencakup kebudayaan didalamnya, ditentukan oleh kondisi material ekonomi dibawahnya. Ruth menunjuk kelas menengah yang ada di barisan dan perjuangan, barangkali awalnya dimotivasi oleh rasa bersalah bahwa privilege mereka adalah hasil sistem yang menindas orang lain. Bahkan di lubuk hati mereka, ada keinginan untuk jadi bagian kelas tertindas. Romantisasi kemiskinan dan pen-

indasan. Penyakit lainnya adalah justru mengembosi suatu perjuangan dengan mengambil alih kepemimpinan. Alihalih mendorong si tertindas memimpin dirinya dengan perspektif organik, kelas menengah yang memiliki akses pengetahuan lebih dapat mudah saja mengambil alih kepemimpinan. Tapi sebenernya boleh-boleh aja sih, toh sudah mau berpikir sejauh ini berarti bisa lebih jauh. Lantas kenapa tulisan ini diawali oleh kisah warga korban gusuran Bekasi yang datangi mahasiswa? Karena para warga ini adalah sekutu mahasiswa (jika bukan kelas menengah) dalam perjuangan melawan penindasan khusus kelas menengah. Begitupun buruh pabrik yang secara langsung dihadapkan dengan kontradiksi kapitalisme, Petani yang diserobot lahannya, LGBT korban deskriminasi serta kekerasan, dan lainya. Sebagai tambahan, harapan besar sebenarnya bertumpu di kelas menengah. Konkritnya mahasiswa yang telah mendapat privilege berupa waktu luang. Sehingga berpotensi jadi paling radikal tapi relatable. Heng Chan, dalam jurnal LSE Bussiness Review, menulis soal revolusi kelas menengah. Setelahnya diikuti dengan massa yang lebih besar. Hal ini menjadi paling mungkin karena kelas bawah yang lack of knowledge terkesan lebih pasif EDISI 49 86


KONTEMPLASI secara politik. Sementara kelas atas pasif secara politik karena surplus ekonomi sudah terpegang. Akhirnya kelas menengah lah yang berpotensi menjadi revolusioner. Bak Lenin menjembatani revolusi, tulis Hang. Update mahasiswa tahun 2020 Tulisan ini sebenarnya ditulis di akhir menuju awal 2020, sehingga fokus utamanya adalah keberadaan gerakan mahasiswa yang disebutkan diatas. Penulis pun tidak menyebutkan berbagai faktor yang kemudian bersinggungan jika membahas diskursus mahasiswa atau gerakan politiknya. Secara garis besar, gerakan mahasiswa masih serupa apalagi di UNJ sendiri gerakan mahasiswa sendiri menghadapi kebuntuan saat menuntut urusan biaya ke kampus. Namun di luar lingkungan UNJ, mahasiswa kembali eksis. Setidaknya pada jangka waktu Agustus sampai November 2020, barisan mahasiswa berada di samping barisan buruh. Hal ini merupakan sebuah kemajuan jikalau melihat sekat kelas yang disebutkan diatas kian menipis. Menghadapi kebijakan pemerintah undang-undang cipta kerja, sekilas semuanya menjadi satu Tapi seperti gerakan dimanapun, ada saatnya mahasiswa tahun ini akan cuma tersisa jadi catatan kaki sejarah. Mahasiswa dan gerakan pada umumnya 87 LPM DIDAKTIKA

masih terasa terpecah-pecah. Sehingga suasana lapangan bisa menjadi semacam perlombaan orasi dari satu kelompok dengan yang lain. Ditambah lagi, mahasiswa pun cenderung tenggelam dalam pengorganisiran dan melupakan perencanaan yang akan datang. Bicara soal pencerdasan atau pendidikan politik pun menjadi luntur ketika orasi dikuasai oleh sentimen populis, masyarakat melawan elit. Menyadari bahwa gerakan rakyat tidak memiliki wakil resmi dalam politik arus utama, mahasiswa masih gagal untuk membangun alternatif. Hal ini pun tidak terbatas pada mahasiswa. Memang terdapat beberapa gagasan langkah politik yang muncul selama demonstrasi penolakan omnibus law ciptaker seperti dewan rakyat atau semacamnya. Tetapi sekali lagi, penulis pesimis akan melihat perubahan signifikan sampai akhir tahun. Barangkali tahun depan. Terakhir, karena tulisan ini diawali dengan menyebut FKPB Pekayon, sampai November 2020 warga masih mencoba mencari keadilan lewat tuntutan perdata. Saat ini mereka terhambat pada masalah pembiayaan sidang yang diperkirakan mencapai angka 50 juta rupiah. Poni utamanya adalah mereka masih tetap berjuang.


EDISI 49 88


KONTEMPLASI

89 LPM DIDAKTIKA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.