Haluan Mahasiswa 2019 Edisi Ramadhan

Page 1

MAHASISWA

LPM DIDAKTIKA

1


HALUAN M

2

RAMADHAN


MAHASISWA SAPA REDAKSI Salam sejahtera wahai makhluk semesta dari kelas brahmana sampai jelata, dari pengusaha sampai mahasiswa (pengangguran) dimanapun kalian berada!!! Bersyukur kehadirat Tuhan yang maha baik masih memberikan kita kehidupan di bulan ramadan yang penuh berkah. Kami dari DIDAKTIKA turut serta meramaikan Ramadan yang dihujani banyak pahala dengan memberikan kalian berita-berita untuk dibaca Di haluan edisi Ramadan kali ini berisi berita mengenai serbaserbi di komplek pecinan Suryakencana yang mungkin kedepannya bisa bermanfaat bagi pembaca. TERIMAKASIH & SELAMAT MEMBACA TABIK! REDAKTUR PELAKSANA Fahmi Ramdhani WAKIL REDAKTUR PELAKSANA Bimo Andrianto SEKRETARIS REDAKSI Siti Qoiriyah Tri Sulastri TATA LETAK Panji Laksamana Surasa Tri Sulastri EDITOR Uly Mega Septiani Muhamad Muhtar Annisa Nurul Hidayah Surya Muhammad Rizky Suryana Faisal Bachri Ahmad Qori Hadiansyah

@lpmdidaktika

DAFTAR ISI

BERITA UTAMA LAPORAN I LAPORAN II LAPORAN III LAPORAN IV CERPEN 22 Mei

4 7 10 13 15 17

REPORTER Imtitsal Nabibah Bimo Andrianto Mishael Evan Favian Karsten Fahmi Ramdhani Hastomo Dwi Putra Anisa Putri Septiana Nadila Kurniati Nadzma Izdhihar N. Muhammad Hafizh Panji Laksamana Surasa Siti Qoriyah Alfitra Fariz Tri Sulastri Vamellia Bella Cantika

www.didaktikaunj.com

Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Kampus A UNJ

LPM DIDAKTIKA UNJ

lpmdidaktikaunj@gmail.com

LPM DIDAKTIKA

3


HALUAN M

Parsel Musiman d

Kawasan Suryakencana dikenal sebagai “Chinatown� kota Bogor. Sebab kawasan ini merupakan wilayah pecinan yang mayoritas ditinggali penduduk etnis Tionghoa. Masyarakat sekitar kawasan Suryakencana menganggap kawasan ini sebagai jalur naga. Vihara Dhanagun--yang terletak di Utara jalan--dilambangkan sebagai kepala sang naga. Sedangkan punggung naganya ialah jalan Suryakencana hingga jalan Siliwangi. Pada 2014, kawasan Suryakencana dijadikan cagar budaya oleh pemerintah Bogor dikarenakan nilai sejarahnya. Sejak jaman kolonial, kawasan ini dijadikan jalur peniagaan oleh pemerintah Belanda. Selain 4

RAMADHAN

itu, kelompok etnis Tionghoa pun secara turun-temurun tinggal di wilayah ini. Bahkan hingga kini, kawasan Suryakencana masih dihuni oleh mayoritas etnis Tionghoa sekaligus masih menjadi kawasan perniagaan. Terdapat pasar-pasar serta beberapa toko yang menjual berbagai macam hal, mulai dari buku, baju, buah, hingga bermacam jenis kuliner. Datangnya bulan Ramadan memunculkan sebuah fenomena musiman pada kawasan ini. Yaitu munculnya paket-paket parsel yang dijual para pedagang. Parsel-parsel ini khusus dibuat untuk kebutuhan Hari Raya Idul Fitri. Seperti yang dilakukan Toko Naga Mas Suryakencana. Toko yang ber-


MAHASISWA

di Chinatown Bogor

diri sejak tahun 1975 dan dikelola secara turun-menurun ini, biasanya menjual aksesoris dan peralatan ibadah kelompok Tionghoa seperti dupa, kemenyan, dan patung emas dengan rupa kucing, harimau, atau

Datangnya bulan Ramadan memunculkan sebuah fenomena musiman pada kawasan ini. Yaitu munculnya paketpaket parsel yang dijual para pedagang. Parselparsel ini khusus dibuat untuk kebutuhan Hari Raya Idul Fitri.”

Buddha. Sebelum menjual peralatan ibadah dan aksesoris khas Tionghoa, toko ini menjual bermacam-macam kebutuhan seperti makanan, piring, dan buah-buahan. “Dulu, toko ini seperti Toserba gitu. Semuanya ada,” jelas Mansur. Namun berbeda dari bulan biasanya, di bulan Ramadan, Toko Naga Mas Suryakencana menambahkan parsel buatannya ke dalam daftar barang dagangannya. Mansur (80 tahun), pemilik toko, menjelaskan bahwa usaha parsel dilakukannya sejak 10 tahun terakhir. Biasanya, ia menjual parsel setiap menjelang hari raya besar agama saja, seperti Idul Fitri, Natal, maupun Imlek. Ia menambahkan, usaha parsel ini dilakukan LPM DIDAKTIKA

5


HALUAN M

karena ia melihat peluang permintaan dari konsumen. Menurutnya, setiap perayaan hari besar, orang-orang akan saling berbagi ke sanak saudaranya. Adapun parsel adalah salah satu hal yang menurutnya menjadi barang favorit untuk dibagikan pada hari raya. Parsel yang dijual di toko ini antara lain parsel berisi makanan, peralatan shalat dan peralatan dapur seperti gelas, piring, mangkok. Untuk parsel makanan, dijual dengan kisaran Rp100.000-Rp1.000.000. Parsel peralatan shalat, dijual mulai dari Rp300.000. Sedangkan parsel dengan paket peralatan dapur dijual dengan harga kisaran Rp500.000 sampai Rp2.000.000. Mansur menjelaskan, bahwa harga yang ditawarkan tersebut ditentukan berdasarkan ukuran dan isi 6

RAMADHAN

I

parsel, “makin besar ukurannya dan makin banyak isinya akan makin mahal,� tuturnya. Dari ketiga parsel tersebut, permintaan parsel berisi makanan mendominasi pasaran. Walaupun begitu, Mansur tetap membuat parsel dengan peralatan shalat dan peralatan dapur. Mansur pun menjelaskan, terdapat perbedaan pendapatan antara bulan Ramadan dengan bulan biasanya. Pada bulan Ramadan, ia mendapatkan pendapatan lebih dari hasil penjualan parselnya, dibandingkan bulan biasanya yang hanya dapat pendapatan dari hasil penjualan peralatan ibadah. Penulis : Fahmi Ramdhani & Tri Sulastri Editor : Annisa Nurul


MAHASISWA

Rahman dan Onde-ondenya

“Mengigat lebaran semakin dekat, memang timbul keinginan Rahman untuk mudik dan berkumpul bersama keluarganya. Namun, untuk memboyong seluruh anggota keluarganya ke kampung halaman dibutuhkan biaya yang tidak sedikit” Malam itu, Jl. Surya Kencana (Surken) tampak lengang. Toko-toko di sisi jalan sudah menghentikan aktivitasnya, menyisakan beberapa kedai kopi kekinian dan minimarket. Setelah berjalan cukup jauh, saya menemukan cahaya kehidupan malam disuatu perempatan. Kontras dengan sepinya jalan Surken, perempatan itu cukup ramai dengan berbagai macam jajanan dan streetfood ala Indonesia. Orang-orang biasa menyebutnya perempatan Gang Aut

Sambil menikmati suasana jalanan yang lenggang ditemani susu jahe dan onde-onde, saya membuka obrolan dengan pedagang onde-onde. “ya memang seperti itu. Surken ya kalau malam sepi seperti ini. Seharusnya ade datangnya agak sore, sekitar jam 5an deh. Mungkin masih ramai” pedagang itu, yang belakangan saya ketahui bernama Rahman, menjawab pertanyaan saya mengenai kondisi malam di Surken. “Apa lagi kalau puasa kaya gini, malamnya makin sepi. Tapi LPM DIDAKTIKA

7


HALUAN M kalau siang sama saja kaya hari biasa. Puasa atau engga, disini mah kalau siang gak ada bedanya,” pungkasnya. Rahman mengaku sudah lama beraktivitas di Surken. Sejak 13 tahun lalu, ia sudah mulai menata hidupnya disini. Merantau dari sukabumi, Rahman sebelumnya pernah menjajal ibu kota. Sayangnya, ia tak kerasan dan memilih kembali. Selepas itu, barulah ia mencoba peruntunganya di Bogor “Dulu sih sempet kerja di salah satu toko. Tapi akhirnya berhenti karena sudah punya anak dan istri,” ujarnya. Menjadi pedagang adalah jalan tengah bagi Rahman. Menurutnya, akan lebih mudah membagi waktu dan tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarganya jika menjadi seorang pedagang. Selama menjalankan usaha kecilnya, Rahman beruntung tidak mengalami banyak masalah. zIa menuturkan, sebelumnya Surken dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Namun, setelah ada perbaikan trotoar, pedagang kaki lima sering ditertibkan oleh petugas. “Alhamdulillah sih, engga pernah sampai sini. paling didepan sana, dekat gapura,” syukurnya. Beruntungnya lagi, lapak Rahman berjualan tidak dipungut biaya. Rahman cukup meminta izin pada siempunya teras toko 8

RAMADHAN

tempat dia berjualan. Bebeda dengan lapak-lapak sekitarannya yang menurutnya bisa sampai 600 ribu rupiah setiap bulan. Rahman mengatakan bahwa lapak itu milik salah satu ormas. “ya ada lah de ormasnya” jawab Rahman saat ditanya mengenai ormas apa yang dimaksud. Ditengah perbincangan, sesekali pembeli datang membeli onde-onde dan molen pisang yang Rahman jajakan. Pembeli yang datang rata-rata adalah penduduk sekitaran Surken. Tetapi, ada juga beberapa pengguna jalan yang mampir. Beberapa dari mereka juga bukan wajah baru bagi Rahman, pelanggan lama. Tak lama berselang, datang sorang wanita paruh baya membawa balita. Itu adalah istri Rahman. Memang istri dan anaknya sering berkunjung kemari, terutama di bulan Ramadhan sehabis teraweh. Sebenarnya ada satu lagi anak Rahman, kelas 2 SMP. Namun, saat ini ia sedang meneruskan pendidikan di salah satu persantren dikawasan Sukabumi. Dalam kesehariannya, sebagaian besar waktu Rahman dihabiskan untuk berdagang dan mempersiapkan dagangan. Sejak sore, Rahman sudah sibuk mempersiapkan lapak dan onde-onde. Rahman menyadari, banyak wak-


MAHASISWA tunya yang terbuang. Siang hari hanya dia habiskan untuk bersantai dan merebahkan diri. Sempat terpikir oleh Rahman untuk kembali berkerja di toko. Namun, ia lebih memilih mengurungkannya demi waktu dengan keluarga. Bertahan dalam kondisi tersebut bukan perkara mudah bagi Rahman. Dengan istri dan dua orang anak, memang kebutuhan hidup keluarga Rahman cukup besar. Kebutuhan-kebutuhan itu mencakup biaya makan, kontrakan, hingga biaya sekolah. Penghasilannya yang tidak menentu, berkisar antara 100-150 ribu per hari, mengharuskan Rahman dan keluarga untuk ekstra berhemat.

Baginya, pandai-pandai bersyukur adalah kunci kebahagiaan hidup. Mengigat lebaran semakin dekat, memang timbul keinginan Rahman untuk mudik dan berkumpul bersama keluarganya. Namun, untuk memboyong seluruh anggota keluarganya ke kampung halaman dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Berjualan haingga hari-hari terakhir Ramadhan menjadi satu-satunya pilihan bagi Rahman sambil berharap uang yang terkumpul cukup untuk biaya mudik. Penulis : Panji Laksamana Editor : Ahmad Qori

LPM DIDAKTIKA

9


HALUAN M

Bertahan Hidup ditengah Diskriminasi Etnis dan Kebijakan Rasial “Pemilik sebuah toko kelontong di tepi jalan Suryakencana, Bogor, punya cerita kelam pada masa Orde Baru, ketika diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sangat dirasakan olehnya.� Malam itu, Jumat, 17 Mei, jalan Suryakencana terlihat sepi. Kebanyakan toko yang berada sepanjang jalan, telah tutup. Terlebih lagi, hanya sedikit kendaraan yang masih berlalu lalang melewati jalan ini. Sebuah toko kelontong di pinggir jalan, ternyata masih ber-

10

RAMADHAN

sedia melayani pembeli. Toko bernama Sumber Baru ini menjual berbagai macam barang yang dibutuhkan manusia sehari-hari, seperti sabun mandi, pengharum ruangan, baterai dan semacamnya. Toko ini pun masih terlihat sederhana, mulai dari ruangannya yang minimalis, tembok berwarna putih kusam,


MAHASISWA hingga rak yang masih terbuat dari kayu. Kami, Tim Didaktika, akhirnya bersua dengan pemilik toko tersebut. Pauman (63), pemilik toko yang belakangan kami ketahui namanya, merupakan kakek beretnis Tionghoa berambut putih tipis yang tengah sibuk mencatat sesuatu di meja kasirnya. Kami pun menyapa, diikuti beberapa pertanyaan tentang sejarah berdirinya toko kelontong tersebut. Dengan ramah dan cekatan, kakek yang masih terlihat bugar itu pun merespon kami, “Wah, toko ini sudah lama berdiri. Diwarisi turun temurun. Bisa dibilang usaha keluarga.� Ya, kami sudah menduga toko ini memang telah lama berdiri, terlihat dari bentuk arsitektur dan tata ruangannya. Toko ini masih eksis bertahan, ditengah menjamurnya toko-toko modern di sekitarnya. Di jalan Suryakencana, yang terletak di sebelah selatan Kebun Raya Bogor, memang masih kental atmosfir “Tionghoa�nya, mulai dari arsitektur bangunan, lampion yang menghiasi beberapa toko, hingga orang-orang Tionghoa yang tengah asyik bercengkerama di tepi jalan Suryakencana. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, orang-orang Tionghoa dis-

ana menjalankan berbagai usaha, seperti kelontong, parsel, hingga meubel. Kami pun tertarik untuk mengupas sejarah jalan Suryakencana, khususnya mengapa jalan ini dijadikan komplek pecinan. Namun, Pauman rupanya tak mengetahui akan sejarah jalan Suryakencana. Akan tetapi, beberapa kebijakan pemerintah yang mengatur Suryakencana, masih teringat dalam ingatan Pauman, mulai dari yang menguntungkan hingga merugikan. Salah satunya yaitu kebijakan yang memberlakukan satu arah kendaraan di depan jalan tokonya. Kakek yang sudah berkepala enam itu pun menjawab, adanya kebijakan itu tentu merugikan tokonya, karena tokonya tidak lagi seramai ketika masih diberlakukan dua arah. Kebijakan demi kebijakan, ia tuding satu-persatu. Hal yang sering ia singgung kebanyakan dirancang oleh Soeharto, karena hidup Pauman memang banyak dihabiskan pada era pria dengan julukan The Smiling General itu. Tak dapat dipungkiri, di era tersebut memang banyak terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Salah satunya tentang Presidium Kabinet No.127/U/ Kep.12/1966 yang mengharuskan LPM DIDAKTIKA

11


HALUAN M adanya pergantian nama bagi warga negara Indonesia yang menggunakan nama Tionghoa. Dengan tatapan tajam, Pauman berkomentar, “Tahu gak kalian, betapa rumitnya ketika orang sudah mengganti namanya? Mereka harus mengganti surat-surat yang lain, seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, sertifikat rumah, dan lainlain.” Terlihat raut wajah kesal ketika ia bercerita. Kebijakan rasial semacam ini tentu sangat merugikan dirinya. Terlebih lagi, orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak diperbolehkan menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Pembatasan ini membuat orang-orang Tionghoa di Indonesia hanya dapat berniaga saja. Terpukul akan hal itu, sedih, kesal, marah, itulah emosi yang kami lihat ketika ia mengingat kembali memori pahitnya. Kebijakan-kebijakan yang rasial ini, membuat beberapa pribumi akhirnya menilai sebelah mata orang-orang Tionghoa. Kakek yang seluruh rambutnya telah berubah putih ini pun bercerita, “Kaki saya pernah ditendang sama tentara cuma gara-gara saya nyenggol mobilnya sedikit. Habis itu saya dimaki, bawa-bawa etnis Tionghoa.” Tak hanya tentara, rakyat kelas bawah juga turut meremehkan et12

RAMADHAN

nis Tionghoa. Bedanya, mereka memanfaatkan keadaan ini untuk keuntungan materil. “Kakak saya pernah dibacok kepalanya gara-gara ada pelanggan minta diskon tapi gak dikasih,” dengan nada keras ia menuturkan. Ketika Soeharto melancarkan program “Penembakan Misterius (Petrus)”, yakni penghilangan paksa terhadap mereka yang bertato dan tampak layaknya “preman”, Pauman merasa lebih aman karena ia tak sanggup lagi menutup kerugian akibat penjarahan tokonya oleh “preman” tersebut. “Ya, baiklah jika Petrus melanggar hak asasi, tapi kalian tidak merasakan bagaimana nasib kami.” Ujar pria sepuh itu. Pauman menyarankan kita untuk selalu membaca buku. Menurutnya, sejarah negeri ini banyak dibelokkan oleh Soeharto. Ini membuat kita tidak kritis dan tidak mengerti sejarah. Namun, Kakek kelahiran tahun 1956 itu pun bersyukur masih diberikan kehidupan hingga sekarang. Melewati zaman Orde Baru yang baginya penuh diskriminasi dan ketidakadilan.

Penulis Editor

: Hapiz & Tomo : Ilham A.


MAHASISWA

Renungan Kehidupan dari Selasar Toko Jumat (24/5), Tim didaktika mengunjungi Jalan Suryakencana, Bogor. Malam itu, sekitar pukul 20.00 suasana cukup remang. Meski tidak banyak, terlihat kendaraan lalu lalang melintasi jalan raya. Pejalan kaki sesekali melintasi trotoar, yang dihimpit Pedagang Kaki Lima (PKL) dan toko-toko sepanjang jalan. Tokotoko itu mayoritas sudah tutup. Di selasar salah satu toko yang tutup, terlihat sekitar empat orang berkumpul. Tiga orang diantaranya sudah dalam posisi tidur, sementara satu orang yang dalam posisi duduk, dengan sebatang rokok terselip ditanganya nampak asik bermain dengan kucing liar. Namanya Muhamad Satiri, pria 74 tahun itu datang jauhjauh dari Kemayoran hanya untuk memulung. Saat ditanya alasannya memulung sampai ke Bogor, Satiri mengaku agar hal tersebut tidak diketahui keluarganya. “Saya tidak mau menyusahkan kelurga, makanya saya ke sini biar tidak ketahuan,� jelasnya. Sudah dua bulan sejak kedatangannya, tak banyak yang bisa

dilakukan Satiri kecuali memulung di siang hari dan tidur di selasar pertokoan bersama rekan seprofesinya di malam hari. Meskipun hidup memanfaatkan selasar toko, Satiri mengaku beruntung tidak pernah mendapatkan perilaku buruk dari para pemilik toko. "Orang di sini baik-baik kok, kita tidak pernah diusir hanya karna tidur. Selama kita tidak menganggu, mereka juga tidak akan

LPM DIDAKTIKA

13


HALUAN M menganggu, kadang malah kita diberi makanan,� tuturnya. Hidup hanya dengan memulung pun tidak membuat Satiri rapuh. Ia tetap bersahaja dalam kehidupannya. Tak pernah ia mengeluhkan keadaan hidupnya yang serba kekurangan. Bagi Satiri, penghasilan yang hanya cukup untuk makan, minum, dan merokok sudah sangat ia syukuri. Ia memaknai kehidupan yang serba kekurangan sebagai kehendak Sang Pencipta. Anggapanya, hal tersebut adalah skenario yang dijalani saat ini, sebagai sebuah perjalanan menuju petunjuk Tuhan. Satiri menggambarkan, "baik buruk, halal haram, adalah lakon di dunia. Itu sudah kehendakNya." Baginya, manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Sifat buruk sangka, syirik, dan sombong adalah akibat dari ketidakpernahpuasan manusia akan

14

RAMADHAN

kehidupan. Sukses adalah harapan semua manusia. Namun untuk menuju ke sana setiap manusia memiliki jalan masing-masing. Banyak orang mengeluh menurutnya, saat mereka merasakan sukses. Menutup pertemuan malam itu, Satiri memberi pesan, bahwasannya apa yang datang dari orang lain harus bisa dijadikan pelajaran berharga untuk lebih menghargai kehidupan. "Ilmu itu dari bisa dari mana aja. Ucapan saya ilmu, ucapan andailmu. Yang penting kita sudah sampaikan. Urusan mau dipakai atau tidak itu nanti," katanya berkontemplasi.

Penulis : Siti Qoiriyah, Imtitsal N. & Evan Favian Editor : Ahmad Qori


MAHASISWA

Balada di Balik Indahnya Kota Pemerintah kota bogor telah menyelesaikan revitalisasi jalur pedestrian di Jalan Suryakencana, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Sebagai upaya dalam mewujudkan label “Bogor Surga Bagi Pejalan Kaki”. Revitalisasi pedestrian ini dilakukan dengan memangkas bahu jalan selebar dua setengah meter, guna mewujudkan trotoar yang ramah bagi para pejalan kaki. Selain itu, pemerintah setempat juga melakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL) yang sebelumnya

biasa berjualan di sepanjang jalan tersebut. Diantaranya pedagang siang dipindahkan ke plaza bogor, sedangkan pedagang malam ke pasar gembong, sukasari. Namun, pedagang kaki lima yang memilih “hijrah kembali” dari tempat relokasi musti gigit jari. Nyatanya selain sepi karena penertiban, pemberlakuan jalan satu arah disepanjang Jalan Suryakencana juga membuat jalanan jadi tidak seramai seperti sedia kala. Firdaus, salah seorang penjual kopi di Jalan Suryakencana mengaku, pukul 10 malam jalan tersebut su-

LPM DIDAKTIKA

15


HALUAN M dah terasa sepi. Hal itu berdampak pada pendapatanya yang berkurang seiring sepinya pelanggan, akibat dampak relokasi jalanan tersebut. “Jalanan bagus tapi kok begini, orang kecil seperti saya mau kemana?” Keluhnya. Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah setempat melalui kebijakan relokasinya masih belum memberikan pemecahan masalah terbaik bagi PKL yang menggantungkan hidupnya di Jalan Suryakecana, ditandai dari beberapa pedagang yang lebih memilih kembali ke jalan Suryakencana, karena pendapatan di tempat relokasi tidak sebanding dari sebelumnya. Jalan Suryakencana kini menampakan rupa yang berbeda seperti yang dikatakan Haris, warga sekitar Jalan Suryakencana, “Suryakencana dulu dikenal kota tidak pernah tidur, kini malah menjadi kota nyaris mati” katanya. Salah seorang satpam gereja di bilangan Jalan Suryakencana pun merasakan sudah beberapa bulan terakhir mengalami perubahan suasana yang kontras. Sebelumnya jalan tersebut ramai, kini sepi. “Kalau dulu ya banyak kuliner jalanan, kalau sekarang sudah tidak diperbolehkan sama walikota,” ucap Endang mengamati. Program yang dinilai bakal mem16

RAMADHAN

percantik ikon kota bogor ini justru membuat jalanan sepi dan menyebabkan pendapatan pedagang di Jalan Suryakencana semakin berangsur menurun. Hal itu pun dirasakan Aot, penjual gorengan di kawasan tersebut. Ia mengeluhkan pendapatanya kini menurun hingga sekitar 50 persen dari sebelum pemberlakuan penertiban di kawasan tersebut. Ia melanjutkan, ada alternatif untuk tetap berjualan di Jalan Suryakencana yaitu dengan menyewa kios di sepanjang kawasan. Namun, harga yang ditawarkan masing-masing kios sangat tidak ramah terhadap PKL, yakni kisaran puluhan juta pertahun. “Untuk makan sendiri saja susah, anak saya sampai nangis karena saya tidak bisa bayar sekolahnya dikampung. Masa saya dipaksa kontrak?” keluhnya. Suherman, ketua Rukun Tetangga (RT) tiga, Jalan Roda 7, Suryakencana berkomentar, ia menyayangkan nasib perekonomian PKL melemah semanjak penertiban , “disini jadi agak bersih, Cuma dampaknya ke yang jualan ya, kasian.” Ujarnya.

Penulis : Bimo & Vamel Editor : Muhamad Muhtar


MAHASISWA

22 MEI 22 Mei, tanggal baik dan bulan baik, kata siapa, ucap mulut seorang reporter muda. Dia reporter muda, sebagai orang muda pasti gajinya kecil. Seperti gajinya, majikanpun cuma media kecil dengan pangsa pasar spesifik pro-rezim. Tapi dengan gajinya yang kecil itu, mampu ia cicil sepeda motor yang lampunya bisa menyala dan kelaksonnya seperti sangkakala malaikat. Sepeda motor itulah yang ia gunakan untuk mengunjungi tempat kejadian perkara atau narasumber. Amat cocok lantaran ia dapat bagian mewarta perihal jalanan. Barangkali motor itu memang sudah ditakdirkan dengannya sejak masih dalam rahim pabrik, bahkan saat tongkat lonjong tuas besi batangan. Ia ingat lagi, hari ini bukan bulan apalagi tanggal baik. Terkutuklah kalender masehi yang menjadikan hari rabu tanggal 22 Mei. Kekesalan ini akibat dari tugasnya hari ini mewartakan demo kelompok bersorban panjang depan Bawaslu di Thamrin, Jakarta pusat. Kekesalan lebih utuh saat tahu jaringan komunikasi diputus, tidak bisa ia menyampaikan pesan lewat Whatsapp. Apalagi ia sama

CERPEN Oleh : Faisal Bahriz sekali tidak ingat hasil rapat peliputan beberapa hari lalu. Maka seadanya, ia ikuti rekayasa lalu lintas. Ia datang dari tanah abang, beberapa kali matanya perih terkena udara. Nampaknya sisa-sisa pertempuran tadi pagi, sekelompok orang menyerbu asrama Brimob. Tak habis pikir si Reporter gaji kecil, orang bisa segila apa sampai bisa serang asrama Brimob dan bisa menang. Matanya perih, sampai ia harus berhenti beberapa kali mengucek mata. Tiap kali dikucek makin perih, sampai ia tidak bisa lagi merasakan matanya. Untungnya, ia masih bisa melihat jadi sadar mata tidak harus dirasakan. Ia nyalakan lagi motornya dan menuju Jalan Thamrin. Kupingnya tangkap suara dari langit, mungkin sudah waktunya kiamat, ucapnya halus penuh cinta, tapi itu cuma suara helikopter memungut air kali. Reporter bikin hipotesa, mungkin pilotnya haus. Akhirnya, motornya sampai beberapa meter dari kumpulan massa. Saat motor secara akurat diparkir, ia pun harus turun. Reporter kembali mengumpat semesta, ia ingat sesuatu. Ia ingat LPM DIDAKTIKA

17


HALUAN M bahwa dia tidak ingat apapun dari rapat peliputan. Maka ia coba cek whatsapp, masih tidak bisa. Ia coba telpon pemimpin redaksi, Haloow, Maaf pulsa anda tidak mencukupi. Ia pun kembali mengutuk sesuatu. Ia begitu malas buat isi pulsa, nampaknya semua tukang pulsa ikut aksi. Ia pun pasrah, tinggal menyusun alasan nanti saat diomeli. Untuk memperkecil kemungkinan itu pun berniat spontan, mewartakan apa yang ia lihat nanti. Ia berencana wawancara massa aksi sebanyak mungkin, kalo bisa koordinator lapangan aksi. Beberapa langkah langsung sadar siapa yang bisa ia tanyai. Begitu banyak massa aksi, Reporter gaji kecil kesulitan bedakan satu dengan yang lain. Hampir semuanya berbaju putih, seperti ninja memang, ia tandai satu orang baru dua detik langsung hilang. Ia berhenti di kumpulan anak muda dengan setelan yang beda. Mereka kenakan jaket distro, dan sorban. Sama seperti siapapun yang ikut aksi hari ini, dibawah matanya ada goresan odol warna putih. Zat-zat dalam odol bisa mengurangi gas-gas dari polisi. ‘’Jadi Kenapa kalian ikut aksi hari ini?‘’ Tanyanya sambil mengambil posisi duduk rileks. Ia keluarkan perekam suara jadul tapi akurat jika dibanding ponsel korea 18

RAMADHAN

milik dia. ‘’Kecurangan pemilu ini harus dilawan,‘‘ ucapnya. Sebagai remaja ia menjelaskan demokrasi telah diperkosa. Sebagai narsum ia sebut bahwa ibu pertiwi sedang diperkosa. Namun bagi reporter gaji kecil masa pemerkosaan sudah lewat, pemikiran seperti ini ia dapat melalui setahun kerja di media yang mewartakan berbagai hal baik. Beberapa kali ia mondar mandir diantara orang berbaju putih berteriak-teriak takbir seperti ujung bulan puasa. Makin cepat langkah kaki seraya suara takbir mendekat ditangkap telinganya, derap kaki kanan diiringi oleh suara takbir sesekali shalawat. Celingukan kepalanya, matanya menewarang berbagai sumber suara, ibu-ibu yang mengangkat tangannya dan pejam mata penuh hikmat. Tepat 510-meter ke arah barat, gerombolan remaja juga mengangkat tangan. Mereka angkat tangan lalu menyambit botol. Tiap botol yang ia sambit ke arah sembarang, ia teriakan takbir. Disamping gerombolan pelempar botol ada barisan orang sholat magrib, mereka serentak ikut takbir. Sementara reporter yang gajinya kecil sudah mengumpulkan rekaman beberapa orang, ter-


MAHASISWA masuk menanyakan alasan ideologis seorang pedagang kopi, demi ridho yang maha kuasa di bulan puasa, ucap tukang kopi. Sebagai wujud terima kasih, ia beli segelas kopi dan rokok secukupnya. Ia pikir narsumnya semua bicara hal sama. Maka ia harus perbanyak tulisanya dengan penjelasan lokasi kejadiaan perkara. Baru sadar ternyata beberapa hari lalu ia sekilas melintas. Jl. Sabang Thamrin tempat berkumpul massa aksi juga tempat kumpul gedung 2-3 lantai, hotel atau kantor. Diantaranya barisan gedung kecil ada jalan kecil, jika ditelusuri akan membawa ke pelbagai warungwarung semi-permanen. Lalu tubuhnya di dorong dari depan. Lantunan takbir kembali ia dengar nyaru dengan teriakan, woy, maju, dan udah mas jangan. Reporter sadar ia harus jelaskan momen depannya, artinya bagaimana massa aksi sebagai subjek dibalik tiap momen. Dia langsung melihat dua orang lelaki paruh baya didepan-

nya, satu orang beratribut putih tanpa peci dan satunya lagi cuma melingkarkan sorban dilehernya. Ada perempuan remaja, barangkali seumuran dengannya, berada disampingnya sesekali meneriakan, beraninya pake senjata. Sementara tukang kopi sepeda sudah hilang bersama bisnisnya. Ia duduk bakar rokok, menawarkan lelaki yang duduk sampingnya. Diterimanya rokok, reporter menerima pertanyaan, menurut mas siapa orang yang paling diuntungkan disini? Saya kira bukan siapa-siapa. Kubu oposisi dong pak, soalnya massa aksi kan dukung mereka, ditanya demikian reporter berhati-hati sekali ia salah sebut bisa di hantam massa. Tapi kalo dipikir bukan sekedar mereka yang ada di oposisi, tukas lelaki itu, mas wartawan ya, tanyanya. Reporter itu mengiyakan halus, menghisap rokok guna mengepulkan asap sembunyikan wajahnya. Reporter kaget, baru beberapa kali hisap batang rokok, langsung habis. Lawan bicaranya LPM DIDAKTIKA

19


HALUAN M menjelaskan narasi pertentangan kelas antara penindas dan tertindas dihalangi oleh keberadaan kelas menengah dalam masyarakat. Dalam konsep pertentangan yang oposisi biner, kelas menangah harus masuk ke atas atau bawah supaya jelas, ucapnya. Spontan, reporter bertanya tujuan kedatangan lelaki ini diantara kerumumanan massa. Ia jawab, aksi massa adalah satu-satunya cara efektif untuk menuntut sesuatu, menekan birokrasi menjatuhkan tirani, dan menjaga demokrasi. Lelaki itu menggunakan baju koko dan celana jeans, lehernya dilapis sorban, ujung kepalanya ditutupi peci batok, dan dibawah matanya ada segaris odol. NIH ORANG NGAPAIN DISINI, tanya reporter dalam batin yang bingung. Sebelum lebih jauh, lelaki itu mohon pamit dan maju kedepan barisan massa aksi. Reporter gaji kecil kini jadi bingung, kebingungan bikin mulutnya nutup. Ia teringat hal lain yang dapat jadi satu berita sendiri, soal pemutusan komunikasi yang dilakukan KOMINFO. Ia siapkan diri, sebenarnya ia selalu dipenuhi ragu sesaat menemui narsum, basa basi apa, jika ditolak gimana, tapi saat ingat gaji ia langsung mengumpat dan maju. Ia pun mengumpat dir20

RAMADHAN

inya, dan duduk disamping seorang perempuan paruh baya di tempat yang tadi. Tidak ia sangka, calon narsumnya itu membicarakan politik Orwellian. Sedikit-sedikit memang ia tahu soal Orwellian, tapi tidak disangka ia dapat kuliah gratis. Negara pun sekarang jadi sok Big Brother, memang ini Cuma sekedar WA, tapi nanti bisa-bisa ada polisi pikiran jika dibiarin, ujar perempuan narsum. Ia bingung menempatkan statement yang demikian dalam beritanya karenanya ia cari narsum lain yang berkomentar bodoh. ‘’Kalo menurut saya sih, ini adalah praktik nyata bagaimana power dan pengetahuan dalam kekuasaan.’’ Ucap lelaki narsum selanjutnya. Lelaki itu turut menjelaskan bagaimana people power itu upaya untuk membangun diskursus demokrasi radikal, jadi pembagian kekuatan dalam masyarakat sipil itu setara, katanya. Tiba-tiba datang dorongan dari berbagai sisi sehingga reporter dan narsumnya harus terpisah diantara lautan manusia. Sebelum dialog diceraikan keadaan, sempat mereka saling tatap. Reporter melihat mata narsumnya, ada putihputih dibawahnya. Suara takbir menggema, reporter sadar ia tidak salah den-


MAHASISWA gar ‘’Revolusi’’. Betul, ia tidak salah dengar, beberapa massa aksi meneriakan jargon serupa. Revolusi, Demokrasi, Tegakan sosialisme, hancurkan nekolim. Ia mengucek kuping, masing-masing tiga kali meyakinkan kupingnya tidak salah dengar. Tapi memang ia tidak salah, cuma kembali kaget. Kebingungan kali ini tidak merenggut kontrol tubuhnya. Ia berjalan ke barisan belakang mencoba cari narsum lain. Banyak orang santai sepertinya, betul dibelakang ada beberapa orang yang berdiri santai tidak teriak-teriak. Ia hampiri dan tanyai soal tujuan demo ini bagi mereka. ‘’Kemanusiaan, mas,’’ jawab lelaki yang namanya sangat mainstream. ‘’Yakin bang?’’ ‘’Iya, saya kira lempar-lempar botol gak merusak kemanusiaan,’’ Reporter menggali terus ‘’kemanusiaan’’ yang dimaksud. Ia menjelaskan polisi yang menjaga Bawaslu itu bukanlah manusia. Bukan pribumi maksudnya bang, tanya si reporter. ‘’Bukan manusia, mereka semua itu robot,’’ ‘’Robot ?’’ ‘’Iya, saya dengar kalo aksi kali ini jadi percobaan kepolisian untuk pake unit polisi A.I,’’ Reporter mengumpat kupingnya yang seperti salah dengar,

tapi ia tidak salah dengar. Beberapa kali ia secara acak tanyai beberapa orang, mereka menjawab serupa. Ini perjuangan manusia melawan robot-robot, jangan sampai demokrasi kita diambil alih oleh robot, “Manusia dan kemanusiaan,” ucap mereka lantang. Reporter putuskan untuk mendekat ke depan. Sumber suara paling besar, mobil komando aksi. Dari posisinya ia bisa lihat satu mobil pickup yang dimodifikasi jadi panggung lengkap dengan pengeras suara. Selangkah demi selangkah ia mendekat, makin jelas ternyata mobil itu adalah pickup Honda. Sesampainya di barisan depan, ia dapati massa aksi bertakbir bagai besok adalah hari raya, sayangnya bukan. Tiap takbiran diikuti oleh tuntutan mau revolusi dan bebas dari antek-antek kapitalisme global. Terdengar suara sirine mencekam mengalahkan teriakan massa. Belum usai kuping mendengar suara sirine. Seketika ada bunyi ledakan, sebuah petasan roket meledak didepan mobil polisi. Bunyi ledakan selanjutnya mengikutinya kali ini dari barisan polisi. Tabung mendarat diantara massa aksi, kepulan asap mengudara. Polisi terus menembakan gas bukan cuma dari senjata perLPM DIDAKTIKA

21


HALUAN M sonil tapi dari mortar. Reporter langsung tahu ini bukan gas air mata. Ia tidak menangis, memang gas ini tidak ditujukan agar yang menghirup menangis. Ini gas sari ganja, begitu massa aksi menghirupnya mereka akan jadi selaw. Sekuat tenaga massa aksi berlarian menjauhi gas tersebut. Beberapa orang terkena gas tersebut, dari kejauhan reporter melihat mereka duduk-duduk ditengah jalan sambil sedikit tertawa-tawa. ‘’BIADAB!!!‘’ Teriakan yang tusuk kuping reporter. Massa aksi mengambil beberapa barang dari belakang, mereka menyiapkan sebuah ketapel besar. Ketapel itu ditancapkan ke tanah lembek. Mereka memulai nyanyian lagu-lagu yang tidak dikenal oleh reporter. Ia menebak itu lagu soal persatuan umat manusia, dulu ia pernah belajar bahasa prancis, bagian dari lirik ada yang berbahasa prancis. Takbir, nyanyian, dan ketapel yang menembak botol sirup berisi bensin ujungnya dibakar atau Molotov. Reporter berdiri menyaksikan proyektil terbang, beberapa hancur diantara barikade, beberapa lagi mengenai polisi dan menyulutkan api ke tubuhnya. Tapi polisi yang kena api cuma berdiri tegak di formasinya. 22

RAMADHAN

Sial bagi si reporter, kebingungan melandanya lagi. Kali ini merenggut kontrol atas tubuhnya. Tanpa sadar sebuah drone terbang diatas kepalanya, menyemburkan zat kimia melalui gas. Gas yang sama, reporter gaji kecil pun memaksa dirinya untuk meninggalkan garis depan. Tapi tidak sempat ia untuk lari. Matanya berat. Meski tubuhnya ringan dan bahagia, ia merasa damai. Lebih damai dari liputan aksi manapun yang pernah ia ikuti. Ia bersandar pada lampu lalu lintas menghirup terus asap yang sama. Saat matanya sangat berat, hal terakhir yang ia lihat adalah mobil komando meninggalkan massa aksi. Selain itu, sekilas ia lihat mobil ambulan bertulisan Gerindra melaju ke barikade polisi. Tidak sampai menabraknya. Memang sudah direncakan, mobil gerindra akan menuju barikade, tapi mobil ambulan itu berubah jadi robot seperti dalam film Transformer. Kini polisi harus melawannya. Mata kirinya menutup duluan, mata kanan masih bisa lihat keadaan. Ia lihat seorang personil polisi yang terbakar kepalanya. Ternyata benar, dibalik kulitnya ada tengkorak besi. Polisi Terminator melawan mobil ambulan Gerindra. Ah sial, ucap reporter lalu tidur terbang.


MAHASISWA

LPM DIDAKTIKA

23


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.