
5 minute read
Persepsi Publik dalam Pembelajaran Daring
Persepsi Publik
dalam Pembelajaran Daring
Advertisement
COVID-19 pertama kali dilaporkan secara resmi oleh China kepada World Health Organization pada bulan Desember 2019. Semenjak saat itu, pandemi varian baru Virus Corona ini terus membeludak dan menyebar ke berbagai negara di berbagai benua. Bukan pertama kalinya menyebar, Virus Corona juga pernah beberapa kali menyebabkan penyebaran penyakit di masa lawas dengan alias SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle-East Respiratory Syndrome).
Indonesia, sebagai negara dengan populasi tinggi dan sebenua dengan negara asal COVID-19, tentu tak bisa lepas dari infeksi viral virus ini. Indonesia pertama kali mengonfirmasi COVID-19 pada Senin, 2 Maret 2020 lalu, 13 bulan sejak artikel ini ditulis. Pada saat itu, Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi dua orang wanita pertama yang terjangkit virus tersebut.
Walaupun penyakit yang disebabkan oleh varian baru Virus Corona ini tidak perlu dikhawatirkan oleh mayoritas orang, penyebaran yang berlebihan ditakutkan akan mengancam banyak nyawa orangorang yang tergolong kurang mampu dalam hal imunitas diri seperti kaum lansia. Oleh karena itu, Indonesia melancarkan berbagai upaya rencana pencegahan penyebaran dan pemutusan rantai infeksi, seperti beberapa di antaranya adalah PSBB serta propaganda terbuka mengurangi kerumunan dan penggencaran sanitasi tangan, yang kini dilabeli dengan kehidupan new normal.
Berbagai sektor kehidupan di Indonesia turut terpengaruhi oleh tata cara hidup new normal ini, yang menyebabkan berbagai aktivitas dilakukan di rumah masingmasing dan tempat-tempat umum diregulasi atau ditutup total agar tak menimbulkan kerumunan. Tak terlepas dari pengaruh tersebut adalah sektor pendidikan. Kini sekolah-sekolah di Indonesia menjalankan proses belajar-mengajarnya secara daring atau online, yang mana para guru dan murid-murid tidak berinteraksi langsung di dalam kelas, melainkan dibatasi oleh layar-layar elektronik yang menghubungkan mereka dari sekolah dan rumah masing-masing. Tata cara belajar ini memberikan sebuah pengalaman baru bagi kedua pihak karena guru harus beradaptasi dalam hal mengajarkan
STATUS Responden Kuisioner
KEPUTUSAN Akhir Responden
ilmu dan meningkatkan antusiasme siswa dengan hanya bermodalkan kamera dan internet, dan siswa harus beradaptasi untuk memahami pelajaran melalui e-meeting tanpa seruangan dengan guru ataupun kolega mereka.
Kehidupan pendidikan yang baru ini tentunya menyebabkan beberapa hal positif dan negatif, serta tentunya kontroversi. Untuk meluruskan persepsi masyarakat mengenai cara belajar online ini, penulis menyebarkan sebuah angket terbuka yang diisi oleh total 99 responden dengan komposisi 72,7% mahasiswa dan 27,3% orang tua peserta didik di Indonesia. Di dalam angket ini, penulis meminta pandangan mereka mengenai efek-efek serta alasanalasan dilaksanakannya pendidikan online, dan apakah sebaiknya pendidikan pada semester berikutnya dilaksanakan secara offline saja.
Mayoritas dari responden (58,6%) setuju dengan pelaksanaan pendidikan online saat ini. Mereka setuju bahwa kesehatan mahasiswa dan orang-orang di sekitarnya merupakan kepentingan yang harus diutamakan. Pelaksanaan kuliah secara online walaupun dengan berbagai kekurangannya, dapat mencegah terjadinya gelombang

pandemi berikutnya, mengingat mahasiswa berasal dari berbagai penjuru nusantara. Para responden juga memperhatikan pentingnya kondisi ekonomi Indonesia saat ini, yang mana banyak keluarga di Indonesia yang sedang terpuruk dalam hal finansial akibat berkurangnya lapangan kerja ataupun keberhasilan bisnis mereka. Pembelajaran online dapat menghilangkan berbagai biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh para orang tua untuk mendukung kehidupan rantau anak mereka, seperti biaya sewa kos dan uang bulanan mereka. Argumen favorit lainnya yang disetujui oleh para responden adalah anggapan bahwa Indonesia dan masyarakatnya itu sendiri belum siap secara material, fisikal, dan mental untuk menjalankan kuliah offline secara aman dan efektif. Mereka yakin bahwa alokasi biaya dan tenaga yang diperlukan untuk memulai pembelajaran offline sebaiknya disalurkan kepada bansos dan penyebaran vaksin agar pandemi itu sendiri dapat segera berakhir. Selain itu, juga banyak dari orang tua yang menyukai waktu lebih para mahasiswa di lingkungan keluarga mereka sendiri, memberikan waktu tambahan bagi mereka untuk mempererat hubungan di masa-masa usia remaja yang krusial.
Namun mayoritas bukan berarti benar. Penulis dan para responden perlu menekankan berbagai aspek pentingnya pembelajaran offline yang apabila tidak dapat dilaksanakan, harus segera diusahakan agar dapat dijalankan sedini mungkin. Melalui angket ini, dapat dilihat keluh kesah para mahasiswa yang merasa dirugikan dengan ketidakdapatan mereka untuk menggunakan fasilitas yang seharusnya dapat mereka manfaatkan. Selain itu, hampir seluruh responden setuju bahwa terdapat banyak materi pembelajaran yang sangat memerlukan interaksi dan praktik langsung untuk dapat dipahami sepenuhnya. Responden juga sepihak dengan kenyataan bahwa pelaksanaan kuliah online dirasa imbalance karena kurang meratanya fasilitas perangkat dan sinyal di tiap daerah.
Penulis juga melakukan wawancara kepada seorang aktivis Forum Anak di Kota Pontianak dan sekaligus mahasiswi di Universitas Tanjungpura, Lady Cleophila Mardhathillah. Menurutnya, masih terdapat banyak problema pada pelaksanaan kuliah online saat ini. Satu di antara problema tersebut adalah kurang bermaknanya pengorbanan kuliah secara daring agar para mahasiswa dapat menjaga jarak. Masih terdapat banyak kasus mahasiswa malah nongkrong di berbagai warung, kafe, dan tempat-tempat umum lainnya yang menyediakan sinyal wifi. Hal ini tentunya menyia-nyiakan
penjagaan jarak sebagai alasan utama dilaksanakannya kuliah online tersebut. Menurut pengalamannya, terdapat cukup banyak orang tua yang walaupun menurut angket senang dengan waktu lebih bagi mereka untuk bercengkrama dengan anaknya, sebenarnya juga kebingungan mengontrol aktivitas mereka di dalam dan luar rumah, yang sering keluyuran dan bermain gawai. Karena itu, menurutnya, sebaiknya tingkat pendidikan yang luas seperti universitas, sebaiknya tetap dilaksanakan online hingga waktu yang memungkinkan untuk menghindari arus penyebaran dari satu daerah ke daerah lainnya, tetapi dalam waktu yang sama setiap pihak harus taat kepada berbagai protokol kesehatan yang ada agar pembelajaran daring tidak sia-sia dan pembelajaran luring dapat segera dilaksanakan.
Hal yang ditekan olehnya adalah, kebijakan apapun yang diambil harus konsekuen dengan keputusannya. Terlepas dari mana yang salah dan mana yang benar, sebaiknya diambil pilihan yang lebih rasional dan bertanggung jawab, dan apabila memang perkuliahan online lebih rasional untuk saat ini, hendaknya dilakukan dengan penuh tanggung jawab baik dari pihak pelaksana ataupun peserta. Jangan sampai pengorbanan pelaksanaan kuliah online ini sia-sia hanya karena kelalaian dan kemalasan. Dan apabila akhirnya kuliah offline dilaksanakan karena desakan beberapa pihak, hendaknya juga dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dari segi kesadaran protokol dan fasilitas kesehatan.
Hendaknya artikel ini dapat meningkatkan kesadaran kita bersama mengenai betapa pentingnya keputusan pelaksanaan pendidikan di semester berikutnya, betapa besarnya dampak yang terjadi pada kehidupan mahasiswa dan keluarganya, serta betapa krusialnya bagi setiap pihak untuk bertanggung jawab dengan apapun keputusan yang diambil. Benar atau salah, semuanya tidak akan ada maknanya apabila dianggap remeh, disepelekan, atau bahkan diabaikan. Apapun yang terjadi, semuanya tindakan harus diambil dengan alasan yang masuk akal, diterima dengan lapang dada, dan dijalankan dengan tanggung jawab. (Zuhdi)