Haluan Mahasiswa 2018 Edisi I

Page 1

HALUAN MAHASISWA Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika

PARA PEJUANG WIFI

Warga penolak Bandara Kulon Progo

Edisi Desember 2017 LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 1


2 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


SUSUNAN REDAKSI PEMIMPIN REDAKSI YULIA ADININGSIH

SEKRETARIS REDAKSI ULY MEGA SEPTIANI

REDAKTUR PELAKSANA STEFANUS WIJAYA TATA LETAK

NOVITA AURA INSANI

REPORTER

APRILIA HANI TAQIYYA TONNY JULIANTIKA PRIANGAN JIHAN DZAHABIYYAH AHMAD QORY HADIANSYAH ILHAM ABDULLAH STEFANUS WIJAYA NOVITA AURA INSANI FAWWAZ ADHYATMA PRISILA EMINE FITRI DIDIT HANDIKA ADITYA SEPTIAWAN FAISAL BACHRI MUHAMAD MUHTAR ANNISA NURUL HIDAYAH SURYA ULY MEGA SEPTIANI MUHAMMAD RIZKY SURYANA

EDITOR

NASWATI; LUTFIA HARIZUANDINI LATIFAH; HENDRIK YAPUTRA AN NISSA NUR ISTIQOMAH; YULIA ADININGSIH

IKLAN JIHAN DZAHABIYYAH

IDENTITAS REDAKSI SEKRETARIAT Gedung G, Lantai 3, Ruang 304, Komplek UNJ. Jalan Rawamangun Muka No.1 Jakarta Timur 13220 E-MAIL lpmdidaktikaunj@gmail.com WEBSITE www.didaktikaunj.com

SAPA REDAKSI Salam hangat untuk kita semua, walau belakangan ini hujan. Berita utama kita yaitu tentang wifi baru di kampus. Kemudiuan, berita tentang kantin belokan gedung M atau yang akrab disebut Blok M tersaji juga di sini. Ada juga berita jalan kampus A yang sempit. Selain itu, info tentang buku di UPT Perpustakaan yang hilang juga tersedia di haluan ini. Nah, di haluan ini pun terdapat berita-berita spesial. ada 2 berita tentang Kulon Progo dengan rasa yang berbeda, ada juga cerita tentang supporter bola di Jogja, dan lain sebagainya. Selain berita, haluan ini memuat karya sastra dan resensi buku yang menarik untuk dibaca. Penasaran bukan? Ayo, silahkan baca haluan ini. Terima kasih dan selamat menikmati.

DAFTAR ISI

Berita Utama .. 4-5 Berita 1 ............. 6 Berita 2................... 7 Infografis ................ 8-9 Opini .........................10-11 Berita 3 ........................12-13 Suara Mahasiswa ........... 14-15 Lintas 1 .............................. 18-19 Lintas 2 ....................................20-21 Suplemen ....................................22-23 Sosok ...............................................25 Cerpen ................................................26-28 Puisi ........................................................29 Resensi........................................................30-31

FACEBOOK LPM DIDAKTIKA UNJ

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 3


LAPORAN UTAMA

PARA PEJUANG WIFI

4 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


Tahun ini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mempunyai wifi baru bernama ‘ÚNJ Hotspot’. Seluruh civitas akademika dapat mengakses wifi ini. Ada dua macam UNJ Hotspot, yaitu UNJ Hotspot Mahasiswa dan UNJ Hotspot Dosen dan Karyawan. Sementara itu, masih banyak yang mengeluhkan kekurangan wifi ini. “Pembangunan Wifi ini mempermudah para mahasiswa untuk mengakses internet. Kita juga bisa menghemat paket data dan cukup membantu untuk mengurangi alokasi dana paket kuota internet. Namun jangkauan wifi ini kurang luas dan sering hilang,” ungkap Agustini, salah satu mahasiswi Program studi (prodi) Sosiologi Pembangunanan (Sospem) 2017. Demikian juga dengan Ghozy Ahmad, mahasiswa D3 Manajemen 2017. Ia merasakan manfaat dari wifi baru. Wifi ini mempermudah akses internet di UNJ. Namun ia juga mengeluhkan akses wifi yang tidak merata, “di spot tertentu wifi-nya lemot.” Hampir sama dengan Ghozy, Nabilatudzakiyyah, Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) 2017, mengeluhkan kurang stabilnya sinyal wifi. Menurutnya wifi UNJ di kampus E tidak terasa, “saya harus nongkrong di lantai 3 untuk dapat sinyal wifi. Itu pun untung-untungan.” Menurut Fichy, kepala Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Informasi dan Komunikasi (UPT TIK), hilangnya koneksi wifi karena jarak perangkat dan sumber wifi terlalu jauh. Hal lain yang menyebabkan terputusnya koneksi adalah timeout. Timeout yang diberikan wifi ini sangat singkat, namun sekarang sudah bisa satu hari. Tetapi hal ini belum berlaku untuk semua perangkat. Fichy juga menjelaskan bahwa pemasangan wifi sudah dipasang di semua kampus UNJ. Mulai dari kampus A, B, D, dan E. Totalnya ada 100 titik, yaitu di setiap lantai gedung Dewi Sartika, RA. Kartini, Rektorat, Hasyim Ashary, dan di Daksinapati. Rencananya akhir tahun ini, pihak UPT TIK akan menambah jumlah wifi di beberapa tempat lagi. Perjalanan Wifi UNJ

ini terkendala karena tidak kunjung turunnya dana dari rektorat. UNJ membutuhkan dana 40 milyar untuk melangsungkan proyek ini, lengkap dengan pengadaan perangkat dan jaringan komputer lainnya. Untuk mewujudkan proyek ini UNJ menyisihkan dana operasional setiap tahunnya selama tiga tahun. Hingga akhirnya proyek ini dapat terealisasi tahun ini (2017). Tujuan pemasangan wifi ini merupakan salah satu bagian dari pembangunan TIK di UNJ. Tahun ini UNJ telah mengarahkan untuk perluasan akses internet bagi segenap civitas akademik UNJ. “Agar seluruh civitas akademi UNJ mendapatkan akses internet dari wifi di seluruh wilayah UNJ, setidaknya di kampus A dan B,” terang Fichy UNJ melakukan pelelangan pengadaan wifi selama dua bulan. Menurut Sjahrian, kepala Biro BUK yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada proyek ini, UNJ melelangkan provider proyek ini di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Pemenang tender ini adalah PT Telkom. UNJ dan PT Telkom menyepakati dana pengadaan wifi ini sebesar Rp. 21.344.099.000,00. Dana ini mencakup pembelian Core Switch, Distribution Switch, Access Switch, dan lain sebagainya. Perangkat wifi menggunakan perangkat merek Cisco Aeronet. PT Telkom turut melibatkan para teknisi UPT TIK dalam penentuan tempat pemasangan, mandor, tenaga pikiran, dan pengerjaan sipil. Sehingga pertengahan November ini, civitas akademika UNJ sudah bisa mengakses UNJ Hotspot. Terdapat aturan baru dalam pengaksesan wifi. Pengakses diminta untuk log in terlebih dahulu menggunakan akun SIAKAD. Format yang diisi pada saat log in adalah Nomor Induk Mahasiswa (NIM) dan password SIAKAD. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa wifi baru ini hanya diakses oleh civitas akademika UNJ. “Pembangunan TIK ini berlangsung terus menerus, karena perangkat yang kita pasang saat ini mempunyai daya tahan sekitar tujuh sampai sembilan tahun, artinya dalam delapan tahun harus ada penggantian baru” ungkap Fichy.

UNJ telah mencanangkan proyek pengadaan wifi UNJ Hotspot sejak tahun 2014. Namun proyek

Jihan Dzahabiyyah Editor : Naswati LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 5


BERITA 1

Wacana Renovasi Kantin Blok M Kantin menjadi salah satu tempat yang selalu didatangi oleh Mahasiswa untuk memuaskan kebutuhan pangan. Namun kondisi kantin di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) banyak dikeluhkan oleh para mahasiswa contohnya kantin Blok M. Salah satunya Afriani Rizky, mahasiswa Program Studi (prodi) Pendidikan Sosiologi. “Makanannya sih murah-murah tapi sempit, sumpek, kurang higienis gitu,” ujarnya. Ketika ditanya mengapa ia tetap membeli makan di kantin blok M, ia mengatakan “makanannya banyak.” Keluhan lain juga diutarakan oleh Fanny Immazuddin dari Prodi Sastra Inggris 2016. “Blok M sumpek karena sirkulasi udara kurang bagus,” ucapnya. Ia menambahkan Kantin Blok M bentuknya panjang, kecil, dan tidak ada jendelanya. Fanny juga mempertanyakan soal petugas kebersihan yang tidak ada. “Seharusnya ada tanggung jawab juga dari pihak pengelolaan kantin (UNJ)” katanya. Lalu pedagang juga mempermasalahkan persoalan kantin di Blok M. Misalnya air yang suka mati dengan durasi yang cukup lama. “Suka mati 2 hari,” ujar Maman seorang pedagang mi instan. Akibatnya membuat ia tidak bisa berjualan. Maman juga mengeluhkan tentang kualitas kantin. “Ini kurang indah,” ucapnya sambil menunjuk tembok. Sehingga pedagang harus mengecat sendiri tembok lapaknya. Padahal, pedagang sendiri sudah membayar uang sewa sebesar Rp 8 juta/tahun. Ketika dipastikan ke staf Wakil Rektor 2

6 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

(WR 2) untuk menanyakan siapa yang mengelola kantin, salah satu staf menjawab, “kami sistemnya sewa lepas. Jadi itu tanggung jawab mereka, kayak kontrakan aja.” Sebenarnya UNJ sudah mewacanakan untuk merenovasi kantin Blok M. Ketika dikonfirmasi kepada Kepala Peningkatan Perguruan Tinggi (P2T), Sofyan mengatakan kantin Blok M akan direnovasi pada 2018 menjadi 4 lantai. Lalu ketika ditanyai tentang anggaran renovasi kantin, dosen Prodi Teknik Mesin ini menjawab, “nanti direvisi (dari anggaran sebelumnya).” Ia juga menerangkan bahwa dana yang akan digunakan adalah dana dari kampus sendiri. “Nanti kita alokasikan dari dana UNJ,” terangnya. Ia juga menerangkan bagaimana setiap lantai akan dipergunakan. “Misalnya empat lantai ya, nanti lantai satu dan dua buat makan. Lantai tiga untuk kios-kiosnya dan nanti lantai empat untuk ruang bersih lah seperti fotocopy dan lain-lain,” jelasnya. Mengenai renovasi Kantin Blok M, Ramlan Lumbantoruan salah satu pimpinan P2T mengatakan, “dulu sempat ditawari hibah dari Pertamina namun entah kebentur oleh aturan apa gitu, jadinya tidak jadi.” Saat ini Kantin Blok M memiliki 37 kios dengan satu kios yang masih kosong. Aditya Septiawan & Fawwaz Adhyatma Editor : Latifah


BERITA 2

Hilangnya Hak Pejalan Kaki

Banyak pejalan kaki di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang mengeluhkan terganggunya mobilitas mahasiswa dalam beraktivitas. UNJ sedang melakukan banyak pembangunan, seperti pembangunan parkiran utama spiral dan pembangunan University Training Center (UTC). Pembangunan yang berbarengan tersebut menyebabkan penumpukan area parkir, seperti yang terjadi di parkiran depan dan belakang UNJ, sampai ke area kantin dekat Gedung G. Seperti yang dikatakan oleh Apenungsky, mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi, dia merasa terganggu dengan parkiran yang memakan jalur pejalan kaki. “Ini (pembangunan) memang menyebabkan sempitnya akses untuk pejalan kaki,” imbuhnya. Padahal sebelum pembangunan, akses pejalan kaki juga sudah menjadi permasalahan. Ditambah lagi, dengan pembangunan yang sekarang dilakukan . Kemudian masalah lain yang muncul akibat sempitnya akses pejalan kaki, yaitu kerisihan. Selain itu, Bayu, mahasiswa Fakultas Teknik (FT), ia merasa risih berjalan di sekitar Gedung Pascasarjana. “Dikit-dikit diklaksonin,” imbuhnya. Ditambah lagi, di area pascasarjana hingga

Gedung Fakultas Ilmu Sosial (FIS) tidak ada trotoar. Meski terdapat trotoar di depan Gedung Seni Rupa, itu pun digunakan untuk parkir mobil. Senada dengan Bayu, mahasiswa Prodi Humas 2016 Lovely menuturkan tentang kerisihannya ketika sedang berjalan kaki; ia diklakson dan sebagainya. “Parkiran yang ada di depan Gedung G sangat semrawut. Mengganggu akses pejalan kaki,” ujarnya. Padahal perihal penggunaan trotoar ini telah diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 (UULAJ) Pasal 131 Ayat 1. Di dalamnya, dijelaskan ketersediaan trotoar dibuat sebagai bentuk pemenuhan hak bagi para pejalan kaki. Salah satu petugas parkir Hariyanto menyadari tentang terkikisnya jalur pejalan kaki. “Tapi maklum aja, namanya juga sedang membangun.” Berdasarkan keterangan Peningkatan Perguruan Tinggi (P2T) Sofyan, pembangunan spiral dipercepat karena Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) mengira bangunan itu terbengkalai. Ditambah lagi, pembangunan UTC baru memperoleh tender setelah melewati beberapa prosedur. Ia menuturkan bahwa masterplan untuk pembuatan trotoar yang nyaman sebetulnya sudah ada sejak 2012. “Namun, terkendala oleh pendanaan,” ujarnya. “Saya juga meminta maaf kepada mahasiswa jika untuk sementara UNJ ini berantakan,” ucapnya. Kemudian berbicara soal parkiran yang menggerus hak pejalan kaki, dia berharap pembangunan spiral sudah bisa digunakan pada Januari 2018 sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Ahmad Qori Hadiansyah & Ilham Abdullah Editor: Lutfia Harizuandini

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 7


INFOGRAFIS

IRONI FASILITAS DIFABEL

8 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


Beberapa mahasiswa reguler dan mahasiswa difabel merasa kurang terpenuhinya fasilitas untuk penunjang mahasiswa berkebutuhan khusus di kampus Universitas Negeri Jakarta Berdasarkan data dari Koordinator Pusat Perkembangan Akademik dan Layanan Disabilitas tahun 2017 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memiliki mahasiswa difabel berjumlah 17 orang, diantaranya tunarungu, tunadaksa, tunanetra, autisme dan hamb motorik. Tetapi, fasilitas yang dibangun saat ini masih sangat memprihatinkan. Hal ini dirasakan oleh salah satu mahasiswa tunanetra yang bernama Febrian Dwi Putra mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) angkatan 2017. Ia berpendapat, belum semua gedung memenuhi standar untuk kebutuhan mahasiswa difabel. “Di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) terdapat beberapa fasilitas penunjang seperti ram (bidang miring) namun fasilitas tersebut belum menyeluruh,” ungkapnya Febrian juga menambahkan, ia sering mengalami kesulitan karena huruf-huruf braille yang tersedia belum memadai di setiap gedung. “Memang ada, tetapi hanya di beberapa tempat saja,” ujar Febrian. Selaras dengan Febrian, Dwi Ramadany mahasiswa PLB 2017 juga berpendapat bahwa masih ada ketidakadilan dalam fasilitas yang diberikan untuk difabel contohnya seperti belum adanya pembangunan guiding block. “Hal ini akan berdampak pada mahasiswa tunanetra yang masih suka tersesat di dalam kampus,” ucapnya. Dwi kembali melanjutkan cerita, ada salah satu kejadian mahasiswa tunanetra yang pernah tercebur ke dalam selokan karena terdapat selokan yang belum ditutup. Senada dengan pendapat diatas, Dewi Justitia Dosen pengampu Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik UNJ mengungkapkan bahwa kenyataannya kampus ini belum mempuni untuk menerima mahasiswa difabel. Dari sisi kebijakan, pembangunan di kampus ini hanya memprioritaskan pada mahasiswa

reguler. Dalam proses perkuliahan pun, masih terdapat beberapa dosen yang belum mampu untuk mengajar mahasiswa difabel. Dikarenakan UNJ terdapat 2 tipe dosen yaitu dosen tetap dan dosen undangan atau dosen pengganti. “Dosen undangan tidak dibekali ilmu untuk mengajar mahasiswa difabel dikarenakan dosen tersebut hanya fokus terhadap keahlian bidang studi yang dia miliki,” katanya. Berawal dari kemirisan akan hal tersebut, komunitas relawan disabilitas hadir di UNJ pada 2007. Keberadaannya cukup membantu mahasiswa difabel. Namun, komunitas ini dibentuk bukan dari keinginan pihak birokrat. Aida Jamila salah satu relawan mengatakan komunitas ini bersifat independen tanpa campur tangan pihak UNJ. “Dengan adanya relawan disabilitas yang dibentuk tanpa dukungan dari kampus ini seharusnya UNJ tergerak dalam membangun fasilitas difabel,” ujar Aida. Saat dimintai keterangan mengenai fasilitas untuk difabel, Kamandoko selaku Kepala Bagian Perencanaan mengatakan, “tidak ada anggaran khusus untuk pembangunan fasilitas difabel dan dananya terbatas.” Padahal, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara umum memuat dua hal besar, yaitu hak penyandang disabilitas dan kewajiban berbagai pihak untuk memenuhi hak tersebut. Pada pasal 10 menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan disemua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif. Dalam UU No. 28 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan No. 30/PRT/M/2006 tercantum teknik pelaksanaan penyediaan fasilitas dan aksesbilitas bangunan umum. Pada bagian kedua tentang persyaratan teknis fasilitas dan aksesbilitas pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi : ukuran dasar ruang, jalur pedestarian, jalur pemandu, arena parkir, pintu, ram, tangga, lif, lif tangga, toilet, pancuran, wastefel, telepon, perlengkapan dan peralatan kontrol, perabot dan rambu serta marka. Prisila Emine Fitri & Didit Handika Editor : An Nissa Nur Istiqomah LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 9


OPINI

Komunitas Diskusi, Kritis dan Bermanfaat Oleh : Stefanus Wijaya

Pernahkah kalian merasa bahwa hobi kalian tidak dapat tersalurkan dengan baik? Dan kalian ingin mendiskusikan hal tersebut? Atau kalian ingin berdiskusi tentang topik yang tidak bisa dibicarakan di tempat tertentu contohnya seperti masalah politik? Pada umumnya, mahasiswa memiliki hobi dan ketertarikan yang berbeda-beda. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memiliki banyak organisasi serta komunitas yang bermacam-macam jenis dan kegiatan. Namun, setiap komunitas ini pasti tidak luput dari kegiatan berdiskusi, meski berdiskusi bukan tujuan utama mereka. Komunitas di UNJ terbentuk dari mahasiswa yang memiliki keinginan untuk berkumpul dengan mahasiswa lain yang memiliki hobi atau pemikiran yang sama. Salah satunya seperti komunitas Diskusi Kamis Sore (DKS) yang terbentuk di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Pada 2005, beberapa mahasiswa sosiologi membentuk komunitas DKS. Awalnya, mereka berkeinginan untuk membuat komunitas diskusi karena kebutuhan mengenai tugas akhir mereka. Hingga saat ini, komunitas DKS tetap ada. DKS terbuka untuk 10 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

umum, semua mahasiswa dari berbagai fakultas pun dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan rutin komunitas DKS. Komunitas ini rutin mengadakan kegiatan diskusi setiap kamis Di bawah Pohon Rindang (DPR) FIS. Komunitas ini menawarkan mahasiswa untuk mendapat hal-hal yang berguna untuk perkuliahan ataupun yang tidak mereka dapatkan pada saat perkuliahan. Lalu, jika sudah banyak organisasi yang dibentuk oleh UNJ, mengapa masih banyak mahasiswa yang membentuk komunitas? Apakah kampus kita tidak bisa mewadahi hobi atau minat mahasiswa? Pertama, berdiskusi ialah kegiatan yang sulit jika dibatasi oleh ruang dan waktu. Diskusi yang kondusif akan tercipta, bila dilakukan di tempat yang kondusif seperti ruangan yang luas. Hal ini memungkinkan sebuah komunitas menampung anggota yang cukup banyak. Diskusi yang kondusif juga membutuhkan waktu yang sulit untuk diukur. Pendapat setiap individu bisa saja berbeda sehingga akan menghasilkan argumen yang berbeda-beda pula. Hal ini akan memberikan tambahan waktu yang panjang dan topik akan semakin dalam untuk dibicarakan.


Kedua, jika dalam sebuah organisasi terdapat beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang masalah yang dapat menyinggung golongan lain, maka hal tersebut akan menjadi masalah. Misal, ada beberapa mahasiswa yang ingin mengkritik dosen mereka yang jarang datang ke kelas. Jika ada beberapa dosen yang tidak bisa menerima kritik tersebut, maka mahasiswa tersebut akan mendapat masalah seperti teguran keras, atau bahkan dilaporkan kepada pihak kampus. Oleh karena itu, beberapa mahasiswa membentuk komunitas yang tidak terikat dengan organisasi kampus. Mereka membutuhkan kebebasan untuk mengeluarkan kritik serta pendapat. Karena, jika mereka tidak diperbolehkan membahas atau menyinggung tentang topik tertentu, maka hasil diskusi yang kritis akan sulit tercipta. Semua komunitas memiliki manfaat kepada anggotanya. Komunitas dapat menjadi tempat untuk sharing pengalaman dan hal-hal yang telah diperoleh dari berbagai media seperti buku, televisi, atau radio. Komunitas diskusi dapat juga membantu kita untuk berfikir kritis dalam melihat kondisi lingkungan saat ini. Ketika berdiskusi, kita biasa membicarakan sebuah masalah secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal berarti melihat sebab dan akibat dari sebuah masalah. Sedangkan horizontal berarti efek dan implementasinya kepada masyarakat. Hal seperti ini jarang diberikan oleh dosen. Karena pada umumnya, dosen hanya memberikan tugas dan memberikan nilai berupa angka kepada mahasiswanya untuk mengkaji masalah, tapi dia tidak menjadi seorang fasilitator. Hal ini diumpamakan seperti orang tua yang meminta anaknya untuk bermain di taman. Orang tua itu membiarkan anaknya mencari hal-hal baru. Namun jika ia hanya menonton anaknya, maka anak itu bisa memperoleh hal-hal yang seharusnya tidak boleh ia dapat. Seharusnya, orang tua harus mengawasi dan memberi tahu kepada anaknya tentang apa yang cocok dan apa yang berbahaya untuknya. Maka dari itu, komunitas diskusi menyajikan manfaat-manfaat yang tidak diberikan pada saat berkuliah. Komunitas diskusi berperan sebagai fasilitator kepada semua anggotanya untuk berfikir kritis. Selain itu, diskusi bersama komunitas dapat meningkatkan pengetahuan yang kita punya. Sebab, dalam kegiatan berdiskusi, setiap anggota atau peserta dapat bertukar ilmu satu sama lain sehingga menghasilkan kesimpulan yang kaya akan ilmu. Selain itu,

kita juga dapat mencari banyak teman yang memiliki pemikiran beragam saat berdiskusi. Kita dapat memahami pula karakteristik dan pola pikir orang lain. Komunitas diskusi, juga memiliki manfaat kepada mahasiswa di luar anggota komunitas tersebut. Beberapa komunitas diskusi seperti DKS memiliki akun media sosial yang digunakan untuk mempublikasikan hasil diskusi mereka setiap minggu. Dan setiap semester, mereka juga menerbitkan buletin untuk dibaca warga UNJ. Walaupun diskusi memiliki banyak manfaat, namun masih banyak mahasiswa di UNJ yang sulit mencari tempat untuk diskusi. Diskusi yang kondusif sulit untuk dilakukan di sembarang tempat. Karena lahan di UNJ yang sempit, maka beberapa mahasiswa kesulitan untuk mencari tempat diskusi yang kondusif sehingga mereka kehilangan semangat mereka untuk berdiskusi. Selain faktor tersebut, ada juga faktor-faktor lain yang menghambat mahasiswa untuk berdiskusi, seperti jadwal diskusi yang berbenturan dengan waktu perkuliahan. Karena sulitnya mendapat tempat untuk berdiskusi, maka komuitas diskusi pun harus mencari tempat yang dapat digunakan dan tidak akan mengganggu banyak orang. Ada pula yang terhambat untuk mengikuti kegiatan berdiskusi karena rumahnya yang jauh dari UNJ. Kebanyakan komunitas diskusi melakukan kegiatan setelah waktu perkuliahan. Tidak banyaknya kendaraan umum yang berlalu lalang pada malam hari membuat mahasiswa tersebut memiliki batasan untuk melakukan kegiatan di kampus sehingga menghambat mereka yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Apakah kampus kita tidak bisa menyediakan sarana dan prasarana kepada mahasiswanya untuk berdiskusi? Atau mereka memberi batasan kepada mahasiswanya untuk tidak mendiskusikan hal yang dapat merusak citra kampus? Padahal, kritik tersebut dapat menjadi evaluasi kepada pihak kampus sehingga mereka dapat memperbaikinya dan menjadi kampus lebih baik. Sudah sepantasnya mahasiswa mengkritik dan menilai sesuatu yang ada di sekitarnya. Harusnya kampus memberikan fasilitas kepada komunitas diskusi dan menerima segala kritik dari mahasiswanya. Karena kritik dari mahasiswa bukanlah untuk menghancurkan, namun untuk membangun kampus ini kearah yang lebih baik. LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 11


BERITA 3

Ribuan Buku Perpustakaan UNJ Raib

Mahasiswa kesusahan mendapatkan buku karena koleksi buku di Perpustakaan UNJ tidak lengkap. Selain karena kuranganya dana untuk pengadaan buku, juga diakibatkan oleh kurangnya dana untuk membeli alat keamanan seperti alat pendeteksi buku yang menyebabkan banyaknya buku yang hilang. Keluhan datang dari beberapa mahasiswa mengenai banyaknya buku yang hilang. Mereka kesulitan untuk mendapatkan buku yang mereka cari. Hal ini diakui oleh Aghnesia Hafaz mahasiswi Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) 2017, ia tidak menemukan buku yang dicarinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari di perpustakaan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, “aku bingung, dicari ke perpustakaan universitas tidak ada,”ujarnya. Seperti halnya Aghnesia, Fahrezi mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah 2016 mengalami kesulitan yang sama dalam mencari buku di pepustakaan UNJ. Ia mengaku terpaksa harus mencari buku hingga ke perpustakaan Universitas Indonesia (UI) dengan meminjam kartu perpustakaan milik kerabatnya. “Kalau di perpus UNJ tidak lengkap,” tuturnya. Kurangnya koleksi buku di Perpustakaan UNJ diakui oleh pihak perpustakaan itu sendiri. Menurut Ummi Mukminati, Kepala Tata Usaha UPT Perpustakaan, perpustakaan UNJ kekurangan dana. Dana untuk pengadaan koleksi buku yang berasal dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), tidak cair setiap tahun. Terakhir kali Perpustakaan UNJ mendapatkan dana BOPTN 12 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

pada 2014. Ketidaklengkapan koleksi buku di perpustakaan UNJ dipengaruhi juga oleh rusaknya alat pendeteksi buku dan kamera pengawas. Alat pendeteksi tersebut tidak berfungsi sejak 2000an. Sedangkan kamera pengawas rusak sejak 2014 ketika plafon perpustakaan direnovasi. Hal tersebut menyebabkan banyak koleksi buku perpustakaan yang hilang tanpa diketahui alasannya karena tidak ada kamera pengawas dan alat pendeteksi rusak. Berdasarkan data hasil Stock Opname pada Maret 2017 yang dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan, terdapat 25.254 buku yang hilang dari 102.097 koleksi buku yang ada. Jumlah buku yang hilang lebih banyak dari pada buku yang dipinjam, yaitu 7.687 buku. Seperti halnya pengadaan buku, perpustakaan tidak mampu mengganti alat pendeteksi tersebut karena keterbatasan dana. Pengadaan alat pendeteksi buku masuk ke dalam anggaran Perencanaan Operasional Kerja (POK). Tahun ini, perpustakaan mendapatkan POK sebesar 380 jutaan. Menurut Ummi, dana tersebut tidak cukup untuk membeli alat pendeteksi buku yang baru. Ia juga menambahkan bahwa dana POK


habis digunakan untuk kebutuhan dan pengadaan fasilitas yang sifatnya lebih mendesak seperti penjilidan, alat tulis kantor, kunjungan dinas, pembuatan kartu, dan seminar atau lokakarya. “Kalau dana dibelikan untuk membeli alat tersebut, banyak yang harus dikorbankan, seperti fasilitas-fasilitas lainnya tidak bisa dibeli,” ucapnya. Komarudin selaku Wakil Rektor II Bidang Akademik dan Keuangan menyatakan bahwa ia tidak pernah mendapat laporan rusaknya alat pendeteksi buku. Ia juga berpendapat bahwa pihak perpustakaan sendiri harus bertanggung jawab atas banyaknya buku yang hilang. “Ada atau tidaknya alat pendeteksi, seharusnya Standart Operating Procedure (SOP) itu berjalan lancar,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa berapa pun anggarannya untuk alat pendeteksi buku, pasti ia akan menyetujui. “Ya, kalau untuk penunjang perpustakaan apapun bentuknya, berapa anggarannya, saya pasti menyetujui, perpustakaan kan jantungnya kampus, saya pasti menyetujui sekali demi kebaikan perpustakaan itu,” ujarnya. Berbeda dengan Komarudin, mengenai anggaran perpustakaan UNJ, Ummi menjelaskan bahwa pihak perpustakaan sendiri sudah berulang kali

mengajukan dana untuk pengadaan alat pendeteksi buku kepada pihak rektorat, namun tidak ada kejelasan dari mereka hingga saat ini. “Sudah lama kami mengajukan proposal untuk anggaran perpustakaan,” ucapnya. Rita Jenny selaku Kepala Perpustakaan UNJ merasa prihatin terhadap kesulitan Perpustakaan UNJ untuk mendapatkan dana dari pihak rektorat. Ia mengharapkan Perpustakaan UNJ maju dalam segi koleksi buku, fasilitas, dan alat penunjang lainnya berupa server. “Kita sudah ketinggalan jauh loh dari perpustakaan kampus lainnya, seperti UI, UPI dan UIN yang maju dalam segi koleksi dan fasilitas, mereka juga maju dalam segi ilmu teknologinya,” keluhnya. Senada dengan Rita, Ummi mengeluhkan hal yang sama. Ia juga berharap pihak birokrasi harus lebih peduli terhadap perpustakaan yang sebagai unsur penunjang perguruaan tinggi dalam kegiatan mahasiswa. Ia juga menambahkan, “jangan sampai kata-kata perpustakaan jantung universitas hanya slogan saja.” Tonny Priangan & Aprillia Hani Taqiyya Editor : Yulia Adiningsih LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 13


SUARA MAHASISWA

Kritik Kepada Kakak T Oleh : Novita Aura Insani Saya merupakan lulusan SMA Negeri yang masih anyar di Depok. Saya masuk SMA pada tahun 2014. Saat itu, perundungan masih menjadi muatan utama dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Apakah pengenalan terhadap lingkungan sekolah yang baru harus tersaji dalam format tersebut? Format ini dianggap wajar bagi sebagian orang tua dan dianggap untuk keseruan semata. Keseruan semacam apa yang didapat dari perpeloncoan? Saya tidak tahu. Saya merasa kalau hal ini merupakan pembully-an, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut perundungan. Menurut kompasiana.com, kata perundungan berasal dari kata rundung yang berarti susah atau sulit. Sedangkan kata perundungan sendiri berarti pengusikan, penimpaan dan penyusahan. Tiga tahun terlewati, saya melanjutkan ke perkuliahan. Lingkungan baru, pengenalan dan adaptasi lagi. Setelah menteri pendidikan melarang adanya praktek perpeloncoan, apakah hal tersebut juga berlaku bagi perguruan tinggi? Apakah semua hal dibuat lebih beradab dengan tidak memakai unsur perpeloncoan secara fisik maupun secara lisan? Saya merasa penasaran dengan bagaimana nasib saya di perkuliahan nantinya.

dominasi lagi. Bertemu di koridor gedung prodi sudah serasa bertemu dengan teman satu angkatan. Rasa kekeluargaan yang diusung prodi sudah mulai terasa.

Seperti dugaan saya, kegiatan pengenalan mahasiswa baru pada kehidupan perkuliahan masih berisi drama bentakan dari kakak tingkat yang menjabat sebagai seksi keamanan, kedisiplinan, dan ketertiban (K3). Telat satu menit setara dengan telat 30 menit, sengaja berbicara dengan nada jutek dan dingin serta memasang ekspresi kesal atau marah terus-menerus untuk menakuti mahasiswa baru, dan juga senioritas. Tidak ada bedanya dengan masa SMA saya dulu. Tak heran ketika rangkaian MPA selesai, para mahasiswa baru sangat senang mendapat kebebasan dari senioritas kakak tingkat. Mereka merasa dirinya diakui sebagai mahasiswa UNJ setelah saat MPA mereka dianggap sebagai ‘orang baru’ yang masih belum menjadi bagian dari kampus. Kakak tingkat sudah tidak men-

Namun, semua itu berubah ketika muncul acara lanjutan dari MPA tingkat prodi (MPAP) yang diberi judul PKMP. PKMP adalah singkatan dari Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi yang bertujuan untuk menumbuhkan dan melatih sikap kepemimpinan mahasiswa yang berlabel wajib. Kakak tingkat yang sama yang muncul di acara MPAP berulang kali masuk kelas membujuk para mahasiswa baru untuk ikut dengan berbagai macam propaganda. Dimulai dari yang klise yaitu ‘PKMP itu wajib’ hingga kalimat ‘luar biasa’ seperti ‘kalau tidak punya sertifikat PKMP maka tidak bisa skripsi, tidak bisa wisuda, dan tidak bisa lulus.’, juga ‘kakak tingkat yang tidak ikut tahun lalu ‘mengulang’ ikut PKMP tahun ini.’ Bagaimana bisa ada kakak tingkat yang ‘lolos’ dari

14 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


Tingkat yang Terhormat yang sesungguhnya yang bertujuan untuk melatih kepemimpinan mahasiswa, menumbuhkan sikap mampu bekerja sama dan bertanggung jawab, yang pada akhirnya PKMP adalah ajang kaderisasi BEMP. Di kampus pendidikan dan pergerakan ini, apakah bentakan dan mempertebal dominasi dan intimidasi kakak tingkat itu perlu? Saya bertanya kepada teman-teman saya mengenai pengalaman mereka dalam mengikuti PKMP. Ada yang berpendapat bahwa PKMP itu menambah pengalaman, tapi juga membosankan karena berisi materi seharian penuh. Ada juga yang mengomentari K3 yang selalu marah-marah kepada peserta. Ada juga yang beranggapan PKMP kurang tertata. Menurut teman saya yang sudah pernah mengikuti acara pelatihan kepemimpinan sebelumnya, PKMP tidak berbeda dari acara yang ia pernah ikuti. Menurutnya, mengakumulasi pelanggaran itu tidak adil karena tiap pelanggaran memiliki poinnya masing-masing. Ia mengometari bahwa K3 seharusnya tidak mencari-cari kesalahan peserta, dan juga mempertanyakan keefektifan PKMP. Skenario pemulangan menurutnya membuang waktu. Teman saya yang terakhir mengomentari bahwa PKMP itu harusnya lebih mengedepankan PKMP jika PKMP memang sepenting dan seserius itu? pelatihan jiwa kepemimpinan mahasiswa sebagaimana mestinya, bukan hanya untuk menyukseskan proker saja. Ia menambahkan bahwa jiwa kepemimpinan itu Statement lain yang tidak kalah ‘unik’ adalah berasal dari diri sendiri, bukan paksaan. ‘PKMP itu hak semua mahasiswa karena kita berhak dididik menjadi pemimpin.’ Hak apa yang wajib Semua ini berakhir dengan teman sekelas saya ditunaikan dan dipaksa mengulang jika tidak ikut? yang bertanya pada kepala prodi (kaprodi) yang menYang paling lucu adalah, ‘karena acara ini wajib, ada gajar di kelas kami yang mendapat jawaban bahwa konsekuensi bagi yang tidak mengikuti.’ Kenapa ada konsekuensi untuk hak saya? Mendengar hal tersebut, PKMP itu tidak wajib. Jawaban tersebut cukup untuk membantah semua isu mengenai PKMP. Mungkin saya tetap teguh tidak ingin ikut PKMP. sejak awal program kerja itu ada untuk menjadi ajang senioritas dan pelampiasan dendam turun-temurun Setelah PKMP, teman-teman saya bercerita akibat perlakuan kakak tingkat terdahulu yang tak bahwa tidak ada kakak tingkat yang mengulang. Pada terbalaskan, dan para panitia kemudian menggunakan hari-H PKMP, para kakak tingkat yang ‘mengulang’ acara ini sebagai ajang balas dendam atas apa yang itu justru tidak ada. Teman-teman saya juga menceritakan tentang panitia PKMP yang merangkai skenario mereka alami. Hanya para kakak tingkat yang terhormat sajalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertandrama untuk memarahi peserta PKMP ditulis dikertas yaan yang bersarang di pikiran saya. yang terselip ke dalam tas peserta. Hal tersebut membuat saya merasakan adanya hilangnya hakikat PKMP LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 15


16 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


LIPUTAN KHUSUS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKRTA

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 17


LINTAS 1

Penangkapan Lima Belas Angkasa Pura menyebutkan bahwa tanggal 4 Desember adalah hari terakhir warga untuk mengosongkan lahan. Aparat berhasil dipukul mundur oleh aktivis dan warga yang masih tidak ingin menjual tanahnya kepada pihak Angkasa Pura. Akan tetapi, Selasa 5 Desember 2017 sekitar jam 10 pagi aparat datang dan menangkap 12 aktivis. Rimba, salah satu aktivis yang ditangkap oleh aparat, bercerita, sekitar tiga puluh menit sesampainya ia di Kulon Progo, aparat yang terdiri atas Tentara Angkatan Udara, Angkatan Darat, Polisi Pamong Praja, beserta pihak Angkasa Pura datang. Mereka menghadang dari berbagai sisi langsung menebangi pohon milik warga dan ingin merobohkan salah satu rumah warga. “Sempat terjadi cek-cok antara warga dan aparat. Kami niatnya ingin bantu warga, tetapi jumlah aparat terlalu banyak ada sekitar 300 orang lebih. Akhirnya, beberapa warga dan beberapa aktivis ada yang ditendang, diseret, dan dipukul. Saya sendiri dijambak lalu diseret sampai ke tengah jalan raya,” kisah Rimba. Rimba menuturkan bahwa ia sama sekali tidak paham kenapa sampai ditangkap oleh aparat dan dibawa ke PT Pembangunan Perumahan (PP) lalu setelah itu dibawa ke polres Kulon Progo. Padahal, Rimba mengaku kedatangannya ke Kulon Progo adalah salah satu bentuk bersolidaritas untuk warga Kulon Progo yang masih mempertahankan haknya. Dilansir dari Tirto.id Kapolres Kulon Progo AKBP Ifran Rifai membenarkan ada penangkapan terhadap beberapa aktivis. Beberapa aktivis tersebut dibawa ke Polres Kulon Progo karena diduga memprovokasi warga sekitar. “Bukan menangkap, tapi kami mengamankan karena mereka memprovokasi warga, menghalang-halangi proses,” tuturnya. Rifai 18 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

juga membantah terkait beredarnya kabar pemukulan terhadap aktivis yang saat itu diperiksa. “Soal pemukulan, tidak benar ada pemukulan terhadap aktivis,” kata Irfan. Menanggapi hal tersebut, Mohammad Muslich, salah satu aktivis yang juga dibawa ke Polres membantah pernyataan polisi yang tidak menyatakan tidak ada pemukulan terhadap beberapa aktivis. Muslich mengatakan bahwa perlakuan polisi terhadap penangkapan 12 aktivis pada pagi hari dan 3 aktivis pada sore hari, sama sekali tidak manusiawi. Muslich merasa tidak bersalah sama sekali. Berdasarkan ceritanya, ia hanya menolong warga yang kepalanya berdarah terkena batu, lalu ditangkap dan diseret ke jalan raya.


s Aktivis di Kulon Progo saya sama sekali tidak merasa bersalah,” ujarnya. Lalu polisi malah memegangi tangan Muslich dan memukuli bagian perut Muslich berkali-kali sambil diseret masuk ke dalam polres. Setelah masuk ke dalam Polres Muslich diintrogasi, polisi menanyakan identitas dan keperluan apa Muslich ke Kulon Progo dengan nada yang membentak. Seketika Muslich berontak dan berkata, “ saya tidak menerima perlakuan dari bapa, saya mahasiswa dan saya belajar jurnalistik. Saya bisa menuliskan apa yang saya alami disini. Terus polisi bilang kalau Standar Oprational Procedure (SOP)-nya memang begitu. Seandainya begitu bagaimana citra polisi? Apakah dibenarkan tanpa tahu apa yang terjadi langsung dipukul?” Polisi itu langsung diam dan tidak bisa jawab. Muslich mengatakan polisi juga melakukan pelanggaran dengan menyita semua barang-barang dari aktivis. “Beberapa data dari kawan-kawan Lembaga Pers juga di hapus. Video tentang pemukulan dan tindak kekerasan dihapuskan oleh polisi,” tuturnya.

“Saya mendengar polisi mengatakan bahwa selain warga asli, angkat kaki dari Kulon Progo, loh orang kami bersolidaritas kok dilarang. Katanya Bhineka Tunggal Ika kok malah dipecah belah,” ujar salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu. Menurut keterangan Muslich , polisi melakukan tindak kekerasan bukan hanya pada saat penangkapan di dekat rumah warga saja. Ia menuturkan, pada saat mereka dibawa dari PT PP ke Polres Kulon Progo mereka juga disuruh berjalan jongkok ketika turun dari mobil polisi untuk masuk ke dalam ruangan polres. “Saya berontak saya katakan pada polisi, saya tidak mau jalan jongkok, saya bukan kriminal dan

Menanggapi tuduhan polisi terhadap aktivis bahwa mereka telah memprovokasi warga, Muslich mempertanyakan, “apakah bersolidaritas berarti memprovokasi? Ia juga menambahkan, “saya hanya membela masyarakat, sebelum kesini saya juga sudah ada pembacaan dan mempelajari kasusnya. Saya berfikir saya membela masyarakat karena saya merasa masyarakat benar.” Akhirnya, sekitar pukul 9 malam 15 tawanan aktivis dibebaskan, karena polisi tidak bisa membuktikan bahwa 15 aktivis bersalah. Menurut Wisnu yang merupakan anggota Indonesian Court Monitoring (ICW) kekerasan terhadap aktivis akan segera di proses ke jalur hukum. “Mengenai kasus ini, sekarang sedang dirapatkan oleh tim advokad,” ujarnya. Uly Mega Septiani LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 19


LINTAS 2

Warga penolak Bandara Kulon Progo

Pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) ialah proyek raksasa PT Angkasa Pura 1 –yang terletak di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY). Fasilitas yang dibangun dengan kerjasama investor asal India (GVK, Power & Infrastructure) ini, mengeluarkan dana senilai 500 juta dollar. Pembangunan ini juga merupakan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang dilanjutkan pada pemerintahan Jokowi dari program, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Lokasi pembangunan mencapai 637 hektar dan mencakup enam desa, yakni Palihan, Kebonrejo, Sindutan, Glagah Temon Kulon, Jangkaran. Menurut data dari Paguyuban Warga Penolak PenggusuranKulon Progo (PWPP-KP), terdapat 11.501 jiwa yang hidup sebagai nelayan, petani sayuran, dan buruh. Tercantum pula analisa dampak bila pembangunan dilaksanakan, selain hilangnya pendapatan, kerusakan lingkungan kelak tidak bisa dihindari. Sebab, kawasan Kulon Progo merupakan gugusan gumuk pasir yang membentengi dari tsunami.

Salah satu alasan pembuatan bandara ialah ketidakmampuan Bandara Adi Sucipto, yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam menangani penerbangan. Tujuan lain yakni membentuk Kota Bandara (Aero City) yang dapat memberi pendapatan lewat sektor pariwisata.

Ombudsman Republik Indonesia, mengadakan investigasi terhadap laporan yang diterima soal keluhan warga Kulon Progo. Melalui surat yang terbit pada 30 November 2017, Ombudsman menerima laporan warga mengenai pemutusan listrik, pembongkaran pintu, dan jendela rumah warga, perubuhan pohon, serta penggalian lubang yang menghalangi akses

20 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


rumah warga. Dalam surat itu, tercantum pula penemuan Tim Ombudsman RI mengenai rencana penggusuran pada 4 Desember 2017. Pertimbangan yakni sudah musim hujan dan anak sekolah sedang mengikuti ujian akhir sehingga butuh sarana penerangan dan ketenangan. Ombusdsman Yogyakarta meminta agar General Manajer PT Angkasa Pura 1 menunda penggusuran. Selasa pagi, 5 Desember 2017, aparat meratakan rumah yang tersisa. Alat berat merobohkan galeri seni milik Hermanto. Padahal perjanjian atas hak kepemilikan tanah masih belum sepenuhnya diserahkan oleh warga yang menolak menjual tanahnya. Tindakan aparat tadi didasari oleh perjajian konsinyasi sepihak dari pengadilan. Padahal warga sama sekali tidak setuju. Pun menolak menanda tangani persetujuannya. “Samping rumah saya (galeri) dirobohkan itu biadab, toh saya tidak akan jual,” kata Hermanto. Hermanto, yang tinggal disamping masjid Kulon Progo yang dijadikan posko oleh relawan, terluka di bagian kepala. Ia menjelaskan luka yang ia terima akibat benturan di kepala saat beradu mulut dengan petugas. “Saya gak mau nuduh, tapi batu itu datang dari arah polisi,” ujarnya saat ditanya mengenai keadaannnya (5/12). Setelah kepalanya terluka, ia dievakuasi. Selang satu jam, galeri miliknya sudah dihancurkan oleh alat berat. “Terdapat 40 keluarga tersisa (masih menetap) yang pro sudah pergi ke relokasi,” ucap Hermanto. Di rumah warga ini terdapat bendera merah putih dan ditempeli lambang pancasila--yang berarti tidak boleh dirobohkan. Ia sendiri bersikeras akan mempertahankan tanahnya karena ia mencari nafkah dari tanahnya. Tuginah, warga lain seperti Herman yang bersikeras menolak rumahnya diratakan, mengatakan tetangga yang telah lebih dulu meninggalkan rumahnya takut tidak mendapat uang ganti rugi. Tuginah, wanita 47 tahun yang bersama 4 orang anggota keluarga, merasa tenang karena ketegangan sudah mulai mereda selasa malam. Namun, tatkala mendengar suara sirine mobil polisi, ia beranjak dan langsung keluar rumah, berniat memastikan keadaan. Di luar ia melihat mobil polisi meninggalkan lokasi.

Di luar rumah wanita yang sehari-hari hidup sebagai petani, terdapat puing-puing rumah yang dihancurkan alat berat. Belum lama, tetangganya menjual tanah setelah kerap kali menerima gertakan. Tuginah berpegang teguh untuk menolak rumahnya diratakan. Alasannya bukan karena sedikitnya uang ganti rugi. Ia sendiri mengaku mendapat tawaran 8 milyar untuk tanahnya. Namun, karena ia ingin menjaga tanah yang ditinggalkan oleh orang tuanya. “Kalau uang bisa habis. Kalau tanah bisa saya serahkan ke anak cucu,” ucap Tuginah. Untuk mendorong keberhasilan penggusuran, aparat juga menggunakan kekerasan untuk meneror warga. Lima belas relawan sempat dibawa oleh polisi dan dikurung dengan alasan provokasi warga. Rimba, Mahasiswa Univesitas Negeri Yogyakarta, menolak pernyataan itu. Ia mengaku datang ke tempat itu sebagai relawan dan meliput perkara kala itu. Baru setengah jam meliput, ia melihat barisan aparat bersama alat berat. Dia mengaku menerima perlakuan kasar dan dibawa ke kantor polsek Kulon Progo. “Saya datang mau liputan atau membantu di sini kemudian dibawa ke Polsek. Lalu, pukul sembilan malam aku dilepas, karena tidak ada bukti penangkapan,” ujarnya . Senada dengan Rimba, Muchamad Muchlish, salah satu relawan yang juga dikurung oleh polisi mengatakan ia menerima pemukulan lantaran menolong Hermanto. Muchlish, yang juga datang meliput, kehilangan berkas liputan saat kamera dan catatanya diambil paksa oleh aparat. Suasana mulai tenang pada Selasa sore (5/12). Tidak terlihat barisan kepolisian, alat berat bisa ditemukan terpakir jauh dari pemukiman warga. Banyak relawan yang membantu warga berdatangan dari berbagai daerah. Begitu datang, relawan melakukan kerja bakti untuk menutup lubang di jalan dan memindahkan batang pohon yang berantakan akibat alat berat. Selanjutnya, relawan dibagi untuk menemani warga di rumah-rumah yang masih dihuni. Faisal Bachri LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 21


SUPLEMEN

Suporter Sepak Bola, Antara Cinta Dan Benci

Dalam sepakbola, salah satu hal yang terlihat sepanjang pertandingan adalah aksi dari suporter klub. Mereka mendukung klub kesayangannya tanpa lelah selama 90 menit pertandingan berlangsung. Bahkan, suporter dijuluki “pemain ke-12” karena mereka ikut andil dalam menentukan jalannya pertandingan, walaupun hanya dengan nyanyian dan tabuhan genderang penuh semangat.Gambaran emosi mereka juga menentukan saat klub mengalami kemenangan atau kekalahan.

yang berbasis di Yogyakarta. Ia mengaku bahwa awal kecintaan terhadap klub ini dari ajakan temannya untuk menonton pertandingan pada 2013. “Saya dulunya tidak tahu sama sekali sepakbola di Sleman, padahal saya orang Sleman,” tambahnya. Hanif tidak mengikuti komunitas di kampusnya, ia lebih memilih untuk independen.

PSS Sleman mempunyai suporter bernama Brigata Curva Sud (BCS). Penamaan ini memang didasarkan dari riuhnya tribun selatan Hanif menjadi salah satu dari sekian ban- setiap PSS Sleman bertanding. Hanif pun pada yak pencinta sepakbola. Laki-laki yang berkuawalnya merasakan riuhnya suasana di stadion. liah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini “Saya ikut menyanyi bersama teman dan disitumenjadi suporter dari PSS Sleman, sebuah klub 22 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


lah awal kecintaan terhadap klub ini,” ujarnya. Sama halnya dengan Hanif, Doni juga menjadi suporter dari PSS Sleman. Doni menjadi inisiator dari lahirnya Komunitas Titik Tengah, sebuah komunitas BCS yang terletak di Jl. Magelang KM. 10 – 12. Komunitas ini berdiri pada 2016 dan terdiri dari 50 anggota. “Kegiatan rutinnya membahas internal komunitas dan kondisi klub,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa pendanaan komunitas didasarkan dari iuran setiap pertemuan dan penambahan sebesar Rp2.000, dari hasil penjualan tiket. Atribut klub juga menjadi kelengkapan sekaligus kebanggaan dari seorang suporter. Hanif juga memiliki atribut sebagai bukti kecintaan terhadap sebuah klub. “Hanya punya kostum dan syal aja, tapi nggak sampai mengoleksi barang-barangnya,” ucap Hanif. Uzek juga mencintai sebuah klub di Yogyakarta seperti Hanif dan Doni. Bedanya, ia mencintai PSIM Yogyakarta. Uzek juga menceritakan awal kecintaan terhadap klub ini. “Awalnya diajak bapak nonton pertandingan PSIM,” ujar Uzek yang merupakan seorang mahasiswa UNY ini. PSIM Yogyakarta mempunyai suporter bernama Brajamusti, yang diambil dari seorang tokoh dalam lakon pewayangan Jawa. Penamaan ini dimaksudkan agar setiap suporter memiliki keberanian layaknya Brajamusti dalam mendukung PSIM. Rivalitas antar klub juga menjadi bumbu menarik dalam persepakbolaan Indonesia. Tidak hanya pemain yang sedang bertanding, suporter juga merasakan atmosfer rivalitas tersebut. Namun, rivalitas yang terjadi banyak yang diselipi unsur negatif. Bentrokan fisik antar suporter sering terjadi, bahkan ada korban yang meninggal akibat hal tersebut.

Suporter PSIM dan PSS juga merasakan atmosfer rivalitas tersebut secara negatif dalam pengalamannya. Uzek menuturkan hal tersebut. Menurutnya, saling ejek antar suporter menjadi pemicu dari lahirnya bentrokan, termasuk di kampusnya. “Kalau di kampus, provokasi mereka (BCS UNY –red) seperti ngegeberin motor dan ngeledekin kita di tongkrongan,” ujarnya. Ia juga menuturkan sebenarnya banyak bentrokan antara BCS dan Brajamusti yang terjadi di perbatasan antara Yogyakarta dan Sleman, tetapi jarang diliput oleh media lokal maupun nasional. Doni juga meyakinkan hal tersebut. Menurutnya, bentrokan antar suporter sering terjadi baik di dalam maupun di luar stadion, termasuk yang dialami oleh BCS. “Kalau hubungan dengan suporter di Jogja dan Magelang setahu saya belum ada perdamaian, tetapi dengan suporter di Solo sudah damai,” tuturnya. Syukron, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SuKa) menambahkan rivalitas antara PSS dengan Persis Solo pernah terjadi pada 2013. “Saat itu ada pertandingan di Divisi Utama, banyak orang yang luka-luka.” Tercatat dari lansiran berita solopos.com, delapan suporter mengalami lukaluka. Syukron bukanlah suporter klub Jogja atau Solo, melainkan suporter Persinga, sebuah klub asal Ngawi, Jawa Timur. Hanif menutup dengan pandangannya tentang rivalitas suporter. “Sepakbola tanpa rivalitas bagaikan sayur tanpa garam,” katanya. Ia juga memandang antar suporter harusnya saling melakukan konflik dengan hal positif, seperti perang nyanyian maupun koreografi, bukan dengan bentrokan secara fisik. Muhammad Rizky Suryana LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 23


24 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


SOSOK

Kilas Pendidikan Oleh Penjual Kacang

Malam itu (9/12), di perempatan pasar malam sekaten terlihat seorang lelaki yang telah renta tengah duduk. Ia mengenakan jaket yang dipadukan dengan celana bahan dan sebuah kopyah pada kepalanya. Sesekali ia berdiri dan berjalan kecil menjajakan dagangannya kepada orang-orang yang berlalu lalang. Terlihat sekilas senyum dari lelaki tersebut saat tim didaktika lewat di hadapannya. Ialah Bandono, seorang lelaki berusia enam puluh empat tahun. Ia terlahir di Yogyakarta. Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dengan alun-alun utara, tempat diadakannya pasar malam sekaten. Hal ini membuatnya memilih untuk berjalan kaki menuju pasar malam itu. Bandono mengungkapkan bahwa ia memulai usahanya sejak 2001. Dengan bermodal kacang yang diambil dari kebunnya, ia menjajakan kacang rebus di pasar malam sekaten. Tiga ribu rupiah adalah harga yang ia tawarkan untuk sebungkus kacang rebus dan lima ribu rupiah untuk setiap botol air mineral. Bersama sang istri, ia berjualan dengan cara berpencar. Selama sebulan penuh, ia menyiapkan keranjang sebagai wadah kacang rebus dan air mineral yang akan ditawarkannya pada pasar malam sekaten. Pada perayaan maulid yang biasa diadakan setiap satu tahun sekali, pasar malam sekaten menjadi lahan untuk para pedagang sekitar Yogyakarta membangun standnya. Lain halnya dengan Bandono, ia merasa tidak perlu menyewa stand untuk ia berjualan. Menurutnya dengan hanya menjajakan dagangan secara berkeliling saja sudah cukup. Ia juga menambahkan bahwa ber-

jualan di pasar malam sekaten hanyalah sebagai hiburan semata. Berbanding dengan penampilannya, Bandono ternyata memiliki lima anak dengan segi ekonomi yang cukup. Anak pertamanya bekerja di salah satu Bank swasta daerah Yogyakarta. Anak keduanya berprofesi sebagai polisi yang bekerja di Polres daerah Yogyakarta. Anak ketiganya bekerja di toko pada salah satu mall. Anak keempatnya membuka warung di rumah. Dan anak kelimanya membuka stand pada pasar malam atau biasa disebut panggungan. Ia juga mengungkapkan bahwa karena anak-anaknya tersebutlah ia memiliki rumah, kebun, sawah, dua mobil dan mesin penggilingan padi. Bandono mengungkapkan bahwa pendidikan berperan dalam menjadikan hidupnya yang sekarang. Berlatar sebagai lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), ia kemudian menjadi guru olahraga di salah satu Sekolah Dasar (SD) daerah Yogyakarta. Namun karena faktor usia yang terus bertambah, kini Bandono sudah pensiun dari profesinya sebagai seorang guru olahraga. Dengan memandang pentingnya pendidikan, maka Bandono juga ingin memastikan bahwa anakanaknya harus dapat memperoleh pendidikan –minimal tingkat SMA, seperti dirinya. Bandono juga mengungkapkan sekarang dirinya telah merealisasikan keinginannya tersebut. Ia menyebutkan bahwa kelima anaknya ialah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia kemudian menyatakan bahwa sekarang ia hanya memetik buah manis dari pendidikan. Annisa Nurul Hidayah Surya

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 25


CERPEN

Aku akan pergi sekolah besok pagi. Kemarin adalah hari di sekolah yang paling berkesan. Dalam ruang penuh sesak kawan-kawanku tertawa riang. Begitupun aku. Padahal matahari saat itu sudah condong ke barat. Biasanya aku sudah berada di hutan. Atau pelataran tempat aku dan kawan-kawan bermain. Bermain dengan batu, ranting pohon, atau bunga-bunga. Tapi saat itu Ibu guru melarang kami pulang. Suasana tiba-tiba menjadi kelabu ketika aku melihat dari balik kacamata minusnya. Embun menyamarkan bola mata coklatnya. Alisnya berkerut dan bibirnya bergetar. Keringatnya mulai turun, beberapa tetes bergulir dari dahi menuju pipi. Aku masih ingat betul kata-kata yang paling berkesan yang aku dapati darinya. “Sekolahlah, kelak kamu akan meraih cita-citamu ketika dewasa.� Sebenarnya aku menangkap ada pesan lain yang ingin disampaikan. Entahlah, aku tidak paham. Aku hanya seorang yang berseragam putih merah. Malam ini, aku ikut ibuku pergi ke rumah seseorang, bersama warga lain. Meskipun sebelumnya ibu melarang. Tapi aku memaksa. Ini menyangkut mentalku. Perasaanku. Rasa takut yang hanya menyerang seorang anak kecil ketika sendirian di rumah. Mungkin ibu juga berpikir seperti itu, dia pernah kecil. Setelah dipikir kembali, pantas saja sejak sore ibu memaksaku tidur. Biasanya, kalau perintah itu datang, aku langsung beraksi. Tidur. Tapi kali ini tidak, mungkin karena biasanya aku bermain, seharian suntuk. Bermain hingga lelah dan mengantuk . Sedangkan hari ini, aku hanya berada di kelas seharian. Duduk dan diam. Orang-orang kampungku, Karangsego, sudah ramai di pelataran rumah itu. Rumah Kakek Wiryo, orang yang katanya bersahaja. Aku tidak mengerti apa itu sahaja. Bagiku dia terlihat sep26 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

Sekol

erti orang tua biasa, dengan kumis dan jenggot tipis yang menghiasi wajahnya. Hal yang ku suka darinya hanya kerutnya yang khas. Kerut yang muncul ketika bibirnya melebar akibat senyum. Kata ibu, dan orang-orang yang kadang membicarakannya, kakek tua itu terbilang orang yang awet muda. Bagiku tetap saja, seorang pria renta yang hanya bisa hidup berkat simpati warga kampung. Mungkin. Sebab, keseharianya berada di surau. Aku pun tidak pernah melihatnya bekerja. Kecuali, setiap hari orang di kampung bergiliran memberikannya makanan. Saat malam, barulah dia pulang. Pulang ke gubuk yang sudah


lah Sifa yang cukup. Satu-satunya cahaya yang mendominasi di sini adalah cahaya bulan yang kebetulan purnama. Lebih terang dari bulan-bulan biasanya. Semua orang yang datang terlihat marah. Atau mungkin semangat. Mereka menyebut-nyebut kata-kata bandara. *** Enam tahun silam, orang-orang kampung Karangsego diramaikan dengan pemetaan tanah. Katanya tanah itu akan dibangun bandara. Sawah dan rumah-rumah warga masuk dalam peta wilayah yang akan dibangun bandara. Pemerintah punya pilihan tiga Kabupaten yang potensial untuk dijadikan bandara. Pemerintah memang punya tangan besi. Mereka bisa melakukan apapun untuk melancarkan proyeknya. Mengatasnamakan kepentingan bersama. Kepentingan siapa? Mengesampingkan sisi kemanusiaan. Semua orang tahu ini kepentingan pemerintah. Kebijaksanaan adalah kuncinya. Kunci untuk dapat memutuskan apakaah harus menjual atau mempertahankan tanah. Tanah dihargai lima juta per meter. Bagi orang-orang kampung Karangsego merupakan harga yang menggiurkan. Warga terpecah menjadi dua kubu. Pro pembangunan bandara dan kontra pembangunan bandara. Mudah saja sebenarnya untuk mengelabui warga setempat. Cukup berikan setengah harga tua dan hampir koyak terkena badai cempaka kepada warga yang pro pembangunan bandara, beberapa hari lalu. Ramai sekali. Pelataran itu memang sering dan janjikan setengahnya lagi ketika warga yang dijadikan tempat pagelaran. Entah wayang atau- kontra melepas tanahnya. Seperti terkena hujaman meteor. Dalam pun seni daerah lainya. Tapi tidak pernah serawaktu kurang dari enam tahun, hampir satu mai ini. Aku bingung memang kegiatan orang kecamatan rata dengan tanah baik itu bangunan tua semuanya membosankan. Seperti sekolah. ataupun pertanian. Sawah dan ladang. Kecuali Mungkin sekolah jadi membosankan karena beberapa kampung termasuk kampung Karanggurunya orang tua juga. Andaikan ada teman sego. Bagi masyarakat kampung Karangsego sebaya yang sudah pintar dan menjadi seorang tanah dan sawah bukan sekadar untuk mencari guru, pasti ceritanya akan berbeda. makan dan penghidupan. Tapi, merupakan tang Keramaian ini diselubungi warna kelabu. gung jawab dari leluhur secara turun-temurun. Kelabu yang tercipta dari tidak adanya cahaya LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 27


Tidak jarang beberapa aparat yang tidak sabar atas keras kepala warga Karangsego Melakukan tindakan represi bahkan kekerasan terhadap warga setempat. *** Pagi itu, terasa kebisingan alat-alat berat yang lalu lalang. Anak-anak terkesima melihatnya. Sifat dasar anak-anak memiliki rasa penasaran. Bagi anak seumuran Sifa, pemandangan itu merupakan momentum untuk menemukan hal baru. Ia dan kawan-kawan sebayanya bahkan yang lebih tua sekalipun, asyik memandangi lalu lalang alat berat yang beriringan tepat di sepanjang perjalananya menuju sekolah yang cukup jauh. Hampir saja Sifa batal pergi ke sekolah, karena saat itu perjalanan terhenti akibat tertutupnya jalan. Dan Sifa duduk diam di rerumputan. Rumput liar pinggir jalan. Sebelum duduk, Sifa menginjak rumput yang tumbuh tinggi akibat beberapa tahun terakhir tidak ada yang memotongnya. Andaikan tidak ada sinar matahari yang menyengat dan menyadarkan lamunannya, pasti dia sudah terlambat datang ke sekolah dan memilih kembali ke rumah. Bangun dari duduknya dan kembali berangkat ke sekolah. Sebelum melanjutkan perjalanan, Sifa merasakan sesak pada dadanya. Karena, asap yang diciptakan alat berat terhisap oleh Sifa. Sifa benci itu. Pohon kelapa berdiri tegak, daunnya melambai-lambai sangat kencang seolah memanggil seorang di seberang pulau. Pohon itu tumbang. Terdengar suara keras yang mengagetkan Sifa di kelas yang sedang ujian akhir semester. Pohon kelapa yang tumbang itu adalah pohon yang tumbuh berderet di dekat sekolah dan merupakan pohon yang paling terahir ditumbangkan. Ujian dihentikan. Rencananya, penghancuran bangunan sekolah baru akan dimulai sore hari. Ternyata siang hari kelas sudah bebas siswa. Ujian memang tidak bisa beriringan dengan penggusuran. Kelas menjadi tidak kondusif dan ujian hari ini benar-benar terganggu. Akhirnya 28 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

penghancuran bangunan sekolah dimulai sejak siang hari. Sekolah bisa kapan saja digusur, konon tanah sekolah merupakan tanah milik pemerintah. Sifa baru menyadari kenapa kemarin Ibu guru terlihat kelabu. Ia semakin yakin embun di balik kacamatanya itu adalah air mata. Terasa ada yang kabur. Ada yang mengganggu pikiran Sifa. Ia punya cita-cita. Tapi kenapa sekolah digusur. Tidak ada yang bisa dilakukan seorang anak kelas lima Sekolah Dasar. Di balik keriangan teman-temanya yang mendapatkan libur tambahan, Sifa hanya berusaha memahami kontradiksi yang terjadi dalam kehidupanya. Menjelang malam, ramai orang-orang yang datang ke beberapa rumah yang belum digusur. Menemani mereka yang masih berjuang untuk mempertahankan rumahnya. Mempertahankan alamnya. Mempertahankan ideologi leluhur. Para aktivis itu datang dari berbagai lini. Beberapa yang datang diantaranya atas nama aktivis HAM, aktivis lingkungan, dan kalangan mahasiswa. Bahkan ada dua orang yang sejak malam itu dekat dengan Sifa. Keduanya berasal dari Jakarta. Berasal dari pusat, begitulah kebanyakan warga menyebut Jakarta. “Kak, apa di Pusat banyak kendaraan?” tanya Sifa. “Oh iya, banyak sekali. Bahkan, kami sering terjebak macet akibat banyak kendaraan,” balas seorang yang berasal dari Jakarta. “Oh kalau begitu banyak polusi dong. Sifa gak suka Jakarta, maunya tinggal di sini aja.” Sekolah yang sudah digusur hanya dapat beroperasi dengan menumpang di rumah-rumah warga yang masih berdiri tegak. Meski begitu, Sifa masih semangat melanjutkan ujian. Meskipun bangunan sekolahnya sudah rata dengan tanah. Tapi semangatnya untuk sekolah tidak berubah. Dan warga Karangsego masih berjuang untuk mempertahankan tanahnya. Tanah leluhur. Tanah Istimewa. Muhammad Muhtar


PUISI Kegelisahan Seorang Pemimpin oleh : Didit Handika

Aku Seisinya oleh : Tonny Priangan

Malam tak bersuara.. Hati dan pikiran ku bergulat Seolah ingin menguasai seonggok tubuh ini

Di persimpangan jalan ku tinggalkan jejak bermakna penuh derita Jejak tak disukainya banyak kalangan Karena aku pemakan gemerincing receh yang mereka benci Sebagai ganti kemaslahatan hidup ku

Bingung menjadi seorang pemimpin ? Aku lepas tanya... Pada setetes air liur diujung bibirku... Sontak terdengar suara bisikan di telingaku Seperti tokoh positivisme.... Dengan kata-kata penuh optimisme... Dia berkata.. Jika kau ingin menjadi pemimpin... Adil lah dengan jiwa, hati dan pikiranmu... Baru kau dapat adil dengan rakyatmu... Tapi... Pikiran ku menolak... Seolah sama dengan teori kritis... Ku tak bisa bisa memimpin... Bila egosentrisme mengkristal Dalam pikiranku... Hati dan pikiran ku kembali bergejolak... Seolah mengulang tanya... Yang sulit ku jawab.... Tuhan tolong...... Tolong Ajari Aku Memimpin Jakarta, 23 November 2017

Cara ku mungkin salah berteriak serak mengganggu mereka ini keterpaksaanku menjalani ironi kehidupan Karena aku tak mau tahu bahwa aku harus hidup hari ini Aku tak peduli gonggongan kalian Aku tak peduli cacian kalian Aku tak peduli celotehan camar kalian Yang aku peduli receh-receh di saku kalian Agar aku bisa hidup hari ini Mungkin kau tidak tahu, Aku senang bersandar di bahu trotoar, Hanya sekadar melepas lelah Aku pendamba warna-warna kehidupan Pada langit-langit aku keluhkan gelap diriku Pada dinding ayat-ayat aku pasrahkan pada Tuhan Dan pada kasur yang bau busuk aku tidur segala lelah Mimpiku masih sama aku ingin layak menjalani kehidupan Jakarta, Desember 2017

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 29


RESENSI

Melanggengkan Kekuasaan Judul Buku : Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX Penulis : Soemarsaid Moertono Tebal Buku : 249 halaman Cetakan Pertama : September 2017 Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia ISBN : 978-602-424-678-5

Soemarsaid Moertono melalui buku Negara dan Kekuasaan di Jawa ingin mendalami cara raja-raja di Jawa menggunakan konsep magis-religius dalam melanggengkan kekuasaannya. Mengambil latar kehidupan Mataram yang berlangsung dari abad ke-17 sampai abad ke-19, Moer menyusun tesis monumental yang menjadi inspirasi para sejarahwan, seperti Ben Anderson dengan artikelnya tentang budaya Jawa. Konsep magis-religius yang dibahas dalam buku ini adalah hubungan kawula-gusti (hamba dan tuan). Kata kawula dan gusti menggambarkan jurang yang besar dalam status di masyarakat. Ditambah dengan hal-hal lain yang memperbesar pemisahan ini berdasarkan keturunan atau pangkat, seperti tatacara pemakaian busana, penggunaan bahasa, serta cara penghormatan (hlm. 23). Takdir yang menentukan seseorang ditempatkan di golongan kawula maupun gusti dan berbentuk garis keturunan. Komunikasi antar golongan menjadi rumit karena kawula harus menempatkan dirinya lebih rendah di mata 30 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER

gusti. Takdir juga menjadi penentu suksesi raja maupun suksesi wilayah kekuasaan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pamenahan, cucu dari Jaka Tingkir meminum air kelapa yang ditinggalkan Ki Ageng Giring karena haus setelah seharian kerja keras (hlm. 25). Namun, siapa sangka bahwa air kelapa tersebut menjadi prasyarat untuk menurunkan raja-raja Jawa selanjutnya. Selain itu, masih dalam Babad Tanah Jawi, Mataram sudah ditakdirkan akan menguasai Jawa Timur dan hal itu dibuktikan dengan menyerahnya Tumenggung Jayapuspita (adipati Surabaya) setelah mendapat serangan beruntun dari Amangkurat II (raja Mataram) dan Persekutuan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada abad ke-17. Konsep selanjutnya adalah cara raja-raja Jawa dalam melegitimasi kekuasaannya. Legitimasi tersebut didapat dari penggantian atau perebutan kekuasaan maupun pemakaian kultus kemegahan. Dalam penggantian atau perebutan


kekuasaan, bila suatu wangsa yang memerintah tidak mempunyai ikatan berupa hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, maka orang Jawa mengusahakan berbagai cara untuk membuktikan kesinambungan itu. Wangsa Cirebon dan Banten yang diciptakan oleh seorang Arab bernama Fatahillah (disebut juga dengan nama Sunan Gunung Jati) membuat keganjilan dalam penulisan babad. Sebabnya, wangsa tersebut tidak berkaitan dengan Pajajaran. Maka, dalam Babad Cirebon dibayangkan bahwa wangsa Cirebon diciptakan dari pernikahan antara seorang putri Pajajaran dengan seorang raja Arab.

dalam melakukan praktik penindasan terhadap rakyat. Pemerintahan Yogyakarta yang mendapat status “daerah istimewa” tidak luput dalam kasus ini. Mereka memperbolehkan perusahaan dirgantara masuk dan merebut lahan milik rakyat dengan dihidupkannya kembali aturan Rijksblad 1918 yang menyatakan tanah tanpa kepemilikan sepenuhnya milik Sultan dan Pakualaman (SG/PAG) pada 2012. Akhirnya, Pakualaman mengklaim kepemilikan tanah seluas 170 hektar dan mendapat ganti rugi paling besar, 727 milyar rupiah dari PT. Angkasa Pura I.

Wahyu juga menentukan dalam legitimasi kekuasaan raja. Bagi orang Jawa, wahyu bukan hanya sebagai petunjuk, tetapi menjadi karunia bagi raja, pujangga, perwira, atau wali dan bupati. Wahyu digambarkan dengan berbagai bentuk, seringnya berbentuk bola cahaya putih yang menyilaukan (andaru). Disimpulkan bahwa wahyu dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan dan kemampuan yang besar. Legitimasi melalui keturunan dan wahyu diperlukan untuk meningkatkan kawibawan raja. Negara yang besar adalah negara yang dawa kuncarane, unggul kawibawane (sampai jauh kemasyhurannya, tinggi kewibawaannya).

Mereka juga memengaruhi masyarakat melalui mitos-mitos menyesatkan seperti ‘sabda leluhur’ dan ‘sabda raja’ dengan pembenaran bahwa itu adalah tradisi ‘istimewa’ mereka yang harus diteruskan. Hal ini membuat konsentrasi rakyat Yogyakarta terpecah antara pro dan kontra terhadap pembangunan bandara. Massa dari kelompok kontra mengecam dengan keras tindakan korporasi yang merebut tanah mereka dan melakukan aksi massa. Namun, aksi massa mereka mendapat tindakan represif dan aparatur negara. Hal inilah yang membuat komunikasi antara kawula dan gusti menjadi sangat rumit. Golongan gusti yang memihak korporasi dalam pembangunan menyebabkan kekecewaan yang meningkat kepada pemerintah sehingga aspirasi kepada golongan ini tidak tersampaikan.

Kultus kemegahan juga menjadi kunci dalam raja melanggengkan kekuasaan. Ada delapan sarana yang disebutkan dalam buku ini, yaitu kesempurnaan batin, kemegahan bangunan keagamaan, silsilah, persekutuan dengan makhluk halus, pusaka atau benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, rakyat, angkatan bersenjata, dan harta benda. Kultus Kemegahan dimaksudkan untuk mengejar kemuliaan raja. Namun, dalam kosmologi Jawa, cita-cita untuk memperoleh harta duniawi untuk diri sendiri merupakan perbuatan tercela. Kekayaan seharusnya digunakan untuk kepentingan umum.

Legitimasi raja menjadi pembenaran

Nitisastra (sebuah karya dari kerajaan Majapahit) dalam buku ini menuturkan bahwa seorang raja yang tidak mementingkan (rakyatnya) dan wataknya kejam akan ditinggalkan dan dihindari oleh rakyatnya (hlm. 107). Tinggal menunggu waktu saja luapan kemarahan rakyat atas tindakan sultan akan menghapus “keistimewaan” sekaligus meruntuhkan tata pemerintahan warisan Mataram yang sudah langgeng sejak masa pra-kolonial. Muhammad Rizky Suryana LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 31


32 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


KOMIK

LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER || 33


MAU TAU LEBIH LANJUT BUKA http://tunasclothing.com/ 34 || LPM DIDAKTIKA UNJ || DESEMBER


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.