Haluan Mahasiswa Angke Masa kini 2021

Page 1

Universitas Negeri Jakarta

1


Lembaga Pers Mahasiswa Salam Redaksi! Pimimpin redaksi Hastomo Dwi Putra Redaktur pelaksana Alghifari Rahman Tata letak Arrneto Bayliss Wibowo Muhammad Ragil Firdaus reporter Muhammad Bintang Namira Pratiwi Shanaz Valiza Rachma Asyifa Irchami Addina Nur Latifah Syifa Nabila Chiesa Aqilah Muhamad Rizky Siti Nuraini Adella Zahra Devita Sari Ezra Hanif Laila Nuraini Fitri Adinda Rizki Meilani Putri Ananda Ayudia Alghifari Rahman Muhammad Ragil Firdaus Arrneto Bayliss Wibowo Putra Maulana Al-Jahidin Zahra Pramuningtyas Editor Ahnmad Qori Abdul Fadhlan Aziz Hastomo Dwi Putra Ihsan Dwirrahman Vamellia Bella Izam Komaruzzaman Riyasy Asbabur Sonia Renata Sekretariat Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Komplek UNJ, Jl. Rawamangun, Muka No. 1, Jakarta Timur 13220

2

Salam hangat dari LPM Didaktika Muara Angke erat dengan label sebagai pasar ikan yang banyak pilihan. Tidak heran disana juga banyak penjual pinggiran yang memasak ikan menjadi suatu cemilan. Tetapi sayangnya, label lainnya juga didapati di Muara Angke. Berbagai permasalahan terus datang dan tidak diperhatikan meski hal itu telah lama terjadi. Bagai anak kecil yang justru membutuhkan perhatian khusus orang tuanya, justru malah ditinggalkan dan diabaikan. Ketimpangan yang begitu jauh dengan warga pada umumnya, padahal mereka juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk merasakan keadaan yang sama. Ya, tentu saja keadaan yang lebih baik. Pada edisi kali ini, kami berusaha mengangkat isu tersebut. Bagaimanapun, kami segenap pers tetap mengupayakan agar suara dan asa rakyat Muara Angke didengar oleh Pemerintah. Sebab sejatinya, keadilan sosial adalah bagi seluruh rakyat Indonesia. Terima Kasih.

@lpmdidaktika

Lpmdidaktikaunj@gmail.com

@lpmdidaktika

www.didaktikaunj.com


Universitas Negeri Jakarta 4-5

Pengaruh Pencemaran Terhadap Komoditas Laut Jakarta

6-7

Ganasnya Lautan Bagi Anak

8-9

Mencari Rekreasi di muara angke

10-11

Daftar Lewat Jaki, Putra Daerah Sulit Akses Lapangan Ingub

12-15

Simpang Siur Kabar Relokasi Warga Muara Angke

16-19

Kisah Perempuan Pengupas Kerang Dari Pesisir Jakarta

berita Utama: Bertahan Hidup di Atas Genangan Air: Sekelumit Kisah Warga Angke

20-23

Mahalnya Harga Air Bersih Di Tengah Masyarakat Pesisir

24-25

Cerpen: Alunan Kematian

26-28

PUISI: LEPAS DOKUMENTASI

29 30-31

Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Kampus A UNJ Jl. Rawamangun Muka, RT.11/RW.14, Rawamangun, Pulo Gadung 3


Lembaga Pers Mahasiswa

Pengaruh Pencemaran Terhadap Komoditas Laut Jakarta Pencemaran di laut Jakarta berdampak langsung terhadap penurunan kualitas perikanan. Pencemaran laut Jakarta terus terjadi seiring gencarnya pembangunan yang dilaksanakan, seperti pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, sehingga limbah rumah tangga dan industri dapat masuk ke aliran air dan bermuara ke laut Jakarta. Hal ini mempengaruhi kualitas biota laut, salah satunya di Pelabuhan Muara Angke, tempat nelayan menangkap hasil laut. Pencemaran laut memperburuk kualitas tangkapan nelayan setempat. Akibatnya, harga jual komoditas di laut Jakarta menurun. Selain itu, nelayan juga harus menangkap biota laut lebih jauh untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik, sehingga harga jual bisa lebih tinggi. Dampak ini dirasakan oleh nelayan cumi yang mendiami Muara Angke. Ucok, salah satu nelayan cumi menyatakan bahwa cumi di laut Jakarta memiliki kualitas yang buruk. Untuk itu, para nelayan cumi harus melaut lebih 4

jauh sampai ke Laut Kalimantan. Ucok juga mengatakan, keadaan laut yang tercemar membuat cumi menjadi sulit untuk ditangkap. “Beda itu (Cumi Jakarta dengan Kalimantan). Kalo lokasinya banyak hasil mah ngapain kita pindah (ke Kalimantan)”Selain itu, komoditas ikan teri juga terdampak pencemaran laut. Hasil tangkapan nelayan pun menjadi lebih sedikit. Kuantitas penangkapan teri di Jakarta lebih rendah apabila dibandingkan dengan laut-laut di daerah Jawa lainnya. Hal ini disampaikan oleh Oyak, salah satu nelayan teri di Muara Angke. Ia juga mengatakan, dibandingkan di laut Jakarta, di laut Brebes bisa mencapai 3-8 ton dalam sekali melaut. “Keuntungan penjualanya itu dibagi 2 sama bosnya, semisal pusat dapet 13rb nah masuk kesaya 11rb” Dari sisi keuntungan, lanjut


Universitas Negeri Jakarta Oyak, harga teri di Jakarta hanya berkisar 13 ribu rupiah per kilogram dan masih kotor. Namun di laut Jawa, harga teri bisa mencapai 14 ribu rupiah per kilogram dan sudah bersih. Dampak serius lainnya yang dapat ditemui pada teri yaitu dari segi ukuran, warna, dan kondisi. Oyak mengatakan, teri di laut Jakarta cenderung lebih kecil, berwarna hitam, dan kondisinya tidak segar dibandingkan tangkapan di wilayah lain yang pencemarannya tidak semasif di Jakarta.

“Jujur selama berlayar di jakarta saya terganggu karena pencemaran limbah, yang berpengaruh pada hasil tangkapan saya” Hal ini sejalan dengan pernyataan salah satu dosen Geografi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Sucahyanto yang mengatakan, “sebenarnya kan pencemarannya macam-macam, ikan-ikan yang ada di dalam situ (Laut Jakarta) tidak sehat untuk dikonsumsi, maka

sebaiknya nelayan agak jauh untuk mencari ikan. Ikan-ikannya berbahaya karena mengandung limbah yang bermacam-macam, tapi kalo nelayan mau mencari agak jauh di sebelah sana (sebelah

pulau G), lautnya masih bersih.” Lautan Jakarta, khususnya Pulau G, telah terkena berbagai macam pencemaran. Ikan-ikan pun ikut terkontaminasi oleh berbagai limbah, sehingga tidak sehat untuk dikonsumsi. Lain halnya apabila nelayan mencari lebih jauh atau sebelah Pulau G, laut di sana masih cukup bersih, sehingga ikannya masih sehat dan layak untuk dikonsumsi. Penulis : Namira Pratiwi, M. Bintang, Shanaz Valiza Editor : Asbabur Riyasy 5


Lembaga Pers Mahasiswa

GANASNYA LAUTAN BAGI ANAK

ABK yang masih di bawah usia kerja, menjadi hal biasa di Pelabuhan Muara Angke. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan pasal 68, dinyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Anak yang dimaksud adalah setiap orang yang berumur di bawah usia 18 (delapan belas) tahun. Kenyataannya, beberapa Anak Buah Kapal (ABK) di Muara Angke berusia kurang dari 18 tahun. Seperti halnya Riziq, salah 6

satu ABK dari Brebes yang masih berusia 16 tahun. Ia mengaku, pilihannya menjadi ABK merupakan kemauannya sendiri. Kemauan tersebut muncul sejak dirinya masih duduk di bangku kelas 5 SD karena ingin mencari pengalaman. Hal ini berkaitan dengan tradisi di kampung Riziq. “Kebanyakan keluarga di kampung yang ikut melaut karena sudah kenal dan dekat. Kalau kelu-


Universitas Negeri Jakarta arga pulang kampung, banyak yang ikut melaut,” tungkas Riziq Saat ditanya soal pendidikan, Riziq berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Akan tetapi, ia terkendala masalah biaya. Terlebih lagi, ia mesti membantu orangtuanya yang hanya bekerja sebagai petani bawang dengan penghasilan minim.

Perihal pendapatannya, Riziq mengungkapkan upah yang ia terima berkisar 50.000 rupiah sampai 100.000 rupiah dalam sekali berlayar. Meskipun terdengar menggiurkan bagi Riziq yang tergolong bukan usia kerja, pendapatan ini tentu tidak sebanding

dengan resiko keselamatan. Resiko keselamatan sebagai nelayan pernah dirasakan oleh Andri, nelayan yang sudah malang melintang di lautan. Saat usianya masih muda, ia pernah terkena tambang hingga meninggalkan luka sobek di bagian wajahnya. Bahkan, menurut pengakuannya, teman-temannya bernasib lebih nahas yakni kehilangan salah satu matanya, serta ada juga yang rusak giginya. Selain membahayakan keselamatan, mempekerjakan anak di bawah usia kerja juga akan dikenakan sanksi. Hadi, pemilik sekaligus kapten awak kapal nelayan, mengaku pernah tertangkap basah oleh polisi laut. Ia menuturkan, saat itu ia sedang membawa anak buah kapal yang salah satu diantaranya masih dibawah umur. Hal tersebut menyebabkan dirinya harus menerima hukuman berupa penahanan kapal miliknya selama 2 tahun, serta denda sebesar 20 juta rupiah.

Penulis: Rachma Asyifa, Alghifari Rahman Editor: Sonia Renata, Fadhlan Aziz 7


Lembaga Pers Mahasiswa

Mencari Rekreasi Di muara angke Wilayah yang berbatasan dengan lautan, menjadikan Muara Angke hanya memiliki objek rekreasi kuliner Muara Angke merupakan salah satu wilayah pesisir DKI Jakarta yang terletak di kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Letaknya yang berada di pesisir, memiliki potensi dalam beberapa sektor, termasuk sektor rekreasi dan pariwasata. Dilansir dari suarakarya.id, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Provinsi DKI Jakarta sudah mempersiapkan Muara Angke menjadi destinasi rekreasi kuliner unggulan di pinggir laut, dengan membangun Resto Apung yang memiliki bentuk seperti ikan pari dengan luas 6.000 persegi. Resto ini dibangun sejak 2016, dan telah selesai pada 2020 lalu. Namun, sampai sekarang Resto ini masih belum bisa dioperasikan sebagaimana rencana Pemprov DKI karena terkendala pandemi Covid-19. Rencananya, Resto ini diperuntukan kepada para pedagang sekitar Muara Angke. Terkait relokasi, para pedagang tidak ambil pusing. Mereka menerima dan mengikuti saja. 8

Hal ini disampaikan oleh Mimin, salah satu penjual otak-otak di Muara Angke sejak tahun 2000-an. “Ya enggak (keberatan), lah. Kita ikut umum aja kan, ya. Nanti kan kalau udah pindah ya enak. Rapi, bersih, tertata,” ucap Mimin sembari menyiapkan pesanan otak-otak pelanggannya. Menanggapi hal itu, seorang pekerja ABK nelayan yang telah ada di Muara Angke sejak tahun 90-an, bernama Buyung. Melihat keluhan yang ada dari Resto Apung ini adalah kios-kios yang kurang luas. Ia menambahkan jika biasanya terlihat kios yang memiliki pelanggan banyak, akan menyita tempat duduk kios sebelah. ‘’Takutnya iri lah, itu lah,” tuturnya. Namun, menurut Amar yang telah menjadi warga Muara Angke sejak tahun 70-an. Sebenarnya di sini tidak memiliki hal yang bisa disebut objek rekreasi, selain kuliner. Amar menambahkan jika Muara Angke adalah salah satu akses penyeberangan ke pulau-pulau seberang, yaitu Pulau Seribu.


Universitas Negeri Jakarta

“Iya (Muara Angke) bisa wisata itu, tapi ke Pulau yang lebih dianjurin, kalau di sini kan buat mengolah ikan saja,” ucapnya. Tak hanya penduduk setempat, tetapi para wisatawan yang datang dan pulang dari Pulau Seribu pun memiliki pendapat terkait Muara Angke ini sebagai objek wisata. Menurut Edo, salah satu wisatawan asal Jakarta yang baru kembali dari Pulau Seribu, Muara Angke ini mungkin bisa menjadi objek wisata kuliner. “Mungkin untuk orang yang sekali-kali datang sih bisa, karena Muara Angke ini kan tempat penjualan ikannya banyak,” ujarnya. Tetapi, Edo menambahkan selain sebagai objek wisata kuliner, Muara Angke ini tidak bisa menjadi

tempat wisata, apalagi untuk wisatawan yang ingin menghabiskan waktu yang lama. Seperti menginap dan menikmati pemandangan lautan. “Ya gak bisa kalau jadi objek wisata kalau di sini,” sambung Edo.

Penulis : Chiesa Aqilah, Muhamad Rizky Editor : Ihsan Dwirrahman 9


Lembaga Pers Mahasiswa

daftar lewat jaki, Putra daerah sulit akses lapangan ingub

Anies Baswedan meresmikan Lapangan Ingub di kawasan Muara Angke. Ironisnya, klub bola Muara Angke sendiri kesulitan dalam mendaftar hingga berebut jadwal penggunaan lapangan.

G

ubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meresmikan Lapangan Ingub Muara Angke di Jalan Dermaga, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara pada Jumat (26/11/2021) lalu. Lapangan yang memiliki standar FIFA ini, tidak untuk dikomersilkan, yang berarti menjadi milik rakyat. Acara peresmian dihadiri oleh beberapa pihak, seperti Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Kepemudaan 10

dan Olahraga, atlet Pemusatan Pelatihan Daerah (Pelatda) sepak bola putri, Ketua Pewaris Negeri, dan anak-anak yang tergabung dalam beberapa tim sepak bola lokal. “Warga semua sudah tahu, itu lapangan bagus bisa kapan mainnya. Jadi intinya dengan adanya lapangan berstandar FIFA ini, putra daerah Muara Angke bisa berkembang dengan maksimal,” ujar Abdul Karim, Ketua Komunitas Pewaris Negeri. Namun di balik semua itu,


Universitas Negeri Jakarta masyarakat Muara Angke kesulitan untuk mendaftar penggunaan lapangan, karena izin penggunaan mesti diakses melalui aplikasi Jakarta Kini (JAKI) milik Pemda DKI secara daring.

merintah dirasa perlu untuk melakukan sosialisasi penggunaan aplikasi JAKI. Sehingga, pihak Muara Angke tidak merasa dirugikan karena terus menerus tidak kedapatan jadwal penggunaan lapangan.

Mengingat aplikasi JAKI dapat diakses seluruh masyarakat DKI Jakarta, jadwal penggunaan Lapangan Ingub pun sudah padat sejak dibuka pertama kali. Bahkan, dari data yang didapat tim DIDAKTIKA, daftar penggunaan Lapangan Ingub sudah penuh untuk 2 bulan ke depan.

“Mudah-mudahan putra daerah diakomodir dari waktu yang ada, misalkan dua waktu yang tidak bisa diutak-atik, selebihnya dilepas,” pungkas Abdul Karim.

Abdul Karim juga sangat menyayangkan hal tersebut, karena berakibat pada perpindahan jadwal latihan klub bola Muara Angke. Biasanya, klub bola Muara Angke latihan pada Jumat dan/atau Sabtu. Namun, dikarenakan permasalahan JAKI tersebut, mereka mendapat jadwal di hari Kamis atau bahkan tidak mendapat jadwal sama sekali. Warga Muara Angke sendiri masih kesulitan untuk mengakses aplikasi JAKI karena keterbatasan teknologi. Di sisi lain, antusiasme yang tinggi dari seluruh penjuru Jakarta terhadap lapangan ini, juga membuat warga Muara Angke kesulitan menggunakan lapangan.

Mudah-mudahan putra daerah diakomodir dari waktu yang ada, misalkan dua waktu yang tidak bisa diutak-atik, selebihnya dilepas,

Penulis : Addina Nur Latifah, Syifa Nabila Editor : Izam Komaruzaman

Menurut Abdul Karim, pe11


Lembaga Pers Mahasiswa

R

usun Blok Eceng di Muara Angke, Jakarta Utara akan dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai bentuk penanggulangan warga terdampak banjir rob. Informasi relokasi ke rusun tersebut telah sampai ke warga RT011/022. Raniti, salah satu warga RT011/022 Tembok Bolong, mengatakan, warga di sana setuju mengenai relokasi ke rusun dan sudah menjalani cicilan sewa rusun tersebut. Berdasarkan penelusuran tim Didaktika, rumah warga sekitar Muara Angke memang sudah men-

12

Simpang Siur K Warga Mua

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta aka rusun untuk menanggulangi banjir r tersebut bel jadi langganan bagi datangnya banjir rob. Dilansir dari DetikNews berjudul DPRD DKI Minta Pemprov Segera Relokasi Warga Muara Angke ke Rusun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merelokasi warga Muara Angke ke rusun yang baru


Universitas Negeri Jakarta

Kabar Relokasi ara Angke

an merelokasi warga Muara Angke ke rob. Namun, sosialisasi mengenai hal lum merata. selesai dibangun. Hal tersebut dijelaskan oleh Wakil Gubernur DKI

Jakarta akan membangun tanggul untuk antisipasi banjir rob. Menurut pengakuan Raniti, pembangunan Rusun Blok Eceng rencananya akan dibangun pada Januari 2022, dengan menggusur pemukiman sebelumnya. Namun, lanjutnya, Raniti tidak mengetahui relokasi sementara untuk warga yang akan digusur. Raniti pun menambahkan, ia dan warga RT011/022 sudah mendaftar dan mulai membayar cicilan “Pendaftaran sekitar Rp100.000,- untuk bukti pendaftaran kita mendapatkan kartu kuning. Perbulannya kita membayar dari Juni Rp30.000,” ujar Raniti. Meskipun belum mendapat gambaran yang jelas mengenai fasilitas, Raniti berharap Rusun Blok Eceng layak untuk dihuni.

Jakarta, Ahmad Riza bahwa relokasi warga ke rusun ini akan menjadi opsi untuk menangani banjir rob di sekitar kawasan tersebut. Riza juga mengatakan, nantinya tak semua warga akan direlokasi ke rusun-rusun. Sebagai gantinya, Pemprov DKI

“Kalau rusunnya itu sendiri, kita belum tahu bentuknya seperti apa, karena memang belum dikasih tau. Semoga tempat baru yang akan kita tinggali nanti layak,” ujarnya. Raniti menceritakan banjir yang dialami para warga diperparah oleh lokasi yang padat dan banyaknya sampah. Bahkan, Raniti menuturkan, hanya dengan hujan semalaman saja, wilayahnya sudah tergenang ban13


Lembaga Pers Mahasiswa Selain itu, Giyarto menginginkan agar pemerintah mengganti uang yang dikeluarkan untuk meninggikan jalan. Harapannya, jika ada uang ganti dari pemerintah, maka uang tersebut bisa digunakan untuk biaya sewa atau uang muka rusun yang akan ditempati. jir setinggi setengah meter lebih. Namun, relokasi warga di wilayah RW022, tidak tersampaikan ke warga RT002. Giyarto, salah satu warga RT002/022 menuturkan belum adanya sosialisasi dari pemerintah DKI Jakarta mengenai relokasi ke rusun.

“Untuk meninggikan jalan atau selokan pun hasil swadaya. Kami patungan 200.000 per rumah. Pemerintah tidak pernah membantu sepeser-

Padahal, wilayah RT002/022 pun” juga mengalami nasib serupa. Menurut Giyarto, mereka bahkan Serupa dengan warga telah menguruk jalanan berkali-kali RT002/022, tidak adanya sosialsecara swadaya hingga setinggi tiga isasi mengenai relokasi warga juga meter untuk menghindari banjir. dijumpai di wilayah RT005/022. Giyarto berharap, jika war- Padahal, menurut Harun selaku ga akan direlokasi dari Muara An- ketua RT, wilayahnya juga mengke, mereka lebih mengingink- galami bencana banjir rob yang an rumah deret daripada rumah parah. Contohnya, ketika banjir susun. Hal ini dikarenakan, lanjut pada Desember 2020 kemarin. Ia Giyarto, rumah deret dapat diang- mengatakan, banjir saat itu bahkan sur dan mereka akan mendapat- setinggi lebih dari satu meter, dan kan sertifikat atas rumah tersebut. baru surut seminggu kemudian. 14


Universitas Negeri Jakarta Berdasarkan diskusinya dengan warga RT005/022, Harun menuturkan bahwa masyarakat akan menolak keras jika terjadi relokasi warga ke rusun. “Karena, warga tak ingin membayar sewa serta tidak bisa

Maka dari itu, Harun dan warga sekitar lebih setuju dengan rencana pembangunan tanggul untuk menahan banjir rob. Menurutnya, pembangunan tanggul tidak memerlukan angsuran biaya dan bisa tetap tinggal dirumahnya sendiri. Rencana pembangunan tanggul oleh pemerintah juga sudah pernah dibicarakan dengan warga setempat.

“Meski biaya sewa rusun murah, tetap akan terasa berat karena masih ada kebutuhan untuk keluarga” mendapatkan hak milik. Meski bi“Pernah ada rencana mau diaya sewa rusun murah, tetap akan tanggul, sekitar 3 meteran. Paling titerasa berat karena masih ada ke- dak 2022 akan dibangun, tapi tangbutuhan untuk keluarga,” ujarnya. galnya belum tahu,” pungkas Harun. Selain itu, Harun mengatakan, lokasi rusun yang belum jelas dikhawatirkan akan jauh dari wilayah Penulis: Arrneto Bayliss, Siti Nupesisir. Sebab, bagi warga yang ber- raini, Adella Zahra profesi nelayan, lokasi rusun yang jauh dari laut akan menyulitkan Editor: Hastomo Dwi Putra mereka untuk bekerja. Karena, tututur Harun, mereka harus menjaga perahu-perahunya jika hujan. 15


Lembaga Pers Mahasiswa

KISAH PEREMPUAN PENGUPAS KERANG DARI PESISIR JAKARTA

Dinamika Kehidupan Sriatun, perempuan pengupas kerang di Pesisir Muara Angke, dari urusan perut hingga pendidikan anak. Kondisi jalanan di kampung nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara cukup sulit untuk dilalui. Jalanannya rusak, berbatu, becek dan juga berlumpur. Ramainya warga yang sedang beraktivitas dengan lokasi rumah yang saling berhimpit di lahan terbatas, membuat suasana di kampung yang terletak di wilayah 16

pesisir tersebut semakin terasa sesak. Bau amis menyeruak dari pasokan ikan maupun kerang yang berada persis pada bagian belakang sebagian rumah warga. Terdapat perahu-perahu nelayan berjajar di tepian sungai lebar yang airnya sedang tinggi hingga hampir menyentuh batas tang-


Universitas Negeri Jakarta gul. Di situlah, tempat kerja para pengupas kerang. Mereka bekerja dengan beratap terpal, serta beralaskan limbah kerang hijau yang telah tertumpuk sampai menyembunyikan tanah. Hembusan angin yang begitu kencang membuat bambu tua penopang atap berdecit dan terpal melambai-lambai. Rata-rata pekerja pengupas kerang disini adalah perempuan. Tak sedikit dari mereka membawa anaknya agar bisa tetap diawasi. Mereka membuat ayunan gendong menggunakan kain batik yang diikat di tiang- tiang bambu. Ayunan itulah yang menjadi tempat anak–anak tertidur pulas di tengah riuh ramai kesibukan para ibu yang sedang bekerja. Ada juga yang membawa anaknya untuk ikut membantu mengupas kerang. Sriatun (39) adalah salah satu perempuan pengupas kerang di sana. Ia menceritakan kehidupan yang ia jalani selama dua puluh tahun sebagai pengupas kerang. “Dengan pendidikan saya yang terbatas, saya tidak ada pilihan lain selain menjadi pengupas kerang,” katanya sambil tersenyum, terlihat keringat membasahi keningnya. Di sela-sela istirahatnya menunggu rebusan kerang yang akan dikupas, ia bercerita mengenai rutinitasnya sehari-hari

sebagai pengupas kerang sekaligus seorang ibu rumah tangga. Ketika menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, kegiatan yang harus dilakukan oleh Sriatun tidak sedikit, seperti mencuci pakaian, menyiapkan makanan, dan membersihkan rumah. Ia juga menyiapkan keperluan sekolah anaknya serta mengantar anaknya ke sekolah. Sriatun merasa tanggung jawabnya sangat banyak di rumah sehingga kadangkadang tugasnya di rumah tidak dapat diselesaikan dengan baik. Usai menyelesaikan tugasnya di rumah, tepatnya pukul 08.30 WIB, Sriatun pergi bekerja untuk mengupas kerang. Ia bekerja hingga matahari terbenam, yakni pukul 19.00 WIB. Pendapatan yang tidak menentu sering dihadapi oleh Sriatun. Bahkan, akhir-akhir ini cenderung menurun. “Saat pasokan banyak, sehari saya bisa dapat tiga ratus ribu. tetapi ketika pasokan kerang sedikit, saya hanya bisa mendapat tujuh puluh lima ribu perharinya,” kata Sriatun. Selain dipengaruhi oleh pasokan kerang, banyaknya kerang yang dikupas juga menjadi penentu pendapatan Sriatun. “Jika banyak kerang yang bisa dikupas dalam sehari, maka upah akan lebih besar. Jadi, kami 17


Lembaga Pers Mahasiswa semua harus cepat,” ujarnya. Ia juga menjelaskan, jika berhasil mengupas tiga tong kerang yang terdiri dari lima belas ember bersama dua temannya, maka peng-

gores hingga menimbulkan luka. Sriatun harus bertahan karena ia tidak bisa hanya mengandalkan pendapatan suaminya. Bahkan, ditambah dengan peng-

hasilannya pun akan dibagi tiga. “Kalo begitu, saya hanya dapet tiga puluh ribu,” ucapnya. Untuk mengakali hal tersebut, ia dibantu oleh anak-anaknya untuk mengupas kerang agar mampu meningkatkan pendapatan harian. Perempuan dengan tiga anak ini juga mengeluhkan resiko kerjanya yang kerap menimpa dirinya. Seperti cangkang kerang dan pisau yang dapat membuat tangan ter-

hasilan mengupas kerang, masih belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Itulah yang membuatnya tetap tegar, karena tidak ada pilihan lain selain bertahan. Suaminya bekerja di pelelangan ikan untuk mengantar berbagai jenis ikan ke banyak tempat. Pendapatan perhari yang dihasilkan oleh suaminya biasanya sekitar 500.000 rupiah. Akan tetapi, semenjak pandemi pendapa-

18


Universitas Negeri Jakarta tan suaminya menurun menjadi hanya 70.000 rupiah perhari. Sriatun mengatakan bahwa ia bekerja demi memenuhi keadaan ekonomi, terutama dalam segi pendidikan anak-anaknya. “Saya berharap anak-anak saya bisa mendapatkan pendidikan yang layak, tidak seperti saya,” ucap Sriatun penuh harapan. Dengan sistem pendidikan sekolah yang mengutamakan umur anak. Sriatun sampai pernah berdoa dan meminta salah satu anaknya untuk tidak naik kelas agar bisa masuk ke sekolah negeri yang gratis.

“Mau gimana lagi, jika masuk ke sekolah swasta saya tidak sanggup dengan dananya. Ini saja sekolah daring anak-anak saya kesulitan. Kami hanya punya satu handphone untuk digunakan bersama. Belum lagi kuota yang boros” Selain bekerja sebagai pengupas kerang, Sriatun juga pernah mencari peruntungan lain, dengan menjadi buruh cuci untuk me-

menuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia harus mencicil biaya sekolah anak perempuannya yang sudah menunggak selama setahun terakhir. “Belum lagi sekolah dua anak laki-laki saya. Yang satu biaya sekolah perbulannya sekitar 100.000 hingga 400.000 rupiah. Sedangkan satunya lagi, anak laki-laki tertua juga tidak lepas dari kebutuhan biaya tidak terduga, seperti membeli sepatu,” kata Sriatun. Namun, kini ia sudah tidak melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh cuci lagi, karena banyaknya persaingan. Sriatun akhirnya memilih untuk fokus bekerja sebagai pengupas kerang. Selagi masih semangat dan dapat bekerja, Sriatun mengatakan ia akan terus bertahan menjadi pengupas kerang demi dapat menyambung hidup bersama keluarga kecilnya. Dengan badan yang sudah letih, Ia berujar pilu, “Kalau masalah cukup atau tidaknya, ya harus tetap saya jalani.”

Penulis: Devita Sari, Ezra Hanif, Laila Nuraini Editor: Vamellia Bella

19


Lembaga Pers Mahasiswa Memasuki kawasan pemukiman Muara Angke, Jakarta Utara. Tercium bau asin khas pesisir, warung-warung berjajar menjajakan tangkapan hasil laut, adapula yang menjual kebutuhan sehari-hari. Berjalan lebih jauh ke utara, akan tampak kerumunan orang berniat menyeberang ke Pulau Seribu. Tidak jauh dari kerumunan tersebut, terdapat deretan kapal bersandar menunggu jadwal pelayarannya. Di lain sisi, terlihat beberapa bangunan terendam banjir akibat pasang air laut yang melebihi garis pantai dengan perkiraan tidak melebihi tinggi betis orang dewasa. Untuk sampai ke gedung tersbut, kami harus berjalan turun dan menyusuri jalanan licin akibat adanya genangan air. Saat sampai, terdapat deretan warung yang kebanyakan menjajakan makanan ringan. Seorang pedagang berdiri, menyambut dengan menawari dagangannya. Dia adalah Latip, salah satu dari sekian pemilik warung yang terendam banjir di Kawasan Pelabuhan Muara Angke. Di warung sekaligus rumah berbentuk segi empat dan berukuran kurang dari 4 meter, Latip tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Di situlah sehari-hari dirinya menjajakan 20

Bertahan Hidup d Air: Sekelumit Kis

Menjelang penghujung tahun, kat. Demikian, dengan Air laut juga buat warga Angke, merasakan ancam kopi dan aneka jajanan ringan. Ia mengakui, banjir bukanlah sesuatu yang baru dan selalu datang pada pagi hari. “Ya datang banjirnya itu pagi, jam 6 itu sudah datang air sedikit-sedikit, dan surut pada malam hari setelah maghrib. Setiap hari, banjir selalu datang, tapi surut pada malam hari,” ucapnya penuh kepasrahan. Latip mengatakan, awalnya banjir menyambangi tempatnya ketika tahun baru saja, karena fenomena angin barat yang membawa curah hujan tinggi. Namun, semenjak adanya proyek reklamasi Pulau G membuat muka air laut meninggi. Sehingga, banjir terjadi setiap hari di kawasan warungnya. “Dulunya nggak setiap hari, paling setahun sekali aja. Selain itu , banyak uruk-urukan juga di Pulau G, jadi setiap hari airnya meluap,” ucap Latip seraya menyeduh kopi. Latip memutuskan tetap tinggal di warungnya meskipun selalu terendam banjir, karena bi-


Universitas Negeri Jakarta

di Atas Genangan sah Warga Angke

, intensitas curah hujan meninga memasuki fase pasang. Memman banjir rob di pelupuk mata. ngung mencari lahan untuk berdagang di tempat lain. Selain itu, suaminya juga sehari-hari bekerja sebagai penjaga loket penyeberangan ke Pulau Seribu. Banjir juga membuat warungnya menjadi sepi pembeli. Sehingga, Latip harus memutar otak dengan menjajakan dagangannya di kapal-

kapal yang bersandar di pelabuhan. “Pencahariannya di sini, nggak ada lagi. Kadang kita kan nggak diam aja mbak, pasti ke kapal membawa dagangan. Kalau mengharapkan dagangan di warung dan menunggu pembeli, ya sama saja, siapa yang mau membeli. Tamu-tamu kapal nggak mau kena air, kecuali kapalnya jauh dari sini,” tutur perempuan yang sehari-harinya hidup di genangan banjir. Selain itu, ada juga warung milik Jaryo yang lokasinya tidak jauh dari Pelabuhan Muara Angke. Jaryo merupakan salah satu korban dari penggusuran lahan di Kawasan Kaliasin.

21


Lembaga Pers Mahasiswa Jaryo, sempat menjadi seorang nelayan di Kaliasin. Ia memilih beralih menjadi pedagang karena keinginan istrinya. Meski sama-sama terendam banjir, air lebih cepat surut daripada di tempat Latip. Sebab tempat tinggal Jaryo terletak lebih tinggi, sehingga banjir lebih cepat surut. Walaupun begitu, Jaryo dan keluarganya juga pernah mengalami gatal-gatal ketika banjir parah terjadi di depan rumahnya. Beranjak dari warung Jaryo, kami disambut jalanan beralaskan tanah lembab dipenuhi genangan air. Memasuki salah satu gang, terlihat perbedaan tinggi tanah yang cukup signifikan. Hal ini menyebabkan banjir mengalir jauh dari bibir pantai dan menggenangi pemukiman Ibu Wastini dan Ibu Wamini. Wastini sehari-hari berprofesi sebagai pedagang air bersih di pemukiman rumahnya. Ia menjual air seharga 15.000-20.000 rupiah per drum. Menurutnya, air dari sumur bor kurang bersih, sehingga masih banyak warga membeli air bersih darinya. Senasib dengan Jaryo, meski berbeda kawasan, Wastini juga korban penggusuran tepatnya di Kaliadem. Hal itu menjadi alasan utama dirinya kini memutuskan tinggal di Muara Angke. Temannya, Wamini merupa22

kan seorang ibu rumah tangga. Ia mengaku sempat bekerja membantu orang untuk mencuci dan menyetrika pakaian. Tetapi, karena faktor usia Wamini memilih berhenti bekerja. Banjir yang datang ke pemukiman Wastini dan Wamini seringkali masuk ke dalam rumah warga. Menurut Wastini, air biasanya datang tidak menentu. Banjir rob menggenangi pemukiman sejak pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Terkadang banjir datang satu sampai tiga kali dalam sebulan. “Meskipun sudah meninggikan lantai rumah, banjir masih saja masuk ke dalam rumah. Kadangkadang sebulan bisa tiga kali. Sampai lemari dan kulkas ditinggikan. Ya namanya dekat laut, pancaroba, ngga menentu siklus banjirnya,” tutur ibu 3 anak yang sedang bercengkerama di pelataran rumahnya. Menurut kesaksian keduanya, pemukiman mereka pernah mengalami banjir besar secara tiba-tiba pada malam hari. Bahkan, Wastini sampai tidak sadar air telah memasuki rumahnya. Dirinya mengaku sedang tertidur pulas, saat sadar kasur yang ditidurinya telah mengambang di atas air dan listrik padam. Wamini menambahkan, banjir tersebut tidak cepat surut seperti biasanya. Wastini memperkirakan


Universitas Negeri Jakarta

banjir besar tersebut dialaminya tahun lalu. Bukan hanya membawa debit air tinggi, arusnya juga sangat deras. Ia sampai menggunakan batako di depan rumahnya. Agar, ketika banjir datang sampah tidak masuk ke dalam rumahnya. Namun, saat ini sampah sudah berkurang karena adanya petugas untuk mengambil sampah. Kendati demikian, sekarang resiko terjadinya banjir di pemukiman dua perempuan tadi sudah mulai berkurang. Sebab, terdapat inisiatif dari warga setempat untuk membuat gorong-gorong. “Masyarakatnya ini kan kompak jadi dibikin jalan air. Biasanya banjirnya sedada, tapi sekarang banjirnya cuma sebetis orang dewasa,”

ucap Wastini sembari menunjuk arah timur dari tempat duduknya.

Penulis: Adinda Rizki, M. Ragil Editor: Abdul

23


Lembaga Pers Mahasiswa

MAHALNYA HARGA AIR BERSIH DITENGAH MASYARAKAT PESISIR Tiadanya akses terhadap air bersih di Muara Angke membebani warga sekitar.

Muara Angke sangat masyhur dengan potensi sumber daya lautnya, mulai dari ikan, kerang, dan hasil laut lainnya. Namun, di balik tingginya potensi ikan dan sumber lautnya, terdapat permasalahan yang terjadi yaitu tentang kebutuhan air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap air, masyarakat harus membeli melalui tukang air maupun warga lain yang mempunyai sumber air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Padahal, air bersih adalah kebutuhan pokok yang harus 24

terpenuhi bagi setiap masyarakat. Bahkan, hal tersebut diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam pasal 1, disebutkan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bersih, guna memenuhi kehidupannya dan untuk kemakmuran rakyat. Harga air di Muara Angke pun tergolong mahal. Untuk mendapatkan dua jerigen kecil, masyarakat harus membayar 6.000 sampai 10.000 rupiah. Harga tersebut berdasarkan pengakuan salah satu pedagang air bernama Abdul Qadir. Ia mengaku, sehari mampu menjual seratus jerigen air bersih. Biasanya, tukang pikul seperti Abdul Qadir mengambil air dari pemasok air, salah satunya Sardina, yang telah berjualan air di Muara Angke selama lebih dari 35 tahun. “Saya pasang PDAM ini dari 1983. Sudah dari dulu menjadi pemasok air,” ujarnya. Sardina juga menerangkan, dahulu pemasok air tidak sebanyak sekarang. Kini, sehari hanya


Universitas Negeri Jakarta dua sampai tiga pedagang air yang mengambil darinya. Mahalnya harga air di Muara Angke membuat warga keberatan. Mimisut menjelaskan, ia harus mengeluarkan 20.000 sampai 50.000 rupiah per hari. “Biasanya, kalau mencuci pakaian bisa butuh lebih banyak air lagi,” katanya. Mimisut biasa membeli air bersih kepada pedagang yang berkeliling di daerah Muara Angke. Mimisut menambahkan, keadaan pandemi Covid-19 membuat kebutuhan air bersih semakin meningkat. Menurutnya, pemakaian air meningkat karena keperluan protokol kesehatan, seperti cuci tangan dan membersihkan rumah. Mimisut juga mengatakan, belum pernah ada bantuan air bersih yang datang dari pemerintah. Selain Mimisut, Ari Ananda juga merasakan hal yang sama. Ia menjelaskan bahwa dirinya harus merogoh kocek hingga 300.000 rupiah untuk keperluan air bersih dalam satu bulan, yang ia beli dari penampungan air di musala dekat rumahnya. “Namun, tidak bisa dipakai untuk minum dan makan, hanya untuk mandi, cuci piring dan cuci baju,” ujar Ari. Ia melanjutkan, untuk keperluan makan dan minum,

Ari harus mengeluarkan biaya tambahan membeli galon. Sementara itu, ketua RT setempat juga sudah berupaya mengajukan bantuan. “Iya, sudah bosan mengajukan bantuan air, tetapi dari dulu tidak pernah di proses, “ ucap Harun, Ketua RT.05/022. Harun juga menjelaskan bahwa pemerintah baru mengadakan survei terkait masalah pemasangan PDAM. Nantinya, setiap warga akan mendapat aliran air dari PDAM. Harun berharap, program penyaluran PDAM bisa terealisasikan. “Agar kami bisa menikmati air bersih dengan tenang,” pungkas Harun. Penulis: Putra Maulana, Zahra Pramuningtias Editor: Ahmad Qori 25


Lembaga Pers Mahasiswa Cerpen:

Alunan Kematian

Oleh: Ananda Ayudia

D

eru angin begitu kencang menerpa wajah puan yang kini tengah duduk terdiam ketika mobil melaju pada jalanan yang tengah lengang saat itu. Deru mesin yang mampu pecahkan hening tersampai pada rungu, ia menopang dagu dengan manik yang terpaku pada langit bergumpal awan kelabu. Helai rambutnya seolah menari mengikuti haluan angin, wajah yang terlihat termenung seolah menunjukkan sendu yang mendalam. Ia menghela napas kecil, lalu menyandarkan tubuh pada jok mobil. “Pantai sedang tidak begitu bersahabat, Nak,” ucap seorang dengan suara yang terdengar begitu berat, menginterupsi dirinya yang masih saja termenung. Kepala ia tolehkan, atensi sepenuhnya menuju pada Adam yang mengantarnya menuju tempat yang telah disebutkan. “Aku tahu, gemuruh di sana pula menunjukkan keganasannya sebagai sambutan untuk diriku.” 26

Senyum tipis ia tujukan pada sosok di sebelahnya. Mobil berhenti melaju tepat di bawah tebing yang mengarah langsung menuju pantai. Lengan kekarnya menarik rem lalu menoleh pada puan pemilik helai deragem, ia diam dan hanyut dalam lamunannya kembali. “Kau yakin ingin mencari sesuatu di saat seperti ini, Adel? Badai akan segera menerjang pantai dalam hitungan menit, kita bisa kembali setelah kau benar-benar memutuskan keputusan finalmu.” Kedua manik zamrud itu menatap keponakannya lamat-lamat, menunggu jawaban yang perlahan membuatnya merasa terjerat. Mengangguk pelan, manik samuderanya bertemu dengan manik zamrud sang paman. “Aku yakin, Paman. Jangan khawatirkan aku, aku akan kembali setelah mendapatkan apa yang aku mau.” Helaan napas terdengar dari ranumnya, sang Adam mengangguk mengerti akan kemauan sang keponakan. Lantas ia membawa puan ke dalam dekapan,


Universitas Negeri Jakarta

mengelus surai panjangnya dengan lembut. Sang empunya surai deragem pula membalas pelukan sambil menepuk punggung Adam dengan pelan, seolah menguatkan dan meyakinkan bahwa ia akan baikbaik saja. Dekapan itu terhenti ketika puan menarik dirinya seraya membuka pintu mobil dengan tangan yang menggenggam sebuah kotak. “Sampai bertemu nanti, Paman,” ucapnya seraya melambaikan salah satu tangannya dengan senyum tipis yang ia pasang pada wajah. Tanpa menunggu balasan dari sang Adam, ia berlari menuju pantai ketika angin kembali menerpa wajahnya dengan kencang. Pasir putih yang diinjaknya terasa begitu lembut, menyentuh kulit pucatnya ketika ia memutuskan melepaskan seluruh yang menutupi kakinya. Deburan ombak yang menabrak karang pula menambah suasana yang mence-

kam, tetapi hal itu tidak membuat puan pantang. Mundur dari sana dan siap menyambut badai di hadapan. Setelah menelan obat yang ia bawa dari kotak yang sebelumnya ia genggam tadi, kedua tungkai ia langkahkan menuju bibir pantai. Awan kelabu bergulung cepat di atas sana, pula disertai gemuruh yang saling bersahutan. Langkah kaki ia pelankan, membiarkan deburan ombak pada bibir pantai menyentuh kulit kakinya sedikit keras. Kini, ia teringat akan salah satu legenda yang sering dibacakan sang ibu sebelum dirinya tertidur lelap. Kisah dari sebuah makhluk yang hidup jauh di lautan sana, menyenandungkan melodi yang terdengar begitu harmonis dan indah. Nyanyiannya begitu merdu, lalu sampai pada rungu. Irama dan melodinya terasa memanjakan, begitu padu dan terasa menenangkan. Seorang pelaut begitu khidmat mendengarnya, terlena ke dalam senandung yang dilantunkan. “Memabukkan.” Nyanyian itu bagai suara indah kala bercumbu, ia terjatuh dalam kelembutan suaranya. Walau pemandangan di depan terlihat abu-abu, ia terus melaju terbuai padanya. 27


Lembaga Pers Mahasiswa “Mereka menantikannya.” Kedatangan mangsa yang akan tertimpa kesialan dibawanya, balasan akibat gagalnya mereka menjemput sang putri. Takdir yang membelenggu mimpinya kembali bermain dan bersua pada yang mereka kasihi. “KRAK!” Begitu nyaring bunyinya, terdengar begitu memekakkan di bawah badai yang tengah menerjang samudera. Bersenang hatilah, wahai, makhluk malapetaka itu! Mereka menyelam jauh kembali ke asalnya, tertawa akan kemalangan dan kesialan yang begitu pilu. ‘Ku katakan pada kalian, wahai, para penjelajah samudera! Jangan sekali-kali kau terbuai akan nyanyiannya atau kau akan merasakan kemalangan dan malapetaka yang tak dapat kau pungkiri. Pembuktian itu ada benarnya, dengarkanlah! Dengarkanlah! Begitulah dongeng yang sering ia dengar dari sang ibu sebelum ia jatuh terlelap. Mata yang sebelumnya ia pejamkan, perlahan terbuka dan menangkap lautan yang membentang luas di hadapan. Ombak kembali berdebur dengan kencang, menabrak batu karang yang menjulang di dekatnya dengan keras. Manik yang senada dengan samudera di depannya menat28

ap lautan dengan tatapan kosong, ia enggan beranjak untuk segera bergegas. Salah satu tungkainya melangkah mendekat menuju lautan. Ia mendengar gumaman melodi dari kejauhan. Gumam melodi yang terdengar seperti bisikan mengalun indah di telinganya, begitu lembut dan menenangkan. Angin bertiup kencang membuat surai deragem yang tergerai mengikuti haluan sang angin. Telinganya mendengung sejenak, tiba-tiba saja ia mendengar sebuah syair yang dilantunkan ketika dengungan itu perlahan mereda. Adel terbuai mendengarnya, merdu dan syahdu pun dalam hati mengaguminya. Kaki melangkah lebih jauh menuju lautan, mengikuti asal suara yang begitu indah tersampai pada rungu. Senyumnya seketika melebar, mengharapkan diri dapat bertemu dengan sang diva yang mendadak ia kagumi. Oh, sayang. Dirinya tidak berhasil memuja sang diva. Kemalangan menghampiri puan karena tidak dapat bertemu dengan diva langsung, atau bahkan sekedar bernyanyi dengan syair yang telah dilantunkan bersama. Ia sudah tenggelam bersama senandung di lautan.


Universitas Negeri Jakarta Puisi:

lepas

Oleh: Arneto Bayliss Wibowo di dalam kesunyian malam dengan suara berita dari tetangga kaki, tangan ku ini menjadi santapan yang lezat bagi nyamuk yang lapar bagaimana jika kita bisa melampaui alam semesta ini hanya dengan badan 170cm ke atas? hal hebat seperti apa yang kau ingin tembus dari perumahan blok C ini kau ingin keluar dari fisikmu yang mulai melemas ini bukan kau ingin batin mu puas dan terbang tak berarah hingga subuh menaiki matahari yang sedang menunggu arahan untuk terbit? sebelum diri ini menjadi robot robot yang tengah dipersiapkan menjadi salah satu alat kapitalisme hak mu dan kuasa mu sebagai manusia itu apa? bagaimana bisa kau memahami manusia kalau kau juga manusia?

Antah berantah, 11 Agustus 2021

29


Lembaga Pers Mahasiswa

Dokumentasi

30


Universitas Negeri Jakarta

31


Lembaga Pers Mahasiswa

32


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.